Вы находитесь на странице: 1из 4

Democracy Under Bla Bla Bla

Sederhananya, demokrasi dapat didefenisikan seperti teriakan panjang orasi massa demonstran melawan otoritaianisme, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dan pada kenyataannya, semua orang juga sudah mengerti apa itu demokrasi. Term demokrasi sudah sering berseliweran disebutkan dalam acara-acara televisi. Setiap orang (politisi) mencoba menanam benih-benih pemikiran dan tafsir kekinian dengan secaranya sendiri. Demokrasi pun menjelma menjadi terra incognita, medan tak bertuan. The problem is not who invent the defenition of democracy but who pull the trigger of democracy and put it into live.

Bernardo Arevalo (1999) memprotes demokrasi di Guatemala dan menceritakaan bahwa kami punya perangkat keras demokrasi, tetapi perangkat lunaknya otoritarianisme (Yudi Latif, Kompas 13 Juni 2008). Seperti Arevalo, kita pun tegas dan lantang bertariak kepada dunia bahwa kami punya perangkat keras demokrasi tetapi perangkat lunaknya deutero feodalisme. Proto feodalisme dinotasikan dengan kekuasaan yang lekat pada pemilik-pemilik tanah sebagai modal tetap kehidupan masyarakat agraris. Perkataan dan keputusan mereka menjadi regulasi politis yang berdampak pada aktivitas sosial kemasyarakatan. superiority is inseparable from...idea of the ruler (Anthony M. Ludovici, A Defence Of Aristocracy, 1933) Lantas mereka pun digelar bangsawan. Sementara deutero feodalisme dinotasikan dengan kekuasaan yang melekat pada para aktor yang melesat lewat pencitraan dan jabatan nihil prestasi. Mereka menggandeng pemilik modal untuk bermetamorfosa, memakai berbagai baju yang berbeda untuk sebuah intensi ultima: kekayaan dan prestise. Lingkaran setannya adalah donasi modal ekonomi menyambar modal sosial lalu menyamar dalam modal politik. Tujuannya adalah menambah lumbung modal ekonomi dan meremas kekuasaan. Kekuasaan menjadi nikmat politik yang haram dilepas. Sampai kapan pun agen feodal akan mempertahankannya.

Singkatnya, dalam aporisma Jonathan Nitzan dan Simson Bichler, capital as power. Capital dapat diterjemahkan secara ekonomi politik sebagai money. Money equals power. Maka dikenallah muslihat laten dalam ritual politik yakni money politcs. Author Upton Siclair dalam A World To Win

(1946) pernah menulis money command respect and obedience from other people. Dengan uang, demokrasi hanyalah sebuah bla bla blatong kosong nyaring bunyinya. Di sini, uang memiliki kekuatan sihir. Ia menjadi sihir karena netralitasnya dan tidak mengenal suku, ras, agama dan golongan. Secara sarkatis, uang dapat menembus tembok. Untuk menggalang suara konstituen (voters) dalam perhelatan pesta demokrasi uang dipaksakan masuk setiap saku pemilik suara. Loyalitas pun terbentuk, tetapi bukan atas pilihan rasional. Rakyat memilih atas dasar pragmatisme ekonomi jangka pendek. Artinya, rakyat (voters) sebenarnya tidak pernah memilih tetapi dipaksakan untuk memilih. Demokrasi disandera oleh pelakunya demokrasi itu sendiri. Kondisi seperti ini, meminjam istilah istilah filsuf Slavoj iek, disebut deceffeinated coffe atau diet coke. Kita merayakan selebrasi demokrasi dengan tanpa asas demokrasi.

Dalam konsteks Indonesia kekinian, perilaku partai politik lebih menonjolkan perilaku deutero feodalisme dalam iklim demokrasi. Bombardir iklan dan pamflet pencitraan kebangsawanan tokoh atau pejabat menggema di seluruh penjuru. Pencitraan sangat menonjol dalam kampanye politik. Narsisme politik lebih terpamerkan di atas gelanggang publik dari pada pamer prestasi. Untuk membiayai narsisme politik tersebut, partai politik menggandeng para pemilik modal (agen kapitalisme). Simbiosis keduanya sangat jelas yakni mutualisme. Partai politik menginginkan kekuasaan dan pemilik modal ingin mempertajam insting homo economicus-nya: benefit dan akumulasi modal. Power is accumulated as capital. Bahkan dalam arah negara yang cederung economism saat ini, para pemilik modal sering kali menjadi master of signifier yakni sebagai penentu yang mempengaruhi ekspresi dan kebijakan politik ekonomi pemerintah partai pemenang (the ruling party). Lebih kesetanannnya lagi, setiap kontestan politik tingkat nasional atau pun daerah yang ingin mendapatkan kendaraan politik sebuah partai harus menyerahkan sejumlah uang yang tidak sedikit. Tentu, kontestan politik tersebut sudah menyelesaikan tableau kalkulus ekonomi politiknya. Ikan besar membutuhkan umpan besar pula..

Lantas, bagaimana posisi rakyat apakah sebagai subjek kekuasaan atau hanya sebagai pelengkap penyerta prosa politik berdemokrasi? Per defeniciam, demokrasi menempatkan rakyat sebagai subjek kekuasaan. Tetapi dalam ketakberdayaan, rakyat seringkali terposisikan sebagai pelengkap penyerta dalam event demokrasi. Perangkap pragmatisme

ekonomi yang diam-diam mendiami benak menjadi setan pembujuk. Dampaknya, rakyat pun memposisikan diri sebagai pelengkap penyerta. Siapa pun yang menang dalam event demokrasi itu urusan lain, yang penting kesentosaan insani saat ini terpenuhi. Mari kita sedikit menengok tulisan George Bernard Show dalam Man and Superman (1903), lack of money is the root of all evil.

Dalam kesadarannya, rakyat Indonesia sudah tahu semua intrik dan muslihat politik yang terjadi. Pengetahuan itu disari dari pengalaman mereka sendiri tanpa pernah mengharapkan formalitas pencerahan politik dari partai atau lembaga politik pseudo profit (lembaga-lembaga kajian dan/atau pendidikan politk yang malu-malu mengambil keuntungan proyek) manapun. Rakyat tahu bahwa suara bahkan tubuh mereka sedang dibeli; bahwa tidak ada dari setiap calon yang layak sebagai pemimpin; bahwa kampaye hanyalah bagian dari narsisme politik dan politik pencitraan. Bahkan terkait politik pencitraan ini, rakyat sendiri ada yang kritis bertanya, seperti Fyodor Dostoievskii dalam novel The Idiot, mozhet li mereshchitsia v obraze to, chto ne imeet obraza?* Tetapi, pengetahuan itu belum berarti apa-apa dan sekali lagi tidak berdaya berhadapan dengan kekuatan superior dalam intrik dan muslihat politik. Perilaku yang terjadi adalah perilaku dalam logika yang oleh filsuf Slavoj iek (psikoanalisis Lacanian) sebagai logic of fetishist disavowal: i know, but i dont want to know that i know, so i dont know. Atau dengan kata lain dengan logika yang sama, i know it, but i refuse to fully assume the consequences of this politics, so that i can continue acting as if i dont know it. Perubahan tak kunjung datang membuat rakyat menjadi apatis terhadap pemimpinnya. Slogan pilih saja uangnya, jangan pilih partainya hanyalah pragmatisme politik. Inilah ironi demokrasi yang justru tidak mendidik rakyat. Budaya politik menjadi luntur. Etika politik ringsek di hadapan mafia kekuatatan modal dominan. Dalam pusaran ini, kekuatan modal dominan menciptakan kembali, creorder (reshape) masyarakat sendiri. Masyarakat tersebut tidak lain-tidak bukan adalah rakyat yang tercelup dalam permainan kongsi antara kepentingan ekonomi dominan dan kekuasaan politik.

Lantas sampai kapan kita memiliki budaya politik kita tanpa erosi demokrasi dan demokrasi kolusif? Satu diantara lusinan jawaban adalah sampai kita benar-benar berharap dan menginginkan perubahan. Harapan dan opmtimisme ini menjadi amunisi untuk melawan pragmatisme politik jangka pendek. Lalu secara mantap kita memberikan dukungan matang

dan kepercayaan teguh kepada pemimpin yang secara rasional dan etis ia adalah pemecah batu perubahan. Kita yakin bahwa pilihan kita adalah pemimpin yang benar-benar melindungi rakyatnya, berintegritas dan negarawan. Seorang pemimpin tidak memberikan ikan segar tetapi memberikan harapan perubahan bahwa rakyat bisa memancing. Dan musuh rakyat adalah mereka, mengutip penyataan filsuf Slavoj iek, who hold to what he says about fighting poverty because he profits by it.

Djogja, 12 Agustus 2011 Alfred Tuname


*Can something that has no image appeat as an image?

Sumber: Ludovici, Anthony M. A Defence Of Aristocracy. London: Constable And Compant Ltd, 1933 Nithzan, Jonathan Dan Simpson Bichler. Capital As Power: A Study Of Order And Creorder. London: Routledge, 2009 Ruttenburg, Nancy. University Press, 2008 Dostoevskys Democracy. Princeton: Princeton

iek, Slavoj. Violence. New York: Picador, 2008 iek, Slavoj. Living In The End Times. London: Verso, 2010

Вам также может понравиться