Вы находитесь на странице: 1из 3

Awal Ramadhan 1431 H sudah ditetapkan pada Sidang Isbat yang dipimpin oleh Mente ri Agama RI Suryadharma Ali

di Jakarta. Dalam sidang yang juga dihadiri para pak ar hisab rukyat, utusan berbagai ormas dan para pakar astronomi itu memutuskan b ahwa awal Ramadhan jatuh pada hari Rabu, 11 Agustus 2010 berdasarkan saksi ruky at dari empat lokasi yaitu Cilincing, Pubolinggo, Bengkulu dan Condrodipo Gresik . Ada yang janggal memang dalam keputusan tersebut, bahwa kesaksian rukyat hilal yang digunakan sebagai dasar penetapan secara sains memang tidak diakui namun s ecara syar'i sah dijadikan sebagai dasar ketetapan. Konon ini bukan kali pertama terjadi, ditengarai hampir setiap tahun pemerintah menggunakan dasar persaksian rukyat hilal yang tidak sesuai kaidah sains astronomi. ( baca ini ) Nah disini masalahnya. Nampaknya khazanah perfalakan di Indonesia betul-betul mengalami perkembangan ya ng memuaskan. Kamus Falak Indonesia terus bertambah perbendaharaan katanya seiri ng munculnya istilah-istilah baru dalam dunia perfalakan di Indonesia. Setelah g onjang-ganjing kontroversi waktu Subuh dimana jadwal waktu Subuh dari Kemenag di curigai 'kemalaman' karena belum meunculnya tanda-tanda fajar sehingga muncul is tilah Fajar Syar'i dan Fajar Falaky, kini istilah serupa kembali muncul dalam ve rsi lain yaitu Hilal Syar'i dan Hilal Falaky. Istilah ini muncul setelah selama beberapa kali klaim kenampakan hilal di Indonesia dijadikan dasar penetapan Isba t penentuan awal bulan Ramadhan, Syawwal dan Zulhijjah termasuk kasus Ramadhan t ahun ini. Secara Syar'i pengakuan tersebut memang sah dijadikan dasar penetapan karena ybs (saksi) sudah disumpah walaupun secara astronomis kesaksian tersebut sebenarnya adalah "impossible". Artinya Hilal Syar'i berbeda dengan Hilal Falaky. Parahny a klaim seperti ini tidak hanya dialami Indonesia. Beberapa negara ?lain seperti Saudi, UAE, Mesir, Algeria, Nigeria dan Ghana juga mengalami hal yang sama saat penentuan Ramadhan kali ini seperti dilaporkan oleh ICOP. Dan ini bukan kali pe rtama, tahun-tahun sebelumnya mereka juga melakukan hal serupa. Menerima klaim r ukyat dari seseorang atau beberapa orang tanpa dilakukan klarifikasi dan konfirm asi tentang kebenaran laporan tersebut. Bukan hanya kali ini klaim rukyat dijadi kan dasar penetapan isbat penentuan awal bulan oleh pemerintah. Tahun-tahun sebe lumnya setidaknya sudah belasan kali pemerintah juga menetapkan isbat baik untuk penentuan awal Ramadhan, Syawwal dan Zulhijjah hanya berdasarkan Hilal Syar'i y ang secara falaky masih "impossible" dirukyat sekalipun menggunakan teleskop yan g canggih apalagi cuma mata telanjang. Karena itulah siapa tidak kenal dengan Ti m Rukyat Cakung dari PP Al Hussainiyah, Basmol dan Klender yang sering mengklaim dapat menyaksikan hilal dan dijadikan penetapan isbat. Di era kemajuan sains dan teknologi yang begitu pesat sekarang ini pembuktian il miah seharusnya bisa menjadi "hakim" yang dapat memutuskan benar-tidaknya lapora n seseorang. Padahal kalau kita mau pelajari kajian sains tentang kenampakan hil al atau sering disebut visibilitas hilal sudah sejak lama dilakukan oleh para pa kar falak di seluruh dunia. Jauh sebelum Islam lahir ahli falak Babilonia sudah mengetahui bahwa hilal hanya bisa disaksikan pada minimal ketinggian 12. Pada aba d ke-8 Ibnu Thariq seorang ahli falak Islam memperkuat pendapat tersebut termasu k juga Al Batani, Al Khawarizmi dan Habash pada era berikutnya. Penelitian era m odern berikutnya Fotheringham, Mauder, Schoch, Bruin, Mohammad Ilyas, SAAO, Roya l Greewich Observatory (RGO), Shaukat, Danjon, Yallop dan Odeh dari ICOP tidak s atupun mengindikasikan bahwa hilal pada ketinggian 2-3 dapat dirukyat apalagi hany a dengan mata telanjang. Namun justru pengetahuan falak yang berkembang di neger i ini seolah mundur ke ribuan tahun yang lalu sebelum era Babilonia, cukup mempr ihatinkan. Sudah semestinya kita harus belajar dari mereka-mereka yang sudah melakukan pene litian selama ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Sementara ahli falak kita n ampaknya lebih senang bermain dengan hitungan-hitungan falak klasiknya dan salin g beradu akurasi ketimbang rajin melakukan rukyat sebagai pembuktian akurasi his abnya. Konon rukyatpun hanya dilakukan menjelang Ramadhan atau Syawwal atau Zulh

ijjah saja dengan pengetahuan dan peralatan seadanya bahkan mungkin masih menggu nakan perhitungan yang kasar sehingga data posisi hilal mengalami deviasi sampai lebih 2 dari posisi yang sesungguhnya. Padahal peluang melakukan rukyat setidakn ya ada 24 kali selama setahun yaitu 12 kali untuk hilal muda (sore) dan 12 kali untuk hilal tua (pagi) tapi itu tidak pernah dilakukan. Belum lagi masih banyak anggapan di sebagian besar ahli falak kita bahwa batas hilal mungkin dapat diruk yat (imkanurrukyat) adalah hilal pada ketinggian 2 saat Matahari terbenam yang je las-jelas menyalahi kaidah ilmu falak yang sudah lama dibangun oleh para peneli ti hilal. Kriteria MABIMS yang dipedomani pemerintah kita saat ini dimana menyat akan bahwa batas imkanurrukyat adalah 2 juga menjadi salah satu biang munculnya k laim rukyat. Apalagi justru klaim tersebut sering diterima sebagai dasar penetap an isbat hanya dengan alasan sah secara syar'i dan demi kemaslahatan umat tanpa pernah ada keberatan dari peserta sidang yang lain khususnya dari kalangan astr onom. Padahal Rasulullah saja menyuruh kita untuk mengatakan yang benar walaupun itu pahit, "qul al haqqo walau kaana murron". Untuk itu sudah saatnya pemerinta h juga perlu meninjau ulang tentang kriteria MABIMS yang konon merupakan hasil k esepakatan Indonesia, Malaysia, Brunei dan Singapura. Belakangan Brunei memilih tidak menggunakan karena alasan tertentu. Itulah mengapa juga hampir 80%-90% laporan kenampakan hilal di Indonesia yang di jadikan sebagai dasar penetapan isbat tidak diakui oleh komunitas astronom dunia dan dianggap sebagai "klaim" termasuk laporan hilal Ramadhan kali ini. Di satu sisi pengambilan keputusan berdasarkan klaim rukyat memang membawa manfaat terut ama masalah kebersamaan atau 'kemaslahatan', namun tanpa kita sadari sebenarnya kita telah melakukan pembodohan besar-besaran terhadap masyarakat seolah-olah ha nya orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan 'super' sehingga mampu melihat hilal pada kondisi tersebut. Padahal hilal adalah obyek fisik yang walaupun memi liki karakteristik khusus namun semua orang akan bisa melihat asal sudah memenuh i kriteria bisa dilihat. Sudah saatnya tidak ada dikotomi antara Hilal Syar'i d an Hilal Falaky karena pada hakekatnya Hilal Syar'i adalah Hilal Falaky satu oby ek yang sama. Usaha-usaha untuk menyatukan antara Hilal Syar'i dan Hilal Falaky terlihat mulai dilakukan. Langkah baik yang dipelopori oleh Kominfo dan Bosscha mengadakan liv e streaming rukyatul hilal di 12 provinsi menggunakan teleskop rukyat modern ter pandu komputer merupakan salah satu jalan menuju ke arah sana. Setidaknya sistem tersebut bisa dijadikan acuan untuk menjawab keragu-raguan terhadap obyek hilal yang dilaporkan terlihat. Teleskop rukyat kecuali mampu mengikuti pergerakan ob yek benda langit secara presisi termasuk obyek hilal atau bulan juga mampu melip atgandakan cahaya hilal yang sangat lemah tersebut sehingga mampu terlihat walau pun mata telanjang belum bisa melihatnya tentunya saat hilal berada di atas amba ng visibilitas. Kementerian Agama juga juga tidak ketinggalan, setidaknya sudah 11 provinsi yang memiliki teleskop modern tersebut untuk kepentingan rukyatul hi lal yang lebih berkualitas. Namun demikian usaha tersebut tentunya harus disert ai dengan sosialisasi tentang sains rukyat kepada masyarakat terutama kalangan y ang belum mau menerima perkembangan teknologi sebagai alat bantu rukyat. Permasalahan kriteria awal bulan sangat kompleks tidak hanya terbatas pada masal ah Hilal Syar'i dan Hilal Falaky saja. Banyaknya kriteria penentuan awal bulan y ang berkembang di masyarakat kita, sebut saja ; (1) Kriteria Rukyat Lokal/Nasion al (2) Kriteria Rukyat Global (3) Kriteria Hisab Wujudul Hilal (4) Kriteria Hisa b Imkanurrukyat dan (5) Kriteria Urfi (kebiasaan) yang digunakan oleh kelompok-k elompok Islam tertentu seperti Naqsabandiyah, An Nadzir, Al Qadiriyah, Ahmadiyah dsb. menjadi batu sandungan dalam rangka mencapai cita-cita wujudnya Kalender H ijriyah Nasional. Cita-cita tersebut tentunya hanya dapat dicapai jika sudah ad a kesepakatan bersama tentang kriteria tunggal yang dijadikan sebagai dasar pene tapan awal bulan. Untuk itu pihak-pihak yang berbeda pendapat sudah seharusnya d uduk bersama merumuskan sesuatu dan harus siap menerima apapun yang diputuskan d emi terwujudnya kriteria tunggal Kalender Hijriyah Nasional.

Wallahu A'lam bissawab. ANALISIS Berikut analisis kenampakan hilal dari salah satu lokasi (Condrodipo) yang mengk laim menyaksikan hilal dan secara kebetulan saya mendapat kiriman gambar 'time l aps' dari menit ke menit baik mulai saat alat membidik matahari terbenam hingga alat diarahkan ke posisi bulan. Terlihat bahwa cahaya Matahari yang terangnya be rjuta kali cahaya hilal saat itu bisa terblokir oleh awan yg ada wkt itu shg tid ak terlihat sama sekali. Dalam frame foto berikutnya, bagaimana mungkin cahaya h ilal yang sangat tipis dan redup dapat menembus awan sehingga dapat terlihat men ggunakan mata telanjang. Ini jelas menurut saya "false sighting" atau "wrong ide ntification" dan impossible!. Lalu kenapa saksi menyatakan dapat melihat bahkan hanya dg mata telanjang? Ilmu psikologi yg dapat menjawabnya, karena bisa saja y bs seolah melihat sesuatu yang dikira atau mirip obyek hilal yaitu apa yg diseb ut sbg "halusinasi". ( baca ini )

Вам также может понравиться