Вы находитесь на странице: 1из 4

PAJAK TANGGUHAN Sebagian dari kita mungkin pernah berfikir..

bahwa pajak tangguhan itu berkaitan dengan besarnya hutang pajak yang harus kita bayar kepada KPP? Tidak ada kaitan antara pengakuan pajak tangguhan dengan berapa jumlah pajak yang harus kita bayar kepada KPP. Kalau aku bilang sih Pajak Tangguhan murni Accounting Teori, tidak pernah diatur dalam UU perpajakan bahkan dengan UU Pajak No 16 Tahun 2000. Pajak Tangguhan wajib diberlakukan sejak tahun 1999 (kalau tidak salah) untuk perusahaan yang Go Publik dan sejak tahun 2001 untuk perusahaan yang non-go publik, hal ini tertuang tertuang dalam PSAK No. 46. Sudah sejak lama berlaku tetapi kenapa masih sering jadi bahan perdebatan sih..? Apa sesulit itu? Mungkin akhir-akhir ini sering kita dengar beberapa senior kita memperdebatkan masalah itu dengan klien, pada masa2 reporting biasanya hal itu mengemuka. Penyebab diakuinya pajak tangguhan adalah adanya beda temporer antara laba kena pajak dan laba menurut akuntansi. Perbedaan antara laba komersial dan laba fiskal mungkin disebabkan oleh beberapa hal, misal: adanya beban yang diakui sebagai beban pajak menurut akuntansi tetapi secara fiskal tidak boleh diakui (beban perjamuan tamu, beban denda pajak, dan beban-beban lain yang tidak berhubungan dengan kegiatan utuk memperoleh, memelihara dan menghasilkan pendapatan... bla.. bla...), perbedaan mungkin juga disebabkan karena dasar akrual dalam pengakuan biaya komersial tidak diperbolehkan menurut pajak, misal biaya pencadangan piutang ragu-ragu. Atas biaya ini menurut pajak hanya boleh diakui pada saat piutang benar2 tidak tertagih (dalam arti debitur sudah tidak ada, sudah diputuskan dalam pengadilan, diumumkan di koran.. bla.. bla). Yang terakhir inilah yang dimaksud dengan beda temporer (beda waktu). Ada perbedaan waktu saat pengakuan beban antara komersial dan pajak, contoh kongkrit: tahun 2001 PT Maju Jaya mencadangkan piutang raguragu sebesar Rp500 jt. Tentunya dalam laba tugi tahun 2001 PT Maju Jaya akan tercatat beban sebesar Rp500 jt dan akan menyebabkan labanya terkurangi sebesar jumlah yang sama. Dalam perhitungan PPH 29 (pajak badan akhir tahun, yang disampaikan dalam SPT tahunan PPH badan) maka beban ini tidak boleh dikurangkan dalam mencari laba kena pajak, sehingga laba kena pajak akan terkoreksi positif (menambah laba) sebesar jumlah yang sama. Pastilah PT Maju Jaya merasa kurang senang karena harus membayar pajak lebih. Misal pada tahun selanjutnya, 2002 biaya tersebut benar-benar tidak tertagih yang artinya debitur benar2 hilang dan telah diumumkan dalam surat kabar, ataupun sudah diputuskan dalam pengadilan (untuk memenuhi bisa dibebankan sebagai biaya menurut pajak). Maka pada SPT tahunan 2002 beban ini boleh dikurangkan sebagai pengurang untuk menghitung laba kena pajak. Inilah yang dimaksud dengan beda waktu.. accounting mencatat beban pada tahun 2001 dan pajak baru boleh diakui 2002... pada tahun 2002 tentu secara accounting tidak ada beban yang diakui karena jumlah yang bersangkutang telah dicadangkan. Dalam laporan keuangan beberapa koreksi fiskal temporer (yang menjadi dasar pengakuan pajak tangguhan) adalah sebagai berikut: 1. Kompensasi kerugian fiskal. 2. Beda penyusutan fiskal dan komersial 3. Koreksi atas pembentukan beban provisi (pencadangan) 4. dan beda2 temporer lain yang muncul.... Kompensasi Kerugian Fiskal Pada saat perusahaan mengalami kerugian fiskal tentu tidak akan diwajibkan membayar pajak, bahkan menurut pajak kerugian tersebut boleh dikompensasikan tahun berikutnya (sampai dengan 5 tahun mendatang).

Kompensasi tersebut dapat mengakibatkan perusahaan yang mengalami laba kena pajak tidak harus membayar pajak (tentu bila laba kena pajak tahun tersebut dapat ditutup oleh kerugian fiskal tahun sebelumnya). Contoh Kongkrit: PT Esmet (sori met, hahaaa..) pada tahun 2002 mengalami kerugian fiskal Rp 100 jt dan pada tahun 2003 mengalami laba fiskal sebesar 100 jt (asumsikan laba/ (rugi) fiskal sama dengan laba/ (rugi) komersial.
Laba/(rugi) kena pajak Beban pajak Laba/(rugi) bersih 2002 (100.000.000) (100.000.000) 2003 100.000.000 100.000.000

Kondisi tersebut menggambarkan bagaimana bentuk penyajian dalam laporan keuangan dari PT Esmet dalam 2 tahun. Beban pajak yang dimaksud adalah beban pajak kini (beban pajak yang murni kita bayarkan ke KPP). Tentu tidak ada beban pajak yang harus dibayar ke KPP pada tahun 2002 karena PT. Esmet dalam poisis rugi. Yang jadi pertanyaan adalah pada tahun 2003 PT. Esmet juga tidak membayar pajak.. jangan2 si Esmet nakal ga mau bayar pajak? PT Esmet memang tidak membayar pajak karena laba kena pajak tahun 2003 yang seharusnya dihitung beban pajaknya sesuai dengan tarif 10%, 15% dan 30%, tidak dihitung karena seluruh laba kena pajak tahun 2003 dapat ditutup oleh kompensasi kerugian tahun sebelumnya. Yang jadi pertanyaan dan bisa menyesatkan pembaca adalah mungkin kondisi perbandingan antara 2 tahun tersebut, hebat sekali PT. Esmet bisa mencapai laba Rp100 jt dan dari kondisi tahun lalu yang rugi Rp100 jt (asumsikan saja laba (rugi) komersial dan laba (rugi) kena pajaknya sama). Para penggagas pajak tangguhan telah berfikir ke depan, dimana mereka melihat bahwa pada tahun 2002 tersebut seharusnya perusahaan tidak mengalami kerugian sebesar Rp100 jt. Seharusnya lebih kecil dari Rp100 jt? Kenapa... karena ada bagian tertentu yang dimanfaatkan pada tahun selanjutnya sehingga tidak membayar pajak. Dalam konsep pajak tangguhan kita memakai pengali (x) 30% sebagai dasar untuk menentukan manfaat yang bisa dipakai pada tahun berikutnya. Kenapa 30%.. dulu-dulu pernah saya pertanyakan.. tapi tidak ada jawaban yang memuaskan, mungkin juga tidak terdapat perbedaan yang material bila kita menggunakan tarif sesungguhnya. Jadi bila diterapkan pajak tangguhan maka pada tahun 2002 PT Esmet hanya mengalami kerugian sebesar Rp70 jt dan pada tahun 2003 mengalami laba bersih Rp70 jt.
Laba sebelum pajak Pendapatan (beban) pajak tangguhan Laba bersih 2002 (100.000.000) 30.000.000 (70.000.000) 2003 100.000.000 (30.000.000) 70.000.000

Kondisi setelah diterapkan pajak tangguhan tersebut jelas lebih menunjukkan kondisi PT Esmet sesungguhnya, pada tahun 2002 hanya mengalai kerugian sebesar Rp70 jt. Sesuai dengan matching principle tentu hal ini sudah benar karena manfaat 20 jt sehingga pada tahun 2003 berasal dari tahun 2002 maka mm sudah seharusnya diakui pada tahun 2002. Jurnal:

Tahun 2002: Db: Aktiva pajak tangguhan Rp30.000.000 Cr: Pendapatan pajak tangguhan Rp30.000.000 (untuk mengakui aktiva pajak tangguhan pada tahun 2002 sekaligus mengurangi kerugian karena ada sejumlah Rp30 jt yang bisa dimanfaatkan pada tahu selanjutnya) Tahun 2003: Db: Beban pajak tangguhan Rp30.000.000 Cr: Aktiva pajak tangguhan Rp30.000.000 (untuk menghilangkan aktiva pajak tangguhan dan mengakui beban karena manfaat tersebut telah dipakai pada tahun tersebut) Yang perlu menjadi perhatian adalah konsep bahwa kerugian fiskal harus dikompensasikan selama 5 tahun. Pada saat tahun 2002 PT Esmet terkena kerugian fiskal Rp100 jt, maka pada saat kita ingin mencatat 30% sebagai pajak tangguhan maka yang harus dikaji adalah apakah dalam 5 tahun medatang PT Esmet mampu memanfaatkan kompensasi tersebut. Yang menjadi permasalahan mungkin muncul adalah bila dalam jangka waktu 5 tahun ke depan sampai dengan tahun 2007 ternyata PT Esmet selalu merugi.. sehingga tidak ada yang bisa dimanfaatkan atas kerugian tahun 2002 untuk mengkompensasi laba. Maka perlu ditegaskan bahwa atas kerugian tahun 2002 tsb tidak boleh diakui adanya aktiva pajak tangguhan. Ingat setiap kita mengakui aktiva maka pada tahun berikutnya akan terjadi beban atas aktiva tersebut.. jadi akan tidak logis kalau kita mengakui aktiva ternyata aktiva tersebut tidak memberikan manfaat samapi tahun ke 5 dan harus dihapus (dibebankan) pada tahun ke 5... tahun ke-5 yang sudah rugi tentu akan lebih rugi lagi... Mungkin ada pertanyaan yang menarik, pada tahun 2002 pada saat PT Esmet menyampaikan SPT tahunan maka akan jumlah kerugian fiskal tersebut baru merupakan estimasi... karena belum ada pemeriksaan pajak. Dan sangat mungkin sekali atas kerugian fiskal tersebut tidak sebesar itu bila telah diperiksa pajak. Bila pada tahun 2001 PT Esmet laba maka pada tahun 2002 akan membayar PPH 25, dan ketika akhir tahun mengalami kerugian tentu PT Esmet berhak meminta kembali angsuran PPH 25 tersebut. Bila demikian pemeriksaan pajak pasti akan datang.. dan bisa melakukan koreksi atas jumlah kerugian fiskal yang telah dicatat. Baru-baru ini saya menyadari kalau ternyata kantor kita menggunakan provisi atas jumlah aktiva pajak tangguhan yang telah dibentuk. Jadi pada tahun 2002 disamping mencatat aktiva pajak tangguhan sebesar Rp30 jt maka juga mengakui sejumlah provisi untuk menurunkan jumlah aktiva pajak tangguhan yang diakui, karena bila diperiksa kantor pajak sangat mungkin jumlah tersebut kerugian fiskal tersbeut akan turun dan menyebabkan aktiva pajak tangguhan kita terlalu besar bila tidak di provisikan.. Catatan: Untuk penghitungan aktiva pajak tangguhan (dalam kasus PT Esmet) tahun 2002, memang sebaiknya menggunakan dasar persentase penghitungan PPH Badan yaitu 10%, 15% dan 30%. Kalau kita hitung dengan jumlah tesebut maka aktiva pajak tangguhan yang diakui pada tahun 2002 adalah Rp12,5 juta. Mungkin saja di EY sudah pakai yang ini tapi jujur aja aku ga tahu.. mungkin si Esmet bisa ngasi opini biar slebaran ini tidak menyesatkan. Untuk pembahasan unsur-unsur pajak tangguhan yang lainnya maybe.. next session.. udah ampe berdarah2 nih nulisnya..

Mohon maap kalau ada yang salah.. saya terbuka buat kritik dan saran (maap met aku pinjam kata-katamu lagi.. hihii..).. Terima kasih yang udah mau membaca slebaran ini semoga berguna.. ini hanya pemahaman konsep saja.. dalam praktenya nanti memang akan muncul berbagai masalah... tapi bila konsep udah kita pegang.. tenang aja segala masalah akan bisa dilogika.. Salam peace Priyo

Вам также может понравиться