Вы находитесь на странице: 1из 23

KETERLIBATAN CIA DALAM PERISTIWA G30S/PKI

Pengamat sejarah LIPI, Dr Asvi Marwan Adam mengatakan, CIA diduga ikut terlibat dalam
pembantaian G30S-PKI. Central Intelligence Agency (CIA) diduga berada dibalik kasus G 30
S/PKI yang meletus 1965. Tragedi tersebut dianggap rekayasa yang mengakibatkan tewasnya
Jenderal Ahmad Yani dan beberapa jendral lainnya. Banyaknya versi mengenai peristiwa naas
tersebut, harus dijelaskan kepada masyarakat. Agar menjadi jelas keberadaan dan kebenarannya.
Minimal penjelasan tersebut harus sudah diterima oleh para pelajar di SMA. Demikian
dinyatakan sejarawan LIPI Asvi Warman Adam dalam peluncuran novel "The Forgotten
Massacre," mengenai kisah persahabatan dan cinta ditengah tragedi G 30 S/PKI di Grand
Indonesia Shoping, Jakarta, Jum'at (2/10) kemarin.
"Banyak versi mengenai terjadinya pemberontakan G 30 S/PKI, menurut pemerintah dalangnya
adalah PKI. Namun, versi lain mencuat CIA muncul di belakang peristiwa itu. Amerika ikut
berperan dalam kejadian tahun 65," kata Asvi. Dugaan ini diperkuat setelah pemerintah Amerika
membuka arsip negaranya setiap tahun. Ternyata ada arsip tertulis yang menyatakan keterlibatan
Amerika Serikat melalui CIA.
Menurut Asvi, sebenarnya tidak hanya Amerika Serikat yang terlibat dalam kasus G 30 S/PKI,
tetapi Inggris dan Australia pada saat itu juga ikut bermain untuk membantu upaya
pemberantasan komunisme.
Lebih lanjut, Asvi menyatakan, ada pertemuan pada tahun 1964 di Filipina yang merumuskan
skenario Amerika Serikat untuk Indonesia. Yaitu skenario supaya Indonesia tidak jatuh kepada
Komunis PKI. Kalau hal itu terjadi, maka posisi Amerika yang saat itu bertempur melawan
Vietnam akan semakin terjepit.
"Amerika tidak ingin Indonesia dikuasai Komunis, karena dampaknya Malaysia dan Singapura
juga akan dikuasai komunis. padahal saat itu Amerika sedang berperang melawan komunis,"
terang Asvi sebagaimana dilansir oleh www.inilah.com
Maka skenarionya adalah memprofokasi PKI yang ditumpas oleh TNI AD dan mengakibatkan
Soekarno akhirnya jatuh. Nampaknya menjadi kenyataan tahun 1965. Berhasil mencapai tujuan
memang, namun gagal karena para Jendral TNI meninggal.

Sekitar CIA dan G.30.S/PKI/1965


Julius Mader dalam bukunya, Who’s Who in CIA, mencatat 77 nama agen CIA yang bertugas di
Indonesia hingga tahun 1967. Sebagian nama yang disebut Mader bukan nama yang asing bagi
sejumlah orang Indonesia. Hanya saja nama nama tsb tidak dikenal sebagai agen CIA melainkan
nama pejabat di Kedubes AS sekitar 1965 yang suka berdiskusi, mengajak berolahraga bersama,
membuat resepsi atau mengundang makan. Rosihan Anwar bekas pemimpin redaksi majalah
Pedoman ketika membaca nama nama tsb mengenali beberapa diantaranya Edward E. Masters
(Sekretaris Atase Politik Kedubes AS di Jakarta 1965, Jack Wilson Lydman (orang kedua di
Kedubes AS), Burton Levin (Sekretaris III Bidang Politik Kedutaan, 1959), dan Francis T.
Underhill (pegawai Kedubes AS).
Rosihan Anwar yang dulu sering bergaul dengan banyak orang AS, sudah mencurigai gerak
gerik pejabat pejabat tadi. Mereka pada umumnya pandai bergaul dan mengajak bermain
Badminton atau makan malam. Sahata Hutagalung yang dahulu pemimpin koran Sinar Harapan
di Medan masih mengingat nama nama Dean J. Almy Jr. dan Robert L. Taylor bekas pejabat
Konsul AS di Medan sekitar 1965. Robert L. Taylor yang ramah itu tidak saja akrab dengan
Sahata tetapi juga dengan Syamsudin Manan (dari koran Mimbar Umum), Dahlan (harian
Bintang Indonesia), dan Syarifudin (harian Bukit Barisan). Lewat organisasi English
Conversation yang didirikannya, Robert L. Taylor dengan rekan rekan Indonesianya berbicara
mengenai banyak hal termasuk masalah politik dan gerakan PKI. Dari persahabatan itu pula tiga
pemimpin redaksi dari Medan tadi sempat melancong ke AS. Sahata Hutagalung yang kini 65
dan pengusaha Restoran Tip-Top di medan itu tidak menyangka bahwa rekanan ASnya adalah
agen CIA.
Menurut laporan GATRA, dokumen CIA Indonesia 1965: The Coup That Backfired yang terdiri
dari 311 halaman dan tersimpan di Library of Congress memuat laporan laporan resmi agen CIA
sejak 1964-1967. Anehnya, didalam dokumen tsb. tidak diungkapkan keterlibatan CIA dalam
peristiwa G 30 S/PKI dan juga tidak mengungkapkan kecurigaan CIA terhadap Angkatan Darat
RI! Hal ini bertentangan dengan semua tulisan tulisan mengenai G 30 S/PKI sebelumnya, kecuali
dengan buku putih terbitan Sekretariat Negara yang berjudul Gerakan 30 September
Pemberontakan PKI: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya. Dokumen CIA secara
kontroversial justru menyebutkan kecurigaan CIA terhadap Bung Karno yang sebelumnya sudah
mengetahui rencana kudeta dan seolah olah tidak dapat berbuat apa apa untuk menghindarinya.
Uraian CIA selanjutnya mirip dengan uraian buku putih keluaran Sekneg.
Dalam dokumen CIA disebutkan bahwa Kapuspen Hankam dan bekas ajudan Bung Karno,
Jendral Sugandhi, pada 27 September 1965 diberi tahu oleh Sudisman tentang rencana PKI
tanggal 30 September 1965. Sugandhi memberi tahu Bung Karno tentang hal tsb namun Bung
Karno malah menuduh Sugandhi sebagai komunisto phobi. Sugandhi memang datang ke istana
untuk melapor tapi Sugandhi keburu dimarahi dan diusir Bung Karno sebelum memberikan
laporannya. Saya yakin Bung Karno tidak mengetahui rencana G 30 S/PKI!! Saya ingat betul
justru para diplomat AS berperan sebagai agen CIA; misalnya Robert J. Martens yang
mengungkapkan nama 5000 anggota PKI kepada TNI AD.
Bernardo Hugh Tovar, 73, direktur CIA yang bertugas di Jakarta pada 1964 hingga 1966
menngaku tidak banyak tahu tentang peristiwa 30 September 1965 di Jakarta dan membantah
keterlibatan CIA dalam peristiwa G 30 S/PKI. CIA hanya mengobservasi keadaan dan membuat
laporan detail tentang keadaan waktu itu, tuturnya. Selanjutnya Bernardo mengakui bahwa CIA
mengetahui rencana PKI untuk mengadakan kudeta tapi CIA tidak membantu TNI AD dalam
menumpas PKI.
Ketika ditanya mengenai laporan Sugandhi kepada Bung Karno mengenai rencana PKI (seperti
juga yang ditercantum dalam buku Nasution Memenuhi Panggilan Tugas), Nasution mengatakan
bahwa sekalipun dalam pemeriksaan Mahmilub Sugandhi mengakui bahwa ia telah melaporkan
rencana PKI itu, tetapi Bung Karno tidak pernah diadili, jadi sulit membuktikan apakah benar
Bung Karno mengetahui jauh hari sebelum peristiwa G 30 S/PKI.
Prof. Kahin bahkan mensinyalir keterlibatan dinas rahasia Inggris M16 karena Inggris
berkepentingan menggulingkan Bung Karno karena politik Ganyang Malaysianya. Dr. Taufik
Abdullah, sejarawan LIPI mengatakan bahwa dokumen CIA bukanlah jaminan kebenaran
sejarah. Dua tahapan sebagai prasyarat penting bagi pengujian suatu dokumen haru dilewati
yaitu: tahapan pengujian internal (diuji logika uraiannya) dan secara eksternal (diuji
kebenarannya dengan cara empiris dan diuji dengan fakta dari dokumen sahih lainnya). Menurut
Dr. Taufik Abdullah dokumen berstempel CIA belum tentu lulus tahapan ujian diatas.

Faktor Amerika Serikat


Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat
tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika
Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam
Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-
bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka
merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar, hal
ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal 8 Agustus 1965
yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak
memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada Presiden Johnson
tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang dirasa
tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan
hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan Bali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.
Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika
menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan daftar nama-
nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan
tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.

CATATAN KRONOLOGIS G 30 S PKI versi Mayor Jendral Pranoto Reksosamodra Ass keIII
Men/ PANGAD

CATATAN KRONOLOGIS SEKITAR PERISTIWA GERAKAN G.30 S/PKI

Di bawah ini adalah beberapa catatan ringkas dari saya, sekitar kejadian dan peristiwa baik
yang saya alami maupun saya ketahui sekitar gerakan G.30S/PKI yang terjadi pada tanggal 1
Oktober 1965. Singkatnya secara kronologis dan numerik dapat saya tuliskan disini sbb.:

Pertama, pada tanggal 1 oktober 1965 kurang lebih jam 06.00 pada saat saya sedang mandi,
maka datanglah Brig.Jen Dr. Amino (Ka.Dep.Psychiatri RSGS Jakarta) yang dengan serta-
merta memberitahukan tentang diculiknya Let.Jen. A.Yani beserta beberapa Jenderal lainnya
oleh sepasukan bersenjata yang belum diketahuinya. Sesudah mandi, maka saya segera
berangkat ke MBAD dengan mengenakan pakaian dinas lapangan.

Kedua, setibanya di MBAD dan setelah menampung beberapa berita dari beberapa sumber,
maka oleh karena pada saat itu saya kebetulan sebagai Pati yang berpangkat tersenior, saya
segera memprakarsai untuk mengadakan rapat darurat diantara para asisten Men./pangad atau
wakilnya yang hadir pada saat itu di MBAD, yaitu para pejabat teras SUAD dari asisten
Men.Pangad sampai asisten VII Men.Pangad termasuk Irjen P.U dan Pejabat Sekretariat.
Setelah menampung beberapa laporan dan keterangan dari sumber-sumber yang dapat
dipercaya, maka rapat menyimpulkan: Secara positif bahwa Let. Jen. A.Yani beserta lima orang
Jenderal lainnya telah diculik oleh sepasukan penculik yang pada saat itu belum dapat dikenal
secara nyata.
Berikutnya, rapat memutuskan untuk menunjuk May.Jen Soeharto Pang.kostrad agar bersedia
mengisi pimpinan AD yang terdapat vacuum. Melalui korier khusus, maka keputusan rapat kita
sampaikan kepada May.Jen Soeharto di MAKOSTRAD.
Ketiga, pada hari itu juga tanggal 1 Oktober 1965 k.l jam: 09.00 saya menerima laporan dari
MBAD yang mengatakan bahwa menurut siaran RRI saya ditunjuk oleh Presiden/Panglima
tertinggi untuk menjabat sebagai carataker Men./Pangad. Oleh karena baru merupakan berita,
maka saya tetap tinggal di Pos Komando MBAD untuk menunggu perintah lebih lanjut.

Keempat, bahwa pada hari itu juga tanggal: 1 Oktober 1965 sesudah saya menerima berita
tentang penunjukkan saya untuk menjabat sebagai carataker Men./Pangad, maka berturut-turut
datanglah utusan-utusan dari Presiden/Panglima Tertinggi yaitu:
1. Let.Kol.Inf. Ali Ebram, Kasi I Staf Resimen Cakrabirawa yang datang k.l jam: 09.30
2. Brig.Jen. TNI Soetardio, Jaksa Agung, bersama Brig.Jen. Soenarjo, Ka.Reserse Pusat
Kejaksaan Agung yang datang bersama pada jam: 10.00 (k.l)
3. Kolonel Bambang Wijarnako, Ajudan Presiden/Pangti yang datang sekitar j am: 12.00.

Oleh karena saya sudah terlanjur masuk dalam hubungan komando taktis dibawah May.Jen.
Soeharto (vide titik 2 di atas), maka saya tidak dapat secara langsung menghadap dengan
tanpa seidzin May.Jen. Soeharto sebagai pengganti Pimpinan AD saat itu.
Atas dasar panggilan dari utusan-utusan tersebut di atas, sayapun berusaha mendapatkan idzin
dari May.Jen Soeharto. Akan tetapi May.Jen Soeharto selalu melarangnya saya untuk
menghadap Presiden/Pangti dengan alasan bahwa dia (May.Jen. Soeharto) tidak berani[/i]
mereskir[/i] (menjamin,ed) kemungkinan tambahnya Jenderal lagi apabila dalam keadaan yang
sekalut itu saya pergi menghadap Presiden. Saya tetap menaati perintahnya untuk tinggal di
MBAD.

Kelima, pada malam hari berikutnya, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1965 k.l. jam: 19.00 saya
dipanggil rapat oleh Jenderal Nasution, KSAB di Markas KOSTRAD untuk menghadiri rapat.
Kecuali Jenderal Nasution yang hadir, juga dihadiri oleh May.Jen Soeharto, May.Jen Moersyid,
May.Jen Satari dan Brig.Jen Oemar Wirahadikusumah.

Jenderal Nasution secara resmi menjelaskan, bahwa saya mulai ini hari ditunjuk oleh
Presiden/Pangti untuk menjabat sebagai carataker Men./Pangad, yang selanjutnya
menanyakan kepada saya bagaimana pendapat saya secara pribadi.
Saya menjawab, bahwa sampai saat itu saya sendiri belumlah menerima pengangkatan secara
resmi secara hitam di atas putih. Maka saya berpendapat agar sementara waktu belum
dikeluarkannya pengangkatan resmi (tertulis) dari Presiden/Pangti entah nantinya kepada siapa
di antara kita, lebih baik kita menaruh perhatian kita dalam usaha menertibkan kembali keadaan
yang darurat pada saat itu yang ditangani langsung oleh Pang.Kostrad (May.Jen Soeharto)
yang juga kita percayakan untuk sementara menggantikan pimpinan AD.
Akan tetapi mengingat pada saat itu suara dan kesan dari media massa yang memuat berita-
berita adanya usaha untuk menentang keputusan Presiden/Pangti tentang penunjukkan saya
sebagai carataker Men./Pangad. Maka oleh Jenderal Nasution saya diminta agar pada tanggal
2 Oktober 1965 pagi mengadakan wawancara pers yang direncanakan di Senayan. Saya
bersedia.
Keenam, tanggal 2 Oktober 1965, menjelang waktu saya akan mengadakan wawancara pers,
maka tiba-tiba May.Jen Soeharto dan saya mendapatkan panggilan dari Presiden/Pangti yang
pada saat itu sudah meninggalkan pangkalan udara Halim Perdana Kusumah dan menempati
kembali di Istana Bogor. Oleh karena itu, maka wawancara pers saya tunda waktunya.
May.Jen Soeharto bersama saya dan Brig.Jen Soedirgo (Dan Pomad) segera berangkat
menghadap Presiden/Pangti di istana Bogor. Di istana Bogor diadakan rapat di mana hadir pula
Bpk. Leimena, Bpk. Chaerul Saleh, Martadinata, Omardani, Cipto Yudodiharjo, Moersyid,
M.Yusuf, dan beberapa menteri lagi.
Keputusan rapat: Presiden/Pangti memutuskan, bahwa pimpinan AD langsung dipegang oleh
Pangti, sedangkan May.Jen Soeharto diperintahkan untuk menjalani tugas operasi militer,
kemudian kepada saya ditugaskan sebagai carataker Men./Pangad dalam urusan sehari-hari
(Daily Duty).

Ketujuh, tanggal 14 Oktober 1965, setelah melalui macam-macam proses kejadian, maka
May.Jen Soeharto diangkat menjadi kepala staf AD dengan membentuk susunan stafnya yang
baru. Kedudukan saya menjadi Pati diperbantukan kepada KASAD.

Kedelapan, tanggal 16 Februari 1966 atas perintah KASAD May.Jen Soeharto saya ditahan di
Blok P Kebayoran Baru Jakarta dengan tuduhan terlibat dalam G.30-S/PKI, dengan surat
perintah penangkapan/penahanan No.37/2/1966, tanggal 16 Februari 1966.

Kesembilan, dengan perubahan status penahanan dari Ketua Team Pemeriksa Pusat, tersebut
dalam surat Perintahnya No.Print. 018/TP/3/1966 saya mendapatkan perobahan penahanan
rumah mulai pada tanggal 7 Maret 1966.

Kesepuluh, dengan Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No.Print. 212/TP /1/1969,


tanggal 4 Maret 1969 saya kembali ditahan di Inrehab NIRBAYA Jakarta yang tetap dalam
tuduhan yang sama.

Kesebelas, dengan Surat Keputusan Menteri HANKAM/Panglima ABRI yang tersebut dalam
Surat Keputusan No. Kep./E/645/1I/1970, tanggal 20 November 1970, yang ditanda tangani
oleh Jenderal M. Panggabean, saya mulai dikenakan skorsing dalam status saya sebagai
anggota AD, yang berikutnya pada bulan Januari 1970 saya sudah tidak menerima gaji skorsing
dan hak penerimaan lainnya lagi. Sedangkan Surat Pemberhentian ataupun Pemecatan secara
resmi dan keanggotaan AD ini pun sampai sekarang belum/ tidak pernah saya terima.

Keduabelas, atas dasar Surat Keputusan dari Panglima KOPKAMTIB yang tersebut dalam
surat No.SKEP /04/KOPKAM/I/1981, maka dalan pelaksanaannya oleh KA. TEPERPU tersebut
dalam Surat Perintahnya No. SPRIN,-481/1I/1981 TEPERPU, saya baru dibebaskan dari
tahanan pada tanggal16 Februari 1981.

Jadi kalau saya perhatikan tanggal, bulan dan tahun mulai dan berakhirnya saya mengalami
penahanan adalah selama waktu 15 (limabelas) tahun, tanpa kurang atau pun lebih, yaitu dari
tanggal 16 Februari 1966 sampai pada tanggal 16 Februari 1981.

Ketigabelas, selama waktu saya ditahan, sepanjang waktu limabelas tahun itu, saya merasa
belum pernah mengalami pemeriksaan melalui proses dan pembuatan berita acara yang resmi.
Saya hanya menjalani interogasi secara lisan, yang di lakukan oleh Tim Pemeriksa dari
TEPERPU pada tahun 1970. Sesudah itu saya tidak pernah diinterogasi lagi, sampai saatnya
saya dibebaskan pada 16 Februari 1981.

Keempatbelas, untuk waktu berikutnya, maka apa, di mana, dan bagaimana yang dapat saya
perbuat/lakukan sebagai seorang yang tanpa berstatus, polos selagi telanjang tanpa hak milik
materi barang sedikit pun yang bernilai, yang memungkinkan untuk melanjutkan amal-
kebaktian saya pada Tanah Air dan Bangsa, yang pernah saya rintiskan dalam turut serta mulai
Perang Kemerdekaan 1945 yang tanpa absen itu? Segala penjuru lapangan kerja tertutup
untuk kehadiranku, justru aku dipandang sebagai orang yang beratribut bekas tahanan G.30-
S /PKI, bahkan mungkin menurut persepsi mereka, saya ini sebagai "dedengkot" nya G.30-
S/PKI dari segala aspek.

Saya harus berani menelan pil, yang sepahit ini, dan harus pula berani membaca kenyataan
dalam hidup dan penghidupan saya yang telah menjadi suratan dan takdir llahi kepada saya
sebagai umatnya. Manusia tak kuasa mengelak dari segala apa, yang telah dikehendakkan-Nya
dan digariskan-Nya, justru DIA -lah sebagai SANG MAHA DALANG, yang memperagakan
umatnya sebagai anak wayang di pentas pakeliran kehidupan dunia ini.

Saya harus mengetahui diri, ditempat, di saat dan dalam keadaan apa dan bagaimana saya ini.
Saya harus dapat menguasai dan membunuh waktu, betapapun kegiatan saya sehari hari itu
saya utamakan lebih dahulu demi kepentingan rumah tangga dan keluarga yang masih tersisa
di rumah.

Terus terang saja kalau saya merasa malas dan enggan untuk berkunjung dan berkomunikasi
dengan bekas rekan perjuangan, teman atau pun kenalan yang dahulunya saya anggap dekat/
akrab. Justru bagi mereka, yang tidak mengetahui ujung-pangkal dalam duduk perkara, saya
tiada setapak pun mau maju mendekat dan bertatap muka secara hati ke hati. Kebanyakan lalu
pergi menyelinap dan menghindar, yang mungkin ada merasa takut disorot, yang akibatnya
dapat merugikan diri.

Namun tidak sedikit pula, bekas rekan-rekan seperjuangan dan teman/kenalan, yang masih
mau berkunjung ke rumah saya, sungguh pun tempat tinggal saya sekarang ini di pinggiran
kota, yang sebagian perjalanannya harus ditempuh dengan jalan kaki. Di antaranya saya
merasa terkesan dengan kunjungan Letjen(P) Soedirman anggota Dewan Pertimbangan
Agung, yang pada suatu malam buta berkenan meluangkan kakinya, untuk mengunjungi saya
di rumah Kramatjati yang sesempit itu.
Saat pertama bersua kembali dengan saya, sedikitpun saya tidak melihat adanya perubahan
wajah, sebagaimana wajah cerah amikal selagi sikapnya yang brotherly/fatherly, sebagaimana
yang mula-mula saya mengenal beliau sebagai rekan Komandan Resimen yang tersenior.
Beliau mengutamakan rasa kemanusiaannya dari pada rasa sebagai perwira tingginya. Beliau
terkenal rajin berkunjung kepada keluarga anak buah, yang suaminya sedang mengalami
penahanan, atau pun yang ditinggal bertugas operasi oleh suaminya. Beliau pun tidak ada rasa
ragu mengunjungi bekas bawahannya yang berada dalam tahanan. Toleransi terhadap
penderitaan teman atau pun anak buah bagi beliau tidak pernah menutup mata dan telinga,
lepas dari persoalan atau pun perkara, yang sedang mereka pertanggung-jawabkan masing-
masing.

G 30 S / PKI [versi Dr. Soebandrio]


Peristiwa G 30 S / PKI versi Dr. Soebandrio batal beredar, penulis Memoar tokoh penting Era Orde Lama
itu adalah wartawan senior Jawa Pos Djono W. Oesman. Bagaimana sebenarnya isu buku yang
peredarannya dibatalkan, kendati sudah dicetak 10 ribu eksemplar oleh Gramedia itu ? HARI ini, 39
tahun silam, meletus G 30 S yang tak habis-habisnya dibicarakan. Lebih dari 110 buku berbahasa Inggris
dan 35 buku berbahasa Indonesia mengupas hal tersebut. Yang terbaru, Presiden Megawati meminta
agar Mendiknas membuat buku tentang hal itu dan menunjuk sejarawan Taufik Abdullah memimpin tim
penulis. Salah satu diantara ratusan buku G 30 S tersebut adalah memoar Dr Soebandrio.
Soebandrio( almarhum ) merupakan orang yang sangat penting dalam sejarah G 30 S . Saat itu, dia
merangkap tiga jabatan, Yakni, wakil perdana mentri I, mentri luar negeri, dan kepala Badan Pusat
Intelijen (kini BIN). Tapi, tentu saja isi buku itu sangat subjektif. Sebab, semuanya murni versi
Soebandrio. Dia menuturkan semuacerita tersebut antara Oktober 1999 hingga September 2000 selepas
dibebaskan dari penjara. Berikut cuplikan memoar yang terfokus pada kejadian 30 September dan 1
Oktober 1965 yang dituturkan Soebandrio dengan gaya saya:  Kamis Kliwon, 30 September (persis
dengan hari ini) 1965, setelah menyelesaikan tugas-tugasnya di Istana. Negara, Presiden Soekarno
pulang ke Wisma Yaso ( kini Musium Satria Mandala ). Di sana, beliau bersama istri Ratna Sari Dewi.
Sehari sebelumnya, Panglima AU Oemar Dhani melapor kepada Presiden Soekarno tentang banyaknya
pasukan dari daerah yang masuk ke Jakarta. Beberapa hari sebelumnya, saya melaporkan adanya
kelompok perwira AD yang tidak puas terhadap presiden. Mereka membentuk\ Dewan Jendral yang
kabarnya akan melakukan kudeta. Bung Karno tahu, ada yang tidak beres pada elite pimpinan AD.
Buktinya, beberapa hari sebelumnya, beliau memerintahkan Menpangad Letjen A.Yani menghadap
presiden. Jadwal pertemuanya 1 Oktober 1965, pukul 08.00 WIB, di istana. Topik pembicaraanya; Isu
Dewan Jendral. Rencana itu batal karena Yani dibunuh sekitar lima jam sebelumnya. Sementara itu,
Pangkostrad Mayjen Soeharto sejak kamis siang menunggu anaknya, Hutomo Mandala Putera (Tommy
Soeharto) di RSPAD Gatot Subroto. Tommy saat itu berusia tiga tahun dirawat di sana karena
ketumpahan sup panas. Menjelang malam, Kolonel Abdul Latief ( Komandan brigade Infanteri Jaya Sakti,
Kodam Jaya) menemui Soeharto di RSPAD Gatot Subroto. Berdasarkan cerita Kolonel Untung ( pengawal
presiden Soekarno dari Cakra Bhirawa ) kepada saya ketika kami bersama-sama dipenjara di Cimahi,
Bandung, seharusnya malam itu ada tiga perwira yang menemui Soeharto.Yakni, Latief, Untung, dan
Brigjen Soepardjo (Pangkopur II Kostrad). Sebelum bertemu Soeharto, mereka rapat disuatu tempat.
Akhirnya diputuskan, Latief yang menghadap Soeharto untuk melaporkan bahwa pasukan penangkap
Dewan Jendral sudah siap bergerak. Latief lantas kembali menemui Untung dan Soeparjo yang
menunggu di suatu tempat. Latief melapor kepada dua rekannya bahwa Soeharto berada di belakang
mereka. Tentang dukungan Soeharto menangkap anggota Dewan Jendral itu diperjelas oleh cerita
Untung kepada saya selama dipenjara. Katanya, pada 15 September 1965, dia mendatangi Soeharto.
Meski tidak berada di satu garis komando, Untung dan Soeharto adalah sahabat lama saat mereka
sama-sama di Divisi Diponegoro, Jateng. Jadi, itu pertemuan antar sahabat lama. Tapi, membicarakan
masalah yang sangat penting. Di pertemuan itu, Untung melaporkan adanya isu Dewan Jendral yang
akan melakukan kudeta. Untung lantas menyampaikan gagasan, akan mendahului gerakan Dewan
Jendral dengan menangkap mereka lebih dahulu sebelum mereka bergerak. Ternyata Soeharto
mendukung, bahkan siap membantu

mendatangkan pasukan. Karena itu, Untung meski divonis hukuman mati tenang-tenang saja. Dia
mengatakan kepada saya, Pengadilan ini hanya sandiwara, Ban. Wong rencana saya didukung Pak Harto,
katanya. Toh, akhirnya dia dieksekusi juga. Menjelang dini hari 1 Oktober 1965, Soeharto pulang dari
RSPAD Gatot Subroto menuju ke Makostrad. Saat itu, sejumlah pasukan yang siap menangkap tujuh
jendral sedang berkumpul di dekat Monas. Beberapa jam kemudian (1Oktober 1965). Tujuh Jendral itu
benar-benar ditangkap dan dihabisi. Sebagian ditembak dirumah saat penangkapan, sebagian dibunuh
di Lubang Buaya, Pondok Gede. Apa yang terjadi kemudian? Bagaimana Presiden Soekarno, DN Aidit,
dan Oemar Dhani bisa berada di Halim (dekat Pondok Gede) pada pagi buta 1 Oktober 1965 ?
Soebandrio memang controversial, baik sejak berjayanya dijaman Bung karno maupun setelah dipenjara
Orde Baru. Dalam pengakuaanya kepada Djono W. Oesman, wartawan Koran ini, kontroversi itu juga
bertaburan.

 Berikut lanjutan penuturan Soebandrio.

 PERTANYAAN penting dalam sejarah G 30 S adalah : mengapa di pagi buta 1 Oktober 1965 saat tujuh
Jendral dibantai di Lubang Buaya, beberapa tokoh nasional berada di Halim ( dekat Lubangt buaya?)
Berikut cuplikan memoar Dr.Soebandrio ( wafat 3 Juli 2004 ) yang ditulis antara Oktober 1999-
September 2000 itu. Kawasan Halim pada dini hari itu seperti menjadi sentra berkumpulnya tokoh tokoh
nasional sekaligus tempat pembantaian para jendral. Disana ada Presiden Soekarno, Menko / Ketua
MPRS D.N.Aidit dan Menpangau Oemar Dhani. Mereka tidak berkumpul di satu tempat, juga tidak
datang bersamaan, bahkan mereka datang kesana tanpa koordinasi. Bung Karno menjelang dini hari itu
mendapat telepon, bahwa baru saja terjadi penculikan beberapa jendral. Malam itu beliau tidur dirumah
Wisma Yaso bersama istri Dewi Soekarno.Begitu mendapatkan telepon, dia langsung berangkat dengan
dikawal ajudan Parto yang sekaligus menjadi sopir. Dari Wisma Yaso mobil meluncur keutara menuju
istana.Tetapi menjelang tiba diistana, tampak ada blokade jalan. Sejumlah pasukan bersenjata siaga
dilokasi blokade. Ajudan Parto kaget.Tidak ada pemberitahuan kepada ajudan presiden bahwa ada
blokade di sekitar istana. Menurut Suparto itu pasukan tak dikenal. Parto lantas mengambil inisiatif
memutar haluan, mobil berbalik arah.Sebelum Bung Karno bertanya tanya, Parto mengatakan,
sebaiknya kita ke Halim saja pak. Kalau ada apa apa dari Halim akan dengan cepat terbang ketempat
lain. Bung Karno menurut saja.Dalam protokoler pengamanan presiden, jika pengawal merasa bahwa
presiden dalam bahaya, pengawal harus secepatnya membawa presiden ke bandara.Dengan inisiatif
Parto memutar haluan, berarti dia mengganggap presiden dalam bahaya. Setelah Bung Karno tiba di
Halim, baru ajudan menjelaskan kondisi bahaya itu.Disana Bung Karno lantas ditemani Oemar Dhani
selalu Menpangau yang bertanggung jawab terhadap keamanan bandara. Beberapa saat kemudian
Brigjen Soepardjo ( Pangkopur II Kostrad ) yang tadi malam bersama Kolonel Abdul Latief dan Letkol
Untung melapor ke Soeharto di RSPAD Gatot Soebroto tentang persiapan pasukan penjemput para
jendral, melapor ke Bung Karno. Soepardjo melaporkan, tujuh jemdral telah diculik. D.N.Aidit dini hari
itu juga berada di Halim. Ini sungguh aneh.Aidit saat itu berada di sebuah rumah disekitar Halim.Dia
tidak berada disatu tempat dengan Bung Karno dan Oemar Dhani. Beberapa hari kemudian saya
didatangi istri Aidit. Dia berceritera bahwa pada Kamis 30 September 1965 malam, rumahnya didatangi
beberapa tentara berseragam lengkap, suami saya diculik katanya. Dengan keberadaan Aidit di Halim
pada dini hari dan cerita istrinya, bahwa dia dijemput tentara pada malamnya, biisa disimpulkan, bahwa
malam itu Aidit dibawa tentara menuju Halim. Pagi itu, dari Pangkalan Halim Presiden Soekarno
mengeluarkan instruksi yang disampaikan melalui radiogram ke Markas Besar ABRI. Isi instruksi
tersebut: semua pasukan harap stand by di posisinya masing2.Semua pasukan hanya boleh bergerak
atas perintah saya selaku presiden dan panglima tertinggi ABRI.Semua persoalan akan diselesaikan
pemerintah/presiden.Hindari pertumpahan darah. Saat itu Bung Karno hanya mendapatkan informasi,
bahwa 7 jendral tersebut dibunuh. Instruksi itu lantas disambut Soeharto dengan perintah agar Letkol
Untung dan kawan kawan ditangkap secepatnya. Jelas, hal itu membingungkan Untung.Dia sudah
melapor ke Soeharto soal Dewan Jendral yang akan melakukan kup dan menyampaikan gagasan
mendahului geraksan Dewan Jendral dengan menangkap mereka. Semua itu didukung Soeharto.Bahkan
Soeharto memberikan bantuan pasukan dari Kodam Siliwangi. Sekarang Soeharto malah
memerintahkan agar Untung ditangkap. Hampir bersamaan dengan keluarnya instruksi Presiden
Soekarno, Soeharto memanggil salah satu ajudan Bung Karno Bambang Widjanarko yang berada di
Halim agar segera menghadap dirinya di Makostrad. Di Makostrad Bambang diberi tahu Soeharto agar
Presiden Soekarno dibawa pergi dari pangkalan Halim. Sebab pasukan dari Kostrad dibawah pimpinan
Sarwo Edhi Wibowo sudah disiapkan untuk menyerbu Halim. Saat pesan ini disampaikan Bambang
kepada Bung Karno, jelas Bung Karno geram sekaligus bingung.Instruksi Bung Karno agar semua pasukan
stand by di posisi masing2 ternyata tidak ditaati Soeharto.Sebaliknya Soeharto malah memerintahkan
agar Soekarno menyingkir dari Pangkalan Halim. Bung Karno lantas meminta nasihat para pembantu
militernya. Brigjen Soepardjo mengusulkan agar Bung Karno terbang ke Bali,.Menpangau Oemar Dhani
mengusulkan terbang ke Madiun, Jatim. Wakil Perdana Menteri II Leimena yang pagi itu sudah berada
disana mengusulkan, langkah paling hati hati adalah ke Istana Bogor lewat jalan darat.Sebab jaraknya
paling dekat dengan Jakarta dan naik pesawat sangat berbahaya terhadap kemungkinan tembakan. Dari
berbagai usul itu Bung Karno menganggap bahwa dirinya memang sedang dalam bahaya.Akhirnya dia
memutuskan menuju Istana Bogor lewat darat. Rangkaian peristiwa tersebut bergerak sangat cepat dan
detik ke detik, dari menit kemenit.Sulit dibayangkan, bagaimana mungkin posisi presiden bisa begitu
terdesak hanya dalam beberapa jam akibat penculikan para jendral yang bagi presiden Soekarno saat itu
belum jelas dilakukan oleh siapa. Beberapa saat setelah Bung Karno meninggalkan Halim, pasukan
dibawah pimpinan Sarwo Dhie Wibowo memang bergerak ke Halim menyerbu pasukan penangkap dan
pembunuh para jenderal ( djono w. oesman ) Kita berdoa : Semoga nubuat Daniel 12:4, apa yang belum
terungkap, akan terungkap diakhir jaman ini, Siapa Dalang Peristiwa Berdarah Ini????

Gerakan 30 September

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan
September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi
selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam pejabat
tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan
kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.

Latar belakang

PKI merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet.
Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga
mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani
Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita
(Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20
juta anggota dan pendukung.

Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit
presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan
bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno
menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno
dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu
antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.

Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis
nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer
menjadi wabah.

Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965

Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai memberikan
100.000 pucuk senjata chung. Penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke
Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S. Pada bulan Juli
1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali
lagi dengan hasutan dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat
para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi
Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan
bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan
Komunis yang dinamakan NASAKOM. Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara
kepemimpinan PKI dan nasionalis dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum
buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak.
Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat
dan militer menjadi wabah.

Angkatan kelima
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan
100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan
ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.

Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri RRC,
mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Tetapi
petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai
antara militer dan PKI.

Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-
bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga
menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat".
Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di
bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-
sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-
kiri untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka.

Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak
mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para
pemilik tanah.

Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani
berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapa pun (milik negara=milik bersama).
Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai
komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.

Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik
Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan
resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota
kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh Sukarno
disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya
(Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).

Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet
Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan
bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".

Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara
tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara
Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".

Rejim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di
industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik
pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rejim militer,
menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang
terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa
yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu,
kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam
ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha
menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke
Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka
akan bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha
menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih
mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk memecilkan aspek anti-
rakyat dalam alat-alat negara.

Isu sakitnya Bung Karno

Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung
Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno
meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit
ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut. Tahunya
Aidit akan jenis sakitnya Sukarno membuktikan bahwa hal tersebut sengaja dihembuskan PKI
untuk memicu ketidakpastian di masyarakat.

Isu masalah tanah dan bagi hasil

Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-
Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia
Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari
wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik
pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan
sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang
takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat
keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di
Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian
digunakan sebagai dalih oleh militer untuk membersihkannya.

Keributan antara PKI dan islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan Muhammadiya) itu
pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di
propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah
mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September 1965 (hal
ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30 September tersebut).

Faktor Malaysia

Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah salah
satu faktor penting dalam insiden ini[1]. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu
penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang
menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada
akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.

Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para demonstran menyerbu gedung
KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan
Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak
Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.

Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang
negara Indonesia[2] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang
terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat
menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk
meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu
pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan
anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala
tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan
usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk
memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.

Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka
dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang
mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih
untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan
pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa
operasinya disabotase dari belakang[3]. Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di
Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.

Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan
berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno,
seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga
diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keinginannya
meng"ganyang Malaysia".

Soekarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin yang menjala-
njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja sendiri tidak mungkin mendjadi satelit
jang melekat pada bangsa lain. Soekarno tidak mungkin menghambakan diri pada dominasi
kekuasaan manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka.

Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang mereka
anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk
keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak
sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan
yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah
hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros
Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia
memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk
konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan
internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari 1965).

Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang
bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para
pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi
Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan
bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau
musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya
akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."[2]

Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak
tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi
Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan
berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan
dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.

Faktor Amerika Serikat

Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat
tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika
Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam
Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-
bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka
merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.

Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar, hal
ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal 8 Agustus 1965
yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak
memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada Presiden Johnson
tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang dirasa
tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan
hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan Bali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.

Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika
menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan daftar nama-
nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan
tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.

Faktor ekonomi
Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan
rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan
"ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia.

Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan
terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa
faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan
gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan
mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari
hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak
dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.

Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam
jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian orang-orang
yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya
kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan
pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen
Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan

Isu Dewan Jenderal

Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal
yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap
Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut
memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili
oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal
tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad
Yani, Panjaitan, dan Harjono. GBU

Isu Dokumen Gilchrist

Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist
beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh
beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal
Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan
bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat [4]. Kedutaan Amerika
Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk
"ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai
sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis
buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan basis skenario film "The Year of Living
Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas
teleks untuk mengirimkan berita. EFERON BATUBARA
Isu Keterlibatan Soeharto

Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut.
Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat
sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan
Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di
Rumah Sakit Angkatan Darat.

Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak
penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan
Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah karya Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T.
McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA),
Government Printing Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files, Indonesia,
1963-1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass
Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F.
Wertheim (Serpihan Sejarah Th65 yang Terlupakan).

Korban

Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:

 Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi
Tertinggi)
 Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
 Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan
Pembinaan)
 Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
 Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
 Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)

Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya
pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu
CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.

Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:

 Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
 Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
 Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)

Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal
sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.

Pasca kejadian
Pemakaman para pahlawan revolusi. Tampak Mayjen Soeharto di sebelah kanan Pada tanggal 1 Oktober
1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para
"pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari
perlindungan.

Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional",
yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro
Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi
massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata.
Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".

Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan


Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk
mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang
pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari
kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."

Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima
Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada
saat Suharto disumpah[5]:

Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya
berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan dari pada Republik Indonesia,
Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat
Revolusi, yang sama sekali berdiri diatas Trisakti, yang sama sekali berdiri diatas Nasakom, yang
sama sekali berdiri diatas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.

Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara
Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara
Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita.
Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara.
Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka
barulah revousi kita bisa jaya.

Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya
perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya.
Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!

Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet
berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan
dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat
Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia
mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-
usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di
Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil
menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30
September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan
dalam negeri Indonesia."

Penangkapan dan pembantaian

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pembantaian di Indonesia 1965–1966

Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap
sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja
dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan
diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan
November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis
- perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua
sampai tiga juga orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana
enam bulan yang mengikuti kudeta itu.

Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim
sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-
pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa
Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu
sungai itu "terbendung mayat".

Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI
telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp
konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung
dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan
pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:

"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat
menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa
bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai
kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara
serius."

Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi
korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional
Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter
Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-
galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani
meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.

Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk
membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-
Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi
mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi.
Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969.
Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-
an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan
Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.

Supersemar

Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak
terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil
"langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi
keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh
Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan
sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.

Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto.
Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November,
tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.

Pertemuan Jenewa, Swiss

Menyusul peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan antara


para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada bulan
Nopember 1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan minyak
dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American
Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel,
ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia
menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang
melimpah, dan pasar yang besar.

Hal ini didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia di
situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi
bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno. Freeport mendapat
emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan
ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro liberal
sejak saat itu diterapkan.

Peringatan

Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30


September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa
pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di
seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada
masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang
Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata.
Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi
tabur bunga yang dilanjutkan.

Pada 29 September - 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang
peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia.
Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi
kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok.
Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi
kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, Sasuke, dan Putmainah.

Fakta Dibalik Peristiwa G 30 S PKI (versiku) Bag  1


Posted on 22 Mei 2007 by Dion

Terilhami dari tulisan Jarar Siahaan di BatakNews yang berjudul “Pantaskah Soeharto
Diampuni”, dan dari peringatan 9 tahun turunnya Rezim Soeharto, aku coba manuangkan apa
yang aku ketahui lalu simpulkan berdasarkan fakta dari kejadian yang terjadi 42 tahun silam di
Jakarta, tepatnya tentang peristiwa pemberontakan G 30 S/PKI. Mudah-mudahan apa yang aku
tulis ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita mengenai kejadian yang sebenarnya.
Perlu aku tegaskan sekali lagi ini adalah versiku, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap versi
lain yang lebih benar. Ada seorang ahli sejarah yang sempat meneliti tentang kejadian yang
menimpa bangsa kita di tahun 1965, mengatakan bahwa di tahun 1965, di Indonesia hanya ada
satu Jendral dan dia adalah Mayjen TNI Soeharto. Menurutku ahli sejarah itu juga termakan
image yang sengaja dibuat Soeharto bahwa dia adalah orang yang paling berjasa atas
dibubarkannya Partai yang kini dianggap sebagai partai terlarang di negeri kita.

Soeharto adalah seorang prajurit TNI berpangkat cukup tinggi dan juga memegang salah satu jabatan
penting dalam jajaran TNI sebagai Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad). Pada masa
kepemimpinan Ir. Soekarno, Soeharto adalah seorang perwira tinggi yang tidak terlalu diperhitungkan.
Itu juga menjadi penyebab tidak terteranya nama Soeharto dalam daftar 7 jendral yang menjadi target
pembunuhan dalam pemberontakan PKI.

7 Jendral yang menjadi target operasi PKI (Baris pertama kiri-kanan) Jendral TNI Anumerta Ahmad Yani,
Letjen TNI Anumerta MT Haryono, Letjen TNI Anumerta S Parman, Letjen TNI Anumerta Suprapto. (Baris
kedua Kiri-kanan) Mayjen TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo, Mayjen TNI Anumerta DI Panjaitan,
Kapten Czi Anumerta Pierre Tendean

Apa mungkin Soekarno lupa pada jasa Soeharto yang menjadi arsitek Serangan Umum 1 Maret atas Kota
Yogya yang berhasil menguasai Kota Yogya selama 6 jam yang kala itu dikuasai oleh Belanda? Ataukah
Soekarno mengetahui fakta yang sebenarnya terjadi.

Pada tahun 1965 tepatnya pada tanggal 30 September 1965, sebuah pemberontakan terjadi atas
keutuhan Pancasila (itu kata rezim Orde Baru) namun berhasil ditumpas sampai ke akar-akarnya oleh
seorang perwira tinggi bernama Soeharto. Sebuah cerita isapan jempol.
Kisah Sebenarnya

Ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar, ada sebuah film yang wajib ditonton oleh semua siswa
sekolah dasar di suluruh tanah air. Film itu adalah “Pemberontakan G 30 S PKI”. Aku juga sebagai salah
seorang siswa SD ikut menonton film tersebut. Hal ini sangat aku sesali sekarang karena ternyata film itu
tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya terjadi. Fakta telah diputarbalikkan oleh seorang yang
juga diperankan dalam film tersebut. Kalau anda sempat menonton film tersebut dan mendengar kata
“Resolusi Dewan Jendral” yang sempat beberapa kali disebutkan dalam film tersebut, hal itu benar
adanya. Resolusi Dewan Jendral memang ada. Beberapa orang Jendral pada saat itu sedang
merencanakan untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno dan mengambil alih kekuasaan.

Para pemimpin PKI kala itu cukup resah dengan adanya isu tentang resolusi Dewan Jendral. Mereka
khawatir jika para jendral berhasil, maka posisi mereka berada di ujung tanduk. Untuk itu mereka harus
bergerak cepat, berpacu dengan waktu untuk menumpas para jendral yang terlibat dalam Resolusi
Dewan Jendral, sebelum para jedral mendahuluinya. Rakyat yang kala itu masih bodoh dicekoki dengan
pernyataan-pernyataan pedas tentang seberapa menyeramkan dan menyakitkannya sebuah
pemberontakan. PKI terus menyebarkan doktrin bahwa pemberontakan itu identik dengan kekejaman.
Rakyat akan semakin terkepung dalam kesengsaraan. Doktrin yang dilontarkan PKI itu terhadap rakyat
itu pada akhirnya berhasil membakar darah rakyat yang kala itu tengah dirundung duka yang mendalam
dan berkepanjangan akibat dari ketidak stabilan perekonomian di sebuah negara yang masih muda ini.
Akhirnya PKI mendapat restu dari rakyat yang telah didoktrinnya untuk menumpas para jendral yang
terlibat dalam Resolusi Dewan Jendral. PKI sendiri mempunyai kepentingan dalam penumpasan ini. PKI
adalah pendukung terkuat Soekarno, dan Soekarno adalah pendukung terkuat PKI demi sebuah image
bagi dunia internasional bahwa Indonesia tidak mudah dimasuki pengaruh Amerika Serikat. Memang
Sokarno lebih menyukai politik sosialis demokratik seperti yang diajarkan Uni Soviet kepada dunia kala
itu yaitu pemerataan. Karena PKI takut kehilangan dukungan dari presiden, maka PKI harus secepatnya
menumpas Dewan Jendral sebelum Dewan Jendral menggulingkan Soekarno. Maka direncanakanlah
sebuah aksi untuk menumpas Dewan Jendral. Akhirnya para pemimpin PKI sepakat tanggal yang tepat
untuk melakukan aksi adalah pada tanggal 30 September. >

Para pimimpin PKI melakukan rapat tentang aksi yang bakal mereka lakukan. Sedikitpun mereka tidak
menyinggung nama Soeharto karena memang Soeharto kala itu bukan siapa-siapa. Dia tidak lain
hanyalah seorang prajurit TNI berpangkat tinggi yang tidak diperhitungkan dan tidak penting sama
sekali.

Disisi lain, Soeharto sendiri juga mengetahui tentang adanya resolusi Dewan Jendral dan mengetahui
bahwa PKI akan melancarkan aksi untuk menumpasnya. Namun dia hanya diam. Soeharto juga memiliki
kepentingan jika PKI berhasil. Kepentingan Soeharto sebenarnya adalah agar dia mulai dianggap penting
dan kembali diperhitungkan di kancah percaturan negeri ini sehingga dia bisa mendapat jabatan yang
lebih penting dari jabatan yang dia pegang saat itu. Dia biarkan PKI melakukan aksinya dengan
membunuh para perwira tinggi TNI yang memang memegang jabatan penting di negara. Dengan
demikian akan semakin berkurang saingan bagi Soeharto untuk meraih jabatan yang lebih tinggi dan
lebih penting dari sekedar panglima Kostrad. Tanggal 30 September pukul 4 pagi, diculiklah 7 jendral
yang menjadi target operasi PKI. Mereka dibawa ke lubang buaya dan diserahkan kepada masa
pendukung PKI yang telah berkumpul di sana sejak sore hari tanggal 29 September untuk diadili dengan
cara mereka. Massa dibebaskan melakukan apa saja sesuka hati mereka kepada para jendral yang akan
menambah kesengsaraan bagi rakyat tersebut. Massa yang berkumpul di lubang buaya berpesta pora
sebelum akhirnya menyiksa hingga mati para jendral tersebut. Pagi harinya, Soeharto yang telah
mengetahui hal ini mendapat laporan dari beberapa ajudan jendral yang telah diculik. Soeharto
hanya tersenyum dalam hati karena telah mengetahui bahwa semua ini akan terjadi. Ambisinya
untuk menguasai negeri dengan pangkat dan jabatan yang dia miliki hanya tinggal selangkah
lagi. Tahukah anda apa sebenarnya yang telah direncanakan Soeharto sebelumnya yang
disimpannya baik-baik dalam benaknya? Dia biarkan PKI membunuh ketujuh Jendral tersebut,
lalu memfitnah PKI telah melakukan kudeta terhadap Soekarno sehingga orang-orang PKI yang
mengetahui fakta sejarah dapat dengan mudah disingkirkan dengan cara difitnah. Doktrin yang
dilontarkan Soeharto adalah bahwa PKI akan melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan
Soekarno. Mungkinkah PKI akan menggulingkan pendukung terkuatnya? Tidak masuk akal.
Ingat PKI dan Soekarno saling mendukung, apa mungkin PKI melakukan hal itu?

Pagi harinya Soeharto bergerak cepat dan melangkahi tugas beberapa orang jendral atasannya
dengan memegang tampuk pimpinan TNI untuk sementara tanpa meminta restu dari Presiden. Di
buku sejarahku waktu SD ditulis, “Mayjen TNI Soeharto dengan tangkas memegang tampuk
pimpinan TNI yang lowong sepeninggal A Yani.” Kalau bisa dan boleh aku ingin mengedit
tulisan di buku sejarahku dengan kata-kata, “dengan lancang Soeharto memegang tampuk
pimpinan TNI.” Masih banyak orang yang harusnya dimintai restu oleh Soeharto atas inisiatifnya
memegang tampuk pimpinan TNI.

Lalu dengan mudah Soeharto yang telah mengetahui semua seluk beluk aksi PKI ini menumpas
PKI. Hanya dalam waktu beberapa jam saja, para pelaku pemberontakan PKI ditangkap dan
sebagian lagi kabarnya melarikan diri ke luar negeri. Lalu Soeharto menyebarkan doktrin bahwa
PKI telah melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Soekarno. Padahal PKI bermaksud
menggagalkan kudeta yang akan dilancarkan oleh para jendral tersebut. PKI dijadikan kambing
hitam oleh Soeharto atas apa yang memang diinginkannya. Satu langkah Soeharto untuk
menguasai negeri ini berhasil.

Supersemar

Suasana negara saat itu benar-benar memburuk. Negara yang masih muda ini serasa berasa di
titik paling bawah dari keterpurukannya. Perekonomian anjlok, harga bahan pangan menjulang,
bahan pangan susah didapat dimana-mana, kerusuhan pecah di seluruh wilayah negeri ini.
Beberapa elemen masyarakat melakukan aksi yang berbuntut dengan dicetuskannya Tritura (Tri
Tuntutan Rakyat). Isi Tritura adalah:

1.Bubarkan PKI

2. Turunkan Harga
3. Bersihkan kabinet dari unsur-unsur G 30 S PKI

Вам также может понравиться