Вы находитесь на странице: 1из 157

PENGANTAR

Buku naskah lengkap ini merupakan kumpulan makalah yang dibicarakan


dalam Seminar Tiga Hari, meliputi Demam Berdarah Dengue dan Penyakit
Tropik, Endoskopi dan Ultrasonografi Anak.
Isi buku sebagian besar berbentuk makalah lengkap dan sebagian lagi
berbentuk saripati (abstrak). Dalam buku ini dimuat juga makalah lengkap
pembicaraan pada acara ilmiah bulanan.
Isi makalah yang dihimpun dalam buku naskah lengkap sesuai dengan apa
yang disampaikan/ditulis oleh pembicara/pengarang tanpa perubahan isi dari
penyunting.
Kami sampaikan terima kasih kepada para pengarang dan pihak/instansi
lain yang telah memberikan bantuan dalam penerbitan buku ini.
Semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua.

Penyunting
Penyunting
Tatang Kustiman Samsi
Jacobus Jimmy Setiawan
Sugianto Djoharman
Daftar Isi :
2. Pengantar
7 Sambutan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia
9 Sambutan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Universitas Tarumanagara
10 Sambutan Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Sumber Waras — FK Universitas Tarumanagara
Demam Berdarah Dengue

11 Dengue Hemorrhagic Fever - A Global public Health problem — Dr. Duane J. Gubler, Sc.D.
14 Kebijakan nasional pada Demam Berdarah Dengue — Dr. Thomas Suroso, MPH.
19 Pengamatan klinis Demam Berdarah Dengue di Rumah Sakit Sumber Waras (1968 — 1991) — Dr. Tatang Kustima n Samsi, DSA.
26 Pemberantasan penyakit Demam Berdarah melalui pengawasan kualitas lingkungan — DR. Sumengan Sutomo.
34 Recent developments in Research on Dengue Hemorrhagic Fever— Dr. Duane J. Gubler, Sc.D.
35 Patogenesis dan patofisiologi Demam Berdarah Dengue — DR. Dr. Sutaryo, DSAK.
40 Demam Berdarah Dengue berat dengan konfirmasi virologik — Dr. Sugianto Djoharman
44 Problematik diagnosis Demam Berdarah Dengue — Dr. Tatang Kustiman Samsi, DSA.
50 Manifestasi klinis langka Demam Berdarah Dengue — Dr. Sugianto Djoharman
53 Peranan ultrasonografi dalam penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue — Dr. Melani Witarsa Setiawan, MSc.
57 Demam Berdarah Dengue: Pengalaman di Bagian llmu Kesehatan Anak RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta - Dr. Sri Rezeki Harun,
DSA.
62 Demam Berdarah Dengue: Pengalaman di Bagian ilmu Kesehatan Anak RS Hasan Sadikin, Bandung—Prof. Dr. Azhali M.S, DSAK.
66 Demam Berdarah Dengue: Pengalaman di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS DR. Karyadi, Semarang — Dr. Anggoro D.B. Sachro,
DSA, DTM&H.
70 Dengue virus surveillance at Sumber Waras Hospital September 1987 through August 1992 — Dra. Ratna Tan
71 Potential pathogenic roles of acute inflammatory cytokines and HLA status in DH-HF— Peter Donald 0' Hanley, MD., MPH.
72 Study of human peripheral blood leukocytes from Dengue immune persons, relation ship between FC receptor expression and virus
growth — Gerald B. Jennings, DVM, PhD.

Penyakit Tropis

73 Hepatitis in children in Asia — Mei-Hwei Chang, M.D.


75 Hepatitis pada bayi — Dr. Adnan S. Wiharta, DSAK.
79 The protective efficacy of Recombinant Hepatitis 13 vaccine in infants of H-HbeAg positive HBs Ag carrier mothers in Taiwan —
Mei-Hwei Chang,MD.
80 Diare di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Sumber Waras — Komalarini, DSA.
83 Rotavirus in pediatric patients at Sumber Waras hospital — Dra. Anni C. Sie
84 Hepatocelluler Carcinoma in children — Mei-Hwei Chang, M.D.
86 Histoplasmosis di Rumah Sakit Sumber Waras — Dr. S. Setijo Noegroho
90 Pengobatan Malaria yang resisten terhadap Klorokuin — Dr. Emiliana Tjitra, MSc.

Ultrasonografi

96 Pengalaman Ultrasonografi Abdomen di RS Sumber Waras — Melani W. Setiawan, I. Susanto, Purnadi K, JJ Setia wan, II. Wulur
99 Echo Encephalography of newborn infants baby — Willem Baerts, M.D.
104 USG examination of the hepatobiliary system — Mei-Hwei Chang, M.D.
106 Indikasi USG ginekologi pada anak — Dr. Indra Wiradharma
110 Ultrasonografi intervensi tumor perut — dr. Haryanto Sidharta
Endoskopi

112 Helicobacter pylori & duodenal ulcer children – Mei-Hwei Chang, M.D.
113 Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP) diagnostik dan terapeutik pada Obstruksi Bilier– DR. Laurentius A.
Lesmana, PhD.
115 Endoskopi pada pendarahan gastrointestinal – Dr. Hadjat S. Digdowirogo, DSA.

Simposium Satelit: Hematuri pada Anak

121 Hematuria pada anak: Pendekatan diagnosa – Dr. Setiadharma Selopranoto, DSA.
126 Hematuri pada anak: Aspek radiologi – Dr. Linda Supardi
129 Hematuri path anak: Aspek sonografi – Dr. Melani Witarsa Setiawan, MSc.
132 Hematuri pada anak: Aspek urologi – Dr. Zainal Abidin

Simposium Satelit: Psikologi Anak

135 Pendekatan psikologis terhadap anak yang dirawat dan sikap orang tua – Prof. DR. Singgih D. Gunarsa

Simposium Satelit: Batuk Kronik pada Anak

137 Batuk kronik path anak – Dr. Ilerman Sidharta


141 Batuk kronik pada anak ditinjau dari bidang THT – Dr. Oemi Alifa Tadjoeddin
144 Konsep Baru penatalaksanaan Asma Bronkial pada anak – Dr. E.M. Dadi Suyoko, DSA.

Simposium Satelit: Nyeri Perut Berulang dan Menahun pada Anak

149 Nyeri perut berulang dan menahun pada anak – Dr. Hansa Wulur
155 Faktor psikogenik pada gangguan organik nyeri perut berulang dan menahun pada anak – Prof. Dr. Singgih D. Gunarsa
SAMBUTAN KEPALA LITBANG KESEHATAN
PADA ULANG TAHUN KE 25 BAGIAN
KESEHATAN ANAK RS SUMBER WARAS -
FK TARUMANAGARA DESEMBER 1992
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Adalah suatu kehormatan bagi saya untuk memberikan sambutan tertulis


dalam buku proceeding seminar menyambut Ulang Tahun ke 25 Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Rumah Sakit Sumber Waras – Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara dan Lustrum VI Universitas Tarumanagara.
Pada kesempatan ini saya sampaikan ucapan selamat kepada seluruh Pem-
bina dan Civitas Academica di lingkungan Universitas Tarumanagara pada
umumnya dan Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Sumber Waras –
Fakultas Kedokteran pada khususnya. Semoga pendidikan dan pengabdian
kepada masyarakat yang diselenggarakan akan dapat semakin berperan untuk
Pembangunan Nasional kita, utamanya dalam kaitan dengan pembangunan
sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas.
Pemilihan tema "Peningkatan kualitas anak mempersiapkan sumber daya
manusia yang kreatif dan produktif dalam Pembangunan Nasional" untuk
seminar ini adalah sangat tepat. Sebagaimana telah disebutkan dalam GBHN
1988 bahwa sasaran utama Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun Kedua
adalah terciptanya kualitas manusia dan kualitas masyarakat Indonesia yang
maju dalam suasana tenteram dan sejahtera lahir dan batin.
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan,
dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang optimal. Hingga dewasa ini berbagai upaya pembangunan kese-
hatan telah dilaksanakan secara berkelanjutan dan sistematis sehingga hasil-
hasilnya secara nyata telah dapat dirasakan kemajuannya.
Hasil pembangunan kesehatan selama ini telah memberikan dampak yang
berarti terhadap membaiknya derajat kesehatan masyarakat. Hal ini nampak dari
menurunnya angka kematian bayi dan anak balita serta meningkatnya angka
rata-rata harapan hidup bangsa Indonesia. Sebagai contoh angka kematian bayi
di Indonesia yang tinggi telah mengalami penurunan yang cukup tajam antara
tahun 1976 - 1986, yakni dari 109 menjadi 71, dan menjadi 63 kematian bayi per
1000 kelahiran hidup pada tahun 1990.
Keberhasilan tersebut tidak lepas dari peranan masyarakat, termasuk
swasta dalam pembangunan kesehatan. Peran tersebut meningkat terus terutama
akhir-akhir ini dengan adanya iklim deregulasi.
Pembangunan kesehatan di masa mendatang akan semakin berat, pe-
rmintaan pelayanan kesehatan akan meningkat, tetapi kemampuan Pemerintah
sangat terbatas. Permasalahan yang dihadapi akan semakin luas dan kompleks
dan membutuhkan cara-cara pemecahan yang lebih rumit dan mahal. Oleh
karenanya peran serta masyarakat termasuk swasta dalam pembangunan ke-
sehatan perlu ditingkatkan.
Universitas ini telah secara nyata turut memberikan sumbangan berharga
dalam banyak bidang pembangunan, khususnya pembangunan kesehatan. Hal
ini dapat dilihat dengan dihasilkannya dokter yang kini bekerja di lembaga-

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 8/, /992 7


lembaga pelayanan kesehatan, Puskesmas dan Rumah Sakit di seluruh Indonesia.
Banyak di antara mereka yang bekerja di daerah-daerah terpencil guna turut
mengatasi berbagai masalah kesehatan masyarakat. Demikian pula Rumah Sakit
Sumber Waras secara nyata telah memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat luas dalam penanggulangan penyakit-penyakit infeksi khususnya
pelayanan bagi kalangan masyarakat yang kurang mampu.
Sebagai salah satu institusi yang menyelenggarakan pendidikan tenaga
kesehatan dan memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, saya
mengharapkan kiranya upaya ini dapat terus-menerus dimantapkan, dikem-
bangkan dan ditingkatkan agar keberadaan institusi ini semakin nyata dalam
mewujudkan cita-cita Pembangunan Nasional.

Selamat ber-HUT dan berseminar semoga sukses.


Wassalamualaikum Waramatullahi Wabarakatuh.

Jakarta, Nopember 1992


Kepala
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Prof. Dr. Sumarmo Poorwo Soedarmo

8 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


SAMBUTAN
KETUA LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
UNIVERSITAS TARUMANAGARA

Pada kesempatan yang membahagiakan ini, sudah sewajarnya bila seluruh


anggota Civitas Akademika Universitas Tarumanagara merasa gembira serta
berharap agar tujuan seminar dapat tercapai. Rasa gembira dan bangga yang
menyambut terselenggaranya seminar ini didasari kepercayaan bahwa para
ilmuwan kedokteran kita tanggap terhadap tantangan pembangunan yang ber-
tujuan untuk meningkatkan harkat dan kualitas hidup manusia Indonesia. Ke-
giatan mulia ini mencerminkan kepedulian kita terhadap kemajuan dan per-
kembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, ilmu kedokteran pada khususnya.
Lazimnya, seminar il miah merupakan suatu usaha kegiatan untuk mem-
pertemukan para ilmuwan sebidang guna bertukar informasi atau bertukar
pikiran mengenai temuan-temuan penelitian yang dianggap baru. Jadi, sebenar-
nya kegiatan tersebut mempunyai beberapa fungsi :
1. Menyebarkan informasi mengenai temuan-temuan.
2. Menggalakkan penelitian bidang yang digeluti.
3. Mengingatkan para pesertanya agar ikut berpacu dalam ilmu yang digauli.
Kita tabu bahwa suatu bangsa tidak akan dapat maju bila para ilmuwannya
tidak tanggap dan tidak peduli terhadap masalah-masalah yang dihadapinya.
Dengan kata lain, para ilmuwan harus terampil menerapkan kemampuannya
untuk menemukan informasi-informasi alternatif guna memecahkan persoalan
dalam profesinya.
Sebagai bangsa yang merdeka kita ingin hidup berdampingan dan setaraf dengan
bangsa lain yang maju. Sebagai bangsa yang ingin maju kita terpanggil untuk
menyumbangkan temuan-temuan ilmu pengetahuan bagi khasanah ilmu yang
makin canggih sifatnya. Karena itu sudah saatnya bagi kita untuk meningkatkan,
membina dan mengembangkan keterampilan mencliti agar kita dapat berbicara
dan ikut berpacu dengan para ilmuwan lain.
Kita semua berharap agar seusai seminar ini, semangat untuk menggali
temuan-temuan baru dalam bidang kita masing-masing akan semakin membara.
Betapa tidak, pertemuan ilmiah ini seharusnya meningkatkan motivasi kita
semua untuk mengukuhkan komitmen kita dengan ilmu. Semangat bertopang
dagu harus kita tinggalkan, karena kita semua merasa terangsang oleh kemajuan-
kemajuan ilmu dewasa ini. Kita tidak akan dihargai bangsa lain apabila kita tidak
dapat mengikuti derap langkah mereka.
Tema seminar ini kiranya sangat tepat, karena dalam era pembangunan ini,
kita harus pula memikirkan peningkatan kualitas generasi mendatang dengan
mempersiapkan sumber daya yang sehat agar mereka kreatif dan produktifdalam
pembangunan bangsa. Hanya apabila mereka sehatlah, kesejahteraan bangsa
dapat terwujud. Karena itu usaha-usaha ke arah ini harus didukung dan dihargai
sebagai tindak kemanusiaan yang mulia dan terpuji.
Akhirnya, saya berharap agar rekan-rekan senantiasa berusaha meningkatkan
kompetensi meneliti supaya kita menjadi ilmuwan yang tangguh dan handal.
Terima kasih, semoga sukses.
Pjs. Ketua Lemlitbang
Universitas Tarumanagara

Prof. DR. Siswojo Hardjodipuro

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 9


SAMBUTAN KEPALA UPF/LAB ILMU KESEHATAN ANAK
RS SUMBER WARAS – FK UNIVERSITAS TARUMANAGARA

Temu ilmiah bulanan dan Seminar 3 Hari dengan tema " Peningkatan kuali-
tas anak mempersiapkan sumber daya manusia yang produktif dan kreatif dalam
Pembangunan Nasional" merupakan rangkaian acara ilmiah dalam memper-
ingati HUT ke-25 Bagian Ilmu Kesehatan Anak dan Lustrum VI Universitas
Tarumanagara.
Peningkatan kualitas anak merupakan tujuan antara dalam perjalanan pan-
jang pembinaan manusia seutuhnya agar kelak menjadi pelaku yang produktif
dan kreatif dalam Pembangunan Nasional. Sekelumit faktor yang mungkin akan
mengganggu dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang panjang ini
disorot dalam seminar, meliputi penyakit tropik dengan fokus Demam Berdarah
Dengue dan tindakan diagnostik yang pada dekade ini berkembang pesat yaitu
endoskopi anak dan pencitraan sonografi pada anak.
DBD dipilih sebagai bahan diskusi utama untuk mengantisipasi dan mem-
persiapkan diri terhadap prakiraan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) hebat
dalam tahun 1993. Data pengamatan dan penelitian DBD yang disajikan oleh
pembicara dari RS Sumber Waras – FK Universitas Tarumanagara adalah hasil
kerja sama UPF/Lab. Ilmu Kesehatan Anak dengan NAMRU-2 di Jakarta yang
digiatkan kembali sejak bulan September 1987 sebagai persiapan menghadapi
KLB tahun 1988. Pembicara dari NAMRU-2 Jakarta dengan subjek penelitian
penderita rawat inap RS Sumber Waras, pakar dari manca negara, Instansi
Pemcrintah dan Lembaga Pendidikan Kedokteran Negeri serta pakar disiplin
il mu sosial memberi bobot pada seminar dan gambaran yang menyeluruh
mengenai permasalahan ini.
Pada Temu ilmiah bulanan yang berorientasi pada pemecahan masalah
(problem solving oriented) dibahas antara lain: Psikologis anak yang dirawat dan
sikap orang tua, nyeri perut kronik berulang ditinjau dari segi medik, nerologik
dan psikologik, dan lain-lain. Pokok bahasan acara ini ialah permasalahan yang
scring dijumpai dalam pekcrjaan schari-hari.
Semua makalah ini dikumpulkan dalam buku naskah lengkap seminar
dengan harapan bermanfaat sebagai masukan tambahan dalam pclaksanaan
pclayanan keschatan anak.
Kepada para pembicara, pemandu dan semua pihak yang terlibat dalam
seminar dan penerbitan buku kumpulan makalah ini disampaikan terima kasih.

UPF/Lab. Il mu Kesehatan Anak


RS Sumbcr Waras–FK Untar
Kepala,

Dr. Tatang Kustiman Samsi, DSA

10 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


DEMAM BERDARAH DENGUE

Dengue Hemorrhagic Fever


A Global public health problem
Duane J. Gubler, Sc. D.
Division of VectorBorne Infectious Diseases, National Center for Infectious Diseases,
Centers for Disease Control Fort Collins, CO 80522, USA

The past 20 years has seen a dramatie global expansion of serotypes (DEN-1, DEN-2 and DEN-3) circulated simul-
epidemie dengue/degue hemorrhagic fever (DHF), with in taneously during most of those years. The last signifieant dengue
creased frequeney of epidemie activity eaused by all four virus outbreak in Colombo oceurred in 1982 - 83 even though
serotypes in Asia, the Pacifie and the Americas. This paper will most eonfirmed dengue infeetions showed seeondary serologie
review recent trends in each geographie area' and identify responses. Studies are now in progress to investigate the viruses
factors responsible for continued spread of the disease. assoeiated with the 1989 - 90 epidemie and to eompare them
In Southeast Asia, established epidemie patterns eontinued with viruses isolated during the 1980s in an effort to determine
in eountries sueh as Thailand, Myanmar and Indonesia where whether genetie ehanges may have oeeured that eould explain
DHF has been endemie for many years. In other eountries, the changing disease pattern observed.
however, the disease and transmission patterns eontinue to Singapore is another Southeast Asian eountry where the
change. For example Sri Lanka,a eountry previously eonsidered dengue transmission pattern has been changing in recent years.
a silent area for DHF, reported the first major epidemic in his- The Aedes control program implemented in 1969 was very
tory in 1989 and 1990. Two transmission peaks oceured in effeetive and from 1974 to 1985 dengue transmission
assoeiation with the monsoons in 1989, with a total of 204 DHF remained low with only an oeeasional ease of DHF reported. In
eases and 20 deaths reported that year. In 1990, transmission 1986, however, a small outbreak oeeurred (354 cases of dengue
was more intense with only one peak assoeiated with the south- fever/DHF) and sinee then transmission has inereased pro-
west monsoon (May - July). A total of 1,119 DHF eases and 60 gressively, with 436 and 944 eases reported in 1987 and 1989,
deaths were reported in 1990. In both years over 75% of the respectively. In 1990, the largest outbreak in Singapore history
reported eases oeeurred in ehildren less than 12 years of age. In occurred, with 1,733 cases and three deaths. Not all of these
1989, all reported eases were from Colombo, but in 1990. DI-IF eases were DHF, but 95% were hospitalized. Morbidity was
cases were also reported outside the eapital eity. It is not highest among children and young adults. Transmission was
known for sure at this time, but DEN-3 appeared to be the widespread in the eastern part of Singapore, but was highest in
predominant virus serotype involved, although DEN-2 was also selected foci where the Aedes house index exceeded 10%. This
isolated. was followed by 2,179 eases and 6 deaths in 1991. Other statisties
This is the first epidemic of DHF to occur in Sri Lanka were similar to 1990.
and the reasons for its occurrence at this time are unelear. Inves- These outbreaks underseore the importance and the
tigations eonducted by seientists at the Medieal Researeh diffieulty of sustaining suecessful prevention and eontrol pro-
Institute, Colombo, have monitored dengue transmission in grams. The sueeess of the Singapore program in the 1970s and
that eity for over 10 years. Mosquito densities and distribution early 1980s resulted in a waning herd immunity in the population,
have not ehanged significantly furing that time. Virologie sur- and when the Aedes population densities inereased in the late
veillanee has doeumented that all four dengue virus serotypes 1980s, the result was epidemic transmission.
have been transmitted during that same time and that at least 3 In the Pasifie, epidemie dengue eontinues to oeeur, fre-

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 11


quently associated with severe and fatal disease. Two serotypes, zuela in reeent years.
DEN-1 and DEN-3, have been the predominant viruses eausing Severe and fatal DHF has most reeently been reported in
epidemies in that area in the past several years. Severe and fatal Rio de Janeiro, Brazil in assoeiation with DEN-2 infeetion. This
hemorrhagie disease has oeeurred in many of the reeent out- serotype was deteeted in Brazil in 1990 but a major epidemie has
breaks, and although the numbers of cases reported are small not yet occurred as expected. The Brazil experience with
compared to southeast Asia, they are signifieant when the DEN-2 is typical of other eountries in the region. The Jamaiea
population of Paeific island eountries is eonsidered. topotype of DEN-2 has beeome widespread in the Ameriean
French Polynesia and New Caledonia have both experieneed region since 1981, but with the exeeption of Venezuela, it has
reeent DEN-3 epidemies assoeiated with DHF. In the former, a caused no major epidemies, despite large suseeptible host popu-
DEN-1 epidemic in 1988 - 89 was followed by a DEN-3 epidemie lations to DEN-2 in most eountries. By eontrast, both DEN-1 and
in 1989 - 90. The latter epidemie was a large one with many DEN-4 have eause major dengue epidemies in all parts of the
cases of severe hemorrhagie disease and 11 deaths reported. reion.
In New Caledonia, a similar pattern was observed with more In summary, the 1980s provided ideal conditions for the
severe hemorrhagic disease also associated with DEN-3 in- inereased movement and spread of dengue viruses in all tropieal
fection. parts of the world Aedes aegypti mosquitoes were present. Thus,
Virgin soil dengue epidemies have eontinued to oeeur in the inereased air travel provided the ideal meehanism to transport
Amerieas, most reeently in Paraguay and Peru. The Peru epi- viruses between population eenters in infected humans, and
demie in 1990, was the first dengue transmission in that eountry insured repeated introduetions of new virus strains and serotypes
in over 139 years. The epidemie began in the northern eity of into crowded urban areas with large Ae. aegypti populations .
Iquitos and later spread south to Tarapoto. The predominant virus This resulted in increasingly more frequent and larger epidemies,
was DEN-1 although DEN-4 was also isolated. From a survey and a dramatie increase in the incidenee of DHF. Table 1 presents
earried out in May, 1990, it was estimated that approximately global reports of DHF/DSS from the mid 1950s to the present
76,000 persons were infeeted in Iquitos alone. No DHF was time. In the first 25 years of reporting, a total of 715,283 eases,
reported. or an average of 29,803.
More important than elassieal dengue fever is that the
disease pattern associated with dengue infeetion in the Americas
has eontinued to evolve in a way that is almost identical to the
pattern that was observed in Southeast Asia in the 1960s. The
emergence of DHF in most Ameriean eountries has been assoei-
ated with hyperendemieity, that is with multiple virus serotypes
transmitted simultaneously. Three serotypes (DEN-1, DEN-2
and DEN-4) currently have wide distribution in the American
region. As was observed in Asia, DHF in the Amerieas first
appeared sporadieally, and laboratory eonfirmed eases of DHF
whieh meet the WHO ease definition, have now been docu- DHF cases per year were reported. In the first 5 years of the
mented in 13 Ameriean eountries. 1980s, however, an average of 137,504 eases of DHF per year
The most reeent Ameriean epidemie of DHF oeeurred in were reported, a nearly 5-fold inerease, and in the last 5 years of
Venezuela in 1990, with 3, 108 eases of severe hemorrhagie the deeade, 267,692 eases per year were reported, whieh is nearly
disease and 73 deaths. The epidemie began in late 1989 and peak double the reports for the previous 5 years and nearly 0 ° Id
transmission oceurred during the seeond and third weeks of higher than in previous years. In 1992, dengue remains the most
January, 1990. Most DHF eases and deaths oecurred in ehildren important arbovirus disease of humans, with over 2 billion
less than 15 years of age. Three dengue virus serotypes (DEN-1, persons at risk of infection. Millions of eases of dengue fever and
DEN-2 and DEN-4) were isolated from patients during the tens to hundreds of thousands of eases of DHF oceur eaeh year.
epidemie. DEN-2 was the predominant virus isolated (12 strains) This raises the question of how do we prevent epidemic
and this serotype was also deteeted in formalin-fixed liver of 4 DHF ? No dengue virus vaecines are available for general use,
fatal cases. although eonsiderable promise has been shown by eandidate
The cause of the Venezuelan DHF epidemie in 1990 is not vaceines developed in Thailand by researchers at Mahidol Uni-
known. Multiple virus serotypes (DEN-1, DEN-2 and DEN-4) versity. Moreover, molecular virologists have now sequeneed all
have been present in Venezuela for several years, but a major four dengue serotypes, opening the way for genetieally engi-
dengue epidemie has not occurred sinee the DEN-1 outbreak in neered reeombinant vaccines. The general consensus, however,
1978. In 1987, a small outbreak occurred, but endemie trans- is that it will be ten or more years before an effeetive, safe,
mission of multiple serotypes was documented for several years eeonomical vaceine is eommercially available. currently,
before and since that outbreak. There is no indication that the only way to reduee incidence and thus prevent epidemie
mosquito densities have increased in the major cities of Vene- DHF, therefore, is to eontrol the mosquito that transmits the

12 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


virus. The ehanging epidemiology of dengue in most tropieal
Unfortunately, our ability to control Ae. aegypti in the 1990s countries dictates that something must be done to stop the eurrent
is limited. Too mueh relianee has been plaeed on emergeney trend. The only truly effeetive way to eontrol the mosquito
adult mosquito eontrol using inseetieides in the pas 20 years. This veetors of dengue is souree reduetion. Unfortunately, eompeting
has been ineffective for two reasons. First, surveillanee for priorities for limited resourees prevent developing the large,
epidemie dengue/DHF in most countries is insensitive, and vertieally struetured programs that were so sueeessful in the past.
epidemie transmission generally peaks before eontrol efforts can It should also be noted, however, that even the sueeessful vertieal
be organized and implemented. Seeond, researeh in recent years programs were not sustainable because thery did not address the
has east doubt on just how effeetive adulticiding is in breaking mosquit real issue of individual responsibility for allowing
dengue transmission. Extensive trials in Puerto Rieo have larval habitats to oeeur in and around homes where most dengue
shown that both ultra-blow volume (ULV) and thermal fog transmission oceurs. To have long-term and lasting impaet, the
spraying of insecticides from truck-mounted units were com- persons living in the house where most transmission takes plaee
pletely ineffective in killing wild adult female Ae. aegypti must be made to understand the importanee of the disease , and
mosquitoes. Studies in Trinidad, Surinam and Jamaiea gave that the disease exists only beeause they allow mosquitoes to
similar results. Reeent trials in Venezuela have given somewhat breed in and around their home. Mosquito control programs,
better results, indieating that application dose, housing type, Persontherefore, must be eommunity-based and integrated.
street layout, etc., may influence effieaey of ULV insectieide living Ae. aegypti infested eommunities must be edueated to
applieation. The faet remains, however, that during the 20 year accept responsibility for their own health destiny by helping
period we have depended on this approaeh for the eontrol of Ae governmental ageneles control the mosquito veetors and thus
aegypti, the incidenee and distribution of DHF have inereased prevent epidemic dengue/DHF.
dramatieally.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 13


Kebijakan nasional
pada Demam Berdarah Dengue
Dr. Thomas Suroso MPH
Subdit Arbovirosis Dit. P2B2Ditjen PPM-PLP Departemen Kesehatan RI, Jakarta

SITUASI PENYAKIT DBD KEBIJAKSANAAN & STRATEGI PEMBERANTASAN


1) Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah 1) Untuk memberantas penyakit demam berdarah dengue di-
satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, yang cenderung lakukan :
semakin luas penyebarannya sejalan dengan meningkatnya a) Pembinaan peran serta masyarakat guna meneegah dan
mobilitas dan kepadatan penduduk. Kejadian Luar Biasa penya- membatasi penyebaran penyakit terutama dengan memberantas
kit ini seeara nasional terjadi setiap 5 tahun. Pada tahun 1993 jentik nyamuk penularnya (Pemberantasan Sarang Nyamuk =
yang akan datang diperkirakan siklus KLB ini akan terulang lagi PSN).
(Lampiran 1 dan 2). Pembinaan peran serta masyarakat dilaksanakan dengan
2) Seluruh wilayah Indonesia, mempunyai resiko untuk penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat melalui kerjasama
kejangkitan penyakit demam berdarah dengue karena virus lintas program dan sektoral yang dikoordinasikan oleh Kepala
penyebab dan nyamuk penularnya (Aedes aegypti) tersebar luas, W ilayah/Daerah.
baik di rumah-rumah maupun di tempat umum (Lampiran 3), b) Penyemprotan insektisida dan/atau penaburan racun jentik
keeuali yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter di Was per- (abatisasi) dilaksanakan di Tempat Umum, dan lokasi/wilayah
mukaan laut. yang terjadi penularan penyakit demam berdarah dengue (DBD)
Persentase rumah dan tempat umum yang ditemukan jentik guna membatasi penyebarannya dan meneegah Kejadian Luar
nyamuk Aedes aegypti di ibukota - ibukota Propinsi berkisar Biasa/Wabah.
antara 10% — 50% (Lampiran 4). 2) Upaya pemberantasan diprioritaskan di keeamatan yang
3) Sampai saat ini penyakit DBD telah tersebar di seluruh mempunyai desa/kelurahan rawan penyakit demam berdarah
propinsi kecuali Timor Timur. Wilayah yang tinggi angka ke- dengue.
sakitannya ialah pulau Jawa & Bali dan sebagian Kalimantan
(Lampiran 5). Pada saat ini penyakit DBD endemis di 122 Dati KEGIATAN PEMBERANTASAN
II, 605 Kecamatan dan 1.800 Desa/Kelurahan (Lampiran 6). 1) Peneegahan :
4) Dengan meningkatnya sarana transportasi antar wilayah/ Pencegahan penyakit DBD dilaksanakan oleh masyarakat
daerah maka diperkirakan penyebaran penyakit ini masih akan di rumah dan tempat umum dengan melakukan Pemberantasan
berlan jut jika tidak dilakukan upaya untuk memberantas nyamuk Sarang Nyamuk (PSN) secara terus menerus yang meliputi :
penular secara intensif dan menyeluruh. a) Menguras tempat penampungan air sekurang-kurangnya
seminggu sekali, atau menutupnya rapat- rapat.
TUJUAN PROGRAM PEMBERANTASAN PENYAKIT b) Mengubur barang bekas yang dapat menampung air.
DBD c) Menaburkan racun pembasmi jentik (abatisasi).
Umum : Membatasi penularan DBD dan kematian DBD. d) Memelihara ikan.
Khusus ; e) Cara-cara lain untuk membasmi jentik.
1. Mencegah KLB/wabah DBD. 2) Pembinaan peran serta masyarakat :
2. Menurunkan insidens DBD di Kecamatan endemis. a) Pembinaan peran serta masyarakat dalam PSN dilaksanakan
3. Membatasi kematian DBD. dengan melakukan kunjungan secara berkala ke rumah-rumah

14 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


.dan Tempat-tempat Umum untuk penyuluhan dan pemeriksaan
jentik.
b) Penyuluhan PSN (Pemeriksaan Jentik Berkala) dilaksana-
kan :
— di rumah-rumah oleh kader atau tenaga pemeriksa jentik
secara swadaya di bawah bimbingan Ketua RW/Kepala Dusun.
— di tempat umum oleh petugas kesehatan.
c) Pemantauan hasil penyuluhan PSN dilakukan oleh Kelom-
pok Kerja Pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue
(Pokja DBD) — LKMD di Desa/Kelurahan. — Radio (radio spot)
d) Pembinaan usaha PSN di Desa/Kelurahan dilakukan seeara — Pemutaran film di lapangan (layar tancap) di kelurahan
berjenjang oleh Kelompok Kerja Operasional Pemberantasan rawan I.
penyakit Demam Berdarah Dengue (Pokjanal DBD)—Tim Pem- — Penyuluhan kepada kelompok-kelompok masyarakat.
bina LKMD tingkat Keeamatan, Dati II, Dati I, dan Pusat. 4) Selain itu, di beberapa daerah juga dilaksanakan usaha-
3) Kewaspadaan dini terhadap Kejadian Luar Biasa (KLB) : usaha memotivasi masyarakat antara lain dengan :
Setiap penderita DBD/tersangka dilakukan penyelidikan a) Penggerakan peran serta masyarakat dengan kerja bakti
epidemiologi dan penanggulangan seperlunya (penyemprotan PSN (dan kebersihan lingkungan).
insektisida dan/atau PSN) untuk membatasi penularan penyakit b) LombaPSN untuk Desa, Sekolah dan Tempat-tempatUmum
lebih lanjut dan meneegah KLB. lainnya.
4) Pemberantasan intensif di Keeamatan/Desa rawan penyakit 5) Evaluasi sementara (oleh Ditjen PPM & PLP bersama FKM
DBD. Universitas Gadjah Mada) di 144 desa endemis di Propinsi DKI
Di kecamatan yang terdapat desa rawan penyakit DBD Jakarta, Jawa Barat, dan DI. Yogyakarta menunjukkan adanya
dilakukan : perbedaan yang bermakna dalam penurunan insidens DBD
a) Penyuluhan PSN (PJB) di rumah-rumah di semua desa/ antara Desa/Kelurahan Rawan I yang dilaksanakan program
kelurahan sekurang-kurangnya setiap 3 bulan. (pemberantasan intensif) dan yang tidak dilakukan program
Di rumah-rumah di semua desa/kelurahan rawan I dan II (Tabel 2).
serta di Tempat-tempat Umum penyuluhan PSN disertai dengan
abatisasi pada tempat penampungan air yang ditemukan jentik
(Abatisasi Selektif).
b) Penyemprotan insektisida sebelum musim penularan di desa/
kelurahan rawan I.
Maksud penyemprotan ini adalah untuk meneegah terjadi-
nya KLB dan membatasi penularan/penyebaran penyakit.
5) Penyuluhan kepada masyarakat
Penyuluhan dilaksanakan :
a) Oleh petugas/pejabat kesehatan dan sektor lain serta warga HAMBATAN/MASALAH
masyarakat yang mempunyai pengetahuan tentang penyakit 1) Belum semua desa rawan I (endemis) dapat diliput program
demam berdarah dengue pada berbagai kesempatan. pemberantasan intensif.
b) Melalui berbagai jalur informasi dan komunikasi kepada 2) Belum semua daerah melembagakan kerjasama lintas sek-
masyarakat. toral untuk pembinaan peran serta masyarakat dalam PSN.
c) Secara intensif sebelum musim penularan penyakit demam 3) Belum semua Lurah/Kepala Desa dan tokoh-tokoh masya-
berdarah dengue terutama di daerah rawan. rakat lainnya, yang merupakan motor penggerak masyarakat,
memahami sepenuhnya Penyakit DBD dan peneegahan/pem-
PELAKSANAAN PEMBERANTASAN TAHUN 1991/1992 berantasannya.
DAN 1992/1993 4) Belum semua wilayah yang rawan penyakit DBD dilak-
1) Kebijaksanaan dan strategi dan kegiatan pemberantasan sanakan penggerakan masyarakat untuk melakukan PSN secara
penyakit DBD sebagaimana diuraikan path Bab II & III telah intensif.
mulai dikembangkan di beberapa daerah terutama sejak 1991/ 5) Masih terbatasnya frekuensi penyuluhan melalui media massa
1992 yang lalu. khususnya melalui Televisi dan Radio.
2) Cakupan wilayah yang diliput program sebagai berikut 6) Belum mantapnya petunjuk teknis penggerakan peran serta
(Tabel 1). masyarakat untuk PSN.
3) Untuk mendukung penyuluhan PSN yang dilaksanakan di
rumah dan tempat umum, dilakukan pula penyuluhan melalui PEMECAHAN MASALAH
media massa antara lain : 1) Memperluas cakupan pemberantasan intensif sehingga
— Televisi (film-filler) meliputi semua kecamatan dan desa/kelurahan endemis.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 15


2) Pembentukan Pokja/Pokjanal DBD di setiap tingkat admi-
nistrasi pemerintahan.
3) Orientasi pemberantasan DBD kepada Lurah & Camat (dan
tokoh-tokoh masyarakat lainnya).
4) Peningkatan penyuluhan melalui media massa khususnya
televisi/radio.
5) Penyebar-luasan petunjuk teknis penggerakan peran serta
masyarakat kepada Pokja dan Pokjanal DBD.

RINGKASAN
Penyakit DBD eenderung semakin menyebar luas sejalan
dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk.
Untuk membatasi penyebaran penyakit DBD diperlukan pembi-
naan peran serta masyarakat untuk melakukan PSN secara terus-
menerus, melalui kerja sama lintas sektoral dalam koordinasi
Kepala Wilayah/Kepala Daerah.
Dengan diterbitkannya SK Menkes No. 581/Menkes/SK/
VII/1992 tanggal 27 Juli 1992 diharapkan upaya pemberantasan
penyakit demam berdarah dengue dapat dilaksanakan dengan
lebih intensif dan secara luas sehingga penyakit ini tidak me-
rupakan masalah kesehatan masyarakat.

Keterangan :
* Insidens per 100.000 penduduk

16 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 17
18 Cermin Dunia Kedokteran Edisi KhususNo. 81,1992
Pengamatan klinis Demam Berdarah
Dengue di Rumah Sakit Sumber Waras
(1968 — 1991)
Tatang K Samsi, Hansa Wulur, Sugianto Djoharman, Kevin Gunawan,
G.B. Jennings* dan Ratna Tan*
UPF/Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta
Jakarta dan NAMRU Unit 2

PENDAHULUAN Diagnosis klinis dan klasifikasi derajat DBD ditegakkan


Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia pertama kali berdasarkan kriteria WHO 1986 6)dan konfirmasi dengan pe-
ditemukan pada tahun 1968 di Jakarta (RS Sumber Waras) dan meriksaan serologis (HI dan/atau IgM–IgG Elisa) serta isolasi
dilaporkan tahun 1969 oleh Kho, dkk.('), dan di Surabaya (RS Dr virus.
Sutomo) dilaporkan oleh Partana, dick. pada tahun 1970( 2). Dewasa Pemeriksaan serologis dilakukan terhadap darah akut saat
ini penyakit DBD masih merupakan salah satu masalah kese- masuk rawat inap, saat dipulangkan atau segera sebelum
hatan utama di Indonesia(3 ), bersifat endemis dan timbul sepanjang meninggal dan 1 minggu setelah dipulangkan.
tahun. Serangan epidemi timbul pada tahun 1973, 1983, 1985 dan
Tes Hemaglutinasi Inhibisi (HI)
terakhir tahun 1988.
Pemeriksaan tes HI dilakukan menurut modifikasi eam
Di Jakarta, morbiditas DBD terus meningkat tiap tahun
Clark dan Cassal dan penilaian hasil titer berdasarkan kriteria
namun di lain pihak mortalitas dengan mantap menurun dan
serologis menurut WHO 1986(6).
sejak tahun 80-an angka kematian di bawah 2%. Walaupun de-
mikian harus diingat bahwa angka kematian DBD berat masih
tinggi, sehingga penatalaksanaan penderita ini masih memer-
lukan perhatian dan upaya perbaikan. Pengamatan klinis me-
nunjukkan adanya keeenderungan bergesernya usia rata-rata
penderita dan beberapa gejala klinis DBD dalam kurun waktu
dua dasawarsa sejak ditemukannya DBD di Indonesia (4s) .
Makalah ini mengemukakan pengamatan klinis mutakhir
DBD yang dirawat di RS Sumber Waras dan kecenderungannya
selama 2 dekade ini.

SUBJEK DAN METODA


Subjek penelitian adalah penderita DBD yang dirawat di
UPF/Lab Ilmu Kesehatan Anak, RS Sumber Waras dalam kurun
waktu Januari 1988 – Desember 1991. Khusus untuk pengamat-
an gejala klinis dan laboratorium selama epidemi dan inter-
epidemi diambil sampel penderita yang dirawat selama puncak
epidemi tahun 1988 (gambar 1) yaitu bulan Februari 1988 –
April 1988 (kelompok I) dan penderita yang dirawat dalam kurun

I waktu inter -epidemi yaitu dari Januari 1991 – Desember 1991


(kelompok II).

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992 19


Elisa IgM dan IgG
Kadar antibodi IgM dan IgG terhadap virus Dengue dan
JBE dilakukan dengan prosedur Innis, dkk. 8 ).
Hasil tes dikatakan positif untuk infeksi Dengue bila kadar
Ig > 40 U dan rasio kadar IgM anti Dengue terhadap IgM anti
JBE ? 1,0. Penderita dikatakan menunjukkan reaksi primer bila
rasio kadar IgM terhadap IgG ? 1,8 dan sekunder bila rasio < 1,8.
Isolasi virus
Isolasi virus dilakukan seeara Mosquito Inoculation Tech-
nique (Toxorhynchite splendens dewasa) dan biakan jaringan
TRA-284 (T. amboinensis) dari darah akut semua penderita
tersangka DBD.
Pemeriksaan serologis dan isolasi virus dilakukan di Labo-
ratorium NAMRU Unit 2 di Jakarta.
Untuk analisis statistik dipergunakan "S tudent t test" dan ehi
kuadrat.

HASIL
Kelompok I terdiri dari 481 anak dengan umur rata-rata
7,7 ± 3,2 tahun dan kelompok II dari 164 anak, umur rata-rata
8,3 ± 3,4 tahun. Pada kelompok I usia Iebih muda dan derajat
pen yakit lebih ringan secara bermakna dari kelompok II (tabel 1
dan 2).

Keluhan nyeri perut pada masa epidemi lebih sedikit di-


bandingkan dengan masa inter-epidemi , demikian pula halnya
dengan petekia dan trombositopeni. Di lain pihak anak dengan
suhu tinggi (suhu ? 39°C) Iebih banyak pada masa epidemi dan
tes tumiket walaupun yang terakhir secara statistik perbedaan
tidak bermakna (tabel 3, tabel 4 dan tabel 5).
Dalam kurun waktu 1988—1991 telah dirawat sebanyak Nampaknya pada masa epidemi golongan umur penderita secara
1.392 penderita DBD dengan konfirmasi serologis dan atau bermakna lebih muda dari masa inter-epidcmi.
isolasi virus. Distribusi golongan umur penderita selama epidemi Penderita DSS dengan konfirmasi positif dalam periode ini
tahun 1988 dan inter-epidemi (1989—1991) terlihat pada tabel 6. berjumlah 176 dengan kematian 10 orang (5,7%). Sebagian

20 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


Pengamatan klinis Demam Berdarah
Dengue di Rumah Sakit Sumber Waras
(1968 — 1991)
Tatang K Samsi, Hansa Wulur, Sugianto Djoharman, Kevin Gunawan,
G.B. Jennings* dan Ratna Tan*
UPF/Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta
Jakarta dan NAMRU Unit 2

PENDAHULUAN Diagnosis klinis dan klasifikasi derajat DBD ditegakkan


Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia pertama kali berdasarkan kriteria WHO 1986 (6)dan konfirmasi dengan pe-
ditemukan pada tahun 1968 di Jakarta (RS Sumber Waras) dan meriksaan serologis (HI dan/atau IgM–IgG Elisa) serta isolasi
dilaporkan tahun 1969 oleh Kho, dkk.('), dan di Surabaya (RS Dr virus.
Sutomo) dilaporkan oleh Partana, dick. pada tahun 1970( 2). Dewasa Pemeriksaan serologis dilakukan terhadap darah akut saat
ini penyakit DBD masih merupakan salah satu masalah kese- masuk rawat inap, saat dipulangkan atau segera sebelum
hatan utama di Indonesia(3 ), bersifat endemis dan timbul sepanjang meninggal dan 1 minggu setelah dipulangkan.
tahun. Serangan epidemi timbul pada tahun 1973, 1983, 1985 dan
Tes Hemaglutinasi Inhibisi (HI)
terakhir tahun 1988.
Pemeriksaan tes HI dilakukan menurut modifikasi eam
Di Jakarta, morbiditas DBD terus meningkat tiap tahun
Clark dan Cassal dan penilaian hasil titer berdasarkan kriteria
namun di lain pihak mortalitas dengan mantap menurun dan
serologis menurut WHO 1986(6).
sejak tahun 80-an angka kematian di bawah 2%. Walaupun de-
mikian harus diingat bahwa angka kematian DBD berat masih
tinggi, sehingga penatalaksanaan penderita ini masih memer-
lukan perhatian dan upaya perbaikan. Pengamatan klinis me-
nunjukkan adanya keeenderungan bergesernya usia rata-rata
penderita dan beberapa gejala klinis DBD dalam kurun waktu
dua dasawarsa sejak ditemukannya DBD di Indonesia (4s) .
Makalah ini mengemukakan pengamatan klinis mutakhir
DBD yang dirawat di RS Sumber Waras dan kecenderungannya
selama 2 dekade ini.

SUBJEK DAN METODA


Subjek penelitian adalah penderita DBD yang dirawat di
UPF/Lab Ilmu Kesehatan Anak, RS Sumber Waras dalam kurun
waktu Januari 1988 – Desember 1991. Khusus untuk pengamat-
an gejala klinis dan laboratorium selama epidemi dan inter-
epidemi diambil sampel penderita yang dirawat selama puncak
epidemi tahun 1988 (gambar 1) yaitu bulan Februari 1988 –
April 1988 (kelompok I) dan penderita yang dirawat dalam kurun

I waktu inter -epidemi yaitu dari Januari 1991 – Desember 1991


(kelompok II).

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992 19


dalam kriteria WHO 1986 dan keluhan nyeri perut terlihat pada rendah dari periode 20 tahun sebelumnya yang berjumlah
tabel 10. Keluhan nyeri perut terutama pada anak 5 tahun 46% 0:7) .
berkaitan dengan manifestasi lebih berat°'8 ) dan keluhan ini
Nyeri perut
bertambah banyak pada dekade ke 2 (Tabel 10). Gejala lain Meskipun keluhan nyeri perut tidak termasuk dalam salah
tampaknya tidak menunjukkan perubahan yang bermakna.
satu kriteria klinis DBD dari WHO akan tetapi dalam pengalam-
an klinis keluhan ini penting karena berkaitan dengan perjalanan
penyakit yang berat ' 7 '8). Persentase keluhan nyeri perut pada
masa epidemi lebih rendah dari masa inter-epidemi, mungkin
disebabkan karena pada masa epidemi derajat penyakit relatif
lebih rendah, meskipun seeara keseluruhan jumlahpenderitanya
lebih banyak. Frekuensi keluhan ini meningkat pada dasawarsa
kedua dan masih tetap tinggi pada tahun-tahun terakhir (tabel 9).
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang penting ialah hemokon-
sentrasi dan trombositopeni. Persentase trombositopeni dan he-
mokonsentrasi pada masa epidemi tidak berbeda dengan masa
inter-epidemi. Walaupun demikian terlihat adanya penurunan
persentase trombositopeni dan hemokonsentrasi dalam tahun-
Demam tahun terakhir (tabel 12).
Pada saat epidemi demam tinggi (>— 39°C) didapatkan pada
35% kasus dan seeara bermakna lebih banyak dari pada masa
inter-epidemi. Lamanya sakit sebelum dirawat berkisar antara
1—8 hari dengan rata-rata 3,8 ± 1,9 hari pada tahun 1971, 4,2± 1,6
hari pada tahun 1985 dan 3,9 ± 1,6 hari pada tahun 1991.
Manifestasi perdarahan
Manifestasi perdarahan pada DBD dapat berbentuk perda-
rahan spontan atau tes turniket positif. Pada masa epidemi
manifestasi perdarahan spontan lebih sedikit dari masa inter-
epidemi. Hal ini sesuai dengan derajat penyakit yang relatif lebih
ringan pada masa epidemi. Serologis
Jenis perdarahan spontan terutama berbentuk petekia dan Data klinis (9) menunjukkan bahwa kurang dari 50% pen-
epistaksis sedangkan perdarahan yang lebih berat (hematemesis derita datang kembali untuk diambil serum ke-3 untuk pe-
dan melena) relatif menurun pada tahun-tahun terakhir (tabel 10 meriksaan titer HI setelah penderita dipulangkan. Pengamatan
dan 11). Apakah keadaan ini disebabkan pengobatan suportif mengenai kadar IgM dan IgG terhadap titer HI( 9) menunjukkan
yang diberikan lebih dini dan adekuat atau karena faktor lain bahwa kadar IgG pada penderita dengan HI < 1.280 lebih rendah
seperti pola serotipe virus, faktor imunitas tuan rumah, me- dari IgM nya, dan kadar IgG penderita dengan HI 1.280 lebih
merlukan penelitian lebih lanjut. tinggi dari IgM nya. Hal ini sesuai dengan penelitian titer HI pada
anak sekolah di Jakarta") di man titer HI 640 menyokong
diagnosis klinis DBD. Tampak pula bahwa kadar IgM dan IgG
baru menunjukkan kenaikan setelah hari ke 4 sakit dan pada
infeksi sekunder IgG dengan cepat naik (gambar 3). Hal ini
dapat menerangkan mengapa tes Dengue Blot kurang sensitif
pada infeksi primer. Pengamatan pada 20 anak yang pernah
menderita DBD ( " "menunjukkan bahwa dalam waktu 11 minggu
setelah sakit, kadar IgM negatif, sebaliknya setelah 18 minggu
kadar IgG masih tetap positif pada 40% subjek. Data ini perlu
dipertimbangkan dalam menilai tes Dengue Blot karena adanya
kemungkinan reaksi positif palsu pada penderita demam dise-
babkan penyakit lain.
Pada penelitian terhadap penderita DBD dengan konfirmasi
virologis (9) terlihat pula bahwa IgM positif pada pemeriksaan
Hepatomegali tunggal pada saat dirawat hanya didapatkan pada 20% penderita,
Hepatomegali hanya didapatkan pada 29% penderita, lebih sedangkan pada saat dipulangkan berjumlah 80% (gambar 4).

22 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


penderita terutama yang fatal tidak dapat disokong dengan dengan kecenderungan usia penderita selama epidemi lebih
pemeriksaan serologis dan virologis (tabel 7). Hasil isolasi virus muda dari usia penderita DBD keseluruhannya (tabel 1). Perlu
selama masa epidemi dan inter-epidemi terlihat pada tabel 8. diteliti lebih lanjut faktor apa yang menyebabkan hal tersebut
Semua serotipe virus Dengue berhasil diisolasi dengan ke- mengingat selama epidemi isolasi virus D3 secara bermakna
eenderungan jumlah D 2 lebih banyak pada masa epidemi di- lebih banyak dibandingkan pada masa inter-epidemi (tabel 4).
bandingkan dengan masa inter-epidemi dimana perbandingan
Distribusi bulanan
ketiga virus D1 , D 2 dan D3 hampir seimbang. Dari 361 penderita
Distribusi bulanan penderita DBD selama epidemi tahun
DBD dengan konfirmasi virologis, 42 orang ,menderita DS S dan
1988 terlihat dengan puncak pada bulan Januari – April 1988,
4 di antaranya meninggal dunia. Terlihat bahwa virus D3 lebih sedangkan pada masa inter-epidemi frekuensi penderita hampir
banyak terkait dengan manifestasi lebih berat (tabel 8). merata sepanjang tahun. Pola dua puncak frekuensi bulanan yang
terlihat dalam tabula 70-an dan 80-an tidak tampak pada tahun-
PEMBAHASAN tahun terakhir ini (gambar 2).
Distribusi umur
Dalam dua dekade pertama sejak tahun 1968 terlihat adanya
pergeseran distribusi umur penderita dari kelompok 2–5 tahun
dalam periode 1968–1977 menjadi kelompok 5–9 tahun pada
periode 1978–1987( 0). Tampaknya dalam periode 1988–1991
tidal( terjadi pergeseran dalam distribusi umur penderita (tabel
9).

Gb. 2. Distribusi bulanan DBD pada saat


epidemi dan inter—epidemi di Bagian
IKA RS.Sumber Waras

Manifestasi klinis
Beberapa gejala Minis yang terlihat selama epidemi berbeda
dengan masa inter-epidemi terutama dalam keluhan sakit perut,
perdarahan spontan dan petekia, semuanya lebih rendah path
saat epidemi (tabel 3, 4 dan 5). Hal ini mungkin disebabkan
antara lain pada masa epidemi timbul perasaan waswas dan
Catalan : * bahan dari (4) ketakutan sehingga penderita berobat lebih dini dan lebih eepat
dirawat.
Dalam tahun 1988 terjadi ledakan hebat penyakit DBD Perubahan frekuensi gejala klinis penting seperti tereantum

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992 21


Periode 111(1977–1978): terapi standar+ heparin +ASA/DPM
Upaya untuk meneegah timbulnya DIC pada DBD dilakukan
dengan pemberian kombinasi Asetosal (ASA) dengan dosis 10
mg/kgBB/hari dan Dipyridamol (DPM) dengan dosis 5 mg/
kgBB/hari selama.3 hari").
Dipyridamol berkhasiat meneegah agregasi trombosit dan
asetosal memperkuat khasiat tersebut dengan meneegah pe-
lepasan pro agregating thromboxane A 2.
Periode IV (1979–1983): terapi standar+ heparin +ASA/DPM
+ manipulasi minimal
Disadari bahwa manipulasi yang agresif, invasif dan ber-
lebihan dapat menyebabkan kerusakan dinding vaskuler, per-
meabilitas bertambah, keboeoran plasma bertambah dan se-
lanjutnya dapat menyebabkan renjatan dan merangsang ter-
jadinya DIC. Dengan demikian dalam periode ini ditekankan
agar manipulasi penderita dilakukan seeara minimal sesuai dengan
kebutuhan.
Dengan tindakan ini kejadian DIC menurun dari 35,4% (68/ meningkat dalam dekade ke 2 dan keluhan ini berkaitan dengan
192) pada tahun 1972–1973 dan 34,2% (88/258) pada tahun manifestasi penyakit yang lebih berat.
1979–1982 menjadi 22,2% (42/189) pada tahun 1983( 19 ). 3) Pada masa epidemi usia penderita lebih muda dan derajat
penyakit lebih ringan dibandingkan dengan masa inter- epidemi.
Periode V (1984–1987): IV-heparin 4) Semua serotipe virus Dengue berhasil diisolasi. Dalam
Pada periode ini DIC sebagai penyulit timbul pada 9,5% (17/ keadaan epidemi serotipe D 3 lebih dominan. Pada masa inter-
178) dan heparin pada periode ini hanya diberikan pada penyulit epidemi D3 dan D 2 hampir sama jumlahnya.
DIC berat. 5) Data serologis menunjukkan bahwa titer HI ? 640 sudah
Periode VI (1988–1991): standar + manipulasi minimal eukup untuk menegakkan diagnosis DBD. Tes serologis HI dan
Dengan sedikitnya penyulit DIC pada DBD maka ASA/ IgM menunjukkan korelasi positif dan keduanya dapat dipakai
DPM untuk meneegah terjadinya DIC tidak lagi diberikan dalam untuk menegakkan diagnosis.
protokol pengobatan DBD. Dengan demikian pengobatan pende- 6) Angka kematian DBD telah menurun sejak tahun 80-an,
rita DSS terdiri dari pemberian cairan Dextrose 5%–1/2 Garam walaupun demikian kematian kasus DSS masih cukup tinggi
faali dan pemberian expander plasma secara dini serta peman- oleh karena itu peninjauan dan perbaikan manajemen DBD/DSS
masih diperlukan.
tauan yang ketat dan kontinyu dengan manipulasi minimal.
7) Penanggulangan/penatalaksanaan DBD secara sederhana
Kortikosteroid dan antibiotik tidak diberikan.
dengan manipulasi minimal pada tahun-tahun tcrakhir, diikuti
Dalam penelitian mengenai Tumor Necrotic Factor (TNF)
dengan penurunan angka kematian DBD yang dirawat di BIKA
dan interleukin yang dilakukan pada penderita DBD dan DSS di
RSSW.
UPF. IKA RSSW, biakan darah selalu negatif dan kadar TNF
tidak meninggi sehingga data ini memperkuat keyakinan untuk
tidak memberikan antibiotik profilaktik termasuk padapenderita PENUTUP
DSS. Walaupun angka kematian (case fatality rate) DBD di
Angka kematian selama periode ini tercantum dalam tabel Jakarta telah menurun dengan cukup tajam pada dekade ter-
akhir ini akan tetapi prevalensi DBD tiap tahun terus meningkat
13. Meskipun angka kematian pada periode terakhir sangat
rendah akan tetapi dalam periode yang sama angka kematian diselingi dengan epidemi. Tampaknya upaya peneegahan de-
penderita tersangka DSS klinis sekitar 14,5%. ngan pengendalian sarang nyamuk belum memberikan dampak
yang berarti. Persepsi masyarakat mengenai upaya pengendalian
dan pemberantasan DBD perlu diperbaiki dan yang lebih men-
RANGKUMAN dasar adalah upaya perbaikan sikap dan perilaku masyarakat
Pengamatan kasus DBD yang dirawat di UPF/Lab Ilmu mengenai kesehatan dan kebersihan lingkungan seeara umum
Kesehatan Anak RS Sumber Waras–FK Untar dalam 24 tahun perlu ditingkatkan.
ini menunjukkan : Dalam klinik upaya untuk mendeteksi mediator kimia yang
1) Golongan umur penderita bergeser ke golongan usia 5–9 dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk meramal kasus yang
tahun dalam kurun waktu 1978-1987, akan tetapi tidak terdapat menjurus menjadi berat dan fatal masih belum berhasil. Dengan
perbedaan bermakna dalam tahun-tahun berikutnya. demikian pengamatan dan pemantauan klinis yang ketat dan
2) Gejala klinik tidak menunjukkan perubahan yang bermakna berkesinambungan merupakan hal yang mutlak dalam penge-
kecuali pada keluhan nyeri perut. Frekuensi nyeri perut terus lolaan DBD.

24 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 25
Pemberantasan
Penyakit Demam Berdarah melalui
Pengawasan Kualitas Lingkungan
Sumengen Sutomo*, Thomas Suroso**, Kasnodihardjo*, Pranoto**, Sutardjo Martono**,
Abbas Abdulkadir**, Hari Purwanto**
* Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
** Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Jakarta

ABSTRAK

Dalam rangka mencari cara pemberantasan yang lebih efektif, telah diadakan studi
eksperimen di kotamadya Sukabumi Jawa Barat dari bulan Oktober 1988 — Maret 1989.
Tujuan studi mempelajari dampak berbagai eara pemberantasan terpadu terhadap peri-
laku penduduk dan index jentik.
Kegiatan dalam studi terdiri dari survei dasar, intervensi dan penilaian. Pada survei
dasar dan penilaian diadakan survei perilaku penduduk dengan eara mewawaneara, dan
survei entomolog menggunakan single larva method dan penangkapan nyamuk. Kegiatan
intervensi terdiri dari kombinasi fogging dengan malathion; abatisasi dan PSN; PSN dan
pengawasan kualitas lingkungan.
Pengawasan Kualitas Lingkungan merupakan intervensi yang paling efektif
meningkatkan pengetahuan, sikap, perilaku penduduk dan menurunkan indek jentik.
Persentase perubahan efektif yang terjadi pada pengetahuan 71,2, sikap 39,8 dan perilaku
46,5 dan menurunkan house index 13,3, container index 1,0 dan breteau index 13,4.
Selanjutnya perlu adanya upaya pengembangan PKL lebih lanjut untuk meneari alter-
native lain yang lebih efisien.

PENDAHULUAN dan indek jentik. Cara pemberantasan yang dilakukan terdiri dari
Penyakit dengue haemorrhagic fever (DHF) atau demam fogging, abatisasi, pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan
berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kese- pengawasan kualitas lingkungan (PKL). Studi ini dilaksanakan
hatan masyarakatdi Indonesia. Direktorat Jenderal P2M dan PLP oleh Direktorat Jenderal P2M dan PLP bersama Badan Peneliti-
melaporkan bahwa rata-rata penderita yang meninggal setiap an dan Pengembangan Kesehatan dari bulan Oktober 1988 s/d
tahun meningkat sejak tahun 1968. Dewasa ini penyakit itu telah Maret 1989.
menyebar di 27 propinsi, 300 kabupaten, dan pada tahun 1988
dilaporkan 45.791 penderita dan 1.432 kematian. BAHAN DAN CARA
Dalam rangka mencari metode pemberantasan DBD yang Lokasi studi di 15 desa yang berada di 2 kecamatan kota-
efektif, telah dilakukan suatu studi di kotamadya Sukabumi, madya Sukabumi. Jumlah penduduk 109.647 orang terdiri dari
Jawa Barat. Studi ini bertujuan untuk mempelajari dampak ber- ± 23.373 rumah tangga. Menggunakan kriteria kasus DBD
bagai eara pemberantasan terpadu terhadap perilaku penduduk antara tahun 1983 — 1988, desa dikelompokkan dalam 3 strata

Catatan : Tclah dimuat dalam MEDHKA, No. 7 Tahun 17, Juli 1991

26 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


endemis, yaitu strata tinggi, sedang dan rendah. lokasi sampel. Penangkapan nyamuk dilakukan di dalam rumah
Strata tinggi adalah desa dengan kasus lebih dari 30 yaitu dengan 1 orang berlaku sebagai umpan dan penangkap nyamuk
Gunung Parang, Nyomplong, Sriwedari dan Selabatu. Strata selama 20 menit per rumah. Nyamuk A. aegypti yang ditangkap
sedang adalah desa dengan kasus 20–30 yaitu Tipar, Kebonjati, diperiksa perutnya untuk menentukan umur nyamuk. Pengum-
Cikole dan Gunung Puyuh. Strata rendah adalah desa dengan pulan, proses dan analisis data dilakukan oleh satu tim yang
kasus kurang dari 20 yaitu Benteng, Cikondang, Karamat, Ge- dipimpin oloh seorang entomolog. Survei dasar ini dilakukan
dung Panjang, Warudoyong, Nanggeleng dan Citameang dalam bulan Oktober 1988.
(Gambar 1). Studi ini menggunakan desain eksperimen yang
terdiri dari kegiatan-kegiatan survei dasar, kegiatan intervensi Intervensi
dan survei penilaian.
Intervensi terdiri dari kombinasi fogging, abatisasi, PSN,
abatisasi dan PSN, PSN dan pengawasan kualitas lingkungan.
Fogging diadakan 2 kali setiap tempat menggunakan malathion
dalam campuran solar dosis 438 g/ha. (500 ml malathion 96%
technical grade/ha). Sasaran adalah rumah serta bangunan di
pinggir jalan yang dapat dilalui mobil di desa endemis tinggi.
Alat yang dipakai swing fog SN 1 untuk bangunan dan mesin
ULV untuk perumahan. Waktu pengasapan pagi dan sore ini
dengan memperhatikan kecepatan angin dan suhu udara.
Fogging dilakukan oleh tim yang terlatih dari Dinas Kesehatan
Propinsi dan Pusat sesudah survei dasar.
Abatisasi diadakan satu kali seeara selektif menggunakan
obat 1% dosis 1 gram per 10 liter air. Sasaran adalah TPA yang
ada di dalam maupun di luar rumah penduduk di kelurahan
endemis tinggi dan sedang yang tidak dapat dibersihkan pada
rumah penduduk.
PSN merupakan penyuluhan kesehatan dengan tujuan agar
masyarakat mengetahui dan melaksanakan pembersihan rumah
dan lingkungan dari tempat perindukan vektor DBD. Kegiatan-
nya dilakukan oleh tenaga kesehatan pusat dan daerah melalui
jalui pimpinandan tokoh masyarakat sampai pada tingkatkeluarga
di daerah. Kegiatan ini dilakukan di semua desa di kotamadya
Sukabumi.
PKL adalah kegiatan pengawasan kebersihan lingkungan
oleh masyarakat dengan tujuan untuk menghilangkan tempat
Survei dasar perindukan vektor DBD yang ada di lingkungan rumah tangga
Survei dasar terdiri dari survei penduduk dan survei ento- masing-masing. Kegiatan pokok yang dilakukan ialah: penga-
mologi. Survei penduduk untuk memperoleh data mengenai wasan kebersihan lingkungan 1 minggu/sekali, pertemuan mem-
pengetahuan, sikap dan perilaku (PSP) terhadap pemberantasan bahas masalah yang ditemui dalam kegiatan gotong-royong
vektor DBD. Ibu rumah tangga yang diwawancarai 382 me- membersihkan lingkungan, dan menyiapkan laporan kebersihan
wakili 80% yang dipilih seeara proporsional dan sistimatik. Data lingkungan. Kegiatan dilaksanakan oleh kader yang terdiri dari
PSP terdiri dari tanda-tanda, akibat, penyebab, pertolongan pen- ibu-ibu kelompok dasawisma. Setiap kader bertanggung jawab
derita, eara penularan, jenis nyamuk, tempat perindukan dan eara dan seminggu sekali mengunjungi 10–20 rumah tangga, Penga-
pemberantasan. Pengumpulan data oleh sarjana kesehatan dan wasan kegiatan oleh ketua RT, RW, lurah dan sanitarian dari
sosial melalui wawaneara menggunakan kuesioner terstruktur. puskesmas.
Terhadap data yang tereatat pada kuesioner diadakan editing,
koding, dan dipindahkan ke dalam disket dengan program dBase
III+. Kemudian diadakan pembersihan, reduksi dan analisis data Survei penilaian
menggunakan program SPSS/PC+. Survei penilaian terdiri dari survei penduduk dan survei
Survei entomologi mengumpulkan data vektor DBD dan entomologi. Kedua survei menggunakan populasi yang sama
tempat perindukannya. Terhadap 400 rumah tangga yang dipilih tetapi sampel yang berbeda. Pada survei penduduk dipilih 456
proporsional dan sistimatik mewakili 100% sampel, dilakukan ibu rumah tangga dipilih seeara proporsional dan sistimatik
pemeriksaan jentik. Data berupa house index, container index mewakili 91% sampel. Sasaran lain dipilih 90 sekolah, tempat-
dan breteau index dikumpulkan menggunakan single larva tempat umum (TTU) dan tempat-tempat industri (TTI). Pada
method pada tempat penampungan (TPA) dan bukan TPA di survei entomologi diperiksa 400 rumah yang tersebar dan me-

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992 27


wakili 100% sampel. Pemilihan sampel, pengumpulan dan anali- Tabel 2. Proporsi pendidikan ibu rumah tangga pada sampel sebelum dan
sis data pada survei dasar dan survei penilaian dilakukan dengan sesudah intervensi

eara yang sama.


Analisis data
Data survei dasar dan survei penilaian disusun dalam bentuk
frekuensi distribusi menurut karakteristik rumah tangga, PSP
dan indek jentik. Data PSP dan indek jentik sebelum dan sesudah
intervensi dibandingkan untuk menentukan perubahan. Perubah-
an PSP diukur menggunakan persentasi perubahan efektif (PPE)
dengan perhitungan berikut. Untuk membantu interpretasi data
digunakan chi-square test:

Tabel 3. Proporsi agama ibu rumah tangga pada sampel sebelum dan
sesudah intervensi
PPE = persentasi perubahan efektif.
P1 = persentasi jawaban benar sebelum intervensi.
P2 = persentasi jawaban benar sesudah intervensi.

HASIL
Banyak rumah tangga yang berhasil dikunjungi sebelum
intervensi pada survei dasar dan survei penilaian seperti tertera
pada tabel 1.
Tabel 1.Besar sampel menurut strata, desa dan macam intervensi

Pengetahuan, sikap dan perilaku penduduk


Pada umumnya ibu rumah tangga belum semuanya memiliki
PSP yang benar terhadap pemberantasan DBD. Mereka memiliki
pengetahuan yang benar dan sikap positif terhadap DBD, akan
tetapi perilakunya baru mencapai 53,2%. Sesudah intervensi
terpadu perilaku ibu mengenai pemberantasan vektor meningkat
menjadi 69,8%. PPE tertinggi pada pengetahuan yaitu meneapai
40,7 (Tabel 4).
Tabel 4. Persentase perubahan efektif perilaku penduduk sebelum dan
sesudah intervensi

Karakteristik penduduk pada survei dasar dan survei penilaian


khususnya dalam hal pendidikan dan agama ibu rumah tangga Pengetahuan
tidal( ada perbedaan. Pada umumnya ibu di semua strata memiliki pengetahuan
Ibu rumah tangga sebagian besar berpendidikan rendah. benar terhadap semua pertanyaan mengenai DBD. Rata-rata
Pada survei dasar terdapat 67,1% dan pada survei penilaian pengetahuan yang benar di strata I 81,1%, strata II 84,6%, strata
terdapat 62,6% orang tidak tamat SLP. Mereka termasuk yang III 79,2% dan strata IV 73%. Ibu di strata IV memiliki pengetahu-
tidal( sekolah, tidak tamat SD dan tamat SD (Tabel 2). Proporsi an yang paling rendah dibandingkan dengan di strata lain. Penge-
pendidikan pada kedua sampel tersebut tidak adaperbedaan yang tahuan yang masih rendah terdapat di semua strata mengenai
berarti (p > 0.05). penyebab DB D, dan di strata IV mengenai pemberantasan sarang
Ibu rumah tangga pada umumnya beragama Islam. Pada nyamuk. Pengetahuan terendah terdapat di strata IV yaitu 2,3%
survei dasar terdapat 90,0% dan pada survei penilaian terdapat mengenai penyebab DBD dan 57,8% pemberantasan sarang
86,0% ibu rumah tangga beragama Islam. Proporsi pada kedua nyamuk.
sampel tidak ada perbedaan yang berarti (p > 0.05). Sesudah intervensi terjadi peningkatan pengetahuan ibu di

28 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 8/, /992


semua strata. Persentase perubahan efektif pengetahuan di strata Perilaku
I 34,6, strata II 29,2, strata III 27,6, dan strata IV 71,2. PPE yang Pada umumnya ibu di semua strata belum melakukan tindak-
terbesar terjadi di strata IV dibandingkan dengan strata lain. PPE an yang mendukung pemberantasan vektor DBD. Rata-rata
di strata IV 1,8 X lebih besar dari PPE keseluruhan intervensi di tindakan positif di strata I 55,4%, strata II 53,4%, strata III 55,6%
kotamadya Sukabumi. Proporsi penduduk pada setiap strata dan strata IV 48,4%. Penduduk di strata IV memiliki perilaku
tidak mempengaruhi pengetahuan terhadap DBD (p > 0,05) paling rendah dibandingkan di strata lain. Perilaku yang rendah
(label 5). di semua strata adalah mengenai frekuensi pengecekan usaha
pemberantasan nyamuk dan adanya pakaian tergantung dalam
rumah.

Sikap
Pada umumnya ibu di semua strata memiliki sikap positif
mengenai DBD. Rata-rata sikap positif di strata I 81,8%, strata II
86,0%, strata III 84,7% dan strata IV 82,2%. Ibu di strata I me-
miliki sikap positif yang paling rendah dibandingkan di strata
lain. Sikap yang masih rendah didapalkan di semua strata me- Frekuensi pengecekan TPA di semua strata bervariasi antara
ngenai frekuensi pemeriksaan TPA. Sikap ibu mengenai frekuensi 13,0-24,5% dan terendah di strata IV. Pemberantasan jentik dan
pemeriksaan TPA, terendah di strata IV yaitu 41,5%. nyamuk di semua strata bervariasi antara 11,3-49,1%, dan teren-
Sesudah intervensi terjadi peningkatan sikappositif di semua dah di strata IV. Adanya pakaian tergantung di semua strata
strata. Persentase perubahan efektif sikap di strata I 12,7, strata bervariasi antara 8,6—16,5% dan terendah di strata IV.
II9,6, strata III 1,5, dan strata IV 39,8. Perubahan efektif di strata Sesudah intervensi terjadi peningkatan perilaku yang men-
IV lebih besar dibandingkan dengan di strata lain. PPE di strata dukung pemberantasan vektor DBD. Persentasi perubahan efek-
IV 2,5 X lebih besar dari PPE karena keseluruhan intervensi di tif perilaku di strata I 33,8, strata II 38,8, strata 11I 21,0, strata IV
kotamadya Sukabumi. Proporsi penduduk di setiap strata tidak 46,5. Perubahan efektif di strata IV lebih besar dibandingkan
mempengaruhi sikap terhadap DBD (p > 0,05) (Tabel 6). dengan strata.lain. PPE di strata IV 1,3 X lebih besar dari PPE

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992 29


keseluruhan intervensi di Kotamadya Sukabumi. Proporsi pen-
duduk pada setiap strata tidak mempengaruhi perilaku terhadap
DBD (p > 0,05) (Tabel 7).
Pengawasan kualitas lingkungan merupakan cara pembe-
rantasan yang paling efektif dalam meningkatkan pengetahuan,
sikap dan perilaku pemberantasan DBD. Fogging, abatisasi dan
PSN kurang efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap
penduduk terhadap DBD.

tamer index dan breteau index seperti tercantum pada Tabel 9.


House Index
Rata-rata house index di strata I 9.0, strata II 18.8, strata III
8.0, dan strata IV 16.7. House index yang tertinggi adalah di
strata II.
Setelah 3 bulan intervensi terjadi kenaikan house index di
semua strata. Indek di strata I 16.7, strata II 12.5, strata III 20.5,
dan strata IV 30.1. House index tertinggi strata IV.
Sesudah 6 bulan intervensi terjadi penurunan house index di
semua strata, kecuali di strata III terjadi kenaikan menjadi 18.5.
Penurunan house index terbesar terjadi di strata IV menjadi 3.4.

Vektor
Menurut survei jentik dan nyamuk, jenis vektor yang ada di
kotamadya Sukabumi adalah A. aegypti dan A. albopictus.
Pemeriksaan TPA baik di dalam maupun di luar rumah ditemu-
kan 71,0% A. aegypti dan 14,5% A. albopictus (N ± 00). Jenis
TPA di daerah perumahan: 40,5% bak mandi, 11% tempayan,
25,5% ember dan 33% TPA lain. Letak TPA pada umumnya
(89,9%) berada di dalam rumah.
Di sekolah dan TTU/I (N = 90) ditemukan 20% A. aegypti
dan 33,3% A. albopictus. Jenis TPA terdiri dari 86,6% tempayan,
12,3% TPA lain. Letak TPA umumnya (81,8%) bcrada di dalam
gedung.
Secara keseluruhan indek jentik termasuk house index,
container index dan breteau index di Sukabumi cukup tinggi. Ini
mcnandakan bahwa Sukabumi merupakan dacrah potensial DBD.
Scsudah 3 bulan intervensi bersama dan tcrpadu nampak tidak
ada pcnurunan akan tetapi tcrjadi kenaikan indek jentik. House
index mcncapai 18,6, container index 12,9 dan breteau index
35,2. Sctclah 6 bulan intcrvcnsi penurunan hanya tcrjadi path
house index scbesar 1,7 dan tidak tcrjadi penurunan container
index maupun breteau index (Tabel 8).
Analisis lebih lanjut mcmbcrikan data house index, con-

30 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


Container Index lebih dari 80% sampel. Besar sampel rumah tangga cukup
Rata-rata container index di strata I 3.1, strata II 6.3, strata memberikan data untuk menilai dampak intervensi pemberan-
III 2.4 dan strata IV 5.5. Container index tertinggi di strata II. tasan vektor DBD terpadu.
Setelah 3 bulan intervensi terjadi kenaikan container index Karakteristik penduduk yang dipelajari terbatas pada pen-
di semua strata. Indek di strata 1-8.2, strata II 10.6, strata III 17.7 didikan dan agama. Pendidikan ibu rumah tangga umumnya
dan strata IV 15.2. Container index tertinggi di strata III. rendah. Pada sampel sebelum dan sesudah pemberantasan vektor
Setelah 3 bulan intervensi terjadi kenaikan breteau index di memiliki proporsi yang besar yaitu lebih dari 60% terdiri dari
semua strata. Indek di strata I 29.8, strata II 38.8, strata III 33.5 kelompok tidak sekolah,tidak tamat SD, dan tamat SD. Proporsi
"
dan strata IV 43.3. Breteau index tertinggi di strata IV. pendidikan pada setiap strata tidak berbeda dan konsisten pada
Setelah 6 bulan intervensi terjadi penurunan container index sampel sebelum .dan sesudah pemberantasan vektor.
di semua strata, kecuali di strata III naik menjadi 9.2. Penurunan Agama ibu rumah tangga bervariasi pada sampel sebelum
terbesar di strata II menjadi 3,3. dan sesudah pemberantasan vektor. Sebelum clan . sesudah pem-
berantasan vektor lebih dari 85% sampel beragama Islam. Pro-
Breteau Index
porsi agama pada sebelum maupun sesudah pemberantasan tidak
Rata-rata breteau index di strata I 9.0, strata II 13.8, strata III
berbeda.
7.8 dan strata IV 16.7. Breteau index tertinggi di strata IV.
Karakteristik penduduk sampel sebelum dan sesudah pem-
Setelah 6 bulan intervensi terjadipenurunan breteau index di
berantasan vektor sesuai dengan karakteristik penduduk kodya
semua strata. Penurunan terbesar terjadi di strata IV menjadi 3.3.
Sukabumi, di mana sebagian besar berpendidikan rendah dan
Perubahan indek jentik di semua strata sebelum dan sesudah
beragama Islam. Kesamaan dalam karakteristik sampel mem-
intervensi seperti pada Tabel 10.
berikan peluang untuk membandingkan efek pemberantasan
Pengawasan kualitas lingkungan yang konsisten merupakan
vektor terhadap perilaku penduduk.
cara pemberantasan yang paling efektif dalam menurunkan
Pada umumnya penduduk telah memiliki pengetahuan yang
indeks jentik termasuk house index, container index, dan breteau
benar dan sikap yang positif dalam pemberantasan vektor DBD,
index. Abatisasi dan PSN merupakan altematif cara pemberan-
tasan yang efektif dalam menurunkan indek jentik. akan tetapi perilakunya masih rendah. Intervensi terpadu dalam
waktu yang relatif singkat sangat efektif meningkatkan penge-
PEMBAHASAN tahuan, sikap, dan perilaku penduduk terhadap pemberantasan
vektor DBD. Hal ini mungkin disebabkan adanya gerakan PSN
Banyak rumah tangga yang berhasil diwawancarai dan
melalui instruksi Walikota dan adanya intervensi pengawasan
diperiksa jentik balk sebelum dan sesudah intervensi mewakili
kualitas lingkungan yang diadakan dari rumah ke rumah pen-
duduk.
Di semua strata pada umumnya penduduk memiliki penge-
tahuan yang benar mengenai DBD, dan yang paling rendah 73%
terdapat di strata IV. Pengetahuan penduduk terhadap DBD yang
masih rendah adalah mcngenai penyebab penyakit di semua
strata; penularan dan cara pemberantasan vektor di strata IV.
Setelah intervensi terdapat peningkatan pengetahuan di semua
strata. PPE bervariasi antara 27,6—71,2, dan terbesar di strata IV
yaitu 1,8 X PPE intervensi keseluruhan di kotamadya Sukabumi.
PPE pengetahuan mengenai penyebab DBD bervariasi antara
10,2—66,6 dan terbesar di strata IV yaitu lebih dari 3 x PPE di
strata lain. Begitu juga PPE pengetahuan mengenai cara penu-
laran dan pemberantasan terbesar di strata IV di mana masing-
masing mencapai 95% dan 100%.
Pada umumnya penduduk memiliki sikap mengenai DBD
yang positif di semua strata, dan yang paling rendah 81,8%
terdapat di strata I. Sikap penduduk yang ' masih rendah adalah
mengenai frekuensi pemeriksaan TPA di semua strata dan teren-
dah di strata IV. Setelah intervensi terdapat peningkatan sikap
positif di semua strata. PPE bervariasi antara 1,5—39,8, dan ter-
besar di strata IV yaitu lebih dari 2,5 x PPE intervensi keseluruh-
an di kotamadya Sukabumi. PPE sikap mengenai frekuensi
pemeriksaan bervariasi antara 24—39,4 dan terbesar di strata I.
Mengenai perilaku penduduk di semua strata pada umum-
nya masih rendah, dan terendah di strata IV yaitu 48,4%. Perilaku

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 31


penduduk yang masih rendah adalah mengenai frekuensi pe- nurunkan indek jentik A. aegypti. Indek jentik sebelum dan se-
ngecekan TPA, pemberantasan nyamuk, penyimpanan pakaian sudah fogging, abatisasi selektif dan PSN masih tinggi. Sesudah
tergantung, dan yang paling rendah terdapat di strata IV untuk abatisasi di strata I, II, III terdapat house index 7,5–18,5, con-
ketiga aspek perilaku tersebut. Setelah intervensi terdapat pe- tainer index 2,2–9,2 dan breteau index 10,4–23,5. Banyak hal
ningkatan perilaku yang positif di semua strata IV yaitu lebih dari yang mungkin menyebabkan tidak menurunnya indek jentik
PPE 1,3 intervensi keseluruhan di kotamadya Sukabumi. Begitu antara lain tenaga abatisasi yang kurang terlatih, sulit melak-
juga PPE perilaku positif ketiga aspek mengalami peningkatan sanakannya, dan kurang mendapat sambutan masyarakat karena
bervariasi antara 12,9–100. kurang informasi yang mendalam dan masyarakat berharap
Data survei dasar memberikan gambaran pengetahuan, sikap terlalu banyak dari fogging dan abatisasi.
dan perilaku penduduk sebelum intervensi yang paling rendah di Kemudian upaya ini dilengkapi dengan kegiatan PSN yang
strata IV. Setelah diadakan intervensi di semua strata terjadi merupakan upaya memobilisasi partisipasi masyarakat melalui
peningkatan PPE, dan yang tertinggi di strata IV. Mengingat segala macam media komunikasi dan pimpinan. Walaupun
berbagai variabel yang diduga ada hubungan dengan PSP seperti demikian kegiatan ini belum meneapai optimum. Sasaran, isi
pendidikan, agama dan stratifikasi tidal( ada perbedaan sebelum pesan dan metode perlu lebih terarah kepada hal-hal yang men-
dan sesudah intervensi maka PKL merupakan cara yang sangat dasar dan belum diketahui dan dilaksanakan masyarakat. Masya-
efektif dalam men ingkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku ibu rakat belum mengetahui penyebab DBD dan cara memberantas
rumah tangga di kotamadya Sukabumi. jentik, maka PSN berkewajiban menjelaskannya dalam bahasa
Vektor DBD di Kodya Sukabumi adalah A. aegypti dan A. yang lebih sederhana. Apalagi dengan adanya instruksi yang
albopictus. Tempat perindukan vektor berada di daerah diduga lebih menguntungkan. Kenyataan kurang membawa
pemukiman yang terutama di dalam perumahan dan gedung dampak yang luas karena pendekatannya melalui jalur dari atas
sekolah, TTU dan TTI. Situasi ini konsisten dengan data peri- (pimpinan) ke bawah. Pendekatan langsung melalui jalur bawah
laku, di mana sebagian besar penduduk masih belum member- yaitu dari rumah ke rumah lebih menguntungkan. Masyarakat
sihkan tempat perindukan vektor. seeara aktif dapat berpartisipasi melakukan pembersihan ling-
Pada survei dasar indek jentik di semua strata umumnya kungan khususnya tempat perindukan A. aegypti. Pengawasan
cukup tinggi yaitu rata-rata house index 12,3, container index kualitas lingkungan yang dilakukan di desa Nanggeleng dan
4,0, dan untuk breteau index 10,9. Indek jentik tersebut memberi- Citameang telah mengisi pendekatan tersebut.
kan gambaran bahwa daerah Sukabumi merupakan daerah po- Kelemahan yang dihadapi pada PKL antara lain mobilisasi
tensial DBD. masyarakat secara besar-besaran yang dilengkapi dengan pem-
Setelah 3 bulan intervensi, tidak terjadi penurunan indek berian fasilitas mengakibatkan intervensi kurang efisien. Oleh
jentik di semua strata. Ini mungkin karena dalam bulan Januari karena itu perlu adanya upaya pengembangan lebih lanjut
adalah musim hujan, di mana bertepatan dengan tingginya A. mengenai eara intervensi PKL yang lebih efektif dan efisien.
aegypti. Intervensi yang dilakukan memberi dampak akan tetapi PKL menggunakan staf kelurahan yang terbatas diduga menjadi
dampaknya tidak terlihat. Walaupun demikian efek intervensi alternatif yang lebih efektif dan efisien.
khususnyafogging mencapai cakupan lebih dari 90% rumah dan
bangunan, serta mengurangi density nyamuk dewasa.
Setelah 6 bulan intervensi terdapat penurunan house index KEPUSTAKAAN
terutama di strata I, II dan IH dan penurunan terbesar di strata IV 1. Anwar S. Penanggulangan fokus DBD di Kodya Sukabumi, Lokakarya
meneapai 13,3. Penurunan ini juga terjadi pada container index Demam Berdarah di Sukabumi 1987, Dit. Jen PPM & PLP 1986. 1-7.
2. Bang Yll, Shah NK. Regional Review H)IIF Situation and Control of A.
khususnya di strata II dan IV. Penurunan di strata II lebih besar aegypli in South East Asia. Dengue Newsletter, World Health Organiza-
dari pada di strata IV. Penurunan breteau index hanya terjadi di tion, New Delhi, 1986; (Dec) 12: 2-9.
strata IV yang meneapai 13,3, sedangkan di strata lain tidal( 3. Kalra NL, Bang Yll. General Guidelines for Community Participation in
terjadi penurunan breteau index. the Control and Prevention ..1 vectors of Dcngue/DIIF in Tropical Asia,
WIIO, New Delhi, 1984. 1-19.
Breteau index merupakan indikator yang lebih sensitif dari 4. Oppcnhcim. Qucstionaire Design and Attitude Mcasurrcment. New York:
pada house index dan container index. Dengan demikian PKL Basic Books, Inc Pub 1966. 105-160.
merupakan cara yang efektif dalam memberantas tempat per- 5. Suroso T. Pemberantasan Demam Berdarah. Makalah Seminar Sehari 25
indukan vektor DBD. Penurunan indek ini konsisten dengan Agustus 1988, Dit.Jen PPM & PLP Dcpanemen Kesehatan, 1986. 1-7.
6. Dit.Jen PPM & PLI'. Ilasil Lokakarya Penyusunan Stratcgi Pemberantasan
peningkatan perilaku karma PKL di mana penduduk telah me- I)BD dcngan Peranscrta Masyarakat, Ciloto, tanggal 25—27 Agustus 1988.
lakukan pembersihan tempat perindukan vektor A. aegypti. 1-10.
Dalam waktu yang relatif singkat PKL sangat efektif dalam 7. Bang Yll, Shah NK. Regional Review of DIHF Situation and Control of
Aedesaegypti in South-East Asia. Dengue Newsletter, WHO Rcg. Off for
meningkatkan PSP penduduk dan menurunkan indek jentik SEA New Delhi, 1986. 1-10.
khususnya house index, dan breteau index. Fogging yang diren- 8. Scin Kyow. Knowledge, attitude-practice survey on dengue hacmorrhagic
canakan dengan balk meneapai cakupan 'ang tinggi sehingga fever in Kyank Tan Village Moulmein Townslip, Mon State Birma. Dengue
dalam waktu yang singkat dapat menurunkan density nyamuk. Newsletter. WI 10 Reg Off for SEA New Delhi, 1986. 17-20.
9. Suroso 'l, Ahas Abdulkadir, Ali 1•rhar, Gunawan, Faltah Noor, Bactiar,
Kondisi ini dipertahankan dengan mengadakan abatisasi se-
Yusuf. Knowledge-attitude practice of the c anmunity in the prevention of
Iektif. Rupanya kegiatan abatisasi seiektif tivak nampak me- DHHF in Pontianak, Hndonesia, July 1986. Dengue News letter. WHO Reg

32 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Direktur
Jenderal PPM dan PLP, Dr. Gandung Hartono yang telah memberikan ke-
sempatan pada kami untuk melakukan survei, d an kepada Dr. Arwati S yang
telah membantu seluruh kegiatan pemberantasan DBD di Sukabumi.
Ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada Kepala Dinas Kese-
hatan Kodya Sukabwni Dr. Satya, dan Kepala Seksi P3M Dinas Kesehatan
Kodya Sukabumi Dr. Anwar, alas bantuannya selama pelaksanaan survei di
daerah. Kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya survei, kami
mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 33


Recent Developments in Research on
Dengue Hemorrhagic Fever
Duane J. Gubler, Sc. D.
Division of VectorBorne Infectious Diseases, National Center for Infectious Diseases,
Centers for Disease Control Fort Collins, CO 80522, USA

ABSTRACT

The global resurgence of epidemie dengue/dengue he- Another exeiting advanee in reeent years is the development
morrhagie fever during the past 15 years has underseored the by Mahidol University scientists in Thailand, of attenuated live
need to develop improved diagnostie techniques as well as more virus eandidate vaeeines for all four dengue serotypes using
effeetive prevention and eontrol strategies. There has been sig- primary dog kidney (PDK) eells. These have all been safety
nifieant progress in both of these areas in the past 5 years. This tested in humans as Monovalent vaeeines with exeellent results.
paper will give a brief overview of reeent advanees in metho- Reeent safety trials as bivalent, trivalent and tetravalent vaeeines
dologies that ean be used both for laboratory diagnosis and for have shown that there is no interferenee between the viruses
surveillanee, and of reeent developments in dengue vaecine when given to humans simultaneously. Rather, there appears to
researeh. be an enhaneement of the dengue-1 and dengue-3 eandidate
Development of the polymerase ehain reaetion (PCR) has vaeeines by the dengue-s and dengue-4 candidates. When given
provided potentially the most useful diagnostie methodology in an tetravalent formulation, neutraliaing antibody develops to
in reeent years. This teehnique is based on making oligonueleo- all four serotypes.
tide primers that are unique to selected regions of the genome of
a partieular agent, in this case dengue virus. These primers ean be The progress with the PDK attenuated eandidate vaeeines is
both serotype and virus speeific. They are used to amplify small exeellent, but it is elear that if a dengue vaeeine is to be used to
amounts of cDNA by PCR. Several PCR approaches have been prevent dengue hemorrhagic fever, it must not only be safe and
developed for dengue viruses, most of whieh have eomparable or effeetive, but economieal. It is unlikely that the Mahidol Univer-
slightly less sensitivy than virus isolation in detecting dengue sity PDK eandidates vaeeine ean be produeed in large enough
virus in viremic serum. In prineipal, however, the PCR teehnique quantities and will be economieal enough to be used on a wide
should have greater sensitivity while giving eomparable speci- seale in the developing world. Therefore, it will probably be
fieity. neeessary to develop a genetically engineered recombinant vae-
The PCR teehnique has been extremely useful in determin- eine for this disease. Considerable researeh has been done in this
ing genetie differenees between dengue virus strains of the same area in reeent years and the teehnology is now being applied to
serotype. This method, which looks at the whole envelope recombinant dengue vaeeine development. The most likely
protein, has allowed us to reelassify the dengue virus topotypes approaeh will be to develop eDNA infectious elones for eaeh of
that were originally determined by alogonueleotide fingerprint- the serotypes. This research will be diseussed along with pros-
ing. Reeent data on the molecular epidemiology of dengue-2 and pects for its use in prevention and eontrol of dengue hemorrhagie
dengue-3, and the epidemlologie implieations will be discussed. fever.

34 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


Patogenesis dan patofisiologi
Demam Berdarah Dengue
Sutaryo
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Patofisiologi dan patogenesis Demam Berdarah Dengue dapat ditemukan antigen dengue, deposit kompolemen, imuno-
(DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever/Dengue Shock Syn- globulin dan fibrinogen pada dinding vasa at . Pada fase awal
drome (DHF/DSS) menjadi subyek yang utama dalam bidang timbul vaskulopati dan disfungsi trombosit, selanjutnya muncul
penelitian dengue, dalam upaya untuk menjelaskan manifestasi trombositopenio). Fungsi trombosit yang terganggu berupa
klinis dengue yang sangat luas, dari ringan sampai berat. Tetapi penurunan agregasi, kenaikan platelet faetor 4 (PF4) dan
basil penelitian yang sudah hampir satu abad belum dapat mene- penurunan betathromboglobulin (BTG) disertai memendeknya
rangkan mekanisme yang sesungguhnya tentang patofisiologi umur trombosit. Mekanisme hipoagregasi trombositbelum jelas.
dan patogenesis dari DHF/DSS. Kesulitan para peneliti salah Kemungkinan agregasi trombosit dihambat oteh adanya kom-
satunya karena model binatang pereobaan untuk menimbulkan pleks imun yang terdiri atas antigen virus dengue dengan antiodi
gejala klinis yang mirip DHF pada manusia tidak tersedia. anti dengue di dalam plasma atau dihambat oleh fibrinogen
Perubahan pokok patofisiologi yang terjadi pada DHF/DSS degradation product (FDP). Tetapi karena FDP tidak selalu ada,
adalah pertama vaskulopati, ke dua trombopati, ke tiga koagu- penjelasan melalui hambatan FDP tidak dapat dipertahankan.
lopati, ke empat perubahan imunologi humoral dan seluler. Boonpueknavig et at. (1979) menunjukkan adanya antigen de-
Diperkirakan perubahan patofisiologi tersebut disebabkan oleh ngue dan komplek antibodi di permukaan trombosit( s ). Apakah
tidak hanya satu faktor tetapi disebabkan oleh multifaktorial. hal ini yang menyebabkan terjadinya hipoagregasi belum
Vaskulopati ditandai dengan terjadinya kerapuhan pembuluh diketahui. Trombositopeni pada DHF dapat disebabkan karena
darah dan peninggian permeabilitas kapiler. Keiapuhan pembu- adanya komplek imun di permukaan trombosit. Komplek imun
luh darah dibuktikan dengan uji tourniquet atau Rumpel Leede tersebut akan menyebabkan rusaknya trombosit yang kemudian
atau uji Hess. Uji ini mungkin positif meskipun waktu perdarah- akan diambil hati dan lien (6) . Trombositopeni dapat juga terjadi
an normal ' . Sehingga muneul pertanyaan mendasar terhadap karena depresi sumsum tulang m dan konsumsi yang berlebihan
)
(

kriteria WHO (1986) mengapa fenomena ini dipakai dalam di sirkulasi o) .


lingkup kriteria manifestasi perdarahan yang minimal. Tes resis- Koagulopati dibuktikan dengan adanya penurunan faetor
tensi kapiler tersebut sebaiknya dipisahkan dari kriteria ma- fibrinogen, faetor V, VII, VIII, X dan XII. Pada DHF fase akut
nifestasi perdarahan. terjadi koagulasi intravaskuler dan fibrinolisis. Telah dibuktikan
Permeabilitas kapiler yang meningkat menyebabkan protein adanya peman jangan partial thromboplastin time, perpan jangan
plasma dan eairan dari intravaskuler boeor ke ektraeaskuler( 2) . thrombin time, penurunan fibrinogen dan kenaikan FDP her-
Hal tersebut terbukti dengan timbulnya hemokonsentrasi, efusi sama-sama dengan penurunan antithrombin IIi, alfa-2 antiplas-
pleura, aseites, edema, hipoproteinemia terutama hipoalbumine- minogen(6,9,10). Koagulasi intravaskuler ini terutama pada DSS( "• )
1

mia. Biopsi pada bereak merah di kulit menunjukkan adanya Perubahan imunologik pada DHF terdiri atas perubahan
edema perivaskuler pada mikrovaskulatur terminal di daerah imunologik humoral dan seluler. Perubahan humoral dapat
papila kulit, dengan infiltrasi limfosit dan monosit. Di daerah ini dibuktikan dengan terbentuknya antibodi IgG yang dipakai se-

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 35


bagai dasar uji haemaglitinasi inhibition (HI) dan Dengue Blot, Hipotesis infeksi sekunder yang berturutan dengan virus
dan IgM yang pada umumnya dideteksi dengan IgM Elisa serotipe yang lain
Capture. Selain komplek imun IgG dan IgM, juga ada komplek Sabin (1952) merupakan peneliti pertama yang mengamati
imun IgA dan IgE( 13). Perubahan imunologik seluler adalah ter- bahwa kejadian manifestasi klinis dari penyakit merupakan
jadinya leukopeni pada fase akut disertai aneosinofili, kenaikan reinfeksi dengan virus jenis lain pada beberapa waktu setelah
monosit dan basofili. Limfosit-T
(5,14)
menurun dan limfosit-B serangan pertama t2o . Kesimpulan tersebut berdasarkan peng-
meningkat pada fase akut amatan wabah dengue di sekiitar perang dunia kedua. Teori
Secara hematologis di darah tepi dengan pengecatan May infeksi sekunder itu dikembangkan oleh Halstead (1969)( V ).
Grunwald, Giemsa atau Wright muncul satu tipe khas sel limfosit Pada studi epidemiologi didapatkan bahwa kasus DHF/DSS
atipik yang disebut limfosit plasma biru (LPB). LPB berbentuk lebih banyak didapatkan pada populasi dengan reaksi serologis
bulat tetapi adakalanya ameboid. Sitoplasma biru tua sampai yang menunjukkan infeksi sekunder, ada dua puneak distribusi
gelap dengan vakuolisasi. Vakuolisasi dapat halus sampai sangat kasus di Thailand, virus eepat menghilang setelah fase akut, lalu
nyata menyerupai sel lemak. In ti umumnya berbentuk bulat, oval disusun teori sebagai berikut : penyakit akan muneul bilamana
atau seperti ginjal, dengan kromatin renggang, kadang tampak seseorang setelah terinfeksi virus dengue untuk pertama kali
ada nukleoli, terletak eksentris. Di tepi nuklei ada there' peri- kemudian mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue tipe
nuklear yang jernih, kadang-kadang terdapat gambaran dalam lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun. Di Thailand,
berbagai tingkat mitosis( 13 ). Sebetulnya perubahan pada limfosit Sangkhawibha (1984) dan Burke (1988) membuktikan bahwa
tersebut sudah diamati lama. Stitt (1907) mengamati pada awal faktor risiko yang penting adalah infeksi berturutan virus Den-1
penyakit dengue proporsi limfosit keeil meningkat, lalu diikuti (28.29)
diikuti dengan Den-2 .

li mfosit besar yang dominan". Setelah itu muneul menonuklear Antibodi terhadap dengue sebelum infeksi yang kedua
yang•besar dan transitional cells. Muneulnya transitional cells merupakan faktor penting patogenesis dengue. Menurut hipo-
atau limfosit yang sejenis itu juga ditemukan oleh penelitian ts•" -24). tesis ini infeksi primer pada umumnya menyebabkan penyakit
Karena bentuk LPB menyerupai plasma sel, dan pada saat itu ringan. Infeksi sekunder pada individu yang telah mempunyai
muneul kenaikan imunoglobulin dan kenaikan limfosit-B, maka antibodi heterolog merupakan kondisi kritis untuk terjadinya
diduga LPB adalah termasuk populasi limfosit-B. Hasil imuno- DHF/DSS( • ). Ada kemungkinan bahwa vaksinasi Japanese-B
29 30

peroksidase dengan menggunakan monoklonal antibodi CD4, diikuti infeksi virus dengue akan menimbulkan gejala klinis
CD7, CD8, CD22, Ia dan DR didapatkan LPB tersebut meru- penderita dengue yang lebih berat( 31) karena pada pasca vaksinasi
pakan eampuran dari li mfosit-T dan limfosit-B dengan per- muneul antibodi terhadap flavivirus. Kenaikan antibodi terutama
bandingan 1:1, sedang perbandingan T helper dan T supressor IgG dan IgM dan kenaikan komplemen C3a dan C5a menum-
2:3. Pada kasus-kasus yang berat jumlah T supresor terdapat buhkan pemikiran adanya teori antigen antibodi akan meng-
kecenderungan lebih meningkat o'). aktivasi komplemen. Karena C3 proaktivator normal maka
Arti diagnostik LPB adalah dapat membantu memilahkan Ikeuchi (1981) menduga bahwa aktivasi komplemen bukan
infeksi dengue dan non-dengue. Dengan LPB 4% pada darah melalui jalur altematif". Virus dengue eepat hilang dari darah
tepi basil sensitivitas dan spesifisitas pada hari ke empat dan ke dan jaringan o ). Hal tersebut diduga antigen virus dinetralisir oleh
li ma adalah : 68% dan 86%, 81% dan 83%. Apalagi kalau antibodi. Malasit (1987) mendapatkan kenaikan C3a mempunyai
digabung dengan uji tourniquet yang positif, kombinasi kedua korelasi dengan berat ringan penyakit°2). Kadar C3a pada DHF
parameter tersebut mempunyai nilai sensiti vitas dan spesifisitas IV secara bermakna lebih tinggi daripada kelompok yang lain
pada hari keempat dan kelima sebesar 81% dan 84%, 84% dan yang lebih ringan, adanya sirkulasi imun kompleks dalam da-
86%. Uji tersebut sangat spesifik kalau digabung dengan trom- rah03) dan histamin pada air kencing' 33) , semuanya memperkuat
bositopenia (< 150.000/mmkubik) sejak hari kedua demam. teori aktivasi komplemen. Aktivasi komplemen akan mem-
Selain sebagai pembantu diagnosis dini (sebelum timbul produksi C3a dan C5a yang akan menaikkan permeabilitas
shock), penghitungan LPB relatif sederhana yaitu dengan kapilero' ) .
menggunakan preparat dan pengecatan rutin hematologi: Giemsa, Teori infeksi sekunder yang berturutan dengan serotipe lain
Wright atau May Grunwald. Ketiganya memberikan basil yang tersebut temyata tidak selalu dapat menerangkan kejadian DHF/
tidak berbeda. Prosentase LPB tidak dipengaruhi oleh status DSS. Pertanyaan yang masih tetap belum terjawab adalah :
nutrisi pasien, pemberian obat parasetamol, salisilat, ampisilin, mengapa tidal( semua infeksi sekunder menimbulkan infeksi
kloramfenikol( 8 ). berat dan itu merupakan proporsi yang sangat besar (97–99%
Dari kejadian di atas, yaitu adanya perubahan vaskuler, tidak shoek). Kalau teori tersebut benar maka di daerah endemis
trombosit, koagulasi, imunologi seluler dan humoral, para ahli akan sangat mungkin muncul infeksi ke tiga, ke empat dan
kemudian menyusun teori patogenesis. Bermacam-macam teori seterusnya yang tentunya akan menimbulkan reaksi lebih berat.
patogenesis diajukan oleh banyak pakar, dan kadang berten- Demikian juga akan sangat riskan kalau mendapat vaksinasi,
tangan. Hal itu menunjukkan bahwa patogenesis DHF belum karena akan menimbulkan antibodi di dalam tubuh.
jelas. Di sini akan dibicarakan hipotesis patogenesis secara Infeksi beratpun dapat juga terjadi pada infeksi primer. Hal
umum. tersebut dilaporkan di Jakarta, Kepulauan Tonga, Manila, dan

36 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 8/, /992


Bangkok( 35.36.37). Di beberapa kepulauan Pasifik pernah terjadi faktor yang mempengaruhi kejadian itu adalah IgM spesifik
hanya satu tipe virus yang beredar tetapi dapat menimbulkan terhadap dengue. IgM yang bersifat netralisasi dapat berikatan
shoek, jadi tidak hams heterologis. dan menetralisasi infeksi sekunder sehingga mencegah tim-
bulnya sakit yang berat. Bila IgM tidak cukup, alma timbal
PERANAN ANTIBODY DEPENDENT ENHANCEMENT peningkatan IgG yang akan menghasilkan dengue bentuk yang
(ADE) berat(47).
Untuk menjawab pertanyaan di atas lalu muneul teori per-
anan ADE. Virus dengue termasuk flavivirus. Pada flavivirus TEORI VIRULENSI VIRUS
ada kejadian, suatu peningkatan pembiakan virus kalau sebe- Berbeda dengan pendapat di atas, ahli lain berpendapat
lumnya sudah ada antibodi sebelumnya( 38). Tetapi dengan syarat bahwa yang menyebabkan penyakit adalah virulensi virus. Teori
antibodi ini tidak menetralisir infeksi flavivirus yang datang virulensi virus menyatakan bahwa untuk timbulnya DHF tidak
belakangan. Antibodi tersebut bersifat subneutralising. Karena perlu dua kali infeksi, satu kali saja eukup bila virusnya virulen.
antibodi yang subneutralising tersebut malahan memaeu per- Permasalahan dalam pembuktian teori ini adalah tidak ada pe-
tumbuhan virus disebutAntibodyDependent En hancement (ADE). tandalaboratorium untuk virulensi,kesulitan lain adalah masalah
Teori itu memperkirakan proses terjadinya kenaikan replikasi isolasi strain dengue pada penderita dengan pen yakit perdarahan.
virus adalah sebagai berikut : pada infeksi sekunder akan ter- Teori tersebut didukung kenyataan bahwa ada bayi dengan
bentuk komplek imun yang dibentuk oleh virus dengan antibodi perdarahan dan shok dengan isolasi virus35.4s)
dan Plaque Reduction
kadar rendah yang bersifat subneutralising dari infeksi primer. Netralization Test (PRNT) yang positiP melaporkan adanya
Imun komplek itu lalu melekat pada reseptor Fe pada mono- gambaran yang tidak umum pada epidemi dengue tipe 2 di
nuklear fagositosis (terutama makrofag). Ini akan mempermu- Kepulauan Niue pada tahun 1985. Sebagian besarpopulasi sudah
dah virus masuk sel dan meningkatkan multiplikasi. Kejadian mempunyai antibodi terhadap dengue tipe 2 tetapi tidak ada
tersebut menimbulkan viremia yang lebih hebat dan semakin kasus DHF/DSS yang dijumpai. Hal ini sama sekali bertolak
banyak sel makrofag yang terkena. belakang dengan pendapatan di Thailand. Penelitian di Kepu-
Penemuan pada flavivirus tersebut kemudian diteliti pada lauan Niue menimpulkan bahwa komplikasi yang serius tidak
dengue. Ternyata memang serupa hasilnya. Pada kera yang selalu akibat dari epidemi yang berturutan berdasar tipe virus
sudah pernah mendapat infeksi sebelumnya, kejadian viremia yang berbeda.
lebih hebat daripada yang tidak terinfeksi sebelumnya. Untuk
menjawab adanya kasus berat pada anak di bawah umur 1 tahun,
diadakan penelitian kemungkinan imunoglobulin pasif anti-
dengue dari ibu yang dibawa anak. Ternyata antibodi tersebut TEORI TROMBOSIT ENDOTEL
menurun setelah 8 bulan. Pada saat antibodi maternal dari ibu Trombosit dapat mengeluarkan bermaeam-maeam media-
meneapai kadar subneutralising di situlah dapat timbul serangan tor, sedang sel endotel mempunyai bermaeam-maeam reseptor
DHF39). Dan hal itu menerangkan infeksi primer pada bayi (misalnya untuk histamin, interleukin-1), yang dapat melepas-
sebetulnya seperti infeksi sekunder. Peranan ADE tidak dapat kan bahan-bahan vasodilator yang kuat misalnya prostasiklin,
dipisahkan dengan peranan makrofag. dan dapat mensintesis dan mengeluarkan banyak bahan, misalnya
Platelet Activating Factor, Plasminogen Factor, Interleukin-
Peranan Makrofag J(49.50)• Pada keadaan normal trombosit tidak menempel pada
Makrofag adalah salah satu sel target pada infeksi dengue. endotel. Gangguan endotel akan menimbulkan agregasi trom-
Pembiakan virus terjadi di dalam selk ini, semakin banyak bosit, aktifisi kogulasi dan sistem fibrinolisis( S1
makrofag yang diinfeksi virus makin berat penyakit yang timbul. Penderita DHF mempunyai koagulasi intravaskuler tipe
Berat ringan penyakit dapat diduga dipengaruhi seeara genetis, akut, baik koagulasi dan sistem fibrinolitik diaktivasi pada waktu
yaitu dengan eara membantu atau menghambat pertumbuhan yang sama. Pada waktu itu juga terdapat trombositopeni, trom-
virus dalam monosit( 30). Di Kuba mononuklear orang kulit putih bosit yang besar, antibodi terhadap trombosit"
.u.52
. Ke-
lebih peka dari pada orang kulit hitam (40) . mungkinan trombosit akan mengeluarkan granula yang
Peranan IgM mengandung histamin like substance dan 5-hydroxytrytamine
Russel et al, (1968) melaporkan terjadi kenaikan IgG pada yang akan menyebabkan kenaikan permeabilitas kapiler. Se-
infeksi sekunder, tetapi IgM tidak meninggi t3o . Dengan .42
eara makin berat penyakit didapatkan 53
semakin lama dan semakin
yang lebih spesifik IgM dapat diukur seeara kuantitatif(' ) IgM berat kejadian trombositopeni( ). Keparahan penyakit tergan-
anti dengue menurun sampai tidak dapat dideteksi kadarnya tung pada berat ringan permeabilitas kapiler. Korelasi antara
setrelah 30-60 had43). Pada 151 penderita DHF yang dipastikan trombositopeni dengan berat-ringan kenaikan permeabilitas
secara virologis, IgM terdapat pada 77,5% kasus. IgM akan vaskuler belum diteliti, karena salah satu faktor, yaitu, kesulitan
muneul pada fase awal penyakit yang dimulai pada hari ke- teknis dalam mengukur agregasi trombosit selama trombosi-
44.45.4
empat( ) Infeksi sekunder tidak selalu menimbulkan dengue topeni, dan juga karena kesulitan membagi derajat permeabilitas
berat, dengue berat hanya muncul pada 1-3% kasus. Salah satu kapiler.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 37


TEORI MEDIATOR
Terjadinya manifestasi yang berat pada DHF berlangsung
antara 48 – 72 jam. Setelah itu terjadi penyembuhan yang cepat,
praktis tanpa gejala sisa. Pada autopsi tidak didapatkan hal-hal
yang khas. Oleh karena itu dipikirkan adanya suatu mediator
berumur pendek pada fase akut(" ) . Halstead mempunyai dugaan
mediator yang dikeluarkan oleh makrofag yang diaktivasi akan
menimbulkan perdarahan, gangguan koagulasi, perbeabilitas
kapiler yang meninggi dan lisis sel. Meskipun tidal( persis sama,
kejadian pada saat shock pada dengue mirip dengan septik shock.
Kedua shock itu mempunyai beberapa kesamaan sifat antara lain
trombositopenia, perubahan pada komplemen, faktor XII, sistim
resistensi vaskuler dan koagulasi intravaskuler. Pada sepsis
interleukin-6
.
dan elastase naik secara nyata dan prekallikrein
menurun(" ")
LPB sebagai limfosit-B yang berhubungan dengan produksi
imunoglobulin tidak menimbulkan banyak pertanyaan. Tetapi
LPB terdiri juga atas limfosit –T CD4+ dan pada yang berat ada
kecenderungan CD8+ meningkat( 25) . Kurane (1990) membukti-
kan bahwa soluble interleukin-2 receptor, soluble CD4 dan
soluble CD8 meningkat sangat bermakna pada DHF/DSS bila
dibanding dengan DF"). Dibuktikan juga bahwa aktivasi CD8+
mengeluarkan interferon gama. Interferon gama akan meng-
aktivasi makrofag, dan makrofag akan mengeluarkan mediator.
Dan keempat teori patogenesis tersebut tidak satupun yang
dapat menuntaskan pelbagai pertanyaan pada dengue. Oleh ka-
rena itu sekarang ini penelitian ke arah biologi molekuler ter-
hadap virus dengue59 diharapkan dapat membantu memperjelas
patogenesis infeksi dengue.

RINGKASAN
Perubahan patofisiologi pada DHF yang sudah diketahui
antara lain perubahan pada vaskuler, trombosit, koagulasi dan
imunologi. Pada perubahan vaskuler terjadi kerapuhan pembu-
luh darah dan kenaikan permeabilitas kapiler. Trombosit pada
fase awal penyakit akan terjadi gangguan fungsi, kemudian
menyusul trombositopenia, gangguan agregasi, penurunan beta-
thromboglobulin, kenaikan PF4 dan umurnya memendek.
Koagulopati yang terjadi berupa penurunan sejumlah faktor
koagulasi, dan terjadi pula koagulasi intravaskuler. Perubahan
imunologi seluler dan humoral antara lain munculnya leukopenia,
aneosinofilia, limfosit plasma biru, penurunan limfosit –T dan
kenaikan limfosit-B, peningkatan imunoglobulin dan komplek
imun.
Saat ini terdapat banyak teori patogenesis DHF yang me-
nunjukkan belum jelas patogenesis yang sesungguhnya. Paw-
genesis tersebut antara laijn infeksi sekunder yang berturutan
dengan tipe virus yang lain, yang ada hubungannya dengan ADE,
IgM dan makrofag, teori virulensi virus, teori trombosit-endotel,
dan teori mediator. Tidak satupun teori patogenesis itu dapat
menjelaskan terjadinya DI-1F secara tuntas. Diharapkan peneli-
tian biologi molekulerdapat membantu men jelaskan patogenesis
DHF. Kemungkinan besar DHF merupakan penyakit multi-
faktorial.

38 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992 39
Demam Berdarah Dengue berat
dengan konfirmasi virologik
Suglanto D, Tatang K. Samsi
UPF/Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak/Rumah Sakit Sumber Waras
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, Jakarta

PENDAHULUAN sistolik > 80 mmHg dan tekanan nadi > 20 mmHg.


Demam Berdarah Dengue (DBD) berat atau DBD yang di- b) Nadi pada perabaan ada perbaikan dalam keeepatan dan
sertai renjatan masih merupakan salah satu sebab kematian pada isinya.
anak sekalipun penyakit ini sudah dikenal di Indonesia lebih dari c) Kulit tidak dingin dan lembab.
20 tahun( ' . Sampai saat ini, dari sekian banyak faktor yang 2) Renjatan berulang.
mempengaruhi angka kematian ialah kesukaran menduga pen- Renjatan lebih dari satu kali setelah teratasi.
derita DBD mana yang akan mengalami renjatan atau renjatan
Untuk pemeriksaan serologis (H.I. tes, IgM dan IgG Elisa)
berulang dan berakhir dengan kematian. Hal ini disebabkan
dan isolasi virus diambil darah subjek sebanyak 2–5 ml. pada
patogenesis renjatan belum diketahui dengan jelas. Yang banyak
masa akut dan konvalesen. Pemeriksaan ini dilakukan atas kerja
dianut ialah hipotesis Dengue Heterolog Sekunder di samping
sama dengan NAMRU-2.
adanya dugaan virulensi dari virusnva sendiri yang berperan
Uji statistik dilakukan terhadap kadar rata-rata IgM dan
sebagai penyebab renjatan (2) .
IgG dari masing-masing spesimen I, II dan III. Juga terhadap
Diagnosis pasti DBD ialah ditemukannya virus Dengue,
beberapa faktor dalam hubungannya dengan renjatan berulang
partikel virus atau antigen dan respons antibodi penderita. Isolasi
dan prognosis. Metoda yang digunakan ialah uji student-t dan
virus membutuhkan waktu lama dan virus yang dapat diisolasi
Chi kuadrat (X 2) dengan koreksi Yate dengan tingkat kemakna-
hanya beberapa hari dari sakitnya. Oleh karena itu, dalam praktek
an yang diharapkan p < 0,05.
dan laporan-laporan makalah hanya diagnosis klinis dan serolo-
gis yang lebih banyak digunakan o) . HASIL
Untuk mendapatkan gambaran virologis, manifestasi klinis,
Isolasi virus positif didapat sebanyak 45 (10,3%) dari 438
prediksi renjatan berulang dan prognosis yang lebih akurat maka
penderita DBD dengan renjatan. Dari 45 penderita yang diteliti,
dalam makalah ini hanya ditinjau penderita BDB berat dengan
38 (84%) dengan derajat III termasuk di dalamnya 7 (16%)
isolasi virus positif.
penderita yang mengalami renjatan dalam rawat nginap dengan
SUBJEK DAN METODA DBD. Derajat IV sebanyak 7 (16%) penderita (Tabel I).
Subjek ialah penderita DBD derajat III/IV yang dirawat di Umur berkisar antara 2,5 -13 tahun (gam bar 1). Umur rata-
Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Sumber Waras/FK Untar da- rata 8 tahun 2 bulan dengan penderita terbanyak golongan umur
lam kurun waktu 55 bulan (1 September 1987 -31 Maret 1992). 8 – 10 tahun (31%) dan paling sedikit golongan umur 2 -4 tahun
Diagnosis DBD derajat III/IV ditegakkan alas dasar kriteria (11%) dan golongan umur 6 – 8 tahun (11%).
WHO 1986, konfirmasi serologis (H.I. test, IgM dan IgG Elisa) Jenis kelamin penderita terdiri atas 23 (51%) anak perem-
dan isolasi virus (2.4) . puan dan 22 (49%) anak laki dengan rasio anak perempuan dan
Kriteria yang digunakan untuk : laki 1,04 : 1.
1) Renjatan teratasi. Gejala klinis terlihat pada Tabel H; demam merupakan
a) Kenaikan tekanan sistolik dan diastolik, dengan tekanan gejala utama pada semua penderita DBD berat dengan nilai rata-

40 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


Tabel IV. Interpretasi tes HI penderita DBD berat dengan konfirmasi
virologis menurut WHO 1975 dan 1986
Tabel II. Gejala klinis DBD berat dengan konfirmasi virologis

Kadar rata-rata IgM dan IgG dari spesimen I, II dan Ill


terlihat pada tabel V. Nilai rata-rata IgM dan IgG dari spesimen
I tidak menunjukkan perbedaan bermakna. Perbedaan bermakna
Tabel V. Kadar rata-rata immunoglobulin M dan G penderita DBD berat
dengan konfirmasi virologis

rata suhu tubuh pada saat renjatan 37,7° ± 1 °C. Lama demam di
rumah sampai timbul renjatan berkisar antara 2 — 7 hari dengan
nilai rata-rata 5 ± 1 hari. 86% penderita sudah menderita demam
di rumah selama 3 — 5 hari (Gambar 2). Gejala klinis lain yang
menonjol ialah muntah, nyeri abdomen dan hepatomegali, me-
liputi lebih dari 60%.
Pemeriksaan laboratorium darah sederhana pada saat renjat-
an terlihat pada tabel III. Didapat hemokonsentrasi (nilai rata- baru terlihat pada masa konvalesen yaitu spesimen II dan III.
rata Hb 13,0± 1,6 dan Ht 41 ± 6,1), trombositopeni (nilai rata-rata Hubungan isolasi virus dan scat renjatan terlihat pada gambar 3.
trombosit 96.000 ± 86.000) dan lekopeni (nilai rata-rata lekosit Isolasi virus dari saat renjatan sampai 2 hari sesudah renjatan
4600 ± 2700). didapat 80% dengan frekuensi terbanyak satu hari sesudah renjat-
Pemeriksaan serologis untuk tes HI, hanya 35 penderita an sebanyak 44%.
yang dapat dinilai. Interpretasi menurut WHO 1975 maupun Serotipe virus Dengue terbanyak Dengue 3, sejumlah 71%
WHO 1986 menunjukkan bahwa infeksi primer lebih banyak dan paling sedikit Dengue 4 hanya 5%. Jumlah penderita yang
daripada sekunder (tabel IV). meninggal karena Dengue 1 sejumlah 25% dan Dengue 3, 75%.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992 41


PEMBAHASAN
Bukti-bukti yang mendukung hipotesis Dengue heterolog
sekunder ialah menghilangnya virus Dengue dengan cepat baik
dari darah maupun jaringan tubuh, kadar immunoglobulin G
yang tinggi dari permulaan sakit dan menurunnya kadar komple-
men serum selama fase renjatan( 3).
Viremia Dengue merupakan kejadian sesaat (self-limited).
Umumnya virus yang berhasil diisolasi dari penderita DBD
berkisar 10 – 20%( 2.5,6) . Dari hasil penelitian didapat 10,3% kasus
DBD dengan renjatan yang mempunyai virus positif. Hal ini
Kalau ditinjau persentase dari masing-masing virusnya (fatality telah dilaporkan oleh Sumanmo (1983) yaitu pada kasus DBD
rate) untuk Dengue 1 dan 3 sejumlah 20% dan 9%. Secara berat yang meninggal masih dapat diisolasi virusnya ('). Lamanya
statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna (Tabel VI). viremia dapat berlangsung sampai hari ke-8 dari demam("). Ka-
Faktor-faktor yang mempengaruhi renjatan berulang dan lau ditinjau dari saatrenjatan, viremia masih berlangsung sampai
prognosis terlihat pada Tabel VII. Dari sekian banyak faktor 2 hari sesudah renjatan dan meliputi 80% 'kasus (gambar 3).
yang menunjukkan perbedaan bermakna hanya melena sedang- Serotipe virus yang predominan ialah Dengue 3 dan bila di-
kan untuk prognosis ialah teratasi tidaknya renjatan dalam 1– 2 hubungkan dengan kasus fatal tidak menunjukkan perbedaan
jam dan renjatan berulang (Tabel VIII). bermakna dengan virus Dengue 1.
Kadar immunoglobulin M dan G dari spesimen I (fase akut)
secara statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna. Hal ini
tidak sesuai dengan teori infeksi sekunder yang mana kadar IgG
tinggi sejak permulaan sakit. Dari hasil tes HI baik menurut
kriteria WHO 1975 maupun WHO 1986 didapat respon primer
lebih banyak dari pada sekunder dengan titer spesimen pertama
< 320 yang meliputi 90% kasus.
Dengan adanya viremia dari saat renjatan, kadar immuno-
globulin G yang hampir tidak berbeda dengan immunoglobulin
M, dan tes HI menunjukkan respon primer yang lebih banyak,
maka dari hasil penelitian ini lebih menyokong ke arah infeksi
k
primer.
udkialn Hal ini sesuai dengan penelitian yang sudah
9,1m
oleh Rosen (1976) dan Scott (1976)(
Mengenai gejala klinis, demam tetap merupakan gejala
utama. Demam hari ke-2 dan ke-7 walaupun frekuensinya kecil
(14%) tetap harus diwaspadai. Gejala lain yang menonjol –
muntah dan nyeri abdomen harus mendapat perhatian karena
kedua gejala ini tidak termasuk dalam kriteria WHO. Trombo-
sitopeni dan hemokonsentrasi pada penelitian ini didapat sekitar
50% – 60% sesuai dengan peneliti-peneliti sebelumnya l.12.13)
Tes turniket yang dianggap sebagai gejala penting pada pasien
DBD meliputi sekitar 50% – 70% kasus, namun dari hasil
penelitian ini hanya didapat 33% karena penderita sudah jatuh
dalam renjatan.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah sederhana di-
dapat nilai rata-rata saat renjatan; Hb 13 g%, Ht > 40% dan
trombosit sekitar 100.000/mm3 . Nilai ini tidak jauh berbeda

42 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992


dengan penelitian sebelumnya( 14)
Pada penelitian ini dari sekian banyak faktor yang mem-
punyai hubungan dengan renjatan berulang hanya gejala melena.
Gejala ini penting karena dengan adanya gejala ini segera diper-
siapkan darah segar sehingga bila dijumpai renjatan berulang dan
gejala perdarahan lainnya dapat langsung dilakukan tranfusi
darah. MenurutFunahara (1990), 6 dari 8 kasus renjatan berulang
terjadi karena lekositosis hingga diduga yang berperan sebagai
pencetus renjatan berulang ialah infeksi bakteri( m . Pada peneli-
tian ini lekositosis hanya dijumpai 3 kasus dan satu kasus yang
mengalami renjatan berulang. Secara statistik tidak menunjuk-
kan perbedaan bermakna (Tabel VII). Faktor-faktor yang ber-
pengaruh buruk terhadap prognosis ialah renjatan berulang dan
gagalnya mengatasi renjatan dalam 1 – 2 jam pertama. Hal ini
sesuai dengan penelitian sebelumnya"

KESIMPULAN
1. Infeksi primer lebih berperan pada DBD berat.
2. Gejala melena mempunyai hubungan erat dengan renjatan
berulang.
3. Gagalnya mengatasi renjatan dalam 1– 2 jam pertama dan
renjatan berulang memperburuk prognosis.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992 43


Problematik diagnosis
Demam Berdarah Dengue
Tatang Kustiman Sams!, Indra Susanto, Hansa Wulur, Trl Ruspandjl
UPF/Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak, Rumah Sakit Sumber Waras
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, Jakarta

PENDAHULUAN dipasarkan pemeriksaan yang dikatakan sederhana, eepat dan


Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit sensitif yaitu tesDengue Blot(" ). Tes inipun kurang sensitif untuk
endemis, timbul sepanjang tahun dengan ledakan epidemi hebat infeksi primer dan dianjurkan untuk dilakukan gabungan dengan
setiap 5 tahun. Angka kejadian penyakit DBD masih cenderung pemeriksaan IgM pada penderita dengan Dengue Blot negatif 122 .
meningkat dari tahun ke tahun sebaliknya angka kematian telah Harus pula diingat kemungkinan reaksi positif palsu untuk daerah
menurun sejak tahun delapan puluhan, alcan tetapi angka ke- endemis DBD, karena kadar IgG masih tetap tinggi (13) .
matian DBD berat/DSS masih tetap tinggi. Meskipun penyakit Dengan demikian diagnosis kerja/klinis DBD masih harus
DBD bersifat sembuh sendiri (self limiting disease) akan tetapi bertumpu pada pengamatan klinis dan jangan semata-mata di-
perjalanan penyakitnya sukar diramalkan sehingga pengamatan tentukan dari hasil pemeriksaan serologik seperti apa yang mulai
klinik yang jeli mutlak diperlukan untuk mengenal seeara dini eenderung terjadi dewasa ini.
penyakit ini. Makalah ini membahas problema yang dihadapi dalam
Pedoman yang dianjurkan/dipakai untuk menegakkan menegakkan diagnosis klinis DBD serta sikap dan tindakan
diagnosis klinis DBD ialah patokan yang disusun oleh WHO dalam menghadapi penderita tersangka DBD.
1986o ). Patokan tersebut meliputi 4 gejala klinik yaitu demam
tinggi, manifestasi perdarahan baik perdarahan spontan maupun
SUBJEK DAN METODA
tes turniket positif, hepatomegali dan renjatan serta 2 pemeriksa-
an laboratorium yaitu adanya trombositopeni dan hemokonsen- Cara kerja
trasi. Dalam pengalaman klinik ternyata tidak semua kriteria Pada semua penderita tersangka DBD (demam dengan per-
dapat dipenuhi terutama hemokonsentrasi berdasarkan definisi- darahan spontan atau tes turniket positif dirawat di UPF IKA RS
nya baru dapat dinilai setelah penderita sembuh. Dewasa ini Sumber Waras dalam kurun waktu Februari 1988–April 1988,
dilaporkan pula manifestasi langka/tidak lazim DBD dan dilakukan pemeriksaan titer Hemaglutinasi Inhibisi (HI), Elisa
(2.3.4.5A

tidak jarang trombositopeni baru terjadi seminggu setelah sakit. IgM dan IgG serta isolasi virus.
Diagnosis pasti DBD ditegakkan dengan pemeriksaan Pemeriksaan TT dikerjakan sesuai dengan eara yang di-
Hemaglutinasi Inhibisi (HI) akan tetapi diperlukan sampel darah anjurkan WHO (1986) dan untuk menghitung jumlah petekia
ganda akut dan konvalesen. Kadar IgM dapat pul a dipakai untuk dipergunakan lembar plastik transparan yang telah digambari
menegakkan diagnosis pasti dan hasilnya dapat diperoleh dalam kotak berukuran 1 inch 2 (2,8 cm x 2,8 cm). Jumlah petekia
waktu lebih singkat. Pengamatan terdahulu(') menunjukkan dihitung di daerah voler di mana terdapat petekia terpadat.
bahwa pemeriksaan IgM dari darah akut hanya positif pada 20% Data pribadi, keluhan, pemeriksaan fisik dan laboratorium
penderita, kenaikan titer IgM dan IgG baru terjadi pada hari ke 4 serta pemeriksaan harian selama dirawat dicatat.
sakit dan untuk memperoleh hasil yang baik diperlukan pula pe- Pemeriksaan darah rutin, urine rutin dan tinja rutin diker-
meriksaan darah konvalesen. Pemeriksaan li;nfosit plasma biru jakan pada saat masuk dirawat. Pemeriksaan hemoglobin, hema-
dikemukakan pula sebagai alat bantu diagnostik akan tetapi tokrit dan trombosit dikerjakan setiap 12 jam dan kalau perlu
bermanfaat terutama pada reaksi sekunder' g • • 10 )• Dewasa ini telah
8
lebih sering.

44 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


Pemeriksaan serologik dikerjakan terhadap darah akut pada Tabel 1. Data Umum Penderita DBD dengan Kontirmasi Virologis dan
Kontrol
saat masuk rawat inap (sampel darah I), pada saat dipulangkan
dari rumah sakit (sampel darah II) dan setelah 1 minggu pulang Kelompok DBD Kontrol
Data N Keterangan
(sampel darah III). Pemeriksaan serologik meliputi HI dan Elisa 99 55
IgM/IgG dan dikerjakan pula terhadap Chikungunya dan Japa-
Umur Mean 7,89 6,55 t=0
nese B encephalitis. Titer HI diukur dengan modifikasi metoda (tahun) SD 3,72 3,32 p > 0,05
Clarke
t13
dan Cassalso2 dan Elisa IgM/IgG menurut metoda Innis, Lama sakit Mean 3,30 3,73 t = -0.327
dkk ) (hari) SD 1,66 2,19 p>0.05
Isolasi virus diupayakan dari darah akut semua penderita Suhu tubuh Mean 38,3 37,98 t = 0.327
(Celsius) SD 1,04 0,95 p > 0,05
dan dibiakkan pada Toxorrhinchytes splendens dewasa dan biak-
an jaringan TRA-284 (T. amboinensis).
Pemeriksaan serologik dan isolasi virus dikerjakan oleh Tabet 2. Dtstribusi Umur Subjek dan Kontrol
Namru-2 di Jakarta. Kontrol
DBD
Subjek n % n %
Subjek penelitian ialah penderita DBD dengan konfirmasi < 5 tahun 13 13,54 14 26,42
virologis. 5-9 tahun 53 55,21 30 56,60
> 10 tahun 30 31,25 9 16,98
Kontrol
Kelompok kontrol terdiri dari penderita dengan : Jumlah 96 100,00 53 100,00
1. Titer HI akut dan konvalesen (jarak 7 hari) negatif.
2. IgM dan IgG Elisa negatif. Tabel 3. Gejala Perdarahan dan Keluhan Nyeri Perut pada Subjek dan
3. Isolasi virus Dengue negatif. Kontrol
4. Tidak terdapat lekositosis. Kelompok DBD Kontrol
Analisis Gejala (N=96) (N=53)

Analisis dilakukan terhadap hemokonsentrasi dan trombo- Jumlah % Jumlah %


sitopeni yang termasuk dalam kriteria diagnosis klinik DBD Tes tumiket (+) 84 87,50 46 86,79
WHO 1986. Perdarahan spontan 57 59,38 33 62,26
Hemokonsentrasi dinyatakan dalam % dan dihitung dari Nyeri penn 51/83 61,45 19/39 48,72
hematokrit (Ht) paling tinggi selama dirawat dikurangi Ht pada
hari terakhir sebelum dipulangkan (konvalesen) dibagi dengan Tabel 4. Manlfestasi Perdarahan pada Subjek dan Kontrol
Ht masa konvalesen.
Sub jek Kontrol
Jumlah trombosit dalam analisis diambil jumlah trombosit Jails perdarahan
terendah selama penderita dirawat. N % N %
Perhitungan statistik dilakukan dengan komputer dan pi- Perdarahan kulit 10 13,33 1 1,47
ranti lunak SPSS-PC +, versi 3. Epistaksis 19 25,33 16 23,53
Perdarahan gusi 2 2,67 4 5,88
Hematemesis 7 9,33 1 1,47
HASIL
Melena 7 9,33 2 2,94
Penderita yang memenuhi kriteria sebagai subjek penelitian Epistaksis dan per- 1 1,33 1 1,47
berjumlah 99 anak, akan tetapi 3 anak tidak mempunyai data darahan gusi
klinik yang lengkap sehingga hanya 96 penderita yang diikut- Epistaksis dan hema- 5 6,67 1 1,47
temesis
sertakan dalam analisis penelitian. Kelompok kontrol terdiri dari
Epistaksis dan melena 0 0,00 1 1,47
53 penderita. Melena dan hems- 1 1,33 0 0,00
Data umum kedua kelompok tercantum dalam Tabel 1, 2 temesis
dan 3. Manifestasi perdarahan tercantum dalam Tabel 4. Tidak Hematemesis dan per- 1 1,33 0 0,00
darahan kulit
terdapat perbedaan yang bermakna dalam umur, lamanya sakit
Epistaksis, melena dan 1 1,33 0 0,00
sebelum dirawat dan suhu tubuh saat dirawat. hematozichia
Nilai trombosit dan besarnya hemokonsentrasi pada subjek Melena, hematozichia, 1 1,33 5 7,35
dan kontrol terlihat pada Tabel 5, 6, 7 dan 8. Pada tabel tersebut dan perdarahan kulit
Epistakais, melena dan 1 1,33 0 0,00
tedihat bahwa hemokonsentrasi lebih banyak pada subjek di-
hematemesis
bandingkan dengan kontrol (p < 0,05), begitu pula trombosi- Melena, hematozichia, 1 1,33 0 0,00
topeni lebih banyak pada kelompok subjek dibandingkan dengan hematoma, perdarahan
kontrol (p < 0,01). Nilai rata-rata hematokrit (Ht) menurut ke- gusi
Hematochizia 0 0,00 1 3,03
naikan hemokonsentrasi pada subjek dan rata-rata Ht kelompok
kontrol terlihat pada Tabel 9. Dan Label ini ttarlihat bahwa nilai Jumlah 57 33

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992 45


Tabd 5. Hubungan Hanokonsentrasi dengan Jumlah Trombodt pada Ht rata-rata subjek dengan hemokonsprltrasi < 10% tidak berbeda
Kelompok Subjek dengan nilai rata-rata kelompok kontl(p > 0,05). Hubupgan
Hemokonsentrad < 50.000 - 100.000 - > nilai Ht dan jumlah trombosit pada subjek dan kelompok kontrol
50.000 100.000 150.000 150.000 Jambth
(%) terlihat pada Tabel 10 dan 11. Sensitivitas dan spesifitas
> 20% 17 4 1 8 30 hemokonsentrasi 20%, Ht ? 40% dan trombosit S 100.000/uL
10%-19,9% 6 5 2 8 21 terlihat pada Tabel 12, 13 dan 14. Terlihat bahwa ketiganya
< 10% 6 3 6 30 45 mempunyai nilai sensitivitas rendah dengan spesifitas tinggi.
Jumlah 29 12 9 46 96 Perhitungan sensitivitas dan spesifitas kombinasi hemokonsen-
trasi 2 20% dan trombosit S 100.000/uL seperti kriteria WHO
ternyata menunjukkan sensitivitas yang lebih rendah dan spesi-
Tibet 6. Hubungan
pada Hemokonsentrasl dengan Jumlah Trombosit fitas yang lebih tinggi (Tabel 15). Begitu pula halnya dengan
Kelompok Kontrd
kombinasi Ht >_ 40% dan trombosit 100.000/uL (Tabel 16).
Hemokonsentrad 50.000 - 100.000 - >
< 50.000 150.000 Jumlah Tabel 10. Hubungan Hematokrlt dengan Jumlah Trombosit pada Ke-
(%) 100.000 150.000
lompok Subjek
>20% 0 1 0 5 6
10%-19,9% 1 0 0 12 13 Jumlah trombosit
< 10% 0 0 8 26 34 Hematokrlt -
50.000 - 100.000 - > Jumlah
(%) < 50.000 150.000
Jumlah 1 1 8 43 53 100.000 150.000

a 40 16 7 4 17 44
Perbandingan Kenalkan Hematokrlt pada Subjek dan Kontrol < 40 13 5 5 29 52
Tabel 7.
Subjek Kontrol Jumlah Jumlah 29 12 9 46 96
Kenaikan Ht -
■ % n % n %
Tabel 11. Hubungan Hematokrlt dengan Jumlah Trombosit pada Ke-
> 20% 30 31,25 5 8,62 35 23,49 lompok Kestrel
10%-19,9% 21 21,88 13 24,53 34 22,82
< 10% 45 46,88 34 64,15 79 53,02 Jumlah trombosit
Hematokrlt -
Jumlah 96 100,00 53 100,00 149 100,00 50.000 - 100.000 - > Jumlah
(%) < 50.000 150.000
100.000 150.000
Keterangan : X2 = 8.946
p < 0,05 a 40 0 0 1 12 13
< 40 1 1 7 31 40
Tabel S. Perbandingan Jumlah Trombodt pada Subjek dan Kontrol Jumlah 1 1 8 43 53
Trotabodt Subjek Kestrel Jumlah
(1000/uL) -
n % a % a % Tabel 12. Sensitivitas dan Spesifisitas Hemokonsentrasi a 20% pada DBD
<50 29 30,21 1 1,89 30 20,13 DBD Kontrol Jumlah
50 -100 12 12,50 1 1,89 13 8,72
Hemokonsentmsi a 20% 30 6 36
100-150 9 9,38 8 15,09 17 11,41
Hemokonsentrasi < 20% 66 47 113
> 150 46 47,92 43 90,57 89 59,73
Jumlah 96 53 149
Jumlah 96 100,00 53 100,00 149 100,00
Sensitivitas 31,25%
Keterangan : x2 = 25298 Spesifisitas 88,68%
p < 0,01 Positive predictive value 83,33%
Negative predictive value 58,41%
Tabd 9. Hubungan Hemokonsentrad dengan Ntlal Rata-rata Hematokrlt Accuracy 51,68%
pada Kdampok DBD dan Kontrol
Hemokonsentrad Nllal hematokrit Tabel 13. Sensitivltas dan Spesifisitas Hematokrlt a 40% pada DBD
Jumlah
(keaalkaa Ht) Mean SD DBD Kontrol Jumlah
> 20% 29 46,7 4,4 Ht 240% 47 13 60
> 10% 54 41,1 4,7 Ht < 40% 49 40 89
< 10% 45 36,9 5,3 t = 4.177 P < 0,01
Kontrd 53 37,1 3,4 t = 0.226 p > 0,05 Jumlah 96 53 149

Sensitivitse 48,96%
Ht rata-rata pada hemokonsentrasi z 20% dan hemokonsentrasi Spesifisitas 75,47%
2 10% tidak berbeda (p > 0,05). Nilai Ht rata-rata penderita Positive predictive value 78,33%
Negative predictive value 55,06%
dengan hemokonsentrasi  10% berbeda secara bermakna Accuracy 58,39%
dengan kelompok hemokonsentrasi < 10% (p < 0,01) dan nilai

46 Cent:id Duna Kedokteran Ed/xi K1:tasus No. 81,1992


Tabel 14. Sensitivitas dan Spesiflsitas Trombosit 5100.000 (trombositopeni dan hemokonsentrasi).
Pada pengamatan selama ini terlihat kecenderungan pre-
valensi hemokonsentrasi (>— 20%) menurun pada tahun-tahun
terakhir ini dari sekitar 50%an pada tahun delapan puluhan
menjadi sekitar 20% saja. Begitu pula dengan jumlah trombosit
5 100.000/uL
4.is.i6.n
hanya ditemukan pada sekitar 50% pende-
rita Perubahan ini mungkin disebabkan perjalanan
alamiah penyakit DBD dihambat dengan pemberian pengobatan
secara dini sehingga gambaran penyakit dan gangguan labora-
torium tidak khas seperti dalam tahun-tahun pertama ditemu-
kannya DBD.
Tabel 1S. Sensitivitas dan Spesifisitas Hemokonsentrasi 2 20% dan Trom-
bosit < 100.000 pada DBD Hemokonsentrasi dan trombositopeni
Mengingat angka kematian DBD secara keseluruhan telah
menurun di bawah 2% sejak tahun delapan puluhan (Gambar 1)
sedangkan angka kematian DSS masih cukup tinggi maka
pendekatan skrening dapat dibagi dalam 2 tahapan yaitu ta4ap
pertama untuk menyeleksi penderita tersangka DBD yang dapat
dimonitor secara rawat jalan dan kedua skrening bagi penderita
yang perlu diawasi secara rawat inv.
Untuk tujuan pertama diperlukan alat ukur dengan sensiti-
vitas tinggi dengan maksud menjaring sebanyak mungkin pen-
derita DBD dan untuk tujuan ke dua diperlukan alat ukur dengan
spesifitas tinggi dengan maksud sebanyak mungkin menying-
Tabel 16. Sensitivitasdan Spesifisitas Hematokrit 240% dan Trombosit kirkan penderita bukan DBD. Hal ini menjadi lebih, penting
< 100.000
dengan kenyataan bahwa sampai saat ini belum ditemukan
mediator yang dapat dipakai untuk meramal kapan penderita
akan jatuh ke DSS. Tumor necrotic factor (TNF) yang ditemukap
pada renjatan septik/endotoksik diharapkan dapat dipakai se-
bagai salah satu petunjuk, akan tetapi tidak ditemukan pada
penderita DBD maupun DSS yang dirawat di UPF IKA RS
S umber Waras (data belum dipublikasi).
Bila patokan hemokonsentrasi dan trombositopeni menurut
kriteria WHO 1986, dipakai secara murni makabanyak penderita
DBD yang tidak terjaring dan luput dari pengawasan. Hal ini
terlihat pada sensitivitas yang rendah berjumlah 21,2% dengan
spesifitas yang tinggi sebesar 98,18% (Tabel 5).
PEMBICARAAN Dalam kenyataannya di klinik tidak mungkin mengukur
Kriteria klinik diagnosis DBD yang dikemukakan WHO kenaikan hemokonsentrasi pada saat penderita pertama kali
telah dipakai sebagai patokan dalam menentukan diagnosis DBD datang sehingga nilai hematokritlah yang dapat dipakai sebagai
untuk waktu lebih dari 25 tahun. pegangan. Pengamatan pada 47 penderita DBD berat/DSS de-
Kriteria diagnosis klinik WHO tersebut(') meliputi : ngan konfirmasi virologis' menunjukkan bahwa nilai rata-rata
Klinis : hematokrit 41 ± 6,1% dan trombosit 96.000± 86.000/uL. Dalam
1. Papas tinggi 2—7 hari tanpa sebab yang jelas. pengamatan pada tahun 1985( 2 ') terlihat pada DBD 1—II dan DSS
2. Adanya manifestasi perdarahan termasuk TT postal. nilai Ht rata-rata > 40%, jumlah trombosit pada DBD I—II
3. Hepatomegali. 127.000 ± 85.000/uL dan pada DSS 80.000 ± 85.000/uL. Kedua
4. Disertai atau tanpa kegagalan sirkulasi perifer sampai data tersebut sejalan dengan pengamatan pada penelitian ini
renjatan. yaitu nilai rata-rata hematokrit 2 40% pada penderita dengan
Laboratorium : hemokonsentrasi ?.10%, sehingga untuk pegangan diambil nilai
1. Hemokonsentrasi (kenaikan Ht 20% pada masa akut Ht 40% dan diperhatikan kenaikannya selama pengawasan.
dibandingkan dengan masa konvalesent). Dengan mengambil nilai Ht ? 40% sebagai patokan, maka
2. Trombositopeni (<_ 100.000/uL). sensitivitas dan spesivitasnya berturut-turut berjumlah 48,96%
Menurut pedoman tersebut diagnosis Minis DBD dapat dan 75,47% (Tabel 13).
ditegakkan bila ditemukan adanya panas dan manifestasi perda- Dalam pertemuan Kelompok Kerja (Pokja) DBD di Ciloto
rahan disertai dengan kelainan kedua pemeriksaan laboratorium tahun 1991( 22) disepakati jumlah trombosit 150.000/uL sebagai

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992 47


keluhan demam berdarah hanya disertai dengan salah satu kri-
teria laboratorium saja atau tidak sama sekali, kadang-kadang
tanpa manifestasi perdarahan yang nyata tapi disertai Ht tinggi
dan trombosit cenderung menurun. Untuk kasus yang meragu-
kan ini dilakukan pemeriksaan pencitraan radiologis atau USG.
Peneitraan USG pada anak lebih disukai dengan pertimbangan
mudah dan yang penting tidak menggunakan sistim peng-ion
(sinar X). Adanya aseites dan cairan plewa pada pemeriksaan
USG sangat membantu dalam penatalaksanaan DBIX23•2i11.
Sikap dan tindakan
Beberapa keadaan yang tidak termasuk dalam kriteria
WHO 1986, perlu diperhatikan dalam mempertimbangkan sikap
terhadap penderita tersangka DBD, yaitu :
Lekosit
batas trombositopeni. Dengan demikian untuk pegangan dipakai Pada penelitian ini jumlah lekosit pada kelompok subjek
parameter hematokrit (Ht) dan trombositopeni. Pada kombinasi dalam batas normal. Pengamatan pada penderita DBD berat/DSS
Ht 40% atau trombosit <_ 150.000/uL terlihat sensitivitas dengan konfirmasi virologik juutlah lekosit berkisar antara
69,79%, spesifisitas 58,49% dan positive predictive value 1.500-12.500, rata-rata 4.600 ± 2.700/uL( 20 . I lalam pedoman
75,28% (Tabel 17), sehingga memadai untuk dipakai sebagai WHO dikemukakan jumlah lekositbervariasi dari lekopeni sampai
lekositosis ringan dan tidak jarang didapatkan limfositosis de-
pegangan dalam menentukan penderita yang dapat diawasi se-
ngan limfosit atipik (plasma biru). Pengamatan pada anak sehat
cara rawat jalan.
dan menderita DBD di UPF IKA RS Sumber Waras menunjuk-
Tabel 17. Sensitivitas dan Spesifisitas Hematokrit 240% atau Trombosit kan bahwa pada penderita DBD terjadi penurunan jumlah limfosit
5150.000/uL
T terutama T4 pada masa akut dan 3 minggu setelah sakit,
DBD Kontrol Jumlah sedangkan jumlah limfosit B tetap m ). Dalam pedoman WHO
Ht 2 40% dan Trombo 5150.000 67 22 89 jumlah lekosit perlu diperiksa bersama hitung jenis dalam seleksi
Ht < 40% dan Trombo > 100.500 29 31 60 penderita DBD untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi
Jumlah 96 53 149 bakteri.
Sensitivitas 69,79%
Spesifisitas 58,49%
Positive predictive value 75,28% Nyeri perut
Negative predictive value 48,33% Keluhan nyeri perut (epigastrik) tidak termasuk dalam salah
Accuracy 65,77% satu kriteria diagnosis klinis DBD dari WHO, akan perlu diper-
Prevalence 64,43%
hatikan karena adanya hubungan antara nyeri perut dengan
manifestasi
t7 9 lebih berat terutama pada anak di atas umur 5
Untuk menentukan kapan penderita harus diawasi seeara tahun( " )
rawat inap diperlukan tes dengan spesifisitas tinggi agar tidak Keluhan nyeri perut pada penelitian ini berjumlah 61,45%
terjadi overdiagnosis dan rawat inap berlebihan/tidak diperlu- dan seeara bermakna lebih banyak pada penderita yang disertai
kan. Sensitivitas dan spesifisitas kombinasi hemokonsentrasi keluhan/gejala perdarahan, Keluhan ini dalam dua dekade ini
t16.t7 8.19
20% dan trombosit 5100.000/uL sertakombinasi Ht40% dan eenderung meningkat " ) oleh karena itu perlu diperhatikan
trombosit <_ 100.000/uL relatif hampir sama. Kombinasi Ht Z dalam menentukan sikap terhadap penderita tersangka DBD.
40% dan trombosit 5 100.000/uL mempunyai nilai sensitivitas Umur
23,96%, spesifisitas 100,00% dan negative predictrive value t21
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa umur < 5 tahun
57,94%, dengan demikian dapat dipakai sebagai indikasi untuk cenderung menderita penyakit yang lebih berat. Faktor ini perlu
rawat imp.
dipertimbangkan dalam menentukan sikap dan tindakan ter-
Sebagai catatan, pada penderita anemi mungkin nilai Ht hadap penderita tersangka DBD.
jauh di bawah 40%, dan bila dieurigai menderita DBD sebaiknya
Tempat tinggal
dilihat sediaan darah tepi untuk melihat adanya tanda anemi.
Dalam keadaan tertentu perlu dipertimbangkan apakah
Rawat inap penderita dapat segera dibawa ke rumah sakit atau tidak. Pertim-
Kesulitan dalam menentukan diagnosis tidak hanya timbul bangan ini tidak hanya dari jaraknya/jauhnya saja akan tetapi
pada penderitarawat jalan akan tetapi tidak jarang di j umpai pada termasuk juga sarana transportasi untuk membawa penderita ke
penderita rawat inap terutama yang berat di mana harus diten- sarana kesehatan yang diperlukan.
tukan apakah penderita diobati sebagai DBD berat/DSS atau Juga perlu diperhatikan apakah tempat tinggal penderita
penyakit infeksi lain. Tidak jarang penderita dirawat dengan merupakan daerah "Kantung DBD".

48 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992


Epidemi/kejadian luar biasa Symposium on Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever, Bangkok, 1991.
Ada tidaknya kejadian luar biasa pada saat penderita ter- 4. Usa Thisyakul, Chule Thisyakul, Chule Mitrakul, Saowanee Chun-
sangka DBD dapat memperkuat dugaan dan membantu me- dermpadetsuk. Dengue infection with unusual manifestations. Diajukan
pada International Symposium on Dengue and DHF, Bangkok, 1990.
nentukan apakah penderita perlu diawasi seeara rawat inap atau 5. D Sugianto, Melani Setiawan. Distensi abdomen pada penderita DBD.
rawat jalan. Diajukan pada Konika VIII, Ujungpandang, 1990.
Dengan demikian pedoman dalam menentukan sikap dan 6. Tatang K Samsi, H Wulur, Sugianto D, Melani Setiawan, GB Jenning.
tindakan pada penderita tersangka DBD terdiri dari : Dengue Hemorrhagic Fever with unusual manifestation in Sumber Waras
Hospital. Diajukan pada 7th Asian Congress of Pediatrics, Perth, 1991.
1) Kriteria diagnosis klinis WHO (1986). 7. TK Samsi, H Wulur, Sugianto D, CR Bartz Serum IgM in virologically
2) Nilai Ht >_ 40% atau trombosit 150.000/uL sebagai patokan confirmed Dengue Haemorrhagic Fever. Diajukan pada 19th International
rawat jalan. Congress of Pediatrics, Paris, July 1989.
3) Nilai Ht ? 40% dan trombosit 100.000/uL sebagai patokan 8. Sutaryo, Suhadi, Harun Al Rasyid. Limfosit plasma bin' pada DHF.
Diajukan di Konika IV, Yogyakarta, 1978.
bagi rawat inap. 9. Vinai Suvate, Malee Longsaman. Diagnostic value of huffy coat prepara-
4) Anak berumur 5 tahun cenderung menderita penyakit tion in DHF, Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1979; 10: 1.
lebih berat. 10. Usa Thisyakul, Suchitra Nimmanitya, Vander Ninsanond, Suphan Soo-
5) Keluhan nyeri perut berkaitan dengan kemungkinan ma- garun. Atypical lumphocyte in Dengue Hemorrhagic Fever: its value in
diagnosis. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1984; 15: 1.
nifestasi lebih berat OF Lai, YC Chan, BL Ngoh, HC Tan. Evaluation of a commercial enzyme
11.
6) Diperhatikan adakah epidemi pada saat itu dan apakah immunoassay (Dengue Blot) for the diagnosis of Dengue virus infection.
daerah tempat tinggal merupakan "Kantung DBD". Diajukan pada International Symposium on Dengue and Dengue He-
morrhagic Fever, Bangkok, 1991.
7) Pengertian dan kerja sama orang tua penderita serta mu-
12. YC Chan, BL Ngoh, HC Tan, CLK Seah. Dengue Diagnosis by Dengue
dahnya penderita segera datang ke rumah sakit bila keadaan Blot and IgM Elias: A comparative study. Diajukan pada Seminar Demam
memaksa. Berdarah Dengue, Jakarta, 1991.
Penatalaksanaan dan sikap terhadap penderita tersangka 13. Tatang K Samsi, Hansa Wulur, Sugianto Djoharman, May C Chu, GB
Jennings. Tes dengue blot pada anak yang pemah menderita Demam
DBD terlihat dalamflow chart (Gambar 2). Berdarah Dengue, Medika.
14. Clarke DH, Casals J. Techniques for hemagglutination and hetnagglutina-
KESIMPULAN tion-inhibition with arthropod borne viruses, Am J Trap Med 1958; 7:
1. Patokan klinis WHO dewasa ini tidak dapat seeara murni 561—573.
15. Innis BL, et al. An enzyme linked immunosirbent assay to characterize
diterapkan dalam menegakkan diagnosis klinis DBD. dengue infection where dengue and Japanese encephalitis co-circulate, Am
2. Prevalensihemokonsentrasi20%dantrombosit100.000/ J Trop Med Hyg 1989; 40: 418-427.
uL eenderung menurun dalam dua dekade sehingga perlu diper- 16. H. Sidharta, H. Wulur, Melani Setiawan, Jani Simkoputra, J. Kartika,
timbangkan untuk modifikasi dalam pemakaian di lapangan. Tatang KS. Kasus demam berdarah dengue selama 20 'shun di RS Sumber
Warn. Presented at Symposium Dwi Dasawarsa BIKA RSSW, Jakarta,
3. Nampaknya kombinasi Ht 40% dan trombosit <_ 100.000/ December 11 -12, 1987.
uL dapat dipakai sebagai indikasi rawat inap dan kombinasi Ht 17. Sumarmo, Indra Rumadji, Sri Rezeki Harun, Muslim A. Nathin. Peng-
40% atau trombosit 150.000/uL sebagai indikasi pengawasan amatan klinis penderita demam berdarah dengue yang dirawat di Unit
rawat jalan. Kesehatan Anak RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (1975 — 1986).
Presented at Symposium Dwi Dasawarsa BIKA RSSW, Jakarta, December
4. Pencitraan USG untuk meneari eairan di rongga perut dan 11—12,1987.
pleura sangatbermanfaat sebagai alat bantu diagnosis pada kasus 18. Tatang Kustiman Samsi, Hansa Wulur. Clinical aspects and management
DBD yang tidak khas di samping keuntungan tidak mengguna- pof
ad Dengue Hemorrhagic Fever in Sumber Warts Hospital. Diajukan
kan sistim peng-ion. Symposium on Tropical Medicine and Parasitology, Universitas Taruma-
nagara, Jakarta, 1984.
19. Muslim A Tahin, Sri Rezeki Harun. Penatalaksanaan DBD pada Anak.
UCAPAN TERIMA KASIH Diajukan pada Seminar Nasional DBD, Jakarta, 1991.
Penulismengucapkan terima kasih kepadaNAMRU-2 Jakarta dan stafalas 20. Sugianto D, Tatang K Samsi. Demam Berdarah Dengue beret dengan
bantam clan kerja soma terulama dalam analisa serologik dan isolasi virus. konfirmasivirologik. Diajukan pada Seminar HUT IKA RSSW-FK Untar,
Jakarta, 1992.
21. Tatang KS, Indra Susanto. Pengenalan dini dan penatalaksanasn Demam
Berdarah Dengue. Diajukan pada Simposium Dwi Dasawarsa BIKA RSSW,
Jakarta, December 11 – 12, 1987.
KEPUSTAKAAN 22. Laporan Pertemuan Pokja DBD di Ciloto, 1991.
23. Melani Setiawan, D Sugianto, H Wulur, Tatang KS. The role of ultrasound
1. World Health Organization: Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treat- in the management of Dengue Hemorrhagic Fever. Prosiding 4th Annual
ment and control, Geneva, 1986. Scientific International Seminar on Medical Imaging, Hongkong, 1991.
2. Sri Rezeki Hadinegoro, Muslim A Nathin. Beberapa manifestasi klinik 24. Melani W Setiawan, D Sugianto, Tatang K Samsi et al. Ultrasound in fluid
yang tidak lazim pada DBD di Bagian IKA FKUI-RSCM, Jakarta. Diajukan collections: the value m me management of Dengue Hemorrhagic Fever.
pada KONIKA VIII, Ujungpandang, 1990. Prosiding 3rd Congress of AFSUMB 92, Korea, 1992.
3. Sri Rezeki Hadinegoro, Muslim A Nathin. The changing pattern of clinical 25. Pudjoprawiro N, et al. Evaluation of lymphocyte subset profiles in healthy
manifestation in DHF: Ten years observation. Diajukan pada International Indonesian and children with DHF. (tidak dipublikasi)

Cermin Dania Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992 49


Manifestasi Klinis Langka
Demam Berdarah Dengue
Suglanto D, Melani S, Tatang K. Sarni
UPF/Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta

PENDAHULUAN hemokonsentrasi dan renjatan yang timbul setelah satu minggu


Manifestasi klinis yang lazim dijumpai pada pasien Demam demam, serta gejala utama bukanlah perdarahan.
Berdarah Dengue (DBD) ialah demam tinggi, perdarahan ter- Dalam makalah ini diajukan 3 kasus DBD dengan manifes-
utama perdarahan kulit, hepatomegali dark renjatan o.z (Tabel 1). tasi langka. Kasus pertama dengan meningoensefalopati disertai
Variasi dari manifestasi tersebut yang dikenal sebagai manifes- hepatitis B kronik, dan 2 kasus lainnya dengan diare akut. Pe-
tasi klinis langka telah banyak dilaporkan oleh para peneliti, meriksaan virologis menunjukkan kasus pertama dengan virus
misalnya, nyeri epigastrium dan manifestasi dari organ-organ Dengue 3, dan 2 kasus lainnya dengan virus Dengue 3 dan
vital seperti sistem saraf pusat, hepar, traktus digestivus dan Dengue 2.
mata") (Tabel 2). Akhir-akhir ini, dalam klinik lebih sering
dijumpai manifestasi yang tidak lazim, berupa trombositopeni, LAPORAN KASUS

Tabel 1. Manifestasi klinis Demam Berdarah Dengue Kasus 1 (Gambar 1)


E., seorang anak laki-laki, umur 15 tahun, dirawat sejak tgl.
Lazim
Demam tinggi 19 Juli 1990, dengan riwayat penyakit, 2 hari sebelumnya
Perdarahan : kulit mengalami demam tinggi disertai muntah-muntah. Dinihari
Hepatomegali sebelum rawat nginap, pasien tidak sadarkan diri dan kadang-
Renjatan
Tidak lazim, tapi penting kadang berontak. Pemeriksaan fisis : Keadaan umum tampak
Nyeri epigastrium sakit berat, delirium,. nonkooperatif. Gizi baik dengan berat
Langka badan 59 kg dan tinggi badan 162 cm. Suhu tubuh 38,7°C. Nadi
1 100/merit. Pernapasan 40/menit. Tekanan darah 120/60 mmHg.
Pupil isokor, dilatasi dengan refleks cahaya lambat. Faring
Tabel 2. Manifestasi klinis Iangka pasien Demam Berdarah Dengue hiperemis dan terdapat kaku kuduk. Jantung dan paru tidak ada
Organ vital Manifestasi klinis Peneliti Tahun kelainan. Abdomen lemas, hepar dan limpa tidak teraba. Tes
Sistem saraf pusat Ensefalitis Tin U 1976 turniket positif. Refleks fisiologis +/+ dan refleks patologis -/-.
Ensefalopati Sumanno 1978 Punksi Iumbal : lanear, jemih, Nonne - dan Pandy + ringan.
LK Kho 1981 Diagnosis : Meningoensefalopati.
SindromaReye WulurH 1983
Pemeriksaan labo1atorium : Hb 13 g %, Ht 45 %, LED 11
Hepar Gagal Hati Nimmannitya 1987 mm/jam, Trombosit 142.000/mm', Lekosit 12.000/mm', dengan
Hepatitis A Tatang 1991 hitung jenis 0-0/1-79/18-2. SCOT 183,5 U. SGPT 210,7 U.
Traktus Digestivus Diare Adinegoro 1990 Amonia 72 p.g/dl. LDH 363 U. CPk 86 U. Kalium 3,6 mEq/l.
Distensi abdomen Sugianto 1990 Natrium 123 mEq/l. Calcium 7,6 mg %. Analisa gas darah : pH
Mata Neuritis optika Tatang 1991 7,461, pOz 71,2 mmHg, pCO 2 27,9 mmHg. HCO 3 19,64mmol/l.
Total CO2 20,4 mmol/l, Base Exeess -1,8 mmol/l. 0 2 sat 94,3 %.

50 Cermin Dunia Kedokteran Edisi KhususNo. 81,1992


Hari Sakit 3 4 5 6 7 8 9 10 cahaya –/–. Tidak terdapat kaku kuduk. Jantung dan paru tidak
ada kelainan. Hepar dan limpa tidak teraba. Refleks fisiologis
- 40 delirium +/+ dan refleks patologis –/–. Pemeriksaan laboratorium : Hb
compos mentis 10 g %. Lekosit 5900/mm 3 dengan hitting jenis 0-0/60-38/2-0.
Temp. -
Analisa gas darah pH 7,2, p0 2 72,1 mmHg, pCO 2 20,9 mmHg,
(•C) - HCO3 mmol/l, total CO 2 8,3 mmol/l, dan base exeess – 19,7
mmol/l. Punksi Lumbal : lanear, jernih, tidak berwarna, Nonne –,
- 37 Pandu –, lekosit 4/mm3 , glukosa 70 mg %, protein 17 mg %,
L P : normal
preparat hapus : bakteri – dan kultur bakteri : –. Foto toraks tidak
50 menunjukkan kelainan. Pemeriksaan serologis dan virologis
Ht. untuk JBE (Japanese B Encephalitis) dilakukan pada waktu
mulai rawat nginap. Juga dilakukan kultur feses untuk bakteri
(%)
40 dengan basil –. Diagnosis : Diare akut, dehidrasi berat, asidosis
metabolik dan ensefalopati. Untuk pengobatan, diberikan eairan
200 intravenaRL-DG (RingerLaktat-DarrowGlueose),natriumbikar-
Tromb.
bonas, diazepam (Valium), manitol dan deksametason. 12 jam
(/uL) kemudian, pasien apnea dan meninggal. Pemeriksaan serologis
0 dan isolasi virus Arbo AB dan JBE, dilakukan dari serum dan
eairan likuor. Dan hasil pemeriksaan serum tersebut, didapat
SGOT (U) 183,5 185,9 titer H.I untuk Dengue dan JBE < 10 dan virologis Dengue (D)
SGPT (U) 210,7 282,9
Anti-Dengue Dengue Pos. (D 2 ) HBsAg + tipe 3. Diagnosis akhir : Ensefalopati dengue dan diare akut.
IgM (U) 6 Anti-HBc +
IgG (U) 24 Anti-HBe + Kasus 3 (Gambar 2)
Y., anak perempuan, umur 5 bulan dirawat sejak tgl. 30
Gambar 1. Perjalanan penyakit anak laki 15tahun dengan Meningoensefa- Desember 1991, dengan keluhan satu han sebelumnya muntah
lopati Dengue dan Hepatitis B kronik berak terus-menerus. Pemeriksaan fisis : Suhu tubuh 37,1°C,
nadi 120/menit, pernapasan 20/menit, dan tekanan darah 90/60
Likuor : lekosit 4/mm 3 , glukosa 104 mg %, protein 16 mg %,
mmHg. Keadaan umum : tampak sakitberat, terlihatngantuk dan
NaCl 757 mg %, dan C1459 mg %, preparat hapus : bakteri–. dan
lesu dengan tanda-tanda dehidrasi sedang. Jantung dan paru tidak
kultur bakteri –. Foto toraks tidak ada efusi pleura. Pengobatan :
ada kelainan. Hepar dan limpa tidak teraba. Pada kedua tungkai
eairan infus dekstrose 10% – DG, manitol 20% dan deksameta-
bawah terlihat petekia. Pemeriksaan fisis lainnya tidak menun-
son untuk mencegah peninggian tekanan intrakranial. 12 jam
jukkan kelainan. Pemeriksaan darah : Hb 13,5 g %, Ht 32 %.
setelah rawat nginap, pasien mulai sadar. Suhu tubuh menurun
Trombosit 69.000/mm 3 dan lekosit 4200/mm 3 . Pemeriksaan feses
dalam 24 jam perawatan dan kembali normal hari ke-6. Hari ke-
2 perawatan, jumlah trombosit menurun yang meneapai nilai
Hari Sakit 2 3 4 5 6 7 8
terendah hari ke-3 (35.000/mm 3 ) dan kembali normal hari ke-6.
Oleh karena nilai SOOT 185,7 U dan SGPT 282,9 U pada hari ke- Temp. - 38 Compos mends
7, maka dilakukan pemeriksaan serologis hepatitis A clan B,
dengan basil IgM anti-HAV –, HBsAg +, IgM anti-HBe –, anti- (°C) - ,~-. A
HBe +, dan anti-HBe +. Pemeriksaan serologis dan isolasi virus - 36
Arbo AB dan JBE (Japanese B Encephalitis), dilakukan dari
serum dan eairan likuor. Dari basil pemeriksaan serum tersebut, Ht. - 40
didapat kadar immunoglobulin untuk Dengue, IgM 6 U dan
Ig 24 U dan verologis Dengue (D) tipe 3. Diagnosis akhir : (%)
Meningoensefalopati dengue dan hepatitis B kronik. - 20

Kasus 2 Tromb. 200


A. seorang anak laki-laki umur 3 tahun dirawat sejak tgl. 17
Nopember 1987 dengan keluhan muntah berak dan demam (ML) 100
tinggi sejak 24 jam sebelumnya. 9 jam kemudian muntah berak 0
bestambah sering dan 12 jam sebelum rawat nginap mengalami
kejang-kejang seluruh tubuh sebanyak 2 kali. Lama kejang ± 10 H.I. r 160 Dengue Pos. (D l)
menit. Pemeriksaan fisis : Anak dalam keadaan koma dengan
0
pernapasan cepat dan dalam. Terlihat tanda-tanda dehidrasi
berat. Suhu tubuh 40°C. Nadi 120/menit. Pemapasan 40/menit. Gambar 2. Perjalanan penyakit anak perempuan 5 bulan dengan Diare
Tekanan darah 100/70 mmHg. Pupil isokor, dilatasi dan refleks akut dan DBD

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992 51


rutin : tidak terdapat darah dan lekosit. Juga dilakukan kultur belum diketahui apakah virus dengue dapat menyebabkan diare
feses untuk bakteri. Pemeriksaan serologis dan virologis untuk akut. Virus yang menyebabkan diare akut umumnya virus Rota,
Arbovirus A/B danJBE dilakukan dari serum pasien, mulai rawat adenovirus enterik, virus Norkwalk dan virus lainnya o01 . Di
nginap dan 7 harikemudian: Diagnosis : Diane akut dan dehidrasi bagian kami, virus Rota meliputi 35 – 40% dari diare akut( tt)
sedang. Pengobatan : cairan intravena Ringer-Laktat/Darrow- Kelainan patologis usus besar dan kecil (dari hasil pemeriksaan
Gluzose (RL-DG) untuk mengatasi dehidrasi. Foto toraks dan otopsi) pasien DBD menunjukkan adanya bendungan dan dila-
pemeriksaan ultrasonografi (USG) menunjukkan adanya efusi tasi pembuluh darah mukosa dan la,ina propria. Sedangkan pada
pleura kanan. Pada hari ke-3 perawatan, nilai trombosit men- muskularis mukosa, hanya dijumpai bendungan vaskulardengan
eapai 19.000/mm3 dan kembali normal pada hari ke-5. Pasien derajat lebih ringan dan tidak ditemukan perdarahan (ln. Dengan
dipulangkan pada hari ke-8 perawatan. Titer tes H.I. akut dan kelainan-kelainan tersebut di atas apakah dapat menimbulkan
konvalesen : 10 dan 160. Isolasi virus : Dengue (D) tipe 2. Kultur diare, sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut.
feses : steril untuk bakteri patogen. Diagnosis akhir : DBD dan Pada kasus ketiga, walaupun mengalami diare akut dengan
diare akut. dehidrasi dan pada hari ke-3 rawat nginap terdapat trombo-
sitopenia berat (nilai trombosit 19.000/mm 3), namun tidak
PEMBAHASAN mengalamiperdarahan usus. Mungkin penyebab diarenya bukan
Kasus pertama dengan meningoensefalopati dalam 12 jam akibat dari kerusakan mukosa usus( 13 )
perawatan kesadarannya pulih kembali, bahkan keadaan umum-
nya membaik. Adapun pemikiran ke arah infeksi dengue, oleh KESIMPULAN
karena 2 hari sebelumnya pasien mengalami demam tinggi dan 1. Dalam menghadapi pasien DBD dengan nilai fungsi hepar
pada pemeriksaan fisis didapat tes tumiket positif. Juga, hasil yang tetap meninggi pada masa konvalesen, sebaiknya dipikir-
laboratorium darah sederhana menunjukkan hemokonsentrasi kan kemungkinan akan infeksi hepatitis B kronik.
dan nilai trombosit kurang dari 200.000/mm 3 . Dan terbukti 2. Pada diare akut bila dijumpai petekia, patut dipertimbang-
selanjutnya, dari hasil pemeriksaan virologis menunjukkan adanya kan kemungkinan infeksi dengue.
infeksi virus dengue tipe 3. Sampai saat ini, ensefalopati dengue
sudah banyak dilaporkan, sungguhpun usaha untuk mengisolasi UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih ditujukan kepada seluruh staf NAMRU-2 atas kerja
virus, baik dari jaringan otak maupun cairan likuor belum ber- sama dalam pemeriksaan serologis dan virologis.
hasilttl. Isolasi virus baru berhasil diperoleh dari darah, sumsum
tulang, jaringan jantung, paru, hepar, limpa, kelenjar getah be-
KEPUSTAKAAN
ning dan timus. Hubungan antara virus dengue dengan manifes-
tasi sistem saraf pusat sampai saat ini, belum diketahui dengan 1. Sumarmo. Demam Berdarah Dengue (Dengue) pada Anak. Tesis PT
pasti. Diduga akibat kegagalan hati akut( z . Pada pasien ini, dari Penerbit UI) 1983.
hasil pemeriksaan serologis untuk hepatitis menunjukkan dalam 2. Nimmannitya S, Thisyakom U, Hemsrichart V. Dengue Haemorrhagic
Fever with Unusual Manifestations. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub.
keadaan kronik infeksi virus hepatitis B. Nilai SGOT dan SGPT Hlth. 1987; 18: 398.
yang masih tetap tinggi selama fase akut, mungkin disebabkan 3. Tin U, Myo A, Than Nu Swe et al. Dengue Haemorrhagic Fever with
infeksi virus denguenya atau aktivasi virus hepatitis B. Dalam Encephalitis Symptoms. Conference on Dengue Haemorrhagic Fever :
hal ini, perlu diteliti lebih lanjut apakah penderita hepatitis B Current Knowledge. Seameo — Tropmed, Bangkok, p 1, 1976.
4. Sumarmo, Wulur H, Jahja E et al. Encephalopathy associated with Dengue
kronik mudah terinfeksi virus dengue sehingga memperberat Infection. 1978; Lancet 1: 449.
disfungsi hepar dan selanjutnya mengakibatkan ensefalopati. 5. LK Kho, Sumarmo, WulurH et al. Dengue Haemorrhagic Fever accompa-
Oleh karena pada pasien DBD, juga dilaporkan adanya infeksi nied by Encephalopathy in Jakarta. Southeast Asian J. Trap. Med. Pub.
Hlth. 1981; 12: 83.
virus hepatitis A( 9).
6. Wulur H, Sugianto D, Rumalean Let al. Reye 's Syndrome associated with
Pada kasus kedua dan ketiga, gejala yang menonjol ialah Dengue Vitus Infection. Bull. WHO 1983; 9: 24.
diare akut dengan dehidrasi, sehinggapenatalaksanaan ditujukan 7. Adinegoro SR, Nathin MA. Beberapa Manifestasi Klinik yang Tidak
untuk menanggulangi eairan yang hilang karena diare. Kasus Lazim pada Demam B erdarah Denguedi B agianIKA FKUI/RSCM Jakarta.
kedua, disertai dengan ensefalopati dan penderita meninggal Abstrak KONIKA VIII, Ujung Pandang, 1990.
8. Sugianto D, Setiawan M. Distensi Abdomen pada Penderita Demam
dalam 12 jam perawatan. Berhubung adanya ensefalopati, maka Berdarah Dengue. Abstrak KONIKA VIII, Ujung Pandang, 1990.
dilakukan pemeriksaan serologis dan virologis untuk JBE 9. Tatang K. Samsi, Wulur H, Sugianto D et al. Dengue Haemorrhagic Fever
(Japanese B Encephalitis), namun dari hasil isolasi virus di- with Unusual Manifestation in Sumber Waras Hospital. Abstr. 7th Asian
Congress of Paediatrics, Perth 5 -10 Mei, 1991.
temukan virus dengue tipe 3. Menyadari akan pengalaman kasus
10. Rodriguez WJ. Viral Enteritis in the 1980s : Perspective, Diagnosis and
ini dan adanya laporan dari Adinegoro dkk°' 1 , maka pada kasus Outlook for Prevention. Pediatr. Infect. Dis. J. 1989; 8: 570.
ketiga dengan dijumpainya petekia pada kedua tungkai bawah, 11. Komalarini S, Setiawan J, Anni CS et al. Pemeriksaan Rotavirus pada Bayi
dilakukan pemeriksaan hitung trombosit dan ternyata nilainya dan Anak tanpa Diare. Abstrak KONIKA VIII, Ujung Pandang, 1990.
rendah, 69.000/mm 3 . Untuk lebih menyokong akan diagnosis 12. Bhamarapravati N, Tuchinda P, Boonyapaknavik V. Pathology of Thailand
Haemorrhagic Fever : A Study of 100 Autopsy Cases. Ann. Trop. Med.
DBD, dilakukan pemeriksaan foto toraks, USG toraks/abdomen Parasit. 1967; 61: 500.
dan serologis/virologis dengue. Hasil dari pemeriksaan-peme- 13. Santos JI. Nutritional Implications and Physiologic Response to Pediatric
riksaan tersebut menyokong diagnosa DBD. Hingga saat ini, Diarrhea. Pediatr. Infect. Dis. 1986; J 5: s 152.

52 CerminDunia Kedokteran Edisi KhususNo. 81,1992


Peranan ultrasonografi dalam
penatalaksanaan
Demam Berdarah Dengue
Melani W. Setiawan, Suglanto D, H. Wuiur, *G.B. Jennings, Tatang K. Sams!
Bagian Anak, Rumah Sakit Sumber Waras Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
*NAMRU-2, Jakarta

PENDAHULUAN hari pertama dirawat, sisanya dikerjakan antara hari ke-2 dan
Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia saat ini masih hari ke-6 masa perawatan, untuk mencari manifestasi kebocoran
merupakan suatu penyakit endemis-sporadis yang jika tidak plasma dalam bentuk pengumpulan cairan dalam rongga pleura
ditangani seeara tepat dan adekuat dapat menimbulkan perma- dan rongga peritoneal.
salahano.2.3). Dalam praktek cukup banyak dijumpai penderita
Sistem skoring
tersangka DBD dengan gejala yang tidak khas menurut kriteria
klinis dari WHO (1986) 0 ), misalnya bila nilai hematokrit clan/ Pada penelitian ini dibuat klasifikasi berdasarkan nilai
skoring mengenai derajat DBD, trombositopeni, hemokon-
atau trombosit masih dalam batas norman (6). Oleh karena itu
diperlukan suatu sarana diagnostik-bantu yang lebih-'akurat sentrasi dan banyaknya/penyebaran kumpulan cairan bebas di
rongga pleura dan rongga intraperitoneal.
untuk mendeteksi sedini mungkin kasus-kasus tersebut 89).
Salah satu eara ialah dengan menentukan adanya efusi pleura Nilai skoring penyakit DBD :
a. Derajat DBD : skor 1 = derajat I
yang dapat diketahui dengan foto rontgen toraks° 00.
skor 2 = derajat II
Penyakit DBD terutama menyerang anak-anak, maka di-
skor 3 = derajat III
perlukan sarana peneitraan diagnostik yang tidak menggunakan
(") skor 4 = derajat IV
sistem peng-ion, untuk menghindari bahaya radiasi . Untuk
b. Trombosit : skor 1= > 150.000/mm 3
ini kami telah meneoba melakukan pemeriksaan ultrasonografi
skor 2 = 150 -100.000/mm 3
(USG) pada kasus-kasus DBD terutama dengan gejala-gejala
skor 3 = 100 – 50.000/mm 3
yang tidak khas.
skor 4 = < 50.000/mm 3
c. Hematokrit : skor 1 < 40%
BAHAN DAN CARA skor2=40–45%
Suatu penyelidikan prospektif telah dilakukan selama 1,5 skor3=46–50%
tahun dari 1 November 1990 sampai 1 Juni 1992 pada 87 bayi dan skor 4 = > 50%
anak-anak dengan dugaan menderita DBD yang dirawat di RS Nilai skoring cairan dalam rongga pleura :
Sumber Waras. Terdiri dari 48 (55,2%) anak laki-laki dan 39 a. Skor 1 = tidak ada cairan pada kedua rongga pleura kanan
(44,8%) perempuan berumur antara 5 bulan – 14 tahun. maupun kiri
Pada 87 anak yang diduga menderita DBD, dilakukan kla- b. Skor 2 = eairan di rongga pleura kanan saja
sifikasi berdasarkan ada/tidaknya gejala demam, pendarahan, c. Skor 3 = cairan di kedua rongga pleura kanan dan kin.
hemokonsentrasi dan trombositopeni. Kelompok I terdiri dari 29 Nilai skoring cairan intraperitoneal :
anak yang mempunyai 4 gejala tersebut. Sedangkan kelompok II a. Skor 1 = tidak ada cairan
58 anak dengan persangkaan DBD yang hanya mempunyai b. Skor 2 = cairan hanya terdapat/tampak di daerah perihepatik
gejala demam dan perdarahan, sebagian ada yang hanya disertai c. Skor 3 = cairan terdapatdi daerah perihepatik dan perivesikal
hemokonsentrasi atau trombositopeni saja. d. Skor 4 = cairan yang lebih banyak akan memberi gambaran
Enampuluh satu pemeriksaan USG (70%) dilakukan pada usus yang mengapung di dalamnya.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 53


Pemeriksaan dilakukan dalam posisi terlentang. Tabel 2. Diagnosis Akhir 13 Kasus Bukan DBD
Untuk mencari korelasi antara berat ringannya penyakit USG
DBD dan cairan dalam rongga pleura dan rongga intraperitoneal Penyakit
+ –
pada setiap penderita digunakan sistem skoring tersebut. Skor
yang makin tinggi menunjukkan gejala klinik yang makin berat Campak 0 3
yaitu derajat penyakit DBD, trombositopenia dan hemokon- Tifoid 1 1
Renjatan septik 2 0
sentrasi. FUO 1 5
Statistik
Jumlah 4 9
Analisis statistikdilakukan dengan memakai teknik Pearson
Produet Moment Correlation Coefficient (r) dan prosedur regresi Keterangan :
sederhana untuk mendapatkan persamaan regresi. FUO = demam tak diketahui penyebabnya

HASIL Tabel 3. Basil Ultrasonografl 74 Kasus DBD


Pada kelompok II yang terdiri dari 58 kasus terlihat bahwa Ultrasonografi
DBD Derajat
USG memberikan korelasi positif yang lebih bermakna di- Gejala Asites dan/atau
bandingkan hemokonsentrasi atau trombositopenia maupun Efusi pleura I II III IV
keduanya (p < 0.001), (Tabel 1).
+ 25 2 1 21 1
Dari 87 anak dengan dugaan DBD, terdapat 74 (85%) anak
Kelompok I
yang memenuhi kriteria WHO (1986) dan selanjutnya dikonfir- Tipik
masi dengan pemeriksaan serologik clan isolasi virus. Tigabelas – 4 2 1 1 0
anak dikeluarkan dari penelitian ini karena diagnosis akhir adalahc
ampak, demam tifoid, renjatan sepsis dan 6 anak dengan demam + 23 4 7 9 3
yang tidak diketahui penyebabnya (Tabel 2). Kelompok II
Pemeriksaan USG dari 74 penderita DBD menemukan Alipik
– 22 17 S 0 0
asites dan cairan pleura pada 34/35 penderita DBD berat (derajat
III dan IV), tetapi hanya 14/39 pada kasus-kasus DBD-ringan
(derajat I dan II), (Tabel 3). Duabelas kasus dengan tanda-tanda
Tabel 4. Perbandingan antara USG dan Foto Toraks pada 12 Kasus DBD
klinis DBD III/IV, sedangkan nilai hematokrit dan trombosit Berat (Derajat III–IV) dengan Hematokrit & Trombosit normal
masih dalam batas normal, pada pemeriksaan USG menunjuk-
Kasus Derajat Ultrasonografl FT
kan adanya ashes dan eairan pleura pada semua kasus (12/12)
sedangkan foto toraks (Fr) hanya 3 kasus (3/6), (Tabel 4). No. DBD Asites Efusi pleura Efusi pleura
Karena kesulitan teknis, tidak seluruh kasus dapat dilakukan 4 III neg ka neg
FT sehingga hanya 30 dari 74 kasus yang diteliti. 21 III P. vesikal ka + ki ka + ki
Dari 26 kasus DBD yang dilakukan pemeriksaan USG dan
72 III Usus ka+ki neg
FT USG menunjukkan 3 kasus dengan cairan pleura kanan-
dan asites, sedangkan FT normal. Pada 6 kasus USG juga 78 IV Usus ka + ki ka
menunjukkan cairan rongga pleura kiri yang tidak terlihat path 79 1II Usus ka + ki ka
FT. Satu kasus dengan efusi pleura kanan yang terlihat path 39 III P. hepatik neg neg
USG, tidak dapat ditunjukkan oleh FT. Sisanya 16 kasus (61,5%)
2 III P. hepatik ka *
memberikan basil yang sama antara USG dan FT (Tabel 5).
Dengan pemeriksaan USG ditemukan efusi pleura/asites 32 IV P. vesikal ka + ki *
pada 48/74 (64,8%), sedangkan FT menemukan 12/26 (46,1%) 55 IV P. vesikal ka *
57 III Usus ka + ki *
Tabel 1. Korelasi Trombositopeni-Hemokonsentrasi-USG dengan Dera-
jat DBD pada 58 Kasus-Atipik yang Diduga DBD (Kelompok II) 82 III P. vesikal ka *
E 83 ]II P. vesikal
Koeflsien Koefisien ka *
Korelasi Determinasi P
Keterangan :
Trombositopenia .166 2% .211 (satu-ekor) FT = fold loraks
.423 (dua-ekor) * = tidak dikerjakan
Hemokonsentrasi .210 4% .109 cairan pleura yaitu efusi pleura bilateral path 3 (11,5%) dan sisi
.218
kanan 9 (34,6%). Hasil kedua pemeriksaan ini berbeda secara
Trombositopenia + – .004 0% .977 bermakna p < 0,001 (Tabel 6). Ultrasonografi path 4 kasus USG
Hemokonsentrasi .999
menemukan ashes saja tanpa adanya efusi pleura. Pada pene-
Ultrasonografi .522 27% < .001 (satu-ekor) litian ini sistim skor digunakan untuk menilai hasil pemeriksaan

54 Cermin Dunia Kedo/aeran Edisi Khusus No. 81,1992


Tabel 5. Perbandingan USG dan FT untuk Deteksi Kumpulan Cairan 30 mlt '2 . Pengalaman kita pada penderita DBD membuktikan
pada 26 Kasus DBD
bahwa menemukan cairan perihepatik lebih mudah daripada
Asites Efusi Pleura cairan perivesikal 8•">
USG USG FT Total Kesulitan menemukan cairan perivesikal disebabkan oleh :
1) Pemeriksaan harus dilakukan :
+ — Total Cases
Dengan isi karidung kemih yang penuh.
2 8 10 Neg Neg 10 Dalam posisi miring atau berdiri tegak.
2 1 3 R R 3
3 — 3 Posisi ini sulit dilakukan pada bayi ataupun anak-anak apalagi
R+L R+L 3
6 — 6 R+L R 6 dalam keadaan sakit berat.
3 — 3 R+ L Neg 3 2) Adanya udara dalam lumen usus yang menghalangi peme-
— 1 1 R Neg 1 riksaan yang memadai di daerah tersebut.
16 10 26 26 Tarau (1987) menemukan 91,6% efusi pleura pada penderita
DBD yang dideteksi dengan foto rontgen toraks° 01 , dan pada
Keterangan :
penelitian kami dari 74 kasus DBD dengan pemeriksaan USG
FT = foto torahs
hanya dikerjakan pada 268 kasus ditemukan eairan pleura dan intraperitoneal pada 97,1% kasus
DBD berat (derajat III-IV), sedangkan pada derajat I-II hanya
USG; skor makin tinggi makin banyak jumlah cairan di dalam 35,9%.
rongga pleura dan rongga intraperitoneal. Cairan pleura ditemukan pada 44 anak (59,4%) yaitu efusi
Terdapat korelasi positif yang bermakna antara banyak- pleura bilateral pada 30 (40,5%), sisi kanan 14 (18,9%) dan tidak
nya kumpulan cairan dengan beratnya penyakit (derajat DBD, ada satu kasus pun ditemukan eairan sisi kiri saja. Perlu di-
trombositopeni dan hemokonsentrasi), yaitu dengan asites (p < lakukan penelitian lebih lanjut sebab-sebab tidak pemah di-
0,001, Gambar 1) maupun efusi pleura (p < 0,001, Gambar 2). temukannya eairan pleura sisi kin saja. Selain itu dengan USG
Korelasi positif yang bermakna antara asites dan cairan pleura ditemukan ashes saja tanpa efusi pleura path 4 kasus. Tampak
dapat dilihat pada Gambar 3 (p < 0,001). bahwa USG mempunyai kelebihan 48/74 dibanding dengan
Tabel 7 menunjukkan daya prediksi berdasarkan asites radiologik 12/26 yaitu lebih peka/mudah menemukan cairan
ternyata lebih tinggi yaitu (0.776) atau ± 60% dibanding dengan pleura dan sekaligus dapat mendeteksi ashes (p < 0,001).
eairan pleura (0.653) atau ± 42%.
Jadi pada kasus-kasus yang meragukan yaitu dengan nilai KESIMPULAN
hematokrit dan trombosit normal, USG dapat menyokong Dapat disimpulkan bahwa dengan pemeriksaan USG diper-
diagnosis DBD sekitar 60%. oleh korelasi positif antara jumlah kumpulan cairan pleura
intraperitoneal dan beratnya penyakit.
PEMBAHASAN USG dapat digunakan sebagai sarana diagnostik bantu path
Kasus DBD atipik dengan trombositopeni dan nilai hema- kasus DBD yang masih diragukan; terutama pada kasus-kasus
tokrit normal ditemukan pada 68% kasus. Diagnosis banding- dengan hematokrit dan trombosit normal, sehingga pengobatan
nya dapat dipertimbangkan infeksi viral, infeksi bakterial ter- yang adekuat dapat diberikan sedini mungkin. Selain itu USG
utama demam tifus, trombositopeni purpura idiopatik dengan juga dapat digunakan sebagai prediktor prognosis.
infeksi sekunder, dan keganasan. Keadaan ini bila disertai shock
dapat ditemukan pada septikemia karena mikroorganisme lain. KEPUSTAKAAN
Hemokonsentrasi dengan jumlah trombosit normal dapat
ditemukan pada anak-anak dengan dehidrasi terutama pada 1. Kho LK, Melani Setiawan, Himawan T, Wulur H. Management of Dengue
Hemorrhagic Fever. Dengue Newsletter, WHO 1984; 10: 20—22.
gastroenteritis yang merupakan penyakit anak yang tersering 2. Sugianto D. Pengalaman penanggulangan DBD berat. S ymposium Dwi
dijumpai di negara kami. Kami menemukan beberapa kasus Dasawarsa Ilmu Kesehatan Anak RS Sumber Waras, Jakarta 11—12 De-
DBD atipik dengan gejala gastroenteritis( 6 ). Walaupun ada ke- sember 1987.
boeoran plasma, penderita DBD dengan anemia dapat mem- 3. Tatang KS, Wulur 11. Clinical aspects and management of Dengue he-
morrhagic fever in Sumber Waras hospital. Presented in the Symposium
berikan nilai hematokrit dalam batas normal. Anemia dijumpai on Tropical Medicine and Parasitology. Tanrmanagara University, Jakarta,
pada 30% anak-anak Indonesia° l . August 4, 1990.
Pemeriksaan fisik dengan secara manual dapat menemukan 4. World health Organization: Dengue I lemorrhagic Fever. Diagnosis, treat-
cairan asites bila jumlahnya melebihi 1000—1500 ml. ment and control, Geneva, 1986.
5. Sugianto D, Melani Setiawan. Acute abdomen in Dengue Hemorrhagic
Ultrasonografi adalah suatu pemeriksaan non-invasif yang Fever. Proc 8th National Congress in Pediatrics. Ujung Pandang, Septem-
dapat dengan mudah membedakan cairan dan massa padat. ber 19—24, 1990.
Menurut Goldberg (1976) hanya 100 ml cairan ashes sudah dapat 6. Tatang KS, Wulur H, Sugianto D, Melani Setiawan. Dengue hemorrhagic
dideteksi pada kadaver dan 300 ml pada orang hidup(14) . Menurut fever with unusual manifestation in Sumber Waras hospital. 7th Asian
Congress of Pediatrics. Perth, Westem Australia, May 5—10, 1990.
penyelidikan Dinkel (1984) dengan USG, cairan perivesikal 7. Markum All. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, FKUI, 1991:2.
sebanyak 10 ml sudah dapat ditemukan dan cairan perihepatik 8. Melani Setiawan, D. Sugianto, Wulur I I, Tatang KS. The role of ultrasound

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992 55


in the management of Dengue Hemorrhagic Fever. Proc 4th Annual Pediatr Radiol 1984; 14: 299-303.
Scientific International Seminar of Medical Imaging. Hong Kong, Septem- 13. Mel ani W. Setiawan, D. Sugianto,Tatang K. Samsi et al. Ultrasound in fluid
ber 30-October 5, 1991: 145-146. collections: the value in the management of Dengue Hemorrhagic Fever.
9. Tatang KS, Susanto I. Pengenalan dini dan penatalaksanaan Demam Proc 3rd Congress of AFSUMB '92 Seoul-Korea, August 30-September 5,
Berdarah Dengue. Simposium dua hari 20th Bagian Ilmu Kesehatan Anak 1992: 94.
RS Sumber Waras. Jakarta, 11-12 Desember 1987: 75-92. 14. Goldberg BB. Ultrasonic evaluation of intraperitoneal fluid. JAMA 1976;
10. Tarau Y, Azis Tanra, Dasril D. Pleural elusion in Dengue Hemorrhagic 235: 2427.
Fever. LIKA FK-UNHAS 1987; 4: 216-21.
11. Pramuljo HS, Harun SR. Ultrasound findings in Dengue Haemorrhagic UCAPAN TERIMA KASIH
Fever. Pediatr Radiol 1991; 21: 100-102. Ucapan terima kasih kami tujukan kepada Prof. Siswoyo dalam memper-
12. Dinkel E, Lehnart R, Peters H, Dittrich M. Sonographic evidence of siapkan analisis data, juga Sejawat lainnya yang telah membantu dan memberi-
intraperitoneal fluid. An experimental study and its clinical implications. ken saran-saran yang berharga dalampenulisan makalah ini.

56 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992


Demam Berdarah Dengue
Pengalaman di
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Sri Rezeki Harun
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Tabel 1. Jumlah kasus DBD Bagian IKA RSCM, tahun 1984 -1992
Melihat peta epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD) Kematian *)
di Indonesia, peningkatan jumlah kasus terjadi setiap jangka 5 Tahun Kasus (dalam %)
tahun. Dirjen P2M & PLP melaporkan peningkatan kasus DBD 1984 501 2,79
pada tahun 1978, 1983, dan 1988. Maka ramalan selanjutnya 1985 330 5,15
adalah tahun 1993 yang akan datang. 1986 850 6,59
Menghadapi hal tersebut kita perlu mengantisipasi, misal- 1987 705 10,64
1988 1031 13,58
nya lebih waspada dalam menegakkan diagnosis, memperbaiki
1989 277 9,75
tatalaksana dan managemen pasien. Maka di dalam makalah ini 1990 630 4,60
akan disajikan pengalaman mengelola pasien DBD di bagian 1991 358 3,63
IKA RSCM Jakarta, guna saling menukar informasi demi per- 1992 **) 183 5,19
baikan pengelolaan kasus DBD di masa mendatang. *) 23,2% meninggal dalam 24 jam perawatan
**) sampai dengan bulan Juni
ANGKA KEJADIAN
Jumlah kasus selama tahun 1984 sampai 1992 (sampai Tabel 2. Distribusi Jumlah kasus rata-rata per bulan DBD pada anak dl
dengan Juni 1992) dapat dilihat pada tabel 1. Pada lima tahun Bagian IKA RSCM, 1984 -1992*)
terakhir, angka kejadian DBD di Bagian IKA RSCM masih
menduduki kelompok 5 penyakit terbanyak.
Bila dilihat jumlah kematian (berkisar antara 5-10%), tam-
pak tidak jauh berbeda dengan angka kematian rumah sakit di
Indonesia(2) . Di lain pihak, Rumah Sakit dr. Cipto Mangun-
kusumo sebagai rumah sakit rujukan untuk DBD eenderung
merawat kasus berat. Sepertiga dari kasus DBD yang dirawat
disertai renjatan dan 23,2% kasus meninggal dalam 24 jam
perawatan. Menarik untuk dikaji, bahwa peningkatan angka
kematian terjadi pula pada saat jumlah kasus meningkat, seperti
terlihat pada tahun 1987 dan 1988. Maka kewaspadaan perlu
ditingkatkan bila menghadapi peningkatan jumlah kasus.
Bila ditinjau distribusi kasus per bulan, maka pada bulan
Maret, April, dan Mei tiap tahunnya terjadi peningkatan rata- o
rata jumlah kasus berturut-turut 71, 78, 67, dan 57 orang anak Jan Feb Mar A pr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
(tabel 2). Distribusi ini sesuai dengan angka kejadian DBD di 41.1 1 49.3 1 71.7 ' 73.2 1 67.7 1 57.7 ! 393 1 40.1 1 32.6 1 33.5 1 23.5 1295
Jakarta o) . Keterangan : *) sampai dengan bulan September

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 57


KELOMPOK UMUR cenderung lebih luas dari pada tahun 1970-an, yaitu 2-10 hari.
Proporsi DBD menurut kelompok umur telah mengalami Tetapi bila ditinjau dari proporsi terbanyak demam berkisar
pergeseran. Kelompok umur> 10 tahun eenderung lebih banyak antara 3-5 harit4>. Hal tersebut sering mempersulit diagnosis
terkena (22-28%) bill dibandingkan dengan kejadian(5,6) tahun sehingga perlu dipikirkan diagnosis banding, terutama demam
1975-1978 (10,8%)t4). Beberapa penulis dari Jakarta juga tifoid. Pendapat klinis ini telah sesuai dengan hasil penelitian
melaporkan peningkatan kasus DBD pada orang dewasa, ter- antara Bagian IKA FKUI/RSCM Jakarta dan Badan Penelitian &
utama remaja dan dewasa muda. Sedangkan proporsi jumlah Pengembangan Departemen Kesehatan (1992), bahwa hampir
kasus menurut kelompok umur terbanyak tetap kelompok umur 50% kasus DBD dengan tes serologi hemaglutinasi inhibisi
4-9 tahun yaitu hampir separuh dari jumlah kasus (tabel 3). negatif ternyata positif pada tes serologi untuk Salmonela typhi
atau paratyphi (data belum dipublikasi).
2) Perdarahan spontan
Tabel 3. Distribusi menurut kelompok umur DBD pada anak di Bagian Petekie merupakan perdarahan kulit spontan paling sering
IKA, 1984 -1992
dijumpai (69,5%), maka gejala ini hams selalu dieari bila kita
Kelompok umur mencurigai kasus DBD (tabel 4). Petekie yang dibuat dengan
Total
Tahun <1 1-4 5-9 > 10 melakukan tes Torniket perlu mendapat perhatian pula. Walau-
n % n % n % n % n pun lebih dari 2/3 kasus disertai tes torniket positif, tidak semua
%
pasien demam dengan tes torniket positif adalah DBD. Maka
1984 11 2,1 120 23,9 246 49,0 125 24,9 502 100
1985 8 2,4 80 24,0 148 44,4 penting untuk diobservasi bila pasien demam disertai tes torniket
97 29,2 333 100
1986 29 3,4 212 24,8 403 47,1 211 24,7 855 100 positif sampai terbukti bukan DBD.
1987 24 3,4 196 27,8 307 43,5 179 25,3 706 100 Perdarahan kedua terbanyak adalah epistaksis. Perlu di-
1988 47 4,5 256 24,6 487 46,9 249 24,0 1039 100 tanyakan pada anamnesis riwayat epistaksis sebelumnya. Bila
1989 14 5,0 76 27,1 124 44,3 66 23,6 280 100
1990 26 4,0 139 21,6 297 46,0 183 28,4 645 100 kali ini merupakan epistaksis yang pertama, akan lebih mem-
1991 8 2,2 86 24,0 163 45,6 101 28,2 358 100 bantu diagnosis.
1992*) 5 2,7 33 18,0 93 50,8 52 28,5 183 100 Perdarahan saluran eerna (hematemesis dan atau melena)
Kelerangan : *) s/d bulan Juni 1992. merupakan jenis perdarahan yang serius. Yang perlu diperhati-
kan di sini adalah apakah darah tersebut berasal dari saluran eerna
MANIFESTASI KLINIK atau darah dari epistaksis atau perdarahan gusi yang termun-
Manifestasi klinik DBD path 754 orang anak terlihat path tahkan atau tertelan. Tidak jarang pula terjadi perdarahan lam-
tabel 4. bung oleh karena iritasi obat (antipiretik, khususnya aeetomi-
nophen).
Tabel 4. Manifestasi klinik (dalam persen) DBD pada anak Bagian IKA
3) Hepatomegali
FKUIIRSCM, periode 1975-1978 dan 1985-1986
Separuh dari kasus kita (48,5%) disertai hepatomegali,
1975-1978 1985-1986
Gejala klinis kejadian ini lebih keeil bila dibandingkan data dari Thailand
(n = 358) (n = 754) (90%). Pembesaran hati akan lebih berarti, bila terjadi selama
Demam 100 100 perjalanan penyakit DBD (semula tidak teraba, menjadi teraba).
Petekie 79,1 69,4 Gejala lain yang mengikuti hepatomegali adalah nyeri perut
Hematemesis 18,7 8,1 (daerah epigastrik dan hipokondrium kanan). Walaupun gejala
Melena 17,9 6,8
Renjatan ini tidak termasuk kriteria WHO, 59,0% kasus kami disertai nyeri
64,3 27,7
Nyeri perut 37,4 51,7 perut (terutama pada anak besar). Maka nyeri perut dapat di jadikan
Hepatomegali 37,4 51,7 gejala tambahan yang perlu dieari n>. Di lain pihak, harus dipikir-
Penurunan kesadaran 9,2 18,7 kan diagnosis banding nyeri perut seperti gastritis dan apendisitis
Kejang 7,8 1,6
Muntah akut.
27,1 71,3
Batuk 6,7 35,0 4) Hemokonsentrasi
Diare 4,5 23,8
Tes Torniket positif 54,5 Hemokonsentrasi diketahui dari peningkatan (20% atau
69,4
Trombositopeni 80,7 59,0 lebih) kadar hematokrit awal (sebelum sakit atau sama dengan
saat penyembuhan). Oleh karena kadar hematokrit pada saat
sebelum sakit tidak diketahui, maka sangat sulit menduga ada-
DIAGNOSIS
nya hemokonsentrasi hanya dengan satu kali pemeriksaan saja.
Kriteria WHO (1986) sebagai pedoman diagnosis DBD
Maka pemantauan kadar hematokrit berkala sangat dianjurkan
masih dipakai sampai saat ini. Sejauh mana kriteria tersebut
guna mengetahui hemokonsentrasi yang terjadi. Hemokonsen-
dapat membantu diagnosis perlu dikai? xembali :
trasi menggambarkan adanya kebocoran plasma, maka nilai
1) Demam hematokrit menjadi penting untuk pedoman pemberian cairan
Rentang lama demam di rumah, pada akhir-akhir ini baik pada awal pengobatan maupun sebagai tindak lanjut.

58 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992


Pengalaman kami pada 90 orang anak dengan DBD disertai Tabel 6. Hasil tes serologi hemaglutinasi inhibisi DBD pada anak di
renjatan (60 orang DBD derajat III dan 30 orang DBD derajat bagian IKA FKUI/RSCM (Januarl 1990 – Juni 1992)
IV), menunjukkan bahwa nilai rata-rata hematokrit pada saat Tes IH Persen (n = 587)
masuk RS (36,2 + 6,2) vol%, sedangkan pada saat keluar RS
Positif :
(30,8 + 8,0) vol% (tabel 5). Maka rata-rata kadar hematokrit Infeksi primer 8,4
maksimal adalah 38.8 vol%. Sehingga kita memakai pedoman Infeksi sekunder 35,1
(seeara kasar) bila nilai hematokrit > 40 vol% berarti telah terjadi Presumptif 18,2
Negatif 20,1
kenaikan kadar hematokrit, maka dianjurkan pemberian eairan Bahan tidak lengkap 18,2
intravena.
Tabel 5. Jumlah hematokrit dan trombosit rata-rata DBD disertai renjat- diagnosis klinis. Sensitifitas DB di sini tidak dibedakan antara
an, Bagian IKA FKUI/RSCM
infeksi primer dan sekunder. Chan Y.C." melaporkan sensiti-
Hari rawat fitas DB 20,5% dan 100% berturut-turut untuk infeksi primer dan
Nilai r)
Masuk RS Keluar RS sekunder. Dan bila digabung antara DB dan IgM Elisa menjadi
Hematokrit 36,3 + 6,2 30,8 + 8,0 84%.
(vol%)
Trombosit 81,4 + 3,3 147,8 + 2,0 Tabel 7. Hasil tes Dengue Blot DBD pada anak di bagian IKA FKUI/
( UI) RSCM
Keterangan : *) (mean + 2 deviasi standar) Tes DB Persen (n = 61)
Positif 73,8
5) Trombositopeni Negatif 26,2
Trombositopeni merupakan tanda yang penting baik untuk
diagnosis maupun untuk meramalkan perjalanan penyakit. Di-
sayangkan tanda tersebut pada saat masuk rumah sakit hanya Tabel 8. Spesitisitas dan sensitifitas tes Dengue Blot terhadap tes III, DBD
pada anak Bagian IKA/FKUI/RSCM
ditemukan pada 59% kasus, walaupun pada hari perawatan
berikutnya cenderung menurun. Hal ini oleh karena pasien yang Tes IH
Jumlah
datang kurang pada hari ketiga sakit, belum terjadi trombo- + -
sitopenia. Hal yang sama telah pula dilaporkan oleh Sunarto dan + 27 15 42
Sutaryo(8). DB
– 4 15 19
Sedangkan pada DBD disertai renjatan, trombositopenia
terdapat pada semua kasus (tabel 5). Keadaan ini berhubungan Jumlah 31 30 61
dengan kejadian renjatan terjadi terbanyak pada hari kelima
Sensitifitas : 27/31 = 87,1%
sakit, dan adanya korelasi positif antara renjatan dan trombo- Spesifiritas : 15/30 = 50,0%
sitopenia° 1 .
KOMPLIKASI
PEMERIKSAAN SEROLOGI Pada periode lima tahun terakhir, tampak kejadian renjatan
Secara rutin semua kasus DBD dilakukan pemeriksaan tes pada DBD makin berkurang. Bila pada tahun 1987 kejadian DBD
serologi hemaglutinasi inhibisi (=IH) pada saat masuk rumah + renjatan adalah 62,6% menurun menjadi 53,9%; 37,2%; 29,7%
sakit (fase akut) dan saat pulang (konvalesens). Pemeriksaan tes dan 21,8% berturut-turut pada tahun 1988, 1989, 1990 dan 1991.
IH dilakukan di Laboratorium Badan Penelitian & Pengembang- Hal ini merupakan hal yang menggembirakan, diduga berhu-
an Dep.Kes Jakarta. Hasil tes IH selama periode 2,5 tahun bungan dengan peningkatan kewaspadaan masyarakat untuk
(Januari 1990 - Juni 1992) dapat dilihat pada tabel 6. Dari 587 berobat serta ketajaman para dokter untuk segera merujuk pasien
orang anak dengan diagnosis klinis DBD, 61,7% konfirmasi tes ke rumah sakit°). Sedangkan prosentase jumlah pasien DBD
IH. Hasil ini akan lebih tinggi bila bahan yang dikirimkan lebih dengan perdarahan saluran cema dan ensefalopati tetap berkisar
lengkap (pada pasien yang meninggal kurang dari 2 hari pera- antara 6,8 - 8,1% dan 2,5 - 8,2% (tabel 4).
watan bahan hanya diambil satu kali atau terjadi lisis dari bahan
pemeriksaan, sehingga tidak dapat dinilai hasilnya). Hasil ini
HAL LAIN
tidak jauh berbeda dengan laporan Samsi, T.K. dkk. yaitu
62,9% 0 ° Kejang
Sejak bulan Agustus 1992 telah dilakukan uji coba tes Kejadian kejang pada DBD dapat disebabkan oleh kejang
Dengue Blot (= DB) path 61 orang pasien DBD dengan manifes- demam sederhana (menurat kriteria Livingstone) atau DBD
tasi klinis jelas (tabel 7 dan 8). Tujuh puluh empat persen kasus ensefalopati. Kejadian kejang pada 5 tahun terakhir ini (Tabel 9)
konfirmasi tes Dengue Blot. Sensitifitas tes DB terhadap tes IH cenderung menurun bila dibandingkan kejadian sepuluh tahun
(tes IH dianggap sebagai baku emas) adalah 87,1%. Hal ini yang lalu yaitu 7,8% 01 . Walaupun demikian, bila kita menjumpai
berarti tes DB eukup baik untuk dipakai sebagai tes penunjang demam tinggi disertai kejang, diagnosis banding untuk DBD

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992 59


Tabel 9. Komplikasi terbanyak DBD pada anak Bagian IKA RSCM, Catalan : !DG = instalasi gawat darurat
1987 -1991 RRS = ruang rawat sehari
ICU = intensive care unit
DBD
Tahun Renjatan Perdarahan Ensefalopati Pada pasien berat dan jelas gejala kliniknya segera dirawat.
sal. cerna Sedangkan untuk pasien yang meragukan dilakukan observasi di
n % n % n % RRS selama 24 jam. Sejak sistem ini diberlakukan pada bulan
1987 441 62,6 57 8,1 18 2,5 Agustus 1991 sampai Juli 1992, telah dirawat 96 orang anak
1988 556 53,9 70 6,8 7? 7,4 dengan tersangka DBD, 64 orang diantaranya (66,7%) dipu-
1989 103 37,2 21 7,9 12 4,3 langkan dalam waktu 24 jam sedangkan 31(23,3%) memerlukan
1990 187 29,7 44 7,0 38 6,0 perawatan lebih lanjut(12)
1991 78 21,8 25 6,9 33 8,2 2) Pada DBD, renjatan merurakan kelainan utama, sedangkan
kerusakan organ lain adalah sek under terhadap kejadian renjatan
perlu diperhitungkan. tersebut(8). Dari pengalaman, kami menemukan 21,8—37,2% kasus
Muntah dan diare DBD yang dirawat disertai renjatan. Seperti diketahui prognosis
Gejala klinis lain yang pada akhir-akhir ini telah banyak DBD dengan renjatan lebih buruk daripada tanpa renjatan. Maka
mengecohkan para klinis adalah muntah dan diare. Tabel 4 kiat utama dalam pengobatan DBD adalah mengatasi renjatan
memperlihatkankejadiandiaredan muntahmasing-masing71,3% seeepat mungkin, dan mencegah semaksimal mungkin agar
dan 23,8% baik sebagai keluhan utama ataupun gejala penyerta renjatan tidak terjadi.
pada kasus DBD di bagian IKA FKUI/RSCM. Kejadian tersebut Dan 90 orang pasien DBD disertai renjatan yang kami
observasi, menunjukkan bahwa lama renjatan teratasi rata-rata
jelas meningkat bila dibandingkan 27,1% dan 4,5% pada sepuluh
87,8 menit (maksimal 97,3 menit). Maka disepakati bila renjat-
tahun yang lalu l4> . Maka kewaspadaan kita perlu ditingkatkan
an belum teratasi setelah 120 menit (2 jam) di samping peng-
bila menjumpai anak demam tinggi dengan muntah dan diare.
gantian cairan segera diupayakan pemberian plasma/plasma
Dehidrasi sebagai akibatnya, dapat mempereepat terjadinya
renjatan yang telah menganeam. ekspander, koreksi asidosis, koreksi hipoksemia dan elektrolit,
dan dipertimbangkan pemberian komponen darah. Waktu 2 jam
TATALAKSANA tersebut dihitung sejak renjatan terjadi. Jadi bila renjatan di
1) Dalam menghadapi peningkatan kasus, hal yang perlu di- rumah telah > 2 jam, maka pengobatan tersebut di atas harus
perhatikan adalah bagaimana membedakan kasus DBD berat, segera diberikan sejak awal.
ringan, dan meragukan (tersangka), oleh karena tatalaksananya 3) Di dalam tindak lanjut perlu diperhatikan hal-hal yang dapat
berlainan. Untuk kasus berat diperlukan perawatan intensif baik mempengaruhi perjalanan penyakit.
seeara medis maupun sarana penun jang. Pada kasus ringan, perlu
KEPUSTAKAAN
kewaspadaan terhadap kejadian yang dapat memperberat per-
jalanan penyakit. Sedangkan pada kasus yang meragukan, 1. Suroso T. Situasi masalah dan program pemberantasan Demam Berdarah
memerlukan observasi berkala untuk menentukan apakah benar Dengue. Dalam: Haryanto B, Harun SR, Wuryadi S, Djaja IM, editor.
menderita DBD. Berbagai aspek Demam Berdarah Dengue dan Penanggulangannya. De-
pok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1989: 30—36.
Untuk mengatasi hal tersebut di alas, telah dieoba membuat 2. Yatim F. Masihkah ada kekeliruan kita dalam pengelolaan penderita DBD?
alur pasien sebagai berikut : Warta DBD 1992; 6: 2-3.
3. Masyhur M. Program pemberantasan infeksi dengue di Jakarta antara fakta
Pasien DBD dan teori. Mikrobiol Klin Ind 1988; 3: 70-75.
4. liarun SR, Nathin MA. The changing pattern of clinical manifestations in
Dengue llaemorrhagic Fever: ten years observations. Presented at The
Pagi Sore/malam International Symposium on Dengue Ilaemorrhagic Fever. Bangkok,
October 1-3, 1990.
5. Malik S. Situasi DBD di DKI Jakarta. Dipresentasikan pada Simposium
Poli sehari keperawatan. Jakarta, Desember 1988.
IGD
6. Sumarsono. Penatalaksanaan klinik Demam Berdarah Dengue. Dalam:
Tumbelaka AR, Harm SR, Wuryadi S, editor. Prosiding Seminar National
Demam Berdarah Dengue. Jakarta, Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga
RRS ICU Penelitian Universitas Indonesia. Jakarta, 8 Juni 1991.
Bangsal
7. Sumarno. Demam bcrdarah (Dengue) pada anak. Jakarta, UI Press 1983.
8. Sunarto,Sutaryo.Thrombocytopeniain Dengue IlcmonhagicFever. Pediatr
Indones 1992; 3—4: 75-83.
9. Nimmanitya S, Thiasyakorn U, Ilerosrichart V. Dengue Ilacmorrhagic
Fever with unusual manifestations. South East Asian J Trop Mcd Pub 111th
Pulang 1987;18:398-406.
10. Samsi TK, Wulur IH, Sugianto D. Bartz CR, Tan R, Sia A. Imunoglobulin
M and G in Virologically Confirmed Dengue Ilaemorrhagic Fever. Pediatr
Gambar 2. Bagan/alur pasien di bagian IKA TSCM Indones 1992; 3-4: 65-74.

60 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992


Penelitian Universitas Indonesia. Jakarta, 8 Juni 1991. 11. Cheong CY. Dengue Diagnosis by Dengue Blot and IgM Elisa. Dalam:
12. Tumbelaka AR. Ruang Rawat Sehari untuk kasus tersangka DBD. Warta Tumbelaka AR, Harun SR, Wuryadi S, editor. Prosiding Seminar Nasional
Demam Berdarah Dengue 1992; 7 (dalam percetakan). Demam Berdarah Dengue. Jakarta, Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 61


Demam Berdarah Dengue :
Pengalaman di
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
RS. Hasan Sadikin, Bandung
Prof. Azhali M.S., Dr., DSAK
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin, Bandung

PENDAHULUAN Tabel 1. Distribusi umur penderita DBD di Bandung (Garna, Azhali) dan
Jakarta (Sumarmo)
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit
menular yang disebabkan oleh virus Dengue, ditandai dengan Umur Sumarmo, 1983 Garna, 1986 Azhali, 1988
(thn) -
gejala klinik yang khas berupa demam tinggi mendadak disertai Jumlah % Jumlah % Jumlah %
manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan renjatan
0–2 23 6,4 3 1,9 4 3,3
dan kematian° 1 . 2–5 132 36,9 38 25,2 10 8,3
Penyakit DBD sampai saat ini masih merupakan masalah di 5 -10 165 46,1 75 49,6 67 55,4
tanah air kita ini dan jumlah kasus dari tahun ke tahun eenderung 10 – 14 38 10,6 35 23,3 40 33,0
meningkat, demikian juga daerah yang terkena makin meluas. Jumlah 358 100 151 100 121 100
Pada tahun 1968 penyakit ini baru ditemukan di Jakarta dan
Surabaya, tapi 20 tahun kemudian telah ditemukan di 201 Dati
Wabah atau kenaikan kasus DBD selalu terjadi tiap tahun di Dari Tabel 1 tampak bahwa DBD jarang menyerang anak di
pelbagai tempat di Indonesia terutama pada musim hujan°1 . Di bawah 2 tahun dan paling sering menyerang anak golongan umur
Jawa Barat sejak tahun 1982–1983 praktis seluruh Dati II telah 5–10 tahun.
melaporkan adanya wabah DBD( 4). Di Bandung kasus DBD
Tabel 2. Distribusi Jenis kelamin penderita DBD di Bandung (Garna,
pertama kali dilaporkan pada tahun 1972 0 ) dan kemudian la- Azhali) dan Jakarta (Sumarmo)
poran-laporan berikutnya menyusul, di antaranya 1986( 6) dan
Jenis Sumarmo, 1983 Garna, 1986 Azhali,1988
1988 r'1 . Kelamin
DBD dapat menimbulkan kematian dengan Case Fatality Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Rate berkisar antara 5–10% dan paling tinggi yang pernah Laki-laki 153 42,7 68 45,0 54 44,1
dilaporkan 25% 0.9). Perempuan 205 57,3 83 • 55,0 67 55,9
Gejala klinis DBD dan derajat beratnya berpedoman pada Jumlah 358 100 151 100 121 100
kriteria WHO dan konfirmasi diagnosis DBD dilakukan dengan
pembiakan dan pemeriksaan serologis seperti Haemagglutina-
tion Inhibition (HI) test, IgM eapture Elisa dan Denmgue Blot°" 01 . Dari Tabel 2 tampak bahwa DBD menyerang laki-laki dan
perempuan hampir sama banyak sesuai dengan hasil yang di-
MANIFESTASI KLINIK laporkan Dit.Jen. P3M Depkes RI.
DBD lebih banyak menyerang anak-anak dan di Indonesia Gambaran klinis DBD ditandai oleh demam, perdarahan,
90% penderita penyakit ini adalah anak-anak di bawah umur 15 hepatomegali dan kegagalan peredaran darah dan WHO telah
tahun (2) dan tidak ada perbedaan jenis kelamin(1) . Hasil yang menetapkan kriteria untuk diagnosis klinik DBD, yaitu :
sama juga didapat di Filipina(2) . Sedangkan kami di Bandung 1) Demam mendadak tinggi selama 1–7 hari tanpa sebab yang
dan dibandingkan dengan Jakarta"") didapatkan angka-angka jelas.
seperti tampak pada Tabel 1 dan Tabel 2. 2) Manifestasi perdarahan :

62 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992


2.1 Uji Tourniquet positif.
Tabel 4. Derajat DBD saat masuk perawatan dari Azhali dan Sumarmo
2.2 Purpura, petekia, ekimosis, hematoma. (dalam persen)
2.3 Epistaksis, perdarahan gusi.
Derajat DBD Azhali Sumarmo
2.4 Perdarahan saluran pencernaan (hematemesis, melena).
3) Pembesaran hati. I 31,3 0,0
II 45,8 35,7
4) Tanpa atau dengan gejala renjatan seperti :
III 9,7 38,5
4.1 Nadi lemah, cepat dan kecil sampai tidak teraba. IV 13,2 25,8
4.2 Tekanan nadi (beda tekanan sistolik dan diastolik) menurun
menjadi 20 mmHg atau kurang.
4.3 Tekanan darah turun. Gambaran hasil pemeriksaan laboratorium DBD berupa
4.4 Kulit teraba dingin dan lembab terutama pada daerah akral trombosit dan hematokrit tampak pada Tabel 5.
seperti ujung hidung, jari dan kaki.
Tabel 5. Hasil pemeriksaan trombosit dan hematokrit (dalam persen)
4.5 Sianosis di sekitar mulut.
5) Trombositopenia (100.000/mm 3 atau kurang). Laboratorium Azhali Sumarmo
6) Hemokonsentrasi yang dapat dinilai dengan melihat pe- Trombositopenia 10,8 96,6
ninggian nilai hematokrit sebesar 20% atau lebih. Hemokonsentrasi 50,6 88,0
Gambaran klinis DBD pada penelitian kami dibandingkan
dengan peneliti-peneliti lain tampak pada Tabel 3.
Yang dimaksud dengan trombositopenia dan hempkonsen-
Tabel 3. Gambaran klinik kasus Demam Berdarah Denguedari berbagai trasi sesuai dengan kriteria WHO. Tabel 5 menunjukkan perbe-
peneliti (%) daan hasil yang menyolok. Hal ini juga berhubungan dengan
derajat beratnya penyakit dan juga trombositopenia pada DBD
Manifestasi Kho, Ismangun Sumarmo Garna Azhali
Klinik 19720» 19750" 1983" 1986(' 1988m hanya dapat ditemukan bila pemeriksaan trombosit dilakukan
secara serial dan intensif sekurang-kurangnya dari hari ke tiga
Demam 100 100 100 100 100 sampai ke delapan dari sakitnya" 6l
Nyeri perut 76 6,2 37,4 41 35,5
Muntah 45 33,7 27,1 36,4 17,4 Diagnosis serologis DBD yang dilakukan saat itu memakai
Mencret 16 12,5 4,5 9,9 - tes HI (Hemaglutinasi Inhibisi) untuk mengetahui ada atau
Batuk - - 6,7 - - tidaknya peningkatan titer antibodi dari specimen akut dan kon-
Kejang - 25 7,8 - -
Obstipasi - - 10,9 3,9 11,6' valesen (Tabel 6).
Syok 60 12,5 64,3 13,2 31,4
Sakit kepala - - 6,7 41,0 28,9 Tabel 6. Hasil pemeriksaan tes HI penderita DBD dibandingkan dengan
Uji Tomiket (+) 38 97,9 54,5 94,0 84,3 basil Sumarmo (dalam persen)
Petckia 35 19,5 79,1 70,8 64,5
Interpretasi Penilaian
Epistaksis 24 8,3 17,0 45,7 40,5
serologis
Perdarahan gusi - - 10,9 7,3 10,7 Sumarmo,1983" Azhali, 1988 m
llematemesis 20 6,2 - - 28,9
Melcna 42 6,2 17,9 2,6 23,1 Primer 17,2 6,6
Ilcpatomcgali - - 52,8 60,3 57,9 Sckunder 62,0 30,6
Presumptif 20,8 62,8
(infeksi barn)

Dari Tabel 3 tampak bahwa gambaran klinis DBD ber- Dan Tabel 6 ternyata ada perbedaan hasil dari interpretasi
variasi dari peneliti yang satu ke peneliti lainnya bila dibanding- serologis primer, sekunder dan presumptif. Perbedaan basil
kan dengan kriteria WHO. Hal ini dapat disebabkan karena interpretasi serologis primer coming bila kita memakai peme-
derajat beratnya DBD yang dirawat tidak sama. riksaan Dengue Blot (IgE) di manapemeriksaan ini sensitif untuk
Derajat beratnya penyakit DBD sesuai dengan kriteria dengue sekunder tapi kurang sensitif terhadap dengue primer.
WHO:
Derajat 1 : Demam dan uji Tourniquet positif. PENATALAKSANAAN
Derajat 2 : Derajat 1 disertai perdarahan spontan di kulit dan atau Dasar pengobatan DBD adalah pemberian cairan ganti se-
perdarahan lain. cara adekuat. Pada sebagian besar penderita penggantian plasma
Derajat 3 : Ditemukannya kegagalan sirkulasi yaitu nadi eepat secara dini dengan memberikan eairan yang mengandung
dan lembut, tekanan nadi menurun kurang atau sama dengan 20 elektrolit, ekspander plasma dan atau plasma memberikan basil
mmHg atau hipotensi disertai kulit yang dingin, lembab dan yang baik.
penderita menjadi gelisah. Hemokonsentrasi mencerminkan derajat kebocoran plasma
Derajat 4 : Renjatan berat dengan nadi dan tekanan darah yang dan biasanya mendahului munculnya perubahan vital secara
tidak dapat diukur. klinik.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992 63


Perubahan hemostatik pada DBD meliputi tiga faktor, yaitu 1) Antipiretik : asetaminopen dengan dosis :
perubahan vaskuler, trombositopenia dan gangguan pembeku- - umur 6—12 bulan : 50 mg/kali, sehari 4 kali;
an. Hampir 80% penderita DSS dan 17% kasus yang tanpa - umur 1— 5 tahun : 50—100 mg/kali, sehari 4 kali;
renjatan mempunyai gangguan pembekuan menunjukkan ada- - umur 5—10 tahun : 100—200 mg/kali, sehari 4 kali;
nya disseminated intravascularcoagulation (DIC) yang ditandai - umur > 10 tahun : 250 mg/kali, sehari 4 kali.
oleh trombositopenia yang berlanjut, partial thromboplastin 2) Antikonvulsi : bila kejang diberi :
time (PTT) yang memanjang, penurunan kadar fibrinogen dan Diazepam perrektal atau intravenous,
peningkatanfibrinogen degradation product (1.DP). Sekitar satu- Dosis : 5 — 10 mg per rektal/kali
pertiga kasus renjatan menunjukkan perdarahan terutama perda- 0,2—0,5 mg/kgBB/kali, i.v.
rahan traktus gastrointestinal sehingga pada penatalaksanaan b) DSS (Dengue Shock Syndrome) :
DBD perlu : 1. Bed eairan Laktat Ringer :
1. Pengawasan : 1) Renjatan berat : Cairan diberikan seeara diguyur, artinya
Pengawasan terutama observasi teliti tanda-tanda dini secepat-cepatnya; bila vena kolaps sehingga keeepatan tetesan
renjatan seperti pengawasan secara periodik terhadap keadaan yang dihanapkan tidak dieapai, maka eairan diberikan dengan
umum, nadi, tekanan darah, pernapasan, kulit, ujung jari, hema- semprit denhgan paksaan dimasukkan 100—200 ml, kemudian
tokrit dan trombosit setiap hari bahkan bila perlu setiap 3—6 jam dilanjutkan dengan tetesan.
sekali. 2) Renjatan tidak berat : Cairan 20 ml/kgBB/jam; bila tidak
2. Pengobatan : memberikan hasil dalam waktu 1 jam maka diberikan plasma
a) DBD tanpa renjatan : atau ekspander plasma 20—30 ml/kgBB/jam. Bila renjatan sudah
1. Minum banyak, 1,5—2 liter sehani, bisa air, teh, gula, sirop, diatasi, nadi jelas teraba, amplitudo nadi eukup keras, tekanan
susu, oralit. sistolik 80 mmHg atau lebih, maka kecepatan tetesan dikurangi
2. Pemberian i.v.f.d. (intravenous fluid drip), pada DBD tanpa menjadi 10 ml/kgBB/jam.
renjatan dilaksanakan apabila : Mengingat kebocoran plasma dapat berlangsung 24 — 48
- penderita muntah terus menerus, jam, maka pemberian eairan i.v. dipertahankan walaupun tanda-
- didapatkan hematokrit yang bertendensi terus meningkat. tanda vital telah menunjukkan perbaikan nyata. Karena hema-
Untuk hani pertama kita anggap penderita ada dalam keada- tokrit merupakan indeks yang dapat dipercaya dalam menen-
an dehidrasisi sedang, maka diberikan eairan laktat Ringer se- tukan keboeoran plasma, maka pemeriksaan hematokrit perlu
bagai berikut : dilakukan seeana periodik. Keeepatan pemberian eairan se-
lanjutnya disesuaikan dengan gejala klinik vital dan nilai hema-
Berat badan (Kg) tokrit. Dalam masa penyembuhan cairan dalam ruang ekstra-
3—10 10—15 15—20 vaskuler direabsorbsi kembali ke dalam ruang vaskuler, maka
pemberian eairan hanus hati-hati.
P.W.L. 80 ml 70 ml 50 ml 3) Pemberian darah : Indikasi pemberian darah ialah pada
N.W.L. 100 ml 80 ml 65 ml penderita dengan perdarahan gastrointestinal hebat, kadang-
C.W.L. 25 ml 25 ml 25 ml kadang perdarahan gastrointestinal berat dapat diduga apabila
nilai hemoglobin dan hematokrit menurun meskipun perdanah-
Jumlah 205 ml 175 ml 140 ml
annya sendiri tidal( kelihatan.
2. Obat-obatan :
P.W.L. : Previous Water Losses, yaitu jumlah cairan yang hilang
1) Antibiotik :
karena muntah, berak dan diperkirakan 8% untuk berat badan
Dirikan bila ada tanda-tanda infeksi bakteri atau bila syok
3—10 kg, 7% untuk 10—15 kg, dan 5% untuk 15—25 kg.
berulang atau syok berkepanjangan.
N.W.L. : Normal Water Losses, yaitu jumlah eairan yang hilang
2) Kortikosteroid :
dengan pernapasan, penguapan kulit (keringat) dan air keneing.
Kegunaan pemakaian kortikosteroid untuk penderita DSS
C.W.L. : Concomitant Water Losses, yaitu jumlah eairan yang
masih kontroversial. Sumarmo" ) dengan dosis tunggal hidrokor-
hilang karma lanjutan diare, muntah atau penghisapan.
tison suksinat 50 mg/kgBB i.v. menarik kesimpulan tidak ada
Untuk setiap kenaikan suhu badan satu derajat di atas 37 gunanya memberi hidrokortison pada penderita DSS, tapi Prasit
derajat Celcius atau suhu ruangan di atas 32 derajat Celeius, Futrakul dkk ""> dengan memakai dosis tinggi methyl predniso-
maka N.W.L. harus dinaikkan dengan 12%.
lone (MP) dan Mannitol (M) yaitu : MP 30 mg/kgBB/kali i.v.,
Apabila hari kedua dan selanjutnya masih diperlukan pem- dan dosis kedua: MP diberikan 4—8 jam kemudian ditambah M,
berian i.v.f.d. maka jumlah cairan yang dibutuhkan ialah jumlah dosis 0,5—1 gr/kg i.v. dan dosis kcdua M.
N.W.L. dan C.W.L. yaitu untuk berat badan : Dosis tinggi MP melepaskan post kapiler spinchter dan
— 3 -10 kg : 125 ml/kgBB/24 jam, spasme vena, mengurangi permeabilitas vaskuler sehingga me-
- 10— 15 kg : 105 ml/kgBB/24 jam, ninggikan venous return, juga merangsang glukoneogenesis
- 15 — 25 kg : 90 ml/kgBB/24 jam. hepar, menyokong metabolisme karbohidrat hepar, menstabil-
3. Pemberian obat-obatan : kan membran normal hepar dan meneegah aktifasi buruk kom-

64 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


plemen. posium Demam Berdarah Dengue 67–82; Jakarta 1986.
3) Carbazochrome Sodium Sulfonate : 4. Djatnika H. Epidemiologi dan pemberantasan DBD di Propinsi Jawa Barat.
Simposium Diagnosa dan Penanggulangan DBD, 1—28, Bandung, 1988.
Pemakaian obat(18)
ini masih belum ada kesepakatan. Peneli- 5. Abdul Rivai, Suroto-Hamzah E., Oscar Rahman, Soeprapti Thaib. Dengue
tian Funahara dkk melaporkan bahwa obat ini antara lain and Dengue Hemorrhagic Fever in Bandung. Paediatr. Indones. 1972;
dapat menekan peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan 12(1): 40-48.
mempersingkat waktu perdarahan. Kegunaan pemakaian obat 6. Gama H, Azhali MS. Tinjauan kasus Demam Berdarah Dengue selama 5
tahun di LabIUPF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS Bandung. Pekan
ini sekarang masih dalam penelitian yang akan dilakukan di Ilmiah FKUP/RSHS, 1986.
beberapa senter: Bandung, Jakarta, Yogyakarta, dari Surabaya. 7. Azhali MS. Aspek klinik dan penanggulangan Demam Berdarah Dengue
Dosis dan cara pemberiannya yaitu: 75 mg i.v., tiap 4 jam pada anak. Simposium Diagnosa dan Penanggulangan DBD, 29—47, Ban-
dung 1988.
selama 4 hari berturut-turut. 8. WHO. Technical guides for diagnosis, treatment, surveillance, prevention
4) Heparin : and control of Dengue Hemorrhagic Fever. Technical Advisory Committee
DIC merupakan penyebab utama perdarahan hebat, khu- on Dengue Hemorrhagic Fever for the South East Asian and Western
susnya perdarahan gastrointestinal dan dibuktikan dengan kadar Pacific Region, 1975.
9. Halstead SB. Dengue Hemorrhagic Fever, A public health problem and a
trombosit yang rendah, kadar fibrinogen yang rendah dan pe-
field for research. Bull. WHO 1980; 58: 1—21.
ninggian'kadar FDP dan kelainan hemostatik. Dalam keadaan ini 10. Chan Y, Lao OF, Ngoh BL, Tan F1C, Seah C, Chan L. Rapid diagnosis on
pemberian heparin dapat dipertimbangkan. acute sera of DHF patients by Dengue Blot and IgM Elisa. Proc. Inter-
Dosis : 1/2 – 1 mg/kgBB, tiap 4 jam, i.v. national Symposium on Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever, Bangkok,
1990.
11. Dit.Jen. P3M, Depkes RI. Proyek pemberantasan penyakit yang ditularkan
binatang. Sub Proyek Arbovirus : Penyakit Demam Berdarah di Indonesia
dan pemberantasannya. Bahan Penataran Pelaksanaan Pemberantasan
KESIMPULAN Demam Berdarah Tingkat Propifisi se-Indonesia, Jakarta 1976.
DBD masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di 12. Dixon JJ. The occurrence of dengue hemorrhagic fever in the Phillipines.
Indonesia dan terutama menyerang an ak-anak. Asian J. Infect. Dis. 1978; 2: 15.
Diagnosis klinik berdasarkan kriteria WHO, tapi dari hasil 13. Sumanno. Demam Berdarah Dengue pada anak. Cetakan I, UI Press, 1983.
14. Kho LK, Wulur H, Himawan T, Thaib S. Dengue hemorrhagic fever in
yang didapatkan beberapa peneliti ternyata terdapat variasi dari Jakarta. Paediatr. Indones. 1972; 12(1): 31—9.
gambaran klinik dan laboratorium. 15. Ismangun, Samik Wahab S, Rachmat Sutrisno, Achmad Surjono. Dengue
Diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan isolasi virus dan hemorrhagic fever in Yogyakarta, Central Java. Paediatr. Indones. 1972;
pemeriksaan serologis. 12(1): 49—54.
16. Sunarto, Sutaryo. Thrombocytopenia in Dengue Hemorrhagic Fever.
Penatalaksanaan DBD bersifat suportif dan penting sekali Paediatr. Indones. 1992; 32(3–4) 75—83.
pengawasan penderita secara eermat dan periodik. 17. Prasit Futrakul, Makumkrong Poshyachinda, Chulee Mitrakul, Smaru
Kwakpetoon, Pompon Unchumchoke, Chantana Teranaparin, Kouthini
KEPUSTAKAAN Kheokham, Chaweeman Impand. Hemodynamic response to high dose
methyl prednisolone and Mannitol in severe Dengue shock patients
1. WHO. Dengue Hemorrhagic Fever : Diagnosis, treatment and control. unresponsive to fluid replacement. The South East Asian. J Trop Med Publ
WHO, 1986. Filth 1987; 18(3): 373—82.
2. Suroso T. Perkembangan DBD di Indonesia. Simposium Nasional DBD, 18. Funahara Y, Shirahata A, Dhanna R, Nishiyama S, Wiharta AS, Nathin
Jakarta 1991. MA, Karjomanggolo TW, Tam9ela LA. Simposium Demam Berdarah
3. Wuryadi S. Sepuluh Tahun Pengamatan virus Dengue di Indonesia. Sim- Dengue, 109—138, 1986.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 199? 65


Demam Berdarah Dengue
di Semarang
Anggoro D.B. Sachro
Sub Bagian Penyakit Infeksi Tropis, Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Rumah Sakit Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRAK

Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini merupakan masalah karena dalam
waktu beberapa hari dapat menimbulkan kematian. Di daerah endemis seperti,Semarang,
87% dari orang tua penderita yang memeriksakan anaknya pada poliklinik Anak RS Dr.
Kariadi mengatakan bahwa DBD merupakan penyakit yang berat dan berbahaya.
Pada tahun 1972 dan tahun 1973 di kota Semarang dan sekitarnya telah terjadi
outbreak penyakit dengan gejala klinis persangkaan DBD. Sejak 1 Januari 1972 sampai
dengan 31 Maret 1973 telah dirawat 1381 anak yang berumur sampai dengan 14 tahun,
dan pada tahun 1973 telah berhasil ditemukan virologi positip. Sedangkan menurut
Kriteria klinik WHO 1975, 80% serologis positip pada penderita Tersangka DBD, dan
73,33% serologis positip pada penderita klinis DBD (1986).
Rata-rata kadar Hemoglobin (metode Sahli) 10,2 gr % (SD1, 19); dan rata-rata
Hematokrit 34,8% (SD 3,37) pada penderita DBD setelah 2 minggu sembuh dari
penyakitnya (1986).
Data 5 tahun terakhir menunjukkan : dirawat penderita Tersangka DBD, DBD dan
DSS di Bagian Anak RS Dr. Kariadi 768 orang (1987), 859 orang (1988), 250 (1989),
1240 orang (1990), dan 508 orang (1991); dengan angka kematian antara 4,1 — 5,2%.
Diagnosa T. DBD 25,4—42,8%, DBD I 23,4—29,6%, DBD II 6,9—18,1%, DBD III
2,0–9,4%, dan DSS 17,8–21,8%. Penderita T. DBD rawat jalan 26,66% akhirnya rawat
nginap, sedangkan 50% penderita DBD I akhirnya rawat nginap.

PENDAHULUAN dikenal di Indonesia, namun sampai saat ini kita masih meng-
Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih alami kesulitan dalam usaha menegakkan diagnosis dini serta
merupakan masalah kesehatan baik bagi tenaga kesehatan menurunkan angka kematian. Hal ini karena begitu luasnya
khususnya maupun masyarakat luas pada umumnya, karena spektrum gejala klinis yang diperlihatkan penderita DBD, mulai
penyakit ini dapat menimbulkan wabah, dan apabila penangan- demam ringan yang tidak khas dan sembuh sendiri dalam bebe-
annya tidak tepat dapat mengakibatkan kematian, sehingga rapa hari, sampai pada demam tinggi yang tiba-tiba jatuh pada
penyakit ini masih sangat ditakuti oleh masyarakat; kadang- keadaan syok dan perdarahan berat hingga meninggal sebelum
kadang penyakit ini muneul secara mendadak pada suatu daerah sempat diagnosis ditegakkan(2) .
tertentu yang tidak diwaspadai atau diperkirakan sebelumnya t '". Pada daerah endemis seperti Semarang dan sekitarnya,
Walaupun sudah Iebih seperempat abad penyakit DBD sekitar 90% orang tua penderita penyakit DBD maupun yang

66 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


bukan DBD yang berobat di Rumah Sakit Dr. Kariadi Bagian Tabel 2. Distribusi umur penderita DBD dalam periode 5 tahunan pada
Bagian Anak RS Dr. Kariadi Semarang
Anak mengatakan bahwa penyakit Demam Berdarah Dengue
(yang orang awam sering menyebut penyakit "Demam") meru- Jumlah Penderita DBD ( %)
Umur -
pakan penyakit yang berat dan berbahaya, dengan alasan gejala- 1972-1976 1977-1981 1982-1986 1987-1991
nya tidak jelas dan dalam waktu yang singkat dapat menimbul-
0-11 bl 1,44 2,59 2,42 4,22
kan kematian yang kebanyakan pada anak usia sekolah. Bahkan 30,41 22,01
1 - 4 th 32,14 32,21
sebagian besar orang tua yang anaknya menderita Demam, 5 - 9 th 54,28 50,88 48,78 58,52
belum merasa puas sebelum dokter yang memeriksa dapat me- 10th- 12,44 12,32 18,38 15,24
mastikan bahwa anaknya pasti menderita DBD atau bukan DBD.
Hingga saat ini sarana diagnostik untuk memenuhi diagnosis Penderita DBD yang dirawat, menurut derajat sakitnya
Tabel 3.
dengan Kriteria WHO 1975, berupa pemeriksaan tanda adanya
Jumlah Penderita DBD (%)
hemokonsentrasi belum tersedia pada seluruh Rumah Sakit Derajat Sakit
Kabupaten, sedangkan untuk menentukan nilai jumlah trombosit 1972-1976 1977-1981 1982-1986 1987-1991
belum banyak tenaga yang terlatih. T. DBD 34,23
Pengaruh budaya, sosio ekonomi masyarakat terutama di DBD I 23,01 28,81 39,47 22,01
desa masih berpengaruh di dalam usaha untuk secepatnya me- DBD II 47,85 40,63 40,54 13,32
DBD ]II 12,29 12,14 3,96 6,43
rujuk penderita ke Sarana Perawatan yang lebih baik, dengan
DBD IV/DSS 16,89 18,42 16,02 16,74
tujuan menekan angka kematian DBD masih berkisar 3 - 5%.
Untuk mengurangi meluasnya penyakit, usaha mengaktifkan
atau menggerakkan masyarakat di dalam Gerakan Pembersihan Tabel 4. Angka kematian rata-rata penderita DBD yang dirawat di Bagian
Anak Rumah Sakit Dr. Kariadi selama 4 periode lima tahunan
Sarang Nyamuk (PSN) walaupun pelan namun dirasakan man-
faatnya. Pa-lode tahun Angka kematian (%)

1972 - 1973 6,40 (pertama kali KLB)


SITUASI DEMAM BERDARAH DENGUE DI SEMARANG 1972 - 1976 5,79
Di Semarang kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di- 1977 - 1981 3,77
1982 - 1986 4,50
curigai sejak tahun 1968, dan jumlah kasus meningkat dengan 1987 - 1991 4,68
pesat pada tahun 1972. Sejak 1 Januari 1972 sampai dengan 31
Maret 1973 telah dirawat di Bagian Anak RS Dr. Kariadi se-
banyak 1381 orang anak dengan diagnosis klinik DBD, terdiri Sebagaimana penyakit infeksi virus lainnya, hingga se-
692 laki-laki dan 689 orang perempuan. Sembilan puluh satu karang belum ditemukan pengobatan DBD secara etiologis.
persen berasal dari kota Semarang. Dari pemeriksaan HI tes Perubahan patofisiologis terutama adanya keboeoran plasma
(serologis) saat itu 69,8% positip. Sedangkanc angka kematian dengan segala akibatnya (syok, asidosis, DIC dan lain-lain)
saat itu 6,4% (penderita dengan syok 14,4%) menjadi dasar penatalaksanaan penyakit DBD. Dengan demiki-
Pada tahun 1973 (2-6 Maret) telah diteliti 30 penderita an pengobatan DBD masih bersifat suportip berupa pemberian
tersangka DBD; berhasil diisolasi virus Dengue tipe 1, 2, dan 3 cairan ganti (volume replacement) yang adekuat dan mengoreksi
dari 10 orang penderita(3) . perubahan asam basa yang terjadi. Pada sebagian besar penderita
penggantian dini plasma yang hilang dengan memberikan cairan
Tabel 1. Jumlah kasus DBD yang dirawat di RS Dr. Kariadi Semarang pengganti secara efektif memberikan basil yang balk. Apakah
Laki-laki Perempuan penderita-penderita tersangka DBD perlu dirawat, ditentukan
Periode Tabun (%) (%) Jumlah Kasus
berdasarkan pemeriksaan hematokrit dan trombosit secara ber-
1972 - 1976 48,23 51,74 2324 kala. Penderita DBD tanpa syok dirawat dan observasi secara
1977 - 1981 47,83 52,17 2074 teliti terhadap kemungkinan adanya tanda-tanda dini syok.
1982 - 1986 47,55 52,45 3957 Akibat kehilangan cairan (demam tinggi, anoreksia, mun-
1987 - 1991 46,81 53,19 3625
tah-muntah) penderita perlu diberi minum banyak. Cairan intra-
vena diberikan pada penderita DBD tanpa syok bila anak terus
Rata-rata kasus DBD merupakan kasus 3 terbesar jenis muntah, yang mengancam terjadinya dehidrasi atau bila nilai
penyakit di Bagian Anak RS Dr. Kariadi di samping ISPA dan hematokrit pada pemeriksaan berkala cenderung terus mening-
gastroenteritis (13,75 - 14,2% dari semua penderita anak). kat. Pada penderita DBD dengan syok, mula-mula diberikan
cairan Ringer Laktat sebanyak 10 ml/kgBB/30 mnt, sebagai
Pengelolaan Penderita resusitasi cairan. Kemudian diadakan evaluasi, tiap setengah
Setelah diagnosis ditegakkan penderita dirawat di Rumah jam. Apabila syok belum teratasi pemberian eairan dapat diulangi
Sakit apabila ada indikasi rawat. Semua penderita yang akan sampai 3 kali sementara itu sudah dilakukan usaha plasma
dirawat di bangsal, baik pada jam kerja maupun di luar jam kerja, sebanyak 15 - 20 ml/kgBB. Apabila resusitasi cairan berhasil,
harus melalui Unit Gawat Darurat (UGD). tanda-tanda syok sudah tidak ada, penderita dipindah rawat ke

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 67


ruang HND (High Nursing Dependency) untuk mendapat penge- pemeriksaan hemoglobin (Sahli) dan Hematokrit (Mikrohema-
lolaan lebih lanjut. Sedangkan apabila penderita masih meng- tokrit) menunjukkan kenaikan yang bermakna, malca keadaan
alami syok, dirujuk ke PICU (Pediatric Intensive Care Unit), akut serta penurunan pada keadaan rekovalesen.
dengan indikasi syok yang berkepanjangan untuk mendapatkan Rata-rata kadar Hb penderita dalam keadaan sembuh 10,2
pemantauan yang lebih ketat antara lain : pemeriksaan tekanan g% dengan simpang baku 1,19, dan HT penderita dalam keadaan
vena sentralis, pemeriksaan albumin, elektrolit darah, analisa gas sembuh 34,8% dengan simpang baku 3,37 (diartikan keadaan
darah dan X foto toraks. Begitu juga penderita yang sudah sampai sembuh ialah 2 minggu setelah pulang dari Rumah Sakit) t10I
ruang HND harus dipindah rawat ke ruang PICU apabila terjadi
Sikap/Pendapat Orang Tua terhadap DBD
syok berulang atau pendarahan berat. Penderita di ruang HND
Tahun 1989 — 1990 tclah diteliti pendapat/sikap orang tua
yang mengalami perbaikan dipindah rawat ke ruangan perawat-
an biasa. penderita DBD maupun yang bukan D13D terhadap penyakit
DBD. Penderita DBD datang ke RS 82% atas kemauan sendiri,
Cairan RL yang digunakan untuk resusitasi cairan diberikan
dan 51% ada. keluarga yang sakit DBD dalam 2 minggit ter-
sampai dengan syok teratasi, kemudian diganti eairan peme-
akhir, sedangkan 37% mengatakan ada teman sekolah yang sakit
liharaan. Selama perawatan ini kepada penderita dilakukan
DBD. 96,5% OT mengatakan sudah pernah/tahu DBD, dan
pemantauan : keadaan umum, tensi, nadi, pernapasan, tanda
92,5% mengetahui nyamuk sebagai binatang perantaranya. 87%
edem paru, tanda pendarahan abdomen, dan perdarahan yang
menganggap DBD sebagai penyakit yang berat/berbahaya.
lain, serta pelembaban kulit. Pemantauan pemeriksaan Laborato-
Tindakan peneegahan yang perlu dilakukan 70%
rium adalah terhadap kadar Hemoglobin, Hematokrit, jumlah
menyebutkan perlunya , PSN, namun hanya 51% yang pernah
trombosit. Pemantauan dilakukan tiap 1—2 jam. Apabila keadaan (5,6) melakukan, sedangkan hanya 24,6%'yang melakukan PSN atas
membaik pemantauan tersebut dapat lebih jarang dilakukan )
kesadaran sendiri tttl
Indikasi perawatan di PICU RS Dr. Kariadi/FK UNDIP :
1. Syok yang tidak dapat diatasi,
KESIMPULAN
2. Syok berulang,
1) Semarang dan sekitarnya merupakan daerah endemis
3. Syok dengan perdarahan hebat, dan
DBD, seperti daerah endemis tinggi yang lain di Indonesia perlu
4. Syok dengan menyulitsepertikegagalan pemafasan,ensefa-
waspada setiap saat akan terjadinya KLB, khususnya men-
lopati, payah jantung dan lain-lain.
Mang musim hujan, siklus 5 tahun; yang diperkirakan jatuh
Angka kematian penderita DB D/DSS yang dirawat di PICU
pada tahun depan (1993).
masih tinggi (tahug 1987 — 1988 : 50,1%). Kasus DBD/DSS 2) Sejak tahun 1971 kasus DUD makin meningkat. Sedangkan
yang dirawat di PICU (dalam %) dengan berbagai penyebab :
angka kematian tidak menurun, meskipun masih relatif tinggi,
(1987 — 1988)( 6 ).
sehingga perlu peningkatan dalam mengelola kasus DBD. Ke-
- DBD perdarahan 12,73%
terlambatan penanganan kasus berat disebabkan oleh faktor
- DBD syok berulang 25,45%
pengetahuan masyarakat terhadap kesehatan, di samping ke-
- DSS prolong syok 26,36%
adaan sosioekonomi masyarakat yang masih rendah sehingga
- DBD ensefalopati 16,36%
menolak untuk diru juk ke RS. Di samping begitu luasnya spektrum
- DSS Hiperpireksi 3,67%
gejala klinis di DBD, juga belum dapat dipenuhinya sarana
- DSS Edema paru 0,90% diagnosis terhadap DBD di Puskesmas maupun di RS Ka-
- DSS 21,82% bupaten.
3) Masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap perlunya
HASIL PANTAUAN PEMERIKSAAN LABORATORIS tindakan PNS secara teratur, sehingga meluasnya penyakit be-
Pemeriksaan serologis (Uji HI/Haemaglutination Inhibition) lum dapat diatasi secara balk.
Telah diteliti, pada tahun 1983 menunjukkan serologi posi- 4) Penelitian perlu torus menerus dilakukan guna membuka
tif 55,4 — 60% positif, tahun 1985 — 1986 menunjukkan 55,97 — atau dapat memperjelas patofisiologi, patogenesis serta bio-
59,75% positif. Sedangkan pada penderita DBD III/DSS di- kimiawi penyakit DBD, dan tersedianya vaksin anti DBD.
temukan 66,56% positif (1983), dan 88,6% positif (1987). Tahun
1986 — 1987 pernah dilakukan penelitian terhadap penderita KEPUSTAKAAN
tersangka DBD/DSS rawat jalan menunjukkan hasil : Penderita
1. Anggoro DB Sachro. Pcn®talaksanaan kasus DBD. Pelatihan tcrpadu
T. DBD : 80% positif, dan DBD : 73,3% positif. pcmbcrantasan P2ML dan P2132 bagi doktcr Puskcsmas Jatcng, 1992.
Oleh sebab itu setelah melihat hasil di atas, penderita T. 2. Anggoro D13 Sachro. Aspek klinik dan pcngclolaan DH3D. Penataran DBD
DBD perlu diwaspadai (dalam penelitian selanjutnya 26,66% doktcr Puskcsmas. 1983.
penderita T. DBD rawat jalan pada akhirnya memerlukan rawat 3. Mocljono 'H S, Ag. Sumantri, Sujono, Anggoro DB Sachro, Suprapti T.
Pcnderita DHHF dcngan pengisolasian virus pcnycbabnya. KONIKA III
nginap) maka indikasi perawatan penderita lebih diperluas(6'7 9 '
) Surabaya 1974.
4. Sujono, MocijonoTS, I lardiman, Anggoro DB Sachro, Suprapti T. Pendc-
Pemeriksaan terhadap Hemokonsentrasi
rita DHHF yang dirawat di Bagian IKA RS Dr. Kariadi/17C UNDIP 1972 —
Penelitian tahun 1986 — 1987 menunjukkan bahwa dengan 1973. KONHKA I1I Surabaya 1974.

68 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 8/, /992


5. Djoti Atmodjo. Pengelolaan DBD berat. Simposium pengelolaan kega- 12. Sumarmo. Demam Berdarah (Dengue) pada anak. Jakarta: Penerbit Uni-
watan pada anak. Semarang, 1986. versitas Indonesia, 1983.
6. Susanto JC, Anggoro DB Sachro, Djoti Atmodjo. Pemeriksaan serologi 13. WHO. Dengue Haemorrhagic Fever, diagnosis, treatment and control.
Penderita DBD III/IV/DSS. KONIKA VII Jakarta 1987. Geneva : 1986.
7. M. Arifin Basri, Anggoro DB Sachro. Gambaran pemeriksaan serologi 14. Anggoro, Mulyono, Suliansyah. Dengue Shock Syndrome. KPPIK. FK
DHF di RS Dr. Kariadi. KONIKA VI, Denpasar 1984. UNDIP Semarang, 1982.
8. Sudarto Y, Anggoro DB Sachro. Gambaran pemeriksaan serologipenderita 15. Tatty Hendatto, Setyabudi, Ag. Sumantri, Djoti Atmodjo, Winamo. Albu-
DBDIDSS yang dirawat di Bagian IKA FK UNDIP/RS Dr. Kariadi 1985 - min penderita DBD berat di PICU RS Dr. Kariadi, KONIKA VII, Jakarta
1986. KONIKA VII Jakarta 1987. 1987.
9. Anggoro DB Sachro, Hendiani S. Gambaran serologi penderita T. DBD/ 16. Anggoro DB achro, Susanto JC. Penderita DBD yang dirawat di Bagian
DBD di Unit rawat jalan anak RS Dr. Kariadi. KONIKA VII Jakarta 1987. Anak RS Dr. Kariadi/FK UNDIP 1987 - 1988. Kongres Nasional ke III
10. Sugeng Riswanto, Anggoro DB Sachro, Hendriani S. Gambaran Hemato- PKGDI Semarang 1989.
logi pada Penderita Tersangka DBD, DBD yang dirawat di RS Dr. Kariadi, 17. Sulaimi P, Anggoro DB Sachro. Penderita DHP yang dirawat di Bagian
KONIKA VII, Jakarta 1987. Anak FK UNDIP/RS Dr. Kariadi 1975 - 1977. Ceramah klinik RS Dr.
11. Anggoro DB Sachro dkk. Sikap/pendapat Orang Tua terhadap DBD. Kariadi 1978.
KONIKA VIII Ujung Pandang 1990. 18. Anggoro DB Sachro. Aspek klinis dan Laboratoris DBD. Penataran Ka.
Unit arboviruses Kab. Kodya. 1985.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 8/, /992 69


Dengue virus surveillance
at Sumber Waras Hospital
September 1987 through August 1992
Ratna Tan, G. Jennings, TK. Samsi
U.S. Naval Medical Research Unit No. 2, Jakarta, Indonesia
Sumber Waras Hospital, Jakarta, Indonesia

ABSTRACT

A hospital-based surveillance program was eondueted at Sumber Waras Hospital to


monitor dengue virus infeetions and the prevailing dengue serotype. Serum samples from
suspected dengue eases were colleeted for virus isolation using C6/36 mosquito eell
eulture and/or by mosquito inoeulation. In 1988, a dengue epidemic oeeurred with 1431
hospitalized cases of suspected dengue infection. This was followed by four interepidemie
years, 1989 through 1992, with a total of 1873 cases. A total of 496 (14.2%) dengue virus
isolates were identified during the period. The predominate isolate in 1987—1988 and
1988—1989 was serotype dengue serotype 3 (53.8% and 70.0%, respectively), but in 1990
and 1991 the predominate isolate was serotype 1 (40.0%). We found in 1992 an increase
in all serotypes with the exception of dengue 4. Isolates were found throughout the year,
with peak rates occurring at different times each year. Dengue virus was isolated primarily
(37.4%) from primary dengue infections than from secondary infeetions (64.5% vs
35.5%). There was no direct correlation between serotype and severity of infection. While
virologie surveillance is an important component of dengue surveillance, these findings
indieate that in an urban area with endemie dengue virus, serotype data may be of minimal
epidemiologic value, since all four dengue serotypes were found throughout the year, and
that during the epidemic the frequency of isolation for all serotypes increased.

70 Co-min Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


Potential pathogenic roles
of acute inflammatory cytokines
and HLA status in DHF
P. O'Hanley#, G. Jennings, R. Larasati, S. Diegagunarsa,
N. Pudjoprawoto, C. Maroef, N. Punjabi, H. Wulur*, and T. Samsi*
Navy Medical Research Unit-2, Jakarta, Indonesia; Stanford University#, Stanford,
CA; and Sumber Warasa Hospital* , Jakarta, Indonesia

ABSTRACT

Dengue hemorrhagie fever remains a common disease in Jakara; however, little


is known about the cellular immnune responses and acute inflammatory responses in
this disease. Lymphoeyte subset pupulations and acute inflammatory cytokine
responses (e.G., IL-1, IL-6 and TNF) were eharacterized in aeutely ill and eonvalescing
patients aged 8 months to 13 years with eomfirmed dengue infeetion. An obvious first
requirement to interpret the signifieance of lympphoeyte subset levels by flow eytometry
in dengue infected patients was to determine a relevant reference standard. We evaluated
the lymphocyte profiles of 97 healthy Indonesians children by flow cytometric tech-
niques. Results indieate that healthy Indonesian children have significantly greater
number of natural killer eells and lower T4 cells and T4:T8 rations in peripheral blood
than Caucasians of comparable age. The lymphocyte profiles of 47 acutely-infected
and convalescing children with dengue viral infestion demonstrate an overal decrease
in lymphocytes of all subsets when compared to the normal standard for this raee. T4
cells are affeeted the most. This effect is significantly greater for young boys compared
to girls and persists at least for 3-6 months. Also, we evaluted serially acute inflammatory
cytokines in the serum and urine in patients with documented dengue infection from
the time of admission until dischage 5 days later. Among the 56 hospitalized patients
that exhibited various grades (I-IV) of severity of disease after >_ 5 days of initial
symptoms, there were no detectable levels of acute inflammatory cytokines in any of the
sera samples. There were occassionally detectable amounts of IL-6 ant TNF in concen-
trated urine samples at the time of admission. This suggested humoral clearance of these
cytokines sinee there was no evidence of renal insuffciency in these patients. Further
studies involving in vitro macrophage cultures infected with dengue viral serotypes 1-4
indicate that there are robust IL-6 and TNF respons detected in eulture supernatants. We
postulate that these inflammatory cytokines contribute to the pathogenesis of dengue virus
mediated eapillary leak syndromes; however, it will be futile to modulate the noxious
eonsequenees of acute inflammatory eytokines in dengue disease sinee these mediators
are released early in the disease process and are usually cleared by the time a patient seeks
hospital care.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 71


A study of human peripheral blood
leukocytes from Dengue immune
persons; relationship between FC
receptor expression and virus growth
May Chu', G.B. Jennings2 C. Na'Roef 2 H. Wulur 3 , T.K. Samsi 3
Centers for Disease Control, Ft. Collins, CO, USA'
U.S. Naval Medical ResearchUnit No. 2, Jakarta, Indonesia'
Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta, Indonesia'

ABSTRACT

The factors that lead to the development of the severe manifestations of dengue
infeetions, dengue hemorrhagic fever (DHF) and dengue shock syndrome (DSS), remain
unelear. In vitro antibody dependent enhaneement (ADE) of dengue virus growth has
been shown to be mediated by the presenee of sub-neutralizing amonts of specific
antibody and the presence,of Fe receptors (FcRs) expressed on suseeptible eells. Dengue
viruses are known to replieate in monocytes and maerophage eells that express FcRs.
Three classes of FcRs are detected on these eells : FcRI, FcRII, and FcRIII. Eaeh of
these receptors ean be differentiated by speeifie monoelonal antibodies. The proposed
study was eondueted : to determine wheter we eould differentiate variable FeR
expression in a group of reeently hospitalized dengue patients; to determine if we
could correlate differential expression of FcRs with dengue disease severity; and to
examine in vitro whether inereased FeRs on the surfaee of human peripheral blood
leukoeytes (HuPBLs) ean mediate inereased dengue virus replieation in the presenee of
an enhacing antibody. Whole blood was collected from 20 children who had been
admitted previously to R.S. Sumber Waras for dengue virus infection. All grades of
dengue illness were determined. HuPBLs were analyzed for the presence of FeRs, and for
their ability to replieate dengue virus in the presence of neutralizing antibody. We found
that FeRII was the dominant receptor, followed by GeRIII and FeRI. The FcR expression
varied among the study participants and could be segregated into two major groups : low-
expression or non-responders and high-expression or responders. There was no
association between the amount of FcR-expression and the severity of dengue virus
infection. In vitro ADE assays found that patients with low neutralizing antibody titers and
non-responder HuPBLs did not support dengue virus replication as eontrasted with
patients with high antibody levels and responder HuPBLs. Future Phase Ii studies will
eompare FcR profiles with serum neutralization and ADE eulture results.

72 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81. 1992


PENYAKIT TROPIS

Hepatitis in children in Asia


Mel-Hwel Chang, MD.
Department of Pediatrics, National Taiwan University Hospital, Taipei, Taiwan, R.O.C.

ABSTRACT

Asia is an area prevalent for various hepatitis virus infeetion. Hepatitis A and B are
especially important in ehildren beeause most of the infections oeeur in ehildren in Asia.
I. Hepatitis A Virus (HAV) Infection
In the past, HAV infeetion oeeurs mainly during ehildhood. It was the most important
etiologie agent of acute hepatitis in ehildren. The majority of children has been infeeted.
The improvement of sanitation and socioeeonomic condition has made a prominent
change of seroepidemiology of HAV infection in Asia and other part of the world.
Nowadays, many ehildren and young adults are suseeptible to HAV infeetion.
However, outbreaks of HAV infection still oceur in many areas of Asia. While the
communications between eountries are increased rapidly, it is mandatory to give
immunoprophylaxis to those who is going to the endemie areas. Aetive immunization by
an inaetivated hepatitis A vaeeine has been proved to be highly immunogenic and safe
to both ehildren and adults.
II. Hepatitis B Virus (HBV) Infection
Perinatal transmission of HBV from HBsAg carrier mothers to their infants is a
eommon transmission route of HBV infection in Asia. It explains for about 40—50% of
HBV carriers in Taiwan. Age of infection is an important factor determining the outcome
of HBV infeetion. About 90% of neonates of HBeAg positive HBsAg carrier mothers
beeame HBsAg earriers while only 25% of infeeted toddlers and 3% of infeeted young
adults beeame earriers.
Age is also an important faetor to determine HBeAg positivity. The annual HBeAg
seroclearanee rate was low before 3 years of age. It increases to about 5% after 3 years of
age. During the proeess of HBeAg seroeonversion, serum aminotransferases inerease and
HBV DNA levels decline. The liver histology is usually ehronie persistent or ehronie
nonspecific hepatitis with or without focal neerosis in the early stage of chronic HBV
infeetion. It changes to ehronie active liver diseases during HBeAg seroconversion. After
HBeAg seroeonversion, aminotransferases returns to normal range, and liver histology
beeomes inaetive mostly nospecific hepatitis or ehronic persistent hepatitits, with small
oeeasions of cirrhosis.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 73


III. Hepatitis C Virus (HCV) infection in children
HCV infeetion in ehildren in Asia is uneommon exeept in high risk groups such as
ehildren who reeeived frequent infusions or multiple donors of blood or blood produets.
Transmission of HCV from HCV positive mothers with or without HIV infection to their
infants is uncommon but possible.
IV. Hepatitis D Virus (HDV) infection in children
Hepatitis D eoinfeetion or super-infeetion in HBsAg earrier ehildren is rare. Perinatal
transmission of HDV has been reported but is limited to case reports.

Untuk segala surat-menyurat, pergunakan


Alamat lengkap Anda dengan mencantumkan Kode Pos
ke alamat kami :
CERMIN DUNIA KEDOKTERAN
P.O. Box 3105, JAKARTA 10002

74 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 8/, /992


Hepatitis pada bayi
Adnan S. Wiharta
Sub Bagian Hepatologi Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia,
Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Tabel 1. Insidens dan penyebab kolestasis pada bayl


Hepatitis atau radang hati biasanya ditandai oleh pe- London Melboure Oslo Total
ningkatan kadar bilirubin direk (conjugated) di dalam darah.
Keadaan tersebut disebut kolestasis dan sering di jumpai pada Atresia bilier 11 55 64 130
sindrom hepatitis pada bayi (1) Hepatitis neonatal 43 105 57 205
Kolestasis adalah penimbunan bahan-bahan dalam darah terdiri dari :
dan hati yang biasanya disekresikan oleh hati ke duodenum (2) . defisiensi alpha
antitrypsin 7 8 8 23
Ada dua tipe kolestasis yaitu kolestasis intrahepatik yang infeksi 3 22 5 30
terjadi akibat adanya kelainan mulai dari hepatosit, membran penyebab lain 4 6 15 25
hepatosit sampai kepada saluran empedu intrahepatik. Yang Idiopathic 29 69 32 130
kedua yaitukolestasis ekstrahepatik akibat adanya sumbatan Sporadik 27 59 25 111
Familial 2 10 7 19
pada saluran empedu ekstrahepatik('). Hipoplasia intrahepatik 0 11 3 14
Pada makalah ini pembahasan akan dititik beratkan pada
kolestasis intrahepatik yang merupakan keadaan yang paling Total 54 171 124 349
Total kelahiran 134.000 790.385 1.000.000
sering di jumpai pada hepatitis neonatal.
(Tanner S, 1989)
ANGKA KEJADIAN
Pada tabel 1 diperlihatkan angka kejadian hepatitis neonatal GEJALA KLINIK
dibandingkan dengan keadaan lain. Kolestasis intrahepatik atau hepatitis neonatal akan
Hepatitis neonatal di London terdapat 11 di antara 54 bayi memperlihatkan gejala klinik seperti umumnya kolestasis dan
yang lahir dengan kolestasis, sedangkan di Meboume Oslo dapat terlihat pada gambar 1.
masing-masing 105, dan 57 di antara 171 dan 124 bayi yang Kolestasis intrahepatik biasanya memperlihatkan wama tinja
lahir dengan kolestasis. yang berfluktuasi pada ketiga tinja 3 porsi. Tinja yang dima-
sukkan ke dalam kantong plastik hitam dan dikumpulkan dari
jam 6.00 – 14.00 disebut tinja porsi pertama, dari jam 14.00 –
ETIOLOGI
22.00 disebut tinja porsi kedua dan porsi ketiga diperoleh antara
Banyak faktor yang menjadi penyebab bilirubin direk darah
jam 22.00 - 6.00 esok harinya.
meningkat akibat kolestasis intrahepatik. Hal tersebut dapat
Data laboratorium yang menyokong kolestasis intrahepatik
terlihat pada tabel 2.
yaitu peningkatan kadar SGOT/SGPT darah yang melebihi 19
Seperti tertera di tabel was, banyak sekali penyebab kolesta- kali normal dengan peningkatan gama GT yang melebihi 5
sis intrahepatik sehingga menyulitkan uapaya menegakkan diag- kali harga normal'.
nosis etiologik, apalagi sarana untuk menentukan kelainan di alas Akibat buruk yang terjadi pada kolestasis kronik dapat
belum tersedia lengkap di Indonesia. dilihat pada gambar 1.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 75


Tabel 2. KELAINAN INTRAHEPATIK a' Gambar 1. Sekuele kolestasis kronik°

A. Idiopatik Kolestasis
1) Hepatitis neonatal idiopatik
2) Kolestasis intrahepatik persisten, antara lain :
a) Displasia arteriohepatik (sindrom Alaggille) Relensi/Regurgitasi Konsentrasi asam empedu
b) Sindrom Zeliweger (sindrom serebrohepatorenal) intraluminal sedikit
c) Intrahepalic bile duct paucity
B. Anatomik • Asam empedu
1) Fibrosis hepatik kongenital atau penyakit polisistik infantil (pada hati atau
ginjat) Pruritus
2) Penyakit Caroli (pelebaran kistik pada duktus intrahepatik) Hcpatotoksik Malabsorbsi
C. Kelaanan metabolisme
1) Kelainan metabolisme asam amino : tyrosinemia Pick dan penyakit Faucher • Bilirubin Lemak
3) Kelainan metabolisme karbohidrat : galaktosemia, fruktosemia, glikogen- ikterus malnutrisi
osis IV. retardasi pertumbuhan
4) Kelainan metabolisme asam empedu
65) Penyakit metabolik tidak khas, antara lain : defisiensi alfa 1 – antitripsin, • Kolesterol Vitamin yang larut dalam lemak
fibrosis kistik, hipopituitarisme idopatik, hipotiroidisme Xantelasma A - kulit tebal
D. Hepatitis Iliperkolesterolemia D - osteopenia
1) Infeksi (hepatitis pada neonatus) antara lain : TORCH, virus hepatitis B E - degenerasi neromuskular
(virus hepatitis C?), Reovirus tipe 3, dan lain-lain • Penumpukan * Trace elements* K - hipoptotrobinemia
2) Toksik : kolestasis akibat nutrisi parenteral, sepsis dengan kemungkinan (lembaga dB)
endotoksinemia Diare / steatorea
E. Genetik atau kromosomal
Trisomi E, Sindrom Down, Sindrom Donahue (leprechaunisme) Penyakit hati progresif
F. Lain-lain (sirosis bilioer)
Ilistiositasis X, rejatan atau hipoperfusi, obstruksi intestinal, sindrom
poliplenia, lupus neonatal. Hipenensi porta Gagal hati

Hipersplenisme \Asites '---__Perdarahan (varises)


Tabel 3. Gambaran klinis yang membantu membedakan kolestasis intra-
hepatik dengan kolestasis ekstrahepatik t•~.
kuat, sehingga dapat merusak mikrosom dan sitokrom P. 450.
Kerusakan pada mikrosom akan mengganggu proses dehidroksi-
Kolestasis Kolestasis
Data klinis ekstrahepatik intrahepatik lasi, sehingga akan terbentuk asam empedu dihidroksi yang lebih
banyak lagi dan dapat menyebabkan kerusakan hati yang lebih
Wama tinja : - putih 79% 25% luas.
- kuning 21% 74%
Berat badan lahir > 3 kg < 3 kg
Umur saat Sekitar Sekitar PENGELOLAAN
tinja akolis 2 minggu 1 bulan Berhubung sulitnya mencari etiologi kolestasis intrahepatik
Gambaran klinis hepar : umumnya, maka pengelolaan penderita hepatitis neonatal
Ilcpatomegali : khususnya dapat dibagi menjadi :
–konsistensi normal 12 anak 35 anak
– padat (firm) 63 anak 47 anak 1) Pengelolaan suportif
–keras (hard) 24 anak 6 anak 2) Upaya menegakkan diagnosis etiologik.

(Allagille, 1985) 1. Pengelolaan suprotif


Kelainan di atas terutama disebabkan oleh tertimbunnya Sarana utama tindakan ini adalah :
asam empedu yang toksis misalnya asam lotikolat yang akan 1) Memperbaiki gangguan aliran bahan yang dihasilkan oleh
merusak sel hati secara selektif dan akan melibatkan SER (Smooth hati, terutama asam empedu (asam litokolat) dan kolesterol.
Endoplasmic Reticulum) serta motokondria. SER menjadi hi- 2) Melindungi hati dari pengaruh buruk zat toksik.
pertrofik sehingga aktivitas enzim terganggu dan pembentukan 3) Menjaga tumbuh kembang bayi agar tidak terganggu.
asam empesu akan melalui alur pertama, minor side chain Untuk tujuan pertama diberikan obat yang dapat mengatasi
oksidase, sehingga akan dihasilkan kenodeoksikolat lebih retensi zat toksik.
banyak dari biasa. Keadaan ini akan mengakibatkan Iebih banyak a) Penumpukan asam empedu dapat diatasi dengan pemberian
terbentuknya asam litokolat karena kenodeoksikolat merupakan obat yang memperbaiki aliran empedu seperti fenobarbital.
bahan baku asam litokkolat, sedangkan litokolat yang tertimbun Manfaat obat tersebut :
akan menyebabkan peradangan dan fibrosis pada saluran em- Merangsang enzim glukoronil transferase dalam mengubah
pedu kecil yang kemudian akan menyebabkan kolestasis. Asam bilirubin indirek (neurptoksik) ke dalam bilirubin direk yang
litokolat dan asam empedu dihidroksi lain bersifat detergen larut dalam air. Enzim ini juga merangsang pengikatan asam

76 Cermin Dunia Kedo1aeran Edici Khusus No. 81, 1992


litokolat yang hepatoksik dengan glisin yang tidak toksis t9>. menunjukkan bahwa pemberian AUDK jangka panjang path
• Merangsang sitokrom P-450 untuk oksigenisasi benda penderita-penderita PBC dapat memperbaiki gejala klinik, bio-
asing dan toksin oleh hati". kimiawi dan kelainan histopatologik. AUDK dapat menekan
• Merangsang sel hati yang berada di sekitar vena porta ekspresi antigen MHC kelas 1 pada hepatosit, oleh karena itu
(zone 1-2) meneroboskan garam empedu ke hepatosit yang target sel T sitotoksis juga berkurang sehingga kerusakan ja-
berada di daerah vena sentralis, sehingga tidak terjadi stasis ringan hati dapat dihindari.
ataupun konsentrasi zat toksin di beberapa kelompok sel hati Pengobatan nutrisional merupakan pengelolaan suportif lain
saja. Dengan eara demikian konsentrasi zat toksin ditunrunkan yang berguna untuk mempertahankan tumbuh kembang bayi
atau diratakan untuk tiap sel hati(") dilakukan :
• Merangsang aktivitas dan sintesis enzim Na+- K+- ATPase a) Pada penderita yang mengalami malabsorpsi lemak berat
yang berguna untuk memompa garam empedu dari ruang sinusoid diberikan formula yang mengandung medium ehain trigliserida,
melalui sel hati terus masuk ke dalam saluran empedu secara sedangkan yang ringan dan sedang eukup diberikan lipase saja.
aktiff12>. Protein yang diberikan diutamakan protein nabati. Sebagai sumber
b) Untuk memotong siklus enterohepatik asam epedu sekunder kalorinya dipergunakan glukosa polimer.
diberikan obat pengikat zat tersebut seperti kolesteramin. Obat b) Defieisnsi vitamin-vitamin yang larut dalamlemak :
ini diberikan dengan dosis 1 g tiap kg berat badan per hati dibagi * Defisiensi vitamin A diberikan Aquasol A dengan dosis
6 kali atau sama dengan frekuensi pemberian susu. 10.000 - 15.000 IU tiap had.
Dalam upaya melindungi sel hati dipergunakan asam ur- * Defisiensi vitamin E diobati dengan pemberian alfa to-
sodeoksikolat (ursodeoxyeholic acid, Urdaflak° s>) dengan dosis 3 koferol 50 - 400 IU per oral.
- 10 mg/kg BB/hari yang dapat meneegah kerusakan sel hati. * Defisiensi vitamin D diberikan pengobatan 5.000 - 8.000 IU
Asam ursodeoksikolat (AUDK) adalah 7 beta efimer vitamin D atau 3 - 5 ug/kg BB/hari hidroksikolekalsiferol.
kenodeoksikolat yang lebih hidrofilik dibandingkan dengan asam * Defisiensi vitamin K diberikan pengobatan dengan pem-
empedu lain, sehingga AUDK kurang begitu toksis("). berian 2,5 - 5 mg vitamin K yang larut dalam air berupa derivat
Zat di atas yang divrikan seeara oral dapat menghambat dari menadion.
masuknya asam empedu yang lebih toksis melalui ileum ter-
minal. Hal ini dapat dilihat dengan penurunan ekstresi adam kolat 2. Pengelolaan khususterutama berupaya mencaripenybab
dan kenodeoksikolat,
la. suatu bukti bahwa absorbsi kedua zat itu atau mengeakkan diagnosis etiopatik
menurun( 15))'. Litokolat jauh lebih sulit larut dalam air di-
bandingkan dengan ursodeoksikolat, akibatnya AUDK lebih Bilirubjn direk
eepat memasuki parenkim hati daripada litokolat. Oleh karena
Pemeriksaan fisik
itu litokolat akan segera didorong keluar kembali oleh AUDK,
dengan demikian hati akan dilindungi dari asam empedu yang Balk saki( Dismorfolokik
toksis(4
16)
Itulah sebabnya mengapa AUDK disebut zat I
USG perut
I l
Biakan darah Tapisan m etabolisme
kloretik (chloretic agent). Selain itu AUDK adalah garam em-
virus markers Analisis kromosomal
pedu yang mempunyai sifat membantu peneernaan lemak. Pada
kolestasis, terjadi penurunan asam empedu, tetapi AUDK dapat tidaktjelas
abnormal abnormal
menggantikan fungsi empedu terutama dalam proses absorpsi
Sepsis — Trisomi
lemak. Enzim-enzim pankreas dan pengosongan kantong em- — kongential — Galaktosaemia
pedu dapat dipaeu oleh AUDK t17 >. Upaya ini berguna untuk —Kista duktus Skaning — didapat —Sindrom Zellweger
membantu peneernaan agar berjalan lanear, karena itu AUDK —Duplikasio dari Biopsi hati —Sindrom Alagille
salu ran cema
dapat juga merangsang pengeluaran bikarbonas( 1S ) sehingga
suasana di dalam duodenum memungkinkan enzim-enzim pencer- Tidak ada kelainan ada kelainan
naan bekerja optimal.
AUDK juga dapat merangsang sekresi bilirubin, sehingga Uji tails metabolisme Atresia biller
Uji keringat Hepatitis neonatal
metabolisme bilirubin berjalan laneart19>, dan dapat meneegah
sumbatan oleh empedu yang menggumpal. — Fibrosis kistik
AUDK mungkin mempengaruhi MHC (major Histocompa- — defisiensi alpha antitrypsin
bilit), Complex). Sel hati yang sakit akan mengeluarkan APC —Tyrosinosis
(Antigen Presenting Cell) berupa molekul MHC kelas I yang
Gambar 2. Aigorithme disnostik untuk mencarl penyebab hiperblilrubine•
diduga berperan dalam mengundang sel limfosit T sitotoksis mia direk m>.
untuk menghaneurkan sel yang tereemar. Kehadiran sel MHC
kelas I pada permukaan hepatosit dapat membantu menerangkan Dengan mengenal beberapa kelainan klinik dapat diduga ke
terjadinya negrosis pada daerah periportal dan globuler pada arah kelainan tertentu seperti yang terlihat pada tabel 3.
penyakit sirosis bilier primer. Chalmus dan kawan-kawan «0> Yang penting mencari penyebab yang dapat diobati seperti

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 77


Tabel 3. Kelainan yang dicurigal pada pemeriksaan klinik°t. sedangkan bila pada biopsi telah terdapat sirosis prognosisnya
tidak baik.
Kelainan Pemeriksaan fisik
KEPUSTAKAAN
Infeksi virus Kelainan kulit, purpura,
1. Mowat AP. Hepatitis and cholestasis in infancy : Intrahepatic disorders.
koroidolrenitis, meokarditis dsb. In : Mowat AP, ed. Liver disorder in childhood, 2nd ed. London : Butter-
Galaktosaemia, hipoparatiroidisme Katarak worths, 1987; 37-71.
Trisomi 21, 18 or 13 Kongenital anomali multiple 2. Simon RF, Richen. Bile secretory failure. Recent concepts of pathogenesis
of inrrahepatik cholestasis. In : Progress in Liver Diseases Vol II.
Kistakoledokus Masa kista di dalam hati New York, London : Grunes & Stratton, 1982; 207-20.
Perforasi spontan saluran empedu Asistes dan hernia yang tercemari 3. Erlinger S. Pathophysiology of cholestasis. In : Paediatric Cholestasis :
empedu Novel Approaches to Treatment Boston, London : Kluwer Academic
Publishers, 1992; 49-82.
Hipoppasia bilier Murmur sistolik, raut muka
4. Tanner S. Hepatitis in infancy : In : Tanners, ed Paediatric Hepatology, 1st
yang abnormal
ed. : London, New York. Churchill Livingstone, 1989; 79-132.
Haemangioma hepatik/bilier Haemangioma kulit 5. Moyer MS, Balisreri WF. The liver and biliary tree. Prolonged neonatal
obstntktive jaundice. In : Walker WA, Durie PR, Hamolton JR, Walker
Atresia bilier ekstrahepatik Situs inversus
Smith JA, eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Patophysiology, diagno-
Displasia septo-optik Hipoplasia septo-optik dan sis, management, 1st ed. Philadelphia, Toronto : Decker, 1991; 835-48.
mikro-penis 6. Alagille D. Management of paucy of interlobular bile duct. J Hepatology
1985; 1 : 561-65.
7. Ferry GD, Selby ML, Udal J, et al. Guide to early diagnosis of biliary
Tabel 4. Pemeriksaan yang seyogianya dilakukan (t) . obstruction in infancy. Clin Pediat 1985; 24 : 305-11.
8. Wiharta AS. Kolestasis pada bayi dan anak. Aspek Pediatrik. Simposium
Pemeriksaan yang perlu cepat dilakukan Hepatologi. KONIKA VIII Ujungpandang 1990.
Pembiakan darah dan urin 9. Balistreri WF, Suchy FJ, Parrell MF, Henbi JE. Pathologic versus physiol-
Pemeriksaan urin makroskopik dan analisis zat reduktor non glukosa ogic cholestasis : Elevated serum concentration of a secondary bile acid in
Waktu protrombin presence of hepatobiliary disease J. Pediat 1981; 98-402.
Pemeriksaan darah tepi 10. Bendy P, Oesch F. Foreign compound metabolism in the liver. In : Progress
Gula darah dan ureum darah in Liver Disease Vol II. New York, London : Grunes & Stratton, 1982; 157-
Natrium, kadar bikarbonat dan kalsium 78.
Golongan darah 11. Gumucio JJ, Miller DL. Zonal hepatic function solutehepatocyte inter
action within the liver acinus. In : Progress in Liver Diseases Vol II. New
Pemeriksaan lanjutan bila mungkin York, London : Grunes & Stratton, 1982; 17-30.
uji fungsi hati 12. Reichen J, Paumgarter G. Relationship between bile flow and Na+-K+
Toxoplasma IgM antibodi, listeria dan petanda virus adenosine triphosphate in liver plasma membrane enriched in bile canali-
Fenotipe alpha-1 antitripsin culi. J Clin Invest 1977; 60 : 429-34.
Galatose-l-fospate-uridil transferase (dalam sel darah merah) 13. Stiehl A, Raedsch, Rudolf F. Acute effects of ursodeoxycholic acid on the
Elektrolit keringat small intestinal absorption of bile acid. Gastroenterology 1990; 98 : 424-8.
Kadar amino serum dan urin 14. Podda M, Ghezzi C, Battezzat PM, Crogsignan A, Zuin M, Roth A. Effects
Uji Coobe of ursodeoxycholic acid and taurine on serum liver enzymes and bile acid
USG in chronic hepatitis. Gastroentrology 1991; 13 : 1044-50.
X-ray untuk menghilangkan kelainan jantung 15. Denk H, Greim H, Hutlerer. Detergent action og bile acids on hepatocellular
Parasentesis (bila ada) microsome, and its role in cholestasis (abstract). Gastroentrology 1971; 60
: 187.
Diagnosis jaringan 16. Jansen PLM. Drug therapy of liver cirrhosis. Promises and limitation.
Biopsi had perkutan Proceeding of a symposium held on artheim the Nederland, January 25,
Biopsi kulit untuk biakan fibroblast dan enzim leukosit 1991.
Fungsi sumsum tulang untuk mengeluarkan Niemann-Pick Type C 17. Lanzini A, Raedsch G. Acute effects of ursodeoxycholic and chenode-
oxycholic acid on the small intestinal absorption of bile acids. Gastroentrol-
ogy 1990; 98 : 424-8.
18. Omland E, Mathisen. Mechanism of ursodeoxycholic acid and canrenoate
sepsis, infeksi saluran kemih, toksoplasma, sifilis, listeriosis, induced biliary bicarbonate sectretion and the effect of glucose and amino
tuberkulosis dan malaria. Sedangkan yang lain akibat kelainan acid induced cholestasis. Scand J Gastroent 1991; 26 : 512-22.
19. Galan Al, Jimenez R, Munoz ME, Gonzalez J. Effects of ursodeoxycholate
metabolisme seperti falaktosemia dan fruktosemia juga dieari on maximal biliary secretion of bilirubin in the rat. Biochem Pharmac 1990;
karena dapat dieegah. 39 : 1175-80.
Pemeriksaan lain untuk menentuknn prognosis dan berguna 20. Calmus Y, Gane P, Ronger P, Ponpon R. Hepatic expression of class I and
untuk menilai kehamilan berikutnya yaitu pemeriksaan alfa anti class II mayor hidtocompatility of complex molecules in primary biliary
cirrhosis effect of ursodeoxycholic acid. Iepatology 1990; 11-12-5.
tripsin dan biopsi. Bila ditemui defisiensi alfa anti tripsin pada 21. Fang JWS, Laujyn, La CL. Neonatal jaundice a diagnostic approadi. J
bayi maka kita harus waspada pada kehamilan berikutnya, Paediat. Obst & Gynaec 1992; 18 : 5-8.

78 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992


The protective efficacy of Recombinant
Hepatitis B vaccine in infants of
HbeAg positive HBsAg carrier mothers
in Taiwan
Mel-Hwel Chang, MD.
Department of Pediatrics, National Taiwan University Hospital, Taipei, Taiwan, R.O.C.

ABSTRACT
Recombinant hepatitis B vaceine has been shown to be as safe and effeetive as
plasma derived vaecines. We evaluated the effieaey in the prevention of perinatal
infeetion on an hyperendemie area. One hundred and ten high risk infants born to HBeAg
positive HBsAg earrier mothers were reeruited. They were randomized into two groups,
A (54 infants) and B (56 infants), to receive four doses of reeombinant vaeeine, eontaining
20 or 10 ug of HBsAg, respectively, at 0, 1, 2, and 12 months of age. An additional 60 high
risk infants were reeruited later (Group C) and received three 20-ug doses of vaeeine at
0, 1, and 6 months of age. All infants also received a dose (145 IU) of hepatitis B
immunoglobulin soon after birth. Sera were colleeted at 0, 1, 2, 3, 6, 12 and 14 months of
age to assay HBsAg and anti-HBs.
At 12 months of age the HBsAg earrier rates were 7.4 and 1.8%, in group A and B,
respectively. In group C, the HBsAg earrier rate was 3.3%. HBsAg was invariably first
observed between 0 and 2 months of age.
All nonearrier infants developed substantial titers of anti-HBs at 12 months of age.
No serious adverse effeet was observed after vaeeination.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 79


Diare di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
RS Sumber Waras
S. Komalarini, S. Njotosiswojo*
Bagian Ilmu Kewehatan Anak dan *Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara, Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta

PENDAHULUAN 729 penderita dan tahun 1991 549 penderita. Distribusi penderita
Penyakit diare di Indonsia masih sering dijumpai pada bayi diare terdiri dari 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan
dan anak. Pola kuman penyebab dan sensitivitas kuman een- (Tabel 1).
derung berubah dari waktu ke waktu dan dari satu daerah ke
Tabel 1. Dlstribusi penderita Diare menurut Jenis Keiamin
daerah lain, antara lain disebabkan oleh perubahan kebiasaan
penduduk. Tahun Jumlah penderita Laki-laki Perempuan
Tujuan dari penulisan ini untuk memantau penderita diare
n % n %
yang dirawat inap dengan pola kuman penyebab diare dan
resistensinya terhadap obat-obat di Bagian Anak RS Sumber 1990 729 436 (59.8%) 293 (40.2%)
Waras pada tahun 1990 - 1991. 1991 549 327 (59.6%) 222 (49.4%)

BAHAN DAN CARA


Umur berkisar antara 2 hari sampai dengan 14 tahun terba-
Semua penderita diare dengan dihidrasi sedang atau berat
dengan atau tanpapenyakitpenyerta yang dirawatdi Bagian Ilmu nyak anak dengan usia di bawah 1 tahun, kemudian disusul usia
Kesehatan Anak RS Sumber Waras dari bulan Januari 1990 - 1 - 2 tahun, 2 - 5 tahun lebih dari 5 tahun (Tabel 2).
Desember 1991 dilakukan pemeriksaan tinjanya di Laborato-
Tabel 2 Pembagian penderita diare dengan dihidrasi menurut umur
rium Mikrobiologi RS Sumber Waras.
Isolasi dan identifikasi dengan cara yang lazim dilakukan di Umur Tahun Jumlah
laboratorium mikrobiologi. Uji kepekaan kuman terhadap anti- 1990 1991 n %
biotika dengan menggunakan metode eakream digusi agar
2 hr - I tit 342 289 631 (49.4)
menurut Krrby-Bauer. Penentuan kepekaan kuman dengan eara > 1 th - 2 th 289 158 327 (25.6)
pembaeaan menurut kriteria yang dibuat oleh The Conunittee for >2th-3th 59 10 69 (5.4)
Clinical Laboratory Standards (NCCLS) dari Amerika Seri- >3th-5th 47 22 69 (5.4)
katt ' 1 . Cakram antibiotika yang dipergunakan sebagian besar >5th 112 70 182 (14.2)
jenis komersial yang diproduksi oleh Oxiod Limited Comapany,
Jumlah 729 549 1278 (100)
England. Jenis dan kekuatan cakram yang dipergunakan adalah
Kotrimoksasol 25 ug, Khloramfenikol 30 ug, Tetrasiklin 50 ug,
Nitrofurantoin 200 ug, Neomisin 30 ug, Sefmetason 30 ug, Pada tahun 1990, 50% penderita diare disertai dengan pe-
Sefotaksim 30 ug. nyakit lain dan tahun 1991 sebanyak 36%. Penderita yang
meninggal, umumnya menderita diare disertai dehidrasi berat
HASIL atau Bronkopneumoni.
Dalam kurun waktu 2 tahun (janurai 1990 - Desember 1991)• Tahun 1990 penderita yang meninggal 9 anak (0.12%) dan
telah diperiksa 1278 penderita diare. Pada tahun 1990 sebanyak tahun 1991, 4 anak (0.7%).

80 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992


Tabel 3. Penderita diare yang meninggal dengan penyakit penyerta. dehidrasi menurun dari 35% menjadi 22.6%. Angka kematian
juga menurun dari 10% menjadi 3% (4 ).
Tahun Pada tahun 1990, jumlah seluruh penderita yang dirawat
Penyakit penyerta 1990 (N = 729) 1991 (N = 549) adalah 3509 dengan di antaranya 729 anak (20.8%) menderita
diare dehidrasi, sedangkan tahun 1991 sebanyak 2859 anak, di
Encephalopathy 4 1
3 - antaranya 549 anak (19.2%) menderita diare dehidrasi dan angka
Acidosis
Bronchopneumonia 2 3 kematian turun menjadi 0.12% (1990) dan 0.7% (1991).
Enam puluh persen penderita diare adalah anak laki-laki dan
Jumlah meninggal 9 (0.12%) 4 (0.7%) 40% anak perempuan. Umumnya umur penderita adalah di
bawah usia 1 tahun, ini mungkin berhubungan dengan perubahan
Lama perawatan penderita tanpa penyakit penyerta antara 2 dimana anak mulai disapih dan mulai dengan makanan tambahan
- 6 hari dengan rata-rata 4 hari. Dari 1278 penderita dapat serta ditambah faktor-faktor lain seperti juga pada anak yang
diisolasi kuman penyebab sebanyak 483 speeimen dengan lebih besar.
rineian seperti Tabel 4. Ada pergeseran peran kuman penyebab, pada tahun 1970-
1976 Vibrio eltor (2,5) , tahun 1987 Salmonella(3,4) , sekarang kuman
Tabel 4. Frekuensi dan pola pada kuman yang diisolasi dari tinja. penyebab lebih menonjol adalah E. eoli. Dalam laporan ini
Kuman Kasus % diperlihatkan kepekaan kuman penyebab diare terhadap be-
berapa antibiotika. Untuk kuman E. eoli masih peka terhadap
E. coli 263 54.4 Kotrimoksasol, Nitrofurantoin, Neomisin, Sefmetazon dan
Enterobacteriacae 183 38
Sefotaksim.
Vibrio 24 5
Salmonella Typhi 1 0.2 Vibrio eltor : Kotrimoksasol, Khloramfenikol, Nitrofurantoin
S. paratyphi A 1 0.2 dan Neomisin.
S. paratyphi B 6 1.2 S. typhi : Kotrimoksasol, Khloramfenikol, Nitrofurantoin, Ne-
S. flexner 2 0.4
0.6 omisin dan Sefmetazon.
Proteus 3
S. paratyphi A : Kotrimaksasol, Nitrofurantoin dan Neomisin.
Jumlah 483 100 S. paratyphi B : Nitrofurantoin dan Sefmetason.
S. Fexnr : Kotrimoksasol,Nitrofurantoin, Neomisin, Sefmetason
Hasil uji sensitivitas kuman menunjukkan Ko-trimoksazol dan Sefotaksim.
masih sensitif untuk E. eoli, Vibrio, Salmonella typhi dan S. Pada tahun 1990 dan 1991, 4 penyakit utama pada penderita
paratyphi A dan Shigella flexner, sedangkan untuk S. paratyphi rawat inap di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Sumber Waras
B sudah resisten. Kloramfenikol hanya untuk Vibrio dan Salmo- adalah Penyakit Diare-dehidrasi, DHF/DSS, Infeksi Saluran
nella typhi. Nitrofurantoin dan Neomisin masih dapatdigunakan Pemapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah
untuk E. eoll. Enterobaeteriaeease, Vibrio, Salmonella dan S. (Tabel 6).
flexner (Tabel 5). Pola penyakit di Bagian Rawat Jalan/Poliklinik Anak RS
Sumber Waras, pada tahun 1990 dan 1991 masih tetap seperti
PEMBAHASAN : tahun lalu, yaitu batuk pilek (Influenza), infeksi saluran perna-
Pada tahun 1974 - 1986, jumlah penderita rawat inap di pasan atas, infeksi saluran pernafasan bawah dan diare.
bagian anak terus meningkat jauh dari 2445 (1974) menjadi 3284 Penyakit diare pada umumnya "self-limiting". Pemberian
(1986) penderita rawat inap, tetapi jumlah penderita diare dengan eairan dan elektrolit merupakan pengobatan utama, tetapi ada-

Tabel 5. Presentasi resistensi kuman yang diisolasi dari tinja pasien.

Kuman E. coli Enlero- Vibrio S. Typhi S. Para- S. Para- Shigella


bacleriae lyphi A lyphi B Flexner
Obat % % % % % % %

Kontri- 40.25 22.09 97.03 100 100 36.93 100


moksasol
Chloram- 23.14 13.11 97.46 100 0 23.86 0
fenicol
Tetrasiklin 13.36 10.24 95.58 100 0 21.56 33.33
Nitrofu- 92.63 90.50 98.26 100 100 61.93 100
rantoin
Neomisin 76.59 71.07 98.98 100 100 37.17 100
Sefme- 97.26 87.60 18.45 100 0 97.73 100
tazon
Sefo- 81.43 81.15 44.72 - - 32.95 50
taksim

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


Tabel 6. Empat penyakit utama pendelta rawat Inap. Tabel 7. Peran antibiotika dalam kasus diare dengan kuman diare tertentu.

Tahun Antibiotika Enteropatogen


Penyakit 1990 N : 3509 1991 N : 2859
Indikasi untuk diberikan Shigella
n % n % E. coli enteroinvasive
Cholera
Diare-dehidrasi 729 920.80 549 19.2
DHF/DSS 361 10.3 204 7.1 Diberikan dalam Salmonella
ISP Bawah 346 9.9 251 8.8 keadaan tertentu Campylobacter
ISP Atas 297 8.5 199 7 E. coli enteropatogen
E. coli enterotoxigenic
Clostrium difficile
kalanya perlu pemberian pengobatan anti mikroba, bila secara Tidak jelas E. coli enterohemorrhagic
klinis kita sudah dapat menduga penyebab diare, seperti Shigella E. coli enteroadherent
Aeromonas spp
atau Vibrio Eltor. Ashkenazi dan Cleary (1991) menyarankan Non Cholera Vibrio spp
kapan seorang penderita diare harus diberi antimikroba
(Tabel 7).
KEPUSTAKAAN
Dengan uraian di atas, dapat dilihat pola angka sakit, kuman
penyebab dan resistensi dari penyakit diare - dehidrasi di RS 1. Ashkenazi S, Cleary T G. antibiotic treatment of bacterial gastroenteritis.
Pediatr. Infect. Dis. J. 1991,10: 140-148.
Sumber Waras. 2. Komalarini S., Kartika Adi Suwirjo, Sanborn W R. Diarrhoea disorders of
bacterial origin in Jakarta. South East Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth 1980;
11 : 539-542.
3. Komalarini S, Njotosiswojo, S. Rohkill R.C., Lemana M. : Resistant strains
in Salmonellosis in Jakarta. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. H1th.1980;
11 : 539-542.
KESIMPULAN 4. Komalarini S, Setiawan J, Lane E M, Lesmana M., Bartz C R., Annie Sie
1. Di bagian rawat inap anak RS S umber Waras, penyakit diare : Pola kuman patogen penyebab diare di Bagian Anak RS Sumber Waras.
dehidrasi masih merupakan penyakit utama.. Buku Peringatan Dua Puluh Tahun dan Simposium 2 hari Bagian Anak RS
Sumber Waras 153-160. Jakarta, 11-12 Desember 1987.
2. Kuman penyebab diare-dehidrasi terbanyak pada saat ini 5. Njotosiswojo S, Komalarini S, Iswandari J, Kho L K. Sensitivity test of
adalah E. coli. enterobacteriaceae in diarrhoea disease in Jakarta. Southeast Asian Trop.
3. Dilaporkan basil pemeriksaan dari laboratorium mikro- Med. Pub. 11th. 3 : 326-331, 1972.
biologi perihal maeam kuman dan pola kepekaannya ter- 6. NCCLS : First supplement performance standard for antimicrobic Disc.
susceptibility test vol 1; 6 : 141-156, 1981.
hadap antibiotika.

82 Cermin Dunaaa Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992


Rotavirus in pediatric patients
at Sumber Waras Hospital
Ann! C. Sie, GB. Jennings, *S. Komalarini
Naval Medical Research Unit-2 Jakarta and *Department of Pediatrics,
Sumber Waras Hospital Jakarta Tarumanagara University

ABSTRACT

Human rotavirus is reeognized as a major cause of nonbaeterial gastroenteritis in


infants and young children. From January 1986 through December 1991, feeal samples
were collected from 1608 diarrhea patients at the Pediatrie Department of S umber Waras
Hospital. Samples were examined by enzyme-linked immunosorbent assay on mierotiter
plates, coated with anti-rotavirus antibody. The overall positivity rate was 35% with a
yearly range of 32% — 42%. Children under two years of age were more likely to have
rotavirus infeetion than older ehildren. Infeetion with rotavirus did not seem to have a
seasonal pattern, sinee it was found throughout the year. We performed serotyping on the
148 rotavirus positive samples with suffieient quantity. The commereial rotavirus
monoclonal antibody from Serotee Laboratory Japan, was used to serotype the samples.
There was no requirement to isolate the virus. All serotypes were deteeted exeept serotype
3. Overall, serotype 1 was the most prevalent, followed by serotype 2 and serotype 4. This
prevalence pattern was eonsistent throughout the years of the study with the exeeption of
1987 when serotype 2 was most prevalent. Some samples from the five year study were
examined by eleetrophoresis to determine the electropherotype. Samples were treated
with phenol to purify the rotavirus double-stranded (ds) RNA, and eleetrophoresed in a
10% polyaerylamide gel, the dsRNA visualized by staining with silver nitrate. Identifi-
cation of eleetropherotypes is based on the migration of the tenth and eleventh RNA
segment. Of 101 samples tested, 89 (88%) were the "long" pattern and 12 (12%) were the
"short" pattern. Recently the rotavirus eleetropherotypes have been divided into long,
short, and supershort strains. Serotype 1, 3 and 4 belong to "long" pattern and serotype 2
belong to "short" pattern, "supershort" strain have not been found to relate to a speeific
serotype. This study may assist investigators in understanding the epidemiology of
rotavirus infeetions in Jakarta, and thus help in the seleetion of an appropriate serotype for
vaceination.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992 83


Hepatocellular Carcinoma
in Children
Mel - Hwei Chang, M.D.
Departement of Pediatrics, College of mMdicine, National Taiwan University,
Taipei, Taiwan, R.O.C.

ABSTRACT

Hepatocellular eareinoma (HCC) oecurs mainly during adulthood at 40 to 60 years


of age in most part of the world. It is uncommon in children in most areas. Autopsy
materials revealed that HCC patients from high-incidenee areas. However, even in high
incidenee areas relatively small number of HCC cases oeeur in ehildren. In Taiwan, with
high incidenee of HCC, 51 (4.3%) of the pathologically proved 1191 HCC oecureed in
children below 15 years. Although it seems relatively uncommon when compared with
adult HCC, ehildhood HCC ranks as the second to the fifth eommon malignaneies in
children between age 5 to 14 years in Taiwan.

Age and sex


Childhood HCC has been reported in ehildren of any age including infaney, but
oeeurs mainly in children above 6 years. Similar to that in adulthood, ehildhood HCC is
also more prevalent in males than females. The male to female ratio in ehildhood HCC
ranged between 2 :1 to 11:1. The reason that HBsAg earrier boys have higher risk of HCC
than earrier firls remains unelear.

Clinical Manifestations
Childhood HCC usually remains asymptomatie until the tumor beeomes huge.
Abdominal mass or distrnsion is the most common presenting symptom. Abdominal pain
is the seeond and weight loss the third eommon presenting symptoms. Other symptoms
ineluding fever, anorexia, vomiting, jaundiee and acute abdominal erisis were also
presented oecasionally. Two of the 54 HCC ehildren in our series presented as hemoperi-
toneum due to rupture of HCC. Obstruetive jaundiee is rare on presentation.

Hepatitis B virus (HBV) infection and childhood HCC


Childhood HCC is elosely related to HBV infection. We have reported a 100%
HBsAg positive rate in children with HCC in Taiwan, a higher positive rate than that
(85%) in our adult HCC.
The HBsAg prevalence rate is higher in younger HCC patients.

84 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992


Molecular Biologic Study of HBV in HCC Childresn
We have studied the status of HBV DNA in the HCC and non- tumorous liver tissues
in eight HCC ehildren. Five of the eight tumor tissues showed integration of HBV DNA
into the host genomes. Four of the five eases demonstrated a single-site intergration
pattern. In adult HCC only about 10% of the tumor tissues showed single-site integration
pattern while most of them showed multiple-site integration pattern. Integration of HBV
DNA eould be observed as early as 4 years of age in the tumor tissues of HCC ehildren.

The Role of Maternal Transmission of HBV in HCC Children


Maternal transmission of HBV during early life is the main route of HBV transmis-
sion in HCC. We have studied the HBsAG status in 33 mothers of HCC ehildren by ra-
dioimmunoassay. The maternal HBsAg positive rate was 95%, which is higher than the
50% HbsAG positive rate in mothers of apparently healthy HBsAG earrier ehildren
without HCC.
Perinatal transmission of HBV from HBsAG carrier mothers is the most important
route of HBV transmission in HCC ehildren. In Taiwan and other parts of Asia, perinatal
transmission from HBsAg earrier mothers aeeount for about half of the HBsAg earriers.
Beasley et al. reported a HBsAg carrier boy who developed HCC 7 years after perinatal
infection of HBV.

Treatment and Outcome of Childhood HCC


The outeome of ehildhood HCC has been very poor. Poor outeome with a mortality
rate of nearly 100% was noted in the conventional HCC with a mean survival of 4.2
months. Complete surgical excision was reported to be the only way of long term survival
in most reports. However, the tumor is usually large on presentation making eomplete
exeision of the tumor impossible in most oecasions. The resectability of HCC in our series
is less than 10%, similar to that in advaneed HCC in adults.
Only 10% surrived longer than 1 year and two of the 54 HCC ehildren in our series
survives for more than five years without disease. Both of them presented with rupture of
the HCC. One is a small HCC of 3 cm in diamter,the other is a tumor of 6 em in diameter
located at the lower surfaee of the right lobe. The tumor in both eases were surgieally
excised. The latter reeeured two times and each was sueeessfully reseeted. Neither
transarterial embolization nor chemotherapy eould lead to long-term survival.
Sinee the poor responsiveness to various treatments, prevention is the best way to
eontrol childhood HCC. HBV infection during very early life is the most important
contributing faetor of HCC formation, thus immunoprophylaxis of HBV infeetion in
neonates espeeially in high ineidence areas is the most effective way to eliminate HCC.
The nation-wide HBV vaecination program has been sueeessfully condueted in Taiwan
with a marked decrease of HBsAg earrier rate. It is expectable that ehildhood HCC will
deereased dramatieally within ten years after the initiation of the vaecination program.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 8/, /992 85


Histoplasmosis
di Rumah Sakit Sumber Waras
S. Setijo Noegroho
Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara,
RS Sumber Waras Jakarta

Histoplasmosis adalah penyakit jamur sistemik yang ter- polimorf, banyak sel mieloblast, eritropoesis hipoplastis, gra-
utama menyerang sistem retikuloendotel. Penyebabnya ialah nulopoesis masih aktif, jumlah megakariosit kurang.
Histoplasma capsulatum. Histoplasmosis diseminata adalah Diagnosis kerja pada saat itu ialah aleukemik mieloblastik
bentuk klinis yang paling berat dan sering fatal. leukemia dan gizi kurang.
Penyakit ini banyak ditemukan di Amerika, dijumpai juga di Penderita diberi Baetrium®(TM-SMZ), prednison dan trans-
negara-negara beriklim sedang dan tropis, termasuk Indonesia. fusi packed cell.
Gejala klinisnya tidak khas dan sering tersamar dengan penyakit Selama perawatan, hati membesar (1/2—1/2), limpa menjadi
lain, sehingga diagnosis baru ditegakkan setelah penderita me- S. III, tampak gambaran pembuluh vena membesar pada dinding
ninggal. Akan dilaporkan dua kasus histoplasmosis diseminata perut, suhu badan masih temp naik turun dan timbul epistaksis.
pada dua saudara sekandung, tinggal di Sukabumi (Jawa Barat) Foto RSntgen toraks menunjukkan hilus kiri membesar, tidak
yang dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Rumah Sakit tampak infiltrat di kedua paru, jantung normal. Pada pemeriksaan
Sumber Waras pada tahun 1985 dan 1988. Dua kasus tersebut biopsi had, pungsi limpa dan sediaan sumsum tulang diperiksa
dapat diselamatkan dengan pemberian amfoterisin B. ulang, ditemukan sel-sel ragi berukuran 1—5 mikron dalam set
makrofag, gambaran ini sesuai dengan histoplasma eapsulatum.
KASUS 1 Pemeriksaan serologi (uji imunodifusi) dengan histoplasmin
Seorang anak laki-laki, bangsa Indonesia, umur 11 tahun, menunjukkan basil positif dan biakan darah tumbuh koloni H.
dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak, RS Sumber Waras, capsulatum.
pada tanggal 2 Juli 1985, dengan keluhan panas, pucat dan perut Pengobatan dengan amfoterisin B segera diberikan secara
membesar. Penderita tinggal di Sukabumi, sebelah rumah ada infus dalam 500 ml glukosa 5% selama 6 jam setiap hari selama
perternakan ayam. Selama dua bulan sebelum dirawat, penderita lima hari, mulai 5 mg amfoterisin B, kemudian dosis dinaikkan
dirawat di RS Sukabumi karena lemas, pucat, satu bulan men- 5 mg setiap hari sampai mencapai 25 mg, kemudian diberikan 25
derita sakit kepala dan suhu badannya panas naik turun, diagnosis mg seminggu tiga kali sampai tereapai dosis total 1250 mg. Saw
kerja pada saat itu ialah tifus abdominalis. Hasil pemeriksaan jam sebelum infus, diberikan premedikasi berupa antihistamin
ultrasonografi pada tanggal 19 Juni 1985 ialah tersangka sirosis dan antipiretik. Seminggu sekali diperiksa faal ginjal, hemo-
hepatis stadium 1. Penderita dirujuk ke RS Sumber Waras. globin, leukosit dan trombosit. Reaksi obat yang timbul ialah
Pada pemeriksaan fisik waktu masuk didapatkan penderita demam dan menggigil beberapa kali, tetapi tidak terjadi gagal
tampak sakit berat, eompos mentis, gizi kurang, lemah, pueat, ginjal. Pada akhir pengobatan hati dan limpa mengeeil, basil uji
berat badan 24 kg, suhu badan 36,5°C. Jantung dan paru tidak ada serologik dan biakan darah negatif, sediaan sumsum tulang
kelainan, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening maupun menunjukkan gambaran yang aktif dan normal, tidak ditemukan
tanda-tanda perdarahan, hati teraba (1/4 — 1/4) dan limpa S.II. lagi sel-sel ragi H. capsulatum. Penderita pulang tanggal 22
Hemogram: hemoglobin 6,2 g/dl, leukosit 2800/mm'. Sedia- November 1985 dalam keadaan baik.
an sumsum tulang menunjukkan jumlah sel eukup, gambaran Lima bulan setelah pulang, keadaan umum penderita baik,

86 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


berat badan naik, hati dan limpa tidak teraba lagi, uji serologik karena itu juga dikenal sebagai Darling's disease atau Reticulo-
dan biakan darah tiga bulan berturut-turut negatif. Faal ginjal endothelial cytomycosis. Penyakit ini dijumpai di banyak negara
sampai tiga bulan setelah pengobatan dihentikan adalah normal. beriklim sedang dan tropis (1,2) . Di beberapa negara bagian Amerika
Pada pemeriksaan beberapa sampel tanah yang diambil secara ditemukan secara endemis, dimana 90% penduduknya pada
acakdari petemakan ayam sebelah rumah penderita di Sukabumi umur 20 tahun menunjukkan uji kulit histoplasmin positif . Di
tidak ditemukan H. capsulatum. Indonesia masih jarang dilaporkan, pertama kali dilaporkan oleh
Dr. H. Muller dari Jawa Timur°. Dan tahun 1932 hingga tahun
KASUS 2 1988 telah dilaporkan tujuh belas kasus dengan perineian, enam
Adik kandung kasus 1, seorang anak laki-laki umur 12 tahun kasus sejak tahun 1932 sampai dengan tahun 1981 dan sebelas
dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak, RS Sumber Waras, kasus dari tahun 1985 sampai tahun 1988.
pada tanggal 6 Mei 1988, dengan keluhan batuk selama satu H. capsulatum bersifat dimorfik, di alam bebas hidup di
\
bulan, perut bagian kanan membesar, berat badan menurun, ba- tanah yang terkontaminasi oleh kotoran burung, ayam atau
dan lamas dan cepat lelah. Penderita pernah sakit kuning ketika kelelawar (1,2). Susilo dan Kartanegare pada tahun 1973 telah
berumur 4 tahun. Selma satu bulan sebelum dirawat, penderita berhasil mengisolasi H. capsulatum dari kelelawar di Jawa Barat.
batuk terus dan mengeluarkan banyak dahak, waktu diperiksa Manusia dapat terinfeksi melalui inhalasi spora (1,2). Histoplas-
oleh dokter di Sukabumi teraba benjolan di bagian kanan perut. mosis tidak ditularkan dari manusia ke manusia(') maupun dari
Foto Rontgen toraks menunjukkan gambaran bronkhitis. Se- hewan ke manusia .
lama itu tidak demam, berat badan menurun, merasa lamas dan Gambaran klinik histoplasmosis bervariasi dan tidak khas,
lelah. Karena batuknya tidak sembuh-sembuh serta mengingat sering tersamar dengan penyakit lain, sehingga diagnosis baru
riwayat penyakit kakaknya, orang tua penderita menjadi curiga ditegakkan setelah penderita meninggal atau penyakit meneapai
dan membawanya ke Jakarta. Penderita dirujuk ke RS Sumber stadium lanjut.
Waras dengan hepatomegali dan pansitopenia. Beberapa bentuk klinik histoplasmosis (3) yaitu :
Pada pemeriksaan fisik waktu masuk didapatkan penderita 1) Histoplasmosis paru akut
compos mantis, tampak sakit sedang, gizi sedang, pucat, tidak Bentuk yang paling sering ditemukan, dapat primer (infeksi
ikterik, berat badan 28 kg, suhu badan 36°C. Jantung dan paru awal atau sekunder (infeksi Wang). Bentuk primer seringkali
normal. Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, hati teraba asimptomatik, masa tunasnya pada bayi dan anak kecil ialah
1/2-1/2 dan limpa S. II. 10-23 hari, banyak dijumpai di daerah endemis. Satu-satunya
Hemogram: hemoglobin 9,7 g/dl, leukosit 2800/mm', hi- tanda infeksi adalah uji kulit histoplasmin positif. Bila timbul
tung jenis dalam batas normal, trombosit 38.000/mm', SGOT 40 gejala akan menyerupai influenza yaitu panas mendadak,
U/1, SGPT 22 U/l. Tuberkulin test negatif. Foto Rtntgen toraks malaise, nyeri otot sakit kepala, batuk nonproduktif, dapat di-
normal. semi rhonkhi yang difus dan hepatosplenomegali ringan. Pe-
Diagnosis kerja pada saat itu ialah observasi hepatitis. meriksaan radiologis menunjukkan infiltrat kecil-kecil tersebar
Mengingat pada penderita ditemukan hepatosplenomegali dan di paru dan pembesaran kelenjar pada hilus. Kelainan ini bersifat
pansitopeni perifer sama seperti yang dijumpai pada kakaknya ringan dan sembuh sendiri. Pada anak-anak berlangsung tidak
waktu masuk dahulu, maka dicurigai kemungkinan histoplas- lebih dari tiga minggu.
mosis pula. Pemeriksaan sediaan menunjukkan gambaran nor- Bentuk sekunder, gejalanya serupa dengan yang primer,
mal dan ditemukan gambaran mikroskopik yang sesuai dengan pada pemeriksaan radiologis tampak nodul-nodul milier tersebar
H. capsulatum. Hasil uji imunodifusi dengan histoplasmin ialah di paru menyerupai tuberkulosis miliaris. Dalam beberapa bulan
positif dan biakan darah tumbuh koloni H. capsulatum. kelainan ini dapat menghilang sendiri dengan atau tanpa per-
Pengobatan amfoterisin B diberikan dengan dosis dan cam kapuran. Uji tuberkulin negatif sedangkan uji kulit histoplasmin
yang sama seperti pada kasus 1. Pada hari ke 22 perawatan, positif(3,8) .
keadaan umum penderita eukup baik, jantung dan paru normal, 2) Histoplasmosis paru kronis
hati dan limpa mengecil (teraba berturut-turut 1 cm dan 0,5 cm di Dijumpai pada orang dewasa setengah umur, perokok dan
bawah arkus kosta), penderita selanjutnya berobat jalan. Selama mempunyai riwayat penyakit obstruksi paru kronis, belum per-
pengobatan, beberapa kali timbul demam dan menggigil serta nah ditemukan pada anak-anak( zo. Gejalanya demam, batuk
muntah, tidak terjadi kegagalan ginjal. Pada akhir pengobatan produktif, malaise, lelah, berat badan turun, nyeri dada dan
keadaan umum penderita baik, hati dan limpa tidak teraba lagi, hemoptisis (z. Foto Rtntgen torak menunjukkan gambaran ka-
uji serologik dan biakan darah adalah negatif, faal ginjal dan hati verna.
normal. Penderita pulang tanggal 31 Agustus 1988. 3) Histoplasmosis diseminata
Suatu penyakit yang akut pada bayi, anak kecil dan penderita
(3)
DISKUSI dengan imunospresi. Morbiditas dan mortalitas tinggi . Bentuk
o.22
Histoplasmosis ialah penyakit jamur sistemik yang disebab- yang fatal ini jarang terjadi . Kelainan dimulai dengan infeksi
kan oleh histoplasma capsulatum yang terutama menyerang paru akut, demam, batuk, sesak napas dan cepat menjadi progesif
sistem retikuloendotel°. Penyakit ini pertama kali dilaporkan serta menyerang banyak organ. Penderita tampak sakit berat,
oleh Dr. Samuel T Darling dari Panama pada tahun 1905( 12) oleh mual, muntah, sakit perut dan diare. Ditemukan rhonkhi, limfa-

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992 87


pada penderita dengan riwayat panas yang tidak dapat diterang-
denopati, hepatosplenomegali, anemia, leukopenia dan trom- kan sebabnya, pansitopenia dan hepatosplenomegali, serta pen-
bositopenia. Bila tidak diobati, kelainan akan memburuk dan derita yang mendapat pengobatan imunosupresif, antibiotika
dapat terjadi kegagalan pernapasan, perdarahan gastro-intestinal
atau kortikosteroid dosis tinggi dan dalam jangka waktu lama,
yang tidak dapat dikontrol, koagulasi intravaskuler diseminata
perlu diwaspadai akan kemungkinan infeksi H. capsulatum.
(DIC) dan/atau sepsis, akhimya dapat menimbulkan kematian t3l .
Kelainan ini dapat dijumpai pula pada penderita leukemia RINGKASAN
atau keganasan sistem limfatik dan hemopoetik lainnya, path
Telah dilaporkan kasus histoplasmosis diseminata Dada dna
pemberian kemoterapi, obat imunosupresif atau steroid, serta
saudara sekandung laki-laki, umur 11 tahun dan 12 tahun, asal
pada penderita AIDS yang menunjukkan gejala demam yang
Sukabumi (Jawa Barat). Kasus pertama dirawat tahun 1985 dan
tidak dapat diterangkan sebabnya disertai hepatosplenomegali
kasus ke dua dirawat tahun 1988, di Bagian Ilmu Kesehatan
dan pansitopenia t10l . Kelainan yang bersifat subakut atau kronis
Anak, Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta. Keduanya mempu-
dapat di tern ukan pada penderita dewasa, biasanya dengan gejala
nyai riwayat pucat, lemas, terdapat pembesaran hati dan limpa,
ulserasi pada mulut, faring, laring dan saluran peneernaan, insu-
serta pansitopenia perifer. Kasus pertama disertai panas selama
fisiensi adrenal, endokarditis, osteomielitis, arthritis dan me-
2 bulan dan kasus kedua menderita batuk selama satu bulan
ningitis (1,,2,3).
sebelum dirawaL
Diagnosis histoplasmosis ditegakkan bila ditemukan sel-sel
Pada gambaran sumsum tulang kasus pertama dieurigai
ragi berukuran 1–5 mikron intraselulerpada sediaan mikroskopik suatu aleukemia leukemia. Histoplasma capsulatum intra seluler
bahan klinik. Uji kulit histoplasmin, uji imunodifusi dan reaksi
ditemukan pada sediaan biopsi hati yang punksi limpa (kasus 1)
ikat komplemen dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
serta punksi sumsum tulang (kasus 1 dan 2). Hasil uji serologik
diagnosis, sedangkan diagnosis pasti didapatkan bila biakan
positip dan biakan darah timbul koloni H. eapsulatum (kasus 1
bahan klinik tumbuh koloni H. capsulatum (11)
dan 2). Pengobatan dengan ampoterisin B memberikan hasil
Pengobatan terpilih untuk histoplasmosis yang memba-
perbaikan klinis yang eepat dan penderita dipulangkan dalam
hayakan jiwa penderita ialah amfoterisin B(1,2,3,12) keadaan baik.
Kedua kasus yang dilaporkan dalam makalah ini menunjuk-
kan gejala yang tidak khas pula, kasus 1 menyerupai leukemia
dan kasus 2 batuk kronis serta hepatitis. Diagnosis histoplas-
mosis baru dapat ditegakkan dari hasil pemeriksaan sediaan
biopsi hati dan pungsi limpa (kasus 1) serta pungsi sumsum
tulang, uji serologik dan biakan darah (kasus 1 dan 2). Peng- KEPUSTAKAAN
obatan dengan amfoterisin pada kedua kasus memberikan hasil
1. Emmons CW, Binford CH, Utz JP. Medical mycology 2nd ed. Philadel-
perbaikan klinis yang eepat. Dosis inisial yang diberikan kepada phia: Lea & Febiger, 1970: 275-308.
penderita ialah 0,2 mg/kgbb, lalu dinaikkan setiap hari dengan 2. Rippon JW. Medical mycology. The pathogenic fungi and the pathogenic
0,2 mg/kg sampai meneapai dosis optimal 1,0 mg/kg, setelah itu Actinomycetes 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders, 1982: 342-88.
3. Spek WT, Aranioff SC. Histoplasmosis. In: Behrman RE, Vaughan VC,
infus dengan dosis optimal tersebut diberikan tiga kali seminggu
eds, Nelson textbook of pediatrics 12th ed. Tokyo: Igaku-Shoin/Saunders,
sampai dosis total 1250 mg. Dosis total obat dan lama peng- 1983: 832-4.
obatan diberikan tergantung pada umur penderita dan berat 4. Soeprihatin SD. Penjakit djamur di Indonesia (Laporan singkat kasus-
ringannya penyakitt122. Dosis total pada anak keeil yang dianjur- kasus). Dalam: Naskah ilmiah lengkap Muktamar Nasional IDI ke XII dan
kan ialah 30 mg/kg t31 . Selama pemberian infus amfoterisin B, KPPIK ke-VII, Djakarta 1972: 435-54.
5. Diana S, Marwoto W, Susilo J, Soeprihatin SD. Histoplasmosis hati.
botol eairan infus perlu dibungkus untuk menghindari pengaruh Laporan sebuah kasus. Dalam: Kumpulan Makalah KONAS IAPI VII
eahaya( 3 ), dan karena obat ini bersifat nefrotosik maka setiap cabang Jakarta. Medan 1981: 108-16.
minggu diperiksa kadar ureum darah dan creatinine clearance t121 . 6. Abdulsalam M, Hoedijoko, Gatot D, Moeslichan Mz, Susilo J, Wahidiyat
I. Histoplasmosis diseminata pada anak. Medika 1986; 12: 404–8.
Sampai pengobatan selesai, pada kedua penderita ternyata tidak 7. Susilo J, Kartanegara D. Isolasi Histoplasma capsulatum dari kelelawar di
timbul kegagalan ginjal. Reaksi obat seperti demam, menggigil, Jawa Barat. MKI 1973: 7–8: 122-3.
mual, muntah dan sakit kepala dapat dicegah atau dikurangi 8. Christie A. Histoplasmosis. In: Vaughan VC, McKay RJ, Behm►an RE, eds.
dengan pemberian premedikasi berupa antihistamin dan anti- Nelson textbook of pediatrics 11th ed. Tokyo: Igaku-Shoin/Saunders,
(14) 1979: 967-70.
piretik, serta keeepatan infus diperlambat
Kedua kasus ini tetap perlu diikuti perkembangannya untuk 9. Goodwin RA, Des Prez RM. Histoplasmosis. Am Rev Resp Dis 1978; 117:
mengetahui kemungkinan terjadinya infeksi ulang. Selain itu, 929-56.
10. Henochowicz S, Sahovic E, Pistole M, Rodrigues M, Macher A. Histoplas-
kemungkinan peranan kotoran ayam dari petemakan di dekat mosis diagnosed on peripheral blood smear from a patient with AIDS.
rumah penderita sebagai amber infeksi pada kedua kasus ini, JAMA 1985; 253: 3148.
perlu diselidiki lebih lan jut, agar dapat dilakukan tindakan pen- 11. Susilo J. H listoplasmosis. Bulletin Kedokteran Rumah Sakit Sumber Waras,
eegahan. Jakarta 1976; 4: 86.
12. Sande MA, Mandell GL. Antimicrobial agents. Antifungal and antiviral
Mengingat gejala klinik histoplasmosis sangat tidak khas agents. In: Goodman LS, Rail TW, Murad F, (eds). Goodman and Gilman 's:
seperti yang tampak juga pada kedua kasus tersebut di atas, maka the pharmacological basis of therapeutics 7th ed. New York: Mac Milian

88 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


Publ 1985: 1219–22. pediatric therapy 8. Philadelphia: WB Saunders, 1978: 889–95.
13. Hams JS. Therapy with amphotericin B. In: Vaughan , VC, McKay RI, 15. Muller H. Histoplasmose in Oost-Java. Geneesk T Ned Ind 1932; 72:
Behrman RE, eds. Nelson textbook of pediatrics 11th ed. Tokyo: Igaku- 889–95.
Shoin/Saunders, 1979: 958–64. 16. DelimaISM. BerbagaiKasusHistoplasmosis diIndonesia Tahun1932–1988.
14. Hughes WT. Histoplasmosis. In: Gellis SS, Kagan BM, (eds). Current Medika 1990; 16(4): 312–18.

r--
Acara "COBA S1APA DIA''
~- mak ndn s ehargn
Anda memakan
makanan seharga
+ 200,-per kilo ./

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, /992


Pengobatan Malaria yang Resisten
terhadap Klorokuin
Emiliana Tjitra, Harijani Marwoto
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

drug
PENDAHULUAN
Klorokuin merupakan obatpilihan utama untuk semua jenis P. vivax yang resisten terhadap klorokuin sudah mulai
malaria yang dipakai dalam program pemberantasan malaria. dilaporkan( 6'') dan sedang diteliti lebih lanjut di Irian Jaya dan
Klorokuin bersifat skizontosida darah untuk semua spesies P. Nias 8>. Penentuan kasus P. vivax resisten klorokuin ter-
plasmodium manusia dan gametosida Plasmodium vivax dan sebut berdasarkan konsentrasi klorokuin dalam darah serum
Plasmodium malariaeo >. Obat ini banyak dijual bebas sehingga yang diukur dengan eara high-performance liquid chromato-
tak mengherankan banyak kasus malaria resisten klorokuin graphy sudah melebihi 15 ng/ml 9>.
ditemukan.
Resistensi klorokuin adalah kemampuan parasit untuk terus PENGOBATAN MALARIA
hidup dalam tubuh manusia, berkembang biak dan menimbulkan Pengobatan dan tindakan yang dilakukan pada umumnya
gejala penyakit meskipun telah diberikan pengobatan klorokuin dipengaruhi oleh :
secara teratur baik dengan dosis standard maupun dosis lebih 1. Manifestasi klinis, dengan atau tanpa komplikasi.
tinggi yang masih dapat ditolerir oleh pemakai obat. Resistensi 2. Umur penderita: bayi, anak-anak atau dewasa.
merupakan akibat pemakaian obat yang tidak tepat( 2). 3. Keadaan lain penderita yaitu hamil atau menyusui.
Malaria yang resisten terhadap klorokuin dapat diketahui 4. Spesies Plasmodium yaitu P. vivax, P. falciparum, P. ma-
dengan tes in-vivo sistim 7 hari atau 28 hari, dan/atau tes in-vitro lariae, P. ovale, atau infeksi eampuran.
(makro atau mikro tes), sesuai dengan ketentuan WHO. Kele- 5. Tempat tinggal atau tempat asal kena infeksi: daerah sensi-
bihan tes in-vivo adalah dapat menentukan tingkat atau derajat tif atau resisten klorokuin atau resisten multidrug.
resistensi (lampiran 1), sedangkan tes in-vitro dapat dilakukan 1. Malaria sensitif klorokuin
terhadap beberapa jenis obat antimalaria pada saat yang ber- Malaria falsiparum yang sensitif klorokuin dan tanpa kom-
samaan('). plikasi diobati dengan klorokuin basa 25 mg/kgBB, seeara oral
Malaria yang resisten terhadap klorokuin biasanya di- selama 3 hari, yaitu hari I dan hari II 10 mg/kgBB, hari 1115 mg/
hubungkan dengan Plasmodium falciparum yang merupakan kgBB, diminum sekaligus. Pada hari I juga diberikan primakuin
spesies terbanyak diteliti karena dallat menyebabkan komplikasi dengan dosis sesuai golongan umur keeuali pada bayi dan ibu
dan kematian. Di Indonesia,P. falciparum yang resisten terhadap hamil (tabel 1). Penggunaan primakuin bukan sebagai anti relaps
klorokuin telah dilaporkan oleh 27 propinsi, penderita yang karenaP.falciparum tidak mempunyai bentuk jaringan sekunder
berasal dari Bali dan DKI Jakarta merupakan kasus import<4 >
(eksoeritrositer sekunder), melainkan untuk membunuh gameto-
(lampiran 2). Hal ini menyebabkan pengobatan malaria falsi- sit sehingga penularan dapat dicegah atau dikurangi(').
parum resisten klorokuin menjadi masalah yang penting. Selain Malaria vivax yang sensitif klorokuin atau malaria ovale
itu di 11 propinsi (Aeeh, Sumatera Utara, Riau, Lampung, Jawa atau malariae diobati juga dengan klorokuin basa 25 mg/kgBB,
Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi seeara oral selama 3 hari, seperti pengobatan pada malaria
Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Irian Jaya) juga telah falsiparum yang sensitif klorokuin. Primakuin diberikan selama
ditemukan adanya kasus P. falciparum yang resisten multi- 5 -14 hari sebagai antirelaps karena P. vivax mempunyai bentuk

90 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992


jaringan sekunder o.101 (tabel 2). darah". Penggunaan kina kurang disukai karena memerlukan
waktu yang lebih lama (7 hari) dan efek samping yang paling
Tabel 1. Pengobatan malariafalsiparum yang sensitif kloroku in dan tanpa sering dijumpai adalah tinitus. Tetrasiklin tidak diberikan kepada
komplikasi anak kurang dari umur 8 tahun dan wanita hamil.
Path malaria vivax yang resisten klorokuin dianjurkan
Jumlah tablet (dosis tunggal) menurut
golongan umur (tahun) untuk mengulangi sekali lagi pengobatan klorokuin dan prima-
Hari Jenis Obat
kuin dengan dosis sama, kemudian dilanjutkan dengan peng-
<1 1–4 5–9 10–14 15+
obatan klorokuin 300 mg basa dan primakuin 45 mg basa dosis
I klorokuin 1/2 1 2 3 3– 4 tunggal, minggu sekali selama 8 — 12 minggu° l .
primakuin – 1/2 3/4 1 2–3
II klorokuin 1/2 1 2 3 3– 4
III klorokuin 1/4 1/2 1 1'/2 2 Tabel 3. Pengobatan malaria falsiparum yang resisten klorokuin dan
tanpa komplikasi dengan sulfadoksin – pirimetamin
Dikutip dari : Depkes R.I.1990. Malaria : Pengobatan : 3.
Catalan : Jumlah tablet (dosis tunggal) menurut
1 tablet klorokuin =150 mg bnsa klorokuin. Hari Jenis Obat golongan umur (tahun)
1 tablet primakuin =15 mg basa primakuin, tidak diberikan pada bayi dan ibu 1–4 5–9 10–14 15+
<1
hami/.
'
Obat diminum tidak boleh dalam keadaan perut kosong. I sulfadoksin- - 3/4 1 /2 2 3
pirimetamin
II primakuin - 1/2 3/4 1 2–3
Tabel 2. Pengobatan malaria vivax yang sensitif klorokuin dan malaria
ovale, serta malaria malariae Dikutip dari : Depkes RJ.1990. Malaria : Pengobatan : 3.
Catalan :
Jumlah tablet (dosis tunggal) menurut
1 tablet sulfadoksin-pirimethamin = 500 mg sulfadoxin dan 25 mg pirimethamin.
Janis Obat golongan umur (tahun)
Hari 1 tablet primakuin =15 mg basa primakuin, tidak diberikan pada bayi dan ibu
<1 1–4 5–9 10–14 15+ hamil.

I klorokuin 1/2 1 2 3 3– 4 Tabet 4. Pengobatan malaria falsiparum yang resisten klorokuin dan
primakuin – 1/4 1/2 3/4 1 tanpa komplikasi dengan kina sulfat.
II klorokuin 1/2 1 2 3 3– 4
primakuin – 1/4 12 3/4 1 Jumlah tablet (dosis tunggal) menurut
1II klorokuin 1/4 1/2 1 V/2 2 Hari Jenis Obat golongan umur (tahun)
primakuin – 1/4 1/2 3/4 1
<1 1–4 5–9 10–14 15+
IV primakuin – 1/4 1/2 3/4 1
V primakuin – 1/4 12 3/4 1 I kin sulfat * 1/2 1 2

Dikutip dari : Depkes R.I.1990. Malaria : Pengobatan : 3. diminum 3 kali sehari selama 7 hart dengan atau tanpa tetrasiklin
Catalan : II primakuin – 12 3/4 1 2– 3
1 tablet klorokuin =150 mg basa klorokuin.
1 tablet primakuin =15 mg basa primakuin, tidak diberikan pada bayi dan ibu diminum sekaligus pada hari pertains pengobatan dengan kina
liana
Obat diminum tidak boleh datum keadaan perut kosong. Dikulip dari : Depkes RI. 1990. Malaria : Pengobatan : 3.
Catalan :
2. Malaria resisten klorokuin * Dosis kina setiap hari unluk bayi dihitung 10 mg/umur dalam bulan, dibagi
Malaria falsiparum yang resisten klorokuin dan tanpa dalam 3 bagian yang diberikan selama 7 hari.
komplikasi' diobati dengan sulfadoksin-pirimetamin dan pri- 1 tablet kina sulfat = 200 mg kina sulfat.
1 tablet primakuin =15 mg basa primakuin, tidak diberikan pada bayi dan ibu
makuin dosis tunggal keeuali pada bayi dan wanita hamil, diberi- hand.
kan seeara oral sesuai golongan umur. Sulfadoksin diberikan
dengan dosis 25 mg/kgBB dan pirimetamin 125 mg/kgBB t '•10 3. Malaria dengan komplikasi (malaria berat)
(tabel 3). Sulfadoksin-pirimetamin bersifat skizontosida jaring- Malaria dengan komplikasi umumnya disebabkan oleh P.
an primer, skizontosida darah dan sporontosida terhadap ke falciparum yang telah resisten terhadap klorokuin sehingga
empat spesies plasmodium manusia. Obat ini digunakan pada memerlukan penanganan khusus, diagnosis dini, pengobatan
kasus malaria falsiparum di daerah yang resisten klorokuin'). eepat dan tepat karena banyak mengakibatkan kematian.
Efek samping yang pemah dilaporkan adalah sindroma Steven — Manifestasi klinis malaria dengan komplikasi dapat ber-
Johnson yang dapat berakibat fatal. bentuk malaria otak, anemia berat, gagal ginjal, edema paru,
Bila penderita malaria falsiparum tersebut masih belum hipoglisemia, syok, perdarahan spontan (Disseminated Intra-
sembuh, obat diganti dengan tablet kina sulfat dengan atau tanpa vascular Coagulation), kejang berulang, asidosis atau asidemi,
tetrasildin sertaprimakuin, dengan dosis sesuai golongan umur om hemoglobinuri, hiperparasitemi, ikterus, hiperpireksia dan ke-
(tabel 4). Di Thailand, dosis kina untuk anak-anak sekolah 10 lelahan beratt ' .10. "
mg/kgBB, 3 kali sehari, selama 4 hari kemudian dilanjutkan Pengobatan dengan kina dihidrokhlorida intravena meru-
dengan dosis 15 mg/kgBB, diberikan 3 kali sehari selama 3 hari pakan pilihan utama karena malaria berat memerlukan peng-
untuk meneapai Minimal Inhibitory Concentration (MIC) dalam obatan eepat dan tepat. Kina diberikan dalam larutan infus NaCl

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992 91


drug. Angka kesembuhan yang dieapai 100% dengan waktu
0.9% atau Dextrosa 5%, 10 mlkgBB, dengan dosis awal 16,7 — bebas panas dan waktu bebas parasit adalah 9,3 ± 2,4 jam dan
20 mg basa/kgBB dalam 4 jam pertama, dilanjutkan dengan dosis 47,1 ± 3,7 jam. Efek samping yang ditemukan hanya mual ringan
22
8,3 — 10 mg basa/kgBB dalam 4 jam berikutnya dan diulang dan sembuh tanpa pengobatan( ).
setiap 8 jam sampai penderita dapat menelan obat untuk kemu-
dian diselesaikan pengobatannya per oral sampai hari ke 7. 3. Halofantrin
Pemberian dosis awal (loading dose) akan lebih cepat memberi Halofantrin merupakan obat antimalaria golongan genan-
basil, tetapi tidak diberikan kepada penderita yang dalam 48 jam tren metanol yang bersifat skizontosid darah untuk ke empat
sebelumnya sudah diberi00.11.'2.
kina. Dalam hal ini diberikan kina dosis species plasmodium manusia dan juga untuk strain P. falciparum
8,3 – 10 mg basa/kgBB ' 3>
resisten multidrug. Dosis yang dianjurkan untuk anak-anak 8—10
Bila kina dihidrokhlorida tidak tersedia dapat diberikan mg/kgBB tiap 6 jam dengan dosis total 24 mg/kgBB. Untuk
kinidin glukonat 15 mg basa/kgBB dalam larutan infus NaCl dewasa (> 12 tahun) diberikan 500 mg tiap 6 jam dengan dosis
0.9% atau Dextrosa 5%, 10 mlkgBB dalam 4 jam, dilanjutkan total 1500 mg. Obat ini tidak diberikan pada wanita hamil dan
7,5 mg basa/kgBB dalam 4 jam berikutnya, kemudian diulang menyusui karena mempunyai efek foetotoksin(").
tiap 8 jam sampai penderita dapat menelan obat untuk kemudian Penelitian pengobatan halofantrin pada penderita malaria
(10,11,12)
diselesaikan pengobatannya per oral sampai hari ke 7 falsiparum tanpa komplikasi di daerah resisten klorokuin, me-
Hipoglikemi pada penderita malaria berat perlu segera di-
tanggulangi dan terus dimonitor karena menentukan prognosis nunjukkan bahwa halofantrin efektif dan aman. Angka kesem-
Hipoglikemi tersebut dapat juga terjadi selama pemberian intra- buhan yang dieapai 98,4% dengan waktu bebas panas dan waktu
vena kina dihidroklorida ). U12 bebas parasit adalah 22,4 ± 2,7 jam dan 58,3 ± 5,2 jam. Efek
samping yang ditemukan adalah diare, mual, palpitasi, dan
pusing yang ringan dan sembuh tanpa pengobatan( M ).
PENELITIAN PENGOBATAN MALARIA FALCIPARUM
Halofantrin juga efektif dan aman untuk penderita malaria
RESISTEN KLOROKUIN
falsiparum in-vitro resisten klorokuin dan tidak berbeda ber-
Sehubungan dengan meluasnya distribusi kasus malaria
makna bila dibandingkan penderita malaria falsiparum in-vitro
falsiparum resisten klorokuin dan meningkatnya derajat resis-
sensitif klorokuin dalam hal angka kesembuhan, waktu bebas
tensi serta resistensi multidrug, maka telah dilakukan beberapa
panas dan bebas parasit yang dibutuhkan. Angka kesembuhan
penelitian pengobatan malaria falsiparum resisten klorokuin
penderita malaria falsiparum in-vitro sensitif klorokuin dan
dengan obat antimalaria yang belum terdaftar dan digunakan
resisten klorokuin adalah 100% dan 96,3%. Waktu bebas panas
sebagai obat antimalaria di Indonsia.
dan waktu bebas parasit untuk penderita malaria falsiparum in-
1. Klindamisin vitro sensitif dan resisten klorokuin adalah 17,1 ± 3,5 jam dan
Klindamisin telah terdaftar dan digunakan sebagai anti- 21,8 ± 4,6 jam serta 51,6 ± 2,8 jam dan 66,9 ± 12,1 jam (25) .
biotika. Obat ini pada malaria bersifat skizontosid darah untuk
P. falciparum dan juga P. falciparum resisten klorokuin ) OBAT LAIN UNTUK P. FALCIPARUM RESISTEN KLO-
(14,15)

Di RSU Dili, Timor Timur, klindamisin diberikan kepada ROKUIN


penderita dewasa malaria falsiparum in-vitro resisten klorokuin Selain klindamisin, meflokuin dan halofantrin juga ada
dengan dosis dua kali 300 mg, per oral selama 5 hari. Dengan beberapa obat antimalaria yang terbukti efektif untuk P. falci-
pengawasan selama 28 hari, angka kesembuhan yang dieapai parum resisten klorokuin tetapi belum pernah diteliti di Indo-
adalah 100% dan waktu yang dibutuhkan untuk bebas parasit nesia.
adalah 2—6 hari. Efek samping yang ditemukan ringan dan
1) Qinghaosu
bersifat sementara a ' o .
Qinghaosu merupakan obat antimalaria golongan seskuiter-
2. Meflokuin pen lakton yang bersifat skizontosid darah untuk P. falciparum
Meflokuin adalah obat antimalaria golongan 4-metanol dan P. vivax. Sebenarnya obat ini merupakan obat tradisional
kuinolin yang bersifat skizontosid darah untuk ke empat species Cina untuk penderita demam yang dibuat dari ekstrak tumbuhan
plasmodium manusia dan strain P. falciparum resisten multi- Artemesia annua (qinghao) yang sudah dipakai sejak ribuan
drugm " .18u. Dosis yang dianjurkan adalah 15—29 mg/kgBB, per- tahun lalu. Qinghaosu tidak diberikan pada wanita hamil karena
oral dosis tunggal atau terbagi dalam 2 dosis nap 12 jam. Obat ini efek foetotoksik « .
tidak diberikan pada wanita hamil trimester pertama(13,19) Obat ini mempunyai empat bentuk yaitu tablet (artemesin
Kasus P. falciparum yang resisten terhadap meflokuin in- atau qinghaosu) untuk peroral, dalam larutan minyak (artemeter)
vivo maupun in-vitro telah ditemukan di Irian Jaya dan Jawa untuk suntikan intramuskular, bentuk bubuk kering yang di-
Tengah(20 21 ".
• larutkan dengan larutan NaHCO 3 5% untuk suntikan intravena
Penelitian pengobatan meflokuin pada penderita malaria atau intramuskular
1(11,26,27. dan bentuk supositoria untuk supositoria
falsiparum tanpa komplikasi menunjukkan bahwa meflokuin Obat rektalini terutama digunakan untuk pengobatan malaria
efektif dan aman untuk malaria falsiparum in-vitro resisten klo- berat atau dengan komplikasi karena efek obat yang sangat cepat.
rokuin maupun untuk malaria falsiparum in-vitro resisten multi-

92 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


Dosis yang efektif masih diteliti. Dosis tablet untuk orang dewasa dapat diobati dengan sulfadoksin-pirimetamin (kecuali bayi dan
adalah 2,5 - 3,2 g, larutan minyak adalah 0,6 - 1,2 g dan larutan ibu hamil) atau kina sulfat dengan atau tanpa tetrasiklin. Malaria
NaHCO 3 5% adalah 1,2 g. Angka rekrudensi eukup tinggi yaitu kompl ikasi denganatau tanpa resisten klorokuin sebaiknyadiobati
> 18% yang biasanya timbul pada hari ke 15-30 setelah peng- dengan kina di hidrokhlorida intravena karena memerlukan peng-
obatan. Waktu bebas panas dan waktu bebas parasit yang dibu- obatan yang tepat dan obat yang bekerja eepat.
tuhkan adalah 15-22 jam dan 30-68 jam. Efek samping yang Klindamisin, meflokuin dan halofantrin merupakan obat
ditemukan adalah penurunan jumlah lekosit dan retikulosit yang antimalaria alternatif yang pernah diteliti pada penderita malaria
bersifat sementarao3's 29
• Dalam waktu dekat akan dilakukan falsiparum tanpa komplikasi dan memberikan hasil yang baik.
penelitian qinghaosu di Indonsia. Qinghaosu, yinghaosu, pironaridin dan Faleimax TM merupa-
kan obat antimalaria alternatif yang memberikan harapan untuk
2) Yinghaosu
pengobatan malaria falsiparum resisten klorokuin tetapi belum
Yinghaosu merupakan obat antimalaria golongan seskuiter-
pemah diteliti di Indonesia.
pan peroksid yang bersifat skizontosid darah untukP. falciparum
dan strain P.fal ciparum resisten klorokuin. Obat ini baru dikem-
KESIMPULAN
bangkan dari tanaman obat tradisional Cina dan tidak ditemukan
Hanya kina yang masih merupakan obat antimalaria yang
resistensi silang dengan klorokuin, meflokuin dan qinghaosu.
bersifat life-saving untuk pengobatan malaria falsiparum yang
Yinghaosu dapat diberikan peroral atau parentral(32.33)
resisten multidrug.
3) Pironaridin
Pironaridin merupakan obat antimalaria derivat hidroksia-
KEPUSTAKAAN
nilino benso-naftridin, mempunyai struktur sama dengan
mepakrin dan amodiakuin. Obat ini bersifat skizantosid darah 1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal PPM &
untukP. falciparumresisten multidrug dan sudah digunakan luas PLP. (1990) Malaria. Pengobatan : 3.
(34,35,36,37)
di Cina sejak lebih dari 10 tahun yang lalu 2. Bruce–Ch watt U. Chemotherapy of malaria. 2nd ed. Geneva: WHO 1981.
3. World Health Organization. Chemotherapy of malaria and resistance to
Pironaridin mempunyai bentuk
38)
tabletdan kapsul dan bentuk anti-malarials : Report of a WHO Scientific Group. WHO Techn Rep Ser
parenteral yang lebih efektif . Dosis oral adalah 300-400 mg, no. 529. 1973.
dua kali sehari pada hari pertama dan selanjutnya satu atau dua 4. Arbani PR. Situasi malaria di Indonesia. Simposium QBC. FKUI, Jakarta,
28 Nopember 1991.
kali sehari, dengan dosis total 1,2 gram. Dosis parenteral adalah 5. Tjitra E, Marwoto, Hariyani, Kenny, Marvel dkk. Penelitian obat anti-
0,3 gram intramuskular atau intravena, dua kali sehari dengan malaria. Bul Penelit Kes 1992; 19(4): 15-23.
perbedaan waktu 8 jam. Waktu bebas panas dan waktu bebas 6. Schwartz IK, Lacteritz EM, Patchen LC. Letter : Chloroquine resistant
parasit obat ini pada pekerja di Thailand dan Cina adalah 36 jam Plasmodium vivax from Indonesia. New Engl J Med 1991; 324: 927.
7. Baird JK, Basri H, Pumomodkk. Resistance to chloroquine by Plasmodium
dan 57 jam (39) . Efek swiping yang pernah ditemukan adalah vivaxin Irian Jaya,Indonesia. Am. J. Trop. Med. Hyg. 1991; 44(5): 547-52.
diare, sakit perut, muntah-muntah. 8. Baird JK. Komunikasi pribadi. 1992.
9. Patchen LC, Mount DL, Schuwartz IK, Churchill FC. Analysis of filter-
4) Falcimax TM paper-absorbed, finger– stick blood samples for chloroquine and its major
Falcimax TM merupakan obat an timalaria kombinasi antara metabolite using high – performance liquid chromatography with fluores-
kita, kuinidin dan einehonin. Obat ini bersifat skizontosid darah cence detection. J. Chromatogr. 1983; 278: 81–9.
10. World Health Organization. The Clinical Management of Acute Malaria.
untuk ke empat species plasmodium manusia dan telah diteliti di WHO Regional Publications, South-East Asia Series No. 9, 3rd ed. WHO
Thailand untuk penderita anak malaria falsiparum dengan dosis Regional Office for South-East Asia, New Delhi. 1990.
12 mg/kgBB tiap 8 jam selama 7 hari peroral. Angka kesem- 11. World Health Organization Division of Control of Tropical Diseases.
buhan yang dieapai jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan Severe and Complicated Malaria. Trans Roy Soc Trop Med Hyg. 2nd ed.
1990. 84 (suppl 2): 1-65.
pengobatan hanyakina yaitu 100%.
(40)
Efek samping yangditemukan 12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Malaria : Penatalaksanaan
bersifat ringan dan sementara malaria berat di Rumah Saki' dan Puskesmas : 16. 1991.
13. Gilles HM. Management of severe and complicated malaria. A practical
RINGKASAN handbook. Geneva: World Health Organization, 1991.
14. Geary TG, Jensen JB. Effects of antibodies on P. falciparum in-vitro. Am
Dengan ditemukannya P. falciparum resisten klorokuin di
J Trop Med Hyg, 1983; 32(2): 221-5.
27 propinsi dan resisten multidrug di 11 propinsi, maka peng- 15. Seaberg LS, Parquette AR, Gluzman IY dkk. Clindamycine activity against
obatan malaria yang resisten terhadap klorokuin menjadi ma- chloroquine resistant P. falciparwn. J Infect Dis. 1984; 150(6): 904–11.
salah penting. P. vivax resisten terhadap klorokuin juga telah 16. Oemijati S, Pribadi W, Suprijanto S. dkk. Pengobatan infeksiP. falciparwn
mulai dilaporkan dan sedang diteliti lebih lanjut di Irian Jaya dan yang resisten terhad ap klorok uin dengan klindamisin. SeminarParasitologi
Nasional VI dan Kongres P4I V, Pandaan, Jaws Timur 23–25 Juni 1990.
P. Nias. 17. Harinasuta T, Bunnag D, Wemdkorfer W. A phase II clinical trial of
Kasus resistensi dapat diketahui dengan tes in-vivo (sistim 7 mefloquine in patients with chloroquine resistant falciparum malaria in
hari atau 28 hari) dan atau tes in-vitro (tes makro atau mikro) Thailand. Bull WHO 1983; 61: 299-305.
menurut standar WHO untuk tes sensitivitas obat antimalaria. 18. Karbwang J, White NJ. Clinical Phannacokinetics of mefloquine. Clin
Pharmacokinet, 1990; 19(4) : 264-79.
Sesuai dengan program pemberantasan malaria, malaria 19. Chongsuphajaisidhi T, Sabchareon A, Chantavanich P, dkk. A phase III
falsiparum tanpa komplikasi yang resisten terhadap klorokuin clinical trial of mefloquine in children with chloroquine-resistant falci-

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 93


parum malaria in Thailand. Bull WHO 1987; 65(2): 223-6.
20. Hoffman SL dkk. RU and R III type resistance of Plasmodium falciparum
to combination of mefloquine and sulfadoxine/pirimethamine in Indonesia. UCAPAN TERIMA KASIH
Kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kepala
Lancet 1985, November 9: 1039-40.
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Litbang Kesehatan, dan Dr PR
21. Hoffman SL dkk. In-vitro studies of the sensitivity of Plasmodium falci-
parum to mefloquine in Indonesia. Panel Diskusi dalam Seminar Parasito- Arbani, MPH, Kasubdit Malaria, Departemen Kesehatan R.I., diucapkan terima
kasih alas kesempatan dan saran-saran yang diberikan.
logi Nasional & Kongres ke II P4I, Agustus, Bandung 1983.
22. Tjitra E, Oemijati S, Pribadi W, dkk. Pengobatan malaria falsiparum tanpa
komplikasi dengan meflokuin di daerah resisten klorokuin. Bull Penelit
Kes 1992 (akan diterbitkan).
23. Smith Kline & French. Halofantrine in the treatment of multidrug resistant Lampiran 1. BerbagaiderajatresistensiP.faldparumterhadapkiorokuin.
malaria. Parasitol Today (Suppl) 1989.
24. Tjitra E, Oemijati S, Pribadi W, dkk. Pengobatan malaria falsiparum tanpa Berbagai derajat resistensi/sensitivitas P. falciparum terhadap kiorokuin.
komplikasi dengan halofantrin di daerah resisten klorokuin. Bull Penelit
Kes 1992, 20 (1).
25. Tjitra E, Oemijati S, Pribadi W, dkk. Studi perbandingan pengobatan Sensitif (S)
halofantrin pada penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi yang in- Batas ambang mikroskop
vitro sensitif dengan yang resisten klorokuin. 1992. (akan diterbitkan).
26. World Health Organization. The Development of Qinghaosu and its de-
vivates as antimalarial drugs. Fourth meeting of the scientific working
group on the chemaotherapy of malaria. People's Republic of China:
Beijing, 6-10 Oktober 1981.
27. Arnold K, dkk. A randomized comparative study of artemisine (qinghaosu)
suppositories and oral quinine in acute falciparum malaria. Trans R Soc R I Kasep
Trop Med Hyg, 1990; 84: 499-502.
28. Jiang BJ, Li GQ, Guo XB, Yun CK. Antimalarial activity of mefloquine and
qinghaosu. Lancet 1982, August 7 : 285-8.
29. Pe TM, Tin S. The efficacy of artemether (Qinghaosu) in P.falciparu n and
P. Vivax in Burma. Southeast Asia J. Trop Med Publ Health, 1986; 17(1):
19-22.
30. Pe TM, Tin S. A controlled clinical trial of artemether (qinghaosu derivates) R I Dini
versus quinine in complicated and severe falciparum malaria. Trans Roy
Soc Trop Med Hyg, 1987; 81: 559-61.
31. Li GQ, Guo XB, Jian HX, Arnold K. Randomized comparative study iof
mefloquine, qinghaosu and pyrimethamine-sulfadoxine in patients with
falciparum malaria. Lancet 1984, December 15 : 1360-1361.
32. Stohler HR, Jaquet C, Peter W. Biological characterization of novel
bicyclic peroxides as potential antimalarial agents. XII th Intemat Conggr
Trop Med and Malaria. Amsterdam, The Netherlands. 18-23 September RII
1
1988.
33. Hofheinz W, Jaquet C, Masciadri R, dkk. Structure activity relationship of
novel bicyclic peroxide antimalarials related to Yinghaosu. XII th Intemat
l_
Conggr Trop Med and Malaria. Amsterdam, The Netherlands. 18-23
September 1988.
34. Zheng XY, Chen C, Goo FH, dkk. Synthesis of new antimalarial drug
pyronaridine and its analoques. Yao Hsueh Hsueh Pao Sinica, 1982; 17:
118-125.
R III
35. Fus S, Bjarkman A, Wahlin B, dkk. In-vitro activity of chloroquine, the two
enantiomers of chloroquine, desethyl chloroquine and pyronaridine against
Plasmodiumfalciparwn. Brit J Clin Pharmacol 1986; 22: 93-6. 1
36. Childs GE, Hansler B, Milhous W, dkk. In-vitro activity of pyronaridine 01234567 14 21 28
against field isolates and reference clones of Plasmodium falciparum. Am I I
J Trop Med and Hyg 1988; 38: 24-9. Standart Test Hari dihitung dari mulai makan obat (DO)
37. Qiu CD, Ren DX, Liu DQ, dkk. Sensitivity ofP. falciparwn to pyronaridine (Test - 7 hari)
and sodium artesumate in Hainan island, China. XII th Intemat Conggr I I
Trop Med and Malaria. Amsterdam, The Netherlands. 18-23 September Extended Test (Test 28 hari)
1988. Parasitemia askesual P. falciparum
38. Feng Z, Wu ZF, Wang CY, dkk. Pharmacokinetics of pyronaridine in
malaria patients. Chung Kuo Yao Li Hsueh Pao 1987; 8: 543-6. Dikutip dari WHO Technical Report Series 1973, no. 529.
39. Chanthavanich P, Changsuphajaisiddhi T, Sahchareon A, dkk. A combina- Catalan :
tion of quinine, quinidine and cinchonine (Falcimax TM) in the treatment S : Hilangnya semua parasit asekual dari darah perifer dalam waktu 7 hari
of falciparum malaria in Thai children. XII th Intemat Conggr Trop Med dihitung setelah hari pertama minum obat tanpa adanya rekrudensi.
and Malaria. Amsterdam, The Netherlands 18-23 September 1988. RI : Hilangnya semua parasit aseksual dari darah perifer, seperti halnya pada
40. Chang C, dkk. Studies on a new antimalarial compound pyronaridine. Trans S, tetapi selalu ada rekrudensi.
R Soc Trop Med Hyg, 1992; 86: 7-10. RII : Penurunan 75% yang jelas dari jumlah parasit aseksual dalam darah
perifer tetapi tdak pernah hilang (negatif) sama sekali.
RIII : Tidak ada perubahan yang berarti (25%) dan jumlah parasit aseksual
dalam darah perifer.

94 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992


Lampiran 2 : Peta malaria dan P. falclparum resIsten klorokuin.

INDONESIA .
nOPt.;iiopia.
s,.

- ,,
r
') Sou:. Cans S.*

Su. Sw 11
.

t
1 t. A Y S I A

aPuu:!
'' ‘3
MALA''rk ./ 9
\al
T
Pocif;c OCtan

SLRA wAK ;

e ,—. - - - - - - t,

v .. --'----''=---=" >
t Sui a a si i-L%..

k' .
\, :1 /

...."t :--
o. ,
ft _
a
-s

- g-'- ---t
0-a

.
—,—...._ Baaaa ''..-
..r.... _ ....I:v.!. .................... _
,
._ :'"
. l
i

A,. t S,,
a --A PAC R .
' ,/ •

a 0
iiTer Sea

Keterangan : Dikutip dari : Subdit Malaria, Dirjen P2M & PLP, Depkes RI.
=Persistent malaria transmission
li:EMPresominald Pf. incidence
0 Confirmed Pf resistance to 4 amino-quinollines

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 95


Pengalaman ultrasonografi abdomen
di RS. Sumber Waras
Melani W. Setiawan *, I. Susanto, Purnadi K, J.J. Setiawan dan H. Wulur
*Unit Ultrasonografi Bagian Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara,
RS Sumber Waras Jakarta

PENDAHULUAN kelainan seperti: traktus urinarius 131 (18,8%), hepatobilier 112


Di Indonesia pemeriksaan ultrasonografi (USG) telah ba- (16%) dan sisanya abdomen umum 455 (65,2%). Di rumah sakit
nyak memasuki dunia kedokteran kita dalam berbagai bidang, kami pemeriksaan USG abdomen dikerjakan seeara menyeluruh
antara lain dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak. Alat ini meru- di abdomen karena seringnya dijumpai kelainan yang berkaitan
pakan salah satu sarana eanggih yang telah banyak digunakan dengan kelainan lain.
oleh dokter-dokter ahli di dunia sejak 15 tahun terakhir. Keluhan non-spesifik penderita yang paling sering menjadi
Pemeriksaan USG pada anak dapat diterapkan pada ber- indikasi rujukan oleh para sejawat dapat dilihat pada Tabel 1,
bagai alat tubuh, misalnya untuk kelainan-kelainan perut, saluran yaitu nyeri abdomen menahun 34,3%, nyeri abdomen mendadak
keneing, kepala, dada, jantung, kandungan, leher, pinggul dan 9,9%, muntah-muntah 5,7% dan panas 5,9%. Tabel 2 menunjuk-
lain-lain, sehingga banyak permintaan dari sejawat atau orang kan bahwa ikterus, hepatomegali, hepatosplenomegali dan hepa-
tua penderita untuk pemeriksaan tersebut. titis merupakan keluhan utama gangguan sistim hepatobilier
Makalah ini bertujuan mengemukakan pengalaman peme- untuk rujukan pemeriksaan USG.
riksaan USG abdomen sebagai salah satu sarana diagnostik- Lokalisasi nyeri sangat penting pada penderita dengan ke-
bantu pada bayi dan anak. Pada kesempatan ini hanya akan luhan nyeri abdomen. Lokalisasi yang sering ditemukan path
dibatasi pada saluran eerna dan sistim hepatobilier. nyeri abdomen menahun dan berulang adalah di daerah perium-
bilikal (28,8%) dan epigastrium (23,7%), (Tabel 3). Sedangkan
BAHAN DAN CARA nyeri epigastrium (30,8%), nyeri abdomen kanan atas (43,6%)
Dalam kurun waktu 4,5 tahun (1 Januari 1987 – 1 Juni 1992) dan kanan bawah (23,1%) merupakan keluhan yang tersering
telah dilakukan 1.213 pemeriksaan USG pada bayi dan anak. dijumpai pada nyeri abdomen akut, tetapi tidak termasuk kasus
Mereka berasal dari rujukan poliklinik 149 (12,2%) anak, rujukan dengan dugaan Demam Berdarah Dengue (Tabel 4).
ruangan 570 (47%) anak, rujukan ruang bayi 104 (8,6%) anak Hasil yang ditemukan dengan USG pada 156 kasus nyeri
dan permintaan konsultasi dari sejawat di luar rumah sakit 390 abdomen menahun adalah terbanyak tanpa kelainan organ
(32,2%) anak. Umur penderita berkisar antara 6 jam sampai 14 (81,4%), dan hanya sebagian kecil yang dijumpai kelainan yaitu
tahun terdiri dari 570 (52%) laki-laki dan 524 (48%) perempuan. peritonitis TBC 2 anak, abses hepar 2 anak, abses limpa 1 anak
Sebelumnya penderita harus berpuasa selama 6 jam, kecuali dan keganasan 3 anak. Tujuh bayi yang berumur kurang dari 3
pada kasus-kasus kedaruratan. bulan dengan ikterus pada pemeriksaan USG terbanyak menun-
Alat ultrasonik yang dipakai adalah Toshiba SSA-90-A dan jukkan hepatitis neonatal 10 kasus (58,8%), juga ditemukan 2
SAL-50A dengan probe limier dan sektor 3,75 MHz. kasus at esia biliaris dan 2 kasus kista duktus khioledokhus. Pada
penderita dengan ikterus, pemeriksaan USG dijumpai beberapa
HASIL kelainan, seperti: hepatitis 32 kasus, kelainan saluran empedu
Pemeriksaan USG abdomen sebanyak 698 kasus, walaupun (kista duktus kholedokhus) 3 kasus dan penyakit hati kronik 13
permintaan pemeriksaan dikategorikan untuk beberapa jenis kasus. Pemeriksaan USG pada anak-anak dengan hepatomegali

96 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


Tabel 1. Distribusi Keluhan Non-Spesifik untuk Pemeriksaan USG Tabel 4. Lokalisasi Nyeri Perut Mendadak
Abdomen
n %
n %
Epigastrium* 14 31,1
Nyeri abdomen menahun 156 34,3 Kanan atas 17 37,8
Nyeri abdomen mendadak 45 9,9 Kanan bawah 7 15,6
Demam + nyeri epigastrium* 97 21,3 Sekitar pusar 2 4,4
Muntah-muntah 26 5,7 Difus 5 11,1
Demam 27 5,9
Massa abdomen Jumlah 45 100
17 3,7
Trauma 11 2,4
Perut membuncit 10 2,2 * tidak termasuk Dent= Berdarah Dengue
Pertumbuhan terlambat 4 0,9
Efusi pleura 3 0,7 ditemukan pada gangguan saluran cerna dengan keluhan mun-
Diafragma letak tinggi 3 0,7 tah-muntah dan hematoschezia, 6 anak memberikan gambaran
Metastasis 6 1,3
khas "kokade" patologik untuk invaginasi dan dikonfirmasi
Follow-up 18 4,0
Lain-lain 32 7,0 dengan tindakan bedah dan endoskopi diagnostik maupun
terapeutik. Pada 17 bayi dengan dugaan hipertrofi pilorus hanya
Total 455 100,0
3 kasus yang memenuhi kriteria dan dikonfirmasi dengan pe-
* Demam Berdarah Dengue meriksaan barium per-os maupun tindakan bedah. Pemeriksaan
USG pada 7 anak dengan muntah-muntah, sakit perut dan perut
label 2. Distribusi Keluhan Sistem Hepatobilier untuk Pemeriksaan membuncit, menunjukkan ileus obstruksi tinggi path 3 anak dan
USG
paralitik path 4 anak.
n % Telah dilakukan tindakan aspirasi untuk diagnosa dan
Ikterus 26 23,2 terapeutik pada 3 kasus abses hati (1 piojenik dan 2 amubik). Satu
Hepatomegali 21 18,8 abses limpa ternyata adalah piojenik dan dilanjutkan tindakan
Hepatosplenomegali 17 15,2 bedah. Path 3 kasus asites telah dilakukan aspirasi diagnostik,
Hepatitis 11 9,8
Nyeri perut kanan atas 6 5,3 ternyata sesuai dengan proses spesifik.
Abses hati 6 5,3
Sirosis hati 5 4,5 PEMBAHASAN
Hematemesis 4 3,6 Nyeri abdomen khronis merupakan keluhan utama (13%)
Hipertensi portal 4 3,6
Gangguan fungsi hati 4 3,6 dari anak-anak yang dirujuk untuk pemeriksaan USG. Di Inggris
Trauma 2 1,8 dan Amerika Serikat 10-15% anak-anak sekolah mempunyai
Follow-up 6 5,3 keluhan nyeri abdomen menahun( 1). Para klinisi umumnya ber-
Total 112 100,0 pendapat bahwa keluhan nyeri abdomen menahun merupakan
kelainan yang serius dan harus dievaluasi dengan berbagai
Tabel 3. Lokalisasi Nyeri Perut Menahun dan Berulang pemeriksaan; termasuk pemeriksaan radiologik dengan barium
enema, barium per os dan pielografi intravena. Pada 15 tahun
n %
terakhir pemeriksaan USG banyak dipakai oleh para klinisi
Sekitar pusar 45 28,8 sebagai pengganti pemeriksaan peng-ion radiasi karena sifatnya
Epigastrium 37 23,7
Kanan atas 26 16,7 yang non-invasif(2,5). Teele (1991) tidak mendukung pemakaian
Kiri atas 8 5,2 USG dalam anti untuk menemukan suatu kelainan organik, akan
Kanan bawah 7 4,5 tetapi sangat berarti dalam hal menyingkirkan tidak adanya ke-
Tengah kiri-kanan 5 3,2
Kiri bawah 5
lainan organik sebagai penyebab dari keluhan nyeri abdomen
3,2
Tengah bawah 6 3,8 khronis. Dokumentasi tidak adanya massa dalam perut, hidro-
Pindah-pindah 17 10,9 nefrosis dan batu empedu akan menghilangkan keeemasan orang
Jumlah 156 100 tua(') . Sesuai dengan pendapat John Apley (1982), kami me-
nemukan bahwa nyeri yang makin dekat ke umbilikus, makin
kurang menunjukkan kelainan patologik('). Kami hanya me-
terutama dengan pembesaran difus lobus kanan memberikan nemukan peritonitis TBC yang merupakan komplikasi dari TBC
gambaran nonspesifik misalnya infeksi akut atau penyakit sis- paru yang prevalensinya eukup tinggi di Indonesia8). Menurut
temik, proses infiltratif yaitu 2 kasus hepatoselular karsinoma Berhman berbagai penyebab dari nyeri abdomen menahun dan
dan 1 metastasis dan kelainan metabolik 1 kasus. Keadaan- berulang termasuk kelainan pada hepatobilier, traktus urinarius,
keadaan lain yang ditemukan adalah lesi fokal hati seperti abses ginekologik( 9), pada penelitian kami ketiga kelompok tersebut
(6 kasus), trauma (2 kasus), dan hemangioma (2 kasus). kami keluarkan dari kelompok penelitian, sehingga memberi
Keluhan utama kelainan saluran eerna dengan tanda-tanda kesan bahwa pada penderita dengan keluhan-keluhan nyeri
obstruksi, pada 7 anak merupakan kelainan yang paling sering abdomen menahun dan berulang pemeriksaan USG dirasakan

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 97


kurang dapat menemukan kelainan organik yang merupakan KEPUSTAKAAN
keluhan nyeri tersebut (8,3%).
Nyeri abdomen akut merupakan keadaan gawat darurat 1. Apley J. One child. In: Apley J, Ounsted C (eds): One Child (Clinics in
Developmental Medicine Sed., Vol. 80). Philadelphia,JB Lippincott, 1982;
yang disebabkan oleh kelainan usus seperti obstruksi' 2.3 ) atau 23-47.
radang" ditemukan sebanyak 15,4% pada kasus kami. Juga 2. Swischuk LE, Hadyen CK, Boulden T. Intussusception: indications for
ditemukan 2 kasus dengan gejala peritonitis TB, 2 kasus dengan ultrasonography and an explaination of the doughnut and pseudokidney
signs. Pediatr Radiol 1985; 15: 338-391.
gambaran yang mengarah Demam Berdarah Dengue( 11•12) dan 2
3. Alzen A, Funke G, Truong S. Pitfalls in the diagnosis of intussusception.
kasus pankreatitis. J Clin Ultrasound 1989; 17: 481-488.
Merupakan suatu hal yang sulit untuk membedakan atresia 4. Henschke CI, Teele RL. Cholelithiasis in children: recent observations.
biliaris dengan hepatitis neonatal. Abramson dick (1982) mem- J Ultrasound Med 1983; 2: 481-484.
5. Yip WCL, Wong ML, Tay JSH, Wong HB. Infantile hypertrophic pyloric
buktikan bahwa pada keadaan ini USG sangat penting sebagai stenosis: evaluation of sonographic criteria. J Singapore Paediatr Soc.
pemeriksaan pendahuluan dan memberikan hasil yang sama balk 1989;31:111-1154.
dengan radionukleiktl ' l . Kami menemukan 2 kasus dengan 6. Stunden RJ, LeQuesne GW, Little KET. The improved ultrasound diagno-
diagnosa banding atresia biliaris yang setelah di follow-up ter- sis of hypertrophic pyloric stenosis. Pediatr Radiol 1986; 16: 200—205.
7. Teele RL, Share JC. Recurrent abdominal pain. In Ultrasound of infants and
lihat pengisian kandung empedu yang normal menandakan sa- children. Philadelphia: WB Saunders Co. 1991: 343-345.
luran extrahepatik yang paten. 8. Melani Setiawan, D. Sugianti. Sonographic appearance of peritoneal tuber-
culosis (A preliminary report). The second World Congress of Ultrasound
in Developing Countries. Kuala Lumpur, Malaysia, November 23—26,
1989.
KESIMPULAN 9. Berman S, Ocampo PS. Gastrointestinal disease. In: Berman A, (ed).
Ultrasonografi dapat digunakan untuk pemeriksaan awal Pediatric Decision Making. Philadelphia: BC Decker Inc. 1991; 2: 307-356.
dalam hal screening, guiding, mapping yang bersifat tidak inva- 10. Skaane P, Amland PF, Nordshus T, Solheim K. Ultrasonography in patients
with suspected acute appendicitis: a prospective study. Br J Radio] 1990;
sif dan t npa radiasi; di samping biayanya relatif dapat ter- 63: 787-793.
jangkau. 11. Sugianto D, Melani Setiawan. Akut abdomen pada penderita Demam
Ultrasonografi dipakai sebagai skrining pada nyeri perut Berdarah Dengue: peranan sonografi. Pros Penemuan Ilmiah Berkala V
akut/menahun-berulang, untuk menemukan massa dalam abdo- Kursus Intensif Ultrasonografi. Bandung 19—24 Februari 1991: 297.
12. Melani W. Setiawan, D. Sugianto, Wulur II, Tatang K. Samsi. Ultrasound
men, kelainan-kelainan pada sistim saluran pencernaan dan in fluid collections: the value in the management of Dengue Hemorrhagic
hepatobil ier. Fever. Seoul, Korea, August 30—September 3, 1992.
Mengesankan USG bermanfaat untuk membantu tindakan 13. Abramson SJ, Treves S, Teele RL. The infant with possible biliary atresia:
evaluation by ultrasound and nuclear medicine. Pediatr Radiol 1982; 12:
intervensi balk untuk diagnostik atau terapeutik.
1-5.

98 Ccrmin Duniu Kedoklcran Edisi Khusus No. 8/, 1992


Echo Encephalography
of Newborn Infants
Willem Baerts, MD
Department of Pediatrics and Neonatology Sophia Hospital, Zwolle, The Netherlands

HISTORY sound scanners have sinee become important tools in the


Ultrasound has been used for the diagnosis of intracranial management of siek newborn infants in general and in the
disease sinee 1955 when Leksell, a Swedish neurosurgeon, first diagnosis of cerebral, cardiac, and abdominal disease in parti-
published the results of a study in trauma patients". One- cular.
dimensional pulsed ultrasound, later ealled A-mode eneho-
encephalography, was used to deteet displaeements of the INDICATIONS FOR ECHO-ENCEPHALOGRAPHY IN
cerebral midline eeho whieh suggested unilateral intracranial THE NEWBORN INFANT
lesions, partieularly subdural hemorrhages. Indications for eonducting eranial ultrasound studies in
The first useful two-dimensional images were reported as newborn infants vary according to the gestational age of the baby.
early as 1956 by Kikuehi and eo-workers from Japan( 2 ). The Routine examinations are generally not indieated in term
quality of these bistable pictures was rather poor as compared to infants. Indications for echo-encephalography in the term newborn
present day pictures. When applied to infants and young ehildren, include perinatal asphyxia, neurologie signs or symptoms,
this so-called B-mode-encephalography produced detailed and abnormal head size or growth, externally visible malformations
reliable views of the midline structures and the ventrieles and of the eentral nervous system, and other syndromal anomalies.
other fluid containing cavities, such as porencephalies and sub- In view of the very high incidence of cerebral lesions, every very
dural effusions. Developments in scanning technique (com- preterm and very low birthweight infant should be examined
pounding) and in transducer technology (focussing and high routinely at least 3 times: at age 3, 7, and 21 days. In ease of
scanning frequeneies), improvements in signal processing (time abnormal findings the examination may have to be repeated more
gain controlled amplification), and the display of the images frequently, depending on the type of lesion.
(gray scale) greatly improved image quality in the late 60's and In addition to the routine studies, seanning may be indieated
early 70's. In 1975 Kossoff from Australia published the first in case of sudden elinical deterioration, abnormal head growth,
"Atlas of the Normal Brain of Infants" "). This atlas was followed rapid drop in hcnnatocrit, and in septicemia and other generalised
by many reports on the diagnosis of eerebral anomalies and infections (Table I).
lesions in ehildren.
The problems of the the large size of the equipment and of
motion artifacts were overcome by the development in the late PRACTICAL EXECUTION OF ECHO-ENCEPHALO-
4970's of mechanical and electronic transducers, digital scan GRAPHY IN THE NEWBORN
convertors with electronic image memories, and video displays Neonatal echo-eneephalography is generally eondueted
which could produee up to 60 frames per second. Miniaturisation through the anterior fontanel using a mechanical or eleetronic
of these components enabled small transportable ultrasound sector scanner. The optimal scanning frequeney is 7.5-10.0 MHz
equipment, which was highly useful for bedside studies. in preterm infants and 5.0-7.5 MHz in term infants. Two sets of
The first results of a study in sick preterm infants were planes are scanned, one coronal set -parallel to the face- fanning
published in 1979 by Pape and co-workers in London o). Ultra- from frontal to occipital and one sagittal set -perpendicular to the

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 99


Table I. Indications, timing and findings in neonatal echo-encephalography
tied at the base of the brain, in the Sylvian and inter-hemispherie
Indication Timing Findings fissures, and in the choroid plexi. Representative hardcopies may
be taken on polaroid film or on video imager or the entire study
Asphyxia Day 1, 3, 7 Edema
Traumatic delivery Day 1, 3, 7 Edema may be recorded on videotape for later viewing.
hemorrhages
Abnormal head-shape Day 3 - 7 Usually normal Normal images
Abnormal head-size Day 3 - 7 Usually normal In the normal ultrasound images of the newborn brain the
Congenital Day 3 - 7 Usually normal echo-dense bone, dura, fissures, choroid plexi, and eerebellum,
malformations Structural anomaly and the echo-free ventricles, cisterns and other cerebrospinal
Hydrocephalus
Convulsion After incident Usually normal fluid containing cavities, and the eorpus callosum are easily
(+follow-up) Edema recognised. In addition, the echo-free cavum of the septum
Hemorrhage pellucidum may be a prominent feature in the preterm infant. The
Meningitis parenchyma shows variable echogenicity and the thalamus can
Structural anomaly
Preterm birth Day 3, 7, 21 Hemorrhages be easily distinguished. In the coronal views the anterior horns of
or more often Ischemic lesions the lateral ventricles are creseent-shaped.
(+follow-up) Hydrocephalus The preterm brain usually results in the more detailed
Septicemia Day 3, 7, 21 Ventriculitis
pietures. The preterm brain is more easily visualised because of
Hydrocephalus
Neuro-surgery Pre- and post-op Various lesions the larger fontanellae and the shorter distances enable the use of
high-resolution transdueers. In addition, the aspect of the brain
parenchyma is relatively regular and the gyri and sulei are not
faee- fanning from temporal to temporal (Table II). Most of the very pronounced. In the immature infant there may be a physio-
cranial contents may be easily visualised. In the eoronal planes logie lissencephaly, i.e. absence of gyri. The ultrasound images
eare must be taken to keep the image symmetrie. In the para- of the term brain, at the other hand, show relatively irregular
sagittal planes one cut should include a view of the entire lateral parenehyma and a large number of gyri and sulei.
ventricle.
Congenital malformations and structural disorders
Table II. Transducer position and field of vision in echo-encephalography Many malformations and disorders of the brain have been
Position Field of vision
identified using echo-eneephalography. Congenital eerebral
malformations mainly present as struetural anomalies, i.e. as
Fontanel Coronal planes – Frontal <-> occipital anomalies of size and/or shape, or as assymmetries. In a few eases
Sagittal planes – Parietal <-> parietal
the diseovery of abnormal eerebral structures is a chance finding,
Temporal Axial planes – Frontal <-> occipital
during routine seanning or seanning for some unrelated indica-
tion. In many patients, however, additional congenital mal forma-
Points of interest are the morphologie anatomy, the size and tions or elinical signs will be the indication for echo-encephalo-
shape of the ventrieular system, the parenchyma, and the arterial graphy.
pulsations. The bone, dura, fissures, ehoroid plexi, and cere- Neural tube anomalies are disorders of early cerebral orga-
bellum show high eehodensity. Ventricles, eisterns and other nogenesis. They may be divided in disorders of ventral induction
cerebrospinal fluid containing cavities, and the eorpus eallosum (holoprosencephaly, teleprosencephaly) and disorders of dorsal
show low or no eehodensity. The cerebral parenehyma has induction (anencephaly, encephalocele, meningo-myelocele,
intermediate echogenieity with loealized differences in density. eneephalocele). Holoprosencephaly may be part of the syn-
The peripheral areas and the posterior fossa may be diffieult to dromal anomalies assoeiated with ehromosome disorders, par-
evaluate reliably in some infants with small fontanels. In the tieularly trisomy 13-15. There is partial or total absence of the
eoronal views the brain structures should be symmetric and the interhemispherie fissure and there appears to be one eentral
anterior and inferior horns of the lateral ventrieles should be ventrieular eavity. Developmental outeome of these ehildren is
crescent-shaped. always abnormal.
Ventricular asymmetry may be the result of the position of Eneephalocele and meningomyeloeele will usually present
the head of the infant, the upper ventriele being the larger. The with the typieal external anomalies of the cranium and/or spinal
size of the anterior horns may be expressed as an absolute value, eolumn and the dorsal integument. In encephalocele midline
or as an index of their width and the width of the hemisphere at eystic lesion may be seen anywhere in the frontal to oecipital
the level of Monro ' s foramina. Normal index values are 0.30 – eerebral areas, with varying degrees of cranial bony defects and
0.35 in preterm newborns and 0.25 — 0.30 in term newborns. The external protrusion. Meningomyelocele is associated in many
size of the occipital horns may be similarly indexed at the point eases with one of the Arnold-Chiari malformations, leading to
of their maximal width. hydroeephalus. In those infants liquor outflow is' obstructed
During real-time scanning arterial pulsations ean be identi- resulting in widely dilated lateral ventricles and a wide third

100 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


ventricle. The lateral ventrieles may have a typieal blunted mental deviations, some may be caused by in-utero eerebro-
outline and abnormal gyration may be present, usually poly- vaseular aecidents, and some may be the result of hemorrhages
mierogyria. Developmental outcome may be normal. or infections.
Agenesis of the eorpus eallosum is a relatively common Araehnoidea cysts may grow to impressive sizes and may
struetural anomaly, possibly also related to abnormal neural tube cause considerable deformation of the cerebrum, including
development. This anomaly may be isolated or associated with hydrocephalus. These eysts pose an important problem to the
other syndromal anomalies and may be complete or partial. In the neuro-surgeon: the surgical treatment is teehnieally difficult and
classical agenesis, the third and lateral ventricles show a typical the results are not always as expeeted. Cysts of the ehoroid plexus
bull's head contour. The corpus callosum and septum pellucidum are an occasional finding, sometimes even prenatally. Being
are absent and there is a large third ventricle with a radiating eollections of eerebrospinal fluid, they present as round echo-
pattern of paraventricular gyri and sulci. The lateral ventricle lucent structures in the choroid plexus. Large eysts may some-
shows abnormal frontal and occipital dilatations. In some cases ti mes cause ventricular assymmetry. Cystic dilatations of the
there is massive ventricular dilatation as a result of separation of frontal horns of the lateral ventricles can be demonstrated in 2-
the eerebral hemispheres. 4% of all preterm infants, they may be unilateral or bilateral.
Disorders of neuronal proliferation, migration, and orga- Some authors eonsider these eysts to be the remnants of early
nization are rare diseases that are best deteeted using MRI subependymal hemorrhages, others suspect an infectious origin.
seanning. Polymierogyria and lissencephaly are disorders of Hydraneneephaly and schizencephaly are most probably
migration that can be diagnosed with ultrasound. Polymicrogyria eaused by vaseular anomalies or cerebro-vascular accidents in
may be an isolated finding but is often associated with me- early gestation. The result may be more or less extensive destruc-
ningomyelocele. In case of lissencephaly gyri and sulci are tion of eerebral tissue in various areas of the brain. In elassical
absent, only Sylvian and inter-hemispherie fissures are present. schizeneephaly a poreneephalic eanal is seen, eonnecting the
The outlines of the Sylvian fissures and the lateral ventrieles are ventrieular cavity with the subarachnoid space.
abnormal. In multieystie eneephalopathy there are multiple eystie
Abnormal brain growth and differentiation may be gene- lesions symmetrieally distributed in both eerebral hemispheres.
ralized as in some cases of abnormal neuronal proliferation and This rare anomaly most eommonly occurs in twin pregnancies
organization, or localized. Cerebellar hypoplasia may be found where the sibling has died in utero. Intravascular coagulation,
in trisomy 13-15, but may also be an isolated finding. The due to eirculating thromboplastic substanees, or shock have been
cerebellum has a normal shape but is too small both in the coronal proposed as causative factors.
and sagittal views. Vascular anomalies, i.e. arteriovenous malformations, may
impress as cystie lesions. The classical malformation results in
Congenital hydrocephalus a dilatation of the central vein of Galenus and is centrally located.
Congenital/prenatal ventricular dilatation may be asymme- Arteriovenous malformations may also be seen in other areas,
trie or symmetric and relatively mild or extreme. It is very often particularly in the posterior fossa. A proper diagnosis can only be
secondary to some other cerebral anomaly and will often be made with Doppler ultrasound and/or cerebral arteriography.
discovered during scanning for additional congenital malforma-
tions or elinieal signs. Congenital infections
Common eauses of eongenital hydrocephalus include A number of miero-organisms may infect the fetus trans-
Arnold-Chiari malformation, Dandy-Walker anomaly, congeni- placentally. The best-known organisms are the rubella and
tal infections, congenital intracranial hemorrhage, and aqua- cytomegalo virusses and toxoplasma gondii. Except for rubella,
ductal stenosis. Arnold-Chiari malformation often coexists with these infections usually cause only mild flu-like symptoms in the
meningomyelocele and is associated with hydrocephalus in the mother.
majority of eases. Abnormal development of the cerebellum and Although all fetal organs may be involved, there appears to
brain stem may lead to an obstruction of liquor outflow from the be a preferential involvement of the liver and the central nervous
fourth ventricle, resulting in tri- or quadri-ventricular hydro- system where both vascular endothelial and parenchymal tissues
cephalus. In the Dandy Walker anomaly abnormal development may be damaged. In the central nervous system ventricular
of the eerebellum (e.g. absence of the vermis) and of the fourth dilatation and paraventricular calcifications are the most promi-
ventricle may result in a eystically dilated fourth ventricle which nent findings.
protrudes between the separated cerebellar hemispheres, and Congenital neoplasms
which impedes liquor outflow from the third ventricle and Congenital neoplasms are relatively rare. Depending on the
aquaduct. type and loealization they may show asymmetry, cyst formation,
Congenital cystic lesions ventricular dilatation, hemorrhage or calcification, thus enabling
A variety of intracranial eongenital cystie lesions may be detection by echo-encephalography.
identified in seanning newborn infants. They may be unilateral
and bilateral, small and isolated, or extensive and multiple. The Neonatal intracranial hemorrhages
origin of these lesions is not always clear. Some may be develop- Hemorrhagic and hypoxic-ischemic cerebral lesions mainly

Cermin Dunia Kedotieran Edisi Kh sus No. 81,1992 101


manifest abnormal echodensity. Intracranial hemorrhages pre- Neonatal cerebral ischemic lesions
sent as eehodense colleetions in various localizations. They may Hypoxie-isehemic cerebral injury, eaused by respiratory
be subdivided in subarachnoid, subdural, intraventricular, and and circulatory failure, is the most frequent eause of severe
parenchymal hemorrhages. Subarachnoid hemorrhages are neurologic deficits originating in the perinatal period. Immature
extremely eommon both in the preterm and term infant. Various or impaired autoregulation of the cerebral circulation in the sick
amount of blood may eollect in the subarachnoid space and in the newborn lead to an increased suseeptibility of the brain to
eerebral sulei and fissures. Small subarachnoid hemorrhages hypoxic-ischemic injury. Cerebral hypoxemia-isehemia may
may not be detected with echo-encephalography. In some eases, particularly arise in perinatal asphyxia, in severe respiratory
however, there is increased echogenicity of sulci. Large sub- distress, and in septicemia.
arachnoid hemorrhages ean be easily recognized in the pe- The metabolically most active brain areas, i.e. the hippo-
ripheral spaee or in fissures and sulei. Localized subcortical campus and the basal ganglia, are the areas most easily and
hemorrhages are an oceasional finding in preterm or term infants. severely damaged in ease of hypoxemia. The brain areas situated
These hemorrhages usually resolve in 2 to 3 weeks, leaving no in watershed zones of cerebral arterial perfusion, i.e. the para-
trace. So-called primary parenchymal hemorrhages may involve ventricular white matter, are most severely affeeted in ease of
large areas of the brain and are particularly seen in ease of shock and ischemia. In the many such patients both conditions
eoagulation disorders. Large subdural haemorrhages may be co-exist. Generalised eerebral hypoxia-ischemia may be follow-
found in both preterm and term infants. They are generally the ed by varying degrees of brain edema in the term infant, and by
result of traumatie delivery and may be very extensive. These paraventricular flaring in the preterm infant. Cerebral infaretions
hemorrhages usually originate from ruptured intracranial venous show inereased echogenicity. Secondary cystic resolution may
sinusses or anehor veins. oceur in the infareted areas. Parasagittal eerebral infaretion is a
Intraventrieular hemorrhages most commonly occur in pre- typical manifestation of ischemic damage of eerebral cortex and
term infants. At gestational ages less than 34 weeks intraventri- subcortical white matter in the term infant, located in the water-
eular hemorrhages are usually part of the periventricular-intra- shed zones between the anterior and middle cerebral arteries and
ventrieular hemorrhage complex, hemorrhages that originate in between the middle and posterior cerebral arteries. Atrophic
the germinal matrix and that have variable intraventricular and/ ventricular dilatation and broadening of the interhemispheric
or parenehymal extension. Periventricular and intraventricular fissure and the eortical sulei are the end stage of these neonatal
hemorrhages are among the most important problems of perina- hypoxie-ischemic cerebral injuries.
tal special care. The ineidenee of these hemorrhages is highest in Periventricular leucomalaeia may oeeur after inadequate
the youngest and smallest infants. The most important etiologic eerebral perfusion in the preterm infant. The causative mecha-
factors appear to be immaturity of the eapillary structure in the nisms are similar to those of parasagittal cerebral infarction. The
germinal matrix, and uneontrolled fluetuations of cerebral blood areas of involvement are characteristically loeated in the white
flow due to immature or impaired autoregulation of cerebral matter adjacent to the external angles of the lateral ventricles. The
circulation. ineidence of periventricular leucomalacia is reported to be very
These periventrieular and intraventrieular hemorrhages are high in surviving very preterm ehildren, possibly as high as 50%.
usually elassified aeeording to their extension (Papile).Grade I Mild lesions are followed by subependymal thinning of the white
hemorrhages are localized in the germinal matrix only; ingrade matter and mild dilatation of the lateral ventrieles. Severe lesions
II hemorrhages a "mall amount of intraventricular blood is seen, result in periventrieular eystic cavitation. Again, cerebral atro-
in gradeIII hemorrhages a large amount of blood is distending the phy with broad peripheral spaees and ventricular dilatation is the
ventriele, and in grade IV hemorrhages extension into the brain end-stage.
parenchyma outside the matrix has occurred. Extension of these Localised infaretions of different origin and/or different
hemorrhages occurs in a high percentage of cases. loealisation may be rarely eneountered.
Subependymal cysts, ventrieular dilatation, and neerotie
porencephaly are important short-term eomplications of peri- Neonatal cerebral bacterial infections
ventrieular-intraventricular hemorrhages. Ventricular dilatation The newborn infant is highly suseeptible to infections, due
will develop in about one half of patients with intraventricular to immature immune responses. Infections may be transferred
hemorrhage. Half of the post-hemorrhagie dilatations are tran- prenatally from an infected mother or, in case of early rupture of
sient and less than one quarter progressive. Hemorrhagic membranes, aseend from the lower genital tract. Postnatal infec-
parenchymal involvement, as in grade IV hemorrhages, will lead tions most commonly arise from an infeeted umbilieal area or
to necrotie porencephaly. Since parenchymal hemorrhages are from the gastrointestinal, respiratory, urinary tract. Invasive
generally accompanied by some degree of intraventricular neonatal treatment and the use of antibiotics may be other causes
hemorrhage, ventricular dilatation may be present simultaneously. of infection. Finally, some infections may be transferred from
Intraventricular hemorrhages are relatively uncommon in personel to patient or from patient to patient.
infants born at gestational ages over 34 weeks, as mentioned More or less severe bacterial infections may be found in up
earlier. They usually arise in the choroid plexus and may result in to 20% of infants admitted for neonatal special eare. Cerebral
varying degrees of ventricular dilatation. involvement occurs in 25 to 50% of cases, mostly following

10 2 Cermin Dania Kedokteran Edisi Kh iw s No. 81.1992


hematogeneous dissemination. The most important baeterial anatomical landmarks. In eontrast with brain edema, however,
pathogens are: B hemolytic Streptoeoccus, various gram nega- early encephalitis is usually localised in cireumscript areas.
tive bacteria, Staphylocoecus aureus, and Staphylococcus These areas may later beeome confluent or evolve into brain
epidermidis. Cerebral infeetions inelude meningitis, ventriculi- abseesses. The prognosis of baeterial eneephalitis is extremely
tis, and eneephalitis. Hydrocephalus, brain abscesses, and sub- poor. Most infants suffering from bacterial encephalitis will not
dural effusions may be seeondary complications. survive, those who survive will usually be severely handieapped.
The ultrasound diagnosis of bacterial meningitis is not easy,
REFERENCES
at least not in mild eases. Inereased echogenieity of the arachnoid
space and of the sulci may be seen in the more severe cases. With 1. Lek sell L. Echo-encephalography. I. Detection of intracranial complications
proper antibiotie treatment these echogenicities will disappear in following head injury. Acta Chir Scand 1955/56; 115: 301-315.
1 to 2 weeks. In a few cases meningitis will evolve into a subdural 2. Kikuchi Y, Uchida R, Tanaka K, Wagai T, Hayashi S. Early cancer diagnosis
through ultrasonics. J Acoust Soc Am 1957; 29: 824-833.
empyema or effusion. Due to the peripheral localisation of these
3. Kossiff G, Garrett WI, Radovanovich G. Ultrasonic atlas of normal brain of
complications, they are not easily detected with ultrasound. In infant. Ultrasound Med Biol 1974; 1: 259-266.
early ventriculitis, an increased echogenicity of the choroid 4. Pape KE, Cusick G, Ilouang MTW, et al. Ultrasound detection of brain
plexuses and a mild ventrieular dilatation may be noted. This damage in preterm infants. Lancet 1979; I: 1261-1264.
5. Papile LA, Burstein J, Burstein R, Koffler H. Incidence and evolution of
stage is followed by an increased dilatation and the presence in subependymal and intraventricular hemorrhage: a study of infants with birth
the ventricular cavities of purulent debris or fibrin strands. weights less than 1,500 gm. J Pediatr 1978; 92: 529-534.
Progressive hydrocephalus may develop after a few days, as a
FURTHER READING
result of the high protein content of the intraventricular eerebro-
spinal fluid and/or obstruction of the aquaduct. Treatment usually Levene MI, Williams JL, Fawcr C-L. Ultrasound of the infant brain. Clinics
-
eonsists of neurosurgical drainage and intraventricular instilla- in Developmental Medicine No 92, Oxford: Blackwell Scientific Publica-
tion of antibioties. tions. 1985.
Baerts W. Neonatal brain lesions, ultrasound diagnosis. Zwolle: Sophia
The ultrasound image of early (bacterial) encephalitis is best -
HHospital. 1991.
characterised by its similarity to severe brain edema with absent

Cermin Dania Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 I 11 3


USG examination of the hepatobiliary
system
Mei-Hwei Chang, MD.
Department of Pediatrics, National Taiwan University Hospital, Taipei, Taiwan, R.O.C.

ABSTRACT

Ultrasonographie examination is a non-invasive image study method. It brings no


pain and no irradiation, and is eonvinient (available at bedside), thus is very suitable for
pediatric patients. The bottle neck of many examinations in pediatric patients is the small
structures. The improvement of the resolution of ultrasound machines overeomes this
difficulty. Ultrasonographie examination is a sensitive and specific method for the
diagnosis of hepatobiliary diseases. It can be repeatedly used for follow-up studies.
I. Biliary diseases
Congenital dilatation of the biliary tree (including choledochal cy. ) and eongenital
extrahepatie biliary atresia are the two most common biliary diseases in pediatrie patients.
The former is easily detected by ultrasonography while the latter is more difficult.
Dilatation of the biliary tree, either infra- or extrahepatic can be detected by ultra-
sonography. We have set up the normal data of the diameter of biliary tree and protal vein
in infants and children of various ages. In the normal ehildren, the main bile duct to portal
vein ratio was below 0.65. While the ratio of the bile duct to portal vein exceed 1, the bile
duct is dilated (shotgun sign).
Congenital extrahepatic biliary atresia should be operated as early as possible. It is
mandatory to diferentiate biliary atresia accurately from neonatal hepatitis or other
cholestatic diseases which do not require surgery. To elearly clam the absence of extra-
hepatic biliary tree is not easy because the atretic gallbladder and cord-like remnant of
extrahepatic bile duct are often demonstrated during operation. Careful observation of the
change of gallbadder volume in fasting state (fasting for more than 6 hours) and after milk
intake is helpful in differentiating biliary atresia from neonatal hepatitis. The dilatation of
proximal extrahepatic or intrahepatic bile ducts, or absence of main bile duct are signs
favor biliary atresia.
However, ultrasonographic examination should not be used as the single method for
the differential diagnosis of billiary atreisa and neonatal hepatitis. Other sensitive method
such as liver histology and duodenal juice analysis should also be performed to make a
more accurate diagnosis.
II. Liver Space-occupying Lesions
Space occupying lesions in the liver can be abscess, cyst, hematoma, benign or

104 S era:in Dania Kedokteran Edisi Khusus No. 81. 1992


malignant tumors. Ultrasonography is an useful cool to help differentiating between those
lesions. Eehogenic mass favors solid tumor while echolucent mass favors cystie lesions.
Careful observation of the echo patterns and vascular supply ean understand the nature of
the mass. The extent of the tumor also could be observed aeeurately by ultrasonography.
Sonoguided biopsy or aspiration is safer and could more accurately obtain the target
tissues than blind proeedures.
III. Doppler Ultrasonography
Duplex doppler ultrasonography is very useful in evaluating the blood flow in portal
hypertension and vaseular supply and ocelusion in liver diseases and tumors. Color
doppler is especially convinient in evaluating vaseular problems in hepatobiliary
diseases.

Cerrnin Dw+ia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 105


Indikasi USG ginekologi
pada anak
S. Indra Wiradharma
Unit Ultrasonografi Bagian Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara,
Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta

PENDAHULUAN
III. Pubertas dini
Pemeriksaan ultrasonografi saat ini dipandang sebagai IV. Tumor dalam rongga pelvis
metode pemeriksaan yang sederhana, tidak menimbulkan rasa V. Sekret vagina
nyeri dan bebas dari bahaya radiasi. Ultrasonografi pelvik teru- VI. Nyeri pelvis
tama membantu sekali bagi penderita anak/gadis dimana pe-
meriksaan bimanual pelvik sulit bahkan tidak mungkin dila- I. ANOMALUINTERSEKS/DISGENESIS GONAD
ksanakan. A. ANOMALI
Penyakit yang didertia anak-anak berbeda dengan yang I. Uterus Bikornis
dijumpai pada orang dewasa, dengan demikian kelainan yang Etiologi : Kegagalan untuk bersatu sebagian dari kedua
tampak pada pemeriksaan ultrasonografi juga berbeda. duktus Muller. Sulit dideteksi pada bayi dan anak keeil biasanya
didiagnose setelah menarehe.
PERSIAPAN Pada pemeriksaan USG potongan transversal : uterus nam-
A) Persiapan dikerjakan dengan kandung keneing yang terisi pak lebih lebar daripada normal, permukaan binoduler. Kedua
penuh yang berguna : kornu dipisah oleh satu septum dengan rongga endometrium
1. Mendesak massa usus keluar dari rongga pelvis. yang ekogenik, terutama dengan jelas nampak pada fase luteal
2. Kandung kencing berfungsi sebagai jensela akustik. untuk dari siklus haid.
membedakan macam-macam organ pelvis. Diagnosi dapat dikonfirmasi dengan histerosalpingografi.
3. Kandung kencing berperan sebagai indeks densitas bagi Dapat berkaitan dengan kelainan ginjal misalnya agenesis
pemeriksa. renalis, ektopia. Karena terdapat hubungan erat antara traktus
Bayi dan anak keeil dapat diberi air, susu atau sari buah- urinarius yang primitif dengan duktus Muller.
buahan, 1 – 3 jam sebelum pemeriksaan.
B) Posisi pasien : Pemeriksaan umumnya dilakukan pada pasien II. Hidrometrokolpos
dalam posisi telentang. Dapat terjadi pada byi bila hormon estrogen merangsang
C) Alat USG yang digunakan umumnya dari jenis real-time kelenjar uterus untuk memproduksi mukoid yang mengakibatkan
yang mempunyai kualitas resolusi yang eukup baik, bentuk lebih distensi uterus dan vagina.
kompak dan ringan, serta eara pengoperasiannya lebih praktis. Hidrokolpos : Distensi dari vagina oleh timbunan mukoid.
Pada umumnya digunakan transduser berfrekuensi 5 – 7.5 MHz Hidrometrokolpos; distensi dari vagina dan uterus.
untuk neonatus dan bayi, dan 5 – 3.5 NHz untuk anak dan Gambaran ultrasonografi : Massa kistik tubuler di garis
remaja. tengah, terletak antara vesika urinaria dan rektum, dan me-
ngandung internal eko disebabkan oleh timbunan debris sel-sel,
INDIKASI bahan mukoid atau darah, proksomal dari tempat obstruksi.
I. Anomali/Interseks genitalia/disgenesis gonad' Etiologi :
II. Amenorea 1. Himen imperforatus

106 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Klucrus No. 81.1992


2. Septum transvera/atresia vagina DISGENESIS GONAD
3. Stenosis vagina Ditandai dengan ovarium yang rudimeter.
Foley Catheter dalam vagina dapat menentukan tebal dari Contoh yang terkenal "
septum vagina seeara ultrasonografi. 1) Sidrom Turner
Bila besar, hidrometrokolpos dapat mengadakan penekanan Kariotipe 45. XO
path urethra, mengakibatkan retensi urin atau bila menekan Gejala : Tubuh pendek, pterigium kolli ( Webbed neck),
vesika urinaria/ureter dapat mengakibatkan hidronefrosis. Re- perkembangan seksual yang infantil dan amenorea. Perkem-
fluks dari sekret melalui tuba Fallopii dapat mengakibatkan bangan ovarium dapat terganggu, ovarium tidak memiliki folikel
peritonitis adhesiva. primer, sering berbentuk sebagai jaringan. Ikat putih seperti pita
(streak ovary) yang volumenya < 1 em 3 hingga jarang terdeteksi
Hematokolpos dan Hematometrokolpos pada pemeriksaan sonografi. Nampak uterus keeil dan bentuk
Banyak dijumpai pada menarche, ketika uterus dan vagina prapubertas.
mengalami distensi oleh timbunan darah menstruasi dan sekret. 2) Sindrom Feminisasi Testikular
Gejala : Kariotipe pria yang normal 46. XY. Fenotipenya = wanita.
1) Mula-mula asimtomatik kecuali menarche yang terlambat Sering uterus tidak ditemukan, vagina negatif pendek dan
kemudian. menutup.
2) Nyeri perut bagian bawah setiap bulan. Gejala : Anemorea, perkembangan payudara normal, ram-
3) Massa pelvis. but pubis dan aksila negatif/sedikit. Testes intraabdomen/ingui-
4) Gangguan miksi. nal. Kadar Testosteron mendekati normal, akan tetapi jaringan
Bila dijumpai atresia vagina sonografi dapat memberi keter- alat genital tidak peka terhadap endrogen tidak sensitive.
nagan tentang ada atau tidak adanya 1/3 bagian proksimal va- Risiko : timbulnya disgerminome/gonadoblastoma perlu
gina, uterus dan ovarium, sebelum dilakukan pembedahan rekon- dilakukan gonadektomia.
struksi.
II. ANENOREA
INTERSEKS Belum menstruasi pada usia 16 tahun..
pad Merupakan indikasi utama pemeriksaan sonografi Etiologi : Gangguan pada peristiwa hormonal yang
neonatus. Diagnosis dini penting untuk menghindari gangguan komplaks yang mengendalikan menstruasi atau kelainan
psisikologik yang serius, struktur dari alat genitalia.
I. Hermafrodit sejati Peranan ultrasonografi dalam problem klinis ini adalah diag-
Memiliki jaringan ovarium dan testis, kedua struktur dapat nosa adanya gangguan pada alat genitalia.
tergabung sebagai ovitestis atau ovaria dan testes yang terpisah Anemorea Primer
pada masing sisi pelvis. Uterus dapat positif/negatif. * Vagina – himen impergoratus
II. Pseugohermafrodit --atresia vagina
1) Pseudohermafrodit Wanita --stenosis vagina
Memiliki kromosom wanit (46, XX); * Uterus – interseks agenesis
Didapatkan ovarium, tetapi dengan genitalia eksterna pria, --sindrom feminisasi testiluar
* Ovarium – gonadal disgenesis
termasuk klitoris yang membesar, labia yang menonjol dan
bersatu, serta urethra yang panjang. --neoplasma
Bila keadaan ini disebabkan oleh hiperplasia adrenal yang
Sindrom Mayer Rokitansky Hauser
kongenital, maka uterus selalu positif, sedangkan uterus dapat
Amenorea oleh karena atresia vagina, disertai uterus yang
negatif bila disebabkan :
kecil/negatif. Tuba Fallopii dan ovarium normal. Dapat disertai
1. Pemakaian androgen pada ibu yang hamil muda
kelainan ginjal, tulang skelet. Kariotipe normal, eiri-ciri seksuil
2. Tumor yang menghasilkan androgen pada ibu yang hamil.
sekunder normal.
2) Pseudohermafrodit Pria
Anemorea Sekunder
Memiliki kromosom pria (46, XY) dengan genitalia eksterna I) Kehamilan
wanita. Bila amenorea sekunder didapatkan pada remaja harus
Keadaan ini disebabkan : dipikirkan kemungkinan kehamilan.
a. Androgen yang berkurang.
II) Sindroma ovarium polikistik (sindroma Stein Leventahl).
b. Kekurangan enzim.
Dijumpai pada usia 15 – 30 tahun.
c. Jaringan alat genital yang tidak peka terhadap androgen. Gejala : obesitas, hirsutisme, haid yang tdiak teratur yang
Sonografi sulit dan biasanya gagal untuk melokalisir testis
ti mbul pada masa perimenarche, hiperplasia endometrium.
yang belum turun, kecuali bila mereka terletak dalam kanalis
Gambaran sonografi : Ovarium membesar tiga kali dari
inguinalis atau dalam skrotum bagian alas.
ukuran normal, berbentuk bulat dan diterumakn folikel-folikel
Tidak ditemukan uterus dan ovarium.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81.1992 /0 7


yang imatur yang hampir homogen ukurannya pada bagian Tumor ganas yang paling sering dijumpai pada anak;
korteks ovarii, bilateral sering asimetris. timbul dari sisa sinus urogenitalis.
Lokasi : vagina dinding anterior dekat serviks yang
III. PUBERTAS DINI menyebar ke uterus.
Perkembangan dini dari ciri-ciri kelainan sekunder yang Gambaran sonografi : Massa padat besar heterogen di
mendahului usia penderita. Pada gadis thelarche/adrenarche vagina, yang menyebar ke uterus.
sebelum umur 8 tahun dan menstrukasi sebelum 9 tahun. Gejala Klinik : Massa di pelvis. Sekret vagina yang
A. Pubertas dini yang sejati mengandung darah, massa seperti polip menonjol dari vagina.
Selalu isoseksual.
Etiologi : Biasanya karena aktivitas proso hipotalamus- B. Tumor ovarium
hipofise gonad yang terlalu dini, 80% idiopatik, 20% sebagai 1) Kista non neoplastik (kista ovarium fungsional)
akibat dari kelainan sistem syarat pusat. * – Kista Corpus Luterum pada masa panca pubertas
Gambaran Sonografi – Kista Theca Lutein
Bentuk uterus dewasa. Perbandingan korpus uteri : servis Massa kistik pada neonatus hingga umur 2 tahun, umum-
=1 : 1 volume + ukuran ovarium seperti pada pasea pubertas. nya berupa kista ovarium yang okisiologis sebagai akibat
rangsangan estrogen ibu waktu janin dalam kandungan.
B. Pseudo Pubertas Dini Pada masa pubertas pengaruh hormon yang meningkat path
Perkembangan ciri-eiri kelamin sekunder yang dini ovarium dapat mengakibatkan kejadian kista ovarii fungsional
dengan uterus prapubertas. yang meningkat pula.
Etiologi : Abnormalitas yang bekerja di luar poros Hipo- * Kista Folikuler
talam us-Hipofise-Gonad. Berdiameter 1 – 10 m(folikel normal berukuran maximum
1) Tumor ovarium, misalnya Tumor sel granulosa; kadar 2,5 cm); berasal dari folikel ovarium yang gagal mengalami
estrogen tinggi, tetapi kadar gonadotropin rendah. involusi atau gagal meresorpsi cairan. Dapat multipel dan bi-
2) Tumor kelenjar supra renalis, mitalnya adenoma; gejala lateral. Biasanya asimtomatik.
: Perdarahan pervaginam (Menstruasi tidak teratur), perkem- Gambaran sonografi
bangan payudara normal, rambut pubes positif. Massa anekoik dengan penikgatan intensitas gema di bagian
Gambaran sonografi : Tumor sel granuulosa : Masa kom- distalnya. Unilokuler berdinding tipis, berbatas tegas. Bila
pleks besar, kista multipel cyste yang kecil dengan jaringan mengalami ruptur didapatkan cairan bebas di Cavum Douglasi/
neoplastik yang ekogenie. rongga peritoneum.
* Kista Folikuer Fungsional kadang - kadang dapat Nyeri bila ruptur, torsi atau infark. Kista Folikel yang
mempunyai gejala pserudopubertas dini. Peranan ultra- persisten dapat berkaitan dengan hiperplasia endometrium.
sonografi, adalah untuk menetapkan volume ovarium, ukuran Pembuluh darah dalam "teka interna" dari Kista Folikel
uterus dan perbandingan panjang korpus: serviks uteri bia- dapat robek dan terjadi perdarahan spontan dan terbentuk Kista
sanya oleh karena Pubertus Dini. Pembesaran ovarium uni- Hemoragis.
lateral dengan uterus ukuran prapubertas karena Pseudopu- Gambaran sonografi : sangat bervariasi tergantung pada keadaan
bertas Dini. darah dalam kista. Darah yang segar anekoik akan tetapi cepat
menjadi ekogenik bila terjadi pembekuan. Kemudian menjadi
IV. MASSA PELVIS hipoekoik bila bekuan darah mengalami fibrinolisis.
Pemeriksaan terhadap massa pelvis, lebih balk dilakukan Kista dapat terlihat anekoik - solid - kompleks, kadang-
pemeriksaan ultrasonografi terlebih dahulu daripada pe- kadang bersepta. Dapat nampak debris di dalamnya. Kista ovarii
meriksaan radiologi, untuk menyingkirkan kemungkinan yang jinak maupun ganas dapat mengalami komplikasi per-
kehamilan infra uterin, pada setiap gadis berusia lebih dari 10 darahan.
tahun. DD./Teratoma, keganasan, torsi, abses tubo ovarial, K.E.T.
Tumor primer dari vagina dan uterus jarang ditemukan abses appendik.
pada anak. 2) Kista Neoplastik
A. Tumor Vagina dan Uterus Kista Dermoid (Teratoma Kistik yang jinak) merupakan
1) Kista Duktus Gartner tumor ovarium yang paling sering dijumpai pada anak berumur
Lokasi : pada dinding anterolateral vagina setinggi ser- 5 - 17 tahun. Biasanya asimtomatik, kecuali bila besar. Nyeri bila
viks. terjadi perdarahan/torsi.
Kista ini berasal dari sisa duktus mesonefros. Gambaran sonografi : Massa kompleks dengan daerah yang
Gambaran sonografi : Massa anekoik di dalam vagina dominan kistik berisi carian dan daerah jaringan padat yang
dengan dinding kista yang terpisah dari vagina. ekogenik terdiri dari lemak, rambut. gigi. Kalsifikasi/osifikasi
Asimtomatik, ditemukan secara kebetulan. dengan bayangan akustik. Kista ini memiliki septa yang multipel.
2) Sarkoma botrioides Adanya osifikasi/gigi kadang-kadang dapat dilihat pada pe-

10 8 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Kiiusus No. 81,1992


meriksaan rontgen yang memperkuat diagnosa. Pada gadis premenarehe, adneksa yang hipermobil dan
pembesaran ovarium dengan jumlah kista fungsional yang ber-
B. TUMOR OVARIUM YANG GANAS tambah, memudahkan terjadinya torsi.
Jarang dijumpai pada anak; misalnya Teratoma maligna, Gejala : Nyeri pelvis yang akut atau berulang disertai mual dan
disgerminoma. muntah, nyeri terlokalisir, lebih sering di sebelah kanan.
Gambaran sonografi Gambaran sonografi : assa adneksa yang ekogenik merata/
Bervariasi dari yang hampir seluruhnya kistik hingga solid. difus dapat disertai asites dalam cavum Douglas karena eksudat.
Sonografi tidak spesidik bagi tumor ganas. Tetapi adanya asites
atau invasi ke uterus oleh massa tumor mencurigakan keganasan. II. Abses Tuboovarial
Nyeri abdomen yang berkaitan dengan fluor albus path
V. BSEKRET VAGINA remaja. Ingatkemungkinan abses tuboovarial terutama pada usia
Etiologi : Infeksi, korpus alienum, kadang-kadang tumor. 15 - 19 tahun.
Pemeriksaan Inspeksi atau digital vagina anak, sukar dila- Gambar sonografi
ksanakan atau tidak meyakinkan. Massa kompleks yang non-spesifik pada adneksa, cairan
Sekret vagina meningkat pada masa 6 - 12 bulan preme- dalam cavum Douglasi.
narche, kadang-kadang banyak hingga vagina mengalami dila-
tasi. KESIMPULAN
Gambaran sonografi : Nampak vagina sebagai satu tabung Ultrasonografi seharusnya merupakan alat yang pertama
yang anekoik. digunakan dalam mengevaluasi panggul anak dan hasilnya dapat
Korpus alienum : menyebabkan sekret vagina mengan- mengarahkan tindakan yang tepat untuk pemeriksaan diagnostik
dung darah atau berbagu busuk. selanjutnya.
Gambaran sonografi
Nampak eorpus alienum dengan echogenisitas bermacam-
macam. Diagnosa banding, Haematokolpos.
KEPUSTAKAAN
Lekorea pada neonatus
Etiologi : rangsangan hormonal ibu, terdiri dari cel bertatah yang 1. Geagan M B, 0 Haller J, Cohen H L. Pediatric Gynecology Diagnostic
Medical Sonography A guide to clinical practice volume I PhiladelphiaJ.B.
superficial. Sekret yang mengadung darah pada bayi selama 3 Lippincott Company, 1991.
minggu pasea persalinan biasanya karena withdrawal bleeding. 2. Cohen IH L, O. Heller J. Pediatric and Adolescent Genital Abnormalities. In
Perdarahan setelah bayi usia 1 bulan --► biasanya karena infeksi, : Babcock D.S. Neonatal and Pediatric Ultrasonography New York, Chur-
kadang-kadang tumor. chill Livingstone 1989.
3. Babcock DS, K.H. Bakyung. The Pediatric Pelvis. In : Steel B.S. and
Cochrane W.J. Gynecologic Ultrasound, New York, Churchill Livingstone
VI. NYERI PELVIS 1984.
I. Torsi Ovarium 4. Bisset R A L, Khan A N. Differential; Bailliere Tindal 1990.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992 10.9


Ultrasonografi intervensi
tumor perut
H. Sidharta
Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Sumber Waras, Fakultas Kedokteran
Universitas Tarumanagara, Rumah Sakit Fraha Medika, Jakarta, Indonesia

PENDAHULUAN
Pertama-tama ditentukan lokasi target dengan pemeriksaan
Suatu tumor intra abdominal yang terlihat pada pemeriksaan ultrasonografi konvensional. Setelah target terlokalisir, maka
ultrasonografi konvensional, dalam beberapa keadaan tidak dapat daerah ini dibersihkan (toilet) dengan Betadine ® dan alkohol
diterangkan etiologinya ataupun hubungannya dengan organ dengan cara menurut lazimnya. Kemudian ditutup dengan kain
intra abdominal. Dalam hal ini, seringkali pula sarana penunjang berlobang steril. Ini diikuti dengan pemberian anestesi lokal.
diagnostik Iainnya juga tidak dapat menerangkan lebih jelas. Jarum halus 22G 18 cm panjangnya ditusukkan ke dalam
Keragu-raguan yang ditumbulkannya, akan memperlambat di- target dengan pimpinan ultrasonografi mempergunakan trans-
agnosis definitifnya. Dengan sendirinya akan memperlambat duser yang dirancang khusus untuk tindakan ini. Transduser
pula proses pengobatan dan penyembuhan penderita. dapat mempunyai eelah di bagian tengahnya sebagai tempat
Ultrasonografi intervensi merupakan suatu sarana untuk lewat jarum aspirasi. Disamping itu ada transduser yang mem-
menghilangkan keragu-raguan tersebut di atas. Ditunjang oleh punyai alat tambahan untuk lewatnya jarum aspirasi. Transduser
ahali histopatologi yang baik, sarana ini dapat merupakan kunci dapat berupa transduser sector atau linier. Perjalanan jarum halus
diagnostik tumor abdomen khususnya dan kelainan-kelainan dapat/harus diiikuti pada layar monitor sampai terlihat jarum
organ tubuh umumnya. menembus target. Setelah ujung jarum terlihat berada di dalam
Dalam makalah ini, penulis mencoba melukiskan prosedur target, mandren ditarik dan jarum dihubungkan dengan semprit
ultrasonografi intervensi tumor abdomen yang banyak dijumpai steril dan mulailah ditarik untuk tindakan aspirasi ini.
pada anak dan orang dewasa, karena pelaksanaan pada keduanya Hasil aspirasi diteteskan ke dalam gelas objek, dibuatpreparat
tidak menujukkan perbedaan yang bermakna. gesek, dimasukkan ke dalam alkohol pekat dan dikirimkan ke
bagian histopatologi/sitologi ataupun mikrobiologi. Sesudah
PERSIAPAN tindakan selesai tempat tusukan ditekan, untuk waktu tertentu,
Pada umumnya tidaklah diperlukan persiapan yang penting, pada umumnya sekitar 4 – 6 jam pasca tindakan.
hanya :
1) Penerangan kepada keluarga penderita. PENGAMATAN PASCA TINDAKAN
2) Izin tertulis tindakan dari keluarga penderita. Selain tiduran selama 4 — 6 jam pasca tindakan dengan
3) Pemeriksaan darah : trombosit, waktu perdarahan, waktu tekanan pada lokasi tindakan, perlu diperhatikan :
pembekuan, waktu protrombin. - keadaan abdomen
4) Pemberian obat pembekuan darah dapat diberikan sebelum tensi penderita
-
dan sesudah tindakan. - nadi penderita
- temperatur penderita
METODA Keadaan ini perlu dipertimbangkan/diperhatikan untuk
Pada umumnya tidak diperlukan posisi penderita tertentu, memantau keadaan penderita. Bila komplikasi tindakan tidak
disesuaikan dengan keadaan penderita, lokasi tumor dan kemu- mendapatkan perhatian yang baik, dapat herald bat buruk, bahkan
dahan dilakukan tindakan. dapat fatal.

110 Cermin Dunia Kedo aeran Edisi Khusus No. 81,1992


Komplikasi tindakan yang paling berbahaya dan harus di therapy of liver abscess by ultrasonographic imaging puncture and drain-
age. Hepato-gastroenterol. 1983; 30 : 9-11.
perhatikan betul adalah perdarahan pasca tindakan. Bila ini 3. Holl H H, Kristensen J.K. Ultrasonically guided puncture technique.
terjadi, tindakan operatif perlu dikerjakan dengan segera, selain Copenhagen : Munksgaard, 1980.
transfusi dan tindakan pertolongan pertama lain. 4. Kossoff G, Fukada M. Ultrasonic differential diagnosis of tumors. New
York, Tokyo : Igaku-shoin, 1984.
5. Mueller P R, van Sonnenberg E, Ferrucci J T. Percutaneus drainage of 250
PENUTUPAN abdominal abscesses and fluid collections. Radiology 1984; 151 : 343-7.
Ultrasonografi intervensi merupakan suatu sarana yang 6. Ohio M Kimura K, Tsuchiya Y, Ebara M. Sonographic guided procedures
ampuh balk untuk keperluan diagnostik maupun terapetik. Path in the liver and biliary tract, clinics in diagnostic ultrasound. Churchill
kenyataannya, meskipun sangat sederhana metodanya, di- Livingstone : Interventional Ultrasound. 1987.
7. SuyonoHadietal.Dasar-dasarultrasonografidanperanannyapadakeadaan
perlukan pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk gawat darurat. Alumnus 1986.
dapat mengerjakan tindakan ini dengan baik. 8. Sanders R.C. : Clinical Sonography. Boston, Toronto : Little Brown & Co.
1984, 1991.
KEPUSTAKAAN 9. Sidharta H. Atlas ultrasonografi, abdomen dan beberapa alai penting.
1. Bastid CF, Mauleon F. Atlas d'Echotomographie. Maloine s.a. Editeur, Jakarta : Media Hospitalia, 1989.
Paris; 1979. 10. Weill F S.. L 'Ultrasonographieen pathologic digestive. Ed. Vigot Freres,
2. Braun B, Pemice H, Herzog P, Bomer H, Dormeyer H H. Diagnostic and Paris : 1980; 1989.

Cermin Dunia Kedokteran Ediri Kit¢rus No. 81,1992 11 !


ENDOSKOPI

Helicobacter pylori
and
duodenal ulcer in children
Mei-Hwei Chang, MD.
Department of Pediatrics, National Taiwan University Hospital, Taipei, Taiwan, R.O.C.

ABSTRACT
Duodenal uleer, though not as frequently seen as in adults, is not uncommon in
ehildren. It can be divided into acute and ehronie type. Acute duodenal uleer often oeeur
in younger ehildren with a predisposing illness such as fever, infeetion and aspirin intake.
Chronie duodenal ulcer mainly oecurs in older children (> 10 years of age) with or without
definite predisposing illness. Chronie duodenal uleer tends to recur during the natural
history. Family history of duodenal ulcer is found in half of the children with chronie
duodenal ulcer.
Recently Helieobaeter pylori (HP) was suggested to be assoeiated with the patho-
genesis of duodenal uleer in adults. The role of HP in duodenal uleer in children is not as
well studied as that in adults. The seroepidemiologie patterns of I-P differ in different
areas. In Taiwan, the seropositive rate of HP rises while age inereases. During adoles-
eence, the seropositive rate increases rapidly up to 41% at 18 years of age.
We have studied urease test, HP culture, and histology of the gastrie (prepyloric) and
duodenal mucosa for the evidene of HP in long-term followed 22 patients (age range 9—22
years) with chronie duodenal ulcer diagnosed before 15 years of age. 86% of the gastrie
mueosa in those patients were positive for urease test, 68% positive for HP culture, 81%
positive for histology of HP. In comparison, 25 children (1—15 years old) with gastro-
intestinal eomplaints but negative endoscopic findings were also studied for comparison.
Only 8% were positive for urease test, 8% positive for HP culture, and 14% positive for
histology.
From ours and others studies, HP was proved to have close relationship with chronic
duodenal ulcer in ehildren. Treatment with colloid bisthmus, metronidazole and amoxi-
eillin has been to reduce the reeeurrence rate of chronie duodenal ulcer in adults. Its effect
in ehildren is currently under investigation.

112 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992


Endoscopic Retrograde Cholangio
Pancreatography (E R C P) diagnostik
dan terapeutik pada Obstruksi Biller
L.A. Lesmana
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN ERCP DIAGNOSTIK


Diagnosis ikterus bedah atau obstruksi bilier umumnya ERCP untuk tujuan diagnosis pada ikterus bedah biasanya
dapat ditegakkan dengan anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik dikerjakan bila penemuan sonografi dan CTScan : a) normal
yang teliti serta tes laboratorium. Walaupun demikian, sarana (dengan dugaan adanya ikterus bedah) atau b) tidak konklusif,
penunjang imaging yang non-invasif seperti ultrasonografi; CT atau c) tidak dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk
Sean abdomen dan yang invasif seperti percutaneous transhepa- menentukan terapi adekuat(1). .
tic cholangiography (PTC), endoscopic retrograde cholangio Dengan ERCP kita akan mendapatkan kolangiogram yang
pancreatography (ERCP) sering diperlukan untuk menentukan lengkap dari saluran empedu intra-hepatik, ekstra hepatik, duktus
letak, kausa dan luas dari lesi obstruksinya. sistikus dan kandung empedu, sehingga letak l:usa dan derajat
Dengan kemajuan yang pesat di bidang endoskopi gastro- obstruksi dapat diketahui. Data pankreatogram iuga dapat diper-
intestinal maka ERCP telah berkembang dari satu modalitas oleh dan hal ini sangat penting sebab kelainan pankreas seperti
dengan tujuan diagnosis menjadi tujuan terapi pada ikterus keganasan merupakan salah satu kausa tersering dari ikterus
bedah. bedah.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai peranan ERCP Indikasi ERCP diagnostik pada ikterus bedah meliputi (2) :
dalam diagnosis dan terapi obstruksi bilier serta hasil pengalam- Kolestasis ekstra hepatik
-
an kami sendiri dengan teknik ini. Keluhan pasca operasi bilier
-
- Keluhan pasca kolesistektomi
DASAR DAN TEKNIK ERCP Kolangitis akut
-
ERCP merupakan suatu perpaduan antara pemeriksaan
- Pankreatitis bilier akut.
endoskopi dan radiologi untuk mendapatkan anatomi dari sistim Di samping itu kelainan di daerah papila Vateri (tumor,
traktus biliaris (kolangiogram) dan sekaligus duktus pankreas impacted stone) yang juga sering merupakan penyebab ikterus
(pankreatogram). Metode ini memerlukan alat radiologi dengan bedah dapat terlihat jelas dengan teknik endoskopi ini.
kemampuan tinggi, monitor televisi serta ketrampilan khusus Kami sendiri telah melakukan ERCP sejak April 1981 di-
dari ahli endoskopi. Prinsip teknik ERCP adalah mula-mula mulai dengan alat duodenokop Machida lalu Olympus 1E4, JF
memasukkan endoskop "optik samping" sampai duodenum dan IT10 dan terakhir JFIT 20. Sebagai zat kontras digunakan
mencari papila Vateri yang merupakan muara bersama dari Urografin 20—25% yang dicampur antibiotika. Dari April 1981
duktus koledokus dan dari duktus pankreatikus. Kemudian di- sampai Agustus 1987 telah dilakukan ERCP pada 520 pasien,
lakukan kanulasi dari muara papila dengan kateter yang dimasuk- 326 pasien (63%) di antaranya dengan ikterus kolestatik o ).
kan melalui kanal skop. Selanjutnya media kontras disuntikkan Keberhasilan ERCP pada koledokolitiasis didapatkan pada
melalui kateter tersebut sehingga didapatkan kolangiogram atau 73%, kolelitiasis 97%, Ca pankreas 67%, Ca papila Vateri 86%,
pankreatogram yang akan terlihat pada monitor televisi. Untuk Ca sal uran empedu 80%. Komplikasi didapatkan pada dua pasien
penilaian dan dokumentasi lalu dibuat beberapa foto dalam (0,4%) dengan ikterus bedah : satu pasien dengan pankreatitis
beberapa posisi. akut dan satu lainnya septikaemia.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 113


ERCP TERAPEUTIK perendoskopik pada keganasan yang inoperabel sudah menjadi
Penatalaksanaan kasus ikterus bedah telah banyak meng- pilihan sarana terapi.
alami perubahan berkat perkembangan pesat di bidang endo- Kami sendiri dari Desember 1988 sampai Juli 1991 telah
skopi terapeutik dan radiologi intervensional. Pemilihan prose- melakukan pemasangan endoprostesis perendoskopik pada 34
dur terapi yang tepat pada ikterus bedah (operatif, radiologik, kasus 1 " 1 . Indikasi pemasangan endoprostesis meliputi obstruksi
endoskopik) tergantung dari diagnosis etiologi, luasnya lesi, maligna pada 20 pasien, batu saluran empedu besar 9 dan striktur
adanya penyulit lain, fasilitas dan ketrampilan setempat (1). benigna 5. Dalam studi ini digunakan duodenoskop Olympus
Pada sejumlah pasien ikterus bedah yang mempunyai risiko yang mempunyai kausal besar dan endoprostesis 7FR atau 10FR.
tinggi dapat dilakukan "ERCP terapeutik". Prinsip dari ERCP Keberhasilan drainase empedu didapatkan pada 33 pasien
terapeutik adalah memotong sfingter papila Vateri dengan kawat (97%) sedangkan komplikasi dini terjadi pada 3 pasien (9%)
yang dialiri arus listrik sehingga muara papila menjadi besar masing-masing perdarahan, sepsis dan migrasi endoprostesis.
(spingterotomi endoskopik). Selamafollow-up clogging (tersumbatnya endoprostesis) terjadi
Pada penderita dengan batu saluran empedu dengan kendala pada 6 pasien (18%) dan dislokasi pada 2 pasien (6%) sehingga
operasi dapat dikerjakan spingterotomi endoskopik dan diperlukan penggantian endoprostesis.
pengeluaran batu dengan basket atau balon. Di luar negeri Pengeluaran endoprostesis yang tersumbat (blocked endo-
pembersihan saluran empedu sesudah pengeluaran batu dapat prosthesis) dilakukan dengan kawat basket atau akhir-akhir ini
mencapai 80—90% dengan komplikasi dini 7—10% dan angka dengan Soehendra retrieval device. Dari studi ini pemasangan
kematian 1—2%(4 - 7) . endoprostesis melalui ERCP terapeutik jelas bermanfaat untuk
Kami sendiri dari Desember 1983 sampai Nopember 1989 sejumlah pasien dengan ikterus bedah yang disebabkan lesi
telah melakukan spingterotomi endoskopik (SE) dan pengeluar- maligna dan benigna.
an batu pada 84 pasien dengan batu saluran empedu. SE di-
lakukan dengan papilotom Olympus tipe KD-4Q dan elektro- KESIMPULAN
surgeri EUS-2. Pengeluaran batu dilakukan dengan kateter bas- ERCP merupakan modalitas yang sangat bermanfaat dalam
ket atau kateter balon. Keberhasilan spingterotomi didapatkan membantu diagnosis ikterus bedah dan juga dalam terapi se-
pada 98%, keberhasilan pengeluaran batu pada 86% dan kom- jumlah kasus ikterus bedah yang inoperabel.
plikasi 10% 0> . Kegagalanekstraksibatu yang relatif besar di-
dapatkan pada 9 pasien; hal ini mungkin disebabkan spingtero-
tomi yang tidak adekuat pada permulaan studi kami. Pada 6 KEPUSTAKAAN
pasien, batu baru dapat dikeluarkan setelah dihaneurkan dahulu
1. May GR, James EM, Bender CE, Williams HJ, Adson MA. Diagnosis and
dengan litotripsi mekanik. Komplikasi perdarahan pada 6 pasien, treatment of jaundice. Radiographics 1986; 6: 847-90.
kolangitis dan pankreatitis masing-masing pada satu pasien. Dua 2. Huibregtse K, Tytgat GNJ. Endoscopy retrograde cholangio pancreato-
dari 6 pasien dengan perdarahan memerlukan operasi darurat. graphy. In: Lygidakis NJ, Tytgat GNJ, eds. Hepabiliary and pancreatic
malignacies. Stuttgart: George Thieme Verlag 1989: 100-14.
Komplikasi dini SE dalam seri kami seperti perdarahan, pankreati- 3. Lesmana LA, Tjokrosetio N, Wibowo S, Nocr HMS, Pang RTL. Endo-
tis dan kolangitis sebesar 10% juga tidak berbeda dengan studi scopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP): Review of 520 cases
sebelumnya yang mclaporkan 7—10% -71 (abstract). KONAS III PGI dan PEGI dan Pertemuan Ilrniah IV PPIII,
Hasil keseluruhan SE dari studi kami ini juga memper- Surabaya, 1987.
4. Safrany L. Endoscopic treatment of biliary-tract diseases. Lancet 1987;
lihatkan bahwa "ERCP terapeutik" merupakan prosedur yang 983-5.
bermanfaat dan cukup aman untuk mengeluarkan batu saluran 5. Cotton PB, Vallon AG. British experience with duodenoscopic sphingtero-
empedu pada penderita usia lanjut atau dengan penyulit operasi tomy for removal of bile duct stones. Br. J. Surg. 1981; 68: 376-80.
di negara kita. 6. Leese T, Neotolemos JP, Carr-Locke DL. Successes, failures, early com-
plications and their management following endoscopic sphincterotomy:
Kebanyakan tumor ganas yang menyebabkan obstruksi results in 394 concecutive patients from a single centre. Br J. Surg 1985; 72:
biliaris sering sekali inoperabel pada saat diagnosis ditegakkan. 215-9.
Tindakan operasi yang dilakukan biasanya paliatif dengan 7. Escourrou J, Cordova JA, Lazorthes F, Frexinos J. Early and late com-
membuat anastomosis bilio-digestif. Pada penderita dengan usia plications after endoscopic sphincterotomy for biliary lithiasis with and
without the gall bladder "in situ". Gut 1984, 25: 598-602.
lanjut atau dengan penyulit operasi, drainase bilaer dapat dila- 8. Lesmana LA, Tjokrosetio N, Nurman A, Noer I IMS. Endoskopi terapetik
kukan dengan ERCP terapeutik yaitu memasang endoprostesis pada batu saluran empedu. Naskah Lengkap. Konas IV PGI dan PEGI,
parendoskopik. Prinsip dari teknik ini adalah setelah dilakukan Penemuan Ilmiah V PPHHI Jakarta, 1990.
small sphingterotomy kemudian dimasukkan prostesis yang ter- 9. Grimm H, Soehendra N. Endoscopy biliary drainage (Hamburg). In:
Lygidakis NJ, Tytgat GNJ, eds. H epatobili a ry and pancreatic malignancies.
buat dari tenon dengan bantuan guide wire melalui papila Vateri Stuttgart: George Thieme Verlag 1989 : 418-25.
ke dalam duktus koledokus sehingga ujung proksimal prostesis 10. Hubregtse K, Tytgat GNJ. Endoscopy biliary drainage (Amsterdam). In:
terletak di bagian proksimal dari lesi obstruksi dan ujung distal Lygidakis NJ, Tytgat GNJ, eds. Hepatobiliary and pancreatic malignancies.
Stuttgart: George Thieme Verlag 1989 : 426-38.
terletak di duodenum. Dengan cara ini akan diperoleh drainase 11. Lesmana LA, Tjokrosetio N, Nurman A, Noer HHMS. Endoscopic Biliary
empedu internal melalui endosprotesis yang mempunyai lubang- Stenting (abstract). Sarasehan PPHHI, PGI, PEGI Cabang Jakarta, Jakarta
lubang di sampingnya (side holes). Pemasangan endoprotesis Agustus 1991.

114 Cermin Durua Kedokteran Edisi Khusus No. 81.1992


Endoskopi pada perdarahan
gastrointestinal
Hadjat S. Digdowirogo
Rumah Sakit Anak dan Bersalin Harapan Kita, Jakarta

PENDAHULUAN nafas, darah ibu).


Perdarahan gastrointestinal anak merupakan salah satu 3) Analisis penyebab perdarahan.
keadaan gawat darurat yang mempunyai banyak kemungkinan Penyakit sistemis/penyakit di luar saluran cerna dapat
dalam pendekatan dan penatalaksanaannya. Dokter tidak hanya mempunyai komplikasi di saluran cerna atau primer penyakit
harus mengingat banyak penyebab dari perdarahan gastrointes- pada usus. Misalnya: demam berdarah dengue, defisiensi vit.K,
tinal, tetapi juga dipikirkan tiap penyebab yang berhubungan DIC, sindrom Henoeh Sehonlein, dan sebagainya.
dengan umur pasien(1,2,3), dengan demikian dimungkinkan seleksi 4) Perkirakan lokasi perdarahan, di bawah atau di atas lig.
diagnosis untuk kejelasan penyebab. Arteriografi,endoskopi dan Treitz.
kedokteran nuklir bermanfaat dalam diagnosis dan tatalaksana 5) Tentukan kemudian apakah kasus ini merupakan kasus
pasien anak dengan perdarahan; implikasinya berbeda dengan medis atau bedah. Misalnya invaginasi, perdarahan dari diver-
pasien dewasa. Pada anak 90% perdarahan rektum akan berhenti tikal Meckel, merupakan kasus bedah yang memerlukan tin-
spontan atau penyebabnya dapat diketahui (4), sisanya 10% se- dakan bedah segera.
telah pemeriksaan penunjang menunjukkan hasil negatip, se- Langkah 1 sampai 5 memerlukan anamnesis, pemeriksaan
bagian memerlukan laparatomi. Jika aspirasi lambung mene- fisis dan pemeriksaan penunjang lain seeara teliti. Pengungkap-
mukan darah, maka tidak ada satu penyebabpun yang berasal an yang jelas muntahan/tinja yang berdarah sangat penting.
dari bawah lig. Treitz. Hampir 10% perdarahan berasal dari Perdarahan saluran gastrointestinal di atas lig. Treitz dapat
proksimal lig. Treitz, sepertiga dari usus halus dan sekitar 50% menyebabkan hematemesis; penyebab utama adalah ulkus
berasal dari daerah kolorektal. deodenum, ulkus lambung, esofagitis, gastritis dan varises
esofagus. Jika volume besar (1 cangkir/lebih) dan berwarna
PENDEKATAN DIAGNOSIS merah segar, menunjukkan perdarahan masif. Jika sudah ber-
Untuk penelusuran penyebab perdarahan (3,5)
dapat diikuti sis- eampur dengan asam lambung, darah menjadi coklat tua atau
tematika yang dikemukakan oleh Berman sebagai berikut : hitam (seperti kopi). Perlu dibedakan warna muntahan dengan
1) Setiap laporan perdarahan yang keluar dari mulut atai anus, pewarna makanan, minuman, sirup, antibiotika.
harus diperiksa terlebih dahulu apakah bahan yang keluar ter- Pada anamnesis perlu ditanyakan kapan mulai hematemesis
sebut darah atau bahan yang menyerupai darah. Zat pewarna dan berapa volumenya. Dicari faktor presipitasi misalnya
makanan dapat menyebabkan tinja hitam. Pemeriksaan protein muntah hebat, ulkus peptikum, penyakit had kronis, obat yang
heme dengan hematest sangat penting, tetapi harus dipikirkan sedang diminum (aspirin, steroid, antikoagulan), ingesti zat
kemungkinan positip atau negatip palsu. Untuk neonatus harus korosif, kelainan perdarahan (termasuk DBD), keadaan sires
dibedakan apakah darah tersebut berasal dari darah ibu yang (kesulitan persalinan, luka bakar, operasi, trauma, dehidrasi,
tertelan atau darah bayi, dengan pemeriksaan test Apt. renjatan, infeksi berat). Penyakit sistemis yang menyertai perda-
2) Diteliti lebih lanjut apakah darah ini berasal dari saluran rahan saluran cema, termasuk gangguan/defisiensi imunologis,
cerna atau dari saluran lain yang tertelan (mulut, hidung, saluran infeksi usus atau paru, keganasan, penyakit kolagen, penyakit

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 115


saraf pusat, gagal ginjal dan kelainan jantung bawaan. Dita- atas, endoskopi terbukti akurat dibandingkan pemeriksaan
nyakan pula perdarahan terakhir dari oro-farings (epistaksis, radiologi dengan kontras, arteriografi maupun kedokteran
perawatan gigi, tonsilektomi, sakit kerongkongan) atau tertelan nuklir. Pemeriksaan ini memerlukan waktu 20 menit.
benda asing yang mungkin tersangkut di esofagus. 2) Gambaran mukosa dapat diteliti secara rinei warna, bentuk
Pada pemeriksaan -fisis dinilai keadaan sirkulasi dan per- lesi mukosa, sekresi/perdarahan, isi lumen, diameter lumen.
ubahan tekanan darah pada waktu berdiri. Diperiksa mulut dan 3) Dengan memperhatikan gambaran sumber perdarahan dan
orofaring terhadap kemungkinan perdarahan. Dicari tanda-tanda dihubungkan dengan patofiologis terjadinya perdarahan, maka
perdarahan umum dan kelainan pembekuan darah (petekia, dapat dinilai karakteristik perdarahan tersebut.
rembesan darah, ekimosis). Tanda-tanda penyakit hati dan hi- Gambaran dari sumber perdarahan :
pertensi portal dicari misal : hepatomegali, splenomegali dan - sifat : setempat atau umum, merembes atau memanear.
asites. bentuk lesi : superficial, luka dalam/ulkus atau benjolan/
-
Anamnesis pada perdarahan per-anal, perlu ditanyakan tumor.
kapan mula sakit, gambaran darah tinja, volume kehilangan – kemungkinan berhenti : spontan atau tidak.
darah. Ditanyakan keluhan lain : diare, muntah, konstipasi, bagaimana kemungkinan timbul perdarahan kembali.
-
anoreksi, sakit perut atau distensi. Keluhan di luar gastrointes- Penilaian ini dilakukan dengan memperhatikan patofisiol-
tinal : panas, kehilangan berat badan, pubertas lambat, artritis, ogi sebab perdarahan. Untuk menilai derajat perdarahan selain
rash, pupura, atau ikterus. Perlu disingkirkan sesuatu yang dapat dilihat dari volume darah yang keluar, juga diperhatikan pen-
mengelabui : preparat besi, bismuth, juice anggur, bayam, buah- garuhnya terhadap keadaan sirkulasi.
buahan warna biru, pewarna makanan, wortel, antibiotika/obat- 4) Untuk lesi yang meneurigakan dapat dilakukan biopsi untuk
obatan warna merah. Adanya faktor presipitasi atau predisposisi memperoleh gambaran mikroskopis.
misalnya : ingesti obat-obatan (ibu/anak), antibiotika yang se- 5) Untuk dokumentasi dapat dilakukan pemotretan, ditrans-
clang dimakan, konstipasi, kelainan perdarahan, alergi susu. misikan melalui televisi atau direkam dalam kaset video atau
6) Pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab (8) : film-movie.
– Di mana persis lokasi sumber perdarahan. 6) Keuntungan lain yang penting adalah menghentikan perda-
— Bagaimana sifat perdarahan, setempat/lokal atau difus. rahanm 10•' 213•'4 ' 5' Melalui endoskopi perdarahan dapat dihenti-
t

– Apakah berhenti spontan atau perlu tindakan. kan melalui beberapa cara, misalnya :
- Kemungkinan untuk berdarah kembali. • Perdarahan varises : terapi injeksi dengan larutan sklerosan
Dari langkah ke 1 sampai ke 5, biasanya sudah dapat atau dengan tissue adhesive (histoaeryl).
diperkirakan diagnosis pasti penyebab perdarahan, misalnya • Perdarahan non varises : terapi in jeksi dengan adrenalin dan
difisiensi Vit. K, kelainan perdarahan, demam berdarah dengue, polidokanol dengan tissue adhesive (histoacryl), semprot dengan
enterokolitis nekrotikans, invaginasi, fisura ani, infeksi usus, trombin dan larutan fibrinogen (cryoprecipitate), elektrokoagu-
demam tifoid,perdarahan dari mulut/hidung/saluran nafas/darah lasi, laser.
ibu yang tertelan. Dengan pengobatan medikamentosa dan/atau • Pada saat ini juga telah berkembang metode menghentikan
bedah perdarahan dapat diatasi. perdarahan dengan hemoclips.
Untuk sebagian keeil kasus lainnya, masih perlu diungkap- • Polip : polipektomi dengan elektrokoagulasi atau dengan
kan lebih teliti sehubungan dengan pertanyaan ke 6. Penelitian laso.
lebih teliti diperlukan untuk meneapai presisi terapi yang tinggi 7) Mengikuti perkembangan penyakit.
dalam penyakit gastrointestinal anak. Dalam kaitan ini pe- Untuk mengetahui kemungkinan rekurensi atau menilai
meriksaan endoskopi diperlukan. progresifitas, pada varises esofagus yang berhasil diobliterasi,
perlu dilakukan pemeriksaan endoskopi ulang 1 bulan, 3 bulan,
KELEBIHAN ENDOSKOPI 6 bulan. Kalau timbul varises lagi, harus dilakukan injeksi lagi.
Dengan ditemukannya serat optik, maka Hirschowitz pada Demikian pula pada kolitis ulserosaatau granulomatosa, juvenile
tahun 1958 mendemonstrasikan gastroduodenoskop lentur serat polip pemeriksaan endoskopi secara periodis perlu dilakukan.
optik191. Berkas eahaya dipantulkan oleh serat optik yang ber- 8) Membantu dokter bedah menegakkan diagnosis. Perdarah-
diameter 0,0006 inei atau ± 14 U, di dalam satu bendel berdiame- an dari divertikel Meekel umumnya menimbulkan melena yang
ter ± 0,25 inei yang terdiri dari 150.000 serat optik. Saat ini masif, yang menimbulkan gangguan sirkulasi. Dengan kolono-
keeuali endoskop lentur serat optik, juga telah dikembangkan skopi dapat dipastikan bahwa perdarahan berasal dari proksimal
video-endoskopi. Dalam hal ini di ujung endoskop diletakkan sekum dan distal dari lig. Treitz. Dengan informasi ini dokter
kamera televisi keeil. Endoskopi ini mempunyai beberapa ke- bedah dapat melakukan laparatomi eksplorasi° o .
lebihan(0.10.11.1 z ' ')
1) Mengetahui lebih jelas keadaan mukosa saluran gastrointes- KELEMAHAN ENDOSKOPI (8,13)
tinal mulai dari esofagus sampai duodenum dan dari lubang anus Di samping kelebihan, prosedur endoskopi tidak lepas dari
sampai sekum/ilium terminalis. Saat ini telah dikembangkan kelemahan dan keterbatasan. Oleh karena itu diperlukan penge-
endoskop kecil (enteroskop) untuk bisa menjelajahi usus halus. tahuan patofisiologi penyakit dan pemahaman atas kelebihan dan
Untuk mengetahui sumber perdarahan saluran gastrointestinal kelemahan ini.

116 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992


1) Endoskopi adalah prosedur invasif. Dapat menyebabkan skopi dan biopsi kemudian dapat dibuktikan penyakit tersebut
lesi mukosa, penekanan pada alat di luar saluran cerna (misalnya secara makroskopis dan mikroskopis.
trakhea). Efek samping lain dapat berasal dari pemakaian obat- Skleroterapi endoskopi (STE) biasanya dilakukan pada
obatan sedasi atau narkosis. varises esofagus yang pernah berdarah, sedangkan yang belum
2) Lapangan pandang harus bersih. Lumen usus yang kotor pernah berdarah tidak dilakukan STE profilaksis(16,24,25,26) STE
oleh tinja atau sisa makanan, banyaknya genangan darah atau darurat (varises esofagus yang sedang berdarah) pada anak,
cairan lain, akan menyulitkan penilaian terhadap mukosa dan telah dilaporkan berhasil baik oleh Thapa(27) . Perdarahan non-
mempersulit gerak maju. varises yang memerlukan tindakan endoskopi terapeutis belum
3) Membutuhkan ketrampilan yang cukup baik dari endo- pernah dilaporkan, namun STE pada varises esofagus anak telah
skopis dan perawat yang membantu. banyak dilaporkan, dan telah menjadi prosedur rutin klinik
4) Perlu investasi modal yang eukup mahal dan pemeliharaan gastroenterologi anak
(3,25,28,29,30,31)
. Rumah Sakit Sumber Waras
alat yang teliti. dan beberapa rumah sakit lain di Indonesia telah menerimanya
sebagai prosedur (16,25,26)
standar. Di bawah ini kami sajikan laporan dari
DISKUSI beberapa penulis
Tidak semua perdarahan gastrointestinal memerlukan Tabel 2. Gambaran klinis hipertensi porta (32)
tindakan endoskopi. Digdowirogo 1 melaporkan bahwa dari Splenomegali Hemoroid intema
3303 bayi dan anak yang dirawat di Rumah Sakit Anak dan Hematemesis Hati mengecil atau hepatomegali
Bersalin Harapan Kita, 63 (1,9%) kasus di antaranya mengalami Melena Hipersplenisme
Varises esofagus Asites
perdarahan (tidak termasuk perdarahan karena infeksi usus). Cutaneous portosystemic Shunt Malabsorbsi
Dari 63 kasus tersebut ternyata 51,6% adalah karena penyakit Kaput meduse Protein losing enteropathy
sistemis, 36,7% karena kelainan mukosa usus dan 11,7% kasus Dengungan di bawah umbilikus Failure to thrive
bedah. Vaughan") menulis dalam bukunya, bahwa penyakit
sistemis menempati jumlah 10-20%, sementara Yue(19) me- Perlu diutarakan bahwa varises esofagus path anak di Indo-
laporkan bahwa 24 dari 100 kas us perdarahan berasal dari fissura nesia eukup banyak ditemukan, sejak Oktober 1987 sampai Mei
ani. Algirtm dari Berman(5) dapat membantu menentukan kapan 1992 kami telah mengumpulkan 22 kasus(25) . Jumlah ini akan
endoskopi perlu dikerjakan; endoskopi lebih akurat dalam men- semakin bertambah dengan semakin rineinya penearian sumber
deteksi kelainan mukosa saluran eerna daripada pemeriksaan perdarahan. Keluhan dan gejala utama varises esofagus dise-
radiologi
(20,21,22,23)
. Oleh karena itu salah satu indikasi endoskopi
babkan karena hipertensi porta.
adalah permintaan kejelasan terhadap foto radiologi yang kurang Banyak kendala yang dijumpai dalam melaksanakan pro-
jelas. Pengalaman kami pada kasus seorang gadis dengan foto sedur
(16,25,26).
STE harus dikerjakan secara serial dengan
kontras barium yang dicurigai morbus Crohn; dengan kolono-

Tabel 1. Laporan STE dari beberapa penulis


p0 n
Stamakis ' Howard°' ) Vane' » Thapa°') Digdowirogo°
1982 1984 1985 1991 1991

– Kasus 21 57 13 30 15
– Umur 2–14 1 –19 7/12–13 2–13
– Prehepatis 8 22 7 22 2
– Hepatis 13 35 6 8 13
– Sedasi – – – + +
– Narkosis + + + – +
– Sklerosan 5% Ethanolamine 5% Ethanolamine Sod Morrhoute Etoksisklerol 1 % Etoksisklerol 1%
oleat oleat 5%—> 1 %
– Komplikasi
nyeri retrostemal – biasa – 18 –
striktur 2 5
ulserasi 5 7 3 6 2
perdarahan 5 17 1 3 2
– Obliterasi 18 45 8 27 4
– Sesion 1 –8 4,7 – 5,7 5,6 2 – 16 5 – 16
(rata-rata) (rata-rata)
– Keterangan operasi – – 8 belum – 2 meninggal 4 rekurens – 7 ikut teratur
8 Rekurens selesai – 1 diligasi
– 4 meninggal – 7 ex operasi 4 varises lambung – 1 operasi
– 14 ex gagal – 11 varises
operasi lambung
– 2 ex shunting
– 2 rekurens

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81.1992 I/7


interval 5—7 hari, sampai varises mengalami obliterasi; oleh yang sesuai, maka presisi diagnosis penyakit gastrointestinal
karena itu timbul masalah yang berupa penolakan anak/orang dapat ditingkatkan. Dengan algorithma yang dibuat Berman,
tua, tidak ada biaya, tempat tinggal jauh, keinginan untuk maka dapat diupayakan saat yang tepat untuk merujuk pasien ke
bersekolah, adanya penyakit sekunder. Kerjasama dengan guru rumah sakit yang mempunyai fasilitas untuk endoskopi.
dan atasan orang tua tempat bekerja sangat diperlukan.
Pada melena masif yang berasal distal lig. Treitz yang KEPUSTAKAAN
mempengaruhi sirkulasi, harus diwaspadai kemungkinan per- 1.
darahan dari divertikel Meckel. Kami mendapatkan dua kasus 2. Halimun EM, Suwamo R. Perdarahan gastrointestinal pada bayi dan anak
semaeam yang dibuktikan dengan laparatomi yang dikerjakan (2). Dalam: Suharyono dkk (eds). Gastroenterologi Anak Praktis. Jakarta,
kemudian. Perdarahan yang disebabkan oleh polip atau FKUI 1988; 241–9.
3. Ilyams JS, Leichtner AM, and Schwartz AN. Recent advances in diagnosis
Inflammatory Bowel Disease (IBD), biasanya bersifat ringan t8l . and treatment of gastrointestinal hemorrhage in infants and children. J.
Pemeriksaan sederhana terpenting adalah memeriksa lubang Pediatr. 1985; 106: 1–9.
dubur terhadap kemungkinan adanya fissura ani(5,17.19). Dengan 4. Stevenson RJ. Gastrointestinal bleeding in children. Surg. Clin. North. Am.
adanya endoskop maka pelayanan standar pengangkatan polip 1985; 65: 1455–80.
5. Berman S. Pediatric Decision Making, Philadelpia, Toronto: BC. Decker
kolon, berubah dari laparatomi ke polipektomi endoskopi(18,13) Inc. 1986; 170 dan 184.
Keeuali dengan elektrokoagulasi saat ini juga sudah berkembang 6. Wulur H, Handana B. Polipektomi endoskopi pada anak. Kongres Nasional
metoda laso(15) (tabel 3). IV PGI-PEGI Pertemuan Ilmiah V PPIHI, Jakarta, 1989.
Untuk menjaminkeberhasilan endoskopi perlu diperhatikan 7. Boediarso A. Perdarahan Gastrointestinal pada Bayi dan Anak (1). Dalam:
Suharyono dkk (eds). Gastroenterologi Anak Praktis, Jakarta: Balai Pe-
indikasi tepat, persiapan cermat, alat yang baik, serta tim pelak- nerbit FKUI 1988. 231–240.
sana yang handal. Dalam persiapan perlu diusahakan sirkulasi 8. Burdelski M, Huchzermeyer 11. Gastrointestinale Endoskopie in Kindesal-
dan respirasi yang baik, keadaan koagulasi yang memenuhi ter. Berlin, Heidelberg, New York: Springer-Verlag 1981; 7–48, 96–101.
9. Ilirchowitz B, Curtis LE, Peters CE et al. Demonstration of a new gastro-
syarat, dan terkadang perlu persediaan darah I(26). Pembersihan
scope, the fibcrscope. Gastroenterol 1958; 35: 50-54. Disalin dari Sujono
saluran gastrointestinal terhadap darah/cairan lain, sisa ma- Iladi.
kanan, tinja untuk memperoleh pandangan yang bersih. Pada he- 10. Abdurachman SA. Peranan kolonoskopi pada perdarahan saluran cema
matemesis dan melena yang masif sebelumnya lambung perlu bagian bawah. Dalam: Sujono Iladi, dkk (eds). Endoskopi dalam bidang
Gastroentero-Hepatologi, Jakarta, FKUI, 1987; 209–217.
dibilas dengan eairan dingin dan klisma seeara periodis. 11. Barkin JS, Rosen S. Enteroscopy. Dalam: Barkin JS, O'Phelan CA. (eds).
Persetujuan orang tua setelah penjelasan diberikan seeara leng- Advanced Therapeutic Endoscopy, New York: Raven Press Ltd. 1990;
kap dan gambaran hari depan anak perlu dibeberkan seeara torus 163–168.
terang. 12. Ilemomo K. Peranan endoskopi pada perdarahan saluran cema bagian atas.
Dalam: Sujono Hladi dkk (eds). Endoskopi dalam bidang Gastroentero-
ilepatologi. Jakarta, FKUI: 1984; 179–192.
RINGKASAN 13. Wulur H, Digdowirogo I1S. Endoskopi serat optik pada anak. Dalam:
Pemeriksaan pendahuluan secara anamnesis, fisis dan Suharyono, dkk (eds). Gastroenterologi Anak Praktis, Jakarta, FKUI, 1988;
pemeriksaan penunjang laboratorium tetap penting untuk me- 389–406.
14. Digdowirogo I1S, Ilalimun EM, Suhartati S, Hlartati NS. Perdarahan
ngetahui sumber perdarahan. Pertanyaan yang tidak bisa ter- saluran cema alas karena varises esofagus. Pertemuan Ilmiah Berkala
jawab dengan pemeriksaan tersebut, perlu dilanjutkan dengan Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak XH, Jakarta, 1989.
pemeriksaan endoskopi.Dengan indikasi, waktu, ketrampilan 14. Fleischer D. Endoscopic therapy of upper gastrointestinal bleeding in

Tabel 3. Laporan polip kolon

Philip Hassal Digdowirogo Kawamitsu Wulur


1979" 1984" 1987" 1989" 199001

– Kasus 73 113 51 105 360


– Umur 1 –18 1/12–20 1/12–17 1/12–15 2–16
– Polip 7 26 17 10 56
– Persiapan usus Lig. diet 2 hari Lig. diet 3 hari Lig. diet Lig. diet 1 hari Lig. diet 3 hari
Sonna syr. Mg. Citrat Enema Picosulfat Na Mg. Citrat
1isacodyl tab+ NaCl Bisacodyl Bisacodyl
supp. Enema supp.
Glycerin
– Scdasi Diazepam Diazepam Diazepam Diazepam Diazepam
Dilantin Meperidinc Pethidine Pethidine Pethidine
Phenergan
– Narkosis 2 – 7 tahun 4 kasus Pasien Hcbih muds
– Hnstrumen Olymp. GHF P2 Olymp. GHF 1'2 Olymp. PCF Olymp. PCF
CF MH33 PCF CF 10-1.
CF 1.63 lingkungan anak GHP XPHO
ACM F7
– Komplikasi – – – – –

118 Cerntin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 31, /992


humans. Gastrocnterol. 1986; 90: 217–234.
15. Sochendra M. Therapy of upper gastrointestinal bleeding. Konas V PGI- Nasogastric tube
PEGI. Pertemuan Ilmiah VI PPH HH, Medan, 1991. kp bilas lambung
16. Digdowirogo HHS. Bcbcrapa masalah dan pengalaman dalam endoskopi dengan lar. NACL
anak. Simposium Endoskopi Gastrointestinal, Diagnosis dan Terapi ke III,
FKUI, Jakarta, 1992. E Nilai derajat sakit
17. Digdowirogo H HS, Suhardjo NS, Ilalimun EM. Perdarahan gastrointestinal
pada bayi dan anak. Laporan pendahuluan Kongres Nasional Bmu Kese-
hatan Anak VIII, Ujung Pandang, 1990. i
Ringan Sedang Berat
18. Vaughan VC, McKay RJ. Nelson Textbook of Pediatrics. 10th ed. Philadel-
phia: W.B. Saunders, 1975. 812–3. Ikuti Rawat Rawat
19. Yue PCK. Gastrointestinal bleeding in infants and children. Hongkong. J.
Pediatr. 1985; 2: 3–7.
20. Cox K, Ament ME. Upper Gastrointestinal bleeding in children and
Pertimbangkan : Perbaiki sirkulasi
adolescents. Pediatr 1979; 63: 408-13. Hematemesis Hematemesis – antasida transfusi darah
21. Cucchiara S, dkk. Sigmoidoscopy, colonoscopy, and radiology in evalua- berhenti menetap simetidin Pertimbangkan :
tion of children with rectal bleeding. J. Pediatr. Gastroenterol. Nutr. 1983;
sukralfat – antasida, simetidin
2:667–671.
– observasi sukralfat
22. Gleason WA, Tedesco FJ, Keating JP, Goldstein PD. Fiberoptic gastro- 12–36 jam – tampon varises
intestinal endoscopy in infants and children. J. Pediatr. 1974; 85: 810–3.
esofagus
23. Gypes MT, Smith LE, Ament ME. Fibcroptic endoscopy and upper gastro-
intestinal series : comparative analysis in infants and children. Am. J.
Rocntgenol. 1977; 128: 53–56. Endoskopi atas
24. Sujono Iladi. Sejarah perkembangan endoskopi di luar negeri dan di Ba - meal
Indonesia. Dalam: Sujono Iladi, dkk (eds). Endoskopi Dalam Bidang Pcrtimbangkan :
Gastroentero-Ilepatologi. Jakarta: FKUI, 1987; 3. Angiografi
25. Digdowirogo 11S, Wulur 11. Skleroterapi varises esofagus, pengalaman
pada anak. Kongres Nasional V PGI-PEGI Pertemuan Ihmiah VI PPHI,
Medan, 1991. Ulkus stres Va `ses
Gastritis Mallory-Weiss Normal
26. Digdowirogo IHS. Pengobatan sklerotik pada varises esofagus. Pendidikan Esofagitis Esophageal tear Ulkus peptikum eofagus
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1992.
27. Thapa BR, Mehta S. Endoscopic sclerotherapy of esophageal varices in
infants and children. J. Pediatr. Gastroenterol. Nutr. 1990; 10: 430–4. Lampiran 20r
28. Iloward ER, Stamakis JD, Mowat AP. Management of esophageal varises
in children by injection sclerotherapy. J. Pediatr. Surg. 1984; 19: 2–5. BERAK DARAH
29. Maksoud JG, Gonsalves MEP, Porta G, Miura I, Velhote MCP. The
endoscopic and surgical management of portal hypertension in children : B Riwayat > <— C hitung sel darah + hitung
Analysis of 123 cases. J. Pediatr. Surg. 1991; 26: 178–81. jenis leukosit, trombosit,
30. Stamakis JD, Iloward ER, Psacharopoulos, Mowat AP. Injection sclero- LED, tes guaiac, tinja,
therapy for oesophageal varices in children. Br. J. Surg. 1982; 69: 74–5. Singkirkan < aspirasi - lambung.
31. Vane DW, Boles ET, Clatworthy I1W. Esophageal Sclerotherapy : an – darah tertelan Pertimbangan :
effective modality in children. J. Pediatr. Surg. 1986; 20: 703–7. - sesuatu serupa darah Tes Apt-Downey, PT, PTT,
32. Mowat AP. Liver Disorders in Childhood, 2nd Ed. London: Butterworths, - kelainan pembckuan albumin - serum, BUN,
- 'hemol yt ic uremic syndrome
1987; 298–323. ureum, kreatinin
33. Philip J, Fruhmorgen P. Kolonoskopi bei Kindcrs and Jugenlichen. - Henoch - Schonlein
Monatrsschr. Kinderheild. 1979; 127: 573–576. Purpura
34. Hlassal E, Burclay SN, Ament ME. Colonoscopy in childhood. Pediatr. D Nilai derajat sakit
1984;73:594-9. f
35. Digdowirogo HHS, Ilalimun EM. Kolonoskopi di Rumah Sakit Anak dan Ringan Sedang Brat
Bcrsalin llarapan Kita. Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak ke VII.
Jakarta, 1987. Pemcriksaan rcktum Pemcriksaan rektum Rawat
36. Kawamitsu T, Nagashima K, Tsuchiya HH, Sugiyama T, Ogasawara T, 1
Chcng S. Pediatric total colonoscopy. J. Pediatr. Surg. 1989; 24: 371-4. Normal Terapi suportip
Normal Abnormal
L> Foto polos
Lampiran 1 (5) Tinja: leukosit fisura ani abdomen
kultur hemoroid
A I HHEMA'H'H:MESHS Parasit + cacing ekskoriasi j
1
11 Riwayat > <— 'lining se! darah + hitung Normal Abnormal
Positif Ncgatif
jenis Hcukosit + trombosit.
kultur darah Pncumatosis: EKN
Pert imhangkan :
C Pcmcriksaan fisik > – tcs koagulasi Hnfcksiusus Alcrgi susu? Tinja: cacing E Ohstruksi: invaginasi
& parasit. volvulus
– 'es Apt - Downey
Singkirkan < Tcs diet Pcrtimhangkan
D Tcntukan adanya :
Rotavirus H lirschphnmg
- scsuatu scperti darah pcnyakit sistcmik
Hkuti C. difficilc Mcgakolen toksik
- hcnda acing di esofagus kclainan koagulasi
Udara bcbas
- darah yang tertelan 1
(perforasi)
i

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81. 1992 /19


I
Baik negatif positif Konsul bedah

infeksi usus

Tak memuaskan Ba-Enema


Endoskopi

Pertimbangkan : < — Normal < > Abnormal —> I Malformasi


Meckel's scan vaskuler
Kolitis > H Polip

F
I
Nonspesifik
Positif Negatif I L_
G Kolitis lnflamatory
Trial diet pseudomembran Bowel disease'
Konsul Bedah Ikuti

ANDA MEMBUTUHKAN OERMIN DUNIA KEDOKTERAN


EDISI LAMA ?

Didalam persediaan kami masih terdapat Cermin Dunia


Kedokteran Edisi lama, sebagai berikut :

CDK No. 17 - Penyakit Saraf (Sambungan) 70 eks


CDK No. 33 - Masalah Anestesi 40 eks
CDK No. 43 - Bedah Mikro 40 eks
CDK No. 49 - Seminar Penyakit Tak Menular I 50 eks
CDK No. 52 - Tumor Kepala dan Leher 25 eks
CDK No. 53 - Insomnia 24 eks
CDK No. 55 - Malaria II 25 eks
CDK No, 65 - Imunisasi I 120 eks
CDK No. 66 - Imunisasi II 140 eks
CDK No. 67 - Kardiovaskular 180 eks
CDK No. 69 - Pulmonologi 90 eks
CDK No. 70 - Kesehatan dan Lingkungan 120 eks
CDK No. 71 - Khusus - Simposium Upaya Peningkatan
Pelayanan Rumah Sakit 400 eks
CDK No. 73 - Gizi 57 eks
CDK No. 74 - Kulit (I) 70 eks
CDK No. 76 - Kulit (II) 320 eks
CDK No. 77 - Tumor Otak 520 eks
CDK No, 78 - Penyakit Sendi 580 eks
CDK No. 79 - Masalah Saluran Cerna 380 eks

Sekiranya edisi tersebut di atas masih diper?.ukan,


sejawat dapat memberitahukan kepada kami melalui surat,
kami akan mengirimkannya selama persediaan masih ada
secara cuma-cuma.
Redaksi

120 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


SIMPOSIUM SATELIT
I. SIMPOSIUM SATELIT : HEMATURI PADA
ANAK

Hematuri pada anak


pendekatan diagnosis
Setiadharma Selopranoto
Unit Nefrologi, Laboratorium Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta

PENDAHULUAN urin akan terjadi oksidasi orthotolidin yang berubah warna men jadi
Perubahan warna pada urin sering memberi kekhawatiran biru (James). Pada test positip harus disusul dengan pemeriksaan
pada penderita maupun path keluarga. Lebih-lebih bila berwarna mikroskopik untuk mencari eristrosit. Sebab karena ada
merah, berdarah; dengan rasa eemas penderita akan pergi ke kemungkinan dipstick test positip tanpa ditemukannya eritrosit
dokter. pada keadaan tertentu.
Dalam hal menghadapi urin berwarna merah harus dibe- Beberapa kelemahan dari dipstick test :
dakan antara hematuri yang sebenarnya atau urin merah oleh a) bila test tidak dilakukan sesuai dengan waktunya dapat
karena sebab lain. Pemeriksaan laboratorium yang eermat sangat memberi hasil positip palsu;
dianjurkan. Hematuria dapat makroskopik, yang warnanya merah b) pada urin yang mengandung beberapa eritrosit saja tidak
cerah atau dapatpula merah-coklat seperti Coca-Cola; dapatpula dapat memberi reaksi positip;
seperti air daging. Hematuria mikroskopik dengan mata te- c) tidak dapat membedakan antara eritrosit yang utuh dengan
lanjang tidak tampak ada kelainan warna, mungkin sedikitkeruh. hemoglobin bebas pada hemoglobinuri dan mioglobinuri (Kas-
Pada pemeriksaan dengan mikroskop baru tampak sel eritrosit. sirer) : hasil reaksi semuanya positip.
Bila keadaan ini merupakan gejala tunggal tanpa disertai pro-
teinuria yang berarti dan tidak ditemukan sel lain, maupun URINE WARNA MERAH DENGAN DIPSTICK TEST
silinder, disebut isolated hematuria. NEGATIP :
Etiologi hematuria merupakan daftar yang panjang. Makalah Didapatkan pada keadaan sebagai berikut :
ini akan membahas pendekatan diganosis (diagnostic approach) Makanan : zat pewama anilin, anthrocyanin (berries, beets).
hematuria pada anak. Obat : phenaeetin, phenolphthalein (Laxadine ®), phenytoin (Di-
lantin®), phenozopyridine (Pyridium°), rifampisin
PENATALAKSANAAN URIN BERWARNA MERAH Toxin : benzene, earbon tetrachloride
Seperti dikemukakan di atas, urin berwarna merah tidak Metal berat : Pb, Fe, Hg
selalu mengandung sel eritrosit. Langkah yang diambil untuk Urat
kepastian adalah :
I) Pemeriksaan laboratorium urin lengkap. URINE WARNA MERAH DENGAN DIPSTICK TEST
2) Secara kuantitatip dengan Addis count : dihitung jumlah POSITIP :
eritrosit dalam urin produksi 12 jam. Pada saat ini sudah tidal(
dipakai lagi oleh karena sukar pelaksanaannya dan tidak reliable Dalam hal ini harus dilakukan pemeriksaan mikroskopik
untuk evaluasi penyakit ginjal pada anak (Nelson) serta tidak dengan segera, oleh karena ada dua kemungkinan :
praktis (Norman). 1) Dipstick test positip tetapi eritrosit negatip;
3) Secara kualitatip dengan dipstick test (HEMASTIX, Ames). 2) Dipstick test positip dengan eritrosit positip.
Dengan cara ini secara mudah dan cepat dapat diketahui Dipstick test positip dengan eritrosit negatip didapatkan
adanya occult blood dalam urin. Bila ada hemoglobin di dalam pada :

Cermin Dunia Kedok[eran Edisi Khusus No. 81, 1992 /21


Hemoglobinuria : – G-6-P-D deficieney tact sport seperti pada tinju yang mungkin menyebabkan trauma
– Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria pada ginjal atau saluran kemih. Demikian pula pada kenaikan
– Intravascular coagulation : sepsis, suhu badan dapat menyebabkan peningkatan ekskresi, meskipun
H.U.S. lebih banyak terdapat sel lekosit daripada eritrosit. Oleh karena
Myoglobinuria luka bakar itu diambil kesimpulan, bahwa peningkatan ekskresi sel eritrosit
saja adalah gambaran atau genala yang non-spesifik.
- Crush injury Ekskresi sel eritrosit dapat disebabkan oleh perdarahan di
– Asfiksia
False negative : pH tinggi, berat jenis urin rendah mana saja dari ginjal sampai saluran kemih bawah. Papper
(Schwartz). berpendirian bahwa setiap kasus hematuri, terutama pada kasus
Dipstick test positip dengan eritrosit positip yang rekuren dan persisten, harus dilakukan evaluasi dan diearai
Harus dibedakan antara proses NON-GINJAL : proteinuria lokalisasi perdarahannya. Bila pada hematuri mikroskopik dalam
negatip, dengan proses GINJAL : proteinuria positip sedimen urin hanya dikemukakan sel eritrosit saja tanpa sel lain
Hematuri, khususnya bila hanya diketahui dari pemeriksaan dan tanpa silinder, serta proteinuri yang tidak berarti, keadaan ini
mikroskop, tidak merupakan suatu penyakit ginjal atau saluran disebut isolated hematuria (Coe). Penyebab keadaan demikian
kemih (tractus urinarius). Proses NON-GINJAL ini menurut : batu, tumor ganas maupun tidak ganas, tuberculosis, truman,
Drummond dan Rose dapat terjadi pada keadaan sebagai prostatitis, IgA nephropathy, penyalahgunaan obat analgesie,
berikut : Sickle cell diasease.
1. Latihan olah-raga berat
2. Penyakit panas Lokalisasi hematuri
3. Gastroenteritis dengan dehidrasi Tujuan utama evaluasi hematuri adalah untuk mengetahui
4. Infeksi virus atau bakteri (eystitis hemorrhagica) sumber perdarahan : apakah dari ginjal atau saluran kemih,
5. Kontaminasi dengan eritrosit : ulcus meatus urehrae, dengan cara sebagai berikut :
menstruasi, vesica urinaria : kateterisasi, Wilms tumor, ureter : 1) Uji 3 gelas/tabung :
batu ginjal, Ca, prostat : BPH, prostatitis, Ca. Urin ditampung dalam tiga gelas terpisah : gelas pertama
diisi dengan urin awal miksi, gelas ke-II dengan miksi perte-
HEMATURI ngahan, gelas ke-III dengan urin akhir miksi.
Dikenal istilah hematuri makroskopik (gross) dan Interpretasi : gelas pertama : urin merah (hematuri +) berarti
mikroskopik. Gross hematuria dapat dilihat dengan mata te- perdarahan urethra. Gelas ke-III lebih mereha dari gelas ke-II :
lanjang : urin berwarna merah eerah sampai merah-coklat seperti hematuri terminal seperti pada perdarahan leher kandung kemih.
Coca-Cola; dapat bercampur dengan gumpalan darah. Warna Semua (tiga) gelas merah, berarti darah bercampur merata dalam
dalam hal ini dipengaruhi oleh pH, berat jenis, lamanya proses urin di vesika urinaria; disebut total hematuria (James).
berlangsung dan kadar protein urin. Dengan hematuri mikroskopik 2) Dengan mikroskop dibedakan antara perdarahan glomerular
dimaksudkan urin yang berwarna normal, mengandung eritrosit dan non-glomerular : pada perdarahan non-glomerular semua
dalam sedimen yang hanya dapat diketemukan dengan m ikroskop eritrosit berbentuk dan berukuran yang sama, seperti didapatkan
atau dengan dipstick test (Drummond). Hingga kini masih pada darah periger. Oleh Stapleton disebut eumorphic urinary
terdapat beda pendapat di antara para ahli mengenai berapa red blood cells. Sedangkan pada perdarahan glomerular bentuk
jumlah minimal sel eritrosit dalam sedimen urin yang harus eritrosit irregular dan sitoplasmanya tidak seragam : dysmorphic
dipenuhi untuk definisi hematuri mikroskopik significant bagi red blood cells.
klnik. Menurut Gauthier : 1-2 atau lebih eritrosit/LPB adalah
Perbedaan hematuri yang Glomerular dan Extra-glomerular (Rose)
patologis, sedangkan menurut Drummond : > 5 eritrosit/LPB.
Kebanyakan para penulis mempersyaratkan hematuri mikroskopik Wama merah/coklat dapat merah
adalah significant, bila 2 dari 3 pemeriksaan urin dalam masa Gumpalan darah beku negatip dapat positip
Silinder eri (RB casts) dapat positip tidak ada
beberapa minggu mengandung darah (Norman).
Proteinuri (<500 mg/24 jam) dapat positip jarang
Jumlah eritrosit yang diekskresi oleh orang sehat menurut
Kassirer dan Gennari sebagai berikut : 500.000 – 1.000.000
eritrosit per 12 jam urin dan 500.000 – 2.000.000 lekosit per 12 Etiologi hematuria (Norman)
jam urin. Sedangkan pemeriksaan sedimen urin pada 5.000 orang I. Glomerular
pria dewasa sehat dan 1.000 wanita dewasa sehat menghasilkan A. Benign recurrent or persistent hematuria
: 90% pada kedua jenis kelamin < 1 eritrosit/LPB, 97% pada 1. Sporadie
kedua jenis kelamin < 5 eritrosit/LPB serta 94% pada laki-laki 2. Familial
< 2 lekosit/LPB dan 70% pada wanita < 3 lekosit/LPB. B. Primary glomerulopathy
Mekanisme ekskresi sel eritrosit maupun Iekosit dalam urin 1. Acute glomerulonephritis
sehat masih belum dikerahui dengan pasti. 2. Chronic glomerulonephritis
Kausa peningkatan ekskresi eritrosit didapatkan path con- 3. Hereditary nephritis

122 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,,l 992


4. IgAnephropathy (Berger's diasease) lebih dari satu tahun disebut flomerulonephritis menahun (GNC).
II. Non-glomerular Pada umumnya hipertensi bertahan dan kadar ureum meningkat.
A. Urinary traet infection Dari tahun 1975 s.d. 1991 dirawat 2 kasus.
B. Idiopathie hyperealciuria
C. Nephrolithiasis Hereditary nephritis
D. Renal malformations Diagnosis ini dapat dipikirkan bila dalam suatu keluarga
1. Cystie kidneys penderita didapatkan lain anggauta dengan penyakit ginjal di-
E. Urinary tract obstruction sertai tuli syaraf.
1. Ureteropelvie junction obstruction
F. Sickle eell trait/disease IgA nephropathy (Berger's disease)
G. Tumors Disini terdapat proteinuri ringan disertai serangan gross
1. Wilms tumor hemaruti yang sering didahului oleh infeksi saluran nafas.
2. Leukemia Episode gross hematuri berlangsung selama 2 sampai 4
H. Truma hari. Di antara episode gross hematuri didapatkan hematuri
1. Loeal inflammation mikriskopik tanpa proteinuri (hematuri asimptomatik). Ini ber-
2. Foreign body beda dengan benign recurrent hematuria yang di antara epidose
3. External injury hematui tidak ada kelainan urin. Serangan gross hematuria pada
I. Interstitial nephritis IgA nephropathy dapat berlangsung selama 5 - 10 tahun.
1. Drug indueed; "allergie" Prognosis pada anak baik : 50% penderita anak dapat
Untuk Indonesia ditambahkan : Intoksikasi jengkol. sembuh seeara spontan dalam waktu 5 tahun, sedangkan 15%
akan mengalami progresi menuju insufisiensi ginjal dan hi-
HEMATURIA GLOMERULAR pertensi. Dalam hal ini biopsi ginjal dianjurkan.
Benign recurrent or persistent hematuria.
Selama ini dirawat hanya satu kasus, yaitu seorang anak HEMATURI NON-GLOMERULAR
wanita umur 3 tahun dengan kelainan hanya hematuria Akan dikemukakan intoksikasi oleh jengkol.
mikroskopik tanpa silindriuria, proteinuria negatip, tidak ada Diagnosis keracunan jengkol tidak sulit untuk diketahui,
edema dan hipertensi. IVP tidak menunjukkan kelainan. Obser- oleh karena penderitanya sendiri atau keluarganya selalu
vasi telah dilakukan selama 2 tahun. Hematuria mikroskopik memberi keterangan yang hampir sama satu sama lainnya :
dialami berulang kali setelah atau bersamaan dengan infeksi beberapa waktu setelah makan beberapa buah jengkol meng-
saluran pernafasan bagian atas. Selama pengawasan tidak pernah alami nyeri perut (kolik), sukar buang air kecil, nyeri waktu
dialami gross hematuria. Pengobatan hanya untuk infeksi salu- miksi dan disusul oleh air keneing yang merah.
ran pemafasan saja. Anamnesis keluarga tidak diketemukan Selama 5 tahun (1986-1991) di Lab. IKA Rumah Sakit.
kasus lain. Sumber Waras telah dirawat 9 kasus, 7 laki-laki dan 2 wanita,
Glomerulonephritis akuta dengan usia antara 41/2 tahun dan 12 tahun. Gejala nyeri perut
Gejala klinik terdiri atas edema (terutama sekiata kelopak dan kesukaran buang air keeil timbul sekitar 12 jam sampai 20
mata), oliguri, hipertensi, hematuri makroskopik, proteinuri, jam setelah makan buah jengkol sebanyak 3 sampai 6 biji. Seeara
dengan atau tanpa azotemi. GNA biasanya nampak setelah terperinci para penderita dapat menyebutkan bahwa urin berupa
penderita mengalami infeksi oleh group A beta-hemolytic strep- airi cuci beras berwama putih yang mengandung bahan seperti
tococcus 7 sampai 21 hari sebelumnya. Hanya strain tertentu pasir putih. Dua penderita, satu pria dan satu wanita, mengalami
mengakibatkan GNA, yaitu yang memiliki sifat nephritogenik retentio urinae hingga perlu kateterisasi. Edema pada penis
seperti type 12 pada pharyngitis dan type 49 pada pyodermi. dialami oleh dua penderita. Lima pasien mengalami gross hema-
Peningkatan titer-ASTO menunjukkan kebenaran infeksinya. turia. Semua penderita duipulangkan dengan baik setelah pe-
Komplemen serum C 3 menurun sedangkan C4normal. Penurunan rawatan 4 - 7 hari.
C 3 menunjukkan aktivitas GNA dan akan normal kembali Pengobatan terdiri atas pemberian bicarbonas natricus per
setelah 4 sampai 5 minggu. Bila setelah 8 minggu kadar C 3 os maupun perenteral sesuai keadaan penderita.
masih rendah dapat dipikirkan kemungkinan membranoproli- Dipandang perlu untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut
ferative nephritis, lebih-lebih bila disertai C4 yang rendah. apakah ada unsur hipersensitivitas pada keracunan jengkol.
Selama periode 16 tahun (1975 s.d. 1991) di R.S.S.W. telah Pertanyaan yang timbul adalah :
dirawat 52 kasus GNA. Semua pasien pulang sembuh tanpa 1) Mengapa dalam satu keluarga yang makan jengkol hanya
cacat. Sebagian besar didahului oleh infeksi saluran nafas bagian orang tertentu saja menderita keraeinan ?
atas: 2) Ada kesan bahwa jumlah buah jengkol yang dimakan tidak
mempengaruhi derajat penyakitnya. Dari kasus di atas ditarik
Glomerulonephritis chronica kesimulan sebagai berikut : dari 2 kasus yang ekstrim : satu
Bila genala klinik GNA berulang kali timbul selama masa penderita makan 3 buah dalam waktu 12 jam menunjukkan

Cermin Dunia Kedokteran. Edisi Khusus No. 81, 1992 123


keluhan nyeri perut, sedangkan penderita lain makan 6 buah baru pemeriksaan lain-lain seperti IVP tidak diperlukan
20 jam kernudian mengeluh sakit. Bila hematuri menetap (persistent) :
- pembiakan dan resistensi urin
PENDEKATAN DIAGNOSIS DAN EVALUASI HEMA- - kuantitatip protein urin 24 jam ((Esbaeh)
TURI PADA ANAK darah ureum, creatinin, komplemen C 3 dan C4
-
Bila hematuri makroskopik merupakan keluhan utama, – audiogram pada semua anggauta keluarga
penderita harus diobservasi di rumah sakit.
Pada anak dengan hematuri mikroskopik tanpa proteinuri, PENDEKATAN DIAGNOSIS HEMATURI MAK-
tanpa hipertensi dan faal ginjal dalam batas normal harus di- ROSKOPIK (GROSS) (Gauthier).
lakukan pemeriksaan urin lengkap berulang kali secara teratur
selama enam bulan. Bila hematuri tersebut persisten, evaluasi Gejala/keluhan : Kemungkinan diagnosis :
lebih lanjut harus dilaksanakan baik dengan berobat/kontrole Anamnesis :
jalan maupun masuk rumah sakit. * trauma * trauma
Tindakan pertama dalam evaluasi penderita anak dengan * infeksi saluran kemih * hematuri rekuren
hematuri adalah : membuat anamnesa yang lengkap mengenai atau infeksi streptokok glomerulonephritis
penderita sendiri, serta bila peruu j uga mengenai anggauta keluarga * dysuri, frekuensi; hematuri * infeksi saluran kemih
dengan sautu penyakit ginkal; melakukan pemeriksaan badan; terminal; nyeri suprapubie eystitis hemorrhagica
dan pemeriksaan penunjang : laboratorium urin dan darah. * nyeri abdomen * infeksi saluran kemih ke-
Rontgen, IVP., USG., eystoseopy. lainan-bawaan; tumor, batu
* serangan-serangan * hematuri rekuren
PEMERIKSAAN DASAR (FUNDAMENTAL) PADA ANAK hematuri sebelumnya
DENGAN HEMATURI (Gauthier, Lewy, Rose) : * oliguri * glomerulonephritis
1) Anamnesis : keluhan pada saat ini dan sebelumnya, pernah * telah mengalami gejala- * penyakit darah
dirawat sebelumnya dengan keluhan-keluhan/gejala sama; gejala perdarahan;
keadaan keluarga : – ada penyakit ginjal dalam keluarga, – Siekel eell
penyakit pendengaran (tuli), – sickle eell anemia. Pemeriksaan fisik :
Adapun nyeri perut, dysuria, oliguria, anuria; trauma : * edema, hipertensi * glomerulonephritis
hematuri pada akhir/permulaan miksi, hilang timbul (recurrent) * teraba tumor dalam * kelainan bawaan; tumor
atau penyakit saluran nafas/kulit. abdomen * trauma lokal
2) Pemeriksaan badan meliputi berat badan, tinggi badan, * genitalia ext. : laserasi * trauma lokal
riwayat hipertensi, edema (lokasinya). * gejala klin. penyakit * penyakit darah
Keadaan kulit :rash, petechiae, purpura, pyodermi; mata : perdarahan
funduseopy; gigi : earries, THT : tonsillopharyngitis; abdomen :
tumor; vesie urinaria penuh/kosong; suprapubie; genitalia ext. : Pemeriksaan penunjang
laserasi, edema (pada laki-laki dewasa : prostaat). Rotine :
3) Pemeriksaan penunjang meliputi : urine pagi : lab. lengkap – menilai urin dengan mata telanjang : hematuri/gumpalan darah
protein kuantitatip; kultur dan resistensi; darah : lengkap, BUN; – urin lengkap
creatinin, ASTO; komplemen C 3 , C 4 , sickle cell diasease dan – darah lengkap, ureum, creatini
Rontgen : IVP, USG, eystoscopy. (?) Selektip :
– kultur dan resistensi urin
PENDEKATAN DIAGNOSIS HEMATURI – protein urin , kuantitati dan kalsium
MIKROSKOPIK – darah : ASTO, komplemen C 3 dan C 4, sickle eell preparat
Bila trauma dan gejala infeksi saluran kemih dapat dis- Lain-lain :
ingkirkan, maka diagnosis banding kasus hematuri asimptoma- – Rontgen, IVP, USG;
tik yang persisten tanpa proteinuri adalah (Gauthier) : – Biopsi ginjal
1. Glomerulonephritis akuta yang dalam penyembuhan
2. Berger 's disease
Indikasi biopsi ginjal
3. Hereditary nephropathy
Menurut Gauthier :
4. Isolated microscopic hematuria
– hematuri bersamaan dengan proteinuri > 1000 mg/M 2/24 jam
Dalam hal ini pemeriksaan sedimen urin harus berulangkali – hematuri bersamaan dengan proteinuri sedang (100 -1000 mg
dilakukan. Keadaan harus diperhatikan, oleh karena hasilnya
per M2/24 jam yang persisten lebih dari 6 bulan
dapat tidak menetap (transient, atau menetap (persistent).
– anamnesis dalam keluarga ada dugaan hereditary nephro-
Pada keadaan tidak menetap (transient) : thy
- secara klinis tidak penting – gejala klinik yang persisten sampai remaja
- pemeriksaan ulang urin masih diperlukan

124 Cermin Dwtia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992


4. Pada hematuri yang persisten dan menahun perlu diadakan anamnesis
t Norman : keluarga.
tbila hematuri non-glomerular dapat disingkirkan 5. Prognosis dan pengobatan ditentukan oleh banyak faktor.
gaan keras ada nephritis atau "hematuri" dalam keluarga 6. Reassurance dengan mengetahui posisi penyakitnya untuk disampaikan
hematuri mikroskopik yang telah berlangsung lama disertai pada penderita atau anggauta keluarga adalah penting.
episode gross hematuria yang persisten (>_ satu tahun)
bersamaan dengan hipertensi dan nephrotic syndrome, atau KEPUSTAKAAN
infeksi sistemik
1. Alatas H. Penatalaksanaan hematuri pada anak. Dalam Kedaruratan pada
bersamaan dengan proteinuri yang signifikan dengan atau penyakit ginjal anak. PKB IKA XXII FKUI (Jakarta, 1990) hal. 113-126.
silinder selular dalam sedimen urin 2. Coe F L. Alterations in urinary function. In : R.R. Petersdorf et al (Eds)
kebutuhan keluarga untuk mengetahui diagnosisnya. Harrison's Principles of Internal Medicine, 10th ed. (Tokyo; McGraw-Hill,
1983). pp. 213-214.
3. Coe F L, Brenner B M. Diseases of the kidney and urinary tract. In : R.E.
IKASI RUJUKAN Petersdorf et al. (Eds) Harrison's Principles of Internal Medicine, 10th ed.
Anamnesis keluarga didapatkan glomerulonephritis, tuli (Tokyo; Mc Graw-Hill, 1983). p 1597.
, gagal ginjal menahun (chronic renal failure) atau trans- 4. Drummondi K N. diagnostic assesement. In : R.E. Behrman and V.C.
tasi ginjal. Vaughan III (Eds). Nelson Textbook of Pediatrics, 12th ed. (Philadelphia;
W.B. Saunders, 1983) pp. 1307, 1310-1311.
2) Serangan gross hematuria rekuren. 5. Gauthier B et al. Nephrology and Urology for the pediatrician, 1st ed.
3) Keluhan pans, arthritis atau arthralgia dan skin rash. (Boston; Little, Brown 1983) pp. 87-101.
4) Proteinuri yang berat tanpa hematuri makroskopik. 6. Houston I B. et al. Disorders of the urogenital system. In : John O. Forfar,
G.C. Ameil (Eds) Textbook of Pediatrics, 3rd ed. (New York; Churchill
5) Kenaikan kadar BUN dan kreatinin.
Livingstone, 1984) pp. 1045, 1067-1068.
6) Kekhawatiran dari pihak keluarga. 7. James, J.A. : Renal disease in childhood (St. Louis; Mosby 1972). p 58.
8. KassirerJP, Gennari FJ. Laboratory Evaluation of Renal Function. In : L.E.
PENGOBATAN DAN PROGNOSIS Early, C.W. Gottschalk (Eds). Strauss and Welt's Diseases of the Kidney,
Pengobatan dan prognosis hematuri ditentukan oleh banyak 3rd ed. (Boston; Little, Brown 1979). p. 72.
9. Lewy J E. Nephrology : Renal diseases. In : R.E. Behrman and R. Kliegman
faktor, di antaranya oleh perjalanan penyakit penyebabnya yang (Eds) Nelson Essentials of Pediatrics. (Philadelphia; Saunders 1990) pp.
tidak akan dibiearakan di sini. 564-566.
Benign persistent hematuria yang sering dijumpai di kamar 10. Norman, M E. An Office Approach to Hematuria and Proteinuria. Ped. Clin.
praktek tidak memerlukan terapi spesifik. Dalam hal ini penting of N. Am. 34 (3) : 545-552.
11. Papper S. Clinical Nephrology, 2nd ed. (Boston : Little, Brown, 1978). pp.
untuk memberikepereayaan (reassurance) padapenderitamaupun 193-6.
pada keluarga agar supaya tidak gelisah dan mengetahui, bahwa 12. Rose B D. Diagnostic approach to the Patient with Renal Disease. In : B.D.
prognosis baik pada jangka waktu yang lama. Aktifitas fisik tidal( Rose (Ed) Pathophysiology of Renal disease (New York; McGraw-Hill
1981). pp. 35-38.
perlu dibatasi. 13. Stapleton F B. Morphology of Urinaru Red Blood Cells : A Simple Guide
in Localizing the Site of Hematuria. Ped. Clin. of N. Am. 1987. 34 (3)
KESIMPULAN 561-569.
1. Urin berwama merah harus dibedakan antara hematuri yang sebenamya 14. Swartz M W. Hematuria. In : G R. Fleister, S. Ludwig (Eds). Textbook of
(eritrosit +). Ped. Emergency, 2nd ed. (Baltimore; Williams and Wilkins 1988). pp.
2. Tiap hematuri harus diobservasi, evaluasi berulang. 197-199.
3. Tujuan utama pada hematuri adalah mencari lokalisasi dan penyebabnya 15. Tambunan T. Aspek medik keracunan jengkol pada anak. Dalam Ke-
perdarahan. daruratan pada penyakit ginjal anak. PKB IKA XXII FKUI (Jakarta, 1990)
hal. 91-100.

Cermin Dania Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 125


Hematuri pada anak
aspek radiologi
Linda Supardi
Bagian Radiologi Rumah Sakit Somber Waras, Jakarta

Hematuri merupakan salah satu gejala yang sering disc- Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum
babkan oleh adanya kelainan pada traktus urinarius. Pemeriksaan pasien menjalani pemeriksaan ini, yaitu tidak dilakukan pada
radiologi merupakan penunjang diagnostik yang penting pada pasien dengan alergi zat kontras dan tidak dilakukan pada newborn
kasus-kasus urologi. infant karena adanya faktor imaturitas fungsi ginjal dan imaging
Banyak imaging diagnostic procedure yang dapat dilakukan yang dihasilkan tidak baik; pada anak yang tidak kooperatif
pada kasus urologi anak, apalabi saat ini alai diagnostik canggih pengerjaannya menjadi sulit.
sudah banyak diperkenalkan dan dipergunakan di Indonesia
khususnya di Jakarta ini. Namun sebaiknya dipilih Imaging MICTURATING CYSTO URETHROGRAPHY (M.C.U)
Procedure yang tepat dan terarah yang disesuaikan dengan Biasanya dilakukan untuk penilaian lower urinary tract atau
penemuan kelainan pada pemeriksaan klinis dan laboratoris untuk melihat adanya refluks vesicoureterie.
lengkap. Tindakan tidak mengenakkan anak karena untuk me-
Pemilihan imaging diagnostic procedure yang tepat akan masukkan kontras urographik secara retrograd ke dalam bull
mengurangi pembiayaan, risiko, rasa tidak enak (discomfort) dan dilakukan dengan bantuan kateter; selain itu perlu penanganan
juga penggunaan sinar-X. yang terjamin sterilitasnya karena tindakan ini bisa mengakibatkan
komplikasi infeksi dan atau luka traumatis.
PLAIN FOTO ABDOMEN (B.N.0) Pada kasus infant dan anak yang tidak kooperatif harus
Merupakan pemeriksaan dengan sinar X yang paling dilakukan di bawah kontrol fluoroskopi, sebab foto harus dibuat
sederhana, sering diperlukan untuk penilaian pendahuluan se- saat miksi, dan selain itu saat buli-buli penuh dan post voiding.
belum dilakukan pemeriksaan radiologi lainnya; dapat melihat
kalsifikasi intraabdomen, tumor mass, sistim skeletal. RETROGRADE URETHROGRAPHY (khusus untuk anak
Hasil foto akan lebih baik bila sebelum pembuatan foto laki-laki)
pasien dipersiapkan (cuci perut), untuk menghilangkan Untuk penilaian urethra anterior; sedangkan urethra pos-
kemungkinan sisa faeses yang akan mengganggu penilaian daerah terior kurang baik dilihat dengan tehnik ini karena pada pengisian
ginjal. Persiapan seperti ini sulit dilaksanakan pada kasus bayi/ kontras secara retrograd, urethra posterior kurang distended
anak kecil. akibat adanya spasme pada sphincter externa.
Dapat dibuat di klinik rontgen sederhana , tetapi batu ra- Kateter dimasukkan sedikit di ujung urethra anterior, lalu
diolusen tidal( terlihat pada plain foto. glans penis dijepit/dipencet dengan jari pemeriksa sewaktu
kontras disemprotkan melalui kateter.
INTRA VENOUS PYELOGRAPHY (LV.P.)
Merupakan prosedur dasar pada kasus urologi, berdasarkan
dieksresikannya zat kontras radioopak yang disuntikkan RETROGRADE PYELOGRAPHY (R.P.G)
intravena oleh kedua ginjal. Teknik ini terutama untuk menilai Merupakan tindakan yang lebih invasif karena memasukkan
anatomi traktus urinarius dan juga evaluasi fungsi ginjal. kateter ureter ke dalam ureter oleh dokter urologi dengan bantuan

126 Cernein Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


sistoskopi dalam keadaan pasien teranestesi; memerlukan GNC:
sterilitas yang tinggi, oleh karena itu di RSSW dilakukan di – kedua ginjal mengencil, smooth contour, collecting sys-
kamar operasi. tem normal.
Setelah kateter ureter didorong sampai pelvis renis (dipan-
tau dengan alat fluoroskopi), kontras disemprotkan. Bila ada 2) PYELONEPHRITIS :
obstruksi di ureter maka ureter kateter tidak bisa melewati Diagnostik imaging : BNO/IVP, USG, Nuelear imaging, ar-
obstruksi. teriografi renal, MCU.
Pemeriksaan ini hanya dilakukan bila pemeriksaan lainnya – PNA:
masih belum memberikan informasi yang diperlukan. – BNO/IVP pada kebanyakan kasus normal.
– kadang ginjal yang sakit sedikit membesar, opasifikasi
C T SCANNING sistim kalises agak lambat dan rendah.
Peralatan eanggih yang mempergunakan komputer, dapat – PNC:
memberikan imaging yang bagus, yang tidak dapat ditampilkan – BNO : contracted kidney.
oleh radiografi konvensional; bebas dari keterbatasan akibat – IVP : clubbing kalises yang terkena, parenchym yang
faktor superposisi dan dapat menghasilkan cross section imaging berdekatan mengisut, permukaan tak rata. Lama-kelamaan
dari tubuh. ginjal contracted. Gangguan ekskresi, poor function.
Bekerja berdasarkan adanya beda densitas dari berbagai 3) CYSTITIS :
organ tubuh dalam attenuasi X-ray yang dianalisa dengan kom- Pada anak dikenal : aeute hemorrhagie eystitis, Cytoxan
puter. cystitis, non speeifie tumor like eystitis; bisa phase akut dan
Selain memperlihatkan anatomi abdomen dapat juga untuk pad phase kronis. Acut hemorhagic cystitis sering ditemukan
menilai fungsi ginjal pada scan setelah penyuntikan kontras anak, viral infection/colli infection.
urographie intravena. Diagnostik imaging : BNO/IVP, cystogram, MCU. Pada
Merupakan prosedur pilihan untuk kasus trauma tumpul IVP/Cystogram : buli bundar, contour iregularity karena pe-
abdomen dengan kecurigaan kerusakan traktus urinarius, karena nebalan mukosa, small capacity, atau cobble stone pattern.
bisa memperlihatkan imaging yang sulit ditampilkan pada Gambaran ini bisa difus atau terbatas hanya pada basis buli./
BNO-IVP; juga sangat baik untuk kasus tumor ginjal. trigone, mild uretereetasis/refluks (kadang-kadang).
Bentuk kronis : eontraeted bladder, small capacity contour
NUCLEAR IMAGING ireguler, elevasi dan deformitas basis buli-buli dan kadang-
Untuk dapat memberikan data peneitraan (imaging) maka kadang obstruksi uretrovesical junction atau refluks.
organ tubuh harus dijadikan sumber radiasi sehingga dapat 4) BATU TRAKTUS URINARIUS :
diamati untuk menentukan besar/bentuk/letak organ Berta ke- Terdiri dari 80% batu opak, batu luscent (urate, xanthine,
lainannya : cystine); lokasi : kaliks, pielum, ureter, buli, urethra (laki-laki).
Dilakukan dengan menyuntikkan intravena radiofarmaka 75% kasus di tr. urinarius atas, 10% di tr. urinarius bawah.
yang akan memanearkan radiasi Gamma; Dapat dieatat dalam Diagnostic imaging : BNO/IVP, USG, RPG, MCU.
bentuk kurva (renogram) atau dibuat scanning oleh alat gamma BNO : batu opak terlihat (bisa di proyeksi ginjal, ureter, buli,
camera. urethra) batu luscent tak tampak pada BNO.
Pemeriksaan ini tidak spesifik. IVP : tergantung letak batu, ukuran dan tingkat obstruksinya.
Bisa terjadi gangguan ekskresi, opasitas kontras menurun, pem-
ULTRASONOGRAPHY bendungan hydroureter/hydronephrosis, pembesaran contour
Dibiearakan tersendiri. ginjal dengan smooth contour dan penipisan cortex. Batu buli
ANGIOGRAPHY umumnya opak laminated, batu urethra sangat jarang.
Merupakan tindakan invasif; baik untuk penilaian tumor, 5) GINJAL POLIKISTIK
trauma. Gejala : hematuri, hipertensi; sangat jarang pada anak,
autosomal resesif, berakibat fatal.
BEBERAPA PENYAKIT/KELAINAN DENGAN GEJALA Diagnostic imaging : BNO/IVP, USG, CT scan.
HEMATURI BNO/IVP : bila fungsi renal masih baik nephrogram membesar
bilateral, permukaan licin, batas/tepi tak tegas, densitas tidak
PERADANGAN homogen ada bayangan luscent pada parenkim ginjal. Streteh-
1) GLOMERULONEPIIRITIS : ing kalises karena terdesak pertumbuhan multikistik,
Diagnostik imaging : BNO/IVP, USG. Sering fungsi ginjal sudah menurun sehingga gambaran
– GNA: khas polikistik baru tampil pada late foto (12 - 24 jam).
– tidak ada gambaran khas pada BNO/IVP. Gambaran sistim Tr. urinarius lainnya baik.
– kadang ginjal membesar difus, smooth contour, collect- USG dan CT scan akan lebih baik menampilkan gambaran
ing system normal. ginjal polikistik.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992 127


6) TUMOR TR. URINARIUS : IVP : ginjal membenjol lokal (tergantung pole ginjal yang
Tumor ginjal : Wilms tumor, Renal eell Ca, Tumor sekun- kena). Massa tumor lebih dense dari parenchym normal. Kalises
der. tertekan dan tergeser menjauhi massa. Ureter/buli normal. Biladi
Tumor ureter : jinak (polip), ganas (primer)/sekunder (in- pool atas ginjal, DD/Neuroblastoma adrenal.
filtrasi/metastasis). USG danCTsean memperlihatkan tumor lebih balk. CT scan bisa
Tumor buli. menilai lebih luas, untuk kemungkinan terkenanya ginjal yang
Diagnostic imaging : BNO/IVP, USG, CT scan, Arteri- lainnya, ekstensi sekitar dan kemungkinan metastase (retroperi-
ografi. toneal) dan metastase jauh (hepar). USG : selain menampilkan
Wilms tumor : terbanyak pada Tr. urinarius dan merupakan gambaran tumor dengan balk, juga bisa menilai vena cava
tumor ganas anak tersering ditemukan. thrombus sebagai metastasis tumor Wilms.
Diagnostic imaging : USG, BNO/IVP, CT sean. Polip/tumor tr. urinarius lainnya sangat jarang pada anak.
BNO : soft tissue mass besar yang mendorong usus.

128 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992


Hematuri pada anak
aspek sonografi
Melani W. Setiawan
Unit Ultrasonografi Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran,
Universitas Tarumanagara, Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta

PENDAHULUAN HASIL
Masalah utama pada hematuria adalah banyaknya Tabel 1 menunjukkan 12 (31%) dari 38 penderita yang
kemungkinan penyebab. Penting untuk melokalisasi asal sel diperiksa mempunyai gambaran sonografi normal, sedangkan
darah merah dalam traktus urinarius. Penyebabnya dapat diduga pada 26 (69%) kasus ditemukan kelainan pada sonografi; 2 kasus
setelah mengetahui keluhan dan pemeriksaan fisik yang dapat menunjukkan kelainan minimal yaitu pelebaran ealyees dan
dikonfirmasi dengan berbagai pemeriksaan laboratorium yang ureter proximal. Kelainan yang terbanyak ditemukan adalah
sesuai. Hal ini mudah dilakukan dengan eara Out patient basis. adanya batu di traktus urinarius yaitu 8 (21%) kasus.
Terdapat berbagai pemeriksaan standar spud urinalisis, Pada kasus dengan kelainan parenkim ginjal tampak kortek
kultur urine, pemeriksaan darah, dan sitologi. Ultrasonografi yang lebih ekhojenik dibandingkan dengan hati dan limpa pada
(USG) pada anak memberi keuntungan antara lain : tidak me- 9 (25%) kasus. Sedangkan 5 (14%) dari 9 kasus tersebut disertai
makai radiasi, tidak invasif, m udah dan cepat dilakukan sehingga volume ginjal yang lebih besar dari normal (tabel 2).
bermanfaat untuk follow-up dan menemukan komplikasi. Tabel 3 menunjukkan 8 (21%0) kasus hematuria yang di-
Tujuan dari penelitian retrospektif ini adalah untuk menilai sertai tanda-tanda infeksi traktus urinarius. Di antaranya ter-
manfaat sonografi sebagai salah satu sarana penunjang diag- dapat 4 (10%) kasus dengan sistitis menunjukkan penebalan
nostik untuk mengevaluasi hematuria dalam mencari lokalisasi dinding buli-buli. Pada 1 anak perempuan berumur 4 bulan
dan penyebab adanya darah. ditemukan Wilm's tumor yang tidak diikuti perkembangan pe-
nyakitnya. Sedangkan satu anak dengan keeurigaan tumor buli-
BAHAN DAN CARA buli, pada USG tidak ditemukan kelainan.
Selama kurun waktu 5 tahun 4 bulan dan Januari 1987– Mei Pala trauma tumpul abdomen ditemukan 1 kasus dengan
1992 telah dilakukan 131 pemeriksaan USG traktus urinarius contusio ginjal kanan dan 1 kasus dengan hematoma pada pole
pada anak. Pada 38 (29%) anak mempunyai Wuhan kencing inferior ginjal kanan. Sedang pada 1 anak yang jatuh terduduk,
berwarna kemerahan atau mcrah-coklat. tidak ditemukan kelainan pada traktur urinarius.
Umur penderita berkisar antara 4 bulan sampai 13 tahun
dengan rata-rata 6 tahun 3 bulan, 24 laki-laki dan 14 perempuan. DISKUSI
Mereka berasal dari rujukan poliklinik 11 (30%) anak, rujukan Banyak penderita yang dikirim dengan keluhan hematuria
ruangan 20 (52%) anak dan perm intaan konsultasi dari sejawat di tanpa dilengkapi dengan data klinis dan pemeriksaan penunjang
luar Rumah Sakit 7 (18%) anak. yang lain sehingga menyulitkan diagnostik danfollow-up pende-
Umumnya data klinis pada surat permintaan sangat terbatas rita yang bcrsangkutan.
dan tidak menunjukkan tipe atau beratnya hematuria. Path penelitian ini dari 131 anak yang dikirim untuk pe-
Pemeriksaan dilakukan dengan memakai alat Toshiba SSA meriksaan USG, 38 (29%0) datang dengan keluhan hematuria. Ini
90 A dcngan transduser Iinier dan sektor 3,75 MHz. sesuai dengan Foreman yang melaporkan bahwa hematuria/

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81.1992 129


Table 3. Correlation of ultrasound findings and the outcome
Tabel 1. Findings of sonography in 38 patients
Indication Ultrasound findings Outcome
No %
Hematuria 2 n.p. Ro : no urolithiasis
Normal findings 12 31 1 dilated calyces
Minimal changes 2 5 1 dil. cal. + ureter prox. UTI
Echogenic cortex 5 9 24 2 nephrolithiasis RK/LK 1 i.f.0
+ nephromegaly 5
Urinary calculi 8 21 H + Dysuria 1 n.p. Ro : no vesicolit, GNA
Renal 4 Suspect 1 nephrolithiasis RK Surgery : no vesicolit.
Bladder 3 vesico- 1 vesicolithiasis + HN IVP
Urethra 1 lithiasis 2 vesicolithiasis 2 i.f.0
Bladder wall thickening 4 10 1 urethrolihiasis Urethrolithotripsy
Tumor 1 3 proximal
Contusion/HIematoma 2 5
H + Suspected 4 n.p. IVP
glomerulo 9 cortex more echogenic 7 GNA
nephritis - (5 nephromegaly) 1 GNA + hyperten. nephrop.
1 GNC + hyperten. nephrop.
Tabel 2. Correlation of sign & symptoms with ultrasound findings
IH + Suspected 3 n.p. 1 Upper UTI
Sign & Symptoms US abnormal findings Total UTI 2 Lower UTI
1 nephrolithiasis RK Lower UTI
HHematuria 4 6 4 bladder wall thickening 4 Cystitis
H H + Dysuria 5 5
HH + glomerulonephritis 9 13 H + Suspected 1 n.p. 2 i.f.0
HH+UTI 5 8 tumor 1 Wilm's tumor LK
H H + Tumor 1 2 H H + Trauma 1 n.p.
11 + Trauma 2 3 1 contusion RK US : normal RK
1 hematoma
Total 26 (69%) 38 pole inferior RK

Keterangan :
np. = nothing particular
proteinuria merupakan alasan kedua yang tersering (25%) dari i.f.u. = lost to follow-up
1/N = hydronephrosis
penderita yang dikirim ke rumah sakit t ' 1. Batu dalam traktus
urinarius sebagai penyebab hematuria ditemukan pada 20% anak-anak kelainan ini jarang ditemukan(10) . Kami hanya
kasus (2). USG dapat menemukan semua batu ginjal dan buli-buli menemukan satu penderita dengan tumor Wilm.
yaitu dalam 21% kasus kami. Trauma tumpul abdomen merupakan masalah yang eukup
Beberapa peneliti melaporkan bahwa sensitifitas USG string ditemukan pada anak-anak. Umumnya USG eukup
sama akurat dengan foto polos untuk mendiagnosis batu sensitif untuk mendeteksi trauma pada ginjal, terutama untuk
ginjal(3' 4) . Kami berpendapat bahwa kekurangan USG hanya follow-up komplikasi seperti : kista, jaringan parut dan lain-
lain .
(15)
dalam menemukan batu keeil di ureter, seperti pada 2 kasus
dengan dilatasi kalikses dan ureter proximal secara sonografi Pada 12 (31%) kasus yang tidak ditemukan kelainan pada
tidak ditemukan penyebabnya. Pada keadaan ini foto polos sonografi, didapat sebagai diagnosis akhir 4 glomerulonephritis
mungkin dapat membantu 0 . akuta, 3 infeksi saluran kencing, 1 tidak dapat ditelusuri dan 4
Pada kolik ureter USG dapat dipakai sebagai initial (10%) kasus tanpa kelainan/diagnosis. Sedangkan Perone yang
screening modality (6)• Bila obstruksi ureter masih stadium dini, melakukan peneil tian pada 250 kasus menemukan bahwa dengan
mungkin belum ditemukan dilatasi proximal, maka Pyelografi pemeriksaan yang sesuai, etiologi dari hematuria-berulang dapat
Intra Vena (PIV) tetap merupakan pilihan utama(4.'''). ditemukan path lebih dari 80% kasus
Path 9 dari 13 anak dengan kecurigaan glomerulonephritis
dapat dikonfirmasi secara klinis dan laboratoris. Pada 5 dari 9
KESIMPULAN
kasus ini juga ditemukan parenkim ginjal yang Iebih tebal;
Gambaran USG abnormal ditemukan pada 69% kasus
menurut Paivansalo hal ini hanya ditemukan path kelainan
tubulo-interstitial. Diagnosis kelainan parenkim ginjal harus dengan hematuria. Batu traktus urinarius merupakan kelainan
yang paling sering ditermukan yaitu pada 8 (21%) penderita.
dikorelasi dengan gambaran klinis dan hanya dapat dibuktikan
2)
dengan biopsi ginjal( 4.9.10 •' yang akan lebih mudah dan tepat bila Kortex ginjal yang lebih ekojenik ditemukan pada 9 (24%) kasus
dibimbing dengan USG('). kelainan parenkim ginjal, tetapi harus dikorelasi dengan
gambaran klinis dan diagnosis pasti baru dapat ditegakkan
Dalam mencari penyebab mikro-hematuria pada orang
dengan biopsi ginjal.
dewasa USG lebih bermanfaat dari IVP misalnya untuk men-
diagnosis keganasan dari traktus urinarius(9,13,14), tetapi pada Hematuri pada anak umumnya disebabkan oleh infeksi, batu
atau kelainan parenkhim ginjal. Ultrasonografi dapat dipakai
130 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992
sebagai cara pertama untuk melakukan evaluasi pada hematuria 6. Erwin BC, Carroll BA, Sommer FG. Renal colic : the role of ultrasound in
terutama path gross-hematuria walaupun pada beberapa kasus initial evaluation. Radiology 1984; 142: 147-50.
7. PlattJF, Rubin JM, Bowerman RA, Mam CS. The inability to detect kidney
masih diperlukan diagnostik imejing lain. disease on the basis of echogenicity. AJR 1988; 151: 317-319.
Bahan dari penelitian ini hanya sedikit, karena itu masih 8. Spencer JA, Lindsell DR, Mastorakou I. Can ultrasound replace the
diperlukan pengalaman lebih banyak untuk dapat menarik ke- intravenour urogram ? Br J Radiol 1990; 63 : 247-8.
simpulan yang lebih akurat. 9. Murakami S, Igarashi T, Hara S, Shimazaki J. Strategies for asymptomatic
microscopic hematuria : a prospective study to 1,034 patients. J Urol 1990;
144 : 99-101.
10. Perrone HC, de Moya L, Martini Filho D, de Moura LA, et al. Recurrent
KEPUSTAKAAN hematuria in children : study of 250 cases. AMB 1989; 35 : 167-70.
11. Paivansalo M, Huttunen K, Suramo I. Ultrasonographic findings in renal
1. Foreman JW, Chan JC. 10-year survey of referrals to a pediatric nep-
hrology program. Child Nephrol Urol 1990; 10 : 8-13. parenchymal diseases. Scand J Urol Nephrol 1985; 19 : 119-123.
12. Pettersson E. Diagnosis in hematuria. Nord-Med 1990; 105: 151-3.
2. Abuelo HG. Evaluation of Hematuria. Urology 1983; 21 : 215.
13. Howard RS, Golin AL. Long-term follow-up of asymptomatic microhema-
3. Middleton WD, Dodds WJ, Lawson TL, Foley WD. Renal calculi :
sensitivity for detection with US. Radiology 1988; 17 : 239-44. turia. J Urol 1991; 145 : 335-6.
4. Spencer JA, Lindsell DR, Mastorakou I. Ultrasonography compared with 14. Aslaksen A, Gadeholt G, Gothlin JH. Ultrasonography versus intravenous
intravenous urography in the investigation on adults with haematuria. urography in the evaluation of patients with microscopic haematuria. Br J
BMJ 1990; 301 : 1074-6. Urol 1990; 66 : 144-7.
5. Lewis-Jones HG, Lamb GHR, Hughers PL. Can ultrasound replace the 15. Moel DI. Urinalysis, investigation of hematuria and renal biopsy. Clin
intravenous urogram in the preliminary investigation of renal tract disease. Pediatr Urol 1985; 2 : 1093.
Br J Radiol 1989; 62 : 977-80. 16. Swischuk Le. Abdominal trauma with hematuria. Pediatr 1990; 66 : 247-8.

Cermin Dwtia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 131


Hematuri pada anak
aspek urologi
Zainal Abidin
Bagian Bedah Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta

Sebagian besar penyebab hematuria pada anak adalah infeksi bisa dilakukan pemeriksaan Voiding Cysto Urography
glomerulonephiritis dan infeksi saluran kencing. Orang tua atau (VCUG) untuk menilai ada tidaknya reflux vesieo ureter. Jika
dokter harus memperhatikan dan mengevaluasi lebih lanjut apa- hematuria menetap, makin berat atau hilang timbul, atau pada
bila warna keneing anaknya merah atau seperti minuman eoca pemeriksaan urogram curiga adanya lesi di kandung kencing atau
eola. Batasan mikro hematuria bila jumlah sel darah merah lebih urethra perlu pemeriksaan Urethrosistoskopi.
dari 5 per lapang pandang besar. Urutan kasus urologi yang sering menimbulkan hematuria
Panting untuk menentukan penyebab dan lokalisasi dari pada anak ialah : trauma, obstruksi, batu, urethritis dan neo-
hematuria. Penyebab hematuri seeara garis besar dibagi dalam 2 plasma(').
grup :
I) Penyebab Renal :
A) Glomerulopathies : TRAUMA SALURAN KEMIH :
1. Primer, misal : Glomerulonephritis A) Trauma ginjal pada anak
2. Sistemik, misal : Hemolytic Uremic Syndrome Trauma ginjal pada anak mudah terjadi dibandingkan
B) Non Glomerular Renal Bleeding dengan orang dewasa oleh karena proteksi daerah sekitar ginjal
1. Sistemik, misal : Sickle cell trait and disease tidak sebaik pada orang dewasa dan ukuran ginjal relatif lebih
2. Vaskuler, misal : Renal venous thrombosis besar. Laki-laki lebih sering dibanding wanita.
3. Parenchymal: Hematuri merupakan tanda yang paling sering pada trauma
Infeksi — Pyelonephritis ginjal, selain adanya riwayat trauma daerah pinggang atau daerah
-
Obstruksi : — Ureteropelvic junetion abdomen sisi lateral.
-
Diagnosis ditegakkan dengan PIV untuk menilai derajat
- Ureterovesical reflux
— Nephrolithiasis trauma dan fungsi gin jal sisi kiri dan kanan. Sonografi dikerjakan
Neoplasma - Wilms Tumor karma mudah dan tidak invasif. Sonografi bisa menilai kondisi
-
Trauma parenchym ginjal, lokalisasi dan derajat hematoma, apakah intra
-
II) Penyebab Post Renal : renal, subcapsular atau ekstra renal. Pada kondisi tertentu perlu
- Urolithiasis pemeriksaan renal scan, angiografi renal atau retrograd pie-
- Cystitis & Urethritis lografi.
- Trauma Derajat trauma ginjal dibagi dalam :
Di antara penyebab di alas yang berhubungan dengan kasus 1) Kontusio ginjal.
urologi adalah : obstruksi, neoplasma, trauma, urolithiasis, eys- Terjadi lebih kurang 85% dari trauma ginjal. Didapatkan
titis dan urethritis. hematoma ginjal, tapi kapsul ginjal masih utuh.
Apabila ada gejala mikrohematuria tanpa disertai protein uri, Pada PIV gambaran system pelviokalises ginjal normal.
harus dibuat Pyelografi Infra Vena (PIV) dan bila ada kecurigaan Terapi : konservatif.

132 Cermin Dunia Kedoiaeran Edisi Khusus No. 81,1992


2) Ruptura ginjal. Teraba masa ginjal
Bisa sederhana maupun berat. Sekitar 10% dari trauma Nyeri ketok kostovertebra
-
ginjal. Terjadi robekan parenchym dan kapsul ginjal. Nausea dan vomitus
-
Pada PIV didapatkan ekstra vasasi dari kontras atau daerah Pemeriksaan lanjutan : PIV; Voiding Cystourography
non-visualisasi/luscent karena kerusakan parenehym ginjal. (VCUG) pyelografi retrograd dan sonografi.
Terapi perlu tindakan eksplorasi operatif. Terapi dengan operasi Pyeloplasty.
3) Ruptura pedikel ginjal. 2) Vesico Ureteral Reflux
Bisa terjadi perdarahan yang hebat, sehingga keadaan umum Normalnya, air kemih yang sudah masuk ke dalam kandung
penderita jelek. Pada PIV tidak nampak visualisasi kontras. kemih tak bisa mengalir ke ureter, disebabkan sistem muara
Terapi perlu penanganan segera dengan eksplorasi operatif. ureter ke kandung kemih berupa flap. Aliran kembali atau
reflux terjadi akibat kelainan kongenital atau sistitis, terutama di
B) Trauma ureter pada anak daerah muara ureter.
Jarang terjadi karena keeil dan lentur, serta proteks i ja- Gejala klinik biasanya didahului adanya ISK; kadang-ka-
ringan sekitarnya cukup baik. Trauma tembus benda tajam dang disertai hematuria.
lebih sering daripada trauma tumpul. Keluhan utama ialah Pemeriksaan lanjutan : VCUG; PIV dan sistoskopi.
adanya riwayat trauma dan hameturia. Terapi mulai dari konservatif menghilangkan ISK sampai
Diagnosis ditegakkan dengan PIV. dengan tindakan operatif Uretero Neo Sistostomy. Apabila
Terapi dengan eksplorasi operatif. infeksi susah diberantas, gangguan fungsi ginjal dan per-
ubahan anatomi dari sistim pelvioealises.
C) Trauma kandung kemih pada anak 3) Batu saluran kemih pada anak
Kandung kemih pada anak relatif lebih ke arah intra Batu saluran kemih pada anak relatif jarang dibandingkan
peritoneal dan proteksi oleh tulang pelvis kurang baik dibanding dengan orang dewasa. Gejala yang timbul biasanya gross
orang dewasa. Trauma daerah kandung kemih sering disertai hamaturia, uro-sepsis, nyeri eostovertebra, kolik, terutama bila
fraktur os. pelvis. Pada anamnesis didapatkan keluhan riwayat batu bergerak di ureter. Kadang-kadang terjadi anuria bila batu
trauma daerah supra simpisis, nyeri supra simpisis, susah miksi menyumbat urethra.
dan hematuri. Bisa terjadi miksi tiba-tiba berhenti dan mengalir kembali
Aseites timbul bila ada rembesan urine ke dalam rongga pada perubahan posisi bila batu berada di buli-buli.
intraperitoneal. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan Pemeriksaan lanjutan dengan PIV. Sonografi sangat ber-
sistografi. Sistokopi dikerjakan bila diagnosis masih meragukan. guna untuk menilai batu radio luscen, misalnya batu urat, batu
Terapi dengan eksplorasi operatif. sistin.
Terapi pada prinsipnya pengeluaran batu dengan beberapa
D) Trauma Urethra pada anak cara, antara lain :Konservatif, operasi, lithotripsi mekanik atau
Trauma pada daerah urethra anterior jarang terjadi. Trauma ESWL (Extra Corporal Shock Wave Lithotripsy).
daerah bulbus urethra sering akibat straddle injury biasanya
jatuh pada posisi terduduk.
Trauma daerah urethra posterior biasanya trauma tumpul
SISTITIS DAN URETHRITIS PADA ANAK
dan sering diikuti oleh fraktur ossis pubis. Pada anamnesis
Hemorrhagic cystitis sering menyebabkan hematuria. Pe-
didapatkan keluhan riwayat trauma, darah menetes di orifieium
nyebabnya bisa bakteri, virus, parasit (Schistosoma hemato-
urethra eksterna, hematuria, kesulitan miksi.
bium), obat-obat immunosupresif dan anti neoplasma yang
Pemeriksaan radiologi dengan urethrografi.
diinstilasikan ke dalam buli-buli radiasi.
Terapi dilakukan pemasangan kateter tanpa atau dengan
Blood spotting pasca miksi pada anak laki-laki bisa di-
tindakan operatif.
karenakan adanya divertikulum urethra.
OBSTRUKSI
Faktor obstruksi yang sering memberikan keluhan utama NEOPLASMA
hematuria : Wilms tumor atau renal embryoma atau nephroblastoma
1) Ureteropelvic junction obstruction (Subpelvic Stenosis) adalah tumor ganas yang paling sering ditemui pada anak
Penyebabnya: (± 95%). Diagnosis mudah, oleh karena akan terlihat dan
a) Bendungan mekanik dari luar, misalnya pembuluh darah teraba massa di daerah abdomen. Gross hamaturia didapatkan
yang menyeberang. hanya sekitar 12 - 25%. Gejala lain ialah demam, anemia dan
b) Kelainan neurogenik. hipertensi.
Bisa terjadi unilateral maupun bilateral. Pemeriksaan lanjutan : PIV, USG dan kadang-kadang perlu
Gejala dan tanda-tanda yang didapat : renal angiografi maupun retrograd pyelografi.
Hematuria, kadang-kadang pyuria Terapi : nephrektomi dan khemoterapi.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81. 1992 133


4. Malek R S. Urolithiasis. Clinical Pediatric Urology. 2nd ed. Vol. II; 1985,
KEPUSTAKAAN p 1093.
1. Abuelo JG. Evaluation of Hematuria. Urology 1983; 21 (3) : 215. 5. McDougal W S. Persky L. Traumatic injuries of the Genitourinary System.
2. Cook W W. King L R. Vesico Ureteral Reflux. Urology 1979; 11 : 1596. Vol I, Baltimore; Williams & Wilkins, 1981.
3. D'Angio G J. Duckettir Jr. J W, Belasco J B. Tumors, Upper Urinary Tract. 6. Moel D I. Urinalysis, investigation of hematuria dan Renal biopsi. Clinical
Clinical Pediatric Urology, 2nd Vol. II, 1985, p 1157. Pediatric Urology. 2nd ed. Vol II, 1985 p. 1093.

134 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khurus No. 81,1 992


II. SEVIPOSIUM SATELIT: PSIKOLOGI ANAK

Pendekatan Psikologis terhadap Anak


yang dirawat dan sikap Orang Tua
Prof. Singgih D. Gunarsa
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia , Jakarta

ANAK SAKIT DIRAWAT DI RUMAH SAKIT 3. Lama : lebih dari satu minggu
A. Keadaan anak 4. Berulang-ulang.
1) Anak sakit dan telah dirawat di rumah. Mungkin baru Lamanya seorang anak drawat di rumah sakit mempe-
beberapa hari, mungkin sudah dirawat lebih lama. Pemindahan ngaruhi pendekatan-pendekatan yang harus dilakukan, sedangkan
dari perawatan di rumah ke perawatan di Rumah Sakit, me- ketepatan melakukan pendekatan (yang merupakan bagian dari
nimbulkan masalah tersendiri, antara lain karena perbedaan perawatan) akan mempengaruhi proses kesembuhan anak. Pada
kualitas, larangan (peraturan) dan disiplin. anak yang dirawat hanya dalam waktu singkat, pemulihan di-
2) Dirawat secara tiba-tiba misalnya karena sakit atau keee- arahkan pada hal-hal yang traumatik. Sedangkan pada anak yang
lakaan, menimbulkan kegoneangan tersendiri (traumatik). Anak dirawat cukup lama, bahkan mungkin tergolong lama, perlu
harus menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang baru, perhatian terhadap adanya efek :
berbaring di tempat tidur, menghadapi perawat dan dokter yang a) Pembiasaan : Terbiasa dilayani, diperhatikan, dibantu, merasa
barn dikenalnya. disayang, sehingga dapat muncul suatu reaksi untuk memper-
Baik keadaan nomer 1 ataupun nomer 2 di atas, anak tahankan "sakitnya" agar terus mempereoleh perlakukan yang
membutuhkan dorongan, kekuatan, baik melalui ueapan atau menyenangkan (secondary gain, instumental behaviour).
kehadiran fisik orang tua dan yang tentunya disesuaikan dengan b) hambatan emosi pada anak-anak yang terlalu lama dirawat
umur anak. di rumah sakit, sehingga jarang memperoleh respons afeksional-
emosional (misalnya ucapan yang menyenangkan) dan
B) Alasan anak dirawat mengakibatkan timbulnya gejala yang dikenal dengan istilah
1) karena gangguan organis yang jelas. Sesuatu yang mudah hospitalism dan yang kemudian mempengaruhi kondisi fisik
terlihat misalnya karena patah kaki atau penyakit lain. secara umum pada anak.
2) Karena gangguan non-spesifik seperti muntah-muntah, sakit c) Metabolik, karena aktivitas yang terbatas sehingga kondisi
lambung atau kejang-kejang. fisik dan berat badan menurun secara drastis.
3) Karena faktor psikogenik misalnya tidak mau makan (ano- d) Tugas sehari-hari pelajaran sekolah yang tertinggal dan
rexia nervoda). menumpuk setelah sembuh, menimbulkan ketegangan tersendiri.
Dengan memperhatikan latar belakang anak dirawat di Sikap penuh pengertian, khususnya dari orang tua, sangat diper-
Rumah Sakit, maka sikap-sikap dan ueapan-ueapan dari semua lukan.
pihak yang merawat (termasuk keluarga) perlu disesuaikan dan
mendasarkan pada sikap umum yang tujuannya adalah suppor- D) Umur anak
tive (memberi dukungan dengan membesarkan hatinya). 1. Bayi
2. Pra-sekolah
C) Lamanya anak dirawat 3. Usia sekolah
1. Singkat : 1— 2 hari Pada anak ada ciri-ciri umum sesuai dengan tahapan per-
2. Sedang : 3 — 6 hari kembangan (disamping ciri-eiri khusus sesuai dengan priba-

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 31, 1992 135


dinya) dan karena itu semua jenis perlakuan (perawatan) perlu (attachment) antara anak terhadap ibunya masih sangat kuat,
menyesuaikan hal ini. Menghadapi dan merawat anak usia empat maka dengan keadaan terpisah, akan menimbulkan keeemasan-
tahun, delapan tahun dan 12 tahun, harus berbeda-beda. keeemasan.
Banyak peneliti mengemukakan hasil penelitiannya, bahwa
E. Latar belakang anak keadaan terpisah antara anak (khususnya pada anak yang masih
1) Kondisi atau suasana keluarga. Corak hubungan antara kecil dan ketergantungannya masih besar) dengan ibu kan-
pribadi dalam keluarga, akan mewarnai anak yang sedang dira- dungnya, pada mulanya akan memberikan efek marah (anger),
wat. Orang tua, juga anggota keluarga berperan besar dalam melawan (hostility) dan perilaku mundur (regressive behaviour,
"perawatan psikis" anak, faktor yang penting dalam proses seperti mudah menangis dan mengompol), setelah itu reaksi
penyembuhan dan kesembuhan anak. lebih lanjut ialah mendekap terus menerus (clinging) sebagai
2) Urutan anak dalam keluarga. Sebagai anak sulung, anak laki reaksi dari sikap tidak mau atau takut terpisah lagi. Untuk
satu-satunya, anak tunggal, yang berpengaruh terhadap per- mengatasi hal ini, perlu ada kerja sama antara pihak rumah sakit
kembangan pribadinya dan perikalku selama dirawat. dengan orang tua, khususnya ibu kandungnya.
3) Kepribadian anak. Merupakan gambaran umum dari warna
pribadinya yang terbentuk dari banyak faktor, diperlihatkan
dalam berbagai ciri khusus dan yang perlu diperhatikan dalam
proses perawatan. B. Kondisi psikis anak yang sakit
1) Bertumpu pada kenyataan adanya kesatuan antara badan
F) Lingkungan dan kondisi perawatan dan jiwa (body and mind unity) yang saling mempengaruhi.
1) Lingkungan atau ruangan. Sesuatu yang jelas tergantung Keadaan sakit (organis) menimbulkan kegoncangan psikis
dari kelas tempat anak dirawat. Namun patokan umum tetap (antara lain emosi) dan sebaliknya ketegangan yang dialami
berlaku : Tidak ada tempat, ruangan, kamar perawatan yang dapat menbulkan hambatan kefaalan (psikofisologik) dan lebih
dirasakan nyaman bagi anak. Berbagai peraturan jelas mem- lanjut psikosomatik.
batasi kebebasan anak, apalagi kalau harus mengikuti prosedur Memahami kenyataan ini akan memahami pula bahwa pada
perawatan dengan peralatan-peralatannya seperti pengambilan anak yang hal ini jelas menggoneangkan stabilitas emosinya.
darah untuk pemeriksaan, injeksi, infus dan pemeriksaan lain Namun harus segera diatasi agar tidak menimbulkan reaksi-
yang harus dijalani. Masih termasuk lingkungan perawatan ini, reaksi negatif dan tidak rasional atau tercekam pada kekha-
di mana anak harus menyesuaikan yang kadang-kadang tidal( watiran yang berlebihan (overanxious). Penjelasan mengenai
mudah ialah : ventilasi, lampu penerangan, bau-bauan. keadaan anak secara objektif namun kadang-kadang perlu
2) Di dalam lingkungan perawatan, anak kehilangan tokoh mempertimbangkan ucapan, terminologi dan pengkalimatan
yang biasa membantu dalam memenuhi berbagai kebutuhan, yang baik dari pihak rumah sakit, sangat diperlukan. Dalam hal
sehingga kehadiran orang tua acap kali diperlukan, khususnya ini harus diingat bahwa orang tua adalah salah satu faktorpenting
pada permulaan anak dirawat. dalam proses penyembuhan anak yang sakit.
3) Perawat sebagai tokoh pengganti ibu (substitute mother) C. Kekhawatiran yang berlebihan dapat menimbulkan sikap
yang dalam kenyataannya memang harus berganti-ganti, tidak melidungi yang berlebihan pula (overprotection) yang dam-
khususdan jugabertugas sesuai dengan jadwal waktunya, mudah paknya tidak baik bagi anak yang bersangkutan dalam kaitan
menimbulkan penilaian tersendiri, antara lain penilaian baik atau dengan perkembangan pribadinya, bagi saudara-saudaranya
kurang baik. (kalau ada) dan bagi orang tua sendiri yang "hilang kepercayaan
4) Dokter sebagai tokoh sentral harus dianggap sebagai "malai- dirinya".
kat" atau "tangan Tuhan" yang akan menyembuhkan anak, dan D. Perlu perubahan sikap dan perlakuan orang tua, khususnya
hubungan dokter-pasien, harus merupakan hubungan yang dapat pada anak yang dirawat dan yang sebab utamanya adalah gangguan
mencipta keyakinan (rapport), bahwa ia akan dapat menyem- non-spesifik atau psikogenik. Penyesuaian diri kembali (read-
buhkan. justment) membutuhkan waktu yang eukup, khususnya terhadap
tugas sehari-hari di sekolah. Banyak anak yang mengalami
FAKTOR PSIKOLOGIS PADA ANAK YANG DIRAWAT ketakutan sekolah (school-phobia), bahkan mogok sekolah
A. Kecemasan terpisah (separation anxienty) (school refusal) karenakesulitan menghadapi pelajaran-pelajaran
Khususnya pada anak yang masih kecil, di mana keterikatan sekolah yang tidal( atau belum dapat diatasi.

136 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992


Batuk Kronik padaAnak
Herman Sidharta
Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Rumash Sakit Sumber Waras,
Jakarta

PENDAHULUAN Berulang yaitu : Batuk yang disebabkan oleh berbagai etiologi


Batuk bukanlah suatu penyakit tersendiri, tetapi merupakan yang berlangsung sekurang-kurangnya dua minggu berturut-
manifestasi klinis utama dari banyak penyakit saluran nafas turut dan/atau berulang paling sedikit tiga episode dalam waktu
yang paling sering pada anak yang datang periksa pada dokter. tigabulan dengan/atau tanpa diserta ge jala respiratorik/nonrespi-
Sebagai gejala, batuk adalah suatu refleks yang dieetuskan oleh ratorik lainnya.
maeam-maeam rangsangan pada reseptor-reseptor batuk yang Karena batuk kronik sebagai gejala klinis mempunyai eti-
terdapat pada mukosa sepanjang saluran nafas mulai dari faring ologi yang sangat beranekaragam sehingga diagnosis diferen-
sampai bronkioli sebagai upaya untuk membersihkan saluran sialnyapun luas, maka anamnesis yang baik serta pemeriksaan
nafas dari sekresi yang berlebihan atau benda-benda asing lain- fisik yang cermat menduduki tempat yang utama dalam meng-
nya. Selain di dalam saluran nafas, reseptor-reseptor batuk juga evaluasi pasien-pasien ini. Pemeriksaan-pemeriksaan laborato-
terdapat pada pleura, diafragma, perikardium, bahkan di dalam rium dan lain-lain tanpa didasari petunjuk-petunjuk dari hasil
meatus eksterna telinga. anamnesis dan pemeriksaan fisik hampir selalu tidak akan
Bila gejala batuk ini menjadi berkepanjangan atau sering mengungkapkan apa-apa.
berulang dalam jangka waktu tertentu, di samping dapat me- Untuk penatalaksanaan batuk kronik yang sebaik-baiknya,
nimbulkan berbagai komplikasi, juga menyebabkan keresahan disini akan diuraikan secara singkat mengenai etiologi, anamne-
pada orangtua sehingga batuk kronik ini sering menjadi masalah sis, pemeriksaan fisik dan sedikit disinggung mengenai pe-
dan merupakan tantangan yang dihadapi para dokter yang meriksaan-pemeriksaan penunjang dan terapi.
menanganinya. Dalam hubungan ini kita dituntut untuk melakukan
pendekatan klinis dan evaluasi yang cermat dan rasional untuk ETIOLOGI
sedapat mungkin menghindarkan dilakukannya pemeriksaan- Frekuensi BKB tergantung pada jenis infeksi/kelainan dan
pemeriksaan atau test-test yang mahal dan tidak perlu. Anamnesa golongan umur.
yang lengkap dan pemeriksaan fisik yang teliti memegang per- 1. Etiologi menurut urutan frekuensinya
anan yang dominan. a) Paling sering :
Dalam upaya untuk menentukan definisi batuk kronik, di- - Infeksi saluran atas yang berulang
kenal dua pengertian yaitu : batuk yang berlangsung terus- Penyakit saluran nafas reaktif (asma); pencetusnya sering
-
menerus atau membandal (persistent), dan yang berulang yaitu adalah infeksi viral.
timbul secara episodik dalam kurun waktu tertentu (recurrent). b) Sering :
Karena suing sulit untuk membedakan batuk yang persisten dari - Alergi
batuk yang rekuren, maka tercipta istilah batuk kronik berulang Sinusitis
-
(BKB) yaitu batuk yang bertahan lama dan/atau timbulnya - Iritatif : polusi udara (debu, asap rokok, dll)
berulang. Dalam Kongres Nasionak Ilmu Kesehatan Anak Infeksi : pertusis, TBC, mycoplasma, chlamydia.
-
(KONIKA) tahun 1981 telah disepakati definisi Batuk Kronik c) Jarang :

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 137


– Benda asing, terutama anak-anak yang sedang belajar jalan ANAMNESIS
(umur 1 – 3 tahun). Dengan bekal pengetahuan yang memadai tentang etiologi
– Mekanismepembersihan saluran nafas yang terganggu seperti serta diagnosa diferensial, anamnesis dibuat selengkap-
pada kistik fibrosis, bronkiektasis, immotile cilia syndr. lengkapnya sebagai sumber informasi yang berharga dan me-
– Kelainan kongenital : fistula trakheo-esofageal, refluks megang peranan dominan dalam membuat evaluasi batuk kro-
gastro-esofageal atau kelainan-kelainan yang menekan saluran nik; anamnesis selain ditujukan pada keluhan batuknya sendiri,
nafas dari luar. sebaiknya juga meneari keterangan-keterangan lain misalnya
yang menyangkut kesehatan anak itu pada umumnya seperti :
2. Faktor umur 1) Status kesehatannya selama ini.
Golongan umur merupakan faktor predisposisi dari BKB. 2) Gangguan kesehatan/penyakit-penyakit yang telah dideri-
a) Bayi (sampai 1 tahun) : tanya.
• Kelainan-kelainan kongenital : fistula trakheo-esofageal, 3) Pernah tidaknya dirawat di rumah sakit.
laryngeal cleft, batuknya mulai sejak lahir. 4) Pengobatan apa saja yang pernah diberikan padanya.
• Infeksi kongenital dan neonatal : pnemonia interstisial dan 5) Bagaimana pertumbuhan dan perkembangannya.
bronkitis yang disebabkan oleh rubella kongenital atau CMV, 6) Berat badan yang terus-menerus menyusut.
pnemonia chlamudia trachomatis (batuk stakato yang dimulai 7) Aktivitas yang makin mengurang.
sekitar umur 6 minggu dan sering didahului atau disertai inclu- 8) Febris yang berkepanjangan.
sion conjunctivitis). Hal-hal ini bisa sangat membantu menilai serius tidaknya
• Aspirasi : susu, isi lambung sering tidak terpikirkan. Bisa keadaannya dan pula dapat memberikan pengarahan yang
sebagai akibat inkoordinasi antara refleks menelan dan meng- positif pada upaya kita melakukan pendekatan diagnostik.
hisap, kelainan motilitas esofagus, refluks gastro-esofageal, fis- Mengenai batuknya ditanyakan :
tula trakheo-esofageal. Bila ada kecurigaan ke arah itu, se- 1) Sudah berapa lama; dalam 1 tahun terakhir ini berapa kali
baiknya observasi waktu anak diberi minum. mengalami penyakit batuk ?
• Asma juga tidak jarang terdapat pada usia 1 tahun pertama. 2) Waktu-waktu batuk : terus-menerus, pada waktu-waktu
• Kistik fibrosis : batuk kronik disertai gangguan gastrointes- tertentu, siang hari, malam, bangun tidur pagi.
tinal (diare, malabsorpsi) dan pertambahan berat badan yang 3) Faktor-faktor pencetus : euasa, debu, exercise, merokok
sangat kurang. Batuknya bisa paroksismal dengan wheezing dan aktif/pasif.
bisa menyerupai pertusis. 4) Nada batuk : serak, nyaring, kering, basah, menggonggong,
b) Usia prasekolah (1 – 5 tahun) : disertai mengi (wheezing), muntah.
• Bronkitis viral berulang dan bronkitis alergik/bronkitis 5) Bil keluar dahak : jernih, kuning, hijau, eampur darah.
asmatik merupakan 2 penyebab utama. Tipe batuk dalam hubungannya dengan patologinya :
• Infeksi bakterial, myeoplasma. 1) Produktif : bronkitis, bronkiektasis, kistik fibrosis.
• Bronkitis yang berkaitan dengan infeksi kronik saluran 2) Kering/melengking : infeksi saluran nafas alas, trakheitis,
nafas atas : sinobronkitis. psikogen.
• Penyakit reaktif : asma. 3) Menggonggong : laringitis (croup).
• Penyakit paru supuratif : kistik fibrosis, bronkiektasis, 4) Batuk disertai wheezing : asma, bronkitis, asmatik, benda
atelektasis kronik. Batuk produktif tanpa remisi. asing.
• Aspirasi benda asing. 5) Batuk dengan stridor : obstruksi laring, subglotis, trakhea.
e) Usia sekolah (5 – 15 tahun) : Penting juga diketahui waktu-waktu batuk :
• Bronkitis viral berulang. 1) Paroksismal : pertusis, benda asing, kistik fibrosis, infeksi
• Asma. ehlamydia, mycoplasma.
• Iritatif : merokok (aktif/pasif), debu, gas-gas. Lamanya 2) Batuk malam : sinusitis, alergi saluran nafas atas, asma.
batuk bisa berminggu-minggu sampai berbulan-bulan bila tidak 3) Bangun tidur pagi : bronkitis, kistik fibrosis, bronkiektasis.
diambil tindakan peneegahan. 4) Setelah exercise : saluran nafas reaktif (asma), kistik fibro-
• Pnemoni mycoplasma. sis, bronkiektasis.
• Batuk psikogenik (tic cough). Suara batuknya biasanya 5) Hilang waktu tidur : psikogen (habit cough).
keras mirip bunyi angsa (honking) dan seperti dibuat-buat untuk 6) Waktu makan/minum : fistula trakheoesofageal, refluks
menarik perhatian. Anak batuk-batuk bila mengalami stress/ gastroesofageal.
eemas dan waktu tidur batuknya hilang. Bila keluar sputum :
• Postnasal drip. Batukkarenarangsanganmengalirnyasekret 1) Jerniah mukoid : pada umumnya karma alergi, asma,
dari daerah nasofaring ke bawah. bronkitis asmatik.
d) Yang umum pada semua golongan umur : 2) Parule : penyakit supuratif (infeksi bakterial, kistik fibrosis).
• Bronkitis viral yang berulang. 3) Bereampur darah : benda asing, bronkiektasis, kistik fibro-
• Asma. sis.
• Pertusis. 4) Berbau busuk : infeksi anaerobik, bronkiektasis.

138 Cermin Dunia KedoKteran Edisi Khusus No. 81,1992


PEMERIKSAAN FISIK menentukan batas bagian yang akan diambil.
Perhatikan : 9) Lain-lain.
1) Gizi. Test Mantoux/PPD (proses spesifik), sweat test (kistik
2) Kelainan saluran nafas atas : rhinitis alergik, infeksi kronik fibrosis), Imunoglobulin IgE (alergi), IgA IgG IgM (imu-
sinus sering mempunyai hubungan dengan penyakit paru supu- nodefisiensi), test serologi untuk myeoplasma dan bila perlu
ratif. biopsi paru untuk identifikasi bakteri.
3) Bentuk toraks : barrel-shaped menunjukkan ke arah asma,
bronkiektasis. TERAPI
4) Frekuensi pernapasan : pada umumnya eepat. Yang ideal tentu terapi etiologi. Namun tidal( kalah
5) Auskultasi : pentingnya juga pengobatan suportif, simtomatik atau tin-
– Wheezing ekspiratorik yang difus karakteristik untuk dakan-tindakan preventif, sesuai basil evaluasi klinis kita.
asma. 1) Antibiotik sesuai indikasi :
– Wheezing lokal : pikiran benda asing atau penyempitan Infeksi bakterial : sputum purulen, pertusis, proses spesifik,
saluran nafas karena pendekanan eksternal, misalnya kelenjar kistik fibrosis, sinusitis.
yang membesar. 2) Antitusif : batuk iritatif/kering.
– Suara pemapasan yang melemah lokal juga mempunyai arti 3) Fisioterapi : batuk produktif, misalnya postural drainage,
sama wheezing lokal. ini lebih bermanfaat daripada mukolitik atau ekspektoran. Bisa
– Ronkhi basah pada umumnya terdengar pada kelainan paru ditambah dengan humidifikasi.
yang difus seperti pnemonia, atelektasis, edema interstisial, 4) Karena batuk kronik sering merupakan manifestasi penya-
fibrosis atau karena adanya penyempitan saluran nafas. Perlu kit saluran nafas reaktif (asma), penggunaan bronkhodilator
dibedakan antara ronkhi awal inspirasi dan rohkhi akhir inspirasi. dapat dicoba sekalian sebagai diagnostik.
Ronkhi awal inspirasi berkaitan dengan obstruksi saluran nafas 5) Beberapa tindakan preventif :
seperti asma, bronkhiss. Ronkhi akhir inspirasi terdapat pada ▪ Mengurangi kemungkinan terkena infeksi saluran nafas
kelainan yang bersifat restriktif misalnya infiltrat, edema, yang berkelanjutan.
atelektasis, fibrosis. • Membujuk orangtua agar tidak merokok di dalam rumah.
– Finger clubbing bisa ditemukan pada penyakit paru supu- • Menghindari/mengurangi kontak dengan alergen-alergen
ratif : kistik fibrosis, bronkiektasis. yang potensial dan pollutan-pollutan lainnya di dalam maupun
di luar rumah.
PEMERIKSAAN LAIN • Anak dengan refluks gastro-esofageal sebaiknya jangan
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dapat memberi makan/minum berlebihan dan setelah selesai dipertahankan
petunjuk apakah diperlukan pemeriksaan penunjang": dalam posisi tegak selama beberapa jam.
1) Pemeriksaan radiologis.
X-foto toraks hampir selalu diperlukan anak dengan batuk
kronik. Yang dapat ditemukan mungkin : infiltrat, atelektasis,
eorakan brankhovaskuler yang kasar, emfisema, benda asing
yang radio-opak, dll. Foto barium bila ada persangkaan fistula RINGKASAN
trakhel-esofageal. Foto sinur paranasal sesuai indikasi. Batuk sebagai manifestasi nonspesifik dari bermaeam-
2) Sputum. macam proses patologis saluran pernapasan merupakan keluhan
Pewarnaan Gram, Ziehl-Nielsen, biakan bila diperlukan. yang paling sering pada anak. Penyebabnya sangat ber-
Pada asma ditemukan banyak sel-sel eosinofil. aneka ragam, sehingga penyakit yang ditumbulkannyapun
3) Pemeriksaan darah. bermacam-macam, dari yang ringan sampai yang dapat
– Netrofilia : infeksi bakterial. mengancam jiwa. B ila gejala tersebut terus berlanjut walaupun
- Limfositosis : pertusis. sudah dalam penanganan dokter, keadaan tersebut sering
- Limfositopenia : infeksi viral, imunodefisiensi. menimbulkan kekuatiran pada orangtuanya dan untuk dokter-
– Eosinofilia : penyakit alergi, infeksi cacing, pnemonia nyapun merupakan tantangan.
chlamydia. Batuk pada anak pada umumnya adalah akut, self-limit-
8) Bronkhoskopi dan bronkhografi. ing, disebabkan oleh infeksi viral saluran nafas atas dan tidak
Bronkhoskopi bila perlu untuk menyingkirkan diagnosis memerlukan terapi khusus atau pemeriksaan laboratorium
aspirasi benda asing atau untuk mengeluarkan benda asing dan dsb. Bila batuknya terus berlanjut tanpa ditemukannya ke-
melihat adanya anomali trakheobronkhial. lainan-kelainan yang serius, maka pada umumnya penyebabnya
Bronkhografi tidak selalu perlu pada persangkaan adalah asma bronkhial atau bronkhisit viral yang berulang.
bronkhiektasis karena diagnosis biasanya sudah bisa dibuat Dalam melakukan pendekatan diagnostik, anamnesis
atas dasar manifestasi kliniknya dan foto polos. Tindakan ini lengkap dan pemeriksaan fisik yang eermat memegang peranan
terutama diindikasikan bila akan dilakukan operasi untuk dominan.

Cermin Dunia Kedokteran F_disi Khusus No. 81, 1992 139


EVALUASI BKB
KEPUSTAKAAN
ANAMNESIS, PEMERIKSAAN FISIK
Pem. darah rutin, PPD, X-foto

UMUR 1. Nelson Textbook of Pediatrics, 13th ed. 1987.


2. Kendig's Disorders of the Respiratory Tract in Children, 5th Ed. 1990.
3. Pediatric Emergency Medicine, 2nd Ed. 1988.
I
Bayi Usia prasekolah 4. Chronic Cough in Children. Pediatr. Clin. N. Am. 1991; 38 : 3.
Usia sekolah
(0–1 th) (1 – 5 th) (5 – 15 th) 5. Evaluation and Treatment of chronic Cough in Children. Pediatr. Clin. N.
Am. 1979; 16 : 3.
DAPAT MENEMUKAN SEBABNYA ? 6. Long-term Sequelae of Respiratory Illness in Infancy and Childhood.
Pediatr. Clin. N. Am. 1979; 26 : 3.
TIDAK Y'A 7. Chronic Bronchitis Complex in Children. Pediatr. Clin. N. Am. 1984;
31:4.
TRIAL TERAPI 8. Risk Factors Associated with the Development of Chronic Lung Disease in
BRONKHODILATOR SESUAI SEBABNYA Children. Pediatr. Clin. N. Am. 1984; 31:4.
9. Immulogic Mechanisms in Pulmonary Disease. Pediatr. Clin. N. Am. 1988;
ADA BATUK TIDAKI ADA 35:5.
RESPONS BERTAHAN RESPONS 10. The Wheezing Infant. Pediatr. Clin. N. Am. 1988; 35 : 5.
11. Early/Late Response Model : Implications for Control of Asthma and
SAL. NAFAS Chronic Cough in Children. Pediatr. Clin. N. Am. 1988; 35 : 5.
REAKTIF I 12. Marjanis Said : Penatalaksanaan Sinobronkitis pada Anak, PTB – IKA ke
RUJUK EVALUASI VII, FKUI, 1988.
KHHUSUS

FOTb SINUS SWEAT TEStf

NORMAL ABNOIiIVIAL POSITIF NEGATIF

FOTO KISTIK
BARIUM SHNUSITIS FIBROSIS IMUNOGLOBULIN

ABNORMAL NORMAL ABNORMAL NORMAL

OBSERVASI
1 – 2 bin. IMUNODEF BIOPSI MUKOSA
NASAL /TRAKHHEAL
untuk penilaian cilia
r
RGE FTE – VASCULAR RING
– LARYNGEAL CLEFT
I I
ABNORMAL NORMAL

IMMOTILE BRONKOSKOPI
CHLIA SYNDR.

140 Cermin Dunia Kecok1eran Ediri Khusus No. 81. 1992


Batuk Kronik pada Anak
ditinjau dari Bidang THT
Oemi Alifa Tadjudin
Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok,
Rurnah Sakit Sumber Waras, Jakarta

PENGANTAR ukuran 0.5 X 0.5 X 0.5 em. Pada orang dewasa ukuran itu ialah
Batuk ialah suatu ekspirasi eksplosif sebagai cara paru-paru 3X3X2,5cm.
dan salurannya untuk membersihkan diri atau sebagai refleks Sinus etmoidalis mulai terbentuk pada fetus berumur6 bulan
bring bila mukosa laring terangsang baik oleh benda asing dan teridir atas beberapa rongga. padaperkembangan selan j utn ya
endogen maupun eksogen, radang, polutan, atau alergen. Oleh terbagi menjadi sinur etmoidalis anterior yang rongganya kecil
sebab itu laring sering juga disebut sebagai an jint penjaga (wacth dan sinus etmoidalis posterior dengan rongga besar.
dog) untuk saluran napas bawah. Sinus frontalis mulai dibentuk pada anak umur 1 tahun
Batuk harus digolongkan sesuai dengan : sebagai perluasan dari sinus etmoidalis anterior.
1. Waktu atau dalam situasi apa timbulnya. Misalnya apakah Sinus sfenoidalis terbentuk pada umur 3 – 5 tahun.
hanya timbul pada waktu bekerja; dalam hal itu mungkin dise- Sinus maksilaris, frontalis, dan etmoidalis jugadisebut sinur
babkan oleh zat yang merangsang atau elergen. paranasalis posterior bermuara di meatus superior.
2. Posisi badan. Pada penderita bronkitis, bronkiektasis, dan Karena sinus etmoidalis dan maksilaris sudah terbentuk
sinusitis batuk lebih banyak timbul sewaktu penderita berbaring. sejak lahir, maka kedua sinus itu yang paling sering terserang
3. Produktif atau nonproduktif. sinusitas pada anak, terutama sinus etmoidalis. Sinus pada bayi
Batuk kronis pada anak di bidang THT selain disebabkan baru lahir kadang-kadang terinfeksi oleh ibunya atau perawat
oleh alergi paling sering disebabkan oleh sinusitis. Pada lima terutama pada waktu pembersihan lubang hdung bayi dari cairan
tahun terakhir di Jakarta banyak ditemukan sinusitis, yang ketuban dengan kapas yang dilinting. Insiden sinusitas ber-
mungkin disebabkan tingkat polusi yang meningkat. Sinusitis tambah pada umur 3 tahun dan meningkatpada umur 5 -6 tahun,
pada bayi dan anak seeara Minis sudah dapat timbul sejak karena anak-anak mulai masuk sekolah sehingga dapat terpapar
kehidupan awal. Karena ukuran rongga sinus lebih kecil dari bermacam virus dan bakteri. Di samping itu juga ada pengaruh
muaranya, maka walaupun rinitis oleh karena virus dapat men- pembesaran tonsil dan adenoid.
jalar ke antrum dan merusak silia, tetapi lendir dalam antrum
dapat dengan mudah dikeluarkan sehingga tidak mudah terjadi PATOFISIOLOGI
retensi lendir. Sinusitis pada bayi sukar diketahui secara radiologis,
sehingga dapat berlanjut menjadi kronis dan mengakibatkan
EMBRIOLOGI SINUS PARANASALIS penebalan/udem mukosa yang lama kelamaan menyebabkan
Pada waktu lahir belum semua sinus paranasalis berbentuk. penyumbatan osti um. Hal itu berakibat udara dalam sinus diserap
Sinus maksilaris mulai terbentuk pada embrio hari ke 85 dan dan terjadi efusi cairan di dalam rongga sinus yang mudah
berkembang terus sehingga pada waktu dilahirkan mencapai terinfeksi menjadi epyema.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 141


Karena sinus paranasalis merupakan bagian saluran 5) Nyeri ketuk.
napas bagian atas, maka infeksi saluran napas bagian Las dapat 6) Batuk yang tidak produktif.
menjalar ke sinus dan menyebabkan sinusitis. Kuman spesifik Path sinusitis kronis ditemukan :
penyebab sinusitis tidak ada. Sinusitis lebih sering disebabkan 1) Demam umumnya tidak ada kecuali jika pada eksaserbasi
adanya faktor predisposisi seperti : akut.
1) Gangguan fisik akibat kekurangan gizi, kelelahan, atau 2) Lendir di hidung dan nasofaring (postnasal discharge)
penyakit sistemik. yang jika turun ke daerah hipofaring/laring dapat menyebabkan
2) Gangguan faal hidung oleh karena rusaknya aktivitas silia batuk terutama di malam hari.
oleh asap rokok, polusi udara, atau karena panas dan kering. 3) Gejala faring berupa rasa mengganjal, sakit tenggorok,
3) Kelainan anatomi yang menyebabkan gangguan saliran atau rasa kering.
seperti : 4) Gejala di telinga berupa tinitus, rasa penuh, dan pen-
a) Atresia atau stennsis koana. dengaran terganggu karena tuba Eustachius tersumbat lendir
b) Deviasi septum. atau radang.
c) Hipertroti konka media. 5) Nyeri kepala dan rasa berat di kepala tak seberat path
d) Polip yang dapat terjadi pada 30% anak yang menderita sinusitis akut.
fibrosis kistik.
e) Tumor atau neoplasma. Sinusitis kronis sering disertai bronkitis, bronkiektasis
f) Hipertroti adenoid. atau asma bronkial sehingga disebut sinobronkitis.
g) Udem mukosa karena infeksi atau alergi. Tanta-tanda sinusitis :
h) Benda asing. 1) Sinusitis akut :
4) Berenang dan menyelam pada waktu sedang pilek. Kadang-kadang ada pembengkakan di daerah pipi/kelopak
5) Trauma yang menyebabkan perdarahan mukosa sinus par- mata.
anasalis. • Nyeri ketuk di daerah terserang.
6) Kelainan immologi kongenital seperti pada sindroma Kar- • Pada rinoskopi anterior ditemukan : mukosa konka hi-
tagenerisinusitas, situs inversus, dan bronkiektasis), sindroma peremis dan udematik dan lendir mukopurulen di meatus medius.
Down, san sindroma Hurler (mukopolisakaridosis). Pada rinoskopi posterior ditemukan lendir di nasofaring.
7) Kelainan imunologi didapat seperti imunodefisiensi karena 2) Sinusitis kronis :
leukimia dan immosupresi oleh obat. • Pembengkakan daerah pipi/kelompak mata tidak ada.
Menurut perjalanan penyakit sinusitis dapat di bagi men- • Lendir di meatus medius, superior, dan lebih sering tampak
jadi : jelas di nasofaring.
1) Sinusitis akut jika infeksi berlangsung dari beberapa hari Gejala sinusitis pada anak agak berbeda daripada gejala
sampai beberapa minggu. sinusitis pada umumnya karena rasa sakit dan nyeri tak begitu
2) Sinusitis sabakut jika infeksi berlangsung dari beberapa dirasakan. Harus waspada jika path anak ditemukan :
minggu sampai beberapa bulan. 1) Ingus mukopurulen yang persisten.
3) Sinusitis kronis jika infeksi berlangsung dari beberapa bulan 2) Laringitis yang berulang atau persisten.
sampai beberapa tahun. 3) Batuk kronis terutama di malam hari.
Perluasan infeksi ke tempat lain dapat terjadi secara trom- 4) Ada kulit pecah-pecah atau keropeng kehijauan di sekitar
boflebitis, langsung dari ulserasi, mekrosis dinding sinur, atau hidung.
hemahogen. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis:
Faktor yang menyebabkan sinusitis akut berubah menjadi 1) Transiluminasi : jika sarana radiologi tidak ada, dapat di-
kronis ialah : lakukan transiluminasi. Dengan pemeriksaan transiluminasi hanya
1) Sinusitis akut yang berulang. dapat dilihat sinus maksilaris dan frontalis. Transiluminasi sukar
2) Gangguan saliran. dilakukan pada anak.
3) Pengobatan yang tidak adekuat. 2) Radiologi : untuk dapat melihat semua sinur paranasalis
4) Adapenyakitsistemisseperti diabetes melitus dan leukemia. diperlukan tiga posisi, yaitu Caldwell, Waters, dan lateral.
3) CT-Scan : akan tampak lebih jelas tetapi mahal.
4) Sinokopi dengan menggunakan teleskop dengan sudut
GEJALA DAN TANDA SINUSITIS pandang 0° dan 30°.
Path sinusitis akut umumnya ditemukan :
1) Gejala sistemik berupa demam, lesu, sakit kepala. PENGOBATAN
2) Hidung tersumbat dan rasa pcnuh di wajah. Prinsip pengobatan ialah menghilangkan gejala, mem-
3) Keluar ingus kental. berantas in feksi, dan menghilangkan penyebab. Pengobatan dapat
4) Rasa nyeri di daerah sinus yang terserang atau di tempat dilakukan dengan cara konservatif dan pembedahan.
lain sebagai nyeri alih. Pengobatan konservatif terdiri dari :

142 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992


1) Istirahat yang cukup dan udara di sekitarnya harus bersih paling sering ialah ke arah mata sebagai perluasan infeksi dari
dengan kelembaban yang ideal 45 – 55%. sinus etmoid melalui dinding lateral sehingga menyebabkan
2) Antibiotika yang adekuat paling sedikit selama 2 minggu. selulitis orbita atau abses peri-orbita. Mula-mula timbul udem di
3) Analgetika untuk mengatasi rasa nyeri. sekitar kelopak mata, nyeri, kadang-kadang eksoftalmus. Juga
4) Dekongestan untuk memperbaiki saluran yang tidak boleh dapat timbul proptosis dan epifora.
diberikan lebih daripada 5 hari karena dapat terjadi rebound 2) Osteomyelitis dan sub-periostal abases : Sering disebabkan
congestion dan rinitis medikamentosa. Selain itu pada pem- oleh sinusitis frontalis, kadang-kadang oleh sinusitis maksilaris
berian dekongestan terlalu lama dapat timbul rasa nyeri, rasa yang asalnya gigi melar.
terbakar, dan rasa kering karena atrofi mukosa dan kerusakan 3) Komplikasi ke arah kranial :
silia. • Meningitis.
5) Antihistamin jika tersangka ada faktor alergi. • Abses ekstradural dan subdural.
6) Kortikosterioid dalam jangka pendek jika ada riwayat alergi • Abses otak.
yang agak parah. • Trombosis sinus kavernosus.
7) Diatemi dengan UKS untuk membantu mengurangi rasa
nyeri dan tanda radang lainnya. PENUTUP
8) Penghisapan lendir dengan cam displacement therapy, yaitu Batuk kronis pada anak harus dieurigai juga kemungkinan
menukar lendir dalam sinur dengan larutan efedrin 0.5 – 1.5% anak menderita sinusitis. Sinusitis path anak dapat terjadi sejak
tetapi eara ini sulit dilakukan pada anak di bawah umur 10 tahun bayi tetapi insidensnya lebih banyak path anak di alas 3 tahun.
karena biasanya tidak kooperatif. Harus waspada jika anak menderita banyak batuk pada malam
9) Irigasi sinus maksilaris : pada anak biasanya dilakukan hari atau menjelang pagi, ingus mukopurulen yang persisten,
dengan narkose dan pada anak di atas 4 tahun umumnya se- laringitis yang berulang atau yang persisten, adanya kulit yang
kaligus dilakukan adenoidektomi. pecah-pecah atau keropeng kehijauan di sekitar hidung.
Pengobatan operatif dilakukan hanya jika ada gejala sakit Pengobatan sinusisit sebaiknya dengan antibiotika paliang
yang kronis, otitis media kronika, bronkitis kronis, atau ada sedikit 2 minggu tetapi harus juga menghilangkan faktor pre-
komplikasi seperti abses orbita atau komplikasi abses intrakra- disposisi yang menyebabkan gangguan saliran untuk mencegah
nial. komplikasi yang mungkin timbul.
Prinsip operasi sinur ialah untuk memeprbaiki saliran salu-
ran sinus paranasalis yaitu dengan cara membebaskan muara
sinus dari sumbatan. Operasi dapat dilakukan dengan alai si-
KEPUSTAKAAN
noskopi (1-"ESS = functional endoscopic sinus surgery).
1. Adams G L Boines Jr L R Paparella M M. Boies's Fundamentals of
KOMPLIKASI Otolaryngology. Chapter 11 : Acute and chronic sinus disease. Hal 393-
414.
Saat ini komplikasi sinusitis jarang terjadi karena adanya 2. Aleya 0 E Van, Maxillary sinus. Dalam : Disease of the Nose, Throat, and
antibiotika spektrum luas. Komplikasi sinusitis biasanya terjadi Ear, Jackson C, Jackson C L (eds), Philadelphia; W B Saunders, 1959. Hal
pada sinusitis akut atau pada eskaserbasi akut dari sinusitis 43-64.
kronis. Timbulnya komplikasi karena terapi yang tidak adekuat 3. Aleya 0 E Van, Frontal sinus. Dalam : Disease of the Nose, Throat, and Ear,
Jackson C, Jackson C L (eds), Philadelphia; W B Saunders, 1959. Hal 64-
atau terlambat. Hams waspada jika ada gejala seperti di bawah 77.
ini : 4. Aleya 0 E Van, Ethmoid sinus. Dalam : Disease of the Nose, Throat, and
1) Sakit kepala menyeluruh yang menetap. Ear, Jackson C, Jackson C L (eds), Philadelphia; W B Saunders, 1959. Hal
2) Muntah. 77-88.
5. Aleya 0 E Van, Sphenoid sinus. Dalam : Disease of the Nose, Throat, and
3) Kejang. Ear, Jackson C, Jackson C L (eds), Philadelphia; W B Saunders, 1959. Hal
4) Panas tinggi atau menggigil. 88-97.
5) Udema atau bertambahnya pembengkakan di daerah dahi 6. Burman H J. Intracranial complications of rhinogenic infection. Dalam :
atau kelompak mata. Diseases of the Nose, Throat, and Ear. Jackson C, Jackson C L, (eds) Phila-
delphia; W B. Saunders, 1959. Hal. 97-104.
6) Penglihatan kabur, diplopia, atau sakit di daerah retrobulber 7. DeWeese D D, Saunders W H. Textbook of Otolaryngology. St. Louis: C.
yang menetap. V. Mosby, 1973. Hal. 240-270.
7) Tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial. 8. English G M. Sinussitis. Dalam : Otolaryngology Vol. 2, Bab 21. New
York; Harper & Row, 1981.
9. Jazbi B, Sinusitis in infants and children. Dalam : Pediatric Otorhinolaryn-
Komplikasi yang dapat ditemukan : gology : A review of ear, nose, and throat problems in children, Bab 13. New
1) Penyebaran ke arah mata : Pada anak-anak komplikasi yang York: Appleton-Century-Crofts, 1980. Hal 143-157.

Cermin Dunia Kedoxteran Edisi Khusus No. 81,1992 143


Konsep baru penatalaksanaan
Asma Bronkial pada anak
E.M. Dadi Suyoko
Sub Bagian Alergi - Imunologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rurnah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN PENATALAKSANAAN PASIEN ASMA BRONKIAL


Asma bronkial adalah suatu penyakit yang dapat mengenai PADA ANAK PADA GARIS BESARNYA DIBAGI DALAM
semua golongan umur. Penyakit ini biasanya dimulai pada masa 2 BAGIAN
anak, bahkan seringkali pada usia kurang fari 1 tabula Walaupun 1. Upaya pencegahan
terdapat kemajuan pesat dalam pemahaman mekanisme pato- 2. Penggunaan obat-obatan.
genesis dan perkembangan obat-obat asma yang baru, tetapi
angka kejadian dan angka kejadian kematian tetapi tidak me-
nurun. Beberapa faktor yang mempengaruhi keadaan ini dian- UPAYA PENCEGAHAN(2,3)
taranya diganosis yang tidak tepat, pengobatan yang kurang Seperti ditekankan pada konsep patogenesis asma yang
memadai dan kurang patuhnya pasien dalam mengikuti petunjuk baru, peran inflamasi dan reaksi hiperreaktivitas bronkus sangat
dokter. panting untuk terjadinya serangan sama. Berarti kalau kita dapat
Patogenesis asma bronkial terutama yang kronik, tidak menghindarkan atau mengurangi faktor-faktor yang dapat me-
hanya disebabkan oleh bronkokonstriksi saja tetapi terutama nyebabkan terjadinya hiperreaktivitas bronkus, diharapkan
juga disebabkan oleh adanya proses inflamasi dan hiperreaktivi- serangan asma pada anak dapat dicegah atau dikurangi.
tas, jadi penggunaan obat anti asma merupakan kombinasi obat Upaya pencegahan ini bahkan dapat dimulai sewaktu anak
bronkodilator, obat anti inflamasi dan obat-obat yang dapat tersebut masih dalam kandungan. Seorang ibu yang mempunyai
menekan hiperreaktivitas bronkus (1)' . bakat atopik dianjurkan untuk mengurangi makanan yang ber-
sifat alergenik tinggi, baik selama hamil maupun pada masa
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan penatalaksanaan menyusui, karena sensititasi dapat terjadi akibat lewatnya pro-
asma bronkial pada anak yang lebih tepat dan rasional didasar- tein yang bersifat alergenik baik melalui plasenta maupun air
kan pada patogenesisnya. Diharapkan dengan penatalaksanaan susu ibu. Juga anak yang dilahirkan dari keluarga yang atopik
yang barik, angka kejadian, prognosis dan angka kematian dapat sebaiknya menunda pemberian makanan atau minuman yang
diperbaik. bersifat alergenik tinggi (telur, susu sapi, sea food, dsb.)
Sebagian besar anak dengan asma yang berusia lebih dari 5
TUJUAN PENATALAKSANAAN (2 tahun biasanya mempunyai faktor alergi sebagai dasar. Faktor
1. Menekan dan menghilangkan gejala seminimal mungkin, pencetus yang bersifat khusus dan spesifik bilamana dapat
kalau bisa sampai babas serangan sama sekali. diidentifikasi harus dihindari semaksimal mungkin. Usaha untuk
2. Dapat men jalankan aktivitas kehidupan sehari-hari (di rumah, mengidentifikasi faktor peneetus ini dapat dilakukan dengan
di sekolah, olah raga, rekreasi dsb) dengan obat yang seminimal anamnesis yang baik, tes kulit atau kalau perlu dengan tes
mungkin. eliminasi dan provokasi.
3. Dengan menekan proses inflamasi, mengurangi hiper-
reaktivitas bronkus dan memperbaiki fungsi paru, dapat dicegah FAKTOR-FAKTOR PENCETUS°'' ) :
obstruksi paru yang irreversibel, diharapkan dapat mencegah Infeksi virus
kemungkinan kronisitas penyakit asma pada anak, sehingga Infesi virus merupakan faktor pencetus yang panting untuk
tidak terbawa sampai dewasa. ti mbulnya serangan asma. Hal ini disebabkan oleh kerusakan

/44 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


sel mukosa atau seeara tidak langsung sebagai akibat berbagai asthma maka sebaiknya melakukan pemanasan dulu sebelum
rekasi karena terlepasnya mediator kimia. melakukan latihan fisik yang berat dan kalau perlu memakai obat
sebelumnya. Latihan olah raga yang terbaik adalah berenang,
Alergen makanan karena olah raga ini dapat meningkatkan ketahanan safar otonom
Path anak yang agak besar serangan asma jarang sekali dan juga dapat memperkuat otot-otot pernafasan t4 ).
dieetuskan oleh alergen makanan. Alergen makanan sebagai
faktor peneetus hanya penting pada masa bayi. Sensitivitas Faktor emosi
terhadap makanan seringkali menghilang dengan bertambah- Gangguan emosi dapat mengakibatkan terjadinya bron-
nya umur. kokonstriksi, hal ini diduga terjadi melalui aktivitas jalur para-
simpatis.
Alergen hirup
Tungau debu rumah yang terdapat dalam debu rumah PENGGUNAAN OBAT-OBATAN
merupakan alergen hidup yang terpenting. Penghindarannya Tujuan pemberian obat anti asma adalah :
agak sulit oleh karena perlu usaha yang terus menerus dan a. Mengatasi serangan akut dan mencegah serangan berikut-
memerlukan ketekunan. Oleh karena seorang anak mengha- nya. Setelah serangan akut teratasi sebaiknya untuk jangka
biskan sebagian besar waktunya di kamar tidur, maka harus waktu tertentu obat diberikan terus agar tidak terjadi serangan
diusahakan agar kamar tidur dapat bebas dari debu rumah. asma baru dan faal paru dapat dipertahanakan dalam batas-batas
Sekarang di Indonesia sudah dipasarkan obat yang dapat mem- normal atau hampir normal.
bunuh tungau debu rumah. Alergen lain yang penting juga adalah Obat-obat yang biasa dipakai path anak : adrenalin suntikan
bulu binatang. Bilamana ada seorang anak menderita asma atau ephedrine per-oral, agonis beta - 2 oral atau aerosol, teofilin
maka sebaiknya dianjurkan untuk tidak memelihara anjing atau oral atau parenteral, antikolinergik aerosol, kortikosteroid oral
kueing di dalam rumah. atau parenteral.
b. Pengobatan profilaksis, untuk menurunkan atau menghi-
Bahan iritan langkan hiperreaktivitas bronkhus dan menrkan proses infla-
Oleh karena dasar utama dari penyakit asma adalah reaksi masi. Karena ternyata pada serangan asma yang ringan sekalipun
hiperreaktivitas bronkus, maka semua bahan iritan baik yang proses inflamasi ini sudah terjadi. Pengobatan progilaksis ini
bersifat spesidik (alergen) maupun yang bersifat tidak spesifik biasanya dalam jangka waktu lama.
dapat meneetuskan serangan asma. Bahan iritan tersebut dapat Obat yang dipakai : kortikosteroid aerosol, natrium kromo-
berupa asal obat nyamuk, asap rokok, obat semprot rambut, lin (disodium ehromoglycate) aerosol, ketotifen oral, teofilin
minyak wangi, bau bahan-bahan kimia, air dingi/es, udara dingin oral, agonis beta 2 atau anti-eholinergik aerosol.
dll. Sebelum pengobatan asama path anak dimulai hams di-
Di antara semua bahan yang bersifat iritan aspesifik tersebut klasifikasikan dulu bentuk serangannya. Berat ringannya se-
yang paling berbahaya adalah asap rokok. Terdapat bukti yang rangan asma dapat dinilai seearaklinis atau dengan menggunakan
jelas bahwa asap rokok dapat menurunkan fungsi paru. Jadi pemeriksaan fungsi paru. Untuk seorang dokter umum penilaian
penghindaran terhadap asap rokok adalah sangat penting. Tabel 1. Pengaruh obat asma pada hiperreaktivitas jalan nafas ('>.

Olah raga Antigen


Latihan olah raga yang terlalu berat dapat menimbulkan Obat Stimuli Exercise
f. eepat f. lambat
serangan asma pada sebagian besar penderita, sedangkan latihan
jasmani sangat diperlukan oleh anak asma untuk menambah Teolifin + 0 + +
kepereayaannya pad diri sendiri dan juga untuk meningkatkan Simpatomimetik ++ 0 ++ ++
daya tahan tubuhnya terhadap rangsangan yang dapat A. Kholinergik 0 0 ++ +/-
N. Kromolin ++ ++ + ++
meneetuskan serangan asma. Latihan senam pernafasan
Ketotifen + + + ?
misalnya, selain bermanfaat untuk meningkatkan kekuatan tu- Kortikosteroid - +++ - -
buh seeara umum, juga mempunyai tujuan khusus yakni
memperkuat otot-otot pernafasan dan mengatur irama per- Tabel 2. Penggunaan obat anti asma o) :
nafasan sehingga pada akhirnya akan terjadi peningkatan fungsi
paru. Pada dasarnya anak asma tidak dilarang untuk melakukan Jenis obat Mengatasi serangan Profilaksis
olah raga apapun, baik yang bersifat hobi maupun yang bersifat
Agonis beta 2 +++ +
kompetitif. Teofilin ++ +
Semua kegiatan olah raga tersebut dapat dilakukan di luar N. Kromolik - ++
serangan dan disesuaikan dengan kekuatan dan ketahanan ma- Steroid aerosol - +++
sing-masing anak. Latihan olah raga hams dilakukan secara Antikolinergik + +
Steroid sistemik ++ +(*)
teratur, dan sedikit demi sedikit porsinya dapat ditingkatkan.
Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya exercise induced *Hanya untuk kasus-kasus tertentu saja (special case).

Cermin Dunia Kedokteran Edisi KhususNo. 81, 1992 145


Tabel 3. Indikasi pemberian kortikosteroid oral/parenteral 6> .
merupakan 20 - 25% bentuk serangan asma pada anak.
Lokasi Stadium asma Penggunaan steroid Pada serangan asma jenis ini pengobatan profilaksis sudah
Ruang perawatan Status asmatikus harus dimulai. Pada seorang anak yang diketahui kalau men-
+++
Unit darurat Serangan asma akut ++ derita serangan infeksi virus akut pada saluran nagas alas terjadi
Di rumah Serangan asma akut + serangan asma, maka setiap kali ia mendapat serangan infeksi
Di nunah Permulaan infeksi + harus diberikan bronkhodilator selama paling sedikit 14 hari di
(asma epidosik sering) virus akut
kombinasi dengan kortikosteroid jangka pendek (kurang dari 5
Dosis obat-obat yang sering dipakai untuk asma : hari). Pada seorang anak yang berdasarkan anemnesa dapat
diduga faktor peneetusnya selain dieoba untuk dihindari, juga
Salbutamol 0,10 - 0,15 mg/kgbb/6 jam (2 mg/tablet) diberikan profilaksis bilamana temyata faktor peneetus tersebut
Terbutaline 0,05 - 0,075 mg/kgbb/6 jam (2,5 mg/tablet)
Orciprenaline oral; 0,5 - 1 mg/kgbb/hari, dibagi 4 dosis sulit dihindari. Misal seorang anak yang pada anamnesa kalau
(20 mg/tablet) melakukan olah raga terjadi serangan, sebelum dan sesudah
Inhalasi : 3 - 5 tetes larutan 2% latihan dapat diberikan agonis beta - 2 aerosol, teofilin oral atau
Teofilin 4 mg/kgbb/6 jam natrium kromolin aerosol.
Ketotifen > 3 tahun : 1mg/kali/12 jam
< tahun : 0,5 mg/kali/12 jam Bilamana serangan akutnya sudah teratasi, tetap diberikan
Na Kromolin 4 x 1 puff/hari obat progilaksis natrium kromolin aerosol dan/atau kortikos-
Budesonide 2 - 4 x 1 puff (200 mcg)/hari teroid aerosol dan/atau ketotifen. Di bagian Ilmu Kesehatan Anak
Beclometasone 2 - 4 x 1 puff (l00 mcg)/hari
Prednison/prednisolone I - 2 mg/kgbb/hari FKUI/RSCM pengobatan ketotifen dengan dosis 2 x 1/2 mg pada
Deksametasone Dosis initial 1 mg/kgbb, dilanjutkan dengan anak kurang dari 3 tahun dan 2 x 1 mg untuk anak lebih 3 tahun
dosis pemeliharaan 1/2 - 1 mg/kgbb/hari selama 3 sampai 6 bulan memberikan basil yang eukup baik 17 .

3. Asma berat dan menahun (asma kronik/persistent den-


seeara klinis adalah yang terpenting. Jenis, bentuk dan lamanya gan serangan berat)
pengobatan tergantung dari klasifikasi serangannya. Biasanya kasus ini sangat jarang hanya merupakan 1 - 3%
Walaupun pegangan untuk penatalaksanaan sudah dibuat, dari kasus asma anak. Kasus asma berat ini biasanya serangannya
tetapi harus tetap diingat bahwa dalam prakteknya pengobatan dimulai pada usia kurang dari 3 tahun, bahkan 25% kasus
seorang penderita haruslah tetap secara individual. Suatu kom- mendapat serangan sebelum usia 6 bulan. Pada golongan ini
binasi obat yang cocok untuk seorang penderita belum tentu hampir setiap hari selalu ditemukan mengi dan pada malam hari
eoeok untuk penderita lainnya. disertai gangguan batuk. Aktivitas fisik sering menimbulkan
Dalam makalah ini penulis menggunakan klasifikasi klinis serangan sehingga anak tidak dapat melakukan kegiatan olah
yang diajukan oleh Phelan dkk o1 : raga. Biasanya terdapat riwayat atopi dalam keluarga. Sewaktu-
1. Asma dengan serangan jarang (asma episodik jarang) waktu dapat terjadi serangan sesak berat sehingga memerlukan
Umumnya serangan dicetuskan oleh infeksi virus pada perawatan di rumah sakit.
saluran nafas bagian atas dengan gejala pilck, demam ringan dan Kelompok ini memerlukan obat kombinasi anti inflamasi
sakit tenggorokan. Gejala yang timbul lebih menonjol pada dan bronkhodilator untuk jangka pan jang. Dapat diberikan antara
malam hari. Mengi dapat berlangsung selama 3 - 4 hari tetapi 6 bulan sampai 2 tahun. Diusahakan obat-obat diberikan secara
batuk-batuknya dapat sampai 10 - 14 hari. ()bat yang di beri- aerosol. Kalau tidak dapat, diberikan kombinasi obat oral dan
kan : beta 2 agonis atau ephedrine per oral atau kalau perlu dapat obat aerosol dengan proporsi obat oral seminimal mungkin(1,8).
dikombinasi dengan teofilin oral. Pada serangan yang agak bet-at Kasus yang berat ini sebaiknya ditangani oleh seorang dokter ahli
dapat ditambahkan kortikosteroid per oral untuk jangka pendek. (konsultan). Disamping tiga golongan besar di alas, terdapat pula
Bentuk serangan asma pada anak sebagian besar (70 - 74%) berbagai varian asma yang lain :
adalah bentuk yang tingan ini. Setelah serangan dapat diatasi,
sebaiknya pengobatan tetap diteruskan selama 10 - 14 hari 4. Asma dengan serangan yang berat tetapi jarang
setelah bebas serangan untuk menekan hiperreaktivitas bronkus Biasanya mengenai anak pra sekolah dan faktorpeneetusnya
yang mungkin Malt terjadi. adalah infeksi virus. Serangan biasanya berat dan seringkali
memerlukan perawatan di rumah sakit. Pada golongan ini bila
2. Asma dengan serangan sering (asma episodik yang sering) terserang infeksi virus akut penatalaksanaannya sepeni pada
Serangan biasanya didahului oleh infeksi virus akut pada golongan dua.
saluran nafas bagian alas. Pada anak di alas usia 5 tahun dapat
terjadi serangan dengan penyebab yang lain; biasanya orang tua 5. Asma dengan mengi persisten pada bayi
menghubungkannya dengan perubahan euaca, alergen/iritan, Mengi yang menetap dengan sesak nafas berlangsung be-
perubahan cuaea, kegiatan jasmani yang berlebihan atau emosi/ berapa hari sampai beberapa minggu dapat terjadi pada bayi usia
stress. Umumnya gejala memburuk pada malam hari dengan 3 - 12 bulan. Mengi biasanya jelas terdengar bila bayi sedang aktif
batuk dan mengi sehingga mengganggu tidumya. Asma jenis ini dan tidal( terdengar bila sedang tidur. Selain mengi tidak terdapat

/46 Cermin Dania Kedolderan Edisi Khe:sus No. 81, 1992


gejala lain, batuk tidak menonjol. Gejala sumbatan jalan nafas 2. Bila tindakan pertama tersebut tidak menolong, maka
. lebih banyak disebabkan oleh pembengkakan selaput lendir segera dipasang/diberikan cairan seeara parenteral untuk pem-
saluran nafas dan pembentukan lendir yang berlebihan. berian hidrasi secara optimal, koreksi asam-basa dan obat-obatan,
Kalau serangan n ya ringan dan hanya berlangsung beberapa Juga oksigen diberikan dengan dosis yang lebih tinggi dari biasa.
hari, tidak diberi pengobatan. Kalau serangannya komik dan 3. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi baik secara oral maupun
agak berat sehingga mengganggu aktivitasnya dapat diberikan suntikan adalah suatu keharusan. Kortikosteropid ini selain
kortikosteroid aerosol atau teofilin dosis rendah 6 mg/kgbb/hari berfungsi sebagai anti inflamasi juga dapat menghidupkan
dan/atau ketotifen dengan dosis rendah 0,02 - 0,03 mg/kgbb/ kembali reseptor beta 2 yang sudah resisten.
harittl . 4. Teofilin dapat diberikan bersama-sama baik seeara oral
6. Asma dengan hipersekresi ataupun intravena. Bila diberikan seeara oral, maka digunakan
Biasanya terjadi path anak di bawah usia 5 tahun. Gejala preparat teofilin lepaslambat.
yang menonjol adalah nafas ngorok, battik dan sesak nafas. Dapat 5. Dengan ketiga obat tersebut di atas biasanya 75% serangan
diberikan kombinasi bronkodilator oral/aerosol dan kortikos- dapat diatasi. Bila setelah 24 jam tidak memberikan respons
teroid aerosol sampai sedikitnya 3 bulan bebas serangan. maka sebaiknya penderita dipindahkan ke ruang perawatan
7. Asma dengan faktor pencetus kegiatan jasmani intensif untuk pemeriksaan dan tindakan lain yang lebih akurat.
(Exercise Induced Asthma) Bilamana seorang penderita sampai mengalami serangan
Terjadinya penyempitan saluran nafas akibat melakukan status asmatikus, harus dipertimbangkan dan dievaluasi apakah
kegiatan jasmani dapat dijumpai pada asma epidosik sering dan pengobatan profilaksis yang diberikan kurang adekuat. Sebelum
asma kronik. Serangan ini dapat dieegah detigan pemberian penderita dipulangkan harus dibuat program pengobatan yang
agonis beta 2 aerosol, sebelum dan sesudah kegiatan jasmani lebih tereneana untuk meneegah serangan berikut .
yang berat, natrium kromolin aerosol, teofilin oral atau obat
antikolinergik aerosol.
8. Asma dengan faktor pencetus spesifik
Bila faktor pencetusnya tidak dapat dihindari, maka obat KESIMPULAN
diberikan berdasakrna kepada tipe serangannya (lihat di atas). 1. Pengetahuan mengenai patogenesis asma membutikan inti
9. Asma dengan gejala batuk malam hari kelainan adalah adanya hiperreaktivitas bronkus yang dapat
Di samping obat yang sudah rutin diberikan (lihat di atas), dipengaruhi oleh faktor endogen dan faktor eksogen.
maka dapat ditambahkan preparat agonis beta 2 lepas lambat 2. Hiperrreaktivitas ini terutama disebabkan oleh reaksi
atau teofilin lepas lambat sebelum tidur per oral. inflamasi yang terjadi pada fase lambatreaksi tipe I dan jugaoleh
10. Asma yang memburuk pada dini hari (Early morning sel radang lain yang tertarik ketempat reaksi dan selanjutnya
dipping) diperburuk oleh adanya bronkodilaro, obat anti inflasmasi dan
Gejala obstruksi saluran nafas sangat memburuk terutama obat-obat lain yang dapat menekan hiperreaktivitas bronkus.
sekitar jam 1- 4 dini hari, keadaan ini umumnya terjadi pada asma 3. Penatalaksanaan pasien asma terutama adalah meng-
hindarkan irritant baik yang spesifik (allergen) maupun yang
kronik. Penatalaksanaan sama dengan ad. 9, hanya bilamana
penderitanya terbangun dapat ditambahkan lagi agonis beta 2 tdiak spesifik; dan selanjutnya menggunakan obat-obat asma
aerosol. secara rasional; dengan prinsip profilaksis Iebih baik dari path
mengobati serangan.
PENGOBATAN SERANGAN AKUT YANG BERAT
(STATUS ASMATIKUS) 12 ''l :
Setiap anak dengan asma dalam berbagai gradasi kadang-
kadang dapat mengalami serangan akut yang berat, yang disebut
status asmatikus. Sebenarnya keadan ini belum mempunyai KEPUSTAKAAN
definisi yang seragam, akan tetapi pada umumnya sependapat
bahwa status asmatikus adalah keadaan serangan asma akut yang 1. Reinhardt 1). Principles of grug therapy for childhood asthma. Annales
Nestle, 1985, 43/3, 11 - 27.
tidal( dapat diatasi dengan pengobatan secara biasa atau yang Warner J 0, Gotz M, Landau L I, Levison IH, Milner A H), Pedersen S,
2.
membutuhkan terpai intravena untuk mengatasi keadaannya. Silverman M. Special report. Management of Asthma : a consensus
1. Di rumah sakit atau bagian darurat yang memiliki alat statement. Arch Dis. Child. 1989; 64 : 1065 - 1079.
3. Warner J 0 Treatment of Childhood Asthma. In Mechel F 13, Bousquet J,
nebulizer, suntikan adrenalin/agonis beta 2 tidak berikan lagi,
Godard, P. Highlights in Asmology ;1 st ed. Springer - Verlag, Berlin,1987,
tetapi langsung diberikan agonis beta 2 secara nebulizer, yang pp. 385-393.
dapat diulang setiap 15 - 20 menit sampai serangannya teratasi 4. Wiryodiarjo M. Latihan jasmani untuk anak asma dan permasalahannya.
atau sampai tampak tanda-tanda efek samping seperti adanya Suddharprana, Media Komunikasi dan Infonnasi Penanggulangan Asma
Anak. Jakarta, Desember 1991; Htal. 2 - 5.
tremor. Bilamana yang diberikan adalah suntukan adrenalin/ Skoncr D P. Asthma. In : Fireman and Slahin, Atlas of Allergies : 1 st ed,
5.
agonis betas 2 secara subkutan (untuk yang tidak mempunyai New York, London : J.H3. Lippincott, 1991, pp. 5.1-5.23.
nebulizer), maka suntikan tersebut dapat diulang setelah 15 atau 6. Phelan P 1), landau L I, Olinsky A. Asthma : Clinical Patterns and
20 menit.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 147


Management. In : Respiratory Illness in Children. 2 nd ed. Oxford : Jakarta, 1990. Hal. 89-96.
Blackwell Scientific Publi. 1982; pp. 161 - 168, 188. 8. Lawlor G J. Tashkin D P asthma. In Lawlor and Fischer : Manual of Allergy
7. Akib A. Manfaat ketotifen untuk pengobatan asma bronkial pada anak. and Imunology. Diagnosis and Therapy; 2 nd ed, Boston: Little Brown,
Simposium Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IKA/FKUI ke XXI. 1985, pp. 113-156.

148 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


IV. SIMPOSIUM SATELIT : NYERI PERUT
BERULANG DAN MENAHUN PADA ANAK

Nyeri perut berulang dan menahun


pada Anak
Hansa Wulur
Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas, Kedokteran, Universitas Tarumanagara,
Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta.

PENDAHULUAN 5) Lokasi nyeri


Nyeri perut menahun berulang — Reccurent Chronic Abdo- 6) Gejala-gejala lain yang menyertai RCAP
minal Pain (RCAP) — ialah suatu keadaan nyeri yang ber-
langsung lebih dari 3 bulan, telah berjaln lebih dari 3 kali dan 1) Sifat dan jenis
mengganggu aktivitas sehari-hari°. Berbeda dari nyeri perut A) Perih — panas — sayatan; seperti pada peradangan atau
mendadak yang biasanya disebabkan suatu peradangan, penyum- kelainan mukosa lambung dan usus yang tersentuh makanan
batan dan/atau perdarahan yang dengan demikian banyak kaitan- pedas atau bahan-bahan iritastif.
nya dengan pembedahan, maka nyeri perut menahun dan ber- B) Melilit atau lazim disebut nyeri kolik yang biasanya di jumpai
ulang merupakan kelainan multifaktorial yaitu medik, neurolo- pada sumbatan visera yang berlumen seperti intussusepsi,
gik dan psikosomatik. volvulus, batu pada saluran kemih dan empedu, tumor, parasit.
Di sin akan dibiearakan sisi medik, meskipun pada ke- C) Mulas; yang dimaksudkan adalah rasa ingin defekasi yang
adaan sehari-hari sebenarnya ketiga faktor tersebut sering kali memang sering dijumpai pada diare atau bila banyak flaws.
terjalin satu dengan lainnya, sehingga bersama-sama mereka D) Nyeri seperti tertumbuk (dull pain); dapat karena pera-
menciptakan suatu keadaan yang sering tidak nyaman bagi si dangan atau desakan.
anak, juga kekuatiran orang tuanya, yaitu nyeri perut menahun E) Samar-samar
dan berulang (selanjutnya akan digunakan singkatan RCAP). Ini yang sulit; dapat karena si anak belum atau tidak dapat
RCAP ini demikian mengganggu sehingga sering menyedabkan bereerita, mungkin juga bukan nyeri tetapi mual, mungkin juga
kesulitan seperti sekolah dan belajar, dan sekaligus menim- tida ada nyeri.
bulkan kekuatiran orangtua yang biasanya akan eenderung
mengeluarkan banyak biaya, waktu, perhatian dan perasaan 2) Frekuensi (keseringan) dan interval
bagi anaknya. A) Frekuensi dapat sangat sering sehingga dapat terjadi be-
berapa kali dalam 1 jam atau sehari seperti pada intususepsi dan
ANAMNESIS diare, dapat juga jarang-jarang sampai beberapa kali saja setahun
Kita diharuskan menyediakan waktu yang lama dan ke- seperti pada kholelithiasis dan pankreatitis rukurent.
sabaran yang amat sangat pada anamnesis. Anamnesis dapat B) Interval : dapat terus menerus tanpa interval seperti pada
diperoleh dari anak sendiri yang sudah dapat bercerita, biasanya apendixitis, atau dengan interval/rentang waktu (periode) ter-
pada usia sekitar 3 - 4 tahun; yang lebih muda terpaksa melalui tentu dimana penderita sama sekali tak merasa nyeri seperti
orang tua. Perlu ditanyakan seeara eermat dan teliti tentang : pada intususepsi atau dapat bergelombang (fluktuasi) yaitu
1) Sifat dan jenis intensitas nyeri bertambah hebat lalu berkurang silih berganti
2) Frekuensi dan internval seperti pada batu saluran kemih. Interval itu dapat sampai sem-
3) Saat pertama kali timbul (onset) inggu, sebulan atau bahkan setahun sekali, hal ini lebih sering
4) Hal yang menambah atau mengurangi nyeri dijumpai pada RCAP atas dasar psikosomatik seperti pada

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 149


masa-masa ulangan umum, ujian akhir di sekolah. F) Bawah kanan : terkenal dengan titik Mc Burney pada ap-
pendisitis; dapat juga karena ileitis terminalis, limfadenitis di
3) Pertama kali timbul (onset) ileum, batu ureter kanan, salfingitis kanan, torsi ovarium kanan,
A) Kapan atau sudah berapa lama RCAP terjadi gravida extra uterin pada remaja wanita.
B) Apakah ada pencetus, seperti sehabis makan obat-obat atau G) Kiri bawah : peradangan pada rekto-sigmoid, konstipasi,
bahan iritatif, kecelakaan dan trauma pada perut, kejadian yang batu ureter kin, salfingitis kid, torsi ovarium kin, gravida ex-
menyedihkan, menguatirkan atau menakutkan (psikosomatik). trauterin.
C) Lokasi nyeri pertama, misalnya pada apendisitis akan ber- H) Suprapublik : karena eystitis, eolitis, dysmenorrhoea, gra-
mula pada epigastrium sebelum menjalar ke kanan bawah. vida extrauterin, nyeri ovulasi (mittelschmerz).
I) Nyeri dapat menjalar baik sebagai nyeti primer maupun
4) Hal-hal yang menambah atau mengurangi nyeri :
sekunder (refered pain) seperti (a) bahu kanan untuk kandung
A) Yang menambah hebat dan nyeri, seperti sehabis makan empedu, diafragma sisi kanan dan duodenum (b) bahu kid
atau makanan tertentu seperti pedas pada gastritis dan tukak
untuk diafragma sisi kiri (e) di antara tulang belikat untuk
lambung, lemak padacholelithiasis, susu pada intoleransi laktosa.
lambung dan duodenum (d) bawah belikat kanan untuk kandung
B) Yang mengurangi nyeri, seperti makan dan minum dapat
empedu (1) pinggang bagian tengah untuk pankreas dan aorta
mengurangi nyeri pada tukak peptik, defekasi dapat menghilangi
(g) dan di tengah bokong/pinggul untuk rektum dan uterus.
nyeri perut pada konstipasi.
6) Gejala yang menyertai RCAP.
5. Lokasi nyeri : A) Berat badan turun : dapat disebabkan intake kalori yang
Sangat penting tetapi sangat sulit diperoleh dari anamnesis
kurang, akibat rasa nyeri bila makan atau mual seperti path
anak muda usia (lihat gambar 1 & 2).
gastritis, duodenitis, tukak peptik, pankreatitis. Dapat juga
karena penyakit dasarnya yang memerlukan kalori tambahan
seperti pada demam, dapat juga karena malabsorpsi seperti pada
intoleransi laktosa.
B) Muntah & mual : asosiasi dengan penyakit radang seperti
pankreatitis, hepatitis atau penyakit visera intra-abdominal. Bila
ada hematemesis tentu ada kelainan pada saluran eerna atas.
C) Dian : malabsorpsi makanan dengan contoh yang paling
sering ialah intoleransi laktosa sudah pasti menimbulkan diare
yang berulang dan menahun, demikian juga kolitis.
D) Konstipasi : dapat terlihat pada konstipasi fungsional, ka-
rena diet kurang serat, penyakit Hirschsprung.
E) Darah dalam faeces, dapat berupa darah samar sampai darah
segar (hematoehezia), dapat terlihat pada eolitis, polip, penyakit
parasit seperti amoebiasis, triehuriasi.
Gambar 1 Gambar 2 F) Ikterus : ikterus dengan RCAP berartio ada kelainan pada
saluran empedu dan saluran pankreas, seperti batu, parasit,
A) Epigastrium : lokasi primer (lawannya : nyeri sekunder atau
peradangan, kelainan kongenital sepertikistaduktus choledoenus.
refered pain) dari gastritis, tukak peptik, hepatitis, pankreatitis,
G) Kembung : pada malabsorpi timbul banyak gas pada usus,
kholesistitis, sumbatan usus bagian proksimal, appendisitis (saat
pada penyakit Hirsehprung eolon sangat besar dan lebar.
dini); dapat berasal dari luar abdomen seperti pneumonia, De-
H) Demam : bila ada peradangan.
mam Berdarah Dengue.
I) Anemia karena perdarahan baik terlihat maupun samar;
B) Kanan atas : dapat karena hepatitis, pankreatitis, klolesisti-
dapat juga karena infeksi menahun.
tis, kholelithiasis, pneumonia.
C) Kiri atas : pneumonia, tukak lambung, gastritis, abses limpa,
PEMERIKSAAN JASMAM
pankreatitis dan sebagainya.
Biasanya diutamakan pada daerah perut/abdomen, akan
D) Periumbilikal : anak usia muda pada umumnya eenderung
tetapi bagian lain tubuh jangan sekali-kali dilewatkan; seperti
menunjuk pusarnya sebagai lokasi nyeri perutnya karena belum
adanya pneumonia dan proses lain pada rongga thorax, manifes-
dapat menentukan lokasi yang tepat; lokasi baru dapatditentukan
tasi penyakit di luar abdomen seperti ikterus; tanda-tanda avi-
pada pemeriksaan jasmani. Walalupun demikian periumbilikal
taminosis di bibir pada sindrom malabsorpsi, adanya pigmen
merupakan lokasi nyeri akibat kelainan usus halus seperti sum-
pada mukosa bibir dan jari kaki pada penyakit Peutz — Jeghers.
batan usus, pankreatitis, appendisitis saat dini.
E) Tengah samping kanan & kiri : biasanya berasal dari ginjal, 1. Inspeksi :
seperti batu ginjal, pyelonepritis, tetapi juga dapat berasal dari Pemeriksaan abdomen dimulai dengan inspeksi untuk me-
kelainan di eolon. lihat contour abdomen, apakah kembung, terlihat gerakan pe-

15o Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


ristaltik, contour usus, vena-vena kolateral, dan daerah iguinal 3) Faeces :
(hernia). A. Lengkap/rutin
B. Peneernaan (Sudan III, lugol, serat otot)
2. Palpasi C. Darah samar
Merupakan tindakan paling penting pada kasus nyeri ab- D. Parasit seperti Giardia lamblia, Blastokista, eandida.
domen. E. Reduksi, pH untuk intoleransi laktosa.
A) Palpasi yang lazim dikerjakan untuk meraba hati, limpa, F. Lain-lain yang relevan dan penting.
ginjal, masa, kandung kemih, uterus dsb. 4) Radiologi – bila dianggap perlu dan relevan seperti :
B) Palpasi untuk menentukan lokasi nyeri, baik untuk konfir- A. Abdomen polos tanpa persiapan
masi atau menermukan lokasi lain; biasanya abdomen dibagi B. Foto kontras saluran eerna atas
menjadi beberapa daerah seperti : epigastrium, kanan atas, kiri C. Foto kontras saluran eerna menyeluruh (Barium passage
atas, peribumbilikal, pinggang (flank) kanan, pinggang kiri, photo)
suprapubik, kanan bawah dan kiri bawah. D. Foto kontras barium enema
Mulailah palpasi sejauh mungkin dari lokasi yang dinyata- E. IVP
kan nyeri pada anamnesis supaya jangan menimbulkan rasa F. MCU
takut penderita, lalu perlahan-lahan bergeser pada lokasi terse- G. Cholangiografi
but. Bila sudah ditemukan tangan atau jari dipindahkan ke H. dan sebagainya
beberapa daerah lain untuk kernudian kembali lagi ke daerah 5) Ultrasonogragi – bila dianggap perlu dan relevan :
nyeri untuk konfirmasi. A. USG abdomen
Perlu diperhatikan dua hal : pertama, penderita jangan B. USG gynekologik
melihat ke arah pertunya, ia diharapkan dan diharuskan me- 6) Endoskopi – bila dianggap perlu dan relevan
rasakan rasa nyeri pada waktu diraba atau ditekan; kedua, kita A. Panendoskopi saluran eerna atas
yang memeriksa juga tidak melihat ke arah abdomen os, tetapi B. Kolonoskopi total
yang dipandang dan diperhatikan ialah raut muka penderita dan C. ERCP (Endoxcopic retrograde – cholangio – pancreato-
perobahan wajah atau mimik os. apakah itu betul "meringis" bila graphy)
lokasi nyeri tertekan ? Palpasi tersebut bukan saja dengan telapak 7) Elektromigrafi (EMG) – bila tersangka spasmofili
tangan tetapi juga dengan menekan dengan satu atau lebih dari 8) Elektro-eneephalografi (EEG) – bila tersangka ada kelainan
satu jari tangan tergantung besar/keeilnya penderita. saraf pusat seperti epilepsi
9) CT Scan dan MRI – bila dianggap perlu dan relevan
3. Perkusi :
Perkusi dilakukan seperti teknik palpasi yang mulai dari DISUKUSI
tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Selain untuk menentukan dan RCAP sering terjadi pada anak umur 3 – 16 tahun ter-
menemukan besar hepar, masa, cairan intraperitoneal, juga dise- utama usia sekolah antara 5 – 14 tahun; dilaporkan 10 – 15%
lidiknya adanya nyeri ketok. anak-anak pernah menderita kelainan ini.
RCAP dapat digolongkan menjadi 3 katagori : organik,
4. Auskultasi : fungsional dan psikosomatik. Yang organik sesungguhnya hanya
Memperhatikan apakah bising usus bertambah, mengeras, terdiri dari 5 – 10% saja, tetapi dengan perkembangan labo-
melemah, jarang, tad ada sama sekali atau terdengar bising ratorium dan alat diagnostik, yang dulu disebut fungsional
(bruit) vaskuler/aorta seperti pada penderita yang kurus atau sekarang tergolong organik seperti gangguan motilitas dari sa-
aneurisma aorta yang dapat menimbulkan nyeri abdomen. luran cerna (Gastrointestinal dysmotility syndrome). Banyak
kelainan saluran cerna yang secara kamroskopi melalui endo-
PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN PENYO- skopi terlihat "normal", pada pemeriksaan mikro-histo-patologi
KONG: dapatdijumpai kelainan seperti pada oesophagitis, gastritis, duo-
1) Darah : denitis, colitis.
A. Rutin : LED, Hb, Ht, leuko, Diff, thrombosit Beberapa hal atau gejala-gejala tertentu di samping nyeri
B. Biokimiawi : perut berulang dan menahun memberikan isyarat kemungkinan
a. Hati : SGPT, SGOT, alkali fosfatase, y GT adanya kelainan organik, antara lain : adanya riwayat demam,
b. Pankreas : amulase, lipase beratbadan menurun, gagal tumbuh kembang, nyeri perut malam
c. Ginjal : ureum, ereatinin hari yang dapat membangunkan, perdarahan saluran cerna
d. Elektrolit : Caleium (hematemesis, hematoehezia, melena dan darah samar dalam
e. Lain-lain yang dianggap relevan dan penting. faeees), muntah empedu, anemia, disuria, polakisuria, diare,
2) Urine : apalagi yang mengandung lendir dan darah.
A. Lengkap/rutin Pada pemeriksaan jamsani nyeri biasanya tidak pada garis
B. Sedimen, sedimen yang diwarnai Gram tengah abdomen dan lokasi nyeri jelas dan persisten, terabanya
C. Lain-lain yang dianggap relevan dan penting masa atau pembesaran organ/viseera. Pemeriksaan laboratorium

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992 151


dan penyokong untuk konfirmasi kelainan/diagnosis yang diduga Nyeri perut
atau untuk menemukan kelainan. Kelainan-kelainan organik Tabel 2 : Jenis kelamin dan umur dari kelompok kasus
yang dapat dijumpai pada RCAP misalnya : (1) Dari saluran
Kelompok laki-laki perempuan umur rata-rata umur
cerna : sindrom malabsorpsi terutama intoleransi laktosa, eso-
I. 40 53 2 -16 th. 10.0 th.
phagitis, esophagitis refluks asam, gastritis, tukak peptik
II. 25 30 2 - 16 th. 9.4 th.
lambung, duodenitis dan tukak peptik duodenum, ileitis, ileitis III. 27 32 2 — 16 th. 8.7 th.
TBC, appendieitis menahun, berbagai colitis, penyakit IV. 7 6 7 — 14 th. 9.3 th
Hirsehprung, konstipasi menahun, malrotasi, volvulus, parasit. Jumlah 99 121 9.4 th.
(2) Dari hepar : peradangan, batu, parasit, kelainan kongenital.
(3) Dari pankreas peradangan pseudo-kista, batu. (4) Dari selu-
ran kemih : batu, peradangan, kelainan kongenital ginkal, ureter, Nyeri perut
Tabel 3. Penemuan pada pemeriksaan kelompok I. (93 kasus)
kandung kemih dan uretra. (5) Dari alat reproduksi/genitalia :
peradangan seperti salpingitis, oophoritis, orchitis, epididymitis,
Tukak 8 kasus
prostatitis; torsi dan kista ovarium; endomtriosis, myoma uteri, lambung 3 kasus
dysmenorrhoe mittelschmerz, gravida dan gravida ektopik, bulbus 6 kasus
(6) Dari peritonium : peritonitis TBC yang menahun, hernia. pylorus 2 kasus
(7) Dari otot dan tulang : peradangan miositis, dari dinding Oesophgitis 6 kasus
Gastritis 9 kasus
abdomen, dari psoas dari vertebrae Lumbasacral di pelvis. (8) Duopdenitis 19 kasus
Dari ekstraabdominal seperti dari rongga thorax. (9) Penyakit Gastroduodenitis 11 kasus
atau kelainan sistemik seperti porphyria, sickle cell anemia. Oesophagogastrosuodenitis 4 kasus
Migrasi eratik Accaris 2 kasus
Refluks empedu 1 kasus
PENGALAMAN Tidak ada kelaian 38 kasus
Selama 3 tahun Unit Endoskopi Anak RS Sumber Waras
dan FK Untar telah menermukan 220 anak (99 laki-laki dan 121 Nyeri perut
Tabel 4. Penemuan pada pemeriksaan kelompok III. (59 kasus)
perempuan) dengan umur berkisar antara 11/2 tahun sampai 16
tahun (rata-rata 8,7 tahun). Pada penelitian ini batas waktu an- Kolitis 17 kasus
tara nyeri perut menahun dan berulang (RCAP) dengan nyeri Polip koli 1 kasus
perut bukan RCAP adalah 2 bulan dan lebih. (Tabel 1 dan 2). Beds 2 kasus
Hipertropi lymphoid 1 kasus
Di kelompok 1 dan.3 untuk RCAP, endoskopi dapat mene- Trichuriasis berat 1 kasus
mu kan berbagai jenis kelainan (Tabel 3 & 4), tetapi terlihat Tanpa kelainan 36 kasus
juga 38 kasus (40.9%) dan 36 kasus (61.0%) masing-masing
pada endoskopi saluran cema atas dan saluran cerna bawah yang FIG 1. NYERI PERUT
.

tidak berhasil diketemukan kelainan. Pada gambar 1 dan 2


terlihat distribusi umur dan kelainan dari empat kelompok terse- 1s
but di mana nyeri perut dijumpai pada anak usia sampai remaja; AGE &. SEX DISTRIBUTION
pada usia di bawah 8 - 9 tahun, anak laki-laki lebih sering
ketimbang anak perempuan, sedang di atas 9 - 10 tahun lebih d FEMALE
to
banyak anak perempuan, terutama nyeri perut bagian alas yang 9
memerlukan endoskopi saluran eema atas. Ll MALE

GROUP I
PENANGGULANGAN
Sindrom nyeri abdomen menahun dan berulang atau RCAP
44 4
bersifat atau berlatar belakang multifaktorial, sehingga penang-
gulangan dan pengobatan akan ditentukan setelah sebabnya
1 1
Nyeri perut
Tabel 1. Pembagian kelompok penderita atas dasar inkikasi dan jenis
periksaan endoskopi

Kelompok Indikasi Kasus


GROUP II 5 5
I. Panendoslipi pada nyeri pent korim dan berulang 93
H. Panendoskopi pada nyeri pent akut (<– 2 bulan) dan hebat 55
III. Kolonoskopi pada nyeri perut kronik dan berulang 59 3 3
IV. 2
Kolonoskopi pada nyeri perut akut (5 2 bulan) dan hebat 13
'
Jumlah 1
210

152 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


Fig. 1 Nyeri perut Fig. 2 Nyeri perut Gambar 1 Gambar 2
AGE & SEX DISTRIBUTION FEMALE MALE GROUP I
AGE & SEX DISTRIBUTION FEMALE MALE
GROUP I & II GROUP III GROUP II GROUP III & IV
GROUP IV ALL GROUPS (COLONOSCOPY) AGE AGE

35

11

22
r-y

17 17 18 17
ALL GROUPS
13~1 13 14 13
12

8 I 1 8

3 3
cRou IV
CROUP
p 2 2

3-4 5-6 7-8 9-10 11-12 13-14 15-16


00 .0 1 0. 0 0r n0 0 M0 0 1-2
AGE 1-2 3-4 5- 6 7-8 AGE
9-10 11-12 13-14 15-16

terakhir ini eenderung akan bertambah karena kecanggihan


FIG. 2 NYERI PERUT teknologilaboratorium dan diagnostik.
ACE & SEX DISTRIBUTION Nyeri dapat berasal dari berbagai organ intraabdominal,
22 extraabdominal atau penyakit sistemik; oleh karena itu perlu
GROUP I & II e--r sabar yang sering memerlukan waktu untuk melakukan anam-
19
(PANENDOSCOPY) nesis, pemeriksaan jasmani, pemeriksaan laboratorium dan
penyokong sebelum meneapi diagnosis dan dengan demikian
a FEMALE
18 dapat memberikan pengobatan dan penanggulangan yang sesuai
12
MALE 10 1 10 dan tepat (Bagan).
rte.
7 Eagan Langkah Diagnosis

3 Anamnesis

Pemenkaan
jasmani

Pemeriksaan
GROUP III & IV laboratorium
13
(COLONOSCOPY) Diagnosis

:e urn • pat . itentu an

I
6
5 5 5 4 5
Konsultasi Pemeriksaan penyokong
- Neurologi Non-invasif :
2
- Psikologi - USG
me: - EMG
- EEG
'Diagnosis Intensif :
diketahui. Sesuai dengan etiologi, penyebab atau diagnosis maka - Endoskopi
dilakukan penanggulangan, pengobatan dan tindakan. - Radiologi
'Pengobatan - Cr scan
- MRI
KESIMPULAN
Nyeri abdomen menahun dan berulang (RCAP) adalah
suatu kelainan multifaktorial yang tidak jarang dijumpai pada
ank terutama anak sekolah. Pada umumnya sindrom ini dapat KEPUSTAKAAN
dibagi menjadi 3 katagori, yaitu organik, fungsional dan psikoge. 1. Apley J. The Child with Abdominal Pain, 2nd ed. Oxford; Blackwell
Kasus organik meliputi 5 — 10% saja, tetapi pada tahun-tahun Seientific Publ., 1975.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi KhususNo. 81,1992 153


2. Berman S. Persistent or Recurrent Abdominal Pain. In : Pediatric Decision 5. Grant K E, Walker W A. Recurrent Abdominal Pain. In : Ambulatory
Making. S. Berman (Ed). 2nd ed. B C Decker. 1991, 312-315. Pediatric Care. R.A. Deschewitz (Ed). J.B. Lippincott 1988, 462-466.
3. Boyke J T. Chronic Abdominal Pain. In : Pediatric gastroinstestinal 6.pada H. Wulur, I. Susanto, K. Pumadi, E. Kosin : Endoskopi serat optik
Disease. W.A. Walker et al (Ed). B C. Decker Inc. 1991, 45-54. anak. Buku peringatan 20 tahun Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit
4. Christensen J. Pin in the Abdomen. In : Bedside Logic in Diagnostic Somber Waras, Fakultas Kedokteran Tarttmanagara. 1987. Hal. 161-172.
Gastroenteroly. Churchill Livingstone 1987, 39-59. 7. H. Wulur, I. Susanto, K. Pumadi. NYeri Abdomen. Pandangan dari
Endoskopi Digestif. Konika VII, 1987, hal. 183.

154 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992


Faktor psikogenik pada gangguan
nyeri perut pada anak
Singgih D. Gunarsa
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta

PENGERTIAN PSIKOSOMATIK : aspek fisik dengan urutan sebagai berikut :


Sekalipun istilah psikosomatik sudah dikenal lama sekali, a) Mempersepsikan situasi di lingkungan yang mungkin men-
sampai saat ini istilah ini masih banyak dipergunakan. Istilah lain imbulkan emosi
yang pada dasarnya tidak berbeda ialah psikofisiologik. b) Pola aktivitas fisik dihasilkan melalui otak - thalamus yang
Seeara singkat gangguan-gangguan psikosomatik adalah menimbulkan sekaligus : emosi dan perubahan aktivitas.
gangguan atau penyakit organik dengan latar belakang faktor Uraian ini disingkat menjadi :
psikis atau disebut psikogenik. Gangguan atau penyakit organik Lingkungan -+ otak-+ thalamus -' perubahan pada tubuh
dapat berupa gejala atau keluhan yang tidak jelas kaitannya '-► emosi
dengan kondisi organik-fisiologik. Apabila kelihan atau gejala
organik memberi kesan terdapatnya gangguan organik-fisiolo- Dan kedua teori ini jelas terlihat adanya hubungan yang erat
gik tanpa ditemukan gangguan yang sebenarnya dan diduga antara aspek organik dalam bentuk perilaku dan aspek psikis
kuat bahwa sebabnya adalah psikogenik, disebut somatoform. dalam bentuk emosi.
Perubahan emosi karena perasaan yang menekan, mem-
Munculnya konsep psikosomatik bertumpu pada beberapa pengaruhi fungsi peneemaan. Sebagaimana diketahui, pencer-
teori : naan dilakukan di dalam lambung melalui asam lambung;
1) Teori yang dikemukakan oleh William James dan Carl biasanya lambung menghasilkan asam lambung dalam jumlah
Lange kira-kira seabad yang lalu, yang dikenal dengan Teori sesuai dengan yang dibutuhkan dan berhenti kalau tugas men-
James Lange, mengemukakan proses-proses terjadinya emosi eerna makanan selesai. Pengeluaran asam lambung ini diatur
dihubungkan dengan faktor fisik dengan urutan sebagai beri- oleh susunan saraf parasimpatis sebagai bagian dari susunan
kut: saraf otonom. Dalam keadaan stres, asam lambung dihasilkan
a) Mempersepsikan situasi di lingkungan yang mungkin seeara berlebihan dan kalau ini terjadi tanpa dipergunakan untuk
menimbulkan emosi. mencerna makanan, menyebabkan peradangan pada permukaan
b) Memberikan reaksi terhadap situasi dengan pola-pola lambung dan dapat menimbulkan luka.
khusus melalui aktivitas fisik. Stres adalah suatu keadaan pikiran (jiwa) seseorang yang
c) Mempersepsikan pola aktivitas fisik yang mengakibatkan menimbulkan emosi yang tidak menyenangkan, tidak enak,
muneulnya emosi seeara khusus. menekan, yang timbul dari lingkungan dan tidak dapat atau sulit
Uraian ini disingkat menjadi : diatasi. Sires muneul karena keadaan tersebut menekan terlalu
Lingkungan -► otak -► perubahan pada tubuh -+ emosi berat dan orang tersebut tidak kuat menahannya.
Dalam praktik sehari-hari seringkali ditemui seorang anak
2) Teori yang dikemukakan oleh Walter Cannon dan Philip menderita sakit dengan keluhan nyeri perut, balk akut maupun
Bard pada sekitar tahun 20-an, dikenal dengan Teori Cannon- berulang-ulang, atau muncul seeara periodik (recurrent abdomi-
Bard yang mengemukakan hubungan antara aspek emosi dengan nal pain). Contoh : Gejala sakit perut di sekolah ketika men-

Cermin Dania Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992 155


dekati musim ulangan atau kenaikan kelas, atau muntah-muntah meliputi keadaan umum sekolah dengan ciri-eirinya, sikap guru
di pagi hari men jelang berangkat ke sekolah. Perilaku yang diper- dan isi kurikulum.
lihatkan ialah merintih kesakitan dengan emosi tegang, apalagi 3) Lingkungan sosial sebagai tempat anak melakukan hu-
semakin mendekati saat penentuan yang tidal( kuar dihadapi bungan sosial, dapat menjadi sumber konflik.
seperti mendekati jam berangkat ke sekolah. Bentuk pelariannya
dalam bentuk perilaku (flight atau escape meehanism) pada
umumnya mudah dilihat, karena intensitas nyerinya akan turun PENANGANAN
seeara drastis kalau misalnya sumber tekanannya segera 1) Terhadap anak yang jelas menderita sakit, tentu memer-
ditemukan dan diperoleh jalan keluar, misalnya kepada anak lukan tindakan pengobatan dan perawatan. Namun penanganan
tersebut dikatakan untuk tinggal di rumah saja, jadi tidak perlu terhadap faktor psikogeniknya perlu dilakukan, jadi tidak hanya
pergi ke sekolah. Pada contoh kasus seperti ini keluhan nyeri pengobatan terhadap gejalanya saja. Gejala organik dalam
perut muneul karena ada faktor psikogenik dalam bentuk ling- bentuk nyeri perut perlu ditangani dengan tindakan terapeutik
kungan yang tidak kuat dihadapi si anak dan lebih lanjut timbul maupun sugestif melalui wibawa dan tangan halus dari tenaga
reaksi-reaksi seperti : agresif atau takut sekolah (sehool phobia) medik maupun paramedik, yang memberikan kepereayaan dan
bahkan lebih lanjut dapat meningkat menjadi mogok sekolah keyakinan tersendiri pada anak.
(sehool refusal). Contoh-eontoh kasus : Gangguan nyeri perut 2) Terhadap anak yang jelas memperlihatkan keluhan nyeri
dan muntah-muntah pada anak yang; sedang liburan dan perut, baik akut maupun berulang-ulang, perlu diidentifikasi
mendekati berangkat kembali untuk bersekolah di Singapore; sumbernya yang menjadi faktor psikogenik. Dalam pendekatan
anak umur 2 - 3 tahun dengan muntah-muntah dan mogok psikologi Klinis sering ditemukan kejadian : sekalipun yang
sekolah; anak yang terlalu muda duduk di kelasnya; anak yang menjadi pasien adalah anak, namun yang menjadi penyebab anak
selalu tegang karena khawatir tidak dapat mempertahankan sakit adalah orang tuanya. Peranan orang tua sebagai orang yang
kejuaraannya (peringkat satu, sindrom juara). dekat dalam kehidupan anak, kenyataannya besar sekali, baik
Mengenai nyeri perut yang berulang-ulang, Kolvin & Nieol sebagai sumber penyebab maupun sebagai sumber terapi.
(1979) melaporkan bahwa 5 sampai 10% gejala nyeri perut 3) Pendekatan terpadu antara berbagai pihak yang saling
muneul pada anak umur 5 tahun dan menjelang pra-remaja. Kira- berkaitan, aeapkali diperlalukan. Sikap dan perlakuan yang tepat
kira 10% benar-benar terdapat faktor psikogenik dan 1/3 dari (tidak membiarkan atau sebaliknya tidak bertindak terlalu keras)
kasus nyeri perut dibawa sampai dewasa (Kolvin, I., & Nieol dari pribadi yang penting dalam kehidupan anak (significant
A.R. (1979). Child psyehiatry. Dalam K. Graville-Grossman others, caregivers) sangat diperlukan. Identifikasi dan teknik
(Ed.), Recent advanees in elinical psychiatry (Vol. 3). Edinburgh penanganan mengenal hal ini dapat dilakukan dengan bantuan
: Churchill, Livingstone). ahli lain.
4) Munculnya berbagai perilaku sebagai reaksi terhadap
Faktor psikogenik bersumber pada : sumber utama (eseape mechanism, instrumental behavior, secon-
1) Keadaan anak itu sendiri yang meliputi gambaran kepri- daru gain) dapat menjadi sumber baru yang menambah ketegan-
badian secara umum maupun ciri kepribadian tertentu. gan baru, sehingga bertambah kompleks : Sires 1—+ nyeri perut
2) Lingkungan hidup anak : -0 tidak sekolah -' tertinggal pelajaran -+ sires s, dan seterus-
a. Suasana keluarga meliputi orang tua, saudara, kakek, nenek, nya. Penanganan karena itu harus tepat mengatasi sumber
paman, bibi, bahkan pengasuh atau pembantu. utamanya dan memerlukan kerjasama yang baik dengan orang
b. Lingkungan sekolah sebagai sumber ketegangan, baik tua.

156 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

Вам также может понравиться