Вы находитесь на странице: 1из 12

BERBAGAI MASALAH DAN PERBEDAAN PENDAPAT DALAM MEMBERIKAN JAWABAN Sebelum kedalam pembahasaan yang pokok Abu Nashr

as-Sarraj berkata : saya ingin mengatakan atau menyebutkan sekilas tentang perbedaan pendapat kaum sufi dalam berbagai masalah yang terjadi keistimewaan mereka dengan jawaban-jawaban yang beragam, serta menjelaskan apa yang terjadi dikalangan ulama dan ahli fiqih serta orang yang hanya memehami kulit luar, dimana hal ini bukan ke ahlian mereka. 1. Al-Jamu dan at-Tafriqah Al-Jamu dan at-Tafriqah menurut as-Sarraj adalah dua buah istilah di mana kata Al-Jumu berarti menyatukan hal-hal yang terpisah (penyatuan), sedangkan at-Tafriqah berarti memisahkan hal-hal yang telah menyatu (pemisahan). Jika anda menyatukan maka anda mengatakan Allah dan bukan yang lain. Dan jika anda memisahkan maka anda akan mengatakan Dunia, Akhirat dan Alam Semesta. Maka dengan demikian al-Jamu merupakan asal utama, sedangkan at-Tafriqah adalah cabang. Sementara itu cabang tidak bisa berdiri sendiri tampa adanya asal utama. Maka setiap alJamu tanpa at-Tafriqah adalah kafir zindik, sebaliknya at-Tafriqah tanpa disertai atau di barengi al-Jamu adalah ateis. Sementara Al-Junaid pernah mengungkapkan tentang makna al-JamU dan at-Tafriqah dalam sebuah syairnya. Yaitu: Aku mencintai hakikat-Mu dalam rahasia hatuku, lalu lisanku bermunajat kepada-Mu Kami menyatu karena beberapa makna dan berpisah pun, karena berbagai makna Jika keraguan tidak terlihat mata adlah kegaiban-Mu Maka cinta yang membara menjadikan-Mu, apa yang ada dalam lubuk hati begitu dekat. Al-Junaid berkata bahwa kedekatannya karena sangat cinta (wajd) berarti Jamu, sedangkan kegaiban-Nya dalam sifat manusiawi berarti Tafriqah (pemisahan). Abu Bakar al-Wasithi berkata : jika anda melihat diri anda berarti anda memisahkan, dan jika anda melihat tuhan berarti anda menyatukan, dan jika anda melakukan dengan orang lain berarti anda mayat. Inilah beberapa pengertian tentang al-Jamu dan at-Tafriqah. Sementara bagi orang yang mau mernungkannya tentu akan memahami,Ingsya Allah.

2. Fana dan Baqa Syekh Abu Nashr as-Sarraj berkata : Fana dan baqo adalah dua istilah , dimana keduanya merupakan sifat bagi seorang hamba menahuidkan Allah. Dimana ia hendak melangkah kejenjang tingkat yang lebih tinggi, dari tingkatan tauhid umum menuju tingkatan khusus. Sedangkan makna fana dan baqa pada tingkat awal ialah fana (hilang)nya kbodohan dengan baqa (tetap)nya ilmu, hilangnya maksiat dengan tetapnya ketaatan, hilangnya kelalaian dengan tetapnya mengingat Allah. Abu yaqub an-Nahrajuri berpendapat : fana yaitu tidak melihat tindakan seorang hamba terhadap Allah Azza wa Jalla. Sedangkan Baqa adalah tetap melihat tindakan Allah Swt. Dalam koridir penghambaan. Al_Jinaid berkata : apabila fana telah hilang dari sifat-sifatnya, maka akan menemukan baqa dengan kesempurnaannya. Dan ia pun berkata : seluruh diri anda menganggap asing dari sifat-sifat anda dan menggunakan diri anda secara keseluruhan. Maka cirri orang yang fana ialah ketika bagaimana dari dunia dan akhirat telah hilang karena kekekalan mengingat Allah swt. Kemudian hilang pula baginya dari mengingat Allah swt. 1 Menerangkan kaitan antara Fana dan Baqa Al-Qusyairi mengatakan : barang siapa meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela maka ia sedang fana dari Syahwatnya. Tatkala fana dari syahwatnya, ia baqa dalam niat dan keikhlasan ibadah, barang siapa yang hatinya zuhud dari keduniaan, maka ia sedang fana dari keinginannya, berarti pula sedang baqa dalam ketulusan inabahnya.2 3. Hakikat Syekh Abu Nashr as-Sarraj berkata : jafar telah member tahu saya bahwasannya al-Junaid pernah berkata : saya mendengar Sari as-Saqathi berkata ketika ia menerangkan sifat para ahli hakikat, cara makan mereka seperti makanannya orang sakit dan tidur mereka seperti orang yang tenggelam. Al-Junaid pernah di Tanya tentang hakikat, ia menjawab, saya mengingatnya, maka saya tinggalkan ini dan ini. Sementara itu Abu Turab mengatakan, cirri-ciri hakikat ialah berbagai musibah. Sedangkan yang lain mengtakan : cirri-ciri hakikat ialah hilangnya sebuah musibah. Ruwaim berkata : hakikat yang paling sempurna adalah yang dibarengi ilmu.

1 2

Abu Nashr as-Sarraj. Al-Luma. Risalah Gusti. 2009. hal 429-432


Prof. Dr. M. Solihin. M.Ag. Dr. Rosihon Anwar. M.Ag. Ilmu Tasawuf. Pustaka Setia 2008, hal 161.

4. Kejujuran (ASH-SHIDQ) Syekh Abu Nashr as-Sarraj berkata : Jafar Al-Khuldi telah member tahu saya bahwa Aljunaid berkata : Barangsiapa mencari sesuatu dengan kejujuran dan bersungguh-sungguh tentu akan mendapatkannya. Dan seandainya tidak mendapatkan seluruhnya maka akan mendapatkan sebagiannya. Yusuf bin al-Husain berkata : menurut hemat kami, kejujuran adalah cinta menyendiri, bermunajat kepada Allah, kecocokan antara yang tersembunyi dengan yang lahir disertai dengan kejujuran berbicara, sibuk mengurus diri sendiri tampa melihat orang lain, menuntut ilmu serta mengamalkannya dalam tata cra makan, adab berpakaiaan dan mencari Rezeki. Dzun-Nun berkata : kejujuran adalah pedang Allah di bumi, setiap kali diletakan pada sesuatu tentu akan memotong. Al-Harits al-Muhasibi ditanya mengenai kejujuran ia pun menjawabnya : Kejujuran adalah yang disertakan pada seluruh kondisi spiritual. Sementara kaum sufi yang lain di Tanya tentang kejujuran, maka ia menjawab.Benarnya menghadap pada Tujuan. 5. Asas Dasar Madzhab Kaum Sufi Dikisahkan oleh al-Junaid yang mengatakan, Para ahli ilmu sepakat, bahwa pokok-pokok ajaran madzhab mereka ada lima perkara : puasa siang hari, bangun malam, ikhlas dalam beramal, selalu mengawasi amal perbuatannya dengan perhatian yang terus-menerus dan bertawakal kepada Allah Awt. Dalam segala kondisi. Ia pun berkata : Kekurangan dalam berbagai kondisi sepiritual merupakan cabang (Furu) yang tidak bisa membahayakan. Namun yang tertinggal adalah tertinggal dalam kondisi sepiriual pokok-pokok ajaran Sufi sekalipun hanya sebesar atom. Sehingga pokok-pokok ajaran sufi sudah kuat, maka kekurangannya yang ada pada cabang tidak akan berbahaya. Abu Ahmad al-Qalanisi mengatakan, pokok-pokok ajaran madzhab kami dibangun atas tiga dasar : Tidak meminta pada orang lain dalam memenuhi hak kami, Menurut diri kami sendiri untuk memenuhi hak-hak orang lain, Memastikan diri kami selalu terjadi kekurangan dalam segala yang kami lakukan. Sahl bin Abdullah berkata : pokok-poko ajaran kami adalah : Berpegang teguh pada kitab Allah, Mengikuti jejak Rasulallah Saw, makan-makanan yang halal, Tidak menyakiti orang lain, Menjauh segala perbuatan yang keji, Bertobat, Menunaikan hak-hak orang lain. 6. Ikhlas Al-Junaid ditanya tentang ikhlas, ia menjawab anda tidak melihat dan fana dari perbuatan anda. Lain kali ia di Tanya kembali tentang ikhlas, ia menjawab, Ikhlas adalah mengeluarkan mahluk dari bermuamalah dengan Allah swt. Sementara Nafsu (Jiwa) adalah makhluk pertama.

Ibnu Atha mengatakan, Ikhlas adalah sesuatu yang anda bisa selamat dari bencana. Dikisahkan dari Sahl bin Abdullah yang mengatakan Orang Islam (yang mengatakan la ilaaha illal-lah) itu banyak, namun sesikit sekali di antara mereka yang ikhlas. Sementara itu cirri orang yang ikhlas adalah lebih suka berkholwat untuk bermunajat kepada Allah swt, kurang mengenal makhlauk dengan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak suka diketahui makhluk dalam bermuamalah dengan Allah Swt.3 As-Susi berkata : ikhlas adalah suatu hilangnya pandangan keikhlasan. Karena, barangsiapa melihat keikhlasan di dalam ikhlasnya, maka ikhlasnya memerlukan keikhlasan.4 7. Dzikir Syekh Abu Nashr as-Sarraj berkata : saya pernah mendengar jawaban Ibnu Salim ketika ditantnya tentang dzikir, Ada tiga macam bentuk dzikir : dzikir dengan lisan yang memiliki sepuluh kebaikan, dzikir dengan hati memiliki tujuh ratus kebaikan dan dzikir yang pahalanya tidak dapat ditimbang dan dihitung, yaitu puncak kecintaannya kepada Allah serta merasa malu karena kedekatan-Nya. Ibnu Atha ditanya, Apa yang dikerjakan dzikir dengan berbagai rahasia? maka ia Menjawab, Dzikir kepada Allah, apabila sampai pada rahasia-rahasia hati dengan pancaran sinarnya maka dalam hakikatnya akan menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan (basyariyah) dengan segala kepentingan nafsunya. Syekh Abu Nashr as-Sarraj berkata : Allah berfirman dalam (Q.s. al-Baqarah: 200) Maka berdzikirlah (dengan menyebut) Allah, Bagai mana kamu mnyebut-nyebut nenek moyangmu, atau ((bahkan) berdzukir lebih banyak dari itu. (Q.s. al-Baqarah: 200) Dalam ayat lain mnyebutkan yaitu (Q.s. al-Baqarah: 200) Ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu. (Q.s. al-Baqarah: 200) Landasan dasar dzikir adalah memenuhi panggilan Al-Haq dari sisi kewajiban-kewajiban. Sementara itu dzikir terbagi pada dua aspek : pertama, at-tahlil (membaca kalimat tauhid la illaha illal-lah), tasbih (membaca kalimat subhanallah), dan membaca al-Quran. Kedua, mengingatkan hati tentang syarat-syarat mengingat kemaha Esaan Allah swt. 8. Merasa Cukup (kaya) Al-Junaid ditanya? Apa yang paling sempurna? Merasa cukup dengan Allah atu merasa butuh? Ia menjawab, merasa butuh kepada Allah secara otomatis menghapuskan merasa cukup
3 44

Ibid. hlm. 435-440 Al-Ghazali. Mutiara Ihya ulumuddin. Mizan 1997, hlm 391

dengan-Nya. Apabila merasa butuh kepada Allah itu sudah benar, maka merasa cukup denganNya akan sempurna. Olek karenanya tidak bisa ditanyakan, makna yang paling sempurna diantara dua kondisi tersebut? sebab keduanya merupakan kondisi yang paling menyempurnakan. Barangsiapa menjadikan segala kebutuhannya kepada Allah dengan benar maka ia akan menjadikan rasa cukupnya dengan Allah juga dengan benar. Al-Junaid pun pernah berkata : Jiwa yang telah dimuliaka oleh Allah dengan hakikat kekayaan, maka segala kebutuhan itu akan hilanhg. Abu bin Utsman al-Makki ditanya tentang kekayaan, yang mengumpulkan kekayaan, maka ia menjawab, ialah ketidakbutuhan terhadap kekayaan. Sebab bila anda merasa cukup dengan kekayaan, berarti anda membutuhkannya karena kekayaan (kecukupan) anda. Tapi jika anda merasa cukup dengan Allah semata, dan tidak merasa cukup dengan kekayaan berarti anda tidak butuh kekayaan dan selainkekayaan. 9. Kefakiran Al-Junaid berkata : kefakiran adalah samudra cobaan (bala), namun seluruh cobaannya adlah kemuliaannya. Dan ia pun pernah ditantnya siapakah orang yang paling mulia? Ia menjawab yaitu orang Fakir yang ridha. Sementara itu al-Junaid mengatakan, Seseorang tidak bisa memastikan dengan benar akan kefakirannya sehingga ia yakin bahwa di hari kiamat nanti tidak ada orang yang lebih fakir dari pada dirinya. Sebagai mana Firman Allah swt dalam (Q.s. al-Baqarah: 273) (Berimfaklah) kepada orang-orang fakir yang terkait (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kayak arena memelihara diri dari dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. (Q.s. al-Baqarah: 273) Ibnu al-Jalla berkata : Barangsiapa tidak menyertai kefakirannya dengan sikap wara (jaga diri dari syubhat), maka ia akan terjerumus pada hal-hal yang diharamkan secara pasti, sementara ia sendiri tidak menyadarinya. 10. Pendapat Mereka Tentang Ruh Asy-Syibli mengatakan : Hanya dengan Allah, Ruh, Jasad dan dan bersitan-bersitan hati bisa eksis, dan bukankarena eksistensi dzatnya masing-masing. Ia pun pernah berkata, Ruh itu penuh keramahan dan kelembutan, kemudian ia menggantung pada ujung hakikat. Ia tidak tahu siapa sebenarnya yang disembah dan berhak sebagai peribadatan, dimana ia tidak mendekat kepada Dzat Yang Maha Menyaksikan (asy-Syahid) tampa melihat fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi (masyahid). Ia yakin, bahwa makhluk tidak akan bisa memahami Dzat Yang Maha Qadim dengan Sifat-Nya yang bisa di beri alasan.

Al-Wasithi mengatakan : Bahwa ruh itu ada dua macam yaitu ruh yang menghidupkan dan ruh yang menjadi penerang hati. Dan ruh terakhir ini lah yang difirmankan Allah Swt. Dan demikianlah kami wahyukan kepadamu ruh (nilai spiritual al-Quran) dengan perintah kami. (Q.s. asy-Syura: 52) Ia dinamakn ruh karena kelembutannya. Jika anggota tubuh berbuat kejelasan yang menyalahi adabnya, maka ruh akan terhalang dari sentuhan-sentuhan sebab yang menyakitkan. Syekh Abu Nashr as-Sarraj berkata : pendapat tentang ruh yang dikemukakan tersebut adalah tidak benar. Sebab sifat kekodiman tidak akan bisa terpisahkan dari Dzat Yang Maha Qadim, sementara makhluk tidak snyambung dengan yang Maha Qadim-semoga Allah senantiasa member Taufik. Saya pernah mendengar Ibnu Salim ditanya tentang pahala dan siksa, Apa pahala dan siksa yang diberikan pada Ruh dan Jasad atau hanya pada Jasad? Ia menjawab, Taat dan maksiat bukan hanya saja muncul dari jasad saja tampa ruh atau dari ruh tampa jasad, sehingga pahala dan siksa hanya diberikan pada jasad sajaatau pada ruh saja. Maka orang yang berpendapat bahwa ruh itu mengalami reinkarnasi, perpindahan dan keqadiman, maka ia benar-benar tersesat dan sangat merugi. 11. Isyarat Syekh Abu Nashr as-Sarraj berkata : jika ada seseorang yang bertanya, Apa makna Isyarat? Maka jawabalah, pada pirman Allah dalam surat al-Furqan:1 (Maha Suci Dzat) maka lafadz ALLADI dalam ayat tersebut adalah suatu kinayah (metonimia). Sementara metonimia adalah seperti isyarat dalam kelembutan maknanya. Dan isyarat hanya bisa dipahami oleh para tokoh yang memiliki keilmuan yang tinggi. Abu Yazid al-Busthami mengatakan, Orang yang paling jauh dari Allah ialah orang-orang yang paling banyak member isyarat kepada-Nya. Kemudian ia bercerita, Ada seseorang dating kepada al-Junaid bertanya tentang suatu masalah. Kemudian al-Junaid member isyarat dengan kedua matanya melihat kelangit. Lalu orang tersebut berkata, Wahai al-Qasim, jangan member isyarat kepada-Nya, sebab dia lebih dekat dekat dengan anda dari pada apa yang diisyaratkan.Maka al-Junaid berkata, Anda benar, dan kemudian tertawa. 12. Kepandaian (Azh-Zharf) Al-Junaid pernah ditanya tentang makna azh-zharf, maka ia menjawab, Yaitu menghindari segala bentuk akhlak yang rendah, dan menggunakan segala akhlak yang mulia, anda berbuat semata karena Allah kemudian anda tidak melihat bahwa diri anda merasa berbuat.

13. Muruah Ahmad bin Atha ditannya tentang Muruah, maka ia menjawab, Janganlah menganggap banyak amalan yang anda lakukan untuk Allah, dan ketika anda melakukan suatu amal maka seakan-akan anda tidak pernak melakukan sesuatu, sementara anda menginginkan yang lebih banyak dari itu. 14. Nama Sufi Mengapa kelompok ini disebut dengan sebutan Sufi? Maka Ibnu Atha member jawabannya, Mereka disebut dengan nama itu, karena bersihnya kelompok tersebut dari kotoran makhluk dan keluar dari tingkat kejelekan. An-Nuri mengatakan, mereka disebut dengan nama ini, sebab kelompok tersebut mencakap makhluk dengan lahiriah para ahli ibadah, sementara mereka mencurahkan segalanya hanya untuk Allahdengan tingkatan orang-orang yang cinta. 15. Rezeki Yahya bim Muadz mengatakan, Dalam wujud (keberadaan) seorang hamba, rezeki tampa harus dicari, dan itu membuktikan bahwa rezeki diperintahkan untuk mencari pemiliknya. Diceritakan oleh Abu Yaqub yang berkata : orang-orang berbeda pendapat tentang sebabsebab datangnya rezeki. Sebagian kaum mengatakan, bahwa sebabnya rezeki adalah berusaha dan bekerja keras. Ini adalah pendapat orang-orang Qadariah. Sementara itu sebagian kaum yang lain mengatakan, bahwa sebabnya rezeki adalah takwa. Mereka berpendapat demikian atas dasar lahiriah ayat al-Quran: Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka. (Q.s. ath-Thalaq:2-3) Allah tidak mengkhususkan pemberian rezeki-Nya kepada orang mukmin saja, tetapi juga orang kafir. Abu Yazid bercerita: Saya pernah menguji baik seorang murid di hadapan sebagian ulama, kemudian orang alim (ulama) tersebut bertanya, Dari mana penghidupannya? saya menjawab, saya tidak pernah meragukan penciptanya sehingga saya harus bertanya siapa yang membernya rezeki. Orang alim tersebut merasa malu lalu ia tidak melanjutkan. 16. Masalah (1) Al-Junaid pernah ditanya, Bagaimana bila nama seorang hamba telah hilang dan yang tetap tinggal hanya hokum Allah? ia menjawab: perlu anda ketahui-semoga Allah member rahmat kepada anda-bahwa jika marifat kepada Allah telah menjadi agung dan tinggi, maka bekasbekas hamba akan menghilang dan symbol-simbolnya akan terhapus, pada saat itu tampaklah

ilmu al-Haq dan yang terasa adalah nama hokum Allah swt. Kapan seorang hamba menganggap sama antara orang yang memuji dengan orang yang mencacinya? Ia menjawab: Ketika ia menyadari bahwa ia hanyalah serang makhluk dan bahan Fitnahan. Ibnu Atha ditanya, Kapan ia mendapatkan kedamaiaan hati? atau dengan apa ia bisa meraih kedamaian hati? ia menjawab: Yaitu dengan memahami haqul Yaqin, yaitu al-Quran, kemudian ia diberi ilmu yakin dan setelah itu ia melihat ainul yakin. Pada saat itu-lah hatinya akan merasa tentram. Sedangkan cirri-cirinya adalah ridha atas takdir yang telah ditentukan-Nya dengan perasaan penuh wibawa dan cinta serta menganggap-Nya sebgai pelindung dan Dzat yang deserahi tampa ada perasaan curiga yang menganjal. 17. Firasat Yusuf al-Husain pernah ditanya tentang Hadist Nabi Saw., Hati-hatilah terhadap firasat orang mukmin karena ia melihat dengan cahaya Allah. Ia menjawab: Ini benar dari Rasulallah dan terutama orang-orang beriman (mukmin). Dan ini adalah kelebihan dari keramahan (kemuliaan) bagi orang yang diberi cahaya oleh Allah dan dilapangkan dadanya. Sementara itu orang-orang tidak memberikan berhak memberikan keputusan hokum untuk dirinya dengan firasat tersebut, meskipun banyak benarnya dan sedikit sekali terjadi kesalahan. Orang yang tidak bisa memberikan keputusan hukum untuk dirinya dengan hakikat keimanan, kewalian dan kebahagiaan, lalu bagaimana ia bisa member keputusan hukum untuk dirinya dengan kelebihan kemarahan? Sebenarannya itu hanyalah kelebihan bagi orang-orang beriman tanpa harus member isyarat apa pun kepada seseorang. 18. Fantasi (Waham) Ibrahim al-Khawwash pernah ditanya tentang waham, maka iamengatakan, waham adalah pemisah yang berdiri sendiri antara akal dan pemahaman, di mana ia tidak bisa dinisbatkan pada akal sehingga menjadi bagian dari sifat-sifat akal dan tidak pula dinisbatkan pada pemahaman sehingga ia menjadi bagian dari sifat-sifat pemahaman. 19. Masalah (2) Abu Yazid pernah ditanya tentang makna Firman Allah Swt. (Q.s.Fathir:32) Kemudian kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih diantara hambahamba kami, lalu di antara mereka ada yang menganiyaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertentangan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. (Q.s. Fathir:32) Maka Abu Yazid mengatakan, Orang yang terlebih dahulu berbuat kebaikan (as-sabiq) adalah orang yang dicambuk dengan cambuk cinta (muhasabah), dipenggal dengan pedang kerinduan dan berbaring diadpan pintu kewibawaan. Sementara orang yang tengah-tengah (almuqtashid) adalah dicambuk dengan cambuk kesedihan, dipenggal dengan pedang penyesalan

lalu berbaring di depan pintu kemuliaan. Sedangkam orang yang menganiaya dirirnya sendiri (azh-zhalim) adalah dicambuk dengan cambuk harapan dan cita-cita, dipenggal dengan pedang ketamakan lalu terkapar di pintu siksaan. 20. Berandai (Tamanni) Ruwaim bin Ahmad pernah ditanya, Bolehkah seorang murid berandai-andai? Ia menjawab, Seorang murid tidak seyogyanya berandai-andai, ia hanya boleh berharap. Sebab berandai-andai adalah melihat nafsu dengan berharap adalah melihat apa yang lebih dahulu ditentukan Allah. Berandai-andai adalah termasuk sifat-sifat nafsu, sedangkan berharap adalah sifat hati. Dan hanya Allah yang mahatahu. 21. Rahasia Nafsu Sahl bin Abdullah pernah ditanya tentang rahasia Nafsu, ia menjawab,Nafsu adalah suatu rahasia, dimana rahasia tersebut tidak akan tampak pada siapa pun dari makhluk Allah kecuali pada Firaun yang pernah mengatakan, saya adalah uhan kalian yang maha tinggi. Rahasia nafsu memiliki tujuh lapis penghalang dari langit dan tujuh lapis penghalang dari bumi. Ketika seorang hamba berusaha mengubur nafsunya kedalam lapisan bumi, maka hatinya akan mulia membungbung tinggi kelapisan-lapisan langit. Dan jika anda telah mengubur nafsu anda dibawah lapisan bumi, maka dengan hati anda bisa sampai ksesinggasna Arssy. 22. Cemburu (Ghirah) Asy-Syibli pernah ditanya tentang kecemburuan, ia menjawab, Bahwa cemburu itu ada dua jenis: Cemburu manusiawi (basyariyyah) dan Cemburu ke Tuhanan (Ilahiyah). Cemburu manusiawi adalah cemburu terhadap individu, sedangkan cemburu ke Tuhanan adalah sikap cemburu terhadap waktu, dimana ia tidak ingin menyia-nyiakannya untuk selain kepentingan Allah Swt. 23. Masalah (3) Fath bin Syakhraf berkata: suatu ketika saya oernah bertanya kepada Israfil, guru Dzun-Nun, Wahai guru, apakah rahasia-rahasia hati (al-asrar) akan disiksa sebelum tergelincir (melakukan dosa)? Ia tidak menjawab selama beberapa hari, kemudian setelah itu ia mengatakan, Hai Fath, jika kamu sudah berniat sebelum berbuat, maka al-asrar akan disiksa sebelum tergelincir (melakukan dosa). Setelah mengatakan demikian ia lalu menjerit dan masih sempat hidup selama tiga hari sebelum akhirnya meninggal. Masalah tentang perbedaan antara al-hubb (cinta) dan al-wudd (kasih sayang). Al-hubb didalamnya terdapat unsur dekat dan jauh, sedangkan Al-wudd sama sekali tidak tidak mengandung unsure keterputusan, kejauhan ataupun kedekatan. Sesungguhnya orang yang menyaksikan al-hubb adalah dengan haqul-yaqin, orang yang menyaksikan al-wudd adalah dengan ainul-yaqin sedangkan orang yang menyaksikan ash-shiriyah (keterjagaan) adalah

dengan ilmul-yaqin. Al-wudd adalah sambungan (al-washl) tampa keseimbangan (muwashalah). Sebab al-washal adalah tetap, sedangkan al-muwashalah adalah menggunakan waktu. 24. Tangis Abu Said al-Kharras pernah ditanya mengenai tangis, lalu ia menjawab: Tangis itu ada tiga macam: Dari Allah (Minallah), kepada Allah (ilallah) dan pada Allah (alallah). Sementara menagis yang dari Allah akan lama tersiksa kerinduannya bila disebutkan terlalu lama waktu bertemu-Nya, menagis karena takut terputus dengan-Nya dan berpisah dari imbalan yang dijanjikan-Nya. Sedangkan menagis kepada Allah adalah rahasia hatinya memaksakan kerinduan yang membara kepadan-Nya, menagis karena keluh kesah. Kemudian menangis pada-Nya adalah menagis ketika diperlambat untuk bertemu dengan-Nya pada sebagian waktu yang ia biasakan, dan menagis karena kesenangan karena di saat ia bisa sampai kepada-Nya, bila ia dipeluk dengan kebaikan-Nya, bagaimana seorang bayi yang masih menyusu ibunya, ketika itu ia menangis. 25. Yang Menyaksikan (Asy-Syahid) Tatkala Al-Junaid ditanya, Mengapa Asy-Syahid itu disebut Syahid (menyaksikan)? Ia menjawab, Dzat yang maha menyaksikan, al-Haq swt. Adalah yang menyaksikan hati nurani anda dan rahasia-rahasia nati anda,senantiasa ia mengetahuinya, menyaksikan Keindahan-Nya yang ada pada makhluk dan hamba-hamba-Nya. Jika seseorang melihat-Nya ia akan menyaksikan ilmu-Nya dengan melihat kepada-Nya. 26. Kesucian Bermuamalah dan Beribadah Syekh Abu Nashr as-Sarraj berkata : para Guru sufi tanah haram pernah berkumpul dengan Abu al-Husain Ali bin Hindun al-Qurasyi al-Farisi kemudian mereka menanyakan tentang kesucian bermuamalah dan beribadah? Maka ia menjawab, sesungguhnya pada akal terdapat petunjuk (dilalah), dalam hikamh terdapat isyarat dan dalam marifat terdapat kesaksian (syahadah). Maka akal memberikan petunjuk, hikmah memberikan isyarat, dan marfat menyaksikan bahwa kejernihan ibaah tidak akan dicapai kecuali melalui kejernihan marifat yang ada empat: Marifat (menegenal) Allah swt.; Marifat tentang diri (nafsu); Marifat tentang kematian; Marifat tentang apa yang bakal terjadi setelah kematian, dari janji dan ancaman Allah Awt. Maka orang yang mengenal Allah niscaya akan memenuhu hak-hak-Nya, orang yang mengenal nafsunya ia akan bersiap-siap melawan dan berjuang menghadapinya, orang yang mengerti ancaman Allah akan menjauhi larangan-Nya dan mengerjakan perintah-Nya. 27. Kedermawanan Al-Harits al-Mushasibi berkata: Orang yang dermawan ialah orang yang tidak pernah peduli kepada siapa pun yang ia beri. Sementara itu al-Junaid mengatakan: Orang demawan adalah orang yang tidak menjadikan anda butuh kepada suatu perkara.

28. Kemuliaan (Karamah) Sebagian kaum sufi mengatakan, bahwa karamah (kemuliaan) adalah mencapai apa yang dimaksud sebelum munculnya iradah (keinginan) Sedangkan sebagian kaum sufi yang lain mengatakan bahwa kemuliaan adalah pemberian diatas apa yang diharapkan. 29. Pikir Ketika al-Harits al-Mushasibi ditanya mengenai piker, ia mengatakan, Pikir adalah dalam melakukan seuatu dengan al-Haq. Kaum sufi mengatakan, Berpikir adalah mengambil pelajaran dengan benar. Kaum sufi yang lain mengatakan, Pikir adalah kondisi mengagungkan Allah Azza wa Jalla yang memenuhi hati. Sementara perbedaan antara piker dan berpikir (tafakkur) adalah bahwasannya berpikir merupakan pengembaraan hati, sedangkan Pikir adalah berhentinya hati dalam memahami apa yang ia ketahui. 30. Mengambil Pelajaran (Itibar) Al-Haris bin Asad al-Mushasibi mengatakan Itibar ialah menjadikan sesuatu sebagai argumentasi atas sesuatu yang lain. Sementara menurut sufi yang lain adalah sesuatu yang didalamnya terdapat keimanan yang yang jelas dan bisa dipahami oleh akal, dan sebagian sufi yang lain mengatakan Itibar adalah sesuatu yang mampu menembus kegaiban tanpa ada sesuatu yang sanggup menghalanginya. 31. Niat Apakah Niat itu? Kaum sufi menjawab, Niat adalah maksud yang kuat untuk melakukan sesuatu, Niat adalah mengetahui nama perbuatan (amal). Al-Junaid mengatakan Niat adalah mengambarkan perbuatan. Sementara yang lain mengatakan, Niat adalah seorang mukmin adalah Allah yang maha tinggi.5 Niat merupakan ungkapan keinginan yang menengahi antara ilmu yang sudah ada dan amal yang akan datang. Ia mengetahui sesuatu, maka muncullah keinginannya untuk memperbuat sesuai dengan ilmu. Rasullah bersabda : Niat orang mukmin lebih baik dari pada perbuatannya. Sementara niat orang fasik lebih jelek dari pada perbuatannya.6

5 6

Ibid. hlm 441-463 Al-Ghazali. Mutiara Ihya ulumuddin. Mizan 1997, hlm 383

32. Kebenaran (Ash-Shawab) Apakah kebenaran itu? Menurut suatu kaum kebenaran hanyalah menauhid Allah semata. Al-Junaid mengatakan, Kebenaran adalah segala ucapan yang muncul karena izin diri-Nya. 33. Kasih Sayang Al-Junaid pernah ditanya, Apa yang dimaksud dengan Kasih Sayang kepada sesama makhluk? Kemudian ia menjawab, Anda member mereka dari diri anda sesuatu yang mereka butuhkan, tidak membebani mereka dengan sesuatu yang mereka tidak mampu melakukan dan tidak berbicara dengan mereka tentang sesuatu yang mereka tidak memahaminya. 34. Ketakwaan Kaum sufi mengatakanan, ketakwaan adalah mengamalkan masalah perintah dan larangan. kaum sufi yang lain mengatakan, Ketakwaan adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat. Yang lain mengatakan juga, Ketakwaan adalah simbol kesucian orang mukmin, sebagai mana Kabah sebagai symbol kesucian Mekah. Dikatakan pila, Ketakwaan merupakan cahaya dalam hati yang dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil. Sahl bin Abdullah, Al-Junaid, Al-Harits al-Muhasibi dan Abu Said mengatakan, Ketakwaan adalah keseimbangan antara rahasia hati dengan lahiriah yang tampak. 35. Rahasia Hati Sebagian kaum sufi mengatakan, Rahasia hati adalah sesuatu yang tidak bisa dirasakan oleh gejolak jiwa (an-Nafs), di mana rahasia tersebut memang di jadikan gaib oleh al-Haq dan selalu diawasi. Kaum sufi yang lain mengatakan, Rahasia itu ada dua macam: Rahasia bagi al-Haq, yaitu sesuatu yang selalu diawasi-Nya tampa ada perantara apa pun, dan rahasia untuk mahluk di mana ia selalu diawasi-Nya diawasi-Nya dengan perantara. Diceritakan dari al-Husain bin Manshur al-Hallaj yang mengatakan, Rahasia-rahasia kami adalah gadis yang keperawanannya tidak bisa dirobek oleh khayalan seorang pengkhayal. Abu Yaqub Yusuf bin al-Husain ar-Razi mengatakan, Hati para tokoh adalah kuburan yang menyimpan berbagai rahasia. Ia juga berkata, Jika kancing bajuku mengetahui rahasiaku maka aku akan melepasnya.7

Ibid. hlm 463-465

Вам также может понравиться