Вы находитесь на странице: 1из 4

Perjanjian Linggarjati sebelumnya didahului oleh Perjanjian Hoge Veluwe yang diprakarsai oleh Panglima Angkatan Perang Inggris

yang bertugas di Indonesia Letjen Christison yang sekaligus bertindak sebagai penengah. Dari dua kali perundingan segitiga yang diadakan di Jakarta pada tanggal 23 Oktober 1945 dan 10 Februari 1946, ditemukan pendekatan antara Van Mook dan Sjahrir yang mengarah pada kemungkinan mencapai hubungan antardua negara di kemudian hari. Dalam pertemuan segitiga tanggal 30 Maret 1946, yang dipimpin oleh Diplomat senior Inggris, Clark Kerr, diperoleh kesepakatan untuk meneruskan perundingan di negeri Belanda. Maka berangkatlah Van Mook dengan diikuti delegasi Indonesia yang terdiri dari Menteri Kehakiman, Mr. Soewandi, Menteri Dalam Negeri, Dr. Soedarsono, dan Sekretaris Kabinet, Mr. A.K. Pringgodigdo untuk mengadakan perundingan di Hoge Veluwe, suatu tempat peristirahatan di kota Arnhem. Perundingan yang berjalan selama 10 hari ini akhirnya tidak mencapai kesepakatan, terutama dipengaruhi oleh situasi politik di negeri Belanda yang pada saat itu sedang mempersiapkan pemilihan umum di mana banyak golongan dalam masyarakat Belanda yang menentang perundingan, seperti Partai Katolik, Partai Liberal, Partai Protestan, dan juga bekas tentara KNIL. Akhirnya, perundingan Hoge Veluwe tidak membuahkan kesepakatan dan hanya dianggap sebagai bahan informasi untuk mengetahui posisi masingmasing. Namun, perundingan ini dalam perkembangannya ternyata merupakan tahapan dalam peletakan dasar untuk perundingan berikutnya. Dengan kegagalan perundingan Hoge Veluwe di negeri Belanda, maka di Jakarta dilakukan upaya untuk pendekatan kembali antara Van Mook dan Sutan Sjahrir. Pada tanggal 2 Mei 1946, Van Mook menyampaikan usulan bahwa pemerintah Belanda bersedia mengakui kekuasaan de facto Republik atas Jawa, Madura, dan Sumatra dengan dikurangi daerahdaerah yang telah diduduki tentara Inggris dan Belanda. Usulan ini dijawab oleh Sjahrir pada tanggal 17 Juni 1946 yang menyatakan bahwa: Republik Indonesia berkuasa de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatra termasuk daerahdaerah yang masih dikuasai oleh tentara Inggris dan Belanda Pemerintah RI menolak ikatan kenegaraan persemakmuran dalam ikatan Kerajaan Belanda

Pemerintah RI menolak suatu masa peralihan di bawah kedaulatan Pemerintah Belanda RI menghendaki pengiriman pasukan Inggris dan Belanda dihentikan Pada saat itu, pemerintah RI memprotes tindakan kekerasan Belanda yang memblokade laut dan udara untuk melumpuhkan perekonomian dan hubungan luar negeri republik. Pengiriman bahan makanan antarpulau dan barter komoditi bahan strategis ke negara tetangga dengan menggunakan kapal laut, serta penerimaan bantuan obat-obatan dari luar negeri dan kedatangan tamu-tamu asing dicegat di tengah jalan. Masalah-masalah ini oleh pihak Indonesia diajukan dalam perundingan gencatan senjata. Dalam keadaan demikian, pihak Inggris memprakarsai untuk diadakan perundingan yang mencakup baik masalah politik maupun militer. Perundingan pada tingkat militer diadakan mulai tanggal 20 30 September 1946 untuk mencapai kesepakatan tentang gencatan senjata antara Indonesia, Inggris, dan Belanda. Indonesia mengajukan beberapa syarat sebagai dasar gencatan perang dan bukan gencatan senjata, yaitu; gencatan perang untuk seluruh Indonesia, baik darat, laut, maupun udara, penghentian pemasukan tentara sekutu dan atau Belanda ke Indonesia selama gencatan perang, tidak ada penyerahan oleh sekutu kepada Belanda, baik secara langsung maupun tidak langsung, penyingkiran orang Jepang, baik militer maupun sipil dari seluruh Indonesia, pembukaan dan kebebasan memakai lalu lintas baik darat, laut, maupun udara. Namun, pihak sekutu Inggris dan Belanda menolak persyaratan yang diajukan pihak Indonesia karena masalahnya dianggap di luar lingkup militer. Yang disepakati hanyalah adanya daerah tak bertuan sepanjang 10 km di perbatasan pendudukan kedua pihak tanpa menyebut soal pemasukan tentara Belanda. Dengan demikian perundingan untuk mencapai gencatan senjata gagal. Kegagalan perundingan pada tingkat militer akan ditebus dengan perundingan politik. Perundingan dibuka pada tanggal 7 Oktober 1946 untuk antara lain membicarakan masalah gencatan senjata lagi yang menghasilkan Komisi Gencatan Senjata berdasarkan atas status quo politik dan militer yang harus dipertahankan sampai tercapai penyelesaian pertikaian politik. Namun, meskipun persetujuan gencatan senjata telah tercapai antara Sjahrir dengan Lord Killearn dan Schermerhorn, pada kenyataannya di lapangan tembak-menembak tetap

terjadi, bentrokan bersenjata masih sering timbul antarkedua belah pihak. Dengan tidak adanya jaminan keamanan, dirasa sulit untuk menyelenggarakan penyelesaian konflik politik. Hal inilah yang memperkuat pandangan Van Mook bahwa pemulihan keamanan dan ketertiban akan sulit bahkan tidak akan terwujud tanpa stabilitas militer Belanda. Tapi, pandangan ini oleh pihak RI ditolak. Pada awal November 1946, berkat jerih payah diplomasi kedua belah pihak, akhirnya dapat juga tercapai persetujuan untuk melanjutkan perundingan dengan memindahkan penyelenggaraan perundingan ke daerah Republik Indonesia agar memungkinkan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta bisa ikut serta dalam perundingan. Maka dipilihlah Linggarjati, sebuah tempat peristirahatan di lereng gunung Cermai, Cirebon, sebagai tempat perundingan. Dalam prosesnya, Perundingan Linggarjati ini terjadi tawar-menawar di antara ke dua belah pihak tentang isi kesepakatan. Setelah melalui empat kali rapat, pihak delegasi Belanda dan Indonesia dapat menyimpulkan bahwa bahwa perundingan ini sudah berhasil mewujudkan suatu naskah persetujuan antara pihak Belanda dan Indonesia, sekalipun ada masalah-masalah yang perlu dirundingkan lebih lanjut. Maka, pada tanggal 15 November 1946 diadakan rapat yang dihadiri Indonesia dan Belanda dan yang bertindak sebagai pemimpin rapat adalah Soetan Sjahrir. Soetan Sjahrir mengajukan pembentukan badan banding atas pembicaraan di Linggarjati. Oleh Dr. Van Mook diusulkan untuk menambah pada pasal ini suatu ayat tentang adanya badan bersama yang akan bertugas untuk mewujudkan dan melaksanakan kerja sama antara pemerintah Belanda dan Indonesia di masa depan. Saran Van Mook disetujui rapat. Rumusan mengenai masalah tersebut akan dimuat sebagai pasal 17 dalam Perjanjian Linggarjati yang akan diparaf. Di samping itu, Mr. Roem mengajukan bahwa rumusan pasal 1 naskah Perjanjian Linggarjati yang telah disetujui tidak sesuai dengan apa yang disarankan oleh delegasi Indonesia, sehingga menyarankan untuk menyusun rumusan baru yang intinya pemerintah Belanda mengakui kekuasaan de facto pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatra. Setelah melalui perdebatan seru, akhirnya Perjanjian Linggarjati itu diparaf oleh kedua belah pihak, kemudian ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, setelah diratifikasi parlemen masing-masing.

Dengan demikian berakhirlah sejarah panjang yang dimulai bulan Oktober 1946 dan diteruskan oleh Perundingan Linggarjati yang diparaf pada 15 November 1946, dan setelah 4 bulan terkatung-katung dengan melalui ketegangan-ketegangan pihak Indonesia-Belanda dengan resmi dapat dilaksanakan penandatanganandalam upacara meriah pada tanggal 25 Maret 1947.

Вам также может понравиться