Вы находитесь на странице: 1из 11

A-H1N1 yang Mewabah Termasuk Virus Baru

CDC Virus Influenza A(H1N1) Selasa, 19 Mei 2009 | 18:07 WIB SEMARANG, KOMPAS.com Pakar mikrobiologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof Widya Asmara, menyatakan, virus A-H1N1 penyebab flu babi yang saat ini berkembang dan menyebabkan wabah di Meksiko merupakan virus baru. "Virus tersebut kemudian memang dinamakan dengan virus A-H1N1, namun sebenarnya merupakan hasil pencampuran genetik beberapa virus influenza," katanya seusai seminar "Antisipasi Pencegahan Penyebaran Flu Babi" di kampus Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Selasa (19/5). Ia mengatakan, sebelumnya virus A-H1N1 memang endemi pada populasi babi dan manusia. Namun, dampaknya tidak seganas seperti virus A-H1N1 yang saat ini berkembang. "Virus ini dikenal dengan nama virus A-H1N1 klasik, dan gejalanya seperti influenza biasa. Namun, setelah enam hari biasanya penderita langsung pulih," kata Guru Besar Mikrobiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UGM tersebut. Adapun, kata dia, virus A-H1N1 yang saat ini berkembang menjadi wabah merupakan virus baru, meskipun tidak sepenuhnya baru karena hasil gabungan genetik berbagai virus, di antaranya virus influenza Amerika, virus influenza Eurasia, dan virus influenza unggas. Menurutnya, virus H1N1 yang menyebabkan flu babi tidak mewabah pada babi, tetapi justru mewabah pada manusia. "Sebab, seperti yang terjadi di Meksiko, wabah penyakit flu babi muncul tanpa didahului wabah serupa yang menjangkiti peternakan babi di sana," katanya.

Dengan kata lain, wabah virus tersebut tidak ditemukan di peternakan babi sehingga sampai saat ini keberadaan babi di peternakan tidak perlu dikhawatirkan, khususnya di Indonesia. Demikian dikatakannya. Ia mengatakan, flu babi justru berpotensi besar menular lewat manusia sehingga yang harus diwaspadai adalah manusia yang tertular virus tersebut. "Apabila ada manusia yang tertular, bisa berpotensi menularkannya kepada manusia lain atau menularkannya pada babi," katanya. Kalau babi sudah tertular, maka kemungkinan virus menyebar semakin besar, seperti pada kasus flu burung. "Sebab, tindakan yang dilakukan saat itu sudah terlambat," katanya. Oleh karena itu, ia mengingatkan, sebaiknya pemerintah berupaya keras untuk mencegah masuknya virus flu babi ke Indonesia dan tetap waspada walaupun virus tersebut belum masuk. Selain itu, masyarakat (pengonsumsi daging babi) juga harus diberi pengertian bahwa babi-babi yang ada di Indonesia masih layak konsumsi karena tidak tertular virus AH1N1. "Terlebih lagi, Indonesia juga tidak pernah mengimpor babi dari luar negeri, namun justru mengekspor babi ke negara lain, seperti ke Singapura," katanya.

Teknologi Mikrobiologi untuk Merhabilitasi Lahan Bekas Tambang

Jenis penegelolaan tambang yang banyak terdapat di Kalimantan Selatan rata-rata dilakukan dengan tehnik penambangan terbuka (open pit). Pengelolaan tambang seperti ini tahapan awalnya adalah membuka lahan (land clearing), lalu mengupas tanah pucuk (stripping top soil) dan mengupas dan menimbun tanah penutup (over burden stripping)

hingga kemudian mulai membersihkan dan menambang batu bara. Pengelolaan lahan tambang seperti ini selain harus mengganggu lahan juga dapat menimbulkan erosi tanah, polusi debu, suara dan air serta hilangnya keanekaragaman hayati. Salah satu dampak yang nampak jelas dari tambang terbuka adalah berkurangnya bahkan hilangnya lapisan top soil yang banyak mengandung unsur hara sehingga tanah tidak lagi subur dan tidak dapat ditanami. Namun, dalam perkembangannya sebuah cara untuk mereklamasi lahan tersebut telah ditemukan yaitu dengan teknik inokulasi mikoriza ke dalam sistem pengakaran tumbuhan. Mikoriza atau Mycorrhiza adalah asosiasi antara jamur (mykes=miko=jamur), dengan akar (rhiza=riza=akar) akar pohon tinggi. Istilah ini pertama kali ditemukan oleh A.B. Frank pada tahun 1885. Aplikasi teknologi ini pada dasarnya adalah menanam tumbuhan yang dapat tumbuh cepat yang telah "disuntikkan" mikoriza. Penggunaan mikoriza sendiri dimaksudkan untuk meningkatkan kesuburan tanah yang sebelumnya telah berkurang atau hilang akibat penggalian. Teknologi ini telah diujicobakan di lahan bekas tambang PT Adaro Indonesia di Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan. Pada tambang tersebut mikoriza disuntikkan dengan 2 jenis tumbuhan yaitu eucalyptus yang bersimbiosis dengan mikoriza jenis ectomycorrhiza atau arbuscular mycorrhiza dan sengon yang bersimbiosis dengan mikoriza jenis arbuscular mycorrhiza atau rhizobium. Selain menggunakan mikoriza, menurut Irnayuli Sitepu seorang ahli bakteri menyatakan bahwa untuk merintis vegetasi lahan tandus bekas tambang dapat pula menggunakan teknologi pemanfaatan bakteri, misalnya dengan jenis bakteri thiobacillus desulfurikans yang dapat membantu menurunkan kandungan sulfur sehingga tidak terakumulasi. Mikroba "Tenaga Kerja" Bioplastik

KOMPAS/LASTI KURNIA

Seorang pemulung mengayuh perahunya di lautan sampah plastik di pintu air Penjaringan, Jakarta, Minggu (5/10). Sampah itu kebanyakan berupa kantong plastik dan styrofoam yang sulit membusuk. Gaya hidup konsumtif dan serba praktis meningkatkan secara tajam penggunaan plastik.
/

oleh Nawa Tunggal Mikroba adalah jasad renik yang sangat beragam jenisnya dan memiliki fungsi sebagai pengurai. Kini salah satu jenisnya telah diubah menjadi tenaga kerja untuk memproduksi bioplastik oleh Khaswar Syamsu. Ia seorang perekayasa dari Institut Pertanian Bogor yang berhasil merekayasa pembuatan plastik terbuat dari bahan pati sagu dan lemak sawit sehingga menjadi plastik ramah lingkungan atau bioplastik. Mikroba itu tenaga kerja yang tidak pernah menunggu perintah dan tidak pernah demo, ujar Khaswar, Kamis (8/1) di laboratoriumnya yang berisi perlengkapan-perlengkapan yang usianya tergolong tua. Perlengkapan tua itu termasuk bioreaktor buatan Jerman yang dibeli 23 tahun silam atau pada 1986. Bioreaktor itu telah menemani Khaswar setidaknya ketika memulai riset produksi bioplastik sejak tahun 2000 hingga 2006 ketika ia berhasil menemukan metode pembuatan bioplastik dan mendaftarkan patennya. Sedikitnya ada tujuh uji coba bioplatik yang dilaksanakan. Uji coba itu meliputi kekuatan tarik, elastisitas, perpanjangan putus, sifat termal, derajat kristalinitas, gugus fungsi dalam struktur kimia, dan biodegradabilitas atau keteruraiannya. Uji coba yang terakhir mengenai keteruraiannya ini, bioplastik hasil rekayasa Khaswar dapat terurai atau termakan mikroba dalam waktu 80 hari. Dibandingkan dengan bahan organik lainnya, seperti kertas, laju terurai pada bioplastik ini lebih cepat, ujar Khaswar. Menimbun plastik Khaswar mengutip sebuah referensi yang menunjukkan fenomena yang berlangsung saat ini berupa timbunan plastik sebagai salah satu produk utama sampah yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia. Padahal, sampah plastik itu tidak akan terurai dan akan merusak lapisan tanah. Pada 2003 kebutuhan plastik di Indonesia mencapai 1,35 juta ton per tahun. Setelah menjadi sampah, pemerintah hanya mampu mengelola 20-30 persennya. Selebihnya ditimbun ke area pembuangan sampah, katanya yang kini menjabat Kepala Divisi Rekayasa Bioproses dan Bahan Baru pada Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi IPB. Pada 2000 dan 2001, Khaswar menggunakan dana riset dari program Riset Hibah Bersaing Direktorat Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan saat itu. Dana riset Rp 29,9 juta per tahun. Kemudian dilanjutkan pada 2005 dan 2006 menggunakan dana riset dari program Riset Unggulan Terpadu Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Dana riset setiap tahun Rp

97 juta dan Rp 93 juta. Dari kegiatan riset selama empat tahun itulah lalu dihasilkan bioplastik. Menurut dia, harga produksi bioplastik ini antara lima sampai tujuh kali harga pembuatan plastik konvensional yang terbuat dari bahan berbasis petrokimia atau minyak bumi. Negara Korea saat ini berhasil menyimulasikan produksi bioplastik hanya dengan biaya tiga kali biaya pembuatan plastik berbasis petrokimia. Ketika bahan petrokimia yang terbatas dan tidak teruraikan itu ke depan makin mahal, produksi bioplastik akan makin murah dan yang lebih penting ramah lingkungan, ujar Khaswar. Mikroba impor Mikroba yang disebut-sebut Khaswar sebagai tenaga kerja bioplastik, yang bekerja dengan tidak pernah menunggu perintah dan tidak pernah mendemo, adalah Ralstonia eutropha impor dari Jepang. Sebetulnya, mikroba itu juga ada di dalam tanah di mana pun di Indonesia ini. Namun, di Indonesia tidak ada badan nasional yang secara khusus menangani masalah pemetaan dan pengoleksian mikroba seperti di Jepang, kata Khaswar. Secara terpisah, Kepala Bidang Biologi Sel dan Jaringan pada Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Puspita Lisdiyanti mengatakan, keberadaan badan nasional yang secara khusus menangani pemetaan dan pengoleksian berbagai mikroba di Indonesia belum dirintis. Saat ini para peneliti atau perekayasa yang membiakkan mikroba itu hanya menggunakannya demi kepentingan masing-masing. Semestinya, memang ada badan nasional yang secara khusus menangani koleksi mikroba dan pemanfaatannya untuk kepentingan bersama, kata Puspita. Pada era ke depan, menurut Puspita, bidang mikroorganisme ini memiliki peranan sangat penting untuk menunjang kehidupan yang berkelanjutan. Mikroba terbukti dapat menciptakan bahan bioplastik sekaligus akan mengurainya kembali. Dengan rantai ini, keseimbangan alam tercipta Menyuburkan Lahan Gambut dengan Mikroba

KOMPAS/ ESTER LINCE NAPITUPULU

Pembuatan kanal di lahan proyek lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah justru membuat kerusakan lahan gambut yang parah. Akibatnya, kebakaran hutan saat musim kemarau sering terjadi.
/

JAKARTA, JUMAT - Pemanfaatan lahan di Indonesia sejak dulu telah salah arah. Lahan subur, terutama di Jawa, tak terbendung terus berubah fungsi ke nonpertanian. Sementara itu, kebutuhan pangan yang terus meningkat memaksa pemanfaatan lahan kering dan marginal yang umumnya di luar Jawa. Di sinilah rekayasa teknologi berperan untuk mengubahnya menjadi lahan subur. Salah satu yang kini gencar disasari adalah lahan gambut. Dalam ASEAN-China Workshop on the Development of Effective Microbial Consortium Poten in Peat Modification di Jakarta, Senin (10/11), tim peneliti mikroba dari Pusat Teknologi Bioindustri BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), yang diketuai Gatyo Angkoso, melaporkan keberhasilan mereka menyuburkan lahan gambut dengan menambahkan limbah selulosa dari perkebunan kelapa sawit dan memasukkan secara bersamaan beberapa jenis isolat mikroba tertentu. Perlakuan ini dapat mengurangi tingkat keasaman atau menaikkan pH lahan gambut dari rata-rata 3,5 menjadi 5,5, jelas Direktur Pusat Teknologi Bioindustri, Koesnandar, yang juga terlibat dalam riset tersebut, di Rasau dan Siantan, Kalimantan Barat. Selama ini lahan gambut secara alami memang tidak subur karena memiliki keasaman tinggi atau kebasaannya (pH) rendah, antara 2,8 dan 4,5. Sifat lain lahan gambut yang tidak menguntungkan adalah nilai kapasitas tukar kation dan kandungan organik yang tinggi. Penyuburan lahan gambut dilakukan dengan memasukkan konsorsia atau beberapa kelompok mikroba. Dijelaskan Diana Nurani, peneliti, riset yang dilakukan sejak tahun 2006 berhasil diisolasi puluhan mikroba di dua daerah di Pontianak itu. Dari puluhan ditemukan empat kelompok mikroba yang memiliki kinerja yang baik dalam meningkatkan kebasaan lahan gambut. Ditambahkan Koesnandar, mikroba itu ditemukan di lahan gambut, pada limbah kelapa sawit, dan kotoran sapi. Dari efeknya pada tanah gambut, konsorsia mikroba itu

bersimbiosa mutualisme. Penelitian lebih lanjut akan dilakukan untuk meneliti peran dan karakteristik masing- masing mikroba. Aplikasi empat kelompok mikroba pada tanah gambut selain dapat meningkatkan pH, juga terbukti memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan ketersediaan mineral. Keuntungan lainnya adalah mengganti cara konvensional, yaitu pembakaran yang biasa dilakukan petani di lahan gambut untuk meningkatkan pH tanah gambut. Indonesia memiliki kawasan gambut keempat terluas di dunia, yakni 20,6 juta hektar. Peringkat pertama adalah Kanada (170 juta ha), Uni Soviet (150 juta ha), dan Amerika Serikat (40 juta ha). Lahan gambut di Indonesia terbanyak dijumpai di Sumatera (35 persen), Kalimantan (30 persen), dan Papua (30 persen). (YUN) Bakteri Baik Selamatkan Bayi dari Diare

Getty Images /

Artikel Terkait:

Bayi Lahir Caesar Butuh Probiotik Kimchi, Makanan Korea Kaya Probiotik "Bakteri Baik" Lindungi Pasien Kritis dari Pneumonia Serat dan Probiotik Tingkatkan Kekebalan Prebiotik Perkuat Buah Hati

Senin, 16 Maret 2009 | 21:27 WIB Laporan wartawan KOMPAS Evy Rachmawati KOMPAS.com - Kehadiran buah hati yang sehat dan cerdas merupakan dambaan para orang tua . Sayangnya, proses tumbuh kembang si kecil kerapkali terganggu oleh berbagai masalah kesehatan. Salah satu gangguan kesehatan yang banyak diderita bayi dan anak-anak berusia di bawah lima tahun adalah diare dan alergi. Cut Fabiayya, misalnya, menderita alergi dan mencret saat baru berusia lebih dari satu bulan. Bagian pipinya ruam merah. Ia juga mencret berulang kali dalam sehari. Padahal,

begitu pulang dari rumah sakit, ia mendapat air susu ibu (ASI) secara eksklusif dari ibunya. Setelah diperiksa dokter, ternyata ia menderita alergi. Bakat alergi itu berasal dari kedua orang tuanya yang menderita asma. Penyebabnya, selama menyusui, ibunya mengonsumsi susu untuk ibu menyusui dan beberapa jenis makanan yang berpotensi menimbulkan alergi. Untuk mengurangi risiko alergi, selama menyusui, Rifsia, ibu dari Cut Fabiayya, lalu pantang makan ikan laut, kacang tanah, dan telur. Hal serupa juga dialami Raka Pratama saat menginjak usia lima bulan. Karena sampai dua hari setelah lahir ASI ibunya belum keluar, Raka kemudian diberi susu formula. Beberapa hari kemudian, ia menderita panas tinggi, kulitnya kemerahan terutama di bagian muka, kaki dan badan. Setelah diberi antibiotik, Raka malah mencret sampai 15 kali dalam sehari, tinja yang keluar berlendir dan bercampur dengan sedikit darah, dan pada tubuhnya keluar bercak-bercak merah. Karena ibunya memiliki riwayat menderita asma, dokter mulai mencurigai adanya gejala alergi susu sapi sehingga disarankan agar susu formula yang biasa dikonsumsi Raka diganti dengan susu formula berbahan dasar kedelai. Setelah diobati dan berganti jenis susu, diarenya cepat sembuh. "Bercak kemerahan pada kulit Raka juga hilang," kata Ny Titin, nenek dari Raka yang sehari-hari tinggal di Ciledug, Tangerang. Awal kelahiran Masalah diare dan reaksi alergi dialami bayi-bayi dan kelompok anak berusia di bawah lima tahun di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Bila tidak segera diatasi, bayi dan anak balita yang menderita diare dan alergi akan terganggu proses tumbuh kembangnya pada periode emas pertumbuhan. Hasil penelitian yang dilakukan Prof Bengt Bjrkstn dari Institut Karolinska Swedia Bjrkst n pada tahun 2001 membuktikan, bayi-bayi penderita alergi terbukti mempunyai lebih sedikit Bifidobakteria pada feses atau tinja hingga mereka berusia lima tahun. Sejumlah riset dalam 10 tahun terakhir juga membuktikan perbedaan mencolok komposisi mikrobiota bayi sehat dan alergi di negara-negara dengan prevalensi alergi rendah dan tinggi. Menurut Bengt Bjrkstn, pengaruh kondisi awal kelahiran, termasuk cara kelahiran dan penggunaan antibiotik, mempunyai efek sangat besar terhadap pola mikroflora (jasad renik berukuran kecil seperti bakteri dan jamur) saluran cerna. Mikroflora itu sangat penting untuk merangsang sistem daya tahan tubuh dalam kondisi normal, ujarnya menegaskan. Hasil penelitian (Gronlund et al, Clin Exp Allergy 1999) memperlihatkan, keberadaan bakteri menguntungkan seperti Bifidobakteria pada bayi yang lahir cesar akan tertunda, dan dibutuhkan waktu hingga 6 bulan untuk menyamai bayi yang lahir normal. Oleh

karena, bayi yang lahir cesar akan steril dari bakteri baik saat dilahirkan, sedangkan bayi lahir normal telah terpapar bakteri ketika dilahirkan. Padahal bakteri baik seperti Bifidobakteria (kelompok bakteri menguntungkan atau probiotik di saluran cerna) yang diperoleh pada periode awal kelahiran, diperlukan untuk mengenali dan membentuk toleransi terhadap zat-zat asing yang masuk ke tubuh. Dominasi Bifidobakteria dalam saluran cerna terbukti dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen sehingga bisa membantu kekebalan lokal di daerah pencernaan pada bayi. "Pentingnya peranan bakteri menguntungkan ini menjelaskan mengapa bayi yang dilahirkan secara cesar dilaporkan memiliki angka kejadian alergi dan infeksi yang lebih tinggi," kata Kepala Divisi Gastrohepatologi Departemen Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo Prof Agus Firmansyah. Probiotik Sejumlah penelitian secara klinis menunjukkan, pemakaian beberapa jenis probiotik memberi efek sedang untuk mengatasi eksim pada bayi . Hal ini menarik untuk mengetahui potensi pencegahan alergi dengan mempengaruhi mikroflora saluran cerna melalui pemberian probiotik mikroorganisme non patogen yang memberi manfaat bagi yang mengonsumsinyapada bayi. "Tidak semua bakteri adalah probiotik," ujar Bjrkst n. Penggunaan mikroorganisme yang bermanfaat bagi kesehatan telah digunakan sejak lama dan telah terbukti keamanan penggunaan probiotik, bahkan pada bayi dan subjek yang daya tahannya agak lemah. Air susu ibu merupakan sumber alami probiotik. Ini menunjukkan pentingnya peranan probiotik sejak awal kelahiran. Bayi lahir normal yang diberi ASI akan makin sehat karena bakteri probiotik mendominasi mikrobiota saluran cerna, kata Agus. Maka dari itu, beberapa tahun belakangan ini bakteri probiotik mulai diberikan kepada bayi dan balita dengan memperhatikan aspek keamanan. Hanya preparat probiotik yang sudah diuji secara intensif dan terbukti aman yang boleh diberikan. Probiotik Bifidobacterium lactis merupakan salah satu probiotik yang dinyatakan aman oleh Badan Pengawas Makanan dan Obat-Obatan Amerika Serikat atau US-FDA, ujar Bjrkstn. Sebagian besar riset tentang probiotik untuk anak-anak difokuskan pada pencegahan diare, kolik intoleransi laktosa, baru kemudian alergi. Pada tahun 1994, Saavedra dkk melaporkan penurunan drastis angka kejadian diare pada anak-anak yang dirawat di rumah sakit yang diberi probiotik dibandingkan kelompok yang tidak memperoleh probiotik. Sejauh ini, ada empat penelitian terkontrol menggunakan plasebo yang memberi kan probiotik pada bayi usia 6-12 bulan. Tiga penelitian itu memperlihatkan pengurangan eksim pada anak-anak itu. Hasil temuan itu akan mendorong lebih banyak penelitian

lanjutan untuk membuktikan bahwa pemberian probiotik akan mengurangi angka kejadian a lergi pada saluran napas di masa kanak-kanak. Penyakit alergi itu bersifat kompleks dan penyebabnya multifaktorial. Probiotik telah diteliti untuk membantu mengurangi risiko munculnya reaksi alergi pada bayi. Penelitian itu masih berada di tahap awal dan hasilnya cukup menggembirakan yaitu muncul efek perlindungan signifikan dari probiotik untuk mencegah timbulnya atopik dermatitis . "Memahami ekologi mikroba membuka cara baru untuk pencegahan dan terapi," kata Bjrkstn. Bersahabat dengan kelompok bakteri baik diharapkan bisa mengurangi risiko diare dan alergi pada bayi dan balita yang pada akhirnya akan mengoptimalkan tumbuh kembang sang buah hati. Peran Mikroba Terhadap Pencemaran Jumat, 09 Januari 2009 BANJARMASIN - Pencemaran lingkungan sudah sering kita dengar, bahkan banyak dari kita yang sudah memahami pengaruh yang ditimbulkan oleh pencemaran lingkungan terhadap kelangsungan dan keseimbangan ekosistem mahluk hidup. Polusi atau pencemaran dapat diartikan sebagai kontaminasi lingkungan oleh bahan-bahan yang dapat mengganggu kesehatan manusia, kualitas kehidupan, dan juga fungsi alami dari ekosistem. Walaupun pencemaran lingkungan dapat terjadi akibat proses yang alami di lingkungan, aktivitas manusia sebagai pengguna lingkungan merupakan penyebab yang paling besar, baik yang dilakukan secara sengaja ataupun tidak sengaja. Salah satu pencemaran lingkungan yang mempunyai dampak besar terhadap kesehatan manusia yaitu penggunaan logam-logam oleh manusia. Peningkatan jumlah logam di lingkungan, terutama logam berat, menimbulkan efek yang cukup serius terhadap mahluk hidup yang ada disekitarnya. Bagi manusia gejala akan bahaya logam berat bagi tubuh dapat berupa kerusakan jantung, hati, kanker, kelainan dan kerusakan sistem syaraf, dan lain-lain. Sedangkan pada tumbuhan, keracunan logam berat dapat menyebabkan memendeknya akar, gugurnya daun, klorosis, kekurangan nutrisi, dan lain-lain. Munir (2001) mengatakan bahwa kadar logam yang terlalu tinggi di lingkungan dapat menurunkan atau menghambat pertumbuhan mikroba karena beberapa logam tertentu memiliki peran penting dalam metabolisme mikroba. Akan tetapi, logam tersebut akan menjadi berbahaya bagi mikroba bila terdapat dalam jumlah yang sangat berlebihan. Logam-logam yang toksik tersebut antara lain merkuri, timbal, arsenat, boron, cadmium, kromium, tembaga, nikel, mangan, selenium, perak dan seng. Logam berat dalam konsentrasi rendah dapat membahayakan kehidupan karena dapat menyebabkan

kerusakan enzim dan berbagai gangguan fungsi sel mahluk hidup. Karena adanya sifat logam yang mampu berinteraksi dengan mikroba, maka jumlah logam dilikngkungan dapat dikurangi dengan memanfaatkan mikroba tersebut dan cara ini biasanya disebut dengan bioremediasi. Bioremediasi merupakan salah satu pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan dengan memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran lingkungan. Bioremediasi bukanlah konsep baru dalam bidang ilmu mikrobiologi, karena mikroba telah banyak digunakan selama bertahun-tahun dalam mengurangi senyawa organik dan bahan beracun baik yang berasal dari limbah rumah tangga maupun dari industri. Menurut munir (2001) teknik bioremediasi terbukti sangat efektif dan murah dari sisi ekonomi untuk membersihkan tanah dan air yang terkontaminasi oleh senyawa-senyawa kimia toksik atau beracun. Mikroba dapat digunakan sebagai bahan penyerap logam dengan tujuan mengurangi logam dilingkungan. Mikroba seperti bakteri dapat berikatan dengan logam yang ada dilingkungan dengan menghasilkan suatu senyawa yang disebut siderofor. Siderofor dapat membentuk kompleks dengan logam-logam termasuk logam berat. Umumnya pengikatan logam berat oleh bakteri adalah sebagai salah satu perilaku umum dari bakteri untuk mempertahankan diri terhadap logam yang berbahaya. Bakteri yang tahan terhadap toksisitas logam berat mengalami perubahan sistem transport di membran selnya, sehingga terjadi penolakan atau pengurangan logam yang masuk ke dalam sitoplasma. Dengan demikian logam yang tidak dapat melewati membran sel akan terakumulasi dan diendapkan atau dijerap di permukaan sel dan prinsip itulah yang digunakan untuk mengurangi logam yang ada dilingkungan. Syana/Tri Anggono, mahasiswa FMIPA Unlam

Вам также может понравиться