Вы находитесь на странице: 1из 15

Beragama Di Kala Duka

(Maiyah dan Pendidikan Nasional)


Ditulis pada 18/04/2012 oleh Saratri Wilonoyudho Kalau tiba-tiba ada seseorang yang menghampiri Anda, kemudian orang tersebut minta dibelikan baju, sepatu, atau bahkan kendaraan, bagaimana kira-kira tanggapan Anda? Padahal orang itu hanya Anda kenal di jalan, atau paling kalau berpapasan hanya saling mengangguk tanpa tegur sapa yang panjang, apalagi bincang-bincang penuh kemesraan? Selanjutnya jika Anda bersahabat dengan seseorang, dan orang itu tiap hari senantiasa menunjukkan kehangatan cinta kepada Anda, berbincang ria dalam suka dan duka, dan tiba-tiba orang itu mengalami kesulitan, kira-kira apa yang akan Anda lakukan terhadap orang itu, meski dia tidak mengungkapkannya langsung kepada Anda? Kalau Anda orang normal pasti tanpa disuruh pun akan membantunya, bahkan mungkin lebih dari yang ia butuhkan. Mengapa? Jawabnya sederhana, yakni karena ada hubungan cinta yang mesra. Demikian juga jika ini menyangkut Allah. Bagaimana mungkin Allah akan mengabulkan atau setidaknya memberkahi kita kalau kita tidak rajin menyapa-Nya? Jarang bertemu dengan-Nya? Tidak pernah menempatkan-Nya di hati kita setiap saat? Benar dan pasti Allah memang maha rahman, yakni mencintai umat manusia dan segala ciptaan-Nya. Namun kali ini kita sedang berbicara soal dialektika cinta dengan-Nya. Cinta Allah memang meluas (rahman), namun juga mesti diingat, bahwa Ia akan memberi barokah hanya kepada orang-orang yang memang sudah menyiapkan hati dan jiwanya untuk tempat persemayaman-Nya. Hanya orang-orang yang rajin menyapa Allah saja yang akan menerima barokah ini. Sialnya kita selama ini hanya diajarkan untuk selalu meminta kepada-Nya, seakan Allah itu hanya sesosok sinterklas. Padahal Allah sangat ingin bermesraan dengan kita dan Ia juga sangat ingin manusia bermanja-manjaan dengan-Nya. Mengapa hal ini saya tanyakan? Sederhana saja, dalam kehidupan keseharian, kita perlu bertanya kepada diri sendiri, apakah kita selama ini sudah menjalin cinta yang mesra dengan Allah SWT? Fenomena menjelang ujian nasional (misalnya) menunjukkan, bahwa dunia pendidikan juga alpa membentuk pondasi kemesraan dengan Allah sebagai pendamping hidup dan sistem nilai untuk mengoperasikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Menjelang ujian nasional terlihat banyak sekolah yang menyelenggarakan istighosah massal yang melibatkan seluruh siswa peserta ujian nasional, guru, bahkan orangtua siswa.

Umumnya istighosah diselenggarakan pada malam hari, mengundang kiai khos atau ulama yang dianggap sakti untuk memimpin dan menodong Allah lewat acara tersebut. Siswa, guru, dan semua orang tua siswa, larut dalam rengekan cengeng yang dikemas secara religius, dengan jalan berdoa massal yang disertai tangisan sesenggukan. Di tingkat nasional juga setali tiga uang, istilah dzikir akbar atau doa nasional, dst sering diselenggarakan. Bahkan yang hadir seluruh jajaran pimpinan nasional, ulama khos, masyarakat dan tamu undangan. Mereka terlihat sangat religius dengan baju dan peci putih, seakan manusia yang suci. Dari kejauhan Jibril dan para malaikat (barangkali) hanya geleng-geleng saja dan bergumam, Ono-ono ae arek-arek iki. Nyenengke tenan urip neng Indonesia (Ada-ada saja anak-anak ini. Menyenangkan hidup di Indonesia). Sementara dari kejauhan pula para setan dan iblis berucap singkat, asuuu(mengingat kerja keras mereka dalam menjerumuskan manusia Indonesia malah berakhir pujian dari Jibril dkk). Istighosah, zikir akbar, doa nasional, mujahadah, dst, terlepas apapun alasannya merupakan kegiatan yang sangat baik. Masalahnya dalam kasus istighosah menjelang ujian nasional, ada satu pertanyaan penting: apakah benar ujian nasional itu meneror sedemikian berat dan kelak akan berhubungan dengan pengadilan Allah, sehingga anak-anak harus diajari bertobat kemudian menodong Allah. Bukankah ujian apapun namanya hanya peristiwa biasa yang harus dialami para siswa. Ujian adalah tahapan untuk memahami apakah siswa sudah dapat mencapai standar kompetensi tertentu dalam menerima pelajaran. Dalam sistem pendidikan kita banyak kerancuan terjadi. Pendidikan dipahami hanya sebatas peristiwa pengajaran, itu pun hanya yang paling dangkal. Guru masih bermental mengajar, sehingga jarang tampil sebagai fasilitator atau motivator, apalagi sebagai penggugah atau penantang yang membuat murid gelisah sehingga mereka tertantang untuk lebih rajin iqro agar kelak lebih dahsyat dari gurunya. Para guru lupa mengingatkan kepada muridnya bahwa Allah hanya akan meninggikan beberapa derajad orang yang berilmu pengetahuan. Sialnya yang dikejar murid dan dianjurkan oleh sistem pendidikan umumnya hanya untuk mencari sesobek ijazah dan bukan ilmu pengetahuan. Wajar Allah akhirnya tidak memberi derajad kepada mereka. Dengan kata lain, pendidikan hanya dimaknai sebatas mencari ijazah untuk bekal menjadi bagian yang sangat patuh di sekrup birokrasi atau kapitalisme, tanpa humanisme, apalagi religiusitas yang mendalam.

Akhirnya pendidikan banyak mereduksi kreativitas dan daya juang siswa karena dibatasi pagar-pagar birokrasi dan sistem ujian atau kurikulum yang justru malah melemahkan potensi unggul yang sebenarnya diberikan Allah (ahsan taqwim). Istighosah sadar atau tidak akhirnya hanya menunjukkan ada tawar menawar yang bersifat pragmatis belaka, dan bukan sebuah peristiwa religiusitas atau hubungan kemesraan antara Allah dan hamba-Nya. Kalau tudingan saya ini benar, maka berarti hal ini adalah bagian kelemahan dari sistem pendidikan nasional. Dalam dunia persekolahan tidak diajarkan bagaimana murid mampu menemukan Tuhan, bahkan lewat pelajaran agama sekalipun. Pelajaran agama banyak yang diarahkan hanya kepada pemahaman hafalan fiqh, itu pun yang sangat dangkal, dan tidak diajarkan menemukan Allah, atau menanamkan cinta agar Allah menjadi tuan rumah di hati para murid. Pelajaran agama menjadi hanya pelajaran tentang agama, dan tidak lebih dari itu. Murid hanya dikenalkan hitungan untung rugi dalam beragama, pahala-dosa, surganeraka, halal-haram, dst. Tentu saja saya sedang tidak mengatakan bahwa pelajaran itu tidak penting. Saya hanya ingin menandaskan bahwa jika materi pelajaran itu sudah mendominasi, maka pelajaran agama akan tidak banyak berarti untuk membentuk pribadi murid menjadi manusia yang ahsani taqwim, makhluk yang hanya mencintai dan meletakkan Allah dan Rasul-Nya di hati mereka. Kasus fenomena istighosah seakan menunjukkan bahwa murid hanya dipertemukan kepada Allah sekali setahun saja, yakni menjelang ujian nasional, itupun dalam hitungan untung rugi. Kita hanya menjadi pihak yang meminta saja tanpa memberi kepada Allah. Ada satu kerancuan yang serius dalam dunia pendidikan, yakni seakan masalah agama atau ketuhanan hanya diserahkan kepada guru agama, sehingga guru mata pelajaran yang lain, seperti Fisika, Matematika, Kimia, dst, tidak berkewajiban mengenalkan Tuhan kepada para murid. Padahal melalui pelajaran Fisika misalnya, para guru sekaligus juga dapat menanamkan religiusitas dan rasa cinta kepada Allah. Ketika guru Fisika menerangkan sub pokok bahasan pelajaran tentang tata surya misalnya, guru juga dapat secara langsung menghubungkannya dengan kebesaran Allah, atau kalau itu di sekolah Islam, langsung dapat dikaitkan dengan ayat-ayat di Al Qur`an yang demikian komplit mengabarkan ilmu astronomi. Ini berarti mata pelajaran yang dianggap sekuler seperti Fisika, Kimia, Matematika, Biologi, dst dapat digunakan sebagai media untuk menanamkan rasa cinta siswa kepada Allah. Ini adalah salah satu cara yang paling mengena agar siswa mendapatkan pondasi ketuhanan yang kuat.

Mengapa hal ini saya tekankan? Sederhana saja, usia SD, SMP, dan SMA adalah usia yang paling kritis untuk ditanami religiusitas. Kehancuran dan kemunduran negeri ini bermuara dari kealpaan para pemimpin yang benar-benar menempatkan Allah dan Rasulullah di dalam hatinya. Para pemimpin, ilmuwan, birokrat, pedagang, pengusaha, dst, adalah pilar bangsa yang harus meletakkan Allah dan Rasul-Nya di dalam hatinya. Jika ini alpa, yang terjadi adalah malapetaka karena negara dan masyarakat tidak berada dalam jalur menuju jalan-Nya. Dalam Maiyah ada pandangan bahwa tujuan kita adalah ilaihi rojiun, semua kembali kepada-Nya melalui ibadah di dunia ini. Dus, ilmu yang diperoleh dari dunia pendidikan adalah metoda untuk beribadah agar kita menjadi khalifah yang rahmatan lil alamin. Dengan demikian, anak usia remaja tersebut mesti menjadi bidang garapan yang serius untuk disiapkan menjadi pemimpin yang paham, tidak saja paham betul tentang negara, ilmu pengetahuan dan teknologi, namun juga paham dan tahu kepada dari mana asalnya saya ini, untuk apa hidup ini, mau kemana setelah mati, dst. Singkatnya, pelajaran di sekolah apapun namanya harus sanggup menanamkan tiga hal sekaligus: 1). Keterampilan hidup; 2). Nilai-nilai hidup dan pandangan hidup; 3). Religiusitas Para murid mestinya selalu dibimbing dan diarahkan untuk tidak salah dalam menyikapi hidup ini dan jangan sampai keliru, agar mereka kelak tidak menciptakan tuhan baru dalam hidupnya. Jika kita mampu mendidik siswa dengan benar, maka Insya Allah sekularisasi bakal terhindar. Di Maiyah sudah berkali-kali diserukan bahwa yang disebut sekular bukan hanya orang yang mengurusi dunia melulu tanpa memperhatikan akhirat dan atau agama. Artinya: dunia ya dunia; kerja ya kerja; politik ya politik, jangan kita hubungkan dengan yang namanya agama. Agama itu bersifat privat antara kita dengan Tuhan. Dalam Maiyah, yang dinamakan sikap sekular/sekularisme adalah tidak hanya sikap/pandangan hidup yang memisahkan antara dunia dengan agama saja tetapi sikap yang memisahkan antara agama dengan dunia juga merupakan sikap sekular. Jadi kalau ada orang yang kelihatannya alim, sholeh, bekerjanya ibadah saja tanpa memperhatikan dunia atau lingkungannya (yang selama ini kita anggap orang yang seperti itu bersikap religius), ternyata itu juga merupakan orang sekuler karena tuntunan agama memerintahkan kita harus seimbang antara dunia dengan akherat/agama. Antara meninggi dengan meluas. Antara vertikal dengan horizontal. Untuk menggambarkan bahwa sejak dulu pemisahan antara iptek dan humaniora juga sudah terjadi, apalagi dengan Tuhan. Dahulu para praktisi bengkel seperti

Graham Bell, James Watt, Edison, Wright bersaudara, dst, seolah mengejek sistem pendidikan di Inggris yang sangat elitis dan aristokratis, serta tidak membumi. Para praktisi bengkel tersebut yang mengubah dunia melalui Revolusi Industri. Hasilhasil penemuan James Watt dkk tersebut langsung diterapkan dan menggerakkan roda industri hingga saat ini. Sementara para aristokrat di universitas-universitas bergengsi hanya ada di awang-awang dan sangat arogan dengan ilmu yang hanya berupa kelangenan itu (Lord CP. Snow, The Two Cultures and the Scientific Revolution, 1959). Para ilmuwan hanya asyik berdebat memamerkan keunggulan masing-masing antara ilmuwan sains dan ilmuwan humaniora. Bagi Snow, tujuan pendidikan adalah: 1). Menghasilkan ilmuwan yang supra cumlaudesebanyak mungkin; 2). Melatih ilmuwan agar dapat membuat penelitian, membuat perencanaan, dan pengembangan; 3). Melatih ilmuwan dan ahli teknik lainnya; dan yang lebih penting 4). Melatih politikus (termasuk pemerintah), pegawai, dan seluruh lapisan masyarakat untuk memahami ilmu pengetahuan sehingga dapat memahami apa yang dikehendaki para ilmuwan. Ilmu dan teknologi hanya know how atau keterampilan teknis, dan ini belum ada tujuan, baru sebuah potensi. Adalah amat membahayakan jika menyerahkan kekuasaan yang besar ini kepada yang tidak mengetahui cara menerapkannya. Know how adalah kalimat belum selesai dan belum merupakan sebuah kebudayaan. Sains tidak dapat melahirkan ide yang dapat digunakan untuk hidup. Demikian pula Koestler dalam Act of Creation, mengatakan bahwa untuk memperoleh kenikmatan dari seni penemuan (ilmiah) sebagaimana seni lainnya, para konsumen dalam hal ini (maha)siswa harus dibuat menghayati kembali dalam batas tertentu, proses kreatif. Pernyataan ini belum cukup. Di Maiyah ada pernyataan bahwa kalau bangsa ini ingin kembali kepada kejayaannya, maka menggarap sistem pendidikan yang komplet sebagaimana cara pandang Maiyah tersebut di atas sangat penting artinya. Tentunya Vertikal dan Horisontal, Keatas dan Menyamping mempunyai berjuta makna tergantung siapa yang menafsirkannya. Untuk menemukan aku sejati dan menemukan Tuhan mau tidak mau harus menjadi kurikulum yang tak terpisahkan dengan pelajaran sekuler lainnya seperti ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya kita ingat Tuhan tidak hanya pada saat berduka, namun Tuhan selalu ada di hati kita (sohibu baiti). Sudahkah dunia pendidikan merancang kurikulum komplet seperti ini? Jika tidak, kegagalan Revolusi Industri di atas akan semakin parah lagi dampaknya di masa mendatang, sebab Tuhan hilang dari peredaran

dan tidak hadir dalam setiap perancangan dan perencanaan pembangunan (nasional maupun global).

Manusia dan Cahaya di Atas Cahaya


Menyambut Film Cahaya di Atas Cahaya
Ditulis pada 12/04/2012 oleh Saratri Wilonoyudho Berbeda dengan ajaran Islam, dalam ajaran Kristiani, manusia itu memiliki dosa asal. Karenanya, tema penyelematan (salvation) menjadi salah satu inti dalam ajarannya. Melalui penyelamatan dari dosa asal, maka manusia akan mengalami proses untuk menuju lepada-Nya, dan untuk itu datangnya Sang Juru Selamat (Messiah) menjadi harapannya. Sebaliknya dalam Islam, manusia itu diciptakan dengan kesempurnaan (ahsan taqwim) atau fitri yang berarti suci dan bersih. Namun demikian manusia akan dapat terpeleset menjadi asfala

safilin (seburuk-buruknya makhluk) jika ia ingkar lepada-Nya. Dari titik fitri ke ajal nanti terbentang dinamika penyelamatan agar manusia dapat kembali lepadaNya (ilaihi rojiun). Orang Jawa bilang kembali ke sangkan paraning dumadi. Mengapa manusia dapat menjadi asfala safilin? Jawabnya sederhana saja, yakni jika manusia tidak lagi menghamba kepada Tuhan. Bukankah Tuhan sudah tegas dan jelas berfirman bahwa Aku ciptakan manusia dalam keadaan sebaik-baiknya, dan untuk itu Aku turunkan dan Aku ridhoi Islam sebagai agamamu? Islam dalam konteks ini yang arti harafiahnya adalah penyerahan diri. Agar manusia dapat kembali kepadaKu, maka Aku perintahkan ia hanya untuk beribadah kepadaKu. Dengan kata lain, ibadah dalam arti harafiahnya adalah penghambaan diri. Ibadah dapat berbentuk khusus (mahdoh) dan berbentuk ibadah umum. Ibadah mahdoh hanyalah metode dan bukan tujuan. Ibarat orang mau naik pohon, maka ibadah mahdoh hanya tangga untuk menuju ke sana. Sialnya, manusia banyak yang mempersoalkan dan mempertentangkan soal tangga itu mati-matian dan lupa naik ke atas pohon. Karena Tuhan sudah merasa menciptakan manusia dalam keadaan yang sebaik-baiknya serta sudah menurunkan metode-Nya, maka Allah berani memberi tugas kepada manusia agar bertindak sebagai khalifah, meski pada awal penciptaan disertai protes berat para malaikat kepada Allah. Kembali kepada tugas utama manusia untuk beribadah. Dalam Islam jelas diajarkan bahwa inti utama ibadah adalah penghambaan diri hanya kepada Allah. Silakan manusia melakukan apa saja (jihad dan ijtihad), hanya saja yang harus diingat adalah bahwa rumusnya harus pasti, bahwa segala perbuatan itu harus menghamba kepada-Nya dan tentu saja harus dikembalikan kepada-Nya. Ini adalah penyerahan total yang tidak dapat ditawar lagi. Mengapa manusia akhirnya banyak yang menjadi asfala safilin, bahkan lebih jelek dari binatang? Jawabnya pasti karena dalam beribadah manusia banyak yang menjalaninya secara keliru, yakni tidak lagi menghamba kepada Allah, namun justru menghamba kepada agama itu sendiri, menghamba kepada syariat, bahkan menghamba kepada harta, manusia, dan kekuasaan. Padahal firman Allah sudah jelas, yakni iyya ka nabud wa iyya ka nastain, hanya kepada-Mu aku menyembah (beribadah) dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan. Manusia yang tidak menghamba kepada Allah dipastikan ia juga tidak akan dapat kembali kepada-Nya, karena memang ia sudah tidak manunggal lagi sejak awal. Manusia yang tidak menghamba kepada Allah adalah orang yang banyak dibebani ego pribadi, dan belum sampai kepada kesadaran diri yang sejati. Dalam Islam ada istilah wa fi sirri ana. Dalam sirr ada aku sejati. Jika aku sejati ini pecah

menjadi ego-ego pribadi, maka manusia sudah dikuasai setan. Ia hanya mencari kenikmatan untuk ego pribadi itu, dan lupa memberi makan kepada aku sejati. Padahal memberi makan kepada aku sejati akan jauh lebih nikmat dari kekayaan duniawi. Orang yang belum pernah mencapai tataran ini pasti tidak percaya bahwa makan yang sejati ini akan memberikan kenikmatan dan ketenteraman yang luar biasa yang tidak pernah habis-habisnya. Dalam Islam tidak dilarang mencari kekayaan duniawi sejauh itu dapat ditransformasikan menjadi cahaya. Kekayaan duniawi adalah benda wadag yang kasar sehingga tidak dapat dibawa mati. Agar benda duniawi dapat dibawa mati maka harus dilembutkan bahkan diubah menjadi cahaya. Karenanya banyak orang yang masih menyangsikan apakah hadis Nabi yang mengatakan carilah dunia seakan kamu akan hidup selamanya dan beribadahlah seakan kamu akan mati besok pagi banyak diragukan orang. Apakah benar ini kata Nabi? Menghamba kepada Allah wujudnya adalah melayani ciptaan-Nya. Jika manusia hanya untuk dirinya sendiri dan tidak melayani ciptaan-Nya, maka ia tidak akan kembali kepada-Nya, apalagi menikmati surganya. Manusia hanya dapat dikelompokkan sebagai penghuni neraka dan penghuni surga. Jika manusia hanya melayani dirinya sendiri, apalagi dengan cara curang dan korup, maka pasti ia masuk dalam golongan penghuni neraka. Karena Allah saja maha rahman dan rahim, mestinya manusia juga demikian. Hanya karena hijab atau tabir, manusia menjadi tertutupi hingga tidak mengenal Allah yang sejati, kendati secara formal ia beragama. Manusia bisa saja beragama formal dengan khusu yang ditandai (misalnya) oleh pakaian atau dahinya yang hitam legam, namun ia barangkali tetap atheis, karena tidak percaya sifat-sifat-Nya, janji-janji-Nya, keagungan-Nya, dst, hingga ia terperosok kepada formalisme sempit. Ia bisa saja menjadi sekuler karena tidak mendayagunakan pengetahuan dan praktek keberagamaannya untuk melayani ciptaan-Nya. Artinya ia hanya puas telah merasa menyembah Allah dan merasa beragama, meski agamanya tidak berdampak terhadap kehidupan di sekitarnya. Artinya ia hanya mementingkan input dan bukan output dalam beragama. Padahal manusia itu diciptakan oleh Allah dari cahaya yang terpuji, dan Allah itu sendiri adalah cahaya di atas cahaya, Nur ala nur (Q.S. 24 : 35), dan dalam bahasa Arab ada istilah al-haqiqah al-muhammadiyyah atau Nur Muhammad yang lebih dahulu ada sebelum Nabi Adam diciptakan Allah. Selain diciptakan dari sumber yang sama, cahaya Nur Muhammad, manusia juga diberi oleh Allah kelengkapan dan perangkat sebagai penjaga dirinya. Dalam istilah Jawa ada sebutan sedulur papat kelima pancer. Sejak lahir manusia sudah dijaga olehkakang kawah, adi ari-

ari, serta ada Jibril, Mikhail, Israfil dan Izrail. Malaikat yang diciptakan Allah merupakan alat kelengkapan atau manajemen Allah atas kehidupan manusia. Malaikat diciptakan dari cahaya sehingga mereka hanya tunduk kepada Allah, serta tidak memiliki akal dan nafsu seperti manusia. Selanjutnya dalam perjalanan hidupnya penjagaan itu terus diberikan Allah kepada manusia. Kekuatan Jibril sebagai alat manajemen Allah adalah sebagai pemberi informasi kepada manusia, dan itu ada dalam rohani manusia untuk menerima limpahan cahaya-Nya. Jika manusia sudah diberi informasi, mestinya ia harus berada di jalanNya. Dengan kata lain, Jibril tetap stand by dan bertugas hingga detik ini. Selanjutnya sang peniup terompet Isrofil, ia adalah penggengam alam semesta dan Mikhail yang akan melengkapinya sebagai pemelihara alam semesta serta membagikan rezeki kepada semua makhluk. Akhirnya Izroil adalah malaikat yang tidak dapat kita tolak kehadirannya untuk menjemput kita menghadap Allah. Masalahnya jemputan itu akan kembali kepada-Nya atau tidak, tergantung amal perbuatan kita. Lewat manajemen Allah itulah menjadi jelas bahwa sejak dilahirkan dalam keadan fitri sampai ajal maka akan terbentang proses revolusioner dan evolusioner manusia untuk menunaikan tugasnya sebagai khalifah. Untuk itu manusia harus Islam yakni menyerahkan secara total hidupnya hanya untuk menghamba-Nya, dan iman, yang berarti percaya. Jika orang beriman maka ia akan amanah dan mukmin (mengamankan). Dengan kata lain, para pemimpin yang membuat kerusakan di muka bumi ini bukan orang yang beriman. Ia bisa saja menjual negara kepada orang asing dengan berbagai bentuknya baik yang halus atau yang kasar serta melukai rakyatnya sendiri. Ia bisa saja dalam dadanya hanya penuh ke-aku-annya dan di dadanya tidak penuh dengan rakyat, apalagi Tuhan. Ia akan menghamba kepada kekuasaan, politik an sich, dan harta benda lainnya. Pemimpin atau pejabat yang tidak beriman tidak dapat menjadi seorang yang mukmin, karena meski ada dia, rakyat tetap tidak aman hartanya, jiwanya dan martabatnya. Bagi kita yang paham, kita akan tertawa ngakak jika ada seorang pejabat yang korup tiba-tiba saja ditunjuk menjadi amirul mukminin, meski hanya untuk memimpin rombongan jamaah haji, apalagi memimpin rombongan manusia dalam bernegara. Padahal orang yang tidak beriman tidak akan diseru oleh Allah. Bacalah dalam Quran, maka akan terbaca bahwa Allah banyak memanggil dan menyeru kepada orang-orang beriman. Maka jelaslah bahwa jika negara masih terus dikelola dengan cara yang korup, maka mereka akan termasuk orang yang tidak beriman, sekaligus kafir.

Kata kafir bukan hanya untuk sebutan bagi orang yang tidak percaya Tuhan, namun juga bagi mereka yang beragama, namun menutup diri terhadap nikmat Allah dan nasehat orang lain. Bagaimana tidak kufur nikmat jika dianugerahi negara yang kaya raya namun disia-siakan? Bagaimana mau menerima nasehat orang lain jika para pemimpin tidak pernah mendengarnya? Dalam konteks kenegaraan, kecerdasan manusia untuk merohanikan apa yang ada pada dirinya (harta dan kekuasaan), maka akan lebih mudah mendekat dan masuk ke dalam cahaya Allah. Itulah cahaya di atas cahaya.

Urip Kudu Tenanan


Catatan Pementasan Nabi Darurat dan Rasul Ad-Hoc
Ditulis pada 28/03/2012 oleh Saratri Wilonoyudho Ada satu pengalaman berharga yang saya petik pasca-menyaksikan persiapan pementasanNabi Darurat dan Rasul Ad-Hoc (NDRA) di Semarang 25 Maret lalu. Pengalaman itu ialah bahwa rumus baku untuk mendapatkan barokah dari Allah adalah bahwa amal perbuatan itu yang penting harus dilakukan dengan serius dan dalam bahasa Jawa disebut tenanan.Urip kudu tenanan (hidup harus serius). Serius bukan berarti tegang dan penuh tekanan, namun serius mengandung arti bahwa segala sesuatunya harus jelas arah dan tujuannya, dan semua itu ditujukan hanya kepada Allah dan bukan yang lain (ilaihi rojiun). Saya sudah pernah menyaksikan shooting film, (sebut misalnya) Sisa-sisa Laskar Pajang yang dibintangi Bambang Hermanto cs pada 1974 di desa saya di Jatinom Klaten. Demikian pula saya juga sudah pernah menyaksikan persiapan pentas drama di kampus, saya sudah pernah melihat shooting sinetron di TV swasta, dst, namun ketika menyaksikan persiapan NDRA, ada pengalaman religius yang tak terkira dan ini lain dari yang lain. Dalam dunia sinetron misalnya, tampak jelas bahwa cerita dan alurnya sangat tidak masuk akal, dan para pemain tidak dituntut untuk acting secara serius, namun yang penting punya wajah tampan dan cantik, mau mengikuti skenario meski harus berpelukan dengan bukan muhrimnya atau buka aurat, dan yang penting pula harus bisa menangis. Rumus sinetron adalah: buatlah penonton gemas dan penasaran untuk melihat tayangan berikutnya. Ceritanya tak perlu rumit, cukup hanya berkutat kepada orang yang sangat baik sekali, dan sangat jahat sekali. Sehari shooting, bisa dibuat beberapa episode, dan bahkan jika aktor utama berhalangan (misalnya), detik itu juga alur cerita dapat diubah segera! Tentu saja bagi mereka yang penting adalah rating. Kejar tayang menjadi rumus utama. Perkara yang menonton akhirnya jadi bloon, cengeng, tidak rasional, konsumtif, bahkan meniru gaya-gaya para bintangnya, dst, itu bukan urusannya. Yang penting keuntungan miliaran rupiah masuk ke kantong produser, TV yang bersangkutan, artis, dan pengusaha yang memasang iklan. Logika mereka adalah logika industri, sehingga tidak percaya kepada keseriusan kepada Allah (bahkan kalau perlu harus kontra terhadap nilai-nilai Allah), dan karenanya yang ditampilkan

bukan keindahan nilai atau moral, namun keindahan bentuk tubuh dan aneka kemewahan lainnya. Berbeda dengan NDRA. Saya yang awam dalam pementasan teater serius seperti ini hanya bisa bengong menyaksikan persiapan mereka yang sangat detail. Saya kira kalau sudah tiga kali pentas di berbagai tempat, para pemain tinggal menjaga stamina dan menjaga hafalan dialog saja. Dugaan saya ternyata meleset. Mereka tetap saja rajin melakukan gladi bersih, dibuat persis seperti pementasan sesungguhnya, dengan dialog dan acting serius yang meliputi: gerak, bagaimana mengatur jarak dengan penonton, jarak antar pemain, posisi masing-masing, diksi, intonasi, kejelasan pengucapan suku kata, panjang pendeknya kalimat, dst. Yang mengejutkan, bintang film-nya rata-rata sudah berusia di atas 50-an tahun. Namun hebatnya kualitas vokal, gerak, dan staminanya sangat prima. Yang lebih dahsyat lagi adalah kemampuan menghafal dialog panjangnya! Saya saja yang masih di bawah 50 tahun, jangankan menghafal dialog Ruwat Sengkolo, untuk menghafal daftar belanja di toko saja sering lupa, sementara mereka begitu prima. Jelas dialog Ruwat Sengkolo yang omong adalah Allah sendiri. Tokoh Ruwat hanyalah media-Nya. Kalau dialog itu hanya ngepop, atau berisi kata dan kalimat dalam bahasa seharihari, saya tidak terlalu kagum. Namun ini adalah dialog yang tidak sembarangan karena yang diucapkan adalah kalimat dari Allah. Saya baru sadar bahwa dialog itu ternyata diambil 100% dari Quran. Ternyata penulis skenario dan sutradaranya itu Allah, dan Emha Ainun Nadjib itu ternyata tak lebih hanya sebagai pekerja-Nya, paling pol tukang ketik kalimat-Nya. Bagaimana mungkin tokoh Ruwat Sengkolo yang sudah di atas 50-an tahun mampu menghafal sepanjang itu kalimat Allah tanpa salah sedikit pun, bahkan terjaga intonasinya dengan baik dan jelas? Setelah saya merenung ternyata kunci kehebatan mereka adalah hanya satu rumus: serius, cinta, dan ikhlas. Bagaimana tidak cinta dan tidak ikhlas kalau pementasan ini keluar dari mainstream logika industri teater modern? Para sutradara dan para pemainnya, semuanya tanpa bayaran dari manusia. Mereka rela berpayah-payah latihan sepanjang hari, siang malam, bahkan tidur di sembarang tempat tanpa memperdulikan wibawa lagi. Ini semua terjadi karena mereka sadar betul bahwa dirinya merasa hanyalah pekerja-Nya, sehingga mereka yakin bahwa bayarannya juga langsung dari kas-Nya. Urip kudu tenanan, hidup harus bersungguh-sungguh, demikian kira-kira inti utama pelajaran yang dapat dipetik dari pementasan NDRA ini. Saya sepakat dengan Cak Nun, bahwa yang dipertimbangkan Allah sebagai titik fokus hisab amalan manusia adalah bukan banyaknya amalan, namun seberapa serius amalan itu dikerjakan.

Sederhana saja, jika banyaknya amalan yang jadi ukuran, tentu Allah dianggap tidak adil oleh kaum miskin. Bagaimana kaum miskin akan banyak beramal (apalagi berzakat dan berhaji) kalau untuk sekadar makan sehari-hari saja susah? Bagaimana akan puasa lebih khusyuk kalau jam 2 sampai jam 3 siang di terik sinar matahari ternyata mendapat godaan berupa tawaran tarikan mbecak? Jelas bahwa kesungguhan dalam beramal itu yang menjadi tolok ukur Allah ketika meng-hisab manusia di hari akhir nanti. Karenanya dapat dipahami kalau pementasan NDRA sukses dalam arti sebenarnya. Lihat saja tidak dapat dibayangkan sejak semula jika penonton yang ada di UNNES, yang boleh dibilang bukan kelompok gila seni, namun toh dari 1.500 lembar tiket yang disediakan panitia ludes terjual bahkan penonton yang tak kebagian tiket terus minta masuk hingga Gedung FIK penuh sesak. Bagaimana mungkin tidak ada pertolongan dan campur tangan Allah terkait kesuksesan ini, padahal NDRA ini dibuat keluar dari pakem-industri. Tidak ada pemain wanita yang cantik, tidak ada kostum yang aneh-aneh dan serba gemerlap, tidak ada artis bintang yang sedang ngetop di jagad dunia hiburan tanah air, bahkan letak gedung FIK itu sendiri tersembunyi dari keriuhan Kota Semarang. Gedung itu sulit dideteksi keberadaannya karena berada 15 km dari pusat kota (Simpang Lima), dan masuk ke pelosok gunung tanpa rambu-tambu yang jelas, namun toh penonton dengan dipandu RADAR Allah tetap dapat menemukannya. Dengan kata lain, NDRA itu dibuat dengan tenanan, dan penonton juga tenanan, apalagi Allah. Firman Allah mengatakan, apa kamu kira AKU menciptakan kamu untuk main-main belaka? Jelas bahwa NDRA bukan tontonan, karena naskah NDRA ditulis oleh Allah. Wajar jika setelah pementasan usai, penonton tetap tegak berdiri di tempatnya, seolah tidak mau meninggalkan panggung, dan tampak masih mengais-ngais, tingak-tinguk (Bahasa Jawa) seakan mencari sesuatu. Semakin jelas NDRA sedang mementaskan rahasia rohani Quran yang sampai saat ini jarang ditemukan, bahkan oleh orang-orang yang sering disebut ustadz atau kiai, apalagi ustadz jadi-jadian yang hanya berpikir kapitalistis belaka. Dari sisi kebudayaan, NDRA juga mengajak umat untuk menggali lebih dalam, betapa luasnya samudera ajaran-Nya. Umat dapat mengidentifikasi lagi Islam sebagai nilai-nilai kebudayaan, Islam sebagai filsafat kebudayaan, Islam sebagai sistem kebudayaan, dst. Al-Quran selama ini hanya banyak diperlakukan sekadar sebagai bacaan, dan lebih jauh lagi hanya dilombakan, dan yang lebih gila lagi sering dimanipulasi untuk kepentingan masing-masing. Lewat NDRA orang barangkali akan semakin matang bahwa rahasia rohani Al-Quran amat luas dan dalam, dan ini akan memberi kunci hidup bagi mereka yang mau membaca dan mengamalkannya. Lewat NDRA

manusia akan paham bahwa Islam yang sejati adalah Islam-nya Muhammad. Masyarakat muslim khususnya saat ini banyak yang terkecoh justru karena pagarpagar yang mereka ciptakan sendiri, sehingga aspek kelembagaan yang mestinya hanya sebuah metode, justru disembahnya dan mengurung jiwanya seperti yang digambarkan Ruwat Sengkolo. Akibatnya Islam menjadi sempit dan jumud karena ditutupi justru oleh pengikutnya sendiri. Umat Islam banyak yang terkurung dalam sangkar Ruwat Sengkolo, hingga keyakinan, keimanan, kreativitas hidup dan cara berpikirnya justru makin menjauh dari ketauhidan. Allah menjadi elemen sekunder bahkan tersier atau kwarter, ketlingsut (Bahasa Jawa) di sela-sela kejumudan kita sendiri. Allah bukan lagi menjadi pusat nilai, dan apa yang kita lakukan akhirnya keluar dari garis-Nya dan tidak menuju kepada-Nya. Karenanya bagi yang anti-Islam, amat mudah untuk mencitrakan bahwa agama ini bengis, terbelakang, dan fanatik buta. Pementasan NDRA diharapkan mampu mengembalikan lagi pusat tujuan hidup itu. Umat Islam tidak boleh terjebak ke dalam kedirian, eksistensinya, namun harus menuju tauhid. Di awal sudah dikatakan, bahwa Allah tidak main-main dalam menciptakan manusia. Mereka adalahahsani taqwim, namun boleh jadi akan dikembalikan menjadi asfala safilin. Jangankan menuju langit ketujuh, bahkan yang sering terjadi, justru kita jatuh ke tingkat yang paling rendah, bahkan di bawah binatang. Manusia memiliki nafsu serakah dan itu yang akhirnya menghancurkannya, sementara binatang hanya mau makan secukupnya, serta mampu menjaga kesetiaannya. Karena Allah tidak main-main ketika menciptakan kita, maka tugas kita juga harus membalas cinta-Nya. Jalan yang harus ditempuh meski panjang, sebenarnya cukup sederhana. Langkah awal tentu umat Islam mesti mampu membebaskan dirinya dalam kungkungan Ruwat Sengkolo yang hanya berkutat pada formalisme syariat, namun sudah harus menukik ke hakikat kebenaran dan kesungguhan. Cara pikir kita pada umumnya masih kapitalistis dalam jual beli dengan Allah. Konsep pahala-dosa dan surga-neraka masih menjadi acuan utama, itu pun dalam pengertian sempit. Sialnya kita sering berganti wajah, ketika di masjid dan di sidang pengajian wajah kita teduh, namun keluar dari situ dan kembali ke kantor, kampus, lokasi proyek, dst, wajah kita juga lain. Ini semua akibat dari kealpaan dan ketidakcerdasan sehingga sumber dan sistem nilai (kefilsafatan) Islam tak mampu pula tergali dengan baik. Padahal itulah sumber untuk landasan amal perbuatan dalam menyikapi dan menghadapi tantangan berbagai bidang kehidupan, entah di bidang penalaran ilmiah, perdagangan, ekonomi, politik, termasuk dalam pasar jual beli dengan Allah.

Lewat NDRA hendak dicerahkan bahwa ada yang lebih hakiki daripada menyembah sangkar formalisme sempit. Islam adalah jalan komplet untuk menuju persemayaman di pelukan Allah (qiyamindallah) serta menyempurnakan perilaku dan moralitas (utammima makarimal akhlaq). Bukankah Rasulullah Muhammad mengatakan, Aku tidak ditutus Allah kecuali untuk menyempurnakan akhlaq manusia? Jika akhlaq sudah bersemayam, dan itu dilakukan dengan kesungguhan, maka hukum-hukum tertulis sebagai disinyalir dalam Panca-Keganjilan oleh Ruwat Sengkolo, akan tidak ada artinya. Dalam permainan Catur (hukum), ada jutaan kemungkinan persilangan antar pasal hukum, padahal jumlah umat manusia (khususnya di negeri ini), hanya 240 juta jiwa. Jika moral akhlaq sudah bersemayam, maka umat Islam akan mudah mendirikan sembahyang di dalam kehidupan(iqamatih-sholat). Pementasan NDRA juga menjadi bahan refleksi bahwa apapun yang diorientasikan kepada ketauhidan, maka hasilnya adalah ekonomi-barokah. Apa yang dibanggakan dengan pementasan dunia hiburan moderen di TV-TV swasta? Pertunjukkan mereka hanyalah kekonyolan, ngrumpi, gosip, dan merendahkan martabat. Orang dewasa yang hanya bisa menjawab pertanyaan bahwa Semarang adalah ibukota Jawa Tengah (misalnya), oleh si pembawa acara kuiz dikomentari dan diteriaki: hebat! Manusia super! dst, dan mendapat hadiah puluhan juta rupiah. Ironisnya, orang itu juga bangga dan berseri-seri wajahnya. Gila! Lalu apa hasil mereka? Jelas kehancuran. Maraknya selingkuh, VCD porno, HIV AIDS, narkoba, dst adalah bukti nyata, bahwa dunia hiburan glamour beragamakan api, dan api itu akhirnya justru membakar dan menghancurkannya. Mengapa? Sederhana saja karena prinsip ekonomi mereka hanyalah prinsip kapitalistik yang bersendikan sihir-sihir Firaun, bersendikan eksploitasi tubuh, eksploitasi antara buruh-majikan dan tanpa cinta. Karenanya kita memerlukan tongkat Musa, lambang ketauhidan, untuk melahap sihir-sihir Firaun. Tongkat seperti huruf Alif yang besar, tegak, ahad, dan Allah maha besar. Orang banyak yang tidak percaya bahwa dunia hiburan dapat ditauhidkan menjadi dunia pencerahan dan menghasilkan laba yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan hanya laba materi belaka. Kesemuanya sekali lagi kuncinya hanyalah kesungguhan (urip kudu tenanan).

Вам также может понравиться