Вы находитесь на странице: 1из 2

Kejujuran: Tagline Ujian Nasional 2012?

alam berbagai kesempatan, Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh, selalu menyampaikan pernyataan tentang pentingnya kejujuran dalam melaksanakan Ujian Nasional (UN). UN bukan hanya urusan kelulusan, tapi media membangun karakter. Kalau ujian saja nyontek, kalau sudah besar pasti korup! tegasnya seusai mengikuti ikrar ujian nasional di Gedung LPMP Jawa Tengah, 15 Februari yang lalu. Hal senada juga disampaikan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang diberikan kewenangan untuk mengelola penyelenggaraan UN secara nasional. Dalam sosialisasinya, UN 2012 diharapkan tampil beda karena (1) kredibel, (2) dilakukan uji petik oleh BSNP, dan (3) surat pernyataan akan melaksanakan UN dengan jujur (penyelenggara UN Tingkat Provinsi, penyelenggara UN tingkat kabupaten/kota, penyelenggara UN satuan pendidikan, pengawas ruang UN, dan peserta UN). Kita tentu sepakat sepenuhnya dengan pernyataan Mendikbud dan sosialisasi UN yang dilakukan BSNP. Namun, apakah tagline yang amat mulia dan terhormat itu benar-benar akan menjadi sebuah realitas atau hanya sebatas slogan, bahkan utopia? Masih tanda tanya besar? Kejujuran, harus diakui, masih menjadi barang mahal, bahkan langka di negeri ini, termasuk UN. Negeri ini sudah belepotan lumpur kebohongan. Kalau toh masih ada mutiara kejujuran di balik lumpur kebohongan itu, seringkali justru tenggelam, hingga akhirnya tak tampak lagi ke permukaan. Kita tentu masih ingat benar dengan kasus heboh yang menimpa keluarga Ibu Siami, bukan? Gara-gara melaporkan perilaku curang yang dengan amat sengaja dilakukan wali kelas putranya, dalam pelaksanaan UASBN di SDN Gadel 2 Surabaya Tahun 2011, keluarga Ibu Siami justru diusir dari kampung halamannya.

Konon, putra Ny Siami, dipaksa wali kelasnya memberikan contekan secara massal kepada teman-temannya pada saat UASBN berlangsung. Bahkan, sebelum UN ada simulasi pencontekan massal segala. Tidak setuju dengan tindakan guru sekolah tersebut, Ny Siami melaporkan kasus ini ke Dinas Pendidikan Surabaya. Akibat perbuatan guru wali kelas tersebut, Dinas Pendidikan kemudian memberi hukuman mutasi dan penurunan pangkat kepada oknum guru dan kepala sekolah (yang dianggap ikut bertanggung jawab). Eh, warga sekitar sekolah yang tidak lain orangtua murid-murid SDN Gadel 2 tidak terima dengan hukuman tersebut, mereka marah kepada Ny Siami dan keluarganya. Warga berunjuk rasa dan mengecam Ny Siami yang dianggap sok pahlawan, dan puncaknya warga mengusir keluarga Ny. Siami keluar dari kampung. Ini sebuah contoh buram betapa tidak mudahnya menegakkan nilai kejujuran di tengah peradaban yang tengah sakit. UN sudah menjadi menjadi komoditas yang melibatkan banyak pemangku kepentingan. Taruhlah pemerintah memiliki kemauan politik untuk melaksanakan UN dengan jujur. Para penyelenggara, pengawas ruang, dan peserta UN diminta untuk menandatangani pernyataan kejujuran. Sanksi terhadap pelanggaran pun tersurat secara tegas, di antaranya: (1) orang perseorangan, kelompok, dan/atau lembaga yang terbukti secara sah melakukan pelanggaran akan diproses dan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan; (2) pengawas satuan pendidikan yang melanggar ketentuan POS dibebastugaskan; (3) sekolah/madrasah penyelenggara UN yang melanggar ketentuan POS diberi sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan (4) semua pelanggaran yang dilakukan oleh pengawas ruang UN, dan sekolah/madrasah penyelenggara dilaporkan kepada pimpinan lembaga asal yang bersangkutan. Meskipun demikian, tagline kejujuran dan sanksi macam apa pun tidak akan memberikan efek positif terhadap peningkatan mutu UN apabila tidak dibarengi dengan perubahan paradigma masyarakat dalam memandang UN. Kasus Ny. Siami setahun silam seharusnya bisa menjadi pelajaran berharga buat pemerintah bahwa upaya penegakan nilai kejujuran dalam pelaksanaan UN tak cukup hanya buat penyelenggara, pengawas, atau peserta UN, tetapi juga masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan pendidikan. Masyarakat juga perlu memahami dan memiliki kemauan politik untuk menumbuhkan nilai kejujuran kepada putra-putrinya ketika menempuh UN. Para whistleblower semacam Ny. Siami pun seharusnya mendapatkan advokasi dan perlindungan hukum yang cukup. Proses pembiaran hanya akan menodai tekad dan semangat penegakan nilai kejujuran dalam UN. Kita sangat berharap, kasus Ny. Siami tidak lagi terulang. Kejujuran dalam UN 2012 jangan sampai kembali terkebiri. Ikrar dan penandatanganan kejujuran juga tak hanya sebatas seremonial belaka, tetapi benar-benar menyatu ke dalam roh pelaksanaan UN sehingga mampu memberikan imbas positif terhadap karakter bangsa. Semoga! ***

FILOSOVIEA DJ

Вам также может понравиться