Вы находитесь на странице: 1из 13

PENDAPATAN ASLI DAERAH DALAM OTONOMI DAERAH

Munawar Ismail Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya

Abstraksi
Masalah hubungan keuangan dan pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah terus mengalami pasang surut. Terakhir dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, telah memberikan harapan baru mengenai otonomi yang luas bagi daerah, khususnya Dati II. Pelimpahan tugas kepada pemerintah daerah dalam otonomi harus disertai dengan pelimpahan kewenangan di bidang keuangan. Tanpa itu, otonomi daerah menjadi tidak bermakna. Salah satu indikator penting dari kewenangan di bidang keuangan adalah besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pertanyaan yang diajukan dalam tulisan ini adalah seberapa besar peranan PAD yang seharusnya ditetapkan? Inilah yang akan dijawab dalam makalah ini. Makalah ini terlebih dahulu akan membahas tentang peranan PAD dalam penerimaan daerah dan peranan PAD dalam membiayai pengeluaran daerah. Setelah itu dibahas tentang bagaimana prospek PAD dalam otonomi daerah, dan diakhiri dengan bahasan mengenai idealisasi peranan PAD. Kata-kata Kunci: otonomi daerah, pendapatan asli daerah, perimbangan keuangan, dana alokasi umum, dana alokasi khusus.

1. Pendahuluan
Masalah hubungan keuangan dan pembagian tugas antara pemerintah pusat dan daerah terus mengalami evolusi. Selama pemerintah Orde Lama, sekurang-kurangnya sudah mengalami perubahan dua kali. Pada saat berlakunya Republik Indonesia Serikat (RIS), pemerintah daerah memiliki otonomi yang besar, tetapi sejak berlakunya Demokrasi Terpimpin, otonomi daerah menjadi sangat terbatas. Pada masa Orde Baru, hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah diatur menurut UU No.5 Tahun 1974, dimana hubungan itu pada akhirnya membuat pemerintah pusat menjadi sangat kuat dan peranan pemerintah daerah menjadi semakin marginal. Dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, memberikan harapan baru mengenai otonomi yang luas bagi daerah, khususnya Dati II. Pelimpahan tugas kepada pemerintah daerah dalam otonomi harus disertai dengan pelimpahan keuangan. Tanpa pelimpahan ini, otonomidaerah menjadi tidak bermakna. Salah satu indikator penting dari kewenangan keuangan adalah besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Semakin tinggi kewenangan keuangan yang dimiliki daerah, semakin tinggi peranan PAD dalam struktur keuangan daerah, dan begitu pula sebaliknya. Tetapi mengharapkan PAD sebagai sumber utama sehingga peranannya mencapai, katakanlah, 90%, adalah sesuatu yang mustahil. Dalam sistem negara yang

63

Ismail, Pendapatan Asli Daerah Dalam Otonomi Daerah

manapun di dunia saat ini, hampir tidak dijumpai kondisi dimana pengeluaran daerah dibiayai sepenuhnya oleh penerimaan asli daerah. Dalam banyak kasus, transfer dana dari pusat merupakan sumber penerimaan daerah yang sangat penting. Pertanyaan yang bisa diajukan adalah seberapa besar peranan PAD yang seharusnya ditetapkan? Inilah yang akan dijawab dalam makalah ini. Namun sebelum sampai pada jawaban tersebut, makalah ini akan membahas terlebih dahulu peranan PAD dalam penerimaan daerah dan peranan PAD dalam membiayai pengeluaran daerah. Setelah itu akan dibahas bagaimana prospek PAD dalam otonomi yang baru nanti, dan akhirnya makalah ini diakhiri dengan bahasan mengenai idealisasi peranan dari PAD.

2. Peranan PAD dalam Penerimaan Daerah


Kewenangan daerah dalam menjalankan pemerintahannya pada masa orde baru didasarkan pada UU. No. 5/1974. Disamping mengatur pemerintahan daerah, Undangundang tersebut juga menjelaskan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Untuk bisa menjalankan tugas-tugas dan fungsi-fungsi yang dimilikinya, pemerintah daerah dilengkapi dengan seperangkat kemampuan pembiayaan, dimana menurut pasal 55, sumber pembiayaan pemerintah daerah terdiri dari 3 komponen besar, yaitu: Pendapatan Asli Daerah, yang meliputi: Hasil pajak daerah Hasil restribusi daerah Hasil perusahaan daerah (BUMD) Lain-lain hasil usaha daerah yang sah Pendapatan yang berasal dari pusat, meliputi: Sumbangan dari pemerintah Sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundangundangan Lain-lain pendapatan daerah yang sah Diantara ketiga komponen sumber pendapatan tersebut, komponen kedua yaitu pendapatan yang berasal dari pusat merupakan cerminan atau indikator dari ketergantungan pendanaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Disamping itu besarnya dana dari pusat tersebut juga membawa konsekuensi kepada kebijakan proyek pemerintah pusat yang secara fisik implementasinya itu berada di daerah. Sehingga ada beberapa proyek pemerintah pusat yang dilaksanakan di daerah yang dibiayai oleh pemerintah pusat melalui APBN tertapi dana itu juga masuk di dalam anggaran pemerintah daerah (APBD). Pembiayaan pemerintah daerah dalam hubungannya dengan pembiayaan dari pemerintah pusat diatur sebagai berikut: Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat di daerah dalam rangka dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN Urusan yang merupakan tugas pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi dibayai dari dan atas beban APBD Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat atau pemerintah daerah tingkat atasnya, yang dilaksanakan dalam rangka tugas perbantuan, dibiayai oleh pemerintah pusat atas beban APBN atau oleh pemerintah daerah diatasnya atas beban APBD pihak yang menugaskan. Sepanjang potensi sumber keuangan daerah belum mencukupi, pemerintah pusat memberikan sejumlah sumbangan. Dengan demikian bagi Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten atau Kodya, disamping mendapat bantuan dari pemerintah pusat juga mendapat limpahan dari pemda Tingkat I Propinsi. Meskipun bisa jadi limpahan dana dari propinsi tersebut juga berasal dari pemerintah pusat lewat APBN. Dari ketiga sumber pendapatan daerah seperti tersebut diatas, peranan dari pendapatan yang berasal dari pusat sangat dominan. Secara umum untuk Daerah Tingkat I Propinsi, sumbangan dan bantuan dari pemerintah pusat mencapai 54,54% dari seluruh penerimaan Daeah Propinsi di Indonesia pada tahun 1996. Jadi hampir

64

TEMA, Volume II, Nomor 1, Maret 2001

separuh lebih dari penerimaannya berasal dari pemerintah pusat. Memang intensitas ketergantungan setiap Dati I terhadap pemerintah pusat tak sama. Untuk daerah-daerah seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Jawa Tengah memiliki ketergantungan sangat tinggi terhadap bantuan dan sumbangan dari pusat. Sementara itu daerahdaerah seperti DKI Jakarta, Bali dan Riau memiliki ketergantungan yang relatif rendah. (Tabel 1) Tabel 1 Komposisi Penerimaan Daerah Tingkat I, 1996 (dalam %)
Pendapatan Bagi Hasil Sumbangan Lainnya Jumlah Asli Daerah Pajak dan dan Bantuan (PAD) Bukan Pajak DI Aceh 17,82 10,45 62,37 9,36 100,00 Sumatera Utara 25,52 6,29 63,05 5,14 100,00 Sumatera Barat 36,12 8,38 44,14 11,36 100,00 Riau 34,63 24,06 24,81 16,50 100,00 Jambi 25,54 11,31 50,02 13,14 100,00 Sumatera Selatan 32,32 19,36 36,10 12,22 100,00 Bengkulu 20,50 5,41 65,17 8,92 100,00 Lampung 36,93 5,15 49,69 8,23 100,00 DKI Jakarta 60,13 13,04 12,93 13,90 100,00 Jawa Barat 32,94 3,57 58,54 4,95 100,00 Jawa Tengah 21,93 2,15 71,63 4,29 100,00 DI Yogyakarta 25,07 2,36 66,91 5,66 100,00 Jawa Timur 29,72 2,97 59,76 7,73 100,00 Kalimantan Barat 23,57 15,61 56,01 4,81 100,00 Kalimantan Tengah 6,49 23,09 65,29 5,13 100,00 Kalimantan Selatan 24,43 21,42 48,28 5,87 100,00 Kalimantan Timur 24,81 34,55 29,06 11,57 100,00 Sulawesi Utara 20,96 10,81 66,08 2,16 100,00 Sulawesi Tengah 9,51 4,68 83,64 2,17 100,00 Sulawesi Selatan 38,74 13,08 37,29 10,89 100,00 Sulawesi Tenggara 12,64 10,45 72,35 4,56 100,00 Bali 52,30 4,55 27,84 15,31 100,00 Nusa Tenggara Barat 23,91 5,24 64,59 6,25 100,00 Nusa Tenggara Timur 24,02 4,94 65,52 5,51 100,00 Maluku 12,47 15,39 66,91 5,23 100,00 Irian Jaya 7,48 32,36 42,15 18,01 100,00 Timor Timur 8,96 4,68 82,40 3,95 100,00 Rata-rata 25,53 11,67 54,54 8,26 100,00 Sumber: LPEMFEUI dalam Simanjuntak (2000) Catatan: Total Penerimaan disinidiambil dari APBD setelah dikurangkan dengan Urusan Kas dan Perhitungan (UKP) Dati I

Ketergantungan tersebut menjadi semakin besar bila meperhitungkan dana bagi hasil pajak dan bukan pajak, dimana dana ini merupakan hasil pembagian antara pemerintah pusat dan daerah dari penerimaan pemerintah pusat dipungut di daerah. Secara rata-rata, dana bagi hasil ini mampu menyumbang 11,67% terhadap penerimaan total Dati I Propinsi pada tahun 1996. Sumbangan ini sangat penting untuk daerahdaerah yang banyak memiliki kekayaan sumber alam (hutan dan tambang) seperti Riau, Kalteng, Kaltim, Kalsel dan Irian Jaya. Sedangkan di Jawa dan Dati I lain yang tak memiliki sumber daya alam, sumbangannya sangat kecil. Bila pos bagi hasil dan sumbangan dijadikan satu, maka ketergantungan penerimaan daerah terhadap pusat sangat besar. Angkanya pada tahun 1996 mencapai 67,21%. Dengan demikian hampir dari 70% dari penerimaan Dati I Propinsi di Indonesia secara langsung maupun tidak langsung berasal dari pemerintah pusat. Sebagai konsekuensi dari ketergantungan tersebut, maka peranan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), sebagai indikator kemandirian relatif kurang berarti. Untuk seluruh Dati I Propinsi di Indonesia, secara rata-rata peranan PAD hanya mencapai 25,53%

65

Ismail, Pendapatan Asli Daerah Dalam Otonomi Daerah

dari total penerimaan (Tabel 1). Angka ini tidak mencapai separuh dari peranan dana bagi hasil dan sumbangan yang angkanya mencapai 67,21%. Meskipun demikian untuk daerah tertentu, khususnya DKI Jakarta dan Bali, peranan PAD sangat dominan, dimana angkanya mencapai 60,13% untuk DKI Jakarta dan 52,30% untuk Bali. Jakarta sebagai ibu kota negara memiliki sumber PAD yang sangat potensial dan, disamping itu, Jakarta tidak memiliki Dati II sehingga dana-dana yang kalau untuk daerah lain menjadi penerimaan Dati II tetapi bagi DKI Jakarta tetap menjadi dananya sendiri. Sedangkan Dati I Propinsi Bali memiliki PAD yang tinggi karena merupakan daerah wisata sehingga memiliki obyek potensial sebagai sumber penerimaan daerah (seperti hotel, restauran, dan sebagainya). Sebaliknya untuk daerah lain, sumbangan PAD terhadap penerimaan daerah tidak signifikan (kurang dari 10%). Yang termasuk golongan ini adalah Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Irian Jaya (dan Timor-Timur). Rendahnya PAD dalam struktur penerimaan daerah disebabkan karena sumbersumber yang masuk dalam kategori PAD umumnya bukan sumber potensial bagi daerah. Sumber-sumber potensial di daerah sudah diambil oleh pusat sebagai sumber penerimaan pusat, sehingga yang tersisa di daerah hanya sumber-sumber yang kurang potensial, seperti pajak reklame, penerangan jalan, anjing, sepeda, dsb. Dalam kerangka UU No. 5/1974, jenis-jenis pendapatan asli daerah masih mengacu pada UU No. 11 dan 12 Tahun 1956, dan berbagai perturan lainnya. Berdasarkan 2 Undang-undang yang terakhir ini memang ada beberapa jenis pajak pusat yang diserahkan kepada daerah, namun dari sekian pajak daerah itu hanya ada beberapa saja yang akhirnya menjadi sumber penting bagi pendapatan daerah. Untuk Daerah Tingkat I, yang menjadi sumber penerimaan penting ada tiga, yaitu: (a) Pajak Kendaraan Bermotor, (b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan (c) Pajak Kendaraan di atas air (sangat penting khususnya bagi beberapa daerah di luar Jawa). Sedangkan untuk Dati II Kabupaten/Kodya, umumnya sumbangan besar PAD berasal dari pajak pembangunan I, pajak penerangan jalan, pajak reklame dan pajak tontonan. Disamping hal di atas, relatif rendahnya sumbangan PAD dalam struktur penerimaan daerah juga disebabkan oleh belum intensifnya pelaksanaan pajak dan restribusi daerah. Tax effort (yang diukur berdasarkan rasio antara PAD dan PDRB non migas) untuk seluruh Dati I di Indonesia angkanya kurang dari 1% (kecuali untuk DKI Jakarta yang angkanya mencapai 1,96%). Rata-rata tax effort untuk Dati I adalah hanya 0,67%. Angka rata-rata untuk Dati II lebih rendah lagi yaitu sebesar 0,46% pada tahun 1996. (Simanjuntak, 2000, hal 10). Ini membuktikan bahwa intensitas pemungutan pajak dan retribusi di daerah, khusunya Dati II, masih sangat rendah. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa peranan PAD masih sangat kecil sehingga penerimaan pemerintah daerah baik secara langsung maupun tidak langsung sangat tergantung pada transfer dari pemerintah pusat. Rendahnya PAD ini disamping disebabkan oleh rendahnya potensi sumber-sumber PAD di daerah juga disebabkan oleh kurang intensifnya pemungutan pajak dan retribusi di daerah.

3. Kemampuan PAD dalam Membiayai Pengeluaran Daerah


Ketergantungan yang tinggi terhadap penerimaan dari pusat di satu sisi dan rendahnya peranan PAD dalam penerimaan daerah di sisi lain membawa konsekuensi terhadap rendahnya kemamapuan PAD dalam membiayai pengeluaran daerah. Kondisi semacam ini tentu saja sangat menyulitkan pemerintah daerah untuk melaksanakan otonomi secara nyata sesuai dengan UU No. 22 dan 25 Tahun 1999. Meskipun perlu disadari bahwa bukan berarti kalau otonomi luas berimplikasi seluruh kegiatan di daerah harus dibiayai oleh pendapatan asli daerah itu sendiri. Untuk masalah ini akan dibicarakan dalam bagian tersendiri. Tabel 2 menggambarkan sejauh mana pemerintah daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kodya) mampu membiayai pengeluarannya. Dari Daerah Tingkat I Propinsi di Indonesia yang jumlahnya 27, hanya dua propinsi yang PAD-nya mampu membiayai 50% lebih dari pengeluarannya, yaitu DKI Jakarta dan Propinsi Bali. Selebihnya sangat

66

TEMA, Volume II, Nomor 1, Maret 2001

bervariasi, ada yang PAD-nya hanya bisa membiayai kurang dari 10% (sebanyak 3 propinsi), antara 10% sampai 20% (sebanyak 4 propinsi) dan sebagainya. Bila kita hitung rata-ratanya, PAD dari seluruh propinsi di Imdonesia hanya mampu membiayai 26,5% dari seluruh pengeluarannya. Suatu kemampuan yang cukup rendah. Tabel 2 Distribusi Dati I dan Dati II Menurut Kemampuan Pembiayaan PAD Terhadap Pengeluarannya, 1996
Dati I Porsi PAD terhadap Pengeluaran (%) Jumlah Proporsi < 10,00 3 11,1 10,00-19,99 4 14,8 20,00-29,99 11 40,7 30,00-39,99 6 22,2 40,00-49,99 1 3,7 >50,00 2 7,5 Jumlah 27 100,0 Rata-rata porsi PAD terhadap 26,5 pengeluaran (%) Sumber: diolah dari Simanjuntak (2000: 12). Dati II Jumlah Proporsi 156 51,1 86 28,2 39 12,7 14 4,6 8 2,6 2 0,8 305 100,0 13,13

Bila kemampuan itu diperluas pada tingkat Dati II, akan terlihat kemampuan pembiayaan yang jauh lebih kecil. Secara rata-rata, PAD di daeah kabupaten atau kodya di Indonesia hanya mampu membiayai 13,13% dari pengeluarannya, padahal untuk propinsi angka mencapai 26,5%. Yang lebih memprihatinkan lagi, separuh lebih dari Dati II di Indonesia pada tahun 1996 memiliki PAD yang hanya cukup untuk membiayai kurang dari 10% pengeluarannya. Untuk daerah ini barangkali PAD-nya hanya cukup untuk membiayai gaji pegawainya, atau bahkan malah kurang. Kondisi ini jelas semakin menyulitkan pelaksanaan otonomi yang nyata pada beberapa Dati II. Kemampuan PAD dalam membiayai pengeluarannya sangat bervariasi untuk setiap Dati II. Antara Dati II yang porsi PAD-nya tinggi dan Dati II yang porsi PAD-nya rendah, perbedaanya sangat jauh. Seperti diperlihatkan oleh Tabel 3, Dati II yang peranan PAD-nya peling besar berada di Jawa dan Bali (peranannya di atas 40%). Sementara itu Dati II yang peranan PAD-nya paling rendah (sekitar 1%) berada di luar Jawa dan khususnya di daera pedalaman. Tabel 3 Lima Dari II yang Memiliki Rasio PAD/Pengeluaran Tertinggi dan Terendah,1996
Dati II PAD (Juta) Rasio Tertinggi: 1. Kab. Badung 81.115 2. Kab. Sidoarjo 27.787 3. Kab. Serang 29.597 4. Kab. Bekasi 46.163 5. Kab Bogor 57.381 Rasio Terendah: 1. Kab. Ainaro 99 2. Kab. Manufahi 1.225 3. Kab. Kapuas Hulu 399 4. Kab. Halmahera Tengah 310 5. Kab. Yopen Waropen 446 Sumber: Diolah dari Simanjuntak (2000:12). Pengeluaran (Juta) 126.148 65.035 72.286 114.907 143.295 12.278 12.287 38.118 28.374 33.398 PAD/Pengeluaran (%) 63,30 42,73 40,94 40,16 40,04 0,81 1,02 1,05 1,09 1,34

Bila kita amati lebih jauh, daerah-daerah yang memiliki peranan PAD tinggi umumya adalah daerah-daerah yang memiliki sektor sekunder (industri manufaktur) dan sektor tersier (industri jasa-jasa) yang kuat. Kabupaten Badung merupakan daerah sentra industri kerajinan dan pusat wisata di Dati I Bali. Kabupaten Sidoarjo merupakan daerah industri karena letaknya berdampingan dengan Surabaya. Kabupaten Serang,

67

Ismail, Pendapatan Asli Daerah Dalam Otonomi Daerah

Bekasi dan Bogor merupakan daerah satelit DKI Jakarta. Sedangkan daerah yang peranan PAD-nya kecil merupakan daerah yang tumpuan ekonominya berbasis pada sektor primer dan tradisionil, seperti kelima Dati II pada Tabel 3. Dengan melihat struktur ekonomi dari Dati II di seluruh Indonesia yang sangat beragam, (ada yang struktur ekonominya ke arah modern, ada pula yang kearah tradisional, dan ada yang campuran), maka kesiapan daerah untuk melaksanakan otonomi sangat berbeda. Inilah yang perlu mendapat perhatian agar pelaksanaan otonomi tidak menimbulkan masalah serius di kemudian hari, khususnya kemungkinan timbulnya ketimpangan pembangunan yang semakin besar karena kemampuan pendanaan daerah yang sejak awal sudah terlihat beragam. Untuk memberikan gambaran yang obyektif mengenai kemampuan keuangan daerah, tampaknya kita perlu membandingkan kondisi yang ada di Indonesia dengan kondisi di luar negeri. Dengan perbandingan semacam ini akan diketahui dimana sebenarnya kita berada. Dan agar hasilnya bisa diterma sebagai perbandingan yang sebanding, kita perlu membandingkan hanya dengan sesama negara berkembang. Tabel 4 memberikan ilustrasi tentang itu. Tabel 4 Hubungan Keuangan Pusat-Daerah Menurut Beberapa Negara Berkembang (dalam %)
Pengeluaran Pemerintahan Daerah Negara Pengeluaran Pemerintahan Pusat Cina 64 Brazil 37 Argentina 37 India 54 Kolombia 32 Korea 38 Indonesia 22 Sumber: Simanjuntak (1999: 18). Penerimaan Pemerintah Daerah Penerimaan Pemerintah Pusat 64 28 24 35 18 18 7 Penerimaan Pemerintah Daerah Pengeluaran Pemerintah Daerah 100 76 65 65 56 47 30

Dibanding dengan negara berkembang lainnya, Indonesia memiliki angka terendah mengenai rasio antara penerimaan daerah dan pengeluaran daerah. Pada kolom keempat Tabel 4, terlihat angkanya 30%, yang berarti penerimaan daerah hanya mencukupi 30% pengeluarannya. Padahal di negara lain angkanya lebih tinggi dari itu, berkisar di atas 50%. Yang paling ekstrim terdapat di Cina, dimana pengeluaran daerah dibiayai oleh kekuatan pembiayaan daerah. Perbandingan ini membuktikan bahwa di Indonesia memang terdapat kertergantungan yang sangat tinggi dari keuangan daerah terhadap keuangan pusat. Tabel 4 juga menjelaskan ketergantungan dari sisi lain. Porsi penerimaan daerah terhadap penerimaan pusat di Indonesia juga palaing rendah, angkanya hanya 7%, yang bermakna bahwa total penerimaan daerah hanya 7% dari total penerimaan pusat. Dibanding dengan negara lain, angka sebesar ini juga paling rendah. Selanjutnya dilihat dari sisi pengeluaran juga terlihat adanya ketimpangan. Pengeluaran pemerintah daerah hanya 22% dari pengeluaran pemerintah pusat dan ini sekali lagi merupakan angka terkecil. Ini semua merupakan bukti adanya ketimpangan yang luar biasa mengenai hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Daerah memiliki kekuasaan yang sengat kecil terhadap urusan pengelolaan penrimaan dan pengeluarannya. Dari pengeluaran di atas dapat dirangkum bahwa kemampuan PAD dalam membiayai pengeluarannya sangat rendah. Untuk Dati II kemampuan tersebut jauh lebih kecil lagi dibanding dengan Dati I. Separuh lebih dari Dati II, penerimaan daerahnya hanya cukup untuk membiayai kurang dari 10% pengeluaran tortalnya. Ada berbapa Dati II, terutama yang basis sektor sekunder dan tersiernya kuat mempunyai kemampuan lebih dalam menggali pendapatan daerahnya. Dibanding dengan negara berkembang lainnya,

68

TEMA, Volume II, Nomor 1, Maret 2001

Indonesia mempunyai ketimpangan yang sangat besar mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

4. Prospek Keuangan Daerah dalam UU No. 25 Tahun 1999


Ketergantungan yang sangat tinggi dari keuangan daerah terhadap pusat seperti tersebut diatas tidak lepas dari makna otonomi dalam UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. UU tersebut lebih tepat disebut sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik daripada yang desentralistik. Unsur sentralistik ini sangat nyata dalam pelaksanaan dekonsentrasi. Dalam implementasinya dekonsentrasi merupakan sarana bagi perangkat birokrasi pusat untuk menjalankan praktek sentralisasi yang terselubung sehingga kemandirian daerah menjadi terhambat. Dalam beberapa hal UU No 5 Tahun 1974 lebih tepat disebut sebagai Undang-undang birokrasi daripada Undang-undang desentralisasi (E.Koswara, 1999, hal. 3). Dalam wacana Undang-undang seperti itu tidak mengherankan kalau pada akhirnya kondisi keuangan antar tingkar pemerintahan sangat sentralistik. Dengan sisitim keuangan yang sentralistik tidak mungkin otonomi bisa diimplementasikan secara nyata. Dengan semakin kuatnya tuntutan desentralisasi, pemerintah mengeluarkan satu paket Undang-undang otonomi daerah, yaitu UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU N0. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang diatur dalam UU No. 22 perlu dibarengi dengan pelimpahan keuangan dari perintah pusat ke pemerintah daerah yang diatur dalam UU No. 25. Tanpa adanya otonomi keuangan daerah tidak akan pernah ada otonomi bagi pemerintah daerah. Jadi kedua Undang-undang tersebut saling melengkapi. Sumber-sumber keuangan daerah menurut UU. No 25 Tahun 1999 terdiri dari (a) Pendapatan Asli Daerah (PAD), (b) Dana Perimbangan, (c) Pinjaman daerah dan (d) Lainlain pendapatan yang sah (hibah dan dana darurat). Penerimaan asli daerah (PAD) terdiri dari empat komponen besar yaitu: (a). Pajak Daerah (b) Restribusi Daerah, (c) Hasil perusahaaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, dan (d) Lain-lain pendapatan yag sah. Dasar hukum dari sumber-sumber PAD tersebut masih mengacu pada UU NO. 8 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sebenarnya Undang-undang ini sangat membatasi kreativitas daerah dalam menggali sumber penerimaan aslinya karena hanya menetapkan 6 jenis pajak yang boleh dipungut oleh Kabupaten atau Kodya. Dalam sistem pemerintahan yang sentralistis, UU itu tidak terlalu menjadi masalah, tetapi dalam sistem disentralisasi fiskal seperti dalam UU No. 25/1999, Undang-undang tahun 1997 tersebut menjadi tidak relevan lagi, karena salah satu syarat terselenggaranya desentralisasi fiskal adalah ada kewenangan pemerintah daerah yang cukup longgar dalam memungut pajak lokal. Oleh karana itu tanpa ada revisi terhadap Undang-undang ini, peranan PAD di masa datang tetap akan menjadi marginal seperti pada masa Orde Baru mengingat, seperti terlihat pada Tabel 5, pajak-pajak potensial bagi daerah tetap menjadi wewenang pemerintah pusat. Pemerintah Daerah Tingkat II hanya memiliki 6 sumber pendapatan asli daerah dimana sebagian besar dari padanya dari pengalaman di masa lalu sudah terbukti hanya memiliki peranan yang relatif kecil bagi kemandirian daerah.

69

Ismail, Pendapatan Asli Daerah Dalam Otonomi Daerah

Tabel 5 Wewenang Pajak dan Pembagian Hasilnya, 1998


No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Jenis Pajak Dasar Pengenaan P P P P P P P Wewenang Untuk *) Administrasi dan Tarif Pemungutan P P P P P P P P P P P P P P Porsi Pembagian (%) Pusat Propinsi 0 0 0 0 0 0 16,2 16 30 56 19 56 100 100 100 0 0 0 0 0 0 Kab. (Kodya) 0 0 0 0 0 0 74,8 64 15 14 16 14 0 0 0 100 100 100 100 100 100

Penerimaan Migas 100 Pajak Penghasilan 100 PPN 100 Bea Masuk 100 Cukai 100 Pajak Ekspor 100 Pajak Bumi & 9 Bangunan 8. BPHTB P P P 20 9. IHH P P P 55 10. IHPH P P P 30 11. Tambang-land rent P P P 65 12. Tambang-royalties P P P 30 13. PKB P P DI 0 14. BBNKB P P DI 0 15. PBBKB P P DI 0 16. Pajak Hotel & P D II D II 0 Restaurant 17. Pajak Hiburan P D II D II 0 18. Pajak Reklame P D II D II 0 19. Pajak Penerangan P D II D II 0 Jalan 20. Pajak Galian P D II D II 0 Golongan C 21. Pajak Air Bawah P D II D II 0 Tanah & Permukaan Keterangan *) P= Pemerintah Pusat, D I= Pemda Tingkat I, dan D II = Pemda Tingkat II Sumber: Departemen Keuangan dalam Simanjuntak (2000: 13).

Selanjutnya dana perimbangan dalam mendukung terselenggaranya otonomi daerah dengan titik berat pada Dati II memiliki tiga sumber yaitu (a) Bagian daerah dari pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan penerimaan Sumber Daya Alam (SDA), (b) Dana Alokasi Umum dan (c) Dana Alokasi Khusus. Dana pembangunan yang berasal dari PBB, BPHTB dan SDA dalam format UU No. 25/1999 sudah mengalami perubahan yang cukup besar jika dibandingkan dengan versi lama (UU N0.5/1974), baik yang menyangkut besarnya maupun metode pembagiannya. Seperti nampak pada Tabel 6, sebagian besar dari penerimaan tersebut dialokasikan kepada daerah dan alokasi untuk daerah jumlahnya lebih besar daripada untuk pusat. Satu hal yang spesifik dalam Undang-undang yang baru adalah dimasukannya pertimbangan daerah penghasil sebagai dasar pembagian yang diterima oleh Dati II. Maksudnya Dati II yang memiliki kekayaan sumber alam (berupa hutan dan tambang) akan menerima bagian tertentu untuk kepentingan daerahnya sendiri. Klausal ini merupakan jawaban terhadap tuntutan daerah-daerah yang inigin melepaskan diri dari negara kesatuan RI akibat dari pembagian yang tidak adil di masa lalu. Dengan ketentuan yang baru tersebut diharapkan gerakan separatisme daerah akan hilang. Meskipun pola pembagian seperti di atas dalam batas-batas tertentu dapat meredam tekanan separatisme, tetapi hal ini bisa menimbulkan problem baru di masa datang yaitu kemungkinan terjadinya disparitas keuangan antar daerah. Darah-daerah yang dikaruniai potensi tinggi dalam bentuk hutan dan tambang akan memperoleh bagian yang sangat besar karena 2 alasan. Pertama, porsi bagian daerah cukup besar (32% untuk IHH, 32% untuk royalty pertambangan umum, 6% untuk royalty minyak bumi dan 12% untuk royalty gas bumi) dan, kedua, nilai total penerimaan dari sumbersumber tersebut memang besar. Sehingga porsi daerah yang besar dikalikan dengan total nominal penerimaan yang besar jelas akan menghasilkan perolehan yang besar bagi

70

TEMA, Volume II, Nomor 1, Maret 2001

daerah. Pos penerimaan ini akan sangart penting bagi daerah-daerah seperti Aceh, Kaltim, Riau dan Papua yang kaya akan SDA. Selanjutnya Dana Alokasi Umum (DAU), meskipun baru sebenarnya merupakan pengganti dana dari pusat ke daerah yang selama ini dilaksanakan, yaitu Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan dana INPRES. DAU merupakan transfer dari pusat ke daerah dalam bentuk block grant yang penggunaanya diserahkan kepada daerah dan besarnya didasarkan pada potensi ekonomi dan kebutuhan obyektif daerah. Tujuan dari DAU disamping sebagai sarana untuk meningkatkan otonomi di daerah, juga bertujuan sebagai sarana penyeimbang kemampuan penyediaan pelayanan publik di berbagai pemerintah daerah di Indonesia, mengingat kemampuan keuangan antar daerah sangat bervariasi. Deperkirakan dana DAU ini secara tidak langsung akan memperkecil ketimpangan keuangan antara daerah yang ditimbulkan oleh pembagian hasil SDA yang sangat menguntungkan daerah penghasil. Inilah alasan mengapa dana DAU ini nilainya cukup besar, yaitu sekurang-kurangnya 25% dari APBN dengan pembagian sejumlah 2,5% untuk Dati I dan 22,5% untuk Dati II. Tabel 6 Pembagian Dana Perimbangan Antara Pusat dan Daerah Menurut UU No. 5/1974 dan UU No. 25/1999
UU No. 5/1974 Sumber Pusat I Bagian Daerah 1. PBB 2. BPHTP 3. IHH 4. IHPH 5. Pertambangan Umum - Land rent - Royalty 6. Royalty Migas - Minyak - Gas Bumi 7. Agraria 8. Royalty Perikanan II Dana Alokasi Umum (DAU) III Dana Alokasi Khusus (DUK) 10 20 55 30 20 20 100 100 40 Dati I 16,2 16 30 70 16 16 40 Dati II 64,8 64 15 64 64 20 Pembagian Menurut UU No. 25/1999 Dati II Pusat Dati I Semua Dati II Dati II Penghasil 10 20 20 20 20 20 85 70 100 20 75 16,2 16 16 16 16 16 3 6 2,5 64,8 64 64 64 80 22,5 32 32 6 12 -

Dati II Lainnya 32 32 6 12 -

Sumber: Sondakh (2000: 3)

Sumber dana perimbangan yang lain adalah dana alokasi khusus (DAK) yang bisa dianggap sebagai specific grant dari pusat ke daerah. DAK berasal dari APBN yang dialokasikan kepada pusat kepada daerah untuk membiayai kebutuhan khusus yang tidak sama dengan kebutuhan daerah lain. Secara spesifik dinyatakan bahwa DAK termasuk yang berasalah dari dana reboisasi dengan pola pembagian 40% untuk daerah penghasil sebagai DAK dan 60% untuk pemerintah pusat. Dengan adanya dana perimbangan teresebut akan sangat berpengaruh terhadap besarnya penerimaan daerah. Undang-undang yang baru memungkinkan daerah memiliki kemampuan keuangan yang lebih besar. Menurut beberapa perkiraan (lihat misalnya Alisjahbana, 2000) bagian Dati I dan Dati II di Jawa Barat dari PBB, BPHTB dan SDA untuk tahun anggaran 1998/99 meningkat 188% jika formulasinya menggunakan UU No. 25/1999. Suatu kenaikan yang hampir dua kali lipat. Sedangkan untuk trasfer block grant dari pusat ke Dati I mengalami penurunan 75% dan transfer ke Dati II mengalami kenaikan yang sangat besar yaitu 208%. Hasil perkiraan ini tampakanya sejalan dengan semangat otonomi daerah dengan titik berat pada otonomi

71

Ismail, Pendapatan Asli Daerah Dalam Otonomi Daerah

untuk Dati II, sehingga transfer dana ke Dati II mengalami kenaikan yang luar biasa, sedangkan transfer ke Dati I mengalami penurunan. Meskipun ada kenaikan penerimaan yang cukup besar bagi daerah khususnya Dati II, masih berlum jelas apakah kenaikan itu sudah bisa membiayai pengeluaran daerah seandainya otonomi luas diberlakukan. Seperti diketahui dalam UU No. 22/1999 ada sebelas kewenangan dari pusat yang dilimpahkan ke daerah, namun tugas limpahan kewenangan itu apakah sudah sejalan dengan transfer dana ke daerah. Apabila limpahan kewenangannya jauh lebih besar, maka implementasi otonomi yang nyata justru akan memberatkan pemerintah daerah. Sampai sekarang intensitas tugas yang harus dilaksanakan oleh daerah dalam kaitannya dengan limpahan belum diatur secara lengkap. Hal lain yang perlu diperhatikan sehubungan akan segera diberlakukannya UU No. 25/1999 adalah bahwa keuangan daerah masih tetap memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap pusat, khususnya dana perimbangan yang berasal dari DAU. Bagi daerah, dana perimbangan merupakan sesuatu yang given, dalam arti daerah tak memiliki kewenangan untuk mengatur karena sudah ditetapkan dalam Undang-undang. Meskipun jumlahnya sudah tertentu, daerah memiliki otonomi yang luas mengenai penggunaan dana transfer tersebut. Ini merupakan hal baru yang tak ada pada model otonomi orde baru. Pada masa itu, dan sekarang masih berlaku, besarnya transfer dana ditentukan oleh pusat dan penggunaannya sudah ditetapkan oleh pusat, sehingga hanya sebatas perlaksanaan yang tidak memiliki kewenagnagan apa-apa. Untuk masa datang, sebenarnya PAD itulah yang harus dirumuskan kembali formulanya agar peranannya menjadi lebih besar, sehingga kemandirian daerah dalam pengelolaan fiskal menjadi semakin besar.

5. Peranan PAD yang Ideal


Masyarakat memiliki pemahaman yang berbeda mengenai makna otonomi daerah. Di satu sisi otonomi diartikan secara absolut, artinya daerah memiliki kebebasan dan kewenangan secara penuh dalam mengatur urusan rumah tangganya. Dalam konteks saat ini, mereka yang sangat setuju dengan definisi ini adalah mereka yang setuju dengan pembentukan negara federal di Indonesia. Sebalikanya di sisi lain, ada yang menafsirkan otonomi sebagai sesuatu yang relatif, artinya di dalam otonomi daerah ada batasan-batasan bergerak bagi daerah dalam mengurusi urusan rumah tangganya. Dalam pengeritan ini pemerintah pusat masih memiliki kekuasaan untuk mengatur pemerintahan di bawahnya. Dalam dunia nyata, praktek otonomi secara absolut tidak ada. Otonomi dalam dunia medern lebih banyak bersifat relatif, meskipun pengertian relatif itu sendiri memiliki batas-batas yang tidak jelas, karena hal ini sangat tergantung dari kondisi nasional yang dihadapi, sejarah pengalaman dan budaya suatu negara, persepsi masyarakat terhadap kekuasaan dan wewenang negara, dsb. Disamping itu faktor-faktor yang mempengaruhi derajat otonomi terus berkembang sehingga praktek otonomi dalam suatu negara tidak statis, seperti yang kita alami saat ini di Indonesia. Meskipun pengertiannya bersifat relatif, paling tidak ada empat hal yang penting diperhatikan dalam otonomi daerah (Simanjuntak, 1999, hal. 5-6). Pertama, adanya lembaga perwakilan rakyat yang dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah tersebut. Lembaga ini yang nantinya berperan dalam memutuskan jasa-jasa pelayanan yang perlu disediakan oleh pemerintah. Kedua, adanya keleluasaan dalam menentukan pelayanan jasa masyarakat beserta dengan biayanya. Ketiga, adanya kewenangan untuk merekrut pegawai sendiri. Keempat, adanya sumber-sumber pendapatan yang dikuasai daerah. Adanya pendapatan yang dikuasai daerah bukan berarti bahwa otonomi harus berimplikasi adanya pembiayaan secara penuh oleh daerah terhadap seluruh pengeluaran yang harus dibiayainya. Dalam kacamata ini, pemerintah pusat masih dimungkinkan untuk memberikan transfer kepada daerah. Dalam batas-batas tertentu pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk menentukan beberapa aspek

72

TEMA, Volume II, Nomor 1, Maret 2001

pelayanan masyarakat di wilayahnya, meskipun daerah lainnya membiayai sebagian kecil kegiatan tersebut. Pertanyaan sekarang adalah seberapa besar peranan PAD yang ideal dalam otonomi daerah? Pertanyaan ini sulit dijawab karena tidak ada pedoman yang pasti untuk menentukan besarnya PAD yang ideal bagi suatu daerah. Setiap negara memiliki ketentuan sendiri-sendiri dan ketentuan itu tidak bisa diberlakukan di negara lain. Namun sebagai bahan perbandingan, pada Tabel 7 disajikan peranan penerimaan daerah di berbagai negara baik di negara dengan sistem republik maupun federal. Tabel 7 Distribusi Penerimaan Pajak di Beberapa Negara (%) Menurut Tingkatan Pemerintah
Negara Tahun Porsi terhadap Penerimaan Total untuk Pemerintah Pusat Negara Bagian 19,9 36,5 21,0 20,6 38,2 42,8 26,0 15,4 Pemda 3,5 10,0 6,0 13,7 5,2 10,2 3,7 3,6 2,6 2,2 7,9 5,1 2,9 I. Negara Maju (a) Negara Federal 1.Australia 1995 76,6 2.Kanada 1993 53,5 3.Jerman 1995 73,0 4.Amerika 1994 65,7 (b) Negara Kesatuan 1.Belgia 1994 94,8 2.Perancis 1995 59,8 3. Belanda 1995 96,3 4. Inggris 1995 96,4 II. Negara Berkembang (a) Negara Federal 1. India 1993 61,8 2. Argentina 1992 57,2 3. Brazil 1993 71,4 4. Meksiko 1993 84,6 (b). Negara Kesatuan 1. Kenya 1994 97,8 2. Polandia 1995 92,1 3. Thailand 1995 94,9 4. Indonesia 1993 97,1 Sumber: Ter-Minassian dalam Simanjuntak (1999:20)

Baik di negara maju maupun di negara berkembang, sistem pemerintahan federal ditandai oleh sistem perpajakan yang relatif tidak berpusat daripada model pemerintahan republik. Dalam sistem negara federal, pemerintah pusat menguasai rata-rata 67,2% total penerimaan pajak untuk negara maju dan 68,75% untuk negara berkembang. Sedangkan dalam sistem republik, dominasi pusat sangat tampak, yaitu menguasai 94,32% untuk negara maju dan 95,5% untuk negara berkembang. Jadi dalam negara kesatuan, sistem perpajakannya cenderung terpusat, tanpa memandangapakah negara tersebut tergolong negara maju atau negara berkembang. Hal lain yang menarik dari Tabel 7 adalah porsi kewenangan pemerintah daerah dalam sistem perpajakan di negara maju. Berdasarkan pada porsi penerimaan pajak daerah terhadap pajak total, terlihat bahwa peranan pemerintah daerah relatif kecil baik di negara federal meupun negara kesatuan. Angka rata-ratanya adalah 8,3% untuk negara federal dan 5,7% untuk negara kesatuan. Relatif rendahnya kewenangan pemerintah daerah dalam sistem negara federal nampaknya disebabkan karena besarnya peranan negara bagian. Dalam sistem federal terlihat bahwa otonomi perpajakan bukan pada level pemerintah daerah tetapi terletak pada negara bagian. Itulah alasan mengapa otonomi perpajakan bagi pemerintah daerah relatif rendah untuk negara federal maupun negara kesatuan. Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa otonomi daerah tidak harus ditandai dengan kewenangan yang besar bagi daerah dalam hal perpajakan. Adalah sesuatu yang absurd bila dikatakan bahwa Dati II harus memiliki kewenangan yang cukup besar sehingga porsi PAD terhadap penerimaan pajak harus mencapai, sekurang-kurangnya, misalnya, 25%. Seperti terlihat pada Tabel 7, angka 13,7% bagi daerah sudah

73

Ismail, Pendapatan Asli Daerah Dalam Otonomi Daerah

merupakan angka tertinggi untuk kasus di negara maju (Amerika Serikat yang menganut sistem federal). Negara-negara maju lain yang menganut sistem kesatuan, pemerintah pusat hanya memberi kewenangan 10% kepada daerah (untuk kasus Perancis dan itu sudah merupakan angka tertinggi). Ini juga menggambarkan yang bahwa lebih penting untuk diperhatikan dalam otonomi daerah adalah adanya kewenangan daerah untuk menentukan dan memilih bentuk-bentuk pelayanan publik yang terbaik bagi masyarakatnya, meskipun dalam mewujudkan itu pembiayaan banyak berasal dari pusat. Oleh karena itu otonomi dalam menentukan pelayanan publik bagi masyarakatnya jauh lebih esensial daripada otonomi dalam perpajakan. Meskipun demikian ini bukan berarti bahwa daerah tidak perlu melakukan berbagai usaha untuk menaikkan penerimaan aslinya. Lebih-lebih bila dikaitkan dengan kenyataan bahwa porsi pajak daerah terhadap total pajak di Indonesia masih sangat rendah, usaha itu menjadi sangat mendesak sehingga angkanya menjadi lebih tinggi lagi, misalnya, mendekati yang ada di Thailand sebesar 5%. Tetapi harus tetap diingat bahwa pelimpahan kewenangan pajak yang lebih besar ke daerah tidak boleh mengorbankan azas keadilan, efisiensi dan stabilisasi dalam perspektif negara kesatuan.

6. Kesimpulan
Penerimaan Asli Daerah (PAD) masih memiliki peran yang relatif kecil dalam struktur keuangan daerah, sehingga anggaran daerah khususnya anggaran Dati II, sangat tergantung pada transfer yang berasal dari pusat. Hampir separuh lebih dari Dati II di Indonesia, PAD hanya bisa membiayai kurang dari 10% pengeluaran totalnya. Ini sangat menyulitkan bagi Dati II untuk bisa melaksanakan otonomi secara nyata. Meskipun undang-undang yang baru (No. 25/1999) sudah menawarkan formulasi mengenai sumber penerimaan daerah yang jauh lebih maju, diperkirakan peranaan PAD tetap akan marjinal. Untuk itu revisi terhadap UU No. 8/1997 sebagai dasar pengenaan PAD perlu dilakukan mengingat aturannya tak memberikan kreativitas bagi daerah untuk menggali penerimaan secara lebih intensif. Otonomi daerah tidak harus ditandai oleh tingginya kewenangan daerah yang tinggi dalam merumuskan perpajakan. Otonomi dalam memutuskan pelayanan publik yang harus diberikan kepada masyarakat di daerahnya jauh lebih penting daripada otonomi dalam perpajakan. Tetapi mengingat PAD daerah di Indonesia masih sangat rendah, maka usaha-usaha yang diarahkan pada peningkatan PAD perlu dilakukan dengan tetap memperhatikan masalah keadilan, efisiensi dan stabilitas dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia.

Daftar Pustaka
Alisjahbana, Armida, 2000, Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Daerah, Makalah dalam Konggres Nasional ISEI, 21-23 April, Makassar Anonim, 2000, Proyek Pendataan Potensi Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Dati II Kediri, Laporan Penelitian dari Kerjasama LM FE Unibraw & BAPPEDA Kabupaten Dati II Kediri, Malang Anonim, UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah Anonim, UU No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Bambang Permadi, 2000, Membangun Sektor Publik, Kelembagaan dan Infrastruktur, Makalah dalam Konggres Nasional ISEI, 21-23 April, Makassar. E. Koswara, 1999, Pemerintah Daerah dengan Otonomi yang Luas, Makalah dalam Seminar Sehari, Kerjasama LPEM FEUI ISEI YBBAKM, 18 Mei, Jakarta Simanjuntak, Robert A., 1999, Reformasi Hubungan Keuangan Pusat-Daerah, Makalah dalam Seminar Sehari, Kerjasama LPEM FEUI ISEI YBBAKM, 18 Mei, Jakarta.

74

TEMA, Volume II, Nomor 1, Maret 2001

Simanjuntak, Robert A., 2000, Beberapa Alternatif Sumber Penerimaan Daerah dalam Rangka Pemberdayaan Pemerintah Daerah, Makalah dalam Konggres Nasional ISEI, 21-23 April, Makassar Sondakh, Lucky, 2000, Membangun Sektor Keuangan Daerah yang Kompetitif dan Efisien, Makalah dalam Konggres Nasional ISEI, 21-23 April, Makassar Susijati B. Hirawan, 1999, Perimbangan Keuangan atara Pemerintah Daerah & Pusat, Makalah dalam Seminar Sehari, Kerjasama LPEM FEUI ISEI YBBAKM, 18 Mei, Jakarta Suwandi, Made, 2000, Implikasi UU No.22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 terhadap Akuntansi Keuangan Daerah, Makalah dalam Konggres Nasional ISEI, 2123 April, Makassar

75

Вам также может понравиться