Вы находитесь на странице: 1из 6

PROSPEK DAN PELUANG PENGEMBANGAN ITIK ALABIO DI KALIMANTAN SELATAN

Suryana
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Jalan Panglima Batur Barat No. 4, Banjarbaru 70711

ABSTRAK
Usaha tani itik alabio telah dilakukan sejak lama di Kalimantan Selatan dan merupakan usaha pokok masyarakat terutama di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Beternak itik ini dapat memberikan kontribusi yang memadai terhadap pendapatan keluarga. Skala kepemilikan bervariasi antara 2007.000 ekor/peternak. Usaha tani itik alabio kini sudah mengarah ke spesialisasi usaha yaitu produksi telur tetas, telur konsumsi, penetasan, dan pembesaran. Pengembangan itik Alabio cukup prospektif karena ditunjang oleh ketersediaan bibit dan pasar, keterampilan peternak yang memadai, sosial-budaya menerima, dan dukungan pemerintah daerah. Permasalahan dalam beternak itik alabio adalah belum adanya standardisasi bibit, kualitas pejantan menurun, pencatatan produksi belum optimal, mahalnya harga pakan, ketersediaan bahan pakan lokal bergantung musim, serta penanganan pascapanen dan penyakit yang belum memadai. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan pemetaan wilayah untuk pemurnian itik alabio atau pembangunan village breeding center, penyuluhan tentang pencatatan produksi yang baik, seleksi pejantan unggul, pembuatan formula pakan berkualitas dan harganya murah dengan memberdayakan sumber-sumber bahan pakan lokal, perbaikan penanganan pascapanen, serta pencegahan dan pengendalian penyakit secara intensif, terutama di ruang penetasan dan lingkungannya. Kata kunci: Itik alabio, usaha tani, Kalimantan Selatan

ABSTRACT
Prospect and probability of alabio duck farming development in South Kalimantan Alabio duck farming is a main income source of the people in South Kalimantan especially in Hulu Sungai Utara district. This duck farming gives a major contribution to family income. The scale of farm is variable which is between 2007,000 ducks each farm. The duck farming is conducted for breeder, layer, hatcher, and for duck meat. The main constraints of alabio duck farming are expensive feedstuff price, limited local feedstuff supplies, inappropriate disease control and postharvest handling. While potency that they have is breed, farmer skill, market, social-culture, and government support. The solution of the problems is proposed, namely increasing male breeder quality, extension on production recording, making formulated diet and supplies of feedstuffs, improvement of postharvest handling and disease control especially in the hatchery rooms and its environment. Keywords: Alabio ducks, farming, South Kalimantan

tik alabio merupakan salah satu plasma nutfah unggas lokal yang mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur. Itik ini telah lama dipelihara dan berkembang di Kalimantan Selatan, terutama di Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu Sungai Tengah (HST), dan Hulu Sungai Utara (HSU). Populasi itik alabio di Kalimantan Selatan tahun 2006 tercatat 3.487.002 ekor (Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan 2006). Pemeliharaan itik alabio mempunyai prospek yang cerah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan konsumsi protein hewani asal ternak, ditunjang dengan kemampuan sumber

daya manusia yang memadai (Fathurrahim 2000). Namun demikian, pengembangan itik alabio berorientasi agribisnis spesifik lokasi menghadapai berbagai masalah, antara lain penanganan bibit dan pascapanen yang belum optimal sehingga bibit yang dihasilkan berkualitas rendah serta hasil pascapanen belum banyak diminati oleh konsumen. Penanganan praproduksi dan pascaproduksi yang belum memenuhi standar mengakibatkan bibit itik yang dihasilkan belum seragam, dan kerusakan pascaproduksi masih tinggi (Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan 1995). Keragaan itik alabio meliputi produksi telur 220250 butir/ekor/tahun, puncak produksi 92,70%, bobot telur 59

65 g/butir, konsumsi pakan 155190 g/ ekor/hari, dewasa kelamin 179 hari, daya tunas 90,38%, daya tetas 79,4980%, mortalitas setelah menetas 0,751%, bobot badan betina umur 6 bulan 1,60 kg dan jantan 1,75 kg (Rohaeni dan Tarmudji 1994; BPTP Kalimantan Selatan 2005; Suryana dan Tiro 2007). Menurut Biyatmoko (2005b), itik alabio mempunyai nilai ekonomis yang tinggi seperti halnya unggas lain. Usaha itik alabio menjadi mata pencaharian utama bagi 46,81% peternak di Kabupaten HSS, HST, dan HSU, dengan rata-rata pengalaman beternak 9,69 tahun. Kontribusi itik alabio terhadap produksi telur di Kalimantan Selatan tahun 20022004 109

Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007

berkisar antara 53,7354,14%, lebih tinggi dibanding unggas lain, sementara produksi dagingnya sekitar 3,35% atau setara dengan 812.001 kg (Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan 2004). Hasil penelitian di Kabupaten Tanah Laut menunjukkan, itik alabio berperan penting dalam menunjang pendapatan keluarga, yaitu sebesar 42,09% dari total pendapatan dari komoditas lain yang diusahakan (Fakhriansyah dalam Rohaeni dan Tarmudji 1994). Menurut Zuraida (2004), kontribusi ternak itik terhadap pendapatan rumah tangga petani di Desa Setiab Kabupaten HST mencapai 58%. Usaha ini sangat diminati petani karena berpeluang meningkatkan pendapatan dan dapat diusahakan dalam skala besar. Upaya pengembangan itik alabio dalam skala agribisnis mempunyai peluang dan prospek yang menjanjikan. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penjualan telur di pasar alabio dan permintaan konsumen yang terus meningkat. Rohaeni dan Tarmudji (1994) mengemukakan bahwa pengusahaan itik alabio akan berhasil jika dikelola dengan menerapkan tata laksana pemeliharaan yang baik. Namun demikian, untuk lebih mengoptimalkan peran petanipeternak diperlukan pembinaan yang intensif serta peningkatan kelembagaan kelompok tani-ternak, pemasaran dan lembaga pendukung lainnya (Suryana dan Darmawan 2007). Tulisan ini memberikan gambaran tentang prospek dan permasalahan dalam pemeliharaan itik alabio di Kalimantan Selatan.

telur itik yang berada di Pasar Pantai Hambawang (Setioko dan Istiana 1999; Zuraida 2004). Telur tetas biasanya ditetaskan dengan mesin penetas untuk memenuhi keperluan bibit dan sebagian kecil dijual ke peternak di sekitarnya. Anak itik yang dihasilkan diseleksi dan dipelihara sebagai penghasil telur.

Sistem Pemeliharaan dan Skala Usaha


Itik alabio semula dipelihara dengan digembalakan di rawa-rawa, sungai atau persawahan yang dikenal dengan "sistem lanting. Pola pemeliharaan ini terutama dilakukan di Kabupaten HST dan HSU, namun kini sudah mulai ditinggalkan meskipun masih ada beberapa peternak di Kabupaten HST yang melakukannya (Rohaeni 2005). Pemeliharaan itik dengan sistem lanting dilakukan pada rumah terapung di atas rawa dengan balok-balok kayu sebagai pengapung. Pada bagian lantai dibuatkan kandang itik dengan hanya dikelilingi pagar bambu. Kapasitas kandang sekitar 150200 ekor (Setioko 1990). Seiring dengan meningkatnya nilai ekonomi itik alabio, pemeliharaannya telah berubah ke sistem semi-intensif atau intensif (Setioko 1997; Ketaren 1998; Dinas Peternakan Kabupaten HSU 1999; Biyatmoko 2005c). Menurut Setioko (1997), itik Alabio mempunyai kapasitas produksi telur yang tinggi. Hal ini mungkin karena tersedianya sumber pakan di rawa-rawa berupa ikanikan kecil, ganggang dan hijauan lain serta binatang lainnya. Produksi telur itik yang dipelihara dengan sistem lanting mencapai 6090% selama periode bertelur, atau ratarata 70% (Setioko 1990; 1997), sementara yang dipelihara secara tradisional produksinya hanya 130 butir/ekor/tahun (Rohaeni dan Tarmudji 1994). Rohaeni (2005) menyatakan bahwa pemeliharaan itik alabio cukup beragam, bergantung pada kebiasaan dan kondisi alam. Di daerah sentra produksi seperti Kabupaten HSU dan HST, pemeliharaan itik dilakukan secara intensif dan semiintensif dengan skala pemeliharaan 500 5.000 ekor/peternak. Menurut Setioko (1997), usaha pemeliharaan itik secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu 1) skala kecil, itik yang dipelihara kurang dari 500 ekor dengan sistem pemeliharaan tradisional atau dilepas di lahan rawa atau sawah, 2) skala sedang

dengan jumlah itik yang dipelihara 500 5.000 ekor/peternak, dan 3) skala besar dengan jumlah itik yang dipelihara lebih dari 5.000 ekor/peternak dengan sistem pemeliharaan secara intensif. Namun, ada pula peternak yang memelihara itik alabio secara semi-intensif, dengan skala usaha 25200 ekor/kepala keluarga. Itik diumbar atau dilepas dan diberi pakan tambahan berupa cangkang udang, ikan rucah atau rajungan untuk meningkatkan kualitas warna kuning telur (Biyatmoko 2005c). Pada sistem pemeliharaan secara intensif, skala kepemilikan berkisar antara 2007.000 ekor/kepala keluarga, dengan pemberian pakan 23 kali sehari. Pakan terdiri atas pakan komersial dicampur dedak, gabah, sagu, ikan rucah, siput, dan hijauan rawa atau ganggang (Biyatmoko 2005a).

POTENSI ITIK ALABIO SEBAGAI PENGHASIL TELUR DAN DAGING


Menurut Biyatmoko (2005a), itik alabio termasuk itik lokal unggul dwi fungsi, karena selain mampu memproduksi telur yang tinggi, rata-rata 214,72 butir/tahun, juga potensial sebagai penghasil daging dibanding itik lokal lain di Indonesia, seperti itik tegal, itik karawang, itik mojosari, itik turi, itik magelang, dan itik bali. Populasi itik alabio di Kalimantan Selatan selama 13 tahun terakhir menunjukkan perkembangan yang berfluktuasi (Tabel 1). Pada tahun 19971999, populasinya menurun. Penurunan populasi ini disebabkan terjadinya krisis moneter yang berimbas ke semua sektor, termasuk usaha tani itik alabio. Pada saat krisis moneter, daya beli peternak menurun sehingga peternak tidak dapat membeli atau menambah jumlah itik yang dipelihara. Menurut laporan Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara (1999), pada tahun 1998 populasi itik di Kabupaten HSU menurun dari 640.079 ekor menjadi hanya 197.392 ekor akibat kekeringan dan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Demikian pula jumlah peternak berkurang 510% (Suryana dan Darmawan 2007). Padahal harga itik hidup pada tahun 1997 2003 meningkat 9,7411,11% antara harga di tingkat petani dan pasaran (Tabel 2). Pada tahun 1995 penjualan produk ini mempunyai trend tertinggi sebesar 13,84%, dengan rata-rata mencapai 8,13%. Perkembangan harga telur dan itik hidup di tingkat petani dan pasaran menunjukkan
Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007

KARAKTERISTlK UMUM USAHA ITIK ALABIO Tujuan Pemeliharaan


Tujuan pemeliharaan itik alabio di Kalimantan Selatan umumnya bergantung pada kondisi masing-masing daerah. Di Kabupaten HSU, pemeliharaan itik alabio telah mengarah ke spesialisasi model pengembangan usaha, yaitu penetasan (hatchery), penghasil telur tetas (breeding) dan telur konsumsi (laying) serta usaha pembesaran itik dara (rearing) (Nawhan 1991; Biyatmoko 2005a; Suryana dan Tiro 2007). Di Kabupaten HST, pemeliharaan itik alabio hanya ditujukan sebagai penghasil telur konsumsi dan telur tetas. Telur konsumsi yang dihasilkan dipasarkan melalui asosiasi pedagang 110

rataan relatif tinggi 14,51%, dengan angka penjualan tertinggi dicapai pada tahun 2002 sebesar 24,20%. Tabel 3 menunjukkan bahwa produksi telur, umur pertama bertelur, dan produksi terendah itik alabio terseleksi lebih tinggi dibanding kontrol, sementara puncak produksi tertinggi dicapai oleh itik terseleksi turunan pertama, yaitu pada bulan ke-3 sebesar 93,55%. Hal ini menunjukkan bahwa itik terseleksi mempunyai kemampuan yang lebih baik daripada tetuanya. Purba dan Manurung (1999) melaporkan, produksi telur itik alabio yang dipelihara secara intensif hanya mencapai 68,23% pada bulan ke-2. Itik yang berpotensi sebagai penghasil daging adalah itik alabio jantan dan itik serati, yaitu persilangan antara entog jantan dan itik alabio betina (Setioko et al. 2000; Rostini 2005; Suryana dan Hasnelly 2007). Namun, daging itik yang banyak dijual umumnya berasal dari itik afkir atau yang sudah tidak produktif lagi. Itik Alabio jantan yang dihasilkan oleh sentra penetasan di Desa Mamar, Kabupaten HSU berkisar antara 30.00060.000 ekor/ minggu. Namun, potensi ini masih belum dimanfaatkan secara optimal sebagai penghasil daging (Suryana dan Tiro 2007). Hal ini merupakan peluang yang baik untuk pengembangan itik pedaging karena anak itik jantan merupakan hasil samping kegiatan penetasan yang harganya lebih murah daripada harga telur tetasnya (Rostini 2005). Tabel 1. Perkembangan populasi itik alabio di Kalimantan Selatan, 1993 2005.
Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Jumlah Rata-rata Populasi (ekor) 2.491.897 2.596.090 2.667.610 3.060.652 2.465.124 2.426.550 1.850.722 2.276.277 2.454.150 2.649.321 2.748.628 2.925.664 3.487.002 34.099.687 2.623.053 Peningkatan populasi (%) 4,18 2,75 14,73 -19,46 -1,56 -23,73 22,99 7,81 7,95 3,75 6,44 16,09 41,94 3,23

Nawhan (1991) dan Istiana et al. (1998) mengemukakan bahwa hingga saat ini hampir tidak ada peternak yang secara khusus memelihara itik alabio jantan untuk tujuan penghasil daging, karena hasil yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Dikemukakan lebih lanjut, sebenarnya kualitas daging itik alabio tidak kalah dengan itik Pekin asalkan dipelihara dengan pemberian pakan khusus untuk tujuan memproduksi daging. Menurut Taufik dalam Nawhan (1991), itik alabio jantan yang dipelihara selama 8 minggu dengan pakan berprotein kasar

15% dan energi metabolis 2.800 kkal/kg, menghasilkan bobot badan rata-rata 1.300 g/ekor, dengan konversi pakan 3,30. Pemeliharaan itik alabio jantan untuk tujuan menghasilkan daging berkualitas prima harus dilakukan sampai umur 12 minggu (Rostini 2005). Penampilan itik alabio jantan dibandingkan itik lainnya sebagai penghasil daging disajikan pada Tabel 4. Itik alabio jantan yang dipelihara sebagai pedaging pada umur 12 minggu memiliki bobot badan yang lebih tinggi dibanding itik bali dan tegal, namun sedikit lebih rendah dari itik khaki chambell. Demikian

Tabel 2. Perkembangan harga telur dan itik alabio di Kalimantan Selatan, 1993 2003.
Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Jumlah Rata-rata Harga telur (Rp/butir) Tingkat petani 196 225 245 279 335 627 868 750 800 719 755 5.799 527,18 Di pasaran 231 255 275 410 365 688 979 875 913 893 895 6.779 616,27 Harga itik hidup (Rp/kg) Tingkat petani 1.576 3.425 3.650 4.575 4.310 10.691 15.469 16.500 16.500 18.000 18.000 112.696 10.245,09 Di pasaran 1.683 3.620 4.155 4.734 4.730 11.435 16.750 17.477 17.477 20.000 20.000 122.061 11.096,45

Sumber: Laporan Tahunan Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan 19932004.

Tabel 3. Produktivitas itik alabio terseleksi dan kontrol di Kalimantan Selatan.


Parameter Rata-rata produksi telur (%) Rata-rata produksi telur dari itik terseleksi (%) Puncak produksi (%) Umur pertama kali bertelur (hari) Rata-rata mortalitas sampai dara (%) Mortalitas saat dewasa (%) Rata-rata produksi terendah dalam kelompok (%) Rata-rata produksi tertinggi dalam kelompok (%) Jumlah itik yang diamati (ekor) 58,10 2 60,65 2 80,69 2 (bulan ke-8) 145165 2 3,502 28,49 2 72,89 2 1.100 2 Itik seleksi Induk (P) Keturunan I (F1) 59,94 2 65,50 2 93,55 2 (bulan ke-3) 147163 2 1,482 0,642 31,06 2 72,25 2 2.000 2 I 52,80 1 71,62 1 (bulan ke-4) 142165 1 18,05 1 41 5001 Itik kontrol II 53,11 1 68,23 1 (bulan ke-2) 156 1 18,76 1 500 1

Sumber: Laporan Tahunan Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan 19932004. Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007

Sumber: 1 Purba dan Manurung (1999); 2Setioko et al. (2000).

111

pula konversi pakan lebih baik dibanding itik tegal, tetapi lebih rendah dibanding itik bali dan khaki chambell. Hasil percobaan penggunaan probiotik dan Azolla sp. dalam pakan terhadap pertambahan bobot badan dan karkas itik pejantan sampai umur 11 minggu menunjukkan bahwa pemberian Azolla 5% dan probiotik dapat meningkatkan pertambahan bobot badan sebesar 1.577,20 g/ekor, bobot karkas 800,50 g/ekor, dan menurunkan konversi pakan menjadi 7,70 dibanding perlakuan lainnya, walaupun konsumsi pakan tidak berbeda antarperlakuan. Pemberian probiotik sebagai tambahan pakan tidak memberikan hasil yang nyata (lstiana et al. 1998). Hal ini menunjukkan bahwa Azolla dapat dipertimbangkan sebagai bahan campuran pakan mengingat potensinya cukup melimpah.

Usaha Pembesaran
Pada usaha pembesaran, umumnya peternak belum melakukan pencatatan yang baik, terutama sejarah penyakit dan asalusul itik yang dipelihara, sehingga kejelasan informasi belum sepenuhnya terjamin.

Pascapanen
Pengolahan pascapanen daging dan telur itik merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai tambah dalam upaya mendongkrak pendapatan dan gizi masyarakat (Istiana et al. 1998). Beberapa bentuk produk olahan dari itik adalah dendeng, abon, sosis, dan bakso (Rohaeni 1996). Permasalahan yang dihadapi dalam pengolahan daging itik adalah daging kurang empuk dan pengemasan belum baik, sehingga produk tidak dapat bertahan lama. Kualitas dendeng itik kurang baik bahkan ada yang aromanya kurang segar atau sedikit berbau tengik sehingga kurang disukai konsumen (Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbaru 1996). Telur biasanya diawetkan menjadi telur asin, namun kualitasnya masih beragam, terutama warna kuning telurnya. Menurut Wasito dan Rohaeni (1994), sebagian masyarakat Kalimantan Selatan cenderung mengkonsumsi telur itik yang warna kuning telurnya lebih merah, atau orang setempat menyebutnya telur tambak. Telur seperti itu dihasilkan dari itik yang dipelihara dengan cara digembala.

Usaha Produksi Telur Konsumsi


Dalam usaha itik sebagai penghasil telur konsumsi, peternak kesulitan menyediakan bahan pakan basal berupa sagu, karena ketersediaan pohon sagu makin terbatas, bahkan peternak harus mendatangkannya dari Kalimantan Tengah. Selain itu, masa bertelur itik hanya 1012 bulan, dan pada umur tersebut bulu itik sudah mulai rontok sehingga banyak peternak yang menjualnya karena kurang efisien dari segi pakan. Harga pakan yang makin melambung menyebabkan biaya produksi terus meningkat. Kualitas pakan sering di bawah standar, yakni protein kasar berkisar 1318%, energi metabolis 2.700 kkal/kg, sedangkan kandungan kalsium (Ca) dan fosfor (P) belum terpantau (Biyatmoko 2005a; 2005c).

PERMASALAHAN DALAM PENGEMBANGAN ITIK ALABIO


Permasalahan dalam usaha tani itik alabio dijumpai baik dalam usaha penetasan, pembesaran maupun produksi telur konsumsi dan telur tetas.

Penyakit Usaha Penghasil Telur Tetas


Pada umumnya seleksi itik pejantan sebagai bibit dilakukan berdasarkan pengalaman peternak (Setioko dan Istiana 1999). Akibatnya, kualitas pejantan umumnya kurang baik dan dikhawatirkan terjadi in breeding yang dapat menurunkan produktivitas itik alabio. Penyakit merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan karena dapat menurunkan produktivitas ternak. Beberapa penyakit pada itik alabio adalah salmonelosis, kolibasilosis, cengesan atau selesma, aflatoksikosis, dan aspergilosis. Istiana (1994) telah berhasil mengisolasi Salmonella sp. sebesar 27,30% dari sampel telur tetas itik alabio berembrio mati. Selanjutnya Istiana dan Suryana (1997) melaporkan Salmonella berhasil diisolasi dari sampel anak itik, telur, dedak dan pakan itik alabio yang dijual di pasar. Laporan lain mengemukakan adanya kontaminasi Salmonella sp. dan Aspergillus sp. pada telur tetas dan pakan itik alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara, dengan tingkat kontaminasi masingmasing 10,70% dan 31,80% (Utomo et al. 1995; Zahari dan Tarmudji 1999). Mortalitas itik alabio selama pemeliharaan akibat serangan penyakit berkisar 7,9719,43%, prolapsus oviduct 17,02%, paralisis atau lumpuh 70,21%. Normilawati dalam Biyatmoko (2005a) menyatakan bahwa mortalitas selama periode starter mencapai 2,50%, grower 4,02%, dan layer 0,76%.
Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007

Usaha Penetasan
Pada usaha penetasan, masalah yang dijumpai antara lain adalah belum adanya standardisasi bibit itik yang baik, mutu bervariasi dan adanya bibit itik dari luar yang dikhawatirkan dapat mengkontaminasi kemurnian itik alabio.

Tabel 4. Keragaan beberapa jenis itik umur 8 12 minggu.


Parameter Jenis itik Alabio Bali Tegal Khaki Chambell Umur (minggu) 8 12 8 12 8 12 8 12 Bobot hidup (g) 1.290 1.670 1.320 1.620 1.250 1.530 1.490 1.800 Konversi pakan 2,94 4,52 2,76 4,45 3,76 5,47 2,78 4,18 Bobot dada (g/kg karkas) 88 116 94 125 105 150 109 134 Total lemak (g/kg karkas) 179 256 169 248 169 273 128 218

Sumber: Hetzel dalam Rostini (2005).

112

PELUANG DAN STRATEGI PENGEMBANGAN


Untuk mengatasi kemunduran bibit akibat penggunaan itik pejantan yang berkualitas rendah, perlu dilakukan seleksi dan pemuliaan secara teratur, terarah, dan terencana sehingga diperoleh bibit yang sesuai standar. Selain itu, untuk pengembangan itik alabio secara khusus diperlukan pemetaan daerah atau kawasan khusus bagi pengembangan dan pemurnian itik alabio (Biyatmoko 2005a). Selain itu, perlu dibuat standardisasi bibit, pencegahan kemungkinan tercemarnya itik alabio oleh itik pendatang, dan pembangunan pusat perbibitan skala pedesaan atau village breeding center, sehingga diperoleh bibit itik yang murni dengan kualitas yang dapat diandalkan (Biyatmoko 2005c). Penyuluhan tentang pentingnya pencatatan pada usaha pembesaran dan penghasil telur tetas perlu diintensifkan untuk meningkatkan pengetahuan peternak tentang hal itu. Untuk mengantisipasi harga pakan komersial yang melambung tinggi, perlu digalakkan pemanfaatan bahan pakan lokal alternatif untuk menekan biaya produksi, sehingga keuntungan peternak dapat ditingkatkan. Standardisasi pakan itik alabio juga diperlukan. Diversifikasi bahan baku pakan lokal, terutama budi daya tanaman sagu hendaknya direncanakan secara baik dan berkesinambungan. Untuk meningkatkan usaha itik alabio perlu

dibuat formulasi pakan murah dengan memanfaatkan sumber protein lokal seperti haliling, kalambuai atau keong dan remis, serta beberapa gulma yang potensial dan tersedia sepanjang tahun seperti eceng gondok dan Azolla. Selanjutnya dalam upaya mengatasi rendahnya kualitas itik pejantan dan betina penghasil telur tetas, perlu ada standardisasi pejantan unggul agar telur tetas yang dihasilkan berkualitas baik, walaupun sampai saat ini daya tunasnya mencapai 90,13% (Suryana dan Tiro 2007). Penggunaan pejantan dalam kelompok yang sama perlu dihindari agar tidak terjadi in breeding pada kelompok tersebut. Penanganan pascapanen itik alabio perlu dilakukan lebih baik lagi agar produk yang dihasilkan dapat bersaing di pasaran. Pelatihan bagi peternak yang melaksanakan kegiatan pascapanen dapat mendukung upaya tersebut. Untuk pencegahan dan pengendalian penyakit baik pada telur tetas, di tempat penetasan, anak itik, itik dara dan dewasa maupun lingkungannya, dapat dilakukan peningkatan sanitasi dan fumigasi telur tetas, mesin penetas, kandang dan perlengkapannya secara periodik. Istiana dan Suryana (1993) mengemukakan bahwa fumigasi pada telur tetas, ruang penetasan dan lingkungannya dengan menggunakan 5% savlon dan 10% rodalon dapat menekan kehadiran bakteri Salmonella sp. dan kapang. Untuk menghindari terjadinya penyakit aflaktosikosis yang disebab-

kan oleh racun aflatoksin pada pakan, hendaknya penyimpanan pakan tidak terlalu lama. Dengan cara tersebut diharapkan produk yang dihasilkan bebas cemaran mikroorganisme yang dapat merugikan kesehatan ternak dan manusia.

KESIMPULAN
Itik alabio mempunyai potensi sebagai penghasil telur dan daging. Potensi itik jantan sebagai sumber daging belum dimanfaatkan secara optimal. Usaha tani itik alabio di Kalimantan Selatan sudah mengarah ke spesialisasi usaha yaitu penghasil telur tetas, telur konsumsi, penetasan dan pembesaran atau itik dara. Masalah dalam pengembangan itik alabio adalah: 1) belum adanya standardisasi mutu bibit, 2) harga pakan yang berfluktuasi, 3) masa periode bertelur tidak stabil dan belum adanya pencatatan yang baik, 4) seleksi itik jantan masih didasarkan pada pengalaman dan bukan pada kualitas bibit yang baik, 5) penanganan pascapanen belum optimal sehingga produk yang dihasilkan kurang disukai konsumen, dan 6) gangguan penyakit. Untuk pencegahan dan pengendalian penyakit, baik di tempat penetasan, pada telur tetas, anak itik, itik dara, dan itik dewasa perlu digalakkan sanitasi dan fumigasi ruang penetasan, telur tetas, kandang dan peralatan serta lingkungannya secara periodik.

DAFTAR PUSTAKA
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. 2005. Analisis kebijakan pengembangan ternak itik di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Banjarbaru. 6 hlm. Biyatmoko, D. 2005a. Petunjuk Teknis dan Saran Pengembangan Itik Alabio. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan, Banjarbaru. 9 hlm. Biyatmoko, D. 2005b. Disain pengembangan itik di Kalimantan Selatan tahun 2006-2010. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan, Banjarbaru. 23 hlm. Biyatmoko, D. 2005c. Kajian arah pengembangan itik Alabio di masa depan. Makalah disampaikan pada Ekspose Konsultan Pengembangan Ternak Kerbau dan Itik serta Diseminasi Teknologi Peternakan Tahun 2005. Banjarbaru, 11 Juli 2005. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan, Banjarbaru. 13 hlm. Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007 Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan. 19932006. Laporan Tahunan. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan, Banjarbaru. 57 hlm. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan. 2006. Evaluasi kinerja pembangunan peternakan 2006 dan rencana kegiatan 2007. Makalah disampaikan pada Rapat Evaluasi Pembangunan Peternakan Kalimantan Selatan, Banjarbaru, 16 Januari 2007. 18 hlm. Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara. 1999. Laporan Tahunan. Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara, Amuntai. 59 hlm. Fathurrahim, A.H. 2000. Prospek dan kebutuhan teknologi sistem usaha tani itik Alabio di lahan lebak Kalimantan Selatan. Makalah disampaikan pada Temu Informasi Teknologi Pertanian, Banjarbaru, 1920 Juli 2000. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Banjarbaru. 7 hlm. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbaru. 1996. Pengkajian daya tunas pada telur tetas itik Alabio betina pascaproduksi dan pemanfaatan limbahnya. Laporan Hasil Penelitian. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian, Banjarbaru. 17 hlm. Istiana. 1994. Kematian embrio akibat infeksi bakteri pada telur tetas di penetasan itik Alabio dan perkiraan kerugian ekonominya. Penyakit Hewan XXVI(45): 3640. Istiana dan Suryana. 1993. Pengendalian salmonellosis di tempat penetasan telur itik Alabio dan lingkungannya. Laporan Hasil Penelitian. Sub Balai Penelitian Veteriner Banjarbaru. 42 hlm. Istiana dan Suryana. 1997. Pemeriksaan bakteriologik terhadap anak dan telur itik, pakan dan dedak yang berasal dari pasar Alabio Kalimantan Selatan. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 2(3): 208211.

113

Istiana, E.S. Rohaeni, B.N. Utomo, S.N. Ahmad, dan E. Widjaja. 1998. Pengkajian sistem usaha tani pola pengembangan itik Alabio di sentra produksi dan di luar sentra produksi. Laporan Hasil Penelitian. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian, Banjarbaru. 57 hlm. Ketaren, P.P. 1998. Feed and feeding of duck in Indonesia. Indonesian Agricultural Research and Development Journal 20(3): 5156. Purba, M. dan T. Manurung. 1999. Produktivitas ternak itik petelur pada pemeliharaan intensif. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I. Bogor, 12 Desember 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 374380. Nawhan, A. 1991. Usaha peternakan itik Alabio (Anas platyrinchos Borneo) di Kalimantan Selatan. Pidato Ilmiah pada Lustrum II dan Wisuda VI Sarjana Negara Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) Muhammad Arsyad Al Banjary. Banjarmasin, 26 Oktober 1991. 18 hlm. Rohaeni, E.S. dan Tarmudji. 1994. Potensi dan kendala dalam pengembangan peternakan itik Alabio di Kalimantan Selatan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian XVI(l): 46. Rohaeni, E.S. 1996. Alternatif penganekaragaman pengolahan daging itik. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian Subsektor Peternakan. Banjarbaru, 1820 Desember 1999. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbaru. 8 hlm. Rohaeni, E.S. 2005. Analisis kelayakan usaha itik Alabio dengan sistem lanting di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1213 September 2005. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 845850. Rostini, T. 2005. Diseminasi teknologi terapan dalam pembibitan itik pedaging unggul melalui kajian persilangan antara itik Alabio dengan itik Pekin dan entog di Kalimantan Selatan. Makalah disampaikan pada Ekspose Konsultan Pengembangan Ternak Kerbau dan ltik serta Diseminasi Teknologi Peternakan Tahun 2005. Banjarbaru, 11 Juli 2005. Lembaga Swadaya Masyarakat Ventura Banjarbaru. 8 hlm. Setioko, A.R. 1990. Pemeliharaan Itik di Indonesia. Balai Penetilian Ternak, Bogor. 36 hlm. Setioko, A.R. 1997. Potensi itik sebagai penghasil telur atau daging dan sistem seleksi yang baik pada sentra baru pembibitan pedesaan. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian, Subsektor Peternakan. Banjarbaru, 1516 Oktober 1997. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbaru. 31 hlm. Setioko, A.R. dan Istiana. 1999. Pembibitan itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I. Bogor, 12 Desember 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 382387. Setioko, A.R., Istiana, dan E.S. Rohaeni. 2000. Pengkajian peningkatan mutu itik Alabio melalui program seleksi pada pembibitan skala pedesaan. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian Subsektor Peternakan. Banjarbaru, 1516 Agustus 2000. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Banjarbaru. 13 hlm. Suryana dan A. Darmawan. 2007. Peran kelompok tani-ternak dalam meningkatkan produksi telur itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai

Utara, Kalimantan Selatan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. In press. 17 hlm. Suryana dan B.W. Tiro. 2007. Keragaan penetasan telur itik Alabio dengan sistem gabah di Kalimantan Selatan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua. 17 hlm. Suryana dan Z. Hasnelly. 2007. Peluang pengembangan itik serati sebagai alternatif penghasil daging. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara. 19 hlm. Utomo, B.N., E.S. Rohaeni, dan Tarmudji. 1995. Tingkat kontaminasi jasad renik pada telur itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Veteriner untuk Meningkatkan Kesehatan Hewan dan Pengamanan Bahan Pangan Asal Ternak. Bogor, 2224 Maret 1995. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. hlm. 351356. Wasito dan E.S. Rohaeni. 1994. Beternak Itik Alabio. Kanisius, Yogyakarta. 156 hlm. Zahari, P. dan Tarmudji. 1999. Aflatoksikosis pada ternak itik Alabio di Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I. Bogor, 12 Desember 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 408411. Zuraida, R. 2004. Profil pengusahaan ternak itik pada sistem usaha tani di lahan rawa lebak (Studi kasus di Desa Setiab, Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Buku 1. Bogor, 45 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 614620.

114

Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007

Вам также может понравиться