Вы находитесь на странице: 1из 26

Presentasi Kasus Farmakologi Klinik RSUD AWS FK Unmul Tanggal: 22 April 2010 No Reg : 10.01.30.47 No RM : 42.21.

96

I.

Identitas pasien: : Tn. MN : 38 tahun : Kawin : Swasta

Tanggal pemeriksaan: 20 April 2010

Nama Usia Status Pekerjaan

Jenis Kelamin : Laki - laki Dokter yang memeriksa : dr. Sri Wahyuni; dr. Enny Pasolang, Sp.PD ____________________________________________________________________ II. Anamnesis (Subyektif)

Keluhan Utama : Nyeri sendi Riwayat Penyakit Sekarang: Nyeri seluruh persendian dialami pasien sejak 2 hari sebelum MRS. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan bertambah berat bila pasien bergerak, sehingga membatasi aktivitas. Pasien juga mengalami, pasien mengeluh sakit pada tenggorokan saat menelan ludah sejak 2 hari sebelum MRS sehingga pasien kesulitan saat makan. Pasien juga mengalami demam yang tidak turun-turun 1 hari sebelum MRS.

Delapan bulan sebelum MRS pasien mengalami mati rasa pada kedua kakinya, dan sudah mengalami kesulitan berjalan sejak 2 minggu sebelum MRS. Empat belas bulan sebelum MRS pasien mengalami kaku pada persendian terutama setelah beraktivitas berat, merasakan tidak nyaman dan panas pada kulit bila terkena sinar matahari langsung. Pasien juga mengalami gatal-gatal pada wajahnya yang menyebar ke tangan lalu ke seluruh tubuhnya dan muncul luka seperti koreng pada bagian tubuh yang gatal dan terus menjalar hampir ke seluruh tubuh, tangan dan kedua tungkai. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak memiliki riwayat alergi, hipertensi, maupun diabetes melitus

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada III. Pemeriksaan Fisik (Obyektif) Keadaan Umum GCS Vital Sign Kepala-Leher - Wajah : terdapat banyak lesi sikatriks pipi,hidung, dahi: hiperpigmentasi - Mata: Konjunctiva= anemis(-) Sklera = ikterik (-) Refleks pupil +/+ isokor - Mulut : bibir pecah-pecah, stomatitis (+), lidah kotor - Leher: pembesaran KGB (-/-), pembesaran tiroid (-) Thorax : Pulmo : malar rash dan ruam diskoid (+),Vesikular, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-) : Tampak sakit sedang : E4V5M6 : TD 120/80, N =96X/menit, RR 24X/menit, Temp 39,8 C

Cor : S1S2 tunggal, regular, murmur(-), gallop (-) Abdomen: flat, soefl, H/L/G tidak teraba, NT abdomen (-), timpani, BU (+) kesan normal. Ekstremitas : Akral hangat, ulkus di tungkai kanan (kalor,rubor, dolor, oedema, punctio lesio(+)),Terlihat sikatrik dan ruam diskoid tersebar pada ke empat ektremitas.

Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan Hb Hct Leu Plt GDS Asam urat Ureum Kreatinin HBsAg SGOT SGPT Bilirubin total Bilirubin direk Bilirubin indirek Protein total Albumin Globulin Kolesterol Natrium Kalium Chloride IV. 16-4-2010 12.1 35.0 10.000 255.000 161 3.0 20.0 0.6 47 83 6.7 4.2 2.5 7.4 3.1 4.3 196 141 2.7 100 17-4-2010 13.2 43.4 10.900 163.000 96 3.2 24.6 0.9 42 20 0.8 0.2 0.6 8.0 4.0 4.0 249

Diagnosa (Assessment) Lupus Eritomatosus Sistemik

V.

Terapi y y y y y y y Infus RL 30 tpm Dexamethasone 3x1ampul Inj. Ranitidin 2x 1 ampul Asam folat 2x1 tab Gentamycine zalp Ceftriaxone injeksi 2x1 Natrium diklofenac 2x1

Follow up harian: Waktu 17 April 2010 Observasi S: nyeri seluruh sendi (+), demam (+), mual (-), muntah (-) O: TD = 120/80, n = 80x/mnt, RR = 20x/mnt, T= 38C A: Anemis (-/-), ikterik (-/-), nyeri tekan epigastrik (+), Hepar/ Lien tidak teraba, akral hangat,edema (-) SLE P : Infus RL 30 tpm Dexamethasone 3x1amp Ranitidin inj 2 x 1 amp Asam folat 2x1 Gentamycine zalp Ceftriaxone inj 2x1 Natrium diklofenac 2x1 18 April 2010 S: nyeri seluruh sendi (+), demam (+), mual (-), muntah (-) O: TD = 120/80, n = 80x/mnt, RR = 20x/mnt, T= 38C A: Anemis (-/-), ikterik (-/-), nyeri tekan epigastrik (+), Hepar/ Lien tidak teraba, akral hangat,edema (-) SLE P : Infus RL 30 tpm

Dexamethasone 3x1amp Ranitidin inj 2 x 1 amp Asam folat 2x1 Gentamycine zalp Ceftriaxone inj 2x1 Natrium diklofenac 2x1

VI.

Masalah yang akan dibahas y y y Penggunaan obat-obatan pada kasus berdasarkan diagnosa Interaksi obat-obat yang dipakai Pemilihan obat antibiotik

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Lupus Eritomatosus Sistemik a. Definisi1 Lupus eritomatosus sistemik (LES) atau Systemic Erythomatosus Lupus (SLE), merupakan prototype penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibody terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi kilnis yang luas. SLE terutama menyerang wanita muda dengan insiden puncak pad usia 1540 tahun selama masa reproduksi dengan ratio wanita dan laki-laki 5:1. Etiologinya tidak jelas, diduga berhubungan dengan gen respon imun spesifik pada kompleks histokompatibilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3.

b. Epidemiologi Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama I dunia. Prevalensi LES diberbagai Negara sangat bervariasi antara 2,9/100.000 400/100.000. terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan pada pria berkisar antara 5:1.

c. Etiologi dan Patogenesis Etiologi dan pathogenesis LES masih belum diketahui dengan jelas. Meskipun demikian, banyak bukti bahwa pathogenesis LES bersifat multifaktorial, dan ini mencakup pengaruh factor genetic, lingkungan, dan hormonal terhadap respon imun.

Adanya satu atau beberapa factor pemicu ynag tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetic akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibody maupun yang berupa sel memori. Wujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormone seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi. Pada LES, autoantibody yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon. Kebanyakan di antaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein-RNA yang disebut ribonukleoprotein (RNA). Cirri khas autoantigen ini ialah mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti nuclear antibody). Dengan antigen yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan komplek imun pada LES terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposits komplek imun di luar sistem fagosit mononuclear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplonen pada orgen tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplonen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya.

d. Manifestasi klinik Jumlah dan jenis antibodi pada LES, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit Lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnya yang tidak diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita. Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat. Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, LES hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya. y Otot dan kerangka tubuh Hampir semua penderita LES mengalami nyeri persendian dan kebanyakan menderita artritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada jari tangan, tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerah tersebut. y Kulit Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari. Ruam yang lebih tersebar bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar oleh sinar matahari. y Ginjal Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam selsel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang menetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu menjalani dialisa atau pencangkokkan ginjal. y Sistem saraf Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita LES. Yang paling sering ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bisa terjadi pada bagian manapun dari otak, korda spinalis maupun sistem saraf. Kejang, psikosa, sindroma otak organik dan sakit kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi.

Darah Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita LES. Bisa terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.

Jantung Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis, endokarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat dari keadaan tersebut.

Paru-paru Pada LES bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak nafas.

Gejala dari penyakit LES: - demam - lelah - merasa tidak enak badan - penurunan berat badan - ruam kulit - ruam kupu-kupu - ruam kulit yang diperburuk oleh sinar matahari - sensitif terhadap sinar matahari - pembengkakan dan nyeri persendian - pembengkakan kelenjar - nyeri otot - mual dan muntah - nyeri dada pleuritik - kejang

- psikosa.

Gejala lainnya yang mungkin ditemukan: - hematuria (air kemih mengandung darah) - batuk darah - mimisan - gangguan menelan - bercak kulit - bintik merah di kulit - perubahan warna jari tangan bila ditekan - mati rasa dan kesemutan - luka di mulut - kerontokan rambut - nyeri perut - gangguan penglihatan.

e. Diagnosa Diagnosa LES ditegakkan berdasarkan ditemukannya 4 dari 11 gejala LES yang khas, yaitu: 1. Ruam kupu-kupu pada wajah (pipi dan pangkal hidung) 2. Ruam pada kulit 3. Luka pada mulut (biasanya tidak menimbulkan nyeri) 4. Cairan di sekitar paru-paru, jantung, dan organ lainnya 5. Artritis (artritis non-erosif yang melibatkan 2 atau beberapa sendi perifer, dimana tulang di sekitar persendian tidak mengalami kerusakan) 6. Kelainan fungsi ginjal - kadar protein dalam air kemih >0,5 mg/hari atau +++

- adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari sel darah merah/putih maupuan sel tubulus ginjal 7. Fotosensitivitas (peka terhadap sinar matahari, menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknya ruam kulit) 8. Kelainan fungsi saraf atau otak (kejang atau psikosa) 9. Hasil pemeriksaan darah positif untuk antibodi antinuklear 10. Kelainan imunologis (hasil positif pada tes anti-DNA rantai ganda, tes antiSm, tes antibodi antifosfolipid; hasil positif palsu untuk tes sifilis) 11. Kelainan darah - Anemia hemolitik atau - Leukopenia (jumlah leukosit <4000 sel/mm?) atau - Limfopenia (jumlah limfosit < 1500 sel/mm?) atau - Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ mm?).

Gambar 1. Malar Rash4

f. Pengobatan Sebelum penyakit LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah pasien tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang agresif. Pada umumnya, pasien LES yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan

kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya.

Terapi Konservatif Di antara pasien dengan fatigue, nyeri, dan autoantibodies dari SLE, tetapi tanpa mengenai organ utama, manajemen dapat diarahkan untuk menekan gejala. Dapat digunakan analgesik dan aAntimalaria. NSAID berguna sebagai analgesik/antiinflamasi, terutama untuk arthritis/arthralgias. Namun, dua masalah utama saat ini mengindikasikan perlunya kehati-hatian dalam menggunakan NSAID. Pertama, pasien lupus dibandingkan dengan populasi umum memiliki peningkatan risiko NSAID-induced meningitis aseptis, peningkatan serum transaminases, hipertensi, dan disfungsi ginjal. Kedua, semua NSAID, terutama yang spesifik menghambat siklooksigenase-2, dapat meningkatkan risiko infark miokard. Asetaminofen dapat digunakan untuk mengontrol nyeri, tapi NSAID lebih efektif pada beberapa pasien. Antimalaria (hydroxychloroquine, klorokuin, dan quinacrine) sering mengurangi dermatitis, arthritis, dan fatigue. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa hydroxychloroquine mengurangi jumlah kekambuhan penyakit, tetapi juga dapat mengurangi kerusakan jaringan dari waktu ke waktu. Karena potensi toksisitas retina, pasien yang mendapatkan terapi antimalaria harus menjalani pemeriksaan ophthalmologis setidaknya setiap tahun. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pemberian dehydroepiandrosterone dapat mengurangi aktivitas penyakit. Jika kualitas hidup tidak adekuat meskipun telah dilakukan tindakan-tindakan konservatif, pengobatan dengan dosis rendah glukokortikoid sistemik mungkin diperlukan.

Terapi Agresif Terapi agresif yang dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi harus segera dimulai bila timbul manifestasi serius LES dan mengancam nyawa, misalnya vaskulitis, lupus kutaneus yang berat, poliartritis, poliserositis,

miokarditis pneumonitis lupus, glomerulonefritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik, trombositopenia, sindrom otak organic, defek kognitif yang berat, mielopati, neuropati perifer dan krisis lupus (demam tinggi, prostasi). Dosis glukokortikoid sangat penting diperhatikan dibandingkan jenis glukokortikoid yang akan diberikan. Bila dalam waktu 4 minggu setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi tidak menunjukkan perbaikan yang nyata, maka dipertimbangkan untuk memberikan imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya.

Tinjauan Farmakologis a. IVFD RL 30 tetes per menit 1. Indikasi, kontraindikasi, Efek samping obat i. ii. Indikasi : Resusitasi, suplai ion bikarbonat, asidosis metabolik Kontraindikasi : -

iii. Efek samping obat : -

b. Dexamethasone inj 3 x 1 amp 1. Farmakodinamik: Merupakan long acting glucocorticoid yang menghambat akumulasi dari sel inflamasi pada tempat inflamasi, fagositosis, lysosomal enzyme release and synthesis, dan menghasilkan mediator inflamasi. Efek terapeutik: mencegah dan menekan reaksi imun sel dan jaringan dan proses inflamasi. 2. Farmakokinetik Dexamethasone diberikan dalam bentuk injeksi IV. i. Absorbsi: Secara cepat, diabsorbsi dari GI tract setelah penggunaan oral. ii. Distribusi : Secara luas didistribusikan. Ikatan proteinnya tinggi. iii. Metabolisme: hepar iv. Ekskresi: ginjal. Waktu paruh: 3-4,5 jam 3. Indikasi, kontraindikasi, Efek samping obat i. Indikasi: Inflamasi, alergi, dan penyakit lain yang responsive terhadap glukokortikoid. ii. Peringatan : Hipotiroid, sirosis hati, terapi jangka lama. Kontraindikasi: Pada infeksi aktif yang tidak diterapi, penyakit jamur, tuberculosis dan virus pada mata (9). iii. Efek samping obat: Pada pernafasan akan menimbulkan batuk, mulut kering, suara serak, iritasi tenggorokan. Pada hidung akan menimbulkan rasa terbakar, mukosa hidung kering. Pada penglihatan akan menimbulkan pandangan kabur. Pada sistemik dapat menimbulkan insomnia, wajah bengkak atau chusingoid appearance, distensi abdomen sedang, sukar

mencerna (indigestion), peningkatan selera makan, nervousness, facial flushing, diaphoresis y Interaksi obat: Aminoglutethamide: peningkatan eliminasi kortikosteroid, ditandai dengan penurunan respon kortikosteroid, peningkatan clearance dexamethason, penggandaan dosis mungkin diperlukan. Antidiabetik: peningkatan gula darah. Barbiturate, Karbamazepin: mengurangi konsentrasi serum

kortikosteroid, peningkatan clearance dexamethason. Cholestyramine, colestipol: memungkinkan untuk mengurangi resorbsi kortikosteroid. Cyclosporine: memungkinkan peningkatan konsentrasi dari kedua obat, kejang. Erythromycin, troleandomycin, clarithromycin, ketocenazole:

memungkinkan peningkatan efek steroid. Estrogen, kontrasepsi oral: meningkatkan efek kortikosteroid. Isoniazid: mengurangi konsentrasi plasma dari isoniazid. IUDs: penghambatan inflamasi dapat mengurangi efek kontrasepsi NSAID: meningkatkan resiko ulcer pada GI tract. Rifampin: mengurangi efek terapeutik dari kortikosteroid. Salisilat: memungkinkan terjadinya konsentrasi salisilat pada

subterapeutik.

c. Ranitidin inj 2 x 1 amp 1. Farmakodinamik: menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel, menduduki reseptor H2 di sel parietal sehingga menghambat sekresi asam lambung dan pepsin. 2. Farmakokinetik Ranitidine diberikan dalam bentuk injeksi IV.

i.

Absorbsi: cepat dan baik tidak dipengaruhi makanan, bioavailabilitas 5060%, konsentrasi puncak pada plasma 2-3 jam setelah pemberian per oral. Diabsorbsi secara cepat dengan pemberian IM dengan konsentrasi puncak plasma didapatkan setelah 15 menit.

i.

Distribusi : terikat secara lemah pada protein plasma yaitu sekitar 15%, melewati barier otak dan plasenta, serta didistribusikan ke dalam ASI.

ii.

Metabolisme: hepar

iii. Ekskresi: ginjal. T = 2-3 jam, meningkat pada gangguan ginjal. Sebagian kecil melalui feses. 3. Indikasi, kontraindikasi, Efek samping obat i. Indikasi: peptic ulcer, GERD, refluks esofagitis, sindroma dispepsia, sindroma zolinger Ellison. i. Peringatan : gangguan fungsi hepar dan ginjal dosis dikurangi. Pada ganguan ginjal, T meningkat hingga 4-8 jam. Pada dengan LFG < 20 ml/menit direkomendasikan untuk pemberian ranitidin sebesar separuh dari dosis lazim. Sedangkan di UK, dosis ranitidin pada pasien dengan gangguan ginjal berat yaitu 150 mg/hari pada pemberian oral, dan 25 mg/hari pada pemberian parenteral. ii. Efek samping obat: pusing, rash, sakit kepala, konstipasi. Interaksi obat:  mengganggu kerja obat yang membutuhkan suasana asam karena kerjanya menurunkan asam lambung.  Cisapride d. As. Folat 3x1 tab 1. Farmakodinamik: dalam tubuh diubah menjadi tetrahidrofolat, coenzim untuk sintesis nukleotida purin dan pirimidin, dan sintesis DNA. 2. Farmakokinetik Asam folat diberikan dalam bentuk tablet i. Absorbsi: cepat di duodenumdan jejunum, mempercepat kadar puncak plasma dari ranitidin

ii. iii. iv. 3.

Distribusi: sebagian besar terikat protein plasma, distribusi ASI. Metabolisme: hepar Ekskresi: renal sebagian dalam bentuk utuh.

Indikasi, kontraindikasi, Efek samping obat i. Indikasi: kehamilan, anemia megaloblastik, defisiensi as folat. Efek samping obat: jarang gangguan GI, hipersensitif. ii. Kontraindikasi: -

e. Gentamycine salep 1. Farmakodinamik: merupakan aminoglikosida topikal yang bersifat bakterisid dengan aktivitas tertuju pada basil gram negative aerobic dan terikat pada ribosom 30S dan menghambat sintesis protein.. 2. Farmakokinetik Gentamycine diberikan dalam bentuk salep. j. i. Absorbsi: sangat sedikit atau tidak sam a sekali Distribusi : jumlah yang diterima jaringan sedikit dan penetrasi terhadap cairan tubuh bervariasi. Konsentrasi di CSF inadekuat, walaupun meningen mengalami inflamasi. ii. Metabolisme: hepar

iii. Ekskresi: ginjal. T = 2-3 jam, berkurang pada gangguan ginjal. Sebagian besar melalui feses. 3. Indikasi, kontraindikasi, Efek samping obat i. Indikasi: dibatasi untuk infeksi oleh kuman aerobic gram negative yang sensitive terhadapnya dan telah resisten terhadap antimikroba lain yang kurang toksik; terutama infeksi berat. ii. Peringatan : toksisitas aminoglikosid mudah meningkat antara lain pada usia lanjut atau adanya gangguan ginjal. Karena aminoglikosid dapat melewati sawar uri, penggunaan pada kehamilan hanya dibenarkan bila benar-benar

iii. Efek samping obat: ototoxic, nefrotoksik, paralisis neuromuskuler, reaksi alergi.

f. Ceftriaxone inj 3 x 1 gr IV 1. Farmakodinamik: merupakan sefalosporin generasi ketiga yang bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel mikroba yaitu pada mekanisme transpeptidasi dari mukopeptida. 2. Farmakokinetik Diberikan dalam bentuk injeksi IV. i. Absorbsi: cepat diabsorbsi setelah pemberian IM, kadar plasma puncak diperoleh setelah 30 menit pemberian. ii. Distribusi: didistribusi secara luas ke seluruh jaringan dan cairan tubuh. 83-96 % terikat protein plasma, iii. Metabolisme: di hepar iv. Ekskresi: diekskresikan melalui saluran empedu. T = 8 jam 3. Indikasi, kontraindikasi, Efek samping obat i. Indikasi: Untuk infeksi-infeksi berat dan yang disebabkan oleh kumankuman gram positif maupun gram negatif yang resisten terhadap antibiotika lain. ii. iii. Perhatian : ibu hamil dan menyusui. Kontraindikasi: Efek samping obat: alergi dan toksisitas.

g. Natrium diklofenak 2x1 1. Farmakodinamik: diklofenak adalah golongan obat non steroid dengan aktivitas anti inflamasi, analgesik dan antipiretik. Aktivitas diklofenak dengan jalan menghambat enzim siklo-oksigenase sehingga pembentukan

prostaglandin terhambat. 2. Farmakokinetik i. Absorbsi: cepat dan lengkap

ii.

Distribusi : terikat 99% pada protein plasma dan mengalami metabolism lntas pertama sebesar 40-50%

iii. Metabolisme: hepar 3. Ekskresi: ginjal. T = 2-3 jam. 4. Indikasi, kontraindikasi, Efek samping obat i. Indikasi: bentuk inflamasi dan degenerative dari reumatik, AR, OA, spondilitis ankilosa, gangguan musculoskeletal akut, control nyeri dan inflamasi dengan penyebab non reumatik, gout akut.. ii. Peringatan : gangguan fungsi hepar dan ginjal dosis dikurangi. Hati-hati penggunaan pada penderita dekomposisi jantung atau hipertensi, karena diklofenak dapat menyebabkan retensi cairan dan edema. Hati-hati penggunaan pada penderita gangguan fungsi ginjal, jantung, hati, penderita usia lanjut dan penderita dengan luka atau perdarahan pada saluran pencernaan. Hindarkan penggunaan pada penderita porfiria hati. Hati-hati penggunaan selama kehamilan karena diklofenak dapat menembus plasenta. Diklofenak tidak dianjurkan untuk ibu menyusui karena diklofenak diekskresikan melalui ASI. Pada anak-anak efektivitas dan keamanannya belum diketahui dengan pasti. iii. Efek samping obat: pusing, rash, sakit kepala, konstipasi. Efek samping yang umum terjadi seperti nyeri/keram perut, sakit kepala, retensi cairan, diare, nausea, konstipasi, flatulen, kelainan pada hasil uji hati, indigesti, tukak lambung, pusing, ruam, pruritus dan tinitus. Peninggian enzim-enzim aminotransferase (SGOT, SGPT) hepatitis. Dalam kasus terbatas gangguan hematologi (trombositopenia, leukopenia, anemia, agranulositosis).

Interaksi obat:

- Penggunaan bersama aspirin akan menurunkan konsentrasi plasma


dan AUC diklofenak.

- Diklofenak meningkatkan konsentrasi plasma digoksin, metotreksat,


siklosporin dan litium sehingga meningkatkan toksisitasnya.

- Diklofenak menurunkan aktivitas obat-obatan diuretic

PEMBAHASAN DAN DISKUSI

Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan penunjang pada pasien ini, maka pasien didiagnosis sebagai Lupus Eritomatosus Sistemik (LES). Terapi yang diberikan pada pasien ini dan penjelasan umum tentang rasionalitas terapi terdiri dari : 1. Terapi Balans cairan Tujuan dipasang infus adalah untuk menambah cairan tubuh, elektrolit, atau untuk memberi nutrisi. Biasanya cairan infus intravena digunakan untuk menggantikan cairan tubuh dan memberikan nutrisi tambahan, untuk

mempertahankan fungsi normal tubuh pasien rawat inap yang membutuhkan asupan kalori yang cukup selama masa penyembuhan atau setelah operasi. Selain itu ada pula kegunaan lainnya yaitu sebagai pembawa obat-obat lain. 2. Dexamethasone Pasien ini mendapat terapi dengan Dexamethasone injeksi 3x1 ampul. Pemberian dexamethasone pada pasien ini dikarenakan terdapat manifestasi LES yang berat yaitu lupus kutaneus yang berat dan poliartritis. Namun seharusnya penggunaan glukokortikoid berefek panjang seperti dexamethasone sebaiknya dihindari dan diganti dengan prednisolon oral. Hal ini dikarenakan penggunaan deksamethasone jangka panjang dapat mengakibatkan efek katabolik steroid seperti kehabisan protein, osteoporosis. Prednisone oral diberikan dalam dosis tunggal pada pagi hari dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari dan 1 mg/kgBB/hari bila terdapat manifestasi mayor dan serius. Pemberian bolus metilprednisolon IV 1gram atau 15 mg/kgBB selama 3-5 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednisone oral 1-1,5 mg/kgBB/hari.

3. Ranitidine Pasien ini mendapat terapi dengan Injeksi ranitidine 2x1 amp IV. Dosis yang dianjurkan adalah 50 mg/hari pada pemberian parenteral sehingga pada pasien ini diberikan dosis 2x/hari sehingga masih tepat dosis. Pemberian ranitidine ini dimaksudkan karena pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan epigastrium. Selain itu, pemberian ranitidine juga dimaksudnya untuk mencegah efek samping nyeri ulu hati dari ceftriaxone yang mudah terjadi pada pasien SLE.

4. As. Folat Pasien ini mendapat terapi dengan asam folat 2x1 tablet. Pemberian asam folat ini dimaksudkan karena pada pasien LES dapat mengalami anemia dan terdapat gangguan pada DNA pasien LES maka diperlukan suplementasi asam folat 1 mg. Dosis dianjurkan 0,5-1 mg /hari sebagai terapi awal defisiensi asam folat tanpa komplikasi. Asam folat dalam tubuh diubah menjadi tetrahidrofolat, coenzim untuk sintesis nukleotida purin dan pirimidin, dan sintesis DNA. 5

5. Gentamycine salp Pasien ini mendapat terapi gentamycine salep. Pemberian gentamycin salep ini dimaksudkan karena pada pasien LES terdapat gangguan system imun sehingga mudah terkena infeksi, dan pada pasien ini terapat banyak luka diseluruh tubuh yang dapat menjadi sumber infeksi sehingga diberi antimikroba topical. Semua Aminoglikosid bersifat ototoksik dan nefrotoksik. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas cenderung ditemukan saat terapi dilanjutkan hingga lebih dari 5 hari, pada dosis yang lebih tinggi, pada orang-orang lanjut usia dan dalam kondisi insufisiensi fungsi ginjal.

6. Ceftriaxone Pasien ini mendapat terapi ceftriaxone 3x1 gr iv. Pemberian ceftriaxone ini dimaksudkan karena pada pasien LES terdapat gangguan system imun sehingga mudah terkena infeksi, sehingga diberi antimikroba. Dosis lazim harian untuk orang

dewasa adalah 1-2g sekali sehari (atau dibagi dalam 2 dosis) tergantung dari jenis dan beratnya infeksi. Dosis total harian tidak boleh melebihi 4g. Pada pasien ini sudah tepat dosis karena jumlah yang diberikan dalam sehari tidak lebih dari 4 gr. Pada pasien ini diberika antibiotic topikal dan sistemik. Hal ini dikarenakan system imun pada pasien LES sangat jelek dan pada pasien ini ditemukan banyak luka pada tubuhnya yang dapat menjadi sumber infeksi sehingga pada pasien ini juga diberikan antiobiotik topical selain sistemik.

7. Natrium diklofenak Pasien ini mendapat terapi natrium diclofenac 2x1. Pemberian natrium diclofenac ini dimaksudkan sebagai analgetik dan antiinflmasi terutama untuk mengatasi arthritis karena diklofenak diakumulasi di cairan synovial yang menjelaskan terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut. Dosis yang dianjurkan adalah 100-150 mg sehari terbagi menjadi dua atau tiga dosis. Namun sebaiknya penggunaan natrium diklofenak dihindari karenadapat meningkatkan risiko gagal ginjal dan gagal jantung.

KESIMPULAN Telah dilaporkan seorang pria berusia 38 tahun dengan nyeri sendi. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang dapat ditentukan diagnosis kerja adalah Lupus Eritomatosus Sistemik. Pasien dirawat sejak tanggal 16 April 2010. Penatalaksanaan pada pasien ini berupa Infus RL 30 tpm, Dexamethasone 3x1ampul, Inj. Ranitidin 2x 1 ampul, Asam folat 2x1 tab, Gentamycine zalp, Ceftriaxone injeksi 2x1, Natrium diklofenac 2x1. Pada pasien ini masih digunakan Dexamethasone yang seharusnya dihindari karena memiliki efek panjang. Pada pasien ini digunakan antibiotic sistemik dan topical untuk menghindari infeksi sekunder karena pasien ini memiliki LES yang berat sehingga rentan terhadap infeksi. Obat-obatan yang digunakan pada penatalaksanaan kasus di atas sudah rasional. Hanya saja dalam pemberian terapi tersebut tidak menyertakan glukokortikoid topical maupun sunscreen sebagai terapi lupus kutaneus.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ellsworth, Allan J et al. Mosby's Medical Drug Reference. United States of America : Elsevier Mosby, 2006. 2. Isbagio, Harry, et al. Lupus Eritomatosus Sistemik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006, pp. 1214-1221. 3. Fauci, Anthony S, et al. Harrison's Principle of Internal Medicine. United States of America : McGraw-Hill's, 2008. 4. Lupus Eritematosus Sistemik. Medicastore. [Online] Medicastore, April 18, 2010. [Cited: April 21, 2010.] http://medicastore.com/penyakit/538/Lupus_Eritematosus_Sistemik.html. 5. Systemic Lupus Erythematosus. Medpedia. [Online] Medpedia, April 1, 2010. [Cited: April 21, 2010.] http://wiki.medpedia.com/Systemic_Lupus_Erythematosus. 6. Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1998. 7. Syarif, Amir, et al. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. 8. Systemic lupus erythematosus. Wikipedia. [Online] Wikipedia, April 20, 2010. [Cited: April 21, 2010.] http://en.wikipedia.org/wiki/Systemic_lupus_erythematosus.. 9. Sukandar, Elin Y.,dkk. 2009. ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT.ISFI Penerbitan. Hal.439-440.

Вам также может понравиться