Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Disusun oleh :
Rojers W. Pomantow
NIM : PO. 7171133008008
Lidiya Ratuliu
NIM: ....................................
DEPARTEMEN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN DEPKES MANADO
TAHUN 2009
Apakah Sebenarnya Penyakit Leptospirosis Itu ?
Summary ratin g: 2 stars (21 Tinjauan)
Kunjungan : 1557
Comments : 0
kata : 300
oleh : tedifa
oleh : tedifa
I. Defenisi
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Leptospira berbentuk
spiral yang menyerang hewan dan manusia dan dapat hidup di air tawar selama lebih
kurang 1 bulan. Tetapi dalam air laut, selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan
cepat mati.
Hewan yang menjadi sumber penularan adalah tikus (rodent), babi, kambing, domba,
kuda, anjing, kucing, serangga, burung, kelelawar, tupai dan landak. Sedangkan
penularan langsung dari manusia ke manusia jarang terjadi.
Manusia terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah atau tanaman yang telah
dikotori oleh air seni hewan yang menderita leptospirosis. Bakteri masuk ke dalam tubuh
manusia melalui selaput lendir (mukosa) mata, hidung, kulit yang lecet atau atau
makanan yang terkontaminasi oleh urine hewan terinfeksi leptospira. Masa inkubasi
selama 4 - 19 hari.
Stadium Pertama
? Demam menggigil
? Sakit kepala
? Malaise
? Muntah
? Konjungtivitis
? Rasa nyeri otot betis dan punggung
? Gejala-gejala diatas akan tampak antara 4-9 hari
Komplikasi Leptospirosis
Pada hati : kekuningan yang terjadi pada hari ke 4 dan ke 6
Pada ginjal : gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian.
Pada jantung : berdebar tidak teratur, jantung membengkak dan gagal jantung yang dapat
mengikabatkan kematian mendadak.
Pada paru-paru : batuk darah, nyeri dada, sesak nafas.
Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah dari saluran pernafasan, saluran
pencernaan, ginjal, saluran genitalia, dan mata (konjungtiva).
Pada kehamilan : keguguran, prematur, bayi lahir cacat dan lahir mati.
V. Pencegahan
VI. Pengobatan
Pengobatan dini sangat menolong karena bakteri Leptospira mudah mati dengan
antibiotik yang banyak di jumpai di pasar seperti Penicillin dan turunannya (Amoxylline)
Streptomycine, Tetracycline, Erithtromycine.
Bila terjadi komplikasi angka lematian dapat mencapai 20%.
Segera berobat ke dokter terdekat.
Analisa data penderita Leptospirosis yang dilaporkan oleh Rumah Sakit (SARS) ke Dinas
Kesehatan Propinsi DKI Jakarta
LEPTOSPIROSIS
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun
hewan yang disebabkan kuman leptospira patogen dan digolongkan sebagai zoonosis.
Gejala klinis leptospirosis mirip dengan penyakit infeksi lainnya seperti influensa,
meningitis, hepatitis, demam dengue, demam berdarah dengue dan demam virus lainnya,
sehingga seringkali tidak terdiagnosis. Keluhan-keluhan khas yang dapat ditemukan,
yaitu: demam mendadak, keadaan umum lemah tidak berdaya, mual, muntah, nafsu
makan menurun dan merasa mata makin lama bertambah kuning dan sakit otot hebat
terutama daerah betis dan paha. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat, terutama di daerah beriklim tropis dan subtropis, dengan curah hujan tinggi
(kelembaban), khususnya di negara berkembang, dimana kesehatan lingkungannya
kurang diperhatikan terutama. pembuangan sampah. International Leptospirosis Society
menyatakan Indonesia sebagai negara insiden leptospirosis tinggi (tabel 1) dan peringkat
tiga di dunia untuk mortalitas
Berdasarkan data Semarang tahun 1998 ? 2000. Banjir besar di Jakarta tahun 2002, dari
data sementara 113 pasien leptospirosis,
diantaranya 20 orang meninggal. Kemungkinan infeksi leptospirosis cukup besar pada
musim penghujan lebih?lebih dengan adanya Penularan leptospirosis pada manusia
ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman leptospira. Pejamu reservoar utama adalah
roden/tikus dengan kuman leptospira hidup di dalam ginjal dan dikeluarkan melalui urin
saat berkemih. Manusia merupakan hospes insidentil yang tertular secara langsung atau
tidak langsung (gambar 1).
Faktor risiko
Faktor ? faktor risiko terinfeksi kuman leptospira, bila kontak langsung / terpajan air dan
rawa yang terkontaminasi yaitu:
Kegiatan yang memungkinkan kontak dengan lingkungan tercemar kuman keptospira,
misalnya saat banjir, pekerjaan sebagai tukang kebun, petani, pekerja rumah potong
hewan, pembersih selokan, pekerja tambang, mencuci atau mandi di sungai/ danau, dan
kegiatan rekreasi di alam bebas serta petugas laboratorium.
Peternak dan dokter hewan. yang terpajan karena menangani ternak, terutama saat
memerah susu, menyentuh hewan mati, menolong hewan melahirkan, atau kontak dengan
bahan lain seperti plasenta , cairan amnion dan bila kontak dengan percikan infeksius saat
hewan berkemih.
Kuman leptospira masuk ke dalam tubuh pejamu melalui luka iris/ luka abrasi pada kulit,
konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, osofagus, bronkus, alveolus
dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi.
Infeksi melalui selaput lendir lambung, jarang terjadi, karena ada asam lambung yang
mematikan kuman leptospira.
Gejala klinik menyerupai penyakit-penyakit demam akut lain, oleh karena itu pada setiap
kasus dengan keluhan demam, harus selalu dipikirkan leptospirosis sebagai salah satu
diagnosis bandingnya, terutama di daerah endemik.
Leptospirosis ringan atau anikterik merupakan penyebab utama fever of unknown origin
di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia. Mortalitas pada leptospirosis
anikterik hampir nol, meskipun pernah dilaporkan kasus leptospirosis yang meninggal
akibat perdarahan masif paru dalam suatu wabah di Cina. Tes pembendungan terkadang
positif, sehingga pasien leptospirosis anikterik pada awalnya di diagnosis sebagai pasien
dengan infeksi dengue.
Pada leptospirosis ikterik, pasien terus menerus dalam keadaan demam disertai sklera
ikterik, pada keadaan berat terjadi gagal ginjal akut, ikterik dan manifestasi perdarahan
yang merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil.
Pemeriksaan laboratorium klinik rutin tidak spesifik untuk leptospirosis, dan hanya
menunjukkan beratnya komplikasi yang telah terjadi.
Kasus leptospirosis jarang dilaporkan pada anak, karena tidak terdiagnosis atau
manifestasi klinis yang berbeda dengan orang dewasa.
Pemeriksaan laboratorium mutlak diperlukan untuk memastikan diagnosa leptospirosis,
terdiri dari pemeriksaan secara langsung untuk mendeteksi keberadaan kuman leptospira
atau antigennya (kultur, mikroskopik, inokulasi hewan, immunostaining, reaksi
polimerase berantai), dan pemeriksaan secara tidak langsung melalui pemeriksaan
antibodi terhadap kuman leptospira( MAT, ELISA, tes penyaring).
Baku emas pemeriksaan serologi adalah MAT, suatu pemeriksaan aglutinasi secara
mikroskopik untuk mendeteksi titer antibodi aglutinasi, dan dapat mengidentifikasi jenis
serovar.
Pemeriksaan penyaring yang sering dilakukan di Indonesia adalah Lepto Tek Dri Dot dan
LeptoTek Lateral Flow.
Diagnosis leptospirosis dapat dibagi dalam 3 klasifikasi yaitu :
Suspek, bila ada gejala klinis, tanpa dukungan tes laboratorium.
Probable, bila gejala klinis sesuai leptospirosis dan hasil tes serologi penyaring yaitu
dipstick, lateral flow, atau dri dot positif.
Definitif , bila hasil pemeriksaan laboratorium secara langsung positip, atau gejala klinis
sesuai dengan leptospirosis dan hasil tes MAT / ELISA serial menunjukkan adanya
serokonversi atau peningkatan titer 4 kali atau lebih.
Terapi leptospirosis mencakup aspek terapi aspek kausatif, dengan pemberian antibiotik
Prokain Penisilin, Amoksisilin, Ampisilin, Doksisiklin pada minggu pertama infekasi,
maupun aspek simtomatik dan suportif dengan pemberian antipiretik, nutrisi, dll.
Semua kasus leptospirosis ringan dapat sembuh sempurna, berbeda dengan leptospirosis
berat yang mempunyai angka CFR tinggi, antara 5 ? 40%. Prognosis ditentukan oleh
berbagai faktor seperti virulensi kuman leptospira, kondisi fisik pasien, umur pasien,
adanya ikterik, adanya gagal ginjal akut, gangguan fungsi hati berat serta cepat lambatnya
penanganan oleh tim medik.
Pencegahan penularan kuman leptospira dapat dilakukan melalui tiga jalur intervensi
yang meliputi intervensi sumber infeksi, intervensi pada jalur penularan dan intervensi
pada pejamu manusia.
ABSTRAK
Pemeriksaan sederhana dengan mikroskop biasa dapat dideteksi adanya Leptospira dalam
urine tanpa atau dengan pewarnaan.
Pada preparat hidup dapat dilihat gerakan-gerakan maju, mundur atau rotasi mulai dari
gerakan lambat sampai yang cepat. Umumnya bentuk spiralnya sulit tampak dengan
pembesaran 10 x 40 kali. Leptospira yang bergerak cepat pada akhirnya berhenti
bergerak dengan sendirinya. Sebagaian tampak membelah diri dengan cara terpotong
melintang, sehingga terpisah menjadi mother dan daughter leptospira. Hanya sebagaian
kecil yang bergerak dengan bentuk spiral yang jelas.
Morfologi leptospira lurus atau melengkung, bentuk spiralnya sulit kelihatan dan begitu
pula ujungnya berupa kait (hook). Ukurannya panjangnya bervariasi antara pendek,
sedang dan panjang. Beberapa tampak seperti Streptokokus.
Dengan pewarnaan Giemsa berwarna kemerah-merahan, dan dengan gram merah kebiru-
biruan (gram negatif). Dibutuhkan penelitian lanjutan untuk menetapkan diagnosis
leptospira pada seseorang.
ABSTRACT
Simple diagnostic method by using light microscopy can be used for detecting leptospira
in the urine with or without staining. In a living specimen we can observe the movement
i.e. forward, backward and rotating, as well as slow and fast. The morphology of
leptospira is spiral and difficult to be observed under 10x40 magnification. The fast
moving leptospira usually stop by itself. Some of them have a segmented body and
evetually separated. Thereby a mother and daughter leptospira can be seen. The
morphology usually straight, spiral with hook ending. The size varied from short,
intermediate, and long. Some of them look like streptococcus. With Giemsa staining the
germ looks pink, and Gram staining it will look blue ( Gram negative). Further study is
needed to evaluate the characteristic and diagnostic approach of leptospira in human (J
Med Nus 1996; 17:72-76).
HASIL PENGAMATAN
Hasil dapat diperoleh dari pemeriksaan tanpa pewarnaan atau dengan pewarnaan.
A. Pemeriksaan tanpa pewarnaan
Pada pemeriksaan Leptospira tanpa pewarnaan akan tampak beberapa keadaan sebagai
berikut :
Bentuk leptospira
Ukuran Leptospira tidak sama, bervariasi antara 2? - 24?. Ada tiga ukuran panjang yaitu:
Berukuran mini, hanya menyerupai kuman berbentuk batang, ukurannya 4-6? (lebar 0,1-
0,2?).
Ukuran sedang 2-3 X ukuran mini
Ukuran terpanjang, biasanya ukurannya 2 x ukuran sedang
Sebagaian leptospira berbentuk menyerupai streptokokus, dimana yang berukuran mini
hanya terdiri dari 2 koki
Gerakan Leptospira
Ditemukan bentuk-bentuk batang yang bergerak maju sesuai dengan sumbu memanjang.
Ada yang bergerak sangat lincah, sehingga cepat melintasi lapangan penglihatan pada
pembesaran 10x40 apalagi pada pembesaran 10x100. (pada pembesaran 10x100
Leptospira sulit dilihat). Kadang-kadang ada yang tampak bergerak secara rotasi bila
mengambil arah vertikal. Umumnya yang bergerak lincah berukuran mini.
Ada yang bergerak sangat lemah, hanya dengan pengamatan yang teliti dapat diamati
gerakannya terutama pada pembesaran 10x 100.
Ada yang tidak bergerak. Kalau diamati agak lama, maka beberapa Leptospira yang aktif
akhirnya akan berhenti bergerak.
Hanya sebagaian kecil leptospira yang bergerak dengan bentuk spiral yang jelas.
Beberapa bentuk leptospira dari urine penderita Penyakit Weil
Leptospira yang berukuran panjang bila bergerak sekali cukup laju dan jauh
jangkauannya. Mereka kadang-kadang bergerak kesatu arah, tetapi bila mengalami
hambatan sering bergerak ?mundur? tanpa mengubah haluan, namun kecepatan geraknya
secepat gerakan maju. Bila diamati terus, maka Leptospira ukuran terpanjang ini
merupakan dua Leptospira yang akan membelah secara melintang, dimana ?kepalanya?
lebih dahulu lahir. Setelah ?aterm? keduanya aktif untuk memisahkan diri dengan adanya
pemisahan antara kedua ?ekor?. Rupanya adanya gerakan ? maju? dan ? mundur?
tersebut di atas sebagai akibat dari gerakan individu pertama ke depan, sementara
individu kedua tertarik saja, dan bila ?mundur? berarti individu kedua yang maju
sedangkan individu pertama diam dan mengikut saja. Jadi sebelum keduanya berpisah
untuk membentuk individu masing-masing, mereka dapat bergerak bergantian atau
bersamaan dengan arah yang berlawanan.
Gerakan-gerakan inilah yang akhirnya memisahkan antara mother dan dauhter Leptospira
tersebut. Spiralisasi gerakan badannya tidak begitu jelas, kadang-kadang hanya tampak
seperti bergetar saja.
B. Dengan Pewarnaan Giemsa dan Gram
Dengan pewarnaan Giemsa Leptospira akan tampak sebagai batang-batang kecil yang
lurus atau melengkung berwarna kemerah-merahan, tidak berbentuk spiral. Dengan
pengecetan Gram berwarna merah kebiru-biruan (Gram Negatif). Kita mesti hati-hati
dengan hyphe jamur yang kadang-kadang juga ditemukan.
DISKUSI
Kebanyakan penulis mengemukakan bahwa Leptospira hanya dapat dilihat dengan
mikroskop lapangan gelap (dark-field microscopy), fase kontrast (phase contrast) atau
dengan cara imunofluoresens dan tidak dapat dilihat dengan mikroskop biasa (light
microscopy) (Alexander, 1983; McClain, 1985; Kempe, 1987). Leptospira muncul dalam
urine pada minggu kedua penyakit dan dapat bertahan satu bulan atau lebih (Kempe,
1987).
Tidak jelasnya bentuk spiral dari Leptospira sewaktu bergerak mungkin karena spiralnya
sangat halus (very fine spiral) (Jawetz, 1982). Tetapi jika diamati beberapa preparat akan
tampak beberapa Leptospira bergerak dengan spiral jelas. Dan gerakan rotasi jelas
tampak pada waktu Leptospira bergerak secara vertikal. Gerakan maju mundur (move
forward and backward) dalam urine dapat ditemukan sebagaimana dikemukan oleh
Alexander (1983), bila Leptospira berada dalam medium cair yang lain.
Dengan pemeriksaan lapangan redup pada mikroskop biasa morfologi leptospira secara
umum dapat dilihat. Hal mana akan terlihat lebih jelas pada pemeriksaan khusus dengan
darkfield microscope (Jawets, 1982). Dengan scaning mikrograf elektron akan tampak
kait dan spiralnya (Boyd and Hoerl, 1986). Dengan menggunakan mikroskop biasa
struktur yang yang lebih kecil masih sulit terlihat dengan jelas.
Dalam keadaan tidak bergerak tanpa pewarnaan atau dengan pewarnaan atau dengan
pewarnaan Giemsa atau Gram sebahagian Leptospira terkesan seperti streptokokus,
sesuai dengan yang dikemukan potrais (pendekatan pribadi, seorang peneliti Belgia).
Ukuran Leptospira bervariasi antara 4-20? (Sparling dan Basemen, 1980; Joklik, 1984).
Hal yang sama ditemukan pada penelitian ini ada yang berukuran mini, sedang dan
panjang. Ukuran bervariasi dari 4 ? sampai 25 ?. Dengan pemeriksaan sederhana ini
memungkinkan mengamati Leptospira pada pemeriksaan rutin urine dengan cukup
mudah sambil dapat mengikuti gerakan-gerakannya.
KESIMPULAN
Leptospiruria mudah dideteksi dengan menggunakan mikroskop biasa dengan mengatur
lapangan penglihatan redup (agak gelap) pada pembesaran minimal 10x40 atas preparat
tanpa pewarnaan.
Adanya Leptospiruria dianggap positif bila ditemukan Leptospira yang bergerak minimal
satu dalam satu lapangan penglihatan 10x40.
Leptospiruria belum dapat memastikan apakah Leptospira interrogans atau Leptospira
biflexa.
Dengan pewarnaan Giemsa dan Gram sulit memastikan Leptospira karena bentuknya
menyerupai hyphe jamur
Pemeriksaan leptospiruria tanpa pewarnaan lebih mudah mendeteksi Leptospira dari pada
dengan pewarnaan Giemsa atau Gram.
Informasi tentang gerakan-gerakan Leptospira dalam urine dapat pula dilihat dalam
Jurnal Medika Nusantara, 1996, vol 17, halaman 72-76.
RUJUKAN
Alexander AD : Leptospirosis, in infection diseases, Hoeprich PD (Ed), 3rt Ed, Harper &
Row Publishers, Philadelphia, 1985, 751-759.
Boys RE and Hoerl BG : Spirochetal and curved rods, In Basic Medical Micribiology,
3rd, Little Brown co, Toronto, 1986, 593-612
Jacobs RA: International Disease Spirochetal, In Current Medical Diagnosis &
Treatment, Tierney LM (Eds), 34th Ed, A Lange Medical Book, London 1995, 1197-
1214.
Jawetz E, Melnick JL and Adelbergh EA: Spirochetes & Other Spiral Microorganisme,
Review of Medical Microbiology, 15th Ed., Lange Medical Publications, California,
1982, 253-260.
Joklik WK, Willett HP, and Amos DB: Treponema Borrelia, and Leptospira, In Zinsser
Microbiology, 18th Ed, Appleton?Century-Crofts, Norwalk, 1984, 728-739.
Kempe CH, Silver HK, O?brien O, et al: Leptospirosis, In Current Pediatric Diagnosis &
Treatment 1987, 9th Ed, Appleton & Lange, Norwalk, 1987, 893-894.
McClaim JB : Leptospirosis, In Cecil Textbook of Medicine, Myngaarden JB and Smith
LH (Eds), Vol-2, WB Saunder Co, Tokyo, 1985, 1666-1668.
Sanford JP : Leptospirosis, In Hunter?s Tropical Medicine, 16th Ed, Stricland GT (Ed),
WB Saunders Co, Tokyo, 1984, 262-270.
Sparling PF and Baseman JB: The Spirochetes, In Microbiology, 3rd Ed, Davis BD
(Eds), Harper International Ed, Philadelphia, 1980, 751-762
Penyakit leptospirosis pada manusia
Salah satu penyakit yang dapat terjadi setelah banjir adalah leptospirosis.
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan hewan.
Lebih tepatnya, penyakit menular ini adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti
manusia, termasuk penyakit zoonosis yang paling sering terjadi di dunia.
Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever atau demam banjir karena
memang muncul dikarenakan banjir. Di beberapa negara, leptospirosis dikenal
dengan nama demam icterohemorrhagic, demam lumpur, penyakit Stuttgart,
penyakit Weil, demam Canicola, penyakit Swineherd, demam rawa atau demam
lumpur.
Penyakit ini disebabkan bakteri leptospira berbentuk spiral yang mempunyai ratusan
serotipe. Bakteri leptospira bisa terdapat di genangan air saat iklim panas dan
terkontaminasi oleh urin hewan. Leptospirosis dapat menyerang manusia akibat
kondisi seperti banjir, air bah, atau saat air konsumsi sehari-hari tercemar oleh urin
hewan.
Penemuan penderita sering tidak optimal karena sering terjadi ?underdiagnosis? atau
misdiagnosis. Hal ini berakibat keterlambatan tatalaksana penderita yang dapat
memperburuk prognosis. Meskipun sebenarnya penyakit ini pada umumnya
mempunyai prognosis yang baik.
Etiologi
Berdasarkan temuan DNA pada beberapa penelitian terakhir, 7 spesies patogen yang
tampak pada lebih 250 varian serologi (serovars) telah berhasil diidentifikasi.
Leptospira dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia diantaranya adalah
tikus, babi, anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya. Hewan peliharaan
yang paling berisiko mengidap bakteri ini adalah kambing dan sapi.
Setiap hewan berisiko terjangkit bakteri leptospira yang berbeda-beda. Hewan yang
paling banyak mengandung bakteri ini (resevoir) adalah hewan pengerat dan tikus.
Hewan tersebut paling sering ditemukan di seluruh belahan dunia.
Di Amerika yang paling utama adalah anjing, ternak, tikus, hewan buas dan kucing.
Beberapa serovar dikaitkan dengan beberapa hewan, misalnya L pomona dan L
interrogans terdapat pada lembu dan babi, L grippotyphosa pada lembu, domba,
kambing, dan tikus, L ballum dan L icterohaemorrhagiae sering dikaitkan dengan
tikus dan L canicola dikaitkan dengan anjing. Beberapa serotipe yang penting lainnya
adalah autumnalis, hebdomidis, dan australis.
Epidemiologi
Dikenal pertama kali sebagai penyakit occupational (penyakit yang diperoleh akibat
pekerjaan) pada beberapa pekerja pada tahun 1883. Pada tahun 1886 Weil
mengungkapkan manifestasi klinis yang terjadi pada 4 penderita yang mengalami
penyakit kuning yang berat, disertai demam, perdarahan dan gangguan ginjal.
Sedangkan Inada mengidentifikasikan penyakit ini di jepang pada tahun 1916.
(Inada R, Ido Y, et al: Etiology, mode of infection and specific therapy of Weil's
disease. J Exp Med 1916; 23: 377-402.)
Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi sebagian besar berusia antara 10-
39 tahun. Sebagian besar kasus terjadi pada laki-laki usia pertengahan, mungkin
usia ini adalah faktor resiko tinggi tertular penyakit occupational ini.
Angka kejadian penyakit tergantung musim. Di negara tropis sebagian besar kasus
terjadi saat musim hujan, di negara barat terjadi saat akhir musim panas atau awal
gugur karena tanah lembab dan bersifat alkalis.
Di Amerika Serikat (AS) sendiri tercatat sebanyak 50 sampai 150 kasus leptospirosis
setiap tahun. Sebagian besar atau sekitar 50% terjadi di Hawai. Di Indonesia
penyakit demam banjir sudah sering dilaporkan di daerah Jawa Tengah seperti
Klaten, Demak atau Boyolali.
Beberapa tahun terakhir di derah banjir seperti Jakarta dan Tangerang juga
dilaporkan terjadinya penyakit ini. Bakteri leptospira juga banyak berkembang biak
di daerah pesisir pasang surut seperti Riau, Jambi dan Kalimantan.
Penderita berusia di atas 50 tahun, risiko kematian lebih besar, bisa mencapai 56
persen. Pada penderita yang sudah mengalami kerusakan hati yang ditandai selaput
mata berwarna kuning, risiko kematiannya lebih tinggi lagi
Paparan terhadap pekerja diperkirakan terjadi pada 30-50% kasus. Kelompok yang
berisiko utama adalah para pekerja pertanian, peternakan, penjual hewan, bidang
agrikultur, rumah jagal, tukang ledeng, buruh tambang batubara, militer, tukang
susu, dan tukang jahit. Risiko ini berlaku juga bagi yang mempunyai hobi melakukan
aktivitas di danau atau sungai, seperti berenang atau rafting.
Penularan penyakit ini bisa melalui tikus, babi, sapi, kambing, kuda, anjing,
serangga, burung, landak, kelelawar dan tupai. Di Indonesia, penularan paling sering
melalui hewan tikus. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke dalam
tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan
hidung. Bisa juga melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi setitik urin
tikus yang terinfeksi leptospira, kemudian dimakan dan diminum manusia.
Urin tikus yang mengandung bibit penyakit leptospirosis dapat mencemari air di
kamar mandi atau makanan yang tidak disimpan pada tempat yang aman. Sejauh ini
tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama penyebab leptospirosis.
Beberapa jenis hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat
terserang leptospirosis, tetapi potensi hewan-hewan ini menularkan leptospirosis ke
manusia tidak sehebat tikus.
Saat kuman masuk ke ginjal akan melakukan migrasi ke interstitium, tubulus renal,
dan tubular lumen menyebabkan nefritis interstitial dan nekrosis tubular. Ketika
berlanjut menjadi gagal ginjal biasanya disebabkan karena kerusakan tubulus,
hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Gangguan hati
tampak nekrosis sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer, ikterus terjadi karena
disfungsi sel-sel hati.
Gangguan paru adalah mekanisme sekunder kerusakan pada alveolar and vaskular
interstisial yang mengakibatkan hemoptu. Leptospira juga dapat menginvasi cairan
humor (humor aqueus) mata yang dapat menetap dalam beberapa bulan, seringkali
mengakibatkan uveitus kronis dan berulang.
Meskipun kemungkinan dapat terjadi komplikasi yang berat tettapi lebih sering
terjadi self limiting disease dan tidak fatal. Sejauh ini, respon imun siostemik dapat
mengeliminasi kuman dari tubuh, tetapi dapat memicu reaksi gejala inflamasi yang
dapat mengakibatkan ?secondary end-organ injury?.
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi biasanya terjadi sekitar 7-12 hari dengan rentang 2-20 hari. Sekitar
90% penderita dengan manifestasi ikterus (penyakit kuning) ringan sekitar 5-10%
dengan ikterus berat yang sering dikenal dengan penyakit Weil.
Perjalanan penyakit leptospira terdiri dari 2 fase yang berbeda, yaitu fase septisemia
dan fase imun. Dalam periode peralihan dari 2 fase tersebut selama 1-3 hari kondisi
penderita menunjukkan beberapa perbaikkan.
Manifestasi klinis terdiri dari 2 fase yaitu fase awal dan fase ke-2. Fase awal tahap ini
dikenal sebagai fase septicemic atau fase leptospiremic karena organisma bakteri
dapat diisolasi dari kultur darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan
tubuh. Selama fase awal yang terjadi sekitar 4-7 hari, penderita mengalami gejala
nonspesifik seperti flu dengan beberapa variasinya.
Fase ke-2 sering disebut fase imun atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat
di deteksi dengan isolasi kuman dari urin dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi
pada darah atau cairan serebrospinalis.
Fase ini terjadi karena akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi dan terjadi
pada 0-30 hari atau lebih. Gangguan dapat timbul tergantung manifestasi pada
organ tubuh yang timbul seperti gangguan pada selaput otak, hati, mata atau ginjal.
Gejala non spesifik seperti demam dan nyeri otot mungkin sedikit lebih ringan
dibandingkan fase awal dan 3 hari sampai beberapa minggu terakhir. Beberapa
penderita sekitar 77% mengalami nyeri kepala terus menerus yang tidak respon
dengan pemberian analgesik.
Gejala ini sering dikaitkan dengan gejala awal meningitis. Delirium (tidak waras,
kegilaan) juga didapatkan pada tanda awal meningitis, Pada fase yang lebih berat
didapatkan gangguan mental berkepanjangan termasuk depresi, kecemasan,
psikosis dan dementia.
Meningitis bisa terjadi apada beberapa hari awal, tapi biasanya terjadi pada minggu
pertama dan kedua. Kematian jarang terjadi pada kasus anikterik. Gangguan
ikterik : leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul
ikterik. Nyeri perut dengan diare dan konstipasi terjadi sekitar 30%,
hepatosplenomegali, mual, muntah dan anoreksia.
Uveitis terjadi pada 2-10% kasus dapat terjadi pada awal atau akhir penyakit,
bahkan dilaporkan dapat terjadi sangat lambat sekitar 1 tahun setelah gejala awal
penyakit timbul. Iridosiklitis and korioretinitis adalah komplikasi lambat yang akanan
menetap selama setahun. Gejala pertama akan timbul saat 3 minggu hingga 1 bulan
setelah paparan.
Perdarahan subkonjuntiva adalah komplikasi pada mata yang sering terjadi pada
92% penderita leptospirosis. Gejala renal seperti azotemia, pyuria, hematuria,
proteinuria dan oliguria sering tampak pada 50% penderita. Kuman leptospira juga
dapat timbul di ginjal. Manifestasi paru terjadi pada 20-70% penderita. Adenopati,
rash, and nyeri otot juga dapat timbul.
Sindroma klinis tidak khas pada berbagai serotipe, tetapi beberapa manifestasi
sering tampak pada serotipe tertentu. Misalnya ikterus didapatkan pada 83%
penderita dengan infeksi L icterohaemorrhagiae and 30% pada L pomona. Rash
eritematous pretibial sering didaptkan pada infeksi L autumnalis. Gangguan
gastrointestinal pada infeksi dengan L grippotyphosa. Aseptic meningitis seringkali
terjadi pada infeksi L pomona atau L canicola.
Sindrom Weil adalah bentuk leptospirosis berat dengan ditandai ikterus, disfungsi
ginjal, nekrosis hati, disfungsi paru, dan diatesis perdarahan. Kondisi ini terjadi pada
akhir fase awal dan meningkat pada fase ke dua, tetapi keadaan bisa memburuk
setiap waktu. Kriteria keadaan masuk dalam penyakit Weil tidak dapat didefinisikan
dengan baik.
Manifestasi paru meliputi batuk, dispnu, nyeri dada, sputum darah, batuk darah, dan
gagal napas. Vaskular dan disfungsi ginjal dikaitkan dengan timbulnya ikterus
setelah 4-9 hari setelah gejala awal penyakit. Penderita dengan ikterus berat lebih
mudah terjadi gagal ginjal, perdarahan dan kolap kardiovaskular.
Hepatomegali didapatkan pada kuadran kanan atas. Oliguri atau anuri pada nekrosis
tubular akut sering terjadi pada minggu ke dua sehingga terjadi hipovolemi dan
menurunya perfusi ginjal.
Leptospirosis dapat terjadi makular atau rash makulopapular, nyeri perut mirip
apendisitis akut, pembesaran kelenjar limfoid mirip infeksi mononucleosis. Juga
dapat menimbulkan manifestasi aseptic meningitis, encephalitis, atau ?fever of
unknown origin?. Leptospirosis dapat dicurigai bila didapatkan penderita dengan
flulike disease dengan aseptic meningitis atau disproporsi mialgia berat.
Pada fase kedua manifestasi klinis yang ditemukan sesuai organ yang terganggu.
Gejala umum yang didaptkan adalah adenopathy, rash, demam, perdarahan, tanda
hipovolemia atau syok kardiogenik. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan ikterus,
hepatomegali, tanda koagulopati. Gangguan paru didapatkan batuk, batuk darah,
dispneu, dan distres pernapasan.
Diagnosis
1. Isolasi (pengambilan) kuman leptospira dari jaringan lunak atau cairan tubuh
penderita adalah standar kriteria baku. Urin adalah cairan tubuh yang palih baik
untuk diperiksa karena kuman leptospira terdapat dalam urin sejak gejala awal
penyakit dan akan menetap hingga minggu ke-3. Cairan tubuh lainnya yang
mengandung leptospira adalah darah, cerebrospinal fluid (CSF) tetapi rentang
peluang untuk ditemukan isolasi kuman sangat pendek
2. Jaringan hati, otot, kulit dan mata adalah sumber identifikasi penemuan kuman
leptospira. Isolasi leptospira cenderung lebih sulit dan membutuhkan waktu
diantaranya dalam hal referensi laboratorium dan membutuhkan waktu beberapa
bulan untuk melengkapi identifikasi tersebut.
3. Spesimen serum akut dan serum konvalesen dapat digunakan untuk konfirmasi
diagnosis. Tetapi, konfirmasi diagnosis ini lambat karena serum akut diambil saat 1-
2 minggu setelah gejala awal timbul dan serum konvalesen diambil 2 minggu setelah
itu. Antibodi antileptospira diperiksa menggunakan microscopic agglutination
test(MAT).
4. Metoda laboratorium cepat dapat merupakan diagnosis yang cukup baik. Titer
MAT tunggal sebesar 1:800 pada sera atau identifikasi spiroseta pada mikroskopi
lapang gelap bila dikaitkan dengan manifestasi klinis yang khas akan cukup
bermakna.
Pemeriksaan Penunjang
Penurunan hemoglobin yang menurun dapat terjadi pada perdarahan paru dan
gastrointestinal. Hitung trombosit untuk mengetahui komponen DIC. Blood urea
nitrogen dan serum kreatinin dapat meningkat pada anuri atau oliguri
tubulointerstitial nefritis yang dapat terjadi pada penyakit Weil.
Peningkatan serum bilirubin dapat terjadi pada obstruksi kapiler di hati. Agak jarang
terjadi peningkatan Hepatocellular transaminases dan kurang bermakna, biasanya
<200 U/L. Waktu koagulasi akan meningkat pada disfungsi hati atau DIC. Serum
kreatin kinase (MM fraction) sering meningkat pada gangguan otot.
Pemeriksaan pencitraan yang didapatkan adalah kelainan pada foto polos paru
berupa air space bilateral. Juga dapat menunjukkan kardiomegali dan edema paru
yang didapatkan miokarditis. Perdarahan alveolar dari kapilaritis paru dan ?patchy
infiltrate multiple? yang dapat ditemukan pada parenkim paru. Ultrasonografi traktus
bilier dapat menunjukkan kolesistitis akalkulus.
Pemeriksaan histologis beberapa saat setelah inokulasi dan selama periode inkubasi
leptospira melakukan replikasi aktif di hati. Perwarnaan silver staining dan
immunofluorescence dapat mengidentifikasi leptospira di hati, limpa, ginjal, CNS dan
otot. Selama fase akut pemeriksaan histologi menunjukkan organisma tanpa banyak
infiltrat inflamasi.
Diagnosis Banding
* Dengue Fever
* Hantavirus Cardiopulmonary Syndrome
* Hepatitis
* Malaria
* Meningitis
* Mononucleosis, influenza
* Enteric fever
* Rickettsial disease
* Encephalitis
* Primary HIV infection
Tatalaksana
Terapi antimikrobial adalah pengobatan yang utama pada leptospirosis. Pada infeksi
tidak dengan komplikasi tidak membutuhkan rawat inap. Penggunaan doksisiklin oral
menunjukkan penurunan durasi demam. Rawat inap diperlukan untuk penderita
dengan pemberian terapi penicillin G intravena sebagai pilihan utama.
Penelitian terakhir menunjukkan sefalosporin sama efektifnya dengan doksisiklin dan
penisillin pada pengobatan fase akut. Eritromisin digunakan pada kasus kehamilan
yang alergi terhadap penisillin sedangkan amoksisilin adalah terapi alternatif.
Pada kasus berat mengakibatkan gangguan beberapa organ dan gagal multiorgan. In
addition to antimicrobials, therapy is supportive. Tatalaksana penderita yang paling
penting adalah memonitor dengan cermat perubahan klinis karena berpotensi terjadi
gangguan kolap kardiovaskular dan syok dapat terjadi secara cepat dan mendadak.
Fungsi ginjal harus dievaluasi secara cermat dan diperlukan dialisis pada kasus gagal
ginjal. Pada umumnya kerusakan ginjal adalah reversibel jika penderita dapat
bertahan dalam fase akut. Penyediaan ventilasi mekanik dan proteksi jalan napas
harus tersedia bila terjadi gangguan pernapasan berat.
Pencegahan
1. Penyakit yang secara alami dapat dipindahkan dari hewan vertebrata ke manusia
atau sebaliknya.
2. Ada ± 150 penyakit zoonosa di dunia. Di Indonesia terdapat lebih dari 50
zoonosis antara lain: rabies, pes, anthrax, taeniasis/cysticercosis, JE, leptospirosis,
toxoplasmosis, bovine tubercullosis, schistosomiasis, flu burng, sapi gila dsb
1. JAPANESE ENCEPHALITIS (Radang otak)
Japanese Encephalitis (JE) adalah : Penyakit infeksi virus pada susunan saraf
pusat (SSP) disebarkan melalui gigitan nyamuk dengan perantaraan hewan lain,
terutama babi
GEJALA KLINIS JE :
1. Keluhan awal: demam, nyeri kepala, kuduk kaku, kesadaran menurun , tremor,
kejang
2. Keluhan lanjutan : kaku otot, koma, napas abnormal, dehidrasi, berat badan
menurun
3. Keluhan lain : rf. tendon meningkat, paresis, suara pelan & parau
2. Menurunkan panas:
Dewasa :
Anak <12 th : 0,25-1 g/kg lar 20% IV 20-30’ diulang 4-6 jam
Evaluasi kardiovaskular :
Cegah pseudoaglutinasi :
5. Pemberian antibiotik
UPAYA PENCEGAHAN
A. Penyuluhan masyarakat
B. Pengendalian vektor
C. Hindari gigitan nyamuk
D. Jauhkan kandang babi
E. Vaksinasi
PENGENDALIAN VEKTOR :
□ Konvensional :
□ Semprot ruangan
Vaksin JE
• Otak tikus
• Ginjal hamster
Dalam penelitian :
• Vaksin DNA
Siklus penularan JE
2. LEPTOSPIROSIS
1. Bersifat zoonosis
2. Disebut juga Weil’S Disease, Haemorrhagic Jaundice
3. Merupakan penyakit yang berhubungan erat dengan pekerjaan.
4. Merupakan penyakit reemerging disease
5. Bersifat musiman :
SUMBER PENULARAN
1. Rodent ( Tikus )
2. Sapi, Kambing, Domba, Kuda, Babi
3. Anjing, Kucing
4. Burung
5. Insektivora ( Landak, Kelelawar, Tupai )
CARA PENULARAN :
Kontak dengan bahan yang tercemar air kemih hewan yang sakit leptopspirosis, melalui :
MASA INKUBASI :
DAERAH RAWAN
A. Kriteria
B. Tindakan
PENCEGAHAN
A. Personal hygiene
D. Pada hewan
● rodent control
● vaksinasi hewan
● cara memelihara hewan yang sehat
MANIFESTASI BERVARIASI
● Sub klinik
1. Manifestasi tergantung
● Serovar leptospira
● Usia
● Kerentanan
● Nutrisi
o Ikterus
o Perdarahan
3. PENYAKIT ANTRAKS :
1. Bersifat zoonosis
2. Disebut juga radang limpa, radang kura, malignant pustula, malignant edema,
woolsorters disease, charbon
3. Merupakan penyakit yang berhubungan sangat erat dg pekerjaan .
4. Dikenal sejak zaman mesir kuno, wabah pertama di indonesia tahun 1832 di Kab
Kolaka – Sultra
5. Endemis di DKI, JABAR, JATENG, NTB,NTT, JAMBI, SUMBAR, SULTRA,
SULTENG, dan PAPUA
ETIOLOGI
□ Menghalangi fagositosis
□ Membentuk toksin
□ Kematian
JENIS ANTRAKS:
ANTRAKS KULIT
Papula → ulcus →vesikula →nekrosis (hitam) disebut malignant pustula sebagai tanda
patogonomis antraks.
pada penderita yang rentan kuman menyebar melalui sirkulasi darah menimbulkan
antraks saluran pencernakan, antraks paru , meningitis antraks
ANTRAKS PARU
sub klinis.
Produk toksin dari kuman juga mempengaruhi susunan syaraf pusat yang berakibat pada
sentrum pernafasan
KEWASPADAAN DINI
1. Menjelang idul fitri dan idul adha kebutuhan daging meningkat, sehingga sering
terjadi pemotongan hewan tidak lewat rumah potong hewan (RPH)
2. Perubahan musim dari kemarau ke musim hujan. permukaan tanah yang tererosi
air hujan, maka spora muncul kepermukaan bersama tunas rumput yang kemudian
termakan hewan ternak.
PELAPORAN
Sesuai Undang Undang wabah nomor : 04 tahun 1984 dan permenkes no : 560 tahun
1989, kasus antraks harus dilaporkan dalam 24 jam.
DIAGNOSA
1. Gejala klinik
2. Laboratorium
- mikroskopis
eksudat les
cairan pleura
lumbal
cairan ascites
- Biakan
4. Gunakan sarung tangan atau masker hidung dan mulut, bila tangan atau badan
tercemar bubuk yang diduga mengandung spora antraks , cuci tangan atau mandi
dengan sabun dan air yang mengalir.
5. Masukkan amplop atau bungkusan seluruhnya kedalam kantong plastik yang
kedap udara atau dapat diikat dengan keras, lebih baik bila menggunakan kantong
plastik 2 lapis atau lebih.
6. Masukkan kantong plastik kedalam wadah kaleng / stoples kaca berikut sarung
tangan, masker dan barang – barang lain yang mungkin telah tercemar bakteri
antraks dan beri label “ berbahaya jangan dibuka “
8. Letakkan dos dan stoples dalam ruangan yang tidak banyak digunakan oleh
orang lain atau ruangan khusus yang terkunci.
□ BSE lebih banyak menyerang sapi perah dari pada sapi potong
1. Dunia kesehatan selalu dihadapkan pada fenomena baru setiap kali ilmu
pengetahuan dan teknologi berhasil mengungkapkan sesuatu yang baru seperti
PRION.
2. PRION PROTEIN (PRP) atau biasa disebut PRION adalah sejenis protein
yang diperoleh dari jaringan otak binatang yang terkena penyakit radang otak
yang tidak diketahui sebabnya yang disebut bovine spongiform encephalopathy
3. Prion bukan benda hidup yang lengkap layaknya bakteri, virus ataupun
protozoa.
4. Prion dapat dibedakan dari virus atau viroid karena tidak memiliki asam
nukleat dan oleh karenanya dia tahan terhadap semua prosedur yang bertujuan
mengubah atau menghidrolisa asam nukleat termasuk ensim protease, sinar
ultraviolet, radiasi dan berbagai zat kimia seperti deterjen, zat yang menimbulkan
denaturasi protein seperti obat disinfektan atau pemanasan/perebusan
SAPI GILA :
1. Dari hewan ke hewan, melalui pemberian pakan hewan yang berasal dari hewan
sakit (serbuk tulang dll)
2. Hewan ke Manusia, melalui makanan yang berasal dari hewan (sapi) sakit BSE,
material medis & produk hewan seperti: enzim, kapsul, vaksin yang
menggunakan biakan sel otak yang berasal dari hewan sakit.
3. Manusia ke Manusia, melalui jalur Iatrogenik seperti transplantasi kornea,
penggunaan electrode pada EEG, alat-alat nekropsi terkontaminasi, hormon
pituitary dan transfusi
1. Karena pola konsumsi makan manusia yang hampir memakan seluruh bagian
tubuh sapi/ruminansia termasuk otak dan sop buntut.
2. Importasi daging sapi/atau bahan pakan ternak yang berasal dari negara yang
belum bebas penyakit BSE
3. Importasi bahan-bahan medis yang berasal dari materi sapi/ruminansia
terkontaminasi BSE
PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN BSE/PRION
Pencegahan adalah cara terbaik bagi penyakit BSE/PRION, karena hingga kini belum ada
obatnya. Maka langkah-langkah yang perlu dipertimbangkan:
1. Meminimalisasi resiko pada manusia akibat penggunaan produk & alat medis
yang berasal dari sapi seperti: Seleksi sumber material dari sapi, penggunaan
material dari sapi, kondisi pengumpulan material asal sapi dan besarnya material
asal sapi yang digunakan, cara pemberian/penggunaan material asal sapi
2. Meminimalisasi resiko pada manusia akibat penggunaan produk & alat medis
yang berasal dari manusia seperti:
1). Resiko transmisi dari CJD akibat penggunaan peralatan/ instrumen, hormn
pituitary dan durameter
2). Resiko transmisi dari CJD akibat penggunaan darah dan produk darah
1. Resiko transmisi dari CJD akibat konsumsi produk makanan yang berasal dari
hewan sapi/ruminansia seperti:
PENGOBATAN:
Karena sifat dari agent penyakit ini (PRION) sangat unik di dalam tubuh
penderita tidak ada respon imunologik maka penggunaan obatpun hanya bersifat
SIMPTOMATIS, tidak kausalis.
1. Mengadakan survei dan monitoring ternak sapi pada daerah kantong ternak
3. Sosialisasi pada masyarakat luas terutama konsumen produk asal ternak tentang
bahaya, cara penanganan dan pengendalian penyakit BSE/PRION
4. Melarang importasi ternak, bahan (pakan, medis dan lainnya) yang dapat
menularkan BSE dari negara yang tidak bebas penyakit tersebut.
5. Penegakan Hukum dan aturan yang berlaku setiap kegiatan yang berkaitan
dengan peternakan, khususnya masuknya bahan yang dapat menularkan BSE
6. Melarang penggunaan bahan baku pakan ternak yang terbuat dari tepung
daging dan tulang sapi/ruminansia (meat and bone meal/MBM) yang tercemar
Prion
TENTANG
I. LANDASAN
bahwa sejak awal tahun 2000 sampai saat ini telah terjadi wabah penyakit hewan
menular Penyakit
Mulut dan Kuku (PMK) di beberapa negara Asia, Afrika, Amerika Selatan dan
Uni Eropa.
2. Dengan berpedoman pada ketentuan dari OIE (OIE Animal Health ode) dan peraturan
perundangan
g. Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1997 tentang Karantina Bahan Baku Kulit;
Hewan.
3. Maka dalam rangka penolakan dan pencegahan masuknya PMK ke wilayah Indonesia
telah ditetapkan
tindakan pengamanannya.
A. PELARANGAN MENYELURUH
Mengingat saat ini di beberapa negara Uni Eropa (Inggris, Irlandia, Perancis dan
Belanda) serta di
negara-negara Amerika Selatan (Uruguay, Peru, Brasil dan Argentina) telah terjadi
wabah PMK, telah
ditetapkan bahwa jenis-jenis komoditi hewan, bahan dan hasil hewan serta bahan-bahan
ikutannya yang
berasal dari seluruh Negara Uni Eropa dan negara-negara Uruguay, Peru, Brasil dan
Argentina dilarang
dimasukkan ke Indonesia.
Komoditas hewan, bahan dan hasil hewan serta bahan ikutannya tersebut, sebagai berikut
:
b. Hewan kesayangan seperti anjing, kucing, kuda dan sebangsanya juga hewan
percobaan seperti
d. Bahan asal hewan yaitu daging, susu, semen, embrio dan telur
e. Bahan hasil hewan yaitu kulit, tulang, bulu, wol, tanduk dan kuku yang mentah atau
sudah
diolah.
f. Organ tubuh, kelenjar, protein dan ekstraks dari ruminansia dan babi
g. Bahan ikutan hewan seperti kotoran hewan dan pupuk asal hewan.
a. Bahan baku pakan berasal dari hewan yaitu tepung tulang, daging, darah, dan tepung
bulu.
b. Bahan baku pakan berasal dari biji-bijian, jagung, kacang,kacangan, kedelai dan biji-
bijian
e. Pakan jadi yang mengandung bahan asal hewan untuk hewan kesayangan dan unggas
c. Vaksin, antigen, sera dan antisera yang berkaitan dengan virus Penyakit Mulut dan
Kuku
4. Pelarangan ini berlaku untuk semua komoditi hewan tersebut diatas baik yang
diperdagangkan
B. PELARANGAN SEMENTARA
serta bahan ikutannya tersebut di atas, dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal
ditetapkannya
2. Apabila wabah penyakit dapat dikendalikan dan tidak menjalar ke negara lain, maka
bagi negara-negara
yang masih dalam kondisi bebas atau telah dinyatakan bebas PMK oleh OIE maka
ketentuan pelarangan
menyeluruh akan segera dipertimbangkan untuk dibebaskan kembali selama tidak ada
ketentuan yang
Sedangkan bagi negara-negara yang wabahnya terkendali tetapi belum dinyatakan bebas
penyakit oleh
OIE, maka khusus untuk jenis-jenis produk hewan yang telah melalui pengolahan tertentu
dan tidak
beresiko untuk penularan penyakit serta sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang
berlaku akan
dipertimbangkan untuk dikeluarkan dari pelarangan, yaitu :
(3) Kulit hewan yang sudah diolah (Kulit Wet Blue, Crust dan Kulit Jadi)
(2) Pakan hewan untuk hewan kesayangan yang tidak mengandung bahan asal ternak
ruminanisa
dan babi
c. Susu olahan
Susu olahan berupa susu bubuk, skim, krim, mentega, keju, yoghurt dan susu UHT serta
susu yang
telah diolah dengan bahan makanan seperti coklat dan biskuit yang tidak mengandung
bahan asal
hewan lainnya
(2) Obat dan vaksin yang tidak berkaitan dengan Penyakit Mulut dan Kuku yang dalam
produksinya
(3) Obat-obatan untuk keperluan kedokteran umum dan kepentingan penelitian yang
disesuaikan
di atas yang dikeluarkan dari pelarangan, berlaku pula terhadap bahan-bahan yang berasal
dari negaranegara
C. PEMBEBASAN MENYELURUH
Hewan, bahan asal dan hasil hewan serta bahan ikutannya seperti dimaksud pada butir A,
dapat
bersangkutan telah mendapat pernyataan resmi bebas Penyakit Mulut dan Kuku serta
penyakit hewan
menular lain (daftar A) dari Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office International des
Epizooties).
III. HIMBAUAN
ini dihimbau untuk dapat mentaatinya dan dapat membantu dalam upaya penolakan dan
pencegahan
Demikian surat edaran ini dikeluarkan untuk dapat diketahui dan dimaklumi oleh semua
yang berkepentingan.
ttd.
BUNGARAN SARAGIH