Вы находитесь на странице: 1из 22

Askep Pada Pasien Miestania Gravis

1. PENDAHULUAN Miastenia gravis yang berarti kelemahan otot yang serius adalah satu-satunya penyakit neuromuscular yang menggabungkan kelelahan cepat otot volunteer dan waktu penyembuhan yang lama . Dahulu angka kematian mencapai 90%. Angka kematian menurun drastic sejak tersedia pengobatan dan unit perawatan pernapasan. Sindrom klinis pertama kali dijelaskan pada tahun 1600. Pada akhir tahun 1800-an, Miastenia gravis (MG) dibedakaan dari kelemahan otot akibat palsi bulbaris sebenarnya. Pada tahun 1920-an, seorang dokter yang menderita MG merasakan perbaikan setelah minum efedrin untuk mengatasi kejang perut saat menstruasi. Akhirnya pada tahun 1934, dokter lain dari Inggris (Mary Walker) memperhatikan kemiripan gejala pada MG dan keracunan kurare. Dia menggunakan fisostigmin antagonis kurare untuk mengobati MG dan mengamati perbaikan yang terjadi. Prevalensi MG diperkirakan 14 per 100.000 populasi, dengan 36.000 kasus terjadi di Amerika Serikat. Puncak usia awitan adalah 20 tahun, dengan rasio perbandingan antara perempuan dan laki-laki adalah 3 : 1. Puncak kedua walaupun lebih rendah daripada yang pertama, terjadi pada laki-laki tua usia dalam dekade tujuh puluhan atau delapan puluhan. Kematian umumnya disebabkan oleh insufiensi pernapasan, walaupun dengan perkembangan dalam perawatan intensif pernapasan, komplikasi ini lebih dapat ditangani. Remisi spontan dapat timbul pada 10% hingga 20% pasien dan dapat disebabkan oleh timektomi elektif pada pasien tertentu. Perempuan muda yang berada pada stadium dini penyakit ini (5 tahun pertama setelah awitan) dan yang tidak merespon terapi obat dengan baik sebagian besar mendapat keuntungan dari prosedur ini. 2. PENGERTIAN PENYAKIT Miastenia gravis merupakan gangguan yang memepengaruhi transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunteer). (Brunner and Suddarth 2002) Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang parah. Kondisi ini adalah satu-satunya penyakit neuromuscular yang merupakan kombinasi antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunteer dan lambatnya pemulihan yang dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal (Price dan Wilson, 2006).

Myasthenia gravis adalah gangguan autoimun yang merusak komunikasi antara syaraf dan otot, mengakibatkan peristiwa kelemahan otot. (http://medicastore.com/penyakit/328/Miastenia__Gravis_Myasthenia_Gravis.html) Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan, umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunteer, dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial. Serangan dapat terjadi pada berbagai usia dan terlihat paling sering pada wanita berusia 15-35 tahun serta pada pria 40-an tahun. 3. ETIOLOGI PENYAKIT Penyebabnya diduga merupakan gangguan autoimun (dimana antibody didalam tubuh menyerang sel ataupun jaringan yang membentuk antibody itu sendiri) yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efesiensi hubungan neuromuscular. Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepas sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan suatu kontraksi otot (otot dapat bergerak), tetapi pada miastenia gravis, jumlah reseptor asetilkolin berkurang atau asetilkolin yang dihasilkan terlalu cepat dihancurkan, akibat gangguan autoimun, sehingga kontraksi otot lemah. (Dr. Meiny. S. Lubis) (http://www.mer-c.org/penyakit-infeksi/202-miastenia-gravis-kelemahan-otot.html) 4. PATOFISIOLOGI PENYAKIT Dasar ketidaknormalan pada miestania gravis adalah adanya kerusakan pada transmisi impuls sraf menuju sel-sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal membrane postsinaps pada sambungan neuromuscular. Pada orang normal, jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan potensial aksi. Pada miestania gravis, konduksi neuromuscular terganggu. Jumlah reseptor asetilkolin berkurang, mungkin akibat cedera autoimun. Antibodi terhadap protein reseptor asetilkolin ditemukan dalam serum banyak penderita miestania gravis. Pada klien miestania gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak normal. Jika ada atrofi, hal ini akibat otot yang tidak pernah dipakai. Secara mikroskopis, beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot dan organ-organ lain, tetapi pada otot rangka tidak dapat ditemukan kelainan yang konsisten (Price dan Wilson, 2006) 5. MANIFESTASI KLINIS

Karakteristik penyakit berupa kelemahan otot ekstrem dan mudah mengalami kelelahan, yang umumnya memburuk setelah aktivitas dan berkurang setelah istirahat. Pasien dengan penyakit ini mengalami kelelahan hanya karena penggunaan tenaga yang sedikit seperti menyisir rambut, mengunyah dan berbicara, dan harus menghentikan segalanya untuk istirahat. Berbagai gejala yang muncul sesuai otot yang terpengaruh. Otot-otot simetris terkena, umumnya itu dihubungkan dengan saraf cranial. Karena otot-otot ocular terkena, maka gejala awal yang muncul adalah diplopia (penglihatan ganda) dan ptosis (jatuhnya klopak mata). Ekspresi wajah passion yang sedang tidur terlihat seperti patung, hal ini disebabkan karena otot-otot wajah terkena. Pengaruhnya terhadap laring menyebabkan disfonia (gangguan suara) dalam membentuk bunyi suara hidung atau kesukaran dalam pengucapan kata-kata. Kelemahan pada otot bulbar menyebabkan masalah mengunyah dan menelan dan adanya bahaya tersedak dan aspirasi. Beberapa pasien sekitar 15% sampai 20% mengeluh lemah pada tangan dan otot-otot lengan, dan biasanya berkurang, pada otot kaki mengalami kelemahan yang membuat pasien jatuh. Kelemahan diafragma dan otot-otot interkostal progresif menyebabkan gawat napas, yang merupakan keadaan darurat akut. (Brunner & Suddarth, 2002) 6. KOMPLIKASI Pada miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan, membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis krisis, yaitu: a. Krisis miastenik Krisis miastenik yaitu keadaan dimana dibutuhkan antikolinesterase yang lebih banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara cukup dan dapat dicetuskan oleh infeksi. Tindakan terhadap kasus demikian adalah sebagai berikut: - Kontrol jalan napas - Pemberian antikolinesterase - Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan (respirator), obat-obat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu, karena obat-obat ini dapat memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis kolinergik. Setelah krisis terlampaui, obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap, dan seringkali dosis dapat diturunkan. 2. Krisis kolinergik

Krisis kolinergik yaitu keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-obat antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial. Tindakan terhadap kasus demikianadalah sebagai berikut: - Kontrol jalan napas - Penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan atropine 1 mg intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika diberikan atropine, pasien harus diawasi secara ketat, karena secret saluran napas dapat menjadi kental sehingga sulit dihisap atau mungkin gumpalan lender dapat menyumbat bronkus, menyebabkan atelektasis. Kemudian antikolinesterase dapat diberikan lagi dengan dosis yang lebih rendah. - Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis. Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5 mg intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan sementara pada krisis miastenik, tetapi tidak akan memberikan perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala krisis kolinergik. 7. PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Antibodi anti-reseptor asetilkolin Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis, dengan demikian sangat berguna untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90% penderita miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit. b. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi) Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan lebih kurang 30% penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak ada antibodi ini dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma adlah sangat kecil. c. Tes tensilon (edrofonium klorida) Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya miastenia gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit),

menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih lama dari 5 menit. Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding antara miastenia gravis yang sesungguhnya dengan sindrom miastenik. Penderita sindrom miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan miastenia gravis, tetapi penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor pembeda yang penting. Penderita miastenia sejati biasanya muda, sedangkan sindrom miastenik biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenik biasanya akan hilang kalau patologi yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG. d. Foto dada Foto dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk melihat apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken tomografik. e. Tes Wartenberg Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg. Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang kedua mata beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang terkena menunjukkan ptosis. f. Tes prostigmin Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan intramuskular atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik. 8. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan MG ditentukan dengan meningkatkan fungsi pengobatan pada obat antikolinesterase dan menurunkan serta mengeluarkan sirkulasi antibodi. Terapi mencakup agensagens antikolinesterase dan terapi imunosupresif, yang terdiri dari plasmaferesis dan timektomi. a. Antikolinesterase Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan.

Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut. b. Steroid Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejalagejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus dihindari. c. Azatioprin Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan. d. Timektomi Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa hari pasca operasi dan

tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi paruparu. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik. e. Plasmaferesis Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik. 9. PATHWAY MIESTANIA GRAVIS

10. PENGKAJIAN a. Anamnesis Keluhan Utama Hal yang sering menyebabkan klien miastenia meminta bantuan medis adalah kondisi penurunan atau kelemahan otot-otot, dengan manifestasi: diplopia (pengelihatan ganda), ptosis (jatuhnya kelopak mata) merupakan keluhan utama dari 90% klien miastenia gravis, disfonia (gangguan suara), masalah menelan, dan mengunyah makanan. Pada kondisi berat keluhan utama biasanya adalah ketidakmampuan menutup rahang, ketidakmampuan batuk efektif dan dispnea. Riwayat Penyakit Sekarang Miestania gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika klien mencoba menelan (otot-otot palatum); menimbulkan suara abnormal atau suara nasal; dank lien tidak mampu menutup mulut yang disebut sebagai tanda rahang menggantung. Terserangnya otot otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan klien tidak mampu lagi membersihkan lender dari trakea dan cabang-cabangnya. Pada kasus lanjut, gelang bahu dan panggul dapat terserang pula; dapat pula terjasi semua kelemahan otot-otot rangka. Biasanya gejala-gejala miestania gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan dengan memberikan obat antikolinesterase. Riwayat Penyakit Dahulu

Kaji faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit yang memperberat kondisi miaestania gravis, seperti hiprertensi dan diabetes mellitus. Riwayat Penyakit Keluarga Kaji kemungkinan dari generasi terdahulu yang mempunyai persamaan dengan keluhan klien saat ini. Pengkajian Psikososiokultural Klien miestania gravis sering mengalami gangguan emosi pada kebanyakan klien kelemahan otot jika mereka berada dalam keadaan tegang. Adanya kelemahan pada kelopak mata ptosis, diplopia, dan kerusakan dalam komunikasi verbal menyebabkan klien sering mengalami gangguan citra diri. b. Pengkajian Fisik B1 (Breathing) Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk efektif, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien yang disertai adanya kelemahan otot-otot pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi atau stridor pada klien, menunjukkan adanya akumulasi secret pada jalan napas dan penurunan kemampuan otot-otot pernapasan. B2 (Blood) Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan untuk memantau perkembangan dari status kardiovaskular, terutama denyut nadi dan tekanan darahyang secara progresif akan berubah sesuai dengan kondisi tidak membaiknya status pernapasan. B3 (Brain) 1) Pengkajian Saraf Kranial Saraf I. Biasanya pada klien tidak ada kelainan, terutama fungsi penciuman Saraf II. Penurunan pada tes ketajaman penglihatan, klien sering mengeluh adanya penglihatan ganda. Saraf III, IV dan VI. Sering didapatkan adanya ptosis. Adanya oftalmoplegia, mimic dari pseudointernuklear oftalmoplegia akibat gangguan motorik pada nervus VI. Saraf V. Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat kelumpuhan pada otot-otot wajah. Saraf VII. Persepsi pengecapan terganggu akibat adanya gangguan motorik lidah. Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.

Saraf IX dan X. Ketidakmampuan dalam menelan. Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Saraf XII. Lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi akibat kelemahan otot motorik pada lidah.

2) Pengkajian Sistem Motorik Karakteristik utama miestania gravis adalah kelemahan dari system motorik. Adanya kelemahan umum pada oto-otot rangka memberikan manifestasi pada hambatan mobolitas dan intoleransi aktivitas. 3) Pengkajian Refleks Pemeriksaan reflex profunda, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat reflex pada respons normal. 4) Pengkajian Sistem Sensorik Pemeriksaan sensorik pada penyakit ini biasanya didapatkan sensasi raba dan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh. B4 (Bladder) Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya menunjukkan berkurangnya volume pengeluaran urin, yang berhubungan dengan penurunan perfuusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. B5 (Bowel) Mual sampai muntah akibat peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien miestania gravis menurun karena ketidakmampuan menelan makanan sekunder dari kelemahan otot-otot menelan. B6 (Bone) Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan pada mobilitas dan mengganggu aktivitas perawatan diri. (Arif Muttaqin, 2008) 11. DIAGNOSE KEPERAWATAN 1) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi secret, kemampuan batuk menurun 2) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan 3) Resiko tinggi aspirasi berhubungan dengan penurunan control tersedak dan batuk efektif 4) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan menelan

5) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot-otot volunter 6) Gangguan komunikasi verbal berhubungan disfonia, gangguan berbicara. 7) Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal 8) Resiko cedera berhubungan dengan diplopia dan kelemahan otot-otot volunteer 9) Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan otot 12. RENCANA KEPERAWATAN

1.

BERSIHAN JALAN NAPAS TIDAK EFEKTIF BERHUBUNGAN DENGAN AKUMULASI

SECRET, KEMEMPUAN BATUK MENURUN

Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan jalan napas kembali efektif Kriteria : Secara subyektif sesak napas (-), frekuensi napas 16-20 kali/mnt, tidak menggunakan otot bantu napas, retraksi ICS (-), ronki (-/-), mengi (-/-), dapat mendemonstrasikan cara batuk efektif. INTERVENSI Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan, perubahan irama dan kedalaman, penggunaan otot aksesori, warna dan kekentalan spuntum. RASIONAL Memantau dan mengatasi komplikasi potensial. Pengkajian fungsi pernapasan dengan intervalyang teratur adalah penting karena pernapasan yang tidak efektif dan adanya kegagalan, karena adanya kelemahan atau paralisis pada otot-otot interkostal dan Atur posisi fowler dan semifowler diafragma yang berkembang dengan cepat. Peninggian kepala tempat tidur memudahkan pernapasan, meningkatkan ekspansi dada dan Ajarkan cara batuk efektif meningkatkan batuk lebih efektif. Klien berada pada risiko tinggi jika tidak dapat batuk dengan efektif untuk membersihkan jalan napas dan mengalami kesulitan dalam menelan, yang dapat menyebabkan aspirasi saliva dan mencetuskan Lakukan fisioterapi dada; vibrasi dada Lakukan penghisapan lender di jalan napas gagal napas akut. Terapi fisik dada membantu meningkatkan batuk lebih efektif. Penghisapan mungkin diperlukan untuk mempertahankan kepatenan jalan napas Penuhi hidrasi cairan via oral, seperti minum air putih, dan pertahankan asupan cairan 2500 ml/hari
2.

menjadi bersih. Pemenuhan cairan dapat mengencerkan mucus yang kental dan dapat membantu pemenuhan cairan yang banyak keluar dari tubuh.

POLA NAPAS TIDAK EFEKTIF BERHUBUNGAN DENGAN KELEMAHAN OTOT PERNAPASAN

Tujuan : Setelah diberikan tindakaan keperawatan diharapkan pola napas kembali efektif Kriteria : : Secara subyektif sesak napas (-), frekuensi napas 16-20 kali/mnt, tidak menggunakan otot bantu napas, gerakan dada normal. INTERVENSI RASIONAL Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas Menjadi bahan parameter monitoring tambahan, perubahan irama dan kedalaman, penggunaan otot aksesori Evaluasi keluhan sesak napas, baik secara verbal dan nonverbal. serangangagal napas dan menjadi data dasar intervensi selanjutnya. Tanda dan gejala meliputi adanya kesulitan bernapas saat berbicara, pernapasan dangkal dan ireguler, menggunakan otot-otot

DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer .C, Bare.G. 2002. Buku Ajar KEPERAWATA MEDIKAL BEDAH Bruner & Suddarth Volume 3. Edisi 8. EGC. Doengoes, Marilynn E, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta:EGC. Price, Sylvia A, dkk. 2006. PATOFISIOLOGI Volume 2. Edisi 6. Jakarta:EGC. Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika Dr. Meiny. S. Lubis.http://www.mer-c.org/penyakit-infeksi/202-miastenia-gravis-kelemahanotot.html

Miastenia Gravis undefined undefined

Miastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang dapat dijumpai pada anak, orang dewasa, dan pada orang tua. Sindrom klinis ini dikemukakan pertama kali pada tahun 1600. Pada akhir tahun 1800an miastenia gravis mulai dibedakan dari kelemahan otot akibat paralysis bulbar. Pada tahun 1920 seorang dokter yang menderita miastenia gravis merasa ada perbaikan sesudah ia meminum obat efedrin yang ditujukan untuk mengatasi kram menstruasi. Akhirnya pada tahun 1934 Mary Walker, seorang dokter dari Inggris melihat adanya gejala-gejala yang serupa antara miastenia gravis dan keracunan kurare. Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu fisostigmin untuk mengobati miastenia gravis dan ternyata ada kemajuan-kemajuan yang nyata. Miastenia gravis banyak timbul antara umur 10-30 tahun. Pada umur dibawah 40 tahun miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 40 tahun lebih banyak pada pria (Harsono, 1996). Insidens miastenia gravis di Amerika Serikat sering dinyatakan sebagai 1 dalam 10.000. Tetapi beberapa ahli menganggap angka ini terlalu rendah karena sesungguhnya banyak kasus yang tidak pernah terdiagnosis (Patofisiologi, 1995). Tingkat kematian pada waktu lampau dapat sampai 90%. Kematian biasanya disebabkan oleh insufisiensi pernafasan. Jumlah kematian telah berhasil dikurangi secara drastic sejak tersedia obatobatan serta unit-unit perawatan pernapasan. Remisi spontan dapat terjadi pada 10% hingga 20% pasien dan dapat dicapai dengan melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu. Yang paling cocok untuk menjalani cara ini adalah wanita muda yang masih dini keadaannya (5 tahun pertama setelah awitan) dan tidak berespon baik dengan pengobatan. 2.1. Definisi Istilah miastenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Miastenia gravis merupakan satusatunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Miastenia gravis ialah gangguan oto-imun yang menyebabkan otot skelet menjadi lemah dan lekas lelah1. Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan kelelahan otototot rangka akibat defisiensi reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuskular3. 2.2. Patofisiologi Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada

membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase. Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama. Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara radiologis kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda cenderung menderita hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot dipergunakan terus-menerus3. Pembuktian etiologi oto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa kelenjar timus mempunyai hubungan erat. Pada 80% penderita miastenia didapati kelenjar timus yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita-penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus tanpa perubahan di jaringan limfoster lainnya5. 2.3. Manifestasi Klinis Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, miastenia gravis diduga merupakan gangguan otoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuskular. Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada sekelompok otot tertentu saja. Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan local yang ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya terdapat gejala kelainan okular disertai kelemahan otot-otot lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa disertai gejala kelainan okular jarang ditemukan dan terdapat kira-kira 20% penderita didapati kesulitan mengunyah dan menelan. Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan ptosis dan diplopia. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral. Setelah beberapa minggu sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis ocular). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore atau malam. Pada pagi hari orang sakit tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak terbebas dari kesulitan penglihatan.

Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau bilateral, salah satu otot okular paretik, paresis N III interna (reaksi pupil).Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun otot levator palpebra jelas lumpuh pada miastenia gravis, namun adakalanya masih bisa bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Bila penyakit hanya terbatas pada otototot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian. Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada pemeriksaan dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral yang bersifat LMN, kelemahan otot pengunyah, paresis palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-otot farings dan lidah. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang yang menggantung .Kelemahan otot non-bulbar umumnya dijumpai pada tahap yang lanjut sekali. Yang pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan. Kemudian otototot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi otot ringan dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi8. Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu lagi membersihkan lendir. Biasanya gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan dengan memberikan obat antikolinesterase. Gejala-gejala dapat menjadi lebih atau mengalami eksaserbasi oleh sebab: 1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama siklus haid atau gangguan fungsi tiroid. 2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan infeksi yang disertai diare dan demam. 3. Gangguan emosi, kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka berada dalam keadaan tegang. 4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin, suatu obat yang mempermudah terjadinya kelemahan otot, dan obat-obat lainnya3. 2.4. Klasifikasi Klasifikasi klinis miastenia gravis dapat dibagi menjadi3: 1. Kelompok I: Miastenia okular Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada kasus kematian.

2. Kelompok IIA: Miastenia umum ringan Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka kematian rendah. 3. Kelompok IIB: Miastenia umum sedang Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan miastenia gravis umum ringan. Otot-otot pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktifitas pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah. 4. Kelompok III: Miastenia berat akut Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Respons terhadap obat buruk. Insiden krisis miastenik, kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi. 5. Kelompok IV: Miastenia berat lanjut Miastenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejala-gejala kelompok I atau II. Miastenia gravis berkembang secara perlahan-lahan atau secara tiba-tiba. Respons terhadap obat dan prognosis buruk. Disamping klasifikasi tersebut di atas, dikenal pula adanya beberapa bentuk varian miastenia gravis, ialah1: 1. Miastenia neonatus Jenis ini hanya bersifat sementara, biasanya kurang dari bulan. Jenis ini terjadi pada bayi yang ibunya menderita miastenia gravis, dengan kemungkinan 1:8, dan disebabkan oleh masuknya antibodi antireseptor asetilkolin ke dalam melalui plasenta. 2. Miastenia anak-anak (juvenile myastenia) Jenis ini mempunyai karakteristik yang sama dengan miastenia gravis pada dewasa. 3. Miastenia kongenital Biasanya muncul pada saat tidak lama setelah bayi lahir. Tidak ada kelainan imunologik dan antibodi antireseptor asetilkolin tidak ditemukan. Jenis ini biasanya tidak progresif. 4. Miastenia familial

Sebenarnya, jenis ini merupakan kategori diagnostik yang tidak jelas. Biasa terjadi pada miastenia kongenital dan jarang terjadi pada miastenia gravis dewasa. 5. Sindrom miastenik (Eaton-Lambert Syndrome) Jenis ini merupakan gangguan presinaptik yang dicirikan oleh terganggunya pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf. Sering kali berkaitan dengan karsinoma bronkus (small-cell carsinoma). Gambaran kliniknya berbeda dengan miastenia gravis. Pada umumnya penderita mengalami kelemahan otot-otot proksimal tanpa disertai atrofi, gejala-gejala orofaringeal dan okular tidak mencolok, dan refleks tendo menurun atau negatif. Seringkali penderita mengeluh mulutnya kering. 6. Miastenia gravis antibodi-negatif Kurang lebih daripada penderita miastenia gravis tidak menunjukkan adanya antibodi. Pada umumnya keadaan demikian terdapat pada pria dari golongan I dan IIB. Tidak adanya antibodi menunjukkan bahwa penderita tidak akan memberi respons terhadap pemberian prednison, obat sitostatik, plasmaferesis, atau timektomi. 7. Miastenia gravis terinduksi penisilamin D-penisilamin (D-P) digunakan untuk mengobati arthritis rheumatoid, penyakit Wilson, dan sistinuria. Setelah penderita menerima D-P beberapa bulan, penderita mengalami miastenia gravis yang secara perlahan-lahan akan menghilang setelah D-P dihentikan. 8. Botulisme Botulisme merupakan akibat dari bakteri anaerob, Clostridium botulinum, yang menghalangi pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf motorik. Akibatnya adalah paralisis berat otot-otot skelet dalam waktu yang lama. Dari 8 jenis toksin botulinum, tipe A dan B paling sering menimbulkan kasus botulisme. Tipe E terdapat pada ikan laut (see food). Intoksikasi biasanya terjadi setelah makan makanan dalam kaleng yang tidak disterilisasi secara sempurna. Mula-mula timbul mual dan muntah, 12-36 jam sesudah terkena toksin. Kemudian muncul pandangan kabur, disfagia, dan disartri. Pupil dapat dilatasi maksimal. Kelemahan terjadi pola desendens selama 4-5 hari, kemudian mencapai tahap stabil (plateau). Paralisis otot pernapasan dapat terjadi begitu cepat dan bersifat fatal. Pada kasus yang berat biasanya terjadi kelemahan otot ocular dan lidah. Sebagian besar penderita mengalami disfungsi otonom (mulut kering, konstipasi, retensi urin). 2.5. Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Penting sekali untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari miastenia gravis. Diagnosis dapat dibantu dengan meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai timbul tanda-tanda kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik sebagai berikut:

1. Antibodi anti-reseptor asetilkolin Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis, dengan demikian sangat berguna untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90% penderita miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit. 2. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi) Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan lebih kurang 30% penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak ada antibodi ini dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma adlah sangat kecil. 3. Tes tensilon (edrofonium klorida) Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya miastenia gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih lama dari 5 menit. Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding antara miastenia gravis yang sesungguhnya dengan sindrom miastenik. Penderita sindrom miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan miastenia gravis, tetapi penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor pembeda yang penting. Penderita miastenia sejati biasanya muda, sedangkan sindrom miastenik biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenik biasanya akan hilang kalau patologi yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG. 4. Foto dada Foto dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk melihat apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken tomografik. 5. Tes Wartenberg Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg. Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang kedua mata beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang terkena menunjukkan ptosis. 6. Tes prostigmin Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan intramuskular atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik.

2.6. Terapi 1. Antikolinesterase Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut. 2. Steroid Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejalagejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus dihindari. 3. Azatioprin Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan. 4. Timektomi

Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi paruparu. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik. 5. Plasmaferesis Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik. 2.7. Krisis Pada Miastenia Gravis Pada miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan, membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis krisis, yaitu: 1. Krisis miastenik Krisis miastenik yaitu keadaan dimana dibutuhkan antikolinesterase yang lebih banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara cukup dan dapat dicetuskan oleh infeksi. Tindakan terhadap kasus demikian adalah sebagai berikut: - Kontrol jalan napas - Pemberian antikolinesterase - Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan (respirator), obat-obat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu, karena obat-obat ini dapat memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis kolinergik. Setelah krisis terlampaui, obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap, dan seringkali dosis dapat diturunkan. 2. Krisis kolinergik Krisis kolinergik yaitu keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-obat antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol dengan obatobatan dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial. Tindakan terhadap kasus demikianadalah sebagai berikut:

- Kontrol jalan napas - Penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan atropine 1 mg intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika diberikan atropine, pasien harus diawasi secara ketat, karena secret saluran napas dapat menjadi kental sehingga sulit dihisap atau mungkin gumpalan lender dapat menyumbat bronkus, menyebabkan atelektasis. Kemudian antikolinesterase dapat diberikan lagi dengan dosis yang lebih rendah. - Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis. Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5 mg intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan sementara pada krisis miastenik, tetapi tidak akan memberikan perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala krisis kolinergik. Kesimpulan 1. Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan kelelahan otot yang bersifat progresif, dimulai dari otot mata dan berlanjut keseluruh tubuh hingga ke otot pernapasan. 2. Miastenia gravis disebabkan oleh kerusakan reseptor asetilkolin pada hubungan neuromuskular akibat penyakit otoimun. 3. Gejala utama miastenia gravis adalah kelemahan otot setelah mengeluarkan tenaga yang sembuh kembali setelah istirahat. 4. Diagnosis miastenia gravis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan gambaran klinis, serta tes diagnostik yang terdiri atas: antibodi anti-reseptor asetilkolin, antibodi anti-otot skelet, tes tensilon, foto dada, tes wartenberg, dan tes prostigmin. 5. Pengobatan miastenia gravis adalah dengan menggunakan obat-obat antikolinesterase yang kerjanya menghancurkan asetilkolin. DAFTAR PUSTAKA 1. Harsono, 1996, Buku Ajar Neurologi klinis 2nded., Gajah Mada University Press, Yogyakarta 2. Howard, J.F., 1997, Department of Neurology, The University of North Carolina at Chapol Hill. http://www.myasthenia.org/information/summary.htm 3. Lombardo,M.C., 1995, Penyakit Degeneratif dan Gangguan Lain Pada Sistem Saraf, dalam S.A. Price, L.M. Wilson, (eds), Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit 4th ed., EGC, Jakarta 4. Mardjono, M., 2003, Neurologi Klinis Dasar 9th ed., hal 55,149,348, Dian Rakyat, Jakarta

6. Murray, R.K., 1997, Dasar Biokimiawi Beberapa Kelainan Neuropsikiatri, dalam R.K. Murray, D.K. Granner, P.A. Mayes, V.W. Rodwell, (eds), Biokimiawi Harper 24th ed., EGC, Jakarta 7. NINDS Myasthenia Gravis Fact Sheet, 2003. http://www.ninds.nih.gov/health_and_medical/pubs/myastheniagravis.htm 8. Sidharta, P., 1999, Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum, hal 129,142, 167, 174, 421, Dian Rakyat, Jakarta 9. Sidharta, P., 1999, Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi, hal 139, 280, 317, 366, 390, 421, 576, Dian Rakyat, Jakarta 10. Walshe III, T.M., 1995, Disease of Nerve And Muscle, dalam M.A. Samuels, (eds), Manual Of Neurologic Therapeutics 5th ed., Little brown And Company, London

Вам также может понравиться