Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Suryana
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Jalan Panglima Batur Barat No. 4, Banjarbaru 70711
ABSTRAK
Usaha tani itik alabio telah dilakukan sejak lama di Kalimantan Selatan dan merupakan usaha pokok masyarakat terutama di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Beternak itik ini dapat memberikan kontribusi yang memadai terhadap pendapatan keluarga. Skala kepemilikan bervariasi antara 2007.000 ekor/peternak. Usaha tani itik alabio kini sudah mengarah ke spesialisasi usaha yaitu produksi telur tetas, telur konsumsi, penetasan, dan pembesaran. Pengembangan itik Alabio cukup prospektif karena ditunjang oleh ketersediaan bibit dan pasar, keterampilan peternak yang memadai, sosial-budaya menerima, dan dukungan pemerintah daerah. Permasalahan dalam beternak itik alabio adalah belum adanya standardisasi bibit, kualitas pejantan menurun, pencatatan produksi belum optimal, mahalnya harga pakan, ketersediaan bahan pakan lokal bergantung musim, serta penanganan pascapanen dan penyakit yang belum memadai. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan pemetaan wilayah untuk pemurnian itik alabio atau pembangunan village breeding center, penyuluhan tentang pencatatan produksi yang baik, seleksi pejantan unggul, pembuatan formula pakan berkualitas dan harganya murah dengan memberdayakan sumber-sumber bahan pakan lokal, perbaikan penanganan pascapanen, serta pencegahan dan pengendalian penyakit secara intensif, terutama di ruang penetasan dan lingkungannya. Kata kunci: Itik alabio, usaha tani, Kalimantan Selatan
ABSTRACT
Prospect and probability of alabio duck farming development in South Kalimantan Alabio duck farming is a main income source of the people in South Kalimantan especially in Hulu Sungai Utara district. This duck farming gives a major contribution to family income. The scale of farm is variable which is between 2007,000 ducks each farm. The duck farming is conducted for breeder, layer, hatcher, and for duck meat. The main constraints of alabio duck farming are expensive feedstuff price, limited local feedstuff supplies, inappropriate disease control and postharvest handling. While potency that they have is breed, farmer skill, market, social-culture, and government support. The solution of the problems is proposed, namely increasing male breeder quality, extension on production recording, making formulated diet and supplies of feedstuffs, improvement of postharvest handling and disease control especially in the hatchery rooms and its environment. Keywords: Alabio ducks, farming, South Kalimantan
tik alabio merupakan salah satu plasma nutfah unggas lokal yang mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur. Itik ini telah lama dipelihara dan berkembang di Kalimantan Selatan, terutama di Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu Sungai Tengah (HST), dan Hulu Sungai Utara (HSU). Populasi itik alabio di Kalimantan Selatan tahun 2006 tercatat 3.487.002 ekor (Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan 2006). Pemeliharaan itik alabio mempunyai prospek yang cerah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan konsumsi protein hewani asal ternak, ditunjang dengan kemampuan sumber
daya manusia yang memadai (Fathurrahim 2000). Namun demikian, pengembangan itik alabio berorientasi agribisnis spesifik lokasi menghadapai berbagai masalah, antara lain penanganan bibit dan pascapanen yang belum optimal sehingga bibit yang dihasilkan berkualitas rendah serta hasil pascapanen belum banyak diminati oleh konsumen. Penanganan praproduksi dan pascaproduksi yang belum memenuhi standar mengakibatkan bibit itik yang dihasilkan belum seragam, dan kerusakan pascaproduksi masih tinggi (Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan 1995). Keragaan itik alabio meliputi produksi telur 220250 butir/ekor/tahun, puncak produksi 92,70%, bobot telur 59
65 g/butir, konsumsi pakan 155190 g/ ekor/hari, dewasa kelamin 179 hari, daya tunas 90,38%, daya tetas 79,4980%, mortalitas setelah menetas 0,751%, bobot badan betina umur 6 bulan 1,60 kg dan jantan 1,75 kg (Rohaeni dan Tarmudji 1994; BPTP Kalimantan Selatan 2005; Suryana dan Tiro 2007). Menurut Biyatmoko (2005b), itik alabio mempunyai nilai ekonomis yang tinggi seperti halnya unggas lain. Usaha itik alabio menjadi mata pencaharian utama bagi 46,81% peternak di Kabupaten HSS, HST, dan HSU, dengan rata-rata pengalaman beternak 9,69 tahun. Kontribusi itik alabio terhadap produksi telur di Kalimantan Selatan tahun 20022004 109
berkisar antara 53,7354,14%, lebih tinggi dibanding unggas lain, sementara produksi dagingnya sekitar 3,35% atau setara dengan 812.001 kg (Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan 2004). Hasil penelitian di Kabupaten Tanah Laut menunjukkan, itik alabio berperan penting dalam menunjang pendapatan keluarga, yaitu sebesar 42,09% dari total pendapatan dari komoditas lain yang diusahakan (Fakhriansyah dalam Rohaeni dan Tarmudji 1994). Menurut Zuraida (2004), kontribusi ternak itik terhadap pendapatan rumah tangga petani di Desa Setiab Kabupaten HST mencapai 58%. Usaha ini sangat diminati petani karena berpeluang meningkatkan pendapatan dan dapat diusahakan dalam skala besar. Upaya pengembangan itik alabio dalam skala agribisnis mempunyai peluang dan prospek yang menjanjikan. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penjualan telur di pasar alabio dan permintaan konsumen yang terus meningkat. Rohaeni dan Tarmudji (1994) mengemukakan bahwa pengusahaan itik alabio akan berhasil jika dikelola dengan menerapkan tata laksana pemeliharaan yang baik. Namun demikian, untuk lebih mengoptimalkan peran petanipeternak diperlukan pembinaan yang intensif serta peningkatan kelembagaan kelompok tani-ternak, pemasaran dan lembaga pendukung lainnya (Suryana dan Darmawan 2007). Tulisan ini memberikan gambaran tentang prospek dan permasalahan dalam pemeliharaan itik alabio di Kalimantan Selatan.
telur itik yang berada di Pasar Pantai Hambawang (Setioko dan Istiana 1999; Zuraida 2004). Telur tetas biasanya ditetaskan dengan mesin penetas untuk memenuhi keperluan bibit dan sebagian kecil dijual ke peternak di sekitarnya. Anak itik yang dihasilkan diseleksi dan dipelihara sebagai penghasil telur.
dengan jumlah itik yang dipelihara 500 5.000 ekor/peternak, dan 3) skala besar dengan jumlah itik yang dipelihara lebih dari 5.000 ekor/peternak dengan sistem pemeliharaan secara intensif. Namun, ada pula peternak yang memelihara itik alabio secara semi-intensif, dengan skala usaha 25200 ekor/kepala keluarga. Itik diumbar atau dilepas dan diberi pakan tambahan berupa cangkang udang, ikan rucah atau rajungan untuk meningkatkan kualitas warna kuning telur (Biyatmoko 2005c). Pada sistem pemeliharaan secara intensif, skala kepemilikan berkisar antara 2007.000 ekor/kepala keluarga, dengan pemberian pakan 23 kali sehari. Pakan terdiri atas pakan komersial dicampur dedak, gabah, sagu, ikan rucah, siput, dan hijauan rawa atau ganggang (Biyatmoko 2005a).
rataan relatif tinggi 14,51%, dengan angka penjualan tertinggi dicapai pada tahun 2002 sebesar 24,20%. Tabel 3 menunjukkan bahwa produksi telur, umur pertama bertelur, dan produksi terendah itik alabio terseleksi lebih tinggi dibanding kontrol, sementara puncak produksi tertinggi dicapai oleh itik terseleksi turunan pertama, yaitu pada bulan ke-3 sebesar 93,55%. Hal ini menunjukkan bahwa itik terseleksi mempunyai kemampuan yang lebih baik daripada tetuanya. Purba dan Manurung (1999) melaporkan, produksi telur itik alabio yang dipelihara secara intensif hanya mencapai 68,23% pada bulan ke-2. Itik yang berpotensi sebagai penghasil daging adalah itik alabio jantan dan itik serati, yaitu persilangan antara entog jantan dan itik alabio betina (Setioko et al. 2000; Rostini 2005; Suryana dan Hasnelly 2007). Namun, daging itik yang banyak dijual umumnya berasal dari itik afkir atau yang sudah tidak produktif lagi. Itik Alabio jantan yang dihasilkan oleh sentra penetasan di Desa Mamar, Kabupaten HSU berkisar antara 30.00060.000 ekor/ minggu. Namun, potensi ini masih belum dimanfaatkan secara optimal sebagai penghasil daging (Suryana dan Tiro 2007). Hal ini merupakan peluang yang baik untuk pengembangan itik pedaging karena anak itik jantan merupakan hasil samping kegiatan penetasan yang harganya lebih murah daripada harga telur tetasnya (Rostini 2005). Tabel 1. Perkembangan populasi itik alabio di Kalimantan Selatan, 1993 2005.
Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Jumlah Rata-rata Populasi (ekor) 2.491.897 2.596.090 2.667.610 3.060.652 2.465.124 2.426.550 1.850.722 2.276.277 2.454.150 2.649.321 2.748.628 2.925.664 3.487.002 34.099.687 2.623.053 Peningkatan populasi (%) 4,18 2,75 14,73 -19,46 -1,56 -23,73 22,99 7,81 7,95 3,75 6,44 16,09 41,94 3,23
Nawhan (1991) dan Istiana et al. (1998) mengemukakan bahwa hingga saat ini hampir tidak ada peternak yang secara khusus memelihara itik alabio jantan untuk tujuan penghasil daging, karena hasil yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Dikemukakan lebih lanjut, sebenarnya kualitas daging itik alabio tidak kalah dengan itik Pekin asalkan dipelihara dengan pemberian pakan khusus untuk tujuan memproduksi daging. Menurut Taufik dalam Nawhan (1991), itik alabio jantan yang dipelihara selama 8 minggu dengan pakan berprotein kasar
15% dan energi metabolis 2.800 kkal/kg, menghasilkan bobot badan rata-rata 1.300 g/ekor, dengan konversi pakan 3,30. Pemeliharaan itik alabio jantan untuk tujuan menghasilkan daging berkualitas prima harus dilakukan sampai umur 12 minggu (Rostini 2005). Penampilan itik alabio jantan dibandingkan itik lainnya sebagai penghasil daging disajikan pada Tabel 4. Itik alabio jantan yang dipelihara sebagai pedaging pada umur 12 minggu memiliki bobot badan yang lebih tinggi dibanding itik bali dan tegal, namun sedikit lebih rendah dari itik khaki chambell. Demikian
Tabel 2. Perkembangan harga telur dan itik alabio di Kalimantan Selatan, 1993 2003.
Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Jumlah Rata-rata Harga telur (Rp/butir) Tingkat petani 196 225 245 279 335 627 868 750 800 719 755 5.799 527,18 Di pasaran 231 255 275 410 365 688 979 875 913 893 895 6.779 616,27 Harga itik hidup (Rp/kg) Tingkat petani 1.576 3.425 3.650 4.575 4.310 10.691 15.469 16.500 16.500 18.000 18.000 112.696 10.245,09 Di pasaran 1.683 3.620 4.155 4.734 4.730 11.435 16.750 17.477 17.477 20.000 20.000 122.061 11.096,45
Sumber: Laporan Tahunan Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan 19932004. Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007
111
pula konversi pakan lebih baik dibanding itik tegal, tetapi lebih rendah dibanding itik bali dan khaki chambell. Hasil percobaan penggunaan probiotik dan Azolla sp. dalam pakan terhadap pertambahan bobot badan dan karkas itik pejantan sampai umur 11 minggu menunjukkan bahwa pemberian Azolla 5% dan probiotik dapat meningkatkan pertambahan bobot badan sebesar 1.577,20 g/ekor, bobot karkas 800,50 g/ekor, dan menurunkan konversi pakan menjadi 7,70 dibanding perlakuan lainnya, walaupun konsumsi pakan tidak berbeda antarperlakuan. Pemberian probiotik sebagai tambahan pakan tidak memberikan hasil yang nyata (lstiana et al. 1998). Hal ini menunjukkan bahwa Azolla dapat dipertimbangkan sebagai bahan campuran pakan mengingat potensinya cukup melimpah.
Usaha Pembesaran
Pada usaha pembesaran, umumnya peternak belum melakukan pencatatan yang baik, terutama sejarah penyakit dan asalusul itik yang dipelihara, sehingga kejelasan informasi belum sepenuhnya terjamin.
Pascapanen
Pengolahan pascapanen daging dan telur itik merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai tambah dalam upaya mendongkrak pendapatan dan gizi masyarakat (Istiana et al. 1998). Beberapa bentuk produk olahan dari itik adalah dendeng, abon, sosis, dan bakso (Rohaeni 1996). Permasalahan yang dihadapi dalam pengolahan daging itik adalah daging kurang empuk dan pengemasan belum baik, sehingga produk tidak dapat bertahan lama. Kualitas dendeng itik kurang baik bahkan ada yang aromanya kurang segar atau sedikit berbau tengik sehingga kurang disukai konsumen (Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbaru 1996). Telur biasanya diawetkan menjadi telur asin, namun kualitasnya masih beragam, terutama warna kuning telurnya. Menurut Wasito dan Rohaeni (1994), sebagian masyarakat Kalimantan Selatan cenderung mengkonsumsi telur itik yang warna kuning telurnya lebih merah, atau orang setempat menyebutnya telur tambak. Telur seperti itu dihasilkan dari itik yang dipelihara dengan cara digembala.
Usaha Penetasan
Pada usaha penetasan, masalah yang dijumpai antara lain adalah belum adanya standardisasi bibit itik yang baik, mutu bervariasi dan adanya bibit itik dari luar yang dikhawatirkan dapat mengkontaminasi kemurnian itik alabio.
112
dibuat formulasi pakan murah dengan memanfaatkan sumber protein lokal seperti haliling, kalambuai atau keong dan remis, serta beberapa gulma yang potensial dan tersedia sepanjang tahun seperti eceng gondok dan Azolla. Selanjutnya dalam upaya mengatasi rendahnya kualitas itik pejantan dan betina penghasil telur tetas, perlu ada standardisasi pejantan unggul agar telur tetas yang dihasilkan berkualitas baik, walaupun sampai saat ini daya tunasnya mencapai 90,13% (Suryana dan Tiro 2007). Penggunaan pejantan dalam kelompok yang sama perlu dihindari agar tidak terjadi in breeding pada kelompok tersebut. Penanganan pascapanen itik alabio perlu dilakukan lebih baik lagi agar produk yang dihasilkan dapat bersaing di pasaran. Pelatihan bagi peternak yang melaksanakan kegiatan pascapanen dapat mendukung upaya tersebut. Untuk pencegahan dan pengendalian penyakit baik pada telur tetas, di tempat penetasan, anak itik, itik dara dan dewasa maupun lingkungannya, dapat dilakukan peningkatan sanitasi dan fumigasi telur tetas, mesin penetas, kandang dan perlengkapannya secara periodik. Istiana dan Suryana (1993) mengemukakan bahwa fumigasi pada telur tetas, ruang penetasan dan lingkungannya dengan menggunakan 5% savlon dan 10% rodalon dapat menekan kehadiran bakteri Salmonella sp. dan kapang. Untuk menghindari terjadinya penyakit aflaktosikosis yang disebab-
kan oleh racun aflatoksin pada pakan, hendaknya penyimpanan pakan tidak terlalu lama. Dengan cara tersebut diharapkan produk yang dihasilkan bebas cemaran mikroorganisme yang dapat merugikan kesehatan ternak dan manusia.
KESIMPULAN
Itik alabio mempunyai potensi sebagai penghasil telur dan daging. Potensi itik jantan sebagai sumber daging belum dimanfaatkan secara optimal. Usaha tani itik alabio di Kalimantan Selatan sudah mengarah ke spesialisasi usaha yaitu penghasil telur tetas, telur konsumsi, penetasan dan pembesaran atau itik dara. Masalah dalam pengembangan itik alabio adalah: 1) belum adanya standardisasi mutu bibit, 2) harga pakan yang berfluktuasi, 3) masa periode bertelur tidak stabil dan belum adanya pencatatan yang baik, 4) seleksi itik jantan masih didasarkan pada pengalaman dan bukan pada kualitas bibit yang baik, 5) penanganan pascapanen belum optimal sehingga produk yang dihasilkan kurang disukai konsumen, dan 6) gangguan penyakit. Untuk pencegahan dan pengendalian penyakit, baik di tempat penetasan, pada telur tetas, anak itik, itik dara, dan itik dewasa perlu digalakkan sanitasi dan fumigasi ruang penetasan, telur tetas, kandang dan peralatan serta lingkungannya secara periodik.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. 2005. Analisis kebijakan pengembangan ternak itik di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Banjarbaru. 6 hlm. Biyatmoko, D. 2005a. Petunjuk Teknis dan Saran Pengembangan Itik Alabio. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan, Banjarbaru. 9 hlm. Biyatmoko, D. 2005b. Disain pengembangan itik di Kalimantan Selatan tahun 2006-2010. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan, Banjarbaru. 23 hlm. Biyatmoko, D. 2005c. Kajian arah pengembangan itik Alabio di masa depan. Makalah disampaikan pada Ekspose Konsultan Pengembangan Ternak Kerbau dan Itik serta Diseminasi Teknologi Peternakan Tahun 2005. Banjarbaru, 11 Juli 2005. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan, Banjarbaru. 13 hlm. Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007 Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan. 19932006. Laporan Tahunan. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan, Banjarbaru. 57 hlm. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan. 2006. Evaluasi kinerja pembangunan peternakan 2006 dan rencana kegiatan 2007. Makalah disampaikan pada Rapat Evaluasi Pembangunan Peternakan Kalimantan Selatan, Banjarbaru, 16 Januari 2007. 18 hlm. Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara. 1999. Laporan Tahunan. Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara, Amuntai. 59 hlm. Fathurrahim, A.H. 2000. Prospek dan kebutuhan teknologi sistem usaha tani itik Alabio di lahan lebak Kalimantan Selatan. Makalah disampaikan pada Temu Informasi Teknologi Pertanian, Banjarbaru, 1920 Juli 2000. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Banjarbaru. 7 hlm. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbaru. 1996. Pengkajian daya tunas pada telur tetas itik Alabio betina pascaproduksi dan pemanfaatan limbahnya. Laporan Hasil Penelitian. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian, Banjarbaru. 17 hlm. Istiana. 1994. Kematian embrio akibat infeksi bakteri pada telur tetas di penetasan itik Alabio dan perkiraan kerugian ekonominya. Penyakit Hewan XXVI(45): 3640. Istiana dan Suryana. 1993. Pengendalian salmonellosis di tempat penetasan telur itik Alabio dan lingkungannya. Laporan Hasil Penelitian. Sub Balai Penelitian Veteriner Banjarbaru. 42 hlm. Istiana dan Suryana. 1997. Pemeriksaan bakteriologik terhadap anak dan telur itik, pakan dan dedak yang berasal dari pasar Alabio Kalimantan Selatan. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 2(3): 208211.
113
Istiana, E.S. Rohaeni, B.N. Utomo, S.N. Ahmad, dan E. Widjaja. 1998. Pengkajian sistem usaha tani pola pengembangan itik Alabio di sentra produksi dan di luar sentra produksi. Laporan Hasil Penelitian. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian, Banjarbaru. 57 hlm. Ketaren, P.P. 1998. Feed and feeding of duck in Indonesia. Indonesian Agricultural Research and Development Journal 20(3): 5156. Purba, M. dan T. Manurung. 1999. Produktivitas ternak itik petelur pada pemeliharaan intensif. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I. Bogor, 12 Desember 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 374380. Nawhan, A. 1991. Usaha peternakan itik Alabio (Anas platyrinchos Borneo) di Kalimantan Selatan. Pidato Ilmiah pada Lustrum II dan Wisuda VI Sarjana Negara Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) Muhammad Arsyad Al Banjary. Banjarmasin, 26 Oktober 1991. 18 hlm. Rohaeni, E.S. dan Tarmudji. 1994. Potensi dan kendala dalam pengembangan peternakan itik Alabio di Kalimantan Selatan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian XVI(l): 46. Rohaeni, E.S. 1996. Alternatif penganekaragaman pengolahan daging itik. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian Subsektor Peternakan. Banjarbaru, 1820 Desember 1999. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbaru. 8 hlm. Rohaeni, E.S. 2005. Analisis kelayakan usaha itik Alabio dengan sistem lanting di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1213 September 2005. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 845850. Rostini, T. 2005. Diseminasi teknologi terapan dalam pembibitan itik pedaging unggul melalui kajian persilangan antara itik Alabio dengan itik Pekin dan entog di Kalimantan Selatan. Makalah disampaikan pada Ekspose Konsultan Pengembangan Ternak Kerbau dan ltik serta Diseminasi Teknologi Peternakan Tahun 2005. Banjarbaru, 11 Juli 2005. Lembaga Swadaya Masyarakat Ventura Banjarbaru. 8 hlm. Setioko, A.R. 1990. Pemeliharaan Itik di Indonesia. Balai Penetilian Ternak, Bogor. 36 hlm. Setioko, A.R. 1997. Potensi itik sebagai penghasil telur atau daging dan sistem seleksi yang baik pada sentra baru pembibitan pedesaan. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian, Subsektor Peternakan. Banjarbaru, 1516 Oktober 1997. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbaru. 31 hlm. Setioko, A.R. dan Istiana. 1999. Pembibitan itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I. Bogor, 12 Desember 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 382387. Setioko, A.R., Istiana, dan E.S. Rohaeni. 2000. Pengkajian peningkatan mutu itik Alabio melalui program seleksi pada pembibitan skala pedesaan. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian Subsektor Peternakan. Banjarbaru, 1516 Agustus 2000. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Banjarbaru. 13 hlm. Suryana dan A. Darmawan. 2007. Peran kelompok tani-ternak dalam meningkatkan produksi telur itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai
Utara, Kalimantan Selatan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. In press. 17 hlm. Suryana dan B.W. Tiro. 2007. Keragaan penetasan telur itik Alabio dengan sistem gabah di Kalimantan Selatan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua. 17 hlm. Suryana dan Z. Hasnelly. 2007. Peluang pengembangan itik serati sebagai alternatif penghasil daging. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara. 19 hlm. Utomo, B.N., E.S. Rohaeni, dan Tarmudji. 1995. Tingkat kontaminasi jasad renik pada telur itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Veteriner untuk Meningkatkan Kesehatan Hewan dan Pengamanan Bahan Pangan Asal Ternak. Bogor, 2224 Maret 1995. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. hlm. 351356. Wasito dan E.S. Rohaeni. 1994. Beternak Itik Alabio. Kanisius, Yogyakarta. 156 hlm. Zahari, P. dan Tarmudji. 1999. Aflatoksikosis pada ternak itik Alabio di Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I. Bogor, 12 Desember 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 408411. Zuraida, R. 2004. Profil pengusahaan ternak itik pada sistem usaha tani di lahan rawa lebak (Studi kasus di Desa Setiab, Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Buku 1. Bogor, 45 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 614620.
114