Вы находитесь на странице: 1из 25

KELAINAN ALAT KELAMIN BETINA BERSIFAT MENURUN a.

Aplasia Ovarium Suatu kelainan yaitu tidak terdapat pertumbuhan sejak lahir sampai dewasa dari satu atau kedua ovarium, sehingga ovarium tidak dapat ditemukan sama sekali disebut aplasia ovarium. Kalau ada ovarium tersebut, barangkali hanya berupa penebalan seperti jarum pentul yang lunak. Hewan betina yang menderita kelaina ini sepenuhnya majir. Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan eksplorasi rectal. Dari perabaan melalui rectal ini ovarium tidak dapat ditemukan. Aplasia ovarium ini biasanya berhubungan dengan kelainan pada saluran alat kelamin. Hewan betina penderita kelainan ini tidak pernah memperlihatkan birahi dan induk demikian biasanya menyerupai hewan jantan (Arthur et al., 1982). b.Hipoplasia Ovarium Suatu keadaan dimana pada satu atau kedua ovarium tidak berkembang secara sempurna, sehingga ukurannya lebih kecil dari ukurannya yang normal disebut hipoplasia ovarium. Keadaan ini menurut Robert (1971), pertama kali ditemukan oleh Logerlof dan kawankawannya diswedia pada tahun 1939, bahwa hipoplasia ovarium pada bangsa sapi perah disebabkan oleh satu gen yang resesif. Derajat hipoplasinya dapat bermacam-macam yaitu : 1.Hipoplasia berat atau totalis yang terjadi pada kedua ovarium (bilateral) atau hanya satu ovarium (unilateral). 2.Hipoplasia ovarium ringan (parsialis) juga dapat terjadi pada kedua ovarium atau hanya pada satu ovarium. Dapat pula terjadi kombinasi antara hipoplasia totalis dan hipoplasia parsialis pada seekor hewan betina. Hipoplasia berat dari ovarium biasanya dapat didiagnosa melalui palpasi rectal, yaitu terabanya ovarium dengan ukuran kecil. Akan tetapi pada hipoplasia rinfgan sukaer didiagnosa secara demikian, karena ukurannya tidak terlalu kecil hamper menyerupai keadaan pada atropi ovarium, disebabkan karena factor non genetic seperti krang pakan dalam waktu yang lama atau lingkungan yang tidak serasi, sedang hipoplasia ovarium disebabkan karena factor genetic. Kasus hipoplasia ovarium

pada sapi ditemukan pada ovarium kiri 86,1% dan ovarium kanan 4,3%, sedangkan pada kedua ovarium besarnya 9,6%. Ovarium yang menderita hipoplasia mempunyai pertumbuhan yang tidak sempurna. Pada kondiosi hipoplasia berat, seluruh ovariumnya tidak mempunyai sel epitel kecambah (germinal epithelium) sehingga tidak dapat menghasilkan sel telur sama sekali. Sedangkan pada hipoplasia ringan, sebagian jaringan ovarium memiliki sel epitel kecambah yang normal akan berkembang menjadi sel telur yang normal. Pada sapi remaja yang menderita hipoplasia ovarium yang berat, ukurannya adalah sedemikian sangat kecil sehingga sukar diraba pada palpasi rectal. Ovarium yang demikian sangat kecil dank eras, dan pada derajat yang berat hanya berupa penebalan seperti pita di bagian depan dari mesovarium. Pada hipoplasia ringan, ovarium berukuran lebih kecil dari ukuran normal. Ovarium sapi yang normal berukuran panjang 2-3 cm, lebarnya 1-2 cm dan tebalnya 1-2 cm, sedangkan ovarium pada sapi yang mengalami hipoplasia parsialis berukuran lebih kecil dari ukuran yang normal. Ovarium yang demikian mempunyai permukaan kasar, karena adanya sel kecambah yang tumbuh menjadi folikel atau adanya korpus luteum. Ovarium semacam ini dapat dianggap berfungsi walaupun tidak sempurna. Pada sapi betina hipoplasia yang parsialis, pertumbuhan alat kelaminnya adalah normal. Sedangkan hewan betina yang menderita hipoplasia berat yang bilateral, pertumbuhan saluran alat kelamin menjadi tidak sempurna dan tetap kecil, birahinya tidak muncul dan tidak ada pertumbuhan sifat-sifat kelamin sekunder. Ini disebabkan pertumbuhan saluran alat kelamin ada dibawah pengaruh hormone steroid yang dihasilkan oleh ovarium. Pada sapi betina yang menderita hipoplasia ovariuym yang berat dan bilateral, akan berupa seekor sapi jantan kebiri, kakinya panjang, pelvisnya sempit, ambingnya tidak tumbuh dan putingnya kecil, uterusnya kecil dan keras. Alat kelamin luarnya juga kecil karena tidak berkembang (Arthur et al., 1982). Pemberantasan hipoplasia ovarium ini dilakukan dengan jalan seleksi yang baik terhadap betina yang dippelihara. Bahayanya adalah sapi betina penderita hipoplasia ovarium yang berderajat sedang atau yang hanya unilateral, karena hewan betina yang menderita masih dapat bereproduksi sehingga masih dapat menghasilkan keturunan. Dengan demikian, hewan betina ini dapat menyebarkan sifat genetic yang jelek ini pada turunannya. Sebaliknya pada hewan betina yang menderita hipoplasia ovarium yang berderajat berat yang bilateral, karena tidak dapat bereproduksi sepenuhnya majir, maka dengan sendirinya

tidak berbahaya bagi suatu peternakan karena tidak akan menyebarkan sifat genetic yang jelek ini pada turunannya. Selanjutnya setelah mencapai berat y6ang bmaksimum hewan betuina tersebut dapat dipotong (Arthur et al., 1982). c.Nodula pada Tuba falopii Penyumbata pada tuba falopii oleh nodula ini menyebabkan saluran menjadi buntu, sehingga dapat mencegah pertemuan antara sel telur yang diovulasikan dari ovarium dengan spermatozoa setelah perkawinan. Oleh karena itu proses pembuahan tidak terjadi. Kelainan pada tuba falopii ini bersifat menurun, karena itu akan muncul dengan cepat kelainan ini pada turunannya bila peternakan itu dilakukan perkawinan sebapak (inbreeding). Menurut Bearden & Fuquay (1980), banyaknya kasus kelainan anatomi pada tuba falopii ini sebesar 3,9 % dari kasus kemajiran pada sapi. Karena bersifat genetis, kelainan pada tuba falopii ini tidak dapat diobati, dan sulit untuk didiagnosa melalui palpasi rectal, kecuali pada ternak betina yang sudah dipotong dan dikeluarkan alat kelamin dari tubuhnya. Kadang-kadang hewan penderita kelainan tuba falopii ini dapat birahi karena ovarium dapat barfungsi, tetapi menjadi majir karena tidak terjadi pembuahan sel telur oleh spermatozoa pada ampulanya karena terhalang oleh nodula tersebut (Arthur et al., 1982). d.Aplasia Segmentalis duktus Mulleri Kelainan ini terjadi pada uterus, sebagai akibat dari tidak sempurnanya persatuan kedua saluran muller pada periode embrional, akibatnya terjjadi kelainan pada bentuk uterus. Kelainan ini disebabkan oleh gen yang resesif yang semula diduga bertautan dengan warna putih (sex linkage). Kelainan pada saluran uterus ini sering disebut white heifer disease karena banyak dijumpai pada sapi dara yang bewarna putih dari bangsa shorhorn. Akan tetapi ternyata kelainan genetic pada uterus ini dijumpai juga pada sapi-sapi yang berwarna bukan putih seperti sapi Holstein, jersey, Guernsey, dan lain-lain. Menurut derajatnya, aplasia segmentalis duktus mulleri ini dibagi menjadi tiga bentuk yaitu : 1.Bentuk pertama, bentuk yang paling berat yang didapatkan adanya konstriksi atau penyempitan koruna uteri, korpus uteri, serviks, dan vagina bagian anterior. Koruna uteri berbetuk seperti pita tidak berongga, dapat juga koruna uteri membentuk kisata yang berisi

lendir berwarna kuning atau coklat kemerahan. Besarnya kista bias berdiameter 2-10 cm dengan dinding yang tipis saja. Adanya pengecilan koruna uteri seperti piota dan rangkaian kista-kista duktus mulleri. Vagina dapat menjadi pendek atau bagian posterior dari vagina menjadi besar, sebab ada lendir yang tertimbun disebabkan karena selaput dara (hymen) yang buntu. 2.Bentuk kedua dari kelainan ini berupa uterus unikornus. Jadi pada bentuk ini, salah satu koruna uteri mempunyai ukuran yang normal, sedangkan koruna uteri yang lain bentuknya kecil seperti pita tidak berongga. Kebanyakkan koruna uteri kanan yang menderita penyempitan atau bahkan kadang-kadang tidak ada sama sekali. 3.Bentuk ketiga adalah adanya sela[ut dara (hymen) yang menebal dan menetap (persisten), sedangkan saluran alat kelamin lainnya dalam keadaan normal. Oleh karena ovarium dalam keadaan normal, maka sapi yang menderita kelainan ini dapat birahi secara normal. Hanya pada waktu kawin atau inseminasi buatan atau pada waktu melahirkan, induk memperoleh kesulitan karena selaput daranya menebal dan menutupi jalan keluar vagina. Ketiga bentuk kelainan uterus ini, ovarium, tuba falopii dan vulvanya dapat saja bentuknya normal. Sapi betina penderita dapat mempunyai siklus birahi yang normal, dengan gejalagejala birahi yang normal. Perkawinan secara alam dan Ib dapat terjadi, khususnya yang bentuk kedua dan ketiga, tetapi kemungkinan terjadinya perdarahan adalah besar atau bila ada kelahiran dapat terjadi distokia. Oleh karena sifat yang buruk ini bersifat menurun, maka sebaiknya hewan betina kelompok ini tidak dikawinkan, khususnya betuk kedua dan ketiga, karena kelainan pada bentuk ini masih dapat menurunkan sifat genetic yang jelek ini pada turunannya (Hardjopranjoto, S.1995).

Uterus white heifer disease (Anonim b, 2006) e.Uterus Unikornus Suatu kelainan dari saluran alat kelamin betina alam bentuk hanya terdapat satu kornu uteri yang berukuran normal, sedangkan kornua uteri yang lain keadaannya sangat kecil seperti pita tidak berongga. Keadaan ini ada hubungannya dengan aplasia segmentalis duktus

mulleri bentuk kedua. Koruna uteri yang mengecil dapat terjadi pada sebelah kiri atau sebelah kanan. Kasus uterus unikornus termasuk jarang dan diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan rectal. Oleh karena kelainan ini bersifat genetic, tidak dapat diobati. Pemberantasan dilakukan dengan seleksi yang baik dan sapi penderita dikeluarkan dari peternakan, karena masih dapat membawa sifat adanya kelainan genetic pada uterus ini pada turunannya. Uterus unicornus (Anonim c, 2006) f.Uterus Didelpis Suatu kelainan dari saluran alat kelamin betina dimana korpus uterinya tidak ada, menyebabkan koruna uteri berhubungan langsung dengan serviks yang mempunyai saluran ganda. Penyebab kelainan ini adalah juga karena adanya kegagalan dari kedua saluran muller untuk bersatu secara normal pada masa embrional. Kelainan ini dalah sama dengan kelaina serviks, yaitu adanya dua saluran pada batang serviks yang bermuara pada vagina. Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan melalui rectal yang tidak dijumpai adanya koruna uteri. Kasusnya pada ternak sangat jarang (Hardjopranjoto, S.1995). g.Saluran Serviks yang Ganda. Kelainan ini ditandai dengan adanya dua lobang dari salueran serviks yang menghadap vagina (os uteri externum), sehingga mengakibatkan petugas inseminasi ragu-ragu dalam menumpahkan air mani pada waktu melaksanakan inseminasi buatan. Demikian juga pada waktu melahirkan, akan memperoleh kesulitan karena fetus terjerat pita ditengah-tengah saluran serviks. Penyebab dari keadaan ini, adalah tidak berjalannya secara normal, persatuan kedua saluran muller pada periode embrional, sehingga ada pita yang membagi korpus uteri dan saluran serviks menjadi dua bagian terpisah. Diagnosa dengan pemeriksaan memakai vaginoskop, akan terlihat seolah-olah ada dua lobang pada saluran serviks, karena ada selaput yang membagi saluran serviks berupa tenuna seperti pita. Pada keadaan yang berat terjadi dinding pemisah tebal. Seperti pita tersebut membentang

sepanjang serviks sampai pangkal koruna uteri, sehingga kedua saluran serviks masingmasing berhubungan dengan koruna uterinya sendiri-sendiri sehingga terbentuklah uterus didelpis (Arthur et al., 1982). h.Kista Vagina Merupakan kelainan pada saluran woff pada hewan betina pada periode embrional. Secara normal saluran wolff akan menghilang setelah fetus dilahirkan, dan sisa-sisanya dapat dikenali dibawah mukosa lantai vagina sebagai saluran wolff. Pada kasus ini terjadi kelainan pertumbuhan saluran tersebut yaitu dibawah mukosa pada lantai vagina terdapat serangkaian kista sepanjang salurtan wolff tersebut. Ukuran kista sangat bervariasi, sedang sampai besar yang berdiameter antara 10-15 cm, dan berisi cairan atau lender sampai lebih dari satu liter. Jumlah kista bisa hanya satu, dapat pula beberapa kista dengan ukuran yang berbeda. Kista ini dapat menganggu pada proses perkawinan alam, yaitu kista ini dapat menghalangi proses penetrasi penis dalam vagin, dapat pula sel mani terhalang dalam perjalannanya menuju tuba falopii tempat terjadinya pembuahan. Demikian pula waktu melahirkan, kista ini dapat menghalang-halangi jalan kelahiran, sehingga fetus yang akan lahir mendapat gangguan dalam menuju ke luar alat kelamin. Penanggulangan terhadap keadaan ini dapat dilakukan dengan operasi menyayat kistanya, rongga vagina tidak lagi tersumbat, setelah isi kista dikeluarkan, sumbatan dalam rongga vagina dapat dihilangkan (Arthur et al., 1982). Kista (Anonim c, 2006) i.Selaput Dara yang Menetap (hymen persistent) Kelainan ini berbentuk pada perbatasan antara vagina dan vulva terdapat selaput berupa jaringan pengikat yang tebal dan kenyal bersifat menetap, disebut selaput dara yang menetap. Pada keadaan yang normal pada ternak, selaput dara ini hanya berupa penebalan mukosa pada bagian posterior vagina yang bebatasan dengan vulva. Karena tebalnya, selaput dara pada kasus ini sulit ditembus oleh suatu benda, oleh karena itu selaput dara yang menetap ini sering juga disebut imperforate hymen. Kasusnya jarang terjadi pada

hewan ternak. Kasus ini pada sapi ada hubungannya dengan white heifer disease atau aplasia segmentalis duktus mulleri, yaitu suatu kegagalan proses bersatunya kadua saluran muller pada periode embrional yang dapat mengganggu perkawinan alam atau kelahiran. Diagnosa pada kelainan ini dilakukan dengan perabaan melalui vagina (eksplorasi vaginal). Dengan memakai vaginoskop, bila dimasukkan kedalam rongga vagina, akan segera tertahan oleh selaput dara yang tebal ini. Penanggulangan kasus ini dapat dilakukan dengan penyobekan dengan pisau operasi pada selaput tersebut melalui pembuahan kecil pada vagina, selanjutnya selaput dikeluarkan dan bekas sayatan diobati (Arthur et al., 1982).

j.Atresia Vulva Suatu keadaan pada vulva yang terjadi pertumbuhan tidak sempurna dalam bentuk adanya perlekatan kedua bibir (labia) vulva dibagian ventralnya. Kadang-kadang kelainan ini bersamaan dengan atresia ani. Kasusnya jarang pada ternak, tetapi kelainan ini bersiofat menurun. Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis khususnya pemeriksaan pada alat kelamin luarnya, yaitu adanya kelainan pada bagian ventral dari vulva. Penanggulangan dapat dilakukan dengan operasi melalui pelepasan bagian yang mengalami perlekatan. Bila dijumpai pada ternak betina, sebaiknya tidak dikawinkan dan dikeluarkan dari peternakan. k.Freemartin Sapi betina yang lahir kembar dengan pedet jantan disebut freemartin. Sapi freemartin sepenuhnya adalah majir sehingga tidak dapat bereproduksi. Kembar jantan betina ini pada sapi lebih dari 90% yang bersifat freemartin. Kembar freemartin ( Anonim a, 2006) Oleh karena itu hanya 5-10% kembar yang berbeda jenis kelamin ini, pada sapi tidak freemartin. Sapi betina lahir kembar dengan anak jantan yang bukan freemartin ini dapat terjadi, karena selaput korion kedua fetus yang berbeda jenis kelamin gagal mengadakan pertautan setelah terjadi perkembangan alat kelamin, sehingga alat kelamin betina tumbuh

normal. Kondisi freemartin pada sapi juga pernah dilaporkan pada kambing, domba, dan babi. Gejala-gejala yang ditunjukkan pada sapi freemartin adalah alat kelamin tidak tumbuh secara normal. Vulva berbentuk kecil dan rambut yang ada dibawah vulva tumbuh lebih lebat, klitoris berkembang menjadi lebih besar. Vagina berujkuran kecil dan pada ujung depannya buntu. Serviks tidak tumbuh secara normal, dan uterus ukurannya kecil sperti pita, sedangkan tuba falopii tidak teraba. Ovarium sangat kecil berupa penebalan jaringan. Segmental Uterine Aplasia-Freematinism (Anonim b, 2006) Pada perabaan melalui rectal, semua saluran reproduksi dan ovarium tidak dapat teraba kecuali uterusnya. Kecilnya saluran alat kelamin ini disebabkan gangguan perkembangan saluran muller pada masa embrional. Kelenjar ambing tetap kecil dan mudah dibedakan dengan ambing normal setelah setelah berumur dua bulan atau lebih, dan putingnya tetap kecil. Sapi betina freemartin tampak seperti sapi jantan dan selalu dalam keadaan anestrus, sehingga sapi freemartin sepenuhnya majir. Penyebab freemartin belum jelas benar. Teori hormonal yang muncul pada tahun 1916 menerangkan bahwa testis dari fetus kembar yang jantan berkembang lebih dahulu daripada ovarium dari kawan kemabr yang betina, sehingga hormone androgen dihasilkan lebih dahulu. Sementara itu pada ternak sapi yang bunting kembar, selalu terjadi pertautan antara selaput fetus yang satu dengan selaput fetus yang lain, disertai dengan adanya anastomosa pembuluh darah dari kedua fetus. Akibatnya terjadi percampuran darah antara kedua fetus jantan dan betina, dan hormone androgen dari fertus jantan akan masuk kedalam fetus betina. Hormone jantan ini menghambat pertumbuhan alat kelamin betina sehingga alat kelamin betina tida tumbuh secara wajar , tetapi tetap kecil keadaannya sampai dewasa (Hardjopranjoto, S.1995).

HuSabtu, 22 Agustus 2009 bungan Kualitas Pakan Pada Pubertas Sapi Betina
Pubertas

Pubertas dapat didefinisikan sebagai umur atau saat organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan perkembangbiakan dapat terjadi. Hewan betina yang mengalami pubertas ditandai dengan timbulnya estrus pertama kali dan ovulasi. Permulaan pubertas pada hewan betina disebabkan oleh pelepasan tiba-tiba hormon gonadotropin dari kelenjar adenohypofisa ke dalam saluran darah dan bukan karena dimulainya secara tiba-tiba produksi hormon-hormon tersebut Pelepasan FSH ke dalam aliran darah menjelang pubertas menyebabkan pertumbuhan folikel-folikel pada ovarium. Sewaktu folikel-folikel tersebut berkembang dan menjadi matang, berat ovarium meningkat dan esterogen disekresikan dari ovarium untuk dilepaskan ke dalam aliran darah. Esterogen menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan saluran kelamin betina. Apabila folikel-folikel menjadi matang, ovum diovulasikan dan turun ke dalam tuba fallopii Pubertas dikontrol oleh mekanisme-mekanisme fisiologik tertentu yang melibatkan gonad dan kelenjar adenohypofisa, sehingga pubertas tidak luput dari pengaruh faktor herediter dan lingkungan yang bekerja melalui organ-organ tersebut. Faktorfaktor yang mempengaruhi pubertas yaitu musim, suhu, makanan, dan faktor-faktor genetik (Toelihere, 1979). Aktivitas reproduksi pada ternak besar mulai beberapa saat sebelum pertumbuhan selesai, dan terjadi lebih dini pada hewan yang baik kondisi nutrisinya Umur pubertas untuk setiap spesies hewan berbeda dan dapat dipengaruhi oleh nutrisi. Pada sapi, jika diberi nutrisi yang cukup tinggi pubertas dapat dicapai pada usia 9 bulan, sedangkan jika nutrisinya sedang atau rendah maka pubertas bisa dicapai umur 11 bulan sampai 15 bulan. Sapi-sapi dara sebaiknya dikawinkan menurut ukuran dan berat badan bukan menurut umur. Kegagalan munculnya birahi pertama pada umur dewasa kelamin disebut anestrus prapubertas.

Hewan yang mengalami anestrus prapubertas dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok sapi betina anestrus yang mempunyai kelainan saluran alat kelamin betina yang sifatnya menurun dan anestrus yang terjadi karena faktor pengelolaan khususnya pemberian pakan (Hardjopranjoto, 1995). Susunan bahan makanan, terdiri dari: Air Karbohidrat Lemak Protein Vitamin Mineral (P,Ca,I,Se,Fe,Cu,Co,Mn,Mg) Pakan sebagai faktor yang menyebabkan gangguan reproduksi dan infertilitas sering bersifat majemuk, artinya kekurangan suatu zat dalam ransum pakan diikuti oleh kekurangan zat pakan yang lain. Kekurangan pakan dalam hal ini bukan hanya kuantitasnya tetapi kualitasnya Kekurangan pakan akan menyebabkan fungsi semua kelenjar dalam tubuh menurun Salah satu kelenjar yang menjadi sasaran adalah kelenjar hipofisa anterior yaitu hipofungsi kelenjar hipofisa tersebut, diikuti dengan menurunnya sekresi gonadotropin yaitu FSH dan LH Hal ini menyebabkan aktivitas ovarium menurun dan tidak terjadinya pertumbuhan folikel. Keadaan ini yang disebut hipofungsi ovarium ditandai dengan adanya anestrus Kelebihan pakan dalam ransum yang berlangsung dalam waktu lama dan mengakibatkan kegemukan (obesitas) dapat juga menimbulkan gangguan reproduksi. Pada sapi betina yang mengalami obesitas, ada timbunan lemak di berbagai bagian tubuh, contohnya di sekitar ovarium dan bursa ovarii Agar proses reproduksi dapat berjalan dengan normal, diperlukan ransum pakan yang memenuhi kebutuhan baik untuk pertumbuhan maupun untuk reproduksi.

Ransum pakan disebut berkualitas baik dan lengkap bila di dalamnya mengandung karbohidrat dan lemak sebagai sumber energi, protein sebagai zat pembangun tubuh, mineral, dan vitamin sebagai zat pelengkap untuk pertumbuhan. Kekurangan salah satu zat makanan di atas dapat mendorong terjadinya gangguan reproduksi dan infertilitas Hubungan antara gangguan ovulasi dengan infertilitas Ditulis oleh admin Sunday, 02 November 2008 Ovulasi adalah proses terlepasnya sel ovum dari ovarium sebagai akibat pecahnya folikel yang telah masak. Waktu yang dibutuhkan oleh seluruh proses ovulasi tergantung pada lokasi sel telur dalam folikel. Waktu ovulasi akan singkat apabila sel telur berada di dasar folikel dan akan lama apabila sel telur berada dekat pada stigma yang menonjol dipermukaan ovarium. Mekanisme terjadinya ovulasi : a. Hormonal : Setelah folikel-folikel tumbuh karena pengaruh hormon FSH dari pituitari anterior,maka sel-sek folikel mampu menghasilkan estrogen dan progesteron. Kedua hormon ini dalam dosis kecil akan menyebabkan terlepasnya hormon LH. Hormon LH memegang peranan penting dalam menggertak terjadinya ovulasi. Pecahnya folikel terjadi adanya tekanan dari dalam folikel yang bertambah besar dan persobekan pada daerah stigma yang pucat karena daerah ini kurang memperoleh darah. b. Neural : Rangsangan pada luar servik, baik pada saat kopulasi atau kawin buatan akan diteruskan oleh saraf ke susunan saraf pusat yang akan diterima oleh hipotalamus. Nantinya akan disekresikan LH realising hormon dan kadar LH dalam darah akan meningkat sehingga mengakibatkan ovulasi. Dari sisa-sisa folikel yang telah mengalami ovulasi akan terbentuk bermacam-macam tenunan yaitu : a. Korpus haemoragikum Setelah ovulasi akan diikuti pemberian darah yang lebih pada sisa-sisa folikel. Terjadi hipertropi dan hiperplasi pada tenunan sehingga tebentuk benda yang bulat menonjol dipermukaan ovarium,kenyal,dan berwarna merah b. Korpus Luteum Sebagai akibat dari proses luteinasi dari korpus haemoragikum oleh pengaruh hormon LTH, terjadilah pertumbuhan lebih lanjut dari sel-sel tersebut. Tenenuan baru akan berubah warna menjadi kuning dan menghasilkan progesteron yang lama-lama akan tinggi pada puncak siklus birahi. c. Korpus Albikansia Berhentinya aktivitas korpus luteum dalam menghasilkan progesteron akan menyebabkan degenerasi dari sel-selnya karena sudah tidak memperoleh suplai darah maka bentuknya menjadi sangat kecil dan berwarna pucat.

Ovulasi pada sapi terjadi sekitar 10-12 jam setelah estrus berakhir. Adanya gangguan pada saat ovulasi dapat menyebabkan tidak terjadinya fertilisasi dan atau gangguan perkembangan embrio. Gangguan ovulasi dapat terjadi karena defisiensi atau ketidakseimbangan endokrin dan faktor mekanik. Gangguan ovulasi dapat berupa ovulasi tertunda, anovulasi dan sista folikuler. 1. Ovulasi tertunda (Delayed ovulation) Ovulasi tertunda merupakan salah satu penyebab infertilitas. Kejadian ini dapat menyebebkan perkawinan atau IB tidak tepat waktu sehingga fertilisasi tidak terjadi dan akhirnya kegagalan kebuntingan. Penyebab ovulasi tertunda bisa karena rendahnya kadar LH dalam darah atau karena diperpanjangnya masa folikuler. Diagnosis dapat dilakukan secara per rektal folikelnya yaitu 24-36 jam setelah estrus berakhir. Gejala yang tampak pada kasus ini adalah terjadinya kawin berulang. Terapi dapat dilakukan dengan injesi GnRH (100-250 mikrogram Gonadorelin) saat IB atau pemberian hCG. 2. Sista Ovaria Ovaria dikatakan sistik bila mengandung satu atau lebih struktur yang berisi cairan dan lebih besar dibanding folikel yang masak. Adanya sista tersebut menyebabkan folikel de graf tidak berovulasi (anovulasi) tetapi mengalami regresi dan atresia atau mengalami luteinisasi sehingga ukuran folikel meningkat, adanya degenerasi lapisan sel granulosa dan memetap paling sedikit 10 hari. Akibatnya sapi-sapi menjadi anestrus atau nimfomania. Sista ovaria merupakan salah satu penyebab infertilitas. Faktor predeposisinya adalah herediter dan diet. Penyebab sista ovaria adalah gangguan ovulasi dan endokrin. Terapinya dapat dengan LH/HCG, GnRH, PGF2. Berdasarkan kejadiannya sista ovaria dibagi menjadi sista folikuler, sista luteal dan sista korpora luteal. a. Sista folikuler Merupakan sekumpulan folikel yang tidak mengalami ovulasi disebabkan karena rendahnya hormone LH. Jumlah sista bisa satu atau lebih pada salah satu ovarium atau keduanya. Gejala sista folikuler adalah estrus terus menerus ( nimfomania ) jika sistanya banyak atau anestrus jika sistanya sedikit dan sifatnya anovulotorik. Jika kejadian nimfomania menjadi kronis bisanya menyebabkan sterility hump. Pada pemeriksaan per rectal terhadap ovarium akan teraba permukaan halus, diameter > 2,5 cm, dinding tipis dan jika ditekan ada fluktuasi. Terapinya dapat dilakukan dengan cara enukleasi dan pemberian hormone LH atau HCG. b. Sista luteal Terbentuk karena folikel mengalami luteinisasi akibat peningkatan LTH secara mendadak. Kejadian sista luteal biasanya tunggal pada ovarium dan sering terjadi pada sapi perah yang produksinya tinggi. Gejala sista luteal adalah tidak menunjukkan estrus ( anestrus ) dan sifatnya anvulatorik ( tidak mampu berovulasi ). Pada pemeriksaan per rectal terhadap ovarium teraba diameter > 2,5 cm, permukaan antara ovarium dan luteal berbatas jelas, dindingnya tebal dan jika ditekan terasa kenyal. Terapinya dengan pemberian PGF2 atau dengan cara enukleasi terhadap sista luteal. c. Sista korpora luteal Sista yang terbentuk dari folikel yang telah berovulasi kemudian mengalami luteinisasi sebagian sehingga ada bagian tengah yang berongga dan berisi cairan., biasanya tunggal pada salah satu ovarium. Pada dasarnya kondisi ini mempunyai siklus normal, estrus dan

ovulasi serta fertilisasi dapat terjadi namun kondisi konsepsi tidak dapat dipertahankan karena progesterone dalam darah rendah. Manifesti dari sista korpora luteal ditandai dengan adanya kawin berulang. Pada palpasi per rectal ovarium teraba kenyal jika ditekan, diameter besar > 2,5 cm dan berdinding tebal. Terapinya dengan PGF2 jika tidak terjadi kebuntingan. 3. Anovulasi Sering dikaitkan dengan true anestrus, namun estrus dapat terjadi tetapi folikel mengalami regresi atau atresia. Juga sering terjadi pada sapi setelah partus, dimana ada aktivitas ovarium yang ditandai dengan adanya estrus namun lemah karena folikel tidak berkembang secara maksimum dan hilang (anestrus) karena folikel mengalami regresi. Tidak berkembangnya folikel sampai masak dan tidak terjadinya ovulasi mungkin disebabkan karena rendahnya kadar hormone FSH dan LH. Kadang folikel tidak regresi dan mencapai ukuran 2-2,5 cm, tapi dindingnya mengalami luteinisasi sehingga mirip dengan korpus luteum atau folikel berkembang menjadi folikel de graf tetapi gagal ovulasi karena gangguan pelepasan hormone gonadotropin. Gejala klinis dalam kasus ini adanya estrus kembali setelah perkawinan atau adanya kawin berulang. Pada pemeriksaan per rectal terhadap ovarium teraba rounded atau halus, tidak ada fluktuasi, solid seperti korpus luteum. Terapi menggunakan HCG atau GnRH.
Tags: Artikel Peternakan Hubungan antara gangguan ovulasi dengan infertilitas Ovulasi tertunda Sista Ovaria Anovula

http://www.vet-klinik.com/Peternakan/Hubungan-antara-gangguan-ovulasi-denganinfertilitas.html

Macam Gangguan Reproduksi dan Penanggulangannya


Cacat anatomi saluran reproduksi Abnormalitas yang berupa cacat anatomi saluran reproduksi ini dibedakan menjadi dua yaitu cacat congenital (bawaan) dan cacat perolehan.

Cacat Kongenital Gangguan karena cacat kongenital atau bawaan lahir dapat terjadi pada : Ovarium (indung telur) dan pada saluran reproduksinya.

Gangguan pada ovarium meliputi:

Hipoplasia ovaria (indung telur mengecil) dan Agenesis ovaria (indung telur tidak terbentuk). Hipoplasia ovaria, merupakan suatu keadaan indung telur tidak berkembang karena keturunan. Hal ini dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral. Apabila terjadi pada salah satu indung telur maka sapi akan menunjukan gejala anestrus (tidak pernah birahi) dan apabila terjadi pada kedua indung telur maka sapi akan steril (majir). Secara perrektal indung telur akan teraba kecil, pipih dengan permukaan berkerut. Agenesis ovaria merupakan suatu keadaan sapi tidak mempunyai indung telur karena keturunan. Dapat terjadi secara unilateral (salah satu indung telur) ataupun bilateral (kedua indung telur).

Cacat turunan juga dapat terjadi pada saluran alat reproduksi, diantaranya :

Freemartin (abnormalitas kembar jantan dan betina) dan atresia vulva (pengecilan vulva). Kelahiran kembar pedet jantan dan betina pada umumnya (lebih dari 92%) mengalami abnormalitas yang disebut dengan freemartin Abnormalitas ini terjadi pada fase organogenesis (pembentukan organ dari embrio di dalam kandungan), kemungkinan hal ini disebabkan oleh adanya migrasi hormon jantan melalui anastomosis vascular (hubungan pembuluh darah) ke pedet betina dan karena adanya intersexuality (kelainan kromosom). Organ betina sapi freemartin tidak berkembang (ovaria hipoplastik) dan ditemukan juga organ jantan (glandula vesikularis). Sapi betina nampak kejantanan seperti tumbuh rambut kasar di sekitar vulva, pinggul ramping dengan hymen persisten. Sedangkan Atresia Vulva merupakan suatu kondisi pada sapi induk dengan vulva kecil dan ini membawa resiko pada kelahiran sehingga sangat memungkinkan terjadi distokia (kesulitan melahirkan). Penanganannya dengan pemilihan sapi induk dengan skor kondisi tubuh (SKT) yang baik (tidak terlalu kurus atau gemuk serta manajemen pakan yang baik

Cacat perolehan Cacat perolehan dapat terjadi pada indung telur maupun pada alat reproduksinya. Cacat perolehan yang terjadi pada indung telur, diantaranya: Ovarian Hemorrhagie (perdarahan pada indung telur) dan Oophoritis (radang pada indung telur). Perdarahan indung telur biasanya terjadi karena efek sekunder dari manipulasi traumatik pada indung telur. Bekuan darah yang terjadi dapat menimbulkan adhesi (perlekatan) antara indung telut dan bursa ovaria (Ovaro Bursal Adhesions/OBA). OBA dapat terjadi secara unilateral dan bilateral. Gejalanya sapi mengalami kawin berulang. Sedangkan Oophoritis merupakan keradangan pada indung telur yang disebabkan oleh manipulasi yang traumatik/ pengaruh infeksi dari tempat yang lain misalnya infeksi pada oviduk (saluran telur) atau infeksi uterus (rahim). Gejala yang terjadi adalah sapi anestrus

Cacat perolehan pada saluran reproduksi, diantaranya: Salphingitis , trauma akibat kelahiran dan tumor. Salphingitis merupakan radang pada oviduk. Peradangan ini biasanya merupakan proses ikutan dari peradangan pada uterus dan indung telur. Cacat perolehan ini dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral. Sedangkan trauma akibat kelahiran dapat terjadi pada kejadian distokia dengan penanganan yang tidak benar (ditarik paksa), menimbulkan trauma/ kerusakan pada saluran kelahiran dan dapat berakibat sapi menjadi steril/ majir. Tumor ovarium yang umum terjadi adalah tumor sel granulosa. Pada tahap awal sel- sel tumor mensekresikan estrogen sehingga timbul birahi terus menerus (nympomania) namun akhirnya menjadi anestrus. Penanganan cacat perolehan disesuaikan dengan penyebab primernya. Jika penyebab primernya adalah infeksi maka ditangani dengan pemberian antibiotika. Perlu hindari trauma fisik penanganan reproduksi yang tidak tepat.

Gangguan fungsional Salah satu penyebab gangguan reproduksi adalah adanya gangguan fungsional (organ reproduksi tidak berfungsi dengan baik). Infertilitas bentuk fungsional ini disebabkan oleh adanya abnormalitas hormonal. Berikut adalah contoh kasus gangguan fungsional, diantaranya : Sista ovarium, Subestrus dan birahi tenang, Anestrus serta Ovulasi tertunda

Sista ovarium (ovaria, folikuler dan luteal) Status ovarium dikatakan sistik apabila mengandung satu atau lebih struktur berisi cairan dan lebih besar dibanding dengan folikel masak. Penyebab terjadinya sista ovarium adalah gangguan ovulasi dan endokrin (rendahnya hormon LH). Sedangkan faktor predisposisinya adalah herediter, problem sosial dan diet protein. Adanya sista tersebut menjadikan folikel de graf (folikel masak) tidak berovulasi (anovulasi) tetapi mengalami regresi (melebur) atau mengalami luteinisasi sehingga ukuran folikel meningkat, adanya degenerasi lapisan sel granulosa dan menetap paling sedikit 10 hari. Akibatnya sapi-sapi menjadi anestrus atau malah menjadi nymphomania (kawin terus). Penanganan yang dilakukan yaitu dengan:

Sista ovaria : prostaglandin (jika hewan tidak bunting) Sista folikel : Suntik HCG/LH (Preynye, Nymfalon) secara intramuskuler sebanyak 200 IU. Sista luteal : PGH 7,5 mg secara intra uterina atau 2,5 ml secara intramuskuler. Selain itu juga dapat diterapi dengan PRID/CIDR intra uterina (12 hari). Dua sampai lima hari setelah pengobatan sapi akan birahi.

Subestrus dan birahi tenang Subestrus merupakan suatu keadaan dimana gejala birahi yang berlangsung singkat/ pendek (hanya 3- 4 jam) dan disertai ovulasi (pelepasan telur). Birahi tenang merupakan suatu keadaan sapi dengan aktifitas ovarium dan adanya ovulasi namun tidak disertai dengan gejala estrus yang jelas. Penyebab kejadian ini diantaranya: rendahnya estrogen (karena defisiensi karotin, P, Co, Kobalt dan berat badan yang rendah). Apabila terdapat corpus luteum maka dapat diterapi dengan PGF2 (prostaglandin) dan diikuti dengan pemberian GnRH (Gonadotropin Releasing Hormon).

Anestrus Anestrus merupakan suatu keadaan pada hewan betina yang tidak

menunjukkan gejala estrus dalam jangka waktu yang lama. Tidak adanya gejala estrus tersebut dapat disebabkan oleh tidak adanya aktivitas ovaria atau akibat aktifitas ovaria yang tidak teramati. Keadaan anestrus dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya yaitu : a. True anestrus (anestrus normal) Abnormalitas ini ditandai dengan tidak adanya aktivitas siklik dari ovaria, penyebabnya karena tidak cukupnya produksi gonadotropin atau karena ovaria tidak respon terhadap hormon gonadotropin. Secara perrektal pada sapi dara akan teraba kecil, rata dan halus, sedangkan kalau pada sapi tua ovaria akan teraba irreguler (tidak teratur) karena adanya korpus luteum yang regresi (melebur). b. Anestrus karena gangguan hormon Biasanya terjadi karena tingginya kadar progesteron (hormon kebuntingan) dalam darah atau akibat kekurangan hormon gonadotropin. c. Anestrus karena kekurangan nutrisi Kekurangan nutrisi dapat menyebabkan gagalnya produksi dan pelepasan hormon gonadotropin, terutama FSH dan LH, akibatnya ovarium tidak aktif. d. Anestrus karena genetik Anestrus karena faktor genetik yang sering terjadi adalah hipoplasia ovarium dan agenesis ovaria. Penanganan dengan perbaikan pakan sehingga skor kondisi tubuh (SKT) meningkat, merangsang aktivitas ovaria dengan cara pemberian (eCG 30004500 IU; GnRH 0,5 mg; PRID/ CIDR dan estrogen). Ovulasi yang tertunda Ovulasi tertunda (delayed ovulation) merupakan suatu kondisi ovulasi yang tertunda/ tidak tepat waktu. Hal ini dapat menyebabkan perkawinan/ IB tidak tepat waktu, sehingga fertilisasi (pembuahan) tidak terjadi dan akhirnya gagal untuk bunting. Penyebab utama ovulasi tertunda adalah rendahnya kadar LH dalam darah. Gejala yang nampak pada kasus ini adalah adanya kawin berulang (repeat breeding). Terapi yang dapat dilakukan diantaranya dengan injeksi GnRH (100-250 g gonadorelin) saat IB. Pustaka
ANONIMUS. 2006. Pejantan Sapi Potong dan Kambing. Balai Besar Inseminasi Buatan Singosari. Direktorat Jendral Peternakan. Deptan. BOOTHBY, D. AND G.FAHEY, 1995. A Practical Guide Artificial Breeding of Cattle. Agmedia, East Melbourne Vic 3002. pp 127. RIADY, M. 2006. Implementasi Program Menuju Swasembada Daging 2010. Strategi dan Kendala. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak, 5-6 September, 2006.

TOELIHERE, M.R. 1985. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. Penerbit Universitas Indonesia (UI-ress), Jakarta. PRIHATNO, S.A. 2004. Infertilitas dan Sterilitas. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. EWER, T.K. 1982. Practical Animal Husbandry. Dorset Press, Dorchester. AFFANDHY, L. 2001. Pengobatan Alternatif pada Ternak Ruminansia dengan Pemanfaatan Tanaman Keluarga dan Jamu Tradisional. Jurnal. Pengembangan Peternakan Tropis (Journal of Tropical Animal Development), 286-296. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. RATNAWATI, D., WULAN C.P. dan L. AFFANDHY. 2007. Penganan Gangguan Reproduksi Pada Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Badan Penelitian dan Pengembangan Peternakan Departemen Pertanian

Pengaruh nutrisi terhadap performans reproduksi ternak sapi


Pendahuluan Performans reproduksi ternak ruminansia pada daerah tropis umumnya ditentukan oleh empat faktor, yaitu genetic, lingkungan fisik, nutrisi dan manajemen ( Smith dan Akinbamijo, 2000). Fakta fakta di lapangan dan beberapa literatur telah membuktikan bahwa faktor nutrisi merupakan faktor yang lebih kritis, dalam arti baik pengaruh langsung maupun pengaruh tidak langsung terhadap fenomena reproduksi dibanding faktor lainnya. Jadi, nutrisi yang cukup dapat mendorong proses biologis untuk mencapai potensi genetiknya, mengurangi pengaruh negatif dari lingkungan yang tidak nyaman dan meminimalkan pengaruh-pengaruh dari teknik manajemen yang kurang baik. Nutrisi yang kurang baik tidak hanya akan mengurangi performans dibawah potensi genetiknya, tetapi juga memperbesar pengaruh negatif dari lingkungan . Disamping itu, faktor nutrisi lebih siap dimanipulasi untuk menjamin luaran / produk yang positif dibanding faktor-faktor lainya. Oleh karena itu perlu mendapat perhatian yang serius terhadap interaksi antara nutrisi dan reproduksi terutama di daerah tropika, yang disebabkan beberapa hal antara lain: ketidak-cukupan nutrisi dalam arti secara kuantitatif yaitu konsumsi pakan dan kualitatif yaitu ketidakseimbangan zat-zat nutrisi. Kegagalan memahami dengan baik interaksi ini untuk mengurangi dampak negatif dan memperbesar dampak positif akan berpengaruh buruk terhadap efisiensi produksi ternak, karena hal ini sangat bergantung kepada performans reproduksi. Pengaruh Energi Terhadap Performans Reproduksi. Respon reproduksi terhadap suplai energi menjadi tiga bagian: (1). Pengaruh jangka lama, yang berpengaruh terhadap ternak mulai dari lahir, pubertas sampai dewasa, (2). Pengaruh jangka menengah, yang berpengaruh terhadap daur reproduksi tahunan pada ternak betina

dewasa, dan (3). Pengaruh jangka pendek terutama pada saat periode sebelum dan sesudah kawin. Status gizi / nutrisi seekor ternak dari lahir sampai dewasa dapat berpengaruh terhadap total performans reproduksinya melalui pengaruhnya terhadap umur pada saat pubertas yang akan berdampak terus terhadap reproduksi pada saat dewasa. Menurut Haresign (1984) pada sapi dan domba telah dibuktikan bahwa kekurangan nutrisi pada saat pemeliharaan dapat memperlambat waktu pubertas dan pengaruh residunya terhadap fertilitas (kemampuan untuk melahirkan) pada waktu dewasa. (Tabel 4.1). Pengaruh energi jangka menengah berhubungan dengan fluktuasi dalam konsumsi energi pada setiap tahap dari siklus musim kawin yang menghasilkan akumulasi atau kehilangan cadangan energi tubuh sehingga berpengaruh terhadap kondisi tubuh pada waktu kawin. Respon reproduksi terhadap suplai energi dalam jangka waktu pendek, sudah banyak dilakukan pada ternak domba (Haresign, 1984; Smith 1984), dimana pemberian pakan tambahan sebelum dan sesudah periode kawin (metode "flushing) dapat meningkatkan tingkat ovulasi dan kesuburan ternak.( Tabel 4.2) Tabel 4.1. Performans reproduksi domba Merino lebih dari lima tahun melahirkan setelah diberi level nutrisi berbeda selama pemeliharaan Level Pakan Peluang melahirkan Keberhasilan melahirkan % Melahirkan Rendah (0-14 bln) 37 32 89 Tinggi (0 2 bln) Rendah 2 14 bln) 34 33 103 Tinggi (0 14 bln) 70 62 109 Tabel 4.2. Pengaruh PMSG (600 i.u) terhadap tingkat Ovulasi pada domba yang diberi perlakuan flushing dengan waktu yang berbeda-beda. Lama Flushing T i n g k a t Ovulasi Tanpa PMSG Dengan PMSG Kontrol 1,33 5 - 8 hari 1,50 2,83 1 siklus berahi 1,83 2,17 2 Siklus berahi 2, 17 2,50 Dibawah Kebutuhan Hidup Pokok 1,00 2,40 Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pembatasan energi dalam ransum sapi dapat menyebabkan tidak berahi (anestrous) pada sapi-sapi betina yang siklus berahinya normal (Richard dkk, 1989; Shrick dkk 1992), Pengurangan level energi dalam ransum sapi betina dapat mengubah perkembangan folikel (Perry dkk, 1991; Murphy, 1991), menurunkan diameter folikel preovulasi dan menghambat pertumbuhan folikel dengan diameter terbesar selama siklus estrus (Burn dkk 1997) dan menurunkan konsentrasi "insulin like growht faktor" (IGF-1) (Spicer dkk, 1990; Burns dkk, 1997). IGF-1 merangsang proliferasi seluler dan diferensiasi sel secara in-vitro (Monniaux & Pisselet, 1992; Spicer dkk, 1990). Pemberian garam kalsium dalam rantai panjang asam lemak. (CalCFA) telah mengurangi folikel kecil (berukuran 3 - 5 mm) dan mempunyai lebih banyak folikel besar (6 - 9 mm). Ukuran rataan folikel preovulasi lebih besar pada sapi-sapi yang mendapat CalCFA (energi terendah dan tertinggi) dibanding sapi-sapi yang diberi ransum kontrol (16,0 vs 18,7 mm

dan 18,4 mm vs 12,4 mm) (Lucy dkk 1992). Performans reproduksi sapi betina paska melahirkan sering dibatasi oleh konsumsi energi yang lebih rendah dari pada pengeluaran energi. Hal ini disebabkan adanya keseimbangan energi negatif yang terjadi pada masa akhir kebuntingan, paska melahirkan dan masa laktasi pada sapi potong dan sapi perah yang dapat menur-unkan sekresi LH dan menunda kembalinya berahi (Haresign, 1984; Lucy dkk 1992) ( Tabel 3) . Sapi betina menyusui yang diberi pakan dengan energi terbatas menghasilkan korpus luteum subfungsional selama siklus estrus sebelum menjadi anestrus (Shrick dkk 1992; Burn dkk, 1997). Pemberian ransum dengan kandungan lemak 5,2% pada sapi perah, sebelum dan sesudah melahirkan meningkatkan ukuran dan jumlah folikel pasca melahirkan, mempengaruh konsentrasi hormon steroid sebelum melahirkan dan berat lahir anak sapi (Lammoglia dkk, 1996). Tabel 4.3. Pengaruh level Pakan pada pra- dan paska- melahirkan terhadap aktivitas reproduksi pada sapi potong sedang menyusui. Level pakan pada waktu pra dan paska melahirkan Pra Paska Skor kondisi tubuh waktu melahirkan % sapi berahi pada 90 hari paska melahirkan Jarak kelahiran sampai berahi pertama ( hari) Periode involusi uterus ( hari) Tinggi Tinggi 6,8 95 48 35 Tinggi Rendah 6,5 86 43 38 Rendah Tinggi 4,4 85 65 40 Rendah Rendah 4,5 22 52 42 Pada Tabel 4.3 terlihat bahwa pembatasan pakan pada periode akhir kebuntingan menghasilkan penurunan skor kondisi tubuh ( yang merefleksikan cadangan lemak tubuh) dan konsekuensinya berdampak terhadap munculnya lagi berahi setelah melahirkan. Skor kondisi tubuh yang baik pada kawin setelah melahirkan adalah diatas dari nilai 5 (skala 1 = sangat kurus sampai 9 = sangat gemuk), yang telah dibuktikan dapat menghasilkan tingkat kebuntingan lebih dari 90 % pada sapi potong dengan sistem ranch ( Kunkle, Sand dan Rae, 1998). Skor kondisi tubuh merupakan indicator yang sangat berguna dan praktis untuk melihat status energi dan performans untuk kawin kembali setelah melahirkan (Randel 1990). Kekurangan energi sebelum melahirkan ( dibawah kebutuhan hidup pokok) sebaiknya dihindarkan karena hal ini dapat menyebabkan cekaman metabolic dengan gejala subklinis ketosis dan gangguan hati , yang diikuti oleh tingginya kejadian tertinggalnya plasenta, endometritis dan rendahnya tingkat kebuntingan setelah masa laktasi ( Lothammer, 1989 ). Pengaruh negatif dari ketersedian energi yang tidak cukup akan diperbesar oleh kekurangan energi setelah melahirkan. Namun demikian, kelebihan energi pada periode kering sapi perah juga dapat berdampak buruk terhadap pemulihan kondisi uterus dan tingkat kebuntingan paska melahirkan dan menimbulkan gejala subklinis ketosis dan paresis pueperalis (Tabel 4.4). Tabel 4.4. Performans reproduksi dan frekuensi penyakit metabolisme pada sapi perah yang diberi protein dan energi pada level berbeda pada periode kering .

Level Pakan : Kelompok I Kelompok II Signifikansi Hidup Pokok + 16 kg (% FCM tinggi) Hidup Pokok + 2 kg ( % FCM rendah ) Lambatnya involusi uterus 53,6 17,2 ** Endometritis 70,8 26,9 ** Folikel cyst 44,8 18,7 * Tk kebuntingan dengan 1 atau 2 inseminasi 46,4 74,1 * Paresis pueperalis 26,2 6,3 * Subklinis acetonaemia 65,5 45,5 * Pada dua sampai tiga minggu masa laktasi, energi dari berbagai sumber sangat penting untuk memulai aktivitas ovarium dan berhubungan dengan masa involusi uterus. Kekurangan energi akan menghasilkan berahi tenang, tertundanya ovulasi dan folikel syst. Pengaruh Protein Terhadap Performans Reproduksi. Pada ternak ruminansia , sebagian besar kebutuhan proteinnya dapat disuplai oleh produksi protein sendiri ( 70% ) dalam arti protein diproduksi melalui protein mikroba . Namun demikian, data dari beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa tingkat kebuntingan pada sapi dewasa dan heifer dipengaruhi oleh konsumsi protein pada waktu pra - dan paska melahirkan. Data dari sapi potong sedang laktasi dan sapi dara yang menerima ransum protein rendah dengan berbagai level energi selama periode kebuntingan mempunyai tingkat kebuntingan yang lebih rendah dibanding kelompok yang mendapat ransum protein tinggi ( Randel, 1990). Hal yang sama terjadi pada kelompok sapi yang sedang menyusui, tingkat kebuntingan sangat dipengaruhi oleh kecukupan protein dalam ransumnya ( Tabel 4. ) Namun demikian pengaruh kelebihan protein terhadap services per conception (S/C) dan days open pada sapi perah tidak konsisten. Sebagian peneliti melaporkan bahwa kelebihan protein ( > 19 % dalam ransum) cenderung meningkatkan angka service per conception ( Jordan dan Swanson, 1979) sedangkan sebagian lainya melaporkan kelebihan protein tidak berpengaruh terhadap angka S/C ( Howard dkk, 1985 dan Aalserth dkk, 1986). Kandungan protein dalam ransum juga dapat meningkatkan konsumsi total ransum (dalam arti konsumsi bahan kering ransum ) sapi perah dengan kisaran dari 0 samapai 2 kg bahan kering / hari Tabel 4.5. Pengaruh suplementasi ransum protein sebelum melahirkan dan paska melahirkan terhadap persentase (%) tingkat kebuntingan kelompok sapi yang menyusui. Status protein dalam ransum Cukup Tidak Cukup Signifikan (P) Sumber pustaka PRA - MELAHIRKAN 85 71 <0,11 Wetteman dkk 1980. 92 76 > 0,10 Rasby dkk 1982 58 21 <0,02 Mobley dkk, 1983 84 12 <0,01 Garmendia dkk, 1984 39 12 <0,07 Seik dkk, 1985

92 80 >0,10 Seik dkk, 1985 PASKA MELAHIRKAN 94 44 <0,05 Forero dkk, 1980 96 82 <0,03 Cantrel dkk 1983 91 71 <0,01 Kropp dkk, 1983 92 77 <0,01 Hancock dkk , 1984 95 80 <0,01 Hancock dkk 1985 Sumber : Dikutip dari Randel , 1990 Laju peningkatan konsumsi bahan kering ini bervariasi bergantung kepada kualitas protein apakah protein itu mudah didegradasi atau tidak oleh mikroba rumen ?, kecukupan protein untuk pembentukan mikroba rumen dan keseimbangan asam amino dalam ransum protein ( Faverdin dkk, 2003). Peningkatan konsumsi bahan kering ransum ini secara tidak langsung akan meningkatkan pemenuhan energi dan protein bagi pertumbuhan maupun kebutuhan untuk aktivitas reproduksi. Pengaruh mineral dan Vitamin terhadap Performans Reproduksi Kebutuhan makromineral Kalsium dan Phosfor untuk ternak ruminansia lebih ditentukan oleh perbandingan kedua mineral tersebut. Telah dibuktikan bahwa frekuensi penyakit endometritis meningkat bila ratio Ca : P menurun Kalsium berperanan setelah melahirkan untuk proses involusi uterus. Sebaiknya rasio perbandingan Ca:P dipertahnkan dalam perbandingan 2: 1 dengan suplai P sebaiknya lebih tinggi dalam keadaan strees (Lotthammer, 1989). Sedangkan untuk perbandingan Na : K dipertahankan dalam rasio 10 : 1., kekurangan Natrium berhubungan dengan kelebihan Kalium dapat mengurangi tingkat kesuburan melalui siklus estrus tidak teratur, endometritis dan folikel syste. Suplementasi Natrium melalui garam merupakan cara yang murah dan sebaiknya diberikan secara ad libitum. Mineral lain yang berperan adalah seng ( Zn) yang terlibat dalam beberapa reaksi enzimatik berhubungan dengan metabolisme karbohidrat , sintesis protein dan metabolisme asam nukleat ( Smith dan Akinbamijo, 2000). Oleh karena itu zat seng sangat penting untuk sel seperti sel-sel gonad dimana pertumbuhannya aktif dan terjadi pembelahan. Konsekuensinya, fungsi reproduksi akan serius terganggu bikla kekurangan Zn, spermatogenesis dan perkembangan organ kelamin sekunder dan primer pada jantan serta semu fase proses reproduksi pada betina mulai dari estrus , kebuntingan sampai laktasi akan terganggu (Underwood, 1981). Tepat sekali untuk mensuplementasi tembaga (Cu) dan molybdenum (Mo) secara bersamaan, karena interaksi kedua mineral sudah diketahui dengan baik. Interaksi yang dapat mengganggu penggunaan tembaga. Thiomolibdat dibentuk dalam rumen mengikuti reaksi sulfur dan molybdenum. Selanjutnya, tiomolibdat berekasi dengan tembaga membentuk cuprum thiomolibdat yang tidak larut dimana tidak tersedia bagi sapi. Komplek tembaga molybdenum sulfur merupakan salah satu pembatas interaksi yang mempengaruhi penggunaan tembaga dan menyebabkan kekurangan sekunder tembaga ( dalam arti, adanya kandungan Cu yang cukup dalam ransum untuk mengatasi kekurangan primer tembaga menghasilkan kandungan Cu tidak cukup dalam ransum). Menurut Phillipo dkk (1987) , cadangan tembaga pada sapi perah dara habis setelah mengkonsumsi besi (Fe) dan molybdenum (Mo). Hubungan natagonis lainnya yang dapat mengurangi ketrersediaan tembaga, menyebabkan kekurangan sekunder, gejala sub-klinis dan gangguan efisisensi

reproduksi adalah komplek tembaga-besi, tembaga seng dan tembaga-phytat. Kelemahan ini dalam pemebentukan komplek biologis tidak tersedia merupakan bagian yang bertanggungjawab untuk kejadian tingginya sindrom kekurangan tembaga, khususnya pada ternak ruminansia yang merumput. Terdapat hubungan yang definitif antara selenium (Se) dan Vitamin E. Vitamin E berperan sebagai antioksidan seluler yang melindungi sel-sel dari pengaruh berbahaya dari hydrogen peroksida dan bentuk peroksida lain dari asam-asam lemak (Surai, 1999). Sedangkan fungsi selenium merupakan komponen dari kofaktor dari sistem enzim glutathione peroxidase (GSH-Px) yang bertanggung jawab untuk pengaturan ekstra dan intraseluler hydroperoxidase (Burk dan Hill, 1993). Pada kondisi kekurangan selenium dan vitamin E, radikal-radikal bebas ini berakumulasi dan tidak hanya merusak membrane sel, tetapi juga mengganggu beberapa proses yang berkaitan dengan sistesis steroid, prostaglandin , motilitas sperma dan perkembangan embryo (Smith dan Akinbamijo, 2000). Menurut Anke dkk, (1989) , ternak kambing merupakan salah satu ternak yang peka terhadap kekurangan selenium disbanding ternak lainnya. Pengaruh buruk dari ransum yang kurang selenium dapat diobservasi terhadap beberapa fenomena reproduksi mulai dari awal munculnya berahi , terjadinya pembuahan sampai produksi susu dan performans keturunannya (Tabel 5). Tabel 4.6. Pengaruh kekurangan selenium terhadap kejadian proses reproduksi pada kambing betina Proses Reproduksi Kontrol Kekurangan Selenium P Berahi Terdeteksi Terdeteksi tapi lambat Kebuntingan (%) 93 64 P<0,05 Kb tidak subur 7,4 36 P<0,05 Anak disapih/induk pada 90 hari 0,89 0,36 P<0,01 4 % produksi susu (l) / hari 1,02 0,91 P<0,001 Lemak susu, g/hari 41 36 P<0,001 Protein susu g/hari 32 28 P<0,001 Pada ternak ruminansia umumnya mengkonsumsi vitamin A dalam bentuk tidak aktif- carotene atau Provitamin A- , kecuali jika diberikan suplemen biji-bijian berbasis konsentrat. Provitamin A diubah menjadi bentuk aktif vitamin A dalam usus kecil dan bersama dengan suplemen vitamin A yang telah terbentuk disimpan dalam hati, otot, telur dan susu untuk digunakan berbagai macam fungsi, termasuk yang berhubungan dengan fenomena reproduksi. Gangguan reproduksi yang dapat diamati dengan adanya kekurangan vitamin A pada ternak adalah terlambatnya pubertas, rendahnya tingkat kebuntingan, tingginya kematian embrio, tingginya kematian anak baru lahir karena lemah, kebutaan dan berkurangnya libido pada jantan ( Smith dan Somade , 1994) serta pada ternak babi memperbaiki jumlah kelahiran per induk ( Litter size) ( Whaley dkk, 1997). Dari beberapa bukti penelitian diatas , fungsi fungsi kritis dari mikronutrisi ( mikromineral dan vitamin) terhadap seluruh proses biologis dan konsekuesi kurangan zat mikronutrisi tersebut terhadap performans reproduksi dapat diringkas seperti yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 4.7. Peran mikronutri terhadap penampilan reproduksi ternak

Mikronutrisi Mekanisme/ Fungsi metabolis Konsekuensi defisiensi Vitamin A Steroidogenesis, Sinkronisasi embrionik Terlambatnya pubertas, rendahnya tingkat konsepsi, kematian embrio, mengurangi libido. Vitamin E Detoksifikasi radikal bebas intra-membran Konsentrasi sperma rendah dan tingginya kejadian droplet sitoplasmik, tertinggalnya membrane fetus. Selenium Komponen dari Glutation peroksidase (GSH-Px). Mengurangi motilitas sperma dan kontraksi uterus, ovari sistik, tingkat kesuburan rendah, tertinggalnya membrane foetus. Cuprum (Cu) Komponen enzim dan katalis terlibat dalam steroidogenesis dan sintesis prostaglandin Fertilitas rendah, tertundanya / hilangnya berahi, abortus / resorpsi fetus. Seng (Zn) Penyusun beberapa metallo-enzim, steroidogenesis, metabolisme karbohidrat dan protein. Gangguan spermatogenesis dan perkembangan organ kelamin sekunder pada jantan, berkurangnya fertilitas dan litter size pada spesien multiparous. Faktor lain Pada kondisi tertentu, beberapa zat yang dikandung tanaman dapat mempengaruhi kesehatan dan fertilitas ternak. Masalah kesuburan ternak akan meningkat dengan tinginya nitrat dalam rumput. ( Tabel 7) . Kandungan nitrat dalam tanaman berkorelasi positif dengan dengan musim kering dan pemupukan nitrogen. ( Fergusson dan Chalupa, 1989). Jenis rumput yang mempunyai kandungan nitrt tinggi adalah famili Cruciferae dan kekurangan energi dapat memperbesar dampak negatifnya Tabel 4.8. Persentase kejadian penaykit reproduksi dan kesuburan paska melahirkan setelah merumput pada berbagai level nitrat dalam bahan kering rumput Penyakit Konsentrasi NO3 dalam bahan kering (%) < 0,30 0,30 0,50 >0,50 Paresis 0 6,1 17,2 Endometritis 25,0 36,4 44,8 Tertinggal plasenta 0 13,6 10,3 Abortus / keturunan lemah 7,1 6,1 3,4 Tanaman fitoestrogenik seperti Trifolium dan beberapa cendawan dapat berpengaruh langsung terhadap aktivitas reproduksi, khususnya terhadap gangguan proses berahi. Zat lain yang sudah dikenal berpengaruh terhadap reproduksi jantan adalah gosipol yang berasal dari biji kapas atau biji kapok. Dampak negative gosipol pada reproduksi sapi jantan sudah dikaraterisasikan dengan baik ( Velasquez-Pereira dkk, 1998) dimana sapi jantan akan mengalalmi gangguan dalam proses spermatogenesis, kurangnya libido sampai terjadi kemandulan. Pada sapi perah betina, pemberian ransum yang mengandung 42,7 g gosipol bebas/ekor/hari menghasilkan kadar hemoglobin rendah, fragilitas osmotic eritrosit meningkat dan mati (Lindser dkk ,1980) . Gosipol menghambat pematangan kultul oosit sapi (Lin dkk, 1994) dan mengurangi perkembangan embrio sapi bila dikultur dengan 5 10 g /mL gosipol (Brocas dkk, 1997). Efek negative gosipol ini disebabkan gosipol terlibat dalam memproduksi radikal bebas ( Fornes dkk , 1993). Oleh karena itu penambahan vitamin E yang betindak sebagai zat penghambat radikal bebas dapat mencegah dampak negatif gosipol. Hal ini terbukti penambahan vitamin E pada ransum

sapi potong dara yang diberi perlakuan superovulasi dapat mengurangi efek negatif gosipol terhadap respon superovulasi dan perkembangan embrio, meskipun konsentrasi gosipol dalam endometrium uterus cukup tinggi (Velasquez-Pereira dkk, 2002). Kesimpulan pengaruh nutrisi pada daerah tropika adalah performans reproduksi ternak umumnya cukup rendah, terutama pada sistem produksi tradisional ekstensif dan semiintensif dan masih dibawah kondisi optimum pada sistem produksi intensip seperti pada peternakan ayam ras atau pemeliharaan sapi di negara negara maju. Rendahnya gizi nutrisi pada pakan ternak merupakan salah satu faktor yang bertanggung jawab terhadap rendahnya performans reproduksi dan mempunyai potensi untuk berdampak negative terhadap performans produksi lainnya. Perbaikan nutrisi pada sistem peternakan di daerah tropika perlu dilakukan secara menyeluruh dan terpadu, bukan difokuskan kepada aspek energi dan protein, tetapi juga sebaiknya memperhatikan aspek mikronutrisi lainnya sehingga potensi genetiknya akan muncul dan dapat meningkatkan performans reproduksi. Perlu penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan pengetahuan kita terhadap pengaruh faktor nutrisi yang mempengaruhi fertilitas dan kesehatan , terutama menentukan kandungan zat-zat nutrisi pada hijauan makanan ternak lokal , yang berhubungan dengan iklim dan kondisi tanah. Diposkan oleh Herry Sonjaya di 08.38 http://saintis-akademis.blogspot.com/2009/10/pengaruh-nutrisi-terhadap-performans.html

Вам также может понравиться