Вы находитесь на странице: 1из 12

RANCANGAN DESAIN SISTEM TATA-AIR

PADA PENGEMBANGAN LAHAN GAMBUT PASANG-SURUT


1
BERWAWASAN LINGKUNGAN
(The Environmentally Design of Water Management System
for Peat Land Development in Indonesia)

Oleh;
1)
Nana M. Arifjaya
2
Dedi Kusnadi Kalsim

ABSTRACT

The peat land development for agriculture in Indonesia has been started since 1960. However the
results of development in term of agriculture production or farmers income are still questionable. By learning
the experiences and traditional technologies developed by Banjarnese and Bugisnese, and personal
experiences in lowland development in several parts of Indonesia, then the Environmentally Water
Management System for Peat land development is proposed in this paper.

Basically the land-use planning should be based on the land suitability map for some crops planned
to be grown, as commonly used by Agronomist and Soil Scientist. Environmental function of peat land in
term of bio-diversity and hydrology are combined together into The Water Management System.

Research results of The Research Center for Soil and Agro-climate (Bogor) showed that the one-
way flow of surface and ground water in agricultural field has an ability to improve chemical properties of soil
by leaching process of toxic substances created by oxidation process in soil profile. The one-way flow system
can be created by using separated channels of irrigation and drainage. The difference of water level in those
channels should be around 30-50 cm. Traditional technology created by Bugisnese farmers in Pulau Kijang
(Riau) are tried to be applied in this proposed design.

The main objective of this paper is to design of Water Management System which has an ability to
maximize the agricultural potential and developing timbaer estate at peat soil by increasing cropping
intensity, control wtaer balance, with minimize the negative impact of environmental by maximize the peat
function as water retention and bio-diversity. The applied control water tabel and zoning area bentween two
rivers and maintain waterbalance it is the key for development the peatlands area.

I. PENDAHULUAN

Hutan rawa gambut Indonesia mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis karena
karakteristik gambutnya, kekayaan biodiversitasnya dan fungis dalam ekosistem global maupun
regional. Indonesia mempuyai rawa gambut sekitar 20 juta hektar, yang setara dengan setengah
dari hutan gambut tropika di dunia. Keberadaa hutan gambut umumnya diapit oleh sungai
sehingga dari karakteristik drainasenya dapat dipandang sebagai satu “unit pulau” yang has yang
membnetuk ‘dome’. Perbedaan kedalam gambut erat kaitannya dengan karakteristik tanah dan
vegetasi yang tumbuh di atasanya.

1) Makalah disampaikan pada wrokshop on Wise use and sustainable peatlands management practices October 13-14,
2003, Bogor, Indonesia.

2) Lab Pengaruh Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, email: nmulyana@telkom.net

3) Laboratorium Teknik Tanah dan Air, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
.E-mail: atau dedkus@telkom.net
1
.
.

Page 1 of 12
Pembukaan lahan gambut pasang-surut atau lahan rendah untuk keperluan pertanian
telah lama dilakukan di Indonesia sejak tahun 1960-an, sedangkan keberhasilannya
masih perlu dipertanyakan. Dengan mengkaji kembali dari pengalaman tradisional suku
Banjar dan Bugis mengelola lahan ini, serta beberapa pengalaman penerapan di areal
HTI selama ini, maka suatu usulan Sistem Tata-Air yang berwawasan lingkungan
diajukan dalam makalah ini.

Pada prinsipnya penataan tata-guna lahan mengacu pada kriteria kesesuaian lahan
untuk beberapa komoditi pertanian yang sudah lama digunakan oleh para ahli tanah dan
agronomi dalam merekomendasikan pembukaan lahan gambut untuk pertanian. Fungsi
ekologis lingkungan dari lahan gambut dalam hal biodiversitas dan sebagai penyangga
air digabungkan ke dalam sistem tata-air yang diajukan dalam makalah ini. Hasil
penelitian Puslitanak yang merekomendasikan sistem aliran satu arah (one way flow) di
tingkat usahatani yang berhasil memperbaiki fungsi pencucian dari zat beracun dengan
saluran pemasok (supply) dan drainase terpisah, digabungkan ke dalam sistem tata-air
yang diajukan ini. Teknologi tradisional bangunan kontrol di daerah pasang-surut yang
sudah dikembangkan oleh suku Bugis di Pulau Kijang (Riau) juga dicoba untuk
diterapkan dalam rancangan ini.

Tujuan dari makalah ini adalah untuk merancang sistem tata-air yang mampu
memaksimumkan potensi pertanian dengan mempertinggi intensitas tanam, produktivitas
tanah dan pola tanam dengan memperhatikan aspek lingkungan yang perlu dijaga serta
memaksimumkan fungsi lahan gambut sebagai penyangga air.

2. FORMULASI MASALAH

Penggunaan lahan yang paling baik adalah memanfaatkan lahan sesuai dengan tingkat
kemampuannya. Penggunaan lahan basah dan gambut harus disesuiakan dengan
berbagai kriteria dan jenis komoditi yang akan dikembangkan. Penggunaan lahan
berdasarkan pada kriteria kesesuaian lahan untuk lahan basah dibedakan atas
peruntukan padi sawah; padi gogo, palawija dan sayuran; tanaman perkebunan dan
buah-buahan serta hutan termasuk didalamnya hutan tanaman. Berdasarkan parameter
ketebalan gambut, kedalaman pirit dan asam organik untuk lahan sesuai dinyatakan
seperti pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Kriteria kesesuaian lahan gambut untuk pertanian1)

Parameter Padi sawah Padi gogo, palawija, Tanaman perkebunan Hutan


sayuran dan buah-buahan
Ketebalan gambut < 130 < 130 < 300 >300
(cm)
Kedalaman pirit (cm) > 50 > 50 > 150
Asam organik (mmol) < 0.5 < 0.1 < 0.1
1)
Sumber: Tim IPB. AMDAL Regional Pengembangan Lahan Gambut 1 Juta Hektar di Kalteng, 1996.

Pada kenyataanya secara umum elevasi lahan di antara dua sungai. memperlihatkan
bahwa semakin jauh dari sungai semakin tebal gambutnya membentuk kubah gambut di
bagian tengah dengan elevasi permukaan gambut sekitar 4 - 8 m di atas elevasi lahan di
tepi sungai. Berdasarkan tipologi lahan terutama yang masuk katagori hidro-topografi
kelas C dan D, maka bentuk tipologi lahan melintang sungai dapat digunakan sebagai
pedoman umum dalam rencana tata-guna lahan untuk pertanian konservasi. Sebagai

Page 2 of 12
contoh tipologi lahan berdasarkan penampang melintang antara beberapa sungai di Blok
A Proyek Lahan Gambut ({LG) Sejuta Hektar seperti digambarkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Penampang lahan gambut antara S. Kapuas dengan Barito

Page 3 of 12
Manajemen air di petakan sawah pada MT1 dapat dikendalikan dengan mengatur elevasi
muka air di saluran (baik supply maupun drainase) sesuai dengan kebutuhan dengan
3
menggunakan tabat . Umumnya dengan dipertahankan elevasi muka air di saluran
sekitar 25 - 50 cm di bawah lahan dapat menghasilkan genangan air di petakan sawah
sekitar 5-10 cm. Akan tetapi kondisi pada musim kemarau memperlihatkan defisit air
sehingga baik tanaman palawija maupun padi pada MT2 memerlukan tambahan air
irigasi. Penggunaan pompa air untuk irigasi padi di tanah mineral pada MT2 sekarang ini
terbentur pada masalah besarnya angka perkolasi (20-50 mm/hari) , sedangkan di tanah
gambut adalah kecilnya kapasitas tanah menahan air (WHC) sehingga aplikasi pompa
umumnya tidak berkelanjutan karena tidak ekonomis.

3. USULAN RANCANGAN SISTEM TATA-AIR

Dalam pengembangan tata air di kawasan hutan gambut harus dibagai berdasarkan
zonasi antar dua sungai, sehingga keberadaan sungai menjadi kunci dalam penentuan
jonasi. Daerah pengembangan dibagi menjadi lima zone yakni Zone 1 sebagai sabuk
hijau (green belt) dengan lebar masing-masing sekitar 1 km sebelah kiri dan kanan
sungai yang lebih ditujukan untuk tujuan konservasi; Zone 2a untuk tanaman pertanian
pangan dengan potensial pola tanam padi-padi-palawija/sayuran; Zone 2b untuk
tanaman pangan dengan potensial pola tanam padi-palawija/sayuran-palawija/sayuran;
Zone 3 untuk tanaman tahunan dan buah-buahan; Zone 4 untuk tanaman hutan.

Skhema pembagian zonase ini dapat dilihat pada Gambar 2. Secara rinci karakteristik
setiap zone pengembangan dan manajemen airnya dapat dilihat pada deskripsi Tabel 2.

Untuk mencegah masuknya asam organik ke zone 3 dan 2, maka perlu dibuat saluran
drainase interseptor (interceptor drainage) pada batas antara zone 4 dengan zone 3 (Int-
1) dan antara batas zone 3 dengan zone 2 (Int-2). Saluran interseptor tersebut dibuat
sejajar garis kontour dengan outlet ke sungai berupa saluran interseptor keliling di luar
areal pertanian (zone 2a, 2b dan 3) yang dikembangkan. Saluran interseptor ini selain
berfungsi untuk mencegat aliran permukaan dan aliran air tanah dari daerah hulu
kemudian dibuang terkendali ke luar areal pertanian, juga dapat digunakan sebagai
pasok air untuk zone 2a dan 2b apabila diperlukan sewaktu-waktu. Oleh karena itu
elevasi muka air (drainage level) di saluran interseptor keliling harus dirancang pada
kedalaman sekitar 20-50 cm di bawah lahan. Untuk keperluan tersebut, maka di
beberapa lokasi saluran interseptor keliling dilengkapi dengan bangunan terjun dan
kontrol berupa stop-log yang dapat mengendalikan elevasi muka air di saluran interseptor
keliling. Bangunan kontrol 1 (bk-1) terletak di batas zone 1 dengan 2a, bk-2 pada batas
zone 2a dengan 2b, bk-3 pada ruas saluran interseptor antara zone 2b dengan zone 3.

Bk-1, bk-2 dan bk-3 berfungsi untuk mempertahankan elevasi muka air di saluran
interseptor keliling sekitar 20-50 cm di bawah lahan pada MT1 dan bersama dengan
saluran drainase juga berfungsi untuk membuang air di petakan sawah pada waktu
pengolahan tanah (awal musim tanam), pengapuran dan pemupukan serta seminggu
sebelum panen. Pada MT2 diharapkan air cukup untuk padi sawah di zone 2a dengan
memasukan pasok air baik dari saluran supply sekunder/tersier maupun dari saluran
interseptor keliling. Apabila tidak memungkinkan secara gravitasi, terpaksa digunakan
pompa daya-angkat rendah (low-lift pump). Pompa jenis ini disebut juga pompa aksial
dengan karakteristik daya angkat rendah tetapi debit besar. Sedangkan pada MT2 di
zone 2b diharapkan air hanya tersedia di saluran untuk tanaman palawija/sayuran
3
Tabat: Bahasa daerah yang berarti bangunan kontrol temporer untuk menaikan elevasi muka air di saluran
handil

Page 4 of 12
dengan menggunakan pompa irigasi daya angkat rendah. Penggunaan pompa air di
zone 2a dan 2b pada MT2 dan MT3, hanya dapat berkelanjutan secara ekonomik apabila
telah dilakukan pengkondisian lahan di zone 2a sehingga laju perkolasi dapat ditekan
menjadi sekitar 2-4 mm/hari, sedangkan di zone 2b telah dilakukan pencampuran tanah
mineral pada tanah gambut sehingga kemampuan tanah menahan air (WHC4) menjadi
cukup tinggi sehingga irigasi palawija atau sayuran dapat dilakukan secara ekonomik
dengan selang irigasi sekitar 1 atau 2 minggu. Pada prinsipnya pada musim hujan
(apabila air dari saluran sekunder/tersier supply cukup menjamin genangan di petakan
sawah sekitar 5-10 cm) elevasi muka air di saluran interseptor dikendalikan pada
kedalaman sekitar 50 cm di bawah lahan, sedangkan pada musim kemarau
dipertahankan setinggi mungkin (sekitar 20 cm di bawah lahan). Di daerah zone 3,
semua saluran berfungsi untuk drainase. Oleh karena itu arah saluran drainase searah
kemiringan lahan menuju pada saluran interseptor (Int-2). Air yang ditampung di Int-2
kemudian digunakan sesuai dengan keperluan untuk memasok zone 2.

Di daerah zone 1dan 2 dibuat saluran Primer/Navigasi yang berfungsi sebagai saluran
utama untuk memasukan air pasang, membuang air drainase pada waktu surut dan juga
sebagai transportasi air. Setiap jarak 400 m melintang saluran primer dibuat saluran
supply sekunder (setingkat handil pada sistem tradisional) yang dilengkapi dengan
bangunan kontrol di bagian pangkalnya. Juga setiap jarak 400 m dibuat saluran drainase
berselang-seling dengan saluran sekunder yang dilengkapi dengan bangunan kontrol di
bagian pangkalnya. Bangunan kontrol di saluran sekunder supply dan saluran drainase
dibuat di lokasi pangkal saluran pada batas antara daerah pemukiman dengan lahan
5
usahatani. Tipe konstruksi bagunan kontrol ini berupa gorong-gorong (blombong ),
dengan daun pintu ditempatkan di bagian hulu dan hilir tergantung keperluannya. Untuk
saluran sekunder supply daun pintu diletakkan di sebelah hulu sehingga berfungsi
memasukan air pasang dan menahan air surut sehingga elevasi muka air di saluran
tersebut dapat dipertahankan setinggi mungkin. Sedangkan untuk saluran drainase
dipasang sebaliknya di bagian hilir yang berfungsi menahan air pasang dan membuang
air pada waktu surur sehingga mempertahankan elevasi muka air serendah mungkin.
Dengan adanya beda elevasi muka air antara saluran sekunder dengan saluran drainase
(sekitar 0,5 m), maka diharapkan terjadi aliran air tanah satu arah (one way flow)
sehingga proses pencucian tanah dapat berlangsung dengan baik.

4
WHC: Water Holding Capacity. Kemampuan tanah menahan air pada kapasitas lapang dan titik layu
permanen
5
Blombong: bahasa Bugis untuk jenis pintu air tipe gorong-gorong telah biasa berhasil digunakan di Pulau
Kijang, Indragiri Hilir, Riau. Pengalaman di Riau membuktikan bahwa tipe gorong-gorong lebih tahan
terhadap gerusan tanah lapisan bawah, dan jenis kayu resak akan lebih tahan lama pada kondisi terus-
menerus terendam.

Page 5 of 12
Tabel 2. Pembagian zonase tata-guna lahan, sistem tata-air yang diajukan dan operasionalnya
Zone Zone 1 Zone 2a Zone 2b Zone 3 Zone 4
Karakteristik Sekitar tanggul Tanah mineral bergambut, pirit >50 cm, Tanah gambut < 130 cm, pirit >50 cm, Tanah gambut 130-300 cm, Tanah gambut > 300 cm
lahan sungai, tanah perkolasi tinggi perkolasi tinggi, WHC rendah pirit >150 cm
mineral,
kedalaman pirit
<50cm atau >
50 cm
Kesuaian Sabuk hijau Padi sawah 1 x/tahun, dapat diintensifkan 2 Musim hujan: Padi sawah/padi gogo; musim Tanaman tahunan perkebunan, Hutan alami, penghutanan
lahan untuk (green belt), x/tahun dengan pengkondisian lahan kemarau: palawija, sayuran buah-buahan kembali dengan tanaman
tanaman (pemadatan sub-soil) pohon asli setempat
pertanian tahunan buah-
buahan, Taman
tepi sungai
Sistem Tata- Saluran saluran drainase dan saluran saluran drainase dan saluran sekunder/tersier saluran drainase dengan Saluran interseptor di bagian
Air drainase utama sekunder/tersier supply , slope minimum, supply, slope minimum, bangunan kontrol interseptor di pangkal (Int-2) pangkal (Int-1) untuk
bangunan kontrol (blombong) di pangkal (blombong) di pangkal saluran (batas areal dan ujung (Int-1) untuk membuang asam organik dari
saluran (batas areal pemukiman) . Bk 1 di pemukiman). Bk-2 dan bk-3 di saluran membuang asam organik ke aliran air-tanah daerah hutan.
saluran interseptor keliling untuk interseptor keliling untuk mengendalikan luar areal zone 2.
mengendalikan elevasi muka air di saluran elevasi muka air di saluran interseptor pada
interseptor pada waktu musim hujan dan waktu musim hujan dan musim kering
musim kering
Manajemen terbuka Awal MT1 selama pengolahan tanah, pintu Awal MT1 selama pengolahan tanah, pintu Awal MT1 air dalam saluran Awal MT1 air dalam saluran
Air pengaruh (bk-1) dibuka untuk flushing asam-asam. (bk-2 dan bk-3) dibuka untuk flushing asam- interseptor yang mengandung interseptor yang mengandung
pasang-surut air Selanjutnya pintu ditutup atau dioperasikan asam. Selanjutnya pintu bk-2 dan bk-3 ditutup asam organik dibuang ke luar asam organik dibuang ke luar
sungai untuk mendapatkan elevasi muka air di atau dioperasikan untuk mendapatkan elevasi areal zone 2. Pada awal MT 2 areal zone 2. Pada awal MT 2
saluran sekitar 30 cm di bawah lahan. Pintu muka air di saluran sekitar 30 cm di bawah elevasi muk a air di saluran elevasi muk a air di saluran
bk-1 dibuka lagi pada waktu 1-2 minggu lahan. Pintu dibuka lagi pada waktu 1-2 interseptor dipertahankan interseptor dipertahankan
menjelang panen MT1. Bangunan kontrol minggu menjelang panen MT1. Bangunan setinggi mungkin untuk setinggi mungkin untuk
(blombong) di saluran drainase dan saluran kontrol (blombong) di saluran drainase dan memasok kebutuhan air di memasok kebutuhan air di
supply sekunder berfungsi secara otomatis. saluran supply sekunder berfungsi secara Zone 2. Zone 2.
Awal MT2 pintu bk-1 dibuka selama otomatis.
pengolahan tanah. Selanjutnya pintu bk-1 Awal MT2 pintu bk-2 dan bk-3 dioperasikan
ditutup untuk menampung air dari bagian sesuai dengan kebutuhan, dibuka selama
hulunya (Zone 3 dan 4). Kalau perlu pengolahan tanah, selanjutnya pintu ditutup
pompanisasi untuk tanaman padi MT2 dan untuk menampung air dari bagian hulunya
palawija MT3. Bangunan kontrol (blombong) (Zone 3 dan 4). Kalu perlu pompanisasi untuk
berfungsi secara otomatik tanaman palawija/sayuran MT2 dan MT3.
Bangunan kontrol (blombong) berfungsi
secara otomatik

Page 6 of 12
Gambar 2. Profil Melintang Elevasi Lahan dan Pembagian Zonase Pengembangan Pertanian

Page 7 of 12
4. Mepertahankan Resapan Air dan Pengembangan HTI di lahan gambut

Kawasan bergambut yang berfungsi sebagai daerah resapan air bagi daerah di bawahnya
adalah daerah pada bagian puncak kubah gambut (peat dome), yang dari segi topografi
merupakan daerah atas dan perlu dilindungi supaya fungsi hidrologisnya dapat
dipertahankan. Fungsi hidrologisnya adalah menyerap dan menyimpan air pada musim
hujan sehingga banjir akibat limpasan permukaan (runoff) di daerah bawahnya dapat
dikendalikan, dan melepasnya secara perlahan-lahan dalam bentuk aliran air bawah
permukaan pada musim kemarau sehingga kedalaman airtanah dan kebakaran hutan di
daerah bawahnya dapat dikendalikan. Secara skhematis penampang kubah gambut di
antara dua buah sungai dapat digambarkan seperti pada Gambar 3.

Besarnya nilai L dan X1 serta X2 merupakan batas dimana luasan Kawasan Lindung perlu
dipertahankan supaya fungsi perlindungannya untuk kawasan budidaya HTI di bawahnya
dapat terjamin keberlanjutannya. Besarnya kemampuan menyimpan air di kubah gambut
secara volumetrik tergantung pada besarnya porositas tanah gambut dan beda elevasi
antara E1 dan E2. Porositas tanah gambut tergantung pada tingkat kematangan tanah
gambut. Di daerah kubah gambut umumnya kematangannya rendah (Fibrik) karena lahan
sering tergenang dengan proses oksidasi yang terhambat. Sifat fisik tanah gambut pada
tingkat kematangan fibrik adalah nilai porositas 80% ~ 90% volume, lengas tanah pada
kapasitas lapang sekitar 45% volume, berat jenis 0,2 gr/cm3, permeabilitas sekitar 53 – 69
cm/hari (rata-rata 61 cm/hari).

Kapasitas maksimum penyimpanan air dapat dihitung sebagai berikut: Kapasitas


menyimpan air = (E1 - E2) x FB x L x n ; dimana FB adalah faktor koreksi bentuk yang
besarnya sekitar 0,6 dan n adalah angka total porositas rata-rata (80% ~ 90%); E1:
elevasi lahan puncak kubah; E2: elevasi muka air di saluran paling atas. Nilai kapasitas
maksimum penyimpanan air tersebut dalam satuan m3 per m panjang. Lengas tanah
gambut pada kapasitas lapang pada kondisi vegetasi hutan alami adalah sekitar 45%
volume, sehingga dari total volume air yang disimpan pada musim hujan (n) sekitar 50%
nya akan dilepas secara gravitasi sebagai aliran air bawah permukaan tanah ke daerah di
bawahnya. Jumlah air yang dilepas dari kubah gambut pada musim kemarau harus sama
atau melebihi dari jumlah air yang diperlukan untuk memenuhi defisit air pada musim
kemarau di bagian bawahnya. Sehingga dengan demikian persamaannya menjadi seperti
persamaan /1/. Flux aliran airtanah lewat bawah permukaan dapat dihitung dengan
menggunakan rumus Darcy seperti pada persamaan /2/.

( X 1 + X 2 ) × Defisit air pada MK ≤ (E1 − E 2 ) × FB × L × n × 0,50 /1/

(E1 − E 2 )
Flux Aliran Air bumi = q (m / hari ) = × Permeabilitas /2/
0,5 × L

Page 8 of 12
L
X1 X2
E1

E2
E le v a s i m u k a a ir
d i k a na l
T eba l
T a na h G a m b u t T an a h G aGm
amb buut t
S ungai

T an a h M in era l

Gambar 3. Skhematisasi profil kubah gambut sebagai daerah resapan air di antara dua buah sungai

Keterangan:

L : Lebar kubah gambut yang dilindungi; X1 dan X2 : lebar lahan gambut pada kaki kubah
gambut yang dibudi-dayakan untuk HTI; E1: Elevasi puncak kubah gambut; E2: Elevasi muka air di
kanal tertinggi pada lahan HTI; n: total porositas (%); FB: Faktor Bentuk (0,6).

Penurunan tanah gambut (subsidence) di lokasi HTI diduga dengan persamaan


dari Segeberg (1960):
S = k × D × T 0,707 /3/
1
k = 0,05 + /4/
Ld
dimana S : dugaan subsidence (m), k: koefisien, Ld: Volume bahan kering (dalam %), D: elevasi
muka air saluran drainase di bawah permukaan tanah (m), T: tebal awal tanah gambut (m).

Dengan menggunakan rumus diatas yang diaplikasikan di areal HTI PT RAPP Riau, di
daerah Palalawan dengan menggunakan parameter sebagai berikut: T = 5 m, D = 1 m
dan Ld = 10 (untuk kematangan tanah Fibrik-Hemik), maka dugaan S = 0,5 m. Apabila
diperhitungkan kemungkinan terjadinya kebakaran, maka total penurunan tanah
(subsidence) sekitar 1 meter akan terjadi di areal HTI, atau elevasi lahan menjadi sekitar
+ 14,0 m. Dengan demikian elevasi muka air di kanal paling ujung adalah sekitar + 13,0
m, sedangkan elevasi lahan gambut di areal HSA dan Zone Penyangga tetap sekitar +
16,0 m (tidak terjadi subsidence).

Dengan menggunakan persamaan /1/, maka E1 = 16, E2 = 13, L = 2.500 m, Defisit air
pada MK = 188 mm (0,188 m); n = 0,90. Dapat dihitung rasio L : (X1+X2) = 0,188 : 0,81 =
0,232 ; maka besarnya X1+X2 = (1:0,232) x 2.500 m = 10,78 km, sedangkan Lebar lahan
HTI yang direncanakan adalah sekitar 21,5 km. Dengan demikian lebar batas zone
penyangga dan HSA belum memenuhi syarat sebagai daerah resapan air untuk bagian
bawahnya, yakni HTI yang akan dibuka.

Page 9 of 12
Lebar L minimum dapat dihitung sebagai berikut :

• Jumlah lebar kawasan Lindung (L) dengan lebar HTI (X1+X2) adalah 2,5 km +
21,5 km = 24 km
• Rasio L : (X1+X2) = 0.232 : 1, maka L = 0,232/1,232 x 24 km = 4,5 km; (X1+X2)
= 1/1,232 x 25 km = 19,5 km
• Lebar kawasan konservasi L = 4,5 km terdiri dari 1,5 km HAS dan 3,0 km zone
penyangga.

Dengan demikian zone penyangga harus dirancang minimum selebar 3,0 km,

Pengelolaan air (water management) di lahan gambut merupakan kunci keberhasilan


keberlanjutan usaha HTI di lahan gambut. Prinsip utama pengelolaan air di lahan gambut
adalah: “elevasi muka air di saluran pembuang harus dipertahankan setinggi mungkin,
tapi masih mampu memberikan kedalaman airtanah optimum untuk pertumbuhan
tanaman”. Artinya jika tanaman cukup memerlukan kedalaman air tanah sekitar 30 cm,
maka elevasi muka air di saluran tidak perlu diturunkan sedemikian rupa sehingga
kedalaman airtanah di lahan melebihi 30 cm.

Kedalaman airtanah minimum yang masih memungkinkan pertumbuhan tanaman yang


baik disebut sebagi kedalaman airtanah optimum. Kedalaman airtanah yang lebih besar
dari optimum ini mungkin berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman dan
kematangan tanah tetapi sangat berpengaruh negatif terhadap keberlanjutan tanah
gambut karena dapat meningkatkan laju penurunan lahan (subsidence) dan rawan
terhadap kebakaran pada musim kemarau.

Sebagai sarana transportasi dalam kaitannya dengan usaha mempertahankan air di kanal
setinggi mungkin, maka di beberapa ruas tertentu dibangun suatu bangunan “ship lock”
dan bangunan pelimpah (Foto1 dan 2). Ship lock berfungsi untuk melewatkan
kapal/tongkang dan bargas pengangkut kayu dimana pada lokasi tersebut terdapat
perbedaan elevasi muka air di kanal sekitar 1 meter.

Secara umum kriteria pengelolaan air yang baik pada HTI di lahan gambut dapat
digariskan sebagai berikut:

1. Kedalaman air tanah untuk tanaman Accacia dimulai pada waktu tanam pada
kedalaman sekitar 20 cm, kemudian setelah berumur 1 tahun diturunkan menjadi 30
cm, untuk selanjutnya diturunkan setiap 10 cm untuk setiap tahun pertambahan umur
tanaman. Akhirnya pada umur 6 sampai 8 tahun kedalaman air tanah dipertahankan
sekitar 80 cm di bawah permukaan tanah. Dengan kondisi ini diharapkan proses
pematangan tanah gambut akan berjalan dengan baik, dan penurunan permukaan
tanah (subsidence) akan dapat dikendalikan sekitar 30 cm setelah tanaman berumur 8
tahun (daur pertama). Pada daur kedua kedalaman air tanah dapat dikembalikan lagi
pada kondisi awal sekitar 20 cm di bawah permukaan tanah, selanjutnya diperlakukan
seperti pada daur pertama. Dengan cara ini penurunan permukaan tanah pada daur
ke dua akan berkurang daripada daur ke satu sekitar 15 cm. Dengan demikian
penetapan lahan dengan kelompok umur tanaman yang sama (blok kebun) harus
sesuai dengan zone pengelolaan air, elevasi lahan dan level drainage (elevasi muka
air di kanal) yang dirancang.

Page 10 of 12
2. Untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan maka setiap tahun menjelang musim
kemarau pada awal Juni atau akhir Mei, kedalaman air tanah diusahakan setinggi
mungkin sekitar 0 - 10 cm di bawah permukaan tanah. Sehingga pada musim kemarau
kedalaman air tanah akan turun sekitar 50 cm menjadi sekitar 50 - 60 cm di bawah
permukaan tanah, masih cukup mampu menghambat meluasnya kebakaran hutan6.
Elevasi muka air tanah di atas daerah perakaran tanaman selama 1 sampai 2 bulan
nampaknya tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman Accacia. Kondisi pada musim
kemarau panjang seperti pada tahun 1997 (periode ulang 10 tahun), karena jumlah
kumulatif defisit air sebesar – 385 mm, maka penurunan airtanah yang terjadi sekitar
satu meter. Pada kondisi ini pasok tambahan dari daerah resapan di atasnya menjadi
sangat penting

5. Teknologi Pemantauan Tinggi Muka Air yang Efektif

Perhitungan neraca air menjadi kunci dalam pengelolaan dan pamanfaatan lahan basah.
Untuk monitoring kondisi tata air, maka diperlukan perlatan dan aplikasi teknologi yang
mampu memonitor air secara kontinyu. Untuk itu diperlukan peralatan yang canggih yang
mampu merekam curah hujan, tinggi muka air dan volume air dalam saluran secara akurat
setiap saat. Untuk menjawab tantangan tersebut dewasa ini telah tersedia peralatnyang
dibutuhkan untuk kegiatan pemantaun tersebut diantaranya:

1. Pemantau curah hujan secara loger


2. Pemantau tinggi muka air secara loger
3. Pemantau kecepatan secara kontinyu
4. Pemantauan kualitas air

Untuk menjawab permasalah tersebut dewasa ini telah tersedia paket teknologi dari
GLOBAL WATER-USA dan OTT-German dengan peralatan yang mampu merekam semua
parameter tersebut dengan murah dan mudah.

Gambar 4. Peralatan yang dapat digunakan untuk monitoring tinggi muka air, curah hujan
dan kualitas air dengan sitem loger

6
Kumulatif defisit 188 mm = 0,188 m dibagi dengan 0.4 kapasitas lapang = 0,47 m

Page 11 of 12
6. Kesimpulan dan Saran

6.1 Kesimpulan

A). Kawasan bergambut yang berfungsi sebagai daerah resapan air bagi daerah di
bawahnya adalah daerah pada bagian puncak kubah gambut (peat dome), yang
dari segi topografi merupakan daerah atas dan perlu dilindungi supaya fungsi
hidrologisnya dapat dipertahankan. Sehingga pembagian antara kawan lindung
dan budidaya harus disesuiakan dengan kondisi tanah gambut, pola drainase dan
jenis komoditi yang akan diterapkan

B) Pembagianzonasi horizontal antar dua sungai, dengan memperhatikan kedalama


gambut, kedalaman muka air tanah dan keaneka ragaman biodiversitas
merupakan faktor kunci dalam pegembangan gambut yang berwawasan
lingkungan, sehingga panataan kawasan disesuaikan dengan daya dukung lahan
dan mampu memelihara kelestarian lingkungan

C) Mempertahankan dan mengatur ketinggian air pada berbagai umur tanaman HTI
akan mengurangi tingkat penurunan tanah yang drastis, serta tetap menjaga
pertumbuhan yang optimum sehingga pengelolaan air di lahan gambut
merupakan kunci keberhasilan keberlanjutan usaha HTI di lahan gambut. Prinsip
utama pengelolaan air di lahan gambut adalah: “elevasi muka air di saluran
pembuang harus dipertahankan setinggi mungkin, tapi masih mampu
memberikan kedalaman airtanah optimum untuk pertumbuhan tanaman”.

D) Pemantauan tinggi muka air, dan pengaturan pola tanam dan pemantauan neraca
air secara kontinyu merupakan salah satu solusi dalam mengelola lahan gambut
secara optimal.

6.2 Saran

Untuk lebih memberikan hasil yang nyata maka gagasan dan pola pengembangan lahan
gambut ini diujicoba di lapangan serta dilakukan pemantauan neraca air secara kontinyu
sehingga gagasan ini mampu diaplikasikan dalam rangka pengelolaan lahan gambut di
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Heun, J.C., 1993. Water Management in Indoensian Low-lands: Policy Quetions and
Technical Issues. International Symposium on Lowland Development, Jakarta
September 1993.
Dedi Kusnadi Kalsim, 1996. Kearifan Teknologi Tradisional Dalam Manajemen Air di
Daerah Rawa Pasang-Surut Pulau Kijang, Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau.
Seminar Tahunan Perkembangan Penelitian Teknik Pertanian. Kerjasama JICA-IPB,
CREATA-IPB. Bogor, 18 Juni 1996.
IPB. AMDAL Regional Pengembangan Lahan Gambut 1 Juta Hektar di Kalteng, Nopember
1996.
Soil Research Institute, 1976. Peat and Podzolic Soil and their potential for agriculture in
Indonesia. Procceedings ATA 106 Midterm Seminar, Tugu Oktober 13-14, 1976

Page 12 of 12

Вам также может понравиться