Mooi Indie Pada mulanya istilah Mooi Indie pernah dipakai untuk memberi judul reproduksi sebelas lukisan pemandangan cat air Du Chattel yang diterbitkan dalam bentuk portIolio di Amsterdam tahun 1930. Namun demikian istilah itu menjadi popular di Hindia Belanda semenjak S. Sudjojono memakainya untuk mengejek pelukis-pelukis pemandangan dalam tulisannya pada tahun 1939. Dia mengatakan bahwa lukisan-lukisan pemandangan yang serba bagus, serba enak, romantis bagai di surga, tenang dan damai, tidak lain hanya mengandung satu arti: Mooi Indie (Hindia Belanda yang Indah). Lukisan-Iukisan Mooi Indie dapat dikenali dari penampilan Iisiknya. Bentuk atau subyek maternya adalah pemandangan alam yang dihiasi gunung, sawah, pohon penuh bunga, pantai atau telaga. Selain itu kecantikan dan eksotisme wanita-wanita pribumi, baik dalam pose keseharian, sebagai penari, atau pun dalam keadaan setengah busana. Laki-Iaki pribumi juga sering muncul sebagai obyek lukisan, biasanya sebagai orang desa, penari atau bangsawan yang direkam dalam setting suasana Hindia Belanda. Menurut M. Agoes Burhan, warna yang dipakai untuk mengungkapkan obyek- obyek itu kebanyakan cerah dan mengejar cahaya yang menyala. Karakter garisnya lembut sebagaimana lukisan Du Chattel, sampai lincah dan spontan seperti Isaac Israel, tetapi tidak ada yang sampai liar sebagaimana goresan orang-orang ekspresionis. Mereka menempatkan obyek-obyek dalam komposisi yang Iormal, seimbang, sehingga menghasilkan suasana tenang. Konsekuensinya, komposisi yang mengarah pada struktur diagonal atau bloking objek-objek dari sudut kanvas untuk menimbulkan suasana tegang dan dramatis jarang dipakai. Ciri-ciri Iisik yang demikian itu merupakan maniIestasi dari ide pelukisnya yang ingin merealisasikan impian untuk melihat negeri Timur, yang bagi pelukis-pelukis Belanda merupakan dunia dongeng sejak masa kanak-kanak mereka. Terdapat empat kelompok pelukis dari aliran Indie Mooi ini yang mulai berkembang pada awal abad ke-20 ini, yaitu: (a) Orang asing yang datang dari luar negeri yang jatuh cinta pada keindahan negeri ini dan menemukan obyekobyek yang cocok di tanah Hindia. Misalnya F.J. du Chattel, Manus Bauer, Nieuwkamp, Isaac Israel, PAJ Moojen, Carel Dake, Romualdo Locatelli (Itali), dll. (b) Orang-orang Belanda kelahiran Hindia Belanda, misalnya Henry van Velthuijzen, Charles Sayers, Ernest Dezen~e, Leonard Eland, Jan Frank, dll. (c) Orang pribumi yang berbakat melukis dan mendapat ketrampilan dari dua kelompok di atas, misalnya Raden Saleh, Mas Pirngadi, Abdullah Surisubroto, Wakidi, Basuki Abdullah, Mas Soeryo Soebanto, Henk Ngantunk; (d) Orang-orang Cina yang mulai muncul pada dasawarsa ketiga abad 20, khususnya Lee Man Fong, Oei Tiang Oen dan Biau Tik Kwie. Pada umurnnya, dalam melakukan publikasi karya-karyanya mereka mengadakan pameran selama di Jakarta bertempat di Bataviasche Kuntkringgebouw, TheosoIie Vereeniging, Kunstzaal KolII & Co, Hotel Des Indes, dll.
$ $:djojono Tokoh seni lukis Indonesia bernama lengkap Sindudarsono Sudjojono, lahir di Kisaran, Sumatera Timur, 1913 dan meninggal di Jakarta 25 Maret 1986. Pelukis terkemuka, salah seorang pendiri Persagi (1937). Pendidikannya di tempuh di Kweekschool Goenoengsari Bandung dan Sekolah Guru Taman Siswa. Belajar melukis pada pelukis Mooi Indie, seperti Mas Pringadie; kemudian pada seorang pelukis Jepang Chioyi Yasaki, yang singgah di Jakarta dalam perjalanannya mengelilingi dunia awal 1930-an, untuk melukis pemandangan kota-kota besar seluruh dunia dalam media pastel. Bahkan ketika dekat dengan Bataviasche Kunstkring (lembaga lingkaran seni milik seniman-seniman Belanda) ia sempat belajar dengan Jan Frank. Banyak berdiskusi dengan kritikus (dan pelukis) Henry van Velthuysen serta penulis-peneliti Nyonya De Loos-Haaxman. Dalam sejumlah pengakuan, ia sangat dipengaruhi oleh lukisan- lukisan cantik pelukis Belanda, Jan Sluijter. Tahun 1937 Sudjojono ikut dalam pameran bersama pelukis-pelukis di Jakarta, yang terdiri dari pelukis-pelukis Indonesia, Cina, dan Belanda, di Gedung Kunstkring Batavia. Karya-karyanya yang terkenal ketika itu: Anak-anak Sunter, Jungkatan, Orang Tua, Depan Kelambu Terbuka, Cap Gomeh. Kemudian ditunjuk sebagai pemimpin latihan melukis pada Pusat Kebudayaan Jepang Keimin Bunka Sidosho bagian Seni Rupa, yang diketuai Agus Djaya. Karya-karya seni lukis Sudjojono yang terkenal ketika itu antara lain: Sayang, Aku Bukan Anjing, Suasana, Jalan Lurus, Bermain Judi di Bawah Salib. Tahun 1946 pindah ke Yogyakarta dan mendirikan SIM (Seniman Indonesia Muda) dengan tujuan ikut menegakkan Indonesia Merdeka dalam menentang agresi tentara kolonial. Lukisan-lukisannya yang terkenal masa di Yogyakarta ialah: Prambanan, Mengungsi, Tetangga. Selama 1955-1962 ia juga giat mematung. Lukisannya yang berjudul Mr. UNO and the Golden Princess, dihadiahkan pemerintah RI kepada PBB (1970). Tahun 1970 menerima medali emas dari pemerintah atas jasa-jasanya di bidang seni lukis Indonesia. Lukisan raksasa Pertempuran Sultan Agung melawan Jan Pieterzoon Coen, pesanan Gubernur DKI Jaya (1973), sekarang tergantung di Museum Fatahillah, Jakarta. Lukisannya Pasar Ikan dihadiahkan oleh Pemerintah DKI Jaya pada Ratu Elizabeth (1973). Ia juga banyak menulis tentang perkembangan seni lukis Indonesia dan dunia, di antaranya sebuah brosur Kami Tahu, Kemana Seni Lukis Indonesia Hendak Kami Bawa. Selain itu Sudjojono juga aktiI dalam politik. Ketika Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, organisasi kebudayaan di bawah PKI) kuat berjaya, ia ikut di dalamnya. Di samping itu ia juga aktiI di Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menjadi salah seorang wakil partai itu di DPR(S). Kemudian ia keluar dari PKI dan Lekra, karena partai itu terlampau mengurusi urusan pribadi nya. Di sisi lain PKI sangat marah kepada Sudjojono, karena ia diketahui menghasut masyarakat untuk benci terhadap D.N. Aidit, pimpinan tertinggi PKI. Pada bulan September 1997, biro lelang Christie's Singapore, melelang lukisannya Pura Kembar, Sanur (1972) dengan harga 124.750 dollar Singapura. Sebuah harga yang luar biasa untuk karyanya yang berukuran sedang. Sekadar bukti, betapa maniIestasi seni Sudjojono dihargai dan diperebutkan dari waktu ke waktu. Sudjojono selalu menandatangani lukisannya dengan tulisan dan kode 101 (dalam kurung) dan tulisan SS. Angka 101 adalah nomor kode selimut ketika ia berdiam di barak, di daerah perkebunan Kisaran. SS adalah singkatan dari namanya, Sindudarsono Sudjojono.
DAFTAR PUSTAKA http://id.wikipedia.org/wiki/SindoesoedarsonoSoedjojono http://www.google.co.id http://www.jakarta.go.id/jakv1/encyclopedia/detail/1931 http://www.jakarta.go.id/jakv1/encyclopedia/detail/2629