Вы находитесь на странице: 1из 12

PENDAHULUAN Latar Belakang Sepanjang tahun 80-an seorang pakar budaya politik dan nilai-nilai demokrasi Ronald F.

Inglehart yang juga direktur World Values Survey (WVS) melakukan survei terhadap 70 negara di dunia. Negara yang dijadikan sampel mencakup negara dengan sistem yang paling demokratis dan negaranegara yang paling otoriter. Survei tersebut juga mencakup 10 negara Muslim di dunia. Hasilnya, Inglehart menyimpulkan bahwa untuk membangun demokrasi yang stabil dibutuhkan budaya politik yang secara kuat mendukung demokrasi. Ada 5 faktor yang esensial mendorong dan mengukuhkan sistem demokrasi politik yang stabil. Pertama, kepercayaan politik (political trust). Salah satu indikatornya adalah seorang lawan politik akan menerima aturan main dari proses demokrasi dan akan menyerahkan kekuasaannya jika ia kalah dalam pemilihan umum. Kedua, toleransi sosial (social tolerance). Indikatornya adalah kerelaan menerima kelompok-kelompok yang tidak populer dalam masyarakat. Ketiga, pembangunan ekonomi. Standar hidup yang tinggi akan memberi legitimasi bagi institusi-institusi demokrasi dan pemegang jabatan politik. Keempat, dukungan luas terhadap kesetaraan gender. Kelima, prioritas yang tinggi menyangkut kebebasan mengemukakan pendapat dan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Inglehart, dalam masyarakat Muslim umumnya, tingkat kepercayaan, toleransi, kesetaraan gender, dan kebebasan berpolitik jauh berada di bawah negara-negara yang demokrasinya sudah mapan. Kesimpulan itu diperkuat studi berikutnya yang dilakukan tahun 90-an terhadap 131 negara di dunia. Menurut studi ini, budaya politik akan menentukan demokrasi lebih daripada demokrasi menentukan budaya politik. Budaya politik suatu bangsa dengan demikian juga menentukan keberhasilan proses transformasi menuju demokrasi. Berdasarkan hasil studi tersebut, maka prospek demokrasi di Timur Tengah pascarevolusi juga dapat diprediksi dengan faktor-faktor di atas. Pertama, budaya politik. Negara-negara di Timur Tengah, setelah bebas dari cengkraman kolonialisasi Barat, umumnya dipimpin para diktator otoriter. Sehingga sejak negaranegara itu berdiri sampai sekarang belum ada pendidikan politik yang baik bagi masyarakatnya. Kondisi ini menyebabkan rakyat tidak memiliki ruang untuk belajar nilai-nilai demokrasi yang esensial. Sehingga usaha untuk membangun demokrasi yang stabil menjadi sangat sulit.

Kedua, pembangunan ekonomi. Kemiskinan atau dalam konteks ini kesulitan hidup membuat pelaksanaan demokrasi tidak mudah. Persoalan ekonomi yang mengimpit rakyat akan menjadi fokus perhatian siapa pun yang akan memegang kendali kekuasaan di Timur Tengah di masa mendatang. Meskipun kawasan ini kaya dengan minyak, namun keuntungan eksplorasi minyak selama ini hanya dinikmati para penguasa dan kroninya, sementara rakyat sebagian besar masih terbelit kemiskinan. Jalan ke arah demokrasi masih menjadi tanda tanya besar di wilayah ini bila kondisi ekonomi sebagai variabel yang menentukan pembangunan demokrasi dijadikan ukuran. Bahkan, kemungkinan terburuk dapat saja terjadi, yaitu meluasnya kekerasan akibat kurangnya makan, tidak layaknya tempat tinggal, dan rendahnya kualitas kesehatan. Patologi sosial dalam bentuk anarkisme akan terjadi di mana-mana. Menawarkan demokrasi di tengah kepahitan hidup ibarat menawarkan batangan emas kepada nelayan yang hampir tenggelam di tengah lautan karena badai. Ketiga, struktur sosial masyarakat. Masyarakat Timur Tengah memiliki komposisi penduduk yang cukup heterogen berdasarkan perbedaan suku, partai politik, dan agama karena meskipun mayoritas Muslim ada banyak sekali mazhab di dalamnya. Komposisi heterogen itu dapat memunculkan instabilitas politik dan keamanan karena telah terjadi pelepasan partisipasi politik dan ekonomi. Pembunuhan terhadap lawan politik dan pemberontakan bersenjata merupakan contoh nyata akibat pelepasan partisipasi politik dan ekonomi kaum minoritas. Selama pemerintahan rezim, kelompok-kelompok minoritas khususnya Muslim Syiah dan umat Kristen Arab tidak mendapatkan proporsi layak dalam kekuasaan politik di Timur Tengah. Pada akhirnya ini akan mendorong kelompok-kelompok tersebut merebut kekuasaan politik sesuai dengan proporsi jumlah mereka. Jika asumsi ini benar, maka terutama Muslim Syiah akan menjadi imbangan kekuatan politik paling besar bagi Muslim Sunni. Sementara di sisi lain, partai-partai kecil yang nasionalis juga akan memperebutkan kekuasaan politik secara proporsional. Keempat, faktor eksternal. Perubahan di negara-negara Muslim yang kini sedang bergerak ke sistem demokrasi dapat menjadi lingkungan eksternal yang kondusif bagi proses demokrasi. Namun, sayangnya angin perubahan ini juga akan diikuti kekerasan akibat konflik yang terus berkepanjangan. Konflik Palestina-Israel akan menjadi lingkungan eksternal yang kurang kondusif bagi pembangunan demokrasi. Selain itu, kepentingan negara-negara tetangga seperti Iran, Israel, dan Turki akan menjadikan masa depan demokrasi semakin sulit diprediksi. Perjalanan demokrasi di Timur Tengah setidaknya akan ditentukan keempat faktor di atas. Kemauan masing-masing

kelompok untuk menerima perbedaan dan rela berkompetisi secara jujur dalam memperebutkan kekuasaan politik akan sangat menentukan keberhasilan demokratisasi di masa datang. Namun, ketiadaan pendidikan politik selama ini dan rendahnya budaya politik demokratis akan sangat mengganggu proses itu sendiri. Demokrasi merupakan sesuatu yang harus diperjuangkan. Diperlukan proses panjang sehingga nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan menginternal dalam kehidupan masyarakat. Perjalanan akan menemukan demokrasi yang sesungguhnya telah digariskan jauh sebelum niat akan sebuah demokrasi itu muncul. Demokrasi yang diciptakan untuk kemaslahatan rakyat luas dengan pemerintahan yang dari, oleh, dan untuk rakyat tidak akan berjalan mulus. Perjuangan demokrasi tersebut akan menimbulkan berbagai problema sesuai dengan kedinamisan kehidupan politik dalam kaitannya dengan berbagai aspek lain yang jauh lebih kompleks. Bila melihat sejarah ke belakang bahwa banyak proses untuk terwujudnya demokrasi itu harus melalui sebuah revolusi yang penuh dengan dialektika, logika, romantika, dan bahkan terkadang terjadi dengan pertumpahan darah. Revolusi dengan alur yang sama yakni merobohkan, menjebol, dan membangun kembali dari dasar. Banyak negara di dunia yang sudah mengalami hal ini bahkan tidak hanya dari segi pemimpin yang harus dirubah melainkan seluruh komponen pendukung berjalannya roda pemerintahan. Dalam kasus kejatuhan rezim otoriter dalam studi transisi menuju demokrasi juga bisa juga disebabkan oleh persoalan konflik di kalangan elit, inilah yang terjadi di Mesir, ketika elit seperti militer meninggalkan presidennya, dan bergabung dengan rakyat untuk menumbangkan rezim otoriter yang berkuasa. Kasus ini juga terjadi di Tunisia yang berhasil menumbangkan rezim otoritarian Presiden Tunisia yaitu Ben Ali, yang dijatuhkan oleh rakyatnya sendiri. Desakan dan tuntutan akan adanya sebuah demokrasi di negara tersebut memaksa mereka untuk merelakan seluruh kejayaan, kekayaan, dan kekuasaan yang telah mereka himpun selama ini. Rakyat yang sudah semakin cerdas ingin terjadinya sebuah revolusi untuk memberangus semua hal-hal busuk dari pemerintah sebelumnya dan mengalihkan jalurnya ke tatanan demokrasi. Dunia begitu terkejut dengan revolusi yang sedang berlangsung di dunia Arab. Bahkan intelejen barat seperti CIA maupun Mossad Israel pun tidak mengendus sama sekali. Ini bisa dipahami, karena revolusi ini dimulai murni oleh rakyat. Mulainya di Tunisia, seorang pedagang sayur yang protes dan membakar diri karena dagangannya digusur. Peristiwa ini menyulut protes besar-besaran di seluruh Tunisia yang akhirnya membuat Presiden Abidin Ben Ali terguling.

ISI

Pembahasan Revolusi di Tunisia ini merupakan revolusi yang berasal dari rakyat yang sudah jenuh dengan kepemimpinan dictator Presiden Ben Ali selama 23 tahun lamanya. Latar belakang Ben Ali ini adalah seorang Jenderal Angkatan Perang Tunisia. Lahir di Hammam Sousse 3 September 1936 saat ini berumur kurang lebih 74 tahun. Ia menjabat Presiden Tunisia sejak 7 November 1987 dan menjadi presiden kedua Tunisia sejak merdeka dari penjajahan Prancis tanggal 20 Maret 1956. Dalam karir militernya, ia pernah mengikuti pendidikan militer di Inter-Arms Saint-Cyr, pendidikan artileri Chalons-en-champagne dan pendidikan militer di Amerika Serikat. Tahun 1964 ia ditunjuk sebagai kepala Departemen Keamanan Militer hingga tahun 1974. Selanjutnya karirnya meningkat menjadi Direktur Jenderal Keamanan Nasional Departemen Dalam Negeri pada tahun 1977, setelah sebelumnya menjabat sebagai atase militer di Maroko dan menjadi duta besar Tunisia untuk Polandia. Setelah itu Bin Ali menjabat sebagai menteri dalam negeri Tunisia di bawah presiden Habib Bourguiba sampai 1 Oktober 1987. Pada tanggal 7 November 1987 ia di dukung sebagian rakyat Tunisia dan 7 tokoh akademisi menggulingkan presiden Bourguiba sehingga ia maju ke pucuk pimpinan sebagai presiden Tunisia. Pada rezim pemerintahannya, begitu banyak hak-hak rakyat yang dirampas dan tindakan represif pemerintah yang menindas rakyat pada akhirnya membuat rakyat marah dan melakukan aksi demonstrasi untuk menuntut hak-hak mereka kembali. Diantaranya yang paling menonjol yaitu hak atau kebebasan beragama dan mendapatkan pekerjaan atau penghidupan yang layak. Di negara ini, pekerjaan sangat sulit didapatkan walaupun bagi seorang yang memiliki ijazah. Kadar pengangguran cukup tinggi yaitu sekitar 40 persen yang juga dikarenakan presiden dan pemerintahan yang sangat korup. Bagi kebanyakan warga Tunisia, berhijrah keluar negara khususnya ke seberang Laut Mediterranean, yaitu ke negara Eropa adalah satu keharusan jika menginginkan kehidupan yang lebih baik. Di sana di samping peluang pekerjaannya yang banyak, ia juga dapat membebaskan diri mereka dari belenggu kezaliman rejim yang berkuasa di tanah air mereka. Selama kepemimpinannya, Ben Ali tetap mempertahankan sikap netral dalam perpolitikan internasional dan menjadi salah satu anggota gerakan non-blok. Di bidang ekonomi ia banyak mengembangkan proyek-proyek pembangunan infrastruktur seperti bandara, jalan raya, perumahan, dan fasilitas publik lainnya. Namun masalah pemerataan pendapatan, sempitnya

lapangan pekerjaan dan pengangguran masih menjadi masalah utama di Tunisia seperti halnya negara berkembang lainnya. Presiden yang telah 23 tahun berkuasa itu bahkan tidak mampu memecahkan permasalahan pengangguran di negaranya. Sebagian besar pengangguran adalah sarjana. Itu disebabkan karena liberalisasi ekonomi dan keterbukaan investasi yang berlebihan. Apalagi Tunisia tidak memiliki sumber daya alam sehingga sangat bergantung dengan asing. Dibidang politik, gerakan-gerakan Islam di Tunisia mengalami tekanan yang kuat dari pihak pemerintah. Ini terlihat dari kebijakannya memenjarakan lebih dari 30.000 aktivis gerakan Islam ketika partainya menguasai suara mayoritas parlemen. Ben Ali kemudian tampil menjadi seorang diktaktor seperti halnya Hitler, Soeharto atau Muammar Khadafi. Gerakan Islam dimatisurikan, aktivisnya banyak dijebloskan ke penjara, dan orang-orang yang dianggap penentang kebijakannya ditekan baik secara psikologis, mental maupun ruang geraknya. Ditambah lagi, Ben Ali yang dikenal sangat represif dalam berkuasa. Orang-orang di sekitarnya bertindak sangat melebihi kekuasaannya untuk menekan rakyat lemah. Ketertutupan akses politik juga menyebabkan rakyat tidak memiliki suara di pemerintahan. Di masa rezimnya, gerakan-gerakan Islam yang ada di Tunisia mengalami nasib lebih tragis dari sebelumnya. Tatkala partainya menyapu bersih perolehan kursi yang ada di parlemen, ia memenjarakan lebih dari 30.000 aktivis gerakan Islam yang merupakan tulang punggung partai yang olehnya dianggap sebagai "pembangkang". Sesungguhnya Ben Ali telah menjadikan Tunisia sebagai penjara terbuka dan pusat kebejatan moral. Walhasil, dengan salah kaprahnya pemikiran dan pemahaman rezim yang ada, Islam dan para pengembannya mengalami deraan, siksaan, dan hambatan berat. Meskipun ia berkoar-koar tentang demokrasi dan pluralisme, namun pada tataran praktik, partai politiknya tetap mendominasi dalam perolehan suara dan parlemen yang diperoleh dengan segala macam cara. Oposisi di berangus dan kebebasan pers di belenggu. Dampaknya pada pemilu tahun 1999 Ben Ali terpilih lagi menjadi presiden dengan perolehan suara mutlak 99,66%. Ia kembali dipilih pada 24 Oktober 2004, secara resmi meraih 94,48% suara, setelah referendum konstitusi yang kontroversial pada 2002 yang membuatnya bertahan sebagai presiden setidaknya hingga 2014. Sebagai negara yang mayoritas muslim adalah hal aneh jika pemerintah melarang wanita muslimah mengenakan jilbab di tempat umum. Pihak keamanan yang mendapati wanita berjilbab akan memaksanya untuk mencopot jilbab yang dikenakan lalu dipaksa menandatangani sumpah untuk tidak memakainya lagi. Inilah kebobrokan moral rezim Ben Ali. Selain itu, Menteri Dalam Negeri Tunisia saat itu, Dr. Al-Hadi Mohan menyatakakan, setiap warga muslim yang ingin mengerjkan shalat di masjid, harus mendapat persetujuan dan kartu elektronik.

Dr Mohan menyatakan bahwa aturan kepemilikan kartu elektronik untuk masuk masjid adalah instruksi Ben Ali yang kemudian dijadikan sebagai bagian dari kebijakan nasional negara. Undangundang pembatasan masuk masjid bagi masyarakat muslim Tunisia di masa rezim Ben Ali adalah sebagai berikut: 1. Kantor-kantor lokal Departemen Luar Negeri bertanggung jawab menentukan kelayakan para pemohon dan penempelan foto pada kartu elektronik yang digunakan untuk masuk masjid. Kartu itu digunakan sebagai tanda pengenal pengguna untuk memasuki masjid yang terdekat dengan rumah. Masjid terdekat yang dimaksud bukanlah masjid yang digunakan untuk shalat Jumat. Jika masjid yang terdekat dengan rumah termasuk masjid yang digunakan shalat Jumat, maka pemohon harus mengajukan permohonan secara terpisah. 2. Imam shalat jamaah di masjid harus memeriksa keabsahan identitas para pengguna karto elektronik dan kesesuaian kartu itu dengan identitas pengguna. Jika seseorang berupaya menghindar untuk menunjukkan kartu atau melakukan shalat di masjid lain, yakni bukan masjid yang ditentukan, maka ia akan dikeluarkan oleh imam shalat jamaah. 3. Wisatawan yang berkunjung ke Tunisia dan ingin mengerjakan shalat di masjid harus mengambil kartu elektronik di perbatasan. Kartu elektronik bagi wisatawan berlaku di semua masjid di negara ini. 4. Semua masjid harus difasilitasi dengan alat pembaca kartu elektronik. Setiap orang yang masuk dan keluar masjid harus melewati alat pendeteksi tersebut. 5. Daftar kehadiran masuk masjid akan diserahkan kepada imam shalat jamaah ke pejabat daerah setempat. Hal yang lebih menakjubkan, aturan ketat itu hanya berlaku bagi umat Islam yang berkewajiban melakukan shalat dan ibadah. Adapun non muslim dibebaskan melakukan kegiatan agama di tempat ibadahnya tanpa harus menggunakan kartu elektronik. Warga selain muslim dengan leluasa dapat beribadah di tempat-tempat ibadahnya tanpa pengawasan ketat dari antek-antek rezim Ben Ali. Demonstrasi yang dilakukan rakyat terhadap rezim Ben Ali bukan hanya karena masalah kemiskinan, kebebasan yang terkekang, dan HAM. Setelah diselidiki ternyata Ben Ali merupakan pendukung setia Israel. Buktinya,pemerintah Tunisia di masa Ben Ali pada 2008 lalu saat Israel menyerang Jalur Gaza, melarang warganya untuk melakukan demonstrasi anti- Israel. Parahnya, Ben Ali juga melarang upaya mengumpulkan bantuan rakyat untuk warga Gaza.

Revolusi ini juga dikenal dengan istilah Revolusi Jasmin, dimana bermula dari seorang pemuda bernama Mohamad Bouazizi. Pemuda yang menjadi pencetus kebangkitan rakyat Tunisia ini merupakan seorang tamatan sebuah universitas. Namun bagaikan lumrah kehidupan, pekerjaan sangat sulit didapatkan walaupun bagi seorang yang memiliki ijazah. Kadar pengangguran cukup tinggi yaitu sekitar 40 persen. Bagi kebanyakan warga Tunisia, berhijrah keluar negara khususnya ke seberang Laut Mediterranean, yaitu ke negara Eropa adalah satu keharusan jika menginginkan kehidupan yang lebih baik. Di sana di samping peluang pekerjaannya yang banyak, ia juga dapat membebaskan diri mereka dari belenggu kezaliman rejim yang berkuasa di tanah air mereka. Bouazizi yang begitu kecewa dengan tindakan rejim korup itu telah nekad, membakar diri di hadapan pejabat pihak berkuasa tempatan di kota kelahirannya Sidi Bousaid, Bara dalam sekam yang selama ini terpendam di hati warga Tunisia pun meledak membakar. Lautan manusia yang berdemonstrasi merebak ke seluruh kota-kota besar Tunisia seperti ibu kota Tunis, Sfak, Cartagho, Qairawan dan lain-lain. Seluruh lapisan masyarakat turun berdemonstrasi. Bukan saja para pengangguran dan rakyat biasa, namun juga turut disertai para intelek, profesional, politikus, dan berbagai elemen masyarakat. Negara menjadi lumpuh. Kekerasan dan keganasan tidak dapat lagi dibendung. Pejabat-pejabat kerajaan dan swasta, tentara dan polisi mulai melakukan tindakan balasan. Akibatnya puluhan nyawa melayang. Sehingga korban pun mencapai ribuan. Peristiwa kemarahan yang bermula dengan sebatang mancis yang membakar Bouazizi kini mulai merebak dan membakar seluruh Tunisia sehinggakan rejim yang terkenal zalim dan korup pimpinan Presiden Ben Ali tidak ada lagi pilihan lain kecuali lari menyelamatkan diri dan keluarganya. Pada mulanya presiden Ben Ali ke Perancis, namun setelah pemintaannya ditolak, lalu beliau tersebut menuju ke Arab Saudi. Kemenangan berpihak kepada rakyat Tunisia. Rezim korup dan zalim akhirnya tumbang. negara dalam keadaan darurat. Untuk mengisi kekosongan presiden, Perdana Menteri telah otomatis memangku jabatan Presiden. Namun tindakan tersebut mendapat kritikan para pakar perundangan dan bahkan bertentangan dengan perlembagaan negara itu sendiri. Perdana Menteri Mohamad Gannouchi yang merupakan sekutu Presiden yang digulingkan, menyerahkan jabatan kepada Speaker Parlimen Tunisia Fuad Almabzieg pada 15 Januari 2011 sebagai pemangku Presiden. Selain itu juga dijanjikan adanya pemilihan umum yang adil dan bebas dalam tempo enam bulan kedepannya. Pada 27 oktober 2011, pemilu yang diramaikan oleh lebih dari 80 partai politik tersebut dimenangkan Partai Islam Tunisia, Ennahda, memperoleh kemenangan dalam pemilihan demokratis yang bersejarah dengan 41,47 persen suara yang masuk, sembilan bulan setelah jatuhnya presiden Ben Ali. Partai itu memperoleh 90 kursi dalam majelis baru yang memiliki 217

anggota, yang akan menyusun kembali konstitusi, menunjuk seorang presiden dan membentuk pemerintah sementara. Kongres untuk Republik (CPR), partai sayap kiri, berada di tempat kedua dengan 13,82 persen suara, mencerminkan 30 kursi. Kemudian Ettakatol menyusul di tempat ketiga dengan 9,68 persen suara atau 21 kursi. Ennahda, yang dilarang pada masa rezim Ben Ali dan didaftar sebagai partai politik pada Maret 2011. Partai tesebut menyatakan lebih dulu kemenangannya, dengan mengumumkan bahwa mereka telah memulai pembicaraan koalisi dan ingin membentuk pemerintah baru dalam sebulan. Majelis baru tersebut akan memutuskan mengenai sistem pemerintah negara itu dan bagaimana menjamin kebebasan dasar, termasuk hakhak wanita di sana. Pemilu Tunisia kali ini juga berjalan dengan damai hingga pengumuman hasil akhir perolehan suara. Tidak ada pertikaian berarti atau hal lain yang menggagalkan pemilu dan hasil akhirnya, baik dari pihak yang kalah maupun militer. Singkatnya, pemilihan umum multi partai Tunisia telah berhasil memilih wakil-wakil pilihan rakyat. Satu hal lagi, pemilu Tunisia ini mendapat sambutan hangat oleh rakyatnya. Terbukti, dengan tingginya angka pemilih yang menggunakan hak suaranya yang mencapai lebih dari 80%. Sebuah angka partisipasi rakyat terbesar dalam sejarah pemilu Tunisia. Protes di Tunisia ini mengakibatkan efek domino terhadap negara-negara Arab di Timur Tengah lainnya yang telah menimbulkan gelombang demonstrasi pro-demokrasi di kawasan (Timur Tengah dan Afrika Utara) yang dikenal sebagai Arab Spring. Pada 14 Januari 2012 lalu, ribuan orang memenuhi boulevard kota Tunis untuk memperingati satu tahun tumbangnya Presiden Ben Ali, yang menjangkiti revolusi di dunia Arab (Arab Spring). Penggusuran pemimpin-pemimpin otoriter terjadi di Libya, Mesir dan Yaman dan berlanjut dengan aksi protes dari Aljazair ke Iran dan Irak. Aksi unjuk rasa terjadi juga di Bahrain dan protes antipemerintah Suriah yang dihadapi oleh rezim Bashar al-Assad dengan brutal menembak dan membunuh sekitar 5.000 orang bangsanya sendiri. Acara di boulevard Habib Borguiba, bukan hanya memperingati, tetapi melanjutkan aksi tuntutan yaitu memerangi korupsi dan menantang Kementerian Dalam Negeri mengatasi masalah pengangguran, kenaikan harga dan pembatasan hak. Setelah melalui proses transisional yang cukup panjang, pada bulan Desember lalu, Moncef Marzouki, yang berhaluan sekuler di angkat menjadi presiden Tunisia melalui sebuah pemilu. Marzouki ini merupakan tokoh oposisi di era Ben Ali. Proses demokrasi di dunia Arab sedang dalam proses transisional dalam mewujudkan kepentingan bangsa berpatokan pada tiga unsur: rakyat, kebebasan dan harga diri. Ketiga unsur ini menjadi

kesepakatan dan menyatu dalam membangun dan mengelola pemerintahan dengan standar, kebebasan, persamaan, dan pemerintahan yang baik. Revolusi Jasmin yang berawal dari Tunisia, yang terinspirasi dari buku Gelombang Demokrastisasi Ketiga Huntington, memberi petunjuk bagi demokratisator tentang bagaimana menurunkan pemerintahan yang otoriter maupun mengkonsolidasikan rezim demokrasi. Runtuhnya pemerintahan otoriter di Tunisia akibat revolusi Jasmin yang menumbangkan rezim Ben Ali dan runtuhnya rezim Hosni Mubarak di Mesir, rezim Khadafi di Libya, dan sekarang mermbat ke Suriah menandai arus perubahan besar sedang bergolak di Timur Tengah atau negara Islam. Dapat diamati bahwa Huntington terlambat untuk melihat gelombang demokratisasi keempat yang awalnya Huntington pesimis akan terjadinya demokrasi di negara Islam, sebab Islam bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi akhirnya terbantahkan. Demokratisasi di Negara Arab disambut dengan antusiasme dan nostalgia pada abad modern ini. Huntington juga tidak menyembunyikan keraguannya terhadap masa depan demokratisasi di negara-negara Islam sebagai akibat beberapa doktrin Islam dan konfusianisme yang dalam pandangannya cenderung bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Tapi keraguan Huntington terhadap perkembangan demokrasi di Negara Islam atau Timur Tengah terjawab sudah hari ini.

PENUTUP

Kesimpulan Transisi menuju demokrasi merupakan proses politik yang melibatkan berbagai kelompok yang berjuang untuk memperoleh kekuasaan dan untuk mendukung atau menentang demokrasi serta tujuan-tujuan lainnya. Dalam sejarah perubahan rezim, hampir semua kasus transisi melibatkan sejumlah negoisasi yang dilakukan secara eksplisit atau implicit, terang-terangan, atau terselubung antara pemerintah dan kelompok-kelompok oposisi. Rezim Otoriter yang seringkali disebut sebagai Rezim Nondemokratis. Selain itu pelajaran yang bisa kita ambil dari tumbangnya rezim diktator ini antara lain: 1. Pertama, tidak ada kekuasaan diktator yang kekal. Kegagalan mengurus rakyat ditambah tindakan totaliter akan menuai kebencian rakyat. Sikap represif hanya bisa memperlambat tumbangnya rezim diktator, tapi tidak bisa menghentikannya. Kesabaran rakyat ada batasnya. 2. Kedua, krisis ekonomi dan politik yang terjadi di Tunisia, tidak lain karena penerapan sistem kapitalisme yang gagal. Sistem kapitalisme hanya mengguntungkan segelintir elite yang hidup bermewah-mewah dan memberikan keuntungan kepada perusahaan asing yang mengeruk kekayaan alam negeri-negeri Islam. Sementara rakyat hidup menderita. 3. Ketiga, bersandar pada kekuatan asing penjajah sangatlah lemah. Mereka hanya berpikir pragmatis menjamin kepentingan politik dan ekonomi penjajahan mereka. Bagi para penjajah, tidak ada kata setia untuk mempertahankan bonekanya. Kalau mereka menganggap tidak ada lagi manfaat mempertahankan bonekanya, mencampakkan bahkan membunuh sahabat politik mereka sendiri bukanlah masalah besar. Ben Ali yang setia terhadap Perancis bahkan pada akhirnya ditolak mendarat di Perancis. Hal yang sama juga dialami Saddam Hussein yang menjadi kaki tangan Inggris di Irak, atau Syah Reza Pahlevi di Iran, Marcos di Filipina atau Soeharto di Indonesia. Nasib para diktator hampir semua berujung tragis, menderita dihujat rakyatnya dan dicampakkan sang tuan. Kesuksesan Tunisia dalam pemilu ini akhirnya banyak menarik perhatian dunia, terutama Dunia Arab yang kini tengah bergelut dengan revolusi masing-masing. Setidaknya, ada dua pelajaran berharga dibalik kesuksesan pemilu Tunisia: Demokratisasi dan islamisasi.

Keberhasilan Tunisia dalam menggelar pemilihan umum pertama pasca revolusi, memberikan harapan baru bagi dunia Arab bahwa demokratisasi merupakan suatu keniscayaan di kawasan. Masyarakat Timur Tengah berharap bahwa demokratisasi kawasan akan mampu membabat habis rezim-rezim diktator yang telah berkuasa selama beberapa dekade. Rezim-rezim yang sangat dikenal sangat tertutup, korup, represif, dan tak jarang memerangi agama dan segala kelompok oposisi. Di sisi lain, demokratisasi dunia Arab juga akan mematahkan asumsi Barat bahwa demokrasi selalu gagal diterapkan di kawasan ini sejak akhir abad ke-19. Negara Arab, dengan demokrasinya akan mampu menciptakan suasana lebih terbuka bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Memberi kesempatan bagi segala elemen masyarakat, termasuk kaum Muslim yang merupakan mayoritas untuk berperan dalam menentukan arah dan kebijakankebijakan strategis. Pelajaran lainnya adalah tentang islamisasi. Berhasilnya kelompok Islam politik ke puncak pemerintahan pasti akan banyak mewarnai kebijakan-kebijakan dan corak pemerintahan negara. Dan tampaknya, hal tersebutlah yang telah lama diimpikan oleh rakyat Tunisia yang mayoritas beragama Islam. Mereka mulai jenuh dengan absennya nilai-nilai Islam dalam praktek negara, yang ternyata tak juga mampu mengangkat Tunisia menjadi negara maju.

REFERENSI Huntington, Samuel P, 1991, Gelombang Demokrasi Ketiga, Jakarta Grafiti http://www.hidayatullah.com/read/15338/13/02/2011/di-masa-rezim-bin-ali,-shalat-harus-bawa-kartuizin.html http://internasional.kompas.com/read/2011/11/22/05245354/Tunisia.Bagi-bagi.Kekuasaan http://indonesian.irib.ir/afrika/-/asset_publisher/fgT0/content/tunisia-masih-menggondol-warisanrezim-diktator http://www.suaramanado.com/berita/manado/politik-pemerintahan/2012/01/3485/jalan-menujukebebasan-rasa-takut http://www.okloh.com/2011/01/belajar-dari-tumbangnya-rezim-sekuler.html http://www.biografitokohdunia.com/2011/05/biografi-zainal-abidin-bin-ali-presiden.html http://www.islamtimes.org/vdcdfn0k.yt0zo6pl2y.html http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/10/28/ltr1b4-partai-islam-menang-mutlakdi-pemilu-tunisia-meraup-4147-persen-suara

Вам также может понравиться