Вы находитесь на странице: 1из 2

Begawan Wisrawa SINOPSIS CERITA Begawan Wisrawa adalah seorang penuntut ilmu kesuksmaan yang merosot derajat kesiswaannya

karena terkena tiga macam godaan (goda kasar, halus dan gawat) serta melanggar Paliwara. Goda halus (rasa aku, adigang, adigung, adiguna) merasuk ke dalam jiwanya, pada saat dia dapat mengalahkan Jambumangli dalam mengikuti sayembara untuk mendapatkan Dewi Sukesi, putri Raja Negeri Alengka, Prabu Sumali Raja. Setelah mampu mewedarkan rahasia Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat kepada Dewi Sukesi, Begawan Wisrawa terkena godaan gawat dengan masuknya Roh Bathara Kala dalam tubuhnya, dan Dewi Sukesi pun terkena godaan gawat dengan masuknya Roh Bathari Durga kedalam dirinya dan sekaligus terpeleset godaan kasar dan melanggar Paliwara bab syahwat. Akibatnya lahirlah putra pertamanya berwujud raksasa yang bertabiat angkara murka bernama Rahwana. Begawan Wisrawa menyadari kesalahannya, apalagi dia mengikuti sayembara itu hanya untuk mendapatkan Dewi Sukesi yang akan dijadikan permaisuri anaknya yaitu Prabu Danapati, Raja Negeri Lokapala demikian juga dengan Dewi Sukesi yang telah menyadari kekeliruannya dengan tidak dapat mengendalikan nafsu asmaranya. Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi mensucikan diri meskipun belum sepenuhnya, kemudian lahirlah anak yang kedua meski wujudnya raksasa tetapi sudah berwatak ksatria bernama Kumbakarna. Sayang kedua insan tersebut (Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi) bergejolak lagi nafsu-nafsunya sehingga lahirlah anaknya yang ketiga seorang raseksi yang buruk rupanya dan sangat jelek wataknya bernama Sarpakenaka. Menghadapi kenyataan itu barulah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi benar-benar bertobat, mohon ampun atas segala dosa-dosanya serta membangun watak utama Panca Sila (Rela, Narima, Jujur, nilai moral Sabar, berbudi Luhur, Percaya dan taat kepada Tuhan Yang Maha Esa,serta senantiasa menjauhi larangan Tuhan dan berjalan di Jalan Rahayu ialah Jalan Benar, Jalan Utama yang berakhir dalam kesejahteraan, ketentraman dan kemuliaan abadi ialah dihadirat Tuhan Sejati di Taman Kemuliaan Abadi. Keduanya menyadari sepenuhnya akan pelaksanaan tugas suci, sebagai suami istri yaitu pria menjadi perantara Tuhan menurunkan Roh Suci dan wanita menjadi perantara Tuhan menerima dan menggarba Roh Suci yang menjadi keturunannya. Tugas suci ini haruslah dilaksanakan dengan penuh kesucian dan kesusilaan dengan dasar kasih sayang sejati. Agar tumbuh berkembang rasa kasih sayang sejati, setiap hari haruslah dipupuk dan disirami dengan a) mong-kinemong (saling menjaga), b) ajen-ingajenan pesan moral: saling menghormati), c) apura ingapura (saling memaafkan), d) tansah anuju prana murih agawe suka pirena (senantiasa dapat berkenan dihati agar dapat membuat rasa bahagia. Dewi Sukesi menyadari sepenuhnya para wanita / Ibu dapat menjadi mustikanya wanita, menjadi pendidik pertama dan utama. Kedatangan Dewi Arumdati memberi nasihat kepada Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi serta Prabu Danapati tentang Ilmu Kasuksmaan. Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi dianugerahi seorang putra yang elok rupawan, berbudi suci, berderajat luhur dan mulia, berwatak utama, mursid, senantiasa berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, yakni Gunawan Wibisana, seorang purusatama, yang penuh kasih sayang kepada sesama hidup dan menghormati semua agama

lelaki Tua dan Laut mengisahkan ulang tentang perjuangan kepahlawanan antara seorang lelaki nelayan tua yang berpengalaman dengan seekor ikan marlin raksasa yang disebut sebagai tangkapan terbesar dalam hidupnya. Cerita diawali dengan cerita bahwa nelayan yang bernama Santiago tersebut telah melewati 84 hari tanpa menangkap seekor ikan pun (kemudian disebutkan dalam cerita ternyata 87 hari). Dia tampaknya selalu tidak beruntung dalam menangkap ikan sehingga murid mudanya, Manolin dilarang oleh orangtuanya untuk berlayar dengan si lelaki tua dan diperintahkan untuk pergi dengan nelayan yang lebih berhasil. Masih berbakti kepada si lelaki tua tersebut, Manolin mengunjungi gubuk Santiago setiap malam, mengangkat peralatan nelayannya, memberinya makan dan membicarakan olah raga bisbol Amerika dengan si lelaki tua. Santiago berkata pada Manolin bahwa di hari berikutnya dia akan berlayar sangat jauh ke tengah teluk untuk menangkap ikan, dan dia yakin bahwa gelombang nasibnya yang kurang beruntung akan segera berakhir. Maka di hari ke-85, Santiago berlayar sendirian, membawa perahu kecilnya jauh ke tengah teluk Meksiko. Dia mengatur kailnya, dan di siang selanjutnya, seekor ikan besar yang dia yakin adalah seekor ikan marlin menggigit umpannya. Santiago tidak dapat menarik ikan tersebut, malah mendapati perahu kecilnya yang justru ditarik oleh sang ikan raksasa. Dua hari dua malam lewat dalam situasi tersebut, dan selama itu si lelaki tua menahan tali jeratnya dengan tenaganya sendiri dengan susah payah. Walaupun dia sangat kesakitan dan terluka dalam perjuangannya, Santiago merasakan rasa kasih, haru dan penghargaan untuk lawannya, kerap menyebut sang ikan sebagai saudaranya. Dia juga memutuskan bahwa karena martabat besar sang ikan, tak ada seorang pun yang layak untuk memakan ikan tersebut. Di hari ketiga perjuangannya, sang ikan mulai mengitari perahu kecilnya, menunjukkan kelelahannya pada si lelaki tua. Santiago, sekarang telah kehabisan tenaga, mulai mengigau, dan hampir tidak waras, menggunakan seluruh sisa tenaga yang masih dimilikinya untuk menarik sang ikan ke sisi perahunya dan menikam sang marlin dengan sebuah harpun, dengan demikian mengakhiri perjuangan panjang antara si lelaki tua dan sang ikan yang sangat kuat bertahan. Santiago mengikat bangkai sang marlin di sisi perahu kecilnya dan mulai berlayar pulang, berpikir tentang harga tinggi yang akan diberikan sang ikan di pasar ikan dan jumlah orang yang dapat menikmati hasil tangkapannya tersebut. Selama Santiago melanjutkan perjalanannya pulang ke tepi laut, ikan-ikan hiu mulai tertarik dengan jejak darah yang ditinggalkan sang marlin di air. Yang pertama adalah ikan hiu mako yang dibunuh Santiago dengan harpunnya, menyebabkan dia kehilangan senjata tersebut. Dia kemudian merakit sebuah harpun baru dengan mengikat bilah pisaunya ke ujung sebuah dayung untuk mengusir pergi hiu-hiu yang berdatangan selanjutnya. Lima hiu dibunuhnya dan banyak hiu lain yang akhirnya pergi. Di malam harinya hiu-hiu tersebut telah melahap habis seluruh bangkai sang marlin, meninggalkan hanya kerangka tulang punggung, ekor, dan kepalanya, di mana di kepalanya masih tertancap harpun nelayan si lelaki tua. Santiago sangat sedih dan menghukum dirinya sendiri karena telah mengorbankan sang marlin, dan akhirnya sampai di tepian laut sebelum subuh keesokan harinya. Dia berjuang untuk berjalan menuju gubuknya, membawa tiang kapalnya yang berat di atas pundaknya. Setelah tiba di rumah, dia merebahkan dirinya di tempat tidur dan masuk ke dalam tidur yang panjang. Keesokan harinya sekelompok nelayan berkumpul di sekeliling perahu yang mana kerangka sang ikan masih terikat. Salah satunya mengukurnya sepanjang 18 kaki dari moncong ke ekornya. Bahkan para turis yang duduk di kafe dekat di situ salah menyangkanya sebagai ikan hiu. Manolin yang terus khawatir selama perjalanan si lelaki tua, menangis terharu saat dia mendapati Santiago sedang tertidur lelap. Anak laki-laki itu kemudian membawakan surat kabar dan kopi untuk si lelaki tua. Saat Santiago terbangun, Manolin berjanji untuk pergi menangkap ikan bersama-sama lagi dengan gurunya tersebut, dan saat kembali tidur, Santiago kemudian bermimpi tentang singa di pantai Afrika.

Вам также может понравиться