Вы находитесь на странице: 1из 10

I.

PENDAHULUAN Jumlah penduduk di Indonesia berdasarkan Sensus Penduduk 2010 telah mencapai 237,6 juta jiwa. Jumlah tersebut bertambah sekitar 32,5 juta jiwa sejak tahun 2000. Jumlah penduduk yang meningkat tersebut tentu berdampak pada kebutuhan terhadap ruang terutama untuk permukiman. Namun, pada kenyataannya jumlah kebutuhan lahan permukiman belum dapat disediakan secara proporsional. Selain itu, lahan-lahan yang telah dapat disediakan masih banyak yang tidak sesuai untuk permukiman. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya arahan pengembangan perumahan secara terpadu agar terjalin sinergi produktivitas dan kelestarian lingkungan hidup terutama kelestarian ekologi. Pemilihan lokasi yang tepat untuk permukiman mempunyai makna strategis dan penting dalam aspek keruangan, salah satunya adalah dampak permukiman itu sendiri terhadap lingkungan di sekitarnya (Sutikno,1982). Pertimbangan agar lokasi permukiman lebih tepat guna dan berdaya guna memerlukan pengaturan lahan dan ruang secara berencana mengikuti kaidah-kaidah perencanaan tata ruang sebagai satu kesatuan sistem agar usaha-usaha pembangunan lebih produktif (martopo, 1987). Kesesuaian lahan untuk permukiman merupakan tingkat kecocokan suatu lahan untuk penggunaan permukiman. Parameter penentu kesesuaian lahan untuk permukiman yang merupakan unsur penyusun lahan antara lain kemiringan lereng, jumlah dan kedalaman alur, keseringan dan lama genangan banjir, tingkat erosi dan longsor lahan,kekuatan batuan, tingkat pelapukan batuan, drainase permukaan, daya dukung tanah dan batuan serta nilai kembang kerut tanah (Suprapto, 1993). Sub DAS Pabelan bagian hulu berada pada bentuklahan vulkanik Merapi memiliki tingkat kesesuaian untuk permukiman tidak sesuai karena memiliki lereng yang terjal. Kondisi ini menyebabkan kurangnya daya dukung lereng terhadap pembangunan perumahan di bagian hulu tersebut. Akan tetapi, kesesuaian untuk permukiman yang tidak sesuai di bagian hulu tidak didukung kesadaran masyarakat karena pada kenyataannya masih banyak yang membangun perumahan di bagian hulu sub DAS Pabelan yang seyogyanya merupakan kawasan konservasi. Bangunan di bagian hulu sub DAS Pabelan yang terus bertambah mengancam timbulnya peningkatan run off akibat berkurangnya daerah resapan di bagian hulu. Adanya lereng yang terjal menyebabkan semakin cepatnya aliran run

I.1. LATAR BELAKANG

off yang berdampak pada ancaman lain berupa erosi bagian hulu dan sedimentasi di bagian hilir yang akan merusak lingkungan. Dampak tersebut dapat dikurangi dengan upaya-upaya pengelolaan lingkungan sehingga pembangunan perumahan di bagian hulu tidak bertambah dan akibat yang timbul dari bangunan yang sudah ada dapat dikurangi. Dengan demikian, kondisi-kondisi di atas merupakan latar belakang dilakukan penulisan ini. I.2. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana pembangunan permukiman di bagian hulu sub DAS Pabelan yang berada pada tingkat kesesuaian lahan yang tidak sesuai memberikan dampak negatif terhadap lingkungan? 2. Apa saja upaya pengelolaan lingkungan yang dibutuhkan untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan dari pembangunan permukiman yang tidak sesuai di bagian hulu sub DAS Pabelan? I.3. TUJUAN 1. Mengidentifikasi dampak negatif terhadap lingkungan yang timbul dari pembangunan permukiman yang tidak sesuai di bagian hulu sub DAS Pabelan. 2. Mengajukan upaya-upaya pengelolaan lingkungan untuk mengurangi dampak negative terhadap lingkungan yang ditimbulkan oleh pembangunan permukiman yang tidak sesuai di bagian hulu sub DAS Pabelan. I. TINJAUAN PUSTAKA II.1. KONSEP KESESUAIAN LAHAN Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan potensial). Kesesuaian lahan dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu kesesuaian lahan potensial dan kesesuaian lahan aktual. Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan masukan- masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala. Sedangkan keseuaian lahan potensial menggambarkan kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan (Sitorus, 1985).

Kesesuaian lahan merupakan bagian dari evaluasi lahan, dimana evaluasi lahan sendiri adalah proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaanpenggunaan (kepentingan) tertentu, contohnya untuk permukiman. Evaluasi lahan ini (permukiman) digunakan untuk perencanaan tataguna lahan yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari. Metode pencocokan atau Matching untuk kesesuaian lahan permukiman di DAS menggunakan beberapa kriteria sifat lahan beserta tingkat pembatasnya. Karena permukiman bukan merupakan klasifikasi pertanian, maka cara penentuan kerangka sistem klasifikasi berbeda dengan USDA. Tingkat kesesuaian lahan untuk permukiman dipengaruhi oleh beberapa faktor pembatas, Faktor pembatas menyebabkan suatu lahan terhambat atau tidak bisa digunakan dengan baik untuk suatu tujuan tertentu (mengurangi nilai/value).Faktor-faktor pembatas itu adalah lereng permukaan, kepekaan erosi, tingkat erosi, kedalaman tanah, tekstur tanah, permeabilitas, drainase, batuan kasar, ancaman banjir dan garam/salinitas (Sitorus, 1985). II.2. KONSEP PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERBASIS DAS Daerah aliran sungai merupakan suatu daerah dengan batas fisik berupa topografi dengan satu outlet di mana dalam daerah terssebut terbentuk suatu ekosistem yang khas (Asdak, 2001). Ekosistem dalam DAS sendiri terbagi menjadi 3 bagian yaitu hulu, tengah dan hilir. Ketiga ekosistem tersebut merupakan satu system, di mana setiap hal yang terjadi pada salah satu bagian tersebut akan mengubah system yang ada di bawahnya. Daerah-daerah hulu merupakan daerah yang memegang peranan penting dalam DAS, di mana bagian hulu merupakan daerah tempat terjadinya prosesproses yang penting, di mana proses tersebut mreupakan proses yang mempengaruhi keadaan lingkungan di bagian lain dalam DAS (Asdak,2001). Sebagai contoh, perkembangan permukiman yang pesat di bagian hulu dapat mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan, yang berakibat banjir pada bagian hilir maupun bagian tengah. Maka dapat dikatakan bahwa antara tiga bagian dalam suatu DAS terdapat keterkaitan secara fisik, di mana perubahan pada salah satu bagian tersebut akan berakibat pada perubahan respon DAS terhadap berbagai fenomena fisik yang terjadi pada DAS tersebut. Maka pengelolaan juga perlu melibatkan keterpaduan antara wilayah hulu, tengah dan hilir agar terwujudnya lingkungan yang lestari, baik dari sisi ekologi maupun fungsi kawasan (Asdak, 2001).

II.PEMBAHASAN Kesesuaian Lahan Permukiman VS Penggunaan Lahan Permukiman Faktor fisik dalam penentuan kesesuaian lahan, terutama kesesuaian lahan permukiman tentunya tidak menjadi acuan utama. Faktor lain seperti fungsi kawasan tentunya perlu dimasukkan pada penentuan kesesuaian. Dalam konteks daerah aliran sungai (DAS), tentunya fungsi kawasan merupakan hal penting, di mana dalam sistem DAS perubahan yang terjadi pada bagian DAS tentunya akan menimbulkan perubahan dalam proses yang terjadi pada bagian lain, sehingga menghasilkan output yang berbeda dengan keaadan yang lalu. Sub DAS Pabelan merupakan bagian dari DAS Progo, dimana lokasi Sub DAS tersebut berada pada bagian hulu dari DAS Progo. Terkait dengan kesesuaian lahan untuk permukiman, bagian hulu Sub DAS Pabelan didominasi oleh jenis kesesuaian lahan mulai tingkat kesesuaian buruk hingga sedang. Artinya secara fisik bagian hulu Sub DAS Pabelan bukan merupakan daerah yang baik untuk permukiman, dikarenakan faktor lereng yang menjadi penyebab utama mengapa daerah tersebut tidak sesuai untuk kawasan permukiman. Dalam konteks DAS, daerah tersebut juga tidak sesuai untuk permukiman, dikarenakan bagian hulu yang merupakan bagian pengontrol prosesproses yang akan terjadi pada bagian bawah Sub DAS, yaitu bagian hilir. Fungsi kawasan hulu yang pada dasarnya merupakan daerah konservasi dan resapan air hujan tentunya tidak ccok bila dimanfaatkan sebagai kawasan terbangun. Hal tersebut dapat mengurangi fungsi kawasan dalam meresapkan air. Secara ekologis, perubahan penggunaan lahan dengan pembukaan hutan akan menyebabkan kerusakan lingkungan. Namun keadaan di lapangan yang sebenarnya sangat berbeda, faktor pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja dan pola kehidupan sosial akan memicu manusia untuk terus mengoptimalkan penggunaan lahan sebagai proses awal pemekaran wilayah dan alih fungsi lahan. Hal tersebut secara tidak langsung akan mengakibatkan meningkatnya pembangunan dan penambahan pusatpusat aktivitas baru pemacu pertumbuhan wilayah, dan berdampak pada peningkatan kebutuhan perumahan dan lahan, dimana keterbatasan tersedianya lahan di suatu wilayah. Akibatnya, pemanfaatan lahan terjadi secara intensif dengan tingkat kepadatan bangunan dan penduduk yang tinggi. Kondisi ini dapat mendorong terjadinya penggunaan lahan produktif, karena lahan yang relatif murah dapat dijumpai di daerah yang subur dengan dominasi guna lahan pertanian dan perkebunan. Daerah yang subur

biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya daerah yang dekat dengan aliran sungai, daerah sekitar gunung api, maupun daerah yang berada di dataran tinggi seperti halnya pada bagian hulu Sub DAS Pabelan. Tingkat kenyamanan yang tinggi menjadi salah satu sebab besarnya permukiman di bagian hulu Sub DAS Pabelan selain daerah ini merupakan daerah yang subur dan cocok digunakan sebagai daerah pertanian maupun perkebunan. Harga lahan di daerah seperti ini biasanya lebih murah, sehingga tidak sedikit orang mendirikan permukiman di daerah yang seperti ini. DAS Pabelan memiliki permukiman yang cukup padat terutama di bagian tengah dan hilir DAS. Permukiman di hulu DAS Pabelan hanya sedikit meskipun demikian hal tersebut sangat berpengaruh terhadap daerah resapan air. Semakin banyaknya permukiman di sepanjang DAS Pabelan akan berdampak pada pengurangan daerah resapan air karena vegetasi yang merupakan faktor penghambat terjadinya run off sudah berganti dengan berdirinya permukiman, oleh karena itu air hujan yang turun akan langsung menjadi aliran permukaan (run off). Daerah hulu DAS Pabelan memiliki curah hujan yang tinggi tetapi vegetasi yang terdapat di hulu sudah berkurang akibat adanya permukiman di daerah tersebut sehingga hal ini menyebabkan volume aliran permukaan semakin tinggi terutama di bagian tengah dan hilir DAS Pabelan. Daerah hilir sungai merupakan daerah yang sangat besar menerima dampak dari perluasan daerah permukiman di bagian hulu karena volume serta debit aliran dan sedimentasi yang dibawa oleh aliran semakin besar. Daerah hulu DAS seharusnya tidak diperbolehkan untuk membuat permukiman karena daerah tersebut merupakan daerah konservasi yaitu hutan lindung agar terjadi keseimbangan antara daerah hulu, tengah dan hilir DAS. Faktor lain yang menjadi penghambat dalam penggunaan lahan permukiman di sekitar Sub DAS Pabelan adalah potensi bencana yang tinggi, berupa letusan gunung berapi. Kondisi fisik Sub DAS yang masih dipengaruhi oleh aktivitas vulkanik dari Gunung Merapi menandakan bahwa resiko letusan Gunung Merapi yang akan terjadi pada Sub DAS tersebut cukup tinggi. Permukiman merupakan salah satu bagian yang sangat rentan untuk terkena dampak letusan gunung Merapi, dimana selain lokasi yang dekat dengan pusat aktivitas letusan, juga arah dari letusan yang selalu mengarah pada lereng barat menjadi sebab mengapa resiko bencana di Sub DAS tersebut sangat tinggi. Sehingga, bentuk mitigasi terhadap bencana letusan gunung Merapi daerah tersebut tidak seharusnya menjadi kawasan permukiman. Proses mitigasi seharusnya dilakukan dalam bentuk rencana tata ruang yang sesuai, di mana fungsi kawasan pada daerah

tersebut lebih diutamakan sebagai kawasan konservasi dan hutan lindung agar pemanfaatan yang berhubungan dengan manusia seperti permukiman, pertanian, dan lain lain. Bentuk penyelesaian permasalahan lingkungan dilakukan dengan tiga pendekatan dalam pengelolaan lingkungan. Pendekatan teknologi dengan pembuatan sumur resapan, serta mengurangi pemanfaatan mata air, dengan menerapkan penggunaan air secara substitutif, di mana pada musim hujan penggunaan air dialihkan menjadi air hujan, yang ditampung pada suatu penampungan dengan atap sebagai alat penangkap hujan. Pada musim kemarau barulah digunakan mata air sebagai sumber air utama. Metode tersebut dapat memaksimalkan kelestarian air, dimana apabila metode penggunaan air secara substitutif yang dikombinasikan dengan sumur resapan. Hal tersebut tentunya dapat memaksimalkan fungsi kawasan hulu sebagai kawasan resapan air dan recharge airtanah. Sosialisasi tentunya merupakan bentuk pendekatan yang dilakukan guna menerapkan teknologi sumur resapan sebagai penyelesaian masalah pengelolaan lingkungan baik daerah hulu maupun hilir. Semakin menjamurnya perumahan yang di daerah hulu dengan referensi tingkat polusi lebih rendah, kualitas air bagus, panorama indah dan juga daerah pertanian yang bagus untuk segala jenis tanaman sayuran serta buah semakin menarik banyak orang untuk tinggal di perumahan daerah hulu. Hal tersebut yang memicu meningkatnya run off di hulu, sehingga potensi banjir di daerah hilir meningkat. Sehingga, dengan adanya sosialisasi dari pihak-pihak maupun instansi terkait dengan adanya dampak perumahan daerah hulu serta penyelesaian yang ditawarkan berupa pembuatan sumur resapan akan lebih mudah di terima oleh masyarakat serta developer dari perumahan tersebut. Sehingga antara pemerintah, masyarakat dan developer tidak mengalami kesalahpahaman mengenai penyelesaian tentang sumur terapan, serta pihak developer sekaligus dapat mempertimbangkan harga dari rumah beserta sumur terapan yang telah mereka bangun sesuai dengan pengelolaan lingkungan. Tata ruang merupakan salah satu bentuk pendekatan yang melibatkan berbagai institusi dalam mengelola lingkungan. Bentuk tata ruang tentunya perlu disesuaikan dengan fungsi kawasan yang mengacu pada fungsi ekosistem Sub DAS yang sesuai. Sub DAS Pabelan merupakan bagian hulu dari DAS Progo, dimana fungsi bagian hulu adalah sebagai tempat resapan air (recharge area) dan kawasan konservasi. Bentuk konservasi yang baik adalah dengan memaksimalkan resapan air, agar kelestarian

airtanah dapat terjaga. Selain itu, dalam perencanaan tata ruang dan permukiman, juga perlu dipertimbangkan permasalahan dampak letusan Gunung Merapi, yang berbasis pada morfologi sebaran awan panas dan aliran lahar dingin (LPPM UGM,2010). Hal tersebut guna meminimalisir dampak letusan Gunung Merapi. Perencanaan tata ruang juga harus dilakukan secara terpadu, baik pada daerah hulu, tengah maupun hilir, dikarenakan sistem DAS merupakan sistem yang terpadu dan saling berkaitan. Pihakpihak yang terlibat tentunya tidak hanya pada satu pihak saja, namun juga adanya keterpaduan program antara pihak atau instansi yang terkait dengan pengelolaan lingkungan berbasis tata ruang. Dengan menerapkan pengelolaan lingkungan berbasis tata ruang tersebut, pengelolaan lingkungan dengan berbasis DAS akan berjalan dengan baik dan terpadu. III.KESIMPULAN 1. Permasalahan permukiman yang terjadi pada Sub DAS Pabelan adalah lokasi permukiman yang berada pada zona kesesuaian yang buruk, serta padatnya permukiman pada bagian hulu Sub DAS Pabelan. 2. Dampak yang dapat terjadi adalah berkurangnya resapan air, yang berakibat pada meningkatnya run off dan berkurangnya daya resapan air di bagian hulu. 3. Tingkat resiko bencana yang tinggi pada daerah Sub DAS Pabelan menjadi factor lain ketidaksesuaian untuk lahan permukiman pada Sub DAS tersebut. 4. Perencanaan tata ruang yang berbasis pada fungsi eksosistem DAS dan mitigasi bencana merupakan salah satu alternatif utama dalam menanggulangi permasalahan lingkungan yang terjadi pada Sub DAS Pabelan. 5. Bentuk penyelesaian permasalahan lingkungan dilakukan dengan tiga pendekatan dalam pengelolaan lingkungan yaitu pendekatan teknologi, pendekatan sosial dan pendekatan secara spasial. 6. Pendekatan teknologi dengan pembuatan sumur resapan, serta mengurangi pemanfaatan mata air, dengan menerapkan penggunaan air secara substitutif. 7. Sosialisasi tentunya merupakan bentuk pendekatan yang dilakukan guna menerapkan teknologi sumur resapan sebagai penyelesaian masalah pengelolaan lingkungan baik daerah hulu maupun hilir. 8. Tata ruang merupakan salah satu bentuk pendekatan yang melibatkan berbagai institusi dalam mengelola lingkungan.

I. DAFTAR PUSTAKA Arsyad. Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Asdak, Chay. 2001. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press LPPM UGM. 2010. Kebijakan Penyusunan Tata Ruang dan Pemukiman Harus Perhatikan Morfologi Sebaran Awan Panas dan Lahar Merapi. Diunduh dari http://lppm2.ugm.ac.id/lppm-highlights/109 tanggal 26 juni 2011 jam 12:22 Martopo, S. 1987. Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang dalam Lingkungan Hidup. Materi Kursus Pengenalan AMDAL dalam Rangka Orientasi Pengendalian Pencemaran Lingkungan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Yogyakarta : Fak. Geografi UGM. Sitorus, Santun R. P. 1985. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung: ITB Sutikno. 1982. Peranan Geomorfologi dalam Aspekaspek Keteknikan. Makalah Seminar Geografi II IGEGAMA. Yogyakarta : Fak. Geografi UGM. Worosuprojo, S dan Suprapto D. 1993. Klasifikasi dan Evaluasi Medan Materi Kursus Evaluasi Sumberdaya Lahan Angkatan III Tanggal 1 31 Juli 1993. Yogyakarta : Fak. Geografi UGM.

Sifat tanah Drainase

Kesesuaian lahan: Baik Sedang Buruk Bangunan dengan ruang bawah tanah: Baik hingga Sedang Agak buruksangat baik terhambat Tanpa ruang bawah tanah: Sedang hingga Sngt cepat Buruk hingga Agak buruk Terhambat

Air tanah musiman ( > 1 bulan )

Dengan ruang bawah tanah: > 150 cm > 57 cm > 75 Tanpa ruang bawah tanah: > 50 Tanpa 8 - 15% Sedang < 75 < 50

Banjir Lereng Potensi mengembang dan mengkerut Besar butir*) Batu kecil

Tanpa 0 - 8% Rendah

Jarang-sering > 15% Tinggi

GW,GP,SP,GM Tanpa-sedikit

ML, CL, CH,MG,OL,OH dengan PI<15 Sedang

GC,SM,SC,CL dengan PI>= 15 Agak banyak-

Batu besar

Tanpa

Sedikit

sangat banyak Sedang-sgt banyak

Tanpa ruang bawah tanah: 100-150 <100 cm Dengan ruang bawah tanah: > 100 cm 50-100 < 50 cm *) LL = liquid limit; PI = indeks plastisitas; GW = gravel GP = gravel, SP = pasir; SM = pasir berlempung; CL = liat; ML = lempung; CH = liat berdebu; MG= lempung berdebu; Dalamnya hamparan batuan > 150 cm

Tugas hidrologi Parameter fisik DASkondisi hidrologipengelolaan linkungan. Kerentanan DAS IPAL = sebab pembangunan IPAL, konsep lingkungan, kaitannya dengan UU LH

Вам также может понравиться