Вы находитесь на странице: 1из 3

Dalam hal apabila barang gadai tersebut hilang atau nilai dari barang tersebut

turun/merosot akibat kesalahan, kesengajaan, atau kelalaian dari pemegang gadai, maka
pemegang gadai harus bertanggungjawab atas hal itu. Hal ini berbeda jika kehilangan atau
kemerosotan nilai barang tersebut disebabkan karena faktor-faktor di luar kehendak pemegang
gadai atau force majeur. Pasal 1157 ayat 1 KUHPer menyebutkan sebagai berikut:

Si berpiutang adalah bertanggungjawab untuk hilangnya atau kemerosotan barangnya sekadar


itu telah terjadi karena kelalaiannya.

Dari pasal tersebut, jelas bahwa pemegang gadai harus bertanggungjawab atas kehilangan
atau kemerosotan yang disebabkan karena ulahnya. Dalam pasal ini disebutkan “....sekadar itu
telah terjadi karena kelalaiannya,” yang apabila kita strict terhadap pasal tersebut, maka
pemegang gadai bertanggung jawan hanya jika lalai saja. Bagaimana kalau itu adalah karena
kesengajaan, apakah pemegang gadai tetap bertanggung jawab? Tentu saja dia harus
bertanggungjawab. Pasal tersebut harus ditafsirkan lebih luas lagi dan tanggung jawab tersebut
termasuk dalam hal adanya kesengajaan atau penyalahgunaan oleh penerima gadai. Tentunya,
pemberi gadai harus membuktikan kesalahan pemegang gadai dalam merawat barang gadai
milik debitur.

Oleh karena gadai timbul dari suatu perjanjian gadai, kesalahan pemegang gadai
membuat dirinya tidak dapat memenuhi prestasi-prestasi yang ditentukan oleh perjanjian gadai.
Dapat dikatakan bahwa pemegang gadai telah wanprestasi. Namun, wanprestasi atau lalai ini
harus dinyatakan oleh pemberi gadai secara tertulis, sebagaimana diatur oleh Pasal 1238
KUHPer.

Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis telah
dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang
harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

Dalam pasal 1238 KUHPer di atas, kata “si berutang” di atas jangan selalu ditafsirkan hanya
sebagai pihak yang berhutang uang saja, namun pihak yang memiliki kewajiban yang harus
dipenuhi kepada pihak lain dalam perikatan. Pemegang gadai dalam hal ini harus ditafsirkan
sebagai “si berutang” karena dia memiliki kewajiban untuk merawat dan memelihara barang
gadai tersebut.

Disamping secara tertulis langsung oleh debitur pemberi gadai dalam menyatakan lalai,
debitur pemberi gadai juga dapat menuntut di muka atas kelalaian atau wanprestasi pemegang
gadai, dan membuktikan kelalaian tersebut di muka hakim. Apabila memang terbukti bahwa
pemegang gadai telah wanprestasi, maka debitur dapat menuntut kembali barang gadainya
atau nilai uang yang setara dengan barang gadainya. Terhadap pemegang gadai, dia
diwajibkan mengganti kerugian, biaya, dan bunga jikalau terbukti telah lalai dalam menjalankan
prestasi perikatan atau perjanjian gadainya.

Bagaimana membuktikan jika pemegang gadai telah lalai dalam menjalankan


kewajibannya dalam merawat barang gadai? Tentunya harus melalui alat-alat bukti yang
ditentukan dalam Hukum Acara Perdata. Namun, sebelum membahas mengenai alat bukti apa
saja yang harus diajukan, perlu diperhatikan pasal berikut ini, yaitu Pasal 1865 KUHPer:

Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan
haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa,
diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.

Maksud dari ketentuan tersebut jelas bahwa apabila pemberi gadai merasa bahwa pemegang
gadai telah lalai dalam melaksanaan kewajibannya dan akibat kelalaian tersebut pemberi gadai
merasa dirugikan dan ingin mengklaim hak atau ganti rugi atas perbuatan pemegang gadai,
maka pemberi gadai harus membuktikan adanya keadaan tersebut.

Dalam Hukum Acara Perdata, pembuktian adanya kesalahan atau kelalaian suatu pihak
harus melalui alat-alat bukti di bawah ini berdasarkan Pasal 1866 KUHPer jo. 164 HIR:

1. Bukti surat. Bukti surat disini berdasarkan HIR terdiri dari surat biasa, akta otentik,
dan akta di bawah tangan.Namun, bukti surat disini harus juga diartikan secara
lebih luas dan dapat pula mencakup dokumen-dokumen penting dan tertulis serta
tentunya perjanjian yang melandasi gadai tersebut. Dalam hal ini, si pemberi
gadai berdasarkan bukti surat tersebut harus membuktikan bahwa pemegang
gadai telah lalai dalam menjalankan kewajibannya.

2. Bukti saksi. Apabila memang ada dan diperlukan, pemberi gadai mendatangkan
saksi bagi dirinya untuk membuktikan kalau penerima gadai telah lalai, asalkan
saksi tersebut bukanlah saksi yang dilarang diperdengarkan kesaksiannya
berdasarkan Pasal 145 HIR.

3. Persangkaan-persangkaan. Bukti ini digunakan apabila sukar untuk memperoleh


saksi yang melihat, mendengar, atau mengetahui peristiwa kelalaian pemegang
gadai. Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang
telah dianggap terbukti atau peristiwa yang dikenal, ke arah suatu peristiwa yang
belum terbukti. Yang menarik kesimpulan tersebut adalah hakim atau undang-
undang. Persangkaan tersebut haruslah memang penting, teliti, tertentu, dan
berhubungan satu sama lain.[19]

4. Pengakuan. Alat bukti berupa pengakuan ini sangat penting, namun apakah
seseorang yang bersalah rela untuk memberikan pengakuan bahwa dirinya telah
lalai? Tentunya tergantung dari itikad pemegang gadai. Terlepas dari itu,
pengakuan ini dapat diperoleh baik melalui sidang ataupun di luar sidang. Hakim
yang memeriksa perkara ini harus menganggap bahwa pengakuan yang dibuat
pemegang gadai merupakan bukti yang cukup dan sempurna baik pengakuan
tersebut diucapkan sendiri langsung atau kuasanya. Apabila pengakuan tersebut
dilakukan di luar sidang, maka diserahkan kepada hakim untuk menilai kebenaran
pengakuan tersebut.
5. Sumpah. Bukti ini cukup penting dalam Hukum Acara Perdata. Hakim maupun
pemberi gadai selaku penggugat dapat meminta pemegang gadai untuk
bersumpah dalam hal membuktikan lalai tidaknya si pemegang gadai.
Sebenarnya sumpah merupakan alat bukti, namun keterangan pemegang
gandailah yang merupakan alat buktinya yang kemudian dikuatkan oleh sumpah.

Dalam praktek, masih terdapat satu macam alat bukti lagi yang sering dipergunakan
yaitu pengetahuan hakim. Yang dimaksud dengan pengetahuan hakim adalah adalah hal atau
keadaan yang diketahui sendiri oleh hakim dalam sidang. Berdasarkan pertimbangan alat bukti
yang diajukan dalam persidangan, hakim dapat menentukan dan menetapkan sendiri perihal
kebenaran dalam kasus yang bersangkutan.

Oleh karena gadai timbul dari perjanjian, maka alat bukti utama dan yang paling dasar
adalah perjanjian gadai itu sendiri dan apabila perlu perjanjian pokoknya. Disinilah dimuat apa
saja kewajiban bagai para pihak khususnya pemegang gadai, prestasi-prestasinya, dan akibat-
akibat hukumnya.

Sumber : http://mfaizaziz.blogspot.com/2008/09/overview-gadai-dan-gadai-saham-secara.html

Вам также может понравиться