Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Peran Media
Perhutanan Sosial dan REDD+ meliputi pelbagai isu-isu teknis yang tidak mudah dipahami oleh sebagian besar masyarakat. Kadangkala informasi terkini bukan hanya susah diperoleh, tetapi juga susah diterjemahkan menjadi berita yang bermakna bagi para pembaca. Dalam kaitan ini, peran media menjadi amat penting. Para jurnalis merupakan salah satu mata rantai yang penting dalam mewujudkan landasan diskusi antara pemerintah and masyarakat. Tidak hanya sekedar memaparkan fakta-fakta, peran media yang lebih penting adalah memperdebatkan fakta-fakta tersebut secara kritis. Dengan mengkritisi isu ini dari sudut pandang masyarakat umum dan menjadikannya lebih terjangkau, para pembaca dapat meneliti and membuat keputusan sendiri berdasarkan informasi yang tepat. Dengan demikian, masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan memperoleh kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.
___++++
Sebelum berbicara mengenai harga karbon dalam REDD+, penting bahwa negara maju berkomitmen menurunkan emisinya dan memberikan dukungan lebih besar kepada negara berkembang. Perjanjian yang ada harus bersifat mengikat. Masyarakat perlu diajak dalam pengelolaan hutan yang lestari, dan bukan diberikan pemahaman baru mengenai potensi uang dari REDD+. Dr. Machfudh UN-REDD Indonesia Programme
Jurnalis memerlukan dukungan informasi dan narasumber yang relevan untuk dapat mengolah informasi tersebut agar dapat dicerna oleh berbagai segmen pembaca. Johana Ernawati Majalah BOBO
1, 3
Penulisan mengenai REDD+. Paket untuk Media. November 2009. Climate Change Media Partnership. Didukung CIFOR, UN-REDD, Uni Eropa serta David and Lucile Packard Foundation Direktorat Perhutanan Sosial, Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran sungai dan Perhutanan Sosial , Kementerian Kehutanan
Media perlu memberitakan bahwa akses masyarakat terhadap hutan sudah diberikan oleh Pemerintah, antara lain melalui Hak Kelola (Izin Pengelolaan) yang sama semangatnya dengan tenurial, meskipun belum merupakan Hak Milik, dan komoditasnya berupa Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan sambil berjalan sedang disusun prosedurnya untuk menentukan proses dapat diaksesnya Hasil hutan Kayu (HHK). Erna Rosdiana Direktorat Bina Perhutanan Sosial, Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial, Kementrian Kehutanan
Ide-Ide Peliputan
Dari berbagai sesi dalam workshop, muncullah beberapa ide untuk peliputan. Beberapa isu mendasar seperti Peran Hutan dalam Perubahan Iklim, Peran Perhutanan Sosial (Social Forestry) di dalam REDD+, dan Konflik yang ada di Hutan, Sebab dan Akibat serta Solusi, masih merupakan topik yang menarik untuk digali lebih dalam mengingat isu ini masih awam bagi banyak kalangan masyarakat. Masih terkait dengan masalah konflik antara masyarakat adat hutan dengan isu Bagaimana REDD+ dapat memberi dampak terhadap hutan di Indonesia, serta potensi konflik yang ada di dalamnya dan Bagaimana REDD+ di Indonesia dapat menjadi solusi untuk mengatasi konflik yang ada di hutan penting untuk dibahas kalau skema ini akan diterima sebagai solusi dari berbagai permasalahan kehutanan dewasa ini.
Sebagai penyelenggara berharap agar melalui Workshop ini dapat dijalin kerjasama lebih dekat dengan Media terutama dalam isu-isu Perhutanan Sosial dan REDD+ yang belum banyak didalami oleh jurnalis kita. Yosef Arihadi Program Coordinator RECOFTC Indonesia
Selanjutnya Bagaimana Perhutanan Sosial (Social Forestry) yang sukses berjalan dapat berkontribusi pada usaha-usaha mengurangi dampak buruk perubahan iklim, dan dapat memberdayakan masyarakat untuk mengelola hutan yang lestari menjadi pertanyaan pamungkas.
Kampanye oleh Media diperlukan untuk mempromosikan partisipasi masyarakat di dalam REDD+ sehingga mereka bersedia untuk berkolaborasi dan berkontribusi tidak hanya demi kepentingan harga kredit karbon. Dr. Herry Purnomo Peneliti CIFOR
Jurnalisme Lingkungan
Peliputan Perhutanan Sosial dan REDD+, karena sifatnya yang kompleks dan berkaitan dengan banyak isu lain, lebih tepat bila menggunakan pendekatan jurnalisme lingkungan. Jurnalisme lingkungan tidak hanya terbatas membahas isu-isu lingkungan saja. Jurnalisme lingkungan juga mencakup pokok bahasan kesehatan, ekonomi, politik, perdagangan, pembangunan, sumber daya alam dan masalah sains. Dengan kata lain, interaksi manusia dengan komponen lingkungan makhluk hidup maupun benda mati, yang mengganggu lingkungan melalui penggunaan, penyebaran, perubahan sumber dayanya, adalah termasuk pokok bahasan jurnalisme lingkungan (Asian Forum of Environmental Journalists, 1998). Michael Frome (2001) dalam bukunya Green Ink menulis, Saya mendefinisikan Jurnalisme Lingkungan sebagai suatu penulisan dengan sebuah tujuan, yang dirancang untuk menyampaikan kepada publik data yang masuk akal, akurat, sebagai landasan keikutsertaan dengan dilengkapi dengan informasi dalam proses pengambilan keputusan isu-isu lingkungan. Penulisan tersebut memerlukan pemahaman mengenai sifat dan tujuan komunikasi massa, suatu kemampuan untuk dapat meneliti dan melaporkan temuan-temuan dengan akurat, dan sebuah kecintaan terhadap bahasa yang memungkinkan penyampaian secara jelas. Diperlukan lebih dari pembelajaran mengenai bagaimana menulis, tetapi juga pembelajaran mengenai kekuatan emosi dan pengambaran, untuk berpikir tidak hanya sekedar Siapa, Apa, Kapan, Dimana, dan Mengapa, tetapi juga Keseluruhan, secara meluas dan dengan sudut pandang (Frome, 2001, hal IX).
Menurut pengalaman, tataran administratif pelaksanaan REDD+ yang paling efektif adalah di tingkat Kabupaten, meskipun semuanya masih dalam tahap negosiasi dan kesuksesannya akan sangat bergantung dari pihak-pihak yang berperan di dalamnya. Dr. Dicky Simorangkir TNC Indonesia
Masyarakat sudah semakin sadar lingkungan dan diperlukan lebih banyak lagi informasi mengenai produk-produk ramah lingkungan yang digemari masyarakat. Angela Hindriati Wahyuningsih Femina
Kunci sukses Perhutanan Sosial ada di Value Chain; industri mebel adalah industri yang luar biasa dan menyerap banyak tenaga kerja serta tinggi value-added dan tingkat competitiveness-nya. Dr. Dede Rohadi Peneliti Seconded CIFOR
Langkah Ke Depan
Dalam diskusi workshop dipetakan beberapa kendala dalam peliputan dan pemahaman perhutanan sosial dan REDD+ serta jalan keluar dalam mengatasi kendala-kendala tersebut. Tindakan proaktif yang dapat diambil para pengambil keputusan, peneliti dan para pegiat lainnya untuk memasyarakatkan isu ini. Untuk mengatasi pemahaman yang kurang di kalangan media, salah satu saran yang dikemukakan adalah dengan mendatangi dewan redaksi media strategis untuk memberikan informasi perkembangan terkini mengenai perhutanan sosial atau REDD+. Menjawab tantangan minat yang kurang terhadap Isu yang kurang populer, para pengambil keputusan dan pegiat dapat mengirimkan satu atau dua lembar informasi terkini yang disusun secara menarik untuk merangsang minat media agar membaca informasi tersebut. Untuk menjawab perlunya pemutakhiran informasi, para pegiat dapat menyusun dan mengirim factsheets atau tips sheets secara berkala kepada media, yang berisi ide-ide peliputan dan data terkini mengenai capaian pelaksanaan program ataupun kebijakan. Pendanaan muncul sebagai salah satu kendala dalam peliputan yang jauh dari kantor pusat media. Untuk mengatasinya, para pegiat dapat bekerjasama dengan pihak yang memiliki minat yang sama, untuk mengundang jurnalis mendapatkan ekspos di lapangan, misalnya dengan tema Mengenal Indonesia Kembali. Sebaliknya, untuk menjawab tantangan perlunya ekspos berbagai lapisan masyarakat terhadap perhutanan sosial maupun REDD+ melalui media, diusulkan: Tur untuk mengisi liburan sekolah dengan mengangkat tema perhutanan sosial atau pentingnya kelestarian hutan untuk REDD+; Memberikan rekomendasi narasumber untuk kegiatan tahunan Majalah Bobo yaitu liburan untuk anak-anak berjudul Potret Negeriku; Menyediakan informasi untuk kalangan menengah ke atas mengenai produk-produk bersertifikat ramah lingkungan (ekolabel), dll.
Selanjutnya berbagai komitmen langkah nyata para pihak: 1. UN-REDD Indonesia Programme segera menyusun Strategi Komunikasi diawali dengan perekrutan International Communication Specialist; 2. Beberapa posisi menangani komunikasi dibuka untuk RECOFTC Indonesia; 3. ASFN Secretariat segera menyelenggarakan diskusi informal mengundang Media mengisi knowledge gap dan menyelenggarakan kegiatan kerjasama relevan lainnya.
ASEAN Social Forestry Network (ASFN) adalah Network perhutanan sosial yang dikoordinasikan melalui perwakilan pemerintah yang terbentuk pertama kalinya untuk Asia Tenggara. Pembentukannya disahkan oleh ASEAN Senior Officials on Forestry (ASOF) pada bulan Agustus tahun 2005. ASFN menghubungkan para pembuat kebijakan berkaitan dengan kehutanan dengan mitra-mitra Network dari perwakilan masyarakat, lembaga riset, akademisi, pihak swasta dan para ahli di bidangnya. RECOFTC memiliki misi untuk melihat lebih banyak lagi masyarakat yang secara aktif mengelola hutan yang ada di wilayah Asia Pasifik. Selama dua dasawarsa belakangan ini, RECOFTC telah memberikan pelatihan kepada lebih dari 4,000 orang yang berasal dari 20 negara dalam hal pelimpahan pengelolaan hutan dari para pengambil keputusan di tingkat nasional, peneliti dan praktisi langsung ke para pengguna lokal yang memanfaatkan sumberdaya hutan. Program pelatihan dan pembelajaran dilengkapi dengan melakukan kegiatan-kegiatan di lapangan, analisa isu-isu penting dan komunikasi strategis. Informasi lebih lengkap dapat diperoleh melalui: www.recoftc.org Media Workshop on Social Forestry and REDD+ diselenggarakan pada tanggal 14-15 April 2011 di Bogor, Indonesia, oleh Sekretariat ASEAN Social Forestry Network (ASFN) bekerjasama dengan The Center for People and Forests (RECOFTC) dengan dukungan dari ASEAN Secretariat, CIFOR, Program Responsible Asia Forestry and Trade (RAFT), Swiss Agency for Development and Cooperation (SDC) dan UN-REDD Indonesia Program, yang didokumentasikan dalam bentuk Video (Untuk permintaan salinan Video dapat menghubungi ASFN Secretariat). Tulisan ringkas ini dihasilkan atas dukungan masyarakat Amerika Serikat melalui pendanaan USAID. Isi yang dimuat dalam tulisan ini tidak mencerminkan pandangan USAID ataupun pemerintah Amerika Serikat, maupun pandangan pihak penyelenggara dan pendukung pelaksanaan Media Workshop. ASFN Secretariat & RECOFTC, May 2011.
ASEAN Social Forestry Network Secretariat Manggala Wanabhakti Building, Block VII, 4th Floor Jalan Gatot Subroto, Jakarta 10270, Indonesia Tel: +62 (21) 5703246, ext. 478 Fax: +62 (21) 5730136 Email: info@asfnsec.org; asfn.secretariat@asfnsec.org RECOFTC PO Box 1111, Kasetsart Post Office Bangkok 10903, Thailand Tel: +66 (0)2 940 5700 Fax: +66 (0)2 561 4880 Email: info@recoftc.org