Вы находитесь на странице: 1из 81

PROSES KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN MUSKULOSKELETAL

Sistem muskuloskeletal meliputi tulang, persendian, otot, tendon, dan bursa (kantung berisi cairan yang ditemukan pada jaringan ikat terutama di daerah persendian). Masalah yang berhubungan dengan struktur ini sangat sering terjadi dan mengenai semua kelompok usia. Masalah sistem muskuloskeletal biasanya tidak mengancam jiwa, namun mempunyai dampak yang bermakna terhdap aktivitas dan produktivitas penderita. Masalah tersebut dapat dijumpai di segala bidang praktik keperawatan, serta dalam pengalaman hidup sehari-hari. Tinjauan Fisiologik Struktur tulang dan jaringan ikat menyusun kurang lebih 25 persen berat badan, dan otot menyusun kurang lebih 50 persen. Struktur tulang memberi perlindungan terhadap organ vital, termasuk otak, jantung, dan paru. Kerangka tulang merupakan kerangka yang kuat untuk menyangga struktur tubuh. Otot yang melekat ke tulang memungkinkan tubuh bergerak. Matriks tulang menyimpan kalsium, fosfor, magnesium, dan flour. Lebih dari 99 persen kalsium tubuh total terdapat dalam tulang. Sumsum tulang merah yang terletak dalam rongga tulang menghasilkan sel darah merah dan putih dalam proses yang dinamakan hematopoiesis. Kontraksi otot menghasilkan suatu usaha mekanik untuk gerakan maupun produksi panas untuk mempertahankan temperature tubuh. 1. Sistem Skelet 1. Sistem rangka a. Dipelihara oleh Sistem Haversian yaitu sistem yang berupa rongga yang di tengahnya terdapat pembuluh darah. b. Terjadi proses pembentukan jaringan tulang baru dan reabsorpsi jaringan tulang yang telah rusak

2. Fungsi tulang a. Menyokong memberikan bentuk b. Melindungi organ vital. c. Membantu pergerakan. d. Memproduksi sel darah merah pada sumsum. e. Penyimpanan garam mineral.

3. Pembagian Tulang a. Tulang axial ( tulang pada kepala dan badan). Seperti : tl. tengkorak, tl. vertebrae, tl. rusuk dan sternum. b. Tulang appendicular (tulang tangan dan kaki). Seperti : extremitas atas (scapula, klavikula, humerus, ulna, radius, telapak tangan), extremitas bawah (pelvis, femur, patela, tibia, fibula, telapak kaki)

4. Histology Tulang Ada 2 tipe tulang : a. Kompaktum kuat, tebal, padat. b. Kankellous lebih kopong, renggang Di antara lapisan tersebut terdapat ruang kecil lacuna Cairan yang mengisi Osteocyte Osteocyte adalah sel pembentuk tulang. Osteoblast (sel pembentuk) dan osteoclast (reabsorbsi tulang). Suplai darah pada tulang didapat dari arteriole sepanjang kanal Haversin. Tulang juga dipersyarafi oleh syaraf-syaraf.

5. Klasifikasi tulang berdasarkan bentuknya 1. Tulang panjang (tl. humerus, radius), mengandung epifisis, kartilago artikular, diafisis, periosteum dan rongga medular. a. Epifisis Terletak di pangkal tulang panjang. Pada bagian ini otot berhubungan dengan tulang dan membuat sendi menjadi stabil. b. Kartilage artikular Membungkus pangkal tulang panjang dan membuat permukaan tulang panjang menjadi halus. c. Diafisis Bagian tulang panjang yang utama memberikan struktural pada tubuh. d. Metafisis Bagian tulang yang mengembang di antara epifisis dan diafisis. e. Periosteum Jaringan konektif fibrosa yang membungkus tulang.

f. R. medular Terletak di tengah-tengah diafisis. 2. Tulang pendek seperti karpal, tarsal 3. Tulang pipih, melindungi organ tubuh dan sebagai tempat melekatnya otot. 4. Tulang sesamoid, bentuknya kecil, melingkar, berhubungan dengan sendi dan melindungi tendon, seperti patela. 2. Pembentukan Tulang Tulang mulai terbentuk lama sebelum kelahiran. Osifikasi adalah proses dimana matriks tulang (serabut kolagen dan substansi dasar) terbentuk dan pengerasan mineral (garam kalsium) ditimbun di serabut kolagen dalam suatu lingkungan elektronegatif. Serabut kolagen memberi kekuatan terhadap tarikan pada tulang, dan kalsium memberikan kekuatan terhadap tekanan kepada tulang. Ada dua model dasar osifikasi: intramembran dan endokondral. Penulangan intramembranus dimana tulang tumbuh di dalam membrane, terjadi pada tulang wajah dan tengkorak. Bentuk lain pembentukan tulang adalah penulangan endokondral, dimana terbentuk dahulu model tulang rawan. Pertama terbentuk jaringan serupa tulang rawan (osteoid), kemudian mengalami resorpsi, dan diganti oleh tulang. Kebanyakan tulang di tubuh terbentuk dan mengalami penyembuhan melalui osifikasi endokondral.

3. Pemeliharaan Tulang Tulang merupakan jaringan yang dinamis dalam keadaan peralihan yang konstan [resorpsi dan pembentukan ulang). Faktor pengatur penting yang menentukan keseimbangan antara pembentukan dan resorbsi tulang antara lain stres terhadap tulang, vitamin D, hormon paratiroid, kalsitonin, dan peredaran darah. Vitamin D berfungsi meningkatkan jumlah kalsium dalam darah dengan meningkatkan penyerapan kalsium dari saluran pencernaan. Kekurangan vitamin D mengakibatkan defisit mineralisasi, deformitas, dan patah tulang. Hormon paratiroid dan kalsitonin adalah hormon utama yang mengatur homeostasis kalsium. Hormon paratiroid mengatur konsentrasi kalsium dalam darah, sebagian dengan cara merangsang perpindahan kalsium dari tulang. Sebagai respons kadar kalsium darah yang rendah, peningkatan kadar hormon paratiroid akan mempercepat mobilisasi kalsium,

demineralisasi tulang, dan pembentukan kista tulang. Kalsitonin, dari kelenjar tiroid, meningkatkan penimbunan kalsium dalam tulang. Pasokan darah juga mempengaruhi pembentukan tulang. Dengan menurunnya pasokan darah atau hiperemia (kongesti), akan terjadi penurunan osteogenesis dan tulang mengalami osteoporosis (berkurang kepadatannya). Nekrosis tulang akan terjadi bila tulang kehilangan aliran darah.

4. Sistem persendian Tulang-tulang dalam tubuh dihubungkan satu sama lain dengan sendi atau artikulasi yang memungkinkan berbagai macam gerakan. Ada tiga macam sendi: sinartrosis, amfiartrosis, dan diartrosis. Sendi sinartrosis adalah sendi yang tak dapat digerakan, misalnya adalah sendi pada tulang tengkorak. Amfiartrosis, seperti sendi pada vertebra dan simfisis pubis, memungkinkan gerakan terbatas. Diartrosis adalah sendi yang mampu digerakan secara bebas. Jenis sendi diartrosis : Sendi peluru, missal pada persendian panggul dan bahu, memungkinkan gerakan bebas penuh. Sendi engsel, memungkinkan gerakan melipat hanya pada satu arah, contohnya pada siku dan lutut. Sendi pelana, memungkinkan gerakan pada dua bidang yang saling tegak lurus. Sendi pada dasar ibu jari adalah sendi pelana dua sumbu. Sendi pivot, contohnya adalah sendi antara radius dan ulna. Memungkinkan rotasi untuk melakukan aktivitas seperti memutar pegangan pintu. Sendi peluncur, memungkinkan gerakan terbatas ke semua arah, contohnya adalah sendisendi tulang karpalia di pergelangan tangan.

5. Sistem otot Skelet Otot skelet (otot lurik) berperan dalam gerakan tubuh, postur dan fungsi produksi panas. Otot dihubungkan oleh tendon (tali jaringan ikat fibrus) atau aponeurosis (lembaran jaringan ikat fibrus yang lebar dan pipih) ke tulang, jaringan ikat, atau kulit. Kontraksi otot menyebabkan dua titik perlekatan mendekat satu sama lain. Otot akan berkembang dan terpelihara bila digunakan secara aktif. Proses penuaan dan dissuse menyebabkan kehilangan fungsi otot sehingga jaringan otot kontraktil akan diganti oleh jaringan fibrotik.

Kecepatan kontraksi otot berbeda-beda. Mioglobulin merupakan pigmen protein yang serupa dengan hemoglobin yang terdapat dalam otot lurik. Mioglobulin bermanfaat sebagai transpor oksigen untuk memenuhi kebutuhan metabolik sel dari kapiler darah ke mitokondria sel otot. Tiap sel otot mengandung miofibril, yang pada gilirannya tersusun atas sekelompok sarkomer, yang merupakan unit kontraktil otot skelet yang sebenarnya. Komponen sarkomer dikenal sebagai filamen tebal dan tipis. Filamen tipis tersusun terutama oleh protein yang dikenal sebagai aktin. Filamen tebal tersusun terutama oleh protein miosin.

PENGKAJIAN SISTEM MUSKULOSKELETAL

A. Pengkajian Fisik Pemeriksaan sistem muskuloskeletal berkisar dari pengkajian dasar kemampuan fungsional sampai manuver pemeriksaan fisik canggih yang dapat menegakkan diagnosis kelainan khusus tulang, otot, dan sendi. Pengkajian keperawatan terutama merupakan evaluasi fungsional. Teknik inspeksi dan palpasi dilakukan untuk mengevaluasi integritas tulang, postur, fungsi sendi, kekuatan otot, cara berjalan, dan kemampuan pasien melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Pengkajian muskuloskeletal biasanya terintegrasi dengan pemeriksaan fisik rutin. Sistem ini berhubungan erat dengan sistem saraf dan kardiovaskuler, sehingga pengkajian ketiga sistem tersebut sering dilakukan secara bersamaan. Dasar pengkajian adalah perbandingan simetrisitas bagian tubuh. Kedalaman pengkajian bergantung pada keluhan fisik pasien dan riwayat kesehatan dan semua petunjuk fisik yang ditemukan pemeriksa yang memerlukan eksplorasi lebih jauh. a. Mengkaji skelet tubuh Skelet tubuh dikaji mengenai adanya: Deformitas dan kesejajaran Pertumbuhan tulang Pemendekan ekstremitas, amputasi, dan bagian tubuh yang tidak dalam kesejajaran anatomis

Angulasi abnormal pada tulang panjang atau gerakan pada titik selain sendi biasanya menunjukan adanya patah tulang Bisa teraba krepitus (suara berderik) pada titik gerakan abnormal. Gerakan fragmen tulang harus diminimalkan untuk mencegah cedera lebih lanjut.

b. Mengkaji tulang belakang Tulang belakang dikaji mengenai: Kurvatura normal tulang belakang biasanya konveks pada bagian dada dan konkaf sepanjang leher dan pinggang. Deformitas tulang belakang yang meliputi kifosis [kenaikan kurvatura tulang belakang bagian dada], scoliosis [deviasi kurvatura lateral tulang belakang], dan lordosis [membebek, kurvatura tulang belakang bagian pinggang yang berlebihan]. Kifosis sering dijumpai pada manula dengan osteoporosis dan pada pasien dengan penyakit neuromuscular. Skoliosis bisa congenital, idiopatik [tanpa diketahui penyebabnya], atau akibat kerusakan otot paraspinal, seperti pada penderita pielomielitis. Lordosis biasa dijumpai saat kehamilan karena penderita berusaha menyesuaikan posturnya akibat perubahan pusat gaya beratnya. c. Mengkaji sistem persendian Sistem persendian dikaji dengan memeriksa: Luas gerakan, deformitas, stabilitas, dan adanya benjolan. Luas gerakan dievaluasi baik secara aktif [sendi digerakan oleh otot sekitar sendi] maupun pasif [sendi digerakan oleh pemeriksa]. Pengukuran terhadap luas gerakan dapat dilakukan dengan goniometer [suatu busur derajat yang dirancang khusus untuk mengevalasi gerakan sendi]. Bila suatu sendi diekstensi maksimal namun masih tetap ada sisa fleksi, maka luas gerakan dikatakan terbatas. Luas gerakan yang terbatas bisa disebabkan karena deformitas skeletal, patologi sendi, atau kontraktur otot dan tendo di sekitarnya. Jika gerakan sendi mengalami gangguan atau sendi terasa nyeri, maka harus diperiksa adanya kelebihan cairan dalam kapsulnya [efusi], pembengkakan, dan peningkatan suhu, yang mencerminkan adanya inflamasi aktif. Palpasi sendi sementara digerakan secara pasif akan memberikan informasi mengenasi integritas sendi. Normalnya, sendi bergerak secara halus. Suara gemelutuk dapat menunjukan adanya ligamen yang tergelincir diantara tonjolan tulang. Permukaan yang kurang rata, seperti pada artritis, menyebabkan adanya krepitus karena permukaan yang

tidak rata tersebut saling bergeseran satu sama lain. Kadang ukuran sendi menonjol akibat atrofi otot do proksimal dan distal sendi. Sering terlihat pada rheumatoid arthritis sendi lutut, di mana otot kuadrisep dapat mengalami atrofi secara dramatis. Biasanya sendi dijaga tidak bergerak untuk menghindari rasa nyeri, dan otot-otot yang memberikan fungsi sendi akan mengalami atrofi karena dissuse. d. Mengkaji sistem otot Sistem otot dikaji dengan memperhatikan: Kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi, dan ukuran masing-masing otot. Kelemahan otot sekelompok otot menunjukan berbagai macam kondisi seperti polineuropati, gangguan elektrolit [khususnya kalium dan kalsium], miastenia gravis, poliomielitis, dan distrofi otot. Lakukan palpasi otot saat ekstremitas relaks digerakan secara pasif, perawat dapat merasakan tonus otot. Kekuatan otot dapat diperkirakan dengan menyuruh pasien menggerakan beberapa tugas dengan atau tanpa tahanan. Misalnya, bisep dapat diuji dengan meminta pasien untuk meluruskan sepenuhnyalengan dan kemudian

memfleksikan melawan tahanan yang diberikan perawat. Bersalaman dapat menunjukan kekuatan genggaman. Ukur otot untuk memantau pertambahan ukuran akibat adanya edema atau perdarahan ke dalam otot, juga dapat dipergunakan untuk mendeteksi pengurangan ukran akibat atrofi. Pengukuran dilakukan pada lingkar terbesar ekstremitas. Pengukuran harus dilakukan pada lokasi yang sama pada ekstremitas dan dengan ekstremitas pada posisi yang sama dengan otot dalam keadaan istirahat. e. Mengkaji cara berjalan Cara bejalan dikaji dengan: Meminta pasien bejalan dari tempat pemeriksa sampai beberapa jauh. Pemeriksa memperhatikan cara berjalan mengenai kehalusan dan iramanya. Setiap adanya gerakan yang tidak teratur dan ireguler [biasanya terlihat pada pasien lansia] dianggap tidak normal. Bila terlihat pincang, kebanyakan disebabkan oleh nyeri akibat menyangga beban tubuh. Bila salah satu ekstremitas lebih pendek dari yang lain, dapat juga terlihat pincang saat pelvis pasien turun ke bawah di sisi yang terkena setiap kali melangkah. Keterbatasan gerak sendi dapat mempengaruhi cara berjalan. f. Mengkaji kulit dan sirkulasi perifer

Sebagai tambahanpengkajian sistem muskuloskeletal, perawat harus melakukan inspeksi kulit dan melakukan pengkajian sirkulasi perifer, dengan cara: Palpasi kulit dapat menunjukan adanya suhu yang lebih panas atau lebih dingin dari lainnya adanya edema. Sirkulasi perifer dievaluasi dengan mengkaji denyut perifer, warna, suhu, dan waktu pengisian kapiler. Adanya luka, memar, perubahan warna kulit dan tanda penurunan sirkulasi perifer atau infeksi dapat mempengaruhi penatalaksanaan keperawatan.

B. Pemeriksaan Diagnostik 1. Pemeriksaan Khusus Prosedur pencitraan Sinar X penting untuk megevaluasi pasien dengan kelainan muskuloskeletal. Sinar-X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi, dan perubahan hubungan tulang. Sinar-x korteks tulang menunjukan adanya pelebaran, penyempitan, dan tanda iregularitas. Sinar-X sendi dapat menunjukan adanya cairan, iregularitas, spur,

penyempitan, dan perubahan struktur sendi. Computed tomography [CT scan], menunjukan rincian bidan tertentu tulang yang terkena dan dapat memperlihatkan tumor jaringan lunak atau cedera ligament atau tendon. Digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan panjangnya patah tulang di daerah yang sulit dievaluasi. Magnetik resonance imaging [MRI], adalah teknik pencitraan khusus, noninvasive yang menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan computer untuk

memperlihatkan abnormalitas [misal, tumor atau penyempitan jalur jaringan lunak melalui tulang] jaringan lunak seperti otot, tendon, dan tulang rawan. Artrosentesis [aspirasi sendi], dilakukan untuk memperoleh ciran sinovial untuk keperluan pemeriksaan atau untuk menghilangkan nyeri akibat efusi. Normalnya, cairan sinovial jernih, pucat berwarna seperti jerami dan volumenya sedikit. Pemeriksaan cairan sinovial sangat berguna untuk mendiagnosis rheumatoid arthritis dan atrofi inflamasi lainnya dan dapat memperlihatkan adanya hemartrosis [perdarahan di dalam rongga sendi], yang mengarahkan ke trauma atau kecenderungan perdarahan.

Absorpsiometri foton tunggal dan ganda adalah uji noninvasive untuk menentukan kandungan mineral tulang pada pergelangan tangan atau tulang belakang. Osteoporosis dapat dideteksi menggunakan alat ini.

Biopsi, dapat dilakukan untuk menentukan struktur dan komposisi tulang, otot, dan sinovium untuk membantu menentukan penyakit tertentu. Tempat biopsi harus dipantau mengenai adanya edema, perdarahan, dan nyeri.

C. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah dan urin pasien dapat memberikan informasi mengenai masalah muskuloskeletal primer atau komplikasi yang terjadi [mis. Infeksi], sebagai dasar acuan pemberian terapi [mis. Terapi antikoagulan]. Pemeriksaan darah lengkap meliputi kadar hemoglobin [biasanya lebih rendah bila terjadi perdarahan karena trauma] dan hitung darah putih. Sebelum dilakukan pembedahan, pemeriksaan pembekuan darah harus dilakukan untuk mendeteksi kecenderungan perdarahan, karena tulang merupakan jaringan yang sangat vaskuler. Pemeriksaan kimia darah memberikan data mengenai berbagai macam kondisi muskuloskeletal. Kadar kalsium serum berubah pada osteomalasia, fungsi paratiroid, tumor tulang metastasis, dan pada imobilisasi lama. Kadar fosfor serum berbanding terbalik dengan kadar kalsium dan menurun pada rikets yang berhubungan dengan sindrom malsbsorpsi. Metabolisme tulang dapat dievaluasi melalui pemeriksaan tiroid dan penentuan kadar kalsitonin, hormone paratiroid [PTH], dan vitamin D.

D. Pengkajian keperawatan dan pendekatan diagnostik Pertama-tama, pasien memerlukan dukungan dan asuhan keperawatan selama periode pengkajian, termasuk persiapan fisik dan psikologis untuk pemeriksaan dan uji. Pendidikan pasien sebelum dilakukan uji [meliputi apa yang akan dikerjakan; kenapa harus dikerjakan, apa yang akan dialami pasien, meliputi sensasi rabaan, penglihatan dan pendengaran, dan partisipasi pasien yang diharapkan] akan mengurangi kecemasan dan membuat pasien menjadi lebih aktif berpartisipasi dalam perawatan. Pengkajian keperawatan memungkinkan perawat mengidentifikasi masalah kesehatan yang dapat diperbaiki dengan intervensi keperawatan. Diagnosa keperawatan aktual dan potensial yang sering dijumpai pada pasien dengan kelainan muskuloskeletal meliputi berikut ini:

kerusakan mobilitas fisik nyeri resiko terhadap kerusakan integritas kulit resiko terhadap sindrom disuse resiko terhadap disfungsi neurovaskular perifer gangguan perfusi jaringan perifer Kurang perawatan diri Kurang pengetahuan mengenai proses penyakit dan program pengobatannya Resiko terhadap cedera Intoleransi aktivitas Keletihan Perubahan penampilan peran Gangguan harga diri Gangguan citra diri Koping individual tidak efektif Perubahan proses keluarga Resiko terhadap infeksi Gangguan pola tidur A. ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN METABOLISME PADA SISTEM MUSKULOSKELETAL

1.

Asuhan keperawatan pada pasien Gout/Pirai Gout adalah peradangan akibat adanya endapan kristal asam urat pada sendi dan jari. Patofisiologi Adanya gangguan metabolisme purin dalam tubuh, intake bahan yang mengandung asam urat tinggi, dan sistem ekskresi asam urat yang tidak adequat akan menghasilkan akumulasi asam urat yang berlebihan di dalam plasma darah (Hiperurecemia), sehingga mengakibatkan kristal asam urat menunpuk dalam tubuh. Penimbunan ini menimbulkan iritasi lokal dan menimbulkan respon inflamasi. Hiperurecemia merupakan hasil: meningkatnya produksi asam urat akibat metabolisme purine abnormal menurunnya ekskresi asam urat kombinasi keduanya Gout sering menyerang wanita post menopouse usia 50 60 tahun. Juga dapat menyerang laki-laki usia pubertas dan atau usia di atas 30 tahun. Penyakit ini paling sering mengenai sendi metatrsofalangeal, ibu jari kaki, sendi lutut dan pergelangan kaki

Pengkajian Keperawatan

Riwayat Keperawatan Usia Jenis kelamin nyeri (pada ibu jari kaki atau sendi-sendi lain) kaku pada sendi aktivitas (mudah capai) diet keluarga pengobatan pusing, demam, malaise, dan anoreksi takikardi pola pemeliharaan kesehatan penyakit batu ginjal Pemeriksaan fisik identifikasi tanda dan gejala yang ada peda riwayat keperawatan nyeri tekan pada sendi yang terkena nyeri pada saat digerakkan area sendi bengkak (kulit hangat, tegang, warna keunguan) denyut jantung berdebar identifikasi penurunan berat badan

Riwayat Psikososial cemas dan takut untuk melakukan kativitas tidak berdaya gangguan aktivvitas di tempat kerja

Pemeriksaan diagnostic asam urat sel darah putih, sel darah merah aspirasi sendi terdapat asam urat urine rontgen

Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d adanya radang pada sendi 2. Gangguan mobilitas fisik b.d adanya nyeri sendi 3. Potensial terjadi perubahan pola miksi b.d adanya batu atau insufisiensi ginjal 4. Kurang pengetahuan tentang pengobatan dan perawatan di rumah 5. Gangguan integritas kulit b.d tophi (tofi) 6. Resiko : nyeri b.d batu ginjal

Perencanaan dan Implementasi 1. Gangguan rasa nyaman nyeri Klien akan menunjukkan tingkat kenyamanan yang lebih baik (rasa nyeri berkurang) Istirahatkan sendi yang sakit dan berikan bantal dibawahnya Berikan kompres hangat Hindarkan factor penyebab munculnya iritasi pada tofi Berikan obat sesuai program Monitor efek samping obat

2. Gangguan mobilitas fisik Pasien akan meningkatkan aktivitas sesuai kemampuan anjurkan pasien untuk melakukan gerakan-gerakan bila tidak ada rasa nyeri Lakukan ambulasi dengan bantuan missal dengan menggunakan walker atau tongkat Lakukan ROM secara berhati-hati

3. Kurang pengetahuan Pasien dan keluarga akan meningkat pemahaman tentang penyakit gout dan cara perawatannya - Jelaskan proses perjalanan penyakit - Berikan jadwal/program pengobatan (nama obat, dosis, tujuan dan efek samping) - Diskusikan pentingnya diit yang terkontrol

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN DEGENERASI PADA SISTEM MUSKULOSKELETAL

1. Osteoartrosis

Osteoartrosis/Osteoarthritis atau Degenerative Joint Disease merupakan penyakit kronik noninflamatory degeneration) dan bukan penyakit sistemik yang mengenai tulang dan tulang didekatnya. Penyakit ini dapat mengenai satu sendi pada paha dan lutut namun dapat pula terjadi pada tulang belakang pada bagian servikal dan lumbosakral, interfalangeal, sendi bahu, dan sendi siku.

Penyebab Secara pasti penyebab osteoartrosis belum diketahui , namun penyakit ini berhubungan dengan proses ketuaan, trauma, obesitas, stress mekanik, kelainan bawaan, dan kelainankelainan metabolic.

Pathofisology Osteoartrosis ditandai dengan kerusakan dan atau hilangnya secara bertahap jaringan lunak sendi bagian tengah maupun tepi. Dapat berupa Osteoartrosis primer maupun sekunder. Trauma baik ektrensik maupun intrisk pada kartilago dapat menyebabkan osteoartrosis. Trauma extrensik yaitu akibat adanya fraktur atau ruptur ligamen sedangkan trauma intrisik berupa adanya perubahan metabolisme sendi yang pada akhirnya mengakibatkan tulang rawan mengalami erosi dan kehancuran, tulang menjadi tebal, dan terjadi penyempitan rongga sendi yang menyebabkan nyeri, kaku, kerepitasi, deformitas, adanya hipertrofi atau nodul apad tangan. Trauma Perubahan metabolisme sendi Kerusakan pada membran dan cairan sinovial Kerusakan pada kartilago matrik Perubahan fungsi sendi Nyeri Stres persendian Fibrosis kapsuler kontraktur otot Deformitas sendi

Pengkajian Riwayat Kesehatan Usia dan jenis kelamin Riwayat pekerjaan Riwayat trauma Olah raga yang ditekuni saat ini maupun masa lalu Riwayat obesitas Riwayat keluaraga terkait dengan arthritis Penyakit lain yang dialami

Pemeriksaan fisik Keluhan utama : nyri sendi (hilang pada istirahat dan meningkat saat aktifitas lama-lama saat istirahat) Kekakuan otot Krepitus Merasakan sendi menebal, kaku Sendi menebal karena hypertrofi Heberdens node (pada sendi distal interfalangeal) Bouchards nodes (pada sendi proksimal interfalangeal) Kemerahan pada sendi Gangguan mobilitas Gangguan ADL

B.

GANGGUAN AKIBAT ADANYA INFEKSI

1.

Osteomielitis OSTEOMYELITIS HEMATOGEN AKUT Merupakan infeksi tulang dan sumsum tulang akut yang disebabkan bakteri pyogen

dimana mikroorganisme berasal dari fokus di tempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah. Sering ditemukan pada anak-anak dan sangat jarang pada orang dewasa. Diagnosis yang dini sangat penting, oleh karena prognosis tergantung dari pengobatan yang tepat dan segera.

Diagnosis osteomyelitis akut dapat di tegakkan berdasarkan beberapa penemuan klinik yang spesifik. 2 dari 4 tanda dibawah ini harus dipenuhi untuk menegakkan diagnosis osteomyelitis akut; (1) adanya materi purulen/ pus pada aspirasi tulang yang teinfeksi; (2) kultur bakteri dari tulang atau darah menunjukkan hasil positif; (3) ditemukannya tanda-tanda klasik lokal berupa nyeri tekan pada tulang , dengan jaringan lunak yang eritem atau udem; (4) pemeriksaan radiologi menunjukkan hasil yang positif, berupa gambaran udem pada jaringan lunak diatas tulang setelah 3-5 hari terinfeksi.1,4 Pada minggu kedua gambaran radiologi mulai menunjukkan destruksi tulang dan reaksi periosteal pembentukan tulang baru.

Faktor predisposisi a. Umur, terutama mengenai bayi dan anak-anak b. Jenis kelamin; lebih sering pada laki-laki c. Trauma; hematoma akibat trauma pada daerah metafisis d. Lokasi; pada daerah metafisis, karena merupakan daerah aktif terjadinya pertumbuhan tulang e. Nutrisi; lingkungan dan imunitas yang buruk serta adanya fokus infeksi sebelumnya Osteomyelitis hematogen akut dapat disebabkan oleh : 1. Staphylococcus aureus -hemolyticus 2. Haemophylus influenzae, pada anak dibawah umur 4 tahun 3. Organisme lain, seperti E. coli, Pseudomonas aeruginosa, proteus mirabilis dan lainlain. Teori terjadinya infeksi pada daerah metafisis yaitu : 1. Teori vascular (Trueta) Pembuluh darah pada daerah metafisis berkelok-kelok, membentuk sinus-sinus dengan akibat aliran darah menjadi lebih lambat. Aliran ini akan menyebabkan mudahnya bakteri untuk berkembang biak. 2. Teori fagositosis (Rang) Daerah metafisis merupakan daerah pembentukan RES. Bila terjadi infeksi, bakteri akan difagosit oleh sel-sel fagosit matur di tempat ini. Meskipun demikian, di daerah ini terdapat juga sel-sel fagosit immatur yang tidak dapat memfagosit bakteri, sehingga beberapa bakteri tidak difagositer dan berkembang biak di daerah ini.

3. Teori trauma Bila trauma artificial dilakukan pada binatang percobaan maka akan terjadi hematoma pada daerah lempeng epifisis. Dengan penyuntkkan bakteri secara intravena, akan terjadi infeksi pada daerah hematoma tersebut..

Patologi yang terjadi pada osteomyelitis hematogen akut tergantung pada factor predisposisi. Infeksi terjadi melalui sirkulasi dari focus di tempat lain dalam tubuh pada fase bakteriemi dan dapat menimbulkan septicemia. Embolus infeksi kemudian masuk kedalam juksta epifisis pada daerah metafisis tulang panjang. Fase selanjutnya terjadi hyperemia dan edema di daerah metafisis disertai pembentukkan pus. Terbentuknya pus dalam tulang dimana jaringan tulang tidak dapat berekspansi akan menyebabkan tekanan dalam tulang bertambahsehingga akan mengakibatkan terganggunya sirkulasi dan timbul trombosis pada sirkulasi tulang yang akhirnya menyebabkan nekrosis tulang. Disamping proses yang itu, pembentukkan tulang baru yang ekstensif terjadi pada bagian dalam periosteum sepanjang diafisis (terutama pada anak-anak) sehingga terbentuk suatu lingkungan tulang seperti peti mayat yang disebut involucrum dengan jaringan sekuestrum didalamnya. Proses ini terlihat pada akhir minggu ke dua. Apabila pus menembus tulang maka terjadi pengaliran pus dari involucrum melalui lubang yang disebut kloaka/sinus jaringan lunak dan kulit. Pada tahap selanjutnya, penyakit akan berkembang menjadi osteomyelitis kronis. Pada daerah tulang kanselosa, infeksi dapat terlokalisir serta diliputi oleh jaringan fibrosa yang membentuk abses tulang kronis (abses Brodie). Bedasarkan umur dan pola vaskularisasi pada daerah metafisis dan epifisis, trueta membagi proses patologi pada osteomyelitis hematogen akut atas tiga jenis : 1. Bayi Adanya pola vaskularisasi foetal menyebabkan penyebaran infeksi dari metafisis dan epifisis dengan masuk kedalam sendi, sehingga seluruh tulang termasuk sendi dapat terkena.lempeng epifisis biasanya lebih resisten terhadap infeksi. 2. Anak Dengan terbentuknya lempeng epifisis serta osifikasi yang sempurna, resiko infeksi pada epifisis berkurang karena lempeng epifisis merupakan barier terhadap infeksi. Selain itu, tidak ada hubungan vaskularisasi yang berarti antara metafisis dan epifisis. Infeksi pada sendi hanya dapat terjadi bila ada infeksi intraartikular.

3. Dewasa Osteomyelitis hematogen akut sangat jarang terjadi karena lempeng epifisis telah hilang. Walaupun infeksi dapat menyebar ke epifisis, namun infeksi intraartikuler sangat terjadi. Abses subperiosteal juga sulit terjadi karena periosteum melekat erat dengan korteks. Gambaran klinis osteomielitis hematogen tergantung dari stadium patogenesis dari penyakit. Osteomielitis hematogen akut berkembang secara progresif/cepat. Pada keadaan ini mungkin dapat ditemukan adanya infeksi bacterial pada kulit dan saluran nafas bagian atas.Gejala dapat berupa nyeri yang konstan pada daerah infeksi, nyeri tekan dan terdapat gangguam anggota gerak yang bersangkutan. Gejala umum timbul akibat bakteremia dan septicemia, berupa : Panas tinggi, Nafsu makan berkurang.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan : - Nyeri tekan - Gangguan pergerakan sendi oleh karena pembengkakan sendi dan gangguan akan bertambah berat jika terjadi spasme local. Gangguan sendi juga dapat disebabkan oleh efusi sendi atau infeksi sendi (arthritis septic). Pada orang dewasa lokalisasi infeksi biasanya pada daerah vertebra torako-lumbal yang terjadi akibat torakosintesis atau akibat prosedur urologis dan dapat ditemukan adanya riwayat kencing manis, malnutrisi, adiksi obat-obatan atau pengobatan dengan imuno supresif.

Pemeriksaan Laboratorium : 1. Pemeriksaan Darah - Sel darah putih meningkat sampai 30.000 disertai peningkatan LED. - Pemeriksaan titer antibody anti stafilokokus. - Pemeriksaan Kultur darah untuk menentukan jenis bakterinya (50% positif) dan diikuti dengan uji sensitivitas. Juga harus diperiksa adanya penyakit anemia sel sabit yang merupakan jenis osteomielitis yang jarang. 2. Pemeriksaan feses Pemeriksaan feses untuk kultur dilakukan apabila terdapat kecurigaan infeksi oleh bakteri salmonella. 3. Pemeriksaan biopsy

Dilakukan pada tempat yang dicurigai . 4. Pemeriksaan Ultrasound Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya efusi pada sendi. 5. Pemeriksaan radiologist Pemeriksaan foto polos dalam 10 hari pertama, tidak ditemukan kelainan radiologist yang berarti dan mungkin hanya ditemukan pembengkakan jaringan lunak. Gambaran destruksi tulang dapat terlihat setelah 10 hari berupa rarefraksi tulang yang bersifat difus pada daerah metafisis dan pembentukan tulang baru dibawah periosteum yang terangkat.

Komplikasi : 1. Septikemia 2. Infeksi yang bersifat metastatik 3. Artritis supuratif 4. Gangguan pertumbuhan 5. Osteomielitis kronis

Berikut merupakan beberapa pembagian osteomielitis yang lain : 1. Osteomielitis pada vertebra Kelainan ini lebih sulit untuk didiagnosis. Biasanya ada demam, rasa sakit pada tulang dan spasme otot. Proses ini lebih sering mengenai korpus vertebra dan dapat timbul sebagai komplikasi infeksi saluran kencing dan operasi panggul. Pada stadium awal tanda tanda destruksi tulang yang menonjol, selanjutnya terjadi pembentukan tulang baru yang terlihat sebagai skelerosis. Lesi dapat bermula dibagian sentral atau tepi korpus vertebra . Pada lesi yang bermula ditepi korpus vertebra, diskus cepat mengalami destruksi dan sela diskus akan menyempit. Dapat timbul abses para vertebral yang terlihat sebagai bayangan berdensitas jaringan lunak sekitar lesi. Di daerah torakal, abses ini lebih mudah dilihat karena terdapat kontras paru. Daerah Lumbal lebih sukar untuk dilihat, tanda yang penting adalah bayangan psoas menjadi kabur.

Untuk membedakan penyakit ini dengan spondilitis tuberkulosa sukar, biasanya pada osteomielitis akan terlihat sklerosis, destruksi diskus kurang dan sering timbul penulangan antara vertebra yang terkena proses dengan vertebra di dekatnya (bony bridging). 2. Osteomielitis pada tulang lain Tengkorak Biasanya osteomielitis pada tulang tengkorak terjadi sebagai akibat perluasan infeksi di kulit kepala atau sinusitis frontalis. Proses detruksi bias setempat atau difuse. Reaksi periosteal biasanya tidak ada atau sedikit sekali. Mandibula Biasanya terjadi akibat komplikasi fraktur atau abses gigi. Pelvis Osteomielitis pada tulang pelvis paling sering terjadi pada bagian sayap tulang ilium dan dapat meluas ke sendi sakroiliaka. Pada foto terlihat gambaran destruksi tulang yang luas, bentuk tidak teratur, biasanya dengan skwester yang multiple. Sering terlihat sklerosis pada tepi lesi. Secara klinis sering disertai abses dan fistula. Bedanya dengan tuberculosis, ialah destruksi berlangsung lebih cepat dan pada tuberculosis abses sering mengalami kalsifikasi. Dalam diagnosis differential perlu dipikirkan kemungkinan keganasan.

2. Bursitis Bursitis adalah peradangan bursa, yang terjadi pada tempat perlekatan tendon atau otot dengan tulang oleh sebab yang belum diketahui dengan pasti. Bursitis adalah peradangan pada bursa yang disertai rasa nyeri. Bursa adalah kantong datar yang mengandung cairan sinovial, yang memudahi pergerakan normal dari beberapa sendi pada otot dan mengurangi gesekan. Bursa terletak pada sisi yang mengalami gesekan, terutama di tempat dimana atau otot melewati tulang. Dalam keadaan normal, sebuah bursa mengandung sangat sedikit cairan. Tetapi jika terluka, bursa akan meradang dan terisi oleh cairan. Bursa yang sering terkena adalah : 1. Bursa sub akromial dan bursa deltoid pada bahu yaitu bursa yang paling penting dalam tubuh, inflamasi pada bursa ini menimbulkan perasaan nyeri akut serta pergerakan yang

terbatas terutama gerakan abduksi pada sendi bahu, dan nyeri menetap pada insersi deltoid terutama pada malam hari. Sering kali sekunder akibat robeknya bungkus rotator yang terjadi tanpa di ketahui. 2. Bunion bursitis yaitu daerah pembengkakan yang mengeras pada permukaan metakarpofalangeal I. penanggulangan dengan aspirasi cairan pada bagian yang membengkak dan suntikan kortikosteroid local. 3. Bursitis Achilles yang terdapat pada perlekatan tendon Achilles dengan tulang kallaneus (retrokalkaneal bursa) dan di antara bursa tersebut dan kulit (bursa sub kutaneous). Menimbulkan rasa nyeri di daerah tersebut terutama pada kalkaneus posterior. Mudah untuk melakukan suntikan kortikosteroid dan xilokain pada daerah pembengkakan di sini, tetapi harus hati-hati tidak boleh ada bolus pada tendon untuk menghindari risiko rupture. 4. Heel spur bursitis. Menimbulkan rasa nyeri pada daerah tumit. Suntikan local kortikosteroid dan atau lidokain sangat membantu. 5. Anserin bursitis, sering disalah tafsirkan sebagai osteortritis karena dijumpai pada wanita tua bertubuh gemuk, yaitu berupa rasa nyeri, tegang (tender) dan kadang-kadang membengkak dan terasa panas di daerah lutut bagian medial inferior, distal garis sendi. 6. Bursitis pre patellar (house maids knee dengan keluhan yang khas pada lutut, yaitu rasa nyeri sewaktu berlutut, terasa kaku, bengkak dan berwarna merah pada bagian anterior lutut (patela). Penyebab yang paling sering karena lutut sering bertumpu pada lantai. Berbeda dengan sinovitis pada lutut yang menimbulkan pembengkakan di daerah belakang bagian pinggir lutut. 7. Bursitis olekranon, terdapat pada puncak siku (tip). Hal ini sering terjadi pada posisi dengan menggunakan siku atau sering jalan tiarap. Walaupun inflamasinya jelas tetapi kadang-kadang rasa nyeri hanya minimal. Juga dapat timbul pada artristis rheumatoid, gout, akibat trauma dan infeksi. Pencegahan dilakukan dengan memakai alas karet busa untuk protektif. Kalau perlu dapat diberi suntikan local kortikosteroid. 8. Bursitis kalkaneal, ada 3 bursa di sekeliling kalkanrus yang dapat mengalami inflamasi dan menimbulkan rasa sakit yaitu : Bursitis retro kalkaneal pada bagian anterior Achilles.

Bursitis post kalkaneal pada bagian posterior Achilles Bursitis sub kalkaneal pada bagian inferior tulang kalkaneus. Bursitis yang berulangulang di tempat ini dapat mengakibatkan tebdnitis pada Achilles dan dapat mengakibatkan rupture tendon. 9. Bursitis pada ibu jari metakarpofangeal I, kelingking dan tumit. Hal ini terutama di sebabkan ukuran sepatu yang tidak sesuai. 10. Bursitis hip (pada pinggul), ada 3 yang terpenting yaitu : bursitis trokanter, pada inseri otot gluteus medius di trokanter femur, menimbulkan rasa nyeri pada bagian lateral pinggul sebelah bawah trokanter dan dapat menjalar ke bawah, ke kaki atau lutut. Rasa nyeri istimewa pada malam hari dan bertamnah nyeri kalau dibengkokkan, rotasi internal atau kalau mendapat penekanan di daerah trokanter tersebut dijumpai otot-otot menegang kaku. Dan pada foto roentgen terlihat adanya deposit kalsium. Penanggulangan dengan suntikan local lidocain 1%. Bursitis iliopektineal, menimbulkan rasa nyeri dan tegang di daerah lateral segi tiga skarpa (daerah segi tiga yang dibatasi oleh ligament inguinal, Bursitis digolongkan menjadi 2 : Bursitis akut terjadi secara mendadak. Jika disentuh atau digerakkan, akan timbul nyeri di daerah yang meradang. Kulit diatas bursa tampak kemerahan dan membengkak. Bursitis akut yang disebabkan oleh suatu infeksi atau gout menyebabkan nyeri luar biasa dan daerah yang terkena tampak kemerahan dan teraba hangat. Bursitis kronis merupakan akibat dari serangan bursitis akut sebelumnya atau cedera yang berulang. Pada akhirya, dinding bursa akan menebak dan di dalamnya terkumpul endapan kalsium padat yang menyerupai kapur. Bursa yang telah mengalami kerusakan sangat peka terhadap peradangan tanbah. Nyeri menahun dan pembengkakan bisa membatasi pregerakan, sehingga otot mengalami penciutan (atrofi) dan menjadi lemah. Serangan bursitis kronis berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu dan sering kambuh.

A. Etiologi Penyebabnya sering kali tidak diketahui, tetapi burnitis dapa disebabkan oleh : - Cedera - Gout - Pseudogout - Arthritis rematoid - Infeksi. Yang paling mudah terkena bursitis adalah bahu, bagian tubuh lainnya yang juga terkena bursitis adalah sikut, pinggul, lutut, jari kaki, dan tumit.

B. Tanda dan Gejala Gejala utama pada bursitis pada umunya berupa pembengkakan lokal, panas, merah, dan nyeri. Bursitis menyebabkan nyeri dan cenderung membatasi pergerakan, tetapi gejala yang khusus tergantung kepada lokasi bursa yang meradang. Jika bursa di bahu meradang, maka jika penderita mengangkat lengannya untuk memakai baju akan mengalami kesulitan dan merasakan nyeri. C. Pengobatan Bursa yang terinfeksi harus dikeringakan dan diberikan obat antibiotik. Burnitis akut non-infeksius biasanya diobati dengan istirahat sementara waktu sendi yang terkena tidak digerakkan dan diberikan obat peradangan non-steroid (misalnya indometasin, ibuprofen atau naproksen). Kadang diberikan obat pereda nyeri. Selain itu bisa disuntikkan campuran daru obat bius lokan dan kortikosteroid langsung ke dalam bursa. Penyuntikan ini mungkin perlu dilakukan lebih dari satu kali. Pada burnitis yang berat dibrikan kortikostiroid (misalnya perdnison) per-oral (ditelan) selama beberapa hari. Setelah nyeri mereda, dianjurkan untuk melakukan latihan khusus guna meningkatkan daya jangkau sendi. Bursitis kronis diobati dengan cara yang sama. Kadang endapan kalsium yang besar di bahu bisa dibuang melalui jarun atau melalui pembadahan. Kortikosteoid bisa langsung disumtikkan ke dalam sendi. Terapi fisik dilakukan untuk mengemblikan fungsi sendi. Latihan bisa membantu mengembalikan kekuatan otot dan daya jankau sendi. Bursitis sering kambuh jika penyebabnya ( misalnya, gout, arthritis rematoid atau pemakaianberlebihan) tidak diatasi.

D. Pemeriksaan Penunjang Ada pemeriksaan khusus untuk memastikan adanya bursitis yaitu dengan radiografi. Pada daerah yang terserang biasanya menunjukkan adanya klasifikasi dalam bursa, tendon atau jaringan lunak yang berdekatan. E. Diagnosa Banding - Sepsis atau sinflamasi : aspirasi dan biakan - Mungkin sukar dibedakan antara bursitis dan arthritis inflamasi akut, selulitis, atau ostiomieolitis - Diagnosa sering ditegakkan berdasarkan lokasi nyeri pada tempat yang klasik - Sendi yang terserang biasanya mempunyai ruang gerak pasif yang hampir normal INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji lokasi, intensitas dan derajat 1. Membantu dalam menentukan kebutuhan nyeri. 2. Berikan posisi yang nyaman. 3. Berikan kasur busa atau bantal air pada bagian yang nyeri. 4. Ajarkan distraksi. 5. Kolaborasi pemberian aspirin. teknik relaksasi dan manajemen program. 2. Pada penyakit berat / eksaserbasi, tirah baring mungkin diperlukan untuk nyeri dan keafektifan

membatasi nyeri. 3. Mengistirahatkan sendi-sendi yang sakit dan mempertahankan posisi netral. 4. Meningkatkan relaksasi / mengurangi tegangan otot. 5. Aspirin bekerja sebagai anti dan efek analgetik ringan dalam mengurangi kekakuan dan meningkatkan mobilitas.

B. Gangguan inteloriensi aktifitas yang berhubungan dengan kelemahan/ keletihan. Tujuan : Klien dapat melakukan aktifitasnya setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x 24 jam. Kriteria hasil : - Klien dapat melakukan aktifitas sehari-hari sesuai dengan tingkat kemampuan - Klien dapat mengidentifikasikan faktor-faktor yang menurunkan toleriansi aktifitas. INTERVENSI 1. Evaluasi perhatikan untuk laporan ketidak RASIONAL kelemahan, 1. Klien mampuan dalam menunjukkan dan kelemahannya melakukan

berkurang aktifitasnya

dapat

berpartisipasi

aktifitas sehari-hari 2. Berikan lingkungan tenang dan periode istirahat tanpa gangguan 3. Pertahankan istirahat tirah baring / duduk jika diperlukan 4. Berikan lingkungan yang aman

2. Menghemat energi untuk aktifitas 3. Istirahat sistemik dianjurkan selama eksaserbasi dan seluruh fase penyakit yang penting mencegah kelemhan 4. Menghindari cedera akibat kecelakaan

C. Kurang perawatan diri yang berhubungan dengan keletihan, nyeri pada waktu bergerak. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam klien mampu melakukan perawatan terhadap dirnya secara mandiri. Kriteria hasil : Klien mampu melaksanakan aktifitas perawatan diri pada tingkat yang konsisten dengan kemampuan individual. Klien mampu mendemontrasikan perubahan teknik atau gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.

INTERVENSI

RASIONAL

1. Kajian keterbatasan klien dalam 1. Mungkin dapat melanjutkan aktifitas peraatan diri. 2. Pertahankan mobilitas, control terhadap nyeri dan latihan. 3. Kaji hambatan terhadap program umum dengan melakukan adaptasi yang dilakukan pada saaat ini. 2. Mendukung emosional. 3. Menyiapkan kemandirian, untuk meningkatkan yang akan kemandirian fisik /

partisipasi dan perawatan diri. 4. Konsul okulasi. dengan ahli terapi

meningkatkan harga diri. 4. Berguna untuk menentukan alat bantu utnuk memenuhi kebutuhan individu.

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN SPONDILITIS TBC

A. Konsep Dasar 1. Pengertian Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi granulomatosis di sebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycubacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra (Abdurrahman, et al 1994; 144 ) 2. Faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah. a. Anatomi dan fisiologi Kolumna vertebra atau rangkaian tulang belakang adalah pilar mobile melengkung yang kuat sebagai penahan tengkorak, rongga thorak, anggota gerak atas, membagi berat badan ke anggota gerak bawah dan melindungi medula spinalis. ( John Gibson MD,1995:25) Kolumna vertebra terdiri dari beberapa tulang vertabra yang di hubungkan oleh diskus Intervertebra dan beberapa ligamen. Masing - masing vertabra di bentuk oleh

tulang Spongiosa yang diisi oleh sumsum merah dan ditutupi oleh selaput tipis tulang kompakta. Kolumna vertebra terdiri atas 33 ruas tulang yang terdiri dari : 7 ruas tulang cervical 12 ruas tulang thorakal 5 ruas tulang lumbal 5 ruas tulang sakral (sacrum) 5 ruas tulang ekor (coccygis)

Vertebra dan persendiannya. Vertebra memiliki perbedaan yang khas yang memperlihatkan seperti : Korpus yaitu lempeng tulang yang tebal, dengan permukaan yang agak melengkung diatas dan bawah . Arkus vertebra terdiri dari : 1. Pedikulus di sebelah depan : Tulang berbentuk batang memanjang kebelakang dari korpus, dengan takik pada perbatasan vertebra membentuk foramen intervertebralis. 2. Lamina di sebelah belakang : lempeng tulang datar memanjang ke belakang dan ke samping bergabung satu sama lain pada sisi yang berbeda. Foramen vertebra : Suatu lubang besar dibatasi oleh korpus pada bagian depan, pedikulus di samping dan di belakang. Foremen Transversarium : lubang disamping , diantara dua batasan vertebra , di dalamnya terdapat saraf spinal yang bersesuaian. Processus articularis posterior dan inferior ; berarti kulasi dengan processus yang serupa pada vertebra diatas dan dibawah. Processus tranversus : memproyeksikan batang tulang secara tranversal. Spina : Suatu processus yang mengarah ke belakang dan ke bawah. Diskus intervertebra adalah diskus yang melekatkan kepermukaan korpus dari dua takik vertebra : Diskus tersebut terbentuk dari anulus fibrosus,jaringan fibrokartilago yang berbentuk cincin pada bagian luar, dan nukreus pulposus, substansi semi-cair yang mengandung beberapa sarat dan terbungkus di dalam anulus fibrosus.

Ligamentum. Beberapa ligamentum yang menghubungkan vertebra : a. Dari Ligamentum longitudinalis anterior melebar ke bawah pada bagian depan korpus vertebra b. Ligamentum longitudinalis posterior melebar ke bawah pada bagian belakang dari korpus vertebra ( yaitu didalam kanalis vertebra ). c. Ligamen pendek menghubungkan processus tranversus dan spinalis dan mengelilingi persendian processus artikuler. Vertebra cervicalis atau ruas tulang leher: Vertebra cervucalis bentuknya kecil, mempunyai korpus yang tipis, dan processus tranversus yang di tandai dengan jelas karena mempunyai foramen ( didalamnya terdapat arteri vertebralis ) dan berakhir dalam dua tuberkolosis. Vertebra torakalis atau ruas tulang punggung : Vertebra torakalis bentuknya lebih besar daripada yang cervikal dan disebelah bawah menjadi lebih besar. Ciri khas vertebra torakalis adalah sebagai berikut : Badannya berbentuk lebar lonjong ( bentuk jantung ) dengan faset atau lekukan kecil disetiap sisi untuk menyambung iga, lengkungnya agak kecil, prosesus panjang dan mengarah kebawah, sedangkan prosesus tranversus , yang membantu faset persendian untuk iga. Vertebra lumbalis atau ruas tulang pinggang : Vertebra lumbalis bentuknya adalah yang terbesar, badannya sangat besar dibandingkan dengan badab vertebra yang lainnya dan berbentuk seperti ginjal, prosesus spinosusnya lebar dan berbentuk seperti kapak kecil, prosesus tranversusnya panjang dan langsing, ruas kelima membentuk sendi dengan sakrum pada sendi lumbo sakral. Sakrum atau tulang kelangkang. Tulang sakram berbentuk segitiga dan terletak padambagian bawah kolumna vertebralis, terjepit diantara kedua tulang inominata (atau tulang koxa ) dan membentuk bagian belakabg rongga pelvis ( panggul ). Dasar dari sakrum terletak diatas dan bersendi dengan vertebra lumbalis kelima dan membentuk sendi intervetebra yang khas,tepi anterior dari

basis saklrum ,membentuk promontorium sakralis. Kanalis sakralis terletak dibawah kanalis vertebralis ( saluran tulang belakang ) dan lanjuan dari padanya. Dinding kanalis sakralis berlubang - lubang untuk dilalui saraf sakral. Prosesus spinosus yang indemeter dapat dilihat pada pandangan posterior dari sakrum. Permukaan anterior sakrum adalah lekung dan memperlihatkan empat gili-gili melintang, yang menandakan tempat penggabungan kelima vertebra sakralis pada ujung gili-gili ini disetiap sisi terdapat lubang - lubang kecil untuk dilewati urat-urat saraf. Lubang - lubang ini di sebut foramina. Apex dari sakrum bersendi,dengan tulang koksigius. Disisinya, sakrum bersendi dengan tulang ileum dan membentuk sendi sakroiliaka kanan dan kiri. Koksigeus atau tulang ekor. Koksigeus terdiri atas empat atau lima vertebra yang rudimater yang bergabung menjadi satu, di atasnya ia bersendi dengan sakrum ( Evelyn C pearce 1989 : ) b. Patofisiologi Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang sifatnya sekunder dari TBC tempat lain di tubuh. Penyebarannya secara hematogen, di duga terjadinya penyakit tersebut sering karena penyebaran hematogen dari infeksi traktus urinarius melalui pleksus Batson. Infeksi TBC vertebra di tandai dengan proses destruksi tulang progresif tetapi lambat di bagian depan (anterior vertebral body). Penyebaran dari jaringan yang mengalami pengejuan akan menghalangi proses pembentukan tulang sehingga berbentuk "tuberculos squestra". Sedang jaringan granulasi TBC akan penetrasi ke korteks dan terbentuk abses para vertebral yang dapat menjalar ke atas / bawah lewat ligamentum longitudinal anterior dan posterior. Sedang diskus Intervertebralis oleh karena avaskular lebih resisten tetapi akan mengalami dehidrasi dan terjadi penyempitan oleh karena dirusak jaringan granulasi TBC. Kerusakan progresif bagian anterior vertebra akan menimbulkan kiposis.

c. Dampak Masalah a) Terhadap Individu. Sebagai orang sakit, khusus klien spondilitis tuberkolosa akan mengalami suatau perubahan, baik iru bio, psiko sosial dan spiritual yang akan selalu menimbulkan dampak yang di karenakan baik itu oleh proses penyakit ataupun pengobatan dan perawatan oelh karena adanya perubahan tersebut akan mempengaruhi pola - pola fungsi kesehatan antara lain :

1. Pola nutrisi dan metabolisme. Akibat proses penyakitnya klien merasakan tubuhnya menjadi lemah dan anoreksia, sedangkan kebutuhan metabolisme tubuh semakin meningkat sehingga klien akan mengalami gangguan pada status nutrisinya. 2. Pola aktifitas. Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik nyeri pada punggung menyebabkan klien membatasi aktifitas fisik dan berkurangnya kemampuan dalam melaksanakan aktifitas fisik tersebut. 3. Pola persepsi dan konsep diri. Klien dengan Spondilitis teberkulosa seringkali merasa malu terhadap bentuk tubuhnya dan kadang - kadang mengisolasi diri.

b) Dampak terhadap keluarga. Dalam sebuah keluarga, jika salah satu anggota keluarga sakit, maka yang lain akan merasakan akibatnya yang akan mempengaruhi atau merubah segala kondisi aktivitas rutin dalam keluarga itu.

B. Asuhan Keperawatan Proses keperawatan adalah suatu sistem dalam merencanakan pelayanan asuhan keperawatan dan juga sebagai alat dalam melaksanakan praktek keperawatan yang terdiri dari lima tahap yang meliputi : pengkajian, penentuan diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi. ( Lismidar, 1990 : IX ). 1. Pengkajian. Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan. Pengkajian di lakukan dengan cermat untuk mengenal masalah klien, agar dapat memeri arah kepada tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat tergantung pada kecermatan dan ketelitian dalam tahap pengkajian. Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan yaitu : pengumpulan data, pengelomp[okan data, perumusan diagnosa keperawatan. ( Lismidar 1990 : 1)

a. Pengumpulan data. Secara tehnis pengumpulan data di lakukan melalui anamnesa baik pada klien, keluarga maupun orang terdekat dengan klien. Pemeriksaan fisik di lakukan dengan cara , inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. 1) Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan, alamat, tanggal/jam MRS dan diagnosa medis. 2) Riwayat penyakit sekarang. Keluhan utama pada klien Spodilitis tuberkulosa terdapat nyeri pada punggung bagian bawah, sehingga mendorong klien berobat kerumah sakit. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut. Nyeri dirasakan meningkat pada malam hari dan bertambah berat terutama pada saat pergerakan tulang belakang. Selain adanya keluhan utama tersebut klien bisa mengeluh, nafsu makan menurun, badan terasa lemah, sumer-sumer (Jawa) , keringat dingin dan penurunan berat badan. 3) Riwayat penyakit dahulu Tentang terjadinya penyakit Spondilitis tuberkulosa biasany pada klien di dahului dengan adanya riwayat pernah menderita penyakit tuberkulosis paru. ( R. Sjamsu hidajat, 1997 : 20). 4) Riwayat kesehatan keluarga. Pada klien dengan penyakit Spondilitis tuberkulosa salah satu penyebab timbulnya adalah klien pernah atau masih kontak dengan penderita lain yang menderita penyakit tuberkulosis atau pada lingkungan keluarga ada yang menderita penyakit menular tersebut. 5) Riwayat psikososial Klien akan merasa cemas terhadap penyakit yang di derita, sehingga kan kelihatan sedih, dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit, pengobatan dan perawatan terhadapnya maka penderita akan merasa takut dan bertambah cemas sehingga emosinya akan tidak stabil dan mempengaruhi sosialisai penderita. 6) Pola - pola fungsi kesehatan a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Adanya tindakan medis serta perawatan di rumah sakit akan mempengaruhi persepsi klien tentang kebiasaan merawat diri , yang dikarenakan tidak semua klien mengerti benar

perjalanan penyakitnya. Sehingga menimbulkan salah persepsi dalam pemeliharaan kesehatan. Dan juga kemungkinan terdapatnya riwayat tentang keadaan perumahan, gizi dan tingkat ekonomi klien yang mempengaruhi keadaan kesehatan klien. b. Pola nutrisi dan metabolisme. Akibat dari proses penyakitnya klien merasakan tubuhnya menjadi lemah dan amnesia. Sedangkan kebutuhan metabolisme tubuh semakin meningkat, sehingga klien akan mengalami gangguan pada status nutrisinya. ( Abdurahman, et al 1994 : 144) c. Pola eliminasi. Klien akan mengalami perubahan dalam cara eliminasi yang semula bisa ke kamar mandi, karena lemah dan nyeri pada punggung serta dengan adanya penata laksanaan perawatan imobilisasi, sehingga kalau mau BAB dan BAK harus ditempat tidur dengan suatu alat. Dengan adanya perubahan tersebut klien tidak terbiasa sehingga akan mengganggu proses aliminasi. d. Pola aktivitas. Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik dan nyeri pada punggung serta penatalaksanaan perawatan imobilisasi akan menyebabkan klien membatasi aktivitas fisik dan berkurangnya kemampuan dalam melaksanakan aktivitas fisik tersebut. e. Pola tidur dan istirahat. Adanya nyeri pada punggung dan perubahan lingkungan atau dampak hospitalisasi akan menyebabkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan tidur dan istirahat. f. Pola hubungan dan peran. Sejak sakit dan masuk rumah sakit klien mengalami perubahan peran atau tidak mampu menjalani peran sebagai mana mestinya, baik itu peran dalam keluarga ataupun masyarakat. Hal tersebut berdampak terganggunya hubungan interpersonal. g. Pola persepsi dan konsep diri. Klien dengan Spondilitis tuberkulosa seringkali merasa malu terhadap bentuk tubuhnya dan kadang - kadang mengisolasi diri.

h. Pola sensori dan kognitif. Fungsi panca indera klien tidak mengalami gangguan terkecuali bila terjadi komplikasi paraplegi. i. Pola reproduksi seksual. Kebutuhan seksual klien dalam hal melakukan hubungan badan akan terganggu untuk sementara waktu, karena di rumah sakit. Tetapi dalam hal curahan kasih sayang dan perhatian dari pasangan hidupnya melalui cara merawat sehari - hari tidak terganggu atau dapat dilaksanakan. j. Pola penaggulangan stres. Dalam penanggulangan stres bagi klien yang belum mengerti penyakitnya , akan mengalami stres. Untuk mengatasi rasa cemas yang menimbulkan rasa stres, klien akan bertanya - tanya tentang penyakitnya untuk mengurangi stres. k. Pola tata nilai dan kepercayaan. Pada klien yang dalam kehidupan sehari - hari selalu taat menjalankan ibadah, maka semasa dia sakit ia akan menjalankan ibadah pula sesuai dengan kemampuannya. Dalam hal ini ibadah bagi mereka di jalankan pula sebagai penaggulangan stres dengan percaya pada tuhannya.

7) Pemeriksaan fisik. a. Inspeksi. Pada klien dengan Spondilitis tuberkulosa kelihatan lemah, pucat, dan pada tulang belakang terlihat bentuk kiposis. b. Palpasi. Sesuai dengan yang terlihat pada inspeksi keadaan tulang belakang terdapat adanya gibus pada area tulang yang mengalami infeksi. c. Perkusi. Pada tulang belakang yang mengalami infeksi terdapat nyeri ketok.

d. Auskultasi. Pada pemeriksaan auskultasi keadaan paru tidak di temukan kelainan. ( Abdurahman, et al 1994 : 145 ).

8) Hasil pemeriksaan medik dan laboratorium. a. Radiologi Terlihat gambaran distruksi vertebra terutama bagian anterior, sangat jarang menyerang area posterior. Terdapat penyempitan diskus. Gambaran abses para vertebral ( fusi form ).

b. Laboratorium laju endap darah meningkat

c. Tes tuberkulin. Reaksi tuberkulin biasanya positif.

1. Analisa. Setelah data di kumpulkan kemudian dikelompokkan menurut data subjektif yaitu data yang didapat dari pasien sendiri dalm hal komukasi atau data verbal dan objektiv yaitu data yang didapat dari pengamatan, observasi, pengukuran dan hasil pemeriksaan radiologi maupun laboratorium. Dari hasil analisa data dapat disimpulkan masalah yang di alami oleh klien. ( Mi Ja Kim, et al 1994 ). 2. Diagnosa Keperawatan. Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan dari masalah klien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan, yang pemecahannya dapat dilakukan dalam batas wewenang perawat untuk melakukannya. ( Tim Departemen Kesehatan RI, 1991 : 17 ). Diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien Spondilitis tuberkulosa adalah: a. Gangguan mobilitas fisik b. Gangguan rasa nyaman ; nyeri sendi dan otot.

c. Perubahan konsep diri : Body image. d. Kurang pengetahuan tentang perawatan di rumah. ( Susan Martin Tucker, 1998 : 445 )

3. Perencanaan Keperawatan. Perencanaan keperawatan adalah menyusun rencana tindakan keperawatan yang akan di laksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan yang telah di tentukan dengan tujuan terpenuhinya kebutuhan klien. ( Tim Departemen Kesehatan RI, 1991 :20 ). Adapun perencanaan masalah yang penulis susun sebagai berikut : a. Diagnosa Perawatan Satu Gangguan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan muskuloskeletal dan nyeri. 1. Tujuan Klien dapat melakukan mobilisasi secara optimal. 2. Kriteria hasil a) Klien dapat ikut serta dalam program latihan b) Mencari bantuan sesuai kebutuhan c) Mempertahankan koordinasi dan mobilitas sesuai tingkat optimal. 3. Rencana tindakan a) Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan kerusakan. b) Bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri sesuai toleransi. c) Memelihara bentuk spinal yaitu dengan cara : 1) mattress 2) Bed Board ( tempat tidur dengan alas kayu, atau kasur busa yang keras yang tidak menimbulkan lekukan saat klien tidur. d) mempertahankan postur tubuh yang baik dan latihan pernapasan ;

1) Latihan ekstensi batang tubuh baik posisi berdiri (bersandar pada tembok ) maupun posisi menelungkup dengan cara mengangkat ekstremitas atas dan kepala serta ekstremitas bawah secara bersamaan. 2) Menelungkup sebanyak 3 4 kali sehari selama 15 30 menit. 3) Latihan pernapasan yang akan dapat meningkatkan kapasitas pernapasan. e) monitor tanda tanda vital setiap 4 jam. f) Pantau kulit dan membran mukosa terhadap iritasi, kemerahan atau lecet lecet. g) Perbanyak masukan cairan sampai 2500 ml/hari bila tidak ada kontra indikasi. h) Berikan anti inflamasi sesuai program dokter. Observasi terhadap efek samping : bisa tak nyaman pada lambung atau diare. 4. Rasional a) Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas. b) Untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan. c) Mempertahankan posisi tulang belakang tetap rata. d) Di lakukan untuk menegakkan postur dan menguatkan otot otot paraspinal. e) Untuk mendeteksi perubahan pada klien. f) Deteksi diri dari kemungkinan komplikasi imobilisasi. g) Cairan membantu menjaga faeces tetap lunak. h) Obat anti inflamasi adalah suatu obat untuk mengurangi peradangan dan dapat menimbulkan efek samping.

b. Diagnosa Keperawatan Kedua Gangguan rasa nyaman : nyeri sendi dan otot sehubungan dengan adanya peradangan sendi. 1) Tujuan a. Rasa nyaman terpenuhi b. Nyeri berkurang / hilang

2) Kriteria hasil a. klien melaporkan penurunan nyeri b. menunjukkan perilaku yang lebih relaks c. memperagakan keterampilan reduksi nyeri yang di [elajari dengan peningkatan keberhasilan. 3) Rencana tindakan a. Kaji lokasi, intensitas dan tipe nyeri; observasi terhadap kemajuan nyeri ke daerah yang baru. b. Berikan analgesik sesuai terapi dokter dan kaji efektivitasnya terhadap nyeri. c. Gunakan brace punggung atau korset bila di rencanakan demikian. d. Berikan dorongan untuk mengubah posisi ringan dan sering untuk meningkatkan rasa nyaman. e. Ajarkan dan bantu dalam teknik alternatif penatalaksanaan nyeri. 4) Rasional. a. Nyeri adalah pengalaman subjek yang hanya dapat di gambarkan oleh klien sendiri. b. Analgesik adalah obat untuk mengurangi rasa nyeri dan bagaimana reaksinya terhadap nyeri klien. c. Korset untuk mempertahankan posisi punggung. d. Dengan ganti ganti posisi agar otot otot tidak terus spasme dan tegang sehingga otot menjadi lemas dan nyeri berkurang. e. Metode alternatif seperti relaksasi kadang lebih cepat menghilangkan nyeri atau dengan mengalihkan perhatian klien sehingga nyeri berkurang.

c. Diagnosa Keperawatan ketiga Gangguan citra tubuh sehubungan dengan gangguan struktur tubuh. 1) Tujuan Klien dapatmengekspresikan perasaannya dan dapat menggunakan koping yang adaptif.

2) Kriteria hasil Klien dapat mengungkapkan perasaan / perhatian dan menggunakan keterampilan koping yang positif dalam mengatasi perubahan citra. 3) Rencana tindakan a. Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan. Perawat harus mendengarkan dengan penuh perhatian. b. Bersama sama klien mencari alternatif koping yang positif. c. Kembangkan komunikasi dan bina hubungan antara klien keluarga dan teman serta berikan aktivitas rekreasi dan permainan guna mengatasi perubahan body image. 4) Rasional a. meningkatkan harga diri klien dan membina hubungan saling percaya dan dengan ungkapan perasaan dapat membantu penerimaan diri. b. Dukungan perawat pada klien dapat meningkatkan rasa percaya diri klien. c. Memberikan semangat bagi klien agar dapat memandang dirinya secara positif dan tidak merasa rendah diri.

d. Diagnosa Keperawatan keempat Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurangnya informasi tentang penatalaksanaan perawatan di rumah. 1) Tujuan Klien dan keluarga dapat memahami cara perawatan di rumah. 2) Kriteria hasil a. Klien dapat memperagakan pemasangan dan perawatan brace atau korset b. Mengekspresikan pengertian tentang jadwal pengobatan c. Klien mengungkapkan pengertian tentang proses penyakit, rencana pengobatan, dan gejala kemajuan penyakit. 3) Rencana tindakan

a. Diskusikan tentang pengobatan : nama, jadwal, tujuan, dosis dan efek sampingnya. b. Peragakan pemasangan dan perawatan brace atau korset. c. Perbanyak diet nutrisi dan masukan cairan yang adekuat. d. Tekankan pentingnya lingkungan yang aman untuk mencegah fraktur. e. Diskusikan tanda dan gejala kemajuan penyakit, peningkatan nyeri dan mobilitas. f. Tingkatkan kunjungan tindak lanjut dengan dokter.

4. Pelaksanaan Yaitu perawat melaksanakan rencana asuhan keperawatan. Instruksi keperawatan di implementasikan untuk membantu klien memenuhi kriteria hasil. Komponen tahap Implementasi: a. tindakan keperawatan mandiri b. tindakan keperawatan kolaboratif c. dokumentasi tindakan keperawatan dan respon klien terhadap asuhan keperawatan. ( Carol vestal Allen, 1998 : 105 )

5. Evaluasi Evaluasi adalah perbandingan hasil hasil yang di amati dengan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan komponen tahap evaluasi. a. pencapaian kriteria hasil b. ke efektipan tahap tahap proses keperawatan c. revisi atau terminasi rencana asuhan keperawatan. Adapun kriteria hasil yang di harapkan pada klien Spondilitis tuberkulosa adalah: 1. Adanya peningkatan kegiatan sehari hari ( ADL) tanpa menimbulkan gangguan rasa nyaman . 2. Tidak terjadinya deformitas spinal lebih lanjut.

3. Nyeri dapat teratasi 4. Tidak terjadi komplikasi. 5. Memahami cara perawatan dirumah

C. GANGGUAN AKIBAT ADANYA KEGANASAN TUMOR TULANG A. Definisi Tumor adalah pertumbuhan sel baru, abnormal, progresif dimana sel-selnya tidak pernah menjadi dewasa. Tumor tulang primer merupakan tumor tulang dimana sel tumornya berasal dari sel-sel yang membentuk jaringan tulang, sedangkan tumor tulang sekunder adalah anak sebar tumor ganas organ non tulang yang bermetastasis ke tulang. Tumor tulang adalah pertumbuhan sel baru, abnormal, progresif, dimana sel-sel tersebut tidak pernah menjadi dewasa. Dengan istilah lain yang sering digunakan Tumor Tulang, yaitu pertumbuhan abnormal pada tulang yang bisa jinak atau ganas. Tumor adalah pertumbuhan sel baru, abnormal, progresif dimana sel-selnya tidak pernah menjadi dewasa. Tumor tulang primer merupakan tumor tulang dimana sel tumornya berasal dari sel-sel yang membentuk jaringan tulang, sedangkan tumor tulang sekunder adalah anak sebar tumor ganas organ non tulang yang bermetastasis ke tulang.Tumor tulang adalah pertumbuhan sel baru, abnormal, progresif, dimana sel-sel tersebut tidak pernah menjadi dewasa. Dengan istilah lain yang sering digunakan Tumor Tulang, yaitu pertumbuhan abnormal pada tulang yang bisa jinak atau ganas. B. Klasifikasi Jenis Tumor Keganasan tulang dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu tumor benigna dan maligna. Klasifikasi yang banyak digunakan untuk kedua jenis tumor ini adalah sebagai berikut: 1. Tumor Tulang Benigna Kondrogenik : Osteokondroma, Kondroma Osteogenik : Osteoid osteoma, Osteobalstoma, Tumor sel Giant 2. Tumor Tulang Maligna Kondrogenik : Kondrosarkoma Osteogenik : Osteosarkoma Fibrogenik : Fibrosarkoma

Tidak jelas asalnya : Sarcoma Ewing

a. Osteokondorma Patofisiologi/Etiologi. Tumor tulang yang paling umum ditemukan adalah osteokondroma. Meskipun awitannya biasanya dimulai pada masa anak, tumor ini berkembang sampai maturitas skeletal dan mungkin tidak terdiagnosa sampai masa dewasa. Tumor ini mungkin tumbuh tunggal ataupun multiple dan dapat terjadi pada tulang manapun. Femur dan tibia adalah yang paling sering terkena. Pada tampilan makro, tumor mempunyai tudung kartilagenus dengan tunas tulang menembus dari tulang. Seiring perkembangan tudung, tumor menulang dan mungkin menjadi maligna. Kira-kira 10% osteokondroma berkembang menjadi sarkoma. Insidens/Prevalensi. Osteokondroma terjadi kira-klira 40% dari semua tumor benigna dan cenderung terjadi pada pria. b. Kondroma Patofisiologi/Prevalensi. Kondroma atau endokondroma, secara histologis sangat erat kaitannya dengan presentasi osteokondroma. Kondroma adalah lesi pada kartilago hialin matur yang terutama mengenai tangan dan kaki. Iga, sternum, spinal, dan tulang panjang juga mungkin terkena. Kondroma lambat berkembang dan sering mengakibatkan fraktur patologis setelah cedera ringan. Insiden/Prevalensi. Kondroma ditemukan pada semua usia, terjadi pada pria dan wanita serta dapat mengnai semua tualng. c. Osteoid Osteoma Patofisiologi/Etiologi. Osteosid osteoma dibedakan melalui tampilannya yang bergranular bersemu merah jambu, yang dihasilkan dari proliferasi osteoblas. Tidak seperti tumor lainnya, lesi

tunggalnya berdiameter kurang dari 0,4 inci (1 cm). Setiap tulang dapat terkena, tapi femur dan tibia adalah yang paling sering. Bila osteoid osteoma terjadi pada kolumna spinalis dan sakrum, manisfestasi klinis yang muncul menyerupai sindrom diskus lumbalis. Klien mengeluhkan nyeri yang terputus-putus, mungkin disertai oleh peningkatan kadar prostaglandin yang diasosiasikan dengan tumor.

Insidens/Prevalensi. Kira-kira 10% dari semua tumor benigna adalah osteoid osteoma. Lesi terjadi pada anak dan dewasa muda dengan predominan pada pria. d. Osteoblastoma Patofisiologi/Etiologi. Sering disebut juga osteoid osteoma raksasa, osteoblastoma yang menyerang vertebra dan tulang panjang. Tumor ini lebih besar daripada osteoid osteoma dan terletak pada tulang berongga. Tumor ini berwarna kemerahan, dan tampakan yang granular memfasilitasi diagnosis. Insidens/Prevalensi. Lesi yang terjadi kurang dari 1% dan menyerang remaja pria serta dewasa muda pada kedua jenis kelamin. e. Tumor Sel Raksasa Patofisiologi/Prevalensi. Asal tumor sel raksasa masih belum bisa ditentukan. Lesi ini agresif dan dapat meluas. Pada pemeriksaan makro lesi tampak kelabu sampai coklat kemerahan dan mungkin melibatkan jaringan lunak sekiarnya. Meskipun diklasifikasikan sebagai tumor benigna, tumor ini dapat bermetastasis ke jaringan paru. Insiden/Prevalensi. Tidak seperti kembanyakan tumor benigna lainnya, tumor ini menyerang wanita yang berumur lebih dari 20 tahun dengan puncak insiden pada klien usia 30-an. Kira-kir 18% dari seluruh tumor benigna adalah tumor ini. a. Tumor Primer Osteosarkoma Patofisiologi/Etiologi.

b. Osteosarkoma atau osteogenik sarkoma adalah tipe tumor maligna primer yang paling banyak ditemukan. Lebih dari 50% terjadi pada femur distal dan disusul oleh tibia proksimal dan humerus. Tulang pipih dan tulang panjang mempunyai insiden yang hampir sama pada usia lebih dari 25 tahun. Osteosarkoma adalah lesi yang relatif besar, menyebabkan nyeri dan pembengkakan dalam durasi singkat. Area yang terkena biasanya hangat karena vaskularisasi pada area tersebut meningkat. Bagian pusat massa berupa sklerotik meningkatkan aktivitas osteoblastik; bagian perifernya lembut, meluas melalui korteks tulang dengan tampakan seperti sinar matahari yang klasik, yang diasosiasikan dengn neoplasma. Ekpansi ke dalam kanalis medularis juga umum terjadi. Osteosarkoma mungkin osteoblastik, kondroblastik, atau fibroblastik, tergantung asal jaringannya. Apapun sumbernya lesinya biasanya bermetastasi ke perifer paru dalam 2 tahun setelah tindakan, dan biasanya berakhir dengan kematian. Insidens/Prevalensi. Osteosarkoma terjadi lebih sering pada pria dibandingkan wanita (2:1), antara usai 10-30 tahun. Dan pada usia yang lebih tua pada klien dengan penyakit Paget. Klien yang menerima radiasi untuk kanker jenis lain atau klien yang mempunyai lesi benigna juga mempunyai resiko yang tinggi.

f. Sarkoma Ewing Patofisiologi/Etiologi. Meskipun sarkoma Ewing tidak seumum tumor tulang lainnya, tumor ini yang paling maligna. Seperti tumor lainnya, tumor ini juga menyebabkan nyeri dan pembengkakan. Sebagi tambahan manifestasi klinis; demam derajat rendah tertentu, leukositosis, dan anemia; membeikan karakter pada lesi ini. Pelvis dan ektremitas bawah adaah yang paling sering diserang. Serangan pada pelvis memberikan tanda prognosa yang buruk. Pada tingkat selular tumor ini serupa dengan limfoma tulang. Pada hasil Rontgen karakteistiknya berbintik pola destruktif dan tampakan kulit bawang pada permukaan tulang membedakan neoplasma sarkoma Ewing. Seperti tumor maligna lainnya tumor ini juga tidak mempunyai tudung dan sering meluas ke jaringan lunak. Kematian terjadi karena metastasis ke paru atau tulang lainnya. Insidens/Prevalensi.

5% dari seluruh tumor tulang maligna adalah sarkoma Ewing. Meskipun tumor ini dapat dilihat pada klien berbagai usia, biasanya terjadi pada anak dan dewasa muda pada usia 20-an. Pria mempunyai kecenderungan yang lebih besar.

g. Kondrosarkoma Patofisiologi/Etiologi. Kebalikan dari ostosrakoma, klien dengan kondrosarkoma mengalami nyeri tumpul dan pembengkakan dalam waktu yang lama. Tumor umumnya menyerang pelvis dan femur proksimal dekat diafisis. Timbul dari jaringan kartilago, lesi ini merusak tulang dan sering mengkalsifikasinya. Klien dengan kondrosarkoma mempunyai prognosis yang lebih baik dar pada sarkoma osteogenik. Insidens/Prevalensi. Kondrosarkoma terjadi pada usia paruh baya dan usia yang lebih tua, dengan predominansi ringan pada pria dan terjadi kurang dari 10% dari seluruh tumor tulang maligna.

h. Fibrosarkoma Patofisiologi/Etiologi. Muncul dari jaringa fibrosa, fibrosakoma dapat dibagi menjadi beberapa subtipe. Subtipe yang paling maligna adalah histiositoma fibrosa maligna (MFH). Kebanyakan presentasi klinisnya rendah dan insidious, tanpa manifestasi spesifik. Nyeri lokal, dengan atau tanpa masa teraba, terjadi pada tulang panjang ekstremitas bawah. Seperti kanker tulang lainnya, lesi dapat bermetastasis ke paru. Insidens/Prevalensi. Meskipun MFH menyerang pada semua usia, umumnya terjadi pada pria usia paruh baya. Untungnya lesi ini tidak umum. Klasifikasi menurut TNM. T. Tumor induk TX tumor tidak dapat dicapai T0 tidak ditemukan tumor primer T1 tumor terbatas dalam periost T2 tumor menembus periost

T3 tumor masuk dalam organ atau struktur sekitar tulang N Kelenjar limf regional N0 tidak ditemukan tumor di kelenjar limf N1 tumor di kelenjar limf regional M. Metastasis jauh M1 tidak ditemukan metastasis jauh M2 ditemukan metastasis jauh

C. Etiologi Penyebab pasti terjadinya tumor tulang tidak diketahui. Akhir-akhir ini, penelitian menunjukkan bahwa peningkatan suatu zat dalam tubuh yaitu C-Fos dapat meningkatkan kejadian tumor tulang. Radiasi sinar radio aktif dosis tinggi Keturunan Beberapa kondisi tulang yang ada sebelumnya seperti penyakit paget (akibat pajanan radiasi )(Smeltzer. 2001).

D. Tanda dan Gejala 1. Nyeri dan/ atau pembengkakan ekstremitas yang terkena (biasanya menjadi semakin parah pada malam hari dan meningkat sesuai dengan progresivitas penyakit) 2. Fraktur patologik 3. Pembengkakan pada atau di atas tulang atau persendian serta pergerakan yang terbata.(Gale, 1999) 4. Teraba massa tulang dan peningkatan suhu kulit di atas massa sert adanya pelebaran vena. 5. Gejala-gejala penyakit metastatik meliputi nyeri dada, batuk, demam, berat badan menurun dan malaise.(Smeltzer., 2001)

E. Patofisiologi Adanya tumor pada tulang menyebabkan jaringan lunak diinvasi oleh sel tumor. Timbul reaksi dari tulang normal dengan respon osteolitik yaitu proses destruksi atau

penghancuran tulang dan respon osteoblastik atau proses pembentukan tulang. Terjadi destruksi tulang lokal. Pada proses osteoblastik, karena adanya sel tumor maka terjadi penimbunan periosteum tulang yang baru dekat tempat lesi terjadi, sehingga terjadi pertumbuhan tulang yang abortif.

F. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis di dasarkan pada riwayat, pemeriksaan fisik, dan penunjangdiagnosis seperti CT, mielogram, asteriografi, MRI, biopsy dan pemeriksaan biokimia darah dan urine. Pemeriksaan foto toraks dilakukan sebagai prosedur rutin serta untuk follow-up adanya stasis pada paru-paru. Fosfatase alkali biasanya meningkat pada sarkoma osteogenik. Hiperkalsemia terjadi pada kanker tulang metastasis dari payudara, paru, dan ginjal. Gejala hiperkalsemia meliputi kelemahan otot, keletihan, anoreksia, mual, muntah, poliuria, kejang dan koma. Hiperkalsemia harus diidentifikasi dan ditangani segera. Biopsi bedah dilakukan untuk identifikasi histologik. Biopsi harus dilakukan untuk mencegah terjadinya penyebaran dan kekambuhan yang terjadi setelah eksesi tumor. (Rasjad, 2003).

G. Penatalaksanaan Medis Penatalaksanaan tergantung pada tipe dan fase dari tumor tersebut saat didiagnosis. Tujuan penatalaksanaan secara umum meliputi pengangkatan tumor, pencegahan amputasi jika memungkinkan dan pemeliharaan fungsi secara maksimal dari anggota tubuh atau ekstremitas yang sakit. Penatalaksanaan meliputi pembedahan, kemoterapi, radioterapi, atau terapi kombinasi. Osteosarkoma biasanya ditangani dengan pembedahan dan / atau radiasi dan kemoterapi. Protokol kemoterapi yang digunakan biasanya meliputi adriamycin (doksorubisin) cytoksan dosis tinggi (siklofosfamid) atau metrotexate dosis tinggi (MTX) dengan leukovorin. Agen ini mungkin digunakan secara tersendiri atau dalam kombinasi. a. Kemotherapi Adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan (growth) dan pembelahan (division) antara sel kanker dan sel normal yang disebut siklus sel (cell cycle) merupakan titik tolak dari cara kerja sitostatika. Hampir semua sitostatika mempengaruhi proses yang berhubungan dengan sel aktif seperti mitosis dan duplikasi DNA. Sel

yang sedang dalam keadaan membelah pada umumnya lebih sensitif daripada sel dalam keadaan istirahat. Berdasar siklus sel kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus ( Cell Cycle non Spesific ) artinya bisa pada sel yang dalam siklus pertumbuhan sel bahkan dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi yang hanya bisa bekerja pada siklus pertumbuhan tertentu ( Cell Cycle phase spesific ). Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu pada siklus sel disebut cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat menghambat pembelahan sel pada semua fase termasuk fase G0 disebut cell cycle nonspecific. Obat-obat yang tergolong cell cycle specific antara lain Metotrexate dan 5-FU, obat-obat ini merupakan anti metabolit yang bekerja dengan cara menghambat sintesa DNA pada fase S. Obat antikanker yang tergolong cell cycle nonspecific antara lain Cisplatin (obat ini memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga mencegah replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2), Doxorubicin (fase S1, G2, M), Bleomycin (fase G2, M), Vincristine (fase S, M). Dapat dimengerti bahwa zat dengan aksi multipel bisa mencegah timbulnya klonus tumor yang resisten, karena obat-obat ini cara kerjanya tidak sama. Apabila resiten terhadap agen tertentu kemungkinan sensitif terhadap agen lain yang diberikan, dikarenakan sasaran kerja pada siklus sel berbeda. b. Mekanisme Cara Kerja Kemoterapi Kebanyakan obat anti neoplasma yang secara klinis bermanfaat, agaknya bekerja dengan menghambat sintesis enzim maupun bahan esensial untuk sintesis dan atau fungsi asam nukleat. Berdasarkan mekanisme cara kerja obat , zat yang berguna pada tumor kepala leher dibagi sebagai berikut : 1. Antimetabolit, Obat ini menghambat biosintesis purin atau pirimidin. Sebagai contoh MTX, menghambat pembentukan folat tereduksi, yang dibutuhkan untuk sintesis timidin. 2. Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA. Zat pengalkil seperti CTX ( Cyclophosphamide) mengubah struktur DNA, dengan demikian menahan replikasi sel. Di lain pihak, antibiotika seperti dactinomycin dan doxorubicin mengikat dan menyelip diantara rangkaian nukleotid molekul DNA dan dengan demikian menghambat produksi mRNA.

3. Inhibitor mitosis seperti alkaloid vinka contohnya vincristine dan vinblastine, menahan pembelahan sel dengan mengganggu filamen mikro pada kumparan mitosis. c. Status Penampilan Penderita Ca ( Performance Status )

Status penampilan ini mengambil indikator kemampuan pasien, dimana penyait kanker semakin berat pasti akan mempengaruhi penampilan pasien. Hal ini juga menjadi faktor prognostik dan faktor yang menentukan pilihan terapi yang tepat pada pasien dengan sesuai status penampilannya.Skala status penampilan menurut ECOG ( Eastern Cooperative Oncology Group) adalah sbb Grade 0 : masih sepenuhnya aktif, tanpa hambatan untuk mengerjakan tugas kerja dan pekerjaan sehari-hari. Grade 1 : hambatan pada perkerjaan berat, namun masih mampu bekerja kantor ataupun pekerjaan rumah yang ringan. Grade 2 : hambatan melakukan banyak pekerjaan, 50 % waktunya untuk tiduran dan hanya bisa mengurus perawatan dirinya sendiri, tidak dapat melakukan pekerjaan lain. Grade 3 : Hanya mampu melakukan perawatan diri tertentu, lebih dari 50% waktunya untuk tiduran. Grade 4 : Sepenuhnya tidak bisa melakukan aktifitas apapun, betul-betul hanya di kursi atau tiduran terus.

PROSES KEPERAWATAN Tumor tulang A. Pengkajian Pasien di dorong untuk mendiskusikan awitan dan perjalanan gejala . selama wawancara , perawat mencatat pemahaman pasien mengenai proses penyakit, bagaimana pasien dan keluarganya mengatasi masalah dan bagaimana pasien mengatasi nyeri yang dirasakan . pada pemeriksaan fisik, massa di falfasi dengan lembut, ukuran dan pembengkakan jaringan lunak yang diakibatkannya, dan nyeri tekan dicatat. Pengkajian status neurovaskuler dan rentang gerak ekstremitas

merupakan data dasar sebagai pembanding kelak. Mobilitas dan kemampuan pasien melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari di evaluasi..

B. Diagnosis Diagnose keperawatan Berdasarkan pada data pengkajian, diagnosis keperawatan utama meliputi, yang berikut : Kurang pengetahuan mengenai proses penyakit dan programe trapeutik Nyeri yang berhubungan dengan proses patologik dan pembedahan Resiko terhadp cedera : fraktur fatologik yang berhubungan dengan tumor Koping tidak eefktif yang berhubungan dengan rasa takut terhadap ketidaktahuan, persepsi terhadap proses penyakit, dan system pendukung tidak adekuat Gangguan harga diri yang berhubungan dengan hilangnya bagian tubuh atau perubahan kinerja peran

C. Masalah kolaboratif Komplikasi potensial Berdasarkan data pengkajian , komplikasi yang dapat timbul antara lain : Penyembuhan luka lambat Difisiensi nutrisi Infeksi

D. Perencana dan implementasi Sasaran, sasaran utama pasien meliputi pemehaman mengenai proses penyakit dan program terapi, pengontrolan nyeri, tiadanya fraktur patologik, pola penyelesaian masalah yang efektif, peningkatan harga diri dan tiadanya komplikasi. Asuhan keperawata pasien yang menjjalani eksis tumor tulang pada beberapa hal sama dengan pasien lain yang menjalani pembedahan skeletal. Tanda vital dipantau, kehilangan darah dikaji, dilakukan observasi untuk mengkaji timbulnya komplikasi seperti thrombosis vena profunda, emboli paru, infefksi, kontraktur, dan atrofi disuse. Bagian yang dioperasi harus ditinggalkan untuk mengontrol

pembengkakan , status neurovaskuler ekstremitas harus dikaji. Biasaya daerah tersebut harus dimobilisasi dengan bidai, gips, atau pembalut elastic sampai tulang menyembuh.

E. Intervensi keperawatan Memahami proses penyakit dan proggran terapi . Pendidikan pasien dan keluaranya mengenai proses dan diagnosis penyakit serta program penanganan sangat penting. Penjelasan mengenai uji diagnostic, penanganan (mis, perawatan luka), dan hasil yang mungkin terjadi (mis, penurunan rentang gerak, bebas, perubahan, kontur tubuh) dapat membantu pasien menyesuaikan diri dengan prosedur dan perubahan yang terjadi. Kerjasama dan kepatuhan terhadap program terapi harus didorong melalui pemahaman. Perawat dapat menekankan dan menjelaskan informasi yang dijelaskan oleh dokter paling efektif bila perawat hadir selama diskusi anatara dokter dan pasien.

Pasien didorong agar bisa sedapat mungkin mandiri. Pengontrolan nyeri. Teknik penatalaksanaan nyeri psikologik dan

farmakologik dapat digunakan untuk mengontrol nyeri dan meningkatkan tingkat tingkat knyamanan pasien. Perawat bekerjasama dengan pasien dalam merancang program anjemen nyeri yang paling efektif, sehingga akan meningkatkan pengontrolan pasien terhadap nyeri. Perawat mempersiapkan pasien dan memberikan dukungan selama prosedur yang menyakitkan Setelah pembedahan, pasien akan merasakan nyeri baikdibagian yang dibedah maupun tempat donor. Analgetika opioid sesuai resep dapat digunakan selama priode pascaoperasi awal . kemudian, setelah itu analgetika opioid oral sudah memadai untuk mengurangi nyeri. Mencegah fraktur patologik. Tumor tulang akan melemahkan tulang sampai titik dimana aktivitas normal atau perubahan posisi dapat mengakibatkan fraktur. Selama asuha keperawatan tulang yang sakit harus disangga dan ditangani dengan lembut. Penyangha luar (mis. bindai) dapat dipakai untuk perlindungan tambahan. Pembatasan beban berat badan yang dianjurkan harus diikuti. Pasien diajar bagaimana mempergunakan alat bantu dengan aman dan bagaimana memperkuat ekstremitas yang sehat.

Koping efektif. Pasien dan kelurganya didorong untuk memeperguanakan rasa takut, keperihatinan dan prasaan mereka. Mereka membutuhkan dukungan dan perasaan mereka. Mereka membutuhkan dukungan dan perasaan diterima agar mereka mampu menerima damapk tumor tulang maligna. Perasaan terkejut, putus asa, dan sedih pasti akan terjadi. Maka rujukan keperawat psikiatri, ahli psikologi, konselor atau rohaniwan perlu diindikasikan untuk bantuan psikologik khusus. Meningkatkan harga diri. Kemandirian versus ketergntungan merupakan isu pada pasien yang menderita keganasan. Gaya hidup akan berubah secara dramatis, paling tidak semsntara. Keluarga harus didukung dalam menjalankan penyesuaian yang harus dilakukan. Perubahan citra diri akibat pembedahan dan kemungkinan amputasi harus diketahui. Peyakianan yang masuk akan mengenai masa depan dan penyesuaian aktifitas yang berhhubungan dengan peran harus dilakukan. Perawatan diri dan sosialisasi harus didorong. Pasien harus berpartisipasi dalam perencaan aktivitas harian. Keterliabatan pasien dan kelurganya sepan jang terapai dapat mendorong kepercayaan diri, pengembalian konsep diri, dan perasaan dapat mengontrol hidupnya sendiri.

F. Memantau dan menangani komplikasi potensial Penyembuhan luka. Penyembuhan luka dapat terlambat karena trauma jarigan akibat pembedahan atau radiasi sebelumnya. Tekanan pada daerah luka harus diminimalkan uanutk memperbaiki peredaran darah ke jaringan. Balutan luka non traumatic dan aseptic akan mempercepat penyembuhan. Pemantuan dan pelaporan temuan laboratorium memungkinkan pemberian intervensi untuk memperbaiki homeostatis dan penyembuhan luka. Menguabah posisi pasien sesring mugnkin akan mengurangi insiden kerusakan kulit akibat tekanan. Nyeri dan penghindaran gerakan menunjukan potensi terjainya kerusakan kulit. Tempat tidur teurapetik khusus diperlukan untuk mencegah kerusakan kulit. Tempat tidur teurapetik khusus diperlukan untuk mencegah kerusakan kulit dan memperbaiki penyembuhan luka setelah pembedahan plastic rekonstruktif dan grafting ekstensi. Nutrisi adekuat. Karena kehilangan selera makan, mual dan muntah sering terjadi, sebagai efeksamping kemoterapi dan radiasi, maka perlu diberikan nutrisi yang memadai untuk mempercepat penyembuhan dan dan keesehatan. Antiemetika dan tknik relaksasi dapat mengurangi reaksi dapat mengurangi reaksi gastrointestinal.

Stomatitis dapat dikontrol dengan obat cuci mulut analgesic atau anti jamur. Hidrasi yang memadai sangat penting. Suplemen nutrisi atau nutrisi parenteral total dapat diresepkan untuk mendapatkan nutrisi yang memadai. Osteomielitis dan infeksi luka operasi. Antibiotika prokfilaksis dan teknik balutan aseptic ketat dilaukan untuk mengurangi terjadinya osteomielitis infeksi luka operasi. Selama penyenbuhan, infeksi lain (mis, infeksi saluran nafas atas) harus dihindrai sehingga penyebaran hematogen tidak akan berakibat osteomielitis. Bila pasien mendaptkan kemoterapi, hitung jenis leukosit harus di pantau dan pasien harus diinstruksikan untuk menghindari bertemu dengan orang yang sedang menderita demam ata infeksi. Pendidikan pasien dan pertimbangan perawatan di rumah. Persiapan dan koordinasi untuk perawatan kesehatan berkelanjutan dimulai sejak dini sebagai suatu usaha multidisiplin. Pendidikan pasien ditunjukan pada pengobatan, pembalutan dan program terapi, selain program terapi fisik dan okupasi. Penggunaan peralatan khusus secra aman harus dijelaskan.. pasien dan keluarganya harus mempelajari tanda dan gejala kemungkinan komplikasi. Pasien diminta untuk mencatat nomor televon orang yang dapat segera dihubungi bila sewaktu-waktu timbul masalah. Kadang perjanjian dibuat bersama agen asuhan kesehatan untuk supervise perawatan dirumah dan tindak lanju. Perlunya supervise pada jangka panjang ditekankan untuk meyakinkan telah terjadi penyembuhan atau untuk mendeteksi kekambuhan tumor atau metastasis.

G. Evaluasi Hasil yang diharapkan 1. Menerapka proses penyakit dan dan program terapia. a. Menerangkan proses patologik b. Menemukan sasaran program tetapeutik c. Mencari penjelasan informasi 2. Mampu mengontrol nyeri a. Memanfaatkan teknik pengontrolan nyeri, termasuk obat yang diresepkan b. Tidak mengalami nyeri atau mengurangi pengurangan nyeri saat istirahat, selama manalankan aktifitas hidup sehari-hari, atau tempat operasi 3. Tidak mengalami patah tulang patologik a. Menghindari stress ppada tulang yang lemah b. Mempergunakan alat bantu dengan aman

c. Memperkuat ekstremitas yang sehat 4. Memperlihatkan pola penyelesaian masalah yang efektif a. Mengemukakan perasaanya dengan kata-kata b. Mengidentifikasi kekakuan dan kemampuannya c. Membuat keputusan d. Meminta bantuan bila perlu 5. Memperlihatkan konsep diri yang positif a. Mengidentifikasi tanggungjawab rumah tangga dan keluarga yang mampu di tanggungnya b. Memperlihatkan kepercayaan diripada kemampuannya c. Memperlihatkan penerimaan perubahan citra diri d. Memperlihatkan kemandirian dlam ktifitas hidup sehri-hari 6. Memperlihatkan tiadanya komplikasi a. Memperlihatkan penyembuhan luka b. Tidak mengalami kerusakan kulit c. Mempertahankan atau meningkatkan berat badan d. Tidak mengalami infeksi e. Mengatasi efek samping terapi f. Melaporkan gejala toksisitas obat atau komplikasi pembedahan 7. Berpartisipasi dalam perawatan kesehatan berkelanjutan dirumah a. Mematuhi regimen yang ditentukan (mis, menelan setiap obat yang diresepkan, tetap menjalankan program terapi fisik dan okupasi) b. Menyetujui perlunya supervise kesehatan jangka panjang c. Rajin memenuhi janji perawatan kesehatan tindak lanjut d. Melaporkan bila ada gejala atau komplikasi

D.

GANGGUAN AKIBAT ADANYA FRAKTUR

FRAKTUR Definisi

Fraktur (patah tulang) adalah terputusnya kontinuitas struktur tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (smeltzer S.C & Bare B.G,2001)

Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh.( Reeves C.J,Roux G & Lockhart R,2001 )

Klasifikasi Fraktur Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu: Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan). 1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. 2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur. 1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto. 2). Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti: a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)

b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya. c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma. 1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung. 2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang

dan meruakan akibat trauma angulasijuga. 3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi. 4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain. 5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang. Berdasarkan jumlah garis patah. 1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan. 2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan. 3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang. 1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh. 2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas: a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah overlapping). b) c) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut). Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh). sumbu dan

Berdasarkan posisi frakur Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian : 1. 1/3 proksimal 2. 1/3 medial 3. 1/3 distal

Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu: a. b. c. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan. d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement.

Etiologi : Terjadinya fraktur akibat adanya trauma yang mengenai tulang yang kekuatannya melebihi kekuatan tulang. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya fraktur : Faktor ekstrinsik yaitu meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah serta kekuatan tulang.

Faktor intrinsik yaitu meliputi kapasitas tulang mengabsorpsi energi trauma, kelenturan, densitas serta kekuatan tulang.

Pengkajian Riwayat Penyakit : Dilakukan anamnesa untuk mendapatkan riwayat mekanisme terjadinya cidera, posisi tubuh saat berlangsungnya trauma, riwayat fraktur sebelumnya, pekerjaan, obat-obatan yang dikomsumsi , merokok, riwayat alergi, riwayat osteoporosis serta riwayat penyakit lainnya. Pemeriksaan Fisik : 1. Inspeksi (look) Adanya deformitas (kelainan bentuk) seperti bengkak, pemendekan, rotasi, angulasi, fragmen tulang (pada fraktur terbuka). 2. Palpasi (feel) Adanya nyeri tekan (tenderness), krepitasi, pemeriksaan status neurologis dan vaskuler di bagian distal fraktur. Palpasi daerah ektremitas tempat fraktur tersebut, di bagian distal cedera meliputi pulsasi arteri, warna kulit, capillary refill test. 3. Gerakan (moving) Adanya keterbatasan gerak pada daerah fraktur. Pemeriksaan Penunjang : 1. Pemeriksaan radiologis (rontgen), pada daerah yang dicurigai fraktur, harus mengikuti aturan role of two, yang terdiri dari :

Mencakup dua gambaran yaitu anteroposterior (AP) dan lateral.

Memuat dua sendi antara fraktur yaitu bagian proximal dan distal. Memuat dua extremitas (terutama pada anak-anak) baik yang cidera maupun yang tidak terkena cidera (untuk membandingkan dengan yang normal)

Dilakukan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.

2. Pemeriksaan laboratorium, meliputi:


Darah rutin, Faktor pembekuan darah, Golongan darah (terutama jika akan dilakukan tindakan operasi), Urinalisa, Kreatinin (trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin untuk kliren ginjal).

3. Pemeriksaan arteriografi dilakukan jika dicurigai telah terjadi kerusakan vaskuler akibat fraktur tersebut. Komplikasi : Penyebab komplikasi fraktur secara umum dibedakan menjadi dua yaitu bisa karena trauma itu sendiri, bisa juga akibat penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik. Kompikasi Umum : Syok hipovolemia (karena perdarahan yang banyak), syok neurogenik (karena nyeri yang hebat), koagulopati diffus, gangguan fungsi pernafasan. Komplikasi ini dapat terjadi dalam waktu 24 jam pertama pasca trauma, dan setelah beberapa hari atau minggu dapat terjadi gangguan metabolisme yaitu peningkatan katabolisme, emboli lemak, tetanus, gas ganggren, trombosit vena dalam (DVT). Komplikasi Lokal : Jika komplikasi yang terjadi sebelum satu minggu pasca trauma disebut komplikasi dini, jika komplikasi terjadi setelah satu minggu pasca trauma disebut komplikasi lanjut. Ada beberapa komplikasi yang terjadi yaitu :

Infeksi, terutama pada kasus fraktur terbuka. Osteomielitis yaitu infeksi yang berlanjut hingga tulang. Atropi otot karena imobilisasi sampai osteoporosis. Delayed union yaitu penyambungan tulang yang lama. Non union yaitu tidak terjadinya penyambungan pada tulang yang fraktur. Artritis supuratif, yaitu kerusakan kartilago sendi. Dekubitus, karena penekanan jaringan lunak oleh gips. Lepuh di kulit karena elevasi kulit superfisial akibat edema. Terganggunya gerakan aktif otot karena terputusnya serabut otot, Sindroma kompartemen karena pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga mengganggu aliran darah.

Penatalaksanaan : Penatalaksanaan fraktur mengacu kepada empat tujuan utama yaitu: 1. Mengurangi rasa nyeri, Trauma pada jaringan disekitar fraktur menimbulkan rasa nyeri yang hebat bahkan sampai menimbulkan syok. Untuk mengurangi nyeri dapat diberi obat penghilang rasa nyeri, serta dengan teknik imobilisasi, yaitu pemasangan bidai / spalk, maupun memasang gips. 2. Mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur. Seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, fiksasi internal, sedangkan bidai maupun gips hanya dapat digunakan untuk fiksasi yang bersifat sementara saja. 3. Membuat tulang kembali menyatu Tulang yang fraktur akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan. 4. Mengembalikan fungsi seperti semula Imobilisasi dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan atrofi otot dan kekakuan pada sendi. Maka untuk mencegah hal tersebut diperlukan upaya mobilisasi.

Proses Penyembuhan Tulang

Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali. 2) Stadium Dua-Proliferasi Seluler Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya. 3) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus Selsel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi selsel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu. 4) Stadium Empat-Konsolidasi Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara

fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal. 5) Stadium Lima-Remodelling Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.

Proses Keperawatan

Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. 1. Pengkajian Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:

a. Pengumpulan Data 1) Anamnesa a) Identitas Klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.

b)

Keluhan Utama Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan: (1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri. (2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk. (3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi. (4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya. (5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.

c)

Riwayat Penyakit Sekarang Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).

d)

Riwayat Penyakit Dahulu Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi

petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit pagets yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang

e)

Riwayat Penyakit Keluarga Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).

f)

Riwayat Psikososial Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).

g)

Pola-Pola Fungsi Kesehatan (1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna

D,1995). (2) Pola Nutrisi dan Metabolisme Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehariharinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien. (3) Pola Eliminasi Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (4) Pola Tidur dan Istirahat Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 2002). (5) Pola Aktivitas Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama

pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995). (6) Pola Hubungan dan Peran Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995). (7) Pola Persepsi dan Konsep Diri Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995). (8) Pola Sensori dan Kognitif Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995). (9) Pola Reproduksi Seksual Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995). 10) Pola Penanggulangan Stress Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.

11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien

2) Pemeriksaan Fisik Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam. a) Gambaran Umum Perlu menyebutkan: (1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tandatanda, seperti: (a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien. (b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut. (c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk. (2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin (a) Sistem Integumen Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.

(b)

Kepala Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.

(c)

Leher Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.

(d)

Muka Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.

(e)

Mata Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)

(f)

Telinga Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.

(g)

Hidung Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.

(h)

Mulut dan Faring Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.

(i)

Thoraks Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.

(j)

Paru

(1) Inspeksi Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru. (2) Palpasi Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama. (3) Perkusi Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya. (4) Auskultasi Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi. (k) Jantung (1) Inspeksi Tidak tampak iktus jantung. (2) Palpasi Nadi meningkat, iktus tidak teraba. (3) Auskultasi Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur. (l) Abdomen (1) Inspeksi Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. (2) Palpasi Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.

(3) Perkusi Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan. (4) Auskultasi Peristaltik usus normal 20 kali/menit. (m) Inguinal-Genetalia-Anus Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.

b) Keadaan Lokal Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah: (1) Look (inspeksi) Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain: (a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi). (b) Cape au lait spot (birth mark). (c) Fistulae. (d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi. (e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal). (f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas) (g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa) (2) Feel (palpasi) Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari

posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien. Yang perlu dicatat adalah: (a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary refill time Normal 3 5 (b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian. (c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal). Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya. (3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.(Reksoprodjo, Soelarto, 1995) 3) Pemeriksaan Diagnostik a) Pemeriksaan Radiologi

Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray: (1) Bayangan jaringan lunak. (2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik ata juga rotasi. (3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction. (4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti: (1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya. (2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma. (3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa. (4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak. b) Pemeriksaan Laboratorium (1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang. (3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang. c) Pemeriksaan lain-lain (1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan

mikroorganisme penyebab infeksi. (2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi. (3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur. (4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan. (5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang. (6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur. (Ignatavicius, Donna D, 1995

3. Diagnosa Keperawatan Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah sebagai berikut:

a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas. b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus) c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti) d. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi) e. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup) f. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang) g. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada

(Doengoes, 2000)

4. Intervensi Keperawatan a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas. Tujuan: Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual

INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

1. Pertahankan imobilasasi bagian Mengurangi nyeri dan mencegah yang sakit dengan tirah baring, malformasi. gips, bebat dan atau traksi 2. Tinggikan posisi yang terkena. ekstremitas Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri. 3. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif. Mempertahankan kekuatan otot dan 4. Lakukan tindakan untuk meningkatkan sirkulasi vaskuler. meningkatkan kenyamanan (masase, perubahan posisi) Meningkatkan sirkulasi umum, 5. Ajarkan penggunaan teknik menurunakan area tekanan lokal dan manajemen nyeri (latihan napas kelelahan otot. dalam, imajinasi visual, aktivitas dipersional) Mengalihkan perhatian terhadap 6. Lakukan kompres dingin selama nyeri, meningkatkan kontrol terhadap fase akut (24-48 jam pertama) nyeri yang mungkin berlangsung sesuai keperluan. lama. 7. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.

Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri.

Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval, perubahan tanda-tanda vital)

Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer.

Menilai perkembangan masalah klien. b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus) Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan kriteria akral hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Dorong klien untuk secara rutin Meningkatkan sirkulasi darah dan melakukan latihan mencegah kekakuan sendi. menggerakkan jari/sendi distal cedera.

2. Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang Mencegah stasis vena dan sebagai terlalu ketat. petunjuk perlunya penyesuaian keketatan bebat/spalk. 3. Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali Meningkatkan drainase vena dan ada kontraindikasi adanya menurunkan edema kecuali pada adanya keadaan hambatan aliran sindroma kompartemen. arteri yang menyebabkan penurunan perfusi. 4. Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan. Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik untuk menurunkan trombus vena. 5. Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan kulit distal cedera, Mengevaluasi perkembangan bandingkan dengan sisi yang masalah klien dan perlunya normal. intervensi sesuai keadaan klien.

c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti) Tujuan : Klien akan menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi dengan kriteria klien tidak sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam batas normal INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Instruksikan/bantu latihan napas Meningkatkan ventilasi alveolar dan dalam dan latihan batuk efektif. perfusi. 2. Lakukan dan ajarkan perubahan posisi yang aman sesuai keadaan klien. Reposisi meningkatkan drainase sekret dan menurunkan kongesti 3. Kolaborasi pemberian obat paru. antikoagulan (warvarin, heparin) dan kortikosteroid sesuai indikasi. Mencegah terjadinya pembekuan darah pada keadaan tromboemboli. Kortikosteroid telah menunjukkan keberhasilan untuk mencegah/mengatasi emboli lemak. 4. Analisa pemeriksaan gas darah, Hb, kalsium, LED, lemak dan trombosit Penurunan PaO2 dan peningkatan PCO2 menunjukkan gangguan pertukaran gas; anemia, hipokalsemia, peningkatan LED dan kadar lipase, lemak darah dan

penurunan trombosit sering berhubungan dengan emboli lemak.

Adanya takipnea, dispnea dan perubahan mental merupakan tanda dini insufisiensi pernapasan, mungkin menunjukkan terjadinya 5. Evaluasi frekuensi pernapasan emboli paru tahap awal. dan upaya bernapas, perhatikan adanya stridor, penggunaan otot aksesori pernapasan, retraksi sela iga dan sianosis sentral.

d.

Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi) Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran, kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan klien.

Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol diri/harga diri, membantu menurunkan isolasi sosial.

2. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun yang sehat sesuai Meningkatkan sirkulasi darah keadaan klien. muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium

karena imobilisasi.

3. Berikan papan penyangga kaki, Mempertahankan posis fungsional gulungan trokanter/tangan sesuai ekstremitas. indikasi. 4. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan klien. Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi 5. Ubah posisi secara periodik sesuai keterbatasan klien. keadaan klien. Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia) 6. Dorong/pertahankan asupan Mempertahankan hidrasi adekuat, cairan 2000-3000 ml/hari. men-cegah komplikasi urinarius dan konstipasi. 7. Berikan diet TKTP.

Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses penyembuhan dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh. 8. Kolaborasi pelaksanaan Kerjasama dengan fisioterapis perlu fisioterapi sesuai indikasi. untuk menyusun program aktivitas fisik secara individual. 9. Evaluasi kemampuan mobilisasi Menilai perkembangan masalah klien dan program imobilisasi. klien.

e. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat,

sekrup) Tujuan : Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan perilaku tekhnik untuk mencegah kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi, mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi

INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

1. Pertahankan tempat tidur yang Menurunkan risiko kerusakan/abrasi nyaman dan aman (kering, kulit yang lebih luas. bersih, alat tenun kencang, bantalan bawah siku, tumit).

2. Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area Meningkatkan sirkulasi perifer dan distal bebat/gips. meningkatkan kelemasan kulit dan otot terhadap tekanan yang relatif konstan pada imobilisasi. 3. Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal Mencegah gangguan integritas kulit dan jaringan akibat kontaminasi fekal. 4. Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap Menilai perkembangan masalah kulit, insersi pen/traksi. klien.

f. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma

jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang Tujuan : Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau eritema dan demam INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Lakukan perawatan pen steril dan Mencegah infeksi sekunderdan perawatan luka sesuai protokol mempercepat penyembuhan luka. 2. Ajarkan klien untuk mempertahankan sterilitas insersi Meminimalkan kontaminasi. pen. 3. Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi. Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat digunakan secara profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi. Toksoid tetanus untuk mencegah infeksi tetanus. 4. Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah Leukositosis biasanya terjadi pada lengkap, LED, Kultur dan proses infeksi, anemia dan sensitivitas luka/serum/tulang) peningkatan LED dapat terjadi pada osteomielitis. Kultur untuk mengidentifikasi organisme penyebab infeksi. 5. Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda peradangan lokal Mengevaluasi perkembangan pada luka. masalah klien.

g. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d

kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada. Tujuan : klien akan menunjukkan pengetahuan meningkat dengan kriteria klien mengerti dan memahami tentang penyakitnya INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Kaji kesiapan klien mengikuti Efektivitas proses pemeblajaran program pembelajaran. dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental klien untuk mengikuti program pembelajaran.

2. Diskusikan metode mobilitas Meningkatkan partisipasi dan dan ambulasi sesuai program kemandirian klien dalam perencanaan dan pelaksanaan terapi fisik. program terapi fisik.

3. Ajarkan tanda/gejala klinis yang Meningkatkan kewaspadaan klien memerluka evaluasi medik untuk mengenali tanda/gejala dini (nyeri berat, demam, perubahan yang memerulukan intervensi lebih sensasi kulit distal cedera) lanjut. 4. Persiapkan klien untuk mengikuti terapi pembedahan bila diperlukan. Upaya pembedahan mungkin diperlukan untuk mengatasi maslaha sesuai kondisi klien.

Evaluasi o Nyeri berkurang atau hilang

o Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler perifer o Pertukaran gas adekuat o Tidak terjadi kerusakan integritas kulit o Infeksi tidak terjadi o Meningkatnya pemahaman klien terhadap penyakit yang dialami

Вам также может понравиться