Вы находитесь на странице: 1из 3

PENGEMBANGAN PROFESIONALISME GURU [1]

Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si Monday, 01 March 2010 01:58 - Last Updated Thursday, 15 April 2010 00:10

Ada yang istimewa dalam Peringatan Hari Guru Nasional XI (Kamis, 2 Desember 2004), karena Presiden mencanangkan guru sebagai profesi. Pencanangan itu diharapkan menjadi tonggak kebangkitan guru untuk senantiasa terus meningkakan profesionalismenya dan sebagai upaya agar profesi guru menjadi daya tarik bagi putra-putri terbaik negeri ini untuk menjadi guru.

Sejak itu, gairah untuk segera menetapkan undang-undang profesi guru dan dosen menjadi semakin kentara. Kini, setelah sejumlah perangkat perundang-undangan dan anggaran yang belakangan terasa agak berat sudah dipenuhi, wacana bergeser ke arah sertifikasi guru. Tak mengherankan bila kini para guru dan sejumlah orang yang punya perhatian kepada guru, memperbincangkan soal kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi.

Sajian pendek ini, yang diharapkan akan diikuti dengan sajian-sajian lain yang bersifat lebih teknis dan substantif, dimaksudkan sebagai pengantar untuk menempatkan secara proporsional profesi guru dalam konteks profesionalisasi keguruan. Hajatnya sederhana, bila dikehendaki atau menghendaki guru diterima dan diakui sebagai profesi, maka para guru sendiri harus memahami apa sebenarnya makna dan bagaimana tanggungjawab profesional itu. Secara agak sengaja, kupasan tentang sejumlah keistimewaan, misalnya gaji dan penghargaan, tidak begitu ditonjolkan, karena menilik asal katanya dorongan sejati seorang profesional sebenarnya bukan penghasilan atau penghargaan, melainkan kecintaan (to profess ). Akan halnya gaji dan penghargaan atas suatu layanan profesional, harus disikapi sebagai konsekuensi dari layanan profesional yang penuh pengabdian dan kecintaan. Vokasi, Okupasi, dan Profesi Masyarakat sekarang cenderung mengacaukan pengertian kata "profesi". Kekacauan pertama, kata "profesi" (profession) dianggap sama dengan pekerjaan (vocation) dan atau matapencaharian ( occup ation) . Kekacauan kedua, profesi dipandang sebagai keseluruhan pengetahuan dan keterampilan teknis yang harus dikuasai untuk melakukan suatu pekerjaan, tanpa ada tali-temali dengan persoalan-persoalan etika yang melekat pada pekerjaan itu.

Kedua kekacauan itu bersumber kepada kesalahan pemahaman tentang makna kata "profesi". Menurut sebuah kamus, "profession" berarti suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut pendidikan tinggi khusus dan rangkaian latihan intensif dan berjangka panjang ( an occupation requiring considerable training and specialized study) . Kata ini berasal dari kata Latin

1/3

PENGEMBANGAN PROFESIONALISME GURU [1]


Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si Monday, 01 March 2010 01:58 - Last Updated Thursday, 15 April 2010 00:10

professus , derivasi dari kata profiteor , yaitu menyatakan secara terbuka di hadapan umum.

Tidak berhenti di situ, kekacauan juga menyangkut hubungan antara pengertian "akademik" dengan pengertian "profesional." Pendidikan profesional adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk memangku jabatan-jabatan yang bersifat tertutup (closed occupations ) yang lazimnya dilindungi undang-undang. Sebagai contoh jabatan kedokteran, jabatan ke-insinyur-an, jabatan bidang hukum, dan sebagainya. Sebaliknya, pendidikan akademik adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk melakukan telaah-telaah keilmuan ( academic inquiries ). Pendidikan akademik menekankan penguasaan ilmu-ilmu dasar ( basic sciences ), seperti fisika, biologi, sosiologi, ilmu politik dan ilmu ekonomi. Program studi akuntansi, misalnya jelas merupakan pendidikan profesi, sedangkan program studi ekonomi pembangunan adalah pendidikan akademik.

Kerancuan antara konsep "profesi" dengan konsep "okupasi" terletak pada fungsi pekerjaan yang sama-sama untuk memperoleh nafkah, sehingga menganggap diri atau dianggap oleh masyarakat sebagai pemain profesional, sekalipun kemahiran atau keahlian mereka tidak cukup tinggi menurut tuntutan profesionalisme. Tuntutan profesionalisme ini pun berbeda dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain, bergantung pada perbedaan mutu pelatihan, tuntutan dan persaingan di kedua lingkungan tersebut. Karena itu, setiap usaha pendidikan profesional dan upaya profesionalisasi harus terlebih mengajukan pertanyaan: Apakah ukuran, kriteria, atau standar profesionalisme yang dipergunakan sebagai acuan dalam program pendidikan atau program pengembangan profesionalisme tersebut merupakan standar berkeabsahan? Bukan tidak mungkin, misalnya, pada bidang yang mempunyai standar internasional, ketidak-sesuaian standar akan membuat seseorang tidak mampu bersaing melawan tenaga-tenaga profesional dari negara lain.

Satu persoalan lagi harus dicatat, yaitu berkenaan dengan dinamika profesi. Ketika ilmu-ilmu pengetahuan mengalami kemajuan begitu cepat, standar yang berlaku dalam suatu periode pasti mengalami perubahan. Standar profesionalisme, misalnya untuk bidang-bidang kedokteran, teknologi, hukum, manajemen, akuntansi, serta pendidikan telah mengalami perubahan cukup penting dibandingkan dengan standar yang berlaku sepuluh atau lima belas tahun lalu. Karena itu, pendidikan profesional dan program profesionalisasi harus selalu mengikuti perkembangan dan memutakhirkan standar yang digunakan. Kegagalan dalam

2/3

PENGEMBANGAN PROFESIONALISME GURU [1]


Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si Monday, 01 March 2010 01:58 - Last Updated Thursday, 15 April 2010 00:10

pemutakhiran akan menyebabkan khalayak sasaran program hanya menguasai kecakapan profesional kedaluwarsa (outdated professionalism), yang pada gilirannya akan merugikan masyarakat.

Kekacauan kedua tentang profesionalisme berkenaan dengan pandangan bahwa profesionalisme merupakan suatu bidang keahlian dan kemahiran semata, tanpa bersangkut-paut dengan masalah moralitas atau etika. Ketika dihadapkan pada persoalan moral dan etika, banyak tenaga profesional akan menghindar dan berkata, "Saya seorang profesional. Urusan saya bersifat teknis, dan tidak berurusan dengan masalah moral." Ini merupakan sikap dan perilaku yang keliru. Karena niscaya bersentuhan dengan kehidupan manusia, maka profesi pun memiliki dimensi moral dan etika. Kasus bendungan Kedung Ombo, misalnya, menyeruak karena ada sejumlah orang melihat rencana pembangunan bendungan ini dari segi kemanusiaan.

Setiap profesi menghadapi sejumlah masalah kemanusiaan, yang tentu saja harus ditangani dengan mengacu kepada nilai-nilai moral. Profesi kedokteran, hukum, jurnalistik, guru, insinyur, dan seterusnya, pada saat-saat tertentu harus berhadapan dengan masalah-masalah moralitas ini. Menjadi semakin jelas, pengertian yang benar terhadap istilah "profesionalisme" mempunyai cakupan makna cukup luas, karena tidak hanya berkenaan dengan keahlian dan penghargaan, tetapi juga menyentuh dimensi moral. Karena itu, merupakan suatu kerharusan bagi setiap profesi untuk memiliki kode etik, yang disebut etika profesi (professional ethics). Kode etik ini yang berfungsi mengatur perilaku para anggota masyarakat profesi. Tentu saja, dalam setiap masyarakat profesi terdapat anggota-anggota yang mengindahkan norma-norma etika, tetapi ada juga anggota-anggota yang tidak mengindahkan sama sekali norma-norma etika.

(tulisan ini akan berlanjut pada artikel yang berjudul Pengembangan Profesionalisme Guru atau dapat anda lihat di link ini: www.mudjiarahardjo.com )

3/3

Вам также может понравиться