Вы находитесь на странице: 1из 19

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Teori

Pendekatan struktural merupakan sebuah pendekatan awal dalam penelitian

sastra. Pendekatan struktural juga sangat penting bagi sebuah analisis karya sastra.

Suatu karya sastra dibangun oleh unsur-unsur yang membentuknya. Unsur tersebut

saling mengisi dan berkaitan sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh dalam

sebuah karya sastra.

Tujuan analisis struktural adalah membongkar dan memaparkan secara

cermat, seteliti, sedetail, dan sedalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua

analisis dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna

menyeluruh.

1. Pengertian Novel

Kata novel berasal dari kata latin “Novelius” yang diturunkan dari kata

novies yang berarti baru, dikatakan baru karena novel muncul kemudian

dibandingkan dengan jenis karya sastra yang lainnya seperti puisi, drama dan

lain-lain.

Novel timbul karena pengaruh filsafat Jhon Lock yang menentukan

12
13

pentingnya fakta dan pengalaman dan memandang banyaknya karena pembaca

dari golongan kaya, miskin dan terpelajar yang tidak menyukai puisi dan drama

yang kurang realistis, maka kemudian menyukai novel. Suasana yang

digambarkan novel selalu yang realistis dan masuk akal. Kehidupan yang

dilukiskan oleh seorang sastrawan atau pengarang bukan hanya kehebatan atau

kelebihan tokoh yang dikaguminya tetapi juga cacat dan kekurangannya.

Perkembangan novel sejak tahun 1950 sangat pesat, para pengarang

tidak lagi membuat kisah rekaan yang menggambarkan tokohnya sampai

meninggal dunia seperti halnya karya-karya angkatan Balai Pustaka dan

Pujangga Baru.

Menurut A. Teeuw, sastra dideskripsikan sebagai segala sesuatu yang

tertulis; pemakaian bahasa dalam bentuk tulis. Secara lebih rinci lagi, Faruk

mengemukakan bahwa pada mulanya pengertian sastra amat luas, yakni

mencakup segala macam hasil aktivitas bahasa atau tulis-menulis. 1 Sastra adalah

ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, semangat, dan

keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona

dengan alat bahasa. Seiring dengan meluasnya kebiasaan membaca dan menulis,

pengertian tersebut menyempit dan didefinisikan sebagai segala hasil aktivitas

bahasa yang bersifat imajinatif, baik dalam kehidupan yang tergambar di

dalamnya, maupun dalam hal bahasa yang digunakan untuk menggambarkan

1
Dkk, Zulfanur DP, Teori Sastra, (Pustaka UT, 2004) Modul 2
14

kehidupan itu.

Dari sekian banyak bentuk sastra seperti esei, puisi, novel, cerita

pendek, drama, bentuk novel, cerita pendeklah yang paling banyak dibaca oleh

para pembaca. Karya- karya modern klasik dalam kesusasteraan, kebanyakan

juga berisi karya-karya novel.

Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular di dunia.

Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas

pada masyarakat. Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua

golongan yaitu karya serius dan karya hiburan. Pendapat demikian memang

benar tapi juga ada kelanjutannya. Yakni bahwa tidak semua yang mampu

memberikan hiburan bisa disebut sebagai karya sastra serius. Sebuah novel serius

bukan saja dituntut agar dia merupakan karya yang indah, menarik dan dengan

demikian juga memberikan hiburan pada kita. Tetapi ia juga dituntut lebih dari

itu. Novel adalah novel syarat utamanya adalah bawa ia mesti menarik,

menghibur dan mendatangkan rasa puas setelah orang habis membacanya.

Banyak sastrawan yang memberikan yang memberikan batasan atau

definisi novel. Batasan atau definisi yang mereka berikan berbeda-beda karena

sudut pandang yang mereka pergunakan juga berbeda-beda. Definisi-definisi itu

antara lain adalah sebagai berikut :

a) Novel adalah bentuk sastra yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini

paling banyak dicetak dan paling banyak beredar, lantaran daya


15

komunitasnya yang luas pada masyarakat (Jakob Sumardjo).

b) Novel adalah bentuk karya sastra yang di dalamnya terdapat nilai-nilai

budaya social, moral, dan pendidikan (Nurhadi, Dawud, Yuni Pratiwi, Abdul

Roni).

c) Novel merupakan karya sastra yang mempunyai dua unsur, yaitu: unsur

intrinsik dan unsur ekstrinsik yang kedua saling berhubungan karena sangat

berpengaruh dalam kehadiran sebuah karya sastra (Rostamaji, Agus

priantoro).

d) Novel adalah karya sastra yang berbentuk prosa yang mempunyai unsur-

unsur intrinsik (Paulus Tukam).2

Pengertian di atas diperkuat oleh pernyataan H.B Jassin bahwa,“Novel

adalah suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan seorang karena kejadian ini

melahirkan suatu konflik. Suatu pertikaian yang mengubah nasib pelaku.”3

Secara struktural susunan dari sebuah novel akan berisikan tentang tema,

alur, setting, karakter, sudut pandang. Dalam hal ini peneliti akan memfokuskan

pada tiga unsur intrinsik dari sebuah karya sastra novel yaitu terdiri dari tema,

perwatakan dan alur.

2
Download 04 April 2011, Penegertian Novel, http://scribd.com/doc/47811167/Pemgertian -Novel
3
Jassin HB, Tifa Penyair dan Daerahnya (PT. Gunung Agung : Jakarta, 1985), hlm. 78
16

1.1 Tema

Tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang mendasari

jalan cerita novel, tema adalah perwujudan dari pikiran manusia, dan ini

merupakan bagian penting dalam dasar pembuatan fiksi.

Seperti yang dikutip dari buku Putu Tirta Ayu:

“Tema tidak lain dari suatu gagasan sentral…tema tadi adalah topic atau
pokok pembicaraan dan tujuan yang akan dicapai oleh pengarang
dengan topiknya, jadi dalam pengertian tema mencakup persoalan
tujuan atau amanat pengarang kepadanya.”4

Ketika pengarang membuat suatu karya, maka karya seni tersebut

memuat tujuan dan amanat melalui tema atau inti pokok pembicaraan dalam

karyanya. Hal ini pun bertujuan bahwa pengarang ingin menyampaikan

sesuatu atau ingin memberikan pengalaman kepada pembaca dengan cara

dan gaya bahasanya. Dalam bukunya, M. Atar Semi mengungkapkan bahwa,

“…pengarang memberikan kenikmatan emosional baik kesedihan,

kesusahan atau kesenangan melalui tema dengan lirik atau kata yang indah.”5

Tema yang mengandung tujuan pengarang, diperoleh dari kehidupan

sosialnya dengan masyarakat, seperti yang dijelaskan oleh Burhan Nugianto

dalam bukunya Herman J. Waluyo :

“Berbagai masalah kehidupan banyak diangkat oleh pengarang dalam


menulis atau mencipta berupa pengalaman individual maupun sosial,
pengalaman dan masalah yang diangkat pengarang itu seperti : cinta
sampai atau cinta tak sampai terhadap kekasih, orang tua, saudara dan

4
Tirta Ayu Putu, Apresiasi Puisidan Prosa (End : Nusa Indah, 1978), hlm. 197
5
Semi Atar M, Anatomi Sastra (Angkasa Raya : Padang, 1998), hlm. 108 - 109
17

sebagainya; kecamasan, dendam, kesombongan, takut, maut, religius,


harga diri dan juga ketidak setiakawanan, pengkhianatan,
kepahlawanan, keadilan dan kebenaran”6

Berdasarkan pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa tema

dapat diangkat dari suatu kejadian dalam hidup, baik dari hasil pengalaman

atau pengamatan si pengarang dan masyarakat. Tema yang berupa persoalan

hidup yang diangkat oleh si pengarang haruslah bersifat universal, baik

pokok permasalahan maupun penelaahannya. Dengan demikian tema

tersebut dapat dirasakan olem pembaca sebagai persoalan manusia.

Tiap cerita selalu mempunyai tema pokok pengisahan dalam sebuah

cerita atau ide pengarang, hal ini menjelaskan bahwa pengarang tidak

mungkin menulis cerita tanpa ide yang disampaikan lewat tulisannya. Tema

dijadikan oleh pengarang untuk pengembangan ceritanya. Kemudian

ditambah dengan unsur-unsur intrinsik lainnya, hal ini menunjukan tema

menjadi peranan penting dan sentral seperti yang diungkapkan oleh Panutu

Sudjiman :

“Pengarang tidak sekedar ingin menyampaikan sebuah cerita demi cerita


saja. Ada sesuatu yang dibungkusnya dengan cerita, ada sesuatu konsep
sentral yang ingin dikembangkan dalam cerita tersebut. Alasan
pengarang hendak menyajikan cerita ialah hendak mengemukakan suatu
gagasan, gagasan idea tau pikiran utama yang mendasari sebuah kisah
itu disebut tema.”

6
Waluyo, J Herman . Pengkajian Prosa Fiksi (Surakarta: UNS. 1984), hlm. 144
18

Pernyataan tersebut memfokuskan kepada pengarangnya. Pengarang dalam

menulis ceritanya berusaha mengutarakan sesuatu masalah kepada

pembacanya.

Tema dalam setiap karya sastra letaknya tersembunyi dan harus dicari

oleh pembacanya. Untuk mengetahui tema tentukanlah dengan bimbingan

cerita itu sendiri, seperti yang dikatakan oleh Liberatus Tengsoe bahwa,

“Bagi pembaca, tema baru akan benar-benar jelas bila pembaca


memahami suatu peristiwanya, tahapan plotnya, tokoh-tokoh dalam
ceritanya dan karakteristiknya, memahami lataratau setting dalam
hubungan latar dengan masalah yang diangkat serta tokoh-tokoh dan
memahami sikap pengarang terhadap masalah yang diangkat cerita itu.”

Tema menurut Scanton dan Kenny yang dikutip dalam buku Burhan

Nurgiyantoro, “….adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita, namun

ada banyak makna yang dikandung oleh sebuah cerita itu…”7, maka

masalahnya adalah : makna khusus yang mana yang dapat dinyatakan

sebagai tema itu atau jika berbagai makna itu dianggap sebagai bagian-

bagian tema, sub-sub tema atau tema-tema tambahan, makna yang manakah

yang dapat dianggap sebagai makna pokok sekaligus tema tema pokok

roman yang bersangkutan.

Untuk menentukan makna pokok sebuah novel, kita perlu memiliki

kejelasan pengertian tentang makna pokok atau tema itu sendiri. Tema

merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan

7
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2000)hal.67
19

yang terkandung didalam teks sebagai stuktur semantic dan menyangkut

persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko dan Rahmanto)8.

Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang

bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa konflik dan situasi. Tema

dalam banyak hal bersifat “mengikat” kehadiran atau ketidak hadiran

peristiwa konflik-situasi tertentu, termasuk berbagai unsure intrinsic yang

lain, karena hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan yang

ingin disampaikan. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka

ia pun menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat

menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema mempunyai generalisasi yang

umum, lebih luas, dan abstrak.

1.2 Perwatakan

Penokohan menggambarkan karakter untuk pelaku. Pelaku bisa

diketahui karakternya dari cara bertindak, ciri fisik, lingkungan tempat

tinggal. Tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra biasanya merupakan rekaan

tetapi tokoh-tokoh tersebut adalah unsur penting dalam suatu cerita.

Pentingnya unsur tersebut terletak pada fungsi tokoh yang memainkan

suatu peran sehingga cerita tersebut dapat dipahami oleh pembaca

mengungkapkan bahwa penokohan adalah gambaran tokoh-tokoh cerita

yang ditampilkan dengan sikap ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip


8
Ibid. Nurgiyantoro Burhan hlm 142
20

moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut. Stanton mengungkapkan bahwa,

“Penokohan merupakan gambaran terhadap tokoh-tokoh berdasarkan waktu

atau karakternya yang dapat diketahui dari ciri fisiologis, psikologis, dan

sosiologis”.9

Tokoh dalam novel seperti halnya manusia dalam kehidupan sehari-hari

disekitar kita selalu memiliki watak tertentu, ada pelaku yang berwatak

protagonis yaitu pelaku yang memiliki watak baik sehingga disenangi oleh

pembaca. Sementara tokoh antagonis adalah pelaku yang memiliki watak

tidak baik dan tidak disenangi oleh pembaca karena memiliki watak yang

tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembaca.

Selain tokoh yang dijelaskan di atas terdapat sejumlah ragam pelaku yang

lain, antara lain :

1) Pelaku simple karakter, bila pelaku tidak banyak menimbulkan

kompleksitas masalah, umumnya pelaku tambahan.

2) Pelaku komplek karakter, pelaku yang memiliki perubahan dan

perkembangan batin dalam keseluruhan penampilannya.

3) Pelaku dinamis, pelaku yang memilki perubahan dan perkembangan

batin dalam keseluruhan penampilan lainnya.

4) Pelaku statis, pelaku yang tidak menunjukan adanya perubahan dan

perkembangan sejak pelaku itu muncul sampai akhir cerita.

9
Ibid, Nurgiyantoro, Burhan. hal.165
21

Menurut Aminuuddin, “Penokohan adalah cara pengarang menampilkan

tokoh atau pelaku.”10 Sementara Dick Hartoko dan B. Rahmanto

mernyatakan, “Pengertian tokoh lebih luas dari aktor atau pelaku yang

berkaitan dengan fungsi seseorang dalam teks naratif atau drama tokoh

hanya hidup dikertas.” 11

Agar pembaca memahami watak dari tokoh-tokoh yang ditampilkan,

menurut M. Atar Semi ada beberapa cara yang dilakukan oleh seorang

pengarang:12

1) Secara analitik, yaitu pengarang langsung menampilkan tentang watak

atau karakter tokoh. Pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut

keras hati, keras kepala, penyanyang dan sebagainya.

2) Secara dramatik, yaitu menggambarkan perwatakan yang tidak

diceritakan secara langsung, tapi melalui:

a. Pemilihan nama tokoh, misalnya nama Sarinem untuk pembantu,

Mince untuk gadis yang genit, Bonar untuk tokoh yang garang.

b. Melalui penggambaran fisik atau postur tubuh, cara berpakaian,

tingkah laku terhadap tokoh-tokoh lain lingkungannya dan

sebagainya.

10
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Sastra, (Sinar : Bandung, 1987), hal. 35
11
Hartoko Dick dan Rahmanto. B, Pemandu di Dunia Sastra, (Kanisius : Yogyakarta, 1985), Hal. 144
12
Loc Cit Semi Atar. M, hal. 32
22

c. Melalui dialog, bersangkutan dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh

yang lain.

Hal ini ditambahkan oleh Sriwidati Pradopo ketika pengarang dapat

melukiskan pelaku dengan dua cara, yaitu:13

1) Secara analitik, pengarang secara langsung menganalisis watak pelaku

dan sekaligus memberikan secara langsung hasil analisis pengarang

terhadap watak pelaku dan maksud penampilan yokoh.

2) Secara dramatik, pengarang membiarkan para pelaku bergerak sendiri

secara dramatis dengan demikian pembaca harus menafsirkan para

perwatakan pelaku yang menghadapi arus dasar cakapan para tokoh

lukisan situasi sekitar pelaku serta reaksi tokoh terhadap peristiwa yang

dihadapinya.

Para tokoh dalam sebuah cerita memiliki peranan yang berbeda-beda,

Aminuddin menjelskan, “Tokoh yang mempunyai peranan penting dalam

sebuah cerita disebut tokoh inti atau utama sedangkan tokoh yang memiliki

peranan tidak penting disebut tokoh tambahan.” 14 Dia pun menambahkan

pernyataannya, “Dalam menentukan siapa tokoh utama dan siapa tokoh

tambahan dalam novel dapat diketahui dengan jalan melihat berapa sering

13
Pradopo Widati Sri, Struktur Cerita Pendek Jawa, (Pustaka Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Jakarta, 1985), hlm. 17
14
Loc cit, Aminuddin, hlm 19
23

munculnya tokoh dalam suatu cerita dan petunjuk yang dberikan oleh

pengarang.”15

Mochtar Lubis memberikan komentar lain tentang penggambaran watak

pelaku, beliau membagi sifat-sifat pelaku dalam dua kategori16, yaitu:

1) Sifat-sifat lahir (rupa, bentuk), sifat yang tercermin pada raut

mukanya, bagaimana rambutnya, bibirnya, hidungnya, bentuk

kepalanya, tubuhnya, warna kulit dan sebagainya.

2) Sifat-sifat dalam (watak, pribadi), sifat yang tercermin pada

suaranya, gerak tangannya, bagaimana ia melangkah, makan minum

dan sebagainya.

1.3 Alur

Alur atau plot merupakan rangkaian peristiwa dalam novel. Alur

dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu alur maju (progresif) yaitu apabila

peristwa bergerak secara bertahap berdasarkan urutan kronologis menuju

alur cerita. Sedangkan alur mundur (flash back progresif) yaitu terjadi ada

kaitannya dengan peristiwa yang sedang berlangsung. Pernyataan Stanton

yang dikutip oleh Nurgiyantoro, mengemukakan,”Plot adalah cerita yang

berisi urutan kejadian namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara

sebab akibat dan peristiwa yang lain”.17 Alur mengandung penyebab

15
Ibid, Aminuddin, hlm. 50
16
Lubis Mochtar, Sastra dan Tekniknya, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997), hlm. 97-98
17
Loc cit, Nugiyantoro, hlm. 113
24

(motives) akibat (consequences) dan saling berhubungan (relationship), alur

tidak hanya menjelaskan mengapa itu terjadi dengan adanya kesinambungan

peristiwa terjadinya cerita. Hal ini ditekankan pula oleh Sriwidati Pradopo,

“Alur sebagai suatu rangkaian cerita dalam cerita rekaan yang menunjukan

sebab akibat.”18

Kegiatan memahami alur merupakan kegiatan yang sangat penting karena

setiap tahapan alur itu sudah terkandung semua yang membentuk karya

sastra fiksi, dengan memahami alur sekaligus dapat juga memahami unsur

lainnya. Hal ini dijelaskan oleh M. Atar Semi :

“Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam sebuah cerita
yang disusun sebagai sebuah interlasi fungsional yang sekaligus
menghadapi urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi, dengan
demikian alur itu merupakan rangkaian utama cerita.”19

Dalam pengertian ini alur merupakan tempat lewatnya kejadian yang

berusaha memecahkan konflik. Namun suatu kejadian ada karena ada

sebabnya atau alasannya yang menggerakan kejadian cerita tersebut adalah

plot yaitu segi rohaniah, dengan kata lain bahwa setiap cerita selalu

menunjukan hubnungan kualitas alur peristiwa dan menggambarkan alur

cerita.

Jakob Sumarjo mengutarakan, “Suatu kejadian berkembang jika ada

konflik yang menyebabkan terjadinya perkembangan cerita.”20 Maka konflik

18
Loc cit, Pradopo Widati Sri, hlm. 17
19
Loc cit, Semi Atar. M, hlm. 39-40
20
Sumarjo Jakob, Apresiasi Kesastraan, (Jakarta : Gramedia, 1986), hlm. 36
25

dalam alur merupakan sentral, dengan melihat konfliknya kita dapat

menyelusuri kejadian yang saling mendukung perkembangan alur.

Timbulnya konflik berhubungan erat dengan tema dan watak.

Di dalam sebuah novel peranan alur sangat dominan untuk membangun

sebuah cerita. Menurut M. Atar Semi pada umumnya alur cerita rekaan

terdiri dari:21

1) Alur buka, yaitu situasi terbentang sebagai suatu kondisi permukaan

yang akan dilanjutkan dengan kondisi selanjutnya.

2) Alur tengah, yaitu kondisi mulai bergerak kea rah kondisi yang mulai

memuncak

3) Alur puncak, yaitu kondisi mencapai titik puncak sebagai klimaks

4) Alur penutup, yaitu kondisi sebelum mulainya menampakan

pemecahannya.

Dengan demikian alur cerita dapat disimpulkan sebagai suatu rangkaian

cerita yang meliputi, paparan, konflik, dan penyelesaian.

Dalam bukunya Burhan Nurgiyantoro, secara teoretis –kronologis tahap-

tahap pengembangan, atau lengkapnya untuk mengetahui struktur plot

dikemukakan sebagai berikut:

a. Tahapan plot: Awal-Tengah-Akhir

1) Tahap awal atau tahap perkenalan

21
Op cit, Semi Atar. M, hlm. 39-40
26

2) Tahap tengah atau tahap pertikaian, menampilkan pertentangan

atau konflik.

3) Tahap akhir atau tahap peleraian: peleraian tertutup dan

penyelesaian terbuka.

b. Tahapan plot: Rincian lain

1) Tahap situation: tahap penyituasian, berisi pelukisan dan

pengenalan situasi latar atau tokoh-tokoh cerita.

2) Tahap generating circumstances: tahap pemunculan konflik,

masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut

terjadinya konflik mulai dimunculkan.

3) Tahap rising action: tahap peningkatan konflik, konflik yang

telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang

dan dikembangkan kadar intensitasnya.

4) Tahap climax: tahap klimaks, konflik dan atau

pertentanganpertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau

ditimpalkan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas

puncak.

5) Tahap denouement: tahap penyelesaian, konflik yang telah

mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan.

B. Hakikat Pembelajaran Apresiasi Sastra

Untuk memahami dan menikmati karya sastra diperlukan pemahaman


27

tentang teori sastra. Teori sastra menjelaskan kepada kita tentang konsep sastra

sebagai salah satu disiplin ilmu humaniora yang akan mengantarkan kita ke arah

pemahaman dan penikmatan fenomena yang terkandung di dalamnya.

Masalah pengajaran sastra selalu menarik diangkat kepermukaan dalam

berbagai sumber, karena pembeljaran sastra begitu penting dalam mewujudkan

apresiasi pembelajaran sastra. Seperti yang di uraikan di bawah ini bekenaan

apresiasif pembelajaran sastra.

Sami menjelaskan:

“Adalah berupa respon sastra ini menyangkut aspek kejiwaan terutama


berupa perasaan, imajinasi dan daya kritis. Dengan memiliki reson sastra,
siswa diharapkan mempunyai bekal untuk mampu merespon kehidupan ini
secara artistik imajinatif dengan menggunakan bahasa”22

Pengajaran bahasa Indonesia dalam kurikulum berbasis kompetensi


terealisasikan dan Garis-garis Besar Pedoman Pengajaran. Sebagai salah satu
perangkat kurikulum, berbasis kompetensi mempunyai peranan penting
dalam proses belajar mengajar. Dalam kurikulum 2004 berbasis kompetensi,
sastra adalah bentuk system tanda karya seni yang bermediakan antara lain
untuk mengembangkan wawasan kehidupan. Jadi pembelajaran sastra
seharusnya ditekankan pada kenyataan bahwa sastra merupakan salah satu
bentuk seni yang dapat diapresiasi. Oleh karena itu pembeljaran sastra
haruslah bersifat apresiasif. Sebagai konsekuensinya pengembangan materi
pembelajaran, teknik, tujuan dan arah pembelajaran dalam silabus haruslah
lebih menekankan kegiatan yang bersifat apresiasif.23

Suyitno juga memberikan alasan mengenai keterkaitan pembelajaran sastra

apresiasi novel. ”Pembelajaran sastra akan berhasil jika berorentasi dan bertitik

22
Loc cit, Semi Atar M, hlm. 194
23
Pusat Kurikulum KBK, (Depnas Jakarta : 2003), hlm. 37
28

tumpu pada pembelajaran apresiasi.”24 Rumusan apresiasi itu sendiri menurut S.

Suhartianto adalah kegiatan atau usaha untuk merasakan dan menikmati hasil-hasil

karya seni. Secara terperinci apresiasi sastra sebagai berikut, “Apresiasi sastra

adalaha mengadakan diri kita sebagai penikmat. Karya sastra sehingga pada

akhirnya kita dapat memberikan penghargaan dan penilaian terhadap karya sastra

itu dengan benar.”25

Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sastra

akan berhasil jika berorentasi dan bertitik tumpu pada kegiatan pembelajaran

apresiasi dan dapat diterapkan pada siswa untuk melakukan penilaian akan suatu

karya sastra seperti novel dan bukan hanya sekedar membaca.

Dalam kurikulum Sekolah Menengah Atas 2004, pembelajaran sastra juga

telah cukup mendapat perhatian. Hal ini menggambarkan karena kurikulum tidak

hanya memfokuskan pada system pembelajaran yang disampaikan oleh guru kepada

siswa, tetapi juga menerapkan sistem pembelajaran siswa secara mandiri.

Dari Kurikulum Bahasa dan Sastra Indonesia SMA :

“Ruang lingkup pembelajaran novel juga telah meingkat dibandingkan


dengan kurikulum sebelumnya, karena selain mempelajari teori juga
ditekankan untuk mengapresiasikan novel yang telah dipelajarinya dan
selain karya-karya penulis Indonesia juga diperkenalkan serta terjemahan
terbaik dalam bentuk novel.”26
Pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa

24
Suyitno, Teknik Pembelajaran Apresiasi Sastra dan Kemampuan Berbahasa, (Anadita : Yogyakarta,
1986), hal. 20
25
Suhartianto. S, Pengantar Apresiasi Sastra, (Wida Duta: Surakarta, 1981), hlm. 15
26
Loc cit, Pusat Kurikulum KBK, hlm. 9
29

dalam mengapresiasikan karya sastra berkaitan erat dengan latihan mempertajam

perasaan, budaya dan sosial untuk memahami dan menghayati karya sastra, dengan

demikian siswa diharapkan langsung membaca sebuah karya sastra dan melakukan

apresiasi terhadap karya tersebut.

C. Unsur Kurikulum dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia

Kurikulum berbasis kompetensi merupakan sebuah harapan untuk

meningkatkan mutu siswa di masa depan setelah bangsa kita menggabungkan diri

secara nasional maupun internasional dalam tata perdagangan dan ekonomi dunia.

Dalam rangka mempersiapkan pserta didik menghadapi tantangan masa depan,

Departemen Pendidikan Nasional telah merespon dengan menyempurnakan

kurikulum 1994 menjadi kurikulum berbasis kompetensi pada tahun 2003 sebagai

berikut:

“Kompetensi merupakan pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai dasar


yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir, bertindak, kebiasaan berpikir
dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang
menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan ketrampilan dan nilai-
nilai dasar untuk melakukan sesuatu.”27

Dengan demikian maka proses pembelajaran diharapkan siswa dapat memenuhi

standar kompetensi yang sifatnya nasional maupun global.

Adapun standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia berorentasi pada

27
Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan, Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Indonesia,
(Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2003), hlm. 37-44
30

hakikat pembelajaran bahasa bahwa belajar bahasa adalah belajar komunikasi dan

belajar sastra adalah menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya.

D. Kerangka Berpikir

Karya sastra menampilkan permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam

kehidupan manusia yang berkaitan dengan makna (tata nilai) dari situasi sosial dan

historis yang terdapat dalam kehidupan manusia

Tujuan dari bagian ini adalah untuk menggambarkan secara jelas bagaimana

kerangka berpikir yang digunakan peneliti untuk mengkaji dan memahami

permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini, untuk mengkaji novel Mata Rantai

yang Hilang Agatha Cristie, peneliti mulai menganalisis karya sastra itu sendiri.

Analisis ini dilakukan untuk mencari unsur-unsur yang membangun karya sastra itu.

Unsur instrisik yang dianalisis meliputi: tema, perwatakan, dan alur. Alur kerangka

berpikir dapat dipahami melalui gambar berikut.

Novel

Pendekatan Struktural

Tema Perwatakan Alur

Simpulan

Aplikasi untuk pembelajaran Siswa

Вам также может понравиться