Вы находитесь на странице: 1из 37

BAB I PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang Permasalahan Masalah kesehatan penduduk di Indonesia masih ditandai dengan tingginya penyakitpenyakit yang berkaitan dengan rendahnya tingkat sosial ekonomi penduduk. Salah satu penyakit yang insidennya masih tinggi adalah infeksi cacing. Di Indonesia kecacingan merupakan masalah kesehatan masyarakat terbanyak setelah malnutrisi, karena Indonesia adalah negara yang agraris dengan tingkat sosial ekonomi, pengetahuan, keadaan sanitasi lingkungan dan higiene masyarakat masih rendah yang sangat menyokong untuk terjadinya infeksi dan penularan cacing (Ginting, 2003). Saat ini lebih dari 2 milyar penduduk di dunia terinfeksi cacing. Prevalensi yang tinggi ditemukan terutama di negara-negara non industri (negara yang sedang berkembang). Merid mengatakan bahwa menurut World Health Organization (WHO) diperkirakan 800 juta1 milyar penduduk terinfeksi Ascaris, 700900 juta terinfeksi cacing tambang, 500 juta terinfeksi trichuris (Merid, 2001 at in Ginting, 2003). Tinggi rendahnya frekuensi kecacingan berhubungan erat dengan kebersihan pribadi dan sanitasi lingkungan yang menjadi sumber infeksi. Diantara cacing usus yang menjadi masalah kesehatan adalah kelompok soil transmitted helminth atau cacing yang ditularkan melalui tanah, seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan Ancylostoma sp (cacing tambang). Pencemaran tanah merupakan penyebab terjadinya transmisi telur cacing dari tanah kepada manusia melalui tangan atau kuku yang mengandung telur cacing, lalu masuk ke mulut bersama makanan. Di Indonesia

prevalensi kecacingan masih tinggi antara 60% 90 % tergantung pada lokasi dan sanitasi lingkungan (Mardiana dan Djarismawati,2008) Penyakit kecacingan seringkali dihubungkan dengan kejadian anemia, terutama anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi dipengaruhi juga oleh konsekwensi dari infeksi kecacingan dengan hilangnya darah secara kronis. Penyakit kecacingan dan anemia defisiensi besi merupakan masalah yang saling terkait dan dijumpai bersamaan dalam suatu masyarakat, yaitu karena rendahnya sosial ekonomi masyarakat dan sanitasi lingkungan yang sangat tidak memadai sehingga memudahkan terjadinya penularan penyakit infeksi terutama kecacingan (Rasmaliah, 2004) Hubungan antara infeksi kecacingan dan anemia defisiensi besi sudah banyak terungkap dari berbagai penelitian yang telah dilakukan. Masing-masing saling memberikan kontribusi terhadap terjadinya kesakitan, walaupun besarnya kontribusi dari infeksi kecacingan terhadap anemia defisiensi besi masih belum banyak dibuktikan (Rasmaliah, 2004) Di Nusa Teggara Barat pernah dilakukan sebuah penelitian mengenai prevalensi kecacingan terhadap perajin gerabah di Desa Banyumulek. Penelitian yang disponsori empat lembaga, yaitu Dinas Kesehatan NTB, Ford Foundation, Pusat Informasi Kesehatan dan Perlindungan Keluarga (PIKPK) dan Pusat Studi Wanita (PSW) Universitas Mataram ini membuktikan bahwa 100 persen perajin gerabah yang menjadi sampel penelitian positif menderita kecacingan. Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 400 perajin gerabah. Dari jumlah itu, terdapat 392 perempuan dan sisanya adalah pria. Setelah dilakukan pemeriksaan feses dan gejala klinis penyakit, ternyata 100 persen dari subyek penelitian mengidap penyakit cacingan. Jenis cacing yang ditemukan, seperti cacing gelang (Ascaris lumbriscoides) sebanyak 52 persen, cacing cambuk dan cacing

kremi sebanyak 48 persen. Penyebabnya karena tiap hari bersentuhan dengan tanah dan pola hidup yang jauh dari standar sehat. Sedangkan gejala klinis yang diderita para perajin gerabah, terutama yang perempuan, biasanya mengalami keluhan seperti keputihan, pegal-pegal, linu, dan cepat merasa capek (Sujatmiko, 2005). Status anemia seseorang dapat diketahui dengan melakukan berbagai jenis pemeriksaan laboratorium, seperti pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar Fe serum, pemeriksaan apusan darah tepi dan lain-lain. Pemeriksaan darah tepi adalah salah satu metode yang cukup mudah dilakukan dan melalui pemeriksaan ini kita dapat melihat gambaran anemia seseorang berdasarkan morfologinya yang selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar untuk memperkirakan etiologi dari anemia tersebut. Karena belum ada penelitian yang menyoroti tentang kecacingan disertai dengan gambaran anemia pada masyarakat khususnya terhadap perajin gerabah di Nusa Tenggara Barat, maka data tentang prevalensi kecacingan pada masyarakat resiko tinggi ini sangat diperlukan. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Profil Kecacingan, Kadar Hemoglobin dan Gambaran Pemeriksaan Apusan Darah Tepi Perajin Gerabah di Dusun Pengodongan Indah, Banyumulek, Kediri, Lombok Barat,

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimanakah profil kecacingan, kadar hemoglobin dan gambaran pemeriksaan apusan darah tepi pada perajin gerabah di Pengodongan Indah, Banyumulek, Kediri, Lombok Barat?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui profil kecacingan, kadar hemoglobin dan gambaran pemeriksaan apusan darah tepi pada perajin gerabah di Pengodongan Indah, Banyumulek, Kediri, Lombok Barat. 1.3.2. Tujuan Khusus
1) Mengetahui data tentang angka kejadian infeksi kecacingan pada masyarakat

yang bermata pencaharian sebagai perajian gerabah di Dusun Pengodongan Indah,Banyumulek.


2) Mengetahui data mengenai gambaran anemia pada pemeriksaan apusan darah

tepi pada sampel yang positif mengalami cacingan dan memiliki nilai kadar hemoglobin yang rendah.

1.4 1.4.1

Manfaat Hasil Penelitian Puskesmas Sebagai tambahan informasi dan bahan masukan dalam usaha pencegahan dan

cara pengobatan dari permasalahan kesehatan yang terjadi yang berhubungan dengan penyakit cacingan dan anemia. 1.4.2 Masyarakat

Menambah pengetahuan dalam usaha pencegahan maupun pengobatan serta melaksanakan berbagai program pemberantasan penyakit cacingan terutama pada masyarakat dengan resiko tinggi. 1.4.3 Peneliti Sebagai pengalaman langsung dalam melakukan penelitian dan dapat menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Kecacingan Helmintologi adalah ilmu yang mempelajari parasit yang berupa cacing. Dalam Parasitologi kedokteran diadakan pembagian kelas nematoda (cacing gilik) menjadi nematode usus dan nematode jaringan. Diantara nematode usus terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah dan disebut soil transmitted helminths yang terpenting bagi manusia adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus,

Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura, Strongiloides stercoralis dan beberapa spesies Trichostrongilus (Gandahusada, 2004). Ascaris Lumbricoides (Cacing Gelang) Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides dan penyakit yang disebabkannya disebut askariasis. Prevalensi tinggi sebesar 78,5% dan 72,6% masih ditemukan pada tahun 1998 pada sejumlah murid dua sekolah dasar di Lombok. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi. Telur yang dibuahi memiliki ukuran kurang lebih 60 x 45 mikron sedangkan yang tidak dibuahi berukuran 90 x 40 mikron. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini, bila tertelan oleh manusia akan menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga

alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam esophagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2 bulan (Gandahusada, 2004).

Gambar 2.1. Daur hidup cacing gilik (Ascaris lumbricoides) (Sumber: http://www.dpd.cdc.gov/dpdx) Cara menegakkan diagnosis penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja secara langsung. Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis askariasis. Selain itu diagnosis dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau hidung, maupun melaui tinja. Tanah liat, kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar

antara 25-30C merupakan hal-hal yang sangat baik untuk berkembangnya telur A. lumbricoides (Markell et al, 1999 ; Gandahusada, 2004).

Necator Americanus dan Ancylostoma Duodenale (Cacing Tambang) Hospes parasit ini adalah manusia, Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan giginya melekat pada mukosa usus. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm sedangkan cacing jantan kira-kira 0,8 cm. Cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Telur cacing tambang memiliki ukuran kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur, mempunyai dinding tipis dan di dalamnya terdapat beberapa sel. Larva rabditiform memiliki panjang kurang lebih 250 mikron, sedangkan larva filariform panjangnya kurang lebih 600 mikron. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung menuju ke paru-paru. Di paru-paru larva menembus pembuluh darah masuk ke bronkus lalu ke trakea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan (Markell et al, 1999 ; Gandahusada, 2004). Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus tapi melekat dengan giginya pada dinding usus dan menghisap darah. Infeksi cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga penderita mengalami anemia akibatnya dapat menurunkan gairah kerja serta menurunkan produktifitas. Tetapi anemia ini biasanya

tidak dianggap sebagai kecacingan karena kekurangan darah bisa juga disebabkan oleh banyak fakta. Gejala klinik karena infeksi cacing tambang antara lain lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit, prestasi kerja menurun, dan anemia yaitu anemia hipokromik mikrositik. Di samping itu juga terdapat eosinofilia. Kejadian penyakit ini di Indonesia sering ditemukan pada penduduk yang bertempat tinggal di pegunungan, terutama di daerah pedesaan, khususnya di perkebunan atau pertambangan. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum 32 C-38 C. Untuk menghindari infeksi
o o

dapat dengan memakai sandal atau sepatu bila keluar rumah (Markell et al, 1999 ; Gandahusada, 2004).

Gambar 2.2. Daur Hidup Cacing Tambang (Sumber: Yulianto, 2007)

10

Trichuris trichiura (Cacing Cambuk) Manusia merupakan hospes cacing ini. Cacing betina panjangnya sekitar 5 cm dan yang jantan sekitar 4 cm. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Satu ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-5.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian di dalamnya jernih. Telur yang dibuahi keluar dari hospes bersama tinja. Telur menjadi matang (berisi larva dan bentuk infektif) dalam waktu 36 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia, kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30-90 hari (Gandahusada, 2004). Cacing cambuk pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak cacing ini tersebar diseluruh kolon dan rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Disamping itu cacing ini menghisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia. Infeksi cacing cambuk yang ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Sedangkan

11

infeksi cacing cambuk yang berat dan menahun terutama pada anak menimbulkan gejala seperti diare, disenteri, anemia, berat badan menurun dan kadang-kadang terjadi prolaps rektum. Infeksi cacing cambuk yang berat juga sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa (Markell et al, 1999 ; Gandahusada, 2004).

Gambar 2.3. Daur hidup Tricuris trichiura (cacing cambuk) (Sumber: Yulianto, 2007) Diagnosa dibuat dengan menemukan telur di dalam tinja. Hal yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah oleh tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab dan teduh dengan suhu optimum kira 30C. Frekuensi di Indonesia masih sangat tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara 30-90 % (Gandahusada, 2004)

2.1.2. Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Kecacingan 2.1.2.1.Faktor Higiene Perorangan

12

1) Kebiasaan memakai alas kaki Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk Necator americanus 28C-32C, sedangkan untuk Ancylostoma duodenale lebih kuat. Untuk menghindari infeksi, antara lain ialah memakai sandal atau sepatu (Yulianto, 2007). 2) Kebiasaan mencuci tangan Individu yang paling sering terinfeksi cacing karena faktor ini adalah anak-anak. Namun, sesekali orang dewasa juga dapat terkena (Yulianto, 2007). Pada pekerja gerabah faktor ini sangat mempengaruhi karena kebiasaan perajin yang tidak mencuci tangannya dengan baik setelah bekerja. 3) Kebiasaan memotong kuku Kebersihan perorangan penting untuk pencegahan. Kuku sebaiknya selalu dipotong pendek untuk menghindari penularan cacing dari tangan ke mulut (Gandahusada, 2004).

2.1.2.2.Faktor Sanitasi Lingkungan 1) Kepemilikan jamban Peranan tinja dalam penyebaran penyakit sangat besar. Di samping dapat langsung mengkontaminasi makanan, minuman, sayuran, air, tanah, tinja juga dapat mengkontaminasi bagian-bagian tubuh. Benda-benda yang telah terkontaminasi oleh tinja dari seseorang yang sudah menderita suatu penyakit tertentu merupakan penyebab penyakit bagi orang lain. Kurangnya perhatian terhadap pengelolaan tinja disertai dengan cepatnya pertambahan penduduk, akan mempercepat penyebaran penyakitpenyakit yang ditularkan lewat tinja. Kecacingan terutama akibat infeksi kelompok soil transmitted helminthes adalah penyakit yang paling banyak terjadi karena kontaminasi

13

tanah oleh tinja. Oleh karena itu keberadaan jamban sehat pada setiap rumah sangat penting untuk mencegah penyebaran penyakit ini (Notoadmodjo, 1997). 2) Lantai rumah Syarat-syarat rumah yang sehat antara lain memiliki jenis lantai yang tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim penghujan sehingga orang yang tinggal di dalamnya dapat terhindar dari resiko penularan penyakit. Lantai rumah dapat terbuat dari ubin atau semen, kayu, dan tanah yang disiram kemudian dipadatkan (Yulianto, 2007). 3) Ketersediaan air bersih Akibat air yang tidak sehat dapat menimbulkan: gangguan kesehatan. Kecacingan seperti ascariasis juga dapat ditularkan melalui air yang tercemar (Yulianto, 2007). 2.1.2.3.Faktor lainnya Menurut Yulianto yang dikutip dari Peter J. Hotes (2003:17) mengemukakan bahwa faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit cacingan yang penyebarannya melalui tanah antara lain faktor lingkungan, tanah, iklim, sosial ekonomi dan status gizi. Penyakit kecacingan biasanya terjadi di lingkungan yang kumuh terutama di daerah kota atau daerah pinggiran. Penyebaran penyakit kecacingan dapat melalui terkontaminasinya tanah dengan tinja yang mengandung telur Trichuris trichiura, telur tumbuh dalam tanah liat yang lembab dan tanah dengan suhu optimal 30C. Tanah liat dengan kelembapan tinggi dan suhu yang berkisar antara 25C-30C sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides sampai menjadi bentuk infektif, sedangkan untuk pertumbuhan larva Necator americanus yaitu memerlukan suhu optimum 28C- 32C dan tanah

14

gembur seperti pasir atau humus, dan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah yaitu 23C-25C tetapi umumnya lebih kuat (Yulianto, 2007). Faktor iklim mempengaruhi penyebaran Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yaitu di daerah tropis karena tingkat kelembabannya cukup tinggi. Sedangkan untuk Necator americanus dan Ancylostoma duodenale penyebaran ini paling banyak di daerah panas dan lembab. Lingkungan yang paling cocok sebagai habitat dengan suhu dan kelembapan yang tinggi terutama di daerah perkebunan dan pertambangan. Sementara status sosial ekonomi mempengaruhi terjadinya kecacingan karena faktor sanitasi yang buruk biasanya berhubungan dengan sosial ekonomi yang rendah (Yulianto, 2007),

2.1.3. Anemia Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah masa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Secara praktis, anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count). (Sudoyo, 2007 ; Permono, 2006). Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologinya dibagi menjadi 3, yaitu (Sudoyo, 2007) : 1. Anemia hipokromik mikrositik, contohnya pada anemia defisiensi besi, thalasemia mayor, anemia akibat penyakit kronik dan anemia sideroblastik. 2. Anemia normokromik normositik, adalah anemia yang dapat terjadi pada kasuskasus anemia pasca perdarahan akut, anemia aplastik, hemolitik didapat, anemia

15

akibat penyakit kronik, anemia pada gagal ginjal kronik, pada sindrom mielodisplastik dan anemia pada keganasan hematologik. 3. Anemia makrositik yang dibagi menjadi: a. bentuk megaloblastik, contohnya pada anemia defisiensi asam folat, anemia defisiensi B12 termasuk anemia pernisiosa b. bentuk non-megaloblastik, contohnya anemia pada penyakit hati kronik, hipotiroidisme dan pada sindrom mielodisplastik. Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnosis pokok dalam diagnosis anemia. Pemeriksaan penyaring (screening) untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia seta jenis morfologik anemia tersebut yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut (Sudoyo, 2007).

Hemoglobin dan Indeks Eritrosit Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen ke jaringan. Molekul hemoglobin tersusun dari heme dan globin. Heme terbentuk dari Fe dan protoporphyrin yang terbentuk di mitokondria. Globin terbentuk dari rantai asam amino dalam ribosom (Elizabeth, 2009). Kadar hemoglobin (Hb) dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal serta keadaan fisiologis tertentu seperti misalnya kehamilan. Namun, WHO mengklasifikasikan seseorang menderita anemia apabila ia memiliki kadar hemoglobin <13 g/dl untuk laki-laki dan <12 g/dl untuk wanita (Sudoyo, 2007 ; Peters et al, 2008). Kadar Hb menurun pada anemia dan dapat

16

dijumpai pada thalasemia, haemoglobinopathy dan perdarahan akut atau kronis (Elizabeth, 2009).

Indeks Eritrosit dan Apusan Darah Tepi (Blood Smear) Indeks eritrosit rata-rata adalah perhitungan yang menyatakan besarnya volume eritrosit dan konsentrasi hemoglobin dalam tiap sel. Penggolongan anemia berdasarkan indeks eritrosit yang dianggap paling bermanfaat yaitu anemia mikrositik, normositik dan makrositik. Hal ini disebabkan karena gambaran anemia tersebut mengarahkan pada sifat defek primernya serta menunjukkan kelainan yang mendasari sebelum terjadi anemia yang jelas atau nyata, Indeks eritrosit terdiri atas Mean Cell Volume (MCV), Mean Cell Haemoglobine (MCH) dan Mean Cell Haemoglobine Concentrate (MCHC) (Elizabeth, 2009 ; Permono 2006). Nilai MCV didapatkan dari perbandingan Hematokrit dengan jumlah eritrosit dengan nilai normal berkisar antara 80 100 femtoliter (fl) pada orang dewasa. Volume sel disebut mikrositosis bila nilai MCV <80 fl dan disebut makrositosis bila memiliki nilai >100 fl. MCH adalah salah satu indeks eritrosit yang bertujuan untuk mengukur banyaknya Hb yang terdapat dalam satu sel darah merah. Nilai MCH ditentukan

dengan membagi jumlah Hb dalam 1000 ml darah dengan jumlah eritrosit dengan nilai normal berkisar antara 27-32 pikogram (pg) pada orang dewasa. Jika nilai kurang dari normal maka disebut hipokrom. Sementara itu pengukuran kadar hemoglobin berbanding hematokrit disebut sebagai Mean Cell Hb Concentrate atau MCHC yang dinyatakan dengan persen volume sel (gram Hb per dl eritrosit dalam satuan SI) (Elizabeth, 2009 ; Widmann, 1995). Pemeriksaan apusan darah tepi adalah pemeriksaan dengan tujuan untuk menilai

17

berbagai unsur sel darah tepi seperti sel darah merah, sel darah putih dan platelet serta mencari adanya parasit seperti malaria, tripanosoma, mikrofilaria dan lain-lain. Pewarnaan yang biasa digunakan adalah Giemsa dan Wrights stain. Wrights stain terdiri atas campuran methylene blue dengan eosin dalam methanol diluents. Componen dasar sel seperti hemoglobin akan menyatu dengan komponen asam dari zat warna, yaitu eosin sehingga dosebut eosinophilic atau berwarna kemerahan. Komponen lain seperti asam nukleat dan sitoplasma reaktif akan menyerap zat warna methylene blue sehingga berwarna biru atau ungu (Drennan, 2010; Widmann, 1995 ; Elizabeth, 2009).

Gambar 2.4. Gambaran apusan darah tepi eritrosit normal (Sumber : Hensing, 1999)

18

Gambar 2.5. Gambaran apusan darah tepi: eritrosit hipokromik mikrositik pada anemia defisiensi besi (Sumber : Hensing, 1999)

Gambar 2.6. Gambaran apusan darah tepi: makrositik bentuk megaloblastik pada anemia defisiensi vitamin B12 (Sumber : Hensing, 1999)

Gambar 2.7. Gambaran apusan darah tepi: Anemia akibat penyakit kronik (Sumber : Hensing, 1999)

19

2.2. Kerangka Konsep


Faktor resiko kecacingan pada pekerja gerabah

Kebiasaan mencuci tangan Kebiasaan memotong kuku

Lingkungan

Tanah

Pekerja gerabah dengan faktor resiko

Penyakit cacingan

Pemeriksaan kadar Hb

kadar Hb normal

kadar Hb <normal

Pemeriksaan apusan darah tepi

Keterangan: : Variabel yang diukur : Variabel yang tidak diukur

20

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan secara cross sectional. Survey cross sectional adalah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek dengan cara pendekatan, observasi dan pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Point time approach).

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1. Tempat Penelitian Penelitian ini bertempat di Dusun Pengodongan Indah, Desa Banyumulek, Kecamatan Kediri, Kabupaten Lombok Barat. 3.2.2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih 4 minggu. Dua minggu pertama dilakukan pemeriksaan tinja sampel untuk mengetahui prevalensi kecacingan pada sampel dan dua minggu berikutnya dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin dan apusan darah tepi sampel untuk mengetahui gambaran anemia berdasarkan morfologi pada sampel.

21

3.3.

Subyek Penelitian

3.3.1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penduduk Dusun Pengodongan Indah yang bermatapencaharian sebagai perajin gerabah berdasarkan data penduduk tahun 2010 yaitu sebanyak 120 orang. 3.3.2. Sampel Penelitian Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2004:56). Sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan rumus sebagai berikut (Azwar dan Prihatono, 2003): n Dan n1 = n 1+ n/N = 4pq L2

Keterangan: n : jumlah sampel awal p : sifat suatu keadaan dalam persen, jika tidak diketahui maka dianggap 50% (tidak ditemukan dalam referensi) q : 100% - p L : derajat ketepatan yang dipergunakan yaitu 10% n1: jumlah sampel sebenarnya N : jumlah populasi kriteria (120 orang) Berdasar rumus di atas, maka besarnya sampel minimal yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :

22

= = =

4 x 50 x 50 10 x 10 10.000 100 100 100 1+ (100 : 120) 54,54 ~ 55 orang

n1

= =

Jadi, jumlah subyek penelitian minimal adalah 55 orang.

3.3.3. Cara Pemilihan Sampel Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik Purposive sampling yaitu penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2004:61). Sampel diambil secara kriteria inklusi dan eksklusi yaitu sebagai berikut: 3.3.3.1. Kriteria inklusi 1) Masyarakat Desa Banyumulek berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan 2) Berusia 20 sampai 40 tahun
3) Bermatapencaharian sebagai perajin gerabah

4) Bersedia menjadi responden atau sampel penelitian 3.3.3.2. Kriteria eksklusi 1) Wanita hamil 2) Memiliki penyakit kronis

3.3.4.

Definisi Operasional Variabel

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

23

a. Kecacingan adalah suatu penyakit akibat infeksi cacing yang ditandai dengan

ditemukannya telur dan atau larva dalam tinja (hanya untuk jenis cacing Ascaris lumbricoides, Tricuris trichiura dan cacing tambang sebagai nematoda usus yang umum ditemui di Indonesia khususnya NTB).
b. Gambaran apusan darah tepi adalah gambaran morfologi sel darah merah yang

diperoleh dengan memeriksa apusan darah tepi di bawah mikroskop dengan pewarnaan Wrights stain.
c. Kadar Hemoglobin adalah kandungan hemoglobin dalam darah yang dinyatakan

dalam satuan g/dl. Kadar hemoglobin normal adalah 13 g/dl untuk laki-laki dan 12 g/dl untuk perempuan.

3.4.

Instrumen Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data Instrumen dan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara

lain:
1. Penyebaran kuesioner yang berisi pertanyaan terstruktur untuk membantu proses

pemilihan sampel sesuai dengan kriteria inklusi maupun eksklusi


2. Pemeriksaan laboratorium terdiri atas tiga bagian, yaitu pemeriksaan feses untuk

mengetahui status kecacingan dari sampel, pemeriksaan kadar hemoglobin untuk mengetahui status anemia dan pemeriksaan apusan darah tepi untuk mengetahui gambaran anemia sampel. Dalam penelitian ini pemeriksaan feses yang digunakan adalah menggunakan metode pewarnaan dengan iodine atau eosin. Dengan pewarnaan ini dapat dilihat telur cacing yang dindingnya tidak berwarna menjadi

24

jelas, begitu pula bagian larva cacing yang ada akan menjadi jelas. (Pinardi Hadidjaja, 1994). 3.5. Prosedur Penelitian Pada penelitian ini dipilih Dusun Pengodongan Indah, Desa Banyumulek yang merupakan dusun dengan penduduk yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai perajin gerabah. Karena jumlah populasi yang cukup banyak, maka penelitian ini menggunakan sampel yang jumlah maupun individunya akan diketahui setelah penapisan awal dengan kuesioner. Setelah sampel ditentukan baik jumlah maupun individu yang terpilih sebagai sampel, maka selanjutnya dilakukan pengambilan data. Pengambilan data pertama adalah melalui pemeriksaan faeces sampel di laboratorium dengan menggunakan metode pewarnaan iodine atau eosin. Dengan pemeriksaan ini akan didapatkan data mengenai jumlah sampel yang positif menderita kecacingan beserta gambaran jenis cacing yang menginfeksinya. Setelah itu, pengambilan data dilanjutkan dengan mengambil sampel darah pada sampel yang sama untuk kemudian dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin dengan metoda otomatis di laboratorium. Pemeriksaan hemoglobin dengan cara otomatis ini memungkinkan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin diukur dengan cepat dan teliti dan sekaligus dapat menghitung indeks eritrosit yang dapat digunakan untuk melengkapi data penelitian ini. Sampel yang memiliki kadar hemoglobin < 12 gr/dl untuk wanita dan < 13 gr/dl untuk laki-laki akan diperiksa apusan darah tepi dengan pengecatan Wright stain yang terdiri atas campuran methylene blue dengan eosin dalam methanol diluents dengan prinsip setetes darah
dipaparkan di atas gelas obyek lalu dicat, dikeringkan dan diperiksa dibawah mikroskop,

sehingga akan didapatkan data mengenai gambaran anemia berdasarkan morfologi dan

25

etiologi atau gambaran apusan darah, apakah terdapat gambaran hipokromik mikrositik, normokromik normositik atau makrositik. 3.6. Alur Penelitian

Sampel

pemeriksaan faeces

pemeriksaan Hb

kecacingan (+)

kecacingan (-)

anemia (+)

anemia (-)

pemeriksaan apusan darah tepi

3.7. Analisis Data Data yang diperoleh dari kuesioner dan hasil laboratorium akan dikumpulkan dan disajikan dalam bentuk table dan grafik serta dengan menggunakan bantuan software SPSS versi 15 untuk mengetahui gambaran variabel yang diteliti.

26

3.8. Jadwal Penelitian Tabel 3.1. Rencana Kegiatan dan Waktu Penelitian Kegiatan Mei Pembuatan proposal Survey Pengambilan Data Analisis data Laporan penelitian Juni Juli Bulan Agustus Sept. Oktober Nov.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

27

4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan mulai tanggal 2 Agustus sampai 2 Oktober 2010. Jumlah subjek yang terlibat dari awal hingga akhir penelitian adalah sebanyak 67 orang. Adapun hal yang diteliti adalah status kecacingan melalui pemeriksaan feses dan status anemia melalui pemeriksaan kadar hemoglobin dan apusan darah. Tabel 4.1. Karakteristik Subjek Penelitian Karakteristik
Usia 20-25 tahun 26-30 tahun 31-35 tahun 35-40 tahun Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Jenis pekerjaan Mencetak saja Membakar saja Mencetak dan membakar 9 (13,4) 18 (26,9) 10 (14,9) 30 (44,8) 1(1,49) 66 (98,51) 56 (83,58) 2 (2,98) 9 (13,44)

n (%)

4.1.1. Kecacingan Dari 71 orang yang mengumpulkan sampel feses pada pengambilan data pertama didapatkan hasil 24 diantaranya (33,80%) dinyatakan positif menderita cacingan. Dua puluh empat subjek tersebut diketahui memiliki aktivitas yang berbeda-beda dalam membuat kerajinan gerabah, yaitu mencetak saja, membakar saja dan keduanya seperti yang tercantum pada table 4.2.

Tabel 4.2. Subjek positif kecacingan berdasarkan jenis pekerjaan


Jenis cacingan Trikuriasis Mencetak Membakar n (%) n (%) 15 (62.5) 0 (0) Keduanya n (%) 0 (0) Total n (%) 15 (62.5)

28

Askariasis Trikuriasis dan Askariasis Total

3 1 19

(12.5) (4.17) (79.2)

2 0 2

(8.3) (0) (8.33)

3 0 3

(12.5) (0) (12.5)

8 1 24

(33.3) (4.17) (100)

Dari 24 subjek yang positif, 15 orang (62,5%) diantaranya menderita trikuriasis dan seluruhnya memiliki aktivitas yang sama, yaitu mencetak saja. Sebanyak 8 orang (33,3%) menderita askariasis dengan aktivitas mencetak 3 orang, membakar 2 orang dan keduanya sebanyak 3 orang. Sementara itu satu orang (4,2%) subjek yang beraktivitas mencetak diketahui mengalami baik askariasis maupun trikuriasis sekaligus. 4.1.2. Anemia Setelah pemeriksaan status kecacingan, penelitian dilanjutkan dengan pengambilan sampel darah subjek. Dari 71 subjek yang telah bersedia ikut serta dalam pemeriksaan feses, 4 diantaranya dinyatakan drop out dalm penelian berikutnya, sehingga subjek yang tersisa untuk pemeriksaan status anemia adalah 67 orang, dengan spesifikasi 23 diantaranya positif kecacingan. Dari pemeriksaan darah lengkap diperoleh data mengenai kadar hemoglobin (Hb) dan indeks eritrosit seperti Mean Cospuscular Volume (MCV), Mean Cospuscular Hemoglobin (MCH), dan ), Mean Cospuscular Hemoglobin Concentration (MCHC).

Tabel 4.3. Kadar Hemoglobin dan Indeks Eritrosit Subjek

29

Parameter Hemoglobin Di bawah normal Normal MCV Di bawah normal Normal MCH Di bawah normal Normal Di atas normal MCHC Di bawah normal Normal

Frekwensi

16 51

23,9 76,1

9 58

13,4 86,6

12 53 2

17,9 79,1 3,0

8 59

11,9 88,1

Dari 67 subjek yang diteliti terdapat 16 orang (23,9%) yang memiliki kadar Hb kurang dari 12 g/dl. Pemeriksaaan apusan darah tepi selanjutnya dilakukan pada 16 subjek yang diketahui memiliki kadar hemoglobin rendah (kurang dari 12 g/dl) untuk melihat gambaran sel darah subjek secara mikroskopik. Tabel 4.4. Evaluasi Apusan Darah
Gambaran Apusan Darah Normositik Normokromik Normositik Hipokromik Mikrositik Hipokromik n (%) 8 (50) 2 (12,5) 6 (37,5)

Dari 16 subjek yang telah mengikuti evaluasi apusan darah, 6 diantaranya (37,5%) memberikan gambaran eritrosit mikrositik hipokromik, 2 (12,5%) subjek lainnya

30

menunjukkan gambaran normositik hipokromik sedangkan 8 (50%) lainnya dinyatakan normokromik normositik.

4.2.

Pembahasan Penelitian ini dilakukan terhadap perajin gerabah di Dusun Pengodongan Indah,

Desa Banyumulek yang berusia 20 hingga 40 tahun. Dari 67 subjek, terdapat 66 perempuan dan satu laki-laki. Hal ini dapat mempengaruhi hasil penelitian mengingat jenis kelamin merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian anemia, dimana perempuan memiliki resiko lebih besar mengalami anemia dibandingkan laki-laki, mungkin karena perempuan mengalami siklus haid dan juga kehamilan ( Rasmaliah, 2004). Penelitian terhadap prevalensi kecacingan di Desa Banyumulek pada tahun 2005 oleh Dinas Kesehatan NTB didapatkan hasil 100% subjek penelitian positif menderita kecacingan. Hal tersebut berbeda cukup jauh dengan hasil penelitian ini dimana hanya 33,80 % saja yang positif kecacingan. Hal ini dapat disebabkan karena telah membaiknya status kesehatan masyarakat setempat selama kurun waktu 5 tahun, dimana masyarakat telah banyak mendapatkan penyuluhan kesehatan dari praktisi kesehatan setempat sehingga perilaku hidup bersih dan sehat dari masyarakat juga semakin membaik. Berdasarkan wawancara tidak resmi dengan beberapa penduduk setempat diketahui bahwa sejak terjadinya krisis di bidang pariwisata yang antara lain dipengaruhi oleh kejadian bom Bali, kegiatan penduduk sebagai perajin gerabah cenderung menurun, dalam arti proses pembuatan gerabah dilakukan secara rutin hanya jika mendapat borongan saja. Hal ini mungkin menyebabkan menurunnya intensitas

31

kontak subjek dengan tanah yang merupakan sumber infeksi kecacingan (Sujatmiko, 2005). Jenis pekerjaan sebagai perajin rupanya juga mempengaruhi jenis cacing yang menginfeksi. Dari penelitian ini terdapat 15 subjek terinfeksi cacing jenis Trichuris trichiura atau cacing cambuk. Dalam menjalankan profesi mereka sebagai perajin, seluruh subjek diketahui beraktivitas mencetak gerabah. Hal ini sesuai dengan teori bahwa penyebaran penyakit cacingan dapat melalui terkontaminasinya tanah dengan tinja yang mengandung telur Trichuris trichiura, dimana telur tumbuh dengan baik dalam tanah liat yang lembab dan tanah dengan suhu optimal 30C. Terdapat 8 penderita askariasis yang diketahui memiliki aktivitas yang berbeda-beda mulai dari mencetak, membakar maupun keduanya. Tanah liat dengan kelembapan tinggi dan suhu yang berkisar antara 25C-30C sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides sampai menjadi bentuk infektif (Yulianto, 2007). Sejauh ini belum terdapat penelitian yang membahas secara detail mengenai hubungan jenis pekerjaan dengan infeksi kecacingan terutama pada perajin gerabah. Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada pemeriksaan kadar hemoglobin hanya 16 dari 67 subjek yang memiliki kadar di bawah 12 g/dl dan hanya enam diantaranya yang positif kecacingan dengan jenis trikuriasis sebanyak 5 orang dan satu orang menderita trikuriasis maupun askariasis. Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena derajat kecacingan yang diderita oleh subjek sebagian besar masih tergolong ringan dan tidak kronis, sesuai dengan hasil evaluasi feses yang memperlihatkan hanya terdapat paling banyak satu telur cacing per lapang pandang. Lebih banyaknya jumlah subjek anemia berasal dari subjek yang negatif kecacingan

32

mungkin disebabkan oleh faktor penyebab anemia lainnya, seperti anemia karena faktor gizi, proses hemolisis maupun anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks (Sudoyo, 2006). Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit dan apusan darah tepi. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV <80 fl dan MCH <27 pg adalah gambaran anemia yang paling sering dijumpai pada penderita anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis karena cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. ADB dapat disebabkan oleh karena rendahnya masukan besi, gangguan absorbsi serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun seperti pada infeksi cacing usus yang kronis (Sudoyo,2006). Pada penelitian ini, gambaran eritrosit mikrositik hipokromik pada 6 subjek sangat mungkin disebabkan oleh anemia defisiensi besi, dimana 4 diantaranya adalah subjek dengan kecacingan positif. Tiga dari 4 subjek tersebut terinfeksi trikuruasis, sedangkan satu orang lainnya menderita baik trikuriasis maupun askariasis. Keenam subjek memiliki kadar MCH dan MCV yang rendah, sedangkan untuk kadar MCHC terdapat satu orang yang memiliki kadar normal. Dua subjek lainnya memberi gambaran normositik hipokromik, masing-masing memiliki kadar MCV normal dan mendekati normal, namun kadar MCH keduanya cukup rendah. Sementara itu 8 subjek yang memberi gambaran eritrosit normal mungkin mengalami penurunan kadar hemoglobin karena penyebab lain.

33

Kelebihan dari penelitian ini adalah penelitian ini tidak hanya meneliti prevalensi kecacingan pada masyarakat resiko tinggi saja, namun juga dapat menggambarkan konsekwensi yang mungkin ditimbulkan berupa profil anemia dan gambaran morfologinya melalui pemeriksaan apusan darah tepi yang belum pernah diteliti sebelumnya. Selain itu penelitian ini juga dilakukan lebih spesifik pada usia produktif yaitu 20-40 tahun sehingga dapat memperkecil resiko bias. Kekurangan dari penelitian ini adalah terbatasnya cakupan populasi penelitian terutama dari segi kuantitas.

34

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

1. Prevalensi kecacingan pada perajin gerabah di Banyumulek telah mengalami

penurunan yang signifikan, dimana sebanyak 24 orang (33,8%) dari 71 subjek positif kecacingan dengan jenis trikuriasis sebanyak 62,5%, askariasis 33,3% dan 4,2% menderita askariasis maupun trikururiasis.
2. Frekwensi kejadian anemia berdasarkan kadar hemoglobin adalah 16 orang (23%)

dari 67 subjek, 37,5% diantaranya memberi gambaran eritrosit mikrositik hipokromik, 12,5% normositik hipokromik dan 50% normositik normokromik pada evaluasi hapusan darah tepi. 5.2. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penyebab menurunnya prevalensi

kecacingan dibandingkan penelitian sebelumnya pada perajin gerabah di Banyumulek. 2. Perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh kecacingan terhadap kejadian anemia khususnya pada perajin gerabah. 3. Perlu dilakukan penelitian dengan subjek yang lebih banyak serta pada populasi perajin gerabah di tempat lain.

35

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2005. Penuntun Praktikum Parasitologi. Denpasar: Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar

Anonimous,

2006.

Strongyloides

Stercoraliss

Life

Cycle.

Available

from:

http://www.stanford.edu/group/parasites/ParaSites2006/Strongylodiasis/images/Str ongyloides_LifeCycle. Accessed: April, 14 2010

Azwar, Azrul dan Prihartono Joedo. 2003. Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Binarupa Aksara

Drennan, 2010. Hematology Laboratory: Proper Preparation of Peripheral Blood SmearSlide Staining with Wright's Stain. Available from: http://www. cls.umc.edu. Accessed: November, 1 2010

Elizabeth, SN. 2009. Darah Lengkap. Available from: http://www. fk.uwks.ac.id. Accessed: October, 25 2010

Entjang, Indan. 2000, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Gandahusada, Srisasi. 2000, Parasitologi Kedokteran edisi ke 3, Jakarta: Universitas Indonesia Ginting, Sri Alemina. 2003. Hubungan Antara Status Sosial Ekonomi Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar Di Desa Suka Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara. Available from: http://www.USU digital library. Acessed: January, 27 2010.

36

Hadidjaja, Pinardi.1994. Penuntun Laboratorium Parasitologi Kedokteran, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Hensing, 1999. Overview of the Peripheral Blood Smear. Available from: http://www.med.unc.edu/medicine/web/Smearreview. Accessed: January, 27 2010

Mardiana dan Djarismawati. 2008. Prevalensi Cacing Usus padaMmurid Sekolah Dasar Wajib Belajar PelayananGgerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh Di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 7 No. 2, Agustus 2008 : 769 774

Markell, K. Edward. 1999. Medical Parasitology. USA: Saunders Notoatmodjo, Soekidjo . 2002, Metode Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta. Permono, Bambang. 2006. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia

Peters, Ruth et al. 2008. Haemoglobin, Anaemia, Dementia and Cognitive Decline in The Elderly, A Systematic Review. BMC Geriatrics 2008, 8: 18

Rasmaliah. 2004. Anemia Kurang Besi Dalam Hubungannya dengan Infeksi Cacing pada Ibu Hamil. Available from: USU digital library. Acessed: January, 27 2010.

Sudoyo, Aru. W. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Departemen IPD Fakultas Kedokteran UI

37

Sujatmiko. 2005. 100% Perajin Gerabah di Lombok Cacingan. Available from: http//:www.tempointeraktif.com. Acessed: January, 27 2010.

Supriadi, 2005. Hubungan Kecacingan dengan Status Anemia Gizi Anak Sekolah Dasar (Studi pada Anak SD di SDN Gembol 1Kec. Karang Anyar, Kab. Ngawi). Available from: http://www.fkm.undip.ac.id. Accessed November, 25 2009

Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 424/MENKES/SK/VI, 2006, Pedoman Pengendalian Cacingan, Jakarta: Departemen Kesehatan.

Sugiyono. 2004,.Statistik untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta Yulianto, Evi. 2007. Hubungan Higiene Sanitasi dengan Kejadian Penyakit Cacingan pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Rowosari 01 Kecamatan Tembalang Kota Semarang Tahun Ajaran 2006/2007. Available from: http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/cgi-bin/library (Accessed: 11, 25 2009)

Вам также может понравиться