Вы находитесь на странице: 1из 23

Berbicara mengenai pemberdayaan masyarakat maka akan berkaitan erat dengan peningkatan kemampuan atau kapasitas masyarakat.

Tetapi konsep pemberdayaan masyarakat ini paling sering digunakan untuk meningkatkan atau memberdayakan masyarakat miskin. Hal ini disebabkan karena masyarakat miskin sangat membutuhkan bantuan yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Sementara konsep kemiskinan tersebut juga harus dipahami sebelum melakukan pemberdayaan masyarakat. Hal ini sangat penting karena sangat menentukan pada saat proses pemberdayaan masyarakat dan juga sangat penting dalam penyusunan strategi dalam memberdayakan masyarakat. Jadi, dalam proses pemberdayaan masyarakat pemahaman dan mengerti tentang konsep kemiskinan dalam masyarakat sangatlah penting. proses pemberdayaan masyarakat pemahaman dan mengerti tentang konsep kemiskinan dalam masyarakat sangatlah penting. Menurut Usman (2008:125-127), paling tidak ada tiga macam konsep kemiskinan, yaitu: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, dan kemiskinan subyektif. Konsep kemiskinan absolut dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang konkret (a fixed yardistick). Ukuran ini lazimnya berorientasi pada kebutuhan dasar dalam hidup minimum anggota masyarakat (sandang, pangan, dan papan). Konsep kemiskinan relatif dirumuskan berdasarkan the idea of relative standard, yaitu dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Dasar asumsinya adalah kemiskinan di suatu daerah berbeda dengan daerah lainnya, dan kemiskinan pada waktu tertentu berbeda dengan waktu yang lain. Konsep kemiskinan semacam ini lazimnya diukur berdasarkan pertimbangan (in terms of judgment) anggota masyarakat tertentu, dengan berorientasi pada derajat kelayakan hidup. Sedangkan konsep kemiskinan subyektif dirumuskan berdasarkan perasaan kelompok miskin itu sendiri. Konsep ini tidak mengenal a fixed yardistick dan tidak memperhitungkan the idea of relative standard. Kelompok yang menurut ukuran kita berada di bawah garis kemiskinan, boleh jadi tidak menganggap dirinya sendiri miskin (dan demikian pula sebaliknya). Dan kelompok yang dalam perasaan kita tergolong hidup dalam kondisi tidak layak, boleh jadi tidak menganggap dirinya sendiri semacam itu (dan demikian pula sebaliknya). Selain itu, Usman (2008:127-128) juga mengemukakan bahwa sedikitnya ada dua macam perspektif yang lazim dipergunakan untuk mendekati masalah kemiskinan, yaitu: perspektif kultural (cultural perspective) dan perspektif struktural atau situasional (situational perspektive). Masing-masing perspektif tersebut memiliki tekanan, acuan, dan metodologi tersendiri yang berbeda dalam menganalisis masalah kemiskinan. Perspektif kultural mendekati masalah kemiskinan pada tingkat analisis: individual, keluarga, dan masyarakat. Pada tingkat individual, kemiskinan ditandai dengan sifat yang lazim disebut a strong feeling of marginality seperti: sikap parokial, apatisme, fatalisme atau pasrah pada nasib, boros, tergantung dan inferior. Pada tingkat keluarga, kemiskinan ditandai dengan jumlah anggota yang besar dan free union or consensual marriage. Dan pada tingkat masyarakat, kemiskinan terutama ditunjukkan oleh tidak terintegrasinya kaum miskin dengan institusi-institusi masyarakat secara efektif. Sedangkan menurut perspektif situasional, masalah kemiskinan dilihat sebagai dampak dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital dan produk-produk teknologi modern.

Penetrasi kapital antara lain mengejewantah dalam program-program pembangunan yang dinilai lebih mengutamakan pertumbuhan (growth) dan kurang memperhatikan pemerataan hasil pembangunan. Program-program itu antara lain berbentuk intensifikasi, ekstensifikasi, dan komersialisasi pertanian untuk menghasilkan pangan sebesar-besarnya guna memenuhi kebutuhan nasional dan ekspor. Konsep kemiskinan inilah yang nantinya akan menjadi acuan dan mengantarkan praktisi atau pelaku pemberdayaan dalam menanggulangi kemiskinan yang ada di masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Konsep kemiskinan inilah yang nantinya akan menjadi acuan dan mengantarkan praktisi atau pelaku pemberdayaan dalam menanggulangi kemiskinan yang ada di masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, kesejahteraan sosial dapat dimaknai terpenuhinya kebutuhan seseorang, kelompok atau masyarakat dalam hal materi, spritual maupun sosial. Kesejahteraan sosial, menurut Midgley (dalam Adi, 2005:16), suatu keadaan atau kondisi kehidupan manusia yang tercipta ketika berbagai permasalahan sosial dapat dikelola dengan baik; ketika kebutuhan manusia dapat terpenuhi dan ketika kesempatan sosial dapat dimaksimalisasikan. Sedangkan dalam UU No 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial Pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Kesejahteraan masyarakat akan dapat ditingkatkan apabila masyarakat diberdayakan untuk dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan dan kapasitasnya. Hal ini dapat dilakukan melalui proses pemberdayaan masyarakat. Konsep pemberdayaan masyarakat memegang peranan penting dalam proses implementasi program pemberdayaan yang nantinya akan dilakukan oleh pihak pemerintah maupun swasata. Hakekat sebuah program pemberdayaan dengan pendekatan partisipatif adalah untuk mengentaskan kemiskinan secara keseluruhan. Karena metode pemberdayaan tersebut memiliki sejumlah muatan indikator yang cukup mendukung dan dilengkapi dengan sudut pandang yang terarah. Dari keseluruhan proses tersebut diarahkan untuk mendukung tercapainya bangunan konstruksi kemandirian yang berkelanjutan dari masyarakat setempat (Jamasy, 2004:24). Menurut Rappaport dalam Adhimihardja (2001:9), praktek yang berbasiskan pemberdayaan adalah bahasa pertolongan yang diungkapkan dalam simbol-simbol yang mengkomunikasikan kekuatan yang tangguh untuk mengubah hal-hal yang terkandung dalam diri kita. Selain pengertian mengenai pemberdayaan masyarakat yang telah dikemukan di atas. Pemberdayaan masyarakat dan partisipasi juga merupakan strategi paradigma pembangunan yang berpusat pada rakyat (people centered development). Pendekatan ini menyadari pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal, melalui kesanggupan untuk melakukan kontrol internal atas sumber daya materi dan non material yang penting melalui redistribusi modal atau kepemilikan.

Berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Korten, dalam konteks pekekerjaan sosial, Payne dalam Adi (2003:54) mengemukakan bahwa: proses pemberdayaan pada intinya ditujukan guna membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. Pada intinya pemberdayaan masyarakat itu berbicara mengenai cara bagaimana masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya melalui peningkatan kapasitas dan kemampuan masyarakat tersebut. Apabila kita melihat proses pemberdayaan masyarakat, maka tidak hanya berbicara mengenai peningkatan kemampuan atau kapasitas dari masyarakat tersebut. Tetapi dalam hal ini penting juga melihat aset-aset yang ada di masyarakat. Aset- aset yang ada di masyarakat juga penting untuk dikembangkan atau dimaksimalkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adi (2008:285-313) menjelaskan tentang aset komunitas sebagai aset yang melekat dalam setiap masyarakat, yang kadangkala dapat menjadi kelebihan suatu masyarakat. Tetapi disisi lain dapat merupakan kekurangan dari suatu masyarakat yang harus diperbaiki ataupun dikembangkan. Dari sisi ini, berbagai bentuk modal dalam masyarakat dapat dilihat sebagai suatu potensi dalam masyarakat dan di sisi lain dapat pula diidentifikasi sebagai aspek yang menjadi kelemahan masyarakat tersebut. Ada beberapa aset komunitas yang perlu untuk dipahami dalam proses pemberdayaan masyarakat, yaitu: 1. Modal Manusia (Human Capital) Modal ini mewakili unsur pengetahuan, perspektif, mentalitas, keahlian, pendidikan, kemampuan kerja, dan kesehatan masyarakat yang berguna untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. 2. Modal Fisik (Physical Capital) Modal ini mewakili unsur bangunan (seperti : perumahan, pasar, sekolah, rumah sakit, dan sebagainya) dan infrastruktur dasar (seperti: jalan, jembatan, jaringan air minum, jaringan telefon, dan sebagainya) yang merupakan sarana yang membantu masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya. 3. Modal Finansial (Financial Capital) Modal ini mewakili unsur sumber-sumber keuangan yang ada di masyarakat (seperti penghasilan, tabungan, pendanaan reguler, pinjaman modal usaha, sertifikat surat berharga, saham, dan sebagainya) yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang derajat kehidupan masyarakat. 4. Modal Teknologi (Technological Capital) Modal ini mewakili sistem atau peranti lunak (software) yang melengkapi modal fisik (seperti teknologi pengairan sawah, teknologi penyaringan air, teknologi pangan, teknologi cetak jarak

jauh dan berbagai teknologi lainnya) yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 5. Modal Lingkungan (Environmental Capital) Modal ini mewakili sumber daya alam dan sumber daya hayati yang melingkupi suatu masyarakat. 6. Modal Sosial (Social Capital) Modal ini mewakili sumber daya sosial (seperti jaringan sosial, kepercayaan masyarakat, ikatan sosial, dan sebagainya) yang bermanfaat untuk membantu masyarakat memunuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, aset juga dijelaskan dalam meningkatkan sumber penghidupan (livelihoods) masyarakat. Dalam hal ini, United Kingdom Departement for International Development (DFID) mengidentifikasikan adanya 5 (lima) aset dalam sumber penghidupan (livelihoods) (dalam Carney et.al, 1999), yaitu: 1. Aset Manusia: keterampilan, pengetahuan, kemampuan untuk bekerja dan pentingnya kesehatan yang baik agar mampu menerapkan strategi-strategi dalam sumber penghidupan yang berbeda. 2. Aset Fisik: infrastruktur dasar (transportasi, perumahan, air, energi, dan alat-alat komunikasi) dan alat-alat produksi serta cara yang memampukan masyarakat untuk meningkatkan sumber penghidupannya. 3. Aset Sosial: sumber daya sosial (jaringan sosial, anggota kelompok, hubungan dan kepercayaan, akses yang luas terhadap institusi sosial) untuk dapat meningkatkan sumber penghidupan mereka. 4. Aset Finansial: sumber-sumber keuangan yang digunakan oleh masyarakat (seperti tabungan, pinjaman atau kredit, pengiriman uang, atau dana pensiun) untuk dapat memilih sumber penghidupan yang cocok bagi mereka. 5. Aset Natural: persediaan sumber-sumber alam (seperti tanah, air, biodiversifikasi, sumbersumber yang berasal dari lingkungan dan dapat digunakan dalam sumber penghidupan masyarakat. Aset-aset yang ada di masyarakat atau yang dimiliki oleh masyarakat sangat berperan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Misalnya, dalam proses pemberdayaan masyarakat peran aset manusia sangat mendukung keberlangsungan pengembangan atau pemberdayaan kapasitas atau kemampuan masyarakat. Tetapi dalam hal ini peran aset yang lain juga sangat berperan. Misalnya, untuk meningkatkan aset manusia diperlukan aset fisik seperti sekolah atau rumah sakit sebagai sarana untuk mengembangkan pengetahuan, keahlian, pendidikan, maupun kesehatan masyarakat. Demikian juga dengan aset fiskal atau aset keuangan sangat mendukung

masyarakat untuk meningkatkan perekonomiannya. Aset sosial sebagai sarana untuk mengembangkan ikatan sosial atau jaringan sosial dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Selain itu, modal atau aset natural dan teknologi sangat penting dalam membantu masyarakat untuk mengembangkan sumber daya alam yang dimiliki dengan dibantu oleh penguasaan teknologi yang dapat meningkatkan penggunaan sumber daya alam yang ada di masyarakat seperti penggunaan teknologi untuk pengembangan pertanian masyarakat agar nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat sebagai strategi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau meningkatkan kualitas masyarakat harus memperhatikan atau memahami kondisi masyarakat termasuk aset-aset yang ada di dalamnya. Karena aset yang ada di dalam masyarakat dapat menjadi keunggulan yang dapat dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat. Tidak adanya aset juga menjadi masalah atau kendala bagi masyarakat untuk dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Melalui pemberdayaan masyarakat maka aset-aset yang belum ada dan penting bagi masyarakat penting untuk dikembangkan atau diciptakan untuk membantu masyarakat dalam meningkatkan kualitas hidupnya. Misalnya, di suatu desa dimana penduduknya mayoritas hidup dari pertanian. Tetapi di desa tersebut modal atau aset fisik belum memadai seperti jalan atau jembatan sehingga masyarakat sangat susah untuk memasarkan hasil pertaniannya. Ini adalah salah satu contoh dimana aset tersebut sangatlah penting. Memang dalam kenyataanya hal ini sangat susah untuk direalisasikan mengingat dana yang dikeluarkan sangat besar. Tetapi melalui pemberdayaan masyarakat dimana ada peran dari berbagai pihak atau stakeholder yang dapat membantu dalam proses pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat berbasis aset ini sudah dilakukan oleh lembaga atau organisasi yang bergerak di bidang pembangunan masyarakat di negara-negara berkembang seperti United Kingdom Department for International Development (DFID) dan Oxfam Pemberdayaan masyarakat berbasis aset ini sudah dilakukan oleh lembaga atau organisasi yang bergerak di bidang pembangunan masyarakat di negara-negara berkembang seperti United Kingdom Department for International Development (DFID) dan Oxfam. Lembaga atau organisasi ini mengembangkan aset-aset atau modal yang ada di masyarakat dalam proses pemberdayaan atau pembangunan masyarakat untuk meningkatkan sumber penghidupan masyarakat. Aset-aset yang ada di masyarakat dikembangkan dan diberdayakan untuk meningkatkan sumber penghidupannya. Di Indonesia banyak lembaga atau organisasi yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat tetapi tidak terlihat yang benar-benar mengembangkan semua aset yang ada di masyarakat seperti aset manusia, fisik, fiskal, sosial, dan natural dalam proses pemberdayaan masyarakat. Salah satu program pemberdayaan yang terkenal di Indonesia saat ini yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri belum sepenuhnya mengembangkan aset-aset yang ada di masyarakat. Kalau diperhatikan program ini masih seputar pengembangan manusia (aset manusia), fisik (aset fisik), ekonomi (aset finansial). Disini ada anggapan bahwa dengan memberdayakan atau mengembangkan ekonomi masyarakat maka semua aspek yang terkait dengan kesejahteraan masyarakat akan terpenuhi. Dalam kenyataan yang ada di masyarakat tidak hanya satu atau dua aspek atau aset saja yang harus diperhatikan tetapi juga aset atau modal yang lain. Hal ini berhubungan dengan

keberlangsungan program pemberdayaan masyarakat yang sudah dilakukan. Menumbuhkembangkan perekonomian masyarakat (aset fiskal) harus dibarengi dengan pengembangan sumber daya manusianya (aset manusia) dan juga aset fisik dan alam sebagai sarana untuk mengembangkan ekonomi dan sumber daya manusia yang ada. Sedangkan untuk aset sosial dan modal teknologi digunakan sebagai sarana penunjang atau pelengkap untuk pengembangan aset-aset yang lain (aset manusia, fiskal, alam, atau fisik) untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Jadi, dalam hal ini terlihat bahwa aset-aset yang ada di masyarakat perlu untuk dipertimbangkan dan diperhatikan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Disini penulis tidak menganggap bahwa program pemberdayaan yang ada tidak baik atau masih belum berjalan dengan baik. Tetapi yang ditekankan oleh penulis adalah berupa masukan atau saran agar setiap program pemberdayaan masyarakat juga memperhatikan dan mempertimbangkan semua asetaset yang ada di masyarakat. Tidak hanya satu atau dua aset yang dipertimbangkan atau diperhatikan. Terima kasih. Penulis :

Merto Siwan Bondar Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial 2006 Universitas Indonesia

Sumber referensi: Adi, Isbandi Rukminto. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat, dan Intervensi Komunitas : Pengantar Pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. ____________________ 2005. Psikologi, Pekerjaan Sosial, dan Ilmu Kesejahteraan Sosial: Dasar-dasar Pemikiran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. ____________________ 2008. Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. Adimihardja, Kusnaka., Harry, Hikmat. 2001. Participatory Research Appraisal dalam Pelaksanaan Pengabdian Kepada Masyarakat : Modul Latihan. Bandung: Humaniora. Carney, D, Michael Drinkwater, Tamara Rusinow, Koos Neefjes, Samir Wanmali, Naresh Singh. 1999. Livelihood Approaches Compared: a brief comparison of the livelihoods approaches of the UK Department for International Development (DFID), CARE, Oxfam and the UNDP. Eldis Document Store.

Jamasy, Owin. 2004. Keadilan,Pemberdayaan, & Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: Blantika. Usman, Sunyoto. 2008. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Belajar. UU No 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial

Kemiskinan merupakan suatu permasalahan sosial yang sudah ada sejak dahulu kala sampai sekarang dan kemiskinan tidak akan pernah selesai sampai dunia benar-benar hancur. Kemiskinan memang merupakan akar dari suatu permasalahan sosial dan tidak dapat dihilangkan, tetapi masih bisa diminimalisir. Kemiskinan yang dapat diminimalisir tersebut adalah kemiskinan yang berdasarkan karena struktural yang menyebabkan pemiskinan. Faktorfaktor yang menjadi penyebab timbulnya masalah kemiskinan menurut berbagai pendapat terdiri dari berbagai macam seperti yang paling utama adalah faktor ekonomi, kemudian adapula yang berpendapat adanya faktor-faktor lain seperti faktor struktural, kesejahteraan, budaya, sumber daya manusia, maupun dari alam. Dari faktor-faktor tersebut dapat terlihat adanya keterkaitan yang akhirnya menimbulkan suatu kemiskinan. Faktor ekonomi yang menjadi alasan utama terciptanya kemiskinan, menciptakan suatu struktur masyarakat miskin yang menjadikan suatu pemiskinan yang akhirnya menimbulkan suatu kebudayaan kemiskinan. Seperti contoh kasus di negara berkembang seperti di Indonesia, faktor ekonomi sangat berperan dalam menentukan kehidupan masyarakatnya. Dari hal itulah yang akhirnya melebar ke berbagai arah seperti adanya kemiskinan struktural menjadikan masyarakat sebagai pemiskinan yang kemudian menciptakan suatu budaya miskin. Sekarang-sekarang ini yang kita ketahui Indonesia sudah mulai menerapkan sistem kapitalisme dan industrialisasi, sehingga banyak masyarakat menengah bawah yang dipekerjakan menjadi buruh pabrik. Di sisi lain, pengaruh kapitalisme juga membuat masyarakat yang miskin menjadi semakin miskin, dan yang kaya menjadi semakin kaya. Hal itu terjadi dikarenakan adanya struktural yang terjadi di dalam masyarakat yang mengakibatkan masyarakat miskin tidak dapat keluar dari belenggu kemiskinan dikarenakan adanya batasan-batasan yang masih mereka temukan, salah satunya adalah masalah ekonomi dan bukan berarti mereka tidak ingin keluar dari belenggu kemiskinan yang mereka terima. Pemiskinan terjadi karena masyarakat tidak dapat memanfaatkan sumber-sumber pendapatan yang telah tersedia. Maksud dari masyarakat tidak dapat memanfaatkan sumber-sumber pendapatan yang seharusnya sudah tersedia yaitu dikarenakan kurangnya sarana maupun prasarana yang mereka dapatkan. Seperti contoh, untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan menjadi buruh pabrik maupun buruh tani, diperlukan pencapaian pendidikan yang tinggi pula sedangkan biaya pendidikan sampai ke jenjang yang lebih tinggi dapat dikatakan cukup mahal. Mungkin bagi mereka yang mampu dan mempunyai uang yang cukup maupun yang lebih dari cukup dapat dengan mudah menyekolahkan anak mereka sampai dengan jenjang yang paling tinggi dan biasanya mereka juga dapat dengan mudah mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi pula. Dari hal tersebut sehingga dapat dilihat, masyarakat miskin mempunyai berbagai

macam pandangan untuk kembali mengurungkan niat untuk menggapai pekerjaan yang lebih tinggi kedudukannya dan lebih layak seperti : mereka akhirnya berpikir uang yang mereka keluarkan untuk biaya sekolah anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi lebih baik mereka pergunakan untuk kebutuhan makan sehari-hari daripada untuk biaya sekolah karena untuk biaya makan dan hidup mereka sehari-hari pun kurang dari cukup. Adapula yang berpendapat bahwa dengan mereka menyekolahkan anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi, belum ada tolak ukur yang pasti apakah anak mereka pada akhirnya berhasil atau tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Selain itu adapula pandangan kalau memang dari awalnya mereka sudah miskin dan memang ditakdirkan untuk bekerja sebagai penggarap sawah ataupun sebagai buruh pabrik, maka sampai generasi bawah mereka pun begitu pula keadaannya. Dari pemikiran-pemikiran tersebut lah yang akhirnya membuat sebagian masyarakat miskin tetap jalan di tempat dan menganggap bahwa menjadi miskin sudah menjadi turuntemurun. Hal itu yang pada akhirnya membentuk suatu kebudayaan kemiskinan yang masih banyak dijumpai di Indonesia. Usaha yang harus dilakukan dalam mengubah pandangan masyarakat dari kebudayaan miskin yaitu dengan cara memberikan kesejahteraan kepada masyarakat tersebut baik dari segi pendidikan, keterampilan yang diberikan kepada mereka maupun sarana dan prasarana yang mereka butuhkan untuk membantu mereka dalam menjalankan hal tersebut sehingga mereka dapat berpikir kembali bahwa kemiskinan bukan berasal dari keadaan turun-temurun yang menjadikan mereka miskin, tetapi kemiskinan terjadi karena mereka tidak dapat berusaha untuk mencari suatu pemecahan permasalahan dari apa yang mereka hadapi

Peran pekerja sosial semakin dirasakan oleh masyarakat salah satunya adanya program Community Development (Comdev) . Aktivitas ini seringkali digunakan oleh para pendamping masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup atau memandirikan masyarakat sasaran. Peran pendamping masyarakat begitu penting karena merekalah yang membantu tercapainya tujuan dari Comdev itu sendiri. Mereka yang berperan aktif sebagai pendamping masyarakat disebut pekerja sosial (Peksos). Biasanya mereka juga berperan sebagai broker, yaitu penyambung lidah antara pejabat di masyarakat dengan masyarakat itu sendiri. Tentunya, pengalaman menjadi pendamping masyarakat sangat berperan penting terhadap aktivitas peksos dilapangan. bagaimana seorang mahasiswa dapat bertransformasi menjadi seorang pekerja sosial yang profesional ? Apa peran calon peksos seperti mahasiswa sebelum turun ke dalam masyarakat ? Apakah cukup dengan belajar di kelas? Yang menjadi pertanyaan, bagaimana seorang mahasiswa dapat bertransformasi menjadi seorang pekerja sosial yang profesional ? Apa peran calon peksos seperti mahasiswa sebelum turun ke dalam masyarakat ? Apakah cukup dengan belajar di kelas? Pertanyaan ini timbul karena penulis merasa minimnya pengalaman d bidang kesejahteraan sosial. Pertanyaan pertama mengenai transformasi seorang mahasiswa dengan ilmu yang generalis menjadi seorang ahli atau profesional di bidang kesejahteraan sosial telah mendapatkan jawaban, yaitu adanya kegiatan PRAKTIKUM. Kegiatan ini mencoba membantu mahasiswa dapat mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapatkan dibangku kuliah ke dalam kehidupan masyarakat. Mungkin ada beberapa pihak yang merasakan manfaat dari kegiatan praktikum yang dilakukan oleh mahasiswa atau calon peksos dilapangan. Walaupun begitu, perlu adanya evaluasi baik oleh institusi akademis maupun institusi yang ada pada masyarakat. Kedua hal ini akan membantu mahasiswa didalam mendapatkan pengalaman dibidang kesejahteraan sosial.

peran tersebut dapat diatasi jika sejah dini para mahasiswa telah diberikan pemahaman yang mendalam mengenai bidang bidang kesejahteraan sosial Kemudian pertanyaan mengenai peran calon peksos sebelum terjun ke dalam masyarakat, menurut saya, peran tersebut dapat diatasi jika sejak dini para mahasiswa telah diberikan pemahaman yang mendalam mengenai bidang bidang kesejahteraan sosial. Lebih tepatnya sebelum melakukan praktek di lapangan, sebaiknya mahasiswa melewati tahap wawancara yang mendalam. Tahap ini sama halnya yang dilakukan oleh organisasi organisasi dalam melakukan job interview. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan mahasiswa yang benar benar paham akan kemampuan mahasiswa tersebut sebelum terjun di masyarakat Oleh karena itu saya mendukung sekali jika para calon peksos ini diikut sertakan di dalam kegiatan pembinaaan, workshop, ataupun pelatihan yang bersifat spesialis, tidak generalis. Karena setiap calon peksos pun pada akhirnya akan memilih konsentrasi bidang yang akan mereka geluti. Serta masukan yang berikutnya yaitu melakukan wawancara yang mendalam dahulu sebelum calon peksos turun kedalam masyarakat. Hal ini lah yang perlu di perdalam dan dipertajam karena saat calon peksos tersebut turun dalam masyarakat maka tidak terjadi confuse atau kebingungan akibat tidak tahu kegiatan apa yang akan dilakukan. *Tulisan ini merupakan refleksi pikiran penulis. Penulis terbuka sekali jika ada kritik dan saran terkait dengan tulisan ini.

Undang Sertifikasi Pekerja Sosial


Posted on 28 April 2010 by erick azof Salam hangat pembaca yang budiman, berikut merupakan Undang Undang (UU) mengenai sertifikasi pekerja sosial (peksos) dalam upaya memprofesionalkan profesi peksos di Indonesia. Semoga bermanfaat. *Tulisan diskusi mengenai UU ini dapat di lihat di milis social work atau klik : http://groups.google.com/group/jaringan-peksos?hl=id MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 108 / HUK / 2009 TENTANG SERTIFIKASI BAGI PEKERJA SOSIAL PROFESIONAL DAN TENAGA KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan Ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, perlu membentuk Peraturan Menteri Sosial RI tentang Sertifikasi Bagi Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial; 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4967); 3. Keputusan Presiden RI Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden RI Nomor 171/M Tahun 2005; 4. Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara RI sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden RI Nomor 20 Tahun 2008; 5. Peraturan Presiden RI Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi Dan Tugas Eselon I Kementerian Negara RI sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden RI Nomor 21 Tahun 2008; 6 Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 82/HUK/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Sosial; MEMUTUSKAN :

Mengingat :

Menetapkan

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG SERTIFIKASI BAGI PEKERJA SOSIAL PROFESIONAL DAN TENAGA KESEJAHTERAAN SOSIAL. BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. Sertifikasi adalah pemberian sertifikat kepada Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial melalui uji kompetensi yang mengacu pada standar kompetensi. 2. Sertifikat Kompetensi adalah surat pengakuan yang diberikan oleh lembaga sertifikasi sesuai kualifikasi Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial setelah lulus uji kompetensi. 3. Standar Kompetensi adalah ukuran kemampuan yang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan nilai pekerjaan sosial dalam praktik pekerjaan sosial dan/atau penyelenggaraan kesejahteraan sosial. 4. Lisensi atau Izin Praktik adalah mandat atau kewenangan yang diberikan oleh Menteri Sosial kepada Pekerja Sosial Profesional untuk melaksanakan praktik pekerjaan sosial dan penyelenggaraan kesejahteraan sosial. 5. Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial adalah lembaga independen yang berwenang menetapkan kualifikasi dan memberikan sertifikat kompetensi untuk menjamin mutu kompetensi dan kualifikasi Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial untuk melaksanakan praktik pekerjaan sosial dan/atau penyelenggaraan kesejahteraan sosial. 6. Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial. 7. Tenaga Kesejahteraan Sosial adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara profesional untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial dan/atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial. 8. Uji Kompetensi adalah penentuan ukuran kemampuan dalam praktik pekerjaan sosial dan penyelenggaraan kesejahteraan sosial. BAB II MAKSUD DAN TUJUAN Pasal 2 Sertifikasi bagi Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial dimaksudkan untuk menentukan kualifikasi dan kompetensi di bidang praktik pekerjaan sosial dan/atau pelayanan kesejahteraan sosial sesuai standar kompetensinya.

Pasal 3 Tujuan sertifikasi adalah untuk : a. memberikan pengakuan atas kualifikasi dan kompetensi Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial; b. meningkatkan mutu praktik pekerjaan sosial dan pelayanan kesejahteraan sosial; c. meningkatkan martabat dan tanggung jawab Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial; d. melindungi dan memberikan peluang kepada Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial dalam melaksanakan tugas; melindungi dan memberikan peluang kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesejahteraan sosial yang berkualitas dan bertanggung jawab. BAB III SERTIFIKASI Pasal 4 (1) Sertifikasi kompetensi pekerjaan sosial dilakukan terhadap pekerja sosial profesional berdasarkan standar kompetensi pekerjaan sosial yang diberikan dalam bentuk sertifikat. (2) Sertifikasi kompetensi pelayanan kesejahteraan sosial dilakukan terhadap Tenaga Kesejahteraan Sosial berdasarkan standar kompetensi pelayanan kesejahteraan sosial yang diberikan dalam bentuk sertifikat. (3) Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel. Pasal 5 (1) Sertifikat kompetensi pekerjaan sosial dan pelayanan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) diberikan setelah lulus uji kompetensi. (2) Uji kompetensi pekerjaan sosial dan pelayanan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengetahuan; b. keterampilan; dan

c. nilai. (3) Sertifikat kompetensi pekerjaan sosial dan pelayanan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang setelah kembali mengikuti dan dinyatakan lulus uji kompetensi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial yang ditandatangani oleh Ketua Lembaga. Pasal 6 Sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilaksanakan oleh Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial yang ditetapkan oleh Menteri Sosial. Pasal 7 Pekerja Sosial Profesional yang dapat mengikuti uji kompetensi pekerjaan sosial harus memenuhi persyaratan: a. berpendidikan sekurang-kurangnya Sarjana/Diploma IV pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial; b. berpengalaman kerja sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dalam melaksanakan praktik pekerjaan sosial dan penyelenggaraan kesejahteraan sosial; dan c. telah mengikuti pelatihan di bidang pekerjaan sosial dengan jumlah keseluruhan minimal 60 (enam puluh) jam latihan. Pasal 8 Tenaga Kesejahteraan Sosial yang dapat mengikuti uji kompetensi pelayanan kesejahteraan sosial harus memenuhi persyaratan: a. berpendidikan SLTA pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial atau sarjana non pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial; b. berpengalaman kerja minimal 3 (tiga) tahun di bidang pelayanan kesejahteraan sosial; dan c. telah mengikuti pendidikan dan pelatihan di bidang pelayanan kesejahteraan sosial dengan jumlah keseluruhan minimal 160 (seratus enam puluh) jam latihan. Pasal 9 (1) Uji kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8 dilakukan atas rekomendasi organisasi profesi sesuai dengan kewenangannya.

(1) Organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu : a. Ikatan Pekerja Sosial Profesional; b. Lembaga Pendidikan Pekerjaan Sosial; dan c. Lembaga Kesejahteraan Sosial. Pasal 10 Pemberian sertifikasi kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan dengan tata cara: a. mengajukan permohonan uji kompetensi kepada Ketua Lembaga Sertifikasi setelah memperoleh rekomendasi dari organisasi profesi; b. mengisi formulir dan melengkapi persyaratan; dan c. mengikuti dan lulus uji kompetensi. Pasal 11 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8, pemberian rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dan tata cara sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ditetapkan dengan Peraturan Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial yang ditandatangani oleh Ketua Lembaga. Pasal 12 (1) Sertifikasi ditujukan untuk menentukan kualifikasi dan kompetensi Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial yang didasarkan pada: a. jenis; dan b. jenjang. (2) Jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a didasarkan pada bidang kerja, obyek/sasaran, dan spesialisasi metode. (3) Jenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk Pekerja Sosial Profesional meliputi : a. Pekerja Sosial Profesional generalis; dan b. Pekerja Sosial Profesional spesialis.

(4) Jenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk Tenaga Kesejahteraan Sosial meliputi : a. Tenaga Kesejahteraan Sosial generalis; dan b. Tenaga Kesejahteraan Sosial spesialis. Pasal 13 (1) Pemegang sertifikat kompetensi pekerjaan sosial dapat melaksanakan praktik pekerjaan sosial setelah memperoleh izin praktik dari Menteri Sosial. (2) Untuk mendapatkan izin praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang sertifikat mengajukan permohonan kepada Menteri Sosial melalui Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial. Pasal 14 (1) Izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. (2) Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Menteri Sosial melalui Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial. Izin praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dicabut oleh Menteri Sosial atas usul Lembaga Sertifikasi setelah mendapat rekomendasi dari organisasi profesi. Pasal 15 Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi dan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, serta pengusulan dan pencabutan izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial yang ditandatangani oleh Ketua Lembaga. BAB VI LEMBAGA SERTIFIKASI Pasal 16 (1) Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial bersifat independen dan berkedudukan di Ibukota Negara, serta mempunyai jangkauan wilayah nasional. (2) Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Sosial. (3) Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial bertanggung jawab kepada Menteri Sosial.

Pasal 17 (1) Organisasi Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial terdiri dari: a. satu orang ketua; b. satu orang wakil ketua; c. sembilan orang anggota. (2) Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial dibantu oleh : a. Sekretariat; dan b. Asesor. Pasal 18 (1) Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a, bertugas membantu pelaksanaan tugas Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial. (2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berada dibawah koordinasi Kementerian Sosial. (3) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipimpin oleh seorang pejabat dari unsur Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berfungsi sebagai Sekretaris Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Sosial. (1) Sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertanggung jawab kepada Ketua Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial. Pasal 19 (1) Asesor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b, bertugas melaksanakan penilaian terhadap pelaksanaan praktik Pekerjaan Sosial dan pelayanan kesejahteraan sosial berdasarkan instrumen yang dibuat oleh Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial. (2) Asesor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pekerja Sosial Profesional yang telah memperoleh sertifikasi. Pasal 20 (1) Keanggotaan Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), terdiri dari unsur: a. asosiasi pekerja sosial profesional sebanyak 4 (empat) orang;

b. asosiasi lembaga pendidikan pekerjaan sosial sebanyak 3 (tiga) orang; c. asosiasi lembaga kesejahteraan sosial sebanyak 2 (dua) orang ; d. lembaga koordinasi kesejahteraan sosial tingkat nasional sebanyak 1 (satu) orang; dan e. kementerian sosial sebanyak 1 (satu) orang. (2) Seseorang dapat diangkat sebagai anggota Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial setelah lulus seleksi yang dilakukan oleh panitia seleksi. Pasal 21 (1) Dalam melakukan seleksi Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial membentuk panitia seleksi. (2) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk pertamakalinya ditetapkan oleh Menteri Sosial dan untuk selanjutnya ditetapkan oleh Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial. Pasal 22 (1) Keanggotaan Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Sosial. (1) Keanggotaan Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai masa tugas 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa tugas setelah melalui proses seleksi. Pasal 23 Keanggotaan Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Warga Negara Indonesia; b. sehat jasmani dan rohani; c. memiliki rekam jejak yang baik; d. tidak pernah melanggar kode etik pekerjaan sosial; e. berpendidikan serendah-rendahnya sarjana/Diploma IV pekerjaan sosial/ kesejahteraan sosial; f. berpengalaman di bidang penyelenggaraan kesejahteraan sosial; dan g. bersedia bekerja penuh waktu.

Pasal 24 Keanggotaan Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial diberhentikan sebelum selesai masa tugasnya apabila: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; c. dipidana berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; d. sakit berkepanjangan yang menyebabkan tidak dapat melaksanakan tugasnya; dan e. terbukti melanggar kode etik profesi pekerjaan sosial. Pasal 25 Kewenangan Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial meliputi: a. penetapan kriteria jenis dan jenjang kompetensi pekerjaan sosial; b. pengangkatan dan pemberhentian Asesor sesuai dengan kebutuhan; c. penetapan sertifikasi kompetensi terhadap Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial;dan d. pemberian rekomendasi kepada Menteri Sosial dalam memberikan dan mencabut izin praktik pekerja sosial profesional. Pasal 26 Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial mempunyai tugas pokok: a. menyusun standar kompetensi sesuai dengan jenis dan jenjang pekerjaan sosial; a. melakukan uji kompetensi terhadap Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial; b. memproses pemberian izin praktik. Pasal 27 Ketentuan mengenai fungsi dan tata kerja Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial ditetapkan dengan Peraturan Lembaga Sertifikasi yang ditandatangani oleh Ketua Lembaga. BAB IX

PEMBIAYAAN Pasal 28 Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Lembaga Sertifikasi Profesi Pekerjaan Sosial bersumber dari APBN dan/atau sumber lain yang bersifat tidak mengikat. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 29 Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 September 2009 MENTERI SOSIAL RI, TTD DR (HC) H. BACHTIAR CHAMSYAH, SE

[Forum-Pembaca-KOMPAS] Shinta, Pemberdayaan Perempuan di Bidang TIK


Agus Hamonangan Tue, 03 Apr 2007 19:17:59 -0700
Oleh NINOK LEKSONO http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/04/Sosok/3428161.htm ========================= Ketika internet di Indonesia masih menghadapi kendala dalam perkembangannya, ada sosok perempuan Indonesia yang telah tampil di forum internasional untuk menyiarkan potensi teknologi ini. Dialah Shinta W Dhanuwardoyo, Presiden Direktur Bubu Internet. Beberapa kali ia diundang APWINC atau Asia-Pacific Women's Information Network Center, Pusat Jaringan Informasi Perempuan AsiaPasifik yang berpusat di Seoul, Korea Selatan. Ia memberi pelatihan bidang bisnis dan perdagangan melalui internet (e-business/ecommerce) untuk perempuan pimpinan dari beberapa negara APEC. "Training biasanya berlangsung 10 hari, dan saya mengajar secara intensif sembilan jam per hari. Training diselenggarakan di Universitas Perempuan Sookmyung, Seoul, yang sangat hi-tech dan dikhususkan untuk perempuan," tutur Shinta, Sabtu (31/3) melalui surat elektronik. Peserta pelatihan terdiri dari mereka yang berusia 25 hingga 50 tahun, mewakili berbagai organisasi, dan memiliki peranan penting pada organisasi dalam bidang informasi, komunikasi, dan media. Lokakarya memberi mereka cara merumuskan strategi menggunakan teknologi informasi (TI) untuk melaksanakan operasi sehari-hari dan memberi nilai tambah pada organisasi. Memperlancar mereka menjalankan aktivitas untuk mendorong perempuan di negara APEC dengan memaksimalkan TI sebagai media dan membangun ekonomi negara APWINC. Semua ini didukung organisasi dunia seperti ESCAP dan UNESCO. Dari forum seperti di Seoul, Shinta lalu acap diundang untuk acara serupa di Thailand dan Singapura. Di Bangkok, misalnya, Shinta mewakili Indonesia pada seminar membahas pembangunan kapasitas TI dan komunikasi (TIK) untuk UKM yang dijalankan perempuan. Selain juga tentang penggalian peluang e-business bagi perempuan. Tahun 2005, dengan dukungan LIPI dan APWINC, Shinta terlibat forum APEC yang juga mengupas bisnis dan ekonomi digital yang dikelola perempuan. "Saya ingin ada lebih banyak lagi forum seperti itu di Indonesia sehingga menggugah perempuan Indonesia untuk menggunakan TI. Ini bisa memudahkan bisnis dan membantu mengangkat ekonomi Indonesia," ujarnya menambahkan.

Internet yang menyediakan informasi pasartak hanya di tetapi juga mancanegaradiyakininya bisa memfasilitasi workers. Perempuan pun cocok untuk melakukan pekerjaan itu. Seiring dengan melakukan pekerjaan secara online, bisa mengurus keluarga. Tumbuhnya minat

Indonesia, remote dengan gaya mereka juga

Minat terhadap TI bagi Shinta sebenarnya produk ikutan karena ini sebagai ganti beasiswanya pada program MBA Bisnis Internasional, yakni bekerja sebagai penyelia di lab komputer universitas. Shinta lalu menggali ilmu internet dan komputer dari mahasiswa prasarjana yang bidang utamanya memang TI. Semua pengetahuan yang ia peroleh lalu dipraktikkan. Pertama-tama untuk membuat situs pribadi, makin lama makin intens, membuatnya semakin jatuh hati terhadap dunia TIK. Ketika internet baru tahap awal dikenal di Indonesia, tahun 1996 Shinta mulai mendirikan perusahaan perancangan situs internet (web design) Bubu Internet (www.bubu.com) yang kini lebih dikenal sebagai Bubu.com. Selain nekat, modal utama pendirian Bubu adalah keyakinan, internet sebagai the next generation media. Satu hal yang terus hidup dalam diri Shinta adalah keinginan mengajak masyarakat menyadari penting dan manfaat internet, termasuk menghargai situs web dan perancangnya, juga konten lokal. Untuk ini, Shinta pada Bubu bersama rekan-rekannya di Bubu memprakarsai penghargaan Bubu Awards, yang tahun 2007 ini sudah berlangsung untuk kelima kalinya. Bubu Awards berkembang menjadi ajang kompetisi untuk meningkatkan kemampuan dan profesionalisme perancang web Indonesia. Lomba ini juga membantu mempromosikan hasil karya perancang web Indonesia karena panitia juga mengundang juri internasional. Bubu Awards didukung Departemen Komunikasi dan Informatika serta Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Sementara tabulasi penilaian dilakukan Ernst & Young, dan merupakan perwakilan dari World Summit Awards di Indonesia. Sejak tahun 2002, untuk kategori individu diarahkan kepada tema yang bisa membantu promosi pariwisata dan budaya Indonesia. Tahun ini tema yang dipilih adalah "Museum Indonesia". Menurut Shinta, museum Indonesia dapat dipromosikan dengan baik lewat internet, misalnya dengan membangun website secara efektif bagi museum-museum yang ada. "Dengan demikian, khazanah budaya dan sejarah Indonesia bisa diakses dengan mudah oleh pelajar, peneliti, dan wisatawan, baik lokal maupun mancanegara," kata Shinta. Pemenang lomba untuk kategori ini akan mengizinkan website karyanya dijadikan website resmi museum yang digarap. Tampak tak sekadar lomba, Bubu Awards juga diiringi idealisme cinta Tanah Air. Shinta senang mengerjakan hal itu, walaupun menyelenggarakan lomba diakuinya butuh komitmen ekstra.

Perempuan kolektor kain antik ini amat bersemangat meningkatkan industri TI, standar website dan promosi online. Shinta yakin media online merupakan media masa depan yang potensial. Namun, dia belum puas dengan masih banyaknya situs Indonesia yang kurang efektif dalam penggunaannya. "Saya juga kerap menjadi pembicara di sekolah dan universitas untuk memperkenalkan bagaimana website yang baik, kegunaannya, dan cara melakukan pemasaran," tutur Shinta. Setelah menggeluti dunia TIK selama lebih dari satu dekade, Shinta gembira karena pasar online semakin berkembang. Kebutuhan orang terhadap website dan aplikasinya semakin besar. Di tengah semangat dan perhatiannya, Shinta melihat masih ada kendala dan hambatan dalam pengembangan TIK di Indonesia, yakni infrastruktur yang belum baik dan harga (layanan) internet yang belum terjangkau semua lapisan masyarakat. Untuk keluarga Di luar obsesinya menggiatkan pemanfaatan TIK oleh kaum perempuan, khususnya dalam menjalankan usaha, juga promosi budaya Tanah Air melalui situs internet, Shinta memandang dirinya sebagai insan keluarga. Ini karena ia memandang sukses bukan hanya dalam menjalankan bisnis, tetapi juga dalam mengurus keluarga. "Saya dapat berpikir jernih menjalankan usaha kalau bisa menyeimbangkan hidup dengan keluarga," ungkap Shinta, yang kini tengah mengembangkan usaha perhiasan antik luar negeri dan hasilnya digunakan untuk mengumpulkan barang antik Indonesia. "Siapa tahu bisa membuat museum sendiri," katanya. Di rumah, dia melihat suaminya yang juga bergerak di bidang bisnis dan dua putrinya, tak lepas dari TIK dan gadget. Anak perempuan pertamanya, Vrishqa (7,5) menggunakan Google untuk mencari informasi tugas sekolah. Sementara adiknya, Valisha (2,5), punya hobi mendengar lagu dengan iPod sang ibu

Вам также может понравиться