Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Definisi Korban gigitan ular adalah pasien yang digigit ular atau diduga digigit ular. Patofisiologi Bisa ular mengandung toksin dan enzim yang berasal dari air liur. Bisa tersebut bersifat:
1. Neurotoksin: berakibat pada saraf perifer atau sentral. Berakibat fatal karena paralise otot-otot lurik. Manifestasi klinis: kelumpuhan otot pernafasan, kardiovaskuler yang terganggu, derajat kesadaran menurun sampai dengan koma. 2. Haemotoksin: bersifat hemolitik dengan zat antara fosfolipase dan enzim lainnya atau menyebabkan koagulasi dengan mengaktifkan protrombin. Perdarahan itu sendiri sebagai akibat lisisnya sel darah merah karena toksin. Manifestasi klinis: luka bekas gigitan yang terus berdarah, haematom pada tiap suntikan IM, hematuria, hemoptisis, hematemesis, gagal ginjal. 3. Myotoksin: mengakibatkan rhabdomiolisis yang sering berhubungan dengan mhaemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot. 4. Kardiotoksin: merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung. 5. Cytotoksin: dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat terganggunya kardiovaskuler. 6. Cytolitik: zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada tempat patukan
7. Enzim-enzim: termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bisa. Polivalent Anti Bisa Ular Dapat Digunakan Pada Gigitan: 1. Cobra 2. Ancistrodon (ular tanah) 3. Bungarus fasciatus (ular weling) 4. Bungarus candidus (ular weling) Cobra termasuk jenis neurotoksik yang hebat, sedangkan Ancistrodon termasuk haemolisis yang hebat. Untuk yang lainnya termasuk jenis campuran. Derajat Gigitan Ular (Parrish) 1. Derajat 0 - Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam - Pembengkakan minimal, diameter 1 cm 2. Derajat I - Bekas gigitan 2 taring - Bengkak dengan diameter 1 5 cm - Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam 3. Derajat II - Sama dengan derajat I - Petechie, echimosis - Nyeri hebat dalam 12 jam 4. Derajat III - Sama dengan derajat I dan II - Syok dan distres nafas / petechie, echimosis seluruh tubuh 5. Derajat IV
- Sangat cepat memburuk Penanganan Korban Gigitan Ular 1. Prinsip-prinsip a. Menghalangi penyerapan dan penyebaran bisa ular b. Menetralkan bisa c. Mengobati komplikasi 2. Pertolongan yang diberikan: a. Incisi luka pada 1 jam pertama setelah digigit akan mengurangi toksin 50% b. IVFD RD 16 20 tpm. c. Penisillin Prokain (PP) 1 juta unit pagi dan sore d. ATS profilaksis 1500 iu e. ABU 2 flacon dalam NaCl diberikan per drip dalam waktu 30 40 menit f. Heparin 20.000 unit per 24 jam g. Monitor diathese hemorhagi setelah 2 jam, bila tidak membaik, tambah 2 flacon ABU lagi. ABU maksimal diberikan 300 cc (1 flacon = 10 cc) h. Bila ada tanda-tanda laryngospasme, bronchospasme, urtikaria atau hipotensi berikan adrenalin 0,5 mg IM, hidrokortisone 100 mg IV i. Kalau perlu dilakukan hemodialise j. Bila diathese hemorhagi membaik, transfusi komponen. k. Observasi pasien minimal 1 x 24 jam Catatan: jika terjadi anafilaktik syok karena ABU, ABU harus dimasukkan secara cepat sambil diberi adrenalin. Pemberian ABU Derajat (Parrish) 0-1 2 Pemberian ABU Tidak perlu 5 sd 20 cc (1 2 ampul)
40 sd 100 cc (4 10 ampul)
Hb, AL, AE, Ct/Bt, Golongan darah, Elektrolit darah, pemeriksaan fungsi ginjal
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi, Sifat dan Mekanisme Kerja Bisa ular Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga pengaruhnya tidak dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin saja. Venom yang sebagian besar (90%) adalah protein, terdiri dari berbagai macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein nontoksik. Berbagai logam seperti zink berhubungan dengan beberapa enzim seperti ecarin (suatu enzim prokoagulan dari E.carinatus venom yang mengaktivasi protombin). Karbohidrat dalam bentuk glikoprotein seperti serine protease ancord merupakan prokoagulan dari C.rhodostoma venom (menekan fibrinopeptida-A dari fibrinogen dan dipakai untuk mengobati kelainan trombosis). Amin biogenik seperti histamin dan 5-hidroksitriptamin, yang ditemukan dalam jumlah dan variasi yang besar pada Viperidae, mungkin bertanggungjawab terhadap timbulnya rasa nyeri pada gigitan ular. Sebagian besar bisa ular mengandung fosfolipase A yang bertanggung jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel vaskular. Enzim venom lain seperti fosfoesterase, hialuronidase, ATP-ase, 5-nuklotidase, kolinesterase, protease, RNA-ase, dan DNA-ase perannya belum jelas. (Sudoyo, 2006) Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis
atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun. (de Jong, 1998) Bisa ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat dan dampak yang ditimbul kannya seperti neurotoksik, hemoragik, trombogenik, hemolitik, sitotoksik, antifibrin, antikoagulan, kardiotoksik dan gangguan vaskular (merusak tunika intima). Selain itu ular juga merangsang jaringan untuk menghasikan zat zat peradangan lain seperti kinin, histamin dan substansi cepat lambat (Sudoyo, 2006). 2.2 Jenis jenis ular berbisa Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Sebenarnya dari kira kira ratusan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan dari golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. (de Jong, 1998) Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 familli utama yaitu: Famili Elapidae misalnya ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan ular cabai Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau dan ular bandotan puspo Familli Hydrophidae, misalnya ular laut Familli Colubridae, misalnya ular pohon Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat dipakai rambu rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut: Ciri ciri ular tidak berbisa: Bentuk kepala segi empat panjang Gigi taring kecil Bekas gigitan, luka halus berbentuk lengkung Ciri ciri ular berbisa: Kepala segi tiga Dua gigi taring besar di rahang atas Dua luka gigitan utama akibat gigi taring Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak dijumpai di Indonesia adalah jenis ular : Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais (ular hijau), Ankistrodon rhodostoma (ular tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun prokoagulan memicu kaskade pembekuan) Neurotoksik, Bungarusfasciatus (ular welang), Naya Sputatrix (ular sendok), ular kobra, ular laut. Neurotoksin pascasinaps seperti -bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada reseptor asetilkolin pada motor end-plate sedangkan neurotoxin prasinaps seperti -bungarotoxin, crotoxin, taipoxin dan notexin merupakan fosfolipase-A2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction. Beberapa spesies Viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin sistemik sementara spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat gigitan.
2.3 Patofisiologi Racun/bisa diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Racun ini disimpan di bawah gigi taring pada rahang atas. Rahang dapat bertambah sampai 20 mm pada ular berbisa yang besar. Dosis racun pergigitan bergantung pada waktu yang yang terlewati setelah gigitan yang terakhir, derajat ancaman dan ukuran mangsa. Respon lubang hidung untuk pancaran panas dari mangsa memungkinkan ular untuk mengubah ubah jumlah racun yang dikeluarkan. Racun kebanyakan berupa air. Protein enzim pada racun mempunyai sifat merusak. Protease, colagenase dan hidrolase ester arginin telah teridentifikasi pada racun ular berbisa. Neurotoksin terdapat pada sebagian besar racun ular berbisa. Diketahui beberapa enzim diantaranya adalah (1) hialuronidase, bagian dari racun diamana merusak jaringan subcutan dengan menghancurkan mukopolisakarida; (2) fosfolipase A2 memainkan peran penting pada hemolisis sekunder untuk efek eritrolisis pada membran sel darah merah dan menyebabkan nekrosis otot; dan (3)enzim trobogenik menyebabkan pembentukan clot fibrin, yang akan mengaktivasi plasmin dan menghasilkan koagulopati yang merupakan konsekuensi hemoragik (Warrell,2005). 2.4 Gejala klinis Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas dan hemolisis. Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan tidak sebanding sebasar luka, udem, eritem, petekia, ekimosis, bula dan tanda nekrosis jaringan. Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau perikardium, udem paru, dan syok berat karena efek racun langsung pada otot jantung. Ular berbisa yang terkenal adalah ular tanah, bandotan puspa, ular hijau dan ular laut. Ular berbisa lain adalah ular kobra dan ular welang yang biasanya bersifat neurotoksik. Gejala dan tanda yang timbul karena bisa jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak napas sampai akhirnya terjadi henti nafas akibat kelumpuhan otot pernafasan. Ular kobra dapat juga menyemprotkan bisanya yang kalau mengenai mata dapat menyebabkan kebutaan sementara. (de Jong, 1998) Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut (Dreisbach, 1987): Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit 24 jam) Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual, hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur Gejala khusus gigitan ular berbisa : o Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri, koagulasi intravaskular diseminata (KID) o Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma o Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma o Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda tanda 5P (pain, pallor, paresthesia, paralysis pulselesness), (Sudoyo, 2006) Menurut Schwartz (Depkes,2001) gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai berikut: Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan : Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular, riwayat penyakit sebelumnya.
Pemeriksaan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap 12 jam. Gambaran klinis gigitan beberapa jenis ular: Gigitan Elapidae Efek lokal (kraits, mambas, coral snake dan beberapa kobra) timbul berupa sakit ringan, sedikit atau tanpa pembengkakkan atau kerusakan kulit dekat gigitan. Gigitan ular dari Afrika dan beberapa kobra Asia memberikan gambaran sakit yang berat, melepuh dan kulit yang rusak dekat gigitan melebar. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan pada lapisan luar mata. Gejala sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau 10 jam kemudian dalam bentuk paralisis dari urat urat di wajah, bibir, lidah dan tenggorokan sehingga menyebabkan sukar bicara, kelopak mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur dn mati rasa di sekitar mulut. Selanjutnya dapat terjadi paralis otot pernapasan sehingga lambat dan sukar bernapas, tekanan darah menurun, denyut nadi lambat dan tidak sadarkan diri. Nyeri abdomen seringkali terjadi dan berlangsung hebat. Pada keracunan berat dalam waktu satu jam dapat timbul gejala gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam. Gigitan Viperidae: Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa bengkak dekat gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke seluruh anggota badan, rasa sakit dekat gigitan Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa muntah, berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas gigitann (lubang dan luka yang dibuat taring ular), hidung berdarah, darah dalam muntah, urin dan tinja. Perdarahan terjadi akibat kegagalan faal pembekuan darah. Beberapa hari berikutnya akan timbul memar, melepuh, dan kerusakan jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang kadang tekanan darah rendah dan nadi cepat. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakkan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat. Gigitan Hidropiidae: Gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah tersa tebal, berkeringat dan muntah Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, spasme pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil, dan ptosis, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (gejala ini penting untuk diagnostik), ginjal rusak, henti jantung Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae: Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis dan nyeri pada daerah gigitan merupakan indikasi minimal ang perlu dipertimbangkan untuk memberian poli valen crotalidae antivenin Anemia, hipotensi dan trobositopenia merupakan tanda penting Gigitan Coral Snake: Jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi, diberikan antivenin (Micrurus fulvius antivenin) (Sudoyo, 2006)
Tanda dan gejala lokal 1. Tanda gigi taring 2. Nyeri lokal 3. Pendarahan lokal 4. Bruising 5. lymphangitis 6. Bengkak, merah, panas 7. Melepuh 8. Necrosis Gejala dan tanda sistemik umum Umum mual, muntah, malaise, nyeri abdominal, weakness, drowsiness, prostration Kardiovascular (Viperidae) Visual disturbances, dizziness, faintness, collapse, shock, hypotension, arrhythmia cardiac, oedema pulmo, oedema conjungtiva Kelainan perdarahan dan pembekuan darah (Viperidae) Perdarahan dari luka gigitan Perdarahan sitemik spontan dri gusi, epistaksis, hemopteu, hematemesis, melena, hematuri, perdarahan per vaginam, perdarahan pada kulit seperti petechiae, purpura, Ecchymoses dan pada mukosa seperti pada konjungtiva, perdarahan intrakranial Neurologik (Elapidae, Russells viper) Drowsiness, paraesthesiae, abnormalitas dari penciuman dan perabaan, heavy eyelids, ptosis, ophthalmoplegia external, paralysis dari otot wajah dan otot lai yang di inervasi oleh nervus kranialis, aphonia, difficulty in swallowing secretions, respiratory and generalised flaccid paralysis Otot rangka (sea snakes, Russells viper) Nyeri menyeluruh, stiffness and tenderness of muscles, trismus, myoglobinuria, hyperkalaemia, cardiac arrest, gagal ginjal akut Ginjal (Viperidae, sea snakes) LBP (lower back pain), haematuria, haemoglobinuria, myoglobinuria, oliguria/anuria, tanda dan gejala dari uraemia (nafas asidosis, hiccups, nausea, pleuritic chest pain) Endokrin (acute pituitary/adrenal insufficiency) (Russells viper) Fase akut: syok, hypoglycaemia Fase kronik (beberapa bulan sampai tahun setelah gigitan): weakness, loss of secondary sexual hair, amenorrhoea, testicular atrophy, hypothyroidism. (Warrell, 1999) 2.5 Pemeriksaan Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, D-dimer, uji faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria) EKG Foto dada 2.6 Diagnosis Banding Diagnosis banding untuk snakebite antara lain : Anafilasis Trombosis vena bagian dalam Trauma vaskular ekstrimitas Scorpion Sting Syok septik Luka infeksi 2.7 Penatalaksanaan Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah Menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah Mengatasi efek lokal dan sistemik (Sudoyo, 2006) Usahakan membuang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh lubang bekas masuknya taring ular sepanjang dan sedalam cm, kemudian dilakukan pengisapan mekanis. Bila tidak tersedia alatnya, darah dapat diisap dengan mulut asal mukosa mulut utuh tak ada luka. Bisa yang tertelan akan dinetralkan oleh cairan pencernaan. Selain itu dapat juga dilakukan eksisi jaringan berbentuk elips karena ada dua bekas tusukan gigi taring, dengan jarak cm dari lubang gigitan, sampai kedalaman fasia otot. Usaha menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang tourniket beberapa centimeter di proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang terlihat, dengan tekanan yang cukup untuk menghambat aliran vena tapi lebih rendah dari tekanan arteri. Tekanan dipertahankan dua jam. Penderita diistirahatkan supaya aliran darah terpacu. Dalam 12 jam pertama masih ada pengaruh bila bagian yang tergigit direndam dalam air es atau didinginkan dengan es. Untuk menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum bisa ular intravena atau intra arteri yang memvaskularisasi daerah yang bersangkutan. Serum polivalen ini dibuat dari darah kuda yang disuntik dengan sedikit bisa ular yang hidup di daerah setempat. Dalam keadaan darurat tidak perlu dilakukan uji sensitivitas lebih dahulu karena bahanya bisa lebih besar dari pada bahaya syok anafilaksis. Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah dan pemberian vasopresor untuk menanggulangi syok. Mungkin perlu diberikan fibrinogen untuk memperbaiki kerusakan sistem pembekuan. Dianjurkan juga pemberian kortikosteroid. Bila terjadi kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan memasang respirator untuk ventilasi. Diberikan juga antibiotik spektrum luas dan vaksinasi tetanus. Bila terjadi pembengkakan hebat, biasanya perlu dilakukan fasiotomi untuk mencegah sindrom kompartemen. Bila perlu, dilakukan upaya untuk mengatasi faal ginjal. Nekrotomi dikerjakan bila telah tampak jelas batas kematian jaringan, kemudian dilanjutkan dengan cangkok kulit. Bila ragu ragu mengenai jenis ularnya, sebaiknya penderita diamati selama 48 jam karena
kadang efek keracunan bisa timbul lambat. Gigitan ular tak berbisa tidak memerlukan pertolongan khusus, kecuali pencagahan infeksi. (de Jong, 1998) Tindakan Pelaksanaan A. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung alkohol Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat daerah proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau arteri. B. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai berikut: Penatalaksanaan jalan napas Penatalaksanaan fungsi pernapasan Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas luka, imobilisasi (dengan bidai) Ambil 5 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin, APTT, D-dimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit, menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan), polivalen 1 ml berisi: 10-50 LD50 bisa Ankystrodon 25-50 LD50 bisa Bungarus 25-50 LD50 bisa Naya Sputarix Fenol 0.25% v/v Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 5% dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada luka tidak dianjurkan. Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001): Pedoman terapi SABU menurut Luck Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom Jika koagulopati tidak membak (fibrinogen tidak meningkat, waktu pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya, dst. Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan
Terapi suportif lainnya pada keadaan : Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frizen (dan antivenin) Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K, tranfusi trombosit Hipotensi: beri infus cairan kristaloid Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas atropin Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan obat obatan narkotik depresan Terapi profilaksis Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang dijumpai adalah P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis Beri toksoid tetanus Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi (Sudoyo, 2006) Petunjuk Praktis Pencegahan Terhadap Gigitan Ular Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan untuk memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai kaki Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak semak Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit akibat kejadian semacam itu. (Sudoyo, 2006) DAFTAR PUSTAKA Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and Critical Care, University of Tennessee School of Medicine. www.eMedicine.com. De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit. Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Warrell, D.A., 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Centre for Tropical Medicine, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Thailand. Warrell,D.A., 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous snakes. BMJ 2005; 331:1244-1247 (26 November), doi:10.1136/bmj.331.7527.1244. www.bmj.com. sorces : http://sanirachman.blogspot.com/2009/10/snake-bite-pedomanpenatalaksanaan.html#ixzz1QmTCYif2 Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial
GIGITAN ULAR Perhatian Yang terpenting pada kasus gigitan ular adalah korban sulit memastikan apakah ularnya berbisa atau tidak. Di Indonesia ada tiga genus ular yang biasanya bertanggung jawab pada keasus gigitan ular yaitu : 1.V ip erid ae( kh u su s n yaCr otalinae) 2. Elapidae ( Naja/ Cobra) 3. Bungarus ( Ular laut) Tanda/gejala gigitan ular berbisa: 1.rasa nyeri pada daerah gigitan 2.bengkak pada sekeliling luka gigitan dan secara bertahap menyebar ke proksimal. 3.munculnya perdarahan kulit dan bula yang berisi cairan serosa atau darah. 4.munculnya gejala sistemik seperti mual,muntah, diare,rasa sakit sekali pada perut,gelisah,hipotensi,perdarahan(epistaksis,gusi berdarah,perdarahan saluran perncernaan),ganggua sistim saraf(paralysis,ptosis,gangguan gerakan bola mata,gangguan bicara,gangguan menelan,sempoyongan,kejang),gagal nafas dan urin yang gelap(mioglobinuria). Bila ular yang menggigit dapat ditangkap,maka dapat minta bantuan pada kebun binatang local atau ahli reptile untuk mengidentifikasi ular tersebut. Lihat bagan 1 untuk cara identifikasi gigitan ular. Hati-hati agar jangan membawa ular yang diduga telah mati,karena refleks envenomasi akibat dekapitasi kepala ular masih dapat terjadi beberapa jam setelah mati. Hanya sedikit jumlah ular tanah yang berbisa. Semua ular laut berbisa.Diduga bila terjadi gigitan tanpa rasa sakit yang terjadi saat berenang di laut atau saat menangkap ikan.Nyeri pada semua otot dan sakit,dan rasa kaku bila digerakkan.Biasanya terjadi cepat dalam setengah sampai sejam setelah gigitan. Bisa ular dapat dikelompokan sebagai berikut: 1.hematotoksin atau kardiovaskular toksin (seperti pada jenis Crotalidae) 2.neurotoksin (seperti pada jenis Elapidae dan Hydropiidae) 3.miotoksin (seperti pada hydropiidae) Lihat table 1 untuk derajat kekuatan bisa ular Anti bisa ular harus diberikan di rumah sakit pada korban gigitan ular berbisa yang menunjukkan gejala keracunan sedang sampai berat Daerah ektremitas yang digigit harus diimobilisasi untuk menurunkan metabolisme, absorption dan penyebaran bisanya.
Dalam imobilisasi jangan memakai torniket atau memanipulasi luka.Tapi gunakan konstrikting band sebelah proksimal dari luka.Bebat yang dilakukan harus cukup menekan,tapi jari pemeriksa juga harus dapat masuk diantara bebat dengan
permukaan kulit yang luka.Cara ini berguna bila gigitan ular belum lebih dari 30 menit. Tabel 1: Derajat kekuatan bisa ular Minimal Rasa sakit minimal s/d sedang,eritema,edema ukuran 2,5-15 cm,tanpa Disertai gejala sistemik Sedang Sakit sekali,nyeri pada daerah luka, edema 25-40 cm,eritema,perdarahan kulit(ptekie),muntah, demam dan lemah Berat Rasa sakit yang cepat menyebar,edema 40-50 cm,ekimosis dan disertai gejala sistemik Sangat berat Bengkak yang cepat terjadi,ekimosis,gejala ganggua CNS,gangguan penglihatan,kejang dan sampai syok Bagan 1: Identifikasi jenis ular berbisa pastikan ular benar-benar telah mati identifikasi ular dari bentuk luar atau cocokkan ciri fisik ular dengan gambar/teks bila tidak dapat dilakukan lihat gigi taringnya(harus memakai sepasang forseps) note: bekas taring adalah 2 titik yang berjarak + 1,25 cm jika ada jika tidak ada ular berbisa ular tidak berbisa gigi taring pendek gigi taring panjang
flat oar-like tail kepala dengan sisik yang besar kepala bentuk segitiga ular laut ular kobra,kraits viper (hydropiidae) koral(elapidae) (crotalidae)
Penatalaksanaan: Pasien dirawat di ruang resusitasi,letakkan berbaring dan bagian tubuh yang digigit harus diimobilisasi pada posisi dependent. Pertahankan jalan nafas tetap terbuka bebas,jika bahaya paralysis pernafasan atau bulbar akan terjadi maka pasien harus diintubasi atau ventilasi dengan pembedahan jika intubasi tidak mungkin dilakukan karena berbagai sebab. Berikan O2 high flow Pemeriksaan tanda-tanda vital secara lengkap Monitoring EKG,pulse oksimetri dan tanda vital tiap 5-10 menit Pemeriksaan lab:DL, faal hemostasis, UL, urea/elektrolit/kreatinin,EKG.Pada kasus yang berat ditambahkan: mioglobin urin,skrining DIC,CPK,CKMB Jika pasien datang dengan terpasang torniqet, maka yang harus dilakukan untuk antisipasi envenomasi mendadak: 1.pasang infuse NS 0,9% 2.peralatan resusitasi yang memadai 3.monitoring lengkap tersedia Pasang kateter untuk pasien yang tidak stabil/syok Mual dan muntah dapat terjadi akibat bisa yang jenisnya hematotoksik Table 2 : dosis pemberian serum anti bisa ular Derajat bisa ular secara klinis Dosis serum anti bisa ular Minimal Tidak indikasi diberikan SABU Sedang 20-40 cc(2-4 vial) (masih kontroversi) Berat 50-90 cc(5-9 vial) Sangat berat 100-150 cc(10-15 vial) Irigasi mata yang terkena semprotan bisa ular (beberapa jenis kobra akan menyemprotkan bisanya kea rah mata korban). Jangan menekan bagian proksimal daerah luka gigitan ular berbisa dengan torniket. Jangan mengompres luka dengan es,karena pada saat kompres dihentikan,efek vasodilatasi akan mempercepat penyerapan bisa ular.