Вы находитесь на странице: 1из 29

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI FORMULASI SEDIAAN NON-STERIL

SEDIAAN SUPPOSITORIA PARASETAMOL


SUMMO









Dosen
(Cokorda Istri Sri Arisanti, S.Farm., M.Si., Apt.)

Asisten
(Rico Pramana Sugiarto)
Oleh :

Lia Puspitasari (0908505025)
Clarissa Puteri K (0908505026)
A. A. Ayu Indrasuari (0908505027)
Ni Putu Erikarnita Sari (0908505028)
Made Gede Praditya Putra (0908505029)
Indra Lesmana (0908505030)
Ni Putu Asri Ramayati (0908505031)



1URUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2011
A I
TIN1AUAN FARMAKOLOGI AHAN OAT


1.1.Indikasi
Parasetamol digunakan sebagai analgetis dan antipiretis, tetapi tidak antiradang.
Parasetamol merupakan analgetik antipiretik yang aman bagi wanita hamil dan menyusui
walaupun dapat mencapai air susu ibu (Tjay dkk., 2008).
1.2. Farmakokinetika
Absorpsi : Parasetamol siap diabsorpsi dari saluran gastrointestinal dengan
konsentrasi puncak plasma menccapai sekitar 10-60 menit dengan dosis per oral
(Sweetman, 2002).
Distribusi : Parasetamol didistribusikan ke hampir semua jaringan tubuh. Melewati
plasenta dan menalir melalui air susu. Waktu paruh eliminasi dari parasetamol
bervariasi antara 1 hingga 3 jam (Sweetman, 2002).
Eliminasi : Eliminasi terjadi kira-kira 1-4 jam. Ikatan protein plasma dapat diabaikan
pada konsentrasi normal tetapi dapat meningkat dengan peningkatan konsentrasi
(Reynolds, 1989).
1.3. Mekanisme
Parasetamol menginhibisi sintesis prostaglandin di hipotalamus, yang
menghasilkan sintesis prostaglandin di sumsum tulang belakang, dan juga menginhibisi
sintesis nitrit oxide di makroIaga. Pada dosis terapeutik, inhibisi sintesis prostaglandin
tidak signiIikan pada jaringan peripheral, sehingga parasetamol memiliki eIek anti
inIlamasi yang rendah. Meskipun parasetamol menginhibisi dengan lemah isolasi cyclo-
oxygenase (COX)-1 dan COX-2 secara in vitro, tetapi inhibitor kuat dari sintesis
prostaglandin didalam system selular pada saat konsentrasi dari asam arachidonat rendah
(MashIord, 2007).
1.4. Dosis
Dosis peroral untuk dewasa adalah 0,5 1 gram setiap 4-6 jam, dengan dosis
maksimum 4 gram sehari. Paracetamol juga dapat digunakan sebagai suppositoria dengan
dosis per-rektal 0.5-1 gram setiap 4-6 jam bila perlu, hingga batas dosis maksimumnya 4
kali dalam sehari. Di UK, pemberian pada anak ialah : 3 bulan- 1 tahun : 60-120mg ; 1
5 tahun : 120-250 mg ; 6-12 tahun : 250-500 mg. Dosis tersebut diberikan setiap 4-6 jam
bila perlu dengan maksimum 4 dosis dalam 24 jam (Reynold,1989)
1.5. Efek Samping
EIek samping jarang terjadi lewat dosis sedang, Dosis lebih berkepanjangan :
neutropenia, leukopenia, trombositopenia, pensilopenia, agranulositosis, (tak lazim),
methemoglobinemia (sianosis pada kulit, mukosa, kuku jari, dispenia, sakit kepala,
vertigo, lemah nyeri angina, gagal sirkulasi), sulIenoglobionemia, gangguan saluran
cerna, perubahan psikologis, reaksi hipersensitivitas, udem laring, lesi mukosa, eritemia
atau ruam, udem angioneurotik demam. (Anonim a, 2005).
1.6. Kontra Indikasi
ipersensitiIitas terhadap parasetamol dan komponen lainnya dalam Iormulasi:
Penderita dengan gangguan Iungsi hati yang berat
Penderita dengan gangguan Iungsi ginjal
Penderita diabetes melitus
Penderita G6PD
Penderita dengan riwayat hipersensitiIitas pada parasetamol
(Lacy, 2004)
1.7. Interaksi Obat
Pemberian bersama-sama diIlusinal mengakibatkan kenaikan konsentrasi plasma.
Resin penukar anion : kolesteramin menurunkan absorbsi parasetamol. Penggunaan
antikoagulan dan parasetamol dalam jangka waktu yang lama mungkin meningkatkan
konsentrasi warIarin. Metoclopramide dan domperidon metoclopramis mempercepat
absorbsi parasetamol (meningkatkan eIek) (Anonim a, 2005). EIek analgetis parasetamol
diperkuat oleh kodein dan koIein dengan kira-kira 50. Pada dosis tingi dapat
memperkuat eIek antikoagulansia tetapi pada dosis biasa tidak interaktiI. Masa paruh
kloramIenikol dapat sangat diperpanjang. Kombinasi dengan obat AIDS zidovudin
meningkatkan resiko akan neutropenia (Tjay dkk., 2008).
1.8. Penyimpanan
Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya (Depkes RI, 1979).

1.9. Peringatan
ati-hati jika digunakan pada pasien dengan penyakit hati, ginjal, inIeksi virus,
alkoholik sebab dapat menyebabkan meningkatnya hepatotoksik (Anonim a, 2005).




























A II
SIFAT FISIKOKIMIA AHAN

2.1. ahan Aktif
1. Paracetamol






4 Rumus kimia: C
8

9
NO
2

4 erat molekul: 151,16 gram/mol
4 Kandungan: Acetaminophen mengandung tidak kurang dari 98,0 dan tidak
lebih dari 101,0 C
8

9
NO
2
, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
4 Pemerian: ablur atau serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa pahit.
4 Kelarutan: Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95) P, dalam 13
bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol P,
larut dalam larutan alkali hidroksida
4 Interaksi parasetamol dengan bahan tambahan: Disolusi Parasetamol akan
menurun dengan adanya peningkatan kadar sorbitol.
4 Suhu lebur: 169
0
C

sampai 172
0
C
4 pH: Larutan jenuh acetaminophen memilki p antara 5,3-6,5 (codex).
4 Penetapan kadar: Lakukan penetapan dengan cara penetapan kadar nitrogen,
menggunakan 300 mg yang ditimbang saksama dan 8 ml asam sulfat bebas
nitrogen P
4 Penyimpanan: Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya.
4 Khasiat: Analgetikum dan antipiretikum.
4 Stabilitas: idrolisis dapat terjadi pada keadaan asam ataupun basa. idrolisis
minimum terjadi pada rentang p antara 5-7.
(Depkes RI,1995)
2.2. ahan Tambahan
2.2.1 Oleum cacao (Lemak Coklat)
4 Pemerian : Lemak padat, putih kekuningan, bau khas aromatik, rasa khas lemak,
agak rapuh.
4 Kelarutan : Sukar larut dalam etanol (95) P, mudah larut dalam kloroIorm P,
dalam eter P, dan dalam eter minyak tanah P.
4 Kegunaan : zat tambahan.
4 Titik leleh : 30
0
-36
0
C.
4 Indeks bias : 1,4564 sampai 1,4575; penetapan dilakukan pada sudut 40
o
.
4 ilangan asam : tidak lebih dari 4,0.
4 ilangan iodium : 35 sampai 40.
4 ilangan penyabunan : 188
o
sampai 196
o
.
4 Khasiat dan penggunaan : zat tambahan.
(Depkes RI, 1979)
2.2.2 Cetaceum (Spermaceti)
4 Pemerian: Massa hablur, bening, licin ; putih mutiara ; bau dan rasa lemah.
4 Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol (95) P dingin ; larut
dalam 20 bagian etanol (95) P mendidih, dalam kloroIorm P, dalam eter P, dalam
karbondisulIida P, dalam minyak lemak dan dalam minyak atsiri.
4 obot jenis : lebih kurang 0,95.
4 Suhu lebur : 42
o
sampai 50
o
.
4 ilangan asam : tidak lebih dari 1,0.
4 ilangan iodium : tidak lebih 5.
4 ilangan penyabunan : 120
o
sampai 136
o
.
4 at tak tersabunkan : tidak kurang dari 48,0
4 Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik.
4 Khasiat dan penggunaan : zat tambahan.
(Depkes RI, 1979)



A III
ENTUK AHAN, DOSIS DAN CARA PEMAKAIAN

3.1.entuk dan Kekuatan Sediaan
Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur, umumnya
berbentuk torpedo dapat melarut, melunak, atau meleleh pada suhu tubuh. Bahan dasar
yang digunakan harus dapat larut dalam air atau meleleh pada suhu tubuh. Basis dasar
yang sering digunakan adalah lemak coklat (oleum cacao), polietilenglikol berbobot
molekul tinggi atau lemak yang lain. Bobot supositoria kalau tidak dinyatakan lain adalah
3 g untuk orang dewasa dan 2 g untuk anak. Supositoria supaya disimpan dalam wadah
tertutup baik dan di tempat yang sejuk. (Depkes RI, 1979).
Umumnya, suppositoria rektum panjangnya 32 mm (1,5 inci), berbentuk
silinder dan kedua ujungnya tajam. Beberapa suppositoria untuk rectum diantaranya ada
yang berbentuk seperti peluru, torpedo atau jari-jari kecil tergantung kepada bobot jenis
bahan obat dan habis yang digunakan, beratnya pun berbeda-beda. USP menetapkan berat
suppositoria 2 gram untuk orang dewasa apabila oleum cacao yang digunakan sebagai
basis. Sedang suppositoria untuk bayi dan anak-anak, ukuran dan beratnya dari ukuran
dan berat untuk orang dewasa, bentuknya kira-kira seperti pensil. Suppositoria untuk
vagina yang juga disebut pessarium biasanya berbentuk bola lonjong atau seperti kerucut,
sesuai dengan kompendik resmi beratnya 5 gram, apabila basisnya oleum cacao.
Suppositoria untuk saluran urin yang juga disebut bougie bentuknya ramping seperti
pensil, gunanya untuk dimasukkan ke dalam saluran urin pria atau wanita. Suppositoria
saluran urin pria bergaris tengah 3-6 mm dengan panjang 140 mm, walaupun ukuran ini
masih bervariasi satu dengan lainnya. Apabila basisnya dari oleum cacao maka beratnya
4 gram. Suppositoria untuk saluran urin wanita panjang dan beratnya dari ukuran
untuk pria, panjang 70 mm dan beratnya 2 gram dan basisnya oleum cacao. (Ansel,
2005).
3.2.Dosis
Dosis obat yang digunakan melalui rektum mungkin lebih besar atau lebih kecil
daripada obat yang dipakai secara oral, tergantung kepada Iaktor-Iaktor seperti keadaan
tubuh pasien, siIat Iisika kimia obat dan kemampuan obat melewati penghalang Iisiologi
untuk absorpsi dan siIat basis suppositoria serta kemampuannya melepaskan obat supaya
siap untuk diabsorpsi (Ansel, 2005). Bobot suppositoria bila tidak dinyatakan lain adalah
3 gram untuk orang dewasa dan 2 gram untuk anak (AnieI, 2006).

Umur Dosis
1-5 tahun 125-250 mg tiap 4-6 jam
6-12 tahun 250-500 mg tiap 4-6 jam
~ 12 tahun 0,5-1 gram tiap 4-6 jam
Tabel 1. Dosis Suppositoria Parasetamol
BNFC merekomendasikan dosis rektal pada bayi :
4 Neonatus usia 28-32 minggu, 20 mg/kg sebagai dosis tunggal, kemudian 15
mg/kg tiap 12 jam bila diperlukan, dengan dosis maksimum 30 mg/kg sehari.
4 Neonatus usia diatas 32 minggu, 30 mg/kg sebagai dosis tunggal, kemudian 20
mg/kg tiap 8 jam bila diperlukan, dengan dosis maksimum 60 mg/kg sehari.
4 Bayi usia 1-3 bulan, 30-60 mg tiap 8 jam bila diperlukan, dengan dosis maksimum
60 mg/kg sehari.
4 Bayi usia 2-12 bulan, 60-125 mg tiap 4-6 jam bila diperlukan hingga maksimum 4
kali dalam 24 jam.
4 Anak usia 5-12 tahun, 250-500 mg tiap 4-6 jam bila diperlukan hingga maksimum
4 kali dalam 24 jam.
4 Pada gejala yang berat, anak-anak usia 1-3 bulan dapat diberikan 30 mg/kg
sebagai dosis tunggal, kemduian diikuti dengan 20 mg/kg tiap 8 jam hingga
maksimum 60 mg/kg sehari. Anak-anak dengan usia lebih besar dapat diberikan
40 mg/kg dalam dosis tunggal yang diikuti dengan 20 mg/kg tiap 4-6 jam hingga
maksimum 90 mg/kg sehari dalam 48 jam, bila diperlukan, sebelum diturunkan
mencapai 15 mg/kg tiap 6 jam
(Reynolds,1989)
3.3.Cara Pemberian
4 Begitu dimasukkan, basis suppositoria meleleh, melunak, atau melarut menyebarkan
bahan obat yang dibawanya ke jaringan-jaringan di daerah tersebut. Obat ini bisa
dimaksudkan untuk ditahan dalam ruang tersebut untuk eIek kerja lokal, atau bisa juga
dimaksudkan agar diabsorpsi untuk mendapatkan eIek sistemik. Suppositoria rektal
dimaksudkan untuk kerja lokan dan paling sering digunakan untuk menghilangkan
konstipasi dan rasa sakit, iritasi, rasa gatal dan radang sehubungan dengan wasir atau
kondisi anorektal lainnya (Ansel, 2005).



























A IV
MACAM-MACAM FORMULASI

4.1. Formula aku Standar
Formula I
R/ Parasetamol (AsetaminoIen).. 80 mg
ard Iat .......836,80 mg
Sorbitan monostearat .................. 3,2 mg
(Niazin, 2004)

Formula II
R/ Parasetamol.....250 mg
ard Iat ......1140 mg
(Niazin, 2004)

Formula III
R/ Parasetamol.....150 mg
Aerosil ...................20 mg
Lutrol E 1500............1.290 mg
Lutrol E 4000 .............. 554 mg
(Niazin, 2004)
Formula IV
R/ Acetaminophen.................. 500 mg
Lutrol E 400 ...................... 100 mg
Lutrol E 1500 .................... 600 mg
Lutrol E 4000 .................... 800 mg
(Niazin, 2004)




4.2. Formula yang digunakan
R/ Parasetamol (AsetaminoIen).....125 mg
Oleum cacao ........95,8
Cetaceum .........................................5

4.3. Permasalahan
1. Daya serap oleum cacao rendah
2. SiIat karakteristik dari oleum cacao dimana jika pemanasannya tinggi akan mencair
sempurna seperti minyak dan kehilangan semua inti kristal yang stabil yang
berguna untuk memadat, bila didinginkan di bawah 15
o
akan mengkristal dalam
bentuk kristal metastabil (AnieI, 2006).
3. Pada pengisian masa supositoria ke dalam cetakan, oleum cacao cepat membeku
dan pada pendinginan terjadi susut volume hingga terjadi lubang di atas masa
(AnieI, 2006).
4. Suppositoria melekat pada cetakan.
5. Oleum cacao mudah mencair dan menjadi tengik saat penyimpanan (Lachman,
2008).
6. Oleum cacao mudah meleleh dimana titik leburnya 30
o
C 35
o
C

4.4. Pencegahan Masalah
1. Untuk meningkatkan daya serap oleum cacao ditambahkan cetaceum dengan
rentang konsentrasi 4 - 6
2. Pemanasan oleum cacao tidak boleh melebihi suhu minimumnya. arus dilebur
perlahan-lahan di atas penangas air berisi air hangat untuk menghindari terjadinya
bentuk kristal yang tidak stabil dan untuk menjamin retensi dalam cairan dari
bentuk kristal yang lebih stabil sehingga akan membentuk inti dimana
pengentalan mungkin terjadi sewaktu pengentalan cairan tersebut (Ansel, 1989).
Untuk meningkatkan titik lebur lemak coklat dapat digunakan tambahan cetaceum
tidak lebih dari 6 dan tidak kurang dari 4 (AnieI, 2006).
3. Pada pengisian cetakan harus diisi lebih, baru setelah dingin kelebihannya dipotong
(AnieI, 2006).
4. Cetakan dilapisi dengan gliseryn.
5. Oleum cacao harus disimpan dalam tempat dingin, kering dan terlindung dari
cahaya (Lachman, 2008).
6. Untuk meningkatkan kekentalan, maka dilakukan penambahan sebanyak 5
bagian lilin atau cetaceum dari basis yang digunakan (UIIelie, 1954).

4.5. Penimbangan
Parasetamol (AsetaminoIen) 6,25
Oleum cacao 95,8
Cetaceum 5
Diketahui:
Berat suppositoria : 2 gr
Jumlah parasetamol setiap satu suppositoria : 6,25 x 2 gr 0,125 gr
arga displacement value untuk parasetamol terhadap oleum cacao : 1,5 (Lund,
1994).
Parasetamol 0,125 gr x 1,5 0,1875 gr
Berat basis yang diperlukan Berat total Suppositoria berat zat aktiI
2 gr 0,1875 g 1,8125 gr
Berat Cetaceum yang dibutuhkan
0 10
5
x berat basis yang diperlukan

100
5
x 1,8125 gr 0,0906 gr
Berat Oleum cacao yang dibutuhkan 1,8125 gram - 0,0906 gram
1,7219 gram

Untuk penimbangan, bahan untuk basis dilebihkan 10, kecuali zat aktiI hanya
dilebihkan 5 untuk mengantisipasi kehilangan zat dalam proses pembuatan sediaan.
Parasetamol 10 x (0,125 (0,125 x 5)) gr 1,3125 gr
Oleum cacao 10 x ( 1,7219 (1,7219 x 10)) gr 18,9409 gr
Cetaceum 10 x (0,0906 (0,0906 x 10)) gr 0,9966 gr

Tabel Penimbangan
at
Persentase
()
Fungsi
1umlah untuk 1
sediaan
1umlah untuk
10 sediaan
Paracetamol 6,25
Zat aktiI (analgesik dan
antipiretik)
0,13125 gr 1,3125 gr
Oleum cacao 95,8 Basis 1,89409 gr 18,9409 gr
Cetaceum 5 Zat tambahan 0,09966 gr 0,9966 gr
























A V
PROSEDUR KER1A
5.1. Alat
4 Timbangan
4 Gelas ukur
4 Penangas air
4 Sendok tanduk
4 Pipet tetes
4 Batang pengaduk
4 Beker glass
4 Kertas perkamen
4 Cetakan supositoria
4 Cawan Porselen

5.2. ahan
4 Paracetamol
4 Oleum Cacao
4 Cetaceum

5.3. Cara Kerja
1. Ditimbang semua bahan dengan seksama sesuai dengan perhitungan.
2. Dileburkan cetaceum di atas penangas air terlebih dahulu hingga melebur semua.
3. Dimasukkan basis yang telah ditimbang ke dalam cawan yang telah berisi leburan
cetaceum dan dilebur kembali sampai semua melebur sempurna pada suhu 30
0
- 36
0
C
secara perlahan-lahan.
4. Dicampurkan zat aktiI parasetamol sedikit demi sedikit ke dalam leburan basis
sambil dilakukan pengadukan.
5. Setelah basis dan zat aktiI tercampur semua, campuran kemudian dituang kedalam
cetakan.
6. Ditunggu hasil tuangan tersebut sampai membeku, kemudian dikeluarkan dari
cetakan.
7. Suppositoria yang telah membeku, ditimbang dan ditentukan bobotnya kemudian
dibungkus dengan aluminium Ioil serta dikemas dalam kotak.





























A VI
EVALUASI SEDIAAN

Evaluasi sediaan suppositoria jadi meliputi :

1. Evaluasi Sediaan
Evaluasi ini dilakukan untuk menjamin bahwa tiap lot suppositoria yang dibuat
secara tetap memenuhi standar yang ditetapkan selama pembuatan lot eksperimen awal..
Supositoria akhir secara rutin diperiksa penampilannya, setelah dipotong memanjang,
untuk keseragaman campuran tersebut. Uji kisaran leleh dilakukan untuk mengecek
karakteristik Iisik dan karakteristik absorpsi masing-masing batch yang dibuat uji
kekerasan dilakukan untuk memastikan bahwa supositoria tersebut dapat dikemas dan
dikirimkan dengan kerusakan minimal.
2. Uji Kisaran Leleh
Uji ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu uji kisaran leleh makro dan mikro. Uji
kisaran leleh makro dilakukan untuk menentukan suatu ukuran waktu yang diperlukan
suppositoria untuk meleleh sempurna bila dicelupkan dalam penangas air dengan
temperatur tetap (37
0
C). Sebaliknya uji kisaran meleleh mikro adalah kisaran leleh yang
diukur dalam pipa kapiler hanya untuk basis lemak. Alat yang biasa digunakan untuk
mengukur kisaran leleh sempurna dari suppositoria adalah suatu alat disintegrasi tablet
USP. Suppositoria dicelupkan seluruhnya dalam penangas air yang konstan, kemudian
diukur waktu yang diperlukan untuk suppositoria meleleh sempurna atau menyebar dalam
air disekitarnya.
3. Uji Pencairan atau Uji Waktu Melunak dari Suppositoria rektal
Uji ini dilakukan sebagai suatu pemeriksaan pengawasan mutu dan dapat juga dikaji
sebagai suatui ukuran kestabilan Iisika terhadap waktu. Uji tersebut terdiri dari pipa U
yang sebagian dicelupkan ke dalam penangas air yang bertemperatur konstan.
Penyempitan pada satu sisi menahan suppositoria tersebut pada tempatnya dalam pipa.
Sebuah batangan dari kaca ditempatkan di bagian atas suppositoria dan waktu yang
diperlukan batangan untuk melewati suppositoria sampai penyempitan tersebut dicatat
sebagai waktu melunak. Ini dapat dilakukan pada berbagai temperatur dari 35,5 37
0
C.
Suatu penangas air dengan elemen pendingin dan penangas harus digunakan untuk
menjamin pengaturan panas dengan perbedaan tidak lebih dari 0,1
0
C.
Uji melunak mengukur waktu yang diperlukan suppositoria rektal untuk mencair
dalam alat yang disesuaikan dengan kondisi invivo. Suatu penyaringan melalui selaput
permeabel yakni pipa seloIan diikat pada kedua ujung kondensordengan masing-masing
ujung pipa terbuka. Air pada 30
0
C disirkulasikan melalui kondensor tersebut pada laju
ssedemikian rupa, sehingga separuh bagian bawah seloIan kempis dan separuh bagian
bagian atas membuka titik. Tekanan hidrostatik air dalam alat tersebut kira-kira 0 ketika
pipa tersebut mulai kempis. Bila temperatur air dibuat stabil pada 37
0
C, suppositoria
turun sampai level tertentu, dan waktu tersebut diukur untuk suppositoria meleleh dengan
sempurna dalam pipa tersebut.
4. Uji Kehancuran
Uji kehancuran dirancang sebagai metode untuk mengukur keregasan atau kerapuhan
suppositoria. Alat yang digunakan untuk uji tersebut terdiri dari suatu ruang berdinding
rangkap dimana suppositoria yang diuji ditempatkan. Air pada 37
0
C dipompa melewati
dinding rangkap tersebut dan suppositoria diisikan ke dalam dinding dalam yang kering,
menopang lempeng dimana suatu batang dilekatkan ujung lain dari batang tersebut terdiri
dari lempeng lain dimana beban digunakan. Uji dihubungkan dengan penempatan 600
gram di atas lempeng datar pada interval waktu 1 menit 200 gram bobot ditambahkan,
dan bobot dimana suppositoria rusak adalah titik hancurnya, atau gaya yang menentukan
karakteristik keregasan dan kerapuhan suppositoria tersebut. Suppositoria dengan bentuk
yang berbeda memiliki titik hancur yang berbeda pula. Titik hancur yang dikehendaki
dari masing-masing bentuk suppositoria yang beraneka ragam ditetapkan sebagai level
yang menahan gaya hancur yang disebabkan oleh penanganan berbagai tipe yakni
produksi, pengemasan, pengiriman, dan pengangkutan dalam penggunaan untuk pasien.
5. Uji Disolusi
Pengujian laju pelepasan zat obat dari suppositoria secara invitro selalu mengalami
kesulitan karena adanya pelelehan, perubahan bentuk, dan dispersi dari medium disolusi.
Pengujian awal dilakukan dengan penetapan biasa dalam gelas piala yang mengandung
suatu medium.
Dalam usaha untuk mengawasi variasi pada antar muka massa atau medium berbagai
cara telah dipakai, termasuk keranjang kawat mesh atau suatu membran untuk
memisahkan ruang sampel dari bak reservoar. Sampel yang diuji dalam pipa dialisis atau
membran alami juga dapat dikaji. Alat sel air atau flow cell digunakan untuk menahan
sampel ditempatnya dengan kapas, saringan kawat, dan yang paling baru dengan manik-
manik gelas. (Lachman, 1994).

























A VII
HASIL DAN PEMAHASAN

7.1. HASIL
Pada praktikum ini Iormulasi yang digunakan adalah sebagai berikut
Tabel 1. Formulasi yang digunakan
No. Bahan Persentase Fungsi
1 Paracetamol 6,25 Zat aktiI (analgesik dan antipiretik)
2 Cetaceum 5 Zat tambahan
3 Oleum cacao 938 Basis

Tabel 2. Penimbangan bahan yang digunakan dalam sediaan
No. Bahan Penimbangan Penimbangan yang dilakukan
1 Paracetamol 1,3125 gr 1,312 gr
2 Cetaceum 0,9966 gr 0,995 gr
3 Oleum cacao
189409 gr
19,091 gr

a. Uji Keseragaman obot
Sopositoria Bobot (gram)
I 2,662
II 2,638
III 2,567
IV 2,516
V 2,537
VI 2,581
VII 2,549



b. Uji Waktu Leleh Supositoria
Supositoria
Waktu (menit)
I
00.03.30
II
00.04.05

7.2 Perhitungan Data
a. Uji Keseragaman obot
Sopositoria
Bobot
(gram)
Bobot Rata-Rata
( )
( - )
( - )
2

I
2,662 2,579 0,083 6,889 x 10
-3

II
2,638 2,579 0,059 3,481 x 10
-3

III
2,567 2,579 -0,012 0,144 x 10
-3

IV
2,516 2,579 -0,063 3,969 x 10
-3

V
2,537 2,579 -0,042 1,764 x 10
-3

VI
2,581 2,579 0,002 0,004 x 10
-3

VII
2,549 2,579 -0,030 0,900 x 10
-3
_ 17,151x 10
-3


O SD
(x-x)
2
n-1


17,151 10
-3
7-1


17,151 10
-3
6

,88
-3

0,0535
Bobot supositoria adalah (2,579 0,0535) gram

O CV

x
%

0,0535
7
%
0,76
ormula memenuhi syarat keseragaman bobot yang baik yaitu CJ 5

7.2. PEMAHASAN
Supositoria adalah suatu bentuk sediaan padat yang pemakaiannya dengan cara
memasukkan melalui lubang atau celah pada tubuh, dimana ia akan melebur, melunak atau
melarut dan memberikan eIek lokal atau sistemik. Supositoria umumnya dimasukan melalui
rektum, vagina, kadang-kadang melalui saluran urin dan jarang melalui telinga dan hidung
(Ansel, 2005). Pada praktikum kali ini akan dibuat suppositoria paracetamol dengan bentuk
peluru, bentuk ini memiliki kelebihan yaitu bila bagian yang besar masuk melalui otot penutup
dubur, maka supositoria akan tertarik masuk dengan sendirinya. Zat aktiI paracetamol yang
dibuat dalam bentuk suppositoria memiliki beberapa keuntungan seperti langsung dapat masuk
ke sistem sirkulasi sehingga eIek yang ditimbulkan lebih cepat dan lebih mudah digunakan pada
pasien anak-anak yang umumnya sulit menelan dan untuk pasien yang tidak sadar ataupun yang
sedang muntah (AnieI, 2006). Selain itu kelebihan lain suppositoria daripada pemakaian secara
oral yaitu obat yang dirusak atau dibuat tidak aktiI oleh p atau aktiIitas enzim dari lambung
atau usus tidak perlu dibawa atau masuk ke dalam lingkungan yang merusak ini. Obat yang
merangsang lambung dapat diberikan tanpa menimbulkan rangsangan. Obat yang dirusak dalam
sirkulasi portal, dapat tidak melewati hati setelah absorpsi pada rektum. Cara ini lebih sesuai
digunakan oleh pasien dewasa dan anak-anak yang tidak dapat atau tidak mau menelan obat.
Merupakan cara yang eIektiI dalam perawatan pasien yang suka muntah (Ansel, 2005).
Formulasi ini direncanakan akan menghasilkan 10 supositoria, namun untuk menghindari
adanya volume sediaan yang berkurang akibat peracikan, Iormulasi yang dipersiapkan adalah
Iormulasi untuk masing-masing suppositoria telah dilebihkan 10 dari bobot yang sebenarnya,
dan untuk kandungan zat aktiI dilebihkan 5 untuk masing-masing suppositoria.
Basis supositoria yang ideal adalah basis yang memiliki siIat yaitu padat pada suhu
ruangan tetapi akan melunak, melebur, atau melarut dengan mudah pada suhu tubuh, inert, tidak
toksik atau mengiritasi, dapat bercampur dengan bahan obat, pada pembuatannya dengan metode
pelelehan ataupun cetak tekan dapat menghasilkan bentuk yang baik dan tidak menempel pada
dinding cetakan, stabil dalam penyimpanan, serta untuk eIek lokal harus dapat membebaskan
obatnya dengan cepat dan sebanyak mungkin untuk keperluan absorpsi obat, dan untuk
supositoria eIek sistemik, basis harus dapat membebaskan obatnya secara lambat agar dapat
memberikan eIek dalam jangka waktu yang panjang.
Pada praktikum kali ini dipilih oleum cacao sebagai basis karena beberapa alasan berikut,
oleum cacao dalam tubuh akan meleleh dan melepaskan zat aktiI sehingga terdispersi pada
cairan rektum. Sebagian besar siIat oleum cacao memenuhi syarat basis ideal, karena minyak ini
tidak berbahaya, lunak, dan tidak reaktiI, serta meleleh pada temperatur tubuh (30
o
-36
o
C) tapi
tetap dapat bertahan sebagai bentuk padat pada suhu kamar biasa, mempunyai karakter pelelehan
yang baik dan dapat membebaskan dengan mudah zat aktiI di dalam rectum, tidak mengiritasi
dan dapat dipakai untuk pengobatan iritasi lokal misalnya antihemoroid, dan dapat melepaskan
obat secara cepat dengan cara meleleh.
Selain itu oleum cacao juga memiliki beberapa kekurangan sebagai basis sopositoria
yaitu tidak dapat bercampur dengan cairan tubuh sehingga pelepasan obat yang bersiIat lipoIilik
menjadi terhambat. Selain itu karena kandungan trigliseridanya oleum cacao menunjukkan siIat
polimorIisme atau keberadaan zat tersebut dalam berbagai bentuk kristal. Oleh karena itu,
apabila oleum cacao tergesa gesa atau tidak hati hati dicairkan pada suhu yang melebihi suhu
minimumnya, lalu segera didinginkan maka hasilnya berbentuk kristal metastabil (suatu bentuk
kristal) dengan titik lebur yang lebih rendah dari titik lebur oleum cacao asalnya. Adanya
tirgliserida juga menyebabkan oleum cacao memiliki kemampuan menyerap air yang rendah.
Untuk memperbaiki penyerapan iar maka ditambahkan dengan sejumlah tertentu cerataceum.
Yang perlu diperhatikan dalam penambahan cetaceum adalah tidak boleh lebih dari 6 karena
akan menaikkan titik lebur lemak coklat diatas 37
o
C dan jangan kurang dari 4 karena akan
memperoleh titik lebur lebih rendah dari titik lebur oleum cacao (33
o
C).
Metode yang digunakan untuk membuat suppositoria paracetamol ini adalah dengan cara
mencetak hasil leburan. Ditimbang oleum cacao, cetaceum dan parasetamol sejumlah yang
diperlukan. Jumlah suppositoria yang seharusnya dibuat pada praktikum ini adalah 6 suppositoria
namun jumlah bahan yang ditimbang ditujukan untuk membuat 10 suppositoria karena setelah
dingin basis suppositoria yaitu oleum cacao akan mengalami susut volume maka ketika dituang
ke cetakan harus dituangkan berlebih (Ansel, 2005).
Sebelum dilakukan penimbangan, ditentukan massa oleum cacao yang volumenya setara
dengan 1 gram parasetamol yang biasanya disebut dengan nilai tukar. Nilai tukar parasetamol
dengan oleum cacao adalah 1,5. Metode ini diawali dengan melebur cetaceum pada cawan
porselen di atas penangas air pada suhu 45
o
C. Cetaceum berIungsi untuk meningkatkan titik
lebur oleum cacao, dimana penambahan cetaceum tidak lebih dari 6 dan tidak kurang dari 4
(AnieI, 2006). Peleburan dilakukan pada suhu 45
o
C karena suhu lebur dari cetaceum berkisar
antara 42
o
- 50
o
C (Depkes RI, 1979).
Ketika cetaceum telah melebur seluruhnya, suhu kemudian diturunkan hingga 36
o
C dan
oleum cacao yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam leburan cetaceum. Peleburan diatas
penangas air dihentikan ketika oleum cacao yg tersisa tinggal sepertiga, oleum cacao kemudian
dibiarkan meleleh tanpa pemanasan. Pada saat peleburan oleum cacao, suhu dijaga agar tidak
lebih dari 36
o
C karena, pemanasan oleum cacao pada suhu di atas 34-36C selama preparasi
akan menghasilkan sediaan supositoria yang kurang stabil (Rowe, et.al., 2009). Pemanasan yang
berlebihan di atas temperatur kritis dapat menyebabkan pembentukan kristal yang tidak stabil
dengan titik leleh yang lebih rendah, kira-kira 12
o
di bawah keadaan aslinya (Lachman, 2008).
Dengan demikian, akan mengakibatkan oleum cacao tidak dapat membeku pada suhu kamar.
Selanjutnya parasetamol dicampur sedikit demi sedikit ke dalam basis sambil diaduk
dengan batang pengaduk hingga tercampur homogen. Cetakan suppositoria yang akan
digunakan, dibersihkan dan diberi pelumas yaitu gliserin dengan tujuan agar suppositoria yang
terbentuk mudah dilepaskan dari cetakan. Penggunaan gliserin tidak boleh terlalu banyak karena
akan menyebabkan gliserin akan berkumpul pada ujung cetakan dan membuat bentuk
suppositoria tidak sama dengan cetakan (ujung suppositoria akan tumpul). Setelah parasetamol
tercampur sempurna dalam basisnya, campuran tersebut dituangkan ke dalam cetakan. Proses
penuangan diusahakan tidak terputus, agar tidak terbentuk lubang-lubang akibat adanya udara
pada cetakan. Campuran juga harus dituangkan sedikit berlebih dari cetakan karena pada saat
didinginkan oleum cacao akan mengalami penyusutan volume (AnieI, 2006). Cetakan yang
sudah diisi lalu didiamkan sebentar pada suhu kamar lalu disimpan pada lemari es pada suhu
15
0
C bila disimpan di bawah suhu 15
0
C maka akan terbentuk kristal u yang meleleh pada 24
0
C
yang mendekati suhu kamar yaitu 25
0
C selain itu pendinginan yang tiba-tiba akan membuat
suppositoria mudah rapuh (AnieI, 2006).
Suppositoria yang telah memadat kemudian dikeluarkan dari cetakan untuk selanjutnya
dibungkus dengan aluminium Ioil. Pembungkusan dengan aluminium Ioil diusahakan sesuai
dengan bentuk suppositoria karena bila selama penyimpanan suppositoria sedikit meleleh maka
bentuknya akan menyesuaikan dengan bentuk wadahnya. Suppositoria disimpan dalam tempat
dingin, kering dan terlindung dari cahaya (Lachman, 1994). Dari penimbangan untuk pembuatan
10 suppositoria jumlah sediaan yang diperoleh pada akhir praktikum adalah 7 suppositoria.
Uji keseragaman bobot dilakukan dengan menimbang tiap-tiap supositoria, dan
selanjutnya dihitung standar deviasi (SD) serta koeIisien variasi (CV). Simpangan baku atau
simpangan baku relatiI (koeIisien variasi) digunakan untuk mengukur keseksamaan.
Keseksamaan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual,
diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara
berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen. Keseksamaan dapat
dinyatakan sebagai keterulangan (repeatability) atau ketertiruan (reproducibility). Keterulangan
adalah keseksamaan metode jika dilakukan berulang kali oleh analis yang sama pada kondisi
sama dan dalam interval waktu yang pendek. Keterulangan dinilai melalui pelaksanaan
penetapan terpisah lengkap terhadap sampel-sampel identik yang terpisah dari batch yang sama,
jadi memberikan ukuran keseksamaan pada kondisi yang normal. Ketertiruan adalah
keseksamaan metode jika dikerjakan pada kondisi yang berbeda. Kriteria seksama diberikan jika
metode memberikan simpangan baku relatiI atau koeIisien variasi 2 atau kurang. Akan tetapi
kriteria ini sangat Ileksibel tergantung pada konsentrasi analit yang diperiksa, jumlah sampel,
dan kondisi laboratorium (armita, 2004). Pada praktikum kali ini, telah dipenuhi syarat
keseragaman bobot yang baik karena koeIesien variansi (CV) yang diperoleh kurang dari 5.
Bobot masing-masing supositoria yang diperoleh setelah penimbangan secara berturut-
turut yaitu 2,662 ; 2,638; 2,567; 2,516; 2,537; 2,581; 2,549. Bobot masing-masing supositoria
yang direncanakan pada praktikum adalah 2 gram. Namun saat penimbangan dilakukan,
diperoleh massa yang berbeda. Diperolehnya sopositoria dengan bobot lebih dari 2 gram karena
supositoria yang belum dipotong dengan cutter. Dari hasil perhitungan data diperoleh nilai
standar deviasi yaitu 2,579 0,0535 gram.
Uji evalusi supositoria yang dilakukan selanjutnya adalah uji waktu leleh supositoria. Uji
ini dilakukan dengan mengukur waktu yang diperlukan suppositoria untuk meleleh sempurna
bila dicelupkan dalam penangas air dengan temperatur tetap 37
0
C. Waktu pelelehan supositoria
dicatat pada saat waktu supositoria mulai menyentuh air samapai supositoria habis. Dari hasil
pengujian dua buah supositoria diperoleh waktu pelelehan supositoria adalah 3 menit 30 detik
dan 4 menit 5 detik. Berdasarkan literatur uji waktu leleh supositoria yang baik adalah tidak lebih
dari 30 menit untuk supositoria dengan dasar lemak dan tidak lebih dari 60 menit untuk
supositoria dengan dasar yang larut dalam air (Depkes RI, 1995).
A VIII
KESIMPULAN DAN SARAN

9.1 Kesimpulan
1. Formulasi sediaan suppositoria parasetamol yang digunakan kali ini dengan Iormula yang
terdiri dari 125 mg parasetamol, 98,5 oleum cacao, dan 5 cetaceum.
2. Tahapan-tahapan yang dilakukan pada pembuatan suppositoria ini adalah melelehkan
cetaceum terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan melelehkan oleum cacao sebagai
basis, dan terakhir ditambahkan parasetamol sebagai zat aktiI.
3. Jumlah suppositoria yang dihasilkan pada praktikum ini adalah sebanyak 7 buah suppositoria,
dengan bobot rata-rata adalah sebesar 2,579 0,0535 gram.


















A X
PENGEMASAN

4.1. Kemasan Primer






s




4.2 Etiket


neLLo 2 g





kompos|s| 1lap 2 gram supposlLorla mengandung 123 mg
paraceLamol
Cara paka| Cunakan saLu supposlLorla seLlap 46 [am [lka
dlperlukan unLuk nyerl dan demam Masukkan baglan runclng
supposlLorla ke dalam dubur/anus 8lla perlu u[ung supposlLorla
dlberl alr unLuk mempermudah penggunaan Cunakan 13 menlL
seLelah buang alr besar aLau cegah buang alr besar selama 30 menlL
seLelah pemakalan
1 8LLCnC lA8MA 1bk
I|mbaran Indones|a
SuMMC
SuCSl1C8lA 8ACL1AMCL






























DAFTAR PUSTAKA

AnieI, M. 2006. lmu Meracik Obat. Yogyakarta: UGM Press.

Anonim a. 2005. $O ndonesia Obat Generik Berlogo. Jakarta : Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia.

Ansel C. oward. 2005. Pengantar Bentuk $ediaan armasi. Jakarta: UI Press.

Depkes RI. 1979. armakope ndonesia . Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan.

Depkes RI. 1995. armakope ndonesia J. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan.

Lachman, L., . A. Lieberman, dan J. L. Kanig. 2008. Teori dan Praktek armasi ndustri, Edisi
Ketiga. Jakarta: UI Press.

Lacy, Charles F., Lora L. Amstrong, Marton P. Goldman, Leonard L. Lance. 2004. Drug
InIormation andbook 12
th


MashIord, M. L. 2007. Therapeutic Guidelines. Analgesic, version 5. Australia: Therapeutic
Guidelines Limited.

Niazi, S. K. 2004. Handbook of Pharmaceutical Manufacturing ormulations Over-the-Counter
Products. Volume 5. Boka Raton : CRC Press.

Reynolds, J.E.F. 1989. Martindale The Etra Pharmacopoeia, Twenty-ninth edition. London.
The Pharmaceutical Press.

Sweetman, S.C. 2009. Martindale, The Complete Drug Reference. USA: Pharmaceutical Press.

Tjay, T.. dan K. Rahardja. 2008. Obat-obat Penting Khasiat Penggunaan dan Efek-efek
$ampingnya. Jakarta: PT Elex Media Computindo.

UIIelie, O.F.1954. Buku Penuntun Ilmu Resep dalam Praktek dan Teori. Jakarta : PT.
Soeroengann

Вам также может понравиться