Вы находитесь на странице: 1из 9

Maluku adalah sebuah provinsi di Indonesia. Ibukotanya adalah Ambon.

Pada tahun 1999, sebagian wilayah Provinsi Maluku dimekarkan menjadi Provinsi Maluku Utara, dengan ibukota di Sofifi. Provinsi Maluku terdiri atas gugusan kepulauan yang dikenal dengan Kepulauan Maluku. Suku bangsa Maluku didominasi oleh ras suku bangsa Melanesia Pasifik, yang masih berkerabat dengan beberapa bangsa kepulauan yang tersebar di kepulauan Samudra Pasifik. Banyak bukti kuat yang merujuk bahwa Maluku memiliki ikatan tradisi dengan bangsa bangsa kepulauan pasifik, seperti bahasa, lagu-lagu daerah, makanan, serta perangkat peralatan rumah tangga dan alat musik khas, contoh: Ukulele (yang terdapat pula dalam tradisi budaya Hawaii). Mereka umumnya memiliki kulit gelap, rambut ikal, kerangka tulang besar dan kuat, dan profil tubuh yang lebih atletis dibanding dengan suku-suku lain di Indonesia, dikarenakan mereka adalah suku kepulauan yang mana aktivitas laut seperti berlayar dan berenang merupakan kegiatan utama bagi kaum pria. Pada masa modern saat ini, banyak diantara mereka yang sudah memiliki darah campuran dengan suku lain, perkawinan dengan suku Minahasa, Sumatra, Jawa, bahkan kebanyakan dengan bangsa Eropa (umumnya Belanda dan Portugal) sudah lazim di masa modern ini, dan melahirkan keturunan keturunan baru, yang mana sudah bukan ras Melanesia murni lagi. Karena adanya percampuran kebudayaan dan ras dengan orang Eropa inilah maka Maluku merupakan satu-satunya wilayah Indonesia yang digolongkan sebagai daerah Mestizo. Bahkan hingga sekarang banyak marga di Maluku yang berasal bangsa asing seperti Belanda (van Afflen, van Room, de Wanna, de Kock, Kniesmeijer, Gaspersz, Ramschie, Payer, Ziljstra, van der Weden, dll) dan Portugal (da Costa, de Fretes, Que, Carliano, de Souza, de Carvalho, Pareira, Courbois, Frandescolli, dll). Ditemukan pula marga bangsa Spanyol (Oliviera, Diaz, de Jesus, Silvera, Rodriguez, Montefalcon, Mendoza, de Lopez, dll) serta Arab (Al-Kaff, Bakhwereez, Bahasoan, Al-Qadri, Alaydrus, Assegaff, dll). Cara penulisan marga asli Maluku pun masih mengikuti ejaan asing seperti Rieuwpassa (baca: Riupasa), Nikijuluw (baca: Nikiyulu), Louhenapessy (baca: Louhenapesi), Kallaij (baca: Kalai), Akyuwen (baca: Akiwen) Dewasa ini, masyarakat Maluku tidak hanya terdapat di Indonesia saja melainkan tersebar diberbagai negara di dunia. Kebanyakan dari mereka yang hijrah keluar negeri disebabkan olah berbagai alasan. Salah satu sebab yang paling klasik adalah perpindahan besar-besaran masyarakat Maluku ke Eropa (Belanda) pada tahun 1950an dan menetap disana hingga sekarang. Alasan lainnya adalah untuk mendapatkan kehidupan yang labih baik, menuntut ilmu, kawin-mengawin dengan bangsa lain, yang dikemudian hari menetap lalu memiliki generasi-generasi Maluku baru di belahan bumi lain. Para ekspatriat Maluku ini dapat ditemukan dalam komunitas yang cukup besar serta terkonsentrasi dibeberapa negara seperti Belanda, Inggris, Amerika Serikat, Rusia, Perancis, Belgia, Jerman dan berbagai benua lainnya.
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang memiliki keanekaragaman di dalam berbagai aspek kehidupan. Bukti nyata adanya kemajemukan di dalam masyarakat kita terlihat dalam beragamnya kebudayaan di Indonesia. Tidak dapat kita pungkiri bahwa kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, karsa manusia yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia. Tidak ada satu masyarakat pun yang tidak memiliki

kebudayaan. Begitu pula sebaliknya tidak akan ada kebudayaan tanpa adanya masyarakat. Ini berarti begitu besar kaitan antara kebudayaan dengan masyarakat. Kebiasaan masyarakat yang berbedabeda di karenakan setiap masyarakat / suku memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan suku liannya. Masyarakat Ambon, adalah salah satu masyarakat Indonesia yang berada di kawasan maluku. Setiap masyarakat pastilah memiliki kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat lainnya yang menjadi penanda keberadaan suatu masyarakat / suku. Begitu juga dengan masyarakat Ambon yang memiliki karekteristik kebudayaan yang berbeda. Keunikan kharakteristik suku Ambon ini tercermin dari kebudayaan yang mereka miliki baik dari segi agama, mata pencaharian, kesenian dan lain sebagainya. Suku Ambon dengan sekelumit kebudayaannya merupakan salah satu hal yang menarik untuk dipelajari dalam bidang kajian mata kuliah Pluralitas dan Integritas Nasional yang pada akhirnya akan menjadi bekal ilmu pengetahuan bagi kita dalam hal kebudayaan. B. RUMUSAN MASALAH Untuk memudahkan dalam penulisan dan pemahaman makalah ini, maka penulis merumuskan beberapa hal yang bersangkutan dengan kebudayaan masyarakat Ambon, yaitu : Bagaimanakah keadaan kebudayaan masyarakat Ambon ? Bagaimanakah masalah sosial yang ada dalam masyarakat Ambon? Bagaimanakah sistem interaksi dalam masyarakat Ambon ? Bagaimanakah stratifikasi masyarakat Ambon ? Bagaimanakah keadaan agama dalam masyarakat Ambon ? C. TUJUAN MAKALAH Adapun tujuan dari makalah ini yaitu : Agar pembaca dapat mengetahui kebudayaan masyarakat Ambon. Agar pembaca dapat memahami salah satu bentuk masalah sosial yang ada dalam masyarakat Ambon. Agar pembaca dapat menelaah sistem interaksi dalam kehidupan keseharian masyarakat Ambon. Agar pembaca dapat mengetahui akan stratifikasi yang ada dalam kehidupan masyarakat Ambon. Agar pembaca mengetahui bagaiman kehidupan beragama masyarakat Ambon. BAB II PEMBAHASAN A. IDENTIFIKASI Pulau Ambon adlah salah satu pulau yang ada di kepulauan Maluku atau provinsi maluku. Ambon merupakan ibukota propinsi Maluku yang berada di kawasan Maluku selatan. Penduduk aslinya tinggal didaerah perbukitan atau perdalaman pulau.penduduk pendatang yang dating dari bugis, makasar, button, dan jawa biasanya tinggal didaerah pinggir pantai. Setiap pulau dengan pulau yang lain memiliki perbedaan kebudayaan atau adat istiadat, hal ini disebabkan oleh gejala isolasi. Misalnya orang Tobaru dan Sou saling tidak mengetahui bahasa satu sama lainnya, maka oleh sebab itu mereka terpaksa memakai bahasa pengantar Ternate. Setiap pulau yang ada di pulau maluku telah mengembangkan kebudayaannya sendiri. Meskipun kebudayaan mereka berbeda-beda tapi ada beberapa unsurnya yang sama. B. BENTUK-BENTUK DESA Di Ambon desa dinamakan dengan negeri yang dikepalai oleh seorang Raja. Di dalam sebuah desa atau negeri terdapat beberapa perkampungan yang di pimpin oleh Aman. Di dalam sebuah perkampungan terdiri dari bagian kampung yang dipimpin oleh seorang Soa. Di dalam Soa terdapat beberapa rumah yang dipimpin oleh mata rumah. Pada zaman modern ini bentuk desa demikian telah mulai hilang. Karena sewaktu mereka pindah dari perdalaman ke dareah pesisir pantai kesatuan-kesatuan yang mereka adakan telah berpencar dan tidak menemukan satu sama lain. Rumah-rumah yang biasa mereka tempati ialah rumah pangung. Rumah-rumah penduduk asli sangat berbeda dengan penduduk yang datang, masyarakat islam dan masyarakat nasrani yang tidak bertiang sejajar dengan tanah. Rumah kepala Soa biasanya selalu dibangun dengan megah dan indah ala perumahan Eropa. C. MATA PENCAHRIAN HIDUP Pada umunya masyarakat Ambon menafkahi kehidupannya dengan bertani, berdagang,dan nelayan. Hasil pertaniannya ialah sagu, kentang, dan padi. Dan hasil perkebunannya seperti kopi, tebu, tembakau, singkong, jagung, dan kacang. Sedangkan hasil panen berupa buah-buahan ialah pisang, manga, gandaria, dan durian. Bagi penduduk Ambon yang tinggal di daerah pesisir biasnya mereka berprofesi sebagai nelayan. Nelayan Ambon dalam pelayaran menangkap ikan

menggunakan perahu yang dibuat dari sabatang kayu besar dan di lengkapi dengan sebuah cadik. Hasil panen yng mereka dpati dri bertani, berkebun, dan menangkap ikan, biasanya mereka konsumsi sendiri. Hasil panen yang berlebih dari kebutuhan pokoknya, mereka jual kepasar guna mendaptkan uang demi kebutuhan pokok yang lain seperti bayar pajak, biaya sekolah, pangan, dan papan. D. SISTEM KEMASYARAKATAN Dalam system kemasyarakatan masyarakat Ambon mengambil system kekerabatan yang bersifat ke-Ayahan Patrilineal. Di dalam kekerabatan yang memegang peranan penting ada dua yaitu Mata rantai, mata rumah ini biasanya bertugas mengatur perkawinan warganya secara Exogami dan dalam hal mengatur penggunaan tanah-tanah dati tanah milik kerabat patrilineal. Family, family merupakan kesatuan terkecil dalam mata rumah. Family ini berfungsi sebagai pengatur pernikahan klenya. Perkawinan dalam masyarakat Ambon merupakan urusan mata rumah dan family. Di dalam masyarakat Ambon perkawinan di kenal dengan beberapa macam, diantaranya : a. Kawin minta ialah perkawinan yang terjadi apabila seorang pemuda telah menemukan seorang gadis yang akan dijadikan istri, maka pemuda in meminta pada mata rumah dan family untuk melamarnya. Sebelum acara pelamaran para mata rumah dan family mengadakan rapat adat satu klen dalam persiapan acara pelamaran. b. Kawin lari atau lari bini adalah system perkawinan yang paling lazim di lakukan oleh masyarakat Ambon. Hal ini di karenakan oleh masyarakat Ambon lebih suka jalan pendek, untuk menghindari prosedur perundingan dan upacara adat. c. Kawin masuk atau kawin menua yaitu perkawinan yang pengantin laki-lakinya tinggal di rumah pengantin perempuannya. Perkawinan ini terjadi apabila : Kaum kerabat si pengantin tidak dapat membayar maskawin secara adat. Penganten perempuan merupakan anak tunggal dalam keluarganya. Karena ayah dari pengaten laki-laki tidak setuju dengan perkawinan tersebut Organisasi-organisasi dalam system kemasyarakatan Ambon ialah : Patalima dan Patasiwa Patalima adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh kaum alifuru dari barat. Patasiwa ialah sebauh organisasi yang didirikan oleh anggota Patalima yang pindah ke daerah timur Ambon. Jojaro dan Ngungare Jojaro ialah sebuah organisasi yang terdiri dari para pemudi yang belum menikah. Ngunare adalah sebuah organisasi yang terdiri dari para pemuda Ambon yang belum menikah. Pela Pela adalah sebuah organisasi / persatuan-persatuan persahabatan antara warga-warga dari dua desa atau lebih dal;am masyarakat Ambon bagian perdesaan. Organisasi ini tidak dibatasi oleh agama, siapapun boleh masuk asalkan masyarakat Ambon. E. RELIGI Agama yang dianut oleh masyarakat Ambon pada umumnya ialah Islam dan Nasrani. Meskipun masyarakat Ambon telah beragama Islam dan Nasrani tetapi sisa-sisa agama yang asli masih mereka anut. Mereka masih percaya akan adanya roh-roh yang harus dihormatidan diberi makanminum, dan tempat tinggal, agar tidak menganggu. Kehidupan manusia. Acara adat yang berhubungan dengan religi ialah : Masuk Baileu ( Rumah Adat masyarakat Ambon ) Untuk masuk baileu orang harus melakukan upacara lebih dahulu yaitu minta izin pada roh-roh yang ada di baileu. Dalam upacara ini, mauweng mengorbankan seekor sapi. Cuci Negri Di daerah jawa, acara adapt ini di kenal dengan bersih desa. Dalam acara ini semua penduduk di wajibkan membersihkan rumah, perkarangan, dan baileu. Upacara ini jika tidak dilakukan maka seluruh desa bias kejangkitan penyakit atau panennya gagal. Kain Berkat Sebuh tradisi dalam pernikahan masyarakat Ambon, yaitu pembayaran berupa kain putih dan minuman kerasa ( tuak ) oleh klen pengaten laki-laki kepada klen pengaten perempuan. Jika tidak dilakukan maka keluarga muda itu akan jadi sakit dan mati. F. MASALAH PEMBANGUNAN DAN MODERNISASI Sektor pembagunan dan modernisasi masyarakat Ambon ialah pertanian, perkebunan, dan perdagangan. Dalam perdagangan mungkin tidak bisa dikembangkan, karena sarana pra sarana masih kurang memadai. Dalam masalah pendidikan pada zaman sekarang, masyarakat Ambon telah jauh berkembang menuju Modernisasi denga adanya sekolah-sekolah

dasar, menengah, dan universitas Ambon. Meskipun Fakultas Perikanan ada sebagai pembantu masyarakat dalam mengetahui / mempelajari tentang perikanan tetapi yang sangat dibutuhkan masyarakat Ambon adalah sekaloh perikanan menengah pertama. Organisasi yang ada dalam masyarakat Ambon adalah modal awal dalam pembangunan. Dalam organisasi kita diajarkan bertanggung jawab terhadap anggota dan organisasi. Rasa tanggung jawab yang mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Ambon, biasanya tidak bisa dimport oleh anggota organisassi luar. Para petugas pembangunan masyarakat desa sebaiknya memperhatikan adanya organisasiorganisasi di daerah perdesaan Ambon pada khususnya, Indonesia pada umumnya. Kemudian memodernisasikan dan mengembangkannya. BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Masyarakat Ambon tinggal di salah satu kepulaun maluku, Seram. Penduduk aslinya tinggal di perbukitan dan perdalaman pulau. Mereka tinggal berkelompok-kelompok yang dipimpin oleh seorang mata ruman dan family. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang Soa. Masyarakat yang tinggal di dalam suatu desa atau negeri dipimpin oleh seorang Raja. Masyarakat Ambon memenuhi kebutuhan hidupnya dengan pertania, perkebunan, dan perikanan. Hasil panen yang berlebih dari kebutuhan pokok mereka jual. Uang hasil penjualan tersebut digunakan untuk membeli kebutua pokok lainnya. Dalam pernikahan, masyarakat Ambon lebih senang terhadap kawin lari. Karena masyarakat Ambon lebih suka jalan pendek, untuk menghindari prosedur perundingan dan upacara adat. Masyarakat Ambon memiliki sebuah organisasi yang sangat berpengaruh dalam pengembangan pemangunan masyarakat desa, yaitu organisasi Pela. Pela sebuah organisasi / persatuan-persatuan persahabatan antara warga-warga dari dua desa atau lebih dal;am masyarakat Ambon bagian perdesaan. Organisasi ini tidak dibatasi oleh agama, siapapun boleh masuk asalkan masyarakat Ambon. B. SARAN Kebudayaan yang dimiliki suku Ambon ini menjadi salah satu kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang perlu tetap dijaga kelestariannya. Dengan membuat makalah suku Ambon ini diharapkan dapat lebih mengetahui lebih jauh mengenai kebudayaan suku Ambon tersebut dan dapat menambah wawasan serta pengetahuan yang pada kelanjutannya dapat bermanfaat dalam dunia kependidikan

Pendahuluan Orang tidak dapat memahami secara tepat setiap fenomena kemanusiaan (baik tradisi, budaya, agama, karaktek hidup, bahasa, sistem kekerabatan, pemerintahan, kekuasaan, dan sebagainya) tanpa punya pemahamana yang jelas tentang filosofi manusia itu sendiri. Sebab kalaupun kita mengacu pada pemahaman filsafat sebagai bentuk penghayatan intelektual atas realitas kehidupan secara utuh. Dan penghayatan tersebut menyentuh segala kenyataan manusiawi, baik untuk kepentingan keilmuan (ilmiah) maupun kehidupan praksis (Aholiab Watloly, 2005: 201). Maka, dalam konteks Masyarakat Maluku yang secara geo fisik, historis maupun sosiologis, menamakan diri sebagai Provinsi seribu pulau, secara filosofis, mengandaikan sebuah mainstream kesadaran diri sebagai sebuah masyarakat kepulauan yang teranyam dari serat-serat masyarakat pulau kecil dan besar yang saling berjauhan, dengan otonomi diri yang multi tipikal serta aneka penampakan lahiriah dan bathiniahnya yang hakiki dan mendasar. Realitas tersebut, pada dirinya memiliki: konsep diri (true self) dan tata nilai (value system), serta kebijaksanaan hidup (local wisdom), dalam sebuah tatanan habitual[1] yang tidak dapat diganti atau dihilangkan. Olehnya pengenalan yang jelas tentang filosofi manusia Maluku itu sendiri adalah sebuah imperatif yang tidak tidak harus diabaikan. Menurut Watloly, filosofi manusia Maluku akan membimbing setiap anak negeri dan sesama yang lain yang berminat mengenal hakikat kemanusiaan anak negeri, untuk secara kritis

mempertanyakan dan mencari jawaban atas berbagai pertanyaan serta mengupas misteri mengenai apa, siapa dan bagaimana manusia Maluku itu sendiri. Bahkan filsafat manusia Maluku akan membimbing orang hingga sampai pada sikap untuk mempertanyakan arti menjadi manusia Maluku, asal datangnya manusia Maluku, tujuan manusia Maluku setelah mati, asalan manusia Maluku berada di bumi, martabat terindah manusia Maluku maupun hakekat manusia Maluku itu sendiri.[2] Sejalan dengan Watloly, Elifas Maspaitella dalam mengenal manusia Maluku kita tidak bisa melepaskannya dengan budaya. Olehnya sketsa filosofi kebudayaan Maluku membantu kita untuk mengenal segala energi yang menggerakkan manusia untuk menghasilkan suatu kebudayaan. Mengenal energi yang menggerakkan manusia, berarti mengenal manusia dengan hasil karyanya. Ini tidak lain dari suatu usaha mengenal semesta budaya itu dalam seluruh esensi dan eksistensinya; terutama di dalamnya manusia, sebab manusia adalah suatu produk berbudaya, manusia juga adalah penghasil budaya, dan manusia kemudian memberi diri diatur oleh sistem di dalam kebudayaannya.[3] Hakekat manusia Maluku pada kenyataannya dapat dilihat dalam falsafah Siwa-Lima, Lavulngabal, Masohi, Pela, Duan-Lolat, Pukul Sapu, Cuci Negeri, dan sebagainya. Melalui jendela kebudayaan inilah manusia Maluku menuturkan apa, siapa dan mengapa dirinya serta bagaimana keharusan untuk menjadi manusia yang aktual dan fungsional bagi dirinya sendiri maupun gambaran diri sosial dalam membangun eksistensi sosialnya. Begitu luasnya cakupan itu, maka dalam penulisan ini saya mencoba membatasinya ke dalam upaya untuk menggali falsafah pela, di Maluku Tengah sebagai ekspresi budaya yang sebetulnya syarat dengan nilai-nilai filosofis dan mencirikan manusia Maluku yang bukan hanya manusia berpribadi tunggal, melainkan ekspresi manusia Maluku yang memahami diri kebersamaan sebagai homo sosial. Menggali Falsafah Pela Jhon Chr. Ruhulessin dalam disertasinya mengemukakan bahwa sejarah pela di Maluku Tengah tidak dapat dilepaspisahkan dari mitos masyarakat di Pulau Seram. Pekembangan pela di Maluku Tengah berhubungan erat dengan terjadinya peristiwa eksodus kelompok suku yang di sebabkan perpecahan. Hal itu disebabkan terjadinya pertambahan penduduk sedangkan kapasitas sumber daya alam yang dapat diperoleh terbatas. Dalam proses migrasi ini tidak dapat dihindari terjadinya perang antar-suku sebagai upaya mempertahankan diri.[4] Untuk memahaminya, menurut Ruhulessin dari perkembangan pengertian pela dari peia hingga pela, dari model kakehan hingga model masyarakat yang makin bergerak ke masa depan, justru menunjukkan bahwa pela merupakan model yang dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat.[5] Baginya pela memiliki arti yang mendalam dan syarat dengan makna filosofisnya. Jika Pela, dalam konteks Maluku hendak dipakai sebagai nilai umum (common values) untuk terciptanya suatu kehidupan yang lebih baik di masa kini, maka keinginan itu bukan sesuatu konsep berfikir yang tidak memiliki dasar historis. Itu berarti untuk memahami pela secara baik maka perlulah melihat sejarah pela untuk mengeksplorasi nilai dibaliknya. Sebelum melangkah jauh, ada baiknya saya mengawalinya dengan mengenal dulu apa itu pela. Langkah ini kita akan sangat terbantu oleh penjelasan Ruhulessin mengenai pela. Menurutnya sekurang-kurangnya ada tiga macam pengertian yang dipengaruhi oleh lingkungan kebahasaan. Pertama, dalam lingkungan kebahasaan daerah Uli Hatuhaha di

pulau Haruku (Pelauw, Kailolo, Kabaue, Rohomoni dan Hulaliu) kata pela berarti sudah ini terlihat pada pengalimatan, Ale Pamana Pela yang artinya apakah kamu sudah makan. Kedua, lingkungan kebahasaan Uli Solimata di Pulau Ambon (Tulehu, Tenggah-tenggah, dan Tial), Pela berarti cukup, contoh penggunaan bahasa terlihat dalam kalimat Mahaya Taha Pela yang artinya makanan tidak cukup. Istilah Peia sama dengan istilah pela nia yang berarti sampe jua atau berhentilah. Ketiga, dalam lingkungan bahasa mayarakat di Seram di aksarakan dengan kata peia yang menujuk pada pengertian saudara yang terambil dari tradisi kakehan[6]. Saudara dalam tradisi kakehan[7] tidak menujuk pada hubungan yang berdasarkan faktor genelogis melainkan anggota suku. tetapi selain pengertian-pengertian di atas ada juga asumsi bahwa kata pela berasal dari kata Pila, yang berarti buatlah sesuatu untuk kita bersama-sama. Kadang-kadang kata pila diberi akhiran tu menjadi pilatu. Pilatu berarti menguatkan, mengamankan atau mengusahakan sesuatu benda tidak mudah rusak atau pecah. Kemudian itu berubah artinya, yaitu dari sesuatu usaha untuk mengamankan atau menyelamatkan.[8] Dari semua pengertian yang terlihat di atas, kita mendapatkan konsep dasar yang jelas untuk memahami perilaku manusia dalam kaitan dengan Agama. Ada hal-hal mendasar yang diperlihatkan dalam Pela, yang sangat sarat kandungan persaudaraan, persahabatan, dan persekutuan. Untuk lebih jelasnya dikemukakan beberapa pendapat oleh pakar-pakar budaya: 1. DR. Frank Cooley, dalam disertasinya di Yale University mengartikan pela sebagai suatu ikatan atau hubungan persaudaraan antara seluruh penduduk dari dua desa atau lebih berdasarkan adat. Pela as it is found at present in Mollucan societies, is an Institutionalized bond of friendship or brotherhood between all native residents of two or more village, which bond was established by the ancestors (F. L. Cooley, 1987: 183). 2. DR. Dieter Bartels, dalam disertasinya mengartikan pela sebagai suatu perserikatan atau sistem persahabatan antara beberapa buah kampung atau negeri. The keystone among several centerpieces is an inter-village alliance system called pela. Pela as it exist in Ambon today, is a system of relationship tyng together two or more village, often for apart an frequently on different island (Dieter Bartels, 1977: 28-29). 3. DR. Piet Tanamal, dalam bukunya Pengabdian dan Perjuangan, mengatakan bahwa salah satu bentuk kekeluargaan dan ikatan persaudaraan yang nilainya tetap kokoh sampai sekarang ialah hubungan Pela. Istilah pela ini kurang jelas artinya jika dilihat dari segi Bahasa Tanah Maluku. Di kalangan kelompok masyarakat Peristiwa di Seram Barat dikenal istilah pela-pela yang berarti simbol atau gambar yang dilukiskan anggota tubuh dengan pola dan bentuk yang mempunyai arti atau pesan tertentu. Ia telah menjadi simbol kesatuan dari satu kelompok. Istilah pela dalam kenyataan menunjuk pada ikatan kesatuan dan persaudaraan antara dua atau lebih negeri baik Islam maupun Kristen (Tanamal P, 1985 : 18 ).[9] Pada dasarnya, ada tiga jenis pela, yaitu (1) pela keras, (2) (pela gandong atau bungso) dan (3) pela tempat sirih. Pela keras bermula karena adanya peristiwa besar tertentu, biasanya berkaitan dengan perang, seperti pertumpahan darah, pertempuran yang tidak berakhir, atau

bantuan luar biasa yang diberikan oleh satu desa kepada desa lain. Jenis pela kedua didasarkan pada ikatan keturunan keluarga; yaitu, satu atau beberapa suku/marga di desa-desa yang berbeda mengklaim memiliki leluhur yang sama. Hal ini dapat mengarah pada kesimpulan sebuah pakta perjanjian antara desa-desa yang memiliki asal-usul suku/marga yang sama. Pada tahap ini, tali kekerabatan diteruskan kepada setiap orang di desa-desa yang kemudian bersekutu. Pela tempat sirih dihasilkan setelah peristiwa kecil, seperti untuk memulihkan kedamaian, setelah ada pertikaian kecil atau setelah satu desa memberi bantuan kepada desa lain. Pela ini juga dibuat untuk mendukung hubungan perdagangan. Untuk semua maksud dan tujuan, pela keras dan pela keturunan berfungsi dengan cara yang sama. Keduanya dihasilkan melalui sebuah sumpah kuat yang disertai dengan sanksi kutukan bagi setiap calon pelanggar perjanjian. Para peserta kemudian meminum ramuan campuran tuak dan darah yang diambil dari pemimpin dari dua kelompok, setelah pencelupan senjata-senjata dan benda tajam lain ke dalamnya. Benda-benda ini akan melawan dan membunuh setiap pelanggar. Pertukaran darah menandakan ikatan persaudaraan tersebut [10]. Dalam berbagai penjelasan di atas, secara filosofi ternyata, pela bukan sekedar berhubungan dimaknai sebagai ikatan geneologis. Namun lebih dari pada itu merupakan ikatan sosial yang melintasi batas-batas kesukuan maupun agama (Islam atau Kristen)[11] dari tiap-tiap desa/negeri yang berpela. Pela sebetulnya mencirikan wacana kontekstual (local genius) anak negeri Maluku yang memberi semacam kode pemikiran dan keyakinan yang memberi petunjuk tentang mesteri manusia Maluku sebagai keadaan yang bersifat antropormorphis dan sosia-religius. Bahkan daya eksis dan daya mengada manusia Maluku sebagai rumpun budaya dan merupakan bukti autentik bahwa imajinasi adatis dan religius yang mampu memproduksi serta menghadirkan identitas manusia Maluku untuk memahami dan mentransformasi eksistensi sejarahnya yang khas. Bahkan dipertegas oleh Watloly sebagai pembentukan kepribadian diri sebagai brother and sister.[12] Pela: Sketsa Manusia Maluku Yang Homo Sosial Telaah filosofi manusia Maluku yang tergambar dalam pela di Maluku Tengah melalui pendekatan sosial-budaya di atas, sebetulnya membantu kita untuk membongkar dan mengungkapkan aneka kerangka epistemik (pikiran) dan peristiwa budaya yang hendak menuturkan siapa, mengapa dan bagaimana manusia (Maluku) itu. falsafah yang mendasari ikatan pela sebetulnya mengimpresikan pemaknaan manusia Maluku yang tidak saja memiliki makna individual, tetapi terhisap ke dalam makna sosialitas. Pemaknaan ini memberikan gambaran bahwa ontologis filsafat budaya Maluku yang tercermin dalam pela adalah suatu semesta makna yang lahir dari basis-basis nilai bersama, apa yang kemudian dibahasakan oleh Watloly sebagai mesin eksistensi anak negeri.[13] Pendasaran ontologis[14] dari pela sebetulnya mencirikan proses ada atau adaan manusia kepulauan yang tidak hanya mencirikan bentuk rupa diri, warna kulit dan ego personal semata, namun lebih daripada itu mengimpresikan aspek dinamis berupa proses sosial yang menandai dinamika eksistensi manusia kepulauan. Proses sosial ini turut membentuk berbagai lembaga adatis atau local wisdom sebagai hasil interpertasi untuk mengatur lakon hidup manusia Maluku dalam pemaknaan sosialitasnya. Sehingga mungkin benar apa yang dikatakan oleh Marthin Heidegger (filsuf eksistensialis)[15] menunjukkan bahwa bila hakikat ada merupakan fakta obyektif dan konstitutif karena menunjuk pada aspek ego kesosialan masyarakat (kepulauan) maka hakikat keber-ada-annya lebih menunjuk pada aspek dinamisnya, yaitu aspek aku-engkau (ego-emi) dalam sebuah pertautan social. Jadi, struktur keberadaan masyarakat kepulauan Maluku lebih menyangkut peristiwa subyektif, serta nilai

rasa yang mendinamisasi kehidupan sosial atau hubungan sosial (social affairs) masyarakatnya. Artinya, pandangan masyarakat kepulauan Maluku tentang eksistensinya, merupakan sebuah konstruksi sosial yang membentuk sebuah pandangan dunia (world view) tentang keberadaannya yang hakiki dan mendasar yang tercermin dalam pela tersebut. Pemaknaan sosialitas tersebut nampak dalam beberapa asas pela yang terlahir dan mengikat negeri-negeri yang berpela. Beberapa asas itu diantaranya; (1) Negeri- negeri yang berpela itu berkewajiban untuk saling membantu pada masa genting (bencana alam, peperangan,dll), (2) Jika diminta, maka negeri yang satu itu wajib memberi bantuan kepada negeri yang lain yang hendak melaksanakan pekerjaan-pekerjaan demi kepentingan kesejahteraan umum, seperti umpamaya: pembanguanan rumah gereja, mesjid; dan sekolah;(3) Jikalau seorang mengunjungi negeri yang berpela itu, orang-orang negeri itu wajib untuk memberi makanan kepadanya; tamu yang sepela itu tidak usah minta izin untuk membawa pulang apa-apa dari hasil kebun atau buah-buahan menurut kesukaannya;(4) Semua penduduk negeri-negeri yang berhubungan pela itu dianggap sedarah; sebab itu dua orang yang sepela itu tidak boleh kawin karena di pandang sumbang. Tiap pelanggaran terhadap aturan itu akan dihukum keras oleh nenek moyang yang mengikrarkan pela itu. Contoh-contoh penghukuman yaitu sakit, mati dan kesusahan lain yang kena si pelanggar sendiri ataupun anak-anaknya. Jikalau mereka yang melanggar pantangan kawin itu, ditangkap mereka disuruh berjalan mengelilingi negeri-negerinya, dengan hanya berpakaian daun kelapa sedangkan penghuni negeri mencaki makinya. Sebaliknya pula pela tempat sirih diadakan dengan tiada bersumpah, hanya dengan menukar dan mengunyah sirih bersama, suatu kebiasaan adat untuk mengaitkan persahabatan antara orang yang tidak mengenal satu sama lain. Memang pela tempat sirih itu sebetulnya merupakan suatu perjanjian persahabatan. Kawin-mengawini diperbolehkan dan segala tolong menolong itu adalah bersifat sukarela dan tidak dituntut mutlak karena ancaman penghukuman nenek moyang. Asas-asas pela sebetulnya mencirikan manusia Maluku yang dalam eksistensinya tidak hanya mencari makna dan kesejatian hidupnya sebatas dalam hal men-tubuh (pribadi), tetapi men-sosial. Atau menghadapkanbukan dirinya bukan hanya sebagai suatu fakta, tetapi juga masalah sehingga ia akan selalu mempertanyakan argumentasi-argumentasi mengapa ia ada dan mengapa ia bereksistensi sehingga mendorongnya untuk pengembangan potensi untuk diri sendiri maupun masyarakat. Kandungan filosofi pela turut mencirikan manusia Maluku sebagai homo sosial, yang dalam proses kemenjadiannya mendorong terjadinya perkembangan-perkembangan yang tidak akan pernah final. Sebagai subyek yang belum final, manusia Maluku bukanlah hasil ciptaan yang tidak tuntas oleh Penciptanya. Secara fisik dan psikhis ia diciptakan tuntas, tetapi eksistensi kemanusiaannya adalah suatu proses menjadi (on being human). Dalam proses menjadi itu, ia dihadapkan pada apa yang dikatakan Watloly sebagai globalita dan lokalitanya.[16] Falsafah pela sebetulnya membentuk sketsa filosofi manusia Maluku yang lahir dalam budaya dan diperlakukan sejak dari kandungan sampai meninggal juga dengan kandungan adat yang konsisten. Adat karena itu menjadi sistem norma yang bisa menjelaskan eksistensi manusia Maluku baik person maupun komunal. Adat membentuk basis-basis genealogis, atau asal-usul manusia. Karena itu negeri-negeri kita lebih bercorak sosio-genealogis, ketimbang sosio-politis. Keterpautan adat dan eksistensi ini yang mungkin juga dimaknai Jacques Derrida[17] tentang kemurnian eksistensi. Artinya eksistensi manusia itu tidak bisa dihindarkan, walau sering ada juga ketidakmurnian. Maksudnya bisa saja suatu eksistensi yang dipahami bersumber dari asal usul yang tampaknya sederhana bisa datang dari yang bukan asal usul.

Ungkapan-ungkapan seperti katong samua orang basudara maupun ale rasa, beta rasa sebetulnya mencerminkan sketsa manusia Maluku yang tidak hanya berhubungan secara faktor geneologis semata, namun lebih daripada itu mengeskpresikan manusia Maluku sebagai makhluk sosial yang sangat adatis. Dalam pela tercermin pemaknaan manusia Maluku yang sangat menjunjung tinggi kolektifitas atau kebersamaan sebagai orang basudara tadi. Sehingga tidak jarang kalau ikatan berpela ini turut membentuk perilaku dan sikap hidup manusia Maluku, khususnya Maluku Tengah. Hal ini nampak juga dalam berbagai relasi sosial, termasuk konflik-konflik sosial. Jika ada dua negeri/desa yang berkonflik, maka akan membangkitkan semangat solidaritas dari desa/negeri lain yang berpela dengan desa/negeri yang bertikai tadi. Perasaan solidaritas itupun nampak dalam setiap eksistensi anak negeri Maluku, tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu tertentu. Bahkan tidak jarang, upaya untuk menghidupkan kembali semangat solidaritas diantara negeri-negeri atau desa-desa yang berpela maka ada kesepakatan-kesepakatan untuk mengadakan panas pela. Panas pela dimaksudkan untuk kembali membentuk atau memanasi lagi semangat solidaritas diantara dua atau lebih negeri/desa yang berpela yang menembusi batas-batas perbedaan apapun. Penutup Demikian seadanya beberapa pikiran yang dianyam dari telaah filosofi yang dangkal, khususnya menggali tradisi pela di Maluku Tengah. Semoga menjadi bahan dasar untuk didebatkan kemudian. Sekian !!!

Вам также может понравиться