Вы находитесь на странице: 1из 10

Pendidikan: Tinjauan nasionalisme SUWARDI LUBIS Munculnya eufhoria nasionalisme seiring kemenangan beruntun tim nasional sepakbola Indonesia

adalah sesuatu fenomena yang menarik. Terutama bila dilihat dari sudut pandang pendidikan nasional. Kita menyadari bahwa sejak lama, salah satu proyek besar bangsa ini adalah memupuk dan melestarikan rasa nasionalisme anak-anak bangsa. Jalan utama yang digunakan adalah melalui pendidikan di segala tingkatannya. Usaha nasional secara besar-besaran telah dilakukan sejak tahun 1978 sampai di akhir masa kepemimpinan Almarhum Presiden Soeharto tahun 1998. Apa yang kita kenal dengan P-7 (Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Program ini dengan gencara dilakukan di sekolah-sekolah di semua tingkatannya. Tetapi kenyataan yang kita lihat pula bahwa rasa nasionalisme itu seperti terkungkung dalam kerangkeng kekuasaan sampai kemudian menguap ketika menemukan kebebasannya. Rasa nasionalisme itu seperti tak berbekas hilang. Krisis moneter menyerang dan memporakporandakan hukum dan perekonomian negara mulai pertengahan tahun 1997. Bahkan sejak 27 Juli 1996 sebelum kampanye Pemilu berdarah tahun 1997. Jelas ini adalah contoh pendidikan dalam skala makro yang dalam teorinya tidak pas dengan Pancasila dalam praktek di luar ruang penataran. Selanjutnya segalanya menjadi liar dan tak terkendali. Pada kondisi ini, sepertinya tidak ada faktor yang bisa menyatukan berbagai elemen bangsa ini. Sampai titik ini maka tidak berlebihan jika ada pendapat yang menyatakan bahwa proyek nasionalisme yang dilakukan selama ini telah gagal. Namun di tengah kegelisahan merapuhnya rasa nasionalisme anak-anak bangsa, tiba-tiba prestasi persepakbolaan kita menyeruak. Secara tiba-tiba pula rasa nasionalisme itu menemukan jalannya. Maka tidak salah jika kita beranggapan bahwa rasa nasionalisme itu tidak harus melulu melalui jalur pendidikan atau memang ada yang salah dalam pelaksanaan program pendidikan untuk nasionalisme itu. Landasan pendidikan Pendidikan sebagai gejala sosial dalam kehidupan mempunyai landasan individual, sosial dan kultural. Pada skala mikro pendidikan bagi individu dan kelompok kecil berlangsung dalam skala relatif terbatas seperti antara sesama sahabat, antara seorang guru dengan satu atau sekelompok kecil siswanya, serta dalam keluarga dan lainnya. Pendidikan dalam skala mikro diperlukan agar manusia sebagai individu berkembang semua potensinya dalam arti perangkat pembawaanya yang baik dengan lengkap. Selanjutnya, manusia berkembang sebagai individu menjadi pribadi yang unik sangat spesifik dan tidak tidak pernah menjadi duplikat pribadi lain. Tidak ada manusia yang memiliki kepribadian yang sama sekali serupa,meskipun banyak persamaan di antara satu sama lainnya. Dengan adanya individu dan kelompok yang berbeda-beda diharapkan akan mendorong terjadinya perubahan masyarakat dengan kebudayaannya secara progresif. Pada tingkat dan skala mikro pendidikan

merupakan gejala sosial yang mengandalkan interaksi manusia sebagai sesama (subyek) yang masing-masing bernilai setara. Kemudian dalam skala makro, pendidikan berlangsung dalam ruang lingkup yang besar. Misalnya dalam masyarakat antarkecamatan, antarkota , masyarakat antarsuku dan masyarakat antarbangsa. Dalam skala ini pendidikan sebagai gejala sosial sering terwujud dalam bentuk komunikasi terutama komunikasi dua arah. Dilihat dari sisi makro, pendidikan meliputi kesamaan arah dalam pikiran dan perasaan yang berakhir dengan tercapainya kemandirian oleh peserta didik. Maka pendidikan dalam skala makro cenderung dinilai bersifat konservatif dan tradisional karena sering terbatas pada penyampaian bahan ajar kepada peserta didik dan bisa kehilangan ciri interaksi yang afektif. Tiap manusia bernilai tertentu sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual, sosial dan bobot moral. Itu sebabnya pendidikan dalam praktek adalah fakta empiris yang syarat nilai berhubung interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah. Melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat manusiawi seperti siswa mendidik diri sendiri atas dasar hubungan pribadi dengan pribadi (higher order interactions) antar individu dan hubungan intrapersonal secara afektif. Adapun manusia sebagai fakta empriris tentu meliputi berbagai variabel dan hubungan variabel yang terbatas jumlahnya dalam telaah deskriptif ilmu-ilmu. Sedangkan jumlah variabelnya amat banyak dan hubungan-hubungan antara variabel amat kompleks sifatnya apabila pendidik memelihara kualitas interaksinya dengan peserta didik secara orang perorang (personal). Seperti dikatakan tentang siswa belajar aktif oleh Phenix (1958:40), yaitu :It possible to conceive of teacher and student as one and same person and the self taught person as one who direct his own development through an internal interaction between the self as I and the self as me on the other hand, it is usual for one teacher to teach many students simultaneously. In that even the quality oef the interaction may become generalized and impersonal, or it may, by appropriate means, retain its person to person character. Artinya sifat manusiawi dari pendidikan (manusia dalam pendidikan) harus terpelihara demi kualitas proses dan hasil pendidikan. Pemeliharaan itulah yang menuntut agar pendidik siap untuk bertindak sewaktu-waktu secara kreatif (berkiat menciptakan situasi yang pas, apabila perlu. Misalnya atas dasar diagnostik klinis) sekalipun tanpa prognosis yang lengkap namun utamanya berdasarkan sikap afektif bersahabat terhadap terdidik. Kreativitas itu didasarkan kecintaan pendidik terhadap tugas mendidik dan mengajar, itu sebabnya gejala atau fenomena pendidikan tidak dapat direduksi sebagai gejala sosial atau gejala komunikasi timbal balik belaka. Apabila ilmu-ilmu sosial atau behavioral mampu menerapkan pendekatan dan metode ilmiah (Pearson, 1900) secara termodifikasi dalam telaah manusia melalui gejala-gejala sosial, apakah ilmu pendidikan harus bertindak serupa untuk mengatasi ketertinggalan- nya khususnya ditanah air kita ? Atau seperti dikatakan secara ilmiah oleh NL. Gage (1978:20), Scientific method can contribute relationships between variaboles, taken two at a time and even in the form of interactions, three or perhaps four or more at a time. Beyond say four, the usefulness of what science can give the teacher begins to weaken, because teacher cannot apply, at least not without help and not on the run, the more complex interactions. At this point, the teacher as an artist must step in and make clinical, or artistic, judgement about the best ways to teach.

Pendidik memang harus bertindak pada latar mikro termasuk dalam kelas atau di sekolah kecil, mempengaruhi peserta didik dan itu diapresiasi oleh telaah pendidikan berskala mikro, yaitu oleh paedagogik (teoritis) dan andragogi (suatu pedagogic praktis). Itu sebabnya ilmu pendidikan harus lebih inklusif daripada pengajaran (yang makro) lebih utama daripada mengajar dan mendidik. Penutup Landasan pendidikan secara mikro dan makro seperti diuraikan di atas sepertinya yang luput dari aplikasi maupun pemahaman dalam program nasionalisme di dunia pendidikan. Karena ia merupakan landasan yang semestinya berfungsi untuk mengikat kuat bentuk-bentuk nasionalisme yang menjadi tujuan, maka ketidakhdirannya akan meniadakan akar nasionalisme itu sendiri. Akibatnya, ketika guncangan itu terjadi, maka nasionalisme anak bangsa terlepas dari bumi pertiwi. Sampai kemudian prestasi sepakbola menjejakkannya ke bumi lagi. Sudah saatnya kita berpikir ulang tentang pola-pola baru menanamkan rasa nasionalisme kebangsaan bagi generasi mendatang. Penulis adalah Guru Besar USU dan STIK-P

LANDASAN TEORETIS
2. 1 Pengertian Nasionalisme 1. Menurut Ernest Renan: Nasionalisme adalah kehendak untuk bersatu dan bernegara. 2. Menurut Otto Bauar: Nasionalisme adalah suatu persatuan perangai atau karakter yang timbul karena perasaan senasib. 3. Menurut Hans Kohn, Nasionalisme secara fundamental timbul dari adanya National Counciousness. Dengan perkataan lain nasionalisme adalah formalisasi (bentuk) dan rasionalisasi dari kesadaran nasional berbangsa dan bernegara sendiri. 4. Menurut L. Stoddard: Nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang dimiliki oleh sebagian terbesar individu di mana mereka menyatakan rasa kebangsaan sebagai perasaan memiliki secara bersama di dalam suatu bangsa. 2. 2 Pengertian Patriotisme Patriotisme memiliki beberapa dimensi dengan berbagai istilah, namun Staub (1997) membagi patriotisme dalam dua bagian yakni blind dan constructive patriotism (patriotisme buta dan patriotisme konstruktif). Staub menyatakan patriotisme sebagai sebuah keterikatan (attachment) seseorang pada kelompoknya (suku, bangsa, partai politik, dan sebagainya). Keterikatan ini meliputi kerelaan seseorang dalam mengidentifikasikan dirinya pada suatu kelompok sosial (attachment) untuk selanjutnya menjadi loyal. Patriotisme buta didefinisikan sebagai sebuah kerikatan kepada negara dengan ciri khas tidak mempertanyakan segala sesuatu, loyal dan tidak toleran terhadap kritik. Patriotisme konstruktif didefinisikan sebagai sebuah keterikatan kepada bangsa dan negara dengan ciri khas mendukung adanya kritik dan pertanyaan dari

anggotanya terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan / terjadi sehingga diperoleh suatu perubahan positif guna mencapai kesejahteraan bersama. 2. 3 Pengertian Bangsa 1. Menurut Ernest Renan, bangsa terbentuk karena adanya keinginan untuk hidup bersama ( hasrat untuk bersatu ) dengan perasaan kesetiakawanan yang agung. 2. Menurut Otto Bauer, bangsa adalah kelompok manusia yang mempunyai kesamaan karakter, karakteristik tumbuh karena adanya kesamaan nasib. 3. Menurut F. Ratzel, bangsa terbentuk karena adanya hasrat bersatu. Hasrat itu timbul karena adanya rasa kesatuan antara manusia dan tempat tinggalnya (paham geopolitik). 4. Menurut Hans Kohn, bangsa adalah buah hasil tenaga hidup manusia dalam sejarah. Suatu bangsa merupakan golongan yang beraneka ragam dan tidak bisa dirumuskan secara eksak. 5. Menurut Jalobsen, Lipman, bangsa adalah suatu kesatuan budaya (cultural unity) dan kesatuan politik (political unity).

PENDIDIKAN DAN NASIONALISME


Oleh: Royani (Kordinator Gerakan Solidaritas Mahasiswa Anti Asing) Bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia raya.. Dalam undang-undang sistem pendidikan nasional (SISDIKNAS) telah diterangkan arti dari pendidikan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk menciptakan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik dapat aktif mengembangkan potensinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Jelas tersirat dalam pengertian diatas meskipun hanya secara definitif kita juga dapat melihat hakikat pendidikan yang tujuan akhirnya adalah sebuah bentuk pengabdian kita terhadap Negara. isu nasinalisme saat ini jarang sekali dikaitkan dengan pendidikan, meskipun system kurikulum pendidikan kita telah berubah dengan mengusung tiga aspek penting diantaranya adalah: kognitif, psikomotorik dan afektif. Ketiga nilai tersebut akan semakin mempertegas kita dalam melihat hasil kinerja sistem pendidikan kita yang baru.

Siswa tidak lagi hanya difokuskan akan kebutuhan kognitifnya saja, akan tetapi semua hal yang menyangkut pengembangan potensi kita sebagai manusia. Hubungan antara nasionalisme dan pendidikan Nasionalisme adalah salah satu sikap kecintan kita terhadap bangsa dan Negara yang kita diami, sebuah semangat dan kecintaan kita untuk tetap mempertahankan kesatuan Negara kita. Salah satu jalan untuk menunnjukkan akan kecintaan itu adalah dengan tidak membiarkan bangasa penjajah (asing) melakukan agresi, invasi dan bahkan ekploitasi terhadap bangsa kita baik dari segi teritorial, ekonomi social dan budaya. Termasuk yang belakangan terjadi dan ramai diperdebatkan adalah pencaplokan kawawsan sekitar Ambalat (Sipadan dan Ligitan) yang kembali di klaim malaysia sebagai daeerah kekuasaannya. Sampai pada perebutan harta kita yang paling berharga yakni kebudayaan warisan leluhur kita yang senantiasa kita pertahankan ujug-ujug diklaim sebagai budaya dari mereka. Pendidikan adalah salah satu hak mutlak yang kita harus kita dapatkan sebagai jalan untuk dapat terlepas dari marjinalisasi dan dapat berinteraksi dengan lingkungan social[i]. Salah satu implementasi dari undang-undang tersebut adalah perlakuan sistem kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan) yang tujuannya adalah memberikan hak otonomi dalam pendidikan (bukan privatisasi yang mengarah kepada eksploitasi dan komersialisasi). Hal ini akan semakin mudah mengembangkan siswa untuk berkembang sesuai dengan keahlian dan potensinya yang sangat kontekstual dengan lingkungan tempat tinggalnya. Dimensi lain juga disentuh dalam system pendidikan nasional yakni tentang unsur-unsur yang terlibat di dalamnya, seperti siswa/peserta didik, tenaga pengajar dan lembaga pendidikan yang berwenang dalam dunia pendidikan. [ii] Untuk itu kita harus kembali lagi kepada undang-undang kita yang membawa kita kepada sebuah kesimpulan bahwa pendidikan kita tidak lain adalah untuk memunculkan kembali rasa nasionalisme kita terhadap bangsa ini. Karena memang Dialah yang mengantarkan kita menjadi bangsa yang cerdas dan tidak akan pernah rela jika harta dan kekayaan bangsa ini dicuri oleh bangsa asing, sesuai yang termaktub dalam pembukaan UUD tahun 1945 mencerdaskan kehidupan bangsa. Kita tidak mau terjebak dengan hanya sebatas arti pendidikan yang mencerdaskan bangasa saja akan tetapi perlu ada penyadaran dari diri kita semua bahwa salah satu bentuk implementasi dari amanat konstitusi itu adalah bagaimana kita benar-benar mencintai bangsa dan Negara ini demi keutuhan NKRI. Salah satunya adalah menumbuhkan disiplin dalam belajar dan meningkatkan akuntabilitas kita sebagai insan pendidikan. Hal ini berlaku untuk semua unsur yang terlibat dalam dunia pendidikan. Apa dan siapapun itu. Karena memang sejatinya pendidikan itu bertujuan untuk menumbuhkan semangat nasionalisme kita demi keutuhan bangsa dan Negara ini. Singkatnya, jika kita telah dapat menumbuhkan rasa dan semangat nasionalisme dalam diri kita berarti kita telah mengikuti undang-undang dan sistem pendidikan kita telah berhasil mencapai tujuan yang hakiki. Karena jika hal tersebut dapat kita aplikasikan dalam setiap tindakan kita, Negara ini akan menjadi negara yang maju dan tangguh bukan hanya bagi bangsa Indonesia akan tetapi akan juga disegani oleh bangsa lain.

Realitas yang terjadi


Dunia pendidikan bangsa kita tidak pernah sepi dari fenomena-fenomena yang terkadang mencoreng nama pendidikan kita, sebut saja aksi kekerasan di SLA Medan, Kasus

STPDN/IPDN, sampai pada plecehan seksual yang dilakukan oknum guru terhadap siswisiswinya, dari sektor sarana dan prasarana juga negeri ini masih dinilai diskriminatif karena di beberapa daerah banyak terdapat sekolah-sekolah yang hampir roboh dan dapat membahayakan murid dan guru yang sedang melakukan aktifitas belajar mengajar. Untuk itulah sangatlah perlu penyadaran itu tumbuh di setiap warga Negara ini demi keutuhan bangsa dan negeri kita tercinta.

TRY OUT Kegiatan tryout menjelang Ujian Nasional pada dasarnya cukup positif dilaksanakan di sekolah-sekolah. Selain untuk mempersiapkan siswa agar mampu memprediksi soal-soal yang akan keluar, Tryout cukup berguna dalam mempersiapkan mental siswa. Dengan catatan, tryout dilaksanakan secara teratur dengan mekanisme yang tepat. Ini akan menjadi alat evaluasi bagi siswa sendiri dan para guru dalam KBM.Pada dasarnya, Ujian Nasional tidak hanya memerlukan kesiapan belajar, namun juga memerlukan kesiapan mental. Pengalaman penulis, banyak siswa yang telah mempersiapkan diri untuk belajar sebelumnya mengalami kegugupan ketika menghadapi soal, sehingga konsentrasi berpotensi buyar. Belum lagi dengan tekanan pengawas UN yang cukup strict dalam mengawasi siswa, sehingga siswa yang daya konsentrasi siswa yang lemah akan cukup terganggu. Maka, pelatihan mental pun perlu dalam mempersiapkan Ujian Nasional. Salah satu alternatif persiapan mental tersebut adalah dengan menyelenggarakan serangkaian tryout atau ujicoba ujian dengan suasana yang dirancang seperti UN yang sesungguhnya. Dengan tryout, para siswa dapat mengantisipasi kegugupan dan dapat merasakan suasana ujian hingga persiapan mental pun dapat dipersiapkan. Akan tetapi, tryout juga harus dilakukan dengan rutin dan dengan tingkat kesulitan soal yang lebih tinggi. Maka, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam persiapan ujian ini. Pertama, tryout harus dilakukan secara intens dengan diikuti oleh mekanisme evaluasi dan pembahasan materi-materi secara bertahap dan rutin. Tryout tidak cukup hanya dilaksanakan satu atau dua kali. Minimal, sekolah atau lembaga melakukan tryout sebanyak empat atau lima kali secara teratur. Tryout akan memberikan gambaran tingkat penyerapan serta kemampuan siswa dalam menjawab soal ujian. Kedua, soal tryout setidaknya diberikan dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi, dengan pendampingan pasca-tryout berupa pembahasan dan analisis soal oleh siswa. Sekolah patut berkaca pada soal-soal ujian tahun sebelumnya Pada tryout, sekolah dapat menaikkan tingkat kesulitan soal yang diberikan. Namun patut diingat, sekolah juga harus memfollow-up dengan analisis soal dan pembahasan. Sekolah patut menganalisis bagian mana yang menurut siswa sulit, sehingga evaluasi dapat dititikberatkan pada poin tersebut. Ketiga, tidak ada judgment sebelum pelaksanaan ujian ketika siswa ternyata belum dapat memenuhi kriteria kelulusan dalam tryout. Justru, sekolah harus lebih memprioritaskan pendampingan yang lebih intens bagi siswa yang kurang mampu, atau menganalisis bagianbagian soal. Hasil tryout tidak perlu ditempel di tempat terbuka dengan disaksikan para siswa, atau bahkan ditambahi dengan predikat lulus atau tidak lulus. Ada baiknya jika pengumuman dilakukan secara individual dengan analisis soal secara individu. Maka, penguasaan teknologi pendidikan sangat diperlukan oleh para guru dalam hal ini. Dengan demikian, tryout akan lebih efektif jika dilakukan dengan mekanisme yang efektif pula. Kesiapan belajar dan mental siswa akan menjadi sebuah ukuran efektivitas tersebut. Tryout memang bukan parameter kelulusan siswa, tetapi tryout dapat memacu siswa untuk mempersiapkan mentalnya dengan baik. Bukankah UN tidak hanya dihadapi dengan belajar, tetapi juga dengan mental?Untuk melihat kemampuan siswa SMP Negeri 1 Tumpang dalam kegiatan ini.

HOMESCHOOLING Dipandang dari sisi positif dan negatifnya, Homeschooling memiliki beberapa pertimbangan penting. Dilihat dari sisi positifnya yang pertama homeschooling mengakomodasi potensi kecerdasan anak secara maksimal karena setiap anak memiliki keberagaman dan kekhasan minat, bakat, dan ketrampilan yang berbeda-beda. Potensi ini akan bisa dikembangkan secara maksimal bila keluarga memfasilitasi suasana belajar yang mendukung di rumahnya sehingga anak didik benar-benar merasa at home dalam proses pembelajarannya. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar pendidikan yang bersifat informal dan sangat dipengaruhi faktor emosional. Dengan metode homeschooling ini anak didik tidak lagi dibatas oleh empat tembok kelas yang sesak dan mereka bisa memilih tema pembelajaran yang diinginkan mereka. Yang kedua, metode ini mampu menghindari pengaruh lingkungan negati yang mungkin akan di hadapi oleh anak di sekolah umum. Pergaulan bebas, tawuran, rokok dan obat-obat terlarang menjadi momok yang terus menghantui para orangtua, sementara mereka tak dapat mengawasi putra-putrinya sepanjang waktu. Dilihat dari sisi negatifnya, yang pertama, dikhawatirkan siswa yang mengikuti metode pendidikan ini akan teralienasi dari lingkungan sosialnya sehingga potensi kecerdasan sosialnya tidak muncul. Kekhawatiran ini disanggah oleh Dhanang Sasongko Sekjen Asah Pena (Asosiasi Sekolah-Rumah dan Pendidikan Alternatif) yang mengatakan bahwa adanya sekolah-rumah bukan berarti steril dari masyakat. Untuk mengatasi problem ini sering diadakan kegitan di luar seperti ke pasar dan panti-panti. Metode Sekolah-Rumah bukan berarti belajarnya di rumah terus tetapi bisa juga di luar rumah yang penting dalam pembelajan anak didik merasa at home atau krasan dan senang dengan tema pembelajaran yang diikutinya. Sehingga pembelajaran bisa berjalan alami dan mandiri. Yang kedua, Persoalan legalitas. Segudang pertanyaan muncul tentang bagaimana sikap dan pengakuan pemerintah tentang sekolah-rumah ini? Secara prinsip tidak ada masalah. Karena, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam pasal 27 ayat (1) dikatakan: Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Lalu pada ayat (2) dikatakan bahwa: Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dlam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah perserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. Jadi secara hukum kegitan persekolahan di rumah di lindungi oleh undang-undang. Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas Ella Yulaelawati Rumindasari menegaskan, UU SisDikNas mengakui sekolah-rumah sebagai bagian dari akses pendidikan. Depdiknas mendefinisikan sekolah-rumah sebagai proses layanan pendidikan yang secara sadar,teratur, dan terarah dilakukan oleh orangtua/keluarga di rumah atau tempat lain dimana proses belajar dapat berlangsung kondusif. Meskipun model persekolahan di rumah ini dijalankan secara informal orang tua yang menyelenggarakan homeschooling ini diwajibkan melaporkan kepada dinas pendidikan kabupaten atau kota setempat. Anak didik yang mengikuti homeschooling ini juga dapat mengikuti ujian kesetaraan paket A (setara dengan SD), paket B(setara dengan SMP) dan paket C (setara dengan SMU). Maraknya model pendidikan alternatif diantaranya homeschooling ini perlu ditimbang sebagai partisipasi masyarakat dalam perluasan akses pendidikan dan perbaikan metode

pembelajaran formal-konvensional yang cenderung bersifat kaku dan membosankan. Rasanya tidak perlu dipertentangkan mana yang lebih baik pendidikan formal atau informal. Sementara ini ini sayangnya pemerintah hanya mendukung sebatas legalitas formal melalui UU SisDikNas yang menggolongkannya sebagai bagian dari pendidikan informal (keluarga). Perlu adanya dukungan yang lebih luas dan mendalam agar tujuan pendidikan yang mulia dan ideal yaitu membentuk anak-anak didik menjadi insan yang bertaqwa, mempunyai akhlak yang mulia segera bisa diwujudkan di negeri kita yang tercinta ini.

Вам также может понравиться