Вы находитесь на странице: 1из 10

Membuat Konstitusi yang Tidak Demokratis

Oleh Bambang Widjojanto

BELAKANGAN ini, perdebatan soal Komisi Konstitusi kembali mengemuka. Secara umum, tampaknya, perdebatan soal perubahan konstitusi masih berputar pada argumen yang sama, dengan sedikit perubahan di sana-sini. Pada dasarnya, sebagian masyarakat menuntut dibentuknya Komisi Konstitusi yang diberikan kewenangan menyusun draft perubahan konstitusi. Sementara, hampir sebagian besar kalangan parlemen menggunakan argumen normatif bahwa merekalah pemilik kewenangan sebagai pembuat dan perubah UUD, sehingga merekalah yang paling berhak mengubah konstitusi. Mungkin, ada baiknya, kalau perlu belajar dari berbagai pengalaman di negara lain di Afrika dalam membuat konstitusi yang tidak demokratis. Kemudian, meletakkannya kembali di dalam konteks pembuatan konstitusi di Indonesia. Ada kecenderungan yang terlihat jelas, sejak satu dekade lalu, begitu banyak negara di Afrika melakukan perubahan atas konstitusinya. Seorang pengamat menyebutnya seperti new winds of change, karena perubahan itu menyangkut banyak negara. Dimulai dari Mozambik dan Namibia pada periode tahun 1990 dan dilanjutkan dengan Zambia, Lesotho, Malawi, Afrika Selatan hingga ke Uganda. Tentu saja, di Asia pun mengalami hal yang sama, dimulai dari Filipina di tahun 1986 dan kemudian beberapa negara lain melakukannya seperti Taiwan, Korea Selatan, Thailand dan Indonesia, juga di sepanjang tahun 1990-an. Sangat mungkin, proses perubahan yang dramatik ini, karena menyangkut begitu banyak negara, bisa disebut sebagai perubahan konstitusi gelombang ketiga, di kebanyakan negara berkembang. Gelombang pertama dimulai ketika hukum dasar pertama yang diterapkan di negara berkembang, di saat kebanyakan negara dikuasai oleh kekuatan kolonialisme. Pada saat itu, hukum dasar yang diterapkan adalah hukum penjajah, di mana, hukum dasar bersifat represif dan mengontrol segala kepentingan dari bangsa terjajah. Pada saat ini, hukum dasar bersifat eksploitatif, diskriminatif dan menegasikan hak-hak asasi. Namun, sekitar setengah abad lalu, banyak negara terjajah membebaskan dirinya dari cengkeraman kolonialisme. Indonesia termasuk salah satu negara yang mampu merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Pada

kurun waktu inilah, banyak bekas bangsa terjajah menyusun konstitusinya, pada waktu inilah gelombang kedua perubahan konstitusi terjadi. Ada berbagai hal menarik di dalam proses ini, misalnya pembentuk konstitusi dilakukan hanya oleh kalangan elite politik saja yang sebagiannya mempunyai latar belakang pendidikan dari Eropa. Sehingga, pikiran yang berkembang di dalam penyusunan konstitusi banyak dipengaruhi dengan pengetahuan dan perkembangan politik yang terjadi pada masa itu. Selain itu, sebagian para penyusun konstitusi menginginkan adanya suatu pemerintahan yang kuat yang mampu melindungi kepentingan kekuasaan baru, baik dari intervensi bangsa penjajah yang masih menginginkan kekuasaannya kembali, tapi juga membangun legitimasi sebagai representasi dari kepentingan masyarakat. Dari satu sisi, sikap di atas bisa dimengerti karena dibutuhkan pemerintahan yang kuat di awal pemerintahan kekuasaan baru untuk melakukan berbagai hal penting guna mengonsilidasi kekuasaan. Tetapi, dalam perspektif yang lain, secara diam-diam watak dan karakter kekuasaan rezim penjajah juga terakomodasi sistem kekuasan di konstitusi baru negara tersebut. Misalnya saja, kekuasaan harus dibuat tersentralisasi agar mampu mengontrol seluruh daerah dengan sistem pemerintahan yang kuat, sehingga mengabaikan mekanisme yang mampu mengontrol kekuasaan dari pemerintahan. Itu sebabnya, di dalam periode ini, di sebagian negara, konstitusinya merupakan quasi dari sistem kekuasaan rezim kolonialisme, yang kemudian bisa disebut sebagai konstitusi authoritarian regime. Karenanya, tidaklah mengherankan, bila hampir kebanyakan negara berkembang yang memperoleh kemerdekaannya pada lima dekade lalu, mempunyai sistem dan watak kekuasaan yang bersifat otoritarian. Tentu saja, pelaksanaan pemerintahan menampilkan beberapa ciri seperti: kekuasaannya berpusat pada pemerintahan eksekutif tanpa mekanisme check and balances, bersifat sentralistik dengan mengooptasi daerah, mempunyai partai tunggal atau partai mayoritas dikuasai oleh pemerintah dan sebagian besarnya masih masih menegasikan hak-hak dan kepentingan rakyat. Alasan lain yang bisa diajukan, di dalam proses gelombang kedua perubahan konstitusi adalah konstitusi baru tersebut tidak melibatkan partisipasi publik. Tidak ada yang disebut sebagai proses pencarian aspirasi masyarakat secara luas, sehingga pembuatan konstitusi pada saat itu jauh dari apa yang disebut sebagai the establishing popular and durable

constitutions. Konstitusi tidak bisa disebut sebagai mirror yang mampu merefleksikan the national soul atau the genuine aspiration of nation wide. Tentu saja, harus dimengerti adanya begitu banyak keterbatasan untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat secara luas, kekuasaan kolonial masih terus mengintip dan mengincar untuk mengambil alih kekuasaan dari penguasa baru nasionalis. Sementara, gelombang ketiga perubahan konstitusi terjadi karena adanya tuntutan yang kian menguat, karena kekuasaan di bawah penguasa baru nasionalis (atau kemudian bisa disebut sebagai rezim otoritarian) didasarkan atas jenis konstitusi gelombang kedua itu, ternyata tidak mampu mengakomodasi kepentingan rakyat secara maksimal. Watak dan karakter kekuasaan yang dibangun, sebagiannya merupakan quasi dari kekuasaan kolonialisme. Pada waktu ini, juga timbul kesadaran, watak kekuasaan seperti di atas, di dalam suatu titik tertentu, tidak akan mungkin bisa melaksanakan pembangunan yang berujung pada kesejahteraan rakyat, menerapkan nilai dan prinsip hak asasi manusia secara optimal serta menciptakan pemerintahan yang bersih dan baik. Di dalam kenyataan, gelombang ketiga perubahan konstitusi, bisa jadi merupakan bagian dari proses pembentukan moralitas dan legitimasi baru dari penguasa baru di sebagian negara berkembang. Sang penguasa baru itu yang mendapatkan kekuasaannya karena perjuangan yang keras dari rakyatnya, membangun suatu kontrak sosial guna mendapatkan mandat dan legalisasi dari rakyat dengan membentuk konstitusi. Tentu saja, acapkali terjadi suatu kecenderungan, para penguasa baru itu selalu saja, ingin mendapatkan mandat yang begitu eksesif untuk mengontrol kekuasaannya dan meminimalisasi kontrol atas kewenangankewenangannya. Berpijak dari situasi ini, sangat mungkin terjadi, perubahan konstitusi baru, tidak akan dilakukan dengan cara mendorong partisipasi publik secara luas. Karena sang penguasa akan sangat mengkhawatirkan, pencarian aspirasi rakyat melalui partisipasi publik, dapat memotong segala otoritas yang diperlukannya untuk mendesain sistem kekuasaan yang berpijak pada kepentingan kekuasaannya. Karenanya, cukup banyak contoh dari berbagai negara di Afrika yang mencoba memanipulasi proses perubahan konstitusi dengan berbagai cara. Sebagian alasan itu, seolah bertumpu pada alasan-alasan hukum yang bersifat legalistik yang dibuat dan disahkan oleh mereka sendiri atau oleh kekuasaan otoritarian yang dulu ditumbangkannya.

Pengalaman dari Zambia dan Zimbabwe menunjukkan, kekuasaan membentuk Komisi Konstitusi yang independensinya diragukan. The rulling party di Zambia, selalu saja melakukan proses "manipulasi" dalam pembentukan Komisi Konstitusi, walaupun sebelum menjadi penguasa mereka selalu berjanji untuk membentuk konstitusi yang yang lebih demokratis. Konstitusi Zambia tahun 1972 dibuat oleh Chona Commission bersifat otoritarian digulingkan oleh gerakan dari Multy Party Democracy (MMD). Pada tahun 1973, penguasa baru dari MMD membentuk Komisi Konstitusi yang beranggotakan 7 orang yang dikoordinasi di bawah Jaksa Agung yang sangat pro penguasa. Penggantian kekuasaan di Zambia mendorong dibentuknya Komisi Mwanakatwe untuk kembali mengubah konstitusi. Komisi ini, sebagiannya memberikan beberapa rekomendasi yang cukup menarik untuk mendorong perwujudan proses demokrasi. Tapi lagi-lagi, penguasa baru bekerja sama dengan legislatif menolak rekomendasi itu. Jadi, Konstitusi Zambia tahun 1991, diduga keras tidak merefleksikan aspirasi dari rakyat Zambia, karena proses pembentukannya dimanipulasi penguasa dan parlemen (Report, Citizen Convention on the draft Constitution, Lusaka, Zambia, 1996, dan Human Rights Watch/ Africa, Zambia and Human Rights in the Third Republic, 1996). Kasus serupa juga terjadi di Zimbabwe, Komisi Konstitusi yang dibentuk kekuasaan, seolah-olah melakukan nationwide public meetings. Namun tenyata, kekuasaan mempunyai kewenangan untuk melakukan corrections and clarifications atas draft yang dibuat oleh Komisi Konstitusi. Tentu saja, alasan untuk mempunyai kewenangan korkesi dan klarifikasi itu didesain melalui ketentuan hukum, sehingga kekuasaan selalu menyatakan bahwa ia mempunyai kewenangan melakukannya sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Kedua kasus di atas memang tidak bisa dipakai untuk menggeneralisasi semua proses pembentukan konstitusi di Afrika mengalami kagagalan, tetapi dari contoh di atas dapat diajukan beberapa hal, yaitu sebagai berikut: Pertama, jenis dari komisi yang dibentuk untuk membuat draft konstitusi mempunyai peran yang sangat penting atas draft konstitusi yang dibuat. Komisi Konstitusi yang tidak atau diragukan independensinya, mempunyai kecenderungan menghasilkan draft konstitusi yang melegalisasikan kepentingan elite penguasa saja. Kedua, komisi seperti butir satu, dilegalisasi oleh ketentuan hukum yang bersifat legalistis yang bertujuan melindungi kepentingan dan kewenangannya dan tak akan berani menyerahkan mandat pada suatu komisi yang sungguh-sungguh

independen. Ketiga, komisi juga mempunyai kecenderungan memanipulasi atau menegasikan aspirasi sebagian besar masyarakat. Acap kali, beberapa pertemuan dan seminar dalam skala tertentu, digunakan sebagai legitimasi bahwa mereka telah melakukan public discourse yang bersifat nationwide (kasus Zimbabwe). Keempat, komsisi biasanya tidak mempunyai proper guidance yang memuat metode konsultasi yang sistematis dan terstruktur dengan skala yang bersifat nasional. Kelima, komisi biasanya tidak mempunyai hasil studi yang mengemukakan berbagai kelemahan konstitusi terdahulu dan mengajukan paradigma bagi perubahan konstitusi mendatang. Itu sebabnya, komisi biasanya tidak mempunyai acuan tema dan prioritas atas perubahan konstitusi. Keenam, draft hasil komisi tidak di ajukan kembali ke masyarakat untuk ditanggapi dan diperdebatkan kembali di masyarakat. Ketujuh, proses pengesahan draft konstitusi tidak dilakukan melalui referendum (Lihat juga John Hatchard, A Mirror Reflecting the National Soul: Establishing Popular and Durable Constitutions, Paper Presentation, 2000). Berpijak dari pengalaman beberapa negara di Afrika tampak jelas, kendati ada the new winds of change untuk melakukan perubahan konstitusi, tetapi banyak perubahan konstitusi itu mengalami kegagalan. Sebagian kegagalan itu justru dilakukan oleh penguasa baru yang dulu menjanjikan adanya suatu perubahan. Para penguasa itu, belum sepenuhnya melepaskan diri dari watak dan karakter kekuasaan rezim otoritarian yang begitu piawai menjustifikasi kepentingannya dan begitu cerdas bersembunyi di balik ketentuan hukum yang merupakan produk dari rezim masa lalu. Dalam konteks Indonesia, pembuatan perubahan konstitusi seharusnya bisa belajar dari pengalaman beberapa negara di Afrika. Apalagi Komisi Ad Hoc Perubahan Konstitusi telah belajar pembuatan konstitusi dari begitu banyak negara. Masih ada sedikit kepercayaan bahwa Indonesia tidak terjebak dan melakukan kesalahan seperti yang dilakukan beberapa negara di Afrika di dalam melakukan proses amandemen terhadap konstitusinya. Kita lihat saja hasilnya! * Bambang Widjojanto, Ketua Dewan Pengurus Yayasan LBH Indonesia * Kompas: Jumat, 28 September 2001

Demokrasi dan Loyalitas

Oleh K. Bertens

DEMOKRASI tak habis menarik perhatian dan menggugah refleksi kita. Betapa tidak! Demokrasi berkaitan dengan kehidupan kita bersama dalam masyarakat dan kehidupan kita sebagai bangsa. Menurut asalusulnya kata ini berarti "rakyatlah yang berkuasa" (bahasa Yunani demos=rakyat; kratein=berkuasa). Seperti begitu banyak unsur lain dalam kebudayaan modern, demokrasi pun kita warisi dari kebudayaan Yunani kuno. Tetapi sejak saat itu pula demokrasi dipersoalkan. Plato, filsuf besar dari Yunani mati-matian menentang demokrasi. Ia yakin bahwa demokrasi Athena, negara-kota yang menjadi tempat tinggalnya, mempunyai bentuk pemerintahan yang sangat jelek. Buktinya karena Athena telah mengadili dan menghukum Sokrates, gurunya, yang amat dikagumi serta dicintai Plato. Dalam demokrasi Athena, semua warganya secara bergiliran memegang jabatan dalam pemerintahan (dengan catatan tentu bahwa wanita, pendatang, dan budak tidak dianggap warga negara). Dalam sistem semacam itu, tidak mengherankan bila jabatan pemerintahan sering berada dalam tangan orang dungu, yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan di bidang itu. Plato menunjukkan jalan keluar dari kesulitan ini. Kita harus mempercayakan pemerintahan kepada orang arif bijaksana, yaitu filsuf-raja. "Para filsuf harus dijadikan raja atau para raja dijadikan filsuf". *** DEMOKRASI modern berfungsi berdasarkan perwakilan. Kita memilih para wakil rakyat dan kita memilih mereka yang akan memegang pucuk kepemimpinan pada taraf negara, partai politik, organisasi, dan sebagainya. Dan sebelum memilih, kita menilai dulu para calon, supaya mereka yang berkuasa nanti sungguh-sungguh mampu dan mempunyai visi yang benar. Tetapi demokrasi modern pun tidak luput dari kesulitan. Seorang pendekar demokrasi modern, Winston Churchill, pernah

menegaskan: "Memang demokrasi itu bentuk pemerintahan yang jelek, tetapi yang le-bih baik tidak ada". Dalam demokrasi segala sesuatu ditentukan dengan voting. Tidak penting siapa yang mengeluarkan suaranya. Di sini berlaku: one man one vote. Suara guru besar dalam ilmu politik disetarafkan dengan suara orang buta huruf. Suara orang yang berpengalaman banyak di bidang politik disetarafkan dengan anak muda yang untuk pertama kali menggunakan hak memilihnya dan tidak tahu-menahu tentang selukbeluknya politik. Yang penting hanyalah mayoritas suara yang dihasilkan dalam proses voting itu. Jika mayoritas itu tipis saja, prosesnya tetap sah. Mungkin mayoritas dibentuk dengan suara orang bodoh yang kurang mengerti dan hanya ikut secara iseng, sedangkan minoritas justru terdiri atas orang pintar semua yang mengerti betul. Dalam keadaan itu pun pelaksanaan demokrasi tetap sah. Dalam sistem demokrasi, mayoritas yang menang, tanpa melihat kualitasnya. Di sini keberatan Plato terhadap demokrasi bisa bergema lagi. *** DEMOKRASI modern merupakan realitas yang sangat kompleks. Saya hanya ingin menarik perhatian pada satu aspeknya: pelaksanaan demokrasi tidak mungkin tanpa loyalitas. Ikut serta dalam sistem demokrasi mengandaikan kesediaan untuk menerima kemenangan mayoritas. Kalau tidak menang, saya harus menerima kekalahan dengan sportif. Mengapa? Karena organisasi, atau lembaga, atau negara saya jauh lebih penting daripada pendapat dan kemauan saya pribadi. Inti loyalitas justru hal itu: menempatkan kepentingan bersama (dalam organisasi, negara, dan sebagainya) di atas kepentingan pribadi. Walaupun kalah mungkin saya tetap yakin bahwa pendapat sayalah yang benar. Kalau begitu, seorang demokrat bisa berjuang terus, sebab sesudah beberapa waktu ada pemilihan lagi. Ia (bersama kelompoknya) akan mempersiapkan kemenangan dalam pemilihan yang akan datang, tetapi ia tidak akan mempersoalkan kekalahannya sekarang. Baginya loyalitas adalah nomor satu. Masa ia mau merusak atau merugikan organisasinya hanya karena kemauannya tidak terwujud.

*** DALAM tahun-tahun terakhir ini berulang kali kita melihat contoh-contoh pelaksanaan demokrasi yang terkandas. Salah satunya adalah kemelut di sekitar Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) di Salatiga. Saya hanya mengikuti perkembangannya melalui media massa dan secara pribadi tidak mengenal seorang pun yang terlibat dalam konflik berkepanjangan itu. Tetapi, yang menarik perhatian saya adalah bahwa krisis di dalam tubuh universitas ternama ini dikaitkan dengan demokrasi. Ada Kelompok ProDemokrasi yang ingin menjadikan kampusnya suatu kebun percobaan demokrasi. Tetapi terdengar juga suara yang merasa resah: sebagian mahasiswa dan terutama orangtuanya. Tujuan utama mereka adalah mendapat pendidikan yang baik dan dalam hal itu mereka tidak begitu menghiraukan pertikaian ideologis yang melatarbelakangi seluruh krisis ini. Tidak bisa disangkal bahwa UKSW mengalami kerugian besar akibat kemelut ini. Mungkin mereka membutuhkan waktu panjang untuk menduduki lagi tempat terkemuka di antara universitas swasta terbaik seperti sebelumnya. Menjadi pertanyaan apakah seluruh perjuangan demokrasi ini disertai juga loyalitas terhadap institusinya. Padahal, sulit dibayangkan demokrasi sejati yang tidak disertai loyalitas sebagai sikap dasarnya. Pertanyaan yang sama timbul juga ketika menyaksikan beberapa krisis pelaksanaan demokrasi lainnya. Dalam tubuh partai politik PDI dan PPP sampai beberapa kali kita melihat krisis macam itu. Contoh lain adalah kemelut di sekitar pimpinan Nadhlatul Ulama (NU). Contoh yang terakhir adalah kesulitan intern yang melanda Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Jika kita membaca reaksi masyarakat dalam media massa, banyak orang pada heran karena krisis ini justru menimpa "lokomotif demokrasi" kita. Ada yang sampai bertanya: kalau di situ pun pelaksanaan demokrasi tidak mungkin, di mana terwujudnya cita-cita demokratis dapat diharapkan lagi? Setiap krisis mempunyai sejarahnya sendiri. Banyak faktor terlibat di dalamnya yang tidak mudah ditangkap oleh orang yang tidak mengikuti seluruh prosesnya dari dalam. Tetapi bagi orang luar pun beberapa pertanyaan muncul. Satu pertanyaan menyangkut kenyataan bahwa krisiskrisis demokrasi seperti itu hampir semua berlangsung di sekitar pemilihan pimpinan. Mengapa baru sekitar saat pemilihan tata cara pemilihan mulai

dipersoalkan? Mengapa tidak diatur lebih awal dan lebih rapi? Supaya suatu organisasi berjalan dengan lancar, mestinya anggaran dasarnya (termasuk tata cara pemilihan) selalu dalam keadaan prima. Kekurangan yang masih ada, harus segera diperbaiki, supaya perangkat peraturan ini dalam keadaan siap pakai, bila diperlukan. Demokrasi sudah kita jalankan waktu menyusun peraturan pemilihan, bukan saja waktu pelaksanaannya. Pertanyaan lebih penting lagi menyangkut loyalitas tadi. Bagaimana mungkin mempraktekkan demokrasi tanpa loyalitas? Ada semacam kontradiksi, jika kita sampai mempertaruhkan eksistensi organisasi kita sendiri, demi pelaksanaan demokrasi. Mewujudkan demokrasi hanya mungkin dalam konteks loyalitas. Karena alasan ini pemilihan presiden di Amerika Serikat menarik bagi banyak orang. Tentu saja, para calon mengadakan kampanye sengit, dengan mencaci-maki dan menjelekkan mati-matian pandangan serta rencana dari calon presiden lain (bukan kepribadiannya). Tetapi setelah pemilihan selesai, presiden terpilih bisa tampil di layar TV bersama presiden lama yang dikalahkan, se-bagaimana terjadi beberapa tahun lalu. Presiden George Bush tampak di samping presiden terpilih Bill Clinton dan berjanji bahwa pengalihan kekuasaan akan berlangsung dengan mulus dan lancar. Adegan seperti itu sudah lumrah dalam demokrasi Amerika. Kekalahan tentu merupakan pil pahit sekali bagi Bus dan Partai Republiknya. Tetapi bagaimanapun juga, rakyat telah berbicara dan dalam demokrasi suara rakyat menentukan segalanya. Loyalitas ke-pada negara ditempatkan di atas segala kepentingan lain. Kalau demokrasi disertai loyalitas, kehidupan politik (dan kehidupan organisasi) menjadi juga lebih aman dan nyaman. Tidak perlu kita takut kritik. Karena kritik yang dilatarbelakangi loyalitas tidak bertujuan menembak mati, melainkan memperbaiki keadaan kita bersama. Sering terdengar bahwa dalam kebudayaan kita orang tidak suka menerima kritik. Dan terus-menerus diulangi bahwa Indonesia tidak mengenal oposisi. Menjadi pertanyaan, apakah di sini oposisi tidak dipertentangkan dengan loyalitas? Barangkali: banyak orang berpendapat demikian, tetapi sebetulnya tidak mutlak perlu begitu. Oposisi dapat berfungsi juga dalam rangka loyalitas. Mungkin demokrasi tertua dalam dunia modern, Inggris, menjadi contoh menarik dalam hal ini. Di situ oposisi dalam parlemen memakai sebutan (dan kenyataannya sesuai dengannya) Her Majesty's Most Loyal Opposition.

* K. Bertens, staf Pusat Pengembangan Etika, Universitas Atma Jaya, Jakarta. * Kompas: Sabtu, 30 Maret 1996

Вам также может понравиться