Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Penyunting
Penyunting
Tatang Kustiman Samsi
Jacobus Jimmy Setiawan
Sugianto Djoharman
Daftar Isi :
2. Pengantar
7 Sambutan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia
9 Sambutan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Universitas Tarumanagara
10 Sambutan Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Sumber Waras — FK Universitas Tarumanagara
Demam Berdarah Dengue
11 Dengue Hemorrhagic Fever - A Global public Health problem — Dr. Duane J. Gubler, Sc.D.
14 Kebijakan nasional pada Demam Berdarah Dengue — Dr. Thomas Suroso, MPH.
19 Pengamatan klinis Demam Berdarah Dengue di Rumah Sakit Sumber Waras (1968 — 1991) — Dr. Tatang Kustima n Samsi, DSA.
26 Pemberantasan penyakit Demam Berdarah melalui pengawasan kualitas lingkungan — DR. Sumengan Sutomo.
34 Recent developments in Research on Dengue Hemorrhagic Fever— Dr. Duane J. Gubler, Sc.D.
35 Patogenesis dan patofisiologi Demam Berdarah Dengue — DR. Dr. Sutaryo, DSAK.
40 Demam Berdarah Dengue berat dengan konfirmasi virologik — Dr. Sugianto Djoharman
44 Problematik diagnosis Demam Berdarah Dengue — Dr. Tatang Kustiman Samsi, DSA.
50 Manifestasi klinis langka Demam Berdarah Dengue — Dr. Sugianto Djoharman
53 Peranan ultrasonografi dalam penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue — Dr. Melani Witarsa Setiawan, MSc.
57 Demam Berdarah Dengue: Pengalaman di Bagian llmu Kesehatan Anak RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta - Dr. Sri Rezeki Harun,
DSA.
62 Demam Berdarah Dengue: Pengalaman di Bagian ilmu Kesehatan Anak RS Hasan Sadikin, Bandung—Prof. Dr. Azhali M.S, DSAK.
66 Demam Berdarah Dengue: Pengalaman di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS DR. Karyadi, Semarang — Dr. Anggoro D.B. Sachro,
DSA, DTM&H.
70 Dengue virus surveillance at Sumber Waras Hospital September 1987 through August 1992 — Dra. Ratna Tan
71 Potential pathogenic roles of acute inflammatory cytokines and HLA status in DH-HF— Peter Donald 0' Hanley, MD., MPH.
72 Study of human peripheral blood leukocytes from Dengue immune persons, relation ship between FC receptor expression and virus
growth — Gerald B. Jennings, DVM, PhD.
Penyakit Tropis
Ultrasonografi
96 Pengalaman Ultrasonografi Abdomen di RS Sumber Waras — Melani W. Setiawan, I. Susanto, Purnadi K, JJ Setia wan, II. Wulur
99 Echo Encephalography of newborn infants baby — Willem Baerts, M.D.
104 USG examination of the hepatobiliary system — Mei-Hwei Chang, M.D.
106 Indikasi USG ginekologi pada anak — Dr. Indra Wiradharma
110 Ultrasonografi intervensi tumor perut — dr. Haryanto Sidharta
Endoskopi
112 Helicobacter pylori & duodenal ulcer children – Mei-Hwei Chang, M.D.
113 Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP) diagnostik dan terapeutik pada Obstruksi Bilier– DR. Laurentius A.
Lesmana, PhD.
115 Endoskopi pada pendarahan gastrointestinal – Dr. Hadjat S. Digdowirogo, DSA.
121 Hematuria pada anak: Pendekatan diagnosa – Dr. Setiadharma Selopranoto, DSA.
126 Hematuri pada anak: Aspek radiologi – Dr. Linda Supardi
129 Hematuri path anak: Aspek sonografi – Dr. Melani Witarsa Setiawan, MSc.
132 Hematuri pada anak: Aspek urologi – Dr. Zainal Abidin
135 Pendekatan psikologis terhadap anak yang dirawat dan sikap orang tua – Prof. DR. Singgih D. Gunarsa
149 Nyeri perut berulang dan menahun pada anak – Dr. Hansa Wulur
155 Faktor psikogenik pada gangguan organik nyeri perut berulang dan menahun pada anak – Prof. Dr. Singgih D. Gunarsa
SAMBUTAN KEPALA LITBANG KESEHATAN
PADA ULANG TAHUN KE 25 BAGIAN
KESEHATAN ANAK RS SUMBER WARAS -
FK TARUMANAGARA DESEMBER 1992
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Temu ilmiah bulanan dan Seminar 3 Hari dengan tema " Peningkatan kuali-
tas anak mempersiapkan sumber daya manusia yang produktif dan kreatif dalam
Pembangunan Nasional" merupakan rangkaian acara ilmiah dalam memper-
ingati HUT ke-25 Bagian Ilmu Kesehatan Anak dan Lustrum VI Universitas
Tarumanagara.
Peningkatan kualitas anak merupakan tujuan antara dalam perjalanan pan-
jang pembinaan manusia seutuhnya agar kelak menjadi pelaku yang produktif
dan kreatif dalam Pembangunan Nasional. Sekelumit faktor yang mungkin akan
mengganggu dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang panjang ini
disorot dalam seminar, meliputi penyakit tropik dengan fokus Demam Berdarah
Dengue dan tindakan diagnostik yang pada dekade ini berkembang pesat yaitu
endoskopi anak dan pencitraan sonografi pada anak.
DBD dipilih sebagai bahan diskusi utama untuk mengantisipasi dan mem-
persiapkan diri terhadap prakiraan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) hebat
dalam tahun 1993. Data pengamatan dan penelitian DBD yang disajikan oleh
pembicara dari RS Sumber Waras – FK Universitas Tarumanagara adalah hasil
kerja sama UPF/Lab. Ilmu Kesehatan Anak dengan NAMRU-2 di Jakarta yang
digiatkan kembali sejak bulan September 1987 sebagai persiapan menghadapi
KLB tahun 1988. Pembicara dari NAMRU-2 Jakarta dengan subjek penelitian
penderita rawat inap RS Sumber Waras, pakar dari manca negara, Instansi
Pemcrintah dan Lembaga Pendidikan Kedokteran Negeri serta pakar disiplin
il mu sosial memberi bobot pada seminar dan gambaran yang menyeluruh
mengenai permasalahan ini.
Pada Temu ilmiah bulanan yang berorientasi pada pemecahan masalah
(problem solving oriented) dibahas antara lain: Psikologis anak yang dirawat dan
sikap orang tua, nyeri perut kronik berulang ditinjau dari segi medik, nerologik
dan psikologik, dan lain-lain. Pokok bahasan acara ini ialah permasalahan yang
scring dijumpai dalam pekcrjaan schari-hari.
Semua makalah ini dikumpulkan dalam buku naskah lengkap seminar
dengan harapan bermanfaat sebagai masukan tambahan dalam pclaksanaan
pclayanan keschatan anak.
Kepada para pembicara, pemandu dan semua pihak yang terlibat dalam
seminar dan penerbitan buku kumpulan makalah ini disampaikan terima kasih.
The past 20 years has seen a dramatie global expansion of serotypes (DEN-1, DEN-2 and DEN-3) circulated simul-
epidemie dengue/degue hemorrhagic fever (DHF), with in taneously during most of those years. The last signifieant dengue
creased frequeney of epidemie activity eaused by all four virus outbreak in Colombo oceurred in 1982 - 83 even though
serotypes in Asia, the Pacifie and the Americas. This paper will most eonfirmed dengue infeetions showed seeondary serologie
review recent trends in each geographie area' and identify responses. Studies are now in progress to investigate the viruses
factors responsible for continued spread of the disease. assoeiated with the 1989 - 90 epidemie and to eompare them
In Southeast Asia, established epidemie patterns eontinued with viruses isolated during the 1980s in an effort to determine
in eountries sueh as Thailand, Myanmar and Indonesia where whether genetie ehanges may have oeeured that eould explain
DHF has been endemie for many years. In other eountries, the changing disease pattern observed.
however, the disease and transmission patterns eontinue to Singapore is another Southeast Asian eountry where the
change. For example Sri Lanka,a eountry previously eonsidered dengue transmission pattern has been changing in recent years.
a silent area for DHF, reported the first major epidemic in his- The Aedes control program implemented in 1969 was very
tory in 1989 and 1990. Two transmission peaks oceured in effeetive and from 1974 to 1985 dengue transmission
assoeiation with the monsoons in 1989, with a total of 204 DHF remained low with only an oeeasional ease of DHF reported. In
eases and 20 deaths reported that year. In 1990, transmission 1986, however, a small outbreak oeeurred (354 cases of dengue
was more intense with only one peak assoeiated with the south- fever/DHF) and sinee then transmission has inereased pro-
west monsoon (May - July). A total of 1,119 DHF eases and 60 gressively, with 436 and 944 eases reported in 1987 and 1989,
deaths were reported in 1990. In both years over 75% of the respectively. In 1990, the largest outbreak in Singapore history
reported eases oeeurred in ehildren less than 12 years of age. In occurred, with 1,733 cases and three deaths. Not all of these
1989, all reported eases were from Colombo, but in 1990. DI-IF eases were DHF, but 95% were hospitalized. Morbidity was
cases were also reported outside the eapital eity. It is not highest among children and young adults. Transmission was
known for sure at this time, but DEN-3 appeared to be the widespread in the eastern part of Singapore, but was highest in
predominant virus serotype involved, although DEN-2 was also selected foci where the Aedes house index exceeded 10%. This
isolated. was followed by 2,179 eases and 6 deaths in 1991. Other statisties
This is the first epidemic of DHF to occur in Sri Lanka were similar to 1990.
and the reasons for its occurrence at this time are unelear. Inves- These outbreaks underseore the importance and the
tigations eonducted by seientists at the Medieal Researeh diffieulty of sustaining suecessful prevention and eontrol pro-
Institute, Colombo, have monitored dengue transmission in grams. The sueeess of the Singapore program in the 1970s and
that eity for over 10 years. Mosquito densities and distribution early 1980s resulted in a waning herd immunity in the population,
have not ehanged significantly furing that time. Virologie sur- and when the Aedes population densities inereased in the late
veillanee has doeumented that all four dengue virus serotypes 1980s, the result was epidemic transmission.
have been transmitted during that same time and that at least 3 In the Pasifie, epidemie dengue eontinues to oeeur, fre-
RINGKASAN
Penyakit DBD eenderung semakin menyebar luas sejalan
dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk.
Untuk membatasi penyebaran penyakit DBD diperlukan pembi-
naan peran serta masyarakat untuk melakukan PSN secara terus-
menerus, melalui kerja sama lintas sektoral dalam koordinasi
Kepala Wilayah/Kepala Daerah.
Dengan diterbitkannya SK Menkes No. 581/Menkes/SK/
VII/1992 tanggal 27 Juli 1992 diharapkan upaya pemberantasan
penyakit demam berdarah dengue dapat dilaksanakan dengan
lebih intensif dan secara luas sehingga penyakit ini tidak me-
rupakan masalah kesehatan masyarakat.
Keterangan :
* Insidens per 100.000 penduduk
HASIL
Kelompok I terdiri dari 481 anak dengan umur rata-rata
7,7 ± 3,2 tahun dan kelompok II dari 164 anak, umur rata-rata
8,3 ± 3,4 tahun. Pada kelompok I usia Iebih muda dan derajat
pen yakit lebih ringan secara bermakna dari kelompok II (tabel 1
dan 2).
Manifestasi klinis
Beberapa gejala Minis yang terlihat selama epidemi berbeda
dengan masa inter-epidemi terutama dalam keluhan sakit perut,
perdarahan spontan dan petekia, semuanya lebih rendah path
saat epidemi (tabel 3, 4 dan 5). Hal ini mungkin disebabkan
antara lain pada masa epidemi timbul perasaan waswas dan
Catalan : * bahan dari (4) ketakutan sehingga penderita berobat lebih dini dan lebih eepat
dirawat.
Dalam tahun 1988 terjadi ledakan hebat penyakit DBD Perubahan frekuensi gejala klinis penting seperti tereantum
ABSTRAK
Dalam rangka mencari cara pemberantasan yang lebih efektif, telah diadakan studi
eksperimen di kotamadya Sukabumi Jawa Barat dari bulan Oktober 1988 — Maret 1989.
Tujuan studi mempelajari dampak berbagai eara pemberantasan terpadu terhadap peri-
laku penduduk dan index jentik.
Kegiatan dalam studi terdiri dari survei dasar, intervensi dan penilaian. Pada survei
dasar dan penilaian diadakan survei perilaku penduduk dengan eara mewawaneara, dan
survei entomolog menggunakan single larva method dan penangkapan nyamuk. Kegiatan
intervensi terdiri dari kombinasi fogging dengan malathion; abatisasi dan PSN; PSN dan
pengawasan kualitas lingkungan.
Pengawasan Kualitas Lingkungan merupakan intervensi yang paling efektif
meningkatkan pengetahuan, sikap, perilaku penduduk dan menurunkan indek jentik.
Persentase perubahan efektif yang terjadi pada pengetahuan 71,2, sikap 39,8 dan perilaku
46,5 dan menurunkan house index 13,3, container index 1,0 dan breteau index 13,4.
Selanjutnya perlu adanya upaya pengembangan PKL lebih lanjut untuk meneari alter-
native lain yang lebih efisien.
PENDAHULUAN dan indek jentik. Cara pemberantasan yang dilakukan terdiri dari
Penyakit dengue haemorrhagic fever (DHF) atau demam fogging, abatisasi, pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan
berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kese- pengawasan kualitas lingkungan (PKL). Studi ini dilaksanakan
hatan masyarakatdi Indonesia. Direktorat Jenderal P2M dan PLP oleh Direktorat Jenderal P2M dan PLP bersama Badan Peneliti-
melaporkan bahwa rata-rata penderita yang meninggal setiap an dan Pengembangan Kesehatan dari bulan Oktober 1988 s/d
tahun meningkat sejak tahun 1968. Dewasa ini penyakit itu telah Maret 1989.
menyebar di 27 propinsi, 300 kabupaten, dan pada tahun 1988
dilaporkan 45.791 penderita dan 1.432 kematian. BAHAN DAN CARA
Dalam rangka mencari metode pemberantasan DBD yang Lokasi studi di 15 desa yang berada di 2 kecamatan kota-
efektif, telah dilakukan suatu studi di kotamadya Sukabumi, madya Sukabumi. Jumlah penduduk 109.647 orang terdiri dari
Jawa Barat. Studi ini bertujuan untuk mempelajari dampak ber- ± 23.373 rumah tangga. Menggunakan kriteria kasus DBD
bagai eara pemberantasan terpadu terhadap perilaku penduduk antara tahun 1983 — 1988, desa dikelompokkan dalam 3 strata
Catatan : Tclah dimuat dalam MEDHKA, No. 7 Tahun 17, Juli 1991
Tabel 3. Proporsi agama ibu rumah tangga pada sampel sebelum dan
sesudah intervensi
PPE = persentasi perubahan efektif.
P1 = persentasi jawaban benar sebelum intervensi.
P2 = persentasi jawaban benar sesudah intervensi.
HASIL
Banyak rumah tangga yang berhasil dikunjungi sebelum
intervensi pada survei dasar dan survei penilaian seperti tertera
pada tabel 1.
Tabel 1.Besar sampel menurut strata, desa dan macam intervensi
Sikap
Pada umumnya ibu di semua strata memiliki sikap positif
mengenai DBD. Rata-rata sikap positif di strata I 81,8%, strata II
86,0%, strata III 84,7% dan strata IV 82,2%. Ibu di strata I me-
miliki sikap positif yang paling rendah dibandingkan di strata
lain. Sikap yang masih rendah didapalkan di semua strata me- Frekuensi pengecekan TPA di semua strata bervariasi antara
ngenai frekuensi pemeriksaan TPA. Sikap ibu mengenai frekuensi 13,0-24,5% dan terendah di strata IV. Pemberantasan jentik dan
pemeriksaan TPA, terendah di strata IV yaitu 41,5%. nyamuk di semua strata bervariasi antara 11,3-49,1%, dan teren-
Sesudah intervensi terjadi peningkatan sikappositif di semua dah di strata IV. Adanya pakaian tergantung di semua strata
strata. Persentase perubahan efektif sikap di strata I 12,7, strata bervariasi antara 8,6—16,5% dan terendah di strata IV.
II9,6, strata III 1,5, dan strata IV 39,8. Perubahan efektif di strata Sesudah intervensi terjadi peningkatan perilaku yang men-
IV lebih besar dibandingkan dengan di strata lain. PPE di strata dukung pemberantasan vektor DBD. Persentasi perubahan efek-
IV 2,5 X lebih besar dari PPE karena keseluruhan intervensi di tif perilaku di strata I 33,8, strata II 38,8, strata 11I 21,0, strata IV
kotamadya Sukabumi. Proporsi penduduk di setiap strata tidak 46,5. Perubahan efektif di strata IV lebih besar dibandingkan
mempengaruhi sikap terhadap DBD (p > 0,05) (Tabel 6). dengan strata.lain. PPE di strata IV 1,3 X lebih besar dari PPE
Vektor
Menurut survei jentik dan nyamuk, jenis vektor yang ada di
kotamadya Sukabumi adalah A. aegypti dan A. albopictus.
Pemeriksaan TPA baik di dalam maupun di luar rumah ditemu-
kan 71,0% A. aegypti dan 14,5% A. albopictus (N ± 00). Jenis
TPA di daerah perumahan: 40,5% bak mandi, 11% tempayan,
25,5% ember dan 33% TPA lain. Letak TPA pada umumnya
(89,9%) berada di dalam rumah.
Di sekolah dan TTU/I (N = 90) ditemukan 20% A. aegypti
dan 33,3% A. albopictus. Jenis TPA terdiri dari 86,6% tempayan,
12,3% TPA lain. Letak TPA umumnya (81,8%) bcrada di dalam
gedung.
Secara keseluruhan indek jentik termasuk house index,
container index dan breteau index di Sukabumi cukup tinggi. Ini
mcnandakan bahwa Sukabumi merupakan dacrah potensial DBD.
Scsudah 3 bulan intervensi bersama dan tcrpadu nampak tidak
ada pcnurunan akan tetapi tcrjadi kenaikan indek jentik. House
index mcncapai 18,6, container index 12,9 dan breteau index
35,2. Sctclah 6 bulan intcrvcnsi penurunan hanya tcrjadi path
house index scbesar 1,7 dan tidak tcrjadi penurunan container
index maupun breteau index (Tabel 8).
Analisis lebih lanjut mcmbcrikan data house index, con-
ABSTRACT
The global resurgence of epidemie dengue/dengue he- Another exeiting advanee in reeent years is the development
morrhagie fever during the past 15 years has underseored the by Mahidol University scientists in Thailand, of attenuated live
need to develop improved diagnostie techniques as well as more virus eandidate vaeeines for all four dengue serotypes using
effeetive prevention and eontrol strategies. There has been sig- primary dog kidney (PDK) eells. These have all been safety
nifieant progress in both of these areas in the past 5 years. This tested in humans as Monovalent vaeeines with exeellent results.
paper will give a brief overview of reeent advanees in metho- Reeent safety trials as bivalent, trivalent and tetravalent vaeeines
dologies that ean be used both for laboratory diagnosis and for have shown that there is no interferenee between the viruses
surveillanee, and of reeent developments in dengue vaecine when given to humans simultaneously. Rather, there appears to
researeh. be an enhaneement of the dengue-1 and dengue-3 eandidate
Development of the polymerase ehain reaetion (PCR) has vaeeines by the dengue-s and dengue-4 candidates. When given
provided potentially the most useful diagnostie methodology in an tetravalent formulation, neutraliaing antibody develops to
in reeent years. This teehnique is based on making oligonueleo- all four serotypes.
tide primers that are unique to selected regions of the genome of
a partieular agent, in this case dengue virus. These primers ean be The progress with the PDK attenuated eandidate vaeeines is
both serotype and virus speeific. They are used to amplify small exeellent, but it is elear that if a dengue vaeeine is to be used to
amounts of cDNA by PCR. Several PCR approaches have been prevent dengue hemorrhagic fever, it must not only be safe and
developed for dengue viruses, most of whieh have eomparable or effeetive, but economieal. It is unlikely that the Mahidol Univer-
slightly less sensitivy than virus isolation in detecting dengue sity PDK eandidates vaeeine ean be produeed in large enough
virus in viremic serum. In prineipal, however, the PCR teehnique quantities and will be economieal enough to be used on a wide
should have greater sensitivity while giving eomparable speci- seale in the developing world. Therefore, it will probably be
fieity. neeessary to develop a genetically engineered recombinant vae-
The PCR teehnique has been extremely useful in determin- eine for this disease. Considerable researeh has been done in this
ing genetie differenees between dengue virus strains of the same area in reeent years and the teehnology is now being applied to
serotype. This method, which looks at the whole envelope recombinant dengue vaeeine development. The most likely
protein, has allowed us to reelassify the dengue virus topotypes approaeh will be to develop eDNA infectious elones for eaeh of
that were originally determined by alogonueleotide fingerprint- the serotypes. This research will be diseussed along with pros-
ing. Reeent data on the molecular epidemiology of dengue-2 and pects for its use in prevention and eontrol of dengue hemorrhagie
dengue-3, and the epidemlologie implieations will be discussed. fever.
Patofisiologi dan patogenesis Demam Berdarah Dengue dapat ditemukan antigen dengue, deposit kompolemen, imuno-
(DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever/Dengue Shock Syn- globulin dan fibrinogen pada dinding vasa at . Pada fase awal
drome (DHF/DSS) menjadi subyek yang utama dalam bidang timbul vaskulopati dan disfungsi trombosit, selanjutnya muncul
penelitian dengue, dalam upaya untuk menjelaskan manifestasi trombositopenio). Fungsi trombosit yang terganggu berupa
klinis dengue yang sangat luas, dari ringan sampai berat. Tetapi penurunan agregasi, kenaikan platelet faetor 4 (PF4) dan
basil penelitian yang sudah hampir satu abad belum dapat mene- penurunan betathromboglobulin (BTG) disertai memendeknya
rangkan mekanisme yang sesungguhnya tentang patofisiologi umur trombosit. Mekanisme hipoagregasi trombositbelum jelas.
dan patogenesis dari DHF/DSS. Kesulitan para peneliti salah Kemungkinan agregasi trombosit dihambat oteh adanya kom-
satunya karena model binatang pereobaan untuk menimbulkan pleks imun yang terdiri atas antigen virus dengue dengan antiodi
gejala klinis yang mirip DHF pada manusia tidak tersedia. anti dengue di dalam plasma atau dihambat oleh fibrinogen
Perubahan pokok patofisiologi yang terjadi pada DHF/DSS degradation product (FDP). Tetapi karena FDP tidak selalu ada,
adalah pertama vaskulopati, ke dua trombopati, ke tiga koagu- penjelasan melalui hambatan FDP tidak dapat dipertahankan.
lopati, ke empat perubahan imunologi humoral dan seluler. Boonpueknavig et at. (1979) menunjukkan adanya antigen de-
Diperkirakan perubahan patofisiologi tersebut disebabkan oleh ngue dan komplek antibodi di permukaan trombosit( s ). Apakah
tidak hanya satu faktor tetapi disebabkan oleh multifaktorial. hal ini yang menyebabkan terjadinya hipoagregasi belum
Vaskulopati ditandai dengan terjadinya kerapuhan pembuluh diketahui. Trombositopeni pada DHF dapat disebabkan karena
darah dan peninggian permeabilitas kapiler. Keiapuhan pembu- adanya komplek imun di permukaan trombosit. Komplek imun
luh darah dibuktikan dengan uji tourniquet atau Rumpel Leede tersebut akan menyebabkan rusaknya trombosit yang kemudian
atau uji Hess. Uji ini mungkin positif meskipun waktu perdarah- akan diambil hati dan lien (6) . Trombositopeni dapat juga terjadi
an normal ' . Sehingga muneul pertanyaan mendasar terhadap karena depresi sumsum tulang m dan konsumsi yang berlebihan
)
(
mia. Biopsi pada bereak merah di kulit menunjukkan adanya Perubahan imunologik pada DHF terdiri atas perubahan
edema perivaskuler pada mikrovaskulatur terminal di daerah imunologik humoral dan seluler. Perubahan humoral dapat
papila kulit, dengan infiltrasi limfosit dan monosit. Di daerah ini dibuktikan dengan terbentuknya antibodi IgG yang dipakai se-
li mfosit besar yang dominan". Setelah itu muneul menonuklear Antibodi terhadap dengue sebelum infeksi yang kedua
yang•besar dan transitional cells. Muneulnya transitional cells merupakan faktor penting patogenesis dengue. Menurut hipo-
atau limfosit yang sejenis itu juga ditemukan oleh penelitian ts•" -24). tesis ini infeksi primer pada umumnya menyebabkan penyakit
Karena bentuk LPB menyerupai plasma sel, dan pada saat itu ringan. Infeksi sekunder pada individu yang telah mempunyai
muneul kenaikan imunoglobulin dan kenaikan limfosit-B, maka antibodi heterolog merupakan kondisi kritis untuk terjadinya
diduga LPB adalah termasuk populasi limfosit-B. Hasil imuno- DHF/DSS( • ). Ada kemungkinan bahwa vaksinasi Japanese-B
29 30
peroksidase dengan menggunakan monoklonal antibodi CD4, diikuti infeksi virus dengue akan menimbulkan gejala klinis
CD7, CD8, CD22, Ia dan DR didapatkan LPB tersebut meru- penderita dengue yang lebih berat( 31) karena pada pasca vaksinasi
pakan eampuran dari li mfosit-T dan limfosit-B dengan per- muneul antibodi terhadap flavivirus. Kenaikan antibodi terutama
bandingan 1:1, sedang perbandingan T helper dan T supressor IgG dan IgM dan kenaikan komplemen C3a dan C5a menum-
2:3. Pada kasus-kasus yang berat jumlah T supresor terdapat buhkan pemikiran adanya teori antigen antibodi akan meng-
kecenderungan lebih meningkat o'). aktivasi komplemen. Karena C3 proaktivator normal maka
Arti diagnostik LPB adalah dapat membantu memilahkan Ikeuchi (1981) menduga bahwa aktivasi komplemen bukan
infeksi dengue dan non-dengue. Dengan LPB 4% pada darah melalui jalur altematif". Virus dengue eepat hilang dari darah
tepi basil sensitivitas dan spesifisitas pada hari ke empat dan ke dan jaringan o ). Hal tersebut diduga antigen virus dinetralisir oleh
li ma adalah : 68% dan 86%, 81% dan 83%. Apalagi kalau antibodi. Malasit (1987) mendapatkan kenaikan C3a mempunyai
digabung dengan uji tourniquet yang positif, kombinasi kedua korelasi dengan berat ringan penyakit°2). Kadar C3a pada DHF
parameter tersebut mempunyai nilai sensiti vitas dan spesifisitas IV secara bermakna lebih tinggi daripada kelompok yang lain
pada hari keempat dan kelima sebesar 81% dan 84%, 84% dan yang lebih ringan, adanya sirkulasi imun kompleks dalam da-
86%. Uji tersebut sangat spesifik kalau digabung dengan trom- rah03) dan histamin pada air kencing' 33) , semuanya memperkuat
bositopenia (< 150.000/mmkubik) sejak hari kedua demam. teori aktivasi komplemen. Aktivasi komplemen akan mem-
Selain sebagai pembantu diagnosis dini (sebelum timbul produksi C3a dan C5a yang akan menaikkan permeabilitas
shock), penghitungan LPB relatif sederhana yaitu dengan kapilero' ) .
menggunakan preparat dan pengecatan rutin hematologi: Giemsa, Teori infeksi sekunder yang berturutan dengan serotipe lain
Wright atau May Grunwald. Ketiganya memberikan basil yang tersebut temyata tidak selalu dapat menerangkan kejadian DHF/
tidak berbeda. Prosentase LPB tidak dipengaruhi oleh status DSS. Pertanyaan yang masih tetap belum terjawab adalah :
nutrisi pasien, pemberian obat parasetamol, salisilat, ampisilin, mengapa tidal( semua infeksi sekunder menimbulkan infeksi
kloramfenikol( 8 ). berat dan itu merupakan proporsi yang sangat besar (97–99%
Dari kejadian di atas, yaitu adanya perubahan vaskuler, tidak shoek). Kalau teori tersebut benar maka di daerah endemis
trombosit, koagulasi, imunologi seluler dan humoral, para ahli akan sangat mungkin muncul infeksi ke tiga, ke empat dan
kemudian menyusun teori patogenesis. Bermacam-macam teori seterusnya yang tentunya akan menimbulkan reaksi lebih berat.
patogenesis diajukan oleh banyak pakar, dan kadang berten- Demikian juga akan sangat riskan kalau mendapat vaksinasi,
tangan. Hal itu menunjukkan bahwa patogenesis DHF belum karena akan menimbulkan antibodi di dalam tubuh.
jelas. Di sini akan dibicarakan hipotesis patogenesis secara Infeksi beratpun dapat juga terjadi pada infeksi primer. Hal
umum. tersebut dilaporkan di Jakarta, Kepulauan Tonga, Manila, dan
RINGKASAN
Perubahan patofisiologi pada DHF yang sudah diketahui
antara lain perubahan pada vaskuler, trombosit, koagulasi dan
imunologi. Pada perubahan vaskuler terjadi kerapuhan pembu-
luh darah dan kenaikan permeabilitas kapiler. Trombosit pada
fase awal penyakit akan terjadi gangguan fungsi, kemudian
menyusul trombositopenia, gangguan agregasi, penurunan beta-
thromboglobulin, kenaikan PF4 dan umurnya memendek.
Koagulopati yang terjadi berupa penurunan sejumlah faktor
koagulasi, dan terjadi pula koagulasi intravaskuler. Perubahan
imunologi seluler dan humoral antara lain munculnya leukopenia,
aneosinofilia, limfosit plasma biru, penurunan limfosit –T dan
kenaikan limfosit-B, peningkatan imunoglobulin dan komplek
imun.
Saat ini terdapat banyak teori patogenesis DHF yang me-
nunjukkan belum jelas patogenesis yang sesungguhnya. Paw-
genesis tersebut antara laijn infeksi sekunder yang berturutan
dengan tipe virus yang lain, yang ada hubungannya dengan ADE,
IgM dan makrofag, teori virulensi virus, teori trombosit-endotel,
dan teori mediator. Tidak satupun teori patogenesis itu dapat
menjelaskan terjadinya DI-1F secara tuntas. Diharapkan peneli-
tian biologi molekulerdapat membantu men jelaskan patogenesis
DHF. Kemungkinan besar DHF merupakan penyakit multi-
faktorial.
rata suhu tubuh pada saat renjatan 37,7° ± 1 °C. Lama demam di
rumah sampai timbul renjatan berkisar antara 2 — 7 hari dengan
nilai rata-rata 5 ± 1 hari. 86% penderita sudah menderita demam
di rumah selama 3 — 5 hari (Gambar 2). Gejala klinis lain yang
menonjol ialah muntah, nyeri abdomen dan hepatomegali, me-
liputi lebih dari 60%.
Pemeriksaan laboratorium darah sederhana pada saat renjat-
an terlihat pada tabel III. Didapat hemokonsentrasi (nilai rata- baru terlihat pada masa konvalesen yaitu spesimen II dan III.
rata Hb 13,0± 1,6 dan Ht 41 ± 6,1), trombositopeni (nilai rata-rata Hubungan isolasi virus dan scat renjatan terlihat pada gambar 3.
trombosit 96.000 ± 86.000) dan lekopeni (nilai rata-rata lekosit Isolasi virus dari saat renjatan sampai 2 hari sesudah renjatan
4600 ± 2700). didapat 80% dengan frekuensi terbanyak satu hari sesudah renjat-
Pemeriksaan serologis untuk tes HI, hanya 35 penderita an sebanyak 44%.
yang dapat dinilai. Interpretasi menurut WHO 1975 maupun Serotipe virus Dengue terbanyak Dengue 3, sejumlah 71%
WHO 1986 menunjukkan bahwa infeksi primer lebih banyak dan paling sedikit Dengue 4 hanya 5%. Jumlah penderita yang
daripada sekunder (tabel IV). meninggal karena Dengue 1 sejumlah 25% dan Dengue 3, 75%.
KESIMPULAN
1. Infeksi primer lebih berperan pada DBD berat.
2. Gejala melena mempunyai hubungan erat dengan renjatan
berulang.
3. Gagalnya mengatasi renjatan dalam 1– 2 jam pertama dan
renjatan berulang memperburuk prognosis.
tidak jarang trombositopeni baru terjadi seminggu setelah sakit. IgM dan IgG serta isolasi virus.
Diagnosis pasti DBD ditegakkan dengan pemeriksaan Pemeriksaan TT dikerjakan sesuai dengan eara yang di-
Hemaglutinasi Inhibisi (HI) akan tetapi diperlukan sampel darah anjurkan WHO (1986) dan untuk menghitung jumlah petekia
ganda akut dan konvalesen. Kadar IgM dapat pul a dipakai untuk dipergunakan lembar plastik transparan yang telah digambari
menegakkan diagnosis pasti dan hasilnya dapat diperoleh dalam kotak berukuran 1 inch 2 (2,8 cm x 2,8 cm). Jumlah petekia
waktu lebih singkat. Pengamatan terdahulu(') menunjukkan dihitung di daerah voler di mana terdapat petekia terpadat.
bahwa pemeriksaan IgM dari darah akut hanya positif pada 20% Data pribadi, keluhan, pemeriksaan fisik dan laboratorium
penderita, kenaikan titer IgM dan IgG baru terjadi pada hari ke 4 serta pemeriksaan harian selama dirawat dicatat.
sakit dan untuk memperoleh hasil yang baik diperlukan pula pe- Pemeriksaan darah rutin, urine rutin dan tinja rutin diker-
meriksaan darah konvalesen. Pemeriksaan li;nfosit plasma biru jakan pada saat masuk dirawat. Pemeriksaan hemoglobin, hema-
dikemukakan pula sebagai alat bantu diagnostik akan tetapi tokrit dan trombosit dikerjakan setiap 12 jam dan kalau perlu
bermanfaat terutama pada reaksi sekunder' g • • 10 )• Dewasa ini telah
8
lebih sering.
a 40 16 7 4 17 44
Perbandingan Kenalkan Hematokrlt pada Subjek dan Kontrol < 40 13 5 5 29 52
Tabel 7.
Subjek Kontrol Jumlah Jumlah 29 12 9 46 96
Kenaikan Ht -
■ % n % n %
Tabel 11. Hubungan Hematokrlt dengan Jumlah Trombosit pada Ke-
> 20% 30 31,25 5 8,62 35 23,49 lompok Kestrel
10%-19,9% 21 21,88 13 24,53 34 22,82
< 10% 45 46,88 34 64,15 79 53,02 Jumlah trombosit
Hematokrlt -
Jumlah 96 100,00 53 100,00 149 100,00 50.000 - 100.000 - > Jumlah
(%) < 50.000 150.000
100.000 150.000
Keterangan : X2 = 8.946
p < 0,05 a 40 0 0 1 12 13
< 40 1 1 7 31 40
Tabel S. Perbandingan Jumlah Trombodt pada Subjek dan Kontrol Jumlah 1 1 8 43 53
Trotabodt Subjek Kestrel Jumlah
(1000/uL) -
n % a % a % Tabel 12. Sensitivitas dan Spesifisitas Hemokonsentrasi a 20% pada DBD
<50 29 30,21 1 1,89 30 20,13 DBD Kontrol Jumlah
50 -100 12 12,50 1 1,89 13 8,72
Hemokonsentmsi a 20% 30 6 36
100-150 9 9,38 8 15,09 17 11,41
Hemokonsentrasi < 20% 66 47 113
> 150 46 47,92 43 90,57 89 59,73
Jumlah 96 53 149
Jumlah 96 100,00 53 100,00 149 100,00
Sensitivitas 31,25%
Keterangan : x2 = 25298 Spesifisitas 88,68%
p < 0,01 Positive predictive value 83,33%
Negative predictive value 58,41%
Tabd 9. Hubungan Hemokonsentrad dengan Ntlal Rata-rata Hematokrlt Accuracy 51,68%
pada Kdampok DBD dan Kontrol
Hemokonsentrad Nllal hematokrit Tabel 13. Sensitivltas dan Spesifisitas Hematokrlt a 40% pada DBD
Jumlah
(keaalkaa Ht) Mean SD DBD Kontrol Jumlah
> 20% 29 46,7 4,4 Ht 240% 47 13 60
> 10% 54 41,1 4,7 Ht < 40% 49 40 89
< 10% 45 36,9 5,3 t = 4.177 P < 0,01
Kontrd 53 37,1 3,4 t = 0.226 p > 0,05 Jumlah 96 53 149
Sensitivitse 48,96%
Ht rata-rata pada hemokonsentrasi z 20% dan hemokonsentrasi Spesifisitas 75,47%
2 10% tidak berbeda (p > 0,05). Nilai Ht rata-rata penderita Positive predictive value 78,33%
Negative predictive value 55,06%
dengan hemokonsentrasi 10% berbeda secara bermakna Accuracy 58,39%
dengan kelompok hemokonsentrasi < 10% (p < 0,01) dan nilai
PENDAHULUAN hari pertama dirawat, sisanya dikerjakan antara hari ke-2 dan
Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia saat ini masih hari ke-6 masa perawatan, untuk mencari manifestasi kebocoran
merupakan suatu penyakit endemis-sporadis yang jika tidak plasma dalam bentuk pengumpulan cairan dalam rongga pleura
ditangani seeara tepat dan adekuat dapat menimbulkan perma- dan rongga peritoneal.
salahano.2.3). Dalam praktek cukup banyak dijumpai penderita
Sistem skoring
tersangka DBD dengan gejala yang tidak khas menurut kriteria
klinis dari WHO (1986) 0 ), misalnya bila nilai hematokrit clan/ Pada penelitian ini dibuat klasifikasi berdasarkan nilai
skoring mengenai derajat DBD, trombositopeni, hemokon-
atau trombosit masih dalam batas norman (6). Oleh karena itu
diperlukan suatu sarana diagnostik-bantu yang lebih-'akurat sentrasi dan banyaknya/penyebaran kumpulan cairan bebas di
rongga pleura dan rongga intraperitoneal.
untuk mendeteksi sedini mungkin kasus-kasus tersebut 89).
Salah satu eara ialah dengan menentukan adanya efusi pleura Nilai skoring penyakit DBD :
a. Derajat DBD : skor 1 = derajat I
yang dapat diketahui dengan foto rontgen toraks° 00.
skor 2 = derajat II
Penyakit DBD terutama menyerang anak-anak, maka di-
skor 3 = derajat III
perlukan sarana peneitraan diagnostik yang tidak menggunakan
(") skor 4 = derajat IV
sistem peng-ion, untuk menghindari bahaya radiasi . Untuk
b. Trombosit : skor 1= > 150.000/mm 3
ini kami telah meneoba melakukan pemeriksaan ultrasonografi
skor 2 = 150 -100.000/mm 3
(USG) pada kasus-kasus DBD terutama dengan gejala-gejala
skor 3 = 100 – 50.000/mm 3
yang tidak khas.
skor 4 = < 50.000/mm 3
c. Hematokrit : skor 1 < 40%
BAHAN DAN CARA skor2=40–45%
Suatu penyelidikan prospektif telah dilakukan selama 1,5 skor3=46–50%
tahun dari 1 November 1990 sampai 1 Juni 1992 pada 87 bayi dan skor 4 = > 50%
anak-anak dengan dugaan menderita DBD yang dirawat di RS Nilai skoring cairan dalam rongga pleura :
Sumber Waras. Terdiri dari 48 (55,2%) anak laki-laki dan 39 a. Skor 1 = tidak ada cairan pada kedua rongga pleura kanan
(44,8%) perempuan berumur antara 5 bulan – 14 tahun. maupun kiri
Pada 87 anak yang diduga menderita DBD, dilakukan kla- b. Skor 2 = eairan di rongga pleura kanan saja
sifikasi berdasarkan ada/tidaknya gejala demam, pendarahan, c. Skor 3 = cairan di kedua rongga pleura kanan dan kin.
hemokonsentrasi dan trombositopeni. Kelompok I terdiri dari 29 Nilai skoring cairan intraperitoneal :
anak yang mempunyai 4 gejala tersebut. Sedangkan kelompok II a. Skor 1 = tidak ada cairan
58 anak dengan persangkaan DBD yang hanya mempunyai b. Skor 2 = cairan hanya terdapat/tampak di daerah perihepatik
gejala demam dan perdarahan, sebagian ada yang hanya disertai c. Skor 3 = cairan terdapatdi daerah perihepatik dan perivesikal
hemokonsentrasi atau trombositopeni saja. d. Skor 4 = cairan yang lebih banyak akan memberi gambaran
Enampuluh satu pemeriksaan USG (70%) dilakukan pada usus yang mengapung di dalamnya.
PENDAHULUAN Tabel 1. Jumlah kasus DBD Bagian IKA RSCM, tahun 1984 -1992
Melihat peta epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD) Kematian *)
di Indonesia, peningkatan jumlah kasus terjadi setiap jangka 5 Tahun Kasus (dalam %)
tahun. Dirjen P2M & PLP melaporkan peningkatan kasus DBD 1984 501 2,79
pada tahun 1978, 1983, dan 1988. Maka ramalan selanjutnya 1985 330 5,15
adalah tahun 1993 yang akan datang. 1986 850 6,59
Menghadapi hal tersebut kita perlu mengantisipasi, misal- 1987 705 10,64
1988 1031 13,58
nya lebih waspada dalam menegakkan diagnosis, memperbaiki
1989 277 9,75
tatalaksana dan managemen pasien. Maka di dalam makalah ini 1990 630 4,60
akan disajikan pengalaman mengelola pasien DBD di bagian 1991 358 3,63
IKA RSCM Jakarta, guna saling menukar informasi demi per- 1992 **) 183 5,19
baikan pengelolaan kasus DBD di masa mendatang. *) 23,2% meninggal dalam 24 jam perawatan
**) sampai dengan bulan Juni
ANGKA KEJADIAN
Jumlah kasus selama tahun 1984 sampai 1992 (sampai Tabel 2. Distribusi Jumlah kasus rata-rata per bulan DBD pada anak dl
dengan Juni 1992) dapat dilihat pada tabel 1. Pada lima tahun Bagian IKA RSCM, 1984 -1992*)
terakhir, angka kejadian DBD di Bagian IKA RSCM masih
menduduki kelompok 5 penyakit terbanyak.
Bila dilihat jumlah kematian (berkisar antara 5-10%), tam-
pak tidak jauh berbeda dengan angka kematian rumah sakit di
Indonesia(2) . Di lain pihak, Rumah Sakit dr. Cipto Mangun-
kusumo sebagai rumah sakit rujukan untuk DBD eenderung
merawat kasus berat. Sepertiga dari kasus DBD yang dirawat
disertai renjatan dan 23,2% kasus meninggal dalam 24 jam
perawatan. Menarik untuk dikaji, bahwa peningkatan angka
kematian terjadi pula pada saat jumlah kasus meningkat, seperti
terlihat pada tahun 1987 dan 1988. Maka kewaspadaan perlu
ditingkatkan bila menghadapi peningkatan jumlah kasus.
Bila ditinjau distribusi kasus per bulan, maka pada bulan
Maret, April, dan Mei tiap tahunnya terjadi peningkatan rata- o
rata jumlah kasus berturut-turut 71, 78, 67, dan 57 orang anak Jan Feb Mar A pr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
(tabel 2). Distribusi ini sesuai dengan angka kejadian DBD di 41.1 1 49.3 1 71.7 ' 73.2 1 67.7 1 57.7 ! 393 1 40.1 1 32.6 1 33.5 1 23.5 1295
Jakarta o) . Keterangan : *) sampai dengan bulan September
PENDAHULUAN Tabel 1. Distribusi umur penderita DBD di Bandung (Garna, Azhali) dan
Jakarta (Sumarmo)
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit
menular yang disebabkan oleh virus Dengue, ditandai dengan Umur Sumarmo, 1983 Garna, 1986 Azhali, 1988
(thn) -
gejala klinik yang khas berupa demam tinggi mendadak disertai Jumlah % Jumlah % Jumlah %
manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan renjatan
0–2 23 6,4 3 1,9 4 3,3
dan kematian° 1 . 2–5 132 36,9 38 25,2 10 8,3
Penyakit DBD sampai saat ini masih merupakan masalah di 5 -10 165 46,1 75 49,6 67 55,4
tanah air kita ini dan jumlah kasus dari tahun ke tahun eenderung 10 – 14 38 10,6 35 23,3 40 33,0
meningkat, demikian juga daerah yang terkena makin meluas. Jumlah 358 100 151 100 121 100
Pada tahun 1968 penyakit ini baru ditemukan di Jakarta dan
Surabaya, tapi 20 tahun kemudian telah ditemukan di 201 Dati
Wabah atau kenaikan kasus DBD selalu terjadi tiap tahun di Dari Tabel 1 tampak bahwa DBD jarang menyerang anak di
pelbagai tempat di Indonesia terutama pada musim hujan°1 . Di bawah 2 tahun dan paling sering menyerang anak golongan umur
Jawa Barat sejak tahun 1982–1983 praktis seluruh Dati II telah 5–10 tahun.
melaporkan adanya wabah DBD( 4). Di Bandung kasus DBD
Tabel 2. Distribusi Jenis kelamin penderita DBD di Bandung (Garna,
pertama kali dilaporkan pada tahun 1972 0 ) dan kemudian la- Azhali) dan Jakarta (Sumarmo)
poran-laporan berikutnya menyusul, di antaranya 1986( 6) dan
Jenis Sumarmo, 1983 Garna, 1986 Azhali,1988
1988 r'1 . Kelamin
DBD dapat menimbulkan kematian dengan Case Fatality Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Rate berkisar antara 5–10% dan paling tinggi yang pernah Laki-laki 153 42,7 68 45,0 54 44,1
dilaporkan 25% 0.9). Perempuan 205 57,3 83 • 55,0 67 55,9
Gejala klinis DBD dan derajat beratnya berpedoman pada Jumlah 358 100 151 100 121 100
kriteria WHO dan konfirmasi diagnosis DBD dilakukan dengan
pembiakan dan pemeriksaan serologis seperti Haemagglutina-
tion Inhibition (HI) test, IgM eapture Elisa dan Denmgue Blot°" 01 . Dari Tabel 2 tampak bahwa DBD menyerang laki-laki dan
perempuan hampir sama banyak sesuai dengan hasil yang di-
MANIFESTASI KLINIK laporkan Dit.Jen. P3M Depkes RI.
DBD lebih banyak menyerang anak-anak dan di Indonesia Gambaran klinis DBD ditandai oleh demam, perdarahan,
90% penderita penyakit ini adalah anak-anak di bawah umur 15 hepatomegali dan kegagalan peredaran darah dan WHO telah
tahun (2) dan tidak ada perbedaan jenis kelamin(1) . Hasil yang menetapkan kriteria untuk diagnosis klinik DBD, yaitu :
sama juga didapat di Filipina(2) . Sedangkan kami di Bandung 1) Demam mendadak tinggi selama 1–7 hari tanpa sebab yang
dan dibandingkan dengan Jakarta"") didapatkan angka-angka jelas.
seperti tampak pada Tabel 1 dan Tabel 2. 2) Manifestasi perdarahan :
Dari Tabel 3 tampak bahwa gambaran klinis DBD ber- Dan Tabel 6 ternyata ada perbedaan hasil dari interpretasi
variasi dari peneliti yang satu ke peneliti lainnya bila dibanding- serologis primer, sekunder dan presumptif. Perbedaan basil
kan dengan kriteria WHO. Hal ini dapat disebabkan karena interpretasi serologis primer coming bila kita memakai peme-
derajat beratnya DBD yang dirawat tidak sama. riksaan Dengue Blot (IgE) di manapemeriksaan ini sensitif untuk
Derajat beratnya penyakit DBD sesuai dengan kriteria dengue sekunder tapi kurang sensitif terhadap dengue primer.
WHO:
Derajat 1 : Demam dan uji Tourniquet positif. PENATALAKSANAAN
Derajat 2 : Derajat 1 disertai perdarahan spontan di kulit dan atau Dasar pengobatan DBD adalah pemberian cairan ganti se-
perdarahan lain. cara adekuat. Pada sebagian besar penderita penggantian plasma
Derajat 3 : Ditemukannya kegagalan sirkulasi yaitu nadi eepat secara dini dengan memberikan eairan yang mengandung
dan lembut, tekanan nadi menurun kurang atau sama dengan 20 elektrolit, ekspander plasma dan atau plasma memberikan basil
mmHg atau hipotensi disertai kulit yang dingin, lembab dan yang baik.
penderita menjadi gelisah. Hemokonsentrasi mencerminkan derajat kebocoran plasma
Derajat 4 : Renjatan berat dengan nadi dan tekanan darah yang dan biasanya mendahului munculnya perubahan vital secara
tidak dapat diukur. klinik.
ABSTRAK
Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini merupakan masalah karena dalam
waktu beberapa hari dapat menimbulkan kematian. Di daerah endemis seperti,Semarang,
87% dari orang tua penderita yang memeriksakan anaknya pada poliklinik Anak RS Dr.
Kariadi mengatakan bahwa DBD merupakan penyakit yang berat dan berbahaya.
Pada tahun 1972 dan tahun 1973 di kota Semarang dan sekitarnya telah terjadi
outbreak penyakit dengan gejala klinis persangkaan DBD. Sejak 1 Januari 1972 sampai
dengan 31 Maret 1973 telah dirawat 1381 anak yang berumur sampai dengan 14 tahun,
dan pada tahun 1973 telah berhasil ditemukan virologi positip. Sedangkan menurut
Kriteria klinik WHO 1975, 80% serologis positip pada penderita Tersangka DBD, dan
73,33% serologis positip pada penderita klinis DBD (1986).
Rata-rata kadar Hemoglobin (metode Sahli) 10,2 gr % (SD1, 19); dan rata-rata
Hematokrit 34,8% (SD 3,37) pada penderita DBD setelah 2 minggu sembuh dari
penyakitnya (1986).
Data 5 tahun terakhir menunjukkan : dirawat penderita Tersangka DBD, DBD dan
DSS di Bagian Anak RS Dr. Kariadi 768 orang (1987), 859 orang (1988), 250 (1989),
1240 orang (1990), dan 508 orang (1991); dengan angka kematian antara 4,1 — 5,2%.
Diagnosa T. DBD 25,4—42,8%, DBD I 23,4—29,6%, DBD II 6,9—18,1%, DBD III
2,0–9,4%, dan DSS 17,8–21,8%. Penderita T. DBD rawat jalan 26,66% akhirnya rawat
nginap, sedangkan 50% penderita DBD I akhirnya rawat nginap.
PENDAHULUAN dikenal di Indonesia, namun sampai saat ini kita masih meng-
Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih alami kesulitan dalam usaha menegakkan diagnosis dini serta
merupakan masalah kesehatan baik bagi tenaga kesehatan menurunkan angka kematian. Hal ini karena begitu luasnya
khususnya maupun masyarakat luas pada umumnya, karena spektrum gejala klinis yang diperlihatkan penderita DBD, mulai
penyakit ini dapat menimbulkan wabah, dan apabila penangan- demam ringan yang tidak khas dan sembuh sendiri dalam bebe-
annya tidak tepat dapat mengakibatkan kematian, sehingga rapa hari, sampai pada demam tinggi yang tiba-tiba jatuh pada
penyakit ini masih sangat ditakuti oleh masyarakat; kadang- keadaan syok dan perdarahan berat hingga meninggal sebelum
kadang penyakit ini muneul secara mendadak pada suatu daerah sempat diagnosis ditegakkan(2) .
tertentu yang tidak diwaspadai atau diperkirakan sebelumnya t '". Pada daerah endemis seperti Semarang dan sekitarnya,
Walaupun sudah Iebih seperempat abad penyakit DBD sekitar 90% orang tua penderita penyakit DBD maupun yang
ABSTRACT
ABSTRACT
ABSTRACT
The factors that lead to the development of the severe manifestations of dengue
infeetions, dengue hemorrhagic fever (DHF) and dengue shock syndrome (DSS), remain
unelear. In vitro antibody dependent enhaneement (ADE) of dengue virus growth has
been shown to be mediated by the presenee of sub-neutralizing amonts of specific
antibody and the presence,of Fe receptors (FcRs) expressed on suseeptible eells. Dengue
viruses are known to replieate in monocytes and maerophage eells that express FcRs.
Three classes of FcRs are detected on these eells : FcRI, FcRII, and FcRIII. Eaeh of
these receptors ean be differentiated by speeifie monoelonal antibodies. The proposed
study was eondueted : to determine wheter we eould differentiate variable FeR
expression in a group of reeently hospitalized dengue patients; to determine if we
could correlate differential expression of FcRs with dengue disease severity; and to
examine in vitro whether inereased FeRs on the surfaee of human peripheral blood
leukoeytes (HuPBLs) ean mediate inereased dengue virus replieation in the presenee of
an enhacing antibody. Whole blood was collected from 20 children who had been
admitted previously to R.S. Sumber Waras for dengue virus infection. All grades of
dengue illness were determined. HuPBLs were analyzed for the presence of FeRs, and for
their ability to replieate dengue virus in the presence of neutralizing antibody. We found
that FeRII was the dominant receptor, followed by GeRIII and FeRI. The FcR expression
varied among the study participants and could be segregated into two major groups : low-
expression or non-responders and high-expression or responders. There was no
association between the amount of FcR-expression and the severity of dengue virus
infection. In vitro ADE assays found that patients with low neutralizing antibody titers and
non-responder HuPBLs did not support dengue virus replication as eontrasted with
patients with high antibody levels and responder HuPBLs. Future Phase Ii studies will
eompare FcR profiles with serum neutralization and ADE eulture results.
ABSTRACT
Asia is an area prevalent for various hepatitis virus infeetion. Hepatitis A and B are
especially important in ehildren beeause most of the infections oeeur in ehildren in Asia.
I. Hepatitis A Virus (HAV) Infection
In the past, HAV infeetion oeeurs mainly during ehildhood. It was the most important
etiologie agent of acute hepatitis in ehildren. The majority of children has been infeeted.
The improvement of sanitation and socioeeonomic condition has made a prominent
change of seroepidemiology of HAV infection in Asia and other part of the world.
Nowadays, many ehildren and young adults are suseeptible to HAV infeetion.
However, outbreaks of HAV infection still oceur in many areas of Asia. While the
communications between eountries are increased rapidly, it is mandatory to give
immunoprophylaxis to those who is going to the endemie areas. Aetive immunization by
an inaetivated hepatitis A vaeeine has been proved to be highly immunogenic and safe
to both ehildren and adults.
II. Hepatitis B Virus (HBV) Infection
Perinatal transmission of HBV from HBsAg carrier mothers to their infants is a
eommon transmission route of HBV infection in Asia. It explains for about 40—50% of
HBV carriers in Taiwan. Age of infection is an important factor determining the outcome
of HBV infeetion. About 90% of neonates of HBeAg positive HBsAg carrier mothers
beeame HBsAg earriers while only 25% of infeeted toddlers and 3% of infeeted young
adults beeame earriers.
Age is also an important faetor to determine HBeAg positivity. The annual HBeAg
seroclearanee rate was low before 3 years of age. It increases to about 5% after 3 years of
age. During the proeess of HBeAg seroeonversion, serum aminotransferases inerease and
HBV DNA levels decline. The liver histology is usually ehronie persistent or ehronie
nonspecific hepatitis with or without focal neerosis in the early stage of chronic HBV
infeetion. It changes to ehronie active liver diseases during HBeAg seroconversion. After
HBeAg seroeonversion, aminotransferases returns to normal range, and liver histology
beeomes inaetive mostly nospecific hepatitis or ehronic persistent hepatitits, with small
oeeasions of cirrhosis.
A. Idiopatik Kolestasis
1) Hepatitis neonatal idiopatik
2) Kolestasis intrahepatik persisten, antara lain :
a) Displasia arteriohepatik (sindrom Alaggille) Relensi/Regurgitasi Konsentrasi asam empedu
b) Sindrom Zeliweger (sindrom serebrohepatorenal) intraluminal sedikit
c) Intrahepalic bile duct paucity
B. Anatomik • Asam empedu
1) Fibrosis hepatik kongenital atau penyakit polisistik infantil (pada hati atau
ginjat) Pruritus
2) Penyakit Caroli (pelebaran kistik pada duktus intrahepatik) Hcpatotoksik Malabsorbsi
C. Kelaanan metabolisme
1) Kelainan metabolisme asam amino : tyrosinemia Pick dan penyakit Faucher • Bilirubin Lemak
3) Kelainan metabolisme karbohidrat : galaktosemia, fruktosemia, glikogen- ikterus malnutrisi
osis IV. retardasi pertumbuhan
4) Kelainan metabolisme asam empedu
65) Penyakit metabolik tidak khas, antara lain : defisiensi alfa 1 – antitripsin, • Kolesterol Vitamin yang larut dalam lemak
fibrosis kistik, hipopituitarisme idopatik, hipotiroidisme Xantelasma A - kulit tebal
D. Hepatitis Iliperkolesterolemia D - osteopenia
1) Infeksi (hepatitis pada neonatus) antara lain : TORCH, virus hepatitis B E - degenerasi neromuskular
(virus hepatitis C?), Reovirus tipe 3, dan lain-lain • Penumpukan * Trace elements* K - hipoptotrobinemia
2) Toksik : kolestasis akibat nutrisi parenteral, sepsis dengan kemungkinan (lembaga dB)
endotoksinemia Diare / steatorea
E. Genetik atau kromosomal
Trisomi E, Sindrom Down, Sindrom Donahue (leprechaunisme) Penyakit hati progresif
F. Lain-lain (sirosis bilioer)
Ilistiositasis X, rejatan atau hipoperfusi, obstruksi intestinal, sindrom
poliplenia, lupus neonatal. Hipenensi porta Gagal hati
ABSTRACT
Recombinant hepatitis B vaceine has been shown to be as safe and effeetive as
plasma derived vaecines. We evaluated the effieaey in the prevention of perinatal
infeetion on an hyperendemie area. One hundred and ten high risk infants born to HBeAg
positive HBsAg earrier mothers were reeruited. They were randomized into two groups,
A (54 infants) and B (56 infants), to receive four doses of reeombinant vaeeine, eontaining
20 or 10 ug of HBsAg, respectively, at 0, 1, 2, and 12 months of age. An additional 60 high
risk infants were reeruited later (Group C) and received three 20-ug doses of vaeeine at
0, 1, and 6 months of age. All infants also received a dose (145 IU) of hepatitis B
immunoglobulin soon after birth. Sera were colleeted at 0, 1, 2, 3, 6, 12 and 14 months of
age to assay HBsAg and anti-HBs.
At 12 months of age the HBsAg earrier rates were 7.4 and 1.8%, in group A and B,
respectively. In group C, the HBsAg earrier rate was 3.3%. HBsAg was invariably first
observed between 0 and 2 months of age.
All nonearrier infants developed substantial titers of anti-HBs at 12 months of age.
No serious adverse effeet was observed after vaeeination.
PENDAHULUAN 729 penderita dan tahun 1991 549 penderita. Distribusi penderita
Penyakit diare di Indonsia masih sering dijumpai pada bayi diare terdiri dari 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan
dan anak. Pola kuman penyebab dan sensitivitas kuman een- (Tabel 1).
derung berubah dari waktu ke waktu dan dari satu daerah ke
Tabel 1. Dlstribusi penderita Diare menurut Jenis Keiamin
daerah lain, antara lain disebabkan oleh perubahan kebiasaan
penduduk. Tahun Jumlah penderita Laki-laki Perempuan
Tujuan dari penulisan ini untuk memantau penderita diare
n % n %
yang dirawat inap dengan pola kuman penyebab diare dan
resistensinya terhadap obat-obat di Bagian Anak RS Sumber 1990 729 436 (59.8%) 293 (40.2%)
Waras pada tahun 1990 - 1991. 1991 549 327 (59.6%) 222 (49.4%)
ABSTRACT
ABSTRACT
Clinical Manifestations
Childhood HCC usually remains asymptomatie until the tumor beeomes huge.
Abdominal mass or distrnsion is the most common presenting symptom. Abdominal pain
is the seeond and weight loss the third eommon presenting symptoms. Other symptoms
ineluding fever, anorexia, vomiting, jaundiee and acute abdominal erisis were also
presented oecasionally. Two of the 54 HCC ehildren in our series presented as hemoperi-
toneum due to rupture of HCC. Obstruetive jaundiee is rare on presentation.
Histoplasmosis adalah penyakit jamur sistemik yang ter- polimorf, banyak sel mieloblast, eritropoesis hipoplastis, gra-
utama menyerang sistem retikuloendotel. Penyebabnya ialah nulopoesis masih aktif, jumlah megakariosit kurang.
Histoplasma capsulatum. Histoplasmosis diseminata adalah Diagnosis kerja pada saat itu ialah aleukemik mieloblastik
bentuk klinis yang paling berat dan sering fatal. leukemia dan gizi kurang.
Penyakit ini banyak ditemukan di Amerika, dijumpai juga di Penderita diberi Baetrium®(TM-SMZ), prednison dan trans-
negara-negara beriklim sedang dan tropis, termasuk Indonesia. fusi packed cell.
Gejala klinisnya tidak khas dan sering tersamar dengan penyakit Selama perawatan, hati membesar (1/2—1/2), limpa menjadi
lain, sehingga diagnosis baru ditegakkan setelah penderita me- S. III, tampak gambaran pembuluh vena membesar pada dinding
ninggal. Akan dilaporkan dua kasus histoplasmosis diseminata perut, suhu badan masih temp naik turun dan timbul epistaksis.
pada dua saudara sekandung, tinggal di Sukabumi (Jawa Barat) Foto RSntgen toraks menunjukkan hilus kiri membesar, tidak
yang dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Rumah Sakit tampak infiltrat di kedua paru, jantung normal. Pada pemeriksaan
Sumber Waras pada tahun 1985 dan 1988. Dua kasus tersebut biopsi had, pungsi limpa dan sediaan sumsum tulang diperiksa
dapat diselamatkan dengan pemberian amfoterisin B. ulang, ditemukan sel-sel ragi berukuran 1—5 mikron dalam set
makrofag, gambaran ini sesuai dengan histoplasma eapsulatum.
KASUS 1 Pemeriksaan serologi (uji imunodifusi) dengan histoplasmin
Seorang anak laki-laki, bangsa Indonesia, umur 11 tahun, menunjukkan basil positif dan biakan darah tumbuh koloni H.
dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak, RS Sumber Waras, capsulatum.
pada tanggal 2 Juli 1985, dengan keluhan panas, pucat dan perut Pengobatan dengan amfoterisin B segera diberikan secara
membesar. Penderita tinggal di Sukabumi, sebelah rumah ada infus dalam 500 ml glukosa 5% selama 6 jam setiap hari selama
perternakan ayam. Selama dua bulan sebelum dirawat, penderita lima hari, mulai 5 mg amfoterisin B, kemudian dosis dinaikkan
dirawat di RS Sukabumi karena lemas, pucat, satu bulan men- 5 mg setiap hari sampai mencapai 25 mg, kemudian diberikan 25
derita sakit kepala dan suhu badannya panas naik turun, diagnosis mg seminggu tiga kali sampai tereapai dosis total 1250 mg. Saw
kerja pada saat itu ialah tifus abdominalis. Hasil pemeriksaan jam sebelum infus, diberikan premedikasi berupa antihistamin
ultrasonografi pada tanggal 19 Juni 1985 ialah tersangka sirosis dan antipiretik. Seminggu sekali diperiksa faal ginjal, hemo-
hepatis stadium 1. Penderita dirujuk ke RS Sumber Waras. globin, leukosit dan trombosit. Reaksi obat yang timbul ialah
Pada pemeriksaan fisik waktu masuk didapatkan penderita demam dan menggigil beberapa kali, tetapi tidak terjadi gagal
tampak sakit berat, eompos mentis, gizi kurang, lemah, pueat, ginjal. Pada akhir pengobatan hati dan limpa mengeeil, basil uji
berat badan 24 kg, suhu badan 36,5°C. Jantung dan paru tidak ada serologik dan biakan darah negatif, sediaan sumsum tulang
kelainan, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening maupun menunjukkan gambaran yang aktif dan normal, tidak ditemukan
tanda-tanda perdarahan, hati teraba (1/4 — 1/4) dan limpa S.II. lagi sel-sel ragi H. capsulatum. Penderita pulang tanggal 22
Hemogram: hemoglobin 6,2 g/dl, leukosit 2800/mm'. Sedia- November 1985 dalam keadaan baik.
an sumsum tulang menunjukkan jumlah sel eukup, gambaran Lima bulan setelah pulang, keadaan umum penderita baik,
r--
Acara "COBA S1APA DIA''
~- mak ndn s ehargn
Anda memakan
makanan seharga
+ 200,-per kilo ./
drug
PENDAHULUAN
Klorokuin merupakan obatpilihan utama untuk semua jenis P. vivax yang resisten terhadap klorokuin sudah mulai
malaria yang dipakai dalam program pemberantasan malaria. dilaporkan( 6'') dan sedang diteliti lebih lanjut di Irian Jaya dan
Klorokuin bersifat skizontosida darah untuk semua spesies P. Nias 8>. Penentuan kasus P. vivax resisten klorokuin ter-
plasmodium manusia dan gametosida Plasmodium vivax dan sebut berdasarkan konsentrasi klorokuin dalam darah serum
Plasmodium malariaeo >. Obat ini banyak dijual bebas sehingga yang diukur dengan eara high-performance liquid chromato-
tak mengherankan banyak kasus malaria resisten klorokuin graphy sudah melebihi 15 ng/ml 9>.
ditemukan.
Resistensi klorokuin adalah kemampuan parasit untuk terus PENGOBATAN MALARIA
hidup dalam tubuh manusia, berkembang biak dan menimbulkan Pengobatan dan tindakan yang dilakukan pada umumnya
gejala penyakit meskipun telah diberikan pengobatan klorokuin dipengaruhi oleh :
secara teratur baik dengan dosis standard maupun dosis lebih 1. Manifestasi klinis, dengan atau tanpa komplikasi.
tinggi yang masih dapat ditolerir oleh pemakai obat. Resistensi 2. Umur penderita: bayi, anak-anak atau dewasa.
merupakan akibat pemakaian obat yang tidak tepat( 2). 3. Keadaan lain penderita yaitu hamil atau menyusui.
Malaria yang resisten terhadap klorokuin dapat diketahui 4. Spesies Plasmodium yaitu P. vivax, P. falciparum, P. ma-
dengan tes in-vivo sistim 7 hari atau 28 hari, dan/atau tes in-vitro lariae, P. ovale, atau infeksi eampuran.
(makro atau mikro tes), sesuai dengan ketentuan WHO. Kele- 5. Tempat tinggal atau tempat asal kena infeksi: daerah sensi-
bihan tes in-vivo adalah dapat menentukan tingkat atau derajat tif atau resisten klorokuin atau resisten multidrug.
resistensi (lampiran 1), sedangkan tes in-vitro dapat dilakukan 1. Malaria sensitif klorokuin
terhadap beberapa jenis obat antimalaria pada saat yang ber- Malaria falsiparum yang sensitif klorokuin dan tanpa kom-
samaan('). plikasi diobati dengan klorokuin basa 25 mg/kgBB, seeara oral
Malaria yang resisten terhadap klorokuin biasanya di- selama 3 hari, yaitu hari I dan hari II 10 mg/kgBB, hari 1115 mg/
hubungkan dengan Plasmodium falciparum yang merupakan kgBB, diminum sekaligus. Pada hari I juga diberikan primakuin
spesies terbanyak diteliti karena dallat menyebabkan komplikasi dengan dosis sesuai golongan umur keeuali pada bayi dan ibu
dan kematian. Di Indonesia,P. falciparum yang resisten terhadap hamil (tabel 1). Penggunaan primakuin bukan sebagai anti relaps
klorokuin telah dilaporkan oleh 27 propinsi, penderita yang karenaP.falciparum tidak mempunyai bentuk jaringan sekunder
berasal dari Bali dan DKI Jakarta merupakan kasus import<4 >
(eksoeritrositer sekunder), melainkan untuk membunuh gameto-
(lampiran 2). Hal ini menyebabkan pengobatan malaria falsi- sit sehingga penularan dapat dicegah atau dikurangi(').
parum resisten klorokuin menjadi masalah yang penting. Selain Malaria vivax yang sensitif klorokuin atau malaria ovale
itu di 11 propinsi (Aeeh, Sumatera Utara, Riau, Lampung, Jawa atau malariae diobati juga dengan klorokuin basa 25 mg/kgBB,
Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi seeara oral selama 3 hari, seperti pengobatan pada malaria
Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Irian Jaya) juga telah falsiparum yang sensitif klorokuin. Primakuin diberikan selama
ditemukan adanya kasus P. falciparum yang resisten multi- 5 -14 hari sebagai antirelaps karena P. vivax mempunyai bentuk
I klorokuin 1/2 1 2 3 3– 4 Tabet 4. Pengobatan malaria falsiparum yang resisten klorokuin dan
primakuin – 1/4 1/2 3/4 1 tanpa komplikasi dengan kina sulfat.
II klorokuin 1/2 1 2 3 3– 4
primakuin – 1/4 12 3/4 1 Jumlah tablet (dosis tunggal) menurut
1II klorokuin 1/4 1/2 1 V/2 2 Hari Jenis Obat golongan umur (tahun)
primakuin – 1/4 1/2 3/4 1
<1 1–4 5–9 10–14 15+
IV primakuin – 1/4 1/2 3/4 1
V primakuin – 1/4 12 3/4 1 I kin sulfat * 1/2 1 2
Dikutip dari : Depkes R.I.1990. Malaria : Pengobatan : 3. diminum 3 kali sehari selama 7 hart dengan atau tanpa tetrasiklin
Catalan : II primakuin – 12 3/4 1 2– 3
1 tablet klorokuin =150 mg basa klorokuin.
1 tablet primakuin =15 mg basa primakuin, tidak diberikan pada bayi dan ibu diminum sekaligus pada hari pertains pengobatan dengan kina
liana
Obat diminum tidak boleh datum keadaan perut kosong. Dikulip dari : Depkes RI. 1990. Malaria : Pengobatan : 3.
Catalan :
2. Malaria resisten klorokuin * Dosis kina setiap hari unluk bayi dihitung 10 mg/umur dalam bulan, dibagi
Malaria falsiparum yang resisten klorokuin dan tanpa dalam 3 bagian yang diberikan selama 7 hari.
komplikasi' diobati dengan sulfadoksin-pirimetamin dan pri- 1 tablet kina sulfat = 200 mg kina sulfat.
1 tablet primakuin =15 mg basa primakuin, tidak diberikan pada bayi dan ibu
makuin dosis tunggal keeuali pada bayi dan wanita hamil, diberi- hand.
kan seeara oral sesuai golongan umur. Sulfadoksin diberikan
dengan dosis 25 mg/kgBB dan pirimetamin 125 mg/kgBB t '•10 3. Malaria dengan komplikasi (malaria berat)
(tabel 3). Sulfadoksin-pirimetamin bersifat skizontosida jaring- Malaria dengan komplikasi umumnya disebabkan oleh P.
an primer, skizontosida darah dan sporontosida terhadap ke falciparum yang telah resisten terhadap klorokuin sehingga
empat spesies plasmodium manusia. Obat ini digunakan pada memerlukan penanganan khusus, diagnosis dini, pengobatan
kasus malaria falsiparum di daerah yang resisten klorokuin'). eepat dan tepat karena banyak mengakibatkan kematian.
Efek samping yang pemah dilaporkan adalah sindroma Steven — Manifestasi klinis malaria dengan komplikasi dapat ber-
Johnson yang dapat berakibat fatal. bentuk malaria otak, anemia berat, gagal ginjal, edema paru,
Bila penderita malaria falsiparum tersebut masih belum hipoglisemia, syok, perdarahan spontan (Disseminated Intra-
sembuh, obat diganti dengan tablet kina sulfat dengan atau tanpa vascular Coagulation), kejang berulang, asidosis atau asidemi,
tetrasildin sertaprimakuin, dengan dosis sesuai golongan umur om hemoglobinuri, hiperparasitemi, ikterus, hiperpireksia dan ke-
(tabel 4). Di Thailand, dosis kina untuk anak-anak sekolah 10 lelahan beratt ' .10. "
mg/kgBB, 3 kali sehari, selama 4 hari kemudian dilanjutkan Pengobatan dengan kina dihidrokhlorida intravena meru-
dengan dosis 15 mg/kgBB, diberikan 3 kali sehari selama 3 hari pakan pilihan utama karena malaria berat memerlukan peng-
untuk meneapai Minimal Inhibitory Concentration (MIC) dalam obatan eepat dan tepat. Kina diberikan dalam larutan infus NaCl
INDONESIA .
nOPt.;iiopia.
s,.
- ,,
r
') Sou:. Cans S.*
Su. Sw 11
.
t
1 t. A Y S I A
aPuu:!
'' ‘3
MALA''rk ./ 9
\al
T
Pocif;c OCtan
SLRA wAK ;
e ,—. - - - - - - t,
—
v .. --'----''=---=" >
t Sui a a si i-L%..
k' .
\, :1 /
...."t :--
o. ,
ft _
a
-s
- g-'- ---t
0-a
.
—,—...._ Baaaa ''..-
..r.... _ ....I:v.!. .................... _
,
._ :'"
. l
i
A,. t S,,
a --A PAC R .
' ,/ •
a 0
iiTer Sea
Keterangan : Dikutip dari : Subdit Malaria, Dirjen P2M & PLP, Depkes RI.
=Persistent malaria transmission
li:EMPresominald Pf. incidence
0 Confirmed Pf resistance to 4 amino-quinollines
ABSTRACT
PENDAHULUAN
III. Pubertas dini
Pemeriksaan ultrasonografi saat ini dipandang sebagai IV. Tumor dalam rongga pelvis
metode pemeriksaan yang sederhana, tidak menimbulkan rasa V. Sekret vagina
nyeri dan bebas dari bahaya radiasi. Ultrasonografi pelvik teru- VI. Nyeri pelvis
tama membantu sekali bagi penderita anak/gadis dimana pe-
meriksaan bimanual pelvik sulit bahkan tidak mungkin dila- I. ANOMALUINTERSEKS/DISGENESIS GONAD
ksanakan. A. ANOMALI
Penyakit yang didertia anak-anak berbeda dengan yang I. Uterus Bikornis
dijumpai pada orang dewasa, dengan demikian kelainan yang Etiologi : Kegagalan untuk bersatu sebagian dari kedua
tampak pada pemeriksaan ultrasonografi juga berbeda. duktus Muller. Sulit dideteksi pada bayi dan anak keeil biasanya
didiagnose setelah menarehe.
PERSIAPAN Pada pemeriksaan USG potongan transversal : uterus nam-
A) Persiapan dikerjakan dengan kandung keneing yang terisi pak lebih lebar daripada normal, permukaan binoduler. Kedua
penuh yang berguna : kornu dipisah oleh satu septum dengan rongga endometrium
1. Mendesak massa usus keluar dari rongga pelvis. yang ekogenik, terutama dengan jelas nampak pada fase luteal
2. Kandung kencing berfungsi sebagai jensela akustik. untuk dari siklus haid.
membedakan macam-macam organ pelvis. Diagnosi dapat dikonfirmasi dengan histerosalpingografi.
3. Kandung kencing berperan sebagai indeks densitas bagi Dapat berkaitan dengan kelainan ginjal misalnya agenesis
pemeriksa. renalis, ektopia. Karena terdapat hubungan erat antara traktus
Bayi dan anak keeil dapat diberi air, susu atau sari buah- urinarius yang primitif dengan duktus Muller.
buahan, 1 – 3 jam sebelum pemeriksaan.
B) Posisi pasien : Pemeriksaan umumnya dilakukan pada pasien II. Hidrometrokolpos
dalam posisi telentang. Dapat terjadi pada byi bila hormon estrogen merangsang
C) Alat USG yang digunakan umumnya dari jenis real-time kelenjar uterus untuk memproduksi mukoid yang mengakibatkan
yang mempunyai kualitas resolusi yang eukup baik, bentuk lebih distensi uterus dan vagina.
kompak dan ringan, serta eara pengoperasiannya lebih praktis. Hidrokolpos : Distensi dari vagina oleh timbunan mukoid.
Pada umumnya digunakan transduser berfrekuensi 5 – 7.5 MHz Hidrometrokolpos; distensi dari vagina dan uterus.
untuk neonatus dan bayi, dan 5 – 3.5 NHz untuk anak dan Gambaran ultrasonografi : Massa kistik tubuler di garis
remaja. tengah, terletak antara vesika urinaria dan rektum, dan me-
ngandung internal eko disebabkan oleh timbunan debris sel-sel,
INDIKASI bahan mukoid atau darah, proksomal dari tempat obstruksi.
I. Anomali/Interseks genitalia/disgenesis gonad' Etiologi :
II. Amenorea 1. Himen imperforatus
PENDAHULUAN
Pertama-tama ditentukan lokasi target dengan pemeriksaan
Suatu tumor intra abdominal yang terlihat pada pemeriksaan ultrasonografi konvensional. Setelah target terlokalisir, maka
ultrasonografi konvensional, dalam beberapa keadaan tidak dapat daerah ini dibersihkan (toilet) dengan Betadine ® dan alkohol
diterangkan etiologinya ataupun hubungannya dengan organ dengan cara menurut lazimnya. Kemudian ditutup dengan kain
intra abdominal. Dalam hal ini, seringkali pula sarana penunjang berlobang steril. Ini diikuti dengan pemberian anestesi lokal.
diagnostik Iainnya juga tidak dapat menerangkan lebih jelas. Jarum halus 22G 18 cm panjangnya ditusukkan ke dalam
Keragu-raguan yang ditumbulkannya, akan memperlambat di- target dengan pimpinan ultrasonografi mempergunakan trans-
agnosis definitifnya. Dengan sendirinya akan memperlambat duser yang dirancang khusus untuk tindakan ini. Transduser
pula proses pengobatan dan penyembuhan penderita. dapat mempunyai eelah di bagian tengahnya sebagai tempat
Ultrasonografi intervensi merupakan suatu sarana untuk lewat jarum aspirasi. Disamping itu ada transduser yang mem-
menghilangkan keragu-raguan tersebut di atas. Ditunjang oleh punyai alat tambahan untuk lewatnya jarum aspirasi. Transduser
ahali histopatologi yang baik, sarana ini dapat merupakan kunci dapat berupa transduser sector atau linier. Perjalanan jarum halus
diagnostik tumor abdomen khususnya dan kelainan-kelainan dapat/harus diiikuti pada layar monitor sampai terlihat jarum
organ tubuh umumnya. menembus target. Setelah ujung jarum terlihat berada di dalam
Dalam makalah ini, penulis mencoba melukiskan prosedur target, mandren ditarik dan jarum dihubungkan dengan semprit
ultrasonografi intervensi tumor abdomen yang banyak dijumpai steril dan mulailah ditarik untuk tindakan aspirasi ini.
pada anak dan orang dewasa, karena pelaksanaan pada keduanya Hasil aspirasi diteteskan ke dalam gelas objek, dibuatpreparat
tidak menujukkan perbedaan yang bermakna. gesek, dimasukkan ke dalam alkohol pekat dan dikirimkan ke
bagian histopatologi/sitologi ataupun mikrobiologi. Sesudah
PERSIAPAN tindakan selesai tempat tusukan ditekan, untuk waktu tertentu,
Pada umumnya tidaklah diperlukan persiapan yang penting, pada umumnya sekitar 4 – 6 jam pasca tindakan.
hanya :
1) Penerangan kepada keluarga penderita. PENGAMATAN PASCA TINDAKAN
2) Izin tertulis tindakan dari keluarga penderita. Selain tiduran selama 4 — 6 jam pasca tindakan dengan
3) Pemeriksaan darah : trombosit, waktu perdarahan, waktu tekanan pada lokasi tindakan, perlu diperhatikan :
pembekuan, waktu protrombin. - keadaan abdomen
4) Pemberian obat pembekuan darah dapat diberikan sebelum tensi penderita
-
dan sesudah tindakan. - nadi penderita
- temperatur penderita
METODA Keadaan ini perlu dipertimbangkan/diperhatikan untuk
Pada umumnya tidak diperlukan posisi penderita tertentu, memantau keadaan penderita. Bila komplikasi tindakan tidak
disesuaikan dengan keadaan penderita, lokasi tumor dan kemu- mendapatkan perhatian yang baik, dapat herald bat buruk, bahkan
dahan dilakukan tindakan. dapat fatal.
Helicobacter pylori
and
duodenal ulcer in children
Mei-Hwei Chang, MD.
Department of Pediatrics, National Taiwan University Hospital, Taipei, Taiwan, R.O.C.
ABSTRACT
Duodenal uleer, though not as frequently seen as in adults, is not uncommon in
ehildren. It can be divided into acute and ehronie type. Acute duodenal uleer often oeeur
in younger ehildren with a predisposing illness such as fever, infeetion and aspirin intake.
Chronie duodenal ulcer mainly oecurs in older children (> 10 years of age) with or without
definite predisposing illness. Chronie duodenal uleer tends to recur during the natural
history. Family history of duodenal ulcer is found in half of the children with chronie
duodenal ulcer.
Recently Helieobaeter pylori (HP) was suggested to be assoeiated with the patho-
genesis of duodenal uleer in adults. The role of HP in duodenal uleer in children is not as
well studied as that in adults. The seroepidemiologie patterns of I-P differ in different
areas. In Taiwan, the seropositive rate of HP rises while age inereases. During adoles-
eence, the seropositive rate increases rapidly up to 41% at 18 years of age.
We have studied urease test, HP culture, and histology of the gastrie (prepyloric) and
duodenal mucosa for the evidene of HP in long-term followed 22 patients (age range 9—22
years) with chronie duodenal ulcer diagnosed before 15 years of age. 86% of the gastrie
mueosa in those patients were positive for urease test, 68% positive for HP culture, 81%
positive for histology of HP. In comparison, 25 children (1—15 years old) with gastro-
intestinal eomplaints but negative endoscopic findings were also studied for comparison.
Only 8% were positive for urease test, 8% positive for HP culture, and 14% positive for
histology.
From ours and others studies, HP was proved to have close relationship with chronic
duodenal ulcer in ehildren. Treatment with colloid bisthmus, metronidazole and amoxi-
eillin has been to reduce the reeeurrence rate of chronie duodenal ulcer in adults. Its effect
in ehildren is currently under investigation.
– Apakah berhenti spontan atau perlu tindakan. kan melalui beberapa cara, misalnya :
- Kemungkinan untuk berdarah kembali. • Perdarahan varises : terapi injeksi dengan larutan sklerosan
Dari langkah ke 1 sampai ke 5, biasanya sudah dapat atau dengan tissue adhesive (histoaeryl).
diperkirakan diagnosis pasti penyebab perdarahan, misalnya • Perdarahan non varises : terapi in jeksi dengan adrenalin dan
difisiensi Vit. K, kelainan perdarahan, demam berdarah dengue, polidokanol dengan tissue adhesive (histoacryl), semprot dengan
enterokolitis nekrotikans, invaginasi, fisura ani, infeksi usus, trombin dan larutan fibrinogen (cryoprecipitate), elektrokoagu-
demam tifoid,perdarahan dari mulut/hidung/saluran nafas/darah lasi, laser.
ibu yang tertelan. Dengan pengobatan medikamentosa dan/atau • Pada saat ini juga telah berkembang metode menghentikan
bedah perdarahan dapat diatasi. perdarahan dengan hemoclips.
Untuk sebagian keeil kasus lainnya, masih perlu diungkap- • Polip : polipektomi dengan elektrokoagulasi atau dengan
kan lebih teliti sehubungan dengan pertanyaan ke 6. Penelitian laso.
lebih teliti diperlukan untuk meneapai presisi terapi yang tinggi 7) Mengikuti perkembangan penyakit.
dalam penyakit gastrointestinal anak. Dalam kaitan ini pe- Untuk mengetahui kemungkinan rekurensi atau menilai
meriksaan endoskopi diperlukan. progresifitas, pada varises esofagus yang berhasil diobliterasi,
perlu dilakukan pemeriksaan endoskopi ulang 1 bulan, 3 bulan,
KELEBIHAN ENDOSKOPI 6 bulan. Kalau timbul varises lagi, harus dilakukan injeksi lagi.
Dengan ditemukannya serat optik, maka Hirschowitz pada Demikian pula pada kolitis ulserosaatau granulomatosa, juvenile
tahun 1958 mendemonstrasikan gastroduodenoskop lentur serat polip pemeriksaan endoskopi secara periodis perlu dilakukan.
optik191. Berkas eahaya dipantulkan oleh serat optik yang ber- 8) Membantu dokter bedah menegakkan diagnosis. Perdarah-
diameter 0,0006 inei atau ± 14 U, di dalam satu bendel berdiame- an dari divertikel Meekel umumnya menimbulkan melena yang
ter ± 0,25 inei yang terdiri dari 150.000 serat optik. Saat ini masif, yang menimbulkan gangguan sirkulasi. Dengan kolono-
keeuali endoskop lentur serat optik, juga telah dikembangkan skopi dapat dipastikan bahwa perdarahan berasal dari proksimal
video-endoskopi. Dalam hal ini di ujung endoskop diletakkan sekum dan distal dari lig. Treitz. Dengan informasi ini dokter
kamera televisi keeil. Endoskopi ini mempunyai beberapa ke- bedah dapat melakukan laparatomi eksplorasi° o .
lebihan(0.10.11.1 z ' ')
1) Mengetahui lebih jelas keadaan mukosa saluran gastrointes- KELEMAHAN ENDOSKOPI (8,13)
tinal mulai dari esofagus sampai duodenum dan dari lubang anus Di samping kelebihan, prosedur endoskopi tidak lepas dari
sampai sekum/ilium terminalis. Saat ini telah dikembangkan kelemahan dan keterbatasan. Oleh karena itu diperlukan penge-
endoskop kecil (enteroskop) untuk bisa menjelajahi usus halus. tahuan patofisiologi penyakit dan pemahaman atas kelebihan dan
Untuk mengetahui sumber perdarahan saluran gastrointestinal kelemahan ini.
– Kasus 21 57 13 30 15
– Umur 2–14 1 –19 7/12–13 2–13
– Prehepatis 8 22 7 22 2
– Hepatis 13 35 6 8 13
– Sedasi – – – + +
– Narkosis + + + – +
– Sklerosan 5% Ethanolamine 5% Ethanolamine Sod Morrhoute Etoksisklerol 1 % Etoksisklerol 1%
oleat oleat 5%—> 1 %
– Komplikasi
nyeri retrostemal – biasa – 18 –
striktur 2 5
ulserasi 5 7 3 6 2
perdarahan 5 17 1 3 2
– Obliterasi 18 45 8 27 4
– Sesion 1 –8 4,7 – 5,7 5,6 2 – 16 5 – 16
(rata-rata) (rata-rata)
– Keterangan operasi – – 8 belum – 2 meninggal 4 rekurens – 7 ikut teratur
8 Rekurens selesai – 1 diligasi
– 4 meninggal – 7 ex operasi 4 varises lambung – 1 operasi
– 14 ex gagal – 11 varises
operasi lambung
– 2 ex shunting
– 2 rekurens
infeksi usus
F
I
Nonspesifik
Positif Negatif I L_
G Kolitis lnflamatory
Trial diet pseudomembran Bowel disease'
Konsul Bedah Ikuti
PENDAHULUAN urin akan terjadi oksidasi orthotolidin yang berubah warna men jadi
Perubahan warna pada urin sering memberi kekhawatiran biru (James). Pada test positip harus disusul dengan pemeriksaan
pada penderita maupun path keluarga. Lebih-lebih bila berwarna mikroskopik untuk mencari eristrosit. Sebab karena ada
merah, berdarah; dengan rasa eemas penderita akan pergi ke kemungkinan dipstick test positip tanpa ditemukannya eritrosit
dokter. pada keadaan tertentu.
Dalam hal menghadapi urin berwarna merah harus dibe- Beberapa kelemahan dari dipstick test :
dakan antara hematuri yang sebenarnya atau urin merah oleh a) bila test tidak dilakukan sesuai dengan waktunya dapat
karena sebab lain. Pemeriksaan laboratorium yang eermat sangat memberi hasil positip palsu;
dianjurkan. Hematuria dapat makroskopik, yang warnanya merah b) pada urin yang mengandung beberapa eritrosit saja tidak
cerah atau dapatpula merah-coklat seperti Coca-Cola; dapatpula dapat memberi reaksi positip;
seperti air daging. Hematuria mikroskopik dengan mata te- c) tidak dapat membedakan antara eritrosit yang utuh dengan
lanjang tidak tampak ada kelainan warna, mungkin sedikitkeruh. hemoglobin bebas pada hemoglobinuri dan mioglobinuri (Kas-
Pada pemeriksaan dengan mikroskop baru tampak sel eritrosit. sirer) : hasil reaksi semuanya positip.
Bila keadaan ini merupakan gejala tunggal tanpa disertai pro-
teinuria yang berarti dan tidak ditemukan sel lain, maupun URINE WARNA MERAH DENGAN DIPSTICK TEST
silinder, disebut isolated hematuria. NEGATIP :
Etiologi hematuria merupakan daftar yang panjang. Makalah Didapatkan pada keadaan sebagai berikut :
ini akan membahas pendekatan diganosis (diagnostic approach) Makanan : zat pewama anilin, anthrocyanin (berries, beets).
hematuria pada anak. Obat : phenaeetin, phenolphthalein (Laxadine ®), phenytoin (Di-
lantin®), phenozopyridine (Pyridium°), rifampisin
PENATALAKSANAAN URIN BERWARNA MERAH Toxin : benzene, earbon tetrachloride
Seperti dikemukakan di atas, urin berwarna merah tidak Metal berat : Pb, Fe, Hg
selalu mengandung sel eritrosit. Langkah yang diambil untuk Urat
kepastian adalah :
I) Pemeriksaan laboratorium urin lengkap. URINE WARNA MERAH DENGAN DIPSTICK TEST
2) Secara kuantitatip dengan Addis count : dihitung jumlah POSITIP :
eritrosit dalam urin produksi 12 jam. Pada saat ini sudah tidal(
dipakai lagi oleh karena sukar pelaksanaannya dan tidak reliable Dalam hal ini harus dilakukan pemeriksaan mikroskopik
untuk evaluasi penyakit ginjal pada anak (Nelson) serta tidak dengan segera, oleh karena ada dua kemungkinan :
praktis (Norman). 1) Dipstick test positip tetapi eritrosit negatip;
3) Secara kualitatip dengan dipstick test (HEMASTIX, Ames). 2) Dipstick test positip dengan eritrosit positip.
Dengan cara ini secara mudah dan cepat dapat diketahui Dipstick test positip dengan eritrosit negatip didapatkan
adanya occult blood dalam urin. Bila ada hemoglobin di dalam pada :
Hematuri merupakan salah satu gejala yang sering disc- Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum
babkan oleh adanya kelainan pada traktus urinarius. Pemeriksaan pasien menjalani pemeriksaan ini, yaitu tidak dilakukan pada
radiologi merupakan penunjang diagnostik yang penting pada pasien dengan alergi zat kontras dan tidak dilakukan pada newborn
kasus-kasus urologi. infant karena adanya faktor imaturitas fungsi ginjal dan imaging
Banyak imaging diagnostic procedure yang dapat dilakukan yang dihasilkan tidak baik; pada anak yang tidak kooperatif
pada kasus urologi anak, apalabi saat ini alai diagnostik canggih pengerjaannya menjadi sulit.
sudah banyak diperkenalkan dan dipergunakan di Indonesia
khususnya di Jakarta ini. Namun sebaiknya dipilih Imaging MICTURATING CYSTO URETHROGRAPHY (M.C.U)
Procedure yang tepat dan terarah yang disesuaikan dengan Biasanya dilakukan untuk penilaian lower urinary tract atau
penemuan kelainan pada pemeriksaan klinis dan laboratoris untuk melihat adanya refluks vesicoureterie.
lengkap. Tindakan tidak mengenakkan anak karena untuk me-
Pemilihan imaging diagnostic procedure yang tepat akan masukkan kontras urographik secara retrograd ke dalam bull
mengurangi pembiayaan, risiko, rasa tidak enak (discomfort) dan dilakukan dengan bantuan kateter; selain itu perlu penanganan
juga penggunaan sinar-X. yang terjamin sterilitasnya karena tindakan ini bisa mengakibatkan
komplikasi infeksi dan atau luka traumatis.
PLAIN FOTO ABDOMEN (B.N.0) Pada kasus infant dan anak yang tidak kooperatif harus
Merupakan pemeriksaan dengan sinar X yang paling dilakukan di bawah kontrol fluoroskopi, sebab foto harus dibuat
sederhana, sering diperlukan untuk penilaian pendahuluan se- saat miksi, dan selain itu saat buli-buli penuh dan post voiding.
belum dilakukan pemeriksaan radiologi lainnya; dapat melihat
kalsifikasi intraabdomen, tumor mass, sistim skeletal. RETROGRADE URETHROGRAPHY (khusus untuk anak
Hasil foto akan lebih baik bila sebelum pembuatan foto laki-laki)
pasien dipersiapkan (cuci perut), untuk menghilangkan Untuk penilaian urethra anterior; sedangkan urethra pos-
kemungkinan sisa faeses yang akan mengganggu penilaian daerah terior kurang baik dilihat dengan tehnik ini karena pada pengisian
ginjal. Persiapan seperti ini sulit dilaksanakan pada kasus bayi/ kontras secara retrograd, urethra posterior kurang distended
anak kecil. akibat adanya spasme pada sphincter externa.
Dapat dibuat di klinik rontgen sederhana , tetapi batu ra- Kateter dimasukkan sedikit di ujung urethra anterior, lalu
diolusen tidal( terlihat pada plain foto. glans penis dijepit/dipencet dengan jari pemeriksa sewaktu
kontras disemprotkan melalui kateter.
INTRA VENOUS PYELOGRAPHY (LV.P.)
Merupakan prosedur dasar pada kasus urologi, berdasarkan
dieksresikannya zat kontras radioopak yang disuntikkan RETROGRADE PYELOGRAPHY (R.P.G)
intravena oleh kedua ginjal. Teknik ini terutama untuk menilai Merupakan tindakan yang lebih invasif karena memasukkan
anatomi traktus urinarius dan juga evaluasi fungsi ginjal. kateter ureter ke dalam ureter oleh dokter urologi dengan bantuan
PENDAHULUAN HASIL
Masalah utama pada hematuria adalah banyaknya Tabel 1 menunjukkan 12 (31%) dari 38 penderita yang
kemungkinan penyebab. Penting untuk melokalisasi asal sel diperiksa mempunyai gambaran sonografi normal, sedangkan
darah merah dalam traktus urinarius. Penyebabnya dapat diduga pada 26 (69%) kasus ditemukan kelainan pada sonografi; 2 kasus
setelah mengetahui keluhan dan pemeriksaan fisik yang dapat menunjukkan kelainan minimal yaitu pelebaran ealyees dan
dikonfirmasi dengan berbagai pemeriksaan laboratorium yang ureter proximal. Kelainan yang terbanyak ditemukan adalah
sesuai. Hal ini mudah dilakukan dengan eara Out patient basis. adanya batu di traktus urinarius yaitu 8 (21%) kasus.
Terdapat berbagai pemeriksaan standar spud urinalisis, Pada kasus dengan kelainan parenkim ginjal tampak kortek
kultur urine, pemeriksaan darah, dan sitologi. Ultrasonografi yang lebih ekhojenik dibandingkan dengan hati dan limpa pada
(USG) pada anak memberi keuntungan antara lain : tidak me- 9 (25%) kasus. Sedangkan 5 (14%) dari 9 kasus tersebut disertai
makai radiasi, tidak invasif, m udah dan cepat dilakukan sehingga volume ginjal yang lebih besar dari normal (tabel 2).
bermanfaat untuk follow-up dan menemukan komplikasi. Tabel 3 menunjukkan 8 (21%0) kasus hematuria yang di-
Tujuan dari penelitian retrospektif ini adalah untuk menilai sertai tanda-tanda infeksi traktus urinarius. Di antaranya ter-
manfaat sonografi sebagai salah satu sarana penunjang diag- dapat 4 (10%) kasus dengan sistitis menunjukkan penebalan
nostik untuk mengevaluasi hematuria dalam mencari lokalisasi dinding buli-buli. Pada 1 anak perempuan berumur 4 bulan
dan penyebab adanya darah. ditemukan Wilm's tumor yang tidak diikuti perkembangan pe-
nyakitnya. Sedangkan satu anak dengan keeurigaan tumor buli-
BAHAN DAN CARA buli, pada USG tidak ditemukan kelainan.
Selama kurun waktu 5 tahun 4 bulan dan Januari 1987– Mei Pala trauma tumpul abdomen ditemukan 1 kasus dengan
1992 telah dilakukan 131 pemeriksaan USG traktus urinarius contusio ginjal kanan dan 1 kasus dengan hematoma pada pole
pada anak. Pada 38 (29%) anak mempunyai Wuhan kencing inferior ginjal kanan. Sedang pada 1 anak yang jatuh terduduk,
berwarna kemerahan atau mcrah-coklat. tidak ditemukan kelainan pada traktur urinarius.
Umur penderita berkisar antara 4 bulan sampai 13 tahun
dengan rata-rata 6 tahun 3 bulan, 24 laki-laki dan 14 perempuan. DISKUSI
Mereka berasal dari rujukan poliklinik 11 (30%) anak, rujukan Banyak penderita yang dikirim dengan keluhan hematuria
ruangan 20 (52%) anak dan perm intaan konsultasi dari sejawat di tanpa dilengkapi dengan data klinis dan pemeriksaan penunjang
luar Rumah Sakit 7 (18%) anak. yang lain sehingga menyulitkan diagnostik danfollow-up pende-
Umumnya data klinis pada surat permintaan sangat terbatas rita yang bcrsangkutan.
dan tidak menunjukkan tipe atau beratnya hematuria. Path penelitian ini dari 131 anak yang dikirim untuk pe-
Pemeriksaan dilakukan dengan memakai alat Toshiba SSA meriksaan USG, 38 (29%0) datang dengan keluhan hematuria. Ini
90 A dcngan transduser Iinier dan sektor 3,75 MHz. sesuai dengan Foreman yang melaporkan bahwa hematuria/
Keterangan :
np. = nothing particular
proteinuria merupakan alasan kedua yang tersering (25%) dari i.f.u. = lost to follow-up
1/N = hydronephrosis
penderita yang dikirim ke rumah sakit t ' 1. Batu dalam traktus
urinarius sebagai penyebab hematuria ditemukan pada 20% anak-anak kelainan ini jarang ditemukan(10) . Kami hanya
kasus (2). USG dapat menemukan semua batu ginjal dan buli-buli menemukan satu penderita dengan tumor Wilm.
yaitu dalam 21% kasus kami. Trauma tumpul abdomen merupakan masalah yang eukup
Beberapa peneliti melaporkan bahwa sensitifitas USG string ditemukan pada anak-anak. Umumnya USG eukup
sama akurat dengan foto polos untuk mendiagnosis batu sensitif untuk mendeteksi trauma pada ginjal, terutama untuk
ginjal(3' 4) . Kami berpendapat bahwa kekurangan USG hanya follow-up komplikasi seperti : kista, jaringan parut dan lain-
lain .
(15)
dalam menemukan batu keeil di ureter, seperti pada 2 kasus
dengan dilatasi kalikses dan ureter proximal secara sonografi Pada 12 (31%) kasus yang tidak ditemukan kelainan pada
tidak ditemukan penyebabnya. Pada keadaan ini foto polos sonografi, didapat sebagai diagnosis akhir 4 glomerulonephritis
mungkin dapat membantu 0 . akuta, 3 infeksi saluran kencing, 1 tidak dapat ditelusuri dan 4
Pada kolik ureter USG dapat dipakai sebagai initial (10%) kasus tanpa kelainan/diagnosis. Sedangkan Perone yang
screening modality (6)• Bila obstruksi ureter masih stadium dini, melakukan peneil tian pada 250 kasus menemukan bahwa dengan
mungkin belum ditemukan dilatasi proximal, maka Pyelografi pemeriksaan yang sesuai, etiologi dari hematuria-berulang dapat
Intra Vena (PIV) tetap merupakan pilihan utama(4.'''). ditemukan path lebih dari 80% kasus
Path 9 dari 13 anak dengan kecurigaan glomerulonephritis
dapat dikonfirmasi secara klinis dan laboratoris. Pada 5 dari 9
KESIMPULAN
kasus ini juga ditemukan parenkim ginjal yang Iebih tebal;
Gambaran USG abnormal ditemukan pada 69% kasus
menurut Paivansalo hal ini hanya ditemukan path kelainan
tubulo-interstitial. Diagnosis kelainan parenkim ginjal harus dengan hematuria. Batu traktus urinarius merupakan kelainan
yang paling sering ditermukan yaitu pada 8 (21%) penderita.
dikorelasi dengan gambaran klinis dan hanya dapat dibuktikan
2)
dengan biopsi ginjal( 4.9.10 •' yang akan lebih mudah dan tepat bila Kortex ginjal yang lebih ekojenik ditemukan pada 9 (24%) kasus
dibimbing dengan USG('). kelainan parenkim ginjal, tetapi harus dikorelasi dengan
gambaran klinis dan diagnosis pasti baru dapat ditegakkan
Dalam mencari penyebab mikro-hematuria pada orang
dengan biopsi ginjal.
dewasa USG lebih bermanfaat dari IVP misalnya untuk men-
diagnosis keganasan dari traktus urinarius(9,13,14), tetapi pada Hematuri pada anak umumnya disebabkan oleh infeksi, batu
atau kelainan parenkhim ginjal. Ultrasonografi dapat dipakai
130 Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992
sebagai cara pertama untuk melakukan evaluasi pada hematuria 6. Erwin BC, Carroll BA, Sommer FG. Renal colic : the role of ultrasound in
terutama path gross-hematuria walaupun pada beberapa kasus initial evaluation. Radiology 1984; 142: 147-50.
7. PlattJF, Rubin JM, Bowerman RA, Mam CS. The inability to detect kidney
masih diperlukan diagnostik imejing lain. disease on the basis of echogenicity. AJR 1988; 151: 317-319.
Bahan dari penelitian ini hanya sedikit, karena itu masih 8. Spencer JA, Lindsell DR, Mastorakou I. Can ultrasound replace the
diperlukan pengalaman lebih banyak untuk dapat menarik ke- intravenour urogram ? Br J Radiol 1990; 63 : 247-8.
simpulan yang lebih akurat. 9. Murakami S, Igarashi T, Hara S, Shimazaki J. Strategies for asymptomatic
microscopic hematuria : a prospective study to 1,034 patients. J Urol 1990;
144 : 99-101.
10. Perrone HC, de Moya L, Martini Filho D, de Moura LA, et al. Recurrent
KEPUSTAKAAN hematuria in children : study of 250 cases. AMB 1989; 35 : 167-70.
11. Paivansalo M, Huttunen K, Suramo I. Ultrasonographic findings in renal
1. Foreman JW, Chan JC. 10-year survey of referrals to a pediatric nep-
hrology program. Child Nephrol Urol 1990; 10 : 8-13. parenchymal diseases. Scand J Urol Nephrol 1985; 19 : 119-123.
12. Pettersson E. Diagnosis in hematuria. Nord-Med 1990; 105: 151-3.
2. Abuelo HG. Evaluation of Hematuria. Urology 1983; 21 : 215.
13. Howard RS, Golin AL. Long-term follow-up of asymptomatic microhema-
3. Middleton WD, Dodds WJ, Lawson TL, Foley WD. Renal calculi :
sensitivity for detection with US. Radiology 1988; 17 : 239-44. turia. J Urol 1991; 145 : 335-6.
4. Spencer JA, Lindsell DR, Mastorakou I. Ultrasonography compared with 14. Aslaksen A, Gadeholt G, Gothlin JH. Ultrasonography versus intravenous
intravenous urography in the investigation on adults with haematuria. urography in the evaluation of patients with microscopic haematuria. Br J
BMJ 1990; 301 : 1074-6. Urol 1990; 66 : 144-7.
5. Lewis-Jones HG, Lamb GHR, Hughers PL. Can ultrasound replace the 15. Moel DI. Urinalysis, investigation of hematuria and renal biopsy. Clin
intravenous urogram in the preliminary investigation of renal tract disease. Pediatr Urol 1985; 2 : 1093.
Br J Radiol 1989; 62 : 977-80. 16. Swischuk Le. Abdominal trauma with hematuria. Pediatr 1990; 66 : 247-8.
Sebagian besar penyebab hematuria pada anak adalah infeksi bisa dilakukan pemeriksaan Voiding Cysto Urography
glomerulonephiritis dan infeksi saluran kencing. Orang tua atau (VCUG) untuk menilai ada tidaknya reflux vesieo ureter. Jika
dokter harus memperhatikan dan mengevaluasi lebih lanjut apa- hematuria menetap, makin berat atau hilang timbul, atau pada
bila warna keneing anaknya merah atau seperti minuman eoca pemeriksaan urogram curiga adanya lesi di kandung kencing atau
eola. Batasan mikro hematuria bila jumlah sel darah merah lebih urethra perlu pemeriksaan Urethrosistoskopi.
dari 5 per lapang pandang besar. Urutan kasus urologi yang sering menimbulkan hematuria
Panting untuk menentukan penyebab dan lokalisasi dari pada anak ialah : trauma, obstruksi, batu, urethritis dan neo-
hematuria. Penyebab hematuri seeara garis besar dibagi dalam 2 plasma(').
grup :
I) Penyebab Renal :
A) Glomerulopathies : TRAUMA SALURAN KEMIH :
1. Primer, misal : Glomerulonephritis A) Trauma ginjal pada anak
2. Sistemik, misal : Hemolytic Uremic Syndrome Trauma ginjal pada anak mudah terjadi dibandingkan
B) Non Glomerular Renal Bleeding dengan orang dewasa oleh karena proteksi daerah sekitar ginjal
1. Sistemik, misal : Sickle cell trait and disease tidak sebaik pada orang dewasa dan ukuran ginjal relatif lebih
2. Vaskuler, misal : Renal venous thrombosis besar. Laki-laki lebih sering dibanding wanita.
3. Parenchymal: Hematuri merupakan tanda yang paling sering pada trauma
Infeksi — Pyelonephritis ginjal, selain adanya riwayat trauma daerah pinggang atau daerah
-
Obstruksi : — Ureteropelvic junetion abdomen sisi lateral.
-
Diagnosis ditegakkan dengan PIV untuk menilai derajat
- Ureterovesical reflux
— Nephrolithiasis trauma dan fungsi gin jal sisi kiri dan kanan. Sonografi dikerjakan
Neoplasma - Wilms Tumor karma mudah dan tidak invasif. Sonografi bisa menilai kondisi
-
Trauma parenchym ginjal, lokalisasi dan derajat hematoma, apakah intra
-
II) Penyebab Post Renal : renal, subcapsular atau ekstra renal. Pada kondisi tertentu perlu
- Urolithiasis pemeriksaan renal scan, angiografi renal atau retrograd pie-
- Cystitis & Urethritis lografi.
- Trauma Derajat trauma ginjal dibagi dalam :
Di antara penyebab di alas yang berhubungan dengan kasus 1) Kontusio ginjal.
urologi adalah : obstruksi, neoplasma, trauma, urolithiasis, eys- Terjadi lebih kurang 85% dari trauma ginjal. Didapatkan
titis dan urethritis. hematoma ginjal, tapi kapsul ginjal masih utuh.
Apabila ada gejala mikrohematuria tanpa disertai protein uri, Pada PIV gambaran system pelviokalises ginjal normal.
harus dibuat Pyelografi Infra Vena (PIV) dan bila ada kecurigaan Terapi : konservatif.
ANAK SAKIT DIRAWAT DI RUMAH SAKIT 3. Lama : lebih dari satu minggu
A. Keadaan anak 4. Berulang-ulang.
1) Anak sakit dan telah dirawat di rumah. Mungkin baru Lamanya seorang anak drawat di rumah sakit mempe-
beberapa hari, mungkin sudah dirawat lebih lama. Pemindahan ngaruhi pendekatan-pendekatan yang harus dilakukan, sedangkan
dari perawatan di rumah ke perawatan di Rumah Sakit, me- ketepatan melakukan pendekatan (yang merupakan bagian dari
nimbulkan masalah tersendiri, antara lain karena perbedaan perawatan) akan mempengaruhi proses kesembuhan anak. Pada
kualitas, larangan (peraturan) dan disiplin. anak yang dirawat hanya dalam waktu singkat, pemulihan di-
2) Dirawat secara tiba-tiba misalnya karena sakit atau keee- arahkan pada hal-hal yang traumatik. Sedangkan pada anak yang
lakaan, menimbulkan kegoneangan tersendiri (traumatik). Anak dirawat cukup lama, bahkan mungkin tergolong lama, perlu
harus menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang baru, perhatian terhadap adanya efek :
berbaring di tempat tidur, menghadapi perawat dan dokter yang a) Pembiasaan : Terbiasa dilayani, diperhatikan, dibantu, merasa
barn dikenalnya. disayang, sehingga dapat muncul suatu reaksi untuk memper-
Baik keadaan nomer 1 ataupun nomer 2 di atas, anak tahankan "sakitnya" agar terus mempereoleh perlakukan yang
membutuhkan dorongan, kekuatan, baik melalui ueapan atau menyenangkan (secondary gain, instumental behaviour).
kehadiran fisik orang tua dan yang tentunya disesuaikan dengan b) hambatan emosi pada anak-anak yang terlalu lama dirawat
umur anak. di rumah sakit, sehingga jarang memperoleh respons afeksional-
emosional (misalnya ucapan yang menyenangkan) dan
B) Alasan anak dirawat mengakibatkan timbulnya gejala yang dikenal dengan istilah
1) karena gangguan organis yang jelas. Sesuatu yang mudah hospitalism dan yang kemudian mempengaruhi kondisi fisik
terlihat misalnya karena patah kaki atau penyakit lain. secara umum pada anak.
2) Karena gangguan non-spesifik seperti muntah-muntah, sakit c) Metabolik, karena aktivitas yang terbatas sehingga kondisi
lambung atau kejang-kejang. fisik dan berat badan menurun secara drastis.
3) Karena faktor psikogenik misalnya tidak mau makan (ano- d) Tugas sehari-hari pelajaran sekolah yang tertinggal dan
rexia nervoda). menumpuk setelah sembuh, menimbulkan ketegangan tersendiri.
Dengan memperhatikan latar belakang anak dirawat di Sikap penuh pengertian, khususnya dari orang tua, sangat diper-
Rumah Sakit, maka sikap-sikap dan ueapan-ueapan dari semua lukan.
pihak yang merawat (termasuk keluarga) perlu disesuaikan dan
mendasarkan pada sikap umum yang tujuannya adalah suppor- D) Umur anak
tive (memberi dukungan dengan membesarkan hatinya). 1. Bayi
2. Pra-sekolah
C) Lamanya anak dirawat 3. Usia sekolah
1. Singkat : 1— 2 hari Pada anak ada ciri-ciri umum sesuai dengan tahapan per-
2. Sedang : 3 — 6 hari kembangan (disamping ciri-eiri khusus sesuai dengan priba-
FOTO KISTIK
BARIUM SHNUSITIS FIBROSIS IMUNOGLOBULIN
OBSERVASI
1 – 2 bin. IMUNODEF BIOPSI MUKOSA
NASAL /TRAKHHEAL
untuk penilaian cilia
r
RGE FTE – VASCULAR RING
– LARYNGEAL CLEFT
I I
ABNORMAL NORMAL
IMMOTILE BRONKOSKOPI
CHLIA SYNDR.
PENGANTAR ukuran 0.5 X 0.5 X 0.5 em. Pada orang dewasa ukuran itu ialah
Batuk ialah suatu ekspirasi eksplosif sebagai cara paru-paru 3X3X2,5cm.
dan salurannya untuk membersihkan diri atau sebagai refleks Sinus etmoidalis mulai terbentuk pada fetus berumur6 bulan
bring bila mukosa laring terangsang baik oleh benda asing dan teridir atas beberapa rongga. padaperkembangan selan j utn ya
endogen maupun eksogen, radang, polutan, atau alergen. Oleh terbagi menjadi sinur etmoidalis anterior yang rongganya kecil
sebab itu laring sering juga disebut sebagai an jint penjaga (wacth dan sinus etmoidalis posterior dengan rongga besar.
dog) untuk saluran napas bawah. Sinus frontalis mulai dibentuk pada anak umur 1 tahun
Batuk harus digolongkan sesuai dengan : sebagai perluasan dari sinus etmoidalis anterior.
1. Waktu atau dalam situasi apa timbulnya. Misalnya apakah Sinus sfenoidalis terbentuk pada umur 3 – 5 tahun.
hanya timbul pada waktu bekerja; dalam hal itu mungkin dise- Sinus maksilaris, frontalis, dan etmoidalis jugadisebut sinur
babkan oleh zat yang merangsang atau elergen. paranasalis posterior bermuara di meatus superior.
2. Posisi badan. Pada penderita bronkitis, bronkiektasis, dan Karena sinus etmoidalis dan maksilaris sudah terbentuk
sinusitis batuk lebih banyak timbul sewaktu penderita berbaring. sejak lahir, maka kedua sinus itu yang paling sering terserang
3. Produktif atau nonproduktif. sinusitas pada anak, terutama sinus etmoidalis. Sinus pada bayi
Batuk kronis pada anak di bidang THT selain disebabkan baru lahir kadang-kadang terinfeksi oleh ibunya atau perawat
oleh alergi paling sering disebabkan oleh sinusitis. Pada lima terutama pada waktu pembersihan lubang hdung bayi dari cairan
tahun terakhir di Jakarta banyak ditemukan sinusitis, yang ketuban dengan kapas yang dilinting. Insiden sinusitas ber-
mungkin disebabkan tingkat polusi yang meningkat. Sinusitis tambah pada umur 3 tahun dan meningkatpada umur 5 -6 tahun,
pada bayi dan anak seeara Minis sudah dapat timbul sejak karena anak-anak mulai masuk sekolah sehingga dapat terpapar
kehidupan awal. Karena ukuran rongga sinus lebih kecil dari bermacam virus dan bakteri. Di samping itu juga ada pengaruh
muaranya, maka walaupun rinitis oleh karena virus dapat men- pembesaran tonsil dan adenoid.
jalar ke antrum dan merusak silia, tetapi lendir dalam antrum
dapat dengan mudah dikeluarkan sehingga tidak mudah terjadi PATOFISIOLOGI
retensi lendir. Sinusitis pada bayi sukar diketahui secara radiologis,
sehingga dapat berlanjut menjadi kronis dan mengakibatkan
EMBRIOLOGI SINUS PARANASALIS penebalan/udem mukosa yang lama kelamaan menyebabkan
Pada waktu lahir belum semua sinus paranasalis berbentuk. penyumbatan osti um. Hal itu berakibat udara dalam sinus diserap
Sinus maksilaris mulai terbentuk pada embrio hari ke 85 dan dan terjadi efusi cairan di dalam rongga sinus yang mudah
berkembang terus sehingga pada waktu dilahirkan mencapai terinfeksi menjadi epyema.
GROUP I
PENANGGULANGAN
Sindrom nyeri abdomen menahun dan berulang atau RCAP
44 4
bersifat atau berlatar belakang multifaktorial, sehingga penang-
gulangan dan pengobatan akan ditentukan setelah sebabnya
1 1
Nyeri perut
Tabel 1. Pembagian kelompok penderita atas dasar inkikasi dan jenis
periksaan endoskopi
35
11
22
r-y
17 17 18 17
ALL GROUPS
13~1 13 14 13
12
8 I 1 8
3 3
cRou IV
CROUP
p 2 2
3 Anamnesis
Pemenkaan
jasmani
Pemeriksaan
GROUP III & IV laboratorium
13
(COLONOSCOPY) Diagnosis
I
6
5 5 5 4 5
Konsultasi Pemeriksaan penyokong
- Neurologi Non-invasif :
2
- Psikologi - USG
me: - EMG
- EEG
'Diagnosis Intensif :
diketahui. Sesuai dengan etiologi, penyebab atau diagnosis maka - Endoskopi
dilakukan penanggulangan, pengobatan dan tindakan. - Radiologi
'Pengobatan - Cr scan
- MRI
KESIMPULAN
Nyeri abdomen menahun dan berulang (RCAP) adalah
suatu kelainan multifaktorial yang tidak jarang dijumpai pada
ank terutama anak sekolah. Pada umumnya sindrom ini dapat KEPUSTAKAAN
dibagi menjadi 3 katagori, yaitu organik, fungsional dan psikoge. 1. Apley J. The Child with Abdominal Pain, 2nd ed. Oxford; Blackwell
Kasus organik meliputi 5 — 10% saja, tetapi pada tahun-tahun Seientific Publ., 1975.