Вы находитесь на странице: 1из 15

MAKANAN HARAM

Oleh Ustadz Abu Ubaidah Al-Atsari

Sebagaimana dimaklumi bersama bahwa makanan mempunyai pengaruh yang dominant bagi diri orang yang memakannya, artinya : makanan yang halal, bersih dan baik akan membentuk jiwa yang suci dan jasmani yang sehat. Sebaliknya, makanan yang haram akan membentuk jiwa yang keji dan hewani. Oleh karena itulah, Islam memerintahkan kepada pemeluknya untuk memilih makanan yang halal serta menjauhi makanan yang haram. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda. Artinya : Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata : Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya Allah baik, tidak menerima kecuali hal-hal yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mumin sebagaimana yang diperintahkan kepada para rasul, Allah berfirman : Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan firmanNya yang lain : Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu. Kemudian beliau mencontohkan seorang laki-laki, dia telah menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut serta berdebu, ia menengadahkan kedua tangannya ke langit : Ya Rabbi ! Ya Rabbi! Sedangkan ia memakan makanan yang haram, dan pakaiannya yang ia pakai dari harta yang haram, dan ia meminum dari minuman yang haram,dan dibesarkan dari hal-hal yang haram, bagaimana mungkin akan diterima doanya [Hadits Riwayat Muslim no. 1015] Allah juga berfirman. Artinya : Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk [Al-Araf : 157] Makna At-Thoyyibaat bisa berarti lezat/enak, tidak membahayakan, bersih atau halal. [Lihat Fathul Bari (9/518) oleh Ibnu Hajar] Sedangkan makan Al-Khabaaits bisa berarti sesuatu yang menjijikan, berbahaya dan haram. Sesuatu yang menjijikan seperti barang-barang najis, kotoran atau hewan-hewan sejenis ulat, kumbang, jangkrik, tikus, tokek/cecak, kalajengking, ular dan sebagainya sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan Syafii. [Lihat Al-Mughni (13/317) oleh Ibnu Qudamah]. Sesuatu yang membahayakan seperti racun, narkoba dengan aneka jenisnya, rokok dan sebagainya. Adapun makanan haram seperti babi, bangkai dan sebagainya. KAIDAH PENTING TENTANG MAKANAN Sebelum melangkah lebih lanjut, perlu kita tegaskan terlebih dahulu bahwa asal hukum segala jenis makanan baik dari hewan, tumbuhan, laut maupun daratan adalah halal. Allah berfirman.

Artinya : Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi [Al-Baqarah : 168] Tidak boleh bagi seorang untuk mengharamkan suatu makanan kecuali berlandaskan dalil dari Al-Quran dan hadits yang shahih. Apabila seorang mengharamkan tanpa dalil, maka dia telah membuat kedustaan kepada Allah, Rabb semesta alam. FirmanNya. Artinya : Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ini halal dan ini haram, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan lebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung [An-Nahl : 116] MAKANAN HARAM Karena asal hukum makanan adalah halal, maka Allah tidak merinci dalam Al-Quran satu persatu, demikian juga Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits-haditsnya. Lain halnya dengan makanan haram, Allah telah memerinci secara detail dalam Al-Quran atau melalui lisan rasulNya Shallallahu alaihi wa sallam yang mulia. Allah berfirman. Artinya : Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkanNya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya [Al-Anam : 119] Perincian penjelasan tentang makanan haram, dapat kita temukan dalam surat Al-Maidah ayat 3 sebagai berikut ; Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya [Al-Maidah : 3] Dari ayat di atas dapat kita ketahui beberapa jenis makanan haram yaitu : 1. BANGKAI Yaitu hewan yang mati bukan karena disembelih atau diburu. Hukumnya jelas haram dan bahaya yang ditimbulkannya bagi agama dan badan manusia sangat nyata, sebab pada bangkai terdapat darah yang mengendap sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Bangkai ada beberapa macam sebagai berikut. a). Al-Munkhaniqoh yaitu hewan yang mati karena tercekik baik secara sengaja atau tidak. b). Al-Mauqudhah yaitu hewan yang mati karena dipukul dengan alat/benda keras hingga mati olehnya atau disetrum dengan alat listrik. c). Al-Mutaraddiyah yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat tinggi atau jatuh ke dalam sumur sehingga mati d). An-Nathihah yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya [Lihat Tafsir AlQur'an Al-Adzim 3/22 oleh Imam Ibnu Katsir] Sekalipun bangkai haram hukumnya tetapi ada yang dikecualikan yaitu bangkai ikan dan

belalang berdasarkan hadits. Artinya : Dari Ibnu Umar berkata: " Dihalalkan untuk dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang dua darah yaitu hati dan limpa." [Shahih. Lihat takhrijnya dalam Al-Furqan hal 27 edisi 4/Th.11] Rasululah juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda. "Artinya : Laut itu suci airnya dan halal bangkainya" [Shahih. Lihat takhrijnya dalam Al-Furqan 26 edisi 3/Th 11] Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani berkata dalam Silsilah As-Shahihah (no. 480): "Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu halalnya setiap bangkai hewan laut sekalipun terapung di atas air (laut)? Beliau menjawab: "Sesungguhnya yang terapung itu termasuk bangkainya sedangkan Rasulullah bersabda: "Laut itu suci airnya dan halal bangkainya" [Hadits Riwayat Daraqutni : 538] Adapun hadits tentang larangan memakan sesuatu yang terapung di atas laut tidaklah shahih. [Lihat pula Al-Muhalla (6/60-65) oleh Ibnu Hazm dan Syarh Shahih Muslim (13/76) oleh AnNawawi] 2. DARAH Yaitu darah yang mengalir sebagaimana dijelaskan dalam ayat lainnya : "Artinya : Atau darah yang mengalir" [Al-An'Am : 145] Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Sa'id bin Jubair. Diceritakan bahwa orang-orang jahiliyyah dahulu apabila seorang diantara mereka merasa lapar, maka dia mengambil sebilah alat tajam yang terbuat dari tulang atau sejenisnya, lalu digunakan untuk memotong unta atau hewan yang kemudian darah yang keluar dikumpulkan dan dibuat makanan/minuman. Oleh karena itulah, Allah mengharamkan darah pada umat ini. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/23-24] Sekalipun darah adalah haram, tetapi ada pengecualian yaitu hati dan limpa berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas tadi. Demikian pula sisa-sisa darah yang menempel pada daging atau leher setelah disembelih. Semuanya itu hukumnya halal. Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: " Pendapat yang benar, bahwa darah yang diharamkan oleh Allah adalah darah yang mengalir. Adapun sisa darah yang menempel pada daging, maka tidak ada satupun dari kalangan ulama' yang mengharamkannya". [Dinukil dari Al-Mulakhas Al-Fiqhi 2/461 oleh Syaikh Dr. Shahih AlFauzan] 3. DAGING BABI Babi, baik peliharaan maupun liar, jantan maupun betina. Dan mencakup seluruh anggota tubuh babi sekalipun minyaknya. Tentang keharamannya, telah ditandaskan dalam al-Qur'an, hadits dan ijma' ulama. Hikmah pengharamannya karena babi adalah hewan yang sangat menjijikan dangan mengandung

penyakit yang sangat berbahaya. Oleh karena itu,makanan kesukaan hewan ini adalah barangbarang yang najis dan kotor. Daging babi sangat berbahaya dalam setiap iklim, lebih-lebih pada iklim panas sebagaimana terbukti dalam percobaan. Makan daging babi dapat menyebabkan timbulnya satu virus tunggal yang dapat mematikan. Penelitian telah menyibak bahwa babi mempunyai pengaruh dan dampak negatif dalam masalah iffah (kehormatan) dan kecemburuan sebagaimana kenyataan penduduk negeri yang biasa makan babi. Ilmu modern juga telah menyingkap akan adanya penyakit ganas yang sulit pengobatannya bagi pemakan daging babi. [Dari penjelasan Syaikh Abdul Aziz bin Baz sebagaimana dalam Fatawa Islamiyyah 3/394-395] 4. SEMBELIHAN UNTUK SELAIN ALLAH Yakni setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Allah hukumnya haram, karena Allah mewajibkan agar setiap makhlukNya disembelih dengan nama-Nya yang mulia. Oleh karenanya, apabila seorang tidak mengindahkan hal itu bahkan menyebut nama selain Allah baik patung, taghut, berhala dan lain sebagainya , maka hukum sembelihan tersebut adalah haram dengan kesepakatan ulama. 5. HEWAN YANG DITERKAM BINATANG BUAS Yakni hewan yang diterkam oleh harimau, serigala atau anjing lalu dimakan sebagiannya kemudia mati karenanya, maka hukumnya adalah haram sekalipun darahnya mengalir dan bagian lehernya yang kena. Semua itu hukumnya haram dengan kesepakatan ulama. Orang-orang jahiliyah dulu biasa memakan hewan yang diterkam oleh binatang buas baik kambing, unta, sapi dan lain sebagainya, maka Allah mengharamkan hal itu bagi kaum mukminin. Al-Mauqudhah, Al-Munkhaniqoh, Al-Mutaraddiyah, An-Nathihah dan hewan yang diterkam binatang buas apabila dijumpai masih hidup (bernyawa) seperti kalau tangan dan kakinya masih bergerak atau masih bernafas kemudian disembelih secara syar'i, maka hewan tersebut adalah halal karena telah disembelih secara halal. 6. BINATANG BUAS BERTARING Hal ini berdasarkan hadits : "Artinya : Dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan" [Hadits Riwayat. Muslim no. 1933] Perlu diketahui bahwa hadits ini mutawatir sebagaimana ditegaskan Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (1/125) dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam I'lamul Muwaqqi'in (2/118-119). Maksudnya "dziinaab" yakni binatang yang memiliki taring atau kuku tajam untuk melawan manusia seperti serigala, singa, anjing, macan tutul, harimau, beruang, kera dan sejenisnya. Semua itu haram dimakan". [Lihat Syarh Sunnah (11/234) oleh Imam Al-Baghawi] Hadits ini secara jelas menunjukkan haramnya memakan binatang buas yang bertaring bukan hanya makruh saja. Pendapat yang menyatakan makruh saja adalah pendapat yang salah. [Lihat At-Tamhid (1/111) oleh Ibnu Abdil Barr, I'lamul Muwaqqi'in (4-356) oleh Ibnu Qayyim dan AsShahihah no. 476 oleh Al-Albani] Imam Ibnu Abdil Barr juga mengatakan dalam At-Tamhid (1/127): "Saya tidak mengetahui

persilangan pendapat di kalangan ulama kaum muslimin bahwa kera tidak boleh dimakan dan tidak boleh dijual karena tidak ada manfaatnya. Dan kami tidak mengetahui seorang ulama pun yang membolehkan untuk memakannya. Demikian pula anjing, gajah dan seluruh binatang buas yang bertaring. Semuanya sama saja bagiku (keharamannya). Dan hujjah adalah sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bukan pendapat orang....". Para ulama berselisih pendapat tentang musang. Apakah termasuk binatang buas yang haram ataukah tidak ? Pendapat yang rajih bahwa musang adalah halal sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan Syafi'i berdasarkan hadits. "Artinya : Dari Ibnu Abi Ammar berkata: Aku pernah bertanya kepada Jabir tentang musang, apakah ia termasuk hewan buruan ? Jawabnya: "Ya". Lalu aku bertanya: apakah boleh dimakan ? Beliau menjawab: Ya. Aku bertanya lagi: Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah ? Jawabnya: Ya. [Shahih. Hadits Riwayat Abu Daud (3801), Tirmidzi (851), Nasa'i (5/191) dan dishahihkan Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al- Baihaqi, Ibnu Qoyyim serta Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Habir (1/1507)] Lantas apakah hadits Jabir ini bertentangan dengan hadits larangan di atas? ! Imam Ibnu Qoyyim menjelaskan dalam I'lamul Muwaqqi'in (2/120) bahwa tidak ada kontradiksi antara dua hadits di atas. Sebab musang tidaklah termasuk kategori binatang buas, baik ditinjau dari segi bahasa maupun segi urf (kebiasaan) manusia. Penjelasan ini disetujui oleh Al-Allamah Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (5/411) dan Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani dalam AtTa'liqat Ar-Radhiyyah (3-28) 7. BURUNG YANG BERKUKU TAJAM Hal ini berdasarkan hadits. "Artinya : Dari Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam" [Hadits Riwayat Muslim no. 1934] Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (11/234) "Demikian juga setiap burung yang berkuku tajam seperti burung garuda, elang dan sejenisnya". Imam Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim 13/72-73: "Dalam hadits ini terdapat dalil bagi madzab Syafi'i, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas ulama tentang haramnya memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam." 8. KHIMAR AHLIYYAH (KELEDAI JINAK) Hal ini berdasarkan hadits "Artinya : Dari Jabir berkata: "Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang pada perang khaibar dari (makan) daging khimar dan memperbolehkan daging kuda". [Hadits Riwayat Bukhori no. 4219 dan Muslim no. 1941] Dalam riwayat lain disebutkan begini. "Artinya : Pada perang Khaibar, mereka meneyembelih kuda, bighal dan khimar. Lalu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang dari bighal dan khimar dan tidak melarang dari kuda" [Shahih. HR Abu Daud (3789), Nasa'i (7/201), Ahmad (3/356), Ibnu Hibban (5272),

Baihaqi (9/327), Daraqutni (4/288-289) dan Al-Baghawi dalam Syarhu Sunnah no. 2811] Dalam hadits di atas terdapat dua masalah : Pertama : Haramnya keledai jinak. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi'in dan ulama setelah mereka berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas seperti di atas. Adapaun keledai liar, maka hukumnya halal dengan kesepakatan ulama. [Lihat Sailul Jarrar (4/99) oleh Imam Syaukani] Kedua : Halalnya daging kuda. Ini merupakan pendapat Zaid bin Ali, Syafi'i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan mayoritass ulama salaf berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas di atas. Ibnu Abi Syaiban meriwayatkan dengan sanadnya yang sesuai syarat Bukhari Muslim dari Atha' bahwa beliau berkata kepada Ibnu Juraij: " Salafmu biasa memakannya (daging kuda)". Ibnu Juraij berkata: "Apakah sahabat Rasulullah ? Jawabnya : Ya. (Lihat Subulus Salam (4/146-147) oleh Imam As-Shan'ani] 9. AL-JALLALAH Hal ini berdasarkan hadits. "Artinya : Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah melarang dari jalalah unta untuk dinaiki". [Hadits Riwayat. Abu Daud no. 2558 dengan sanad shahih] Dalam riwayat lain disebutkan: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang dari memakan jallalah dan susunya." [Hadits Riwayat. Abu Daud : 3785, Tirmidzi: 1823 dan Ibnu Majah: 3189] Dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang dari keledai jinak dan jalalah, menaiki dan memakan dagingnya " [Hadits Riwayat Ahmad (2/219) dan dihasankan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648] Maksud Al-Jalalah yaitu setiap hewan baik hewan berkaki empat maupun berkaki dua yang makanan pokoknya adalah kotoran-kotoran seperti kotoran manusia/hewan dan sejenisnya. (Fahul Bari 9/648). Ibnu Abi Syaiban dalam Al-Mushannaf (5/147/24598) meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau mengurung ayam yang makan kotoran selama tiga hari. [Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648] Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (11/254) juga berkata: "Kemudian menghukumi suatu hewan yang memakan kotoran sebagai jalalah perlu diteliti. Apabila hewan tersebut memakan kotoran hanya bersifat kadang-kadang, maka ini tidak termasuk kategori jalalah dan tidak haram dimakan seperti ayam dan sejenisnya..." Hukum jalalah adalah haram dimakan sebagaimana pendapat mayoritas Syafi'iyyah dan Hanabilah. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Ibnu Daqiq Al-'Ied dari para fuqaha' serta dishahihkan oleh Abu Ishaq Al-Marwazi, Al-Qoffal, Al-Juwaini, Al-Baghawi dan Al-Ghozali. [Lihat Fathul Bari (9/648)] Sebab diharamkannya jalalah adalah perubahan bau dan rasa daging dan susunya. Apabila pengaruh kotoran pada daging hewan yang membuat keharamannya itu hilang, maka tidak lagi

haram hukumnya, bahkan hukumnya hahal secara yakin dan tidak ada batas waktu tertentu. AlHafidz Ibnu Hajar menjelaskan (9/648): "Ukuran waktu boelhnya memakan hewan jalalah yaitu apabila bau kotoran pada hewan tersebut hilang dengan diganti oleh sesuatu yang suci menurut pendapat yang benar.". Pendapat ini dikuatkan oleh imam Syaukani dalam Nailul Authar (7/464) dan Al-Albani dan At-Ta'liqat ArRadhiyyah (3/32). 10. AD-DHAB (HEWAN SEJENIS BIAWAK) BAGI YANG MERASA JIJIK DARINYA Berdasarkan hadits . "Artinya : Dari Abdur Rahman bin Syibl berkata: Rasulullah melarang dari makan dhab (hewan sejenis biawak). [Hasan. HR Abu Daud (3796), Al-Fasawi dalam Al-Ma'rifah wa Tarikh (2/318), Baihaqi (9/326) dan dihasankan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam FathulBari (9/665) serta disetujui oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 2390)] Benar terdapat beberapa hadits yang banyak sekali dalam Bukhari Muslim dan selainnya yang menjelaskan bolehnya makan dhab baik secara tegas berupa sabda Nabi maupun taqrir (persetujuan Nabi). Diantaranya , Hadits Abdullah bin Umar secara marfu' (sampai pada nabi). Artinya : Dhab, saya tidak memakannya dan saya juga tidak mengharamkannya." [Hadits Riwayat Bukhari no.5536 dan Muslim no. 1943] Demikian pula hadits Ibnu Abbas dari Khalid bin Walid bahwa beliau pernah masuk bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ke rumah Maimunah. Di sana telah dihidangkan dhab panggang. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkehendak untuk mengambilnya. Sebagian wanita berkata : Khabarkanlah pada Rasulullah tentang daging yang hendak beliau makan !, lalu merekapun berkata : Wahai Rasulullah, ini adalah daging dhab. Serta merta Rasulullah mengangkat tangannya. Aku bertanya : Apakah daging ini haram hai Rasulullah? Beliau menjawab : Tidak, tetapi hewan ini tidak ada di kampung kaumku sehingga akupun merasa tidak enak memakannya. Khalid berkata : Lantas aku mengambil dan memakannya sedangkan Rasulullah melihat. [Hadits Riwayat Bukhari no. 5537 dan Muslim no. 1946] Dua hadit ini serta banyak lagi lainnya sekalipun lebih shahih dan lebih jelas- tidak bertentangan dengan hadits Abdur Rahman bin Syibl di atas atau melazimkan lemahnya, karena masih dapat dikompromikan diantara keduanya.Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/666) menyatukannya bahwa larangan dalam hadits Abdur Rahman Syibl tadi menunjukkan makruh bagi orang yang merasa jijik untuk memakan dhab. Adapun hadits-hadits yang menjelaskan bolehnya dhab, maka ini bagi mereka yang tidak merasa jijik untuk memakannya. Dengan demikian, maka tidak melazimkan bahwa dhab hukumnya makruh secara mutlak. [Lihat pula AsShahihah (5/506) oleh Al-Albani dan Al-Mausuah Al-Manahi As-Syariyyah (3/118) oleh Syaikh Salim Al-Hilali] 11. HEWAN YANG DIPERINTAHKAN AGAMA SUPAYA DIBUNUH "Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: Lima hewan fasik yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu ular, tikus, anjing hitam." [Hadits Riwayat Muslim no. 1198 dan Bukhari no. 1829 dengan lafadz "kalajengking: gantinya "ular"]

Imam ibnu Hazm mengatakan dalam Al-Muhalla (6/73-74): "Setiap binatang yang diperintahkan oleh Rasulullah supaya dibunuh maka tidak ada sembelihan baginya, karena Rasulullah melarang dari menyia-nyiakan harta dan tidak halal membunuh binatang yang dimakan" [Lihat pula AlMughni (13/323) oleh Ibnu Qudamah dan Al-Majmu' Syarh Muhadzab (9/23) oleh Nawawi] "Artinya : Dari Ummu Syarik berkata bahwa Nabi memerintahkan supaya membunuh tokek/cecak" [Hadits Riwayat. Bukhari no. 3359 dan Muslim 2237). Imam Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid (6/129) : "Tokek/cecak telah disepakati keharaman memakannya". 12. HEWAN YANG DILARANG UNTUK DIBUNUH "Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah melarang membunuh 4 hewan : semut, tawon, burung hudhud dan burung surad " [Hadits Riwayat Ahmad (1/332,347), Abu Daud (5267), Ibnu Majah (3224), Ibnu Hibban (7/463) dan dishahihkan Baihaqi dan Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 4/916] Imam syafi'i dan para sahabatnya mengatakan: "Setiap hewan yang dilarang dibunuh berarti tidak boleh dimakan, karena seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan dilarang membunuhnya." [Lihat Al-Majmu' (9/23) oleh Nawawi] Haramnya hewan-hewan di atas merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu sekalipun ada perselisihan di dalamnya kecuali semut, nampaknya disepakati keharamannya. [Lihat Subul Salam 4/156, Nailul Authar 8/465-468, Faaidhul Qadir 6/414 oleh Al-Munawi] "Artinya : Dari Abdur Rahman bin Utsman Al-Qurasyi bahwasanya seorang tabib pernah bertanya kepada Rasulullah tentang kodok/katak dijadikan obat, lalu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang membunuhnya [Hadits Riwayat Ahmad (3/453), Abu Daud (5269), Nasa'i (4355), Al-Hakim (4/410-411), Baihaqi (9/258,318) dan dishahihkan Ibnu Hajar dan AlAlbani] Haramnya katak secara mutlak merupakan pendapat Imam Ahmad dan beberapa ulama lainnya serta pendapat yang shahih dari madzab Syafi'i. Al-Abdari menukil dari Abu Bakar As-Shidiq, Umar, Utsman dan Ibnu Abbas bahwa seluruh bangkai laut hukumnya halal kecuali katak. [Lihat pula Al-Majmu' (9/35), Al-Mughni (13/345), Adhwaul Bayan (1/59) oleh Syaikh As-Syanqithi, Aunul Ma'bud (14/121) oleh Adzim Abadi dan Taudhihul Ahkam (6/26) oleh Al-Bassam] 13. BINATANG YANG HIDUP DI DUA ALAM Sebagai penutup pembahasan ini, ada sebuah pertanyaan : Adakah ayat Quran atau Hadits shahih yang menyatakan bahwa binatang yang hidup di dua alam haram hukum memakannya seperti kepiting, kura-kura, anjing laut dan kodok?. Jawab secara umum : Perlu kita ingat lagi kaidah penting tentang makanan yaitu asal segala jenis makanan adalah halal kecuali apabila ada dalil yang mengharamkannya. Dan sepanjang pengetahuan kami tiddak ada dalil dari Al-Qur'an dan hadits yang shahih yang menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di dua alam (laut dan darat). Dengan demikian binatang yang hidup di dua alam dasar hukumnya "asal hukumnya adalah halal kecuali ada dalil yangmengharamkannya. [Lihat pula Soal jawab Juz. 2 hal. 658 oleh Ustadz A Hassan dkk]

Adapun jawaban secara terperinci : Kepiting - hukumnya halal sebagaimana pendapat Atha' dan Imam Ahmad. [Lihat Al-Mughni 13/344 oleh Ibnu Qudamah dan Al-Muhalla 6/84 oleh Ibnu Hazm] Kura-kura dan Penyu - juga halal sebagaimana madzab Abu Hurairah, Thawus, Muhammad bin Ali, Atha', Hasan Al-Bashri dan fuqaha' Madinah. [Lihat Al-Mushannaf (5/146) Ibnu Abi Syaibah dan Al-Muhalla (6/84] Anjing laut - juga halal sebagaimana pendapat Imam Malik, Syafi'i, Laits, Sya'bi dan Al-Auza'i [Lihat Al-Mughni 13/346] Katak/kodok - hukumnya haram secara mutlak menurut pendapat yang rajih karena termasuk hewan yang dilarang dibunuh sebagaimana penjelasan di atas. Wallahu Alam Demikianlah pembahasan yang dapat kami sampaikan. Apabila benar, maka itu dari Allah dan apabila salah, maka hal itu karena kemiskinan penulis dari perbendaharaan ilmu yang mulia ini dan penulis menerima nasehat dan kritik pembaca semua. [Disalin dari majalah Al Furqon, Edisi : 12 Tahun II/Rojab 1424. Penerbit Lajnah Dakwah Mahad Al-Furqon, Alamat : Maktabah Mahad Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]

Rasulullah saww bersabda, Ibadah yang disertai dengan memakan (makanan) yang haram sama saja seperti (mendirikan) bangunan di atas pasir (Al-Bihar 103 : 16) Seorang mukmin sejati bersikap sabar terhadap musibah apa pun yang menimpanya. Ia sabar karena ia percaya akan kebijaksanaan dan rahmat Allah, dan yakin bahwa ia akan mengetahui hikmah dan manfaat dari kesulitannya tersebut: belajar melalui percobaan. Ia sabar menjalani hidup tanpa melakukan hal-hal yang diharamkan. Ia sabar pada saat-saat sulit, dengan keyakinan bahwa semuanya akan berakhir dengan kebahagiaan. Allah menasihatinya untuk mengalahkan musuhnya : ego-nya, musuh utamanya dalam hidup sesuai dengan ajaran Tauhid. Namun sedikit sekali orang-orang yang imannya kuat yang dapat bertahan tidak hanyut dalam arus kehidupan, ditengah-tengah budaya persaingan, materialistik, dan eksploitatif. Lingkungan seperti ini mungkin lebih mempertebal iman orang yang telah kuat imannya, namun akan menyebabkan banyak kesulitan dan kebimbangan bagi orang-orang yang lemah imannya. Kebanyakan kita membutuhkan legitimasi dari orang-orang yang berpikiran sama dengan kita; perasaan aman tidak hanya ditemukan pada jumlahnya saja, namun juga pada kualitasnya. [100]

MEMAKAN HARTA HARAM Ada beberapa sebab ibadah tidak diterima Allah. Di antaranya adalah : memakan harta haram. Imam Khomeini qs memasukkan memakan harta haram sebagai salah satu dari 41 dosa-dosa besar. [101] Mengkonsumsi makanan yang haram dapat menimbulkan bahaya bagi tubuh, dan masyarakat, secara politik dan ekonomi. Bahaya paling besar lantaran makanan haram, dari sisi individu dan sosial, adalah kehancuran dan kemerosotan akhlak. Al-Quran menerangkan, Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS Al-Baqarah: 188) Rasulullah saww bersabda, Allah melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara di antara keduanya. Imam Jafar al-Shadiq as berkata, Memakan (makanan yang) haram memiliki banyak jenis. Ya, lelaki dan wanita yang berzina, juga pemakan suap, termasuk kategori orang yang memakan (makanan) haram. Imam Jafar al-Shadiq as melanjutkan, Adapun suap dalam masalah hukum adalah kekafiran terhadap Allah yang Mahaagung. Imam Jafar al-Shadiq as berkata, Tidak ada ibadah yang lebih utama daripada menjaga kehormatan perut dan kemaluan. Imam al-Sajjad as berkata, Hak perut Anda adalah bahwa Anda tidak menjadikannya sebagai tempat penampungan makanan haram. Imam Ali Zainal Abidin al-Sajjad as jugaberkata, Tidak ada sesuatu yang lebih Allah cintai setelah pengenalan keberadaan-Nya (marifatullah) daripada menjaga kehormatan perut dan kemaluan. Rasulullah saww bersabda, Ada 3 perkara yang saya takutkan menimpa umat saya, yaitu kesesatan setelah memperoleh petunjuk, fitnah-fitnah yang menyesatkan, serta syahwat perut dan kemaluan. Imam Muhammad al-Baqir as berkata, Semua dosa-dosa adalah berat dan besar; sementara dosa paling besar adalah dosa yang dengannya tumbuh daging dan darah. Beliau juga berkata, Jika seseorang mencari harta haram, maka ibadah haji, umrah, dan silaturahminya tidak akan diterima Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi Musa as melihat seseorang yang tengah menangis dan memohon kepada Tuhan. Dia mengangkat kedua tangannya ke arah langit seraya berdoa dengan penuh khusyu. Kemudian Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Musa as, Meskipun

dia berdoa dengan sungguh-sungguh, maka doanya tidak akan pernah terkabul. Karena, di dalam perutnya terdapat barang haram, di atas pundaknya terdapat barang haram, dan di dalam rumahnya terdapat barang haram. Seseorang datang menghadap Rasulullah saww seraya berkata, Saya ingin doa saya terkabul. Lalu Rasulullah saww bersabda, Sucikanlah makanan Anda dan janganlah Anda masukkan barang haram kedalam perut Anda. Barangsiapa yang ingin doanya terkabul, maka hendaklah dia mencari makan dan pekerjaan yang halal. Dalam sebuah riwayat lainnya disebutkan bahwa meninggalkan segenggam makanan haram saja, di sisi Allah, adalah lebih mulia ketimbang pahala melakukan shalat sunah 2.000 rakaat. Dan menolak 1/6dirham (satuan mata uang) harta haram adalah lebih utama daripada melaksanakan70 ibadah haji yang diterima. Rasulullah saww bersabda, Barangsiapa yang penghidupannya dari harta yang haram, maka Allah tidak menerima sedekahnya, tidak menerima amal memerdekakan budaknya, tidak juga menerima hajjinya dan umrahnya dan Allah mencatatnya amalnya yang banyak dengan kebatilan dan tiada tersisa amalnya setelah kematiannya sehingga akhirnya ia digiring ke neraka. Tetapi jika ia meninggalkan usaha haramnya itu karena takut kepada Allah, maka (Allah) masukkan ia ke dalam cinta-Nya dan rahmat-Nya dan diperintahkan kepadanya untuk masuk ke surga [102] DURHAKA KEPADA KEDUA ORANGTUA Faktor lainnya yang menyebabkan ibadahseseorang ditolak adalah durhaka kepada kedua orangtua. Imam Jafar al-Shadiq as mengatakan, Barangsiapa yang memandang kedua orang tuanya dengan pandangan kesal atau benci, maka shalatnya (ibadahnya) tidak diterima [103] MELAKUKAN GHIBAH Ghibah juga dapat mengakibatkan ibadah-ibadah kita ditolak Allah Azza wa Jalla. Rasulullah saww bersabda, Barangsiapa mengumpat (ghibah) seorang muslim lelaki mau pun perempuan (yang tidak zalim) maka tidak diterima shalatnya, dan puasanya selama empat puluh hari empat puluh malam, kecuali orang diumpat memaafkannya [104] MERINGAN RINGANKAN SHALAT Meringan-ringankan atau meremehkan shalat juga termasuk sebab ditolaknya ibadah-ibadah kita. Imam al-Shadiq as mengatakan, Demi Allah! Bahwasanya ada seorang laki-laki yang melakukan shalat selama lima puluh tahun, tetapi tidak ada satu pun shalatnya yang diterima. Mana ada yang lebih mengerikan dari hal ini?! Demi Allah! Sesungguhnya kalian tidak tahu, baik dari tetangga atau sahabat kalian bahwa orang itu tidak diterima shalatnya karena ia meringan-ringankannya [105] MINUM KHAMAR

Tentang meminum khamar, Rasulullah saww diriwayatkan bersabda, Orang yang minum khamar tidak diterima shalatnya selama 40 subuh (hari) [106] Dalam riwayat lainnya, Imam Jafaral-Shadiq as juga berkata, Tidak diterima shalat peminum khamar selama 40 hari, kecuali ia bertaubat [107] TIDAK IKHLAS Rasulullah saww bersabda, Jika engkau melakukan amal (ibadah), lakukanlah semata-mata karena Allah dengan ikhlas, karena tidak akan diterima amal (ibadah) dari hamba-hamba-Nya, kecuali yang dilakukan dengan ikhlas [110] Laa hawla wa laa quwwata illa billah. Naskah : Quito Riantori

Jumat, 20 Mei 2011 23:11:20 WIB Berbakti kepada orang tua, akan melahirkan banyak kebaikan; terangkatnya musibah, lenyapnya masalah dan kesedihan. Sebagai bukti konkretnya, yaitu kisah tiga orang yang terperangkap di sebuah goa sempit karena sebongkah batu besar menutupi mulut goa. Mereka berdo'a dan bertawasul dengan amal shalih yang pernah mereka kerjakan. Salah seorang di antara tiga orang itu, bertawassul dengan baktinya kepada kedua orang tua. Dia memanjatkan do'a kepada Allah, dengan lantaran baktinya tersebut, hingga akhirnya menjadi sebab sirnanya kesengsaraan yang menghimpit. Dalam kisah nyata ini, seorang mukmin meyakini bahwa bakti kepada orang tua, menjadi salah satu faktor hilangnya musibah. Berbakti kepada orang tua juga akan menggoreskan kenangan kebaikan di benak anak-anaknya. Sehingga anak-anak juga akan menjadi insan-insan yang berbakti kepadanya, sebagai balasan baik dari budinya kepada ayah bundanya dahulu. Sebab, al jaza` min jinsil 'amal, balasan yang diterima oleh seseorang sejenis dengan apa yang dahulu pernah ia kerjakan. Sedangkan balasan akhiratnya, ialah syurga, yang luasnya seluas langit dan bumi. Dikisahkan dari Mua'wiyah bin Jahimah, ia bercerita: Aku bersama Nabi untuk meminta pertimbangan dalam berjihad. Maka Beliau bertanya,"Apakah kedua orang tuamu masih hidup?" Aku jawab,"Ya (masih hidup)!" Beliau berkata,"Temanilah mereka berdua. Sesungguhnya syurga berada di bawah telapak kaki keduanya."

Kewajiban Berbakti Kepada Orang Tua


Jumat, 5 Februari 2010 15:57:13 WIB Seorang mukmin yang berakal, sungguh sangat tidak pantas berbuat durhaka dan memutuskan hubungan dengan kedua orang tua, padahal ia mengetahui keutamaan berbakti kepadanya, dan balasannya yang mulia di dunia maupun di akhirat. Larangan ini sangat besar. Apabila telah mencapai usia lanjut, kedua orang tua akan mengalami kelemahan badan maupun pikiran. Bahkan keduanya bisa mengalami kondisi yang serba menyusahkan, sehingga menyebabkan seseorang mudah menggertak atau bersikap malas untuk melayaninya. Dalam keadaan demikian, Allah melarang setiap anak membentak, meskipun dengan ungkapan yang paling ringan. Tetapi Allah memerintahkan si anak supaya bertutur kata yang baik, merendahkan diri dalam perkataan maupun perbuatan di hadapan keduanya. Sebagaimana sikap seorang pembantu di hadapan majikannya. Demikian pula, Allah memerintahkan si anak supaya mendoakan keduanya, semoga Allah mengasihi keduanya sebagaimana keduanya telah mengasihi dan merawat si anak tatkala masih kecil. Sang ibu rela berjaga saat malam hari demi menidurkan anaknya. Iapun rela menahan rasa letih supaya si anak bisa beristirahat dengan cukup. Adapun bapaknya, ia berusaha sekuat tenaga mencari nafkah. Letih pikirannya, letih pula badannya. Semua itu, tidak lain ialah untuk memberi makan dan mencukupi kebutuhan si anak. Sehingga sepantasnya bagi si anak untuk berbakti kepada keduanya sebagai balasan atas kebaikannya.

Berbakti Kepada Kedua Orang Tua Lebih Didahulukan Atas Jihad Dan Hijrah
Jumat, 25 April 2008 13:51:43 WIB Di dalam kitab Subulus Salaam (III/78), ash-Shanani mengatakan, Lahiriahnya sama, apakah itu jihad fardhu ain maupun fardhu kifayah, dan baik merasa keberatan pada kedua orang tuanya

atau tidak. Jumhur ulama berpendapat bahwasanya diharamkan berjihad bagi seorang anak jika dilarang oleh kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya dengan syarat keduanya harus muslim, karena berbakti kepada keduanya adalah fardhu ain sementara jihad tersebut adalah fardhu kifayah, tetapi dalam jihad yang hukumnya fardhu ain, maka lebih didahulukan jihad. Jika ada yang mengatakan, Berbakti kepada kedua orang tua adalah fardhu ain juga sementara jihad pada saat diwajibkan, maka ia menjadi fardhu ain. Dengan demikian, keduanya berkedudukan sama, lalu di mana letak pendahuluan jihad? Dapat saya katakan, Karena kemaslahatannya lebih umum, di mana jihad dimaksudkan untuk menjaga agama sekaligus membela kaum muslimin, sehingga kemaslahatannya bersifat umum.

Pengaruh Berbakti Kepada Kedua Orang Tua


Kamis, 24 April 2008 14:01:44 WIB Dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma bahwasanya ada seseorang dari Arab badui menemuinya pada satu jalan di Makkah, lalu Abdullah bin Umar memberinya salam dan membawanya di atas keledai yang ia tumpangi dan dia berikan penutup kepala yang ada di atas kepalanya. Ibnu Dinar berkata, Lalu kami katakan kepadanya, Semoga Allah memperbaiki keadaanmu, sesungguhnya dia itu termasuk orang-orang badui dan orangorang badui ridha dengan pemberian yang sedikit. Lalu Abdullah bin Umar berkata, Sesungguhnya bapak orang ini adalah sahabat baik Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu dan sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda. Sesungguhnya kebaikan yang paling baik adalah menyambung tali silaturahmi yang dilakukan oleh seseorang terhadap keluarga orang kecintaan ayahnya

Durhaka Kepada Orang Tua Termasuk Dosa Besar


Rabu, 23 April 2008 14:41:25 WIB Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda. Dosa besar itu adalah syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa seseorang, dan sumpah palsu . Dari Abu Bakrah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, Pernah disebutkan dosa-dosa besar di dekat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, maka beliau bersabda: Syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua. Dan beliau bersandar lalu beliau duduk seraya berkata, Dan kesaksian palsu atau ucapan dusta . Anehnya, sekarang ini kita menyaksikan sebagian pemuda yang begitu tunduk kepada isteri mereka, sementara mereka durhaka kepada ibu mereka. Dan mereka tidak menyadari bahwasanya akan datang suatu hari dimana mereka akan membutuhkan bakti anak-anak mereka, sebagaimana orang tua mereka sekarang membutuhkan bakti mereka kepadanya. Dan balasan itu akan didapat seperti apa yang dikerjakan.

Menggapai Ridha Allah Dengan Berbakti Kepada Orang Tua


Kamis, 24 Mei 2007 14:17:24 WIB Yang dimaksud ihsan dalam pembahasan ini adalah berbakti kepada kedua orang tua, yaitu

menyampaikan setiap kebaikan kepada keduanya semampu kita dan bila memungkinkan mencegah gangguan kepada keduanya. Menurut Ibnu Athiyah, kita juga wajib mentaati keduanya dalam hal-hal yang mubah (yang diperbolehkan syariat), dan harus mengikuti apa-apa yang diperintahkan keduanya dan menjauhi apa-apa yang dilarang (selama tidak melanggar batasan-batasan Allah Azza wa Jalla). Sedangkan 'uququl walidain adalah gangguan yang ditimbulkan seorang anak terhadap keduanya, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contoh gangguan berupa perkataan, yaitu mengucapkan ah atau cis, berkata dengan kalimat yang keras atau menyakitkan hati, menggertak, mencaci maki dan lain-lain. Sedangkan yang berupa perbuatan adalah berlaku kasar, seperti memukul dengan tangan atau kaki bila orang tua menginginkan sesuatu atau menyuruh untuk memenuhi keinginannya, membenci, tidak mempedulikan.

Вам также может понравиться