Вы находитесь на странице: 1из 7

ANTIBIOTIK

Mudahnya Beli Antibiotik


14/07/2010 10:30:00 Font size:

Masih banyak apotek yang menjual obat beresep seperti antibiotik tanpa harus menunjukkan resep dokter. Bahaya! Penggunaan antibiotik secara bebas kini sedang menjadi sorotan Departemen Kesehatan. Ini karena memang di sejumlah apotek memang ada kecenderungan menjual obat beresep ini secara bebas. Terbukti dari 10 apotik yang sehatnews datangi, tujuh diantaranya membolehkan pembeli antibiotik tanpa harus menunjukkan resep dokter. Mau beli yang merek apa mba, yang bagus sih dari kimia farma harganya Rp 5.300 per lembar itulah jawaban pramuniaga di apotek pertama yang sehatnews kunjungi, di Jakarta Selatan. Sementara di apotek kedua sang pramuniaga bahkan tanpa basa-basi memberikan antibiotik yang diminta. Jangankan menanyakan resep, dia hanya bertanya jumlah antibiotik yang ingin dibeli. Hanya saja, begitu membayar, sang pramuniaga memberi pesan agar antibiotik ini dihabiskan. Ini untuk tiga hari yah mbak, dan harus habis. Supaya bakteri atau virusnya hilang total pesannya. Hingga apotek kesepuluh, sehatnews mendapat jawaban yang sama dan dengan mudah dapat membeli antibiotik berbagai merek.

Memang beberapa apotek tak mengizinkan pembelian antibiotik tanpa resep, ini pun karena faktor letaknya yang didepan rumah sakit besar. Harus ada resep mbak Soalnya kita ada peraturan jelas salah satu pramuniaga apotek besar yang letaknya di depan Rumah Sakit Umum Daerah atau RSUD itu. Ironisnya ketika sehatnews mengonfirmasi pada pihak apotek, mereka mengetahui tentang peraturan resminya. Seperti pengakuan salah satu pramuniaga ini. Sebenarnya memang harus (ada resep), tetapi kalau sudah biasa dan tak ada alergi tidak apa-apa jelasnya. Ini semua jelas bertolak belakang dengan apa yang Menteri Kesehatan, Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih MPH kumandangakan soal antibiotik. Bila antibiotik dikonsumsi tidak sesuai dosis, jenis dan waktu menurut Endang hanya akan memberikan efek kebal penyakit pada tubuh. Antibiotik bekerja pada bakteri yang sensitif. Yang akan mati dengan segera tapi yang kuat akan bertahan. Bakteri yang bertahan ini bisa mati jika antibiotik digunakan dengan rasional. Tetapi bila penggunaannya tak beraturan, bakteri tersebut malah akan kebal. Dengan begitu secara langsung penyakit akan sulit disembuhkan. Resistensi bakteri akan berdampak pada menurunnya pelayanan kesehatan. Bahkan si pasien bisa mengalami komplikasi penyakit. Akibatnya, penanganan suatu penyakit akan lebih sulit dan menelan biaya yang lebih besar jelasnya. (fen)

MENGHADAPI RESISTENSI ANTIBIOTIK


By ansraf

Menghadapi Resistensi Antibiotik Apa yang Dapat Saya Lakukan untuk Menghadapi Resistensi Antibiotik? Apa yang bisa saya lakukan? Jagalah kebersihan! Dengan sering-sering mencuci tangan dengan benar menggunakan sabun dan air, anda membantu mencegah terjadinya penyakit dan karena itu kebutuhan akan antibiotik (lihat Hand washing) dapat dikurangi. Sebagai tambahah, dengan memasak daging hingga matang dan membersihkan bahan makanan sebelum dimasak Anda akan membantu mencegah penyakit yang disebabkan oleh makanan. Selain itu, Anda juga harus minum antibiotik hanya pada saat diperlukan. (lihat Kapan dan bagaimana cara minum antibiotik). Apakah penggunaan zat antibakteri, seperti sabun antibakteri, merupakan satu solusi? Pada beberapa institusi seperti rumah sakit dan panti-panti perawatan, zat-zat ini sangat bermanfaat dan patut untuk digunakan dibawah pengawasan yang ketat untuk tujuan-tujuan yang spesifik. Namun demikian, ada beberapa kekhawatiran mengenai antibakteri yang dapat menimbulkan resistensi antibiotik, (lihat Zat-zat antibakteri untuk informasi lebih lanjut) dan kegunaan zat-zat tersebut untuk masyarakat umum belum terbukti manfaatnya.

Apakah ada peraturan penggunaan antibiotik? Beberapa institusi, seperti rumah sakit, memiliki panduan Kebijakan Penggunaan Antibiotik dan komite peninjau penggunaan antibiotik, untuk memastikan bahwa penggunaan antibiotik dalam institusi mereka dalam cukup rasional dan tidak menyebabkan timbulnya masalah resistensi antibiotik. Setiap negara memiliki kebijakan pemerintahan yang berbeda-beda soal antibiotik. Pada beberapa negara, antibiotik dapat dibeli secara bebas, artinya, antibiotik tersebut dapat dibeli tanpa resep dokter. Di beberapa negara yang lain dibutuhkan sebuah resep dari dokter sebelum seorang pasien diijinkan untuk membeli antibiotik, meskipun peraturan ini tidak selalu dijalankan. Antibiotik juga dijual melalui internet, sebuah mekanisme perdagangan yang hanya sedikit campur tangan dari pemerintah yang dapat menjangkau lintas perbatasan negara. Lebih jauh lagi, makanan hewan (hewan yang diternakkan untuk dikonsumsi oleh manusia) seringkali dibubuhi antibiotik dalam dosis kecil, dengan jangka panjang untuk memercepat terjadinya pertumbuhan. Antibiotik seperti ini mewakili porsi terbesar dari total penggunaan antibiotik di dunia industri. Pemerintah di beberapa negara membatasi jenis-jenis antibiotik yang dapat digunakan untuk makanan hewan, dengan tujuan untuk menjaga agar penggunaan antibiotik paling kuat hanya untuk mengobati penyakit manusia. (Lihat Antibiotik dalam agrikultura.) Apakah ada tindakan internasional dalam menghadapi masalah resistensi antibiotik? Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memiliki kekhawatiran mendalam mengenai peningkatan jumlah resistensi bakteri di semua wilayah di dunia. Untuk menciptakan koordinasi secara global, WHO mengeluarkan Global Strategy for Containment of Antimicrobial Resistance (Strategi global untuk menahan peningkatan resistenati antimikroba), sebuah dokumen yang ditujukan pada para pembuat kebijakan yang mendesak pemerintah di berbagai negara untuk melakukan tindakan yang dapat membantu menahan terjadinya resistensi antibiotik. Negara-negara berkembang perlu memfokuskan diri pada menghapuskan akses tidak terkontrol terhadap antibiotik dan tindakan-tindakan pencegahan seperti memerbaiki sanitasi, begitu juga tindakan sering mencuci tangan, dapat memastikan bahwa orang akan lebih jarang sakit, dan karena itu hanya akan menulasrkan lebih sedikit infeksi yang resisten pada orang lain. Negara-negara industri perlu memfokuskan diri pada tindakan-tindakan pencegahan seperti sering mencuci tangan dan membatasi penggunaan antibakteri, membangun lebih banyak vaksin yang dapat mencegah populasi tertentu yang rentan terhadap penyakit seperti anak-anak, mengendalikan bakteri multi-resisten di dalam rumah sakit dan komunitas tertentu, dan mengurangi penggunaan antibiotik pada peternakan hewan dan agrikultura. Para ahli sepakat bahwa suatu sistem global yang berfungsi untuk menelusuri resistensi antibiotik sangat dibutuhkan. Sistem ini dapat berfungsi sebagai suatu indikator untuk mengenali titik-titik resistensi dan trend tindakan yang dapat menjelaskan pada kita apakah program edukasi kita atau solusi lain yang telah kita terapkan menghasilkan efek positif.

Apakah efektivitas antibiotik yang ada saat ini dapat tetap dipertahankan? Untuk tetap menjaga potensi antibiotik yang ada saat ini, semua penggunaan antibiotik harus dikurangi. Dokter, petugas farmasi, dan masyarakat secara umum harus menghindari penggunaan obat-obatan yang sangat berharga ini secara sembarangan. Antibiotik harus diresepkan hanya untuk infeksi bakteri dan dalam dosis yang tepat selama jangka waktu yang benar. Obat-obatan dengan Spektrum yang sempit harus menjadi pilihan bagi para dokter bila mungkin untuk menghindari penghancuran populasi bakteri yang menguntungkan bersamaan dengan bakteri yang merugikan. Sebagai tambahan, penggunaan antibiotik bukan untuk tujuan pengobatan pada hewan ternak dan agrikultura harus dihentikan. Apakah ada antibiotik baru yang dapat ditemukan? Timbulnya epidemi bakteri resisten telah menimbulkan minat bar untuk menemukan antibiotik yang lain. Namun, proses untuk memroduksi sebuah antibiotik baru sangatlah panjang dan mahal, membutuhkan waktu sekitar sepuluh tahun dan biaya sebesar 300 juta dolar untuk melempar antibiotik baru ke pasar. Banyak usaha dilakukan untuk menemukan obat-obatan baru di dalam jamur atau tanah menghasilkan suatu persenyawaan yang sama atau sangat mirip dengan antibiotik-antibiotik yang sudah ditemukan. Oleh karena itu, resistensi pada akhirnya akan terjadi pada antibiotik-antibiotik yang baru ini. Penggunaan antibiotik terbaru dalam jumlah besar dapat menyebabkan timbulnya resistensi dalam waktu hanya dua tahun. Meskipun demikian, para ahli masih berusaha untuk membuatantibiotik-antibiotik baru dengan mencari di tempat-tempat yang tidak biasa seperti pada bakteri yang tinggal jauh di bawah permukaan bumi, di kulit katak dan di beberapa serangga tertentu. Dapatkah resistensi antibiotik diatasi? Salah satu pendekatan yang dilakukan oleh para ilmuwan untuk memerangi resistensi antibiotik adalah dengan menguatkan efek dari antibiotik yang ada dengan cara memodifikasinya sehingga enzim-enzim bakteri yang menyebabkan terjadinya resistensi tidak dapat menyerang bakteri tersebut. Sebagai alternatif, ada molekul-molekul yang dijadikan umpan yang digunakan secara bersamaan dengan antibiotik tersebut, sehingga enzim resistensi yang ada pada bakteri menyerang molekul umpan tadi bukan antibiotiknya sendiri. Molekul umpan seperti clavulanic acid (asam klavulanat) atau sulbactam (sulbaktam) sebelumnya sudah digunakan untuk menutup enzim beta-lactamase yang menghancurkan obat-obatannya yang berada dalam keluarga penisilin. Pendekatan lain untuk mengatasi masalah resistensi antibiotik adalah dengan menginterfensi mekanisme yang menyebabkan terjadinya resistensi, bukan dengan berusaha untuk membunuh bakteri tersebut. Contoh, menginterfensi dengan duplikasi atau memindahkan materi genetik suatu bakteri akan menghilangkan transfer gen-gen resisten antar bakteri.

Mubazir, membeli antibiotik sendiri

Antibiotik merupakan obat yang sangat dibutuhkan bila seseorang menderita penyakit infeksi kuman yang tidak dapat sembuh secara alamiah. Namun, tidak semua infeksi ringan membutuhkannya. Misalnya, sebagian besar infeksi kulit dapat sembuh sendiri asal keadaan tubuh baik dan infeksinya tidak diganggu dengan digaruk. Antibiotik juga merupakan obat yang sebagian besar tidak mempunyal efek farmako -dinamik terhadap organ tubuh sendiri, seperti lazimnya obat lain. Misalnya, memacu jantung, melemaskan otot, melebarkan pembuluh darah, atau merangsang organ endokrin sehingga terjadi sekresi hormon seperti insulin. Efeknya terlihat terhadap kuman yang menginfeksi organ tubuh. Kuman itu diperlemah atau dapat dibunuh olehnya, bila jenis antibiotiknya cocok. Suatu antibiotik tidak dapat membunuh semua kuman. Berbagai antibiotik mempunyai sifat membunuh hanya terhadap kuman tertentu. Jadi, bila pemilihannya tidak cocok, pelumpuhan kuman yang menyerang kita tidak akan berhasil dengan tuntas. Seorang dokter harus dapat memilih antibiotik yang cocok untuk serangan kuman tertentu. Bila salah pilih, antibiotik itu akan mubazir, penyakitnya malah bisa menjadi lebih parah. Karena itu obat ini tidak boleh diberikan secara sembarangan. Bila ada puluhan jenis kuman yang berbahaya, setiap infeksi harus diobati dengan antibiotik tertentu pula. Sayangnya, tidak setiap dokter paham memilih antibiotik yang cocok. Pemilihan juga dapat dibuat dengan tidak rasional bila hanya mendengarkan ceramah yang diorganisasi oleh produsen antibiotik tertentu, karena pilihan akan ditentukan oleh faktor pemasaran ketimbang ilmiahrasional. Maka, tidak tepat pula bila masyarakat membeli antibiotik sendiri, yang hakikatnya dilarang oleh peraturan yang melarang obat keras seperti antibiotik dibeli bebas oleh masyarakat tanpa resep dokter. Larangan membeli antibiotik sendiri dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari efek buruk yang akan terjadi, seperti salah pilih, makin parah penyakit infeksinya, efek sampingan antibiotik, dan pengeluaran biaya yang mahal tanpa penyembuhan yang diharapkan. Belum lagi kemungkinan terjadinya resistensi kuman. Bila pengobatan infeksi betul-betul membutuhkan suatu antibiotik, seharusnya dapat diprediksi kapan infeksi itu akan reda seandainya pilihan antibiotik sudah benar. Infeksi kulit atau infeksi mata akan mengalami perbaikan dalam 1 ? 2 hari, sakit kencing dalam 1 - 2 hari, radang paru karena kuman dalam 1 ? 3 hari, tifus setelah 5 - 7 hari, dan penyembuhan TBC setelah enam bulan. Bila perbaikan itu tidak terjadi, diagnosis penyakit atau obatnya mungkin salah. Pengetahuan ini dapat dipakai masyarakat untuk mengontrol apakah obat antibiotiknya sudah terpilih dengan baik. Jadi, bila ada bisul yang diberi antibiotik, tapi tidak juga sembuh setelah 2 3 hari, pasti terjadi salah obat atau diagnosisnya "bukan bisul biasa". Bila tifus tidak sembuh dalam 5 - 7 hari, kemungkinan besar diagnosis atau pengobatannya kurang tepat, atau ada sesuatu yang perlu dilacak oleh dokter Anda.

Jumlah antibiotik yang sudah direncanakan harus dihabiskan untuk menuntaskan penyembuhan. Namun, bila antibiotik tidak diberikan untuk penyakit yang benar membutuhkannya, penghentian pemberian antibiotik tidak akan menimbulkan akibat buruk. Penjelasan di atas mungkin sudah membuat Anda mengerti bahwa membeli antibiotik sendiri di pasar atau di apotik tidak dibenarkan, karena akhimya akan merugikan diri-sendiri: mubazir atau salah kaprah. Bertanya kepada dokter pun, lalu membeli tanpa resep, masih akan menimbulkan kesalahpahaman dalam dosis dan cara makannya, bila tidak dibeli melalui resep. Apoteker semestinya juga menjadi penjaga gawang untuk resep yang mengandung kesalahan yang mencolok. Bila terdapat alamat atau telepon dokternya, apoteker harus menelpon dokternya untuk klarifikasi.
(intisari/cn02)

RSUD Soetomo Ingatkan Penggunaan Obat Antibiotik


Sabtu, 10 April 2010 02:34 WIB | 1083 Views

Obat/ilustrasi. (ANTARA/Eric Ireng) Berita Terkait


y y y y y

Angka Kematian Bayi Lahir Kota Batu Tinggi WHO Bantu 5.025 Kelambu kepada Warga Mukomuko Bantuan Pelayanan Kesehatan Penerbangan Kemenkes Ditunda 2012 Pasien "Stevens Johnson Syndrome" Pulang Menkes: Spesialis Mata Perlu Ditambah

Surabaya (ANTARA News) - Pihak RSUD dr. Soetomo Surabaya mengingatkan masyarakat akan penggunaan dan penjualan obat-obatan antibiotik yang saat ini sangat mudah diperoleh di

pasaran. "Penggunaan antibiotik harus sesuai resep dokter. Perilaku masyarakat yang sembarangan membeli antibiotik tanpa resep dokter bisa berakibat fatal," kata Wakil Direktur RSD dr. Soetomo Bidang Penunjang Medik dr. Usman Hadi, SpPD di Surabaya, Jumat. Menurut dia, karena sudah resisten terhadap obat tertentu, pasien harus disembuhkan dengan obat berdosis lebih tinggi. Jika dosis terus dinaikkan, lama-lama pasien tersebut tidak bisa disembuhkan dengan obat apa pun. "Jika penyakitnya ringan, akan tetapi diobati dengan antibiotik dosis tinggi, lama-lama kuman, virus, atau bakteri yang menginfeksi resisten terhadap obat tersebut. Akibatnya, pasien bisa meninggal dunia karena penyakitnya tidak bisa disembuhkan dengan obat apa pun," katanya. Ia menyebutkan, saat ini sekitar 10 persen penduduk Indonesia termasuk di Kota Surabaya resisten terhadap antibiotik tertentu. Padahal 10 tahun lalu, jumlahnya kurang dari satu persen dari penduduk yang ada. "Saya tidak menyebutkan antibiotik apa saja yang sudah tidak `mempan` lagi digunakan untuk pasien di Indonesia," katanya. Ia menjelaskan, resistensi bergantung pada masing-masing orang. Artinya, jika seseorang terusmenerus memakai antibiotik tertentu tanpa memperhatikan tingkat kegawatan suatu penyakit, maka semakin lama pasien semakin resisten terhadap obat tertentu. "Yang jelas, sekarang penisilin sudah tidak bisa lagi digunakan untuk mengobati penyakit kelamin gonore karena sering dipakai untuk mengobati infeksi ringan," katanya mencontohkan. Oleh sebab itu, dia mendesak pemerintah untuk menambahkan regulasi tentang pembelian antibiotik yang harus disertai dengan resep dokter. "Sebenarnya peraturan itu sudah ada. Namun faktanya, aturan itu banyak dilanggar. Bahkan antibiotik sekarang dijual bebas, termasuk di toko obat biasa," kata Usman. Lebih parah lagi, banyak peternak dan petani tambak yang menggunakan antibiotik untuk mempercepat pertumbuhan ternaknya. Hal itu sangat membahayakan karena orang yang mengonsumsi daging hewan atau ikan yang diberi pakan bercampur antibiotik akan resisten. "Antibiotik tidak bisa diuraikan, bahkan setelah menjadi residu. Karena itu, limbah yang mengandung antibiotik sangatlah berbahaya," katanya. Selain itu, dia juga meminta Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan memperketat pengawasan penggunaan antibiotik sebagai salah satu upaya pencegahan resistensi antibiotik.(T.M038/K004)
Editor: B Kunto Wibisono
COPYRIGHT 2011

Вам также может понравиться