Вы находитесь на странице: 1из 14

PERKEMBANGAN PUSAT PERBELANJAAN MODERN DI KOTA TANGERANG SELATAN Puthing Amanah Utami dan Diah Intan K.S. ST.

MEng. email : puthingamanahutami@yahoo.com Tangerang Selatan municipality is one of the cities around Jakarta that function as trade, indrustri, and service centers. While Jakarta has function for national scale that as center of government, trade, indrustry, ports, transportation, education, and tourism. The functions of Jabodetabek that aim for private sector has property prospect such as the construction of residential, commercial, and entertainment. Residential property has developing in Tangerang Selatan is also followed by commercial development such as shopping centers and shop house. Shopping centers development has developed towards the area amount to 8 million2 (2001-2005) in Greater Jakarta (Sinar Harapan, 2003). Even the shopping area in Tangerang occupied the second largest after the DKI Jakarta, which reached 490,000 m2 (Hendra,2010). This study aims to identify the development of shopping centers in Tangerang Selatan municipality. Identify to find out how shopping centers operate has rapid development. The study is based on the element study of urban planning (land use and accessibility) with the internal condition of the shopping centers such as location, operational area, the main tenant, uptime, and support facilities. Research using quantitative research methods with descriptive and exploratory analysis in the processed data and essence of recapitulation interview. The development of shopping centers caused are housing developments within economies of scale upper middle to middle, the growth of population through migration, support the government through policies, good infrastructure conditions and the position of Tangerang Selatan municipality that borders of Jakarta. The development of shopping centers starting from enforcement of Presidential Instruction No. 13 of 1976 then Presidential Decision No. 118 of 2000 which affects the increase in shopping center development. Shopping centers that operate not only as a shopping center but found the shopping center that serves as trade center, such as: Serpong Plaza, WTC Matahari, ITC BSD, BSD Junction, and Pamulang Square. Largest shopping center development occurs in 2002-2005 that four of eight shopping centers.

Keyword

: commercial property, shopping center, development

PENDAHULUAN Latar Belakang Tangerang merupakan salah satu kota yang berada di sekitar Jakarta, selain Tangerang terdapat pula kota di sekitar Jakarta seperti: Kota Bekasi, Depok, dan Bogor atau dikenal dengan Bodetabek. Kota Bodetabek berfungsi sebagai perdagangan, indrustri, dan pusat pelayanan yang berhubungan dengan DKI Jakarta. Sedangkan Jakarta berfungsi pusat kegiatan pemerintahan, perdagangan, indrustri, pelabuhan, pengangkutan, pendidikan, dan turis dalam skala nasional. Keberagaman fungsi Jabodetabek membuat kota-kota ini sebagai pilihan bagi pendatang untuk bekerja, dan berpenghidupan. Selain pendatang, Bodetabek juga menjadi tujuan lokasi pengembangan bisnis properti seperti pembangunan hunian, komersial, dan jasa. Pembangunan hunian yang marak dibangun ialah perumahan dan berdasarkan studi yang dilakukan Procon, 2008, menyebutkan bahwa tingkat penyerapan perumahan di Tangerang sebesar 442 unit per bulan dengan penjualan unit-unit untuk kelas menengah dan menengah ke atas. Studi yang sama di tahun 2009, pasokan perumahan di kawasan Jabodetabek mengalami kenaikan 9 % di tahun 2009 dan Tangerang merupakan penyumbang terbesar dengan kontribusi sebesar 42 %. Pembangunan hunian yang dijalankan oleh perusahaan properti dikuti pula dengan pembangunan komersial. Bangunan komersial yang dibangun ialah rumah toko (ruko) dan pusat perbelanjaan. Pembangunan pusat perbelanjaan di Jabodetabek mengalami perkembangan terhadap luas area pada 2001 hingga 2005 sebesar 8 juta m2, nilai ini lebih besar dari total suplai dalam kurun waktu 20 tahun (Sinar Harapan, 2003). Hal ni diperkuat dari tingkat hunian ruang sewa terhadap pusat perbelanjaan mencapai 88,17 % dengan tarif sewa per bulan sebesar Rp. 472,894/ m2 (Survei Bank Indonesia, triwulan IV-2009). Pembangunan pusat perbelanjaan juga berkembang di Tangerang sejalan dengan perkembangan perumahan. Hal ini terlihat dari komposisi pembangunan perumahan dengan bangunan komersial relatif seimbang dan nilai penjualan properti komersial setara dengan penjualan rumah di BSD (Koranbanten, 2009). Bahkan luas area pusat perbelanjaan di Tangerang menduduki

kedua terbesar setelah DKI Jakarta, yaitu mencapai 490.000 m2 (Hendra, 2010). Luas area pusat perbelanjaan di Tangerang yang mencapai pasokan terbesar kedua karena pusat perbelanjaan yang di Tangerang lebih banyak dari pada kota lain di sekitar Jakarta. Hal demikian terlihat di Kota Tangerang Selatan, pusat perbelanjaan yang beroperasi sebanyak 9 buah (tidak termasuk yang dalam masih kontruksi pembangunan dan supermarket). Sedangkan di Kota Bekasi beroperasi 7 pusat perbelanjaan, Kota Depok sebanyak 6 pusat perbelanjaan, dan Kota Bogor memiliki 5 pusat perbelanjaan. Pusat perbelanjaan sebagai salah satu fasilitas pelengkap terhadap aktifitas perdagangan dan jasa di lingkungan perumahan di perkotaan (SNI 03-1733-2004). Pusat perbelanjaan ialah tempat berkumpulnya toko-toko yang direncanakan, dirancang, dibangun, dimiliki, dijual, dan dikelola setiap satuan unitnya (Dawson, & Lord, 1958:1). Menurut Spink, 1999:4, pusat perbelanjaan tidak hanya beraktifitas jual beli produk di dalamnya akan tetapi berkaitan dengan penggunaan lahan. Hal tersebut menyatakan bahwa pusat perbelanjaan merupakan bangunan komersial dari hasil pembangunan yang dioperasionalkan oleh sektor swasta. Pembangunan pusat perbelanjaan menimbulkan pro dan kontak yang muncul di berbagai elemen masyarakat. Akan tetapi, keberadaan pro dan kontrak tidak menghentikan pembangunan pusat perbelanjaan. Bahkan saat ini terdapat pusat perbelanjaan baru yang sedang dalam proses kontruksi di area perumahan Alam Sutera Tangerang Selatan yang luasnya mencapai 7,2 ha. Pendirian pusat perbelanjaan terus dilakukan tanpa mempertimbangkan keberadaan bangunan perdagangan dan jasa lainnya serta terus-menerus. Kondisi terebut dapat berpeluang menimbulkan berbagai permasalahan yang mengganggu aktifitas perkotaan, seperti beberapa kasus kemacetan, gangguan transportasi, banjir, berkurangnya pendapatan dengan pasar tradisional. Studi ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan pusat perbelanjaan yang ada di Kota Tangerang Selatan agar dapat memberikan gambaran/ masukan kepada pemerintah di dalam perizinan pusat perbelanjaan. Perkembangan dilakukan untuk mencari bagaimana pusat perbelanjaan beroperasi berdasarkan elemen perencanaan kota seperti: aksesbilitas dan penggunaa lahan dengan kondisi internal dari pusat perbelanjaan. Perkembangan pusat perbelanjaan yang ada saat ini dapat menjadi gambaran mengenai kondisi aktifitas perkotaan khususnya terhadap fasilitas perdagangan dan jasa. Tujuan Mengetahui perkembangan pusat-pusat perbelanjaan modern yang ada di Kota Tangerang Selatan. KAJIAN TEORITIS Tinjauan teori yang dibahas berkaitan dengan keberadaan kawasan perdagangan dan jasa dan pusat perbelanjaan modern. Kawasan perdagangan dan jasa yang dikaji berdasarkan karakteristik dan perencanaannya, pengertian pusat perbelanjaan modern, jenis pusat perbelanjaan, hirarki pusat perbelanjaan modern, dan ritel dengan pusat perbelanjaan, stakehorder sebagai pelaku yang membangun pusat perbelanjaan, dijelaskan dalam karakteristik dan perannya dalam pembangunan pusat perbelanjaan. A. Kawasan Perdagangan dan Jasa Kawasan perdagangan dan jasa didominasi dengan aktifitas komersial, aktifitas komersial ialah pusat aktifitas perniagaan di perkotaan dan mempunyai pengaruh terhadap aliran perekonomian kota (Harjanti, 2002:2). Perdagangan dan jasa mempunyai posisi penting di dalam perekonomian kota terlebih jika basis perekonomian kota tersebut berupa perdagangan dan jasa. Kawasan perdagangan dan jasa mempunyai karakter dan standar di dalam perencanaannya yang akan dijelaskan berikut: Karakteristik Perdagangan dan Jasa Kawasan perdagangan dan jasa diisi dengan aktifitas komersial, aktifitas ini mempunyai kriteria tertentu yang harus dimiliki guna keberlanjutannya. Adapun kriteria penentu antara lain: tingkat aksesbilitas tinngi dan berlokasi dekat dengan pusat kota (Turnbull, 1995: 38 dan Balchin & Kieve, 1982). Tingkat aksesbilitas tinggi menandakan kemudahan pencapaian ke kawasan sehingga pengunjung tidak kesulitan untuk mencapai kawasan tersebut, kedatangan pengunjung akan berpengaruh terhadap perolehan keuntungan toko. Semakin baik aksesbilitas maka akan semakin banyak kedatangan konsumen dan semakin besar pendapatan. Keberlanjutan kawasan perdagangan dan jasa akan terancam stagnan bila terdapat gangguan dalam aksesbilitas seperti peningkatan kemacetan (Balchin & Kieve, 1982). Pengunjung akan berpikir ulang untuk menuju lokasi karena harus menambah biaya transportasi, sehingga perlahan-lahan kedatangan jumlah pengunjung dan perolehan pendapatan mengalami penurunan.

Kedekatan dengan pusat kota menjadi salah satu pertimbangan terhadap aktifitas komersial, lokasi aktifitas tersebut membutuhkan kelengkapan sarana prasana penunjang. Harga sewa di pusat kota lebih mahal dibandingkan di tempat lain, akan tetapi tingginya harga sewa dalam aktifitas komersial tidak menjadi masalah dibadingkan untuk sewa aktifitas lain (Ambrose, 1994:48). Pusat kota dapat diidentifikasi dengan tingkat volume aktifitas tinggi, dan berorientasi terhadap pasar (Miles, 1991:91). Berdasarkan berbagai pendapat yang dikemukakan maka kawasan perdagangan dan jasa sangat dipengaruhi dari tingginya aksesbilitas dan kedekatan dengan pusat kota, tetapi pusat kota tidak sama dengan kawasan perdagangan dan jasa. Hal ini karena skala pelayanan kawasan perdagangan dan jasa berbeda dengan pusat kota, pusat kota cenderung melayani pengunjung untuk pelayanan skala regional/ kota, sedangkan kawasan perdagangan dan jasa mempunyai hirarki pelayanan seperti: lingkungan, distrik, lokal, dan regional. Perencanaan Kawasan Perdagangan dan Jasa Perencanaan terhadap aktifitas perdagangan dan jasa dalam proporsi lahan menempati luas sebesar 25% di jalan utama kota-kota di Amerika, dan 3% digunakan untuk kegiatan bisnis eceran (retail) (Eisner, 1993:343). Hasil studi Eisner dan Associates, dalam tahun 1939-1985 menyatakan penggunaan lahan untuk kegitan perdagangan dan jasa di perkotaan sebesar 4,8% hingga 5% (Eisner, 1993:261). Kawasan perdagangan dan jasa diisi dengan berbagai unit usaha, ketentuan sarana perdagangan dan jasa diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.41/ Prt/ M/ 2007 Tentang Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya. Adapun sarana perdagangan dan jasa ialah: toko/ warung, pertokoan, pusat pertokoan & pasar lingkungan, dan pusat perbelanjaan & niaga (toko, pasar, bank, dan kantor). Berikut penjelasan yang memuat jumlah penduduk pendukung, luas lahan dan lantai minimal, radius, dan lokasi terhadap pembangunan sarana perdagangan dan jasa: TABEL 1 KEBUTUHAN SARANA PERDAGANGAN DAN JASA
Jumlah Penduduk Pendukung (Jiwa) 250 Kebutuhan Per satuan Sarana Luas Lantai Luas Lahan Min (m2) Min (m2) 50 (termasuk 100 (bila gudang) berdiri sendiri) 1.200 3.000 Standar (m2/jiwa) 0,4 Kriteria Radius Pencapaian (m) 300 Lokasi dan Penyelesaian Di tengah kelompok tetangga Dapat merupakan bagian dari sarana lain Di pusat kegiatan sub lingkungan KDB 40% Dapat berbentuk perdagangan & jasa Dapat dijangkau kendaraan umum

No. 1.

Jenis Sarana Toko/ warung

2.

Pertokoan

6.000

0,5

2.000

Pusat 30.000 13.500 pertokoan & pasar lingkungan 4. Pusat 120.000 36.000 perbelanjaan & niaga (toko, pasar, bank, dan kantor) Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.41/ Prt/ M/ 2007

3.

10.000

0,33

36.000

0,3

Terletak di jalan utama Termasuk sarana parkir sesuai ketentuan yang berlaku

Menurut De Chiliara, Joseph and Lee Kopperran, 1982:344 bahwa jarak pencapaian pusat perbelanjaan skala lokal dapat ditempuh sejauh 804,672 meter hingga 1.207,008 meter dengan berjalan kaki dan pusat perbelanjaan regional dapat ditempuh dengan kendaraan selama hingga 1 jam. Jika kecepatan yang diatur berupa kecepatan minimal yaitu 40 km/ jam, maka jarak yang ditempuh menuju pusat perbelanjaan regional sejauh 40.000 meter. Artinya, jarak tempuh pusat perbelanjaan regional secara standar sejauh 40.000 meter dengan menggunakan kendaraan. Perencanaan kawasan perdagangan dan jasa yang bersifat fisik berupa pengaturan terhadap bangunan dengan kondisi sekitar bangunan.De Chiliara, Joseph and Lee Kopperran, 1982:601 mengonsep pengaturan di sekitar kawasan perdagangan dan jasa dengan menggunakan barier (batasan fisik). Batasan fisik yang dipakai dapat berupa pagar, pohon, semak-semak, ataupun jarak tertentu. Penjelasan pengaturan pemisah dapat dilihat dalam gambar berikut:

Sumber: De Chiliara, Joseph and Lee Kopperran. 1982:601

Gambar 1 Batasan Fisik antara Kawasan Perdagangan dan Jasa dan Permukiman

Sumber: De Chiliara, Joseph and Lee Kopperran. 1982:601

Gambar 2 Pengaturan Tinggi Kawasan Perdagangan dengan Jasa dan Permukiman

Sumber: De Chiliara, Joseph and Lee Kopperran. 1982:601

Gambar 3 Batasan Fisik antara Kawasan Indrustri dan Permukiman Batasan fisik yang dianjurkan antara bangunan hunian dengan bangunan komersial/ indrustri ialah mengalokasikan jarak tertentu yang diperkuat dengan penanaman pepohonan. Bangunan untuk aktifitas hunian membutuhkan kondisi lingkungan yang jauh dari kebisingan, tenang, dan aman. Sedangkan bangunan pada aktifitas perdagangan/ jasa dan indrustri bersifat ramai, bising, dan dekat dengan lalu lalang kendaraan. Batasan fisik berupa pengaturan jarak dengan kombinasi pepohonan sebagai solusi untuk menetralisir kebisingan yang berasal dari aktifitas perdagangan/ jasa dan indrustri. B. Pusat perbelanjaan Pusat perbelanjaan (planned shopping center) ialah tempat berkumpulnya toko-toko yang direncanakan, dirancang, dibangun, dimiliki, dijual, dan dikelola setiap satuan unitnya (Dawson, & Lord, 1958:1). Pendapat tersebut menyatakan jelas bahwa pusat perbelanjaan merupakan lahan siap pakai yang direncanakan lalu dibangun toko-toko yang berdampingan satu sama lain yang dijual/ disewakan oleh perencana/ pembangun kemudian dioperasikan sebagai tempat menjual barang/ jasa ke pengunjung secara eceran (ritel). Pusat perbelanjaan dirancang sebagai tempat belanja dengan penampilan konsep bisnis dalam image berbeda, disertai akses dengan jaringan jalan bahkan jalan tol, dan tempat parkir off street. Kondisi ini membuat pusat perbelanjaan semakin diminati oleh para penyewa dan pengunjung dikarenakan memadukan antara elemen pendukung aktifitas jual beli dengan harga bersaing, serta kemudahan aksebilitas untuk menuju pusat perbelanjaan. Balchin & Kieve, 1982: 24-25, pusat perbelanjaan mempunyai skala pelayanan dan bentuk dalam berbagai tipe diantaranya: a. Fasilitas belanja desentralisasi (decentalised shopping facilities) Terdapat berbagai toko, aktifitas terkosentrasi di dalam satu bangunan yang dikelola oleh sebuah perusahaan. b. Pusat perbelanjaan pita (ribbon shopping) Lokasi komersial yang berada di sepanjang jalan menuju luar dari pusat kota, pemilihan lokasi atas kepadatan penduduk dan area yang berpenghasilan tinggi. c. Pusat perbelanjaan di pinggiran kota (sub-urban centers) Akses untuk menuju lokasi ini tidak setinggi pada pusat perbelanjaan kota d. Pusat perbelanjaan lingkup lingkungan (neighbourhood centers) Klasifikasi ini tergantung dari besarnya area calon pembeli dan daya beli e. Pusat Perbelanjaan lokal (local corner shop)

Berupa perbelanjaan untuk peruntukan kebutuhan harian Karakteristik Pusat Perbelanjaan Modern Pusat perbelanjaan modern adalah suatu area tertentu yang terdiri dari satu atau beberapa bangunan yang didirikan secara vertikal maupun horizontal, yang dijual atau disewakan kepada pelaku usaha atau dikelola sendiri untuk melakukan kegiatan perdagangan barang (Peraturan Presiden No.112 Tahun 2007). Menurut ULI U.S (Urban Land Institute), pusat perbelanjaan ialah kelompok komersial dengan arsitektur yang menyatu, dibangun dalam lahan yang direncanakan, dibangun, dimiliki, dan dikelola oleh keterhubungan lokasi, ukuran, tipe toko terhadap area penjualan yang dilayani, disertai area parkir yang disesuaikan dengan tipe, dan luas dari toko-toko. Pusat perbelanjaan mengedepankan di dalam penyatuan antara lahan, kosentrasi populasi, konsep pembangunan, dan pasar (Spink, 1999:6). Penyatuan sebagai keterhubungan elemen fisik dengan konsep pembangunan yang inovasi dan atraktif. Menurut Balchin & Kieve, 1982, kepadatan penduduk dan area yang berpenghasilan tinggi dapat menunjang terhadap keberlanjutan pusat perbelanjaan. Pertimbangan non-fisik seperti kondisi pasar, dan konsep pembangunan dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan dapat maksimal, tidak hanya saat pembukaan dan masa promosi pusat perbelanjaan tersebut. Jones, K. & Simmons J.,1993:213 menyatakan pusat perbelanjaan dapat memacu pembangunan dalam fasilitas belanja, mengubah perilaku konsumen secara keruangan, dan berkontribusi terhadap pertumbuhan aliran peritelan. Pembangunan pusat perbelanjaan memberikan pengaruh kepada lingkungan, baik secara lokal ataupun perkotaan. Pengaruh tersebut dapat memacu pertumbuhan aktifitas jual beli secara ritel sehingga kehadiran pusat perbelanjaan ini secara tak langsung dapat merubah perilaku konsumen di dalam perputaran ritel skala makro, yaitu keruangan perkotaan. Hirarki Pusat Perbelanjaan Hirarki ini menggambarkan tingkatan pusat perbelanjaan yang dibangun secara umum pada skala neigbourhood, community, dan regional (Berman, & Evan, 2009, Jones, K. & Simmons J., 1993, Spink, 1999, dan Lusht, 1997). Ketiga tingkatan tersebut dapat digambarkan sebagai pusat perbelanjaan skala lingkungan (neigbourhood), distrik (community), dan kota (regional). Masing-masing tingkatan mempunyai karakteristik yang membedakan satu sama lain, berikut perbedaan pada hirarki pusat perbelanjaan: TABEL 2 HIRARKI TEMPAT BELANJA TERENCANA DI KANADA
Lingkungan
Area (lahan) (m2) Area (lantai) (m2) Jangkauan penyewa Jumlah toko (rata-rata) Tipe bisnis Besar pasar (penduduk) Area (jangkauan penjualan) Lokasi 20.200- 60. 700 4 9.300 Supermarket 25 - 10 Kebutuhan harian, jasa 10 - 40.000 2,4 km Pinggiran Kota

Distrik
60.700-121.400 9.300 27.900 Departemen store (Minor) 20 - 40 Kebutuhan harian, belanja 40 - 150.000 1,61 - 4,82 km Pertemuan jalan arteri 15 - 50 miliar 15 - 30

Regional
121.400 404.600 27.900 46.000 Departemen Store (Major) 40 - 100 Barang-barang belanja 100.000 -500.000 4,83 - 11,27 km Jalur cepat dan jalan arteri 50 - 100 miliar 20 - 40

Super-Regional
> 404.600 > 46.000 Dua atau lebih Departemen store (Major) > 100 Barang-barang belanja > 500.000 > 16,09 km Pertemuan jalur cepat > 100 miliar > 100

Pejualan 5 - 10 miliar (rata-rata) Tipe bisnis 20 - 10 (rata-rata) Sumber: Jones, K. & Simmons J., 1993:216

Sedangkan tingkatan toko modern (toko dengan yang menjual berbagai jenis barang secara eceran dengan pelayanan mandiri) menurut Peraturan Presiden RI No.112 Tahun 2007 mengenai Penataan & Pembinaan Pasar Tradisional sebagai berikut: TABEL 3 KETENTUAN PUSAT PERBELANJAAN MODERN DI INDONESIA
Minimarket

Department Store

Supermarket

Hypermarket

Perkulakan

Batasan luas lantai

< 400 m2

> 400 m2

400 m2-5.000 m2

> 5.000 m2

> 5.000 m2

Minimarket

Department Store

Supermarket

Hypermarket

Perkulakan

penjualan Sistem penjualan dan jenis barang dagangan

Menjual secara ritel (makanan & produk rumah tangga)

Lokasi

Setiap sistem jaringan jalan: jaringan jalan lingkungan dalam kawasan pelayanan lingkungan (perumahan) di dalam kota/ perkotaan

Menjual secara ritel (produk sandang & perlengkapannya, penataan berdasarkan jenis kelamin atau tingkat usia konsumen Tidak dalam sistem jaringan jalan lingkungan dan tidak berada dalam kawasan pelayanan lingkungan di dalam kota/ perkotaan

Menjual secara ritel (makanan & produk rumah tangga)

Menjual secara ritel (makanan & produk rumah tangga)

Menjual secara grosir

Tidak dalam sistem jaringan jalan lingkungan dan tidak berada dalam kawasan pelayanan lingkungan di dalam kota/ perkotan

Akses sistem jaringan jalan arteri/ kolektor dan tidak berada dalam kawasan pelayanan lokal/ lingkungan di dalam kota/ perkotaan

Akses sistem jaringan arteri/ kolektor primer/ arteri sekunder

Sumber: Peraturan Presiden No.112/ 2007

Menurut (Cadman, David & Topping, Rosalyn, 1978:33), tempat belanja skala lingkungan lebih mendekati ke area di spot keberadaan konsumen yang jarak tempuhnya relatif dekat dengan permukiman/ perumahan. Tempat belanja cenderung menyediakan kebutuhan harian seperti makanan, minuman, ataupun keperluan rumah tangga, sedangkan hipermarket dan superstore berada di jalan utama pada tepi-tepi pusat kota. Namun, karakteristik tempat belanja skala lingkungan, hipermarket, dan superstore cenderung mendekati ke kantong-kantong calon konsumen yaitu dekat dengan area permukiman/ perumahan. C. Pusat Perbelanjaan & Ritel Toko-toko di dalam pusat perbelanjaan menjual produk ke konsumen secara ritel, hal ini ini terkait pusat perbelanjaan dan ritel saling melengkapi satu sama lain (Jones, K. & Simmons J.,1993:214). Keterkaitan tersebut membuat hubungan positif di antara ritel dan pusat perbelanjaan. Kondisi ini dibuktikan dalam kesuksesan pusat perbelanjaan di abad 20, konsep bisnis berupa pusat perbelanjaan dinilai mampu memberikan optimalisasi dalam penggunaan lahan dan berpengaruh terhadap perilaku konsumsi (Coleman, Peter.2006:3). Lingkungan ritel telah membuat pusat perbelanjaan tidak hanya berfungsi sebagai tempat belanja tetapi sering sebagai tempat untuk makan, rekreasi bagi anak-anak dan remaja, bersosialisasi dalam pertemuan keluarga/ kerabat/ relasi, dan hiburan (Kliment, Stephen A. (edt), 2004:1). Gambaran tersebut dapat mereposisikan pusat perbelanjaan menjadi bagian dari ruang publik bagi individu dan masyarakat pada aktifitas jual/ beli , hiburan, dan bersosialisasi. Kondisi tersebut perlahan-lahan merubah kebiasaan masyarakat saat membeli kebutuhan hidup dilakukan di pasar tradisional, bersosialisasi di alun-alun kota, dan berekreasi di tempat-tempat hiburan. Pusat perbelanjaan pada dasarnya berbeda dengan aktifitas ritel lain yakni tipe bangunan dan komersial dalam penggunaan lahan (Spink,1999:4). Bangunan dirancang sesuai dengan konsep pengembangan dan pencapaian target konsumen, aktifitas ritel berada di antara toko-toko yang mempunyai keterkaitan dan ketertarikan pengunjung untuk mendatangi area tersebut. Stakehorder Pengembang Pusat Perbelanjaan Pengembang (sektor privat) merupakan perusahaan yang berkosentrasi terhadap fokus tertentu atau perusahaan dengan berbagai spesialisasi di lingkup pembangunan, terencana dengan berbagai konsep dan ukuran (Cadman, 1978:12). Hal ini mengartikan pengembang tidak saja perusahaan yang diizinkan beroperasi, tetapi turut memberi kontribusi terhadap proses pembangunan. Para pengembang dapat bergerak dalam properti perumahan, perdagangan dan jasa, perkantoran, apartemen, ataupun penyediaan infrastrutur perkotaan. Satu perusahaan pengembang dapat saja membangun pusat-pusat perbelanjaan, jajaran ruko/ toko, unit-unit rumah, tempat rekreasi, hingga sekolah/ rumah sakit dalam area pengembangan mereka. Karakteristik Pengembang Pusat Perbelanjaan Pengembang dalam membangun dipengaruhi oleh ketertarikan, keahlian, dan kemampuan terhadap kondisi pasar (Cadman, 1978:12). Pandangan Cadman tersebut mengindikasikan bahwa

sektor privat melakukan prinsip dasar saat perumusan pembangunan di wilayah mereka. Identifikasi kecenderungan terhadap keinginan pasar atau kecenderungan trend dalam penggunaan produkproduk properti serta kemampuan untuk membuat dan mengelolah hasil pembangunan di dalam area pengembangan. Pearlmutter & Portnov,1999 menyebutkan dua faktor yang menjadi pertimbangan bagi sektor privat membangun area ialah memperoleh keuntungan. Kepentingan sektor privat diantaranya: a. Faktor biaya seperti kesediaan lahan, infrastruktur, insentif dari pemerintah, dan harga konstruksi b. Faktor dukungan berupa migrasi penduduk, aksesbilitas, daya beli, dan dukungan lingkungan fisik Faktor-faktor biaya dan dukungan terkait satu sama lain terhadap pencapaian keuntungan maksimal melalui proses pemenuhan permintaan, atau pemberian penawaran. Kesemua berpengaruh terhadap nilai investasi yang ditanamkan termasuk elemen lokasi yang digambarkan dalam gambar di bawah ini:

Lokasi

Lokasi

Lokasi

Faktor Biaya

Populasi/ Migrasi Aksesbilitas Daya Beli

Faktor Keuntungan

Kondisi Alam

Ketersediaan Lahan Infrastruktur Dukungan Pemerintah Biaya Kontruski

Kebijakan Investasi

PENAWARAN

PERMINTAAN

Keuntungan Sumber: Pearlmutter & Portnov, 1999

Gambar 4 Faktor Penentu Pembangunan oleh Privat Peran Stakehorder Keterlibatan sektor privat di dalam pembangunan merupakan inovasi dalam mengatasi tantangan pembangunan, hal ini karena sektor privat bermain di luar kebiasaan/ metode tradisional, seperti perusahaan, asosiasi, yayasan, lembaga akademis, dan jaringan individu. (UNDP, 2004:29-30). Cara kerja sektor privat berbeda dengan pemerintah, hal ini karena status mereka sebagai sebuah perusahaan, penerapan metode guna mendatangkan keuntungan. Kondisi itulah yang membedakan dengan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, sektor privat melakukan inovasi, kreatifitas, bahkan keberanian yang berbeda saat membuat konsep/ rencana. Usaha tersebut guna menjaga eksistensi perusahaan agar dapat bertahan dan keberlanjutan proses pembangunan. Kemampuan sektor privat di dalam melakukan inovasi pembangunan dapat menumbuhkan iklim investasi semakin baik. Bouron, 1998, menyatakan dukungan sektor privat seperti promosi proyek pembangunan dan penciptaan pasar modal yang efisien dapat mendorong pertumbuhan kewirausahaan produktif sehingga membantu pertumbuhan di negara itu. Iklim penciptaan inovasi dan kretatifitas tentu akan memacu produktifitas perusahaan, keterlibatan berbagai perusahan di dalam pembangunan dapat saja menghidupkan modal agar bergerak secara efesien. Berdasarkan pendapat Bouron, kawasan/ wilayah yang dikembangkan diisi dengan metode pembangunan yang yang inovatif, hal ini secara tak langsung memberikan pengaruh baik terhadap keberlangsungan pembangunan.

D. Sintesis Teori Pusat Perbelanjaan Modern Penjabaran teori-teori mengenai pusat perbelanjaan dalam aktifitas komersial disusun sintesis dalam tabel berikut di bawah ini: TABEL 4 SINTESIS TEORI
No. 1. Konsep Karakter perdagangan dan jasa Bahan Ciri Pusat kota Pengagas Miles Tahun 1991 Pembelajaran Pusat kota dapat terindentifikasi dengan tingkat tingginya volume, aktifitas, dan orientasi terhadap pasar Lokasi komersial memiliki tingkat aksesbilitas tinggi dan cenderung dekat pusat kota Penggunaan lahan untuk kegitan perdagangan dan jasa di perkotaan sebesar 4,8 5% Pertimbangan pembangunan pusat perbelanjaan Intisari

Volume aktifitas tinggi Orientasi terhadap pasar Aksesbilitas tinggi Dekat CBD
Kegitan perdagangan dan jasa di perkotaan sebesar 4,8 - 5%

Lokasi komersial 2. Perencanaan Kawasan Perdagangan dan Jasa Pusat Perbelanjaan Proporsi perdagangan dan jasa Pembangunan pusat perbelanjaan

Turnbull dan Balchin & Kieve Eisner

1995 dan 1998 1993

3.

Spink, Frank H.

1999

Aktifitas ritel di pusat perbelanjaan Perbedaan pada hirarki pusat perbelanjaan

ibid Berman & Evans dan Jones, K. & Simmons J.

ibid 2009 dan 1993

Pembeda ritel di pusat perbelanjaan dengan ritel lain Perbedaan pada hirarki pusat perbelanjaan di Amerika dan Kanada

Penyatuan antara site Kosentrasi populasi Konsep pembangunan Kondisi pasar Tipe bangunan Penggunaan lahan Luas bangunan GLA (Gross Leasable Area) Jangkauan penyewa Jumlah toko (rata-rata) Tipe bisnis Besar pasar (penduduk) Area (jangkauan) Penjualan (rata-rata) One-stop shopping Image yang berbeda Jaringan jalan jalur cepat Tempat parkir
Faktor biaya

Karakteristik pusat perbelanjaan

Berman Evans

&

2009

Karakteristik pusat perbelanjaan

4.

Karakter Pengembang

Sektor privat dalam membangun

Pearlmutter & Portnov

1999

Faktor yang mempengaruhi sektor privat dalam membangun

Kesediaan lahan Infrastruktur Insentif dari pemerintah Harga konstruksi


Faktorkeuntungan

Migrasi penduduk Aksesbilitas Daya beli Dukungan lingkungan fisik


Sumber: Analisis Penyusun, 2010

E. Definisi Operasional Pusat Perbelanjaan Modern Pusat perbelanjaan modern atau yang lebih dikenal dengan mal. Mal ialah gedung/ kelompok bangunan yang berisi macam-macam toko dihubungkan dengan jalan penghubung (Kamus Besar Indonesia, 2010). Mal dapat diartikan pula sebagai shopping center, pusat perbelanjaan (Kamus Oxford, 2003), sedangkan pusat perbelanjaan modern yang digambarkan oleh pemerintah ialah area tertentu yang terdiri dari satu atau beberapa bangunan yang didirikan secara vertikal maupun horizontal, yang dijual atau disewakan kepada pelaku usaha atau dikelola sendiri untuk melakukan kegiatan perdagangan barang (Peraturan Presiden No.112 Tahun 2007 tentang Penataan & Pembinaan Pasar Tradisional). Penggunaan istilah dalam penelitian ini menggunakan pusat perbelanjaan yang mengacu kepada definisi dalam Peraturan Presiden No.112 Tahun 2007. Di Indonesia penamaan pusat perbelanjaan terdapat berbagai penyebutan seperti megamal, supermal, plaza, square, trade center, city walk, dll. Penamaan tersebut biasanya disesuaikan dengan luas bangunan, jenis produk jual, dan kewenangan pemilik. Adapun berbagai penamaan yang ada, terdapat persamaan yang mendeskripsikan terkosentrasinya toko-toko yang berada dalam satu atau

beberapa bangunan, dijual atau disewakan kepada pelaku usaha atau dikelola sendiri, berada dalam satu manajemen, mengutamakan kenyamanan saat berbelanja, bermodal relatif kuat, dan dilengkapi dengan label harga. Manajemen mengatur terhadap operasi dan perawatan untuk keberlangsungan aktifitas perdagangan seperti kelola kebersihan, keamanan, fasilitas, dan usaha untuk mendatangkan pengunjung. Keberadaan pusat perbelanjaan dikaji terhadap perencanaan kota sub perencanaan tata guna, berkaitan dengan kesesuaian dengan kependudukan dan persebarannya, kesesuaian dengan aksesbilitas, kesesuaian pembangunan pusat perbelanjaan dengan Rencana Tata Ruang Kota Tangerang Selatan, dan analisis kebijakan makro. Penjelasan hubungan dengan elemen-elemen yang terkaitan dengan perencanaan tata guna dikombinasikan pula dengan teori mengenai pusat perbelanjaan seperti: a. Teori komersial (berdasarkan lokasi, dan jenis) oleh Turnbull (1995) dan Balchin & Kieve, (1998) b. Pertimbangan pembangunan pusat perbelanjaan oleh Spink (1999) c. Pusat perbelanjaan (karaktersitik, hirarki, posisi dengan ritel) oleh Turnbull (1995) Balchin & Kieve (1998), Berman & Evans dan Jones, K. (2009), Simmons J. (2003), dan Kliment, Stephen A. (edt) (2004). Laporan penelitian mengenai perkembangan pusat perbelanjan modern ini tidak terlepas dengan istilah yang berada dalam lingkup perdagangan ataupun properti sub komersial, berikut terdapat definisi operasional terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penyusunan laporan ini: TABEL 5 DEFINISI OPERASIONAL
No. 1. Definisi Pasar Modern Keterangan Pasar yang dibangun oleh pemerintah, swasta atau koperasi yang dalam bentuknya berupa mal, supermaket, departement store, dan shopping centre dimana pengelolaannya dilaksanakan secara modern dan mengutamakan pelayanan kenyamanan berbelanja dengan menajemen berada disatu tangan, bermodal relatif kuat, dan dilengkapi label harga yang pasti, sebagaimana dimaksud dalam Kep. MenPerInDag No. 420/ MPP/ Kep/ 10/ 1997 3 Pasar yang dibangun dan dikelola oleh pemerintah, pemda, swasta, BUMN/ BUMD termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los, dan tenda yang dimiliki/ dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar 4 Area tertentu yang terdiri dari satu atau beberapa bangunan yang didirikan secara vertikal maupun horizontal, yang dijual atau disewakan kepada pelaku usaha atau dikelola sendiri untuk melakukan kegiatan perdagangan barang 4 Terbaru 1 & 2 Bukan milik pemerintah 2 Pribadi; Tersendiri; Partikelir 2 Perihal dagang; urusan dagang; perniagaan 2 Perbuatan yg baik atau berguna dan bernilai bagi orang lain, negara, instansi, dsb. 2 Berhubungan dengan niaga atau perdagangan; Dimaksudkan untuk diperdagangkan; Bernilai niaga tinggi, kadang-kadang mengorbankan nilai-nilai lain (sosial, budaya, dsb.) 2 Orang yg mengembangkan; Perusahaan yg melakukan kegiatan pengadaan dan pengolahan tanah serta pengadaan bangunan dan/ atau sarana dan prasarana dng maksud dijual atau disewakan 2 Toko besar yang menjual makanan, perangkat rumah tangga, dsb. 1 Toko besar yang menjual berbagai macam produk dari merk dagang yang berbeda 1 Supermarket yang sangat besar 1 Pusat perbelanjaan (kecil), kadang-kadang juga dengan perkantoran 1 Pasar swalayan kecil 2 Seseorang yang membayar harga sewa atas pemakaian lahan/ bangunan1 Seseorang yang menjual makanan, produk, dan sebagainya di jalan atau orang yang menjual rumah/ properti lainnya1

2.

Pasar Tradisional

3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.

Pusat Perbelanjaan Modern Swasta Privat Perdagangan Jasa Komersial Pengembang Supermarket Departemen Store Hipermarket Plaza Minimarket Tenant Vendor

Sumber: 1Oxford:Learners Pocket Dictionary.2003. 2 Kamus Besar Bahasa Indonesia. 3 Permen Dagri No.107-1998 ttg Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin 4 Perpres No.112-2007 ttg Penataan & Pembinaan Pasar Tradisional

METODELOGI Identifikasi perkembangan dilakukan untuk mencari bagaimana pusat perbelanjaan beroperasi di kota ini hingga mengalami perkembangan pesat. Kajian studi berdasar kepada elemen perencanaan kota (penggunaan lahan & aksesbilitas) dengan kondisi internal dari pusat perbelanjaan seperti: lokasi, area operasional, penyewa utama, waktu operasional, dan fasilitas pendukung. Penelitian menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan analisis deskriftif dan eksploratif yang di dengan olahan data dan intisari dari rekapitulasi wawancara.

TEMUAN STUDI a. Perkembangan pusat perbelanjaan dimulai dari turunnya kebijakan, Intruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976 tentang Pembangunan Wilayah JABODETABEK. Dasar kebijakan tersebut membuat arus pencari kerja dari daerah ke wilayah JABODETABEK, sehingga menimbulkan permukiman dan perumahan-perumahanbaru di Tangerang. Serta, pemberlakuan kebijakan Keputusan Presiden Nomor 118 Tahun 2000 yang berpengaruh terhadap peningkatan pembangunan pusat perbelanjaan. b. Pusat perbelanjaan yang ada di Kota Tangerang Selatan tidak hanya sebagai pusat perbelanjaan tetapi didapati pusat perbelanjaan yang berfungsi sebagai pusat perdagangan, diantaranya: Plaza Serpong, WTC Matahari, ITC BSD, BSD Junction, dan Pamulang Square. c. Pembangunan pusat perbelanjaan terbanyak berada dalam pada tahun 2002-2005 yaitu sebanyak 4 dari 8 pusat perbelanjaan di bangun pada 2002-2005. d. Pusat perbelanjaan yang ada di Kota Tangerang mengalami perkembangan dari tahun 1990 hingga 2010. Perkembangan terlihat dari pembangunan berbagai pusat perbelanjaan baru yang terjadi di jalan arteri Jalan Raya Serpong-Pahlawan Seribu dan Raya Pamulang seperti Plaza Serpong, WTC Matahari, ITC BSD, BSD Junction, Teras Kota, dan Pamulang Squre. Kelima pusat perbelanjaan tersebut berkembang mulai tahun 2002 setelah diberlakukan kebijakan yang mengizinkan investasi bermodal asing untuk menggerakkan usaha di sektor perdagangan dan jasa termasuk pendirian pusat perbelanjaan.
Sebelum 1990 Tidak ada pusat perbelanjaan Periode 1990-1995 Plaza Bintaro dan Plaza BSD Periode 1995-2000 Tidak ada pembangunan pusat perbelanjaan
Sumber: Hasil Analisis, 2011

Periode 2000-2005 Pembangun an 4 pusat perbelanjaan baru

Setelah 2005 Pembangun an 2 pusat perbelanjaan baru

Gambar 5 Perkembangan Pusat Perbelanjaan e. Lama operasi pusat perbelanjaan yang sesuai dengan Peraturan Presiden RI No.112 Tahun 2007 yaitu 12 jam, dari keseluruhan objek studi hanya 37,5% yang sesuai dengan kebijakan tersebut f. Pusat perbelanjaan yang ada di Kota Tangerang Selatan sebanyak 62% merupakan pusat perbelanjaan yang berfungsi pula sebagai pusat perdagangan. Ciri pusat perdagangan pada objek studi ialah mempunyai banyak toko dengan luas toko sekitar 6-9 m2, dan konsep marketing secara strata title (hak milik).

10

Sebelum Tahun 1995

Periode 1995-2005

Setelah Tahun 2005

Plaza Bintaro (1993) dan Plaza BSD (1994) didirikan sebagai tempat belanja bagi penghuni di perumahan-perumahan yang dibangun oleh pengembang pusat perbelanjaan tersebut Kedua pusat perbelanjaan itu sebagai fasilitas pendukung perumahan di Bintaro Jaya dan BSD (Bumi Serpong Damai)

WTC Matahari, Plaza Serpong, ITC BSD, dan BSD Junction merupakan pusat perbelanjaan yang dibangun di saat tahun kebangkitan sektor properti (tahun 2003-2004) Keempat pusat perbelanjaan ini mengedepankan lokasi pusat perbelanjaan yang terletak di jalan arteri sekunder, Jalan Raya Serpong Pahlawan Seribu

Teras Kota dan Pamulang Square mulai beroperasi di tahun 2009 Teras Kota sebagai pusat perbelanjaan berkonsep gaya hidup dan hiburan dan bersisian dengan Hotel Santika Pamulang Square sebagai tempat belanja bagi warga Pamulang dan berbatasan dengan Situ Pamulang

Sumber: Hasil Analisis, 2010

Gambar 6 Perkembangan Pusat Perbelanjaan di Kota Tangerang Selatan

11

KESIMPULAN & REKOMENDASI Kesimpulan Penelitian ini mengkaji identifikasi perkembangan pusat perbelanjaan yang berada di Kota Tangerang Selatan. Sasaran penelitian meliputi identifikasi kawasan perdagangan dan jasa, identifikasi karakterstik pusat perbelanjaan, dan analisis perkembangan. Adapun kesimpulan dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Perkembangan pusat perbelanjaan disebabkan bebeberapa sebab diantaranya: perkembangan berbagai perumahan ekonomi menengah ke atas hingga menengah, pertumbuhan jumlah penduduk yang berasal dari arus migrasi, dukungan pemerintah melalui pemberlakuan kebijakan, kondisi infrastruktur yang baik dan lengkap serta posisi Kota Tangerang Selatan yang berbatasan dengan ibu kota 2. Lokasi pusat perbelanjaan sebagian besar sudah sesuai dengan arahan lokasi pusat perbelanjaan yang diatur oleh Permen PU No.41/PRT/ M/ 2007. Sebanyak 6 dari 8 pusat perbelanjaan yang menjadi objek studi terletak di jalan utama. 3. Plaza BSD dan Plaza Bintaro merupakan pusat perbelanjaan yang beroperasi sebelum tahun 1995 dan masih beroperasi hingga saat ini. Keberlanjutan operasional kedua pusat perbelanjaan tersebut dapat berjalan karena memadukan berbagai elemen pembangunan pusat perbelanjaan seperti: dekat dengan sumber sumber penduduk yang mendiami perumahan golongan ekonomi menengah-tinggi, dukungan sarana & prasarana sekitar pusat perbelanjaan, dan keberadaan aktifitas di sekitar pusat perbelanjaan. 4. Berdasarkan analisis identifikasi karakteristik pusat-pusat perbelanjaan modern, hirarki pusat perbelanjaan skala regional ialah Plaza BSD, Plaza Bintaro, dan Teras Kota. 5. Karakter lingkungan sekitar pusat perbelanjaan berbeda-beda, hal ini karena lokasi pusat perbelanjaan tidak berada dalam satu area seperti: Plaza Serpong yang berdampingan dengan aktifitas indrustri, Plaza Bintaro-Plaza BSD-WTC Matahari berbatasan dengan perumahan, Teras Kota dan hotel berbintang berada dalam satu kavling, ITC BSD-BSD Junction berdampingan dengan bangunan komersial lain, dan Pamulang Square yang bersisian dengan area resapan Situ Pamulang. 6. Jumlah pusat perbelanjaan eksisting dengan jumlah pusat perbelanjaan tidak ada yang sesuai dengan pengaturan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.41/ Prt/ M/ 2007 7. Keberadaan pusat perbelanjaan yang berlokasi di Jalan Serpong, Pahlawan Seribu dan Raya Pamulang sudah sesuai dengan pengaturan lokasi pusat perbelanjaan yang termuat dari Perpres tersebut, karena ketiga jalan tersebut berfungsi sebagai jalan arteri sekunder. 8. Lokasi pusat perbelanjaan juga sesuai dengan arahan pemanfaatan lahan terhadap rencana tata ruang kota yang berlaku (saat ini arahan mengacu kepada RTRW Kabupaten Tangerang Tahun 2008). Rekomendasi Penelitian ini melalui berbagai tahapan rencana, pencarian data, pengamatan, dan analisis yang kemudian mendapatkan catatan yang berkaitan dengan tahapan tersebut. Catatan hasil termuat dalam rekomendasi ialah: Pengaturan terhadap kawasan perdagangan dan jasa diperjelas baik yang bersifat perencanaan ataupun perancangan kawasan, karena jika dibiarkan berkembang menurut perkembangan pasar, aktifitas di kawasan perdagangan dan jasa eksisting dapat menimbulkan permasalahan baru. Pengaturan untuk pembangunan pusat perbelanjaan sebaiknya sesuai dengan karakter operasional pusat perbelanjaan, hal ini karena pembangunan pusat perbelanjaan berbeda dengan penyediaan sarana kesehatan, pendidikan, olah raga yang berkaitan dengan jumlah penduduk. PUSTAKA BUKU Ambrose, Peter. 1994. Urban Process and Power. London & New York: Routledge. Balchin, Paul N dan Kieve, Jeffrey L. 1982. Urban Land Economic. London: The Macmillan Press Ltd.

12

Beddington, Nadine. 1976. Departemen Store, Supermarket, and Shops. In Edward D. Mills. (ed). Planning Building For Habitation Commerse and Indrstry. London: Newnes-Butterworths, pp. 5-1. Berman, Barry & Evans, Joel R. 2009. Retail Management : A Strategic Approach. Tenth Edition. Delhi: Pearson Education and Dorling Kindersley. Bouron, Lawrence (dkk). 1998. The Private Sector and Development: Five Case Studies. Wangshinton D.C: International Finance Corporation. Cadman, David & Topping, Rosalyn.1978. Property Development, Fourth Edition. London & New: York Spon Press. Coleman, Peter.2006. Shopping Environment: Evolution, Planning, and Design.Architectural. New York: Oxford Press. Dawson, John A. & Lord, J. Dennis. 1958. Shopping Center Development: Policies and Pospects. New York: Nichols Publishing Company. De Chiliara, Joseph and Lee Kopperran. 1982. Urban Planning and Design Criteria. Third Edition. New York: Van Nostrand Reinhold. Eisner, Simon. 1993. The Urban Pattern: City Planning and Design. Edisi VI. New York: Van Nostrand Reinhold. Hidayanti, Wahyu & Harjanto, Budi. 2003.Konsep Dasar Penilaian Properti. Yogyakarta:BPFE. Jones, K. dan J. Simmons 1993. Location, Location, Location: Analyzing the Retail Environment. Ontario: Nelson Canada. Kliment, Stephen A. (edt). 2004. Building Type Basic for Retail and Mix-used Facilities. Hoboken: John Willwy & Sony Inc. Lusht, Kenneth M. 1997. Real Estate Valuation: Principles and Applications. Dubuque, Iowa : Times Mirror Higher Education Group. Miles, Mike et al.1991. Real Estate Development Principles and Process. Moh. Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Spink, Frank H.1999. Shopping Center Development. Washington D.C: ULI (Urban Land Institute). Turnbull, Geoffrey K. 1995 .Urban Consumer Theory. Wanghiston, D.C: The Urban Institute Press. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2005. Edisi III. Balai Pustaka. Jakarta. The Oxford Dictionary. 2003. New York:Oxford University Press. SKRIPSI/TESIS Harjanti, Astriana. 2002. Identifikasi Faktor Faktor Penyebab Perubahan Penggunaan Lahan Permukiman Menjadi Komersial di Kawasal Kemang Jakarta Selatan. Tugas Akhir Tidak Diterbitkan, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang. PERATURAN/ UNDANG-UNDANG Peraturan Presiden No.112 Tahun 2007 tentang Penataan Dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan Dan Toko Modern. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.107-1998 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.41/Prt/M/2007 tentang Tata Cara Peren. Lingkungan Perumahan di Perkotaan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor : 53/M-DAG/PER/12/2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembiaan Pasar Tradisional Peraturan Presiden No.118 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2000 Tentang Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota. No. 038/TBM/1997. Departemen Perencanaan Umum. Undang-undang No. 34 Thun 2004 tentang Jalan. Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Undang-undang No.51 tahun 2008 pembentukan Kota Tangerang Selatan LAPORAN DATA/ BUKU DATA Kabupaten Dalam Angka 1990, 1995, 2000, 2005, & 2009. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tangerang. 1990, 1995, 2000, 2005, & 2009. Peta Jabodetabek. Holtorf, Gunther W. 2010.

13

Profil Konsumen Indonesia. 2008. Mars Indonesia. 2008. Profil Kota Tangerang Selatan. Bappeda Kota Tangerang Selatan. 2008. RDTRK Kec. Pondok Aren 1995-1996. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Tangerang. 1996. RDTRK Kec. Serpong 1993-2003. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Tangerang. 2003. Sensus Ekonomi Tahun 2006. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tangerang.2006. Survei Properti Komersial 2008. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia. Triwulan IV 2009 . ARTIKEL Jurnal Atmawidjaja, Endra Saleh. 2009. Masihkah Kota Kota Di Indonesia Butuh Mall?. Buletin Penataan Ruang Edisi Januari- Februari. Publikasi Departemen Pekerjaan Umum: Jakarta. Kenichiro, aria. 1999. Only Yesterday in Jakarta: Property Boom and Consumptive Trends in Late New Order Metropolitan City. Southeast Asian Studies, Vol. 38 No. 4, March 2001. Portnov, Boris A & Pearlmutter. 1999. Private Construction as a General Indicator of Urban Developmnet: The Case of Israel..International Planning Studies, Vol. 4.1, pp.131-161. Internet Hartono, Hendra. 2010. Posisi Penyewa Ritel Lebih Kuat Dari Pemilik. [Homepage of Kompas]. Available at: http://properti.kompas.com/read/xml/2010/02/02/1949 4624/posisi.penyewa.ritel.lebih.kuat.dari.pemilik. Diakses pada tanggal 26 April 2010. Redaksional. 2009. BSD Tetap Berkibar di Bisnis Properti. [Homepage of Koran Banten]. Available at: www.koranbanten.com/2009/02/page/12/. Diakses pada tanggal 23 Maret 2010. www.undp.org. (Website United Nations Development Programme). Diakses 16 Maret 2010 dalam buku Unleashing Entrepreneurship: Making Business Work for the Poor . 2004. Simanungkalit, Panangian . 2003. Sektor Properti Empat Tahun Terakhir Tumbuh Luar Biasa. [Homepage of Sinar Harapan Properti] [Online]. Available at: http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/properti/2003/0912/prop2.html. Diakses pada tanggal 19 Oktober 2010. Koran Lis Y Joniansyah. 2008. Tata Ruang Kota Tangerang Selatan Dirancang. Tempo, Edisi VII, 07 November 2008. WEBSITE www.kompas.com. (Website Harian Umum). Diakses 30 Maret 2010. www. indonesianestate.com. (Website Real Estate Indoensia). Diakses 21 April 2010. www.tangerangkab.go.id. (Website resmi Pemerintahan Kabupaten Tangerang). Diakses 29 Desember 2009. www.tangerangselatan.go.id. (Website resmi Pemerintahan Kabupaten Tangerang Selatan). Diakses 29 Desember 2009. www.Google Earth. 2010.

14

Вам также может понравиться