Вы находитесь на странице: 1из 11

INTISARI EKSTRA JUNI 2011 INDONESIA BISA

Ke Pelosok, Aku kan Mengajar


Penulis Siska Widyawati, Kontributor Intisari

Di zaman yang serbamaterial seperti sekarang, sulit membayangkan anak muda berotak cemerlang rela menjadi guru di daerah terpencil dengan fasilitas minim. Namun 51 anak muda Indonesia membuktikan sebaliknya.Langkah berani mereka segera diikuti oleh ribuan lainnya. Mimpi Adeline Magdalena (24) menjadi peneliti sudah dekat. Setelah lulus dari Institut Teknologi Bandung (ITB) pada April 2010, sebuah perguruan tinggi di Belanda telah menunggunya untuk program beasiswa master. Siapa yang tidak mau bersekolah cuma-cuma di luar negeri? Ternyata pilihan perempuan keturunan tionghoa yang akrab dipanggil Aline ini tidak seperti orang kebanyakan. Sebuah email datang mengubah rencana hidupnya. Aline menemukan surat terbuka dari Pak Anies (Anies Baswedan, red) di sebuah mailing list. Sejak itu banyak rencana hidup yang berubah,ujarnya. Surat tersebut berisi ajakan untuk mengabdi menjadi guru di tempat-tempat terpencil di Indonesia selama setahun. Indonesia Mengajar, begitu nama gerakan idealis itu. Ajakan yang tidak biasa.

Sejak dulu Aline ingin bepergian ke daerah-daerah di Indonesia. Tapi, terus terang agak seram pergi sendirian, karena Aline warga keturunan. Tapi, ini lembaga yang bagus, kesempatan ini sekali seumur hidup. Sekolah bisa cari lagi nanti, katanya ringan. Aline pun melamar melalui website bersama lebih dari seribu anak muda lain yang terketuk dengan ajakan revolusioner tersebut. Setelah melalui saringan yang ketat, Sarjana Sains jurusan Ilmu Biologi ini pun terpilih menjadi salah satu Pengajar Muda. Sejak November 2010, ia resmi menjadi guru di SDN Inpres 29 dusun Totolisi, Kabupaten Majene, Sulawesi Selatan. Senada dengan Aline, Bagus Arya Wirapati (22) juga tanpa ragu meninggalkan karir yang menjanjikan sebagai Asisten Peneliti di Bank Indonesia ketika lamarannya menjadi Pengajar Muda diterima. Saat itu saya mengundurkan diri. Berhenti, sebelum kontrak selesai. Saya nggak tahu peraturannya harus bayar atau gimana, tapi saat saya terangkan alasan saya pada atasan, dia menerima dan mendukung penuh,ujarnya. Menjadi guru di pelosok Indonesia adalah satu bentuk idealisme bagi sarjana ekonomi Universitas Indonesia yang kerap dipanggil Roy ini. Apalagi, jika itu berkaitan dengan pengentasan kemiskinan. Roy pernah terpilih menjadi Top 20 Authors dari 2.000 peserta yang berasal dari 150 negara dalam World Banks Essay Competition mengenai Tackling Youth Unemployment. Idenya mengenai Koperasi Pemuda diakui World Bank sebagai salah satu ide terbaik. Berbeda dengan Aline dan Roy, Ridwan Wijaya (24) sejak awal sudah menunjukkan ketertarikan pada dunia pendidikan. Dengan latar belakang keluarga yang turun-temurun menjadi

guru, tawaran untuk mengajar selama setahun di desa terpencil merupakan hal yang yang ia nantikan. Saya dan teman-teman pernah buat konsultan pendidikan. Kami peduli dengan pendidikan di Indonesia. Jadi, ketika tim Indonesia Mengajar roadshow ke kampus, saya otomatis mendaftar, ujar Ridwan yang baru saja lulus dari Teknik Industri ITB pada 2010. Wajah Lain Indonesia Aline, Roy dan Ridwan beserta ke-48 orang anak muda lain diberangkatkan tepat pada Hari Pahlawan, 10 November 2010, menuju lima kabupaten yang tersebar di seluruh Indonesia yaitu Tulang Bawang Barat, Bengkalis, Majene, Paser dan Halmahera Selatan. Mereka siap mengajar di daerah terpencil setelah melalui training yang intensif selama tujuh minggu. Training itu meliputi kecakapan mengajar, menyusun kurikulum, praktik mengajar, memahami prinsip survival di alam bebas, serta kepemimpinan. Kami sempat ditinggal di pegunungan hanya dengan bekal gula merah dan garam selama tiga hari dua malam, kenang Roy yang saat ini ditempatkan di SDN 28, Pangkalan Nyirih, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Kepulauan Riau. Israr Ardiansyah, Community Engagement Manager di Indonesia Mengajar mengatakan bahwa di samping kecakapan mengajar yang merupakan hal utama, keahlian untuk survival di alam bebas juga dibutuhkan. Maklum, daerah penempatan mereka amat terpencil, jauh dari sentuhan dunia modern.

Ambil contoh Ridwan, yang butuh waktu delapan jam dari Balikpapan, ibu kota Kalimantan Timur, untuk menuju desa tempatnya mengabdi, Tanjung Aru. Dia harus menempuhnya melalui darat dan laut. Kota terdekat hanya bisa dicapai dengan kapal kecil, sering disebut klotok. Kami menyeberang laut selama dua jam. Kemudian menuju ibukota kabupaten sekitar empat jam. Kalau ingin belanja ke mall atau menghirup suasana kota, harus ke Balikpapan. Jarak tempuhnya sekitar 3,5 jam dari ibukota kabupaten terangnya. Menurut Ridwan, di desanya listrik hanya ada pada malam hari, sedangkan siang hari dipastikan listrik mati. Ia saat ini juga harus berjuang melawan gatal-gatal yang menyebabkan koreng di kulitnya. Pastinya ini karena perbedaan cuaca. Saya berasal dari Bandung yang dingin, sedangkan di sini daerah pinggir pantai. Ini hanya penyesuaian saja, terang Ridwan yang saat ini mengajar di SDN 001 Tanjung Harapan, Tanjung Aru, Kab. Paser, Kalimantan Timur. Di Tolisi, Majene, tempat Aline bertugas, penduduknya adalah suku asli Mandar. Sebagian besar dari mereka tidak bisa berbahasa Indonesia. Bahasa utama untuk pengantar di sekolah adalah bahasa Mandar.
Bahkan, terkadang guru menerjemahkan soal-soal ujian dari pemda ke dalam bahasa tersebut, supaya bisa dijawab oleh murid-murid. Wajar saja pendidikan di daerah ini sangat terbelakang. Untuk sekadar memahami bahasa saja sulit, apalagi mendalami ilmu yang buku-bukunya berbahasa Indonesia, ungkap Aline dalam blognya. Ketika pertama kali datang ke desa, orang-orang datang mengerumuni Aline. Mereka tampak penasaran, tapi nggak ngomong, sebab mereka nggak bisa bahasa Indonesia, katanya.

Agar survive, Aline pun mempelajari sedikit demi sedikit bahasa Mandar. Tentu saja dibutuhkan perjuangan sendiri untuk hal ini. Selama enam bulan sejak ditempatkan, lebih dari 100 kata bahasa Mandar telah ia hapalkan. Selain bahasa, persepsi penduduk atas sosok perempuan kelahiran Jakarta ini pun membuahkan cerita tersendiri. Induk semangnya pernah didatangi polisi, karena memergoki Aline mengantarkan anakanak kelas 2 SD pulang setelah belajar. Polisi itu memarahi induk semang saya. Katanya Ada orang bule datang, kok, nggak dilaporkan!, kenang Aline sambil tertawa berderai-derai. Induk semangnya pun menerangkan kalau Aline adalah orang Indonesia asli dan punya Kartu Tanda Penduduk (KTP). Roy yang ditempatkan di Pulau Rupat, salah satu pulau terpencil di Kepulauan Riau, punya pengalaman yang tak kalah seru. Setiap hari, ia harus berjalan kaki ke sekolah yang berjarak lebih dari 4 km. Biasanya, saya nebeng naik sepeda motor. Kalau nggak ada, saya naik sepeda. Tapi, sekarang sepedanya rusak Jadi, saya harus jalan kaki setiap hari. Mungkin sekitar satu jam, ujarnya. Roy berjalan melintasi hutan karet yang menjadi ladang utama masyarakat tempatnya tinggal. Banyak orang bilang di sini banyak ular, tapi saya nggak pernah ketemu. Saya paling takut sama ular, cerita Roy. Berjuang menghadapi kendala geografis, bahasa dan budaya justru membuat Roy semakin lekat dengan desanya. Saya merasa sejak lahir sudah disini. Kalau ditanya mau pulang atau tidak, saya nggak mau pulang, kata Roy yang bercita-cita menjadi ekonom spesialis pengentasan kemiskinan. Satu hal yang membuatnya betah adalah kerukunan penduduknya. Di desa saya, ada empat suku yang berbedaJawa, Melayu, Cina dan Akit (suku asli di Pulau Rupat), tapi mereka hidup dengan damai.

Bahkan, kalau orang Cina atau orang Akit mengadakan pesta pernikahan, mereka minta orang Jawa dan Melayu yang memasak, sehingga semua orang bisa datang ke pesta, ungkapnya. Berbeda dari Roy, Aline mengakui mengalami homesick. Hari ini aku tidak masuk mengajar di sekolah. Masuk angin sepertinya, setelah beradu dengan angin terus menerus beberapa hari sebelumnya. Belum dengan ditambah banyak aktivitas mengajar, agak kurang tidur memikirkan satu dan lain hal, serta dinginnya udara pagi. Perutku sakit sekali rasanya. Aku bermimpi tadi pagi, ketika aku tidur meringkuk karena sakit perut. Di mimpi itu, papa dan mama di rumah datang berkunjung, memberikan kejutan yang tidak dapat kusambut baik karena kesakitan. Dalam kaget aku terbangun dan melihat kamar kosong. Oh, mimpi yang terasa sangat nyata, curhat Aline dalam blog-nya. Apa yang membuat perempuan yang bercita-cita menjadi peneliti biomedis tingkat dunia ini bertahan? Walau sosok Aline seperti ini, Aline 100% Indonesia. Kelak kalau berhasil melakukan terobosan dalam penelitian semua untuk Indonesia. Aline harus mengenal Indonesia. Aline harus tahu untuk siapa Alin bekerja, ujar peserta Young Scientist Exchange Program di Tokyo Institute of Technology tahun 2009 ini mantap. Di Totolisi, ribuan kilometer dari tempatnya lahir, di desa yang tak berbahasa Indonesia itu, Aline menemukan jawaban.

Jadi Konsultan IT dan Melawan Perdukunan Selain mengajar di sekolah yang minim fasilitas, para Pengajar Muda ini sering juga dianggap sebagai pemecah berbagai masalah di desa tempat mereka tinggal. Sering kali, masalah tidak berhubungan dengan tugas mereka sebagai guru.

Ridwan, misalnya, di sore hari berfungsi sebagai konsultan IT. Pegawai kecamatan kadang tiap sore sudah datang ke rumah. Mereka konsultasi cara mengetik di Ms. Word atau Excell, ungkap mantan ketua Himpunan Mahasiswa Teknik Industri ITB ini. Banyak juga yang memintanya menginstal modem. Orang-orang di desa itu menggunakan internet untuk membuka Facebook. Ridwan pun mulai mengenalkan sedikit demi sedikit fungsi mesin pencari informasi, seperti Google dan semacamnya. Kasus yang dihadapi Aline lebih pelik: pengobatan tradisional versus pengobatan modern. Ibu angkat Aline mempunyai benjolan di leher, bapak angkatnya menderita komplikasi diabetes, kolesterol dan anemia. Aline berjuang agar mereka mau menerima pengobatan dokter. Orang-orang desa merasa sangat tidak nyaman dengan dokter. Selama ini hidup berkumpul terus, bahkan untuk menyeberang ke kota pun mereka takut, ujarnya. Awalnya kedua kedua orang tua angkatnya ini pergi ke rumah sakit di kota. Tapi, ternyata ketakutan yang berlebihan dan informasi yang salah membuat keluarga angkatnya keluar dari rumah sakit dan pergi ke dukun. Masih bisa terima kalau yang dipakai itu ramuan tumbuh-tumbuhan. Itu pengobatan herbal. Tapi, kalau sudah pakai nyembur dan diusap pakai ludah, itu masih sulit diterima, ujar Aline. Akar tumbuhan yang dipakai mengobati kedua orangtua angkatnya disebut layatoke oleh masyarakat setempat. Aline sendiri belum menemukan nama latin dari tumbuhan tersebut. Merasa bertanggung jawab untuk mendekatkan mereka pada pengobatan modern, ia mengunjungi dokter sendirian dan meminta dokter menerangkan penyakit tersebut.

Semua saya rekam di tape recorder. Sepulang dari dokter, saya putar rekamannya di depan mereka. Akhirnya, mereka bisa menerima logika kedokteran dan mau meminum obat yang diberikan dokter, ungkap Aline. Mimpi Mereka yang Tak Terdengar Mengenai murid-muridnya, Roy merasa takjub pada semangat mereka. Saya pernah berkata dalam di kelas, lupakan ketidaknyamanan, ketidakmampuan, semuanya. Apa cita-cita kalian? Ternyata jawaban anak-anak pulau yang sering tak tersebut dalam peta itu membuatnya terhenyak. Seorang anak berteriak, Ingin sekolah ke Amerika! Ini bukti bahwa mereka pun mempunyai mimpi yang sama dengan anak-anak di kota besar. Tapi, selama ini tak ada yang memedulikan mereka, ujar Roy. Begitupun Ridwan. Mayoritas muridnya adalah anak-anak nelayan yang lebih lekat dengan alam dibandingkan dengan bangku sekolah. Saya ditantang untuk menemukan potensi mereka dan mengembangkannya. Logika matematika mereka lemah, misalnya. Tapi, mereka anak-anak yang cukup kreatif, terbuka dan amat bersemangat, ungkap Ridwan. Suatu hari, saat berpiknik bersama murid-muridnya, Ridwan menantang mereka membuat kerajinan bambu. Hasilnya wah sekali, mereka amat kreatif. Berbeda dengan anakanak di kota, ujar Ridwan yang bercita-cita menjadi dosen.

Kisah Roy, Aline dan Ridwan hanyalah secuplik cerita dari 51 Pengajar Muda yang telah memulai perjuangannya. Cerita-cerita lain akan terus tersimpan dalam hati para pengajar itu dan terus terbawa seumur hidupnya. Angkatan kedua Indonesia Mengajar telah siap diberangkatkan Juni 2011. Sebanyak 73 orang telah terseleksi dari sekitar 4000-an pelamar. Mereka akan ditempatkan di sembilan tempat, di ujung-ujung Indonesia, yaitu Aceh Utara, Lebak, Kapuas Hulu, Pulau Bawean, Bima, Rotenndau, Maluku Tenggara Barat, Fakfak, dan Sangihe. Bahkan, gerakan ini juga menular di berbagai wilayah Indonesia. Ada Makassar Mengajar, Yogya dan Jawa Tengah Mengajar, UI Mengajar, ITB Mengajar. Semuanya mengadopsi model Indonesia Mengajar. Semua bergerak dengan semangat yang sama. Melakukan sesuatu yang nyata untuk negeri tercinta.

<Boks> Pendidikan Harus Menjadi Gerakan Kami mengundang putra-putri terbaik republik ini untuk menjadi Pengajar Muda, menjadi guru SD selama 1 tahun. Satu tahun berada di tengah-tengah rakyat di pelosok negeri, di tengah anak- anak bangsa yang kelak akan meneruskan sejarah republik ini. Begitulah kutipan dari surat terbuka Anies Baswedan yang tersebar melalui berbagai mailing list pertengahan 2010 lalu. Hasilnya, ribuan anak muda Indonesia dari berbagai disiplin

ilmu tergetar dan melamar untuk menjadi Pengajar Muda. Mereka rela meninggalkan kehidupan nyaman di kota dan pergi mengabdi ke daerah-daerah terpencil di pelosok negeri. This republic will have a bright future, tandas Anies. Saya sering mendapat pertanyaan, Kok, mau anak-anak itu berangkat? Saya jawab, Anda nggak punya passport tulisan Indonesia, jika Sukarno dan Hatta memilih hidup makmur bersama keluarga. Republik ini, ujar Anies, didirikan oleh orang-orang yang memiliki semua persyaratan untuk hidup enak bersama keluarga, tapi mereka memilih untuk berjuang. Jadi, menurutnya tidak ada yang aneh dengan pengabdian. Anehnya adalah kenapa kita bertanya? Menurut Anies, kekayaan terbesar Indonesia adalah manusianya. Manusia Indonesia dapat menjadi aset apabila dicerdaskan. Ujung tombak untuk mencerdaskan bangsa itu adalah guru. Desa terpencil kekurangan guru. Kita mencoba melakukan sesuatu. Kirimkan orang terbaik untuk mengajar di pelosok, ujarnya. Model seperti ini sebenarnya pernah dipraktikkan di Indonesia tahun 1952. Saat itu alm. Koesnadi Hardjasoemantri, yang pernah menjadi Direktur Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di awal Orde Baru, menginisiasi program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM). Pahlawan Kuliah Kerja Nyata itu mengajak teman-temannya mengisi kekurangan guru SMA di daerah, khususnya di luar Jawa. Koes menjadi salah satu dari 8 orang angkatan pertama PTM. Ia berangkat ke Kupang dan bekerja di sana selama beberapa tahun.

Sepulang dari sana, ia mengajak serta 3 orang siswa paling cerdas untuk kuliah di UGMsalah satunya adalah Adrianus Mooy yang kemudian menjadi Gubernur BI. Gerakan PTM merupakan salah satu inspirasi Anies saat mewujudkan ide ini. Kalau kita ingin memajukan republik, majukanlah manusianya. Pendidikan harus jadi gerakan, bukan program. Ini harus melibatkan banyak orang, ungkap Anies. Berbagai kalangan menyambut baik idenya. Indika, perusahaan swasta lokal yang bergerak di bidang energi, membuktikan komitmennya untuk mendanai proyek Indonesia Mengajar sampai saat ini. Bukan hanya itu, untuk melakukan seleksi ratusan orang kita dibantu oleh lembaga psikologi swasta profesional. Mereka melakukan itu pro bono, ungkap Anis. Sejumlah pihak juga menyumbang motor, telefon satelit, dan banyak lagi. Bahkan, secara spontan tumbuh komunitas yang mengumpulkan buku-buku untuk dikirimkan ke perpustakaan sekolah tempat para Pengajara Muda mengajar. Komunitas akhirnya menjadi bagian dari Indonesia Mengajar dan dinamakan Indonesia Menyala. Indonesia sebenarnya penuh dengan orang-orang yang siap begitu. Republik ini didirikan dengan ketulusan. Hal itu terus menular sampai sekarang. Ketulusan itu tidak pakai kata-kata, ungkap rektor Universitas Paramadina ini.

Вам также может понравиться

  • Pasien Pintar
    Pasien Pintar
    Документ5 страниц
    Pasien Pintar
    Siska Widyawati
    Оценок пока нет
  • Perang Cyber
    Perang Cyber
    Документ5 страниц
    Perang Cyber
    Siska Widyawati
    Оценок пока нет
  • Nasionalisme Fashion
    Nasionalisme Fashion
    Документ5 страниц
    Nasionalisme Fashion
    Siska Widyawati
    Оценок пока нет
  • Nancy Margaretha
    Nancy Margaretha
    Документ5 страниц
    Nancy Margaretha
    Siska Widyawati
    Оценок пока нет
  • Merpati
    Merpati
    Документ11 страниц
    Merpati
    Siska Widyawati
    Оценок пока нет
  • Kencan Lewat Pandangan Mata
    Kencan Lewat Pandangan Mata
    Документ5 страниц
    Kencan Lewat Pandangan Mata
    Siska Widyawati
    100% (1)
  • Handry Satriago CEO GE Indonesia Profiler
    Handry Satriago CEO GE Indonesia Profiler
    Документ5 страниц
    Handry Satriago CEO GE Indonesia Profiler
    Siska Widyawati
    Оценок пока нет
  • Animas I
    Animas I
    Документ5 страниц
    Animas I
    Siska Widyawati
    Оценок пока нет
  • Merajut
    Merajut
    Документ5 страниц
    Merajut
    Siska Widyawati
    Оценок пока нет
  • Garam
    Garam
    Документ6 страниц
    Garam
    Siska Widyawati
    Оценок пока нет
  • Bahasa Indonesia
    Bahasa Indonesia
    Документ6 страниц
    Bahasa Indonesia
    Siska Widyawati
    Оценок пока нет
  • Mereka Yang Memilih Sendiri-Final Check
    Mereka Yang Memilih Sendiri-Final Check
    Документ4 страницы
    Mereka Yang Memilih Sendiri-Final Check
    Siska Widyawati
    Оценок пока нет
  • Kamera Polaroid
    Kamera Polaroid
    Документ6 страниц
    Kamera Polaroid
    Siska Widyawati
    Оценок пока нет