Вы находитесь на странице: 1из 7

KRONOLOGIS PEMERINTAHAN SBY

Setahun Pemerintahan Susilo Bamabang Yudhoyono tidak banyak perubahan yang bisa
menyenangkan rakyat, malah negara dituding makin korup, para elit negeri ini sibuk dengan
kekuasaannya, kemiskinan dimana-mana pemuda desa tidak bekerja, susu tidak terbeli, harga-
harga makin mencekik leher rakya. Corruption Watch (ICW) menilai Pemerintahan SBY-BOED
telah gagal melaksanakan agenda pemberantasan korupsi dalam setahun pertama. “Banyak hal
yang gagal, terutama agenda pemberantasan korupsi,” ujar peneliti bidang hukum ICW Donal
Fariz kepada INILAH.COM, Jakarta, Rabu (20/10). Indikasi dari kegagalan tersebut yaitu
terjadinya kriminalisasi dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dimana saat itu katanya, Presiden melalui Kejaksaan Agung dinilai mengeluarkan
keputusan yang ambigu dalam menindaklanjuti hasil rekomendasi dari Tim Delapan. Di sisi lain,
Jaksa Agung dinilai tidak mampu membenahi institusinya secara internal.Tidak hanya
Kejaksaan, kinerja Kepolisian RI juga tidak berjalan dengan baik. Polri tidak mampu menangani
kasus rekening tidak wajar sejumlah petingginya. “Reformasi internal Polri juga tidak terjadi,”
terang Donal. Donal juga menjelaskan sebenarnya, Lembaga Swadaya Masyarakat pernah
menggelar aksi supaya Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri untuk diganti. “Saya pikir
lembaga pemerintah bidang hukum tidak ada kesuksesannya, justru banyak kelemahannya,” kata
Donal.
Memperingati hari Kebangkitan Nasional setiap tahunya sering kita kita laksanakan dan
tepat tanggal 20 Mei 2011 kita memperingati Kebangkitan Nasional yang ke 103 Tahun.
Katanya tanggal 20 Mei adalah hari kebangkitan Nasional, namun realita yang terjadi bahwa
Indonesia masi jauh dari kebangkitan dan kini Indonesia telah mati. Dalam aksi Himpunan
Mahasiwa Islam Cabang Gorontalo, mengangap bahwa Indonesia telah mati, ini terbukti dari
beberapa fakta yang terjadi di Indonesia dimana dalam bidang ekonomi saja Indonesia telah
terjajah. Ekonomi kita sudah banyak bergantung pada Negara-negara asing, sehingga jagan heran
ketika sumber daya alam Indoneisa selalu di kuras dan badan usaha milik negara sekarang ini
bukan lagi di monopoli oleh pemerintah namun sebagian sudah diserahkan pengelolaanya
kepada swasta, Indonesia bukan tidak mampu untuk mengelola sumber daya alam, karna putra-
puti Indonesia sudah banyak yang profesional dalam bidangnya dan Indonesia memilik banyak
Insinyur-insiyur yang handal tetapi karna ekonomi kita seudah terlalu banyak di campuri dan
banyak bergantung terhadap asing sehingga yang mengelolah SDA Indonesia adalah asing.
Bidang pendidikan, bisa dilihat bahwa orientasi perguruan tinggi bukan lagi melahirkan
tenaga-tenaga pendidik yang mencerdaskan anak didik, tetapi lebih berorientasi pada pasar
bagaimana output dari pendidikan bisa menjadi pelayan dan robot bagi kepentingan industri dan
usaha-usaha lainya. Dan arus dalam dunia pendidikan menyebabkan terjadinya komersial yang
berujung mahalnya biaya operasional pendidikan.

Pemberantasan korupsi di Indonesia masih tebang pilih, dimana hanya pihak-pihak


tertentu saja yang dihukum, ketika masyarakat kalangan bawah yang bersalah salah satu contoh
adalah ketika masyarakat bawah mencuri ayam maka akan dihukum seberat-beratnya, akan tetapi
ketika elit-elit politik yang melakukan korupsi yang mengambil uang rakyat sampai trliunan
rupian bahkan bisa lolos dari jerat hukum, hukum di negara kita telah mati. Beberapa kasus
korupsi dengan kerugian Negara yang sangat besar, tak diproses, seperti kasus BLBI yang
merugikan Negara 144,5 Trliun, Bank Century 6,7 Trliun, dan oknum-oknum bupati, gubenur,
menteri, pejabat Negara lain, yang jelas-jelas melakukan tindakan korupsi tak disentuh dan
diperoses secara adil sesuai dengan asas equlity before law. Kejaksaan, polisi tidak mampu
mengadili oknum-oknum perampok uang rakyat yaitu koruptor.
Dengan demikian berdasarkan fakta-fakta diatas bias dikatakan 103 tahun kebankitan
Bangsa, tak ada perubahan yang berarti dalam kehidupan masyarakat bernegara. Maka dari tiu
kita katakan bahwa pemerintahan SBY-Budiono telah gagal.
Inpres soal pemberantasan korupsi, mafia pajak dan mafia hukum tidaklah berguna dan
gagal total pelaksanaannya karena tidak ada komitmen, kemauan, keberanian dan kemampuan
dari pejabat tertinggi sampai terendah dalam melaksanakannya. SBY-Boed punya visi namun
tak punya komitmen dan integritas serta tersandera oleh kasus-kasus sehingga gagal memimpin
pemberantasan KKN, gagal membasmi mafia, dan rakyat sangat kecewa. Demokrasi kita
demokrasi kriminal dimana rakyat terlalu miskin sementara para pemimpin mengumpulkan uang
untuk menyogok rakyat demi meraih suara untuk berkuasa.
Demikian pandangan mantan Menko Perekonomian Dr Rizal Ramli, mantan Ketua KPK
Taufikurahman Ruki dan Direktur Pukat FH-UGM Zainal Arifin Muchtar LLM dalam dialog di
Metro TV, Sabtu (26/3/11). Rizal Ramli menyatakan parpol-parpol harusnya dibiayai Negara
agar demokrasi dan parpol tidak dibajak oleh pemodal dan cukong, agar tidak diselewengkan
demi keuntungan segelintir elite dan oligarki. Para pembicara juga melihat pemberantasan
korupsi gagal era SBY-Boed menyentuh pejabat negara di tingkat pusat, seperti kasus Century,
gagal membasmi para pelaku mafia pajak, mafia hukum dan sebagainya.
Taufikurahman Ruki dan Zaenal menilai, gagalnya pemberantasan korupsi ini tak luput
dari lemahnya komitmen para penyelenggara Negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) serta
keterlibatan mafia peradilan, mafia hukum . Dan mafia ini, tidak hanya terdiri dari jaksa, tapi
juga pengacara dan hakim. Jika mafia hukum ini belum dapat ditindak, maka inpres dan penegak
hukum pasti percuma dan sia-sia. Pemerintahan SBY-Boed dinilai tidak memiliki kemajuan
berarti dalam pemberantasan korupsi. Bahkan dinilai gagal dalam mewujudkan Indonesia yang
bersih. ‘’Dari pemimpin tertinggi sampai terendah di semua lembaga tak ada keberanian dan tak
ada komitmen membasmi korupsi, jadi tak berani dan tak mau basmi korupsi,’’ kata
Taufikurahman.
Zaenal nampak pesimis bahwa pemerintahan SBY-Boed mampu mengatasi masalah
korupsi karena lebih banyak berwacana, tapi lemah dan buruk pelaksanaannya.

Indonesia Corruption Watch (ICW) meragukan komitmen pemerintah untuk


memberantas korupsi. Hal ini terlihat dari pemilihan dua penegak hukum yakni Kapolri Jenderal
Timur Pradopo dan Jaksa Agung terpilih, Basrief Arief. Keduanya dinilai tidak terlalu cemerlang
dan hanya memiliki jejak rekam yang biasa-biasa saja. “Pemilihan Basrief yang berlatar biasa-
biasa, tampaknya tidak ada harapan akan ada shock therapy akan kasus-kasus korupsi,” ucap
Febri Jumat (26/11/2010).
Ia mengungkapkan keheranannya akan pemilihan pimpinan lembaga penegak hukum
yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang cenderung memilih nama yang tidak
dijagokan publik, atau bahkan kurang dikenal publik. “Waktu itu tiba-tiba presiden pilih Timur
jadi Kapolri sekarang juga Basrief, yang tidak terlalu menonjol. Sepertinya presiden kita itu suka
yang biasa-biasa saja. Ini menunjukkan presiden tidak komit memberantas korupsi,” ungkap
Febri.

Sesuai janjinya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya mengumumkan Basrief


Arief sebagai Jaksa Agung definitif menggantikan Hendarman Supandji. Nama Basrief Arief
sendiri memang tidak terlalu santer terdengar sebagai kandidat jaksa agung, tidak seperti Plt
Jaksa Agung saat ini, Darmono, yang dicalonkan kuat dari kalangan internal kejaksaan. Namun,
Basrief Arief juga berasal dari kejaksaan. Di era jaksa agung Abdul Rahman Saleh, ia menjabat
sebagai Wakil Jaksa Agung. Setelah itu, ia menjabat sebagai Ketua Tim Pemburu Korupsi yang
dibentuk Kemenkumham, dan kemudian pensiun di tahun 2007.
Anggota BK dari Fraksi Golkar menolak memproses aduan Indonesia Corruption Watch
(ICW) tentang dugaan Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Aziz Syamsuddin membekingi
penyelundupan minuman keras dan smartphone BlackBerry. “Sebagai anggota BK DPR saya
tidak akan menanggapi laporan pihak manapun tanpa disertai bukti hukum,” kata anggota BK
Edison Betaubun saat dihubungi, Kamis (24/3/2011).
Menurut Edison, laporan ICW tersebut tidak berdasarkan bukti melainkan tuduhan
sepihak. “Orang juga jenuh dilaporkan ICW karena datanya tidak ada. ICW melapor hanya
berdasar kecurigaan,” sambungnya. Anggota Komisi III ini berpendapat pengaduan ICW hanya
untuk menciptakan persepsi publik yang negatif terhadap politisi Golkar. “Itu hanya kepentingan
ICW menggiring opini publik. Tetapi tidak pernah laku,” tandasnya

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya berbicara soal kasus Gayus Tambunan.
Sebanyak 12 instruksi diberikannya kepada seluruh instansi penegakan hukum agar kasus Gayus
dituntaskan dan kasus-kasus serupa di masa mendatang tak terulang. Apakah instruksi ini akan
efektif? Berikut wawancara dengan Direktur Pukat UGM, Zainal Arifin Mochtar sebagaimana
yang dikutip dari republika:
Bagaimana Anda menilai pidato Presiden SBY tentang penegakan hukum?
Pidato itu sedikit revolusioner, ada teroboson untuk bekerja. Tapi, SBY masih lebih banyak
bicara tentang reaksi masyarakat terhadap kasus Gayus. Kasus lainnya bagaimana? Seharusnya,
pemerintah tidak hanya mendorong kasus Gayus.
Kasus Gayus sudah bergulir lama, kenapa Presiden SBY baru berbicara sekarang?

Kan setiap aksi ada reaksi. Untuk pidato kali ini bagi saya menarik.
Ini merupakan aksi terhadap reaksi yang sangat kuat dari masyarakat untuk diselesaikan
oleh SBY. Artinya, desakan publik sangat tinggi. SBY harus tampak sebagai seroang presiden
termasuk pada kejaksaan dan polisi.
Paling tidak dari sisi bahasa, itu menggembirakan. Ada instruksi yang keras dan menjanjikan.
Tapi, kalau motifnya apa, kenapa baru dilakukan sekarang, itu wallahu’alam. Perlu diingat,
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 (tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi), itu gagal.
Tapi kali ini bahasanya bagus, jelas, memerintahkan. Tinggal ada dua kendala; pertama,
kemauan aparat yang diperintahkan; kedua, kemampuan presiden untuk mengontrol yang
diperintahkannya itu.
Kalau satu dari dua itu tidak match, akan sulit. Kalau bawahan tidak mau melakukan,
SBY harusnya mampu menjewer mereka. Tapi jika bawahan mau melakukan, tergantung kontrol
SBY.
Apakah bisa dikatakan tindakan SBY itu telat?
Saya tidak bicara soal telat. Yang dilakukan SBY ini memang merupakan langkah yang
sudah ditunggu sekian lama. Langkah yang sudah wajib dilakukan SBY sedari dulu tapi baru
dilakukan sekarang. Namun, lebih baik terlambat shalat daripada tidak shalat sama sekali. Apa
yang dilakukan SBY sudah //on the track// walaupun dianggap telat, tapi ini penting untuk
dilakukan. Ini menjadi aksi terhadap reaksi yang kuat dari masyarakat.
SBY memberi lampu hijau untuk dilakukannya pembuktian terbalik. Apakah akan efektif untuk
menuntaskan kasus Gayus atau kasus hukum lainnya?
Sebenarnya tinggal mau dilakukan atau tidak. Di aturan tindak pidana pencucian uang,
pembuktian tebalik sudah ada. Tapi tidak pernah dipakai oleh hakim dan jaksa. Presiden
memerintahkan untuk menggunakan ini (pembuktian terbalik), selama ada aturannya tapi tidak
pernah dipakai. Pembuktian terbalik itu adalah instruksi untuk digunakan. Sebenarnya
pembuktian terbalik ini bisa dipakai pada kasus yang lebih luas. Kalau mau berani, cara ini tidak
hanya diterjemahkan untuk pencucian uang.
Presiden memberikan waktu satu pekan untuk memberhentikan atau memutasi pejabat yang
terindikasi menyimpang. Sebeapa efektifkah untuk memberantas korupsi?
Pasti bisa membersihkan. Tergantung mau dilakukan atau tidak. Tergantung bawahan SBY, mau
melakukan atau tidak. Satu pekan, menurut saya, itu bisa dilakukan. Tapi, mau tidaknya
mengerjakan, itu yang penting. Kemudian mampu tidak SBY untuk menjewer yang tidak mau
melakukan. Ini merupakan perintah. Perintah harus dijalankan!
Presiden meminta adanya peninjaun aturan hukum yang memiliki celah-celah untuk disiasati.
Apa yang mesti dibenahi dalam hal pemberantasan korupsi?
Banyak sekali. Bahkan, semua. Itu harus dari hulu ke hilir. Mulai dari KPK, kejaksaan,
asset recovery-nya. Mengerjakan perbaikan hukum itu butuh kerjaan besar. Ujungnya adalah
legislasi, untuk membuatnya menjadi undang-undang atau peraturan pemerintah. KPK dari sisi
internal. Poalan KPK adalah undang-undangnya. Undang-Undang Perlindungan Saksi dan
Korban juga sama. Di tingkat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan (PPATK) juga
sama.
Data wajib pajak, bank yang ditutup itu juga perlu dibenahi. Pejabat yang harus mendapat
izin untuk diperiksa itu juga menghalangi pemberantasan korupsi dan harus dibenahi. Tentang
hal ini, tergantung kemudian, siapa yang melakukan pekerjaan itu. Siapa yang menerjemahkan
perintah SBY itu. Jadi, saya melihat perbaikan hukum tidak bisa dilakukan secara parsial.
Bangunan hukum itu seperti bangunan kalau ditarik satu bisa merubuhkan semua. Kalau cuma
satu-dua saja justru bisa berpotensi merecoki bukan memperbaiki. Oleh karena itu, harus secara
keseluruhan, harus hulu ke hilir. Itu pekerjaan simultan dan memakan waktu lama, tapi itu
penting dilakukan.
Terkait instruksi perampasan uang yang terindikasi hasil korupsi Gayus, apakah bisa benar-
benar direalisasikan?
Perampasan itu penting. Itu sudah banyak, yang sudah putusan dan harus diambil kembali
untuk negeri ini. Sekarang yang harus dilakukan, bagaimana memaksimalisasi pengambilan
asetnya. Itu kerja besar dan sudah tanggung jawab negara untuk melakukan dan mengejarnya.
Saya tahu itu sulit, tapi harus dilakukan. Saya percaya matahari terbit besok.
Kendala yang mungkin terjadi?
Semua pasti banyak kendala. Asset recovery pasti banyak kendala. Semua insruksi
presiden itu juga banyak kendala. Tapi banyak masalah itu adalah bagian yang harus dikerjakan.
Bisa saja orang keliru tentang optimisme dan kepercayaan. Kalau bilang optimistis lalu percaya
100 persen pada SBY, ya tidak seperti itu. Optimisme itu berharap betul bisa terwujud dan kritik
tidak percaya itu masih ada. Bahwa saya berharap uang jatuh dari langit, iya. Tapi saya percaya
uang jatuh dari langit, itu tidak akan terjadi.
Dalam penanganan kasus Gayus, langkah apa yang seharusnya diambil oleh pemerintah?
Sangat banyak. Ini hanya kasus Gayus, masih banyak yang lain. Belum lagi bicara
penegakan hukum secara keseluruhan. Ada banyal mafia pajak, ada mafia mining, fishing,
logging, dan yang lain. Kita berharap, kalau kita gagal di sembilan pertempuran, paling tidak kita
pernah memenangkan satu pertempuran. Sekarang yang harus dilakukan adalah bagaimana
menumbangkan kasus Gayus dan nantinya bisa berkembang ke kasus lain.
Sudah sejauh mana kerja pemerintah sendiri dalam kasus Gayus?
Belum ada kerja. Kalau ini dilaksanakan sebenarnya kinerja akan terangkat. Kalau tidak
dilaksanakan, tidak akan ada kemajuan. Dalam evaluasi kita tahun 2010, tidak ada makna, sama
seperti tahun sebelumnya, sama saja, tidak ada teroboson. Kasus korupsinya begitu-begitu juga.
Kalau kasus koruspi tetap begitu-begitu juga, cuma ada dua kemungkinan; pertama, tidak
pernah bisa menemukan obatnya; kedua, ada dan tahu obatnya tapi tidak meminumnya. Tidak
ada perubahan yang bermakna.
Kritik saya ke SBY itu kan sebenarnya tentang KPK yang masuk ke kasus Gayus.
Pintunya dibuka oleh SBY, tapi tidak sangat lebar. Sepertinya dipaksakan saja kejaksaan dan
kepolisan untuk menyerahkan itu. Tapi SBY mau menjaga hati kejaksaan dan kepolisian. Catatan
saya di kasus Gayus, SBY tidak tegas meminta kepolisian dan kejaksaan membuka diri kepada
KPK. Tapi justru bahasa dia untuk mendorong KPK aktif itu menarik. Kalau kejaksaan dan
kepolisain mau menerjemahkannya secara baik, itu bagus.
Jika dibandingkan dengan daerah lainya, pemerintah kota Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) lebih paling berinisiatif dalam menjalankan program pemberantasan korupsi sebagai
musuh bersama yang harus dijauhi. Itu berarti sangat mungkin pemerintah pusat yang masih
berjubel dengan praktek kotor korupsi mencontoh dan meneladani Yogya sebagai acuan. Hal ini
ditegaskan langsung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Wakil Pimpinan KPK Bidang
Pencegahan, Mochamad Jasin mengatakan ada delapan belas kementerian dan lembaga
pemerintah dan non kementerian menjadi fokus penilaian KPK.
“Di daerah, Pemkot DIY punya inisiatif antikorupsi paling tinggi di antara 8 instansi yang
disurvei,” ujarnya di Jakarta Rabu (1/12/2010). Selain Yogyakarta, Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusi (Kemenkumham) juga mendapatkan penilaian yang baik dalam membenahi
layanan publik dan informasi sesuai dengan undang-undang Keterbukaan Informasi Publik
(KIP).

“Termasuk Kemenkum HAM sudah perbaiki keterbukaan sesuai UU KIP. Skor yang
bagus juga ada di Kemenkeu yaitu di Ditjen Perbendaharaan,” tambahnya. Survei dilakukan
sejak tahun 2007 di instansi masing-masing sebagai salah satu upaya pencegahan korupsi.
Penilaian nilai baik buruknya akan diumumkan sebagai bentuk transparasi layanan publik
dihadapan masyarakat.
Hanya diterapkannya Gayus Halomoan Tambunan dengan sangkaan menerima gratifikasi
terkait uang senilai Rp 25 miliar dinilai semakin membuktikan bahwa Polri tidak serius
menangani kasus itu, serta melindungi pihak-pihak tertentu. Gayus seharusnya dikenakan pasal
menerima suap. “Penegak hukum lagi-lagi mendesain untuk mengerdilkan permasalahan dan
melokalisasi pihak-pihak yang takut dijerat hukum jika pasal yang dikenakan ke Gayus pasal
suap,” kata peneliti ICW Donald Fariz, ketika dihubungi, Kamis (2/12/2010).
Donald menilai, tidak wajar Gayus dikenakan pasal gratifikasi jika melihat keterangan
yang disampaikan Gayus dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Menurut dia, di BAP Gayus
sudah menyebut perusahaan mana saja yang memberi uang, dengan siapa berhubungan, siapa
yang memberi, kapan uang itu diberi. “Sudah jelas semua,” tegasnya. Donald tidak sependapat
dengan pernyataan Polri yang menyebut penyidik tidak dapat menemukan bukti adanya suap dari
perusahaan. Menurut dia, “Mereka tidak mau membongkar kasus seterang-terangnya. Kalau
sampai diproses sedetil-detilnya, khawatir akan menjerat banyak kelompok. Kalau soal
kemampuan, saya yakin Polri mampu.”
“Kalau sudah tidak mau, sebesar apapun alat bukti akan jadi sesuatu yang tidak bernilai
bagi mereka yang tidak mau mengungkap,” tambah dia. Seperti diberitakan, Polri masih
menyidik kepemilikan uang Rp 25 miliar yang tersimpan di berbagai rekening Gayus. Menurut
Polri, tidak ada fakta yuridis adanya suap saat Gayus bekerja di Direktorat Jenderal Pajak. Oleh
karena itu, penyidik mengenakan pasal gratifikasi.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.google.co.id/search?hl=id&lr=&tbs=qdr
%3Ad&q=artikel+Pemerintahan+SBY+&btnG=Telusuri&oq=artikel+Pemerintahan+SBY+&aq
=f&aqi=&aql=&gs_sm=s&gs_upl=311306l311306l0l1l1l0l0l0l0l1512l1512l8-1
http://hminews.com/news/icw-polisi-gagal-kpk-harus-ambil-alih-kasus-gayus/
http://hminews.com/news/icw-polisi-tidak-serius-tangani-kasus-gayus/

Вам также может понравиться