Вы находитесь на странице: 1из 18

Laporan Hasil Diskusi Keperawatan Gawat Darurat Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan

Kelompok 1, Kelas A

Aulia Maulida Desyanti Eka E Rani Setiani Sujana Resi Susanti Rina Junita Rosiana Putri Septi Kurniasih Triulan A Sidabutar

: 0806333644 : 0806333745 : 0806334306 : 0806334331 : 0806334363 : 0806334413 : 0806334432 : 0806334520

Rizki Dwi Asmaranti : 0806334395

Kasus

Tn K 25 tahun, BB 50 Kg Post- Kraniotomi e.c stroke hemoragik dirawat di ICU. Hari ke-5 dengan menggunakan settingan ventilator: Mode : volume control RR : 12x/m MV Pc : 5,5 Liter/menit : 12 mmHg FiO2 : 60%

Pasien gelisah, alarm ventilator berbunyi, TTV pasien TD RR : 130/80 mmHg : 30x/m HR : 80x/m

Suhu : 36o

1. Pengkajian apa saja yang perlu dilakukan? 2. Tindakan apa yang perlu dilakukan oleh perawat? Jika diketahui hasil AGD pasien pH: 7,49 pCO2 HCO3 : 20 : 18 PO2 BE SaO2 : 200 mmHg : -4 : 98%

3. Pengkajian dan tindakan apa yang perlu dilakukan oleh perawat? Pembahasan Intensive Care Unit (ICU) A. Definisi Intensive Care Unit atau yang lebih dikenal dengan ICU adalah suatu bagian dari rumah sakit yang terpisah, dengan staf khusus dan perlengkapan yang khusus, yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam jiwa atau potensial mengancam jiwa (Achsanuddin Hanafie, 2007). Dengan kata lain, dapat dideskripsikan bahwa ICU merupakan ruang rawat di rumah sakit dengan staf dan perlengkapan khusus untuk merawat dan mengobati pasien yang terancam jiwa oleh karena kegagalan/ disfungsi suatu organ atau ganda akibat penyakit, bencana atau komplikasi yang masih ada harapan hidup reversibel. ICU menyediakan kemampuan dan sarana, prasarana serta peralatan khusus untuk menunjang fungsi-fungsi vital dengan menggunakan keterampilan staf medik, perawat dan staf lain yang berpengalaman dalam pengelolaan keadaan-keadaan tersebut. Terdapat beberapa komponen ICU yang spesifik, yaitu sebagai berikut:
1) Pasien yang dirawat dalam keadaan kritis 2) Desain ruangan dan sarana yang khusus 3) Peralatan berteknologi tinggi dan mahal 4) Pelayanan dilakukan oleh staf yang profesional dan berpengalaman dan mampu

mempergunakan peralatan yang canggih dan mahal.


B. Fungsi ICU

Semua jenis ICU tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengelola pasien yang sakit kritis sampai yang terancam jiwanya. ICU di Indonesia umumnya berbentuk ICU umum, dengan pemisahan untuk CCU (Jantung), Unit dialisis dan neonatal ICU. Alasan utama untuk hal ini adalah segi ekonomis dan operasional dengan menghindari duplikasi peralatan dan pelayanan dibandingkan pemisahan antara ICU Medik dan Bedah.

Dari segi fungsinya, ICU dapat dibagi menjadi : ICU Medik ICU trauma/bedah ICU umum

ICU pediatric ICU neonates ICU respiratorik

C. Ruang lingkup pelayanan yang diberikan di ICU Secara garis beras, ruang lingkup pelayan yang diberikan di ICU adalah sebagai berikut:
1) Diagnosis dan penatalaksanaan spesifik penyakit-penyakit akut yang mengancam

jiwa dan dapat menimbulkan kematian dalam beberapa menit sampai beberapa hari.
2) Memberi bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh sekaligus melakukan

pelaksanaan terapi spesifik terhadap problema dasar.


3) Pemantauan fungsi vital tubuh dan penatalaksanaan terhadap komplikasi yang

ditimbulkan oleh penyakit dan iatrogenic


4) Memberikan bantuan psikologis pada pasien yang nyawanya pada saat itu

bergantung pada fungsi alat/mesin dan orang lain. D. Beberapa hal yang harus diketahui tentang ICU Menurut Achsanuddin Hanafie (2007), terdapat beberapa hal yang hars diketahui tentang ICU, diantaranya: 1) Indikasi yang Benar Pasien yang dirawat di ICU adalah yang memerlukan:

Pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara terkoordinasi dan berkelanjutan, sehingga dapat dilakukan pengawasan yang konstan dan terapi titrasi.

Pemantauan kontinu terhadap pasien-pasien dalam keadaan kritis yang dapat mengakibatkan terjadinya dekompensasi fisiologis. Intervensi medis segera oleh tim intensive care.

2) Kerja Sama Multidisipliner dalam Masalah Medis Kompleks

Dasar pengelolaan pasien ICU adalah pendekatan multidisiplin dengan tenaga kesehatan dari beberapa disiplin ilmu terkait yang dapat memberikan kontribusinya sesuai dengan bidang keahliannya dan bekerja sama dalam tim, dengan dipimpin dengan seorang intensivist sebagai ketua tim. 3) Kebutuhan Pelayanan Kesehatan Pasien Kebutuhan pasien ICU adalah tindakan resusitasi yang meliputi dukungan hidup untuk fungsi-fungsi vital seperti airway (fungsi jalan pernafasan), breathing (fungsi pernafasan), circulation (fungsi sirkulasi), brain (fungsi otak), dan fungsi organ lain, dilanjutkan dengan diagnosis dan terapi definitif. 4) Peran Koordinasi dan Integrasi dalam Kerja Sama Tim Dengan mengingat keadaan pasien seperti yang yang telah dijelaskan di atas, maka pembagian kerja tim multidisiplin adalah sebagai berikut:

Dokter yang merawat pasien sebelum masuk ICU melakukan evaluasi pasien sesuai bidangnya dan memberi pandangan atau usulan terapi. Intensivist, selaku ketua tim, melakukan evaluasi menyeluruh, mengambil kesimpulan, memberi instruksi terapi dan tindakan secara tertulis dengan mempertimbangkan usulan anggota tim lainnya.

Ketua tim berkonsultasi pada konsultan lain dengan mempertimbangkan usulan-usulan anggota tim.

5) Hak dan Kewajiban Dokter Setiap dokter dapat memasukkan pasien ke ICU sesuai dengan indikasi masuk ke ICU, karena keterbatasan jumlah tempat tidur ICU maka berlaku asas prioritas dan indikasi masuk. 6) Kemitraan Profesi Kegiatan pelayanan pasien di ICU di samping multidisiplin juga interprofesi, yaitu profesi medik, profesi perawat, dan profesi lain agar dicapai hasil optimal maka perlu ditingkatkan mutu SDM secara berkelanjutan, menyeluruh dan mencakup semua kelompok profesi. 7) Efektivitas, Keselamatan, dan Ekonomis Unit pelayanan ICU mempunyai ciri biaya tinggi, teknologi tinggi, multi disiplin dan multi profesi berdasarkan atas efektivitas, keselamatan, dan ekonomis.

E. Standar minimum pelayanan ICU Tingkat pelayanan ICU harus disesuaikan dengan kelas rumah sakit. Tingkat pelayanan ini ditentukan oleh jumlah staf, fasilitas, pelayanan penunjang, jumlah, dan macam pasien yang dirawat. Pelayanan ICU harus memiliki kemampuan minimal sebagai berikut: Resusitasi jantung paru.
Pengelolaan jalan napas, termasuk intubasi trakeal dan penggunaan ventilator

sederhana. Terapi oksigen.


Pemantauan EKG, pulse oksimetri yang terus menerus.

Pemberian nutrisi enteral dan parenteral. Pemeriksaan laboratorium khusus dengan cepat dan menyeluruh. Pelaksanaan terapi secara titrasi. Kemampuan melaksanakan teknik khusus sesuai dengan kondisi pasien.
Memberikan tunjangan fungsi vital dengan alat-alat portabel selama transportasi

pasien gawat. Kemampuan melakukan fisioterapi dada. Standar pelayanan ICU yang dianjurkan: 1) Lokasi Dianjurkan satu kompleks dengan kamar bedah dan kamar pulih sadar, berdekatan atau mempunyai akses yang mudah ke Unit Gawat Darurat, laboratorium, dan radiologi. 2) Bangunan ICU Terisolasi
Mempunyai standar tertentu terhadap bahaya api, ventilasi, AC, Exhausts fan,

pipa air, komunikasi, bakteriologis dan kabel monitor

Lantai mudah dibersihkan, keras dan rata 3) Lingkungan

Mempunyai pendingin ruangan/AC yang dapat mengontrol suhu dan kelembaban sesuai dengan luas ruangan. Suhu 22o25o kelembaban 5070%. 4) Peralatan Jumlah dan macam peralatan bervariasi tergantung tipe, ukuran dan fungsi ICU dan harus sesuai dengan beban kerja ICU, disesuaikan dengan standar yang berlaku. Peralatan dasar meliputi:

Ventilator Alat ventilasi manual dan alat penunjang jalan nafas Alat hisap Peralatan akses vaskular Peralatan monitor invasif dan non-invasif Defibrilitor dan alat pacu jantung Alat pengatur suhu pasien Peralatan drain thorax Pompa infus dan pompa syringe Peralatan portable untuk transportasi Tempat tidur khusus Lampu untuk tindakan Continuous Renal Replacement Therapy Peralatan lain (seperti peralatan hemodialisis dan lain-lain) untuk prosedur diagnostik dan atau terapi khusus hendaknya tersedia bila secara klinis ada indikasi dan untuk mendukung fungsi ICU.

5) Monitoring Peralatan Monitoring perlu dilakukan terhadap:

Tanda bahaya kegagalan pasokan gas. Tanda bahaya kegagalan pasokan oksigen. Alat yang secara otomatis teraktifasi untuk memonitor penurunan tekanan pasokan oksigen, yang selalu terpasang di ventilator. Pemantauan konsentrasi oksigen diperlukan untuk mengukur konsentrasi oksigen yang dikeluarkan oleh ventilator atau sistem pernafasan.
6

Tanda bahaya kegagalan ventilator atau diskonsentrasi sistem pernafasan. Pada penggunaan ventilator otomatis, harus ada alat yang dapat segera mendeteksi kegagalan sistem pernafasan atau ventilator secara terus menerus. Volume yang keluar dari ventilator harus dipantau. Tekanan jalan nafas dan tekanan sirkuit pernafasan harus terpantau terus menerus dan dapat mendeteksi tekanan yang berlebihan.

Suhu alat pelembab (humidifier), Ada tanda bahaya bila terjadi peningkatan suhu udara inspirasi. Elektrokardiograf, terpasang pada setiap pasien dan dipantau terus menerus. Pulse oximetry, harus tersedia untuk setiap pasien di ICU. Emboli udara. Apabila pasien sedang menjalani hemodialisis, plasmapheresis, atau alat perfusi, harus ada pemantauan untuk emboli udara. Bila ada indikasi klinis harus tersedia peralatan untuk mengukur variabel fisiologis lain seperti tekanan intra-arterial dan tekanan arteri pulmonalis, curah jantung, tekanan inspirasi dan aliran jalan nafas, tekanan intrakranial, suhu, transmisi neuromuskular, kadar CO2 ekspirasi.

F. Klasifikasi atau Stratifikasi Pelayanan ICU Klasifikasi pelayanan dibagi menjadi 3, diantaranya sebagai berikut: 1) Pelayanan ICU Primer (Standar Minimal) Pelayanan ICU primer mampu memberikan pengelolaan resusitatif segera untuk pasien sakit gawat, tunjangan kardio-respirasi jangka pendek, dan mempunyai peran penting dalam pemantauan dan pencegahan penyulit pada pasien medik dan bedah yang berisiko. Dalam ICU dilakukan ventilasi mekanik dan pemantauan kardiovaskuler sederhana selama beberapa jam. 2) Pelayanan ICU Sekunder Pelayanan ICU sekunder memberikan standar ICU umum yang tinggi, yang mendukung peran rumah sakit yang lain yang telah digariskan, misalnya kedokteran umum, bedah, pengelolaan trauma, bedah saraf, bedah vaskular dan lain-lainnya. ICU hendaknya mampu memberikan tunjangan ventilasi mekanis lebih lama dan melakukan dukungan/bantuan hidup lain tetapi tidak terlalu kompleks.
7

3) Pelayanan ICU Tersier (Tertinggi) Pelayanan ICU tersier merupakan rujukan tertinggi untuk ICU, memberikan pelayanan yang tertinggi termasuk dukungan/bantuan hidup multi-sistem yang kompleks dalam jangka waktu yang tak terbatas. ICU ini melakukan ventilasi mekanis, pelayanan dukungan/bantuan renal ekstrakorporal dan pemantauan kardiovaskular invasif dalam jangka waktu yang terbatas dan mempunyai dukungan pelayanan penunjang medik. Semua pasien yang masuk ke dalam unit harus dirujuk untuk dikelola oleh spesialis intensive care. G. Indikasi Masuk dan Keluar ICU 1) Kriteria Masuk ICU memberikan pelayanan antara lain pemantauan yang canggih dan terapi yang intensif. Dalam keadaan penggunaan tempat tidur yang tinggi, pasien yang memerlukan terapi intensif (prioritas satu -1) didahulukan dirawat di ICU, dibandingkan pasien yang memerlukan pemantauan intensif (prioritas dua-2) dan pasien sakit kritis atau terminal dengan prognosis yang jelek untuk sembuh (prioritas tiga-3). Penilaian objektif atas beratnya penyakit dan prognosis hendaknya digunakan untuk menentukan prioritasmasuk pasien. Pasien prioritas 1 Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi intensif seperti dukungan/bantuan ventilasi, infus obat-obat vasoaktif kontinu, dan lain-lainnya. Contoh pasien kelompok ini antara lain pascabedah kardiotoraksik, atau pasien shock septic. Mungkin ada baiknya beberapa institusi membuat kriteria spesifik untuk masuk ICU, seperti derajat hipoksemia, hipotensi di bawah tekanan darah tertentu. Pasien prioritas 1 (satu) umumnya tidak mempunyai batas ditinjau dari macam terapi yang diterimanya.

Pasien prioritas 2 Pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih dari ICU. Jenis pasien ini berisiko sehingga memerlukan terapi intensif segera, karenanya pemantaun intensif menggunakan metode seperti pulmonary

arterial catheter sangat menolong. Contoh jenis pasien ini antara lain mereka yang menderita penyakit dasar jantung, paru, atau ginjal akut dan berat atau yang telah mengalami pembedahan major. Pasien prioritas 2 umumnya tidak terbatas macam terapi yang diterimanya mengingat kondisi mediknya senantiasa berubah.

Pasien prioritas 3 Pasien jenis ini sakit kritis, dan tidak stabil di mana status kesehatan sebelumnya, penyakit yang mendasarinya, atau penyakit akutnya, baik masing-masing atau kombinasinya, sangat mengurangi kemungkinan kesembuhan dan atau mendapat manfaat dari terapi di ICU. Contoh pasien ini antara lain pasien dengan keganasan metastase disertai penyulit infeksi, pericardial tamponade, atau sumbatan jalan napas, atau pasien menderita penyakit jantung atau paru terminal disertai komplikasi penyakit akut berat. Pasien-pasien prioritas 3 (tiga) mungkin mendapat terapi intensif untuk mengatasi penyakit akut, tetapi usaha terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi atau resusitasi kardiopulmoner. 2) Kriteria Keluar

Pasien prioritas 1 Pasien prioritas 1 dikeluarkan dari ICU bila kebutuhan untuk terapi intensif telah tidak ada lagi, atau bila terapi telah gagal dan prognosis jangka pendek jelek dengan kemungkinan kesembuhan atau manfaat dari terapi intensif kontinu kecil. Contoh hal terakhir adalah pasien dengan tiga atau lebih gagal sistem organ yang tidak berespons terhadap pengelolaan agresif.

Pasien prioritas 2 Pasien prioritas 2 dikeluarkan bila kemungkinan untuk mendadak memerlukan terapi intensif telah berkurang.

Pasien prioritas 3 Pasien prioritas 3 dikeluarkan dari ICU bila kebutuhan untuk terapi intensif telah tidak ada lagi, tetapi mereka mungkin dikeluarkan lebih dini bila kemungkinan kesembuhannya atau manfaat dari terapi intensif kontinu kecil. Contoh dari hal terakhir antara lain adalah pasien dengan penyakit lanjut
9

(penyakit paru kronis, penyakit jantung atau liver terminal, karsinoma yang telah menyebar luas dan lain-lainnya yang telah tidak berespons terhadap terapi ICU untuk penyakit akutnya, yang prognosis jangka pendeknya secara statistik rendah, dan yang tidak ada terapi yang potensial untuk memperbaiki prognosisnya). Jawaban Kasus 1. Pengkajian Kasus

Post Kraniotomi b.d Stroke Hemoragik Kraniotomi ialah mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk meningkatkan akses pada struktur intrakranial. Prosedur ini dilakukan untuk menghilangkan tumor, mengurangi TIK, mengevakuasi bekuan darah dan mengontrol hemoragi. (Brunner and Suddarth). Trauma kepala (trauma eraniocerebral) dapat terjadi karena cedera kulit kepala, tulang kepala, jaringan otak, baik terpisah maupun seluruhnya. Beberapa variabel yang mempengaruhi luasnya cedera kepala adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. Lokasi dan arah dari penyebab benturan. Kecepatan kekuatan yang datang. Permukaan dari kekuatan yang menimpa. Kondisi kepala ketika mendapat penyebab benturan.

Cedera bervariasi dari luka kulit yang sederhana sampai geger otak. Luka terbuka dari tengkorak ditandai kerusakan otak. Luasnya luka bukan merupakan indikasi berat ringannya gangguan. Pengaruh umum cedera kepala dari tingkat ringan sampai tingkat berat adalah edema otak, defisit sensori dan motorik, peningkatan intra kranial. Kerusakan selanjutnya timbul herniasi otak, isoheni otak dan hipoxia. Cedera pada otak bisa berasal dari trauma langsung atau tidak langsung pada kepala. Trauma tidak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau keluaran yang merobek terkena pada kepala akibat menarik leher. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua ini berakibat terjadinya akselerasi-deselerasi dan pembentukan rongga (dilepasnya gas, dari cairan lumbal, darah, dan jaringan otak). Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya, rusaknya otak oleh kompresi, goresan atau tekanan.

10

Cedera akselerasi terjadi bila kepala kena benturan dari objek yang bergerak dari objek yang bergerak dan menimbulkan gerakan. Akibat dari kekuatan akselerasi, kikiran atau kontusi pada lobus oksipital dan frontal, batang, otak dan cerebelum dapat terjadi. Cedera deselerasi bila kepala membentur bahan padat yang tidak bergerak dengan deselerasi yang cepat dari tulang tengkorak, otak berdeselrasi lebih lambat. Ada beberapa tipe patah tulang: 1. 2. 3. 4. Linear-retak sederhana pada tulang Pecah-retaknya satu atau lebih dari dua fragmen. Depresi-tulang terdorong sampai di bawah permukaan tulang normal. Hancur-bisa linear, banyak potongan atau tertekan.

Perdarahan akibat trauma cranio cerebral dapat terjadi pada lokasi-lokasi tersebut: kulit kepala, epidural, subdural, intracerebral, intraventricular. Hematom subdural dapat diklasifikasi sebagai berikut: 1. 2. 3. Akut: terjadi dalam 24 jam sampai 48 jam. Subakut: terjadi dalam 48 jam sampai 2 minggu. Kronis: terjadi setelah beberapa minggu atau bulan dari terjadinya cedera.

Perdarahan intracerebral biasanya timbul pada daerah frontal atau temporal. Kebanyakan kematian cedera kepala akibat edema yang disebabkan oleh kerusakan dan disertai destruksi primer pusat vital. Edema otak merupakan penyebab utama peningkatan TIC. Klasifikasi cedera kepala: a. Conscussion/comosio/memar Merupakan cedera kepala tertutup yang ditandai oleh hilangnya kesadaran, perubahan persepsi sensori, karakteristik gejala: sakit kepala, pusing, disorientasi. b. Contusio cerebri Termasuk didalamnya adalah luka memar, perdarahan dan edema. Dapat terlihat pada lobus frontal jika dilakukan lumbal pungkri maka lumbal berdarah. c. Lacertio cerebri Adanya sobekan pada jaringan otak sehingga dapat terjadi tidak sarah/pingsan, hemiphagia, dilatasi pupil.

11

1. a)

Pengkajian Pola persepsi kesehatan-pemeliharaan kesehatan b) c) d) e) Keluhan nyeri pada kepala Keadaan luka dan balutan : tidak ada perdarahan Pola nutrisi metabolik Keluhan mual, muntah Kesulitan mengunyah/menelan Pola aktifitas Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan Perubahan kesadaran, letargi Hemiparese Cedera (trauma) Kehilangan tonus otot. Eliminasi Inkontinensia kandung kemih atau mengalami gangguan fungsi Pola persepsi sensori dan kognitif Pusing Gelisah Adanya keluhan napas (sesak, ronchi, apnea)

2. 2.

Diagnosa Keperawatan yang mungkin dialami post kraniotomi Potensial terhadap kerusakan pertukaran gas b.d hipoventilasi, aspirasi dan imobilisasi. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d edema cerebral Potensial terhadap ketidakefektifan termoregulasi b.d kerusakan hipotalamus, dehidrasi dan infeksi. Gangguan pemenuhan aktifitas dan latihan b.d kelemahan fisik. Nyeri b.d trauma.

Tindakan yang dilakukan perawat sesaat setelah alarm berbunyi Ventilator mekanis adalah alat pernapasan bertekanan negatif atau positif yang

dapat mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen selama waktu yang lama (Smeltzer & Bare, 2001). Ventilasi mekanis diindikasikan pada klien kritis yang
12

mengalami hipoksemia dan hiperkapnea (Tanjung, 2003). Ventilator digunakan untuk mendukung kehidupan klien yang mengalami gangguan pernapasan, neurovaskular, dll. Pada ventilator terdapat sistem alarm yang berfungsi untuk mewaspadakan perawat tentang adanya masalah yang terjadi pada klien. Pada ventilator, terdapat beberapa jenis bunyi alarm. Adapun bunyi alarm tersebut, yaitu;
a. Alarm tekanan rendah menandakan adanya pemutusan dari klien (ventilator

terlepas dari klien)


b. Alarm tekanan tinggi menandakan adanya peningkatan tekanan, misalnya klien

batuk, cubing tertekuk, dll. c. Alarm volume rendah menandakan kebocoran Jadi, alarm ventilator berbunyi pada Tn. K bisa disebabkan oleh terlepasnya ventilator dari klien. Hal ini dikarenakan pada kasus klien mengalami kegelisahan. Jenis bunyi alarm tersebut adalah alarm tekanan rendah. Tindakan yang dilakukan oleh perawat ketika alarm ventilator berbunyi pada Tn. K adalah; a. b. Memantau penyebab alarm ventilator berbunyi Mengukur tanda-tanda vital klien. Hal tersebut dilakukan oleh perawat

untuk melihat apakah TTV klien berada dalam rentang normal atau tidak. Umumnya, jika alarm ventilator berbunyi maka akan terjadi gangguan fungsi ventilator sehingga bisa mengakibatkan frekuensi pernapasan klien menjadi naik atau turun a. Kaji kondisi klien (seperti gelisah, ansietas, takikardia, dll) b. Dengarkan bunyi napas klien c. Lihat status neurologis klien d. Periksa volume tidal, ventilasi satu menit, kapasitas vital kuat Selain tindakan di atas, perawat juga melakukan pengecekan pada peralatan ventilator. Ventilator juga harus dikaji untuk memastikan bahwa ventilator berfungsi dengan tepat dan bahwa pengesetannya telah dibuat dengan tepat. Meskipun perawat tidak benar-benar bertanggung jawab terhadap penyesuaian pengesetan pada ventilator atau dalam pengukuran parameter ventilator (biasanya pemasangan ventilator merupakan tanggung jawab dari ahli terapi pernapasan), sedangkan perawat bertanggung jawab terhadap klien dan harus mengevaluasi bagaimana ventilator

13

mempengaruhi status klien secara keseluruhan. Dalam memantau ventilator, perawat harus memperhatikan hal-hal berikut, yaitu; a. Jenis ventilator yang dipakai oleh klien (ventilator negatif atau ventilator positif)
b. Cara pengendalian (kontrol, bantu/kontrol, intermittent mandatory ventilation)

c. Pengesetan volume tidal dan frekuensi


d. Pengesetan FiO2 (fraksi oksigen yang diinspirasi)

e. Tekanan inspirasi yang dicapai dan batasan tekanan


f. Pengesetan sigh (biasanya 1,5 kali dari volume tidal dan berkisar dari 1 sampai

3/jam) jika memungkinkan g. Adanya air dalam selang, terlepasnya sambungan atau terlipatnya selang h. Humidifikasi (humidifier dengan air) i. Alarm (fungsi yang sesuai) j. PEEP (tekanan akhir-ekspiratori positif) atau tingkat dukungan tekanan, jika memungkinkan Peran perawat dalam tindakan ventilator -

Menetapkan ventilasi mekanik siap pakai Menentukan setting mode ventilator Menetukan parameter mode ventilator Alarm pada posisi ON Klien merasa nyaman

3. Pengkajian dan tindakan perawat setelah hasil AGD keluar Analisa gas darah digunakan sebagai pegangan dalam penanganan pasienpasien penyakit berat yang akut dan menahun. Pemeriksaan gas darah dipakai untuk menilai keseimbangan asam basa dalam tubuh, Kadar oksigenasi dalam darah, Kadar karbondioksida dalam darah. Pemeriksaan analisa gas darah dikenal juga dengan nama pemeriksaan ASTRUP, yaitu suatu pemeriksaan gas darah yang dilakukan melalui darah arteri. Lokasi pengambilan darah yaitu: Arteri radialis, A. brachialis, A. Femoralis. Hasil Analisa Gas Darah (AGD)

14

Perubahan satu atau dua komponen dalam hasil AGD mengindikasikan terjadinya gangguan asam dan basa. Penilaian keadaan asam dan basa berdasarkan hasil analisa gas darah membutuhkan pendekatan yang sistematis. Penurunan keasaman (pH) darah < 7,35 disebut asidosis, sedangkan peningkatan keasaman (pH) > 7,45 disebut alkalosis. Jika gangguan asam basa terutama disebabkan oleh komponen respirasi (PCO2) maka disebut asidosis/alkalosis respiratorik, sedangkan bila gangguannya disebabkan oleh komponen HCO3 maka disebut asidosis/alkalosis metabolik. Disebut gangguan sederhana bila gangguan tersebut hanya melibatkan satu komponen saja (respirasi atau metabolik), sedangkan bila melibatkan keduanya (respirasi dan metabolik) disebut gangguan asam basa campuran. Berikut ini langkahlangkah untuk menilai gas darah:
1. Pertama-tama perhatikan pH (jika menurun klien mengalami asidemia dengan dua

sebab asidosis metabolik atau asidosis respiratorik, jika meningkat klien mengalami alkalemia dengan dua sebab alkalosis metabolik atau alkalosis respiratorik)
2. Perhatikan variabel pernafasan (PCO2 ) dan metabolik (HCO3) yang berhubungan

dengan pH untuk mencoba mengetahui apakah gangguan primer bersifat respiratorik, metabolik atau campuran (PCO2 normal, meningkat, atau menurun; HCO3 normal, meningkat, atau menurun). a. Jika klien dalam kondisi asidosis

Lanjutkan dengan melihat nilai PCO2, untuk memastikan apakan sistem pernapasan penyebabnya; jika PCO2 >45 mmHg, maka kondisinya adalah asidosis respiratorik

Jika penyebabnya bukan pernapasan, maka perhatikan nilai HCO3; jika HCO3 <22 mmol/L, maka kondisinya adalah asidosis metabolik.

b. Jika klien dalam kondisi alkalosis


Perhatikan nilai PCO2, jika PCO2 <35 mmHg, maka kondisinya adalah alkalosis respiratorik Jika penyebabnya bukan pernapasan, maka perhatikan nilai HCO3; jika HCO3 >26 mmol/L, maka kondisinya adalah alkalosis metabolik (Cree & Rischmiller, 2006)

15

Pada gangguan asam basa sederhana, PCO2 dan HCO3 selalu berubah dalam arah yang sama; penyimpangan dari HCO3 dan PCO2 dalam arah yang berlawanan menunjukkan adanya gangguan asam basa campuran) 3. Langkah berikutnya mencakup menentukan apakah kompensasi telah terjadi (hal ini dilakukan dengan melihat nilai selain gangguan primer, jika nilai bergerak yang sama dengan nilai primer, kompensasi sedang berjalan).
4. Buat penafsiran tahap akhir

Jenis Gangguan Asidosis Murni Respiratorik Terkompensasi Sebagian Terkompensasi Penuh Asidosis Metabolik Murni Terkompensasi Sebagian Terkompensasi Penuh Asidosis Respiratorik dan Metabolik Alkalosis Murni Respiratorik Terkompensasi Sebagian Terkompensasi Penuh Alkalosis Murni Metabolik Terkompensasi Sebagian Terkompensasi Penuh Alkalosis Respiratorik dan Metabolik

pH

PaCO2

HCO3 N

N N

N N

Sumber: Bidang pendidikan dan pelatihan, pusat jantung dan pembuluh darah nasional Harkit, 2001.

Berdasarkan data di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:


1. Alkalosis respiratorik terjadi akibat penurunan PaCo2 2. Asidosis respiratorik terjadi akibat peningkatan PaCo2 3. Alkalosis metabolik terjadi akibat peningkatan HCO3 16

4. Asidosis metabolik terjadi akibat penurunan HCO3 (Sherwood, 2001)

Kasus: Pada kasus terlihat adanya peningkatan nilai pH, penurunan PaCO2, yang juga disertai dengan penurunan HCO3. Peningkatan nilai pH (>7,45) mengindikasikan terjadinya kondisi alkalosis, penurunan nilai PaCO2 (<35 mmHg) mengindikasikan terjadinya gangguan respiratorik, dan penurunan HCO3 yang menyertainya menandakan bahwa proses kompensasi sedang berjalan. Berdasarkan hasil AGD tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami alkalosis respiratorik terkompensasi sebagian. Alkalosis respiratorik adalah suatu keadaan dimana darah menjadi basa karena pernafasan yang cepat dan dalam sehingga menyebabkan kadar karbondioksida dalam darah menjadi rendah. Pernafasan yang cepat dan dalam disebut hiperventilasi yang menyebabkan terlalu banyaknya jumlah karbondioksida yang dikeluarkan dari aliran darah. Penyebab hiperventilasi yang paling sering ditemukan adalah kecemasan. Penyebab lain dari alkalosis respiratorik adalah asma, pneumonia, ansietas, atau abnormalitas kendali pernapasan akibat trauma atau tumor (Cree & Rischmiller, 2000). Jika ventilasi paru meningkat melebihi kecepatan produksi CO2, maka CO2 yang dikeluarkan akan terlalu banyak. Akibatnya H2CO3 yang terbentuk akan berkurang dan [H+] menurun (Sherwood, 2001). Mekanisme kompensasi pada tahap awal dilakukan oleh ginjal dengan mengeluarkan bikarbonat, Na+, dan K+ sehingga urin Hasil AGD pH = 7,49 Keterangan Meningkat Meningkat Menurun Menurun Tidak Normal normal Nilai normal 7,35-7,45 80-100 mmHg 35-45 mmHg 22-26 mEq/L -2 s.d 2 mEq/L 95%-100%

PaO2 = 200 mmHg PaCO2 = 20 mmHg HCO3 = 18 Be = -4

SaO2 = 95%

menjadi basa. Sedangkan H+ dan anion-anion ditahan. Karena K+ banyak dikeluarkan

17

melalui urin, maka diperlukan pemberian cairan yang mengandung K+ dan untuk mengganti kedudukan HCO3 yang hilang, diperlukan cairan yang mengandung Cl-.

Daftar Pustaka Hanafie, A. (2007). Peranan ruangan perawatan intensif (ICU) dalam memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Medan: Universitas Sumatera Utara. Cree, L. & Rischmiller, S. (2006). Sains dalam keperawatan. Edisi ke-4. Jakarta: EGC. Rokhaeni, H., Purnamasari, E., dan Rahayoe, A.U. (2001). Buku ajar keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Bidang pendidikan dan pelatihan, pusat kesehatan jantung dan pembuluh darah Harapan Kita. Sherwood, L. (2001). Fisiologi manusia; dari sel ke sistem. Edisi ke-2. Jakarta: EGC. Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2001). Buku ajar keperawatan medikal-bedah Brunner & Suddarth (Vol. 1, Ed. 8) (Agung Waluyo, Penerjemah). Jakarta: EGC. Tanjung, D. (2003). Asuhan keperawatan klien dengan ventilasi mekanik. PSIK-USU

18

Вам также может понравиться