Вы находитесь на странице: 1из 15

E-Banking and Less-Cash Society1

Budi Hermana2 Email: bhermana@staff.gunadarma.ac.id Homepage: http://staffsite.gunadarma.ac.id/bhermana

PENDAHULUAN Pada era globalisasi saat ini banyak bermunculan istilah atau konsep-konsep baru dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam kegiatan perekonomian- baik pada level ekonomi makro maupun ekonomi mikro. Bahkan konsep-konsep baru tersebut telah mengarah ke teori-teori baru yang melengkapi, dipertentangkan bahkan menggantikan beberapa konsep atau teori lama. Beberapa contoh konsep tersebut diantaranya adalah digital economy, economic of internet, knowledge based economy, e-commerce, e-marketing, e-business, e-finance, e-banking, e-money, digital cash, dan less-cash society. Semua konsep-konsep baru tersebut berkaitan dengan perkembangan dan penerapan TIK pada berbagai sektor perekonomian. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, siap atau tidak siap, kita tetap harus menghadapi globalisasi. Itulah sepenggal pernyataan yang sering kita dengar terkait dengan isu globalisasi. Pernyataan tersebut menggugah kita bersama bahwa globalisasi sudah menjadi keniscayaan saat ini. Keniscayaan yang didorong dan difasilitasi oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang sangat cepat. Salah satu bentuk keniccayaan adalah terbentuknya masyarakat digital, yang di industri perbankan dikenal dengan istilah less-cash society. Terbentuknya masyarakat digital tersebut di didorong oleh perkembangan dan penerapan TIK yang sangat intensif di bidang perbankan- yang selanjutnya disebut Electronic Banking atau disingkat E-Banking. EBanking dan Less-Cash Society inilah yang menjadi topik utama tulisan ini. Beberapa pernyataan yang menarik terkait dengan topik ini adalah Apakah masyarakat digital sudah terbentuk, atau minimal ada tanda-tandanya di Indonesia?, Bagaimana potensi digital economy untuk Indonesia yang masih menghadapi masalah kesejahteraan?, Bagaimana perkembangan teknologi E-banking di Indonesia dikaitkan dengan pembentukan masyarakat digital di Indonesia?, serta Bagaimana persepsi masyarakat tentang penggunaan E-Banking?. Ulasan terhadap dua pertanyan pertama merupakan pondasi mengenai pentingnya TIK dalam sektor perekonomian, yang dilengkapi posisi Indonesia dalam hal pemanfaatan TIK di lingkungan global. Ulasan yang lebih mendalam akan dilakukan untuk dua pertanyaan yang terakhir, terutama dikaitkan dengan spektrum teknologi E-banking dan Intenstitas pengggunaannya di Indonesia. POSISI INDONESIA DALAM PEMANFAATAN TIK OECD mendefinisikan Teknologi Informasi dan Komunikasi, selanjutnya disebut TIK, sebagai rangkaian kegiatan yang difasilitasi peralatan elektronik yang mencakup pengolahan, transmisi, dan penyajian informasi. TIK merupakan konvergensi dari tiga wilayah yaitu teknologi informasi, data dan informasi, serta masalah-masalah
1 2

Orasi Ilmiah disampaikan pada Wisuda STMIK Pradya Paramitra Malang pada 27 Oktober 2007 Kepala Biro Administrasi dan Perencanaan Sistem Informasi Universitas Gunadarma 1

sosioekonominya. Jadi berbicara mengenai TIK tidak hanya sebatas teknologinya itu sendiri tetapi juga harus mengkaji dan mempertimbangkan dampak dari teknologi tersebut. Dengan kata lain, penguasaan dan penerapan TIK secara umum seiring dengan berbagai dampal positif dan negatif yang ditimbulkannya. Bagaimana tingkat penetrasi atau adopsi TIK di Indonesia untuk tahun 2006, dapat dilihat pada Tabel berikut ini.
Indikator Total Telpon per 100 penduduk Cellular Mobile per 100 penduduk Main Telpon per 100 penduduk Internet users per 100 penduduk Broadband subsciber per 100 penduduk
Sumber: International Communication Union (2007)

Indonesia 34,87 28,30 6,57 7,18 0,05

Rata-rata Asia 44,92 29,28 15,81 11,57 2,71

Rata-rata Dunia 60,04 40,91 19,39 17,39 4,30

Terlihat bahwa untuk semua indicator TIK di atas, Indonesia masih dibawah rata-rata Asia dan Dunia. Mari kita perkembangan laju adopsi komputer dan internet di Indonesia pada kurun waktu 2001 sampai 2006 seperti disajikan pada gambar di bawah ini.
14 12 10 8 6 4 2 0 2001 2002 2003 1.361.21 2004 12.82 2000 1500 6.27 4.03 1000 500 0 2001 2002 2003 2004 2006

Indonesia Rerata Asia

PC per 100 penduduk

China Rerata dunia

India

Indonesia Rerata Asia

Pengguna Internet per 10000 penduduk

China Rerata dunia

India

Sumber: International Telecommunication Union-ITU (diolah)

Penulis hanya menggunakan dua negara sebagai pembanding yaitu India dan Cina dengan pertimbangan sebagai negara-negara dengan jumlah penduduk yang tergolong tinggi. Secara rata-rata, PC per 100 penduduk dan pengguna internet per 10000 penduduk Indonesia lebih tinggi dibandingkan India, namun lebih rendah dari China, rata-rata Asia, dan rata-rata Dunia. Jika dibandingkan dengan dua Negara ASEAN yaitu Malaysia dan Singapur, Indonesia relatif tertinggal cukup jauh dilihat dari pengguna Internet per 100 penduduk. Pada tahun 2006, berturut-turut data untuk Malaysia, Singapur dan Indonesia adalah 43,77; 39,21 dan 7,18 (ITU, 2006). Angka tersebut menunjukkan bahwa masyarakat pengguna internet di Indonesia kurang dari 10%, sedangkan kedua Negara ASEAN tersebut sudah mendekati 50%. Selain secara rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata Asia dan Dunia, percepatan adopsi TIK di Indonesia juga lebih lamban dibandingkan pertumbuhan Asia dan dunia, kecuali untuk Handphone. Pada kurun waktu 2001-2006, laju pertumbuhan pengguna telpon di Indonesia tercatat sebesar 57,58%, sedangkan laju pertumbuhan Asia dan dunis tercatat sebesar 27,2% dan 22,8%. Masih rendahnya tingkat adopsi PC dan pengguna internet tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi para penggiat di bidang teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia, termasuk para lulusan STMIK Pradya Paramitra sekalian. Selanjutnya mari
2

kita lihat tiga indikator lainnya, yaitu indeks pengembangan TIK, E-Readiness ranking, dan Network Readiness Index. Secara umum perkembangan ketiga indikator tersebut juga setali tiga uang dengan dua indikator sebelumnya, yaitu posisi Indonesia yang masih relatif terpuruk di lingkungan global. PBB melalui UNCTAD membuat indeks pengembangan ICT yang diukur berdasarkan 4 dimensi yaitu keterhubungan (connectivity), akses (access), kebijakan (policy), dan penggunaan (diffusion). Nilai indeks tersebut berkisar dari 0 (terendah) sampai 1 (tertinggi). Nilai indeks ICT untuk Indonesia untuk keempat dimensi tersebut berturutturut adalah 0.0211, 0.4592, 0.5000, dan 0.2401. Berdasarkan nilai indeks difusi ICT, Indonesia menduduki ututan ke 77 dari 171 negara. Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia masih dibawah Singapura yang menempati urutan 14, Brunei urutan ke-40, Malaysia urutan ke-43, dan Filipina urutan ke-59; tetapi masih lebih tinggi dibandingkan Thailand pada urutan ke-92 dan Vietnam urutan ke-113 (UNCTAD, 2003). Lembaga lain, yaitu The Economist bekerja sama dengan IBM Institute for Business Value mengeluarkan E-readiness ranking untuk tahun 2004. Indonesia memperoleh nilai keseluruhan sebesar 3.39 atau menempati ranking ke-59 dari 64 negara yang disurvey. Ranking Indonesia tersebut lebih rendah dibandingkan Singapura yang menempati urutan ke-7, Malaysia ke-33, Thailand ke-43, Filipina ke-49; dan hanya 1 tingkat lebih tinggi dibandingkan Vietnam yang menempati urutan ke- 60. Indikator yang terakhir adalah Networked Readiness Index (NRI) yang dikembangkan oleh Center for International Development (CID) di Harvard University. NRI didefinisikan sebagai derajat sebuah komunitas siap untuk berpartisipasi dalam dunia yang terhubung jaringan (networked world). Nilai NRI Indonesia adalah 3.24 dan menempati urutan ke59 dari 75 negara yang disurvey. Melihat indikator-indikator tersebut di atas, posisi Indonesia memang sangat memprihatinkan dan mengkhawatirkan. Tetapi, sekali lagi, bukan berarti kita harus pesimis dan rendah diri di lingkungan global. Posisi tersebut seharusnya menjadi tantangan dan menjadi pemicu dan pemacu semangat dan motivasi untuk SDM Indonesia, khususnya para calon ahli-ahli teknologi informasi. Kita harus melihat potensi TIK dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi, atau bagaimana mengintegrasikan penggunaan TIK dalam kegiatan ekonomi itu sendiri. Kita pun semestinya tertantang untuk membuktikan dugaan atau hipotesis tentang hubungan antara tingkat penguasaan dan penerapan TIK dengan kemajuan sebuah negara atau bangsa. DIGITAL DIVIDE DAN DIGITAL ECONOMY Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang relatif cepat dewasa ini telah mempengaruhi perkembangan perekonomian dunia. Pada kurun waktu 1999 sampai 2000, negara-negara sedang berkembang di wilayah asia pasifik, termasuk Indonesia menunjukkan bahwa difusi teknologi informasi berkorelasi positif cukup kuat dengan tingkat pendapatan per kapita- salah satu ukuran kesejahteraan sebuah negara (Kim, 2004). Tetapi masalahnya adalah - seperti telah dijelaskan sebelumnya, penggunaan TIK di Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan negara-negera lain. Perbedaan atau kesenjangan penggunaan TIK di antara berbagai negara tersebut tentunya menimbulkan dugaan bahwa tingkat penggunaan TIK mungkin menjadi salah satu

faktor yang relatif signifikan terhadap perbedaan pertumbuhan ekonomi di antara negara-negara. Kajian teknologi informasi dan komunikasi dari perspektif ekonomi makro telah dilakukan oleh Papageorgiou (2000), yang menjelaskan model atau teori pertumbuhan yang ditentukan oleh kombinasi modal sumber daya manusia dan adopsi teknologi. Model terdiri dari 2 bagian yaitu model untuk negara yang sudah maju teknologinya dan negara yang sedang berkembang. Model memprediksi bahwa negara berkembang mempunyai kesempatan untuk mencapai pertumbuhan tinggi melalui adopsi teknologi jika kesenjangan teknologinya relatif dekat ke technology frontier. Beilock dan Dimitrova (2003) meneliti hubungan antara jumlah pengguna internet per 10,000 penduduk dengan GDP per kapita, infrastruktur, dan faktor non-ekonomi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa GDP per kapita merupakan determinan yang paling penting terhadap jumlah pengguna internet. Jadi dari data penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa negara-negara yang tingkat penggunaan TIK relatif tinggi secara umum mempunyai pendapatan per kapita yang tinggi. Beilock dan Dimitrova (2003) selanjutnya menyatakan bahwa semakian tinggi pendapatan per kapita yang mendorong semakin tingginya pengguna internet disebabkan oleh dua alasan. Pertama, ketika pendapatan individual meningkat, maka individu tersebut mampu memperoleh barang dan jasa tambahan, termasuk akses internet. Kedua, pendapatan yang tinggi secara umum berhubungan dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang memungkinkan untuk memiliki ketrampilan yang diperlukan untuk menggunakan teknologi internet. Jadi TIK berhubungan erat dengan pengembangan sumber daya manusia. Konsep digital divide yang menunjukkan kesenjangan tingkat penggunaan teknologi antara negara maju dan negara berkembang, atau antara satu komunitas tertentu dengan komunitas lainnya, menimbulkan anggapan bahwa penguasaan teknologi berhubungan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat atau angka kemiskinan. Flor (2001) menyatakan bahwa ada empat paradigma yang bisa digunakan untuk menganalisis kemiskinan, yaitu paradigma teknologis, paradigma ekonomi, paradigma struktural, dan paradigma kultural. Paradigma teknologis menyatakan bahwa penyebab utama kemiskinan adalah keterbatasan ketrampilan teknologi di negara-negara berkembang. Menurut Quibria dan Tschang (2001), TIK memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui dua cara, yaitu langsung dan tidak langsung. Pengaruh langsung mencakup (a) informasi mengenai pasar, peluang, dan lain-lain, (b) kesempatan kerja, (c) ketrampilan dan pendidikan, (d) pemeliharaan kesehatan, (e) pemberian layanan pemerintah, dan (f) pemberdayaan. TIK juga bisa meningkatkan kesejahteraan secara tidak langsung melalui pertumbuhan (ekonomi) yang cepat, yang memberikan trikledown effect terhadap perbaikan pendapatan dan kesempatan kerja. TEKNOLOGI E-BANKING Salah satu sektor yang paling dramatis terpengaruh oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi adalah sektor keuangan, terutama perbankan. Sebelumnya mari kita lihat kilas balik dan perkembangan terkini mengenai perbankan Indonesia. Setelah lebih dari seperempat abad terhitung dari deregulasi pada tahun 1983,

perbankan Indonesia telah mengalami berbagai gonjang-ganjing yang sangat mempengaruhi perekonomian Indonesia. Titik nadir perbankan sendiri terjadi menjelang krisis multidimensi yang terjadi pada tahun 1997 yang dikenal sebagai krisis moneter. Beberapa tonggak penting perjalanan dalam kurun waktu tersebut adalah sebagai berikut.
Kilas Balik Perbankan Indonesia

1.

Paket 1 Juni 1983 merupakan salah satu tonggak penting yang mengubah arah perbankan nasional yang tadinya belum mengikuti mekanisme pasar, atau dengan kata lain, mulai diterapkannya equal treatment antara bank pemerintah dengan bank swasta. Kebijakan Oktober 1988 menjadi faktor utama terjadinya booming pendirian bank dengan memberikan kemudahan bagi para investor. Dalam kurun waktu 3 tahun sesudahnya, tercatat jumlah bank meningkat dari 111 bank pada tahun 1988 menjadi 182 bank pada pertengahan 1991. Pertumbuhan bank beserta kegiatan penyaluran dana bank yang luar biasa tersebut akhirnya berujung pada tindakan kebijakan uang ketat (Tight Money Policy) yang diambil oleh Bank Indonesia pada Tahun 1990. Pakfeb 1991, yang bertujuan untuk mengembangkan dunia perbankan menjadi lembaga keuangan yang sehat, kuat, dan tangguh serta lebih dipercaya baik dalam tingkat nasional maupun global. Sistem penilaian kesehatan bank dengan CAMEL mulai diterapkan oleh Bank Indonesia, termasuk penetapan nilai CAR sebesar 8 persen yang harus dipenuhi mulai tahun 1993. Bom waktu perbankan akhirnya meledak, dan tidak tanggung-tanggung dampak letusannya terhadap perekonomian Indonesia. Pada November 1997 sejumlah bank mulai rontok yang diawali dengan ditutupnya 16 bank yang akhirnya menyeret Indonesia ke krisis moneter yang tak terlupakan dalam sejarah perekonomian Indonesia. Pada tahun 1998 dibentuk BPPN sebagai lembaga yang berusaha untuk menyelamatkan wajah perbankan Indonesia. BPPN lahir sebagai salah satu butir dalam serangkaian Letter of Intent (LOI) antara Pemerintah Indonesia dengan IMF, dengan LOI pertamanya ditandatangani pada 1 November 1997. Pembentukan BPPN ini dianggap sebagai awal proses rehabilitasi terhadap industri perbankan. Pada tahun 1998, dari 55 bank yang dirawat oleh BPPN ternyata 10 bank tidak tertolong (dilikuidasi), 4 bank harus masuk unit gawat darurat (direkapitalisasi), dan sisanya masih terus dirawat intensif. Pada maret 1999 38 bank kembali tak tertolong, 9 bank direkapitalisasi, dan 7 bank diambil alih. Perbankan Indonesia sudah memasuki tahap konsolidasi yang ditandai dengan diluncurkannya Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Bank Indonesia telah meluncurkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) pada bulan Januari 2004, sebagai awal dari tahap konsolidasi perbankan Indonesia. Ke dapannya, bank-bank Indonesia digolongkan kedalam 4 kelompok bank yaitu bank Internasional, bank nasional, bank fokus, dan bank dengan cakupan usaha terbatas. Pengelompokkan bank tersebut didasarkan pada kemampuan modalnya. Terakhir adalah paket Oktober 2006 (Pakto) yang dikeluarkan oleh BI. Salah satu maksudnya adalah untuk mendorong perbankan nasional dalam meningkatkan penyaluran kredit tanpa mengabaikan prinsip kehati-hatian. Pakto ini mencakup 13 Peraturan Bank Indonesia, dua diantaranya adalah mengenai pelarangan kepemilikan tunggal dan pelaksanaan Good Corporate Governance.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Kilas balik yang penuh gejolak tersebut tidak menghalangi peranan perbankan sebagai sub sektor ekonomi yang paling sentral peranannya dalam memobilisasi dana masyarakat. Mengacu ke laporan Bank Indonesia, sampai dengan bulan Juli 2007, jumlah bank yang beroperasi di Indonesia tercatat sebanyak 130 bank umum dan 1816
5

BPR. Total aset perbankan nasional adalah Rp 1.801.094,- Milyar, belum termasuk asset BPR sebesar Rp 25.140,- Milyar. Total simpanan masyarakat atau dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh bank umum adalah adalah sebesar Rp 1.562.070,Milyar dan oleh BPR sebanyak Rp 20.537,- Milyar. Memang sebuah angka yang luar biasa dan terus meningkat dari tahun ke tahun, seperti ditunjukkan pada grafik di bawah ini.
(dalam triliun) 933 1140 1380 1522 10000 8000 6000 4000 2000 0 2002 2003 2004 2005 2006 BPR 2007

699

797

967 1007 1106 1283

1468 1562 Use of fund Source of fund

1112 1214 1272 1470 1694 1801 Asset 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Asset, Sumber, dan penyaluran dana

Jumlah Kantor

Bank Um um

Angka-angka tersebut menunjukkan beberapa hal yang menarik. Pertama, masyarakat Indonesia masih menaruh kepercayaan terhadap perbankan sebagai alternatif investasi dan sebagai institusi penyimpanan dana. Fungsi agent of trust ini tentunya membawa konsekuensi terhadap pentingnya masalah intergritas institusi dan individu di bidang perbankan. Kedua, angka tersebut menunjukkan dominasi atau ketergantungan terhadap bank sebagai lembaga penyimpan sekaligus lembaga pembiayaan dalam perekekonomian Indonesia. Total aset perbankan yang lebih dari 1800 triliun tersebut adalah dua kali lipat dari PDB Indonesia, yang sampai triwulan I 2007 tercatat sebesar 915,9 triliun. Angka tersebut juga terlihat luar biasa dibandingkan dengan total aset perusahaan asuransi jiwa- yang tercatat hanya sebesar Rp 82 triliun pada kuartal II 2007. Ketergantungan tersebut tentunya- di sisi lain, memang mengandung resiko tinggi jika tidak dikelola dengan baik oleh pelaku-pelaku di industri perbankan. Ketiga, jumlah aset dan dana masyarakat yang luar biasa tersebut tentunya memerlukan kapasitas atau produktifitas yang tinggi, baik secara institusi maupun Sumber Daya Manusia di bidang perbankan. Sebagai ilustrasi, dengan jumlah kantor bank umum sebanyak 9492 maka setiap kantor harus mengelola dana masyarakat sekitar Rp 165 Milyar per kantor. Jika dana masyarakat dibagi dengan jumlah karyawan bank yang berjumlah sekitar 100.000 orang maka setiap karyawan bank mengelola dana masyarakat sekitar Rp 15 Milyar per orang. Kapasitas intitusi dan individu yang bergerak di industri perbankan tersebut tentunya memerlukan fasilitas atau alat bantu dalam pengolahaan dana dan berbagai layanan jasa keuangan terkait lainnya. Disinilah fungsi dari teknologi informasi dan komunikasi di industri perbankan. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi di perbankan nasional relatif lebih maju dibandingkan sektor lainnya. Berbagai jenis teknologinya diantaranya meliputi Automated Teller Machine, Banking Application System, Real Time Gross Settlement System, Sistem Kliring Elektronik, dan internet banking. Bank Indonesia sendiri lebih
6

sering menggunakan istilah Teknologi Sistem Informasi (TSI) Perbankan untuk semua terapan teknologi informasi dan komunikasi dalam layanan perbankan. Istilah lain yang lebih populer adalah Electronic Banking. Electronic banking mencakup wilayah yang luas dari teknologi yang berkembang pesat akhir-akhir ini. Beberapa diantaranya terkait dengan layanan perbankan di garis depan atau front end, seperti ATM dan komputerisiasi (sistem) perbankan, dan beberapa kelompok lainnya bersifat back end, yaitu teknologi-teknologi yang digunakan oleh lembaga keuangan, merchant, atau penyedia jasa transaksi, misalnya electronic check conversion. Saat ini sebagian besar layanan E-banking terkait langsung dengan rekening bank. Jenis E-Banking yang tidak terkait rekening biasanya berbentuk nilai moneter yang tersimpan dalam basis data atau dalam sebuah kartu (chip dalam smartcard). Dengan semakin berkembangnya teknologi dan kompleksitas transaksi, berbagai jenis E-banking semakin sulit dibedakan karena fungsi dan fiturnya cenderung terintegrasi atau mengalami konvergensi. Sebagai contoh, sebuah kartu plastik mungkin memiliki magnetic strip- yang memungkinkan transaksi terkait dengan rekening bank, dan juga memiliki nilai moneter yang tersimpan dalam sebuah chip. Kadang kedua jenis kartu tersebut disebut debit card oleh merchant atau vendor. Beberapa gambaran umum mengenai jenis-jenis teknologi E-Banking dapat dilihat di bawah ini.

Jenis-Jenis Teknologi E-Banking


Automated Teller Machine (ATM). Terminal elektronik yang disediakan lembaga keuangan atau perusahaan lainnya yang membolehkan nasabah untuk melakukan penarikan tunai dari rekening simpanannya di bank, melakukan setoran, cek saldo, atau pemindahan dana. Computer Banking. Layanan bank yang bisa diakses oleh nasabah melalui koneksi internet ke pusat data bank, untuk melakukan beberapa layanan perbankan, menerima dan membayar tagihan, dan lainlain. Debit (or check) Card. Kartu yang digunakan pada ATM atau terminal point-of-sale (POS) yang memungkinkan pelanggan memperoleh dana yang langsung didebet (diambil) dari rekening banknya. Direct Deposit. Salah satu bentuk pembayaran yang dilakukan oleh organisasi (misalnya pemberi kerja atau instansi pemerintah) yang membayar sejumlah dana (misalnya gaji atau pensiun) melalui transfer elektronik. Dana ditransfer langsung ke setiap rekening nasabah. Direct Payment (also electronic bill payment). Salah satu bentuk pembayaran yang mengizinkan nasabah untuk membayar tagihan melalui transfer dana elektronik. Dana tersebut secara elektronik ditransfer dari rekening nasabah ke rekening kreditor. Direct payment berbeda dari preauthorized debit dalam hal ini, nasabah harus menginisiasi setiap transaksi direct payment. Electronic Bill Presentment and Payment (EBPP). Bentuk pembayaran tagihan yang disampaikan atau diinformasikan ke nasabah atau pelanggan secara online, misalnya melalui email atau catatan dalam rekening bank. Setelah penyampaian tagihan tersebut, pelanggan boleh membayar tagihan tersebut secara online juga. Pembayaran tersebut secara elektronik akan mengurangi saldo simpanan pelanggan tersebut. Electronic Check Conversion. Proses konversi informasi yang tertuang dalam cek (nomor rekening, jumlah transaksi, dll) ke dalam format elektronik agar bisa dilakukan pemindahan dana elektronik atau proses lebih lanjut. Electronic Fund Transfer (EFT). Perpindahan uang atau pinjaman dari satu rekening ke rekening lainnya melalui media elektronik. Payroll Card. Salah satu tipe stored-value card yang diterbitkan oelh pemberi kerja sebagai pengganti cek yang memungkinkan pegawainya mengakses pembayaraannya pada terminal ATM atau Point of Sales. Pemberi kerja menambahkan nilai pembayaran pegawai ke kartu tersebut secara elektronik.

Preauthorized Debit (or automatic bill payment). Bentuk pembayaran yang mengizinkan nasabah untuk mengotorisasi pembayaran rutin otomatis yang diambil dari rekening banknya pada tanggal-tangal tertentu dan biasanya dengan jumlah pembayaran tertentu (misalnya pembayaran listrik, tagihan telpon, dll). Dana secara elektronik ditransfer dari rekening pelanggan ke rekening kreditor (misalnya PLN atau PT Telkom). Prepaid Card. Salah satu tipe Stored-Value Card yang menyimpan nilai moneter di dalamnya dan sebelumnya pelanggan sudah membayar nilai tersebut ke penerbit kartu. Smart Card. Salah satu tipe stored-value card yang di dalamnya tertanam satu atau lebih chips atau microprocessors sehingga bisa menyimpan data, melakukan perhitungan, atau melakukan proses untuk tujuan khusus (misalnya validasi PIN, otorisasi pembelian, verifikasi saldo rekening, dan menyimpan data pribadi). Kartu ini bisa digunakan pada sistem terbuka (misalnya untuk pembayaran transportasi publik) atau sistem tertutup (misalnya MasterCard atau Visa networks). Stored-Value Card. Kartu yang di dalamnya tersimpan sejumlah nilai moneter, yang diisi melalui pembayaran sebelumnya oleh pelanggan atau melalui simpanan yang diberikan oleh pemberi kerja atau perusahaan lain. Untuk single-purpose stored value card, penerbit (issuer) dan penerima (acceptor) kartu adalah perusahaan yang sama dan dana pada kartu tersebut menunjukkan pembayaran di muka untuk penggunaan barang dan jasa tertentu (misalnya kartu telpon). Limited-purpose card secara umum digunakan secara terbatas pada terminal POS yang teridentifikasi sebelumnya di lokasi-lokasi tertentu (misalnya vending machines di sekolah-sekolah). Sedangkan multi-purpose card dapat digunakan pada beberapa penyedia jasa dengan kisaran yang lebih luas, misalnya kartu dengan logo MasterCard, Visa, atau logo lainnya dalam jaringan antar bank.

ALAT PEMBAYARAN MENGGUNAKAN KARTU DI INDONESIA Belakangan ini masyarakat perkotaan di Indonesia mulai terbiasa untuk menggunakan alat pembayaran non tunai untuk berbagai keperluan pembayaran, antara lain kartu kredit, kartu debet, kartu ATM dan kartu prabayar. Penggunaan kartu prabayar diyakini akan menjadi trend mekanisme pembayaran di masa mendatang, misalnya untuk membayar bahan bakar di pompa bensin, tiket tol, pembelian barang dan berbagai jasajasa lainnya. Semua proses aktivitas pembayaran melalui berbagai jenis alat pembayaran ini diproses oleh berbagai penyelenggara sistem pembayaran seperti bank dan nonbank. Institusi inilah yang nantinya menyelenggarakan jasa mulai proses pengiriman dana, kliring hingga settlement. Pemakaian kartu prabayar dalam mekanisme transaksi adalah bagian dari evolusi alat pembayaran dari uang tunai sampai ke bentuk-bentuk non-tunai. Misalnya alat pembayaran dalam bentuk kertas (paper based) seperti cek, wesel, bilyet giro hingga ke elektronik seperti kartu prabayar hingga ke wujud digital (digital cash). Jumlah kartu plastik (Kartu Kredit, ATM, Debit, dan pra bayar) di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun, seperti yang dilaporkan oleh Bank Indonesia pada tabel di bawah ini. Sampai bulan Juli 2007 tercatat 54 bank yang menerbitkan kartu ATM dan 21 penerbit kartu kredit yang terdiri atas perbankan, lembaga selain bank dan unit usaha syariah bank. Jumlah bank yang menerbitkan kartu ATM sekaligus kartu debit tercatat sebanyak 37 bank. Sedangkan kartu prabayar baru diterbitkan hanya oleh dua nama penerbit yaitu Telekomunikasi Indonesia dan Telekomunikasi Selullar.

Periode
Juli 2007 Juni 2007 Mei 2007 April 2007 Maret 2007 Februari 2007 Januari 2007 Desember 2006 November 2006 Oktober 2006 September 2006 Agustus 2006 Juli 2006 Juni 2006 Mei 2006 April 2006 Maret 2006 Februari 2006 Januari 2006 Sumber: Bank Indonesia

Kartu Kredit
8,507,704 8,443,861 8,392,734 8,338,377 8,194,908 8,336,598 8,284,668 8,215,923 8,246,240 8,220,190 8,185,091 8,141,978 8,108,865 8,060,807 8,306,329 8,333,266 8,306,407 8,310,109 8,274,706

Kartu ATM
2,453,961 2,396,216 2,257,822 2,220,185 2,192,203 2,167,086 2,095,878 1,509,038 1,496,733 1,485,437 1,441,494 1,419,164 1,393,326 1,365,053 1,310,792 1,337,924 1,322,094 1,342,434 1,312,125

Kartu ATM + Debit


30,210,886 29,628,467 29,105,943 28,951,736 28,467,610 28,101,234 28,058,176 28,147,121 27,591,546 27,137,765 26,752,600 26,215,573 25,709,446 26,266,143 25,865,912 25,336,627 25,089,270 24,546,255 24,035,777

Kartu Prabayar
48,647 46,926 45,709 44,148 42,454 56,565

Kartu Lainnya
-

Peredaran dan penggunaan kartu tersebut juga melibatkan empat prinsipal kartu kredit dan tiga perusahaan pengelola switching. Infrastuktur Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK) pun semakin meningkat, yang meliputi terminal ATM, Merchant, EDC, dan Imprinter. Perkembangan jumlah ke empat jenis infrastruktur APMK tersebut dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.
Periode
Juli 2007 Juni 2007 Mei 2007 April 2007 Maret 2007 Februari 2007 Januari 2007 Desember 2006 November 2006 Oktober 2006 September 2006 Agustus 2006 Juli 2006 Juni 2006 Mei 2006 April 2006 Maret 2006 Februari 2006 Januari 2006 Sumber: Bank Indonesia

ATM
17,777 17,590 17,445 17,312 17,191 17,178 17,137 16,960 16,635 16,455 16,328 16,238 16,129 16,011 15,948 15,923 15,861 15,615 15,425

Merchant
178,792 173,844 171,402 170,112 168,627 167,578 166,098 164,915 162,155 164,197 148,803 160,963 127,345 124,837 121,249 112,910 114,433 111,728 76,102

EDC
189,436 185,408 182,372 174,560 171,476 168,541 167,879 167,623 163,718 160,798 165,308 162,382 117,413 113,400 110,821 106,132 99,596 98,023 96,122

Imprinter
17,565 17,753 17,920 17,764 17,916 17,823 17,830 17,910 17,915 17,887 17,986 17,994 17,989 18,177 18,462 19,364 19,377 18,892 19,319

Sejalan dengan perkembangan teknologi, instrumen pembayaran khususnya yang menggunakan kartu (APMK) juga tumbuh dengan pesat. Tidak saja dari volume dan nilai yang ditransaksikan namun juga dari fitur, jenis, fungsi serta berbagai fasilitas yang diberikan kepada pemegang kartu. Menurut Bank Indonesia (2007), jenis APMK yang ada saat ini meliputi Kartu Kredit, Kartu ATM dan Kartu ATM yang berfungsi sekaligus sebagai Kartu Debit (ATM+Debit). Volume transaksi jenis APMK tersebut

pada triwulan II-2007 tercatat 298,65 juta atau meningkat 8,04% dibanding triwulan sebelumnya. Sedangkan dari sisi nilai mencapai Rp419,86 triliun, meningkat 19,68% dari triwulan sebelumnya. Peningkatan transaksi tersebut didominasi oleh jenis transaksi transfer dana pada kartu ATM dan ATM+Debit. Perkembangan transaksi khusus untuk kartu kredit dari bulan Januari 2006 sampai Juli 2007 dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tunai (Jutaan) Nominal
289,323.62 256,442.00 290,435.26 272,958.42 281,907.79 247,122.88 293,236.95 260,768.13 291,263.32 246,734.34 289,957.65 299,847.63 300,299.74 303,547.42 328,930.45 297,354.04 314,059.17 282,808.59 289,009.12

Periode
Juli 2007 Juni 2007 Mei 2007 April 2007 Maret 2007 Februari 2007 Januari2007 Desember 2006 November 2006 Oktober 2006 September 2006 Agustus 2006 Juli 2006 Juni 2006 Mei 2006 April 2006 Maret 2006 Februari 2006 Januari 2006 Sumber: Bank Indonesia

Belanja (jutaan) Nominal


6,264,582.51 5,581,847.31 5,781,067.10 5,067,888.26 5,142,922.07 4,522,213.89 5,308,543.96 5,072,207.37 4,750,764.99 4,869,743.40 4,668,728.10 4,720,982.19 4,690,590.82 4,407,449.05 4,562,754.30 3,970,386.83 4,282,029.79 3,790,391.64 4,053,476.73

Volume
416,683 374,292 425,385 414,409 423,291 380,528 448,995 396,222 444,969 364,001 465,126 468,038 473,387 479,651 530,474 498,694 685,307 490,442 687,547

Volume
10,928,378 10,075,739 11,341,233 9,540,421 9,626,404 8,849,052 10,169,130 9,606,110 9,167,386 9,762,183 9,489,456 9,486,662 9,070,085 8,817,102 9,211,244 8,146,915 8,680,550 7,946,883 8,533,967

Pada triwulan ini mucul pula jenis instrumen pembayaran baru yakni kartu prabayar. Kartu ini digunakan untuk jenis pembayaran yang bersifat kecil (micropayment), karena batasan nominal yang ada pada kartu tersebut adalah satu juta rupiah dan dapat diisi kembali setelah digunakan. Mengingat jenis kartu ini masih relatif baru, aktivitas transaksi yang tercatat masih sangat kecil, dimana volume transaksi tercatat 16,73 ribu dengan nilai transaksi Rp210,41 juta (Bank Indonesia, 2007). Angka-angka di atas menunjukkan bahwa peranan E-banking dalam meningkatkan layanan transaksi semakin meningkat. Peningkatan jumlah kartu plastik berserta jumlah dan nilai transaksinya merupakan salah satu indikator mulai tumbuhnya less-cash society atau masyarakat digital di Indonesia. Indikator tersebut terkait langsung dengan kegiatan transaksi yang diinisiasi oleh masyarakat sendiri sesuai dengan sumber daya keuangannya yang tersimpan dalam atau dilewatkan melalui lembaga perbankan. Atau dengan kata lain, indikator tersebut merupakan hasil dari transaksi individual nasabah bank yang berada di sisi front end. Bagaimana dengan transaksi antar lembaga sendiri yang dari kaca mata masyarakat- khususnya nasabah bank, merupakan layanan EBanking yang berada di sisi back end? ELECTRONIC FUND TRANSFER SYSTEM Sejak tahun 2000, Bank Indonesia memperkenalkan kepada stakeholder yakni perbankan nasional apa yang disebut real time gross settlement (RTGS). BI-RTGS adalah proses penyelesaian akhir transaksi (settlement) pembayaran yang dilakukan per
10

transaksi dan bersifat real time. Melalui mekanisme BI-RTGS ini rekening peserta dapat didebit dan dikredit berkali-kali dalam sehari sesuai dengan perintah pembayaran dan penerimaan pembayaran. Setidaknya ada tiga alasan pokok mengapa BI memakai settlement melalui RTGS. Alasan pertama, jika membuka kembali literatur dan merujuk hasil studi empiris, ada semacam kesadaran baru dari bank-bank sentral di seantero jagad ini untuk mengelola Large Value Transfer System (LVTS). Sistem BI-RTGS dapat mengurangi risiko sistemik. Yang dimaksud dengan risiko sistemik adalah risiko kegagalan salah satu peserta dalam memenuhi kewajiban yang jatuh tempo. Kegagalan bayar ini akan membuat peserta bank lain juga ikut terancam. Bahkan dalam situasi ekstrem, gagal bayar ini berpotensi memicu kesulitan finansial yang lebih luas yang dapat mengancam stabilitas sistem pembayaran. Alasan kedua, melalui sistem RTGS dapat mengurangi timbulnya float yang diharapkan dapat menyokong efektifitas pengawasan perbankan. Pada sisi lain dengan pengelolaan likuiditas yang baik di sektor perbankan juga akan membantu efektifitas kebijakan moneter. Alasan ketiga, sistem RTGS membuka peluang integrasi dengan berbagai aplikasi sistem pembayaran. Sebut saja seperti pasar uang dan pasar modal yang menganut prinsip Delivery versus Payment (DVP) atau bisa juga melakukan transaksi secara cross border payment melalui Payment versus Payment (PVP). Ada beberapa sasaran yang ingin dicapai melalui aplikasi sistem BI-RTGS, antara lain dengan BI-RTGS transfer dana antar peserta lebih cepat, efisien, andal dan aman. Selain itu setidaknya ada kepastian settlement dengan lebih segera. Sistem BI RTGS ini akan memperlihatkan informasi rekening peserta secara real time dan menyeluruh. Bagi peserta RTGS juga dituntut untuk disiplin dan profesional dalam mengelola likuiditas mereka. Dan diharapkan melalui sistem RTGS ini akan mengurangi berbagai risiko settlement. Saat ini aplikasi sistem BI-RTGS sudah berjalan di semua Kantor Bank Indonesia (KBI) di seluruh Indonesia. Sudah ada 148 peserta BI-RTGS yang terdiri atas 125 bank konvensional, 21 bank syariah/UUS dan dua peserta non-bank. Indonesia adalah negara kedelapan di Asia yang mengaplikasikan RTGS. Sedangkan di dunia baru ada 30 negara yang mengaplikasikannya. Jumlah dan nilai transaksi RTGS menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Bank Indonesia (2007) melaporkan bahwa komposisi nilai penyelesaian transaksi sistem pembayaran masih didominasi oleh sistem BI-RTGS. Selama triwulan II-2007 penyelesaian transaksi sistem BI-RTGS mencapai 93,09% dari total nilai transaksi, sementara melalui sistem kliring mencapai 3,15% dan sisanya melalui sistem yang dilaksanakan di luar Bank Indonesia. Penyelesaian transaksi melalui sistem RTGS dan kliring yang telah mencapai 96% tersebut dipandang telah mampu mendukung kestabilan sistem keuangan dalam memitigasi risiko gagal bayar transaksi sistem pembayaran. Dengan demikian, transaksi pembayaran di Indonesia yang belum tercover risikonya hanya sekitar 3,76%. Meski nilainya kecil, Bank Indonesia berusaha memitigasi risiko melalui penerapan rambu-rambu yang memperhatikan aspek kehatihatian dan perlindungan konsumen. Perkembangan volume dan nilai transaksi BIRTGS dari September 2006 sampai Agustus 2007 dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.

11

Periode
Agustus 2007 Juli 2007 Juni 2007 Mei 2007 April 2007 Maret 2007 Februari 2007 Januari 2007 Desember 2006 November 2006 Oktober 2006 September 2006 Sumber: Bank Indonesia

Nilai (Miliar Rp)


3,853,523.15 3,742,563.48 3,519,701.73 3,627,918.04 3,361,906.46 4,082,811.07 3,541,287.15 3,824,599.12 3,158,938.61 2,794,517.96 2,278,135.52 2,407,163.41

Volume (Satuan)
787,222.00 771,069.00 677,806.00 719,107.00 603,232.00 645,103.00 555,490.00 640,374.00 656,878.00 574,106.00 549,057.00 611,659.00

Sebagaimana diketahui, sebelum settlement melalui RTGS diperkenalkan ke publik, ada settlement lain yang lazim dipakai yakni melalui sistem kliring. Metode yang dipakai sistem kliring berbeda jauh dengan RTGS. Sistem kliring menggunakan metode net settlement dalam rangka penyelesaian akhir. Net settlement adalah adalah proses penyelesaian akhir transaksi-transaksi pembayaran yang dilakukan pada akhir suatu periode dengan melakukan apa yang disebut off-setting antara kewajiban-kewajiban pembayaran dengan hak-hak penerimaan. Data terakhir transaksi kliring pada triwulan II-2007 mengalami sedikit kenaikan dibanding triwulan sebelumnya. Nilai transaksi selama triwulan laporan tercatat sebesar Rp 333,2 triliun, naik 1,1% dibanding triwulan sebelumnya yaitu sebesar Rp329,6 triliun. Dari sisi volume juga mengalami kenaikan sebesar 2,72%, dari 19,3 juta transaksi menjadi 19,9 juta transaksi. Perkembangan volume dan nilai transaksi kliring dari September 2006 sampai Agustus 2007 dapai dilihat pada tabel di bawah ini.
Bulan
Agustus 2007 Juli 2007 Juni 2007 Mei 2007 April 2007 Maret 2007 Februari 2007 Januari 2007 Desember 2006 Nopember 2006 Oktober 2006 September 2006 Agustus 2006 Juli 2006 Juni 2006 Mei 2006 April 2006

Nominal (Rp Juta)


123,076,767 120,891,222 106,182,734 113,007,954 102,611,078 105,502,136 93,810,899 115,924,859 103,509,762 110,151,849 96,793,041 100,328,643 100,396,772 84,880,986 73,629,473 62,414,241 53,500,398

Volume
6,902,488 6,991,287 6,207,430 6,723,505 6,189,671 6,369,008 5,660,268 6,705,762 5,909,730 6,595,335 6,153,248 6,028,919 6,077,093 5,404,496 4,931,458 4,657,752 3,966,293

12

Maret 2006 Februari 2006 Januari 2006 Sumber: Bank Indonesia

55,777,017 52,759,000 54,234,032

3,794,995 3,554,472 3,501,349

Pada tahun 2007 ini Bank Indonesia telah memperluas implementasi Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia di 18 wilayah kliring non Bank Indonesia. Dengan demikian, hingga akhir triwulan II-2007, wilayah yang telah mengimplementasikan SKNBI berjumlah 65 wilayah yang terdiri atas 37 wilayah KBI dan 28 wilayah non KBI. Nilai transaksi pemindahan dana yang bersifat back end dari sisi pespektif nasabah tersebut menunjukkan bahwa lalu lintas uang di Indonesia sudah bersifat paperlessdengan nilai transaksi yang secara drastis meningkat tajam. Sebagai contoh, nilai BIRTGS meningkat lebih dari 1000 triliun rupiah dalam 12 bulan terakhir atau meningkat lebih dari 60 persen. Sedangkan transaksi kliring meningkat lebih dari dua kali lipat pada periode yang sama. Transaksi digital dengan nilai yang sangat besar tersebut tentunya memerlukan teknologi tinggi yang handal dan teruji. Luasnya spektrum dan tingkat teknologi E-banking memang memerlukan nilai investasi yang tidak sedikit. Selain itu, implementasi E-banking tersebut memerlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal dalam mengembangkan, menjalankan, dan memeliharanya. Tetapi yang menarik adalah investasi tinggi, kerumitan teknologi dan kehandalan SDM tersebut hanyalah berlaku di wilayah back-end sebuah bank dan menjadi tanggung jawab pada ahli-ahli TIK dan pengelola bank. Sedangkan dari sisi masyarakat pengguna layanan E-banking, faktor yang lebih dominan adalah apakah layanan teknologi tersebut dianggap mudah, cepat, akurat, aman, dan rahasia. Disinilah peran perspepsi masyarakat tentang teknologi E-banking menjadi salah satu faktor penting dalam meningkatkan penetrasi atau adopsi layanan E-banking oleh masyarakat. PERSEPSI MASYARAKAT MENGENAI E-BANKING Intensitas penggunaan layanan transaksi berbasis kartu di Indonesia memang cenderung semakin meningkat. Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat digitalkhususnya less-cash society di Indonesia mulai terbentuk. Memang masyarakat digital tersebut masih tergolong minoritas. Sebagai ilustrasi, jika jumlah kartu plastik sebanyak 41.172.551 dibagi jumlah penduduk Indonesia- yang tercatat sebanyak 225 juta pada tahun 2006, maka kartu plastik per kapitanya adalah 0.18. Angka tersebut bisa diartikan bahwa hanya 18 dari 100 orang Indonesia yang mempunyai kartu plastik. Jumlah masyarakat digital tersebut relatif tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara maju. Sebagai contoh, di Amerika Serikat persentase keluarga yang menggunakan berbagai jenis kartu plastik tersebut untuk tahun 2003 saja sudah mencapai 65% untuk kartu ATM, 54% untuk Debit Card, 73% untuk Prepaid Card, dan 6% untuk Smart Card (The Fed, 2004). Perbedaan tingkat penetrasi layanan E-banking tentunya sangat menarik untuk dikaji, terutama dikaitkan dengan faktor-faktor pendorong atau penghambat penetrasi EBanking tersebut di masyarakat. Tingkat penerimaan inovasi teknologi selain dipengaruhi oleh karakteristik demografi dan sosioekonomi, juga dipengaruhi oleh persepsi masyarakat tentang teknologi tersebut serta karakteristik dari berbagai jenis
13

layanan E-banking itu sendiri. Untuk kasus di Amerika Serikat, pemanfaatan layanan perbankan berbasis komputer (computer banking) disebabkan oleh faktor kemudahan layanan- disebutkan oleh 79 persen responden dan penghematan waktu-disebutkan oleh 71 persen responden. Hasil survey lainnya menunjukkan faktor kesediaan layanan Ebanking yang 24 jam menjadi faktor penting lainnya (The Fed, 2004). Memang ada faktor lain yang cenderung menjadi penghambat yaitu aspek keamanan dan kerahasiaan dari layanan E-banking. Pola penggunaan layanan E-banking dan perubahan karakteristik demografi dan sosioekonomi dari masyarakat pengguna menjadi salah satu tantangan tersendiri dalam memasyaratkan layanan E-banking. Untuk kasus di Indonesia, peran perbankan dengan layanan E-banking-nya menjadi sangat penting dan menjadi aktor utama dalam mempercepat pembentukan masyarakat digital. Dengan besarnya dana masyarakat yang tersimpan di industri perbankan, sebuah bank masih bisa meningkatkan aktivitas transaksi yang paperless di masa yang akan datang. Hal ini bisa dilihat dari trend pertumbuhan jumlah kartu plastik beserta nilai transaksinya yang semakin meningkat dalam 12 bulan terakhir ini. Tantangannya adalah bagaimana mempercepat laju penetrasinya di masa yang akan datang. User education menjadi salah satu strategi kunci dalam meningkatkan penetrasi layanan E-banking. Implementasinya perlu mempertimbangkan persepsi masyarakat tentang Ebanking, terutama mengenai faktor-faktor yang masih menjadi penghambat dalam penetrasi E-banking. Salah tantangan terberat adalah bagaimana meningkatkan penetrasi TIK di masyarakat berpenghasilan rendah- yang masih merupakan mayoritas di Indonesia. Berbagai hasil penelitian pun menunjukkan bahwa penetrasi TIK, termasuk layanan E-banking masih terkonsentrasi pada masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas, berpendidikan tinggi, dan terkonsentrasi di perkotaan. PENUTUP Kita harus suka, kita harus mau, dan kita harus siap menghadapi globalisasi karena kita mempunyai potensi dan mampu untuk itu. Jika tidak, kita hanya akan menjadi penonton, bahkan bisa menjadi korban dan terlindas oleh arus globalisasi. Skenario terburuk tersebut Insya Allah akan bisa kita hindari jika para ahli-ahli teknologi informasi- termasuk para lulusan STMIK Pradya Paramitra bertindak sebagai agent of change. Peran dan posisi tersebut bisa dimulai dengan mulai terjun ke masyarakat untuk melakukan sosialisasi tentang peranan TIK dengan tetap secara arif menjelaskan dampak positif dan negatif dari TIK tersebut. Dengan semakin banyaknya masyarakat yang melek TIK maka masyarakat semakin mempunyai akses informasi yang lebih luas. Informasi itu sendiri bisa didayagunakan oleh masyarakat sebagai salah satu sumber daya ekonomi yang penting di era knowledge based economy sekarang ini. Salah satu pilihan yang menarik dan berprospek cerah untuk para lulusan adalah terjun di industri perbankan. Hal ini mengingat bahwa sektor perbankan sendiri merupakan salah satu wilayah yang berpotensi sebagai ujung tombak dalam mempercepat pembentukan masyarakat digital di Indonesia. Luasnya spektrum teknologi E-banking dibarengi dengan dominasi perbankan Indonesia dalam mengelola dana masyarakat menjadi modal utama dalam meningkatkan akselerasi penetrasi E-banking di Indonesia.

14

Hal tersebut tentunya harus dibarengi dengan strategi yang tepat sesuai persepsi, karakteristik dan kondisi masyarakat Indonesia. Daftar Pustaka
Bank Indonesia, Mengelola Tantangan menjadi Masa Depan, Laporan Tahunan 2006, Jakarta, 2006. Bank Indonesia, Buku Statistik Perbankan Indonesia, Direktorat Perizinan dan Informanasi Perbankan, Jakarta, 2007 Bank Indonesia, Laporan Perkembangan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Bank Indonesia di Bidang Moneter, Perbankan, dan Sistem Pembayaran, Triwulan II, Jakarta, 2007. Beilock, Richard and D. V. Dimitrova, An exploratory model of inter-country Internet diffusion, Telecommunications Policy 27, 237252, 2003. Direktorat Sistem Pembayaran Bank Indonesia, http://www.bi.go.id diakses pada tanggal 25 September 2007 Flor, Alexander G., ICT and Poverty: The Indisputable Link, Paper for Third Asia Development Forum on Regional Economic Cooperation in Asia and The Pacific, Asian Development Bank, Bangkok, 2001. International Communication Union, http://www.itu.int diakses pada tanggal 26 September 2007 Kim, YunHwan, Financing Information Technology Diffusion in Lowincome Asian Developing Countries, ADB Report, 2004. Papageorgiou, Technology Adoption, Human Capital, and Growth Theory, Louisiana State University, Baton Rouge, LA 70803, 2000. Quibria, M.G., and Ted Tschang, Information and Communication Technology and Poverty: An Asian Perspective, ADB Institute Working Paper Series No.12, 2001. The Economist Intelligent Unit, The 2004 E-Readinesss Rankings: A White Paper from the Economist Intelligent Unit, 2004 The Fed, U.S. Consumers and Electronic Banking 19952003, Federal Reserve Bulletin Winter 2004 UNCTAD, Information and Communication Technology Development Indices, UNCTADUN, New York, 2003 United Nations Information and Communication Technologies Task Force, Measuring ICT: the Global Status of ICT Indicators, Partnership on Measuring ICT for Development, Geneva, July 2005

15

Вам также может понравиться