Вы находитесь на странице: 1из 411

Buku 201 SEBENARNYALAH Glagah Putih memang melakukannya untuk membiasakan diri dengan kud a barunya.

Setiap hari meskipun hanya sebentar ia menelusuri bulak-bulak panjang . Diluar sadarnya Glagah Putih yang sedang berusaha mengenali watak kudanya itu te rnyata selalu diawasi oleh beberapa orang yang ingin merampas kuda itu. Namun dalam pada itu, suatu pikiran baru telah berkembang lagi diantara orang-or ang yang menginginkan kuda Glagah Putih itu. Mereka ternyata tidak saja ingin me ngambil kudanya, tetapi mereka ingin membawa Glagah Putih bersama mereka. Ia anak seorang yang kaya-raya. berkata orang tertua diantara mereka berempat. Siapa yang mengatakannya? bertanya kawannya. Tukang satang di Kali Praga tahu benar. Tetapi ia memang sederhana sehingga sama sekali tidak berkesan bahwa ia anak seorang saudagar kaya. jawab orang tertua dia ntara mereka. Tetapi kita tidak melihat kesan itu sama sekali. Di padukuhan induk itupun tidak ada seorang yang kaya raya. Ki Gede Menorehpun bukan seorang yang kaya raya seba gaimana kita gambarkan. desis salah seorang diantara mereka. Tetapi ia anak seorang yang kaya. Mungkin ia tidak ingin menunjukkan kekayaannya melampaui Ki Gede Menoreh. jawab orang tertua, namun bagaimanapun juga keadaannya, kita dapat membawanya serta. Kita minta tebusan dari keluarganya itu. Disamping seekor kuda yang sangat baik, kita akan mendapatkan uang tebusan entah darimana didapatkannya. Tetapi aku percaya bahwa ia termasuk keluarga orang berada. Kawan-kawannya tidak membantah lagi. Bagi mereka, melakukan tugas yang dibebanka n oleh orang tertua diantara mereka memang merupakan satu kewajiban. Namun jika benar anak itu dapat ditukar dengan uang tebusan, ada juga keuntungannya mereka terbelenggu waktu di Tanah Perdikan itu. Demikianlah, maka keempat orang itu sampai pada satu kesimpulan, bahwa saatnya s udah tiba. Mereka harus membawa Glagah Putih bersama kudanya keluar dari Tanah P erdikan. Mudah sekali. Mereka berkuda berlawanan arah dengan Glagah Putih. Mence gatnya, kemudian mengajaknya pergi. Dua diantara mereka didepan dan dua di belak ang sehingga Glagah Putih tidak dapat lolos dari tangan mereka. Jika anak muda i tu memaksa berusaha melarikan diri karena kudanya lebih kuat, maka mereka terpak sa mengambil tindakan kekerasan. Ketika perhitungan mereka telah masak, maka merekapun telah menetapkan waktu unt uk melakukannya. Sebagaimana kebiasaannya, maka keempat orang itu berharap bahwa Glagah Putih akan melewati jalan bulak itu dengan kudanya yang tegar. Dengan perhitungan itulah, maka pada suatu pagi, keempat orang itu berkuda menyus uri jalan bulak Tanah Perdikan Menoreh. Dua orang didepan, dan dua orang lagi bera da dibelakang, berjarak beberapa puluh langkah, sehingga dengan demikian, mereka seolah-olah tidak sedang dalam perjalanan bersama. Ternyata bahwa yang mereka p erhitungkan itu tepat. Seperti kebiasaan Glagah Putih, maka mereka akan berpapasan dengan Glagah Putih itu ditengah-tengah bulak panjang. Dua orang yang berada didepan sama sekali tid ak menyapanya. Mereka justru menepi dan memberikan jalan kepada Glagah Putih. Glagah Putihpun semula tidak menghiraukan kedua orang yang berkuda itu. Namun ke tika ia melihat dua lagi orang berkuda dan nampaknya keduanya justru dengan seng aja menghalangi jalan, maka Glagah Putih itupun berpaling. Ia mulai curiga terhadap kedua orang berkuda yang lebih dahulu telah berpapasan itu. Karena keduanyapun ternyata telah berhenti dan bahkan kuda merekapun telah b erbalik arah. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia menebarkan penglihatannya kese kitarnya, jalan dan sawah nampaknya sepi saja. Namun justru karena itu, maka Gla gah Putih menjadi berdebar-debar. Jika terjadi sesuatu, maka agaknya tidak akan ada seorangpun yang dapat menjadi saksi. Tetapi Glagah Putih tidak sempat berpikir terlalu lama. Kedua orang berkuda yang semula di belakang itupun telah mendekatinya. Dengan wajah yang garang penunggang kuda itu yang seorang menggeram, ikut aku. Ja ngan membantah atau melakukan sesuatu yang akan dapat mencelakakanmu sendiri. Glagah Putih menjadi tegang. Dengan nada datar ia bertanya, apa yang sebenarnya t

elah terjadi? Dan siapakah kalian berempat sebenarnya? Jangan bertanya sekarang. jawab salah seorang dari mereka, ikuti kami jika kau ingi n selamat. Glagah Putih terdiam. Namun keempat orang itupun kemudian telah memerintahkannya untuk mengikuti dua orang berkuda yang semula berada di belakang, namun yang ke mudian berada di depan. Sementara dua orang lainnya berada di belakang, beberapa puluh langkah. Glagah Putih terpaksa mengikuti perintah itu. Dua ekor kuda yang berjalan di dep annya benar-benar telah menutup jalan, sehingga seandainya Glagah Putih ingin me macu kudanya melampaui keduanya, agaknya ia akan mengalami kesulitan. Jika ia be rpacu kembali, maka di belakang ada dua orang yang lain yang mengawasinya pula. Apa yang sebenarnya mereka kehendaki berkata Glagah Putih di dalam hatinya. Namun ketika ia sadar, bahwa ia telah mempergunakan seekor kuda yang besar dan tegar, maka iapun sudah menduga bahwa orang-orang itu tertarik kepada kudanya dan ingin memilikinya. Namun ternyata bahwa ingatan Glagah Putih cukup tajam meskipun tidak setajam ing atan Agung Sedayu. Tiba-tiba saja ia bertanya kepada salah seorang diantara kedu a penunggang kuda di hadapannya, Bukankah kau orang yang aku temui di Kali Praga itu? Orang itu berpaling. Namun iapun tidak ingkar. Katanya sambil tersenyum. Ya anak muda. Aku adalah orang yang kau temui di pinggir Kali Praga itu. Sekarang, apakah yang kalian kehendaki dari aku? bertanya Glagah Putih. Aku tidak sempat berkata sekarang. Kita akan mempercepat perjalanan kita keluar d ari Tanah Perdikan ini. jawab orang itu. Aku akan menarik perhatian anak anak muda dan orang-orang di padukuhan-padukuhan yang kita lewati. berkata Glagah Putih. Itu sudah kami perhitungkan, anak muda. Kami telah mengatur perjalanan ini, sehin gga kita tidak akan menerobos satu pedukuhanpun. Kita akan selalu lewat bulak-bu lak panjang dan pendek. Memang dengan terpaksa kami akan melewati jalan dipinggi r padukuhan. Ada dua padukuhan yang akan kita singgung sedikit. Tetapi kami suda h menentukan satu sikap. Jika kau berusaha untuk menarik perhatian orang-orang p adukuhan itu, maka umurmu tidak akan panjang, sementara kami akan sempat berpacu meninggalkan mayatmu dihadapan orang-orang padukuhan yang mungkin akan menyesali kematianmu. jawab orang yang dijumpainya di pinggir Kali Praga. Tetapi apa sebenarnya kepentingan kalian dengan aku? desak Glagah Putih. Tutup mulutmu. Kami bukan orang-orang yang berhati lembut, yang mengenal belas ka sihan dan dapat berbuat baik kepada seseorang yang memelas seperti kau. bentak or ang itu. Glagah Putih ternyata mulai tersinggung. Tetapi ia berusaha untuk mengekang diri . Ia tahu, apa saja yang akan dilakukan orang-orang itu terhadapnya. Tetapi aku tidak mengetahui tingkat kemampuan mereka. berkata Glagah Putih. Namun dalam keadaan yang memaksa maka Glagah Putih akan menghadapi siapapun, ia memang menghindari permusuhan, tetapi ia bukan seorang yang akan membiarkan lehernya d ipatahkan orang tanpa perlawanan. Dengan demikian maka Glagah Putih menjadi terdiam. Ia mengikuti saja segala peri ntah dari keempat orang itu, terutama orang yang dijumpainya di Kali Praga ketik a ia membawa kudanya itu kembali ke Tanah Perdikan Menoreh dari Mataram. Ketika mereka melewati jalan di pinggir padukuhan, Glagah Putih memang tidak ber usaha untuk menarik perhatian orang-orang padukuhan itu. Ia tidak ingin melepask an diri dari tangan keempat orang itu, karena ia justru ingin mengikuti mereka. Satu dua orang yang melihat Glagah Putih lewatpun tidak berbuat sesuatu. Mereka memang bertanya di dalam hati, siapa saja yang lewat bersama Glagah Putih. Tetap i mereka membiarkannya saja Glagah Putih lewat tanpa bertanya apapun juga. Justru karena Glagah Putih sengaja membantu perjalanan itu, maka tidak seorangpu n yang telah mengganggunya. Beberapa saat kemudian, mereka telah mendekati perba tasan Tanah Perdikan Menoreh justru di tengah-tengah bulak persawahan. Kita akan keluar dari Tanah Perdikan dan menuju ke bukit kecil itu. berkata orang yang bertemu di pinggir Kah Praga itu. Untuk apa? bertanya Glagah Putih pula. Orang itu tidak menjawab. Tetapi kuda-kuda itupun berpacu semakin cepat. Dengan

demikian maka perbatasanpun menjadi semakin dekat. Terima kasih atas bantuanmu. berkata orang itu kepada Glagah Putih ketika mencapai perbatasan. Glagah Putih termangu-mangu. Tetapi ia masih saja mengikuti dua orang penunggang kuda yang di depan, sementara dua orang lagi yang di belakang justru menjadi se makin rapat. Jarak mereka dari GLagah Putihpun tidak lagi lebih dari sepuluh lan gkah. Kita akan pergi ke bukit kecil itu. berkata orang yang pernah dijumpainya di pingg ir Kali Praga. Untuk apa pergi ke bukit itu. Bukankah bukit itu bukit yang liar dan ditumbuhi se mak-semak dan gerumbul-gerumbul lebat?. bertanya Glagah Putih. Aku akan menjawabnya setelah kita berada dibelakang bukit itu. jawab orang yang per nah dikenalnya itu. Glagah Putih tidak bertanya lagi. Kuda-kuda itupun kemudian menyimpang melalui j alan sempit, menuju ke bukit kecil yang liar dan jarang sekali dijamah tangan se seorang. Ketika mereka sampai ke bukit itu, maka merekapun telah melingkarinya dan mereka baru berhenti setelah mereka merasa aman karena terlindung oleh bukit itu dan ge rumbul-gerumbul yang tumbuh diatas dan disekitarnya. Turunlah. berkata orang yang dijumpainya di Kali Praga. Apa maksud kalian sebenarnya? Glagah Putih bertanya pula. Turunlah. ulang orang itu. Sementara itu keempat orang itupun telah turun pula dari kuda mereka. Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun sekali lagi orang itu membentaknya cu kup keras, Cepat, turun. Glagah Putihpun segera meloncat turun pula. Wajahnya menjadi tegang. Namun ia ma sih berusaha untuk mengekang diri menghadapi keempat orang yang tidak dikenalnya itu, selain salah seorang daripadanya pernah dijumpainya di pinggir Kali Praga, karena mereka bersama-sama menyeberang. Nah anak muda. berkata orang itu, aku masih memerlukan bantuanmu sebagaimana kau be rikan kepada kami pada saat kita meninggalkan Tanah Perdikanmu. Apa yang dapat aku lakukan? bertanya Glagah Putih. Berikan bajumu. berkata orang itu. Untuk apa? bertanya Glagah Putih pula. Orang itu tertawa. Katanya, Anak muda. Bukankah kau anak seorang saudagar yang ka ya raya? Kau selalu membayar lebih dan bahkan berlipat jika kau menyeberangi Kal i Praga kepada tukang satang. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Sementara orang itu berkata selanjutnya, Seka rang berikan bajumu. Salah seorang diantara kami akan pergi kerumah ayahmu untuk minta uang tebusan bagi keselamatanmu. Dengan demikian maka kami akan mendapatk an kuda dan sekaligus uang, justru karena kau adalah anak saudagar yang kaya ray a. Wajah Glagah Putih menegang. Masih saja ada ekornya. Permainan Raden Rangga itu telah menyeretnya ke dalam beberapa kesulitan dan memaksanya berurusan dengan or ang-orang yang garang. Berikan bajumu! berkata orang itu. Untuk apa? bertanya Glagah Putih pula. Orang itu t ertawa. Katanya: Anak muda, bukankah kau anak seorang saudagar yang kaya raya? Ka u selalu membayar lebih dan bahkan berlipat .. Karena Glagah Putih tidak segera menjawab, maka orang itupun membentaknya, Cepat, lepas bajumu. Ki Sanak. berkata Glagah Putih dengan nada datar, aku di Tanah Perdikan ini sama se kali tidak bersama dengan orang tuaku. Aku disini justru ikut kakak sepupuku. Apa lagi kaya raya, untuk hidup sehari-haripun agaknya tidak ada tersisa. Jangan mengigau. orang yang ditemuinya dipinggir Kali Praga itu membentaknya, kau ki ra aku tidak tahu bahwa kau memang benar-benar anak seorang yang kaya raya. Ki Sanak. berkata Glagah Putih kemudian, jika kau tidak percaya, marilah. Aku temuk an kau dengan keluargaku. Kami bukan orang-orang gila yang dapat mempercayai ceriteramu itu. Aku tahu bahwa kau adalah seorang yang mempunyai keluarga yang juga kaya raya di Mataram, sehi

ngga dari keluargamu di Mataram itulah kau mengambil kuda yang besar dan tegar i tu. berkata orang yang dijumpainya dipinggir Kali Praga itu. Glagah Putih hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Meskipun demikian ia masih mencoba untuk memperingatkan orang itu. Jika kau ingin menemui keluargaku , cobalah. Temuilah kakang sepupuku yang tinggal di padukuhan induk itu. Namanya Agung Sedayu. Orang itu mengerutkan keningnya. Dengan nada datar ia bergumam, Nama itu rasa-ras anya pernah aku dengar. Banyak orang yang telah mendengar nama kakang Agung Sedayu. berkata Glagah Putih, i a adalah salah seorang pemimpin anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, Namanya memang sudah didengar oleh banyak o rang. Tetapi hal itu tidak akan berpengaruh sama sekali. Agung Sedayu selain nam anya banyak dikenal, ia tentu seorang yang memiliki banyak harta benda. Setidaktidaknya ia tentu mempunyai simpanan yang berharga. Mungkin pendok dari emas, mu ngkin kamus dari emas yang di tretes inten berlian atau jenis perhiasan-perhiasa n yang lain dapat dipergunakannya untuk menebusmu. Kakang tidak akan melakukannya. Ia akan membiarkan aku berusaha untuk menyelamatk an diriku sendiri. berkata Glagah Putih kemudian. Tetapi orang itu tertawa. Katanya, Jangan berusaha memperbodoh kami. Lepaskan baj umu, seseorang akan datang ketempat kakak sepupumu. Kakak sepupumu itu tentu tid ak akan berani mengganggu orang yang datang kepadanya, karena nyawamu menjadi ta nggungan. Jika orang itu tidak kembali pada saatnya, maka kau akan dicekik sampa i mati disini. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, tetapi apakah jika kakakku mau menebus aku, maka aku akan dibebaskan? Agaknya demikian. berkata orang itu, mudah-mudahan tebusan itu cukup memadai bagi t ebusan keselamatanmu. Jika kurang? bertanya Glagah Putih kemudian. Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggeram sambil bergeser sel angkah maju, Jika orang tuamu, atau siapapun di padukuhan induk itu memberi tebus an kurang dari yang kami kehendaki, maka lehermu akan kami patahkan disini. Maya tmu akan menjadi makanan burung gagak, karena tidak akan ada seorangpun yang per nah menemukannya. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu orang yang pernah d ijumpainya di Kali Praga itu membentak lagi, Cepat. Berikan bajumu. Glagah Putih tidak membantah. Iapun kemudian melepaskan bajunya dan memberikanny a kepada orang itu. Orang itu tertawa. Katanya, Nah, baju ini akan dibawa ke rumahmu dan tergantung k epada tebusan yang akan diberikan Glagah Putih tidak menyahut. Sementara itu orang yang dijumpainya di Kali Praga itu berkata kepada seorang kawannya, Pergilah ke padukuhan induk itu. Seandainya benar kau akan bertemu dengan orang yang bernama Agung Sedayu, kau tidak usah ta kut. Ia tidak akan dapat berbuat apa-apa karena anak ini akan menjadi tanggungan . Jika kau tidak kembali dalam waktu yang kami anggap cukup, maka anak ini akan kami bunuh disini. Kawannya itu mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya, Bagaimana jika aku harus menunggu orang itu mengumpulkan uang yang diperlukan. Tidak. Kau harus kembali kemari. Jika orang tua belum mempunyai uang, maka ia har us berjanji selambat-lambatnya sampai esok. Esok kau akan mengambil uang dari ta ngannya. Dan membawanya kepada kami. Jika terjadi sesuatu atasmu, dengan cara apa pun juga, maka anak ini akan mati. Ia akan berada ditempat yang tidak diketahui selain oleh kami jika kau tidak berhasil membawa uang hari ini. jawab orang itu. Orang itu mengangguk-angguk. Ia tahu apa yang harus dilakukannya. Karena itu, ma ka iapun segera meloncat keatas punggung kudanya dan dengan lantang bertanya kep ada Glagah Putih ancar-ancar jalan yang harus ditempuhnya. Setelah aku memasuki padukuhan induk, aku harus kemana? bertanya orang itu. Glagah Putihpun memberikan petunjuk tentang jalan yang menuju kerumahnya. Lalu k atanya, Jika kau agak bingung bertanyalah rumah Agung Sedayu. Nama itu memang membuat tengkuk orang itu meremang. Tetapi ia tidak usah takut. Jika ia tidak kembali pada waktu yang diperkirakan, maka tebusannya akan terlalu

mahal. Anak muda itu akan mati. Demikianlah maka orang itupun kemudian telah berpacu meninggalkan tempat yang te rsembunyi itu menuju kepadukuhan induk. Sepeninggal orang itu Glagah Putih termangu-mangu. Ia agak ragu untuk berbuat se suatu. Mungkin dengan menunggu ia akan mendapatkan sedikit keterangan tentang ke empat orang itu. Tetapi jika ia menunggu, maka lawannya akan bertambah dengan se orang. Mungkin dengan berkurang seorang itu akan ada artinya. berkata Glagah Putih didala m hatinya. Tetapi Glagah Putih tidak tergesa-gesa. Orang yang pergi ke padukuhan induk itu memerlukan waktu yang cukup sehingga masih mempunyai waktu untuk berbincang bara ng sejenak. Karena itu, maka Glagah Putihpun kemudian melakukan saja perintah orang yang dij umpainya di Kali Praga itu. Duduklah. berkata orang itu, tetapi kumpulkan kudamu menjadi satu disini. Glagah Putih tidak membantah. Iapun mengikatkan kudanya berkelompok dengan kuda ketiga orang yang menjaganya. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam ketika ia sadar, bahwa ketiga orang itu t elah menempatkan dirinya dalam putaran yang melingkarinya. Agaknya ketiganya ben ar-benar tidak mau kehilangan. Glagah Putih yang kemudian menemukan sebongkah batu yang besar telah berbaring d iatasnya tanpa menghiraukan ketiga orang yang mengawasinya, sehingga tingkah lak unya itu justru menarik perhatian ketiga orang itu. He, kenapa kau berbaring disitu? bertanya salah seorang diantara ketiga orang itu. Aku mengantuk. jawab Glagah Putih, mungkin aku akan mempunyai waktu untuk tidur bar ang sejenak. Persetan. geram orang yang dijumpainya di Kali Praga, apakah kau tidak membayangkan bahwa kau akan dapat mati kami bunuh sekarang ini? Bukankah jika orang yang kau perintah untuk mengambil uang kembali dengan membawa tebusan maka aku akan kau ijinkan pulang? jawab Glagah Putih tanpa bangkit. Persetan. teriak orang yang dijumpainya di Kali Praga itu lagi, jika kau mengabaika n kami, maka mung-kin kami akan mengambil satu keputusan lain. Kami akan menerim a uang tebusannya, tetapi kami akan tetap membunuhmu. Ah, jangan main-main. Glagah Putih justru tertawa, jika aku kau biarkan hidup, mung kin aku akan dapat mencarikan sumber uang yang lebih banyak dari yang kau perkir akan. Orang itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, Jangan mencoba mengelabuhi kami den gan cara yang bodoh itu. Yang penting bagi kami adalah uang tebusan itu. Baru ke mudian kami akan mempertimbangkan yang lain-lain. Bahkan mungkin aku memang akan membunuhmu. Jangan berceloteh tentang membunuh. sahut Glagah Putih, setiap orang tidak akan mem biarkan dirinya dibunuh. Tiba-tiba orang itu meloncat bangkit sambil berteriak, Apakah kau dapat berbuat d emikian? Ya. Bukankah aku berjanji untuk mendapatkan uang yang lebih banyak. jawab Glagah P utih tanpa menghiraukan sikap orang itu. Orang-orang itupun saling berpandangan sejenak. Orang yang pernah bertemu dengan Glagah Putih di pinggir Kali Praga itupun kemudian berkata, Aku ingin memaksamu u ntuk membawa kami mendapatkan uang lebih banyak setelah kami melihat uang tebusa n yang akan dibawa oleh kawanku itu. Tetapi segala sesuatunya tergantung kepada keadaan dan sikap orang tua atau kakak sepupumu dan sikapmu sendiri. Jika kau me rendahkan kami dengan caramu itu, maka kami benar-benar akan membunuhmu. Bahkan mungkin kami tidak akan menunggu kawan kami yang membawa uang tebusan itu dating . Jangan begitu. sahut Glagah Putih, kalian tidak boleh ingkar. Ingkar tentang apa? bertanya orang yang ditemuinya di Kali Praga itu. Bukankah kalian berjanji untuk membiarkan aku hidup jika tebusannya mencukupi. jaw ab Glagah Putih. Aku tidak pernah merasa terikat oleh janji apapun juga. jawab orang itu, kalau aku ingin membunuh, maka aku akan membunuh.

Bukankah itu sikap sepihak? Mungkin kau ingin membunuh dan benar-benar akan membu nuh. Tetapi kau harus memperhatikan sikap pihak lain. Orang yang ingin dan akan kau bunuh itupun mempunyai sikap sendiri. Mungkin orang itu tidak ingin dan tida k mau kau bunuh, bahkan ingin dan benar-benar akan membunuhmu. jawab Glagah Putih . Tutup mulutmu. orang itu membentak, menurut pendengaranku suaramu benar-benar menya kitkan hati. Tentu bukannya tidak kau sengaja. Kau anggap bahwa kau akan mampu b erbuat seperti yang kau katakan? Karena itulah agaknya kau sama sekali tidak nam pak gentar dan ketakutan. Bahkan kau masih sempat untuk berbaring di atas batu i tu. Glagah Putihpun kemudian berdiri sambil berkata, Sebenarnya aku ingin menunggu ka wan kalian itu kembali. Tetapi ternyata aku tidak tahan mendengar dan melihat su ara serta sikapmu. Karena itu maka apaboleh buat. Aku akan membunuh kalian. Wajah orang-orang itupun menjadi tegang. Mereka memang sudah menyangka bahwa Gla gah Putih mem-punyai sandaran untuk bersikap seenaknya. Tetapi mereka sama sekal i tidak menyangka, bahwa tiba-tiba saja anak itu mengatakan bahwa ia akan membun uh mereka. Tetapi raemlik sikap Glagah Putih, maka anak muda itu benar-benar telah bersiap untuk melakukan seperti yang dikatakannya. Tetapi orang yang ditemuinya di Kali Praga itupun berkata, Kau jangan menjadi gila anak muda. Seandainya kau benar-benar akan melawan, apakah kau menganggap kami bertiga tikus-tikus tanah yang tidak berharga? Kau tidak membawa senjata apapun, sementara kami membawa senjata yang akan dapat memenggal lehermu. Apaiagi kami bertiga adalah orang-orang yang memang terbiasa dengan pekerjaan kami seperti in i. Membunuh bagi kami sama sekali tidak mengerutkan kulit tengkuk kami. Siapapun, kalian dan apapun yang pernah kalian lakukan, namun aku tidak akan mena rik kata-kataku. Akulah yang akan membunuh kalian jika memang kalian kerjakan me mbunuhku. Kau benar-benar menjadi gila anak muda? Mungkin ketakutan yang kau tahankan telah mempengaruhi kejernihan otakmu. berkata orang yang pernah dijumpainya di Kali Pr aga itu, tetapi keadaanmu tidak akan dapat menumbuhkan belas kasihan kami atasmu. Kami tetap pada sikap kami. Jika perlu kami akan membunuhmu meskipun kami akan menerima uang tebusan itu. Bahkan jika kau benar-benar menjadi gila, kami akan s egera membunuhmu, tanpa menunggu kawanku yang mengambil uang tebusan itu. Glagah Putih maju setapak. Dengan nada tinggi ia berkata, Baiklah. Marilah kita ti dak lagi berpura-pura. Kalian telah menyatakan diri dan niat kalian. Sekarang bi arlah aku menyatakan diriku. Aku adalah Glagah Putih, adik sepupu Agung Sedayu y ang menjadi salah seorang pembina para pengawal Tanah Perdikan Menoreh Karena it u, maka aku tidak akan merasa kecil berhadapan dengan kalian, meskipun kalian me nyebut diri kalian sebagai orang-orang yang paling garang serta bertiga, karena tidak ada orang yang manapun juga yang dapat menggetarkan jantungku. Karena itu, maka aku dapat menawarkan dua kemungkinan yang paling mungkin bagi kalian. Meny erah dan akan aku serahkan kepada Ki Gede Menoreh atau melawan tetapi kalian aka n mati. Wajah-wajah ketiga orang itu menjadi tegang. Namun orang yang pernah dijumpainya di Kali Praga itu kemudian berkata, Agaknya kau sudah benar-benar gila. Kau memb anggakan dirimu karena kau adalah salah seorang pembina para pengawal Tanah Perd ikan. Kau kira kedudukan itu dapat mempengaruhi sikap kami terhadapmu? Apa kau k ira bahwa seorang pembina pengawal Tanah Perdikan itu cukup memiliki kemampuan u ntuk melawan kami, seorang melawan seorang? Apalagi kami bertiga seperti sekaran g ini? Sudahlah. berkata Glagah Putih, aku sudah siap untuk menangkap kalian. Melawan atau tidak melawan. Kalian akan aku ikat dan aku giring ke padukuhan induk Tanah Per dikan. Bahkan jika kalian melawan, mungkin salah seorang atau kalian bertiga aka n mati. Tutup mulutmu. geram orang yang ditemuinya di Kali Praga itu. Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi iapun telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Bahkan iapun telah melangkah maju mendekati orang yang dijumpainya di pinggir Kali Praga itu. Namun sementara itu, kedua orang kawannya yang lainpun telah bergeser pula mende

kat. Namun mereka masih tetap berada diarah yang berbeda-beda, sehingga ketiga o rang itu telah memberikan kesan bahwa mereka telah mengepung Glagah Putih. Glagah Putih menyadari kedudukannya. Namun ia sama sekali tidak menjadi gelisah. Ia sudah mapan dan benar-benar telah mempersiapkan diri untuk melawan ketiga or ang itu. Karena itulah maka sejenak kemudian telah terjadi ben-turan. Kekuatan telapak ta ngan Glagah Putih yang terbuka telah membentur tangan lawannya yang bersilang di depan dadanya. Yang dianggap orang terpenting dari ketiga orang itu, adalah orang yang ditemuin ya di Kali Praga itu, sehingga perhatian Glagah Putih terbesar tertuju kepadanya . Sebenarnyalah bahwa orang itupun telah benar-benar menjadi marah. Bukan saja kat a-kata Glagah Putih yang menyakiti hati mereka, tetapi sikap Glagah Putihpun seo lah-olah telah merendahkan martabat orang-orang yang mengepungnya itu. Karena itu, maka orang yang pernah bertemu di pinggir Kali Praga itupun menggera m, Kau memang harus dicincang. Aku tidak akan membunuhmu dengan segera. Tetapi me lihat kematianmu yang sulit, akan dapat menumbuhkan kegembiraan tersendiri. Jika demikian maka akupun akan bersikap serupa. berkata Glagah Putih, kalian bertig a akan mengalami saat-saat terakhir yang tidak menyenangkan. Orang yang pernah ditemui di pinggir Kali Praga itu benar-benar tidak dapat meng ekang dirinya lagi. Dengan serta merta iapun telah meloncat menyerang dengan gar angnya. Namun Glagah Putih sudah memperhitungkannya. Karena itu, maka iapun deng an cepat pula mengelakkan serangan itu, sehingga serangan itupun sama sekali tid ak menyentuhnya. Tetapi Glagah Putih terkejut mengalami serangan yang kedua. Tern yata kawan orang yang gagal mengenainya itu cepat pula bertindak. Selagi Glagah Putih menghindari serangan pertama itu, maka seorang diantara kedua kawannya tel ah menyerangnya pula. Namun Glagah Putih memang memiliki kecepatan bergerak yang luar biasa. Meskipun serangan itu datang begitu cepatnya, tetapi Glagah Putih s empat mengelak. Namun dengan demikian, Glagah Putih harus memperhitungkan lawannya yang seorang lagi. Jika langkahnya sejalan dengan kawannya, maka iapun akan dengan cepat meny usul serangan pula. Sebenarnyalah perhitungan Glagah Putih itu tepat. Pada saat ia dengan susah paya h menggeliat menghindari serangan orang kedua itu, maka orang yang ketigapun tel ah meloncat menyerangnya pula. Kakinya terjulur lurus menyamping, sedangkan tubu hnya miring searah dengan julur kakinya. Glagah Putih tidak terlalu terkejut mendapat serangan itu. Tetapi ia harus denga n cepat memperhitungkan langkah yang akan diambilnya, justru serangan itu merupa kan yang berbahaya baginya. Namun ketika kaki itu hampir menyentuh tubuh Glagah Putih, maka Glagah Putih itu telah berguling ditanah Demikian cepat dengan perhitungan bahwa serangan akan s egera menyusul pula. Itulah agaknya yang mendorongnya Untuk dengan cepat melenti ng berdiri sambil bersiap menghadapi serangan yang bakal datang. Pada saat Glagah Putih mempersiapkan diri, maka orang yang pertamalah yang sudah siap untuk menyerang. Tetapi Glagah Putih tidak membiarkan dirinya menjadi sasar an. Ia justru ingin menunjukkan bahwa ia memiliki kecepatan bergerak melampaui k ecepatan gerak ketiga orang itu. Karena itu, sebelum orang itu meloncat menyerangnya, justru Glagah Putihlah yang telah mendahuluinya. Sambil meloncat tangannya terjulur lurus mengarah kepada o rang yang pertama, yang pernah ditemuinya di pinggir! Kali Praga. Tetapi Glagah Putih yang belum mengetahui kemampuan lawan-lawannya, tidak memper gunakan seluruh kekuatannya. Bahkan ia tidak mempergunakan ujung jarinya yang me rapat yang akan dapat mematahkan iga-iga lawannya, apalagi dengan kepalan tangan nya. Tetapi Glagah Putih justru mempergunakan telapak tangannya yang terbuka. Melihat kecepatan gerak Glagah Putih yang justru mendahuluinya menyerang, orang itu terkejut bukan buatan. Ia tidak sempat mengelakkan diri karena serangan yang tiba-tiba itu Namun ia telah berusaha untuk melindungi dadanya dengan menyilang kan kedua tangannya. Karena itulah, maka sejenak kemudian telah terjadi benturan kekuatan telapak tan gan Glagah Putih yang terbuka telah membentur tangan lawannya yang bersilang did

epan dadanya. Ternyata kedua-duanya telah terkejut pula. Kekuatan Glagah Putih te lah mampu melontarkan lawannya beberapa langkah surut. Bahkan tekanan tangannya sendiri yang menyilang didada karena dorongan serangan Glagah Putih rasa-rasanya telah menghimpit dadanya itu dan nafasnyapun rasa-ra-sanya menjadi sesak. Semen tara itu, Glagah Putih yang tidak mempergunakan kemampuan puncaknya, telah terta han dan bahkan terdorong selangkah surut untuk menghindarkan diri dari tekanan b alik didalam tubuhnya sendiri. Tetapi Glagah Putih tidak sempat menilai keadaan lawannya. Iapun tidak dapat memb uru lawannya yang terlempar surut itu. Tetapi sudah didalam rangka perhitunganny a, bahwa serangan dari kedua lawannya yang lainpun tentu akan segera dating. Sebenarnyalah, serangan dari kedua lawannya yang lainpun telah meloncat menyeran g. Dengan tangkas Glagah Putih menghindar. Justru ketempat yang mapan untuk mend apat serangan dari orang yang ketiga. Glagah Putih memang menunggu serangan itu. Karena itu, ketika orang ketiga itu b enar-benar menyerangnya, maka Glagah Putih sama sekali tidak menghindar. Ialah y ang kemudian menangkis serangan itu, setelah dalam pertempuran itu ia berhasil m enjajagi kekuatan lawan-lawannya. Sekali lagi telah terjadi benturan. Glagah Putih telah meloncat surut untuk meng imbangi tekanan yang diakibatkan oleh benturan yang terjadi. Namun dalam pada it u, lawannya yang justru menyerangnya telah terlempar beberapa langkah surut. Bah kan hampir saja ia telah kehilangan keseimbangannya. Glagah Putihpun kemudian telah bersiap. Tetapi ketiga lawannya agaknya tidak ter gesa-gesa menyerangnya. Mereka telah melihat satu kenyataan bahwa anak muda itu t ernyata memang memiliki kemampuan yang tinggi. Jangan berbangga dengan kejutan-kejutan kecil yang mampu kau lakukan. geram orang yang ditemuinya di pinggir Kali Praga. Glagah Putih memandanginya dengan tajamnya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Sementara itu, orang yang pernah ditemuinya di pinggir Kali Praga itupun bergeser mendekati sambil berkata, Aku akui, bahwa aku tidak menyangka kau memiliki ilmu yang tinggi. Aku kira bahwa aku akan dengan mudah meringkusmu dan mengikatmu seb elum kau aku bunuh dengan caraku. Ternyata bahwa kau mempunyai kemampuan untuk me lawan. Agaknya kemampuanmu yang tidak berarti itulah yang membuatmu menjadi somb ong dan sengaja membiarkan dirimu kami bawa ketempat ini, karena kau mengira bah wa kau akan dapat melawan kami bertiga. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Dipandanginya ketiga orang itu berganti-gant i. Kemudian dengan nada datar ia berkata, Ki Sanak. Kalian masih mempunyai kesemp atan. Jika kalian menyerah dan mengikuti aku ke Tanah Perdikan dan menghadap Ki Gede, maka aku tidak akan mengambil langkah kekerasan. Kau memang terlalu sombong. berkata orang itu, baiklah. Kau akan segera mengetahui bahwa kesombonganmu itu harus diakhiri. Sejak semula kau hanya berbicara saja. Mengancam, menakut-nakuti dan apalagi. Tet api kau tidak mampu berbuat apa-apa untuk membuktikan kata-katamu itu. jawab Glaga h Putih. Orang itu meggeretakkan giginya. Ia benar-benar merasa direndahkan oleh Glagah P utih. Karena itu, maka iapun tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali benar-ben ar melakukan sebagaimana dikatakannya. Karena itu, maka orang itupun segera bersiap. Kedua orang kawannyapun telah mela kukan hal yang sama. Ketika Glagah Putih memandangi sorot mata orang itu serta sikap mereka, maka Gla gah Putihpun menyadari bahwa orang-orang itu tentu sudah sampai kepada tingkat i lmu mereka yang tertinggi. Dengan demikian maka Glagah Putihpun harus ber-hati-hati. Ia tidak boleh lengah. Jika ia membenturkan ilmunya, maka ia harus mengerahkan kekuatan yang lebih bes ar dalam lambaran ilmunya, agar bukan dirinyalah yang terlempar dan bahkan terba nting jatuh. Sejenak kemudian maka ketiga orang itupun telah benar-benar bersiap. Pada saat G lagah Putih bergeser, maka salah seorang diantara ketiga lawannya itupun maju se langkah. Glagah Putihpun segera mempersiapkan diri. Namun yang tiba-tiba melonca t menyerang adalah justru orang yang lain. Glagah Putih memang agak terkejut. Tetapi ia memiliki kemampuan untuk bergerak c

epat. Karena itu, maka ia sempat mengelakkan serangan itu. Kecepatan gerak anak muda itu memang menggelisahkan lawan-lawannya. Mereka seaka n-akan tidak mempunyai kesempatan untuk dapat menyentuhnya. Namun dengan mengerah kan segenap kemampuan dalam puncak ilmu mereka, maka mereka bertiga berharap unt uk dapat mengimbangi kecepatan gerak Glagah Putih. Dengan demikian maka pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin cepat. Keti ga orang lawan Glagah Putih benar-benar tidak dapat mengekang diri lagi. Mereka bergerak semakin lama semakin rapat dalam lingkaran yang mengelilingi Glagah Put ih. Dengan tata gerak yang khusus mereka mulai berputar disekeliling lawannya ya ng berada ditengah-tengah. Glagah Putih menjadi semakin berhati-hati. Ia mulai merasakan satu tekanan ilmu yang terasa semakin lama semakin keras. Dengan demikian maka Glagah Putihpun tel ah meningkatkan ilmunya pula. Ia mulai dengan kekuatan yang semakin meningkat, me nyerang orang-orang yang berputaran itu. Tetapi orang-orang yang berputaran itu, seakan-akan telah terikat dalam satu ota k yang menggerakkan mereka. Setiap kali Glagah Putih menyerang salah seorang yan g berada didalam lingkaran itu, maka ia telah mendapat serangan pula dari orang yang lain, sementara orang yang mendapat serangannya hanya sekedar menghindar. D engan demikian maka Glagah Putih mulai dipengaruhi oleh permainan yang membuatny a pening. Putaran itu sendiri terasa sangat mengganggunya. Apalagi semakin lama putaran itu menjadi semakin cepat. Bahkan pada saat-saat tertentu, seorang diant ara mereka meloncat dari lingkaran, menusukkan serangannya kearah Glagah Putih. Gila. geram Glagah Putih didalam hatinya, putaran itu membuat kepalaku menjadi peni ng. Dengan demikian, maka Glagah Putih tidak lagi terpancang pada tingkat ilmunya. I apun kemudian telah meningkatkan kemampuannya untuk memecahkan kepungan itu. Kar ena itu, maka untuk sesaat ia memperhatikan putaran itu sendiri sambil sekali-se kali menghindari serangan yang datang berurutan, kadang-kadang justru dua orang m enyerangnya berbareng. Ketika ia mulai mengenali bentuk permainan lawannya, maka Glagah Putihpun telah mempersiapkan satu serangan yang diperhitungkannya baik-baik. Pada saat yang tepat, maka Glagah Putihpun telah meloncat kearah salah seorang ya ng melingkarinya itu. Seperti yang diperhitungkan maka orang itu meloncat mengel ak, sementara orang yang berada di belakangnya justru telah menyerangnya pula de ngan cepat. Glagah Putih sudah bersiap-siap menghadapi kemungkinan itu. Dengan tangkasnya Gla gah Putih mengelak. Ia sama sekali tidak melayani orang yang menyerangnya itu. T etapi ia justru meloncat menyerang orang yang lain. Langkah Glagah Putih itupun tidak terduga pula oleh lawan-lawannya. Karena itu, maka putaran merekapun agak terganggu karenanya. Glagah Putih tidak membiarkan kesempatan itu. Justru pada saat yang demikian, ma ka iapun telah mempergunakan kemampuannya bergerak cepat, untuk menekan lawannya yang sedang agak bingung menghadapi tata geraknya. Serangannya yang kemudian ternyata telah berhasil mendorong salah seorang dianta ra ketiga lawannya itu surut, sehingga dengan demikian maka kepungan itupun tela h pecah. Dengan tangkasnya Glagah Putihpun kemudian meloncat keluar dari kepungan. Sejena k ia berdiri tegak. Namun kemudian iapun bertolak pinggang sambii menengadahkan dadanya. Katanya dengan suara lantang, Ayo, usahakan dapat mengepung aku kembali. Ketiga orang itu mengumpat hampir berbareng. Mereka benar-benar tidak menyangka b ahwa anak muda yang memiliki kuda yang besar dan tegar itu memiliki ilmu yang ti nggi. Namun justru karena itu, maka ketiga orang itu benar-benar kehilangan pengendali an diri. Orang yang pernah ditemui Glagah Putih di pinggir Kali Praga itupun kem udian menggeram, Kau benar anak muda. Jika kami tidak membunuhmu tanpa ragu-ragu, kau memang dapat membunuh kami. Ternyata kau benar-benar memiliki ilmu yang panta s untuk melawan kami bertiga. Kami tidak dapat mengelakkan kenyataan, bahwa kau berhasil memecahkan kepungan kami, sehingga dengan demikian maka kau benar-benar seorang yang memang harus diperhitungkan dengan sungguh-sungguh. Tetapi jangan menyesal bahwa dengan demikian, kami berniat untuk dengan sungguh-sungguh pula i

ngin membunuhmu. Katakan apakah semula kau tidak ingin membunuhku dengan bersungguh-sungguh? Apaka h semula kau hanya ingin menakut-nakuti saja? bertanya Glagah Putih. Kami masih ingin membuat pertimbangan-pertimbangan. Tetapi sekarang tidak. geram o rang itu. Glagah Putih itupun menggeram pula. Katanya, Kalian ternyata telah menghina aku. K au kira aku sebangsa kecoak yang dapat kau takut-takuti he? Tetapi baiklah. Aku akan mengambil langkah sebagaimana kau ambil. Sejak semula aku menempatkan dirik u sebagaimana kalian bersikap terhadapku. Akupun benar-benar akan membunuhmu seka rang jika semula aku hanya ingin menakut-nakutimu. Uh, kau memang gila. teriak salah seorang dari ketiga orang itu, aku menjadi muak. Tepat. sahut Glagah Putih, kalian memang memuakkan. Orang-orang itu tidak lagi mampu menahan diri. Tiba-tiba saja seorang diantara m ereka telah menarik senjatanya. Sekejap kemudian yang lain-lainpun telah melakuk annya pula. Glagah Putih bergeser setapak mundur. Dipandanginya ketiga orang yang mulai meng gerakkan ketiga ujung senjata mereka. Kau mulai menyesali kesombonganmu. geram salah seorang diantara ketiga orang itu, t etapi sekarang sudah terlambat. Aku tidak menyesalinya. jawab Glagah Putih, yang aku sesali adalah, bahwa aku harus membunuh kalian bertiga. Semula aku ingin menangkap kalian hidup-hidup. Glagah Putih tidak dapat menyelesaikan kalimatnya. Tiba-tiba saja orang-orang it u telah berloncatan menyerang dengan senjata teracu. Glagah Putih harus meloncat surut untuk menghindar. Namun ketiga orang itu tidak memberinya kesempatan. Mereka bertiga telah memburunya dengan senjata yang tera yun-ayun mengerikan. Orang-orang ini menjadi gila. berkata Glagah Putih didalam hatinya. Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih tidak banyak mendapat kesempatan. Dengan senjata nya ketiga lawannya menjadi sangat berbahaya. Mereka berpencar dan berusaha untu k mengepung. Glagah Putih berloncatan dengan cepat. Ia menyadari, bahwa jika ketiga orang law annya berhasil mengepungnya, maka ia akan berada dalam kedudukan yang sulit, kar ena tiga ujung senjata akan menggapainya dari tiga jurusan. Apalagi ketiga orang yang memegang senjata itu adalah orang-orang berilmu yang sedang marah. Tetapi ruang gerak Glagah Putih memang terbatas. Tempat dibelakang bukit kecil i tu tidak cukup luas, karena gerumbul-gerumbul perdu yang bertebaran dan bebatuan yang berserakan. Meskipun kadang-kadang gerumbul-gerumbul itu memberinya kesempatan untuk menghin dari usaha ketiga orang itu untuk mengepungnya, namun kadang-kadang ia mendapat k esulitan juga karena gerumbul-gerumbul yang seolah-olah sangat menyempitkan meda n. Karena itulah, maka Glagah Putih tidak mau mengalami kesulitan yang mungkin akan dapat menentukan. Karena ketiga orang lawannya telah mempergunakan senjata, maka Glagah Putihpun kemudian telah meloncat surut, mengambil jarak dari lawan-lawan nya untuk mempersiapkan senjatanya. Jangan lari. teriak orang yang dijumpainya di Kali Praga itu, tidak ada gunanya. Ka mi akan memburumu dan membunuhmu. Glagah Putih menggeram. Tangannyapun kemudian telah meraba ikat pinggangnya samb il berkata, Sekali lagi aku katakan. Akulah yang akan membunuh kalian. Ketiga orang lawannya tidak menjawab. Merekapun telah berloncatan memburu dengan senjata teracu. Namun mereka terkejut dan tertegun ketika mereka melihat anak muda itu mengurai ikat pinggang kulitnya. Apa kau menjadi gila? bertanya orang yang pernah dijumpainya di pinggir Kali Praga itu, kau akan me-lawan ketiga ujung senjata kami hanya dengan ikat pinggang kulit itu? Aku tidak membawa senjata lainnya. berkata Glagah Putih, kakang Agung Sedayu melawa n musuh-musuhnya hanya dengan sehelai cambuk. Sekarang aku memiliki ikat pinggan g kulit yang lebih kuat dari seutas tali diujung cambuk kakang Agung Sedayu. Nah, kalian mau apa?

Persetan. geram salah seorang lawannya, kau masih saja menghina kami dalam keadaan seperti ini. Kau telah mempersulit jalan kematianmu sendiri. Ya jawab Glagah Putih, bukan hanya mempersulit. Tetapi aku telah berusaha mengurung kan kematianku sendiri meskipun segala sesuatunya tergantung kepada keputusan-Ny a. Ketiga orang itu tidak membuang waktu lebih lama lagi. Merekapun kemudian telah melangkah mendekat. Senjata mereka mulai terayun-ayun kembali, sementara itu Glag ah Putih telah memutar ikat pinggang kulitnya. Sejenak kemudian maka ketiga orang lawan Glagah Putih itupun telah mulai menyera ng lagi. Senjata mereka terayun-ayun mengerikan. Glagah Putih menyadari betapa b esarnya kekuatan ayunan senjata lawannya dari desing yang menggaung susul menyus ul. Mereka memiliki ilmu yang mapan dalam olah senjata. berkata Glagah Putih didalam ha tinya. Karena itulah maka Glagah Putihpun harus mempergunakan segenap kemampuannya pula. Ia harus berloncatan menghindar. Namun iapun harus meloncat pula menyerang. Dalam putaran pertama, Glagah Putih masih merasa ragu untuk membenturkan senjata secara langsung. Meskipun ia mampu memecahkan batu dengan senjatanya yang berhia skan besi baja itu, namun apakah senjatanya tidak akan terluka jika membentur ta jamnya senjata lawan. Namun dalam keragu-raguan itu, Glagah Putih menjadi semakin terdesak. Bahkan ket ika keadaan menjadi semakin sulit, sementara itu ia masih saja ragu-ragu, maka t iba-tiba saja terasa sesuatu menyengat lengannya. Glagah Putih meloncat surut beberapa langkah untuk mengambil jarak. Ketika ia se mpat mengamatinya, maka ternyata bahwa lengannya telah tergores ujung senjata la wannya. Licik teriak salah seorang diantara ketiga lawannya, kau baru tergores seujung rambu t, kau sudah men-cari jalan untuk melarikan diri. Glagah Putih menggeretakkan giginya. Luka di lengannya telah membuat hatinya bena r-benar menjadi panas. Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan, kemampuan lawannya mempermainkan senj ata mereka, benar-benar mendebarkan. Apalagi selama ia masih dicengkam oleh kera gu-raguan. Sejenak kemudian maka ketiga orang yang telah berhasil melukai Glagah Putih itupu n menjadi semakin garang. Mereka menganggap, bahwa dengan demikian, jalan kemena ngan telah mulai terbuka. Dengan demikian maka dengan teriakan-teriakan nyaring mereka menyerang susul menyusul seperti benturan ombak dilautan berturutan mengh antam pantai berbatu karang. Dengan demikian Glagah Putih harus berloncatan semakin cepat. Ujung senjata lawa nnya rasa-rasanya mengerumuninya dari segala arah. Sementara itu, seorang diantara mereka yang telah mengambil Glagah Putih telah m emasuki padukuhan induk. Dengan ancar-ancar yang diberikan oleh Glagah Putih, mak a iapun telah mencari rumah Agung Sedayu. Untuk meyakinkan petunjuk Glagah Putih , maka orang itupun telah bertanya kepada seseorang yang baru saja keluar dari r egol halaman rumahnya. Apakah kau akan bertemu dengan Agung Sedayu? bertanya orang itu. Ya. Aku adalah salah seorang kawannya. jawab orang yang mencari Agung Sedayu itu. Orang yang ditanya itu memang merasa heran. Ia belum pernah melihat orang itu. D an menurut ujud dan tingkah lakunya, maka agaknya ia tidak sejalan dengan sikap Agung Sedayu. Meskipun demikian, orang itu telah menunjukkan pula arah rumah Agung Sedayu. Ia yakin bahwa tidak seorangpun yang seorang diri dapat berbuat jahat atas Agung Sed ayu, apalagi dirumah itu selain ada Agung Sedayu, juga terdapat Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga. Demikianlah, maka akhirnya orang itupun telah memasuki halaman rumah Agung Sedayu . Ketika ia meloncat dari punggung kudanya, maka dilihatnya seseorang yang masih terhitung muda berdiri diatas tangga pendapa rumahnya yang tidak begitu besar. Kaukah yang bernama Agung Sedayu? bertanya orang itu dengan kasar. Ya jawab orang yang berdiri ditangga itu. Kebetulan sekali. berkata orang yang datang kerumah Agung Sedayu itu, aku ingin ber

bicara denganmu. Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian iapun melangkah mendekat. Dengan nad a datar ia bertanya, Apakah ada sesuatu yang penting? Aku ingin berbicara didalam rumahmu. berkata orang itu. Agung Sedayu menjadi semakin heran melihat sikap orang itu. Tetapi iapun mempers ilahkannya naik kependapa. Tidak dipendapa. Tetapi di dalam rumah. orang itu mulai membentak. Agung Sedayu memandang orang itu sejenak. Menilik pandangan matanya orang itu bu kan orang gila. Namun debar jantungnya terasa menjadi semakin cepat. Baiklah. berkata Agung Sedayu, marilah, silahkan masuk keruang dalam. Agung Sedayupun kemudian membawa orang itu masuk keruang dalam. Sementara itu ke hadirannya telah menarik perhatian Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga. Silahkan duduk. berkata Agung Sedayu. Aku tidak perlu duduk. berkata orang itu, aku tergesa-gesa. Kebetulan kau ada dirum ah. Baru saja aku datang dari bendungan. berkata Agung Sedayu, sekedar melihat-lihat, a pakah tidak ada yang perlu diperbaiki. Aku tidak peduli. jawab orang itu. Kemudian sambil membuka baju Glagah Putih itu be rtanya, Kau mengenal baju ini? Agung Sedayu menjadi tegang. Namun sebelum ia menjawab, Sekar Mirah yang menjawa b, Baju Glagah Putih. Tepat. jawab orang itu, anak itu sekarang ada dibawah kekuasaan kami. Kami memerluk an tebusan. Bukankah kalian termasuk orang yang kaya raya sebagaimana dikatakan o leh Glagah Putih itu sendiri? Debar di jantung Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga terasa menjadi sema kin cepat. Baju itu memang baju Glagah Putih. Namun Agung Sedayu berusaha untuk tetap tenang. Karena itu, maka iapun bertanya, Dimana Glagah Putih sekarang? Orang yang datang dengan membawa baju Glagah Putih itu memandang Agung Sedayu de ngan tajamnya. Kemudian dengan nada kasar ia berkata, Jangan banyak bicara. Serah kan uang tebusan atau barang kali sebilah keris dengan wrangka berpendok emas, t imang emas tretes berlian atau barang-barang berharga lainnya. Jika kau tidak se gera memenuhinya, maka kau akan menyesal. Wajah Agung Sedayu menjadi semakin tegang. Dengan susah payah ia berusaha menaha n diri. Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. berkata Agung Sedayu. Jangan dungu. bentak orang itu, jika pada saat yang ditentukan aku tidak kembali, m aka Glagah Putih akan dibunuh. Aku ingin persoalannya menjadi lebih jelas. Tentu saja aku tidak akan keberatan u ntuk menebus Glagah Putih. jawab Agung Sedayu. Apa yang kau punya? bertanya orang itu. Aku mempunyai pendok emas. Meskipun aku tidak mempunyai timang emas tretes berlia n, tetapi aku mempunyai beberapa buah cincin dan isteriku mempunyai perhiasan ema s lainnya, jawab Agung Sedayu, Tetapi katakan, dimana anak itu sekarang. Kau tidak perlu tahu. Berikan barang-barang itu kepadaku. Nanti pada saatnya anak itu akan kembali dengan sendirinya. jawab orang itu. Tetapi aku memerlukan atau kepastian bahwa anak itu akan kembali. jawab Agung Seda yu, aku tidak mau diperas sampai dua tiga kali. Jika aku sekarang menyerahkan yan g kau minta, itu berarti bahwa anak itu harus sudah kembali kepadaku. Jika tidak , maka masih akan ada persoalan-persoalan yang dapat timbul kemudian. Persetan. geram orang itu, berikan barang-barang itu. Ki Sanak. berkata Agung Sedayu, marilah. Aku ikut bersamamu sambil membawa barang-b arang itu. Kemudian jika kalian menyerahkan anak itu, maka akupun akan menyerahk an barang-barangku. Aku tidak peduli. jawab orang itu, berikan barang-barangmu atau kau biarkan anakmu mati dalam keadaan yang paling pahit. Glagah Putih adalah adik sepupuku. jawab Agung Sedayu, tetapi ingat. Jika kau menol ak, maka akupun dapat memanggil seisi padukuhan ini untuk menangkap mu. Gila. Kau tidak akan berani berbuat seperti itu. bentak orang itu, jika aku terlamb at kembali, maka anak itu akan kau dapati tidak bernyawa lagi. Aku tidak peduli. jawab Agung Sedayu mengejutkan, aku bersukur bahwa ada orang yang

mau menyingkirkan anak itu dari rumah ini. Aku sudah merasa terlalu letih mengu rusinya. Anak itu sama sekali bukan anak penurut. Ia berbuat sesukanya saja. Bah kan ia telah mengambil kuda pamannya, sehingga pamannya telah mengancam aku dan keluargaku yang lain. Wajah orang itu menegang sejenak. Namun iapun masih bertanya, Kenapa kau bersedia menebusnya? Aku masih ingin menghindari perselisihan dengan orang tuanya. Tetapi jika aku har us mengorbankan terlalu banyak barang-barangku, biar saja anak itu kau ambil. jaw ab Agung Sedayu. Namun katanya kemudian, tetapi yang kemudian aku pikirkan adalah sikap kalian. Orang-orang seperti kalian memang harus ditangkap. Jangan menganc am lagi, bahwa anak yang kalian kuasai itu akan mati. Biar saja ia mati. Tetapi kaupun akan mati. Wajah orang itu menjadi semakin tegang. Apalagi Agung Sedayu kemudian berkata, Ka u tidak akan men-dapat keuntungan apa-apa jika anak itu dibunuh. Tetapi justru k au akan mengalami satu keadaan yang mungkin tidak akan pernah kau bayangkan. Jik a kau jatuh ketangan orang banyak, maka kau dapat membayangkan sendiri apa yang akan terjadi. Gila. geram orang itu. Namun tiba-tiba pula ia menjadi garang, jangan berpura-pura. Jika anak itu benar-benar mati sepekan kau tangisi mayatnya. Aku tidak akan menangis. jawab Agung Sedayu, bahkan aku akan lebih memperhatikan ma yatmu yang dicincang di halaman banjar. Jangan menjadi semakin dungu. berkata orang itu, jika ada yang berani mencoba menan gkapku, maka orang itu akan mati lebih dahulu. Jangan berangan-angan terlalu jauh. Tanah Perdikan ini bukan sarang pengecut dan orang-orang cengeng. Nah, sekarang bersiaplah untuk mati. berkata Agung Sedayu. Wajah orang itu menjadi bertambah tegang. Jantung-nya bergejolak tidak menentu. Kegelisahan yang sangat telah mencengkam jantungnya. Dalam kebingungan itu, tiba-tiba saja ia telah menarik senjatanya. Namun sekali lagi ia terkejut. Demikian ia menarik senjatanya itu, maka tiba-tiba pula terasa pergelangan tangannya bagaikan menjadi patah. Senjata telah terlempar jatuh sel angkah dari kakinya. Orang itu menjadi bingung. Apalagi ketika ia menyadari, bahwa yang memukul pergel angan tangannya itu bukan seorang laki-laki, tetapi satu-satunya perempuan yang ada diruang itu. Namun sejenak kemudian ia menyadari keadaan sepenuhnya. Karena itu maka iapun de ngan tangkasnya telah berusaha meraih senjatanya kembali. Tetapi sekali lagi ia terkejut. Ternyata ia tidak berhasil memungut senjatanya, karena senjatanya itu telah terinjak oleh kaki Agung Sedayu. Jangan berbuat yang aneh-aneh disini Ki Sanak. berkata Sekar Mirah yang ternyata h ampir kehilangan kesabaran, Kami dapat berbuat jauh lebih keras dari apa yang sek edar kami ragakan ini. Bahkan aku dapat benar-benar mematahkan pergelangan tanga nmu atau malahan lehermu. Orang itu termangu-mangu. Namun wajahnyapun kemudian menyala. Dipandanginya Seka r Mirah dengan sorot mata yang bagaikan membara. Dengan nada geram ia berkata, Perempuan tidak tahu diri. Kau jangan mencoba mengg ertak aku dengan kasar he? Anak-anak ingusanpun dapat berbuat seperti yang kau l akukan itu. Tetapi kau tidak akan mampu berbuat apa-apa jika aku mengetahui bahwa kau akan berlaku kasar seperti itu. Tutup mulutmu. Sekar Mirah benar-benar telah kehilangan kesabaran, kau harus membaw a kami ketempat anak itu kau sembunyikan. Jika tidak maka kau akan mengalami nasi b yang sangat buruk disini. Jangan berlagak seperti itu. Akulah yang akan membunuh kalian bertiga jika kalian tidak mau mendengarkan perintahku. geram orang itu, karena itu, cepat sediakan bar ang-barang itu. Aku akan segera pergi sebelum anak itu dibunuh karena keterlamba tanku. Kami akan pergi bersamamu. berkata Agung Sedayu. Kau tidak mempunyai pilihan. Kau te lah kehilangan senjatamu. Sejenak orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, Kekuatanku yang sebenar nya tidak terletak pada senjataku, tetapi pada ilmuku. Baik. berkata Sekar Mirah, sekarang kau mau apa?

Orang itu menjadi semakin tegang. Bahkan debar jantungnyapun seakan-akan berdegu p semakin cepat. Sementara itu Sekar Mirah yang benar-benar telah kehilangan kesa barannya berdiri bertolak pinggang dihadapan orang itu. Dalam pada itu Agung Sedayupun kemudian berkata, Sekar Mirah. Bersiaplah. Kita ak an mengikuti orang ini ketempat Glagah Putih. Anak Setan. orang yang datang untuk mengambil tebusan itu hampir berteriak. Namun sekali lagi ia terkejut. Sekar Mirah ternyata telah memukul orang itu dipi pinya dengan telapak tangannya, sehingga rasa-rasanya pipihya telah tersentuh ba ra. Jangan membuat kami semakin kehilangan kesabaran. desis Sekar Mirah. Orang itu bergeser surut. Namun yang terjadi kemudian benar-benar telah menentuka n sikapnya kemudian, ketika tangan Agung Sedayu tiba-tiba saja telah menggenggam lengannya. Sudahlah. berkata Agung Sedayu, jangan banyak bicara. Bawa kami ketempat Glagah Put ih. Orang itu masih akan menjawab. Tetapi tubuhnya tiba-tiba saja terasa seperti dip anggang diatas api. Rasa-rasanya dari tangan Agung Sedayu itu mengalir udara pana s menembus kulitnya dan mengalir lewat urat darahnya. Tubuh orang itu menjadi gemetar. Dalam kebingungan ia mendengar Agung Sedayu ber tanya, Apakah kau ber-sedia membawa kami? Karena orang itu ragu-ragu, maka udara panas itu seakan-akan semakin tinggi mene lusuri tubuhnya sehingga jantungnya bagaikan menjadi hangus. Jawablah. desak Agung Sedayu. Orang itu tidak dapat bertahan oleh panasnya udara yang seakan-akan mengalir dar i tangan Agung Sedayu yang menggenggam lengannya. Karena itu, maka tiba-tiba saj a ia mencoba menghentakkan diri. Dengan tangannya yang lain ia :;telah memukul p ergelangan tangan Agung Sedayu, sementara itu, iapun telah berusaha melepaskan ge nggamanfc, tangan itu. Tetapi yang terjadi adalah diluar dugaan orang itu. Tangan Agung Sedayu justru ba gaikan melekat ditangannya. Sedangkan pergelangan tangan Agung Sedayu itu rasa-r asanya justru sekeras besi baja. Sehingga dengan demikian maka tangan Agung Seday u itu sama sekali tidak bergeser. Bahkan tangannya yang memukul pergelangan tanga n Agung Sedayu itu terasa menjadi sakit sekali. Namun orang itu masih belum menyerah. Dengan sekuat tenaganya orang itu telah me nyerang Agung Sedayu dengan lututnya. Ia justru berusaha untuk bergeser melekatk an tubuhnya pada tubuh Agung Sedayu, sementara itu lututnya dengan sekuat tenaga telah menyerang perut Agung Sedayu itu. Tetapi sekali lagi orang itu menjadi sangat heran. Agung Sedayu seakan-akan tida k merasakan serangan itu. Bahkan tangannya justru semakin kuat mencengkam lengan nya sambil menjulurkan arus panas kedalam tubuhnya. Dengan nada berat ia bertanya, Kau melawan? Tekanan perasaan sakit yang tidak terlawan, akhirnya membuat orang itu tidak dap at mengingkari kenyataan. Ketika Agung Sedayu menekan tangan orang itu semakin k eras maka orang itupun menggeram. Jangan. Kau mau mengantarkan kami atau tidak? bertanya Agung Sedayu, jangan mencoba menakutnakuti kami dengan anak yang kau tangkap itu. Aku tidak peduli. Jika aku tergesa -gesa justru karena aku cemas bahwa anak itu telah membunuh kawan-kawanmu. Orang itu memandang Agung Sedayu dengan tegang. Sementara Agung Sedayu berkata, A nak itu memiliki kemampuan sepuluh kali lipat dari kemampuanmu. Jika kawanmu kur ang dari sepuluh, maka umur mereka akan berada dalam bahaya. Jika kawanmu lebih dari sepuluh, anak itu mungkin akan melepaskan diri dari tangan mereka. Namun mu ngkin pula ia mampu menyelesaikan lawan-lawannya jika lawan-lawannya lengah. Kar ena itu jangan mencoba memeras kami dengan alasan anak itu. Jika kami akan pergi bersamamu, justru kami akan mencegah anak itu melakukan pembunuhan. Dengar, aku berkata sebenarnya kali ini. Wajah orang itu menjadi merah. Sementara Agung Sedayu berkata kepada Sekar Mirah, Berbenahlah. Lalu Agung Sedayupun bertanya kepada Kiai Jayaraga, Apakah Kiai berse dia untuk pergi bersama kami. Baiklah. berkata Kiai Jayaraga, kita akan melihat bersama-sama, apa yang terjadi den gan Glagah Putih.

Sementara itu, maka Sekar Mirahpun kemudian telah membenahi diri. Ia mempergunak an pakaiannya yang khusus, karena ia akan mengikuti orang itu dengan berkuda. Pada saat Sekar Mirah berpakaian maka Agung Sedayupun berkata kepada orang yang d atang kepadanya itu, Duduklah. Kau akan dikawani oleh Kiai Jayaraga. Aku akan men yiapkan tiga ekor kuda. Orang itu tidak menjawab. Namun ketika tangan Agung Sedayu tidak lagi menekan le ngannya, maka terasa darahnya menjadi dingin lagi. Dengan demikian maka tubuhnya terasa seolah-olah menjadi pulih kembali. Ketika Agung Sedayu kemudian meninggalkan ruang itu, yang nampak oleh orang yang datang untuk mendapatkan tebusan itu tidak lebih dari seorang tua yang nampaknya selalu terkantuk-kantuk. Dengan jantung yang berdebaran ia memandang senjatanya yang masih tergolek dilantai. Pada saat yang tepat, maka orang itupun tiba-tiba saja telah meloncat menggapai senjatanya. Dengan garangnya ia kemudian mengacukan senjatanya kepada Kiai Jayar aga sambil berdesis perlahan-lahan, Jangan melakukan sesuatu yang dapat membunuh d irimu sendiri. Kiai Jayaraga tertegun sejenak. Namun ia sama sekali tidak bergerak. Ikuti aku. geram orang itu, aku akan keluar dari tempat terkutuk ini. Ketika orang itu melangkah mundur, maka Kiai Jayaragapun mengikutinya. Selangkah demi selangkah. Akhirnya orang itupun sampai ke pintu. Orang itu menarik nafas dalam-dalam ketika melihat kudanya masih berada ditempat nya. Jika ia bergerak cepat, maka ia akan dapat mencapai kudanya dan berpacu men inggalkan tempat itu, justru sebelum Agung Sedayu siap dengan kudanya. Karena itu, maka tiba-tiba saja orang itupun telah meloncat keluar dari ruang dal am dan berlari menyeberangi pringgitan yang tidak begitu luas. Jangan lari. panggil Kiai Jayaraga. Tetapi orang itu tidak mempedulikannya. Ia memperhitungkan kemungkinan untuk mel arikan diri dan membunuh anak yang telah ditangkapnya bersama dengan ketiga orang kawannya. Tetapi orang itu ternyata telah salah hitung. Ketika ia berada dihalaman, maka t iba-tiba seakan-akan angin yang kencang telah meniupnya tanpa diketahuinya sangk an parannya. Bahkan kemudian angin itu telah berputar sekencang angin prahara ya ng kemudian membangun cleret-tahun yang dahsyat. Orang itu ternyata tidak mampu bertahan. Tubuhnya telah ikut terputar semakin la ma semakin kencang. Sehingga akhirnya, tubuh itu telah terlempar dan orang itupun terkapar ditanah. Kepalanya menjadi pening dan perutnya menjadi mual. Ia membuka matanya yang terp ejam ketika terasa seseorang membangunkannya. Bahkan dengan nada yang lunak terde ngar orang itu berkata, Berhati-hati Ki Sanak. Jangan terlalu tergesa-gesa. Agakny a kedua kakimu sudah saling terantuk, sehingga kau telah jatuh. Orang itu perlahan-lahan memandang keadaan disekitarnya. Ia tidak melihat debu b erhamburan. Ia tidak melihat dedaunan yang bergetar dan bahkan ia tidak melihat s esuatu yang dapat menjadi pertanda bahwa baru saja ada angin pusaran yang besar yang telah memutar tubuhnya tanpa dapat dilawannya. Ambillah, senjatamu telah terjatuh. berkata orang itu. Orang yang terjatuh itu mengumpat didalam hatinya. Orang yang menolongnya itu ad alah orang tua yang dianggapnya sekedar terkantuk-kantuk. Ternyata aku telah terperosok kedalam rumah hantu. berkata orang itu kepada diri s endiri. Namun orang itu telah memungut senjatanya pula, dengan kesadaran sepenuhnya bahwa tentu orang tua itulah yang telah menyerangnya dengan sejenis ilmu yang tidak d iketahuinya. Namun yang terjadi tentu satu peristiwa semu. Ketika orang itu menyarungkan senjatanya, maka Kiai Jayaragapun berkata, Hati-hat ilah Ki Sanak. Halaman ini memang licin. Apalagi diwaktu hujan. Sekali lagi orang itu mengumpat didalam hati. Ia tidak melihat selapis lumutpun dihalaman itu betapa tipisnya. Seandainya ia harus berloncatan dihalaman itu, ba hkan anak-anak sekalipun, tidak akan dapat tergelincir karenanya. Pada saat orang itu kebingungan, Sekar Mirah telah muncul pula di halaman sambil bertanya, Apa yang terjadi? Kiai Jayaragalah yang menjawab, Tidak apa-apa. Orang ini akan pergi ke kudanya. T

etapi agaknya ia terlalu tergesa-gesa, sehingga iapun telah terjatuh. O. Sekar Mirah mendekatinya, kita memang tergesa-gesa. Tetapi tidak perlu barlari-la ri sehingga jatuh bangun seperti itu. Pakaianmu menjadi kotor dan barangkali kak imu akan dapat terkilir. Telinga orang itu terasa menjadi panas. Tetapi ia tidak menjawab. Namun demikian , terasa tengkuknya meremang ketika ia melihat Agung Sedayu membawa tiga ekor ku da memasuki halaman lewat halaman samping. Rumah ini ternyata telah dihuni oleh iblis-iblis yang mengerikan. berkata orang it u didalam hatinya. Lengannya yang dicengkam Agung Sedayu masih terasa sakit, seme ntara darahnya bagaikan telah mendidih oleh arus panas yang mengalir ketubuhnya. Pergelangan tangannyapun masih pula nyeri dipukul oleh seorang perempuan. Sement ara itu ia telah terputar dan terbanting dihalaman, karena ilmu orang tua itu. Dalam pada itu, terdengar Agung Sedayu berkata, Marilah. Kita mencari anak itu se belum ia membunuh sepuluh orang sekaligus. Orang yang datang untuk minta tebusan itupun menjadi berdebar-debar. Menilik tiga orang yang tinggal dirumah itu, maka memang mungkin Glagah Putih dapat berbuat sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu itu. Dengan demikian, maka orang itupun tidak akan dapat berbuat lain kecuali menurut segala perintah Agung Sedayu dan orang-orang lain dirumah itu. Sejenak kemudian maka ketiga orang itupun telah bersiap dengan kuda masing-masin g. Kepada pembantu di rumahnya Agung Sedayu berkata, Jangan kau tinggal rumah ini . Aku akan menjemput Glagah Putih. Anak itu tidak menjawab. Ia hanya menganggukkan kepalanya saja. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga telah berkuda mengikuti orang yang datang dengan membawa baju Glagah Putih itu. Mereka berpac u dengan cepat, karena sebenarnyalah Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga merasa gelisah pula. Meskipun mereka yakin bahwa Glagah Putih tentu akan berusah a untuk melindungi dirinya sendiri dengan ilmunya yang telah meningkat semakin t inggi, namun Agung Sedayu tidak dapat membayangkan siapakah yang dihadapinya. Mes kipun seorang diantara mereka yang telah mengambil Glagah Putih itu telah diketa hui kemampuannya. Orang yang berusaha untuk mengambil tebusan itu sama sekali tidak mampu lagi ber pikir, apakah yang akan terjadi nanti. Kegelisahan dan kecemasan benar-benar tel ah mencengkam jantungnya. Dalam pada itu, dibalik sebuah bukit kecil yang jauh dari kesibukan orang-orang yang bekerja disawah, Glagah Putih sedang bertempur melawan tiga orang lawannya. Dalam keragu-raguan ternyata beberapa gores luka telah menitikkan darah dari tub uhnya. Tidak hanya dilengannya. Tetapi juga dari pundaknya. Meskipun luka itu ti dak dalam, namun sakitnya justru terasa di dasar hatinya, bukan pada kulitnya ya ng menganga. Karena itu, maka Glagah Putihpun kemudian telah menghentakkan kemampuannya berma in senjata. Ia tidak lagi ragu-ragu. Ia yakinkan dirinya sendiri, bahwa ikat pin ggang pemberian Ki Patih Mandaraka itu tentu bukan ikat pinggang kebanyakan. Ia sudah membuktikannya dengan memecahkan batu tanpa merusakkan ikat pinggang itu. Meskipun senjata lawannya cukup tajam, tetapi benang-benang baja pada pinggiran ikat pinggang itu tentu akan melindungi kerusakan yang mungkin terjadi. Dengan demikian, maka Glagah Putihpun telah melepaskan keragu-raguannya. Bahkan ia justru ingin mencoba, seberapa jauh kemampuan ikat pinggang pemberian Ki Pati h Mandaraka itu. Namun pada saat-saat ia menemukan keyakinannya, justru ketika Glagah Putih siap untuk meloncat dan memutar ikat pinggangnya, sebuah serangan yang tiba-tiba tela h mengejutkannya. Tetapi pada saat ia meloncat surut, terasa sentuhan angin dipu nggungnya. Glagah Putih sempat bergeser. Namun ujung senjata lawannya masih juga tergores dipunggungnya itu. Kemarahan didada Glagah Putih bagaikan menggelegaknya lahar gunung berapi yang s edang meledak. Betapapun tinggi tanggul yang membendungnya, namun agaknya tidak ada kekuatan yang dapat menahannya. Karena itulah, maka ikat pinggang ditangan G lagah Putih itupun berputar dengan cepatnya. Angin yang terputar pula karenanya, telah menimbulkan suara mengaung semakin keras. Bahkan rasa-rasanya udarapun ik ut berputar bagaikan angin pusaran.

Ketiga orang lawan Glagah Putih terkejut mengalami perubahan itu. Ketika Glagah Putih kemudian mulai meloncat, maka tata geraknyapun telah berubah pula. Tidak a da lagi keragu-raguan yang mengekangnya, sehingga dengan demikian maka ayunan ik at pinggang ditangannyapun menjadi semakin lama semakin cepat. Namun betapapun kemarahan menggelegak didada Glagah Putih, ia masih sempat juga berpikir untuk menguji kemampuan ikat pinggang itu serta kemampuannya memperguna kannya. Ia masih belum memasuki kemampuan ilmunya, baik yang diterima dari Agung Sedayu, maupun dari Kiai Jayaraga. Tetapi ketrampilannya mempermainkan ikat pinggang, serta kekuatan wadag serta te naga cadangan didalam dirinya, ternyata telah mampu menggetarkan jantung ketiga orang lawannya. Gerakanyapun menjadi semakin cepat dan garang. Ranting-ranting d an dahan-dahan yang tersentuh putaran ikat pinggangnya bagaikan dibabat dengan p arang yang tajamnya melampaui senjata lawan-lawannya. Sementara kekayuanpun berp atahan sebagaimana dilanda oleh badai raksasa. Dengan demikian maka pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin keras. Glag ah Putih yang telah menitikkan darah itu benar-benar bagaikan banteng yang terlu ka. Mengamuk dengan kemampuan dan tenaga yang tidak terlawan. Namun ketiga orang lawan Glagah Putih itupun adalah tiga orang yang terbiasa menjelajahi kehidupan yang keras dan garang. Karena itu, betapapun jantung mereka berdebaran, namun m ereka justru telah mengerahkan kemampuan mereka. Apalagi ketika mereka melihat b ahwa luka ditubuh Glagah Putih yang muda itu, telah memerah oleh darah, sementar a Glagah Putih memang sudah tidak mengenakan baju, karena bajunya telah diminta oleh orang-orang yang mengambilnya itu. Maka luka-lukanyapun menjadi semakin jel as nampak membujur lintang di tubuhnya. Demikian ia menarik senjatanya, maka tiba-tiba pula terasa pergelangan tangannya bagaikan menjadi patah. Senjatanya telah terlempar jatuh selangkah dari kakinya . Apalagi ketika keringat mengalir semakin banyak dipermukaan kulit Glagah Putih , maka luka itupun menjadi semakin putih, sehingga dengan demikian maka kemaraha n Glagah Putihpun seakan-akan tidak tertahan lagi. Itulah sebabnya, maka Glagah Putih tidak memberi kesempatan kepada ketiga lawann ya untuk bertahan lagi. Semakin keras Glagah Putih mendesak lawannya, maka ruang gerak merekapun menjadi semakin sempit. Gerumbul-gerumbul liar yang membatasi a rena, kadang-kadang justru dapat memberikan perlindungan kepada lawannya yang ha rus berlari-larian menghindari serangan Glagah Putih, yang membadai. Pada saat-saat yang demikian, justru dalam pertempuran yang semakin keras, Glaga h Putih dapat meyakinkan dirinya, bahwa ikat pinggangnya memang merupakan sebuah senjata yang luar biasa. Benturan-benturan yang kemudian terjadi, sama sekali t idak merusakkan ikat pinggangnya. Tajam senjata lawannya sama sekali tidak meluk ai senjatanya yang tidak banyak dipergunakan orang. Namun Glagah Putihpun kemudian tidak mempergunakan senjatanya secara wantah. Den gan mengetrapkan ilmunya yang menggetarkan telapak tangannya, seakan-akan tersal ur kedalam senjatanya yang khusus itu, maka Glagah Putih mampu mengatasi ketiga ujung senjata dari ketiga lawannya. Ikat pinggangnyapun mampu menebas gerumbul-gerumbul liar, ranting dan dahan pepo honan dan yang kemudian menggetarkan jantung lawan-lawannya adalah pada saat-saa t senjata yang aneh itu menyentuh batu-batu padas, maka batu-batu padas itupun b erguguran dan pecah berserakan. Ternyata ketiga orang lawan Glagah Putih itu terlalu sulit untuk dapat melawanny a. Tetapi mereka sudah terlanjur melukai anak muda itu dan bahkan dengan sungguh -sungguh berusaha untuk membunuhnya. Karena itulah agaknya maka seakan-akan Glag

ah Putih tidak lagi memberikan jalan keluar bagi mereka dari pertempuran itu. Sebenarnyalah luka-luka ditubuh anak muda yang menjadi semakin pedih itu ialah m embuatnya semakin marah. Ketika Glagah Putih sampai kepuncak permainannya dengan ikat pinggangnya; maka benturan-benturanpun menjadi semakin sering terjadi. Ket ika orang yang ditemuinya di pinggir Kali Praga itu dengan mengerahkan kemampuan dan kecepatan geraknya mengayunkan senjatanya mengarah ke leher Glagah Putih, m aka anak muda itupun telah mempergunakan senjatanya dilambari dengan kekuatan da n kemampuan yang ada didalam dirinya untuk membenturnya. Benturan yang keraspun telah terjadi. Namun Glagah Putih telah benar-benar siap. Karena itu, maka iapun telah mengetrapkan kemampuan ilmunya yang seakan-akan me ngalir menyusuri ikat pinggangnya sebagaimana saat-saat ia membenturkan ikat pin ggangnya dan kemudian memecahkan batu hitam. Lawannya benar-benar terkejut. Meskipun beberapa kali senjatanya telah menyentuh senjata lawannya yang aneh itu, tetapi pada saat Glagah Putih mengerahkan kemam puan ilmunya, rasa-rasanya senjata orang yang pernah ditemuinya di Kali Praga it u bagaikan membentur wesi gligen. Bahkan terasa satu hentakan yang sangat kuat y ang telah merenggut senjatanya itu sehingga terlempar jatuh beberapa langkah dar ipadanya. Orang itu memang terkejut bukan kepalang. Dengan serta merta iapun telah melonca t menjauhi Glagah Putih. Namun Glagah Putih tidak dapat memburunya. Dua orang la wannya yang lain bersama-sama telah menyerangnya dari jurusan yang berbeda. Dengan cepat Glagah Putih menghindar. Namun pada saat yang sama, terdengar orang yang dijumpainya di Kali Praga dan yang telah kehilangan senjatanya itu memberi kan isyarat. Sebuah suitan nyaring telah menggetarkan udara. Glagah Putih terteg un sejenak. Namun iapun kemudian menyadari apa yang terjadi. Karena itu, maka ia pun segera bersiap. Tetapi Glagah Putih telah kehilangan waktu sekejap. Ia melihat ketiga orang itu berloncatan kearah yang berbeda. Karena itu, ia harus dengan cepat mengambil kep utusan. Tanpa disadarinya, ia justru telah meloncat kearah orang yang paling dik enalinya. Orang yang pernah ditemuinya di pinggir Kali Praga. Karena itu, maka j ustru orang itulah yang seakan-akan telah menariknya untuk mengejarnya. Dengan m enghentakkan kekuatannya Glagah Putih meloncat menyusul. Tetapi orang itu berlar i cukup cepat. Bahkan sekali-sekali orang itu mampu mempergunakan gerumbul-gerum bul liar untuk menghindari kejaran Glagah Putih. Glagah Putih yang marah itu menjadi semakin marah. Tiba-tiba saja ia tidak sempa t berpikir ketika ia berada selangkah dibelakang orang itu. Sebelum orang itu ma mpu mengambil jarak putaran-putaran pada pepohonan dan gerumbulgerumbul liar, Gl agah Putih telah mengayunkan ikat pinggangnya. Ternyata Glagah Putih tidak mampu menguasai ayunan ikat pinggang sambil berlari kencang. Itulah sebabnya, maka ik at pinggangnya itu telah menghantam punggung lawannya, terlalu keras. Melampaui batas daya tahan orang itu. Yang terdengar adalah teriakan kesakitan. Namun suar a itupun segera terputus. Orang itu dengan kerasnya telah terbanting jatuh bergu ling ditanah berbatu-batu padas. Glagah Putih dengan serta merta pula telah menghentikan langkahnya. Sejenak iapu n termangu-mangu. Namun disadarinya bahwa dua orang yang lain agaknya telah berl ari jauh kearah yang berbeda. Karena itu, maka Glagah Putihpun perlahan-lahan te lah mendekati orang yang terbaring diam itu. Ketika ia meraba tubuhnya, Glagah P utih itupun menjadi berdebar-debar. Perlahan-lahan dilekatkannya telinganya dida da orang itu. Ternyata jantungnya tidak lagi terdengar berdetak. Glagah Putihlah yang kemudian menjadi gelisah. Ketika ia menggerakkan orang itu, sama sekali tidak terdapat l

agi tanda-tanda bahwa orang itu masih hidup. Apakah orang ini mati? bertanya Glagah Putih didalam hatinya yang gelisah.

Untuk beberapa saat Glagah Putih merenungi orang itu. Namun agaknya orang itu me mang sudah tidak bernyawa lagi. Dengan jantung yang berdebaran, Glagah Putihpun kemudian bangkit berdiri. Ia tidak dapat meninggalkan mayat itu begitu saja, ata u bahkan mungkin akan menjadi makanan binatang-binatang liar atau burung-burung pemakan bangkai. Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian dengan jant ung yang berdebaran, dibawanya tubuh orang itu ketempat semula ia mulai bertempu r melawan ketiga orang lawannya itu. Ia berharap bahwa seorang kawan dari ketiga orang itu akan datang lagi. Mungkin sendiri, tetapi mungkin dengan kakak sepupu nya Agung Sedayu. Demikianlah, Glagah Putihpun kemudian telah meletakkan orang itu diatas sebuah b atu yang besar. Sementara itu, iapun merenunginya dengan berbagai pertanyaan did aiam dirinya. Diluar sadarnya, Glagah Putih telah mengamat-amati ikat pinggang y ang diterimanya dari Ki Mandaraka. Memang ikat pinggang itu ternyata memiliki ke mampuan sebagai senjata yang jarang dimiliki oleh orang lain. Ki Waskita juga mempergunakan ikat pinggangnya nya. berkata Glagah Putih didaiam hati

Sejenak kemudian, maka iapun telah mengenakan ikat pinggangnya. Kemudian dengan obat yang ada padanya, iapun berusaha untuk mengobati luka-lukanya. Tetapi tidak semua luka ditubuhnya dapat digapai dengan tangannya, sehingga karena itu, maka yang diobatinya hanyalah luka-luka yang dapat dicapainya. Namun dalam pada itu, Glagah Putihpun telah mendengar suara kaki-kaki kuda yang berderap. Sejenak kem udian iapun melihat beberapa orang berkuda memasuki lingkungan yang jarang disen tuh kaki itu. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat kakak sepupunya, Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga telah datang bersama dengan salah seorang diantara ampat orang yang akan merampok kudanya dan sekaligus memerasnya. Agung Sedayulah yang kemudian dengan tergesa-gesa meloncat turun dari kudanya Ke tika ia melihat sesosok mayat terbaring membeku, maka iapun menjadi berdebar-deb ar. Glagah Putihpun menjadi tegang pula. Sebelum Agung Sedayu menanyakan sesuatu, Gl agah Putih telah mendahuluinya memberikan keterangan dengan kata-kata yang patah Aku tidak sengaja membunuhnya kakang. Maksudku, salah seorang diantara mereka h arus tertangkap, tetapi ternyata bahwa aku menyentuhnya terlalu keras. Kau pergunakan ikat pinggangmu? bertanya Agung Sedayu dengan nada datar. jawab Glagah Putih.

Ya. Ya. Aku memang tidak membawa senjata yang lain.

Apakah kau tidak dapat melawannya tanpa senjata? Kau dapat melindungi dirimu den gan ilmu yang ada padamu berkata Agung Sedayu kemudian. Glagah Putih tergagap. Tetapi ketika Agung Sedayu melihat goresan-goresan senjat a ditubuh Glagah Putih meskipun tidak dalam, maka iapun menarik nafas dalam-dala m. Agaknya memang telah terjadi pertempuran yang sengit. Namun Agung Sedayupun t elah menduga, bahwa Glagah Putih memang tidak mempergunakan lambaran ilmunya yan g dapat membakar lawan-lawannya. Tetapi agaknya Glagah Putih ingin mencoba mempe rgunakan ikat pinggangnya dalam pertempuran yang sebenarnya. Seandainya ia mempergunakan ilmunya, tentu hanya dipergunakannya untuk memberika n dukungan kepada senjatanya yang baru itu. berkata Agung Sedayu didalam dirinya

. Karena itu, maka iapun tidak bertanya lagi tentang pertempuran yang sudah berl angsung. Namun kemudian iapun bertanya Berapa orang yang telah kau bunuh? Seorang. Hanya seorang. Yang lain melarikan diri isah. Berapa orang yang telah melarikan diri itu? Dua orang jawab Glagah Putih. berkata Glagah Putih dengan gel

bertanya Agung Sedayu.

Agung Sedayu berpaling kearah orang yang dibawanya serta. Orang yang datang kepa danya membawa baju Glagah Putih dan berusaha memerasnya. Seorang kawanmu yang terbunuh desis Agung Sedayu.

Orang itu sama sekali tidak menjawab. Namun jantungnyalah yang berdegupan semaki n cepat. Ia sudah membayangkan, bahwa dirinya akan menjadi tawanan di Tanah Perd ikan Menoreh. Mungkin ia akan dapat mengalami nasib yang lebih buruk dari kawann ya yang mati itu. Kawannya mati dalam pertempuran. Tetapi mungkin ia akan mati d itiang gantungan atau mengalami penderitaan yang sangat berat jika harus menjala ni hukuman picis. Sejenak ia termangu-mangu. Memang ada niatnya untuk melarikan diri. Tetapi ketika ia berpaling dilihatnya orang tua yang telah memutarnya diha laman itu masih berdiri tegak beberapa langkah daripadanya. Tidak akan ada gunanya berkata orang itu. Dengan demikian maka iapun menjadi pas rah. Apapun yang terjadi atasnya harus dijalaninya. Dalam pada itu, Agung Sedayupun kemudian bertanya Bagaimana dengan luka-lukamu? jawabn

Sebagian dapat aku obati sendiri kakang. Tetapi sebagian yang lain tidak. ya.

Sekar Mirahlah yang kemudian melangkah mendekat. Katanya Berikan bumbung obat it u kepadaku. Sekar Mirahlah yang kemudian mengobati luka-luka Glagah Putih yang m elintang dipunggungnya. Namun demikian pakaiannya telah menjadi merah oleh titik -titik darahnya. Kita harus menguburkan orang itu desis Glagah Putih kemudian.

Ya. Kita harus menguburkannya sahut Agung Sedayu sambil memandangi orang yang da tang kepadanya dengan membawa baju Glagah Putih. Katanya kemudian kepada orang i tu Apakah kau sampai hati meninggalkan kawanmu terbaring disitu? Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia sadar, bahwa ia harus menggali lubang untuk kawannya itu dengan alat yang ada pada waktu itu. Tetapi ternyata bahwa ia tidak harus melakukannya sendiri. Agung Sedayu dan Glagah Putih yang meskipun sudah t erluka, namun ia berusaha juga untuk membantu, meskipun Sekar Mirah memperingatk an agar ia tidak bekerja terlalu keras, agar darahnya yang sudah mampat itu tida k menitik lagi dari lukanya. Dengan demikian maka yang mereka lakukan itupun segera selesai. Sehingga dengan demikian maka merekapun segera bersiap-siap untuk kembali ke padukuhan induk Tan ah Perdikan Menoreh. Kau ikut dengan kami perintah Agung Sedayu kepada orang yang datang kepadanya un tuk mendapatkan tebusan. Orang itu termangu-mangu. Namun nampaknya kecemasan yan g sangat mencengkam jantungnya.

Marilah

berkata Agung Sedayu.

Orang itu memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Kemudian dengan suara gemetar ia berkata Apakah aku akan kalian bawa menghadap Ki Gede Menoreh? Ya. Kau harus dihadapkan kepada Ki Gede, karena kau telah mencoba untuk melakuka n kejahatan atas Glagah Putih jawab Agung Sedayu. Tetapi kami melakukannya diluar Tanah Perdikan jawab orang itu.

Apa bedanya? Kau telah menculik adik sepupuku. Ia adalah anak muda dari Tanah Pe rdikan. Karena itu maka kau harus aku bawa menghadap Ki Gede di Tanah Perdikan M enoreh jawab Agung Sedayu. Ki Sanak berkata orang itu dengan nada dalam jika oleh Ki Gede aku ternyata hany a akan dihukum mati, digantung atau dengan cara apapun, kenapa kau tidak membunu hku sekarang saja dan menguburkan aku disini? Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kan dihukum mati? Tetapi itu adalah kemungkinan yang terbesar Siapa yang mengatakan bahwa kau a berkata orang itu.

Aku tidak tahu jawab Agung Sedayu pula sekarang kita pergi ke padukuhan induk, m enghadap Ki Gede. Kau tidak mempunyai pilihan lain. Orang itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Sementara itu Kiai Jayaragapun be rkata Marilah. Sebelum persoalan yang lain timbul karena mungkin orang-orang yan g melarikan diri itu datang kembali dengan kawan-kawannya. Bagaimana jika mereka datang dengan kawan-kawan kami? ibawa menghadap itu. bertanya orang yang akan d

Aku menjadi cemas jawab Kiai Jayaraga bukan karena kami menjadi ketakutan. Tetap i kami sebenarnya segan untuk terlibat dalam satu persoalan yang memungkinkan ka mi membunuh lagi. Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia percaya bahwa kemungkinan itu ten tu akan terjadi. Berapapun kedua kawannya membawa kawan, namun mereka tidak akan mampu melawan keluarga Glagah Putih yang memiliki berjenis-jenis ilmu yang tida k masuk diakalnya. Dengan demikian maka orang itu tidak mempunyai pilihan lain d aripada harus mengikuti perintah Agung Sedayu untuk dibawa ke padukuhan induk me nghadap Ki Gede Menoreh. Sejenak kemudian, maka merekapun telah bersiap untuk me ninggalkan tempat itu. Dengan terbunuhnya seorang lawannya, sementara dua orang yang lain melarikan diri, maka Glagah Putih tidak jadi kehilangan kudanya, tetap i mereka justru membawa tiga ekor kuda tanpa penunggangnya. Iring-iringan kecil g tidak berbaju itu ng berkuda dipaling ng dilontarkan oleh dengan tiga ekor kuda tanpa penunggang serta Glagah Putih yan memang menarik perhatian. Tetapi setiap kali Agung Sedayu ya depan hanya tersenyum saja menjawab pertanyaan-pertanyaan ya orang-orang yang berpapasan di jalan.

Kadang-kadang jika terpaksa, Agung Sedayupun menjawab Kami memang sedang menawar ketiga ekor kuda itu. Orang-orang yang mendengar jawaban itu merasakan kejanggalan jawaban Agung Seday u, tetapi mereka- sama sekali tidak sempat bertanya lagi, karena Agung Sedayu da n iring-iringannya segera meninggalkannya. Juga tentang keadaan Glagah Putih. Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu telah membawa orang itu langsung ke rumah Ki Ge

de Menoreh. Namun sebelum mereka memasuki padukuhan-padukuhan lebih jauh di Tanah Perdikan Menoreh, Glagah Putih telah bertanya kepada orang yang dibawa serta bersama iring-iringan. Dimana bajuku? Orang itu tergagap. Jawabnya kemudian Tertinggal dirumahmu. Ketika aku pergi dari rumahmu, bajumu tidak teringat lagi olehku. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian kepada Agung Sedayu akan singgah sebentar kerumah untuk mengambil bajuku. Aku

Agung Sedayu tersenyum sambil mengangguk. Sementara Glagah Putih berkata Tidak p antas menghadap Ki Gede tanpa mengenakan baju. Apalagi tubuhku nampaknya begitu kotor oleh darah yang mengering meskipun sudah diusahakan untuk mengusapnya deng an kain panjangku. Karena itulah, maka ketika iring-iringan itu kemudian melewati rumah Glagah Puti h maka hanya Glagah Putih sajalah yang singgah untuk mengambil bajunya. Namun de ngan tergesa-gesa Glagah Putih telah pergi juga ke paki wan untuk sekedar member sihkan dirinya meskipun ia tidak mandi. Sementara itu, iapun telah berganti kain panjang yang kotor dan berbekas darah, serta mengenakan baju yang bersih. Ia ti dak sempat mencari bajunya yang ditinggalkan oleh salah seorang penculiknya. Bar u kemudian, ia telah siap untuk menyusul Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Kiai Jaya raga yang membawa salah seorang yang menculiknya ke rumah Ki Gede. Itulah sebabnya, maka ikat pinggangnya itu telah menghantam punggung lawannya te rlalu keras. Melampaui batas daya tahan orang itu. Yang terdengar adalah teriaka n kesakitan. Namun suara itu segera terputus. Ketika Glagah Putih sampai dirumah Ki Gede, maka Ki Gede telah berada dipendapa, dihadap oleh Agung Sedayu, Sekar Mirah, Kiai Jayara ga, Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu. Diantara mereka terdapat orang yang t elah dibawa oleh Agung Sedayu, karena mencoba untuk memeras dan merampok kuda Glagah Putih. Agaknya kedatangan Glagah Putih memang ditunggu. Karena itu, ketika ia menuntun kudanya melintasi halaman, maka Ki Jagabayapun telah turun dari pendapa untuk menyongsongnya. Semua sudah lengkap berkata Ki Jagabaya hanya menunggu kau. Glagah Putihpun deng an tergesa-gesa menambatkan kudanya, kemudian iapun telah naik pula kependapa. Kau adalah saksi utama berkata Agung Sedayu. Glagah Putih menarik nafas dalam-da lam. Ketika ia sempat berpaling kearah orang yang telah dibawa oleh Agung Sedayu , maka dilihatnya orang itu menjadi sangat pucat dan gemetar. Baiklah berkata Ki Gede kemudian sebelum kau datang, Glagah Putih, kami sudah me ngajukan beberapa pertanyaan kepada orang itu. Karena itu, kami ingin menyesuaik an dengan keteranganmu. Apakah orang itu berkata sebenarnya. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian menjawab Yang aku k etahui adalah pada saat-saat orang itu masih bersama dengan kawan-kawannya membawa aku ke tempat yang tersembunyi. Seterusnya ia telah meninggalkan kawan-k awannya sambil membawa kudaku. Katakan yang kau ketahui berkata Ki Gede. Glagah Putih mengangguk kecil. Iapun k emudian mulai menceriterakan apa yang dialaminya. Bahkan diceriterakannya bahwa ia pernah bertemu dengan orang yang diluar kehendaknya, justru telah terbu nuh. Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya Ternyata orang itu mengatakan sebagaimana adanya. Tidak ada yang berbeda dari apa yang dikatakannya. Sementara itu, apa yang dilakukannya dirumah Agung S

edayupun dikatakan sebagaimana adanya. Glagah Putihpun mengangguk pula. Sementara itu Sekar Mirahpun berkata Ia tidak akan mungkin ing kar.

Ya. Ia tidak akan dapat ingkar sahut Ki Gede yang sekarang kita perlukan adalah, latar belakang dari gerombolannya. Apakah gerombolannya memang hanya ampat oran g itu saja. Keringat dingin telah membasahi seluruh tubuh orang itu. Meskipun ia sudah mendu ga bahwa ia akan diperas untuk memberikan keterangan apapun yang diperlukan, nam un ketika ia berhadapan dengan Ki Gede dan orang-orangnya yang diketahuinya beri lmu diluar jangkauan nalarnya, maka rasa-rasanya tubuhnya akan diremas sampai ke ring. Ki Sanak berkata Ki Gede kemudian ternyata pembicaraan kita masih cukup panjang. Karena itu, biarlah kita beristirahat dahulu. Kau dapat duduk di tempatmu sambi l menunggu minuman yang akan disajikan, sementara itu aku akan berbicara dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Jantung orang itupun berdetak semakin cepat. Ia menyadari bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih tentu akan dimintai pertimbangan hukuman apa yang akan dijatuhkan kepadanya. Namun nalurinya mengatakan, bahwa justru Agung Sedayu akan dapat meri ngankan hukuman atasnya. Sikapnya pada saat ia menemui Glagah Putih ditempat yang terpencil itu menunjukkan, bahwa Agun g Sedayu bukan seorang yang garang dan apalagi buas. Meskipun demikian ia tidak dapat terlalu berharap. Segala sesuatu akan dapat ter jadi. Juga hukuman yang paling berat. Sementara Agung Sedayu dan Glagah Putih me ngikuti Ki Gede masuk keruang dalam, maka Sekar Mirah, Kiai Jayaraga, Ki Jagabay a dan beberapa orang'bebahu masih berada di pendapa bersama orang yang sedang di periksa itu. Ketika kemudian minuman dan makanan benar-benar dihidangkan, maka Sekar Mirahpun berkata Marilah Ki Sanak. Minumlah. Apapun yang akan terjadi, sebaiknya kau min um barang beberapa teguk dan makan makanan beberapa potong. Terasa seluruh kulitnya meremang. Orang itu seakan-akan tengah dibawa ke halaman dan diikat pada sebatang tiang untuk menjalani hukuman picis. Namun ketika Seka r Mirah sekali lagi mempersilahkannya maka orang itupun telah mengangkat mangkuk nya. Seteguk minuman hangat telah melewati kerongkongannya. Bahkan kemudian iapu n telah memungut sepotong makanan dan mencoba mengunyahnya. Bagaimanapun juga mi numan hangat dan makanan yang sepotong itu memberikan sedikit kesegaran pada tub uh orang yang menjadi sangat pucat itu. Sementara itu diruang dalam, Ki Gede duduk bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih . Sebagaimana diduga oleh orang yang tertangkap itu, Ki Gede memang sedang berbi ncang dengan Agung Sedayu apa yang sebaiknya dilakukan atas orang itu. Kita memang sebaiknya mengetahui, apakah ada kekuatan yang pantas diperhitungkan dibelakang keempat orang itu. berkata Agung Sedayu seorang diantara mereka telah terbunuh. Jika keempat orang itu merupakan sekelompok orang dari satu perguruan , mungkin perguruannya akan ikut campur. Ki Gede mengangguk-angguk. Lalu katanya Jadi apakah yang sebaiknya kita lakukan agar dikemudian hari tidak timbul persoalan yang mungkin akan dapat mengganggu k etenangan Tanah Perdikan ini? Namun bagaimanapun juga orang itu harus dihukum berkata Agung Sedayu sementara i tu, kita akan menanyakan kepadanya, beberapa hal tentang dirinya, tentang kawank awannya dan mungkin perguruannya. Dengan demikian kita akan dapat mengetahui kem

ungkinan yang akan dapat terjadi. Aku sependapat. berkata Ki Gede.

Tetapi hukuman apa yang pantas aku berikan? Agung Sedayu memandang Glagah Putih sekilas. Ternyata Glagah Putih hanya menundukkan kepalanya saja. Glagah Putih desis Agung Sedayu kemudian hukuman apakah yang pantas diberikan ke pada orang itu? Orang itu telah menculikmu, mengancammu untuk membunuh dan bahka n usaha untuk membunuh itu sudah dilakukan oleh kawan-kawannya. Glagah Putih mengangkat wajahnya. Dipandanginya Agung Sedayu dan Ki Gede bergant i-ganti. Katanya kemudian dengan nada yang sendat Aku tidak tahu kakang. Hukuman apakah yang pantas dilakukan atasnya. Orang itu, atau katakan kawan-kawannya me mang telah mencoba membunuhku. Tetapi ternyata justru akulah yang telah membunuh salah seorang diantara mereka. Mungkin kau berniat untuk menghukumnya dan ingin kau lakukan sendiri? bertanya A gung Sedayu pula. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ia justru agak heran mende ngar pertanyaan Agung Sedayu. Namun ia menggeleng sambil berkata Aku tidak akun menghukumnya. Terserahlah kepada kakang. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah ia mengharap Glagah Putih bersikap demikian. Namun Agung Sedayu tidak dengan serta merta menunjukkan bahwa ia sedang menjajagi sikap anak muda itu. Karena itu, maka katanya Hukuman bukan berarti pembalasan dendam semata-mata. Bahkan hukuman lebih condong sebagai sat u cara untuk membuat seseorang menyadari kesalahannya. Karena itu hukuman mempun yai nilai tersendiri bagi kepentingan orang yang harus menjalaninya jika hukuman itu dapat ditrapkan dengan tepat. Sehingga pada saatnya ia akan menemukan jalan yang lebih baik yang pantas ditempuhnya. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali. ka rena Glagah Putih tidak menjawab, maka Agung Sedayupun kemudian berkata kepada K i Gede. Ki Gede. Nampaknya Glagah Putih tidak mempunyai rencana apapun atas orang itu, biarlah ora ng itu mendapatkan hukuman sebagaimana yang harus dijalaninya sesuai dengan paug eran Tanah Perdikan. KI Gede mengangguk-angguk. Namun demikian ia masih juga bertanya ut pendapatmu? Bagaimana menur

Biarlah ia berada diantara orang-orang yang sedang menjalani hukumannya. Biarlah ia ikut dipekerjakan bersama kawan-kawannya, meskipun karena keadaannya, orang itu harus mendapat pengawasan khusus. Tetapi ia masih belum termasuk orang yang sangat berbahaya karena ilmunya. berkata Agung Sedayu. Ki Gede mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya Tetapi beberapa pihak tertentu akan bertanya, apakah hukuman itu tidak terlalu ringan bagi seseorang yang suda h dengan sengaja berusaha untuk membunuh? Kita akan dapat melihat perkembangannya selama ia menjalani hukumannya gung Sedayu. Ki Gede mengangguk-angguk. Lalu iapun berkata , apakah pembicaraan ini sudah cukup. Agung Sedayu mengangguk. Namun iapun berkata berkata A

Aku akan menyebut hukuman itu. Nah Kita akan secara khusus berbicara d

engan orang itu setelah Ki Gede mengatakan keputusan hukuman yang harus dijalani nya. Kita memerlukan keterangan tentang gerombolannya. Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya anpa hadirnya para bebahu. Baiklah. Mungkin hal itu dapat kita lakukan t

Agung Sedayu mengiakannya. Sementara itu, maka Ki Gedepun mengajaknya untuk kemb ali kependapa. Sebenarnyalah bahwa dengan demikian Agung Sedayu telah mendapatka n satu pertanda lagi, bahwa Glagah Putih masih tidak berubah. Meskipun mungkin G lagah Putih bersikap lebih tegas dan sikapnya sendiri yang selalu dibayangi oleh berbagai pertimbangan yang kadang-kadang membayangkan keragu-raguan, namun lang kah-langkah yang ditempuh anak muda itu masih berada dijalan yang sesuai dengan yang diinginkannya. Ia tidak dengan tanpa perhitungan berbuat kenakalan sebagaim ana dilakukan oleh Raden Rangga, tetapi iapun tidak menjadi pendendam yang keras dan bahkan kasar. Jika Glagah Putih harus membunuh, maka agaknya ia sudah tidak dapat berbuat yang lain atau sebagaimana dikatakannya, ia tidak dapat mengendal ikan kekuatannya pada saat-saat yang gawat. Demikianlah Ki Gedepun telah berada di pendapa. Demikian pula Agung Sedayu dan G lagah Putih. Sementara orang yang merasa bersalah itu telah menjadi semakin puca t. Bahkan tubuhnya menjadi gemetar. Apalagi jika ia melihat dengan sekilas, sika p orang-orang yang ada dipen-dapa itu yang memandanginya dengan sorot mata penuh kebencian. Namun ternyata yang didengarnya dari mulut Ki Gede sama sekali tidak diduganya. Ki Gede tidak menyebut tiang gantungan atau hukuman lain yang lebih mengerikan. Tetapi Ki Gede itu hanya mengatakan Kau harus menjalani hukuman. Kau akan dikuru ng dan dipekerjakan di Tanah Perdikan ini tanpa batas waktu. Segalanya akan dite ntukan kemudian menilik tingkah lakumu. Jika kau menunjukkan sikap yang baik, ma ka kau akan lebih cepat keluar dari hukuman. Tetapi jika kau menunjukkan sikap y ang buruk dan meragukan, maka hukumanmu akan menjadi semakin berat. Juga tergantung kepada kesediaanmu memberikan keterangan jika kami perlukan. Set iap kata yang kau ucapkan dengan jujur akan memperpendek masa hukumanmu. Tetapi setiap kata dusta akan menambah hukumanmu menjadi sepuluh kali lipat. Orang itu termangu-mangu sejenak. Diluar sadarnya ia berpaling kearah Agung Seda yu. Kemudian iapun mengedarkan pandangan matanya kepada beberapa orang be-bahu y ang nampaknya tidak memberikan kesan apapun juga atas hukuman yang dijatuhkan ol eh Ki Gede itu. Pada umumnya para bebahu sudah mengenal sikap dan cara Ki Gede m enghukum seseorang yang dianggapnya bersalah. Merekapun mengerti bahwa pendapat dan pikiran Agung Sedayu banyak mempengaruhi k eputusan Ki Gede itu. Dengan demikian maka pertemuan itupun dianggap sudah cukup oleh Ki Gede. Namun ketika para bebahu minta diri, Ki Gede memerintahkan agar o rang yang dihukum itu untuk tetap tinggal. Orang itu menjadi semakin berdebar-debar ketika Ki Gede kemudian berkata Kita ak an berbicara di serambi samping. Mungkin kita akan mendapat kesempatan yang lebi h baik dalam suasana yang lebih memungkinkan. Orang itu tidak berkata apapun juga. Namun ia justru telah mengumpati dirinya se ndiri Betapa dungunya aku yang merasa mendapat hukuman yang terlalu ringan. Tern yata segala sesuatunya baru akan dimulai. Yang terjadi dipendapa itu barulah sek edar upacara untuk menunjukkan kebesaran jiwa Agung Sedayu dan Glagah Putih serta Ki Gede sendiri yang nampaknya mengampu ni sebagian besar dari kesalahan yang pernah aku perbuat. Namun sebenarnyalah ba hwa yang akan terjadi itulah yang sesungguhnya akan aku alami. Tekanan yang mung kin tidak akan dapat aku tahankan. Dengan jantung yang berdebaran sehingga terasa isi dadanya menjadi sakit, orang

itu telah dibawa keserambi samping. Serambi dibelakang seketeng yang tidak dapat dilihat dari halaman rumah Ki Gede, sehingga kesan orang itu, bahwa ia telah di bawa ketempat yang tertutup. Duduklah Ki Sanak berkata Ki Gede. Orang itu menjadi gemetar. Sikap Ki Gede, Agu ng Sedayu, Glagah Putih, Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga merupakan tekateki yang s angat menggelisahkan. Nah berkata Ki Gede kemudian sekarang kau mendapat kesempa tan untuk berbicara tentang dirimu sendiri. Tentang gerombolanmu dan tentang pek erjaanmu tanpa diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan yang tidak berarti dari para bebahu. Wajah orang itu yang semula agak menjadi merah, telah menjadi pucat kembali. Aku kira lebih baik kau berbicara dengan jujur berkata Ki Gede tidak ada gunanya mau menipu kami. Segala yang kau katakan akan kami selidiki kebenarannya. Dan k au dapat membayangkan apa yang dapat terjadi atasmu jika ternyata kau berbohong. Tetapi jika kau berkata sebenarnya, maka kau akan mendapat keringanan yang mungkin melampaui yang pernah kau duga sebelumnya. Orang itu hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara itu Ki Gede telah bertanya Dimana rumahmu, Ki Sanak? Apakah kau berasal dari satu padepokan tersendiri? Ka mi ingin mendengar jawabmu sebelum kami membuktikan kebenarannya serta memperhit ungkan kemungkinan yang dapat terjadi. Orang itu menjadi bingung. Ternyata bahwa ia memang harus bersedia mengalami per lakuan yang betapapun beratnya, karena ia tidak akan mungkin mengatakan sesuatu tentang dirinya, tentang gerombolannya dan tentang lingkungannya. Katakan Ki Sanak desis Agung Sedayu yang duduk disebelahnya.

Kulit orang itu meremang. Ia sadar, bahwa Agung Sedayu akan dapat memegang tanga nnya dan mengalirkan udara panas kedalam tubuhnya sehingga darahnya terasa mendi dih dan jantungnya menjadi bara. Tetapi ia juga tidak akan mempunyai keberanian untuk mengatakan tentang gerombolannya, kawan-kawannya dan apalagi seluruh lingk ungannya. Baiklah Ki Sanak berkata Ki Gede agaknya untuk mendengar keteranganmu memang dip erlukan waktu. Mungkin kita harus beristirahat lagi. Mungkin hanya sebentar, tet api mungkin agak lama. Atau mungkin kau memang memerlukan satu usaha untuk mempe rcepat, agar kau bersedia memberikan keterangan segera. Wajah orang itu menjadi semakin pucat. Sementara Agung Sedayupun berkata Apakah kau sengaja menyembunyikan satu rahasia ? Pertanyaan itu semakin menggelisahkan orang itu. Bahkan karena ia tidak segera menjawab, dan tiba-tiba saja Agung Sedayu menyentuh punggungnya, orang itu terk ejut bukan kepalang, sehingga ia telah terhenyak setapak kesamping. He kenapa kau? bertanya Agung Sedayu. Nafas orang itu terengah-engah oleh debar jantungnya yang semakin keras. Bukankah aku tidak berbuat apa-apa? yentuhmu. bertanya Agung Sedayu bukankah aku hanya men

Ya. Aku terkejut sekali. jawab orang itu gagap. Glagah Putih tidak dapat menahan senyumnya. Ketika sekilas ia berpaling kearah Sekar Mirah, maka Sekar Mirahpun t elah menyembunyikan senyumnya pula sambil menunduk.

Ki Sanak berkata Agung Sedayu aku mengerti bahwa kau berada didaiam ketegangan y ang luar biasa. Kau sedang bergelut dengan dirimu sendiri, apakah kau dapat meng atakan sesuatu tentang lingkunganmu atau tidak. Tetapi sebenarnya kau tidak akan mempunyai pilihan. Kau harus mengatakannya, lambat atau cepat. Mungkin kau ingi n menunggu, apakah kami akan memaksamu atau tidak. Bukankah dengan demikian kau hanya akan melakukan sesuatu dalam kesia-siaan belaka. Orang itu tidak menjawab. Namun tiba-tiba iapun telah mengatupkan giginya rapatrapat. Dengan menghentakkan segenap kekuatan didaiam dirinya ia berkata didaiam hati. Aku adalah bagian dari satu kekuatan yang tidak tergoyahkan. Karena itu, ak u harus membuktikannya. Tidak ada orang yang dapat memaksaku berbicara dengan cara apa pun juga. Karena orang itu tidak mau segera menjawab, maka Agung Sedayupun mendesaknya aimana Ki Sanak? Orang itu seakan-akan telah menghentakkan pula satu jawaban takan apa-apa. O Agung Sedayu mengerutkan keningnya Bag

Aku tidak akan menga

apakah benar demikian? jawab o

Ya. Sampai matipun tidak akan ada yang aku ucapkan tentang lingkunganku. rang itu. Bagus jati. tiba-tiba Ki Jayaraga menyahut

Kami berhadapan dengan seorang laki-laki se

Orang itu tiba-tiba berpaling dengan tatapan mata yang tegang kearah Ki Jayaraga . Ternyata kata-kata Kiai Jayaraga itu merupakan ancaman yang membuat jantungnya semakin berdebar-debar. Kata-kata Kiai Jayaraga itu dapat diurai menjadi bebera pa pengertian. Namun yang semuanya bagi orang itu merupakan bayangan yang mendir ikan bulu-bulunya. Dalam pada itu Agung Sedayupun mengangguk-angguk. Katanya Kiai Jayaraga benar. K ita memang berhadapan dengan laki-laki sejati. Ia tahu yang mana yang boleh dika takannya, dan yang mana yang tidak. Ia mengatakan dengan jujur apa yang telah di lakukannya bersama kawankawannya terhadap Glagah Putih. Tetapi ia sama sekali ti dak mau menyebut sama sekali tentang lingkungannya, tentang gerombolannya dan tentang pimpinannya yang lebih tinggi daripada orang yang terb unuh itu. Bagaimanapun juga orang itu menggeretakkan giginya, namun wajahnyapun telah memu cat lagi. Pakaiannya benar-benar telah menjadi basah kuyup oleh keringatnya yang bagaikan diperas dari tubuhnya. Namun tiba-tiba saja hampir berteriak ia berkat a Kami adalah segerombolan perampok. Tidak lebih dan tidak kurang. Ampat orang. Kami merampok apa saja yang dapat memberikan uang dan barang-barang berharga bua t kami. O Agung Sedayu mengangguk-angguk akhirnya kau mau juga menyebutnya. Kenapa kau m engatakan bahwa sampai matipun kau tidak akan mengucapkan sesuatu tentang lingku nganmu? Orang itu menjadi bingung. Wajahnya menjadi semakin pucat. Apalagi ketika Sekar Mirah kemudian tertawa sambil berkata Kau terperosok kedalam satu sikap yang jus tru harus kau hindari. Dengan pengalamanmu itu, dan sikapmu sebelumnya memberika n kesimpulan kepada kami, bahwa yang kau katakan itu sama sekali tidak berarti k au ucapkan sejak mula-mula, mungkin kami justru akan mempercayainya, apalagi sej ak semula kau telah berkata dengan jujur. Gila orang itu tiba-tiba mengumpat. Gejolak didalam dadanya rasa-rasanya akan me

ledakkan jantungnya. Baiklah berkata Agung Sedayu jika kau masih belum bersedia mengatakannya sekaran g, maka biarlah kau beristirahat. Mungkin nanti, mungkin besok, atau mungkin jik a kau sudah kehilangan segenap nalar dan perasaanmu. Orang itu menggeram. Sementara itu Agung Sedayu-pun berkata tergesa-gesa Ki Gede? Bukankah kita tidak

Tidak jawab Ki Gede kita tidak tergesa-gesa. Kapan saja orang itu memilih waktu. Kita sebagian tergantung kepada kesediaannya. Jantung orang itu benar-benar bagaikan dihentak-hentakkan tanpa kekangan. Memben tur batu-batu padas yang tajam runcing. Betapa sakitnya. Meskipun tubuhnya belum disentuh, tetapi dadanya bagaikan telah retak. Namun agaknya Agung Sedayu benar-benar mengusulkan agar pemeriksaan terhadap ora ng itu ditunda. Dengan nada dalam ia berkata Ki Gede. Bagaimanakah pendapat Ki G ede, jika kita menunda pemeriksaan ini sampai pada kesempatan lain? Aku berharap bahwa orang itu sempat merenungi katakata kita semuanya. Mungkin ia akan bersik ap lain. Sementara itu, kita sudah mendapat satu keyakinan apakah orang itu akan bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan kita atau tidak, sehingga dengan demikian kita akan dapat menentukan, apakah yang akan kit a lakukan atas mereka. Ki Gede mengangguk-angguk. Bagi Ki Gede pendapat Agung Sedayu pada umumnya membe rikan jalan yang paling baik untuk memecahkan setiap persoalan. Karena itu, maka Ki Gede itupun kemudian berkata Yang mana saja yang baik menurut pertimbanganmu , Agung Sedayu. Agung Sedayu memandang orang itu sekilas. Lalu katanya Baiklah Ki Sanak. Kami ak an menyimpanmu untuk hari ini. Besok pagi-pagi mungkin kami ingin berbicara lagi denganmu. Persetan geram orang itu kalian hanya akan membuang waktu saja. Kenapa kalian ti dak membunuhku sekarang saja? Membunuh? sahut Agung Sedayu kami memerlukanmu. Kami tidak akan membunuhmu.

Kau tidak akan dapat memeras keteranganku. Aku adalah orang yang sudah dipersiap kan untuk mengalami perlakuan apapun juga berkata orang itu. Agung Sedayu tersenyum. Katanya Kau bersedia mengantar aku kepada kawan-kawanmu.

Orang itu mengumpat meskipun hanya didengarnya sendiri. Terasa tangan Agung Seda yu itu seakan-akan telah merabanya lagi dan udara panas mengalir kedalam tubuhny a melalui urat darahnya, sehingga jantungnya serasa menjadi terbakar hangus. Anak iblis terlontar pula dari bibirnya.

Agung Sedayu memang mendengarnya. Tetapi ia tidak menghiraukannya. Bahkan kemudi an katanya kepada Ki Gede. Ki Gede, biarlah orang ini aku bawa ketempat yang aka n dipergunakan untuk mengurungnya. Biarlah ia beristirahat malam nanti dan tidur dengan nyenyak. Ki Gede tidak berkeberatan, sehingga dengan demikian, maka Agung Sedayupun telah memerintahkan Glagah Putih untuk membawa orang itu turun dari serambi. Sementar a ketika Agung Sedayu meninggalkan tempat itu ia sempat berkata kepada Ki Gede n ampaknya ada sesuatu yang akan menarik pada keterangannya kelak.

Ya. Karena itu, kita akan memeriksanya dengan saksama

jawab Ki Gede.

Sementara itu Glagah Putih telah membawa orang itu ketempat yang khusus sebagaim ana petunjuk Agung Sedayu kemudian. Ia dimasukkan kedalam ruang tersendiri untuk menghindarkannya dari persoalan yang dapat timbul dengan orang-orang yang telah lebih dahulu mendapat hukuman karena kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan. N amun seperti yang pernah dikatakan oleh Agung Sedayu, orang itu memang harus men dapat pengamatan khusus. Justru karena orang itu agaknya mempunyai sangkut paut dengan satu lingkungan ya ng dirahasiakannya. Disamping para pengawal khusus, maka Agung Sedayupun telah m engatur diri bersama Glagah Putih untuk bergantian setiap kali menengok tempat i tu untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Pada saat yang demikian, selagi Glagah Putih menempatkan orang itu ditempat yang khusus bersama ampat orang pengawal yang akan bertugas mengamatinya, jauh dari Tanah Perdikan, dua orang berada dalam kebingungan. Apakah kita akan melaporkan apa yang telah terjadi? bertanya yang seorang.

Apakah hal itu ada gunanya bagi kita, atau justru sebaliknya akan merupakan mala petaka? sahut kawannya. Yang lain terdiam. Sejenak mereka merenung. sis salah seorang diantara keduanya. Upah itu sudah kau terima sebagian de

Salah kakang lurah jawab yang lain jika ia tidak menginginkan kuda yang besar da n tegar itu serta kemudian uang tebusan, mungkin kita tidak terjerat kedalam per soalan yang rumit ini. Apalagi setelah kakang lurah agaknya tidak berhasil melar ikan diri dan dibunuh oleh anak iblis itu. Kita memang sulit untuk meninggalkan kebiasaan kita pula agaknya kakang lurah. jawab orang pertama demikian

Tetapi bukankah kita sedang melakukan satu kesanggupan yang berat yang juga meng hasilkan uang yang cukup banyak sahut kawannya bukankah dengan demikian berarti kita akan mengalami malapetaka jika kita harus mempertanggung jawabkan tugas kit a, sementara uang itu sebagian telah kita terima. Sebaiknya kita tidak melaporkan diri saja menjauhi mereka. berkata orang yang pertama kita akan pergi

Apakah hal itu mungkin kita lakukan? Orang itu atau para pengikutnya akan membur u kita sampai keujung bumi sahut kawannya. Jangan terlalu ketakutan menghadapi orang-orang itu berkata orang pertama jika k ita harus mati, biarlah kita menunda kematian. Tetapi, jika kita melaporkan diri , maka kita akan lebih cepat mati, karena mereka tentu akan membunuh kita. Kawannya termangu-mangu. Namun tiba-tiba ia berdesis Bagaimana dengan kawan kita yang pergi kerumah anak iblis itu untuk mendapatkan tebusan? Jika anak itu sudah mampu mengalahkan kita bertiga, maka nasib kawan kita itupun tidak akan lebih baik dari kita jawab orang yang pertama. Tetapi iapun kemudian bergumam Apakah itu berarti bahwa ia akan membukakan rahasia seandainya ia tida k terbunuh? Kawannya bergumam Aku tidak tahu. Tetapi kita adalah orang-orang yang pernah men yatakan janji, bahwa kita akan mempertanggungjawabkan diri kita serta kelompok i

ni. Kita akan saling memegang rahasia dan kita akan mengorbankan apa saja bagi k ita bersama-sama. Disamping itu, kita akan ketakutan untuk membuka rahasia yang menyangkut orang yang mengupah kita. Karena itu, menurut perhitunganku, ia tidak akan mengatakan tentang kita berdasarkan a tas janji diantara kita serta keteguhan hati kita, dan tidak pula akan berani me mbuka rahasia orang yang mengupah kita karena jika demikian, maka ia tidak akan memiliki kehidupan lagi seandainya ia tidak di bunuh. Ia akan selalu diburu oleh ketakutan dan kegelisahan. Bahkan mungkin ia a kan membunuh diri. Apakah pada suatu saat kita juga. mungkin membunuh diri jika kita sadari bahwa k ita selalu diburu? bertanya orang yang pertama. Seperti aku katakan, kita sudah meletakkan dasar bahwa kita sekedar memperpanjan g umur. Kenapa kita takut diburu dan seandainya dibunuh sekalipun bertanya kawan nya. Apakah kawan kita tidak juga berpikir demikian sehingga ia akan berani membuka r ahasia kita dan rahasia orang yang mengupah kita? Mungkin ia mengalami tekanan y ang tidak teratasi sehingga ia terpaksa melakukannya jawab yang pertama. Memang mungkin. Tetapi kesediaan kita untuk saling melindungi adalah janji janta n. Bukan karena saling ketakutan. Berbeda dengan persoalan orang yang mengupah k ita. berkata kawannya. Namun kemudian katanya pula Tetapi bukankah rahasia kita sudah tidak perlu lagi dilindungi? Kita berdua akan pergi ketempat yang kita sen diri tidak tahu. Apa artinya bahwa kawan kita harus merahasiakan kita lagi? Yang pertama mengangguk-angguk. Lalu katanya Baiklah. Kita akan pergi ketempat ya ng tidak ditentukan. Jika kita mendapatkan tempat yang baik maka sanak keluarga kita akan dapat kita jemput kemudian dengan diam-diam. Karena itu, kita tidak la gi berkepentingan dengan kawan kita yang satu itu. Apakah ia tertangkap atau terbunuh atau diperas keterangannya atau apapun j uga. Ya. Kita tidak mempunyai kesempatan yang lain. Kesalahannya terletak kepada kakan g lurah. Tetapi ia sudah menerima hukumannya. Untunglah bahwa kitalah yang memba wa uang itu, sehingga kita dapat mempergunakannya sahut kawannya. Sebagian dari upah itu dapat kita pergunakan untuk bekal. Sementara disepanjang jalan kita akan dapat mencari lagi sesuai dengan keadaan desis orang yang pertam a. Kedua orang itupun kemudian telah mulai dengan satu pengembaraan tanpa tujuan, m ereka sama sekali tidak melakukan pekerjaan yang sudah mereka sanggupi dan bahka n sebagian dari upahnya telah mereka terima, karena mereka justru terjerat pada satu keinginan untuk memiliki seekor kuda yang besar dan tegar, dan bahkan untuk mendapatkan uang tebusan. Namun yang terjadi itu sama sekali tidak diketahui ol eh kawannya yang terkurung di Tanah Perdikan Menoreh. Tidak sedikitpun yang dike tahuinya apa yang telah terjadi dengan kelompoknya, selain bahwa seorang yang te rtua, yang disebutnya Ki Lurah itu telah meninggal dan dikuburkannya. Tetapi yang ingin diketahui oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh adalah latar belakang dari perbuatannya serta lingkungan disekitarnya. Demikianlah, dihari b erikutnya, maka orang itupun telah dibawa kembali menghadap Ki Gede Menoreh, Agung Sedayu, Sekar Mirah, Kiai Jayara ga dan Glagah Putih. Tetapi tidak diserambi, namun justru lebih mendebarkan lagi Orang itu ternyata telah dibawa kedalam sanggar Ki Gede. Sanggar yang tertutup rapat. Namun yang pada dindingnya tergantung berbagai macam senjata. Disudut san ggar itu terletak tali temali yang bergayutan dari atap ke dinding-dinding, sepe rti anyaman sarang laba-laba.

Ki Sanak berkata Ki Gede aku hari ini tidak akan terlalu banyak mencampuri perso alan kalian dengan anak muda yang telah kalian culik bersama kawan-kawanmu serta keluarganya. Aku hanya sekedar akan menjadi saksi. Sedangkan jika kau terlanjur mati didalam sanggar ini, biarlah aku memerintahkan orang-orangku untuk menyeret mayatmu dan barangkah membuang ke kali jika rasa-rasanya aku segan melihat mayatmu itu dikuburkan. Karena hanya m ayat orang baik-baik sajalah yang pantas diserahkan kembah kepada bumi. Bagi seo rang penjahat, maka biarlah tubuhnya dikoyak-koyak oleh burung pemakan bangkai. Tengkuk orang itu meremang. Sementara itu, ia melihat sorot mata Agung Sedayu ya ng menusuk tajam menghunjam sampai kepusat jantung. Nah Agung Sedayu berkata Ki Gede segala sesuatunya terserah kepadamu. Apa yang a da didalam sanggar ini dapat kau pergunakan untuk kepentinganmu, mendapat ketera ngan dari orang yang keras kepala ini. Terima kasih Ki Gede jawab Agung Sedayu. Tiba-tiba saja ia pun telah bangkit ber diri sambil mengurai cambuknya. Orang yang telah dibawa ke sanggar untuk diperik sa itu tiba-tiba pula telah terkejut bukan kepalang, sehingga ia terloncat kesam ping ketika cambuk Agung Sedayu melekat disampingnya. Ledakan yang sangat dahsyat sehingga rasa-rasanya telinganya telah terkoyak karenanya. Orang itu hampir saja mengumpat. Untunglah cepat ia menyadari keadaannya, sehing ga suaranya bagaikan tertahan dikerongkongan. Sementara itu Agung Sedayupun tersenyum sambil bertanya Orang itu tergagap. Hampir diluar sadarnya ia menjawab Apakah kau terkejut? Ya. Aku terkejut sekali.

Maaf. Aku tidak ingin merontokkan jantungmu jawab Agung Sedayu aku hanya ingin m encoba, apakah aku masih mampu bermain cambuk sebagaimana anak-anak yang bermain kuda-kudaan. Jantung orang itupun berdegup semakin keras. Suara cambuk itu tela h mengguncang isi dadanya. Sementara itu sikap Agung Sedayu sangat menggelisahka n pula. Dalam pada itu. Sekar Mirahpun telah berkata pula Aku sama sekali sudah tidak te rkejut lagi Ki Sanak. Setiap kali aku mendengar kakang Agung Sedayu bermain-main dengan cambuknya. Tetapi mungkin timbul pertanyaan didaiam hatimu, jika ujung c ambuk itu menyentuh kulitmu, apa yang terjadi? Orang itu sama sekali tidak menyahut. Tetapi wajahnya telah menjadi sangat pucat , dan keringatnya membasahi seluruh tubuhnya. Jangan takut tiba-tiba Kiai Jayaragalah yang menyahut Agung Sedayu tidak akan be nar-benar mencambuknya. Ia hanya sekedar menakut-nakuti saja. Kecuali jika kau t idak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan Agung Sedayu. Jantung orang itu rasa-rasanya bagaikan akan meledak oleh kecemasan yang semakin mencengkam. Apalagi ketika ia mendengar Kiai Jayaraga tertawa sambil berkata Kenapa kau menj adi semakin ketakutan? Orang itu mulai menjadi gemetar. Sementara itu, Ki Gede telah bangkit berdiri pu la dan beranjak beberapa langkah menepi. Dengan nada dalam ia berkata Sayang, ba hwa sesuatu harus terjadi. Seandainya orang itu tidak mempersulit dirinya sendir i, maka tidak akan pernah terjadi malapetaka bagi dirinya.

Kata-kata Ki Gede itu membuat jantung orang itu semakin terguncang. Bayangan-bay angan yang menakutkan dan mengerikan rasa-rasanya mulai berterbangan di-sekitarn ya. Sebentar lagi bayangan-bayangan itu akan menjadi kenyataan. Sementara itu. A gung Sedayu masih berdiri dengan cambuk ditangan. Ketika Agung Sedayu kemudian m emutari cambuknya, maka orang itu telah memejamkan matanya. Putaran cambuk Agung Sedayu yang semakin lama semakin cepat terdengar berdesing semakin keras, sehin gga kemudian bagaikan auman yang menggetarkan udara didalam sanggar itu. (bersambung) Jilid 202 UNTUK beberapa saat orang itu menunggu. Namun tidak terjadi sesuatu atasnya sela in desing suara cambuk yang semakm lama semakin keras. Untuk sesaat orang itu se mpat berpikir, Agaknya benar kata orang tua itu. Agung Sedayu tentu hanya menakut -nakuti saja. Apalagi karena ujung cambuk itu memang tidak menyentuhnya same sek ali. Tetapi yang terjadi kemudian justru berbeda dan yang diperhitungkannya. Ujung ca mbuk itu memang menyentuhpun tidak. Namun suara desing yang semakin keras itulah yang kemudian bagaikan menggigit jantungnya. Semakin lama semakin sakit menghim pit didalam rongga dadanya. Bahkan rongga dada itulah yang seakan-akan menjadi s emakin sempit pula. Namun hal itu tidak terjadi terlalu lama. Sejenak kemudian maka suara berdesing itupun telali menurun sehingga akhirnya berhenti sama sekali. Nah. berkata Kiai Ja yaraga, bukankah seperti yang aku katakan, bahwa Agung Sedayu tidak akan mencambu kmu. Orang itu memandang Kiai Jayaraga dengan tatapan mata yang suram. Hampir tidak t erdengar ia berkata, Kekejian yang dilakukannya tidak ada bedanya dengan mencambu kku serta mengoyakkan kulitku, karena suara cambuk itu telah menyakiti jantungku . Wajah Agung Sedayulah yang tiba-tiba menegang. Ternyata bahwa ia tidak berpikir sejauh itu. Namun sebenarnyalah bahwa meskipun ia tidak menyakiti tubuh orang it u pada bagian luarnya, tetapi ia justru telah mengenai langsung dibagian dalamny a. Meskipun demikian ia telah mencoba menjawab, Ada bedanya Ki Sanak. Jika aku me nyobek kulitmu, maka kau akan terluka dan memerlukan waktu yang mungkin panjang untuk mengobatinya Tetapi jika kau menggelitik isi dadamu, maka demikian aku men ghentikannya, maka perasaan sakit itu akan membekas lagi. Mungkin bagimu Ki Sanak. berkata orang itu, tetapi tidak bagiku. Aku masih merasa j antungku bagaikan membengkak dan terhimpit rongga dadaku yang menyempit. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berkata diluar dugaan meski pun dengan demikian Agung Sedayu sendiri menjadi berdebar-debar, Ki Sanak. Sebena rnya aku tidak ingin menyakitimu. Tubuhmu yang kasat mata, atau dibagian dalam. Tetapi aku memerlukan keteranganmu Jika keteranganmu itu dapat kau ucapkan tanpa menyakitimu, maka aku akan sangat berterima kasih kepadamu. Orang itu menjadi semakin berdebar-debar. Namun ternyata kekerasan hatinya menja di tergetar ketika ia mendengar Sekar Mirah berkata, Ki Sanak. Marilah kita berbi cara sebagai sahabat. Aku adalah seorang yang lebih kasar dari kakang Agung Seda yu. Aku sudah mulai jemu melihat permainan yang tidak menyenangkan ini. Kau tent u tidak akan merasa senang jika aku, seorang perempuan, harus memaksamu berbicar a atau bahkan karena kejengkelan harus merenggut nyawamu. Karena itu, marilah ki ta saling berbaik hati. Kami tidak usah menyakitimu, dan kau membantu kami agar kami tidak harus melakukannya.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Jayaragapun menyambung, Di sebelah padukuhan ini ada sebuah gerojogan kecil. Tempat itu merupakan tempat ya ng sangat baik bagi sahabat kita ini untuk rnandi dan menyegarkan ingatannya. Ji ka kita meletakkan kepaia sahabat kita ini tepat dibawah gerojogan kecil itu, ma ka dalam waktu kurang dari tiga hari, maka iapun tentu akan teringat, apa yang d ilupakannya dan yang tidak dapat disebutnya lagi sekarang ini. Jantung orang itu benar-benar telah terguncang-guncang. Nyerinya gaung ujung cam buk Agung Sedayu masih terasa. Apalagi kata-kata yang kemudian didengarnya bagai kan meremas seluruh isi dadanya. Karena itu, maka iapun telah menjadi gemetar. K etakutan jiwanya sebagai seorang laki-laki sejati ternyata telah runtuh tidak de ngan sentuhan-sentuhan pada tubuhnya, tetapi justru pada perasaannya. Ketika Agung Sedayu melihat, keadaan orang itu, maka iapun kemudian telah bertan ya dengan suara lembut, Ki Sanak. Sebaiknya kau menjawab pertanyaan-pertanyaan ka mi. Orang itu mengangkat wajahnya. Sambil berdesah ia menarik nafas dalam-dalam. Kata kan apa yang pantas kau katakan tentang dirinya dan gerombolanmu. Agaknya itu le bih baik daripada kau tidak sempat untuk berbicara apapun juga. berkata Agung Sed ayu. Orang itu memandang Agung Sedayu dengan sorot mata yang aneh. Namun kemudian kat anya, Kebiadaban kalian telah memaksa aku untuk berkhianat. Jangan menyebut istilah yang aneh-aneh. berkata Agung Sedayu, kami juga mempunyai p erasaan. Kami juga dapat kecewa, marah dan bahkan kami sekali-sekali pernah juga kehilangan kendali atas perbuatan kami, sehingga kami akan benar-benar menjadi biadab seperti yang kau katakan. Orang itu tertunduk. Katakan, sebelum terlambat. desak Agung Sedayu. Orang itu termangu-mangu. Namun ia terkejut ketika ujung cambuk Agung Sedayu tiba-tiba saja menyentuh pundaknya. H anya menyentuh saja. Namun rasa-rasanya pundaknya itu telah tersentuh api. Kau terkejut? bertanya Agung Sedayu. Aku terpaksa mengatakannya. desis orang itu, aku adalah salah satu dari empat orang dalam gerombolanku, Kami adalah perampok sebagaimana pernah aku katakana. Ya. Hanya itu? Itu sudah kau katakana. sahut Agung Sedayu. Kamipun sudah menanggapi nya, bahwa kami mempunyai tuduhan, disamping itu, ada tugas lain yang sedang kal ian lakukan. justru sikapmu sendirilah yang memberikan arah tuduhan itu. Akhirnya orang itu tidak tahan lagi menghadapi tekanan perasaannya, karena kemun gkinan-kemungkinan yang dihadapinya agaknya benar-benar akan dapat menghimpitnya dan memeras tubuhnya sehingga darahnya menjadi kering. Karena itu, akhirnya ia menyadari, bahwa yang membuang waktu adalah dirinya sendiri. Bukan orang-orang y ang sedang memeriksanya. Jika ia berkata berterus terang, maka apapun yang akan terjadi biarlah segera terjadi. Baiklah. yerah. berkata orang itu dengan sada datar, kalian telah berhasil memaksa aku men

Agung Sedayu tidak menjawab, tetapi dengan demikian maka orang-orang yang ada di dalam sanggar itu telab memperbaiki duduknya di sekitar orang itu, termasuk Ki G ede sendiri. Katakan. desis Agung Sedayu.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia memandang wajah Agung Sedayu. Na mun kemudian katanya, Baiklah. Ternyata kalian tidak ada bedanya dengan orang yan g telah mengupah kami berempat. Jika aku tidak mengatakan sesuatu tentang mereka adalah karena aku mengalami akibatnya kelak jika mereka tahu bahwa aku telah me ngkhianati mereka. Tetapi ternyata tanpa jatuh ketangan mereka, maka kalianpun d apat memperlakukan aku sebagaimana mungkin mereka lakukan. Sudahlah. sahut Agung Sedayu, pengantarmu sudah terlalu panjang. Sekarang kami ingi n segera mendengar isi dari keterang yang akan kau katakan itu. Orang itu mengerutkan keningnya. Namun tengkuknya serasa menjadi berkerut ketika Sekar Mirah beringsut mendekat setapak. Sebenarnyalah bahwa kami telah mendapat upah untuk melakukan satu kerja. berkata orang itu kemudian. Upah? ulang Agung Sedayu, siapa yang mengupahmu?

Aku belum mengenal sebelumnya. Tetapi Ki Lurah, yang terbunuh itu telah mengenaln ya dengan baik. jawab orang itu. Kalian diupah untuk apa? bertanya Agung Sedayu pula. Orang itu termangu-mangu seje nak. Namun agaknya Sekar Mirah benar-benar tidak sabar lagi. Karena itulah, maka dengan dua jarinya ia menyentuh lambung orang itu. Tidak terlalu keras, tetapi terasa seakan-akan kedua ujung jari itu telah menghunjam kedalam lambungnya. Kar ena itulah, maka orang itu telah menyeringai menahan sakit. Namun ketika ia mara ba lambungnya, ternyata lambungnya masih utuh. Tidak terkoyak sebagaimana diduga nya. Dengan jantung yang berdebaran orang itupun kemudian berkata, Kami diupah untuk m elihat-lihat keadaan istana Mataram. Kami diupah untuk mengetahui, jalan yang pa ling baik untuk memasuki istana tanpa diketahui oleh para penjaga. Memasuki istana Mataram? bertanya Agung Sedayu dengan tegang.

Ya. Kami harus mengenali segala sudut halaman istana dan semua pintu dan regol. K ami pada saatnya harus dapat menuntun seseorang memasuki istana tanpa diketahui oleh para pengawal. Kenapa kalian yang mendapat upah untuk melakukannya? bertanya Ki Gede, apakah orang yang mengupahmu tidak tahu, bahwa ternyata kalian tidak memiliki kemampuan apap un juga. Ilmumu tidak lebih dari kemampuan ilmu kanak-kanak yang sedang belajar olah kanuragan. Kalian bertiga telah dikalahkan oleh Glagah Putih, bahkan seanda inya berempat dengan kau sekaligus. Yang penting bagi mereka, kami adalah perampok dan pencuri yang dianggap mampu me lakukan pekerjaan kami dengan baik. Sebagai seorang pencuri yang berpengalaman, maka orang itu ingin mengupah kami. Mereka yakin bahwa berdasarkan pengalaman ka mi, maka kami akan dapat menuntun mereka atau salah seorang dari mereka memasuki istana sampai ke bilik tidur Panembahan Senopati. berkata orang yang sudah menja di putus asa itu. Apakah kau sudah berhasil membawa salah seorang dari mereka memasuki istana? nya Agung Sedayu. berta

Kami sedang dalam usaha mengenali istana. jawab orang itu, tetapi kami harus sangat berhati-hati dan tidak tergesa-gesa. Namun pada saat kami siap untuk dengan sun gguh-sungguh melakukannya. Ki Lurah, orang tertua didalam gerombolan kami, terta rik kepada seekor kuda yang besar dan tegar. Bahkan kemudian dengan uang tebusan yang harus aku ambil itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia bertanya, a yang memberi kalian upah untuk melakukan pekerjaan itu.

Siapakah sebenarny

Aku belum mengenalnya. jawab orang itu, aku tidak berbohong. Aku sudah sampai pada satu keadaan seperti ini, dalam keputus asaan, meskipun aku sadari. Seandainya a ku mengerti, maka aku tidak akan merahasiakannya lagi. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sebenarnyalah ia percaya bahwa orang itu tidak m engetahui siapakah orang yang telah mengupahnya. Namun demikian Agung Sedayupun bertanya lagi, Untuk apa sebenarnya orang itu ingin memasuki bilik Panembahan Sen opati? Orang itu termangu-mangu. Namun sebelum ia menjawab, Agung Sedayu telah mendahul uinya, Tentu untuk maksud buruk. Jika ia bermaksud baik, ia akan menghadap dengan cara yang wajar. Orang itu menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut sama sekali. Agung Sed ayulah yang kemudian berkata, Baiklah. Sebagian dari keteranganmu dapat kami perc aya. Sekarang, biarlah kau kembali kedalam bilikmu. Agung Sedayupun kemudian memerintahkan Glagah Putih untuk membawa orang itu kemb ali kedalam kurungan. Sementara itu ia berpesan agar Glagah Putih segera kembali ke sanggar jika orang itu sudah diserahkan kepada para pengawal. Dengan demikia n maka didalam sanggar itu telah terjadi pembicaraan khusus menyangkut pengakuan orang itu. Setelah Glagah Putih datang lagi, maka Agung Sedayupun kemudian berkata, a maksud jahat dari seseorang. Ya. Orang itu agaknya akan mengambil jalan pintas. Ia akan langsung menghadapi Panembahan Senapati sendiri. Bahkan mungkin orang itu akan membunuhnya. berkata Ki Gede. Apakah kita harus melaporkannya ke Mataram? bertanya Glagah Putih. Tentu ad

Tetapi bukankah niat orang itu telah gagal, karena mereka yang diupah tidak melak ukan tugasnya dengan baik? bertanya Sekar Mirah. Tetapi ia akan dapat mengupah orang lain. sahut Kiai Jayaraga. Tetapi orang yang akan mengupahnya tentu menjadi ragu-ragu. Mereka tentu mengira bahwa usaha itu telah didengar justru karena ada diantara orang upahannya yang t ertangkap. desis Sekar Mirah. Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi Agung Sedayulah yang kemudian berkata, ta akan mencoba untuk memberikan kesan yang lain. Kesan apa? bertanya Sekar Mirah. Ki

Kita harus berusaha untuk mengetahui, untuk apa orang itu berusaha dapat langsung bertemu dengan Panembahan Senapati atau berusaha untuk membunuhnya. berkata Agun g Sedayu. Jika mungkin dapat dilakukan, tentu akan memberikan banyak arti. sahut Ki Gede, tet api yang mungkin sulit adalah caranya. Sebagaimana dikatakan oleh Sekar Mirah, m ungkin orang yang ingin melakukannya menjadi ragu-ragu karena ia tidak tahu past i apa yang terjadi dengan orang-orang yang diupahnya. Itu adalah kewajiban kita. berkata Agung Sedayu. kitalah yang harus mengabarkan kep

ada mereka. Bagaimana mungkin? bertanya Ki Gede dan Sekar Mirah hampir berbareng. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia merenung. Namun kemudian katanya, Kita har us dapat menimbulkan kesan, bahwa rahasia mereka belum kita ketahui. Ya. Itulah yang aku tanyakan. sahut Ki Gede. Agung Sedayu berkisar setapak. Lalu katanya, Kita harus dapat memberikan kesan ba hwa kita tidak berhasil memeras keterangan orang yang kita tangkap itu, sehingga orang itu telah terbunuh dalam pemeriksaan. Kemudian kita sebarkan kabar, bahwa seorang yang lain telah terbunuh pula sementara dua orang melarikan diri. Denga n demikian akan timbul kesan bahwa kita belum berhasil mendengar apa yang akan t erjadi itu. Mudah-mudahan dengan demikian orang-orang itu tidak mengurungkan nia tnya, sementara kita telah melaporkannya langsung kepada Panembahan Senapati. Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang yang mendengar keterangan itu sud ah dapat menduga apa yang akan dilakukan menurut Agung Sedayu. Namun Sekar Mirah masih bertanya, Lalu orang itu kita tempatkan dimana, dan bagaimana kesan yang d apat meyakinkan bahwa orang itu telah mati? Kita akan menguburkannya di kuburan pada malam hari tanpa memberi tahukan kepada banyak orang, seolah-olah kita memang melakukannya dengan rahasia. Sementara itu orang itu akan kita bawa ke Mataram. jawab Agung Sedayu. Orang-orang yang ada didalam ruangan itupun mengangguk-angguk. Tidak seorangpun yang tidak sependapat. Karena itu, maka Ki Gedepun kemudian berkata, Baiklah Agun g Sedayu. Kita akan dapat mencobanya. Tetapi sebaiknya, kau harus menghadap Pane mbahan Senapati lebih dahulu, apakah Panembahan berkenan jika kita berbuat sebag aimana kau rencanakan itu. Baiklah. berkata Agung Sedayu, aku bawa serta. Apakah kau akan pergi sendiri? malam ini aku akan pergi ke Mataram. Orang itu akan bertanya Sekar Mirah.

Sebelum Agung Sedayu menjawab, maka Kiai Jayaraga telah mendahuluinya, Biarlah ak u yang menyertainya. Mungkin ia memerlukan kawan berbincang disepanjang jalan, s elain orang yang akan dibawanya itu. Ki Gede mengangguk-angguk. Lalu katanya, Baiklah. Biarlah Sekar Mirah dan Glagah Putih tinggal. Jika terjadi sesuatu di Tanah Perdikan ini, ada orang yang dapat membantuku memecahkannya. Aku harus kembali sebelum fajar. berkata Agung Sedayu, kemudian kita akan melakukan upacara penguburan orang yang mati itu jika Panembahan Senapati menyetujuinya. Tetapi apakah kau pasti, bahwa kau dapat menghadap malam nanti? Jika kau gagal me nghadap malam nanti maka kau tidak akan dapat kembali sebelum fajar. berkata Ki G ede kemudian. Ya Ki Gede. jawab Agung Sedayu, jika aku gagal menemuinya malam nanti, maka sudah b arang tentu aku akan bermalam barang semalam. Tetapi segala sesuatu harus dijaga kerahasiaannya, agar usaha ini berhasil. Baiklah. berkata Ki Gede, kita semua akan berusaha. Mudah-mudahan kita berhasil. Ma ksudku, Panem-bahan Senapati berhasil menangkap orang yang berniat buruk itu hid up-hidup dan dapat mendengar dari mulutnya, apakah sebabnya hal itu dilakukannya .

Dengan demikian maka pembicaraan merekapun telah dapat menentukan satu rancangan yang akan dilaksanakan oleh Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga namun yang kerahasia annya harus dijaga oleh semua orang yang telah mendengar rencana itu. Menjelang malam, maka, Agung Sedayupun telah bersiap-siap. Dengan diam-diam iapu n telah pergi ke rumah Ki Gede bersama Kiai Jayaraga. Sementara itu, iapun telah minta diri kepada Sekar Mirah untuk langsung menuju ke Mataram bersama Kiai Jay araga. Hati-hatilah. pesan Agung Sedayu, mungkin kawan-kawan mereka tidak akan tinggal dia m. Mereka sudah mengetahui rumah kita, sehingga mereka akan dapat langsung menuj u kemari jika mereka kehendaki. Kemudian pesannya kepada Glagah Putih, Kau tidak perlu pergi ke sungai malam nant i untuk menutup pliridan. Sebaiknya kau justru berada di gardu di ujung lorong. Kau ikut mengawasi keadaan Tanah Perdikan dalam keseluruhan, tetapi kaupun harus siap membantu mbokayumu seandainya bahaya itu benar-benar datang. Baik kakang. jawab Glagah Putih, aku akan berada digardu disebelah. Sementara itu, digardu-gardu lain, anak-anak akan aku pesankan agar berhati-hati karena peristi wa yang baru saja terjadi atas diriku itu mungkin akan berkepanjangan. Tetapi kau tidak boleh menyentuh sampai kerencana yang akan kita lakukan. pesan Ag ung Sedayu. Aku akan selalu mengingatnya kakang. jawab Glagah Putih.

Demikianlah, maka Agung Sedayupun telah mulai melakukan rencananya. Tidak seoran gpun yang tahu. Sementara itu Agung Sedayupun harus memperhitungkan perjalananny a itu. Untuk tidak menimbulkan perhatian dan memancing pertanyaan, maka Agung Sedayu te lah berusaha untuk menghindari jalan-jalan yang melintasi padukuhan. Karena itu, maka kepada Kiai Jayaraga ia berkata, Kita akan menyusuri jalan-jalan dipinggir hutan. Kiai Jayaraga yang tanggap akan maksud Agung Sedayupun mengangguk sambil berkata , Baiklah. Mudah-mudahan kita tidak harus berhenti meyalami penghuni-penghuni hut an. Hanya satu dari seratus kemungkinan bahwa seseorang yang lewat bertemu dengan bin atang buas. jawab Agung Sedayu, tetapi yang satu dari seratus kemungkinan itulah y ang dibicarakan orang, sementara yang lain dianggap sebagai peristiwa wajar, seh ingga dengan demikian maka seakan-akan yang satu itulah yang lebih sering terjad i dibandingkan dengan yang sembilanpuluh sembilan. Kiai Jayaraga tersenyum. Katanya, Jika kita akan menjadi yang satu dari yang lain , maka kita akan menjadi bahan pembicaraan orang. Agung Sedayupun tertawa. Katanya, Tentu tidak. Mereka tahu bahwa kita tidak mempu nyai waktu banyak untuk bercanda dengan mereka. Demikianlah, maka mereka bertiga telah menyusuri hutan-hutan bukan saja hutan pe rburuan. Tetapi juga hutan yang lebat dan jarang dilalui orang. Tetapi jalan set apak yang terbentang dihadapan mereka telah cukup lebar untuk dilalui kaki-kaki kuda ketiga orang itu. Dengan demikian, maka perjalanan merekapun justru menjadi semakin singkat, meski pun tidak terpaut banyak. Tanpa dijumpai seorangpun mereka telah mendekati daera h penyeberangan Kali Progo.

Jarang ada tukang satang dimalam hari.

desis Kiai Jayaraga. jawab A

Tetapi kadang-kadang ada juga, meskipun mereka sering minta upah tambahan. gung Sedayu.

Sebenarnyalah, ternyata ada juga tukang satang yang tidur ditepian, yang memang menunggu orang yang akan menyeberang di malam hari. Namun seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka mereka telah minta upah tambahan untuk menyeberang di m alam-malam yang dingin. Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga tidak dapat menolak Merekapun harus menyediakan u pah tambahan sebagaimana di minta oleh tukang satang itu. Setelah mereka melewat i Kali Praga, maka merekapun telah berpacu menuju ke Mataram. Mereka sadar, bahw a perjalanan mereka akan menemui hambatan. Para petugas tentu akan mempertanyaka n keperluan mereka. Mudah-mudahan ada orang yang dapat mengenali aku. berkata Agung Sedayu kepada diri nya sendiri. Ketika mereka memasuki regol kota, para penjaga tidak begitu ketat mempersoalkan siapakah mereka, karena hilir mudik keluar masuk kota memang telah menjadi lancar, sejalan dengan keadaan yang menjadi semakin tertib. Namun tentu akan berbeda jika kita memasuki istana berkata Agung Sedayu. Kiai Jay araga mengangguk-angguk. Katanya, Mudah-mudahan kita tidak menemui kesulitan. Sementara itu, orang yang mereka bawa itupun tidak menunjukkan sikap apapun juga . Orang itu tidak mengerti, apa yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu dan Kiai J ayaraga. Namun orang itupun menjadi semakin berdebar-debar semakin mereka bertig a mendekati istana Mataram. Mungkin orang-orang Mataram bersikap lain dari orang-orang Tanah Perdikan Menoreh . berkata orang itu didalam hati. Mungkin di Mataram aku akan benar-benar dicincan g. Iapun kemudian menyesali tingkah laku orang yang disebutnya Ki Lurah yang telah tertarik untuk memiliki kuda Glagah Putih yang besar dan tegar, sehingga karena itu, maka mereka sekelompok telah terjerat oleh keadaan yang sangat sulit. Ki Lurah telah selesai dengan hukumannya. berkata orang itu di dalam hatinya, i aku belum. Aku justru baru akan mulai dan tidak tahu kapan selesai. Tentu orang itu telah benar-benar menjadi putus asa. Ia tidak lagi berusaha untu k menghentakkan kejantanannya dan bertahan untuk tetap diam seandainya ia dipaks a untuk berbicara. Jika para pemimpin Tanah Perdikan mempunyai kemampuan yang demikian tinggi, maka para pemimpin Matarampun tentu akan lebih menggetarkan jantung. Karena itu, tida k akan ada gunanya untuk menolak keinginan mereka. berkata orang itu didalam hati nya. Dalam pada itu perjalanan Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga yang membawa seorang di antara orang-orang yang telah diupah untuk mengenali keadaan di halaman istana, telah mendekati regol halaman istana. Untuk tidak menimbulkan salah paham, maka Agung Sedayupun berkata kepada Kiai Jayaraga. Kita berhenti disini. Biarlah aku l ebih dahulu mendekat. Mudah-mudahan aku mendapat cara untuk menghadap. Hati-hatilah. berkata Kiai Jayaraga. Agung Sedayupun kemudian dengan hati-hati telah mendekati regol halaman. Iapun l angsung mendekati petugas yang berdiri dan kadang-kadang berjalan hilir mudik di tetap

depan regol. Ki Sanak. berkata Agung Sedayu, aku ingin mohon ijin untuk secara khusus menghadap Panembahan Senapati. Ada sesuatu yang sangat penting yang akan aku sampaikan. Prajurit itu memandang Agung Sedayu dengan heran. Dengan nada tinggi ia berkata, Apakah kau sedang bermimpi atau bahkan mengigau? Kenapa? bertanya Agung Sedayu.

Kenapa kau tiba-tiba saja menyebut Panembahan Senapati? Siapakah kau dan kau data ng dari mana? Apakah hakmu untuk menghadap Panembahan Senapati? bertanya penjaga itu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan itu wajar sekali. Dan iapun d apat mengerti sepenuhnya. Namun ia harus berusaha meyakinkan petugas itu, bahwa ia mempunyai kepentingan yang mendesak. Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian berkata, Baikiah Ki Sanak. Aku mohon Ki Sanak dapat mempertimbangkan permohonanku kali ini, karena persoalannya memang sangat penting. Karena agaknya memang sulit untuk dapat dimengerti, bahwa aku ak an menghadap Panembahan Senapati pada waktu yang tidak sepantasnya, maka aku moh on Ki Sanak dapat menyampaikan permohonanku ini kepada perwira yang bertugas mal am ini. Mudah-mudahan aku dapat berbicara dan meyakinkannya, bahwa aku memang me merlukan untuk menyampaikan satu laporan yang sangat penting. Pergilah dan lakukanlah satu kerja yang wajar. berkata prajurit yang bertugas itu.

Aku mengerti sikapmu Ki Sanak. jawab Agung Sedayu, tetapi aku mohon kau sampaikan a ku kepada perwiramu yang memimpin tugas malam ini. Aku akan berbicara dengan ora ng itu. Prajurit itu termangu-mangu. Namun sebelum ia berkata sesuatu terdengar suara da ri kegelapan, Siapa orang itu? Prajurit itu berpaling. Dilihatnya seorang perwira yang justru sedang bertugas m emimpin para prajurit malam itu berdiri tegak dalam keremangan malam. Orang ini akan menghadap Panembahan Senapati. jawab prajurit itu. Perwira itu mela ngkah maju. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya. Bahkan kemudian iapun berkata, mi. Kau jangan mencoba untuk mengganggu tugas-tugas ka

Agung Sedayu yang melihat kehadiran perwira itupun kemudian berkata, Ki Sanak. Ak u memerlukan bantuanmu. Sesuatu mungkin terjadi. Karena itu, beri kesempatan aku menyampaikan permohonanku. Kecuali jika Panembahan Senapati memberikan waktu la in. Kau ini siapa? bertanya perwira itu.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian teringat olehnya nama seoran g Tumenggung yang dikenalnya. Perkenalan itu menjadi semakin akrab ketika Agung Sedayu berada di medan perang pada saat Mataram berperang melawan Pajang. Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian berkata, Ki Sanak. Baiklah, aku mohon d apat dimengerti bahwa ada sesuatu yang penting yang harus aku sampaikan kepada P anembahan Senapati. Tetapi jika kalian ragu-ragu, maka aku minta tolong untuk me mpertemukan aku dengan Ki Tumenggung Surayuda. Mungkin Ki Tumenggung Surayuda ak an dapat mempertemukan aku dengan Ki Juru Martani yang bergelar Ki Patih Mandara

ka, yang dapat membawa aku menghadap Panembahan Senapati. Apakah kau kenal Ki Tumenggung Surayuda? Aku mengenalnya. jawab Agung Sedayu. bertanya perwira itu.

Tetapi kau belum menjawab, siapakah kau? bertanya pewira itu pula. Agung Sedayu te rmangu-mangu. Namun kemudian iapun memutuskan untuk menyebut namanya, agar Ki Tu menggung Surayuda dapat mengenalinya. Mudah-mudahan ia mau menolongku, sehingga d engan demikian malam ini aku akan dapat menghadap Panembahan Senapati. Mungkin s esuatu yang dikhawatirkan itu tidak akan terjadi malam ini, tetapi jika hal itu terjadi, maka aku akan merasa sangat bersalah. Selain itu, sebaiknya aku kembali ke Tanah Perdikan sebelum fajar, sehingga tidak seorangpun yang tahu, bahwa aku telah meninggalkan Tanah Perdikan malam ini, apalagi membawa orang yang tertawa n itu. berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Namun sebelum Agung Sedayu menjawab, tiba-tiba terdengar suara seseorang tertawa sambil berkata, Orang itu namanya Agung Sedayu. Semua orang berpaling. Mereka melihat seseorang berjalan kearah mereka. gga. desis Agung Sedayu. Raden Ran R

Perwira yang memimpin para prajurit yang sedang bertugas itu pun berguman pula, aden Rangga.

Apakah kalian belum mengenal Agung Sedayu? Benteng dari Tanah Perdikan Menoreh. T anpa Agung Sedayu dan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, ayahanda belum da pat menyelesaikan persoalannya dengan pamanda Adipati Pajang pada waktu itu. berk ata Raden Rangga. Prajurit yang bertugas itu memang belum pernah mendengar nama Agung Sedayu. Teta pi perwira yang memimpin prajurit yang bertugas itu pernah mendengarnya meskipun secara pribadi ia belum mengenalnya. Dalam pada itu, maka Raden Ranggapun berka ta kepada Agung Sedayu, Mudah-mudahan ayahanda dapat mengerti jika persoalanmu me mang penting. Kau tidak perlu bertemu dengan paman Surayuda, kemudian eyang Mand araka dan baru permohonanmu di sampaikan kepada ayahanda. Jika demikian maka bar u besok, saat matahari sepenggalah, permohonanmu akan didengar oleh ayah anda. S etengah hari ayahanda mempertimbangkan, pada saat keputusan jatuh, hari telah ma lam lagi dan waktumu meng-hadap ditunda di keesokan harinya. Sementara itu perso alan yang akan kau laporkan telah lampau dan yang terjadi hanyalah penyesalan sa ja. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, Marilah. Ikut aku. ajak Raden Rangga. Aku tidak sendiri. Aku mengucapkan terima kasih.

Namun Agung Sedayu menjawab

Aku sudah tahu. Kau datang dengan Kiai Jayaraga dan seorang yang belum aku kenal. Nah panggil mereka. Kita akan memasuki halaman istana. berkata Raden Rangga. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian melangkah meninggal kan rogol itu untuk memanggil Kiai Jayaraga dan seorang yang menjadi tawanannya. Para prajurit dan bahkan perwira yang bertugas itupun termangu-mangu. Namun perw ira itupun kemudian bertanya kepada Raden Rangga selama Agung Sedayu meninggalka n mereka. Raden. Apakah Raden bertanggung jawab jika aku dianggap bersalah karena aku membiarkan orang itu masuk pada waktu yang tidak sepantasnya seperti ini. Kenapa? Kau tidak percaya kepadaku? bertanya Raden Rangga.

Bukan tidak percaya Raden. jawab perwira itu, tetapi adalah tugasku untuk menjaga a gar tidak terjadi sesuatu yang tidak pada tempatnya. Agung Sedayu adalah sahabat ayahanda sejak ayahanda belum menyebut dirinya Panemb ahan Senapati. berkata Raden Rangga, semua orang tahu itu. Dan akupun mendengar ce ritera tentang hubungan mereka. Karena itu ayahanda tentu akan menerimanya. Agun g Sedayu tentu tidak akan berbuat demikian jika persoalannya tidak benar-benar p enting dan menyangkut keselamatan ayahanda. Tetapi jika kau memaksa aku untuk me larangnya, aku akan melakukannya. Namun Jika terjadi sesuatu atas ayahanda karen a kelambatan Agung Sedayu, maka kaulah yang bertanggung jawab. Perwira itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian iapun menarik nafas sambil berkata , Semuanya terserah kepada Raden. Tetapi sekali lagi. Tanggung jawab ada pada Rad en. Raden Rangga tersenyum. Tetapi ia tidak berkata sesuatu lagi kepada perwira itu, sementara Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan seorang tawanan yang dibawanya telah datang kembali. Raden Ranggapun kemudian telah membawa mereka masuk kehalaman istana. Ketika mer eka mendekati gerbang istana, maka para prajurit yang bertugaspun telah melihat mereka. Dua orang prajurit yang berjaga-jaga diregol itupun telah menyilangkan t ombaknya. Namun ketika mereka melihat Raden Rangga maka merekapun menjadi ragu-ragu. Rangga. desis salah seorang dari kedua prajurit itu. Ya. Raden Rangga. sahut yang lain, ajar. Raden

tentu akan terjadi sesuatu yang aneh dan tidak w

Belum tentu. Ia sudah baik sekarang. jawab yang pertama. Merekapun terdiam ketika Raden Rangga sudah menjadi semakin dekat. Bahkan sebelum ia mencapai tiga langka h dihadapan prajurit itu telah terdengar suaranya, Jaga kuda-kuda ini. Aku akan m embawanya menghadap ayahanda. Kedua prajurit itu saling berpandangan. Namun kemudian seorang diantara mereka b ertanya, Apakah yang Raden maksud? Ketiga orang ini akan menghadap ayahanda. Jaga kuda mereka dan tambatkan pada pat ok-patok disudut itu. berkata Raden Rangga. Kami sedang bertugas Raden. jawab prajurit itu, karena itu kami tidak dapat meningg alkan tempat kami bertugas ini. Kau memang tidak dapat pergi jauh. jawab Raden Rangga, tetapi apa salahnya jika kau pergi, kesudut itu. Hanya beberapa langkah saja. Dan kau dapat mengawasi regol itu dari tempatmu berdiri. Kedua prajurit itu menjadi bingung. Namun dalam pada itu, perwira yang memimpin para prajurit itupun telah mendekat pula sambil berkata, Raden, biarlah mereka me lakukan tugas mereka dengan baik sebagaimana seharusnya. Raden Rangga termangu-mangu. Namun katanya kemudian, g mengikat kuda-kuda itu disudut. Kalau begitu kau sajalah yan

Wajah perwira itu menjadi merah. Namun sebelum ia menjawab Agung Sedayu telah be rkata, Biarlah kami mengikat kuda kami sendiri. Kenapa mesti harus orang lain. Raden Rangga mengerukan keningnya Lalu katanya, Untunglah tamu kita berbaik hati

kali ini.Tetapi lain kali aku tidak mau mendengar penolakan seperti itu. Perwira itu dadanya benar-benar bagaikan hendak meledak. Namun ia tahu pasti, si apakah Raden Rangga dan apa yang dapat diperbuatnya. Meskipun anak muda itu bebe rapa kali menerima hukuman dari ayahandanya, tetapi seakan-akan ia tidak pernah merasa jera, sehingga ia masih saja melakukan hal-hal yang kurang wajar. Meskipu n pada saat-saat terakhir, ia sudah menjadi semakin mengendap, namun yang mengen dap itu pada suatu saat akan dapat teraduk kembali. Ketika Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan orang yang dibawanya sudah selesai menamb atkan kuda mereka, maka merekapun telah kembali mendekati Raden Rangga yang bers edia membantunya menghadap Panembahan Senapati. Namun dalam pada itu, ketika per wira yang memimpin para petugas itu melihat Agung Sedayu, maka iapun telah menge rutkan keningnya. Dengan nada datar ia berdesis, Agung Sedayu. Agung Sedayu memandang perwira itu sejenak. Namun iapun kemudian telah menganggu k hormat sambil berkata, Selamat malam. Kalian telah saling mengenal? bertanya Raden Rangga. Ya Raden. jawab perwira itu, Agung Sedayu berada disegala medan. Sejak Mataram mula i tegak, Agung Sedayu sudah sering berada diantara para prajurit Mataram. Nah, jika demikian, persoalannya akan menjadi lebih mudah. Kau tentu tahu, bahwa Agung Sedayu adalah sahabat ayahanda sejak ayahanda mulai membuka hutan yang kem udian menjadi Mataram ini. berkata Raden Rangga. Maksud Raden? bertanya perwira itu. Agung Sedayu ingin menghadap ayahanda malam ini untuk satu kepentingan yang tidak dapat ditunda. jawab Raden Rangga. Perwira itu termangu-mangu sejenak. Namun ternyata iapun berkata sebagaimana dik atakan oleh perwira diregol halaman, Tetapi Radenlah yang akan bertanggung jawab. Aku akan bertanggung jawab. sahut Raden Rangga. Dengan demikian maka Raden Ranggap un telah membawa ketiga orang itu memasuki gerbang istana. Didalam istana, keemp at orang itu benar-benar telah mengejutkan para petugas. Beberapa prajurit penga wal khusus yang bertugas diistana itu telah menyongsong mereka. Namun seperti ya ng lain-lain mereka selalu menjadi ragu-ragu karena diantara mereka terdapat Rad en Rangga. Raden Ranggapun ternyata akhirnya mengerti juga, bahwa para prajurit itu selalu menjadi gelisah karena sikapnya itu. Karena itu maka iapun kemudian berkata kepa da perwira dari pasukan khusus yang bertugas, Jika kalian berkeberatan, maka biar lah mereka tinggal disini. Aku akan menghadap ayahanda Panembahan Senapati dan m enyampaikan permohonan mereka untuk menghadap. Perwira yang memimpin pasukan pengawal khusus itu ragu-ragu sejenak. Namun kemud ian katanya, Baiklah. Marilah Raden menemui Pelayan Dalam yang bertugas, yang bar angkali dapat membawa Raden menghadap ayahanda. Tetapi bagaimana jika ayahanda R aden sudah tidur? Dengan ketukan lembut ayahanda tentu akan bangun. Soalnya mungkin akan menyangkut keselamatan ayahanda sendiri. berkata Raden Rangga, jika tidak, orang-orang Tanah Perdikan itu tidak akan dengan tergesa-gesa menemui ayahanda. Perwira pengawal khusus itupun kemudian membawa Raden Rangga memasuki bagian dal am istana dan menyerahkannya kepada Pelayan Dalam. Tetapi Pelayan Dalam itu berk ata, Panembahan sudah berada didalam bilik peraduan.

Sampaikan permohonanku menghadap. desak Raden Rangga, ngetuk pintu.

atau aku sendiri yang akan me

Raden. berkata Pelayan Dalam, beberapa kali ayahanda Raden marah karena sikap Raden . Bagaimana jika ayahanda kali ini justru marah kepada Raden? Aku bermaksud baik. Justru untuk kepentingan ayahanda. jawab Raden Rangga.

Beberapa kali Raden melakukannya. Meskipun dengan maksud baik, tetapi jika Raden melakukannya de-ngan cara yang kurang tepat, maka Raden justru akan mendapat mar ah ayahanda Raden. berkata Pelayan Dalam itu. Bagiku, lebih baik mendapat marah daripada melihat ayahanda mengalami kesulitan. awab Raden Rangga. Lalu, Nah, kau atau aku yang mengetuk pintu bilik peraduan. Pelayan Dalam itu berada didalam kesulitan sikap. Namun akhirnya ia berkata, Baik lah. Aku tahu bahwa Raden dalam keadaan seperti ini tidak akan dapat dicegah lag i. Karena itu, maka biarlah aku mengetuk pintu. Tetapi Raden mendekat bersamaku. Pelayan Dalam itupun kemudian mendekati pintu bilik Panembahan Senapati bersama Raden Rangga. Betapapun hatinya ragu, namun sambil duduk tepekur dilantai. tanga nnya perlahan-lahan menyentuh pintu bilik itu. Ternyata Panembahan Senapati yang meskipun sudah berada didalam biliknya, tetapi masih belum tidur. Karena itu, ketika pintu biliknya disentuh sesuai dengan pes an sandi, maka Panembahan Senapati agaknya telah mendengarkannya. Apa yang terjadi? bertanyaPanembahanSenapati didalam hatinya. Karena jika tidak ad a hal yang sangat penting, maka Pelayan Dalam itu tentu tidak akan mengetuk pint unya, apalagi pintu itu telah diselaraknya dari dalam. Karena itu, maka Panembahan Senapati itupun telah bangkit dan melangkah menuju k e pintu. Perlahan-lahan Panembahan Senapati telah membuka pintu. Bagaimanapun ju ga ia memang harus berhati-hati. Panembahan Senapati itu tertegun ketika ia melihat Pelayan Dalam yang telah mend apat kepercayaannya itu duduk dengan kepala tertunduk dalam-dalam disamping Rade n Rangga yang juga menundukkan kepalanya. Apa yang penting yang telah terjadi? bertanya Panembahan Senapati. j

Ampun Panembahan. Putera Panembahan telah minta kepada hamba untuk mohon kepada P anembahan menghadap. jawab Pelayan Dalam itu. Panembahan Senapatipun kemudian memandang Raden Rangga yang masih menundukkan ke palanya. Ada apa Rangga? bertanya Panembahan Senapati dengan nada dalam.

Raden Rangga mengangkat wajahnya. Kemudian katanya, Ampun ayahanda. Hamba telah m engantarkan Agung Sedayu yang agaknya mempunyai kepentingan yang mendesak, sehin gga ia memohon untuk dapat menghadap ayahanda sekarang. Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh? bertanya Panembahan Senapati. Hamba ayahanda. jawab Raden Rangga.

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Ia telah menyimpan kejengkelannya kepada Raden Rangga, karena jika tidak penting sekali, maka Agung Sedayu tentu

tidak akan mendesak untuk menghadap bukan pada waktunya. Karena itu, maka Panembahan Senapati itupun kemudian bertanya, u sekarang? Dimana Agung Seday jawab Rad

Ia menunggu diantara para petugas dari pasukan pengawal khusus ayahanda. en Rangga. Baiklah. Aku akan menemuinya. berkata Panembahan Senapati, nak.

biarlah ia menunggu seje

Raden Rangga dan Pelayan Dalam itupun kemudian bergeser surut dan kemudian menin ggalkan pintu bilik itu. Ketika pintu itu kemudian tertutup lagi, maka Raden Ran ggapun mencibirkan bibirnya sambil berdesis, Nah, kau lihat. Ayahanda tidak marah . Pelayan Dalam itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum sambil m enjawab, Kali ini Raden benar. Hanya kali ini? bertanya Raden Rangga.

Pelayan Dalam itu tertawa. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Sambil kembali ketempa t tugasnya ia justru berkata, Raden sajalah yang menyampaikan pesan ayahanda Rade n kepada para tamu itu. Ya. Aku akan menemuinya. Kau akan mendapat kesempatan untuk tidur selama ayahanda menemui tamunya. jawab Raden Rangga. Malam itu, Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan tawanan mereka telah mendapat kesempa tan untuk menghadap Panembahan Senapati. Namun kecewa sekali, bahwa Raden Rangga tidak diperkenankan untuk ikut menemuinya. Rangga, kembalilah ke tempat eyangmu. Jangan keluar sampai jauh malam. Eyangmu se ring mencarimu. berkata Panembahan Senapati. Raden Rangga sama sekali tidak berani membantah. Iapun kemudian meninggalkan ist ana itu dan kembali ke Mandarakan. Namun disepanjang jalan ia bergeremang, Jika a ku tidak keluar malam, maka mungkin Agung Sedayu tidak akan dapat bertemu dengan ayahanda. Ia harus berterima kasih kepadaku. Dan sekarang aku telah diusir tanp a dapat mengetahui persoalannya. Tetapi tiba-tiba saja Raden Rangga itu tersenyum. Namun ia tidak mengucapkan apa -apa lagi. Dalam pada itu, maka Panembahan Senapatipun telah berbicara dengan Ag ung Sedayu. Pembicaraan mereka menjadi bersungguh-sungguh ketika Agung Sedayu mu lai menceriterakan kepentingannya datang di malam hari. Meskipun keempat orang itu sudah tidak utuh lagi, tetapi segala sesuatunya masih mungkin terjadi. Selain hamba ingin mengelabui agar kedua orang yang sempat mela rikan diri itu serta orang yang telah mengupahnya mendapat kesan yang salah tent ang usaha hamba untuk mengetahui latar belakang dari langkah-langkah keempat ora ng itu, maka hamba pun mencemaskan Panembahan. Mungkin orang yang mengupahnya it upun telah mengambil langkah-langkah lain yang akan dapat menimbulkan kesulitan. Karena itulah, maka hamba tergesa-gesa untuk memohon waktu menghadap. berkata Ag ung Sedayu. Panembahan Senapati itupun mengangguk-angguk. Katanya, Terima kasih atas perhatia nmu yang sangat besar atas keselamatanku, Agung Sedayu. Dalam keadaan yang demik ian memang diperlukan langkah-langkah yang cepat sebagaimana kau lakukan. Panemba han Senapati berhenti sejenak, lalu, Bagaimana dengan orang itu?

Untuk mempertegas berita yang hamba bawa, maka hamba telah membawa seorang dianta ra mereka yang telah tertangkap. Orang inilah yang telah memberikan keterangan t entang usaha seseorang atau sekelompok orang untuk mengetahui keadaan didalam is tana ini. Menurut pendapat hamba, maka usaha itu tentu usaha untuk satu tujuan y ang kurang baik, meskipun orang ini tidak dapat menyebutnya. Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Dipandanginya orang itu dengan tajamnya. Ternyata betapa besar wibawa yang terpancar dari sorot mata Panembahan Senapati, sehingga orang itu telah menjadi gemetar karenanya. Karena itulah, ketika Panembahan Senapati bertanya kepadanya, maka orang itu sam a sekali tidak dapat berahasia lagi. Apa yang pernah dikatakan di Tanah Perdikan Menoreh, telah dikatakannya pula. Sehingga dengan demikian maka Panembahan Sena patipun telah mendapatkan gambaran yang lebih jelas dari usaha yang dilakukan ol eh seseorang untuk melakukan satu niat yang tidak baik, meskipun sebagaimana dik atakan oleh Agung Sedayu, bahwa orang itu tidak mengatakan, apakah maksud orang yang mengupahnya untuk mengetahui keadaan didalam lingkungan istana Mataram. Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun kemudian berkata, Panembahan. Untuk kepentin gan usaha hamba mengetahui orang yang mengupah orang-orang itu, agar mereka teta p menyangka bahwa hamba dan juga Panembahan belum mengetahui tentang rencana mer eka, maka hamba akan meninggalkan orang ini disini dengan rahasia. Hamba akan me mbuat kesan, bahwa orang ini telah terbunuh dalam pemeriksaan karena ia tidak ma u berbicara. Seorang yang lain mati, dan dua orang lainnya telah berhasil melari kan diri. Panembahan Senapati segera mengetahui rencana itu. Karena itu, maka iapun menjaw ab, Baiklah Agung Sedayu. Aku setuju. Selanjutnya aku berharap bahwa kau akan sel alu menghubungi aku jika ada perkembangan persoalan dari kelompok yang masih bel um kita kenali itu. Hamba Panembahan. Hamba akan berbuat apa saja untuk kebaikan Mataram dan dengan d emikian juga bagi Tanah Perdikan Menoreh. jawab Agung Sedayu. Panembahan Senapatipun telah mengucapkan sekali lagi terima kasih ketika Agung S edayupun kemudian mohon diri untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Kau begitu tergesa-gesa. desis Panembahan Senapati. jawab Agung Sedayu.

Hamba ingin melakukan rencana hamba.

Baiklah. Aku akan berhati-hati. Meskipun terbatas, maka akupun akan memerintahkan beberapa orang kepercayaanku untuk meningkatkan pengawasan mereka atas halaman istana ini. berkata Panembahan Senapati, aku akan menyesuaikan diri dengan rencana mu, sehingga menimbulkan kesan, bahwa aku belum tahu apa yang dilakukan oleh ora ng yang mengupah kelompok kecil ini. Bukankah dengan demikian, kau bermaksud men jebaknya atau mungkin orang lain yang diupahnya untuk melanjutkan upahnya yang g agal itu? Hamba Panembahan. jawab Agung Sedayu. Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Agaknya keduanya dapat menyesuaikan renca na-rencana yang akan mereka lakukan masing-masing. Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga telah meninggalkan istana Matar am. Dalam gelapnya malam mereka berpacu agar mereka segera mencapai Tanah Perdik an. Mereka harus sampai dirumah sebelum fajar, agar rencana mereka selanjutnya d apat dilakukan sebaik-baiknya. Sependapat dengan Kiai Jayaraga, maka Agung Sedayu telah mencari tempat penyeber

angan yang lain. Tempat penyeberangan yang lebih kecil untuk tidak menarik perha tian tukang-tukang satang. Seperti ketika berangkat, maka tukang satang yang dibangunkannya telah menuntut upah yang lebih banyak dari upah yang biasa, karena mereka harus menyeberang dim alam hari. Dingin sekali. desis tukang-tukang satang itu.

Agung Sedayu sama sekali tidak berkeberatan. Karena itu, maka sejenak kemudian m erekapun telah mencapai seberang. Seperti pada saat mereka berangkat, maka merek apun telah menempuh jalan yang tidak banyak dilalui orang. Mereka menyusuri jala n dipinggir hutan dan jalan-jalan sempit yang lain. Karena itu, maka sampai di p edukuhan induk, mereka sama sekali tidak bertemu dengan seorangpun. Kehadiran me reka di rumah Ki Gede memang mengejutkan para peronda. Tetapi Agung Sedayu sudah singgah lebih dahulu ke rumahnya untuk menyimpan kudanya, dan mengajak Sekar Mi rah yang sedang berjaga-jaga dkumah untuk ikut serta. Sementara itu Glagah Putih masih saja. dibiarkannya berada di gardu. Para peronda yang belum berada di gardu saat Agung Sedayu berangkat dengan diamdiam, mempersilahkan mereka memasuki halaman rumah Ki Gede tanpa curiga, karena mereka mengetahui kedudukan Agung Sedayu. Nampaknya ada perlu yang sangat penting. bertanya salah seorang peronda itu. Agung Sedayu nampak agak gugup menjawab Ya. Penting sekali. Para peronda itu membiarkan saja Agung Sedayu. Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah nai k kependapa dan mengetuk pintu pringgitan untuk membangunkan Ki Gede. Sebenarnya lah bahwa Ki Gede belum lama tertidur. Iapun merasa gelisah memikirkan kepergian Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga ke Mataram. Sehingga karena itu, maka ketika ia mendengar pintu diketuk dengan tergesa-gesa pula ia bangkit. Ki Gede sudah mengi ra bahwa yang datang itu tentu Agung Sedayu. Ketika ia membuka pintu dan melihat Agung Sedayu mengangguk hormat sambil tersen yum, maka Ki Gedepun menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun bertanya, Apakah kau bawa juga Sekar Mirah ke Mataram? Tidak Ki Gede. jawab Agung Sedayu, tetapi aku sudah singgah lebih dahulu kerumah.

Marilah, masuk sajalah. Kita berbicara didalam. Ki Gede mempersilahkan. Merekapun kemudian telah masuk keruang dalam. Agung Sedayupun kemudian telah menutup pintu pringgitan dan kemudian duduk disebuah amben yang besar. Dengan singkat Agung Sedayu telah menceriterakan perjalanannya. Sekar Mirah yang belum sempat mendengar ceritera itu dirumah karena Agung Sedayu tergesa-gesa, t elah ikut mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Ki Gedepun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, Syukurlah. Dengan demikian, kau telah memberikan peringatan kepada Panembahan Senapati, sehingga Panembahan Senapati akan dapat lebih berhati-hati. Tetapi lalu apakah yang akan kita lakuk an? Kita harus membuat kesan bahwa kita telah membunuh tawanan itu. yu. Itulah yang sulit. berkata Ki Gede. berkata Agung Seda

Kita harus membuatnya sebagai satu rahasia, tetapi rahasia itu telah bocor, sehin gga tentu akan tersebar luas. berkata Agung Sedayu, mudah-mudahan benar-benar tida k ada orang yang melihat tawanan itu kami bawa ke Mataram.

Ki Gede mengangguk-angguk. Kemudian katanya, ana kita dapat menimbulkan kesan itu.

Aku belum mempunyai gambaran, bagaim

Ki Gede. berkata Agung Sedayu, sepeninggal kami, Ki Gede dapat memanggil para peron da. Ki Gede dapat menjelaskan kejadian yang nampaknya harus dirahasiakan itu. Na mun aku yakin, bahwa satu dua diantara mereka ada yang tidak mampu menahan rahas ia itu sepenuhnya. Sementara itu Ki Gede dapat memberitahukan bahwa mayatnya tel ah kami kuburkan tanpa pengetahuan orang lain. Ki Gede mengangguk-angguk. Lalu katanya, a berhasil. Aku akan mengusahakan. Mudah-mudahan kit

Jika kita berhasil Ki Gede, kemungkinan untuk menjebak orang yang mengupah keempa t orang itu akan berhasil. Orang itu akan meneruskan niatnya, melakukan satu tin dakan tidak baik atas Panembahan Senapati. Sementara Panembahan Senapati telah m empersiapkan diri untuk menghadapinya. berkata Agung Sedayu. Baiklah, kita akan berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan yang luas. Gede. berkata Ki

Dengan demikian, maka Agung Sedayupun telah mohon diri. Segala sesuatunya telah diserahkannya kepada Ki Gede, sementara itu, iapun harus menimbulkan kesan yang tersebar, bahwa dua orang diantara keempat orang itu melarikan diri dan sedang y ang lain telah terbunuh ditempat kejadian. Sepeninggal Agung Sedayu, maka Ki Gedepun justru telah keluar ke pandapa. Kemudi an turun ke halaman dan bahkan pergi ke gardu peronda. Para perondapun telah ber kisar. Mereka merasa heran, bahwa sepeninggal Agung Sedayu, Ki Gede telah da tan g ke gardu. Yang ditanyakan Ki Gede mula-mula adalah tugas-tugas para peronda itu. Namun kem udian Ki Gedepun telah bertanya, Apa yang dikatakan Agung Sedayu kepada kalian? Agung Sedayu tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya lewat saja. Kelakuannya memang ag ak aneh. Ketika kami bertanya apakah ada yang sangat penting, maka iapun menjawa b dengan gugup. jawab peronda itu. Ki Gede mengangguk-angguk Katanya, Kecelakaan? Memang telah terjadi satu kecelakaan.

bertanya para peronda itu. jawab K

Ya. Kecelakaan ketika Agung Sedayu memeriksa tawanan kita yang khusus itu. i Gede.

Kecelakaan bagaimana? desak salah seorang diantara para peronda itu. Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, Memang satu kecelakaan. T etapi hal ini tidak perlu disebar luaskan. Para peronda itu menunggu dengan tegang. Sementara Ki Gede menarik nafas dalam-d alam. Untuk beberapa saat para peronda itu menunggu. Baru ketika mereka hampir k ehilangan kesabaran, Ki Gede berkata, Agung Sedayu ternyata memiliki kekuatan dil uar jangkauan nalar. Ketika tawanan itu tidak mau juga berbicara, betapapun saba rnya Agung Sedayu, pada satu batas iapun dapat menjadi jengkel Hampir diluar sad arnya Agung Sedayu mencengkam leher orang itu. Namun ternyata orang itu terlalu lemah. Diluar kehendak Agung Sedayu, orang itu tercekik mati. Mati? beberapa orang bertanya hampir berbareng. Bukan salah Agung Sedayu. berkata Ki Gede, Agung Sedayu terlalu perkasa, sementara

orang itu terlalu lemah. Lalu, dimana mayat itu sekarang? bertanya salah seorang dari para peronda.

Agar tidak menimbulkan persoalan, mayat itu sudah dikuburkan. Agung Sedayu tidak ingin persoalannya berkepanjangan. Jika hal itu didengar oleh kawan-kawan orang yang terbunuh itu, atau bahkan oleh perguruannya, mungkin persoalannya tidak aka n berhenti sampai sekian. Karena itu, mayat itupun dengan segera dikuburkannya. j awab Ki Gede. Para peronda itu mengangguk-angguk. Sementara Ki Gedepun berkata, Tetapi sudahlah . Jangan dikatakan kepada orang lain. Meskipun Agung Sedayu sendiri tidak akan g entar menghadapi siapapun, tetapi baginya lebih baik tidak ada lawan daripada ha rus membunuh lagi. Para peronda itu saling berpandangan sejenak. Sedangkan Ki Gede berkata lebih la njut, Aku hanya ingin mengurangi beban kegelisahan karena berita yang tiba-tiba i tu. Hanya kitalah yang mengetahuinya. Tidak ada orang yang menjawab. Sementara itu Ki Gedepun telah minta diri sambil bergumam, Ingat. Hanya kita yang tahu. Aku akan tidur di sisa malam ini. Ki Gedepun kemudian telah meninggalkan gardu itu. Dengan langkah yang lambat Ki Gede melintasi halaman dan naik kependapa. Sejenak kemudian maka pintu pring-git anpun terbuka, dan Ki Gedepun kemudian telah hilang dibalik pintu. Demikian Ki Gede hilang, maka di gardu itupun telah terjadi satu pembicaraan yan g ramai. Beberapa macam tanggapan telah terdengar. Namun sebagian besar diantara mereka justru semakin mengagumi Agung Sedayu. Keras tangannya melampaui palu besi. desis seseorang.

Orang yang mencoba keras kepala terhadapnya, maka ia akan mengalami kesulitan. Mu ngkin Agung Se-dayu tidak sengaja membunuhnya. Tetapi sentuhan tangannya memang dapat memecahkan tulang kepala. Tetapi seperti pesan Ki Gede, hanya kitalah yang mengetahui akan hal ini. berkata yang lain. Ya. Hanya kitalah yang mengetahui. jawab yang lain.

Namun ternyata bahwa yang terjadi adalah sebagaimana diharapkan oleh Ki Gede dan Agung Sedayu. Orang-orang yang ada digardu itu telah mengembangkan berita yang didengarnya, betapapun mereka berusaha untuk menahan diri. Anak-anak muda yang m eronda dan mendengar kisah Ki Gede, menganggap bahwa rahasia itu bukannya rahasi a yang sangat berat, sehingga harus benar-benar dipertahankan. Apalagi Ki Gede s endiri telah menceriterakannya. Meskipun demikian setiap anak muda yang menceriterakan kepada kawannya. ia selal u berpesan, Jangan kau katakan kepada orang lain. Dengan demikian maka berita tentang kecelakaan yang terjadi pada saat Agung Seda yu memeriksa seorang tawanan itupun telah tersebar. Disamping itu tersebar pula berita tentang dua orang yang melarikan diri dan seorang lagi yang terbunuh dite mpat kejadian oleh Glagah Putih. Agung Sedayu yang pada satu malam berada digardu bersama Glagah Putih dan bebera pa anak-anak muda menanggapi beberapa pertanyaan berkata, Sayang sekali bahwa ber ita itu telah tersebar. Tetapi hal itu sudah terlanjur sehingga tidak mungkin di cabut kembali. Semua orang sudah mendengar. Dan kalian harus memperhitungkan bah

wa kawan-kawan merekapun tentu telah mendengar pula. Karena itu, maka kita harus bersiaga sepenuhnya. Kemungkinan itu bukan hanya sekedar bayangan. Tetapi mungk in dapat terjadi. Namun dapat juga tidak terjadi, karena kawan-kawannya memperhi tungkan kesiagaan kita. Bagi kita, lebih baik tidak terjadi sesuatu daripada har us terjadi keributan yang akan dapat memberikan kesan ketidak tenangan di Tanah Perdikan ini. Karena itulah, maka lebih baik kita menunjukkan kesiapan kita untu k menyambut setiap usaha untuk membuat kegaduhan di Tanah Perdikan ini dengan ha rapan bahwa orang-orang yang berniat jahat itu akan mengurungkan niatnya. Anak-anak muda di Tanah Perdikan itu mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata, Baiklah. Kita akan selalu bersiaga. Tetapi jangan cemas. berkata Agung Sedayu, mereka bukan orang-orang pada tingkat ya ng terlalu tinggi. Jika kalian bersungguh-sungguh menghadapi mereka, maka kalian tentu akan berhasil. Sebenarnyalah, bahwa ceritera itu benar-benar telah tersebar. Dan sebagaimana di harapkan, maka berita itu telah sampai ketelinga seorang yang sangat diharapkan. Ampat orang yang seharusnya pergi ke Mataram telah terjerat oleh seekor kuda yang tegap dan tegar. Namun malang bagi mereka. Seorang telah terbunuh ditempat, seo rang mati dalam pemeriksaan dan dua orang yang lain telah melarikan diri. desis s eorang yang berjambang lebat. Gila. geram kawannya, tentu orang-orang tamak itu. Mereka ternyata tidak mampu meny elesaikan tugas mereka dengan baik. Orang berjambang lebat itu mengangguk-angguk. Namun wajahnya menjadi geram dan d engan nada berat ia berkata, Dua orang yang melarikan diri itu tidak kembali kepa da kita. Gila mereka. sahut kawannya, sebagian upah yang disepakati telah mereka terima. Sem entara itu kerja bukannya tidak selesai, tetapi sama sekali belum mulai dijamah. Orang berjambang itu menggeram. Katanya, Bagaimana jika kita menuntut kedua orang itu untuk melakukan kewajiban yang sudah disepakatinya atau mengembalikan upah yang sudah mereka terima. Kita hanya akan membuang-buang waktu saja. Kita dapat bekerja lebih cepat. Untung bahwa rahasia kita belum terbongkar. Agaknya orang yang tertangkap itu adalah o rang yang sangat tabah, sehingga sampai matipun ia tidak mengatakan sesuatu. jawa b kawannya. Bukan karena ketabahannya. berkata orang berjambang lebat itu, ternyata ia sangat l emah melampaui kelinci. Ditangan para pemimpin Tanah Perdikan, tulang-tulang ora ng itu terlalu lunak, sehingga sekali kepalanya disentuh, maka kepalanya telah p ecah, sebelum ia sempat membuka rahasia. Apapun yang terjadi, tetapi kita masih mempunyai kesempatan. Kita harus bekerja c epat. Kita harus tahu tentang istana itu serta liku-likunya. Baru kita akan mema sukinya. desis kawannya, kita harus mendapatkan orang yang dapat melakukannya, kar ena kita harus mempunyai gambaran tentang sudut-sudut istana itu sebelum kita se ndiri memasukinya. Orang berjambang lebat itu mengangguk-angguk. Katanya, Baiklah. Kita akan mulai l agi dari permulaan. Tetapi aku sependapat, bahwa kita harus melakukannya dengan cepat. Kita harus segera mendapat petunjuk tentang garis-garis bangunan yang ada didalam istana. Selanjutnya kita akan menyelesaikannya sendiri. Guru tentu akan dapat mengakhiri kesombongan Panembahan Senapati itu. Semua harus kita lakukan secepatnya. jawab kawannya, aku mempunyai hubungan dengan kelompok yang lain, yang mempunyai pengalaman yang memadai. Mereka adalah sekelo

mpok orang yang memiliki kemampuan sebagaimana keiompok yang telah gagal itu. Me reka terdiri dari beberapa orang pencuri kenamaan, yang bahkan ada diantara mere ka yang dianggap, sekali lagi hanya dianggap, mampu melenyapkan diri karena memp unyai Aji Panglimunan. Tetapi bagaimana sebenarnya? bertanya orang berjambang lebat itu.

Aku tidak tahu. Namun seandainya itu hanya sekedar anggapan, tentu bukannya tidak beralasan. Karena itu, maka mereka tentu mempunyai kelebihan. jawab kawannya. Baiklah. Aku percaya kepadamu. Tetapi sekali lagi aku menekankan pendapatmu sendi ri. Kita sebaiknya bekerja lebih cepat. Bukankah begitu? bertanya orang berjamban g lebat itu. Ya. Selagi keadaan masih memungkinkan. jawab kawannya. Lalu katanya pula, Jika kedu a orang yang melarikan diri itu pada suatu saat dapat ditangkap oleh orang-orang Tanah Perdikan atau oleh orang-orang Mataram, sengaja atau tidak sengaja, karen a mungkin ditangkap justru karena persoalan lain, namun merambat sampai pada sua tu pengakuan tentang tugas-tugas mereka, maka kita akan kehilangan kesempatan. Dengan demikian maka kedua orang itu telah memutuskan untuk mengupah orang lain, agar melakukan pekerjaan sebagaimana harus dilakukan oleh keempat orang yang ju stru telah terperosok kedalam kesulitan sehingga telah jatuh korban diantara mer eka, serta kegagalan mutlak dari pekerjaan mereka itu. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa baik para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh maupun para pemimpin Ma taram itu sendiri telah mengetahui bahkan menunggu kelanjutan rencana mereka. Dalam pada itu, selagi orang-orang itu berusaha untuk meneruskan usaha mereka, m aka di Tanah Perdikan Menoreh, anak-anak muda itu bersiaga bukan saja dimalam ha ri, tetapi juga disiang hari. Para pengawal Tanah Perdikan berpegangan kepada pe san Agung Sedayu bahwa mereka memang harus nampak bersiaga, sehingga dengan demi kian maka tidak akan terjadi usaha untuk membalas dendam dan kesengajaan seseora ng untuk menimbulkan keributan. Namun sementara itu, Glagah Putih yang selalu berada di tengah-tengah anak muda di Tanah Perdikan Menoreh, pada malam hari masih menyisihkan waktunya untuk mene mpa diri. Ia masih sering berada dipinggir sungai dan ditempat-tempat yang sepi. Glagah Putih tidak ingin terhenti pada tingkatnya itu. Jika pada kesempatan-kes empatan tertentu Kiai Jayaraga masih selalu membimbingnya, namun dimalam hari Ki ai Jayaraga lebih banyak melepaskan Glagah Putih untuk menentukan sendiri tempat dan waktu-waktu latihannya. Saat-saat yang demikian itulah yang ditunggu oleh Raden Rangga. Ia yakin bahwa p ada satu malam ia akan dapat bertemu dengan Glagah Putih. Sebenarnyalah, ketika Glagah Putih sudah siap untuk berlatih ditepian sungai seb agaimana sering dilakukannya, maka tiba-tiba saja terdengar suara di kegelapan, K au terlalu rajin Glagah Putih. Sekali-sekali beristirahatlah, agar kau tidak men jadi terlalu cepat tua. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun segera menyadari bahwa Raden Ran gga telah hadir pula ditempat itu. Karena itu, maka iapun telah menarik nafas da lam-dalam sambil berdesis, Marilah Raden. Mungkin sudah agak lama kita tidak berl atih bersama. Tetapi Raden Rangga tertawa. Katanya, Aku tidak ingin berlatih hari ini. O, jika demikian, marilah. Mungkin Raden ingin berceritera tentang kuda-kuda Rade n? bertanya Glagah Putih. Aku tidak akan berceritera. Aku akan minta kau berceritera. jawab Raden Rangga, beb erapa malam aku tidak dapat tidur karena satu keinginan untuk mengetahui ceriter

amu. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ia tidak segera mengerti maksud Raden Rangga . Namun mereka berduapun kemudian telah duduk diatas batu ditepian. Cerita apa yang Raden maksudkan? bertanya Glagah Putih.

Ceritera tentang kedatangan Agung Sedayu ke Mataram bersama Kiai Jayaraga dan seo rang yang tidak aku kenal. jawab Raden Rangga. O Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, era kepada Raden? Apakah kakang Agung Sedayu tidak bercerit jawab Raden R

Aku tidak sempat menemuinya setelah Agung Sedayu menghadap ayahanda. angga.

Glagah Putih termangu-mangu. Ia memang agak ragu-ragu, apakah ia dapat bercerite ra kepada Raden Rangga. Namur Raden Rangga kemudian mendesaknya, Glagah Putih, ak u menyadari bahwa yang disampaikan kepada ayahanda tentu sesuatu yang rahasia ya ng menyangkut keselamatan ayahanda. Namun justru aku ingin tahu, batas-batas yan g manakah yang tidak boleh diketahui oleh orang banyak. Atau langkah-langkah yan g manakah yang boleh aku lakukan atau tidak boleh aku lakukan. Beberapa kali aku sudah dianggap melakukan kesalahan karena ketidak tahuanku, atau justru aku mem punyai niat yang baik. Sejenak Glagah Putih merenung. Namun kemudian katanya, Raden. Aku sendiri tidak t erlalu banyak mengetahui. Tetapi menurut kakang Agung Sedayu, diharapkan apakah Mataram atau Tanah Perdikan ini akan mendapat sedikit keterangan tentang usaha s eseorang atau sekelompok orang untuk berbuat tidak wajar terhadap ayahanda Raden . Seorang yang telah kami tangkap telah mengungkapkan hal itu. Orang itu telah dibawa Agung Sedayu ke Mataram. Begitu? bertanya Raden Rangga pula . Ya Raden. jawab Glagah Putih. Apa yang dapat aku ketahui tentang hal itu. bertanya Raden Rangga. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menganggap bahwa Raden Rangga adalah putera Panembahan Senapati yang perlu mengetahui serba sedikit. T etapi ia masih juga bertanya, Apakah Raden sama sekali tidak mengetahui tentang o rang yang dibawa oleh kakang Agung Sedayu ke Mataram? Serba sedikit. jawab Raden Rangga, sepeninggal Agung Sedayu aku mendapat pesan dari ayahanda, bahwa aku harus merahasiakan kehadiran orang itu. Dan kami, orang-ora ng Mataram harus berbuat seolah-olah tidak mengetahui apa-apa dan membiarkan seg ala sesuatunya terjadi. Membiarkan sesuatunya terjadi bagaimana maksud Raden? justru Glagah Putih yang ber tanya. Jangan terlalu bodoh. sahut Raden Rangga, bukankah kita ingin menjebak orang itu.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun iapun tidak ragu-ragu lagi untuk mencerite rakan tentang orang yang ditangkap itu, serta usaha Agung Sedayu untuk mengelabu i orang yang mengupah mereka. Raden Rangga mendengarkannya, dengan sungguh-sungguh. Sambil mengangguk-angguk i apun berkata, Kau telah melengkapi keterangan ayahanda tentang orang itu. Aku men dapat gambaran yang jelas sekarang, bahwa seseorang atau sekelompok orang bernia t buruk. Sementara itu kita berniat untuk menjebak mereka dan mengetahui latar b elakang dari rencana mereka. Apakah mereka mendendam, atau ada hubungannya denga

n perkembangan wilayah Mataram atau kepentingan-kepentingan yang lain. Ya, begitulah kira-kira. jawab Glagah Putih.

Baiklah. berkata Raden Rangga, aku harus menyesuaikan diri. Seandainya orang yang b erniat buruk itu meneruskan niatnya dan mengupah orang lain untuk mengetahui kea daan istana ayahanda, maka kita harus membiarkannya. Baru kemudian jika orang ya ng benar-benar berniat buruk itu datang, ayahanda akan menemuinya. Glagah Putih mengangguk-angguk, sementara Raden Rangga berkata, Agaknya Agung Sed ayu sudah berhasil menciptakan suasana yang dikehendaki. Seolah-olah baik Tanah Perdikan Menoreh, maupun Mataram belum mengetahuinya. Begitulah. sahut Glagah Putih.

Raden Rangga tersenyum. Kemudian katanya, Baiklah. Aku kira ceritera yang ingin a ku dengar sudah cukup. Aku akan dapat tidur nyenyak malam nanti. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Raden Rangga yang memandangi wajahnya tersen yum. Katanya, Kau tidak mau lagi tidur di bilikku atau disanggarku? Kenapa tidak? bertanya Glagah Putih, lain kali aku akan tidur di sanggar Raden. Aku bahkan ingin dapat melakukan latihan sebagaimana Raden lakukan. Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menggeleng, Sudah aku k atakan beberapa kali. Jangan. Kau harus merebut ilmu dengan usaha dan kerja kera s. Dengan demikian maka ilmu itu benar-benar akan menjadi milikmu. Bukan sekedar mendapat pinjaman yang sewaktu-waktu akan dapat ditarik kembali. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berusaha untuk meyakini ketera ngan Raden Rangga itu. Karena itu maka katanya kemudian, Aku mengerti Raden. Dan aku memang melakukannya. Bagus. berkata Raden Rangga. Lalu, Nah, sekarang kau tentu akan melakukannya pula. Aku kira kepentinganku sudah cukup. Kau akan mulai berlatih lagi. Tetapi ingat, meskipun kau harus merebut ilmu dengan bekerja keras, bukan hanya sekedar bermim pi, namun jangan terlalu memaksa diri agar kau tidak terlalu cepat tua. Ah desah Glagah Putih. Raden Rangga tertawa. Iapun kemudian bangkit. Sambil menepu k bahu Glagah Putih iapun berkata Kau harus dapat menyamai bahkan melampaui kemam puan kakak sepupumu, Agung Sedayu. Pada umurmu sebagaimana Agung Sedayu sekarang , kau harus sudah mampu melakukan sesuatu yang lebih berarti bagi kampung halama nmu, bagi Tanah Perdikanmu dan bagi negerimu, Mataram. Glagah Putih mengangguk kecil. Dengan nada datar ia berkata udah-mudahan aku dapat berbuat sesuatu. Aku akan berusaha. M

Tentu jawab Raden Rangga kau mempunyai banyak kesempatan. Tanah Perdikan Menoreh sudah nampak semakin maju sejak Agung Sedayu berada di sini. Tetapi agaknya Kade mangan Besar Sangkal Putung masih lebih baik dilihat dari segi penghasilannya. S awahnya dan pate-galannya yang subur menghasilkan kesejahteraan yang tinggi bagi penghuni Kademangan itu. Swandaru bekerja keras untuk menjadikan Kademangannya semakin baik. Letak Sangkal Putung memang lebih baik dari Tanah Perdikan ini Raden. Disamping tanah datar, daerah ini mempunyai tanah miring di lereng-lereng pegunungan serta ndataran yang berbatu padas. jawab Glagah Putih. Itu adalah tantangan jawab Raden Rangga bagaimana kalian dapat memanfaatkan tana h miring itu. Bukankah dibeberapa bagian dari Tanah Perdikan ini telah berhasil

dibuat ladang bersusun? Bahkan Agung Sedayu sudah berusaha untuk menguasai air d ipebukitan untuk dialirkan ke sawah bersusun yang baru digarap? Ya. Kami memang sedang mempersiapkannya jawab Glagah Putih.

Kau mendapat kesempatan lebih banyak. Lakukan, agar kau benar-benar memberikan a rti bagi hidupmu. berkata Raden Rangga jangan menyia-nyiakan waktumu seperti yan g aku lakukan. Aku memiliki kelebihan, tetapi tidak memberikan keuntungan apa-ap a bagi Mataram. Setiap aku melakukan sesuatu dengan niat yang baik, aku justru m elakukan kesalahan. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia melihat Raden Rangga menund uk sambil berdesis Kau mempunyai kesempatan lebih baik dari aku Glagah Putih. Da n kau mempunyai waktu lebih banyak dari aku. Tidak Raden sahut Glagah Putih bersungguh-sungguh Raden masih muda. Masih sangat muda. Lebih muda dari aku, meskipun kadang-kadang Raden bersikap seperti seoran g dewasa penuh. Waktu masih panjang. Apalagi Raden melihat diri Raden sendiri de ngan tepat, sehingga untuk masa mendatang, Raden dapat mengambil langkah-langkah sebagaimana Raden kehendaki. Selama ini Raden memang banyak kehilangan waktu ji ka Raden menuruti keinginan Raden yang kekanak-kanakan. Itulah wajahku jawab Raden Rangga dan kau sudah melihatnya dari sisi-sisinya. Pa da saat aku menyadari sepenuhnya, maka aku telah terlambat. Apa yang terlambat? bertanya Glagah Putih.

Namun tiba-tiba saja Raden Rangga mengangkat wajahnya. Iapun kemudian tertawa sa mbil berkata Ah, aku telah bermimpi lagi. Sudahlah, aku akan kembali. Aku akan t idur nyenyak. Besok aku akan melatih seekor kudaku yang baru, yang nampaknya ter lalu dungu meskipun tubuhnya tegap tegar dan warnanya yang putih sangat menarik. Kuda yang Raden berikan kepadaku, agaknya menjadi kerasan di kandangku yang sebe narnya terlalu rendah bagi kuda itu. Tetapi kuda itu sama sekali tidak nampak ge lisah. Bukankah kuda itu kadang-kadang kau bawa keluar juga? bertanya Raden Rangga.

Ya. Sekali-sekali aku bawa keliling Tanah Perdikan sekaligus untuk membanggakanny a kepada kawan-kawan sahut Glagah Putih bahkan aku telah diambil oleh orangorang itu selagi aku menunggang kuda itu pula. Bagus berkata Raden Rangga njadi murung dan gelisah. jangan kau simpan saja kuda itu dikandang. Ia akan me jawab Glaga

Kuda itu telah membuat anak-anak muda Tanah Perdikan ini menjadi iri h Putih.

Raden Ranggapun tertawa. Kemudian katanya Ah sudahlah. Aku terlibat lagi dalam p embicaraan yang panjang. Sudah berapa kali aku minta diri? Glagah Putihpun tertawa pula. Jawabnya Belum tiga kali. berkata Rade

Jangan mulai lagi dengan pembicaraan. Aku benar-benar akan kembali. n Rangga.

Raden Rangga tidak menunggu jawaban. Iapun segera meloncat meninggalkan Glagah P utih yang termangu-mangu. Namun ketika Raden Rangga itu akan meloncat naik tebin g, ia sempat berhenti dan bertanya Dimana ikat pinggangmu?

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia hanya menyingkapkan baju dan menunjuk ika t pinggang yang dipakainya. Raden Rangga mengacungkan ibu jarinya. Namun kemudia n iapun telah meloncat naik keatas tebing dan hilang di balik tanggul di kereman gan malam. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat sesuatu yang bergejolak didal am dada anak muda yang memiliki banyak kelebihan itu, serta yang memiliki sikap rangkap dan sulit untuk dimengerti. Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun k emudian iapun berkata didalam hatinya Mudah-mudahan ia menemukan jalan yang pali ng baik yang dapat ditempuhnya. Glagah Putihpun kemudian menengadahkan wajahnya melihat bintang-bintang yang ber gayutan dilangit. Agaknya masih ada waktu baginya untuk berlatih barang sebentar . Namun yang sebentar itu akan dapat melemaskan urat-urat nadinya. Karena itu, maka Glagah Putihpun telah membuka bajunya menyingsingkan kain panja ngnya dan sejenak kemudian mulailah ia berlatih diatas pasir. Dari gerak-gerak y ang lambat semakin lama menjadi semakin cepat, sehingga keringatpun telah mengal ir dipermukaan kulitnya. Beberapa saat kemudian, maka Glagah Putihpun telah mele pas ikat pinggang yang diterimanya dari Ki Mandaraka. Dengan kemampuannya yang t inggi, ia telah memutar ikat pinggang itu dan kemudian mengayunkan mendatar, teg ak dan sekali-sekali dengan kekuatan khusus mematuk lurus kedepan. Pada puncakny a maka Glagah Putihpun telah mengerahkan segenap kekuatan ilmunya yang disalurka nnya lewat ikat pinggangnya itu. Dengan loncatan panjang ia mendekat sebongkah b atu padas. Diayunkannya ikat pinggang itu. Dan sejenak kemudian maka batu padas itupun pecah berserakan. Glagah Putihpun kemudian meloncat surut. Sambil menarik nafas dalam-dalam iapun mengangkat kedua tangannya perlahan-lahan. Beberapa kali untuk mengendapkan pern afasannya. Sesaat Glagah Putihpun kemudian berdiri termangumangu. Diamatinya batu padas yan g telah pecah berserakan. Pada saat-saat ia merenungi pecahan-pecahan batu padas itu, terngiang kembali kata-kata Raden Rangga Kau mendapat kesempatan lebih bany ak. Lakukan, agar kau benar-benar memberikan arti bagi hidupmu. Glagah Putih itu merenung sesaat. Merenungi dirinya sendiri. Bahkan sebuah perta nyaan telah menggelitiknya Apa yang telah aku lakukan bagi Tanah Perdikan Menore h dan bagi Mataram? Sekilas dikenangnya tempat kelahirannya. Banyu Asri. Bahkan sebuah pertanyaan te lah timbul pula didalam dirinya Kenapa aku tidak melakukannya bagi Banyu Asri? Tetapi pertanyaan itu dijawabnya sendiri Aku telah melakukannya bagi Mataram dim anapun aku tinggal. Banyu Asri atau Tanah Perdikan Menoreh adalah keluarga besar dari induk yang sama, Mataram. Bukankah tidak ada bedanya? Hampir diluar sadarnya Glagah Putih menengadahkan wajahnya. Dilihatnya bintang-b intang yang sudah bergeser agak jauh ke Barat. Ternyata Glagah Putih telah cukup lama berada di tepian yang sepi itu. Selain berlatih, Glagah Putih juga berbinc ang dengan Raden Rangga sehingga agak melupakan waktu. Sejenak Glagah Putih berb enah diri. Setelah mencuci mukanya serta kaki dan tangannya, maka Glagah Putihpu n kemudian meloncat ketebing, dan naik keatas tanggul. Udara terasa segar dimalam hari setelah keringatnya membasahi seluruh tubuhnya. Perlahan-lahan Glagah Putih menyusuri pematang menuju kepadukuhan induk. Namun k etika ia melihat sebuah padukuhan yang berada beberapa puluh tonggak dari jalan yang kemudian dilaluinya, ia tertegun. Dilihatnya obor yang menyala di gardu dis udut padukuhan itu, sehingga iapun tertarik untuk singgah barang sejenak.

Beberapa orang anak muda berada digardu itu. Ketika mereka melihat Glagah Putih, maka dua orang hampir berbareng menyapanya Glagah Putih. Glagah Putih tersenyum. Marilah berkata salah seorang diantara para peronda itu t ketela pohon yang kami rebus dengan santan. Masih hangat. Kebetulan sekali t pula? sahut Glagah Putih baru saja kami mengangka

tetapi apakah kalian mempunyai minuman hanga wedang jae gula kelapa. Atau kau ingin

Tentu jawab salah seorang diantara mereka minum beras kencur? Pakai telur? Glagah Putih tertawa. Jawabnya itung harganya.

Tidak. Jika aku mau besok kau datang sambil mengh

Anak-anak muda di gardu itu tertawa. Namun Glagah Putih ternyata tidak terlalu l ama berada di gardu itu. Ia memang meneguk wedang jae hangat segar serta mengamb il sepotong ketela rebus. Tetapi sejenak kemudian iapun minta diri. Kenapa tergesa-gesa? bertanya anak-anak muda digardu itu.

Aku akan nganglang. Aku akan singgah digardu yang lain. Di sini aku mendapat ket ela rebus dan wedang jae. Mungkin digardu lain aku akan mendapatkan jagung bakar dan wedang sere. Jika aku singgah di ampat atau lima gardu, maka besok aku tida k perlu makan pagi. Anak-anak muda itupun tertawa pula, sementara itu Glagah Putihpun telah meningga lkan mereka dan kembali memasuki kegelapan. Tetapi Glagah Putih tidak singgah la gi digardu-gardu sebagaimana dikatakan, la langsung pulang kerumah dan tidur nye nyak. Ketika pembantu rumah itu membangunkannya dan mengajaknya membuka pliridan Glagah Putih berdesis Kepalaku pening. Pergilah sendiri. Kau memang malas. Sejak sore kau sudah tidur anak itu bergeremang. Glagah Putih tidak menghiraukannya. Anak itu memang tidak melihat bahwa Glagah Putih pergi se telah gelap dan belum lama kembali kedalam biliknya, karena Agung Sedayulah yang , membuka pintu untuknya. Namun anak itu keluar juga lewat pintu butulan untuk m engambil wuwu dan kepis di sudut rumah. Kemudian memasuki kegelapan menuju ke su ngai. Dalam pada itu, di Mataram, Panembahan Senapati telah memerintahkan kepada pangl ima pasukan pengawal khusus serta para pelayan dalam perintah rahasia, bahwa mer eka harus menyesuaikan diri dengan rencananya yang sudah disetujui bersama denga n Agung Sedayu. Para pengawal khusus dan pelayan dalam, harus berbuat seolah-ola h tidak mengetahui apabila seseorang melihat-lihat keadaan istana itu. Mereka ha rus mengamatinya dari jauh dan tidak berusaha untuk menangkap mereka Bagaimana jika mereka menuju ke bilik peraduan Panembahan? yan Dalam. mungkin mereka bermaksud buruk. bertanya seorang Pela

Agaknya memang demikian. Tetapi aku akan berusaha untuk menjaga diriku sendiri. Agaknya seseorang akan sulit untuk memasuki bilikku. jawab Panembahan meskipun dem ikian tetapi jika kau anggap keadaan sangat berbahaya, maka kau akan dapat menga mbil langkah-langkah yang perlu. Kenapa kita tidak menangkapnya saja Panembahan bertanya Panglima pasukan khusus bukankah mereka akan dapat memberikan keterangan tentang orang yang mengupah mer eka?

Jika mereka bersedia mau untuk itu, maka kita tidak akan sampai kesasaran Panembahan Senapati.

jawab

Panglima Pasukan Khusus itu termangu-mangu. Sementara itu, Panembahan Senapati m enjelaskan Mungkin kita akan lebih mudah menangkap orang yang mendapat perintah untuk melihat-lihat keadaan yang akan menjadi semacam petunjuk jalan bagi orangorang yang sebenarnya. Tetapi mereka tidak mengetahui pasti, apakah maksud orang -orang yang mengupahnya. Apalagi jika orang-orang itu bertekad untuk tidak membe rikan keterangan sampai mati karena orang-orang yang mengupah itu mungkin mengan camnya. Mungkin keluarganya yang dipergunakan sebagai tanggungan, mungkin anak i sterinya yang ditinggalkan sehingga orang-orang upahan itu benar-benar akan diam . Panglima Pasukan Khusus itu mengangguk-angguk Namun demikian iapun masih berkata Tetapi Panembahan. Jika orang yang mengupah itulah yang kemudian datang, tentu mereka adalah orang-orang yang benar-benar tangguh. Orang itu tentu sudah menden gar serba sedikit tentang Panembahan Senapati. Karena itu tanpa merasa dirinya m empunyai bekal yang memadai, maka mereka tidak akan berani memasuki istana ini. Apalagi orang itu tentu mengetahui bahwa disekitar Panembahan itu terdapat para pengawal. Itulah yang menarik berkata Panembahan Senapati sambil tersenyum aku justru dige litik oleh perasaan ingin tahu, siapakah orang itu, sehingga aku ingin meneriman ya langsung sebagimana dikehendaki oleh orang itu. Panglima Pasukan Khusus itu mengangguk-angguk. Tetapi iapun berkata dengan raguragu Kami siap melakukan segala perintah. Langkah yang Panembahan ambil itu adal ah langkah yang sangat berbahaya. Meskipun hamba tahu bahwa Panembahan telah mem perhitungkan segala sesuatunya serta Panembahan sendiri mempunyai perisai yang k okoh kuat. Panembahan Senapati tersenyum. Katanya Terima kasih atas kesetiaan kalian. Meman g mungkin dalam keadaan yang sulit aku memerlukan kalian. Aku sadar, bahwa orang yang ingin memasuki istana ini tentu orang yang memiliki ilmu linuwih. Justru k arena itu aku ingin tahu latar belakang dari langkah-langkah yang diambilnya itu . Panglima Pasukan Khusus itupun kemudian berkata Hamba dan seluruh prajurit dalam Pasukan Khusus akan melakukan perintah Panembahan sebaik-baiknya. Terima kasih. Mudah-mudahan kita berhasil sahut Panembahan Senapati.

Dengan demikian, maka pasukan yang bertugas dilingkungan dalam istana telah mene rima perintah Panembahan Senapati. Sebagai prajurit pilihan maka perintah itu te tap merupakan rahasia. Tidak ada orang lain, bahkan prajurit Mataram dari kesatu an lain yang tidak bertanggung jawab pada bagian dalam istana itupun tidak menge tahui isi perintah itu. Karena itulah, maka sama sekali tidak nampak perubahan-perubahan dalam tata kesi agaan para prajurit dari Pasukan Khusus dan Pelayan Dalam. Mereka melakukan tuga s mereka sebagaimana biasa mereka lakukan. Tidak ada perubahanperubahan yang men arik perhatian meskipun sebenarnya pasukan khusus telah menyiapkan jaring-jaring pengawasan yang ketat. Demikian pula para Pelayan Dalam dilingkungan dalam istana. Dalam pada itu, baik di Tanah Perdikan Menoreh, maupun di Mataram, rahasia tenta ng orang-orang yang berniat buruk itu masih tetap tertutup rapat. Orang-orang ya ng memang berniat buruk itu masih tetap belum mengetahui bahwa Mataram telah men unggu kedatangan mereka.

Karena itulah, maka orang-orang yang ingin memasuki istana Mataram itu telah ber hubungan lagi dengan kelompok baru yang dianggapnya memiliki kemampuan yang sama , bahkan lebih baik dari kelompok yang gagal melakukan tugas mereka. Kami tidak ingin kalian berbuat sesuatu berkata orang yang ingin mengupah itu lian hanya melihat-lihat keadaan dihalaman istana. Kalian nantinya tidak lebih d ari penunjuk jalan. Di sebelah mana kami harus meloncat masuk, dan kesebelan man a kami harus berjalan menuju ke bilik khusus Panembahan Senapati. Apa yang akan terjadi kelak adalah tanggung jawab kami. Bukan satu pekerjaan yang sulit bagi kami berkata pemimpin dari lima orang yang berada dalam satu kelompok kami akan segera dapat memberikan keterangan itu. Kami sudah terbiasa memasuki rumah yang berpagar rapat. Tetapi tidak berpengawal lengkap seperti istana Mataram pah. berkata orang yang mengu Ka

Kami tahu, kemana kami harus menyusup. Kami akan dapat mengetahui tempat-tempat yang tidak ditunggui oleh prajurit-prajurit Mataram yang kami sadari memiliki il mu yang tinggi. Itulah sebabnya kami tidak akan mempergunakan ilmu sirep. berkat a pemimpin kelompok orang-orang yang diupah. Kenapa dengan ilmu sirep? bertanya orang yang mengupah.

Ilmu sirep sama sekali tidak menguntungkan bagi kami dilingkungan para prajurit Mataram. Ilmu itu justru akan menarik perhatian. Sebagian dari para prajurit Mat aram yang bertugas disetiap malam tentu mampu menghindarkan diri dari kekuatan s irep, sehingga mereka justru akan mencari sumber dari ilmu sirep itu dan selebih nya mereka akan bersiaga sepenuhnya untuk menangkap kami. Orang yang mengupah itu tersenyum. Katanya Otakmu cukup cermat mengurai keadaan. Terserah kepadamu. Kami hanya memerlukan pengenalan tempat itu sebaik-baiknya, s ehingga pada saatnya kami tidak akan tersesat atau harus mencari-cari Lagi, dima nakah letak bilik Panembahan Senapati. Tetapi bilik itu tentu dijaga desis orang yang diupah.

Aku tahu jawab yang mengupah tetapi itu persoalan kami. Bukan persoalanmu. Yang menjadi tugasmu adalah mengenali bentuk dan gambaran dari bilik itu serta letak para penjaganya. Nah, bukankah tugasmu tidak terlalu berat. Upah kalian sebenarn ya terlalu banyak. Tetapi karena kami ingin cepat selesai, maka kami tidak berke beratan. Orang-orang yang diupah itupun mengangguk-angguk. Merekapun kemudian tidak banya k mempedulikan niat apapun dari orang-orang yang mengupah mereka, Mereka akan me lakukan tugas mereka sebaik-baiknya tanpa ada hubungannya dengan maksud yang seb enarnya dari orang-orang yang mengupahnya. Aku tidak peduli apa saja yang akan mereka lakukan berkata pemimpin kelompok itu kepada kawan-kawannya yang penting bagi kita, menerima uang upahnya yang cukup banyak. Tetapi sudah tentu bukan tugas yang ringan jawab kawannya bahkan mereka mengangg ap upahnya terlalu banyak. Padahal kita akan mempertaruhkan nyawa kita Kenapa kau hiraukan kata-katanya Pokoknya upah itu dipenuhi. jawab pemimpinnya aku tidak peduli anggapannya.

Kawannya mengangguk-angguk kecil. Gumamnya

Ya. Upah itu dipenuhi.

Seperti yang terdahulu maka sebagian dari upah itupun telah diberikan kepada kel ompok yang akan melakukan pengintaian itu, sedangkan sisanya akan diberikan jika tugas mereka telah selesai. Dengan loncatan panjang ia mendekati sebongkah pada s. Diayunkannya ikat pinggang itu. Dan sejenak i diaymaka batu padas itupun peca h berserakan. Demikianlah, hari-hari yang telah dipilih oleh sekelompok orang itupun telah dat ang. Mereka tidak lagi menyia-nyiakan waktu Jika tugas mereka cepat selesai, mak a merekapun akan segera menerima sisa upah mereka. Tidak seperti kelompok yang t erdahulu, yang terjerat oleh tegarnya kuda Glagah Putih, maka kelompok itu telah menuju ke Mataram tanpa hambatan. Namun seperti yang terdahulu, mereka memasuki lingkungan Mataram dari arah Barat, menyeberangi Kali Praga. Kemudian melalui j alan-jalan yang semakin ramai menuju ke pusat pemerintahan tanpa menarik perhati an. Apalagi orang-orang dalam kelompok itu tidak berjalan bersama-sama. Tetapi m ereka telah membagi diri menjadi dua kelompok yang lebih kecil. Sekelompok terdi ri dari dua orang, sementara kelompok yang lain terdiri dari tiga orang. Namun m ereka telah menentukan tempat-tempat dimana mereka akan bertemu. Aku sudah memberitahukan kepada kakang Pasak, bahwa selama kita berada di Matara m, kita akan bermalam dirumahnya. berkata pemimpin kelompok itu. Karena itu, mesk ipun mereka tidak bersama-sama menuju ke Mataram, namun mereka tahu dimana merek a dapat bertemu dan berkumpul. Bahkan mereka telah mempunyai landasan untuk menj alankan tugas mereka selama mereka berada di Mataram. Orang yang disebut Pasak itupun memang seorang yang bersedia bekerja untuk kepen tingan apa saja,.asal upahnya memadai. Demikian juga dengan kelompok orang-orang yang akan melihat-lihat keadaan istana itupun, Pasak telah bersedia bekerja sam a. Pekerjaan kalian adalah pekerjaan yang sangat mudah berkata Pasak.

Ternyata kau beranggapan sebagaimana anggapan orang-orang yang mengupah kami. Me masuki halaman istana, melihat-lihat, lalu selesai. Mereka dan juga kau tidak me mperhitungkan taruhannya jika seorang atau lebih penjaga yang cukup banyak itu m elihat kami. Jangan dungu berkata Pasak suruh mereka tidur.

Nah, bukankah jalan pikiranmu tepat seperti jalan pikiran orang-orang yang mengu pah kami jawab pemimpin kelompok itu kaupun dungu seperti mereka. Sirep akan cep at menarik perhatian, karena kemampuan ilmu sirep yang betapapun tajamnya tidak akan mampu menguasai para perwira di Mataram Yang tidur akan tidur. Tetapi yang tidak tidur akan segera tahu. bahwa istana itu telah disentuh oleh ilmu sirep. D engan demikian mereka akan menjadi lebih berhati-hati dan pengawasanpun akan dip erketat. Pasak tertawa. Katanya Ya. Aku mengerti. Kalian ternyata cukup cerdas. Jadi deng an demikian maka kalian akan memasuki lingkungan istana dengan wantah. n. Ya. Justru itulah maka tugas kami bukan tugas yang mudah seperti yang kau kataka jawab pemimpin kelompok itu.

Kapan kau akan melakukannya? bertanya Pasak. Dua hari lagi. Malam ini dan besok siang kami akan melihat-lihat keadaan di sekeliling istana. Sudah beberapa kali kami melihat istana itu. Tetapi kami belum pernah memperhatikannya dengan sunggu h-sungguh. Disore hari kami akan mencoba untuk masuk kedalam istana itu. Besok sore? bertanya Pasak maksudmu malam hari? Seorang kawanku bekerja didalam istana it

Pemimpin kelompok itu tertawa. Katanya

u. Ia adalah seorang undagi. Aku akan menemuinya tanpa menyeretnya kedalam tugas ini. Ia bekerja didalam lingkungan istana? bertanya Pasak.

Ya. Ia memang undagi yang bekerja diistana. Ia memiliki kepandaian dan ketrampil an yang tinggi untuk mengolah kayu. Ia mendapat kepercayaan bersama dua orang ka wannya untuk memelihara bagian belakang istana. Aku hampir melupakannya sebelumn ya Tetapi tugas ini telah mengingatkan aku kembali kepadanya. berkata pemimpin k elompok itu. Pasak mengangguk-angguk. Katanya Baiklah. Mudahmudahan kau berhasil. Tetapi jika kau berada dirumahku lebih dari lima malam, maka kau tentu mengerti, bahwa uang yang kau janjikan harus ditambah. Persetan kau geram pemimpin kelompok itu. Pasak tertawa. Katanya ran kalian bukan merupakan bencana bagi ketenangan hidup keluargaku? Kau kira kehadi

Aku mengerti jawab pemimpin kelompok itu karena itu, kami sudah memberikan bagia n dari upah yang kami terima kepadamu. Tetapi tentu dengan pertimbangan bahwa ba haya yang mungkin kau hadapi bukan, apa-apa dibandingkan dengan bahaya yang mung kin akan kami tempuh. Kami harus mempertaruhkan nyawa kami. Tetapi tidak dengan kau. Pasak masih tertawa. Katanya Tetapi jika diketahui bahwa aku membantu kalian, ma ka bahaya itu tidak akan berbeda. Tetapi pemimpin kelompok itu tertawa. Katanya Jangan mencoba mengelabuhi kami. K au tentu akan dapat ingkar, karena kau tidak ikut berbuat sesuatu. Tetapi tentu tidak mungkin kami lakukan, seandainya kami diketahui langsung pada saat kami se dang melakukan tugas kami dan berada didalam halaman istana. Pasak menarik nafas dalam-dalam. Katanya Baiklah. Apa saja yang kau katakan. Tet api jangan lebih dari lima malam. Semakin lama kau berada dirumahku, maka ketena ngan keluargaku semakin terancam. Baik Aku setuju. Jika aku berada dirumahmu lebih dari lima malam, aku akan menam bah uang sebagaimana kita bicarakan. Tetapi jika kurang dari ampat malam, maka j umlah itupun akan dikurangi. Ah desak Pasak jangan begitu. Yang kita bicarakan hanya jika lebih dari waktu ya ng sudah ditentukan. Jika kurang, maka kau akan dapat menggenapinya. Pemimpin kelompok itulah yang kemudian tertawa sambil berkata ak. Kita sudah sering bekerja bersama. Jangan memeras Pas

Pasak termangu-mangu. Namun iapun kemudian tertawajuga. Demikianlah maka rumah P asak itupun telah menjadi alas kelima orang yang mendapat upah untuk mengamati k eadaan di lingkungan istana Mataram. Dari rumah itulah kelima orang itu akan mel akukan tugas mereka. Seperti yang direncanakan, maka kelompok itupun telah melak ukan pekerjaan mereka dalam tahap-tahap sebagaimana mereka rencanakan. Ketika malam turun, maka kelima orang itupun telah bersiap-siap untuk melihat-li hat di bagian luar dinding istana. Mereka akan memperhatikan setiap tempat dan g ardu penjagaan. Justru karena keadaan Mataram yang tenang itulah, maka kelima orang itu dapat me lakukan tugasnya dengan baik. Ketika mereka seorang-seorang berjalan di sekitar dinding istana, tidak seorangpun yang mencurigainya. Demikian juga dihari beriku tnya. Apalagi disiang hari. Dengan demikian, maka orang-orang itu telah melihat

tempat-tempat serta gardu-gardu para prajurit yang bertugas dibagian luar. Disore harinya dua orang diantara mereka telah berusaha memasuki istana. Mereka masuk lewat pintu butulan dan minta ijin kepada para prajurit yang bertugas untu k menemui saudara mereka yang menjadi undagi dan tinggal di bagian belakang ista na itu. Cobalah kau tanyakan kepada para pekerja yang memang mendapat tempat di bagian b elakang istana jawab prajurit di regol butulan ada beberapa orang mendapat tempa t disana. Menurut pengertianku, disana tinggal beberapa orang pekatik, undagi, g amel, juru madaran dan juru taman. Mungkin masih ada yang lain. Terima kasih jawab pemimpin kelompok yang mendapat upah untuk melihat-lihat kead aan istana itu. Kami akan mencarinya. Kesempatan itu memang diharapkan. Dengan demikian maka pemimpin kelompok yang di upah untuk melihat-lihat keadaan istana itu mendapat kesempatan untuk berjalan b erkeliling halaman. Ia akan dapat berjalan dan melihat-lihat kemana saja dihalam an istana. Jika prajurit penjaga istana itu melihat dan menegurnya, maka ia akan dapat mempergunakan kesempatan yang diberikan oleh prajurit penjaga regol butul an itu sebagai alasan. Karena ia belum tabu tempat orang yang dicarinya maka ia telah memasuki lingkungan yang mungkin terlarang. Dengan demikian, maka beberapa bagian dari halaman istana itu sudah dilihatnya. Beberapa sudut yang dirasa aman telah diingatnya. Sementara itu, maka bagian dal am halaman itupun diamatinya dengan saksama. Sebenarnyalah sebagaimana diperkira kan, bahwa dua orang prajurit yang nganglang telah melihat mereka berdua. Dengan serta merta prajurit itu menghentikan keduanya dan bertanya an cari disini ? Pemimpin kelompok itupun menjawab sambil membungkuk hormat ng mencari saudara kami yang menjadi undagi di istana ini. Apa yang kali

Ampun tuan. Kami seda

O prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian kau salah jalan. Kau harus men gikuti dinding dalam istana itumenuju kebelakang. Di bagian belakang ada sebuah seketheng. Nah, kau masuk keseketheng dan dibagian samping terdapat sebuah bangu nan.Disitu memang ada beberapa orang pekerja yang tinggal. Mungkin saudaramu ada disana. Tetapi tempat itu bukan merupakan tempat tinggal tetap. Terima kasih sahut pemimpin kelompok itu sambil membungkuk pula. Untuk tidak men arik perhatian, maka kedua orang itupun telah pergi ketempat yang ditunjukkan. S ebenarnyalah kedua orang itu telah menemukan orang yang mereka cari. Undagi itu terkejut. Ia sama sekali tidak menduga bahwa seorang kawannya telah mencarinya d i tempat pekerjaannya. Marilah undagi itu mempersilahkan tetapi tidak ada tempat yang baik untuk meneri mamu. Aku tinggal untuk sementara disini. Setiap sepekan sekali aku pulang menen gok anak isteriku. Ah cukup disini sahut pemimpin kelompok itu hanya satu kebetulan yang telah memb awa aku kemari. Aku sedang menengok saudara tuaku. Tiba-tiba saja aku ingat kepa damu. Selebihnya, aku memang ingin melihat istana Mataram. Aku belum pernah mema sukinya sebelumnya. O undagi itu tertawa - aku sudah memanjat sampai kebumbungan. jawab pemimpin kelompok itu.

Tentu saja karena itu pekerjaanmu

Keduanyapun kemudian tertawa. Beberapa saat lamanya mereka saling berbincang. Na mun kemudian orang yang ingin mengamati keadaan istana itu tidak tinggal terlalu lama, Merekapun segera minta diri untuk keluar dari istana itu. Kawannya, yang bekerja di bagian belakang istana itu menahannya. Tetapi pemimpin kelompok yang

tidak menyebutkan tugasnya itu berkata Terima kasih. Mungkin besok atau lusa jik a aku masih berada di Mataram, aku akan singgah lagi. Kawannya itu mengangguk. Katanya Baiklah. Datanglah kemari. Tetapi jangan terlal u sore sehingga kau mempunyai waktu banyak untuk berbincang-bincang. Bukankah kau bekerja dipagi dan siang hari? bertanya pemimpin kelompok itu.

Ya. Tetapi jika perlu, aku dapat berhenti barang sejenak jawab undagi itu Apalag i pekerjaanku sekarang adalah membuat perabot rumah tangga, sehingga aku akan da pat meninggalkaniiya barang sesaat. Jika aku sedang memperbaiki atap ramah, mung kin memang sulit untuk berhenti, karena aku bekerja bersama beberapa orang. Baiklah. Aku akan memerlukannya besok atau lusa. jawab tamunya tetapi aku minta maaf, apakah kau bersedia untuk membawaku keluar. Aku tentu akan bingung untuk m encapai pintu butulan itu lagi. Undagi itu tersenyum. Katanya Marilah, Aku antar kau keluar.

Dengan demikian maka pemimpin kelompok itu telah diantar oleh kawannya yang kebe tulan bekerja diistana itu. Bahkan ketika mereka berjalan menuju ke pintu butula n, pemimpin kelompok itu sempat bertanya tentang beberapa hal keadaan halaman is tana itu. Dimana-mana dijaga prajurit desis pemimpin kelompok itu.

Tidak jawab kawannya hanya di tempat-tempat penting saja Diregol dan di serambi itu memang terdapat gardu penjagaan. Tetapi dibagian belakang hanya kadang-kadan g saja diamati oleh para prajurit yang nganglang. Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Namun tanpa diduganya kawannya itu bert anya Kau kerja dimana sekarang? Sejenak pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya at warisan sekeping sawah. Dalam waktu-waktu senggang apa yang kau lakukan? bertanya kawannya. Aku mendap

Pemimpin kelompok itu masih termangu-mangu. Namun iapun menjawab Aku membantu pa manku yang bekerja sebagai belandong. Sebenarnya aku ingin belajar menguasai kay u seperti yang kau lakukan, bukan sekedar sebagai pembelah kayu. Kawannya itu tertawa Katanya orang lain. Kerja apapun tidak ada bedanya asal tidak merugikan

Kedua orang itu mengangguk-angguk. Demikian pula orang yang ikut bersama pemimpi n kelompok itu. Namun terasa jantungnya bagaikan tertusuk duri,karena kedua oran g itu sedang dalam tugas yang memang akan merugikan orang lain. Namun perasaan mereka tidak terbayang diwajah keduanya Bahkan pemimpin kelompok itu masih saja nampak tersenyum. Apalagi ketika mereka sudah berada dipintu butu lan. Prajurit yang berjaga-jaga dibutulan itu, yang melihat kedatangan kedua ora ng yang mengaku mencari saudaranya itupun tersenyum melihat mereka keluar dari p intu butulan. Nah, sudah kau ketemukan saudaramu? Ya Ki Sanak ak berikan. bertanya prajurit itu. terima kasih atas kesempatan yang Ki San

jawab pemimpin kelompok itu

Kedua orang itupun kemudian telah minta diri kepada undagi itu dan kepada para p rajurit yang bertugas. Ketika mereka melangkah pergi, sekali-sekali mereka masih juga berpaling kearah pintu butulan itu. Sementara langitpun telah menjadi sema kin buram. Apakah keduanya itu saudaramu? rdiri termangu-mangu. Bukan jawab undagi itu bertanya prajurit itu kepada undagi yang masih be

seorang diantara mereka adalah kawanku sepadukuhan. bertanya praj

Kawan baik barangkali, sehingga kalian sudah seperti saudara saja? uti itu pula.

Juga bukan. Kami adalah kawan biasa saja. Akupun heran jika tiba-tiba saja orang itu tertarik untuk mengunjungi aku jawab undagi itu. Namun katanya kemudian mung kin keinginannya untuk melihat-lihat istana telah mendorongnya untuk mendapatkan keberanian mencari aku disini. O prajurit itu mengangguk-angguk apakah orang itu tidak pernah pergi ke Kota?

Menurut pengetahuanku ia adalah seorang petani utuh yang tidak pernah pergi ke m ana-mana. Disamping itu kerjanya adalah membantu pamannya menjadi tukang blandon g. Pembelah kayu? bertanya prajurit itu. jawab

Ya. Agaknya mereka sering mencari kayu dihutan untuk dijadikan kayu bakar undagi itu.

Prajurit itu mengangguk-angguk. Sementara itu, undagi itupun telah minta diri da n kembali kebaraknya, sementara beberapa orang telah mulai menyalakan lampu-lamp u minyak dihalaman dan didalam istana. Dalam pada itu diperjalanan kembali kerum ah Pasak, pemimpin kelompok itu tersenyum sambil berkata Sebagian dari kerja kit a telah kita selesaikan. Kita sudah mendapat titik yang paling baik untuk memasu ki halaman istana. Kemudian, tidak akan ada orang yang dapat menghalangi untuk m elihat-lihat isi halaman itu dimalam hari. Kita akan dengan mudah menemukan temp at tempat penting dari istana itu. Lorong-lorong dan pintu-pintu regol serta sek etheng. Gardu-gardu dan tempat-tempat yang terlindung serta aman dari pengawasan . Kawannya mengangguk-angguk. Katanya Mudahmudahan kita dapat menyelesaikan dengan sekali memasuki istana itu tanpa mengulanginya. Sementara itu, upahnyapun akan s egera kita terima. Pemimpin kelompok itu tertawa. Katanya Yang kau pikir hanya upahnya saja.

Bukankah itu yang penting bagiku? sahutnya. Ketika kedua orang yang baru saja ke mbali dari istana itu sampai kerumah Pasak, maka merekapun telah membicarakan sa tu rencana yang lebih terperinci untuk melihat-lihat keadaan istana. Mereka berl ima akan mendekati istana itu. Tiga orang diantara mereka akan meloncat masuk, s ementara dua orang akan mengamati keadaan diluar istana. Kedua orang itu akan me nyediakan panah sendaren yang akan dilontarkan keudara jika keadaan memaksa. Sem entara itu tiga orang yang berada didalam akan mengamati isi seluruh lingkungan istana. Seorang diantaramerekaakan mengamatiikeadaan.Dua orang yang lain akan be rkeliling. Yang paling penting dari tugas mereka adalah memasuki bilik tidur Pan embahan Senapati Namun merekapun harus mengetahui lorong-lorong yang ada di ling kungan istana itu. Pintu-pintu gerbang, regol dan seketheng serta gardu-gardu pe njagaan. Tetapi keadaan didalam istana memungkinkan! Dan bahkan membantu sekali berkata p

emimpin kelompok yang telah melihat-lihat serba sedikit keadaan didalam lingkung an istana banyak pepohonan perdu ditaman-taman yang tersebar disamping pohon buah -buahan yang rimbun dan akan membantu melindungi kita oleh bayangannya yang gela p. Namun mereka tidak akan memasuki lingkungan istana pada malam itu. Mereka masih mempunyai waktu. Malam ini kita masih sempat tidur nyenyak. Kita baru mempergunak an rumah ini semalam. Dua malam dengan yang sedang kita jalani ini. bukankah kit a mendapat kesempatan tinggal sepekan disini? Pasak mengumpat. Katanya kemudian Semakin cepat kalian pergi akan semakin baik. Tetangga sebelah sudah bertanya-tanya tentang kalian. Apa yang mereka tanyakan? bertanya pemimpin kelompok itu. jawab Pasak. berkata pemimpin kelompo

Tamuku kali ini terlalu banyak menurut pendapat mereka Tetangga itulah yang terlalu banyak mencampuri urusanmu k itu lalu apa jawabmu?

Aku mengatakan kepada mereka, bahwa kalian adalah saudara-saudaraku dari tempat yang jauh yang sudah lama tidak bertemu berkata Pasak kemudian. Namun katanya pu la Tetapi jika tingkah lakumu mencurigakan, maka pada suatu saat aku tidak akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Sudahlah berkata pemimpin kelompok itu kau akan mendapat uang. Bukan hanya karen a kau memberi kami makan. Tetapi juga imbalan yang cukup karena kau telah member ikan tempat kepada kami. Pasak termangu-mangu. Namun iapun menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian Mal am ini adalah malam kedua. Masih ada tiga malam lagi. Aku sudah tidak mempunyai uang untuk membeli beras dan lauk-pauk buat kalian besok. Itulah yang akan kau katakan sebenarnya berkata pemimpin kelompok itu sambil tert awa Baiklah. Ini uang yang kau perlukan itu. . Pasak mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum sambil menerima uang itu. Hampir diluar sadarnya ia bergumam Malam nanti aku akan dapat ikut memasuk i kalangan. Tiba-tiba saja pemimpin kelompok itu meremas bajunya sambil menggeram Kau akan b erjudi? Aku tidak peduli jika kau kalah dan uang itu habis. Aku tidak akan membe rimu uang lagi sampai kami pergi dari rumah ini. Jika selama itu kau tidak dapat membeli beras lagi untuk makan kami, maka kepala-mulah yang akan aku rebus untu k makan kami. Tetapi Pasak tertawa saja meskipun bajunya masih dalam genggaman pemimpin kelomp ok itu. Katanya Jangan takut. Aku tidak pernah kalah berjudi. Jika aku kalah jug a, aku rampas uang mereka yang menang. Gila geram pemimpin kelompok itu sambil melepaskan baju Pasak jangan main-main. Tugasku adalah tugas yang sangat penting. Kami tidak akan segan-segan membunuh o rang yang dapat menghambat tugas-tugas kami. Aku tahu Pasak masih tertawa karena itu aku bersedia membantumu.

Namun Pasak tidak lagi menunggu kelima tamunya Seperti malam sebelumnya kelima t amunya itu dipersilahkan tidur disebuah amben bambu yang besar. Sementara itu ia pun telah keluar rumah untuk memasuki sebuah kalangan perjudian.

Setan alas geram pemimpin kelompok itu. Tetapi merekapun tidak mempedulikan lagi . Mereka berlima tidak pula segera berbaring. Mereka duduk diamben yang besar it u sambil melanjutkan pembicaraan mereka tentang rencana yang akan mereka lakukan . Sementara itu, seorang anak lakilaki Pasak telah menghidangkan minuman panas b agi mereka. Terima kasih berkata salah seorang dari kelima orang yang sedang berbincang itu. Kemana ayahmu bisanya jika berjudi? Di padukuhan sebelah paman jawab anak laki-laki itu at untuk berjudi, sabung ayam dan adu cengkerik. Adu cengkerik? bertanya orang itu. tetapi ayah biasanya menang meskipun sekali-s bertanya pemimpin kelompok itu. dipadukuhan sebelah ada temp

Ya paman. jawab anak laki-laki itu ekali pernah kalah juga.

Kau tahu kapan ayahmu menang dan kapan kalah?

Jika ayah pulang dan marah-marah saja, maka ayah tentu kalah jawab anak itu. Kelima orang yang duduk diamben itu tertawa. Seorang diantara mereka berkata pinter juga membuat minuman panas untuk kami. Ayah memang berpesan, agar aku membuat minuman panas ini. jawab anak itu. Kau

Pemimpin kelompok itu tiba-tiba telah mengambil sekeping uang dari kantong ikat pinggangnya dan memberikan kepada anak itu Nah, ini buatmu. Anak itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun tersenyum sambil menerima sekeping uang itu. Katanya Terima kasih paman. Besok aku dapat ikut bermain beng kat dengan taruhan. He,. kau juga akan ikut taruhan? bertanya pemimpin kelompok itu.

Tetapi tidak semata-mata judi paman. Kami harus mengadu keprigelan dan ketrampil an. Bengkat memerlukan kecakapan tersendiri jawab anak itu bangga. Tetapi kenapa harus dengan taruhan? yang menginap itu. bertanya salah seorang diantara kelima orang

Lebih menarik, Jika aku menang, maka aku akan dapat ikut bertaruh dalam sabung a yam jawab anak itu ayah tidak melarang. Kelima orang itu saling memandang. Agaknya anak penjudi inipun akan dapat menjad i penjudi yang ulung kelak. Ketika anak itu pergi, maka seorang diantara mereka berkata aku tidak mengijinkan anakku berjudi. Tetapi kawannya sambil tertawa berkata Karena kau bukan penjudi Tetapi tentu kau ajari anakmu mencuri seperti yang sering kau lakukan. Yang lain tertawa pula. Te tapi orang itu dengan sungguh-sungguh berkata Tidak. Aku ajari anakku berkelakua n baik. Ia tidak tahu bahwa ayahnya seorang pencuri. Biarlah semua dosa aku tang gungkan. Yang aku lakukan semata-mata untuk memberi makan, pakaian dan tempat ti nggal bagi anak isteriku. Tetapi aku ingin anakku kelak dapat hidup wajar. Kawan-kawannyapun berhenti tertawa. Pemimpin kelompok itu kemudian bertanya apa katamu jika kau lama tidak pulang seperti sekarang? Lalu

Anakku menganggap bahwa ayahnya adalah seorang pedagang keliling yang kadang-kad ang memang harus bermalam. Bukan hanya satu dua malam. Kadang-kadang memang sepe

kan.

jawab orang itu.

Apakah isterimu juga tidak tahu bertanya yang lain. Isteriku tahu. Tetapi isteri kupun sepakat, agar anak kami tidak mengetahui pekerjaanku dan mengajarnya untuk menjadi seorang yang baik kelak, meskipun pada suatu saat jika ia mengetahui pe kerjaanku, mungkin ialah yang akan menangkap aku. jawab orang itu. Kawan-kawannya menarik nafas dalam-dalam Sementara itu pemimpin kelompok itupun berkata Ada juga baiknya. Jika setiap orang yang melakukan perbuatan tercela sep erti kita ini juga menyeret anak-anaknya kedalam dunianya, maka jumlah orang-ora ng yang dianggap jahat inipun akan berlipat-lipat. Dan sawah kita akan menjadi s empit. Apakah kita ini jahat? bertanya salah seorang diantara mereka.

Jangan membohongi diri sendiri jawab pemimpin kelompok itu kita tahu mana yang b aik dan mana yang tidak baik. Tetapi kita memang sudah bertekad melakukannya. Ya sahut kawannya yang ingin anaknya menjadi orang yang baik justru pengetahuan dan kesadaran itulah yang telah mendorong aku untuk mengarahkan jalan hidup anak ku. Ia tidak boleh menjadi orang seperti ayahnya. Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak mentertawakannya lagi. Dal am pada itu, maka malampun telah menjadi semakin malam Ketika tetes terakhir dar i minuman mereka telah melalui kerongkongan, maka pemimpin kelompok itu pun berk ata Kita akan tidur nyenyak malam ini. Besok kita masih dapat berjalan-jalan mel ihat-lihat keramaian pasar di Mataram. Baru pada malam harinya kita akan melakuk an tugas kita. Kelima orang itupun kemudian tidur dengan nyenyak tanpa terganggu. Dipagi hari, mereka melihat Pasak pulang sambil tersenyum-senyum Katanya dengan bangga Apa ka taku. Aku memenangkan permainan semalam. Uangku menjadi tiga kali lipat. Nanti s iang kita dapat menyembelih tiga ekor ayam. Besok kita akan menyembelih kambing di hari terakhir kau makan dirumahku. Berapa kau menang, sehingga kau akan menyembelih kambing he? lompok itu. bertanya pemimpin ke

Sudah aku katakan. Uangku menjadi tiga kali lipat. Sementara itu, aku sempat men curi uang kawanku bermain tanpa diketahuinya karena dikalangan yang lain iapun m enang tanpa hitungan. Bahkan ia dapat menggadai perhiasan-perhiasan lawannya ber main jawab Pasak Gila kau geram pemimpin kelompok itu. bertanya Pasak.

Kenapa .? Bukankah yang kita lakukan tidak ada bedanya?

Agaknya kamipun harus berhati-hati Mungkin malam-malam yang tersisa masih dapat kau pergunakan untuk mencuri uang kami berkata pemimpin kelompok itu. Aku tidak akan melakukannya atas kalian jawab Pasak selain kalian adalah sahabat-sahabatku , akupun takut bahwa kalian akan mendendam kepadaku dan melakukan pembalasan. Ka rena itu, aku bahkan akan menyuguhkan seekor kambing bagi kalian berlima. Terima kasih bih-lebihan. jawab pemimpin kelompok kami tidak menolak. Tetapi itu adalah berle

Pasak tertawa Tetapi iapunkemudianpergi meninggalkan tamu-tamunya. Kelima orang yang mendapat upah untuk mengamati keadaan istana Mataram Itu masih dapat memper gunakan satu hari tertuang untuk melihat-lihat keadaan Mataram yang semakin rama i Namun ketika matahari turun, merekapun telah bersiap-siap. Bukan saja secara k

ewadagan, tetapi merekapun telah mempersiapkan nalar dan perasaan mereka untuk m enghadapi tugas-tugas yang berat. Namun mereka menyadari, bahwa mereka harus mem pertaruhkan diri dan nyawa mereka untuk melakukan pekerjaan yang sudah mereka sa nggupi itu. Namun pemimpin kelompok itu berkata sambil tersenyum udah aku lakukan. Kita akan menyelesaikan dengan baik reka berhmapun telah bersiap. Separo dari pekerjaan kita s

jawab seorang kawannya. Dernikianiah maka me

Pasak yang menunggui mereka berkata Hati-hatilah. Bukankah kalian menyadari bahw a didalam istana itu ada berpuluh-puluh orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Kami menyadari berkata pemimpin kelompok itu kami melandasi tugas kami bukan kare na ilmu kami yang tinggi Tetapi pengalaman kami sebagai pencuri yang tidak perna h tertangkap setelah melakukan pekerjaan ini berpuluh tahun. Aku tahu. Sejak muda kau sudah mencuri. Tetapi kau mencuri rumah petani-petani ka ya saudagar-saudagar ternak dan barangkali bebahu Kademangan. Tetapi kau belum p ernah melakukannya sebagaimana kau lakukan sekarang. Aku pernah mencuri dirumah seorang prajurit yang memiliki ilmu yang tinggi. Teta pi dalam tidurnya ia tidak lebih dari seorang petani dungu. Mendekur dan tidak t ahu apa-apa. jawab salah seorang diantara kelima orang itu. Tetapi para petugas itu tidak tidur adaan. jawab Pasak mereka berjaga-jaga mengawasi ke tet

Para peronda di padukuhan-padukuhan juga tidak tidur jawab pemimpin kelompok api kami mampu menempatkan diri kami. Apalagi halaman istana itu banyak terdapat taman yang cukup rimbun dengan pohon-pohon bunga perdu. Ceplok piring, soka dan bahkan ada serumpun bambu cendani. Dengan demikian menurut penglihatan kami, ba nyak perlindungan yang terdapat dihalaman istana, tidak ubahnya dikebun-kebun pa ra petani dan saudagar kaya yang pernah kami datangi meskipun kebun-kebun itu bu kan ditanam bunga, tetapi ditanami rumpun-rumpun garut dan ganyong serta empon-e mpon. Pasak mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berkata Aku sebenarnya merasa san gat gelisah. Jika kalian lengah, maka kalian akan tertangkap dan mengalami banya k kesulitan. Mereka tentu ingin tahu siapakah yang mengupah kalian, sehingga kal ian berani memasuki istana Mataram. Pemimpin kelompok itu terseyum. Katanya a kami tertangkap? Kau takut terseret kedalam kesulitan jik

Tidak. Bukan hanya itu. Tetapi aku lebih banyak berpikir tentang kalian. Bukan t entang aku jawab Pasak aku berkata sesungguhnya, karena kita sudah lama bersahab at. Karena sebagaimana kau katakan, aku akan dapat ingkar atau kalian dapat meng atakan bahwa kalian tidak berada dirumahku. Terima kasih atas perhatianmu jawab pemimpin kelompok itu tetapi seandainya kami tertangkap, kami akan dapat ingkar pula bahwa kami adalah orang-orang upahan. K ami memasuki istana untuk mencuri. Itu saja. Dengan demikian kami tidak akan men galami tekanan untuk menyebut orang-orang yang mengupah kami. Pasak mengangguk-angguk. Katanya Mudah-mudahan kalian selamat.

Demikianlah ketika matahari menjadi semakin redup dan hilang di bank bukit, maka kelima orang itu telah bersiap-siap untuk mulai dengan tugas mereka yang sangat

berbahaya, Namun mereka masih sempat minum minuman hangat dan makan beberapa po tong makanan. Pasak telah menyuruh keluarganya menyediakan makanan yang khusus. He, kau nampak gelisah sekali berkata pemimpin kelompok itu kepada Pasak dan agak nya kau sudah menghidangkan makanan yang paling enak yang dapat kau buat. Nampak nya kau benar-benar mencemaskan nasib kami, seakan-akan kami tidak akan pernah m endapat kesempatan lagi untuk makan makanan yang enak seperti ini Bukan maksudku jawab Pasak mudah-mudahan dapat memberimu ketenangan. Aku akan ber doa bagi kalian, meskipun kau tidak yakin bahwa doa seorang penjudi masih akan b erarti. Pemimpin kelompok itu menepuh bahu Pasak sambil berkata Kau mengenal kami bukan baru kemarin siang. Percayalah kepada kami.

Pasak mengangguk. Desisnya Aku tahu bahwa ada orang yang menganggap bahwa kau me mpunyai Aji Panglimunan sehingga kau dapat menghilang dari tangkapan mata wadag. Tetapi orang-orang Mataram tentu ada yang memiliki kekuatan untuk melihat yang tidak kasat mata kewadagan itu dengan mata hati atau ilmunya. Pemimpin kelompok itu tertawa. Katanya ka sikapmu itu akan mempengaruhi kami. Sudahlah. Jika kau masih saja gelisah, ma

Pasak termangu-mangu. Namun iapun kemudian mengangguk. Demikianlah, maka ketika malam turun, kelima orang itupun telah meninggalkan rumah Pasak. Namun mereka ti dak segera menuju ke istana. Tetapi mereka sempat melihat-lihat keadaan kota unt uk melakukan pemanasan. Mereka tidak berjalan bersama-sama, tetapi mereka telah berpisah dan terbagi dua. Tetapi mereka telah menentukan dimana mereka akan bert emu. Semakin lama Kotapun menjadi semakin sepi. Anak-anak sudah tidak lagi berada di halaman. Namun satu dua orang masih ada yang duduk-duduk diluar regol padukuhan atau di halaman banjar. Namun sebentar kemudian, gardulah yang mulai menjadi ram ai oleh para peronda. Sementara rumah-rumahpun telah menutup pintunya rapat-rapa t. Seperti yang disepakati, maka ketika ujung malam telah lewat, maka kelima ora ng itu sudah berkumpul lagi. Mereka telah berada di belakang istana. Menjelang t engah malam, maka tiga orang diantara mereka akan memasuki istana, sementara dua orang yang lain akan berada diluar. Mereka yang menunggu diluar itupun kemudian telah memasang sayap-sayap busur mereka yang dapat dilepas untuk memudahkan mer eka membawanya tanpa dilihat orang lain. Sementara itu, tiga orang diantara mere ka dengan selamat telah berhasil meloncati dinding ditempai yang sudah diperhitu ngkan, sehingga dengan demikian, maka tidak seorang penjagapun yang melihat keha diran mereka di halaman istana. Kita akan berusaha untuk memasuki lingkungan dalam istana bisik pemimpin kelompo k itu kau mengamati keadaan perintahnya kemudian kepada seorang diantara mereka, seperti rencana yang sudah mereka susun sebelumnya. Dalam pada itu, para prajurit dari Pasukan Pengawal dan para Pelayan Dalam yang mendapat tugas rahasia dari Panembahan Senapati hampir saja menjadi jemu menungg u. Waktunya memang agak terlalu lama. Namun untunglah bahwa mereka masih tetap b erjaga-jaga menghadapi kemungkinan datangnya orang-orang yang memang mereka tung gu meskipun ada juga diantara mereka yang menganggap bahwa jebakan mereka tidak akan berhasil. Ada yang beranggapan bahwa orang-orang yang mengupah itu telah me ngurungkan niatnya, setelah orang-orang yang mereka tugaskan mengamati istana it u gagal. Namun para petugas itu masih tetap berada pada jaring-jaring yang telah mereka pasang dengan perhitungan yang saksama dalam tugas rahasia mereka, sehin gga tidak ada seorangpun yang mengetahuinya selain kedua pasukan yang memang men dapat tugas langsung dari Panembahan Senapati itu.

Dalam pada itu, maka kedua orang yang bergerak dilingkungan istana itupun mulai memasuki bagian yang semakin dekat dengan lingkungan dalam istana, sementara ses eorang yang lain berusaha untuk dapat mengamati keadaan bagi pengamanan gerak ke dua kawannya itu. Ternyata kita tidak banyak mendapat kesulitan berkata pemimpin kelompok itu samb il berbisik sekat-sekat di halaman istana inipun tidak banyak menahan gerakan ki ta. Sementara itu, para prajurit yang bertugas terlalu yakin, bahwa Mataram adal ah kota yang aman dan tenteram, Kawannya mengangguk-angguk. Desisnya Jalan yang lapang buat kita. Keduanya terdi am ketika mereka mendengar langkah mendekat. Merekapun kemudian telah bergeser k ebalik sebuah gerumbul di taman yang terpelihara rapi. Dua orang prajurit sedang meronda, mengamati keadaan halaman itu. Namun mereka h anya berjalan saja seakan-akan tanpa berpaling. Tanpa memperhatikan keadaan dise keliling mereka. Demikian kedua prajurit itu menjauh, pemimpin kelompok itu ters enyum. Katanya, mereka tidak lebih dari patung-patung yang berjalan tanpa mengert i apa yang harus mereka lakukan. Itulah gambaran sebenarnya dari para prajurit M ataram yang namanya kawentar sampai keseberang lautan. Kawannya mengangguk-angguk pula. Tetapi ia tidak menjawab. Demikianlah keduanya bergeser semakin mendekati istana. Pemimpin kelompok itu telah melihat taman itu di-siang hari ketika ia mengunjungi kawannya yang bekerja dan tinggal untuk sem entara di bagian belakang dari halaman istana itu, Didekat sebuah regol keduanya berhenti. Eegol itu sedikit terbuka. Namun keduanya tidak melihat prajurit yang berjaga-jaga disekitarnya. Jika kita memasuki regol ini, maka kita akan berada di bagian samping dari halam an istana. berkata pemimpin kelompok itu dari tempat itu, kita akan lebih mudah memasuki bagian dalam yang tentu mendapat pengawasan yang lebih ketat. Kawannya mengangguk. Tetapi iapun telah siap untuk melakukan tugas yang berbahay a itu. Sejenak keduanya menunggu. Pemimpin kelompok itulah yang kemudian mengama ti regol itu lebih dekat lagi. Kita tidak akan melalui regol itu - berkata pemimpin kelompok itu kemudian meski pun tidak ada seorangpun yang menjaganya, namun cahaya obor di regol itu berbaha ya bagi kita. Kita akan meloncat dinding? bertanya kawannya.

Ya jawab pemimpin kelompok itu. Demikianlah maka keduanyapun kemudian meloncati dinding dibawah sebatang pohon buah jambu air yang rimbun. Namun mereka tertegun ketika mereka melihat diregol diseberang, nampak dua orang penjaga yang bertuga s. Seperti prajurit yang lewat di taman berkata pemimpin kelompok itu perlahan-laha n mereka seperti patung saja. Bahkan mungkin mereka telah tertidur tanpa kita he mbuskan ilmu sirep. Kawannya tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Dengan hati-hati merekapun bergera k lagi. Sebagaimana mereka memasuki halaman samping, maka merekapun kemudian tel ah memasuki bagian dalam istana serta mendekati bangunan-bangunan pokok dilingku ngan istana itu. Dengan sangat berhati-hati mereka memperhatikan para petugas ya ng ternyata tidak begitu banyak. Para prajurit yang bertugas itu menurut penilai an kedua orang itu, sama sekali tidak siap menghadapi bahaya yang tersembunyi ya ng mungkin memasuki istana itu. Jika aku memiliki ilmu yang tinggi, maka aku akan menyelesaikan tugas ini sampai

tuntas berkata pemimpin kelompok itu didalam hatinya embahan Senapati.

mengakhiri kesombongan Pan

Tetapi pemimpin kelompok itu tidak dapat melakukannya karena ia menyadari kemamp uan ilmunya. Namun ternyata ia memiliki ketrampilan khusus yang sangat diperluka n. Tanpa banyak kesulitan, maka kedua orang itu telah berada disebuah longkangan . Namun keduanya harus sangat berhati-hati. Ternyata mereka telah memasuki daera h yang mendapat penjagaan yang kuat. Tetapi aku tidak harus memasuki lingkungan itu berkata pemimpin kelompok itu did alam hatinya aku-hanya harus melihat dan mengamatinya. Demikianlah keduanya telah berhasil mendekati setiap bangunan pokok. Namun merek a memang agak sulit untuk menentukan, yang manakah pintu yang harus mereka pilih untuk sampai ke bilik Panembahan Senapati, yang tentu ada didalam bangunan indu k istana Mataram. Tetapi keduanya tidak dituntut untuk sampai kebilik itu. Merek a hanya dituntut untuk memberikan gambaran tentang keadaan lingkungan istana ser ta kemungkinankemungkinannya. Namun keduanya dapat memperhitungkan bilik Panemba han Senapati melihat bentuk atap istana itu. Meskipun tidak terlalu jelas, diker emangan malam, namun mereka dapat memberikan keterangan dan perincian tentang sa saran yang harus mereka lihat. Dengan demikian, meskipun kedua orang itu masih belum memasuki bagian dalam ista na dan menemukan pintu langsung bilik Panembahan Senapati, namun yang mereka li hat agaknya sudah cukup sebagai bahan keterangan bagi orang-orang yang mengupahn ya. Mereka akan dapat mengurai bangunan yang nampak, dilihat dari bentuk atapnya . Meskipun mungkin tidak tepat benar, namun yang diperlukan sebagai petunjuk tel ah mencukupi. Namun demikian pemimpin kelompok itu berkata lirih Jika kita dapat naik keatap d an melintasi satu bumbungan, maka kita tentu akan sampai keiongkangan dalam. Kau yakin? Aku yakin bertanya kawannya. jawab pemimpin kelompok itu. bertanya kawannya. be

Jika demikian, kenapa kita tidak mencobanya

Yang aku cemaskan adalah, jika kita ternyata berada diatas atap Gedung Pusaka rkata pemimpin kelompok kita akan dapat membeku karenanya. Kawannya mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian ga, dimanakah letak Gedung Pusaka itu? Apakah kita tidak dapat mendu

Pemimpin kelompok itu menggeleng. Katanya Tidak. Dan ilmuku ternyata terlalu ker dil untuk menangkap cahaya yang mungkin terpancar dari pusaka-pusaka yang ada di daiamnya. Jadi bagaimana? bertanya kawannya yang hampir tidak terdengar. tetapi kita harus be

Kita harus menemukan seketheng. jawab pemimpin kelompok itu nar-benar menjaga diri agar kita tidak tertangkap.

Kawannya mengangguk-angguk. Dengan sangat berhatihati mereka merayap disepanjang dinding bangunan induk istana dibagian belakang. Namun mereka harus menahan naf as ketika dua orang prajurit nampak meronda melewati taman dibelakang bangunan i nduk itu. Kedua orang yang menahan nafas itu harus mengerutkan tubuhnya dibelaka ng serumpun pohon bunga ceplok piring yang rimbun. Buku 203

TETAPI kedua orang prajurit itu tidak berpaling kearah mereka. Bahkan nampaknya keduanya sedang membicarakan sesuatu yang lucu, sehingga keduanya tertawa tertah an. Kita lihat, kemana keduanya pergi. berkata pemimpin kelompok itu. Kawannya mengang guk. Sehingga sejenak kemudian, dibawah bayangan rumpun-rumpun pohon bunga, kedu a orang itu telah mengikuti arah kedua orang prajurit yang sedang meronda itu. Namun keduanya harus berhenti, ketika mereka melihat kedua prajurit itu menuju k e halaman depan melintasi sebuah seketheng di samping bangunan induk. Dalam pada itu, maka pemimpin kelompok itupun menjadi berdebar-debar. Dilihatnya sebuah re gol kecil yang tidak tertutup, namun juga tidak diterangi dengan obor. Tunggulah. berkata pemimpin kelompok itu, dah-mudahan kita tidak terjebak karenanya. aku akan melihat regol itu dari dekat. Mu

Kawannya mengangguk kecil. Dari kegelapan ia menyaksikan pemimpin kelompoknya it u bergeser dengan cepat menuju ke regol itu. Sejenak ia mengamat-amatinya. Denga n sangat hati-hati ia telah mendekati regol itu. Kemudian memberanikan diri memp erhatikan keadaannya. Setelah ia yakin tidak ada terdengar tarilan nafas disekit ar regol itu, maka iapun telah berusaha untuk menengok ke dalam. Orang itu menjadi berdebar-debar. Ia melihat longkangan bagian dalam. Diserambi nampak sebuah lumpu minyak yang tidak begitu terang, sementara sebuah pintu butu lan nampak tertutup. Dengan isyarat ia memanggil kawannya yang mendekatinya. Den gan memperhatikan setiap kemungkinan keduanyapun memasuki longkangan dalam itu. Di dalam longkangan itu juga terdapat beberapa jenis tanaman dalam taman yang te ratur. Dari tempat itu mereka dapat melihat serambi dalam yang dilengkapi dengan perabo t-perabot yang baik. Beberapa buah dingklik kayu panjang yang dialasi dengan kul it binatang buruan serta ukiran yang terpahat pada tiang dan dinding kayu, menun jukkan bahwa serambi itu merupakan bagian penting dari istana itu sebagai kediam an Panembahan Senapati. Sejenak keduanya termenung melihat keadaan serambi itu. Memang mereka merasa her an, justru serambi itu tidak dijaga. Namun mereka menganggap bahwa para peronda tentu sering melintasi pintu regol yang terbuka itu, bahkan mungkin mereka akan memasuki longkangan dan melihat-lihat serambi itu. Sebenarnyalah, sebelum mereka meninggalkan tempat itu, mereka telah mendengar de rit pintu terbuka. Dengan cepat keduanya telah berlindung dibalik pepohonan perd u yang tumbuh hampir melekat dinding. Dari tempat mereka bersembunyi, mereka mel ihat dua orang yang keluar dari sebuah pintu samping serambi itu. Keduanya agakn ya prajurit khusus yang tidak bertugas meronda. Pemimpin kelompok itu menjadi berdobar-dobar ketika ia mendengar salah seorang d iantara keduanya berkata, Oncor di regol itu mati. Aku ambil api. desis yang lain.

Pemimpin kelompok itu menggamit kawannya. Mereka harus cepat pergi sebelum longk angan didepan serambi itu menjadi terang karena lampu di regol. Bahkan apabila d iregol kemudian dinyalakan lampu, maka mereka akan mengalami kesulitan untuk kel uar. Karena itu, selagi seorang diantara kedua orang itu masuk kedalam dan yang lain tidak begitu menghiraukan taman kecil dilongkangan itu, keduanya telah merayap m endekati regol. Bahkan kemudian keduanya mendapat kesempatan yang baik ketika or

ang yang berada di serambi itu bergeser menyamping. Demikian keduanya berada diluar regol, maka keduanyapun telah menarik nafas dala m-dalam. Namun keduanya sadar, bahwa keduanya harus segera menjauhi regol yang l ampunya akan dinyalakan. Dengan demikian maka orang-orang yang diupah untuk meli hat dan mengamati garis-garis bangunan yang ada didalam istana telah menyelesaik an tugas mereka dengan baik. Sisa tugas mereka adalah tinggal keluar dari istana itu dan melaporkan hasil pengamatan mereka. Dan merekapun kemudian dengan tidak mendapat kesulitan apapun juga telah keluar dari halaman istana. Seorang diantara mereka yang mengamati keadaan didalam ling kungan halaman dan dua orang lainnya yang berada diluar, telah bersama-sama deng an mereka kembali kerumah Pasak. Menjelang dini hari kelima orang itu telah memasuki regol rumah Pasak. Temyata P asak sendiri masih duduk berkerudung kain panjang di serambi samping rumahnya. D idalam gelapnya bayangan teritisan. Demikian ia melihat kelima orang itu memasuk i regol dibawah cahaya oncor, maka iapun segera bangkit dan menyonsongnya. Aku tidak dapat tidur barang sekejappun. desis Pasak.

Hampir bersamaan kelima orang itu tertawa. Namun pemimpin kelompok itu bertanya, Kenapa? Aku merasa gelisah sebelum kalian kembali. an kalian. berkata Pasak, aku mencemaskan keselamat

Terima kasih. jawab pemimpin kelompok itu. Tetapi iapun masih melanjutkan, tetapi m ungkin juga karena kau cemas tentang dirinya sendiri. Jika kami tertangkap, maka mungkin sekali rumahmu akan dikepung oleh sekelompok prajurit Mataram. Namun te rnyata tidak, sehingga kau tidak usaha melarikan diri meskipun kau sudah siap me lakukannya. Tidak. jawab Pasak, aku berkata sebenarnya. Aku tidak menggelisahkan nasibku sendir i. Tetapi aku benar-benar memikirkan kalian. Pemimpin kelompok itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, Kami san gat letih. Kami ingin tidur. Jangan kau bangunkan sebelum kami bangun sendiri, m eskipun sudah tengah hari. Baik. jawab Pasak, tidurlah sesuka hatimu. Aku tidak usah membelinya dari siapapun juga, jika hanya suguhan itu yang kalian kehendaki. Setelah membersihkan dirinya dan membenahi pakaian mereka, maka kelima orang itu pun telah duduk diruang dalam rumah Pasak. Sebelum mereka pergi tidur, maka Pasa k telah menyediakan minuman panas bagi mereka. Terima kasih. desis salah seorang dari antara kelima orang itu, akan tidur nyenyak sekali. Tetapi bagaimana tugas kalian? bertanya Pasak. segar sekali. Kami

Semua berjalan lancar sekali. Tidak ada kesulitan. Seperti yang kau duga. Mudah s ekali. jawab pemimpin kelompok itu. Pasak menarik nafas dalam-dalam. Katanya, Syukurlah Aku benar-benar merasa ikut b ergembira sekeluarga jika kalian semuanya selamat. Beristirahatlah. Aku akan men yediakan makan bagi kalian. Aku akan menyembelih ayam. Jangan berlebihan. Aku sudah memperingatkan. Aku tidak akan memberi lebih sebagai

mana kita bicarakan sebelumnya.

berkata pemimpin kelompok itu.

Aku tidak akan minta lebih. Aku sudah mendapat tiga kali lipat. Malam ini aku tid ak sempat berjudi karena aku menunggu kalian dengan gelisah. Besok jika aku berj udi lagi, aku tentu akan menang lagi. jawab Pasak. Tidak. sahut pemimpin kelompok itu. besok hubungan hitungan antara hari dan namamu tidak sesuai. Sebaiknya kau tidak berjudi besok. Pasak mengerutkan keningnya. Namun iapun tersenyum. Katanya, Aku lebih berpengala man dari kalian. Dalam hal judi. Tetapi sebagai pencuri, aku mengaku kalah. Kau tentu akan lebih pandai menghitung hari, arah dan saatnya daripada aku. Tetapi u ntuk berjudi aku tentu lebih cakap menghitung hari, waktu dan kemana kita hams m enghadap selama berjudi. Pemimpin kelompok itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun bertanya, Apaka h kau menghubungkan hari, hadap dan saat dengan namamu dan letak lintang Panjer Wengi? Ah, sudahlah. Jika aku kalah, aku akan mencari uang mereka yang menang. jawab Pasa k, aku berpengalaman juga mencuri, tetapi ditempat orang berjudi. Bukan memasuki rumah-rumah dan barangkali lumbung dan bilik-bilik penyimpanan harta benda. Pemimpin kelompok itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, Terserah kepadamu. Aku tidak peduli jika kelak kau menjadi pengemis karena olahmu. Seorang pencuri mung kin akan mengalami nasib buruk. Tetapi mati di keroyok orang banyak masih lebih jantan daripada mati kelaparan. Tetapi Pasak hanya tersenyum saja. Demikianlah sejenak kemudian, maka kelima ora ng itupun telah berbaring dipembaringan mereka. Sebenarnyalah kelelahan, kantuk dan dada yang lapang karena tugas yang diselesaikan dengan baik, telah membuat m ereka kemudian tidur dengan nyenyaknya. Seperti mereka katakan, maka mereka tida k mau dibangunkan sampai mereka merasa jemu dan bangun dengan sendirinya. Dalam pada itu, pada saat kelima orang itu merasa bahwa tugas mereka telah merek a selesaikan dengun baik, maka diistana Mataram telah terjadi satu pembicaraan y ang sangat khusus. Panglima Pasukan pengawal serta Senapati yang memimpin para P elayan Dalam telah dipanggil menghadap oleh Panembahan Senapati yang telah menda patkan laporan selengkapnya. Lima orang telah mendekati dinding istana. Tiga orang meloncat masuk sedangkan d ua orang yang lain menunggu diluar. Diantara ketiga orang yang masuk itu, seoran g mengamati keadaan, sementara yang dua menelusuri halaman samping dan memasuki longkangan didepan serambi. Atas dasar laporan itulah, maka Panembahan Senapati ingin membicarakannya, apa y ang sebaiknya mereka lakukan. Dengan nada datar Panembahan Senapati itupun kemudian berkata, Ternyata perhitung an Agung Sedayu benar. Orang-orang itu telah meneruskan rencananya dan mengirimk an kelompok lain untuk menyelidiki istana ini. Ya Panembahan. -orang upahan. berkata Panglima Pasukan Pengawal, tetapi yang datang itu baru orang

Ya. Mereka adalah orang-orang upahan yang melanjutkan tugas kelompok yang sama se kali tidak berhasil mulai dengan tugas mereka karena mereka terbentur kekuatan G lagah Putih yang mulai tumbuh sesubur Agung Sedayu sendiri. Hamba Panembahan. sahut Panglima Pasukan Pengawal itu, enunggu datangnya orang yang mengupah mereka. tugas kita sekarang adalah m

Kita tidak tahu, kapan mereka akan dating. berkata Panembahan Senapati. Tetapi apak ah sebaiknya kita memberi tahukan hal ini kepada Agung Sedayu. Ada juga baiknya Panembahan. jawab Senapati itu, hamba, maka hamba akan menemuinya. jika Panembahan berkenan mengutus

Pergilah. berkata Panembahan Senapati, agaknya aku lebih percaya kepadamu daripada kepada siapapun. Jaga rahasia ini baik-baik Sementara itu, pimpinan Pelayan Dala m aku minta tetap tinggal diistana. Salah seorang saja diantara kalian pergi. Ji ka diperlukan seorang kawan diperjalanan untuk mengusir kejemuan, pilihlah kawan sendiri. Hamba Panembahan, hamba akan segera melaksanakan perintah panembahan. Tidak banya k orang yang mengenal hamba. Karena itu, maka hamba mempunyai dugaan, bahwa perj alanan hamba akan aman dan tidak akan ada hambatan. jawab Panglima itu. Demikianlah, maka setelah mendapat beberapa pesan dari Panembahan Senapati, maka Panglima itupun kemudian telah bersiap-siap untuk pergi ke Tanah Perdikan Menor eh diikuti oleh seorang Senapatinya yang dipercayainya. Keduanya tidak mengenaka n pakaian yang mencerminkan kedudukan mereka. Tetapi keduanya telah mengenakan p akaian orang kebanyakan. Merekapun tidak mempergunakan kuda yang kuat tegar seba gaimana dipergunakan oleh pasukan berkuda agar tidak menarik perhatian. Tetapi m ereka memper-gunakan kuda yang terbiasa dipakai oleh orang-orang Mataram yang la in. Dengan demikian maka keduanya sama sekali tidak menarik perhatian orang lain diperjalanan mereka menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Karena itulah, maka keduanya sama sekali tidak menemui hambatan apapun juga, mes kipun keduanya harus menahan hati ketika terjadi sedikit ketegangan antara kedua nya dengan beberapa orang yang berebut dahulu naik rakit yang akan menyeberangka n mereka ke seberang Kali Praga. Panglima Pasukan Pengawal itu menggamit kawannya yang hampir saja marah ketika s eseorang mendorongnya ketika ia sudah siap naik keatas rakit. Kau naik kemudian. berkata orang yang mendorong itu. jawab Senapati itu.

Aku datang lebih dahulu daripadamu.

Tetapi kau membawa kuda. Tanpa kuda rakit ini masih memuat tiga atau empat orang lagi. jawab orang yang mendorongnya sambil membelalakkan matanya. Jambangnya yang lebat dan kumisnya yang tebal membuat wajahnya menjadi seram. Demikianlah maka keduanyapun kemudian melompati dinding dibawah sebatang pohon b uahjambu air yang rimbun. Namun mereka tertegun ketika Senapati itu menarik nafa s dalam-dalam untuk mengendapkan perasaannya yang hampir saja melonjak. Panglima Pasukan Pengawal yang menyamar seperti orang kebanyakan itu tersenyum kepada Se napat yang menyertainya sambil berkata, Kau boleh marah jika kau berhadapan denga n. orang yang akan memasuki istana itu kelak. Tetapi tidak kepada orang itu. Senapati itupun akhirnya tertawa pula sambil berdesis, . Hampir saja aku memukulnya

Jika kau memukulnya, orang itu akan mati meskipun ia berjambang lebat dan berkumi s setebal ibu jari kakinya. jawab Panglima itu. Senapati itu mengangguk-angguk. Iapun kemudian menuju rakit yang lain, yang masi h belum seorangpun yang menumpang. Tetapi rakit itu adalah urutan berikutnya yan g akan menyeberang. Bersama kuda mereka, maka kedua orang prajurit itu telah nai k keatas rakit itu. Baru setelah rakit yang terdahulu berangkat menyeberang, mak a orang-orang yang datang kemudian telah naik ke rakit itu pula. Setelah rakit i

tu penuh, maka barulah rakit itu mulai bergerak. Rakit yang terdahulu sudah siap kembali kemari. desis Senapati yang kecewa itu.

Bukankah kita tidak tergesa-gesa. jawab Panglima itu. Senapati itu tidak menjawab. Tetapi ia mengerti bahwa perjalanan mereka harus ti dak terganggu dengan persoalan-persoalan yang seharusnya dapat dihindari. Demiki anlah, maka beberapa saat kemudian, merekapun telah sampai keseberang. Setelah m embayar upah tukang satang, maka merekapun turun ketepian. Senapati itu menyentuh Panglima yang bersamanya sambil berdesis, disitu. Apa pedulimu? bertanya Panglimanya, ang membeli dawet cendol? Aku juga haus. berkata Senapati itu. bertanya Panglimanya. Orang itu masih

bukankah ia tidak sedang menunggumu, tetapi sed

Apakah kau akan mencari prekara?

Senapati itu tersenyum. Namun kemudian jawabnya, Sebetulnya aku memang haus. Teta pi biarlah aku menahannya sampai kita jumpai penjual dawet cendol yang lain. Keduanyapun tertawa. Tetapi mereka memang tidak singgah ditempat penjual minuman itu. Keduanyapun telah meloncat kepunggung kudanya dan meneruskan perjalanan me nuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Perjalanan mereka memang tidak terhambat. Ketika mereka memasuki padukuhan induk , Panglima itupun berdesis, Kemana kita. Kerumah Ki Gede atau mencari rumah Agung Sedayu. Kita pergi kerumah Ki Gede saja. jawab Senapati yang menyertainya, ada atau tidak a da. Jika Agung Sedayu kebetulan tidak ada dirumah Ki Gede, ia akan memanggilnya. Panglimanya mengangguk-angguk. Karena itu, maka merekapun langsung menuju keruma h Ki Gede yang memang sudah diketahuinya. Tetapi mereka belum pernah melihat rum ah Agung Sedayu meskipun mereka tahu bahwa rumah Agung Sedayupun berada di paduk uhan induk itu pula. Tetapi sebenarnyalah ketika mereka sampai dirumah Ki Gede, ternyata Agung Sedayu tidak ada dirumah itu. Meskipun demikian, Ki Gede yang sudah mengenal kedua ora ng perwira itu pula, telah menyambut mereka dan mempersilahkan mereka naik kepen dapa. Kedatangan Ki Sanak berdua telah mengejutkan kami. berkata Ki Gede.

Panglima itu tersenyum. Katanya, Sebenarnya tidak terlalu penting. Tetapi Panemba han memerintahkan agar kami berdua datang ke Tanah Perdikan ini. Tentu ada yang penting. desis Ki Gede, apalagi menilik pakaian yang Ki Sanak pakai berdua sama sekali tidak mencerminkan kedudukan Ki Sanak. Panglima itu justru tertawa. Namun kemudian katanya, sebenarnyalah Ki Gede, kecua li kami ingin bertemu dengan Ki Gede, kamipun ingin bertemu dengan Agung Sedayu. O Ki Gede mengangguk-angguk. Namun kemudian Ki Gedepun langsung menghubungkan keda tangan kedua orang perwira Mataram itu dengan persoalan yang baru saja terjadi d i Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka iapun telah bertanya, Apakah ada hubun gannya dengan orang yang diantar oleh Agung Sedayu ke Mataram beberapa waktu yan g lalu?

Panglima itu mengangguk. Katanya, Ya Ki Gede. Tetapi hanya satu pemberitahuan. Ka rena itu, barangkali tidak sangat penting. Baiklah. berkata Ki Gede, biarlah Agung Sedayu dipanggil. Jika ia tidak ada dirumah nya, maka Ki Sanak berdua dimohon menunggu. Karena Agung Sedayu harus dicari. Kami tidak tergesa-gesa Ki Gede. jawab Panglima itu. berkata Ki Gede sambil tersenyum.

Syukurlah. Kami akan sempat menyediakan minuman.

Sementara itu, Ki Gede telah memerintahkan seseorang untuk memanggil dan mencari Agung Sedayu sampai dapat seandainya ia tidak dirumah. Ada tamu yang mencarinya . Tetapi Ki Gede tidak memberikan pesan tentang tamunya itu. Agung Sedayu yang dicari memang tidak ada dirumah. Tetapi Sekar Mirah dapat menu njukkan dimana Agung Sedayu sedang bekerja. Bersama Glagah Putih dan Kiai Jayarag a ikut memperbaiki jembatan dipadukuhan sebelah. berkata Sekar Mirah. Ketika Agung Sedayu mendapat pemberitahuan itu, maka iapun segera meninggalkan a nak-anak muda yang sedang bekerja bersama Kiai Jayaraga. Tetapi Glagah Putih dit inggalkannya untuk tetap berada diantara kawan-kawannya sedang bekerja. Agung Se dayu dan Kiai Jayaraga tidak singgah lebih dahulu kerumahnya. Tetapi merekapun l angsung pergi ke rumah Ki Gede, karena mereka menganggap bahwa tentu ada yang pe nting yang akan disampaikan kepadanya. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar ketika ia melihat kedua orang tamunya. Meski pun belum terlalu akrab, tetapi Agung Sedayu mengenal keduanya dengan baik. Setelah saling menyapa dan menanyakan keselamatan masing-masing maka Panglima it upun berkata, Kami sudah mendapat hidangan minuman panas dan makanan Karena itu, biarlah kami menyampaikan pesan yang kami terima dari Panembahan Senapati. Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan Ki Gede mendengarkannya dengan sungguh-sungguh a pa yang kemudian dikatakan oleh utusan Panembahan Senapati itu. Sambil mengangguk-angguk Agung Sedayupun berkata, Jadi akhirnya ada juga sekelomp ok orang yang mendapat tugas serupa dengan yang gagal itu. Ya sahut Panglima itu, seperti yang diperintahkan oleh Panembahan Senapati sebagaim ana direncanakan bersama kalian, kami membiarkan orang-orang itu mengamati keada an di dalam lingkungan istana. Agaknya mereka telah menemukan arah yang akan dit empuh oleh orang yang mengupah mereka. Yang mendengarkan penjelasan itu mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Agung Seda yu bergumam, Mereka benar-benar akan melakukannya. Ya. Panembahanpun memperhitungkan demikian. Tetapi Panembahan Senapati telah siap menerima siapapun yang akan dating. berkata Panglima itu, agaknya Panembahanpun t elah membicarakannya dengan Ki Patih. Ki Patih yang bijaksana itu tentu akan menemukan jalan yang paling baik untuk men gatasinya jika orang itu benar-benar datang betapapun tinggi bekal yang dibawany a. berkata Ki Gede, sebab di permukaan bumi ini jarang sekali diketemukan orang ya ng memiliki ilmu sebagaimana dimiliki oleh Panembahan Senapati dan Ki Patih Mand araka. Semua rencana sudah masak. berkata Panglima itu, Namun Panembahan ingin, Ki Gede da n mereka yang berada di Tanah Perdikan ini mengetahui sebelumnya. Terima kasih. berkata Ki Gede, karena peristiwa itu didahului dengan peristiwa yang

terjadi disini, maka Panembahan memandang perlu untuk memberitahukan kepada kam i. Agaknya memang demikian Ki Gede. Panembahan berharap bahwa Tanah Perdikan ini ber siap-siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Ki Gede mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti pesan itu. Mungkin Tanah Perdikan M enoreh dapat dianggap menjadi sebab kegagalan jika rencana dan jebakan yang dipa sang di Mataram itu berhasil. Karena itu maka Ki Gedepun berkata, Terima kasih atas perkenan Panembahan untuk m emberitahukan hal ini kepada kami disini. Mudah-mudahan kami tidak terkejut jika terjadi sesuatu dalam hubungannya dengan usaha untuk berbuat jahat terhadap Pan embahan Senapati. Dengan demikian kami dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Utusan Panembahan Senapati itupun mengangguk-angguk pula. Namun kemudian iapun b erkata, Agaknya tugasku sudah aku lakukan dengan baik. Karena itu, maka kamipun a kan segera mohon diri. Kenapa begitu tergesa-gesa? bertanya Ki Gede.

Kami harus berada di istana sebelum malam. Kami sedang dalam kesiagaan penuh, seh ingga kami sebaiknya tetap berada ditempat. jawab Panglima itu, sementara itu Pane mbahan tidak melihat orang lain untuk menyampaikan berita ini sehingga kerahasia annya dapat dijaga, karena selain Pasukan Khusus Pengawal dan Pelayan Dalam tida k seorang prajuritpun yang mengetahuinya. Karena itu, kamipun juga memohon agar kerahasiaan persoalan ini dapat tetap dijaga pula disini. Kami akan tetap memegang teguh rahasia itu Ki Sanak. ul masih tetap sebagaimana kita kehendaki dahulu. jawab Ki Gede, kesan yang timb

Demikianlah maka utusan Panembahan Senapati itupun kemudian mohon diri. Ketika i a berada diregol ia masih sempat berkata, Siapa tahu, malam nanti akan terjadi se suatu. Begitu cepatnya? bertanya Ki Gede. jawab Panglima itu.

Agaknya orang itu cenderung berbuat cepat.

Ki Gede mengangguk-angguk. Sementara itu, maka kedua orang itupun telah meloncat kepunggung kuda ma-sing-masing. Sekali lagi mereka minta diri. Kemudian kuda me rekapun telah berlari meninggalkan rumah Ki Gede, menyusuri jalan padukuhan indu k menuju ke Mataram. Seperti pada saat mereka berangkat, maka pada saat mereka kembalipun, keduanya t idak mengalami hambatan apapun juga. Sehingga mereka sampai di Mataram sebagaima na mereka rencanakan. Keduanya tidak menunda sampai besok untuk memberikan laporan perjalanan mereka. Karena itu, maka merekapun segera menghadap Panembahan Senapati demikian mereka sekali berbenah diri dan mengenakan kelengkapan pakaian mereka sebagai perwira p rajurit Mataram. Terima kasih. berkata Panembahan Senapati, namun dalam pada itu kita sendiripun har us berhati-hati. Memang mungkin yang akan terjadi diluar perhitungan kita. Namun kita memang sudah siap. Panglima Pasukan Pengawal itupun kemudian berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya bersama Senapati yang memimpin Pelayan Dalam. Mereka telah meningkatkan kesiagaa n berlipat tanpa menarik perhatian orang lain, meskipun prajurit Mataram sendiri

. Dalam pada itu, kelima orang yang merasa bahwa usaha mereka telah berhasil itupu n masih menikmati hari-hari terakhir mereka di Mataram. Pasak yang merasa mendap at keuntungan di perjudian karena kehadiran kelima orang itu, serta uang yang di pergunakah sebagai modal, masih juga mengucapkan terima kasih dengan menyuguhkan makanan dan minuman yang berlebihan. Namun akhirnya kelima orang itupun meningg alkan rumah Pasak untuk melaporkan hasil tugas mereka. Kami sudah mendapatkan apa yang kalian kehendaki. berkata pemimpin kelompok itu ke pada orang yang mengupahnya. Kami akan meyakinkannya. jawab orang yang mengupah itu. minta pemimpin ke

Kami memerlukan uang. Kami akan minta sisa upah yang dijanjikan. lompok itu.

Kami masih belum dapat memberikan seluruhnya. Kami akan membuktikan, apakah keter anganmu itu benar. Baru kami akan memberikan sisa upah sebagaimana kami sanggupk an. jawab orang yang mengupahnya, nah, sekarang kami akan memberikan sebagian lagi . Wajah pemimpin kelompok itu menegang. Katanya, mi. Kami sudah mempertaruhkan nyawa ka

Diam kau. orang yang mengupah itu membentak, kau tidak akan dapat memaksa kami kecu ali jika kau ingin agar kami membatalkan perjanjian itu. Jika kalian mengancam u ntuk membuka rahasia, maka kalian akan kami bunuh. Pemimpin kelompok itu tidak dapat berbuat lain. Ia harus menerima upah yang baru sebagian itu. Dengan demikian, maka jalan untuk sampai kebilik Panembahan Senap ati telah terbuka. Orang-orang yang mengupah kelompok itupun kemudian telah memb uat rencananya. Tetapi mereka tidak akan langsung melakukan rencana mereka terha dap Panembahan Senapati. Tetapi mereka akan membuktikan dahulu apakah yang dikat akan oleh sekelompok orang yang mereka upah itu benar. Tetapi mereka ternyata me mpunyai rencana sebagai kelengkapan rencana mereka itu. Seorang diantara mereka berkata, aram. Apa rencanamu? Kita harus mengalihkan perhatian orang-orang Mat

bertanya yang lain.

Kita akan mengacaukan Tanah Perdikan Menoreh. jawab yang pertama. Kenapa Tanah Perdikan Menoreh? Bukan daerah yang lain? bertanya kawannya pula.

Kita mempunyai alasan. jawab yang pertama, gerakan yang kita lakukan mengatas namak an diri dengan keluarga seperguruan orang-orang yang dibunuh oleh orang-orang Ma taram menganggap persoalannya terbatas dengan Tanah Perdikan Menoreh dan tidak a kan menyangkut ketenangan kota Mataram. Tanah Perdikan Menoreh tentu akan membua t laporan ke Mataram, bahkan mungkin memerlukan bantuan mereka. Mataram akan dap at menjadi lengah dan tidak memperhatikan keadaan diri mereka sendiri. Kawannya mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, Aku mengerti. Tetapi ki ta harus berusaha untuk merahasiakan langkah-langkah kita sejauh mungkin. Orangorang yang bertugas di Tanah Perdikan Menoreh harus tahu benar apa yang mereka l akukan. Kita tidak akan memberitahukan rencana kita yang sebenarnya. Kita akan memerintah kan tikus-tikus itu untuk benar-benar mengacaukan Tanah Perdikan Menoreh dengan

dalih seperti yang aku katakan. Dengan demikian maka pengertian mereka tentang t ugas mereka adalah memang menuntut balas kawan-kawan kita yang telah dibunuh ole h orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. berkata orang yang pertama. Mereka juga belum mengenal lingkungan Tanah Perdikan itu. desis kawannya. Untuk mengenali lingkungan Tanah Perdikan Menoreh adalah jauh lebih mudah dari me ngenali lingkungan istana Mataram. Biarlah mereka melakukannya. Mereka tidak aka n berbahaya meskipun satu dua orang dapat ditangkap oleh orang-orang Tanah Perdi kan. Mereka tidak akan dapat mengatakan apapun juga tentang kita. Seandainya ora ng-orang Tanah Perdikan akan memeras keterangan mereka yang tertangkap sampai ma ti seperti yang sudah terjadi itupun tidak akan menghasilkan apa-apa, jawab orang yang pertama, sementara itu kita akan menghadap guru dan melaksanakan rencana in duk kita. Mengakhiri kekuasaan Panembahan Senapati. Kawannya mengangguk-angguk. Lalu katanya, Kita harus melakukannya segera. Tetapi apakah kita akan membuktikan keadaan isi istana itu? Kita akan melakukannya, sementara orang-orang kita akan menarik perhatian Mataram terhadap Tanah Perdikan yang akan menjadi kacau itu. Demikianlah orang-orang yang telah mengupah sekelompok pencuri dan perampok untu k mengenali lingkungan di istana Mataram itu telah menyusun rencananya sebaik-ba iknya. Mereka telah memanggil beberapa pengikutnya untuk memberikan petunjuk, ap a yang harus mereka lakukan. Kalian harus pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. perintah pemimpin mereka itu. Kami belum mengenal Tanah Perdikan itu dengan baik. ereka. Jangan dungu. bentak pemimpinnya, desis salah seorang diantara m

bukankah kau dapat melihatnya?

Orang yang bertanya itu terdiam. Sementara itu pemimpin merekapun berkata selanj utnya, Kalian harus berbuat sebaik-baiknya atas nama kawan-kawan kita yang telah dihancurkan dengan cara yang paling buruk. Wajah orang-orang itupun menjadi tegang. Sementara itu pemimpinnya telah menceri terakan peristiwa-peristiwa yang disusunnya dikepalanya untuk memanaskan hati or ang-orangnya. Kemudian dengan lantang ia berkata, Tanah Perdikan Menoreh telah me nghinakan kebesaran nama kita. Mereka tidak menyadari siapakah kita sebenarnya. Para pengikutnya itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba salah seorang diantara m ereka bertanya, Tetapi apakah hubungannya orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu dengan kita, sehingga salah seorang atau bahkan lebih dari antara kita telah men galami nasib buruk di Tanah Perdikan itu? Sementara itu, apakah kepentingan kita sebenarnya berada di Mataram ini? Pemimpinnya itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, Kawan-kawan kita tidak melakukan kesalahan apapun di Tanah Perdikan Menoreh. Mereka hanya ingin m elihat-lihat lingkungan Tanah Perdikan itu. Namun orang-orang Tanah Perdikan men curigainya akan menangkapnya. Tetapi kita semuanya adalah laki-laki sejati. Dari pada ditangkap dan menjadi tawanan, maka bagi kita lebih baik mati sama sekali. Para pengikutnya memang menjadi panas. Mereka merasa terhina atas tingkah laku o rang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu, pemimpinnya berkata, Sedangkan kedatangan kita di Mataram ini semata-mata karena berita tentang kesombongan Pan embahan Senopati. Tetapi kita masih harus melihat-lihat apa yang sebenarnya ada di Mataram. Karena itu, aku belum dapat menentukan, apakah yang akan kita lakuka n. Jika ternyata justru sebaliknya dari anggapan kita, maka kita tidak akan berb

uat apa-apa disini. Tetapi itu tidak ada hubungan dengan dendam kita atas orangorang Menoreh. Karena itu orang-orang Menoreh tidak perlu tahu. Kalian tentu tah u maksudnya. Para pengikutnya mengangguk-angguk. Tetapi masih ada juga yang bertanya, Kenapa k awan kita dapat terbunuh di Tanah Perdikan itu? Apakah di Tanah Perdikan itu ada orang yang memiliki ilmu yang tinggi? Mereka mengerubutnya. Sejumlah laki-laki yang tidak terhitung banyaknya telah men yerang kawan kita yang hanya tiga orang itu. jawab pemimpinnya. Tetapi kenapa ketiga orang itu tidak mampu melepaskan diri? bertanya yang lain.

Pemimpinnya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, Kalian memang harus berhati-hati. Mungkin memang ada orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Mungkin kalian s udah pernah mendengar nama Agung Sedayu. Ya sahut seseorang, nama besar itu pernah kami dengar. Tetapi apakah benar kebesara n namanya itu sesuai dengan kebesaran ilmunya yang dihadapkan kepada kita? Jangan sombong. jawab pemimpinnya, hati-hatilah. Kalian akan melakukannya di Tanah Perdikan Menoreh bukan hanya bertiga, tetapi sepuluh orang diantara kalian akan pergi. Pemimpinnya itupun kemudian menunjuk seorang diantara sepuluh orang untuk menjad i tetua kelompok itu. Ia harus memimpin kawan-kawannya melakukan pembalasan dend am atas orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Namun pemimpinnya itu masih berpesan, Tetapi kalian bukannya menyerang Tanah Perd ikan itu, tetapi kalian harus mengacaukannya. Para pengikutnya itu mendengarkannya dengan sungguh-sungguh ketika pemimpinnya i tu memberikan petunjuk-petunjuk terperinci. Dengan demikian mereka mendapat gamb aran, bahwa yang mereka lakukan benar-benat suatu usaha pengacauan dalam waktu y ang agak lama. Bukan hanya satu serangan untuk melepaskan dendam dan kemudian di tinggalkan. Tetapi waktu yang diberikan adalah dua atau tiga pekan. Lakukan dalam waktu dekat. berkata pemimpinnya, kalian mempunyai beberapa hari untu k mengamati keadaan. Kemudian kalian akan mulai dengan langkah-langkah sebagaima na harus kalian lakukan. Baiklah. jawab orang yang diberi tanggung jawab memimpin sembilan orang kawannya, ami akan berusaha untuk melakukannya sebaik-baiknya. Demikianlah sepuluh orang itupun telah bersiap-siap. Mereka segera meninggalkan tempat persembunyian mereka di hutan-hutan yang berawa-rawa dilereng pebukitan d ipesisir Selatan. Namun dalam pada itu, disepanjang jalan mereka masih juga memb icarakan perintah yang mereka terima itu. Siapakah yang mati di Tanah Perdikan Menoreh sebenarnya? antara mereka. bertanya salah seorang di k

Kawan-kawannya menggeleng-gelengkan kepala. Tidak seorangpun yang dapat menjawab . Namun orang yang diserahi pimpinan itupun berkata, Kita harus mengerti, bahwa b anyak diantara kita yang tidak saling mengenal. Tetapi dalam keadaan tertentu ki ta memiliki tanda pengenal itu. Meskipun kita tidak saling mengenal, tetapi jika seseorang mengenakan tanda pengenal seperti yang kita miliki, maka kita adalah kawan dari satu sarang. Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Hampir diluar sadar, beberapa orang diantara m

erekapun telah meraba timang dari ikat pinggang mereka. Timang yang mempunyai be ntuk yang khusus dengan gambar kepala harimau yang terbuat dari tembaga. Namun demikian, tiba-tiba yang lainpun bertanya, Jadi apakah tugas seperti ini ya ng harus kita lakukan, justru setelah kita mendekati Mataram? Bukankah sudah dijelaskan. jawab pemimpin kelompok kecil itu, tidak ada kepentingan yang mendesak. Namun kita tidak dapat berpangkutangan melihat perkembangan kead aan, sehingga karena itu, pemimpin kita memerlukan diri untuk melihat keadaan Ma taram yang sebenarnya. Sudah tentu, para pemimpin kita memerlukan kita untuk men gawal mereka. Diperjalanan banyak hal yang dapat terjadi. Yang lain mengangguk-angguk meskipun sebenarnya mereka tidak puas dengan jawaban itu. Mereka menyadari bahwa masih ada yang disembunyikan. Tetapi hal seperti it u sudah terbiasa terjadi didalam lingkungan mereka. Mereka tidak perlu terlalu b anyak mengetahui. Mereka hanya menerima perintah dan melakukannya dengan sebaikbaiknya. Kemudian mereka akan mendapat bagian mereka yang cukup banyak dan janji kedudukan, meskipun mereka tidak mengetahui pasti, kedudukan apakah yang dapat diberikan kepada mereka oleh pemimpin mereka itu. Namun didapat kesan meskipun tidak tegas, bahwa apabila Mataram dapat dikuasai, maka semuanya akan terjadi sebagaimana dijanjikan. Dan pertanyaan yang timbul di hati mereka kemudian adalah, Apakah perjalanan mereka ke pesisir mendekati Matara m itu ada hubungannya dengan kesan yang pernah tersirat didalam jantung mereka i tu. Namun orang-orang itu tidak banyak mempersoalkannya. Mereka sudah banyak mendapa t bagian mereka sehingga mereka merasa terikat kepada tugas-tugas mereka. Namun lebih dari itu, mereka yang sudah terlanjur terjerat kedalam kelompok itu, akan sulit untuk melepaskan diri. Seorang yang berani mengabaikan tugas-tugas yang di berikan, biasanya akan didapati oleh kawan-kawannya mati terbunuh tanpa diketahu i sebabnya. Dan mereka pun sadar, bahwa pemimpin-pemimpin mereka adalah beberapa orang dari satu perguruan yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tetapi orang-orang itu tidak akan langsung pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Mere ka akan berada di hutan-hutan di daerah Tanah Perdikan itu sebagai tempat persem bunyian. Dari tempat itu mereka akan mengaduk Tanah Perdikan Menoreh, sehingga t imbul kesan, bahwa Tanah Perdikan itu menjadi kacau. Namun orang-orang itu tidak mengetahui, bahwa Tanah Perdikan Menorehpun sudah be rsiaga untuk menunggu apa yang mungkin terjadi. Apalagi setelah dua orang perwir a dari Mataram memberitahukan bahwa orang-orang yang berniat untuk mengamati kea daan didalam lingkungan istana itu melanjutkan usaha mereka. Setiap malam gardu-gardu di Tanah Perdikan Menoreh dipenuhi oleh anak-anak muda disamping para pengawal yang memang sedang bertugas. Meskipun diantara mereka ad a yang hanya sekedar berpindah tidur dari bilik-bilik mereka ke gardu parondan, namun kehadiran mereka, dapat menambah kemeriahan gardu-gardu itu. Dengan demiki an, jika saatnya para pengawal meronda berkeliling padukuhan, maka gardu-gardu m asih tetap ramai oleh anak-anak muda. Ada diantara mereka yang membawa ketela po hon, jagung dan bahkan ada yang membawa beras ketan. Ada saja yang mereka lakuka n dengan bahan-bahan makanan itu. Bahkan disiang hari, setiap gardu di Tanah Perdikan Menoreh tetap terisi oleh du a orang pengawal yang tanpa memberikan kesan yang dapat menggelisahkan rakyat. M emang tidak ada kesan yang menunjukkan bahwa Tanah Perdikan terancam, sehingga k arena itu kehidupan sehari-hari sama sekali tidak terpengaruh karenanya. Dalam pada itu, sepuluh orang yang mendapat tugas untuk mengacaukan Tanah Perdik an Menoreh itupun telah berada ditempat persembunyian mereka tanpa menarik perha tian selama perjalanan. Dari tempat itu mereka berusaha untuk dapat mengamati ke hidupan Tanah Perdikan. Disiang hari, dua orang diantara mereka telah berusaha m

elihat-lihat keadaan. Tidak hanya sekali, tetapi beberapa kali bergantian untuk meyakinkan pengamatan mereka. Sebagaimana mereka datang ke lingkungan Tanah Perdikan Menoreh serta tempat pers embunyian mereka, maka merekapun tidak menarik perhatian orang-orang Tanah Perdi kan Menoreh. Dua orang diantara mereka yang bergantian melihat-lihat keadaan Tan ah Perdikan telah berhasil mengenali jalan-jalan di Tanah Perdikan itu. Namun di siang hari mereka tidak melihat kesiagaan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang sangat tinggi. Jika mereka melihat satu dua orang berada digardu, mereka me ngira bahwa anak-anak itu adalah anak-anak yang kelelahan bekerja disawah atau d ikebun dan sekedar beristirahat di gardu disudut desa. Dengan demikian, maka mer eka telah menyusun rencana untuk mulai dengan pengacauan yang akan mereka lakuka n dimalam hari. Sementara itu, dua orang pemimpin mereka, orang-orang yang memiliki ilmu yang ti nggi, telah membuktikan, apakah laporan orang-orang yang mereka upah melihat-lih at keadaan dilingkungan istana itu bukan sekedar mengarang ceritera untuk memanc ing upah yang dijanjikan, tetapi tugas yang sebenarnya tidak pernah mereka lakuk an. Namun adalah diluar dugaan, bahwa kedatangan mereka ternyata telah berada dibawa h pengawasan para petugas di istana Mataram. Namun para perwira dari Pasukan Khusus itupun melihat perbedaan bobot kemampuan kedua orang itu dengan orang-orang yang datang lebih dahulu. Karena itu, maka me reka telah melakukannya dengan sangat berhati-hati. Semula mereka mengira, bahwa kedua orang itulah yang akan langsung memasuki bilik Panembahan Senapati. Karen a itu, mereka telah melakukan segala pengamatan sebagaimana dipersiapkan. Mereka telah menarik pula tali isyarat yang memberitahukan langsung kepada Panembahan Senapati, bahwa dua orang yang berilmu tinggi telah memasuki dinding istana. Tali itu telah menggerakkan sebuah bandul kecil didalam bilik Panembahan Senapat i, sehingga Panembahan Senapatipun mengerti, bahwa orang yang ditunggunya telah datang. Dalam bilik itu, selain Panembahan Senapati terdapat pula Ki Patih Manda raka, yang ternyata tidak sependapat jika Panembahan Senapati menunggunya seoran g diri. Tetapi ternyata kedua orang itu tidak memasuki bilik Panembahan Senapati. Menuru t perhitungan Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka, jalan satu-satunya unt uk memasuki bilik itu tanpa diketahui oleh para prajurit Pengawal Khusus dan Pel ayan Dalam adalah melalui atap istana itu. Namun para prajurit yang mengamati keadaan kemudian melihat kedua orang itu just ru meninggalkan halaman istana setelah mereka berhasil mendekati bilik Panembaha n Senapati. Demikian keduanya keluar dari halaman istana dengan meloncat dinding sebagaimana ditunjukkan oleh orang-orang yang mereka upah, maka seorang diantara mereka ber gumam, Mereka tidak berbohong. Yang mereka katakan, ternyata benar-benar hasil pe ngamatan mereka. Saudara seperguruannya mengangguk. Katanya, Mereka tidak akan berani membohongi k ita. Kita tentu akan segera mengetahuinya dan mereka tahu akibat apa yang akan m ereka alami. Tetapi hasil kerja mereka cukup memuaskan. Yang mereka gambarkan ternyata tepat s eperti apa yang sebenarnya, sehingga kita dapat menempuh dan melalui jalan, loro ng dan pintu-pintu regol serta seketheng dengan lancar tanpa gangguan. Merekapun dapat menyebut tempat-tempat penjagaan dengan jelas dan dengan demikian kami de ngan mudah dapat menghindarinya. sahut yang lain. Karena itu, agaknya mereka sudah sepantasnya menerima sisa upah mereka. berkata sa

udara sepergu-ruannya. Biarlah mereka menunggu. Jika mereka sudah menerima seluruh upah mereka, maka mer eka tidak merasa terikat lagi kepada kita. Jika mereka mendapat orang lain yang mereka anggap dapat memberikan upah lebih banyak, mereka akan berkhianat. berkata yang seorang, sementara itu, merekapun akan menjadi tidak takut pula jika mereka mendapat perlindungan atau merasa mendapat perlindungan dari pihak lain. Saudara seperguruannya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Demikianlah, maka segala yang mereka saksikan dan mereka buktikan itu telah dibe ritahukannya kepada saudara-saudara seperguruannya yang lain, serta para pengiku tnya, khusus yang mendapat kepercayaan tertinggi. Mereka masih harus membicaraka n apa yang sebaiknya mereka lakukan. Karena langkah-langkah yang akan mereka amb il selanjutnya akan menyangkut pula guru mereka. Kita akan memberi tahukan semuanya kepada guru. berkata salah seorang diantara mer eka, biarlah guru yang mengambil keputusan. Mungkin guru memang memerlukan pertim bangan kita. Dan kitapun akan memberikan keterangan sejauh kita ketahui. Saudara-saudara seperguruannya mengangguk-angguk. Kepercayaan mereka yang diangg ap pantas untuk ikut dalam pembicaraan itupun agaknya sependapat. Karena itu, ma ka saudara yang tertua diantara mereka itupun berkata, Baiklah. Kita akan menghad ap guru. Tetapi kita tidak usah berangkat semuanya kembali ke padepokan dan meng hadap guru. Biarlah aku dan dua orang diantara kalian pergi mewakili kita semuan ya. Sementara itu, diantara kita yang tinggal disini harus selalu mengikuti perk embangan keadaan. Mungkin kalian perlu mendengar dan melihat apakah yang telah t erjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Kita harus mampu menyadap peristiwa-peristiwa yang telah terjadi disekitar Mataram. Mungkin akan menyangkut kepentingan kita s eperti yang ternyata telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh itu. Hal yang serup a dengan itu, mungkin dapat pula terjadi didaerah lain. Karena itu, kita akan te tap memasang telinga kita dimana-mana. Tetapi terutama di Tanah Perdikan Menoreh . Tidak ada diantara mereka yang berkeberatan. Sementara itu orang tertua diantara merekapun telah menunjuk seorang dari antara saudara-saudara seperguruannya ser ta seorang kepercayaannya. Ketiga orang itu telah meninggalkan pangkalan mereka untuk bergerak ke Mataram, kembali ke padepokan untuk menemui guru mereka. Mereka akan mengatur langkah-lan gkah yang akan mereka tempuh selanjutnya setelah mereka mendapat kepastian tenta ng tata letak bangunan serta keadaan istana Mataram. Di Mataram, Panembahan Senapati, Ki Patih Mandaraka dan para perwira dari Pasuka n Khusus serta Pelayan Dalam telah membicarakan kehadiran dua orang yang agaknya memiliki ilmu yang tinggi kedalam lingkungan istana. Mereka yang disangka akan langsung memasuki bilik Panembahan Senapati. Namun ternyata tidak. Keduanya tida k lebih melihat-lihat seperti yang dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Tetapi agaknya mereka sekedar membuktikan apa yang pernah dilihat oleh orang-oran g sebelumnya dan berdasarkan atas pengamatan mereka, keduanya menelusurinya kemb ali. berkata seorang perwira yang mengamati langsung kedua orang yang datang kemu dian itu. Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Dengan sungguh, karena itu, maka kitapun h arus bersungguh-sungguh. Kita belum tahu siapakah mereka dan untuk apa sebenarnya mereka bergerak. Untuk kepentingan mereka sendiri, atau mereka sekedar menjalan kan satu diantara sesusun rencana tetang Mataram. Dengan demikian maka langkah-l angkah mereka akan dibarengi atau disusul dengan langkah-langkah yang lain. Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, Memang satu langkah yang

berani. Bukan karena aku memiliki ilmu yang sangat tinggi, tetapi mereka tentu t ahu, bahwa aku telah dibayangi oleh kekuatan sejumlah para pengawal. Itulah sebabnya maka kita menganggap persoalan ini adalah persoalan yang bersungg uh-sungguh. sahut Ki Patih, mereka tentu bukannya tidak tahu, apakah ini Mataram. Karena itu, mereka tentu memiliki alasan dan bekal yang cukup untuk mengambil la ngkah-langkah seperti itu. Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Mandarakapun berkata, Kar ena itu, hamba masih tetap mohon diperkenankan untuk berada diistana ini bersama Panembahan. Panembahan Senapati mengangguk. Katanya, Aku jadi teringat semasa kanak-kanak. Pa man sering menunggui aku menjelang tidur dan menceriterakan satu dongeng yang sa ngat menarik. Maaf Panembahan. jawab Ki Patih, bukan maksud hamba untuk menganggap Panembahan tid ak akan dapat mengatasi persoalan ini sendiri. Tetapi kita harus menyadari kelem ahan kita betapapun banyak dan tinggi ilmu yang pernah kita peroleh. Aku tidak berkeberatan paman. sahut Panembahan Senapati, bilik bersamaku sebelah menyebelah sekat. paman akan tetap berada di

Terima kasih angger Panembahan. jawab Ki Juru, mungkin yang terasa oleh hamba hanya lah sekedar kecemasan orang-orang tua saja. Panembahan Senapati tersenyum. Namun kemudian katanya, Agaknya bukan sekedar pera saan cemas orang tua saja. Tetapi kita sepakat, bahwa memang ada usaha untuk mel akukan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Karena itu, akupun minta, agar para pr ajurit yang secara khusus ikut menghadapi persoalan ini menjadi lebih berhati-ha ti. Dengan demikian, maka kehadiran kedua orang itu merupakan satu peringatan bagi p ara prajurit dari Pasukan Khusus dan Pelayan Dalam, bahwa keadaan memang menjadi semakin gawat. Dalam pada itu, ketika Mataram semakin memperketat pengamatan, sementara tiga or ang diantara mereka yang mempunyai kepentingan dengan Mataram sedang kembali ke padepokan mereka untuk melaporkan kepada gurunya bahwa persiapan terakhir telah dilakukan, maka orang-orang yang mendapat tugas untuk menarik perhatian Mataram atas Tanah Perdikan Menorehpun mulai bergerak. Sepuluh orang yang ditugaskan ke Tanah Perdikan Menoreh itu, pada satu malam tel ah memasuki lingkungan padukuhan-padukuhan yang termasuk tlatah Tanah Perdikan. Mereka berusaha untuk menimbulkan kekacauan di Tanah Perdikan itu. Namun ketika mereka mengamati sebuah padukuhan, maka mereka menjadi berdebar-deb ar. Dua orang diantara mereka ditugaskan untuk mendekati padukuhan yang akan men jadi sasaran. Apa yang ada di mulut regol padukuhan itu. berkata pemimpin kelompok itu, dibawah cahaya obor itu, banyak orang yang berkerumun. nampaknya

Dua orang diantara mereka telah merayap mendekat, sementara yang lain, berada di tengah-tengah kegelapan diantara tanaman yang hijau di sawah. Semakin dekat maka kedua orang itupun menjadi semakin jelas, bahwa yang berada dibawah cahaya obor itu adalah anak-anak muda yang sedang berkelakar. Gila. geram salah seorang dari keduanya, u? Apakah kepentingan mereka berkelakar disit

Kita melingkari padukuhan ini. Kita akan melihat, apakah di regol yang lain juga banyak anak-anak muda di gardu. jawab yang seorang. Keduanyapun segera kembali kepada kawan-kawannya dan melaporkan apa yang telah m ereka saksikan. Anak-anak yang tidak tahu diri. geram pemimpin kelompok itu. Lalu katanya, Marilah. Kita lihat regol padukuhan yang lain. Namun ternyata bahwa di regol yang lainpun terdapat anak-anak muda yang berada d i sekitar gardu. Mereka justru sedang menunggu perapian untuk merebus jagung mud a. Ketika mereka melingkar lagi, maka digardu yang lainpun terdapat anak-anak muda pula yang sedang berkelompok. Apakah padukuhan ini sedang melakukan satu kegiatan tertentu? bertanya salah seora ng diantara mereka. Entahlah. sahut pemimpinnya. Namun mereka sepakat untuk melihat keadaan di padukuhan lain. Mungkin di padukuh an yang mereka amati itu memang sedang ada satu kegiatan yang tidak mereka ketah ui. Namun padukuhan-padukuhan lainpun ternyata diliputi oleh suasana yang sama. Dengan demikian maka orang-orang itupun telah mengambil kesimpulan bahwa mereka harus melihat Tanah Perdikan Menoreh itu sekali lagi. Dan waktunya adalah malam hari. Sebenarnyalah di malam berikutnya mereka telah melihat-lihat Tanah Perdikan. Mer eka membagi diri menjadi bagian-bagian yang kecil, masing-masing dua orang. Mere ka melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan itu dibagian yang berbeda-beda menurut g aris-garis jalan yang silang menyilang di Tanah Perdikan sebagaimana mereka kena l di siang hari. Akhirnya merekapun mendapat kesimpulan, bahwa Tanah Perdikan Menoreh memang bera da dalam kesiagaan. Anak-anak muda yang berkerumun digardu-gardu itu memang seda ng mengadakan pengamatan. Mereka berjaga-jaga bagi ketenangan padukuhan mereka. Gila. geram pemimpin kelompok itu, aku tidak pernah mengira bahwa Tanah Perdikan in i mempunyai kesiagaan yang demikian tinggi, meskipun mungkin mereka tidak lebih dari tikusirtikus kecil. Namun mereka akan dapat menjadi berbahaya jika mereka m embunyikan tanda bahaya dan memanggil sejumlah anak-anak muda yang lebih banyak lagi. Bahkan mungkin akan datang Ki Gede Menoreh sendiri, atau orang yang memili ki nama besar Agung Sedayu, meskipun kita masih belum yakin, apakah ia memang be nar-benar pantas memiliki nama besar itu. Lalu apakah kita akan mengurungkan tugas kita? Apakah kita akan dapat mempertangg ung jawabkannya kepada pemimpin kita? bertanya seorang di antara mereka. Jangan bodoh. geram pemimpin kelompok itu, kita akan melaksanakan tugas ini. Yang p erlu kita mempertimbangkan adalah caranya. Apa yang sebaiknya kita lakukan. Yang lain mengangguk-angguk Mereka memang harus mempertimbangkannya masak-masak. Namun akhirnya pemimpin kelompok itu berkata, Aku memang melihat satu jalan. Jalan yang mana? bertanya salah seorang kawannya.

Kita akan membakar saja satu dua rumah. Barangkali itu satu satunya cara yang dap at kita tempuh tanpa harus mengorbankan seorangpun di antara kita. berkata pemimp

in kelompok itu. Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka memang tidak melihat cara yang lain yan g dapat mereka tempuh. Jika mereka memberanikan diri langsung berhadapan dengan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, maka mereka akan menghadapi anak-anak muda y ang tidak terhitung jumlahnya. Padahal mereka hanya sepuluh orang. Karena itu, m aka cara yang disebut oleh pemimpin kelompok itu adalah cara yang paling baik. Dalam pada itu, pemimpin kelompok itu berkata lebih lanjut, Jika kita menjumpai a nak-anak itu, maka lebih baik kita menghindar. Kita jangan melawan, karena hal i tu akan sia-sia saja. Sementara itu, jika ada diantara kita bernasib sangat buru k dan tertangkap, maka yang kita ketahui tugas kita adalah untuk melepaskan dend am karena kematian kawan-kawian kita. Dua orang kawan kita mati di sini. Seorang dibunuh oleh seorang anak muda Tanah Perdikan ini, sementara seorang lagi mati dalam pemeriksaan para pemimpin Tanah Perdikan. Bagaimana dengan Mataram? bertanya salah seorang kawannya. Kita tidak tahu menahu. jawab pemimpinnya, bukankah sudah diberitahukan bahwa tidak ada hubungannya antara tugas kita sekarang ini dengan persoalan Mataram yang me mang tak banyak kita ketahui itu? Sekali kita menyebut Mataram, maka kita akan m engalami nasib seperti orang yang mati itu. Apakah yang dapat kita katakan tenta ng rencana golongan kita tentang Mataram? Agaknya kita baru dalam tingkat menjaj agi. Segala sesuatunya akan diputuskan oleh para pemimpin kita, sementara kita h anya akan melaksanakannya saja di saat yang tepat. Yang lain mengangguk-angguk. Namun merekapun membayangkan bahwa mereka akan dapa t mengalami keadaan yang sama. Mati dibawah pemeriksaan para pemimpin di Tanah P erdikan ini. Sekali mereka membunuh seseorang yang tidak mau menyebut satu rahas ia, atau mungkin karena ia memang belum mengetahuinya, maka hal yang serupa akan dapat terulang. Karena itu, yang terbaik bagi mereka adalah tidak tertangkap ol eh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Demikianlah, maka pada malam berikutnya pula, kelompok itu telah bersiap untuk m elakukannya. Mereka telah menyiapkan obor-obor yang cukup besar. Oncor-oncor jar ak yang diikat dari beberapa rangkaian menjadi satu, belarak kering dan beberapa jenis kekayuan yang mudah terbakar. Ketika malam menjadi semakin dalam, dan mendekati pertengahannya, maka merekapun mulai bergerak. Mereka justru mendatangi padukuhan yang agak jauh dari tempat p ersembunyian mereka untuk mengaburkan jejak. Tanpa diduga bahwa malam itu akan terjadi sesuatu di Tanah Perdikan, maka anak-a nak muda Tanah Perdikan itu masih dalam kesiagaan sebagaimana malam-malam sebelu mnya. Mereka lebih banyak berada di gardu-gardu meskipun sekali-sekali ada juga diantara mereka yang meronda berkeliling. Namun terjadilah malapetaka itu. Seisi Tanah Perdikan terkejut ketika api menyal a dan menelan sebuah rumah yang meskipun tidak terlalu besar, tetapi termasuk ru mah yang cukup baik bagi padukuhan itu. Untunglah bahwa anak-anak muda memang sudah bersiaga. Demikian mereka melihat ap i, maka merekapun segera bergerak. Sebelum rumah itu menjadi gumpalan api yang m enyala menjilat langit, beberapa orang anak muda sempat menerobos masuk. Mereka mendapatkan sepasang suami isteri yang terbaring pingsan di pembaringan, sementa ra seorang anak kecil yang kehilangan nalar berteriak-teriak sambil mengguncangguncang tubuh ibunya. Anak-anak muda itu sempat membawa mereka keluar meskipun tubuh mereka telah terj ilat lidah api. Tubuh orang yang ditolong itu, maupun beberapa orang anak muda y

ang menolong. Namun luka-luka bakar itu sama sekali tidak berarti. Seorang anak muda yang kebetulan adalah adik dari perempuan yang pingsan dan yan g sehari-hari juga berada dirumah itu mengumpat-umpat dengan marah. Anak muda it u sedang berada di gardu bersama kawan-kawannya ketika sekelompok penjahat memas uki rumahnya. Dengan kerja keras, anak-anak muda dan para tetangganya akhirnya dapat memadamka n api. Tetapi karena rumah itu terbuat dari kayu dan bambu beratap ijuk, maka ha mpir tidak ada yang dapat diselamatkan kecuali kedua suami istri dan anaknya yan g masih kecil itu. Dalam waktu yang singkat, maka Ki Gede Menoreh, Agung Sedayu bersama isterinya, Kiai Jayaraga dan Glagah Putih telah berada ditempat itu, karena mereka telah me ndengar bunyi isyarat kentongan. Dengan dituntun oleh cahaya merah dilangit, mak a merekapun dengan cepat menemukan arah dari kebakaran itu. Suatu peristiwa yang mengejutkan. berkata Ki Gede, ini bersiaga sepenuhnya. justru pada saat Tanah Perdikan

Agung Sedayu memang dicekam oleh ketegangan. Bahkan Glagah Putih berkata, Satu ta ntangan bagi kita kakang. Agung Sedayu tidak menjawab. Namun bersama beberapa orang iapun berusaha untuk m elihat bekas dari kebakaran itu. Tetapi yang nampak hanyalah onggokan debu dan s edikit sisa-sisa tiang dan tulang-tulang atap rumah itu. Apakah kedua orang yang pingsan itu sudah mulai sadar? Mereka ada dirumah sebelah. jawab seorang anak muda. berkata Agung Sedayu, marilah. Kita mungkin me bertanya Agung Sedayu.

Kita tidak menemukan apa-apa disini. ndapatkan beberapa keterangan.

Ketika Agung Sedayu berada dirumah sebelah, Ki Gedepun sudah berada dirumah itu pula. Setelah memper silahkan orang-orang yang tidak berkepentingan keluar, maka Ki Gedepun mulai menanyakan beberapa hal tentang kebakaran yang terjadi dirumah itu. Bukan karena kelengahan kami Ki Gede nya itu. jawab laki-laki yang sudah sadar dari pingsan

Kami sudah menduga. jawab Ki Gede, karena kalian diketemukan pingsan di dalam rumah yang terbakar itu. Tentu ada sebab lain yang pantas mendapat perhatian. Meskipun sekali-sekali laki-laki itu berdesis karena sengatan perasaan nyeri dit ubuhnya, namun iapun sempat berceritera. Katanya, Kami terbangun karena ketukan d ipintu rumah kami. Kami memang sudah merasa curiga. Tetapi kami tidak dapat meno lak, karena terdengar ancaman diluar. Jika kami tidak membuka pintu, maka rumah kami akan dibakar. Ketika kami membuka pintu, ternyata kami telah disakiti. Apa saja yang dikatakan oleh orang-orang itu? Apakah ia sekedar merampok atau ada kepentingan lain? bertanya Ki Gede pula. Mereka tidak sekedar merampok Ki Gede, karena dirumah kami memang tidak terdapat sesuatu yang pantas untuk dirampok. jawab orang itu, tetapi mereka telah menyebut kematian dua orang yang katanya telah dibunuh oleh orang-orang Tanah Perdikan in i. Mereka ingin menuntut balas. Mereka menganggap bahwa kematian kawannya yang s edang diperas keterangannya membuat mereka menjadi sakit hati.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, Satu kemun gkinan yang memang sudah kita perhitungkan. Tetapi kita tidak menyangka bahwa sa saran dendamnya adalah siapapun juga di Tanah Perdikan ini. Seharusnya mereka me ncari Glagah Putih atau orang-orang yang dekat dengan Glagah Putih serta pimpina n Tanah Perdikan ini yang telah memeriksa seorang diantara mereka sehingga terbu nuh karenanya. Ki Gede mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, Kita harus berbuat sebaik-baik nya menghadapi akibat ini. Tetapi langkah pertama adalah penjagaan yang lebih ke tat atas Tanah Perdikan ini. Agung Sedayu mengangguk. Dengan dahi yang berkerut ia berkata, elah membabi buta. Nampaknya mereka t

Kita akan membicarakan lebih bersungguh-sungguh. berkata Ki Gede kemudian. Dengan demikian, maka malam itu juga dirumah Ki Gede telah diadakan pembicaraan khusus. Namun masih ada pertanyaan yang harus dijawab, Apakah yang terjadi itu se mata-mata hanya pembalasan dendam? Agung Sedayu yang kemudian berkata, Aku ingin dapat menangkap mereka hidup-hidup.

Tentu itu lebih baik Tetapi seperti yang kita cemaskan, seandainya kita menangkap hidup-hidup, apakah bukan berarti rahasia mereka akan terbuka. Apakah dengan de mikian tidak akan berpengaruh terhadap langkah-langkah yang sudah mereka lakukan di Mataram? sahut Ki Gede. Apakah yang terjadi ini memang ada hubungannya dengan Mataram atau apa yang akan terjadi di Mataram? bertanya Agung Sedayu, Atau benar-benar hanya satu balas denda m yang berdiri sendiri dari persoalan orang-orang yang mengupah mereka yang terb unuh itu? Satu persoalan yang rumit. desis Ki Gede, namun kita harus menemukan satu sikap. Beberapa saat kemudian mereka berusaha untuk menemukan satu langkah yang paling baik. Jika mereka yakin bahwa yang terjadi itu benar-benar hanya balas dendam sa ja, maka mereka tidak akan terlalu banyak membuat pertimbangan. Namun akhirnya Agung Sedayupun berkata, Ki Gede, langkah kita yang pertama adalah mencegah terulangnya kembali pembakaran rumah seperti yang sudah terjadi. Semen tara itu kita dapat memperhitungkan langkah-langkah berikutnya. Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, mudian. Baiklah. Kita akan melihat perkembangannya ke

Demikianlah, pada keesokan harinya, Agung Sedayu telah mengumpulkan para pemimpi n pengawal dari semua padukuhan. Mereka mendapat petunjuk-petunjuk terperinci, b agaimana mereka harus mencegah terulangnya peristiwa itu. Tanah Perdikan harus b erusaha untuk meringankan beban suami isteri yang telah kehilangan tempat tingga lnya. Kita harus membantunya. berkata Agung Sedayu, yang terjadi itu adalah karena sikap permusuhan sekelompok orang terhadap Tanah Perdikan ini. Bukan terhadap pribadi suami isteri itu. Dengan demikian maka menjadi kewajiban Tanah Perdikan untuk me mpertanggung jawabkan. Para pemimpin pengawal itupun kemudian mendapat perintah pula untuk menghubungi para bebahu di padukuhan-padukuhan untuk membantu keluarga yang mengalami bencan a itu. Pada bebahu itu juga akan menerima perintah langsung dari Ki Gede pula, s ehingga jalur dari para pemimpin pengawal dan para bebahu itu akan bertemu. Mere ka akan mengetuk pintu orang-orang yang berkedudukan di Tanah Perdikan Menoreh, sehingga beban itu terasa ringan karena diangkat oleh seluruh Tanah Perdikan.

Anak-anak muda Tanah Perdikan memang bekerja cepat. Perintah untuk bersiaga itup un segera sampai kesetiap padukuhan. Sementara itu mereka telah mempersiapkan te naga untuk membantu membangun sebuah rumah yang akan menggantikan rumah yang sud ah terbakar itu. Dengan demikian, maka para bebahu dan para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Meno reh telah menghubungi orang-orang yang dapat dan bersedia membantu, sehingga pad a hari yang pertama itu, mereka telah mendapat dana yang memadai. Karena itulah, maka dihari berikutnya anak-anak muda dan tetangga tetangga orang yang kehilangan rumahnya dan untuk sementara tinggal dibanjar itu, telah mulai mengumpulkan bahan-bahan bangunan yang diperlukan. Mereka menebangi bambu selain milik orang yang kebakaran rumah itu sendiri, juga dari tetangga-tetangga disek itarnya. Sedangkan bahan-bahan yang harus dibelipun sudah mulai dibeli pula. Dalam pada itu, dimalam hari, penjagapun menjadi semakin ketat. Tidak saja direg ol-regol padukuhan. Tetapi anak-anak muda yang biasanya berkumpul, bergurau dan merebus jagung di gardu-gardu telah berpencar di sekitar dinding padukuhan. Seak an-akan setiap jengkal tanah tidak terlepas dari pengawasan anak-anak muda itu. Tidak setahu siapapun kecuali Ki Gede sendiri, ternyata Agung Sedayu dan Kiai Ja yaraga telah kembali dari Mataram. Mereka berangkat di malam hari dan kembali di malam hari berikutnya. Mereka telah menghadap Panembahan Senapati untuk memohon petunjuk apa yang sebaiknya dilakukan di Tanah Perdikan Menoreh. Panembahan Sena pati menganggap bahwa persoalan yang sesungguhnya itu berada di Mataram. Namun k etajaman penggraitanya telah menangkap maksud-maksud tertentu dari langkah-langk ah orang-orang yang berniat jahat itu di Tanah Perdikan Menoreh. Menurut perhitungan, mereka tentu sekedar menarik perhatian agar kita semuanya be rpaling ke Tanah Perdikan Menoreh. berkata Panembahan Senapati. Mungkin Panembahan. Mereka menyatakan pembalasan dendamnya dengan membabi buta. rkata Agung Sedayu. Aku memerlukan laporan berikutnya. Tanah Perdikan Menoreh harus memberikan lapora n secara terus menerus. Ketahuilah, bahwa sudah dua kali orang-orang yang tidak kita kenal itu memasuki halaman istana. Tetapi mereka belum berbuat apa-apa disi ni selain mengamati lingkungan dan keadaan. sahut Panembahan Senapati. Pembicaraan itulah yang kemudian menjadi bahan para pemimpin Tanah Perdikan Meno reh untuk mengambil langkah-langkah tertentu. Namun merekapun masih harus menyes uaikan diri dengan perkembangan keadaan. Pada malam-malam berikutnya, sepuluh orang yang mendapat tugas mengacaukan Tanah Perdikan itu seakan-akan tidak mendapat kesempatan lagi untuk memasuki setiap p adukuhan. Penjagaan menjadi terlalu ketat. Sehingga dengan demikian mereka harus mengambil langkah-langkah yang lain. Yang terjadi kemudian memang mengejutkan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Ora ng-orang yang tidak dapat memasuki padukuhan itu ternyata telah merusak tanaman di sawah. Beberapa kotak batang padi yang hijau subur telah hancur. Parit-paritp un menjadi rusak dan dengan demikian maka airpun tidak lagi mengalir ke sawah-sa wah yang memerlukan. Ketika kerusakan itu dilihat oleh para petani di pagi harinya, maka merekapun te lah mengumpat-umpat. Ternyata orang-orang yang mengaku mendendam itu benar-benar telah membabi buta. Berbuat apa saja untuk melepaskan perasaan sakit hati merek a. Dengan demikian maka Ki Gede telah memerintahkan untuk mengamati bukan saja padu kuhan-padukuhan, tetapi juga tanah persawahan dan pategalan diseluruh Tanah Perd ikan. be

Memang sulit sekali untuk melakukannya. berkata Ki Gede, Agaknya tidak mungkin untu k mengamati sawah yang ada dari ujung Tanah Perdikan sampai keujung. Bulak-bulak panjang yang terentang diantara padukuhan-padukuhan sampai kepinggir hutan dan lereng-lereng pegunungan. Dengan demikian, maka anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh telah menyiapkan pen gawal berkuda. Mereka akan mengelilingi Tanah Perdikan Menoreh. Bukan hanya seke dar di padukuhan-padukuhan saja, tetapi juga di bulak-bulak panjang. Dengan gerak pengamatan yang lebih banyak, maka malam berikutnya tidak terjadi s esuatu. Tidak ada tanaman yang rusak dan tidak ada rumah yang terbakar. Namun an ak-anak muda itu tidak menjadi lengah. Pada malam berikutnya mereka masih juga m engelilingi Tanah Perdikan itu. Sekelompok pasukan pengawal berkuda telah memeca h diri dalam beberapa kelompok kecil untuk dapat mencapai seluruh tlatah Tanah P erdikan. Ketika fajar menyingsing, maka para pengawal itupun telah berkumpul. Mereka tida k menjumpai sesuatu. Apalagi sekelompok orang yang merusak tanaman. Bahkan ketik a kemudian matahari terbit dan orang-orang pergi kesawah, tidak seorangpun yang merasa sawahnya telah dirusakkan. Namun para petani itu menjadi heran, bahwa air diparit tidak mengalir seperti bi asanya, sehingga mereka yang mendapat giliran mengairi sawahnya menjadi kebingun gan karenanya. Tanamannya sudah sangat memerlukan air, namun paritnya tetap tida k mengalir. Tentu ada seorang yang nakal. pikir seorang petani yang sawahnya mulai menjadi ker ing. Seperti biasanya jika terjadi pelanggaran, maka petani itupun menelusuri parit y ang kering untuk melihat, siapakah yang telah menutup parit itu. Mungkin tidak s engaja. Ketika ia mengairi sawahnya, ia tertidur sehingga setelah sawahnya penuh air, ia tidak membukanya. Tetapi ia tidak menemui kesalahan pada para petani yang memiliki sawah diurutan yang lebih tinggi. Tetapi ada orang yang membendung air diparit itu. Bahkan sela ma ia menelusuri parit itu, ia telah bertemu dengan beberapa orang yang juga mer asa heran, bahwa parit itu kering. Beberapa orang itupun kemudian menelusuri ketempat yang lebih tinggi. Mereka mer asa heran bahwa induk saluran airpun telah menjadi kering. Karena itu, maka mere ka telah bersepakat untuk pergi ke bendungan. Agaknya bendungannyalah yang salah . Beberapa orang itu-pun telah bergegas untuk pergi ke bendungan. Sebenarnyalah, t ernyata bahwa bendungan itulah yang telah rusak. Ketika beberapa orang itu sampai di bendungan, telah banyak orang yang berkumpul . Bahkan Ki Gede, Agung Sedayu bersama Sekar Mirah, Kiai Jayaraga dan Glagah Put ih-pun telah berada di tempat itu pula. Bendungan itulah yang telah menjadi sasaran dari orang-orang yang ingin membalas dendam. Ketika mereka merasa tidak tenang lagi jika mereka merusakkan tanaman k arena para pengawal berkuda sering mondar-mandir di bulak-bulak persawahan, maka yang menjadi sasaran mereka kemudian adalah bendungan. Dengan demikian, maka para pemimpin di Tanah Perdikan Menoreh itu-pun harus meni lai kembali kesiagaan yang telah mereka lakukan. Dengan gejolak kemarahan yang m engguncang jantungnya Ki Gede telah memerintahkan setiap orang untuk ikut mengam ati keadaan. Para pengawal tidak hanya sekedar meronda, tetapi semua jalan masuk

ke Tanah Perdikan harus diawasi. Bukan sekedar memasuki padukuhan-padukuhan, te tapi di segala jalan dan lorong masuk ke Tanah Perdikan. Mungkin di tengah sawah , di tengah pategalan atau dimanapun juga. Dalam pada itu, ketika laporan tentang peristiwa-peristiwa itu sampai di Mataram , maka dengan ketajaman perhitungannya, Panembahan Senapati telah memerintahkan sekelompok prajurit untuk pergi ke Tanah Perdidikan Menoreh, membantu para penga wal untuk mengatasi kekacauan yang timbul di Tanah Perdikan itu. Kami masih belum menyerah berkata Agurg Sedayu yang mondar-mandir dari Mataram ke Tanah Perdikan, kami masih cukup tenaga untuk melakukan pengamatan di Tanah Perdi kan. Para pengawal yang mempunyai pengalaman yang cukup itu akan mampu mengatasi nya. Aku percaya berkata Panembahan Senapati, jika aku mengirimkan pasukan ke Tanah Perd ikan itu sama sekali bukan karena Tanah Perdikan tidak mampu lagi mengatasinya. Lalu karena apa? bertanya Agung Sedayu.

Orang-orang yang mengacaukan Tanah Perdikan itu aku kira berniat untuk memancing perhatian Mataram ke arah Tanah Perdikan itu. Sehingga dengan demikian maka Mata ram justru akan lengah. Kami seakan-akan tidak merasa bahwa kamilah yang sebenar nya diintai oleh sekelompok orang yang belum kami ketahui alasannya. Dengan demi kian maka orang yang berniat untuk memasuki istana ini akan merasa langkahnya le bih aman berkata Panembahan Senapati. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, Hamba Panembahan. Hamba baru mengerti. Nah, jika demikian aku akan mengirimkan pasukan dengan upacara sehingga banyak or ang yang mengetahuinya berkata Panembahan Senapati, dengan demikian maka akhirnya orang-orang itu tentu akan mendengarnya juga. Seperti yang dikatakan oleh Panembahan Senapati, maka Mataram telah menyiapkan s ekelompok prajurit berkuda. Dengan upacara resmi maka pasukan berkuda itu dilepa s untuk berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh. Sebagaimana diharapkan, maka berita itu-pun telah didengar oleh orang-orang yang merasa bahwa rencana mereka berhasil, memancing perhatian Mataram kepada Tanah Perdikan Menoreh, sehingga dengan demikian mereka mengharap bahwa Mataram akan m enjadi lengah. Ki Gede sebenarnya tidak menghendaki bantuan dari Mataram. Tetapi setelah mendap at penjelasan dari Agung Sedayu, maka pasukan itu-pun diterimanya dengan senang hati. Sepuluh orang yang mendapat tugas di Tanah Perdikan Menoreh untuk menimbulkan ke kacauan itu-pun telah mendengar pula kehadiran pasukan itu, sehingga mereka-pun menjadi semakin berhati-hati. Dalam pada itu, kehadiran pasukan dari Mataram itu memang menimbulkan banyak per tanyaan dikalangan para pengawal Tanah Perdikan. Seolah-olah Tanah Perdikan Meno reh tidak dapat menyelesaikan sendiri masalahnya. Sekar Mirah yang pada suatu sore duduk bersama Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan G lagah Putih-pun bertanya pula kepada Agung Sedayu, Kakang, apakah pasukan itu per lu sekali bagi Tanah Perdikan? Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum ia menjawab Sekar Mirah te lah berkata lebih lanjut, Bukankah kita masih belum bersungguh-sungguh menanggapi sekelompok orang yang telah membuat Tanah Perdikan ini menjadi kacau. Aku belum

melihat kakang secara khusus menyelidiki orang-orang itu. Dimana mereka bersemb unyi dan seluruh kekuatannya berjumlah berapa orang. Apakah kakang tidak bermina t, misalnya bersama Kiai Jayaraga dan Glagah Putih, bahkan aku-pun bersedia ikut pula, atau kita masingmasing berdua, melihat-lihat dengan lebih saksama dan tid ak mengandalkan para pengawal dan anak-anak muda yang meronda itu? Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Namun karena Sekar Mirah memang sudah menge tahui serba sedikit tentang hubungan persoalan antara Tanah Perdikan Menoreh den gan Mataram, maka Agung Sedayu-pun telah memberitahukan apa yang sebenarnya terj adi. Ia percaya bahwa orang-orang seisi rumahnya itu tidak akan membocorkan raha sia itu. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, beda. Jika demikian, maka persoalannya akan ber

Itulah sebabnya sampai saat ini aku masih belum bertindak dengan sungguh-sungguh. Sebenarnya aku-pun seakan-akan berdiri di persimpangan jalan. Jika aku bersungg uh-sungguh dan menangkap orang-orang itu, mungkin langkah orang-orang yang akan memasuki Mataram itu akan berbeda. Tetapi jika aku membiarkannya saja, maka keru sakan dan kegelisahan akan berkembang di Tanah Perdikan ini. Sementara itu, para prajurit berkuda dari Mataram itu-pun telah mendapat perintah untuk sekedar mel akukan pencegahan. Tetapi mereka tidak mendapat perintah untuk menangkap orang-o rang yang telah mengacaukan Tanah Perdikan ini. Dengan demikian, seolah-olah Tan ah Perdikan ini sudah dikorbankan untuk satu kepentingan yang dianggap lebih bes ar dari kerugian yang timbul di Tanah Perdikan sepanjang tidak timbul korban jiw a. Agung Sedayu menjelaskan. Jika demikian kita memang harus menunggu berkata Sekar Mirah, tetapi begitu kepenti ngan Mataram selesai, maka kita akan dapat mengambil langkah-langkah penting. Agaknya memang demikian jawab Agung Sedayu, tetapi sementara ini, kita akan menerim a keadaan seperti ini. Kita tidak usah tersinggung karena kehadiran pasukan Mata ram. Hal ini memang perlu dijelaskan kepada para pengawal dan anak-anak muda Tan ah Perdikan ini. Tetapi nanti, setelah semuanya lewat. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, Dengan demikian, maka tugas kakang tentu hanya sekedar menunggu di rumah Ki Gede atau berada di gardu-gardu bersama para pengawal. Ya sahut Agung Sedayu, para pengawal akan meronda bersama para prajurit dari Matara m. Jika perondaan itu ketat, maka orang-orang itu tentu tidak akan mendapat kese mpatan untuk menelan korban berikutnya. Apakah itu sawah, pategalan atau bendung an. Sebenarnyalah, sejak kehadiran para prajurit Mataram di Tanah Perdikan Menoreh, maka orang-orang yang bersembunyi itu seakan-akan tidak pernah mendapat kesempat an lagi. Di seluruh Tanah Perdikan dalam kelompok-kelompok kecil mengelilingi se luruh lingkungan Tanah Perdikan. Dengan demikian, maka sulit bagi sepuluh orang itu untuk menyusup dan melakukan satu pengacauan tanpa dilihat oleh para peronda itu. Tetapi orang-orang itu tidak juga kehabisan akal. Apa saja yang dapat mereka lak ukan telah mereka lakukan. Bahkan mereka yang kehilangan kesempatan itu telah de ngan tanpa malu-malu memasukkan jenu ke dalam sungai yang melalui Tanah Perdikan . Mereka telah berada di tepi sungai itu di pinggir hutan sambil membawa beberap a onggok jenu. Kemudian jenu itu telah dicairkan dan dituangkan ke dalam sungai. Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh terkejut ketika mereka melihat bangkai ikan y ang mengambang di sungai itu. Tidak hanya beberapa ekor, tetapi terlalu banyak.

Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh hanya dapat pengumpat-umpat saja. Namun Agung Sedayu masih berkata, Untunglah, mereka tidak menaburkan racun. Tetapi pada suatu ketika mungkin sekali hal itu terjadi berkata Sekar Mirah.

Namun orang-orang Tanah Perdikan Menoreh kemudian telah meronda di sepanjang sun gai itu pula. Tetapi orang-orang yang mendapat tugasuntuk mengacaukan Tanah Perdikan Menoreh i tu ternyata sudah puas dengan hasil kerja mereka. Pemimpin mereka-pun kemudian b erkata, Kita sudah dua pekan berada disini. Aku kira yang kita lakukan sudah cukup menarik perhatian orang-orang Tanah Perdik an. Kita sudah cukup membuat mereka kebingungan sehingga mereka terpaksa minta p erlindungan Mataram. Sepasukan prajurit Mataram itu-pun tidak mampu menangkap ki ta. Namun agaknya prajurit-prajurit itu akan tinggal di Tanah Perdikan ini untuk beberapa lama. sahut seorang kawannya. Nama Agung Sedayu agaknya tidak lebih dari sebutan di dalam mimpi. Jika benar ia berilmu tinggi, maka ia tentu akan dapat menemukan kita dimanapun kita bersembunyi berkata pemimpin kelompok itu. Aku sebenarnya ingin bertemu dengan orang yang bernama Agung Sedayu itu orang di antara mereka. desis sese

Pemimpin kelompok itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian dengan nada datar ia berkata, Jangan mencari perkara. Kenapa? Aku ingin membuktikan bahwa di Tanah Perdikan ini tidak ada kekuatan yang perlu dicemaskan kecuali Ki Gede Menoreh. Ki Gede Menoreh-pun tidak mampu menem ukan persembunyian kita dan tidak mampu mencegah tingkah laku kita. Tetapi itu tidak termasuk tugas kita berkata pemimpinnya, tetapi jika kau akan mela kukan, itu bukan tanggung jawabku. Dan sebaiknya kau lakukan setelah kita melapo rkan diri kepada para pemimpin kita. Orang itu nampaknya kecewa sekali. Namun ia tidak dapat melanggar perintah pemim pin kelompoknya. Sementara itu, di Mataram, persiapan orang-orang yang ingin memasuki istana itupun menjadi semakin masak. Bahwa Mataram mengirimkan sepasukan ke Tanah Perdikan Menoreh menjadi pertanda, bahwa perhatian para pemimpin di Mataram justru tertu ju ke arah Tanah Perdikan Menoreh: Karena itu, maka mereka-pun telah bersiap untuk memasuki istana itu setelah utus an mereka menghadap guru dari para pemimpin kelompok itu telah kembali. Guru mempercayakan kepada kita urunya. Apa maksudnya? berkata saudara seperguruan mereka yang menghadap g

bertanya salah seorang saudara seperguruannya.

Guru yakin bahwa kita akan dapat menyelesaikan persoalan tanpa kehadiran guru. Ki ta, tiga orang terbaik, akan dapat menyelesaikan Panembahan Senapati menurut pen ilaian guru. Tetapi menurut guru, kita tidak bertiga dalam keseluruhan, memasuki bilik Panembahan Senapati. Jika kita bertiga, maka seorang harus mengawasi kead aan di luar istana, seorang mengawasi keadaan di dalam istana dan yang seorang l agi akan memasuki bilik Panembahan Senapati. berkata orang yang telah menghadap g urunya itu. Apakah itu sudah cukup? Bukankah Panembahan Senapati termasuk orang yang memiliki ilmu yang luar biasa? bertanya saudara seperguruannya, pada umurnya yang masih sa

ngat muda, ia telah mampu membunuh Adipati Arya Penangsang. Bukan karena ilmu Raden Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senapati jawa b saudara seperguruannya yang telah menghadap gurunya, tetapi karena kekuatan tom bak Kangjeng Kiai Pleret dan kelengahan Arya Penangsang sendiri. Tanpa tombak Ka ngjeng Kiai Pleret, Sutawijaya tidak akan mampu melukai kulit Arya Penangsang. B ahkan seandainya Arya Penangsang tidak lengah dengan menyangkutkan ususnya yang keluar itu ke wrangka kerisnya, sehingga ketika ia menarik kerisnya, justru usus nya telah putus, maka Arya Penangsang tidak akan mati jika tidak tergores oleh k erisnya sendiri. Yang lain-pun mengangguk-angguk. Tetapi ada juga seorang di antara mereka yang m eskipun hanya ditunjukkan kepada diri sendiri berkata, Itu hanya lantaran. Seanda inya bukan karena goresan kerisnya sendiri, jika saat itu telah tiba, maka tentu ada sebab lain yang mengantarkannya ke kematian. Tetapi orang itu tidak mengatakannya, karena tanggapan orang lain mungkin akan b erbeda. Dalam pada itu, saudara seperguruannya yang telah menghadap gurunya itu-pun kemu dian berkata, Mungkin ilmuku memang masih kalah selapis dari Panembahan Senapati. Tetapi guru memberi aku bekal. Betapa tinggi ilmu Panembahan Senapati, namun Pa nembahan Senapati tidak akan dapat melawan pusaka ini. Saudara-saudara seperguruannya-pun memperhatikan sepucuk senjata yang dipegang o leh saudaranya yang telah menghadap gurunya itu. Sebilah keris. Perlahan-lahan k eris itu ditariknya dari wrangkanya. Pusaka guru Ya desis seseorang.

sahut orang yang memegang keris itu, Kiai Sarpasri. Keris yang tidak ada duanya.

Yang melihat keris itu rasa-rasanya memang menjadi silau. Keris itu memang berbe ntuk naga sebagaimana keris Nagasasra, Naga Kumala dan Naga Geni. Tetapi Keris S arpasri ujudnya lurus, tidak luk sama sekali. Ujung ekor naga dari keris itu ter buat dari emas dan beberapa butir permata nampak menghiasi tubuh naga itu dianta ra ukiran sisik-sisiknya. Dua buah matanya terbuat dari sepasang intan, sementar a di antara giginya yang tajam juga terdapat butir-butir intan. Nah, apa kata kalian tentang pusaka ini. Tidak ada seorang-pun yang akan mampu me lawan kekuatan keris ini. Panembahan Senapati-pun tidak jawab orang yang telah me nghadap gurunya itu. Saudara-saudara seperguruannya mengangguk-angguk. Sementara orang yang membawa k eris itu meneruskan, Bukan saja goresannya akan berakibat maut, tetapi cahaya pam ornya sudah mempengaruhi lawan. Bahkan ada orang yang dapat menjadi lumpuh hanya melihat cahaya pamor keris ini. Namun karena agaknya Senopati memiliki ilmu yan g tinggi, maka ia tidak akan menjadi lumpuh, tetapi separo dari ilmunya akan len yap. Dengan demikian, maka aku akan melawan Panembahan Senapati yang hanya memil iki separo ilmunya yang sebenarnya itu. Tetapi ingat tiba-tiba seorang di antara saudara seperguruannya berkata, Di Mataram tersimpan tombak Kangjeng Kiai Pleret yang telah membunuh Arya Penangsang seper ti yang kau katakan, karena kematian Arya Penangsang bukan karena kemampuan ilmu Raden Sutawijaya. Jangan bodoh sahut saudara seperguruannya yang mendapat keris dari gurunya itu, aku tidak akan memberi kesempatan Panembahan Senapati menggapai tombaknya atau pusa kanya yang manapun juga. Aku harus langsung berdiri dihadapannya dengan keris te lanjang. Baru kemudian aku tantang ia berperang tanding.

Saudara-saudara seperguruannya itu-pun mengangguk-angguk mengiakan. Sementara it u orang yang mendapat pusaka keris Kiai Sarpasri itu berkata, Aku harus menemukan cara untuk berbuat demikian. Aku akan membuka atap tepat di atas bilik Panembah an Senapati dan turun langsung di depan bilik pembaringannya., Panembaham Senapa ti akan dengan tergesa-gesa bangun. Namun ia tidak akan sempat memungut pusakany a apa-pun juga. Tetapi apakah kau tidak memperhitungkan gedung perbendaharaan dan gedung pusaka? Jika kau berada di atas bangsal pusaka itu, mungkin kau akan mengalami sesuatu y ang dapat menggagalkan rencanamu. Aku dapat mengetahui dimana bangsal pusaka itu berada. Aku mempunyai kemampuan un tuk melihatnya. Tidak dengan mata kewadagan. Karena aku secara khusus sudah memp elajarinya. Saudara-saudara seperguruannya mengerutkan keningnya. Ternyata saudara seperguru annya yang satu itu telah mendapat ilmu yang khusus dari gurunya. Bahkan mungkin tidak hanya satu jenis ilmu itu. Bahkan orang itu telah mendapat kepercayaan ya ng sangat besar dengan dipercayakannya pusaka keris Kiai Sarpasri kepadanya. Pus aka yang sebelumnya tidak pernah diberikan kepada, siapa-pun juga. Namun mereka-pun berkata di dalam hati, Sebagai murid tertua ia memang berhak men dapatkan ilmu dan kepercayaannya yang lain. Sementara itu orang yang memegang keris pusaka itu-pun berkata, Aku kira waktunya -pun sudah tiba. Selagi perhatian Mataram tertuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Aku akan memasuki Mataram. Kalian semuanya harus menyesuaikan diri. Demikian Panemb ahan Senapati terbunuh, maka seluruh pasukan harus mulai bergerak. Termasuk pasu kan yang sekarang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Mataram yang kehilangan pemi mpinnya akan bertambah bingung. Nah, pada saat yang demikian kekuatan yang sesun gguhnya akan menghancurkan Mataram. Saudara-saudara seperguruannya mengangguk-angguk, sementara saudara yang tertua itu berkata, Nah, kalian tahu tugas kalian masing-masing. Kalian harus menguasai kelompok-kelompok yang sudah dipercayakan kepada kalian masing-masing: Agaknya k elompok yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu-pun akan segera datang kembali . Mereka ternyata telah melakukan tugas mereka dengan berhasil, sehingga pasukan berkuda dari Mataram yang terkenal itu telah diperbantukan ke Tanah Perdikan Me noreh. Baiklah berkata salah seorang saudara seperguruannya, kita akan melakukan tugas kit a masing-masing sebaik-baiknya. Tetapi apakah kau yakin kau akan dapat melakukan tugasmu bertiga seperti yang kau katakan? Aku yakin jawab orang itu, orang yang berhadapan dengan keris Sarpasri tidak akan m ampu menolak pengaruhnya, kecuali orang-orang yang khusus, yang memiliki ilmu di luar batas kewajaran. Namun aku tahu, bahwa Panembahan Senapati mendapatkan ilm unya dengan laku yang berat sebagaimana orang lain. Jika ilmunya mumpuni dan jum lahnya tidak terhitung, karena masa mudanya sebelum memegang tanggung jawab peme rintahan. Panembahan Senapati menelusuri lereng-lereng pegunungan, pantai dan te mpat-tempat tersembunyi lainnya sebagaimana dilakukan Adipati Pajang yang sekara ng, Pangeran Benawa. Namun Pangeran Benawa adalah orang yang lemah hati. Meskipu n ilmunya bertimbun di dalam dirinya, tetapi ia tidak berani memegang pimpinan t ertinggi pemerintahan, sehingga kemudian dipegang oleh Senapati. Dengan demikian maka ilmunya adalah ilmu yang wajar berada di dalam dirinya. Bahkan Senapati it u pernah menjalani tiga laku sekaligus. Laku yang jarang dapat dilakukan oleh or ang lain. Bergantung, berendam dan pati geni. Ia bergantung pada cabang kayu yan g berada di atas sebuah kolam yang tersembunyi, sekaligus pati geni tiga hari ti ga malam. Namun justru karena itu, maka ilmunya tidak akan dapat mengatasi kemam

puan pusaka guru, Kiai Sarpasri. Ilmunya akan susut separo atau lebih, sehingga aku akan menguasainya dalam perang tanding. Bagaimana jika ia menolak perang tanding? bertanya salah seorang saudara seperguru annya. Itu tidak mungkin. Senapati terlalu percaya kepada ilmunya. Dan aku akan memanfaa tkan kepercayaannya yang berlebihan itu. Dengan demikian maka ia tidak akan memp ergunakan pusaka Kangjeng Kiai Pleret. jawab saudara tertuanya itu. Yang lain mengangguk-angguk. Agaknya saudara seperguruannya yang tertua itu suda h terlalu banyak mengetahui tentang Panembahan Senapati meskipun sebelumnya ia t idak tahu seluk beluk serta lingkungan istana. Mataram. Namun ia telah berhasil melihatnya sekaligus membuktikan kerja orang-or ang yang diupahnya. Ketika semua persiapan telah selesai, maka mereka-pun telah menentukan hari yang paling baik yang akan mereka pergunakan untuk memasuki Mata ram. saudara seperguruan yang tertua itu telah menunjuk dua orang saudara seperg urannya yang paling dipercayainya serta dianggap memiliki ilmu yang paling tingg i. Kita akan melakukannya pada saat malam kelam. Malam ini menjelang pagi masih namp ak bulan di langit. Karena itu, kita akan melakukannya dua malam lagi. Malam aka n tetap gelap sampai matahari membayangi di langit. berkata saudara tertua itu. Dalam pada itu, sepuluh orang yang bertugas di Tanah Perdikan Menoreh itu-pun me rasa bahwa tugas mereka telah selesai. Karena itu, maka mereka telah bersiap-sia p untuk kembali ke landasan tugas mereka menghadap ke Mataram, meskipun mereka t idak jelas, tugas apakah yang harus mereka lakukan. Namun demikian, sebelum mereka meninggalkan Tanah Perdikan, mereka masih akan me lakukan satu kerja lagi yang akan dapat membuat Tanah Perdikan itu semakin kacau . Kita akan meninggalkan Tanah Perdikan ini sambil membakar hutan berkata pemimpinny a, sementara orang-orang Tanah Perdikan itu kebingungan, kita akan menjadi semaki n jauh. Dan kita akan melihat langit yang kemerah-merahan dari jarak beberapa ra tus tonggak. Ternyata yang lain-pun sependapat. Meskipun ada yang merasa kecewa bahwa pemimpi nnya tidak membenarkannya untuk dapat bertemu dengan Agung Sedayu. Kesepuluh orang itu telah menunggu malam turun di Tanah Perdikan. Semalam sebelu m rencana pemimpinnya di Mataram dilaksanakan, maka mereka akan melakukan rencan a mereka untuk membakar hutan. Kita persiapkan sebaik-baiknya agar api tidak padam sebelum benar-benar hutan ini menyala berkata pemimpinnya, kita akan mencari tempat yang paling baik. Kita akan mengumpulkan sampah-sampah kering dan kekayuan. Baru kita akan menyalakannya me njelang tengah malam. Setelah kita yakin api akan berkobar dan membakar hutan in i, maka kita akan meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh yang telah pernah menjadi sasaran dendam kita. Meskipun kita tidak membunuh seorang-pun di Tanah Perdikan ini, namun dendam kita sudah tersalur sepenuhnya. Itulah yang mengecewakaan berkata seorang yang ingin bertemu dengan Agung Sedayu, entu orang itu yang telah membunuh seorang diantara kita pada saat ia memeriksa dan memaksa seorang diantara kita itu, mengaku. t

Jangan sebut lagi berkata pemimpinnya, sudah aku katakan. Kita jangan terjerumus ke dalam langkah-langkah yang dapat menyeret kita sendiri.

Orang yang benar-benar mendendam itu tidak menyahut lagi. Tetapi sebenarnyalah b ahwa ia dan beberapa orang masih belum puas dengan melepaskan dendam sebagaimana telah mereka lakukan. Pemimpinnya yang melihat ketidak puasan itu-pun berkata pula, Kita harus mengakui kelemahan kita. Kita hanya sepuluh orang di sini. Sementara itu, Tanah Perdikan ini telah bersiap-siap sepenuhnya. Bahkan seperti kita ketahui, Mataram telah m embantu pula dengan sepasukan prajurit untuk ikut mengamankan Tanah Perdikan ini . Karena itu kita tidak perlu membunuh diri. Kita sudah memberikan kesan tentang langkah-langkah kita. Ternyata bahwa suami istri yang rumahnya terbakar itu tid ak mati sebagaimana kita harapkan. Mereka tentu dapat berceritera tentang tujuan kita mengacau Tanah Perdikan ini. Kawan-kawannya tidak menjawab. Mereka memang melihat kenyataan bahwa mereka tida k mempunyai banyak kesempatann untuk berbuat lebih banyak lagi di Tanah Perdikan itu. Namun dalam pada itu, maka mereka-pun telah mempersiapkan rencana mereka untuk m embakar hutan. Mereka kemudian hanya menyalakan onggokan-onggokan dedaunan dan k ekayuan kering yang telah mereka timbun di bawah batang-batang pohon yang besar, sehingga jika pohon-pohon besar itu menyala, hutan akan benar-benar terbakar da n sulit untuk dikuasai. Sementara itu mereka-pun telah menyiapkan arah yang akan mereka tempuh untuk meninggalkan Tanah Perdikan agar tidak mudah dicari jejakny a oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi dalam pada itu, Glagah Putih yang sedang berada antara anak-anak muda Tan ah Perdikan Menoreh di sebuah gardu di padukuhan yang berada di pinggir Tanah Pe rdikan, itu, ternyata telah mengalami sesuatu. Ketika ia sedang berkelakar denga n anak-anak muda di depan gardu itu, tiba-tiba saja ia merasa sesuatu menyentuh punggungnya. Glagah Putih, mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Meskipun d emikian ia berusaha untuk mengetahui, siapakah yang telah menyentuh punggungnya itu. Namun kemudian ia merasakan lagi sentuhan itu. Lebih keras. Bahkan ia merasa sat u sentuhan yang menyakitinya. Karena ia mulai memperhatikannya, maka ia-pun segera mengetahui bahwa sebuah kri kil kecil yang dilontarkan dengan kekuatan yang luar biasa telah mengenainya. Ketika sentuhan kerikil itu sekali lagi menyakitinya, maka ia-pun yakin, bahwa a da seseorang di luar sekelompok anak-anak muda dan pengawal di gardu itu telah m emanggilnya. Tetapi Glagah Putih tidak tahu, apakah maksud orang itu. Meskipun demikian, Glagah Putih berniat untuk menemui orang itu. Ia pun sadar, b ahwa orang itu tentu seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Ia mampu mendekati tempat itu tanpa diketahui oleh seorang-pun. Dan ia-pun mampu melontarkan keriki l kecil tepat mengenainya, sedangkan ia berada di depan gardu itu bersama-sama d engan beberapa orang anak muda lainnya. Tetapi Glagah Putih tidak akan membuat anak-anak muda itu gelisah. Karena itu, m aka ia-pun kemudian berkata kepada seorang pengawal didekatnya, Aku akan minta di ri. Aku akan pergi ke padukuhan berikutnya. Untuk apa? bertanya pengawal itu.

Kenapa untuk apa? Bukankah tugasku datang kesetiap gardu dan mencicipi makanan ya ng disediakan? jawab Glagah Putih.

Pengawal serta anak-anak muda yang mendengarnya tertawa. Sementara itu Glagah Pu tih-pun melambaikan tangannya kepada anak-anak muda yang berkumpul di gardu itu sambil berkata, Nanti, jika ketan serundeng kalian masak, aku akan kembali. Anak-anak muda itu tertawa pula. Seorang di antaranya menjawab, yai serundeng. Kami akan membuat ketan sirkaya. Ah, enak sekali sahut Glagah Putih sambil melangkah kegelapan. Kami tidak mempun

Namun, demikian ia terlepas dari pandangan anak-anak muda di gardu itu, ia-pun t elah bersiap sepenuhnya. Ia sadar, bahwa orang yang menyentuhnya dengan kerikil itu tentu berada di tempat yang tidak jauh dari gardu itu serta kemudian berjala n di balik dinding sebelah, mengikutinya. Sebenarnyalah, demikian Glagah Putih berada ditempat yang sepi, sesosok tubuh te lah meloncat ke tengah jalan dihadapannya. Glagah Putih surut selangkah. Namun i a sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Tetapi Glagah Putih-pun segera menarik nafas dalam-dalam. prang yang berdiri dih adapannya itu sudah terlalu dikenalnya. Raden Rangga Glagah Putih berdesis.

Tetapi nampaknya Raden Rangga agak tergesa-gesa. Tiba-tiba saja ia melangkah maj u menggapai tangan Glagah Putih. Sambil menariknya Raden Rangga berkata, Ikut Aku . Cepat. Kemana? bertanya Glagah Putih sambil berlari-lari mengikuti Raden Rangga yang mena rik tangannya. Pergunakan tenaga cadanganmu. Kita berlari cepat berkata Raden Rangga tanpa menjaw ab pertanyaan Glagah Putih, mudah-mudahan kita tidak terlambat. Glagah Putih tidak bertanya lebih jauh. Ia sadar, bahwa Raden Rangga tentu tidak akan menjawabnya. Karena itu, maka seperti yang dikatakan Raden Rangga, maka Gl agah Putih pun telah mempergunakan tenaga cadangannya untuk mendorong kecepatan larinya. Keduanya telah berlari cepat sekali menuju kesebuah hutan yang terletak justru di sisi lain dari Tanah Perdikan. Aku cari kau kemana-mana desis Raden Rangga.

Glagah Putih tidak menjawab. Namun mereka berlari semakin cepat menyusuri jalanjalan sempit dan pemathng. Mereka mencari jalan memintas, namun yang tidak perlu melalui padukuhan-padukuhan agar anak-anak muda di gardu-gardu tidak menyapa da n menghentikan mereka. Dengan kecepatan yang tinggi akhirnya keduanya memasuki sebuah hutan yang lebat masih di daerah Tanah Perdikan Menoreh. Dengan nada datar Raden Rangga berkata, ita masih tempat mencegahnya. Apa sebenarnya yang terjadi? t langkah mereka. K

bertanya Glagah Putih ketika mereka mulai memperlamba desis Raden Rangga.

Mereka berada beberapa puluh langkah di hadapan kita Siapa? desak Glagah Putih.

Orang-orang yang akan membakar hutan jawab Raden Rangga, aku mengamati mereka sejak mereka memasuki hutan ini. Namun aku mendengar pembicaraan mereka. Mereka akan

membakar hutan ini. Tetapi agaknya mereka tidak langsung melakukannya. Mereka te lah mengumpulkan dedaunan kering dan ranting-ranting di bawah batang-batang poho n yang besar, agar pohon yang hidup itu dapat terbakar dan menjalar pada pepohon an disekitarnya. Aku kemudian mencarimu. Ampat gardu sudah aku lihat. Baru di ga rdu ke lima aku menemukanmu. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih saja mengikuti Raden Rang ga yang memasuki hutan yang gelap gulita. Hanya karena ketajaman penglihatan dan pendengaran mereka, maka keduanya tidak menempuh jalan yang salah. Namun mereka-pun terkejut ketika beberapa puluh langkah dihadapan mereka, keduan ya melihat obor yang mulai dinyalakan. Agaknya orang-orang yang akan membakar hu tan itu tidak menunggu lebih lama lagi. Mereka akan segera mulai membakar hutan untuk membuat orang-orang Tanah Perdikan Menoreh merasa bersalah, karena mereka telah membunuh orang-orang yang ternyata memilild kekuatan di belakangnya. Orang -orang Tanah Perdikan Menoreh harus menyesali perbuatan mereka, karena dengan me mbunuh dua orang, Tanah Perdikan mereka telah menjadi kacau. Rumah terbakar; ben dungan rusak, sawah-sawah menjadi berserakan dan parit-parit pun menjadi kering. Marilah berkata Raden Rangga, jangan terlambat.

Glagah Putih-pun mengikuti langkah Raden Rangga yang semakin cepat di antara pep ohonan hutan. Agaknya Raden Rangga dengan sengaja tidak menghindari desir kakinya yang menyent uh dedaunan kering di hutan itu. Karena itu, maka orang-orang yang telah menyala kan obor itu-pun telah mendengarnya pula, sehingga serentak mereka telah menghad ap kearah suara itu. Siapa? terdengar seorang di antara kesepuluh orang itu bertanya.

Beberapa langkah dari orang-prang itu Raden Rangga berhenti. Katanya, Bagus sekal i. Jadi kalian benar-benar akan membakar hutan? Siapakah kalian? bertanya pemimpin kelompok itu. Raden Rangga maju selangkah sambi l menjawab, Kami adalah para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Kebetulan sekali geram seorang di antara sepuluh orang itu, apakah salah seorang di antara kalian bernama Agung Sedayu? Bukan jawab Raden Rangga, Agung Sedayu adalah pemimpin anak-anak muda Tanah Perdika n ini. Kami adalah pengawal Tanah Perdikan, dua di antara para pengawal yang dip impin oleh Agung Sedayu itu. Kenapa Agung Sedayu sendiri tidak datang kemari? bertanya orang itu.

Kenapa mesti Agung Sedayu? Bukankah para pengawal ini akan dapat menyelesaikan tu gas dengan baik? Kami berdua ditugaskan oleh Agung Sedayu untuk menangkap kalian . jawab Raden Rangga. Persetan geram pemimpin kelompok itu, apakah kau mengigau atau bahkan sudah menjadi gila? Kau tahu bahwa jumlah kami berlipat ganda daripada hanya dua orang. Semen tara itu, kami yang memiliki pengalaman dalam tugas-tugas yang berat serta peran g di berbagai medan dibekali dengan ilmu dari perguruan kami, harus menyerah kep ada dua orang pengawal Tanah Perdikan yang masih ingusan seperti kalian berdua i ni? Bagaimanapun juga kalian telah melakukan banyak kesalahan dan pelanggaran paugera n di Tanah Perdikan ini. Bahkan kesengajaan menimbulkan bencana yang lebih buruk dari pembunuhan. Antara lain adalah membakar hutan seperti yang akan kalian lak

ukan.

jawab Raden Rangga,

karena itu maka kalian memang harus ditangkap.

Jangan. banyak bicara. Agaknya kalian memang tidak hanya berdua. Mungkin tempat i ni sudah dikepung. Tetapi aku tidak akan gentar. Marilah datanglah semua pengawa l Tanah Perdikanmu. Raden Rangga berpaling kearah Glagah Putih yang melangkah mendekat. Kemudian den gan nada tinggi ia berkata, Katakan kepada mereka, tidak ada orang lain kecuali k ita. Persetan geram pemimpin kelompok itu, hanya menunggu kalian di sini. jangan menunggu terlalu lama. Pekerjaan tidak

Glagah Putih maju selangkah. Katanya, Kami memang hanya berdua Ki Sanak. Sekarang , menyerahlah. Tidak ada gunanya kalian melawan. Kalian memang sedang membunuh diri geram pemimpin kelompok itu. Lalu katanya kepad a orang yang membawa obor, jangan kau bakar dahulu onggokan kayu kering itu. Tanc apkan obor itu di tanah. Nyalakan lagi obor yang lain. Biarlah hutan ini menjadi terang dan kita akan dapat melihat dengan jelas, yang manakah lawan kita dan ya ng manakah kawan kita. Orang yang membawa obor itu-pun melakukannya. Ia-pun ingin berbuat sesuatu atas orang yang dengan sombong telah datang kepada kelompok itu hanya berdua. Bahkan seorang yang lain-pun telah menyalakan obor pula dan menancapkannya di tanah. Sementara itu, justru diluar dugaan, Raden Rangga telah berkata, Nah, sekarang la kukanlah jika kalian ingin membalas dendam. Kami berdua jugalah yang telah membu nuh kawan-kawanmu di Tanah Perdikan ini. Sekarang kami datang untuk menangkap ka lian. Tetapi jika kalian melawan, maka kami-pun akan membunuh kalian. Wajah orang-orang yang akan membakar hutan itu menjadi tegang. Dengan serta mert a salah seorang bergerak maju sambil mencabut senjatanya, Jadi kalianlah yang tel ah membunuh itu? Selama ini dendam kami tetap tersimpan. Kami hanya menumpahkann ya kepada bendungan, sawah dan parit-parit. Tetapi adalah kebetulan bahwa kau se ndiri datang mengantarkan nyawamu. Kenapa kau tidak mencari kami? Kenapa kau puas dengan merusak bendungan, pematang -pematang sawah dan parit-parit. Kemudian justru yang lebih keji dari segalanya, kau akan membakar hutan ini? bertanya Raden Rangga. Kami tidak mengingkari kenyataan. Kalian mendapat bantuan dari prajurit Mataram y ang mempunyai kekuatan berlipat dari kami sekelompok ini jawab pemimpin kelompok itu, karena itu kami tidak mendapat kesempatan. Namun kami sudah memberikan perin gatan kepada Tanah Perdikan ini, agar Tanah Perdikan ini tidak melakukan lagi ha l yang serupa, karena kami bukan saja dapat menghancurkan sawah, parit dan bendu ngan, bahkan hutan. Tetapi kami akan dapat menghancurkan Tanah Perdikan ini dari semua segi sumber kehidupannya. Bukankah itu perbuatan licik dan pengecut? bertanya Raden Rangga.

Aku tidak peduli jawab pemimpin kelompok itu, yang akan kalian alami adalah bencana sebagai pembalasan dendam kami, karena kalian telah berbuat sewenang-wenang ata s kawan-kawan kami. Tetapi Raden Rangga justru tertawa. Katanya, Baiklah. Sekarang kalian harus membe lakangi aku dan mengatupkan tangan kalian di belakang punggung. Kami akan mengik at kalian satu demi satu. Gila teriak seorang diantara kelompok itu, seandainya tidak ada dendam di antara ka

mi, sikapmu telah cukup menjadi alasan kami untuk membunuhmu. Marilah berdua. berkata Raden Rangga, siapakah yang akan membunuh disini. Kalian atau kami

Pemimpin kelompok itu benar-benar dibakar oleh kemarahan yang menyala. Karena it u, maka katanya, Bunuh anak-anak itu. Sebagian di antara kalian harus mengamati k eadaan. Mungkin tempat ini memang sudah dikepung. Tidak sahut Raden Rangga, tidak ada yang mengepung tempat ini. Yang mendapat tugas dari Agung Sedayu memang hanya kami berdua, sekaligus untuk mendadar kami. Jika kami berhasil, maka kanu akan diterima menjadi pengawal penuh Tanah Perdikan ini . Jika kami tidak berhasil menangkap atau membunuh kalian, maka biarlah kami tid ak kembali kepadanya. Pemimpin kelompok itu tidak dapat menahan diri lagi. Ia-pun segera mencabut senj atanya. Demikian pula orang-orang yang lain. Sementara itu, mereka membiarkan ob or mereka menyala dan tertancap di tanah. Sejenak kemudian, maka Raden Rangga dan Glagah Putih pun telah dihadapi oleh mas ing-masing dua orang, sedangkan yang lain agaknya masih belum melibatkan diri me reka, karena mereka menganggap bahwa dua orang itu akan dapat menyelesaikan pers oalannya dengan kedua anak-anak muda itu. Sebagian di antara mereka telah mengam ati keadaan. Sebagaimana dikatakan oleh pemimpinnya, mungkin tempat itu memang s udah dikepung. Raden Rangga yang melihat dua orang datang kepadanya tertawa. Katanya, Jangan ber main-main. Marilah, datanglah lebih banyak lagi agar kalian tahu, bagaimana anak -anak muda Tanah Perdikan ini mengalami pendadaran. Pemimpin kelompok yang menggeggam pedang di tangan itu-pun berteriak, Cepat. Bunu h. Aku sudah muak melihat tampangnya dan muak pula mendengar suaranya. Keempat orang yang menghadapi Raden Rangga dan Glagah Putih itu-pun kemudian tel ah meloncat maju. Senjata mereka teracu kearah dada lawan-lawan mereka masing-ma sing. Namun Raden Rangga dan Glagah Putih-pun mampu bergerak cepat, melampaui kecepata n ujung-ujung senjata itu. Karena itulah, maka ujung-ujung senjata itu sama seka li tidak menyentuh sasarannya. Sementara itu, Raden Rangga yang melenting kedekat Glagah Putih sempat berdesis, Kau bawa ikat pinggang itu. Aku memakainya jawab Glagah Putih.

Kita harus bergerak cepat, sebelum mereka menyadari kelemahan mereka dan berusaha benar-benar membakar hutan ini bisik Raden Rangga. Tetapi mereka tidak sempat berbicara lebih banyak. Lawan-lawan mereka-pun telah datang pula, menyerang dengan garangnya, sehingga keduanya telah meloncat berpen caran. Glagah Putih yang meloncat menghindar ke sebelah sebatang pohon yang besar telah mengurai ikat pinggangnya. Ia mengerti maksud Raden Rangga, agar lawan-lawan me reka tidak sempat menyalakan onggokan daun-daun kering dan kekayuan yang mereka timbun di pokok-pokok barang kayu yang besar-besar. Namun demikian, Glagah Putih masih ingin memancing lebih banyak lawan lagi, agar mereka terikat dalam pertempuran. Dengan demikian maka tidak seorang-pun di ant

ara mereka yang akan mempunyai kesempatan membakar onggokan kayu-kayu kering itu . Karena itu, maka tiba-tiba saja Glagah Putih berteriak sebagaimana Raden Rangga, Marilah. Kenapa hanya empat crang yang melibatkan diri kedalam perkelahian ini? Kenapa tidak semuanya? Persetan geram pemimpinnya sambil mengacu-acukan pedangnya, Sebentar lagi mulutmu a kan dikoyak dengan pedang. Namun kedua orang lawan Glagah Putih sama sekali tidak mampu berbuat banyak. Mes kipun Glagah Putih masih berusaha memancing lawan-lawannya yang lain, namun ia s udah mulai mendesak kedua orang yang melawannya itu. Ikat pinggangnya yang berpu tar telah membentur senjata-senjata lawannya. Seorang diantara mereka mengumpat karena senjatanya hampir saja terlepas. Kawannya dengan cepat telah meloncat menyerang Glagah Putih agar orang yang hamp ir kehilangan senjatanya itu mendapat kesempatan untuk memperbaiki keadaannya. K awannya itu memang sempat memperbaiki genggaman senjatanya. Namun dengan demikia n orang itu menyadari, bahwa lawannya yang masih muda itu memang memiliki kekuat an yang luar biasa. Apalagi karena senjata yang dipergunakan tidak lebih dari ik at pinggang kulit, sementara senjatanya adalah sebilah pedang yang sangat tajam. Senjatanya itu memang aneh berkata lawannya itu di dalam hatinya. Tetapi justru ka rena itu, hampir saja ia kehilangan pedangnya. Kenyataan itu telah membuat kedua lawannya semakin bersungguh-sungguh. Mereka ti dak dapat menganggap Glagah Putih seorang anak muda yang sombong dan tidak tahu diri. Kenyataan yang mereka hadapi telah membuktikan, bahwa benturan yang terjad i telah menggoyahkan pegangan lawan-lawannya atas senjata masing-masing. Pemimpin kelompok itu-pun kemudian memang melihat, baik Glagah Putih maupun Rade n Rangga ternyata tidak mudah dapat dikuasai. Mereka berdua memiliki kemampuan y ang sangat tinggi, sehingga dua orang yang mendapat tugas untuk menghadapi setia p anak muda itu tidak mampu berbuat banyak. Karena itu, maka pemimpin kelompok itu-pun telah memanggil dua orang lagi untuk bergabung dengan kawan-kawannya, sehingga baik Raden Rangga maupun Glagah Putih harus melawan masing-masing tiga orang. Raden Rangga yang melihat upaya Glagah Putih memancing lawannya itu-pun dapat me ngerti pula. Ia pun berusaha untuk berbuat sesuai dengan yang dilakukan oleh Gla gah Putih, sehingga semua orang yang ada di tempat itu harus diserapnya ke dalam pertempuran. Karena itu, maka Raden Rangga tidak segera mengakhiri lawan-lawannya. Tetapi sep erti Glagah Putih, ia-pun berusaha untuk bertempur terus meskipun ia selalu mend esak lawannya. Lawannya menjadi heran bahwa anak-anak muda itu ternyata sangat liat. Seorang di antaranya bersenjata ikat pinggang, sementara yang lain sama sekali tidak mempe rgunakan senjata. Namun akhirnya Raden Rangga itu telah memungut sepotong kayu sebesar pergelangan tangannya sepanjang tiga jengkal yang terdapat dalam onggokan kayu di bawah seb atang pohon yang besar. Dengan kayu itu, ia-pun telah melawan ujung-ujung senjat a yang mengerumuninya. Ternyata sepotong kayu yang kering dan lapuk itu ditangan Raden Rangga telah ber ubah menjadi senjata yang mendebarkan. Kayu lapuk itu mampu membentur sebilah pe

dang yang sangat tajam. Bahkan sepotong kayu itu seakan-akan telah berubah menja di sebuah bindi yang sangat berbahaya. Demikianlah, seorang demi seorang, orang-orang yang akan membakar hutan itu tela h masuk ke dalam arena. Dengan demikian maka baik Glagah Putih, maupun Raden Ran gga telah bertempur melawan lima orang. Dalam keadaan yang demikian, maka Raden Rangga-pun berkata, Nah, sekarang kalian telah melihat kemampuan para calon pengawal Tanah Perdikan. Menyerahlah, agar ka mi berdua segera diterima dan ditetapkan menjadi pengawal karena kami telah lulu s dalam pendadaran ini. Persetan geram pemimpin kelompok yang juga telah ikut serta bertempur melawan Rade n Rangga, kalian harus dibunuh. Tetapi tidak mudah untuk membunuh Raden Rangga dan Glagah Putih. Bahkan mereka b erlima tidak banyak mempunyai kesempatan dalam pertempuran itu. Meskipun kelima orang itu mampu bertempur dalam pasangan yang baik saling mengis i, tetapi lawan mereka memang seorang anak muda yang memiliki kelebihan dari keb anyakan orang. Dalam keadaan yang demikian, maka pemimpin kelompok itu menyadari, bahwa mereka harus menghadapi kenyataan tentang kedua anak muda itu. Karena itu, maka tiba-ti ba saja pemimpin kelompok itu-pun berteriak, Tahan mereka. Aku akan melakukannya. Raden Rangga dan Glagah Putih-pun terkejut. Namun mereka menyadari, bahwa orang itu tentu akan benar-benar membakar hutan itu. Sebenarnyalah pemimpin kelompok itu-pun telah meloncat meninggalkan arena, semen tara keempat orang kawannya berusaha untuk mengepung Raden Rangga. Dengan loncat an panjang pemimpin kelompok itu berusaha untuk menggapai obor yang tertancap di tanah. Dengan demikian, maka baik Raden Rangga maupun Glagah Putih harus bertindak cepa t untuk mencegah orang itu berhasil mencapai satu di antara obor-obor yang terta ncap di tanah dan melemparkannya kearah onggokan daun-daun dan ranting-ranting k ering yang teronggok di bawah sebatang pohon yang besar. Namun ternyata bahwa orang-orang yang bertempur melawan keduanya benar-benar ber usaha untuk mencegah agar keduanya tidak terlepas dari ikatan pertempuran itu da n memberi kesempatan kepada pemimpin kelompoknya untuk membakar hutan. Glagah Putih yang bersenjata ikat pinggangnya yang memiliki kemampuan yang mende barkan itu, tidak sempat berpikir lebih panjang. Ia tidak lagi mengekang diri ka rena pemimpin kelompok itu telah meloncat mendekat obor yang tertancap di tanah. Karena itulah, maka dengan segenap kemampuannya, Glagah Putih telah mendera lawa n-lawannya. Ikat pinggangnya berputaran dengan cepatnya. Setiap sentuhan dengan senjata lawannya telah melemparkan senjata lawannya itu. Namun ternyata bahwa kelima orang lawannya itu-pun memiliki ketrampilan memperma inkan senjatanya. Ternyata bahwa dalam pertempuran yang menjadi semakin sengit, seorang di antara kelima lawannya itu berhasil menyentuh tubuh Glagah Putih deng an ujung pedangnya. Kemarahan telah memuncak di dada Glagah Putih. Karena itu, maka tanpa ragu-ragu lagi ikat pigngangnya telah menyambar pedang yang mengenainya itu. Ketika pedang itu meloncat dari tangan yang kesakitan, Glagah Putih telah mengayunkan senjata nya lagi langsung mengenai lawannya.

Terdengar lawannya itu mengaduh Kemudian ia terlempar beberapa langkah dan jatuh di tanah. Namun orang itu tidak akan dapat bangun kembali. Dua orang diantara lawan Glagah Putih telah mampu menggapai senjatanya lagi. Ber sama-sama mereka menyerang. Namun keduanya sama sekali tidak berhasil mengenainy a. Bahkan sambil menghindari serangan ujung senjata itu, Glagah Putih sempat mem utar ikat pinggang lawannya itu-pun telah terpelanting jatuh. Demikian kerasnya kepalanya membentur sebatang pohon kayu serta demikian kerasnya ikat pinggang ku lit itu menghantam tubuhnya, maka orang itupun ternyata telah kehilangan nyawany a. Namun masih ada tiga orang yang menghalanginya. Sementara itu ia melihat obor ya ng tertancap di tanah itu telah berhasil dipungut oleh pemimpin kelompok itu. Namun dalam pada itu, ketika ia sempat berpaling, ia melihat Raden Rangga telah meloncat ke arah pemimpin kelompok itu. Namun Raden Rangga itu telah terlambat. Pemimpin kelompok itu tidak menyulut dedaunan kering dan ranting-ranting kayu ya ng teronggok di bawah batang-batang kayu yang besar, tetapi ia telah melemparkan nya. Karena itu, ketika Raden Rangga mencapai orang itu dengan serangan kaki mendatar , obor itu sudah tidak berada di tangannya. Meskipun demikian orang itu telah te rlempar dengan teriakan nyaring. Punggung orang itu ternyata telah patah, sehing ga orang itupun kemudian telah mati seketika. Sementara itu, api obor itu-pun telah menyambar dedaunan kering serta ranting-ra nting kecil sehingga api pun segera menjalar. Ketika Raden Rangga memburu ke arah api itu, dua orang lawannya masih sempat men gejarnya seperti orang orang yang kehilangan akal. Keduanya tidak lagi sempat me mpergunakan nalarnya. Mereka sudah terbiasa berada di dalam lingkungan yang teri kat erat dalam paugeran yang keras sekali. Raden Rangga menggeram. Namun ia tidak dapat berbuat lain kecuali melayani kedua orang lawannya itu. Dengan nada keras Raden Rangga berkata, Kenapa kalian tidak melarikan diri he? Aku memberimu kesempatan. Tetapi dengan bodoh kaliah memburuk u. Persetan teriak lawannya, kau harus aku bunuh. Bukan saja karena kesombonganmu, tet api kau sudah membunuh kawanku. Pergi teriak Raden Rangga, Aku akan memadamkan api itu.

Tetapi kedua orang itu menyerang terus. Bahkan semakin cepat dan keras. Akhirnya Raden Rangga kehabisan kesabaran. Untuk beberapa lama ia sudah berusaha mengeka ng dirinya. Tetapi kedua orang itu sangat menjengkelkannya. Karena itu, maka yang dilakukan oleh Raden Rangga kemudian adalah menghentikan s erangan-serangan kedua orang itu. Demikian kedua orang itu terlempar dan membent ur pepohonan, maka Raden Rangga mengumpat dengan marah. Api sudah berkobar semak in besar. Dalam pada itu, Glagah Putih-pun seakan-akan telah terpengaruh oleh sikap Raden Rangga. Ketika lawan-lawannya tidak juga melarikan diri, maka ikat pinggangnya-p un telah mengakhiri pertempuran itu, apalagi ketika ia melihat api mulai menjala r naik. Yang terpikir olehnya adalah, jika hutan itu benar-benar, terbakar, maka akan terjadi malapetaka di Tanah Perdikan Menoreh. Hutan itu berhubungan dengan hutan di lereng Pegunungan Menoreh, sehingga pegunungan itu-pun akan menyala da rt api akan menelan pepohonan hutan itu tanpa ampun. Jika gunung itu kemudian me

njadi gundul, maka bencana akan menimpa Tanah Perdikan Menoreh untuk waktu yang lama. Sejanak kemudian Glagah Putih telah berlari-lari pula mendekati Raden Rangga yan g memandang api yang telah berkobar itu dengan wajah yang tegang. Sementara itu Glagah Putihpun kemudian bertanya, Apa yang harus kita lakukan Raden, apakah aku harus memanggil orang-orang Tanah Perdikan agar mereka segera berusaha memadamka n api mumpung belum menj alar lebih luas. Terlambat jawab Raden Rangga, betapapun cepatnya orang-orang Tanah Perdikan itu ber kumpul, mereka tidak akan dapat mendahului api itu menjalar. Lalu, apakah yang harus kita lakukan? Membiarkan hutan ini terbakar dan bencana m enimpa Tanah Perdikan? desak Glagah Putih. Raden Rangga termangu mangu sejenak. Namun api-pun benar-benar telah mulai memba kar sebatang pohon raksasa, sementara di bawah, api itu menjadi semakin menebar dan meluas. Raden Ranggapun menjadi semakin tegang melihat api yang semakin menjalar. Karena itu, maka tiba-tiba ia-pun menggeram, Mundurlah. Kita harus memadamkan api itu. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun ia-pun kemudian telah bergeser mundur. Raden Rangga pun mundur selangkah. Dipandanginya api yang telah membakar batang kayu yang besar itu. Dengan tegang Raden Rangga memusatkan kemampuan ilmunya. I a harus berusaha agar ia dapat mencegah hutan itu terbakar. Sejenak kemudian, maka Raden Rangga itu-pun telah mengacukan kedua belah tangann ya dengan telapak tangan mengemang menghadap ke arah api itu. Dengan satu hentak kan, maka dari kedua belah telapak tangan Raden Rangga itu seakan-akan telah mem ancar cahaya yang menyambar api yang telah berkobar. Sesuatu agaknya telah terjadi. Kekuatan yang memancar dari tangan Raden Rangga i tu bagaikan sentuhan udara yang dingin membeku. Api yang sudah mulai berkobar it u perlahan-lahan mulai surut. Glagah Putih memperhatikan perkembangan keadaan itu dengan tegang. Sementara itu dari telapak tangan Raden Rangga seakan-akan masih tetap berhembus udara dingin yang basah mengandung air. Dengan demikian, maka api yang sudah mulai merambat naik pada pokok sebatang pohon raksasa itu-pun telah menjadi padam, sementara ya ng membakar dedaunan kering dan ranting-ranting serta kekayuan itu-pun telah mat i pula. Luar biasa nak itu. desis Glagah Putih, kekuatan apakah yang telah tersimpan di dalam diri a

Namun Glagah Putih-pun menjadi terkejut ketika ia melihat Raden Rangga. Anak mud a itu nampak menggigil. Bahkan kemudian keseimbangannya-pun mulai terganggu. Den gan cepat Glagah Putih meloncat menangkap tubuh yang hampir jatuh itu. Namun sek ali lagi Glagah Putih terkejut. Tubuh Raden Rangga itu-pun menjadi sangat dingin . Melampaui dinginnya malam di musim bediding. Raden desis Glagah Putih yang hampir saja melepaskan tubuh itu oleh sengatan rasa dingin membeku. Namun untunglah Glagah Putih tetap menyadari bahwa tubuh itu ten tu akan terjatuh jika dilepaskannya. Raden Rangga tidak menjawab. Tetapi ia-pun kemudian dibantu oleh Glagah Putih te lah duduk di atas tanah sambil berdesah. Bagaimana keadaan Raden? bertanya Glagah Putih.

Raden Rangga-pun kemudian duduk dengan menyilangkan tangannya didadanya. Terdeng ar suaranya perlahan-lahan dan gemetar, Bantu aku, agar darahku tidak beku Glagah Putih yang juga memiliki ilmu kanuragan itu-pun mengerti maksudnya. Ia-pu n kemudian duduk di belakang Raden Rangga. Kedua telapak tangannya telah melekat di punggung anak muda yang segera memusatkan sisa kemampuannya untuk mengatasi kesulitan di dalam dirinya. Sejenak keduanya berdiam diri dalam pemusatan nalar budi. Ternyata bahwa usaha i tu memberikan pengaruh yang baik bagi tubuh Raden Rangga. Udara panas terasa men galir dari tubuh Glagah Putih melalui sentuhan tangannya, sehingga darah Raden R angga yang seakan-akan berhenti mengalir itu-pun mulai merambat kembali lewat ur at-uratnya. Raden Rangga perlahan-lahan menarik nafas dalam-dalam. Beberapa kali. Kemudian d engan nada rendah ia berkata, Lepaskan tanganmu Glagah Putih. Aku sudah dapat men gatasinya sendiri setelah kau membebaskan darahku dari kebekuan. Glagah Putih mendengar kata-kata itu. Ia pun kemudian melepaskan tangannya dan b eringsut beberapa tapak surut. Namun agaknya tubuhnya-pun telah terasa menjadi d ingin meskipun tidak membeku. Sebagian unsur panas di dalam dirinya telah dihisa p oleh darah Raden Rangga yang beku. Namun Glagah Putih masih belum sampai pada satu keadaan yang sulit. Sementara itu, maka Raden Rangga-pun berkata, Aku akan berusaha membebaskan tubuh ku dari kebekuan ini, setelah kau berhasil membantu mengedarkan darahku kembali. Glagah Putih tidak menjawab. Ia hanya memandang saja Raden Rangga yang meneruska n pemusatan nalar budinya. Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun ia-pun kem udian telah duduk pula di belakang Raden Rangga. Meskipun tidak sedalam Raden Ra ngga, namun Glagah Putih-pun telah mempergunakan waktu sesaat untuk menghapus pe rasaan dingin di dalam dirinya, meskipun tidak terlalu mengganggunya. Beberapa saat kemudian, terasa Glagah Putih telah terbebas dari pengaruh dingin di dalam dirinya, karena unsur panas yang dialirkannya kedalam tubuh Raden Rangg a. Namun agaknya Raden Rangga memerlukan waktu yang agak lama untuk memulihkan k embali keadaannya setelah ia berjuang memadamkan api yang hampir saja merambat d an menelan hutan yang luasnya beribu-ribu patok dan membuat lereng pegunungan Me noreh menjadi gundul. Namun Glagah Putih masih saja menungguinya. Sementara itu ia sempat memperhatika n tubuh-tubuh yang terkapar di sekitarnya. Tubuh-tubuh yang sudah membeku pula. Glagah Putih itu-pun menjadi berdebar-debar. Ia telah membunuh lima orang sekali gus dan Raden Rangga-pun telah melakukannya pula. Apa yang harus aku katakan kepada kakang Agung Sedayu bertanya Glagah Putih kepada diri sendiri, ia sudah banyak memberikan pesan kepadaku dalam hubungan dengan Ra den Rangga itu pula. Dan sekarang, aku bersama anak muda itu telah membunuh sepu luh orang. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun keadaan memang telah memaksanya me lakukan pembunuhan itu. Kemarahan karena luka yang tergores di tubuhnya meskipun tidak mengganggu dan tidak berbahaya, bahkan titik-titik darahnya telah pampat, kebingungan dan bahkan seakan-akan ia telah kehilangan akal karena api yang ber kobar. Selagi Glagah Putih dicengkam oleh kegelisahan, maka Raden Rangga-pun telah berh asil mengatasi kesulitan di dalam dirinya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia m

engurai tangannya yang bersilang di dadanya. Glagah Putih yang melihat keadaan Raden Rangga itu-pun mendekatinya sambil berta nya, Bagaimana dengan keadaan Raden? Aku sudah baik, Glagah Putih jawab Raden Rangga sambil bangkit berdiri, agaknya aku telah melakukan sesuatu melampaui batas kemampuanku. Hampir saja darahku membek u dan mungkin aku akan kehilangan kesempatan berikutnya. Untunglah kau berhasil membantu aku membebaskan darahku dari kekekuatan yang akan dapat berakibat gawat itu. Aku melakukannya atas petunjuk Raden sendiri jawab Glagah Putih.

Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, Kita telah membunuh orang -orang itu. Mungkin kita dapat dianggap melakukan kesalahan. Tetapi jika orang-o rang Tanah Perdikan Menoreh itu melihat apa yang terjadi, mereka tidak akan meni mpakan kesalahan itu kepada kita. Karena itu, mumpung keadaan ini belum berubah, laporkan peristiwa ini kepada pimpinan Tanah Perdikan Menoreh. Glagah Putih mengangguk kecil. Katanya, Baiklah Raden. Aku akan menyampaikannya k epada kakang Agung Sedayu. Biarlah kakang Agung Sedayu menghadap Ki Gede. Baiklah jawab Raden Rangga. Namun kemudian ia-pun bertanya, tetapi apakah Tanah Per dikan atau barangkali kau, dapat menjelaskan tentang orang-orang ini? Selain den damnya kepada Tanah Perdikan ini. Aku tidak begitu mengerti Raden jawab Glagah Putih, namun menurut pendengaranku dal am pembicaraan kakang Agung Sedayu, bahwa yang dilakukan oleh orang-orang itu ad a hubungannya dengan peristiwa yang terjadi di Mataram. Tetapi nampaknya semuany a serba rahasia, sehingga tidak banyak yang dapat aku ketahui. Aku mengerti berkata Raden Rangga, tetapi bagaimana pikiranmu, bahwa yang terjadi s ekarang adalah semacam perang perhitungan? Maksud Raden? bertanya Glagah Putih. Yang terjadi di Tanah Perdikan ini sekedar usaha untuk memancing perhatian saja. Sementara itu ayahanda Panembahan Senapati yang juga menduga demikian, berpura-p ura melakukan sebagaimana dikehendaki. Ayahanda mengirimkan pasukan ke Tanah Per dikan ini, agar orang-orang yang memancing perhatian itu menganggap bahwa ayahan da benar-benar menjadi lengah karena perhatiannya tertuju ke Tanah Perdikan berka ta Raden Rangga. Glagah Putih termangu-mangu. Ia tidak dapat mengiakan atau-pun membantahnya. Yan g dikatakan oleh Agung Sedayu adalah serba rahasia. Meskipun Raden Rangga adalah putera Panembahan Senapati, tetapi ia mempunyai sikap tersendiri, sehingga mung kin rencananya berbeda dengan apa yang akan dilakukan oleh ayahandanya. Raden Rangga melihat keragu-raguan pada Glagah Putih. Karena itu maka katanya, Ba iklah. Mungkin kau terikat kepada pesan-pesan kakak sepupunya. Tetapi aku menger ti, sebagian dari peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan ini. Sebagian karena aku memang mendengar, sebagian yang lain atas kata-kata orang-orang yang terbunu h itu sendiri dan sebagian lagi adalah karena penglihatanku atas peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan ini dan di Mataram. Aku tahu, bahwa beberapa orang tel ah memasuki halaman istana. Dan aku-pun tahu bahwa para pengawal khusus juga mel ihat orang-orang yang masuk itu tetapi mereka tidak berbuat sesuatu. Bahkan yang terjadi kemudian, orang-orang yang agaknya lebih berilmu telah datang untuk mey akinkan jalan menuju ke bilik ayahanda. Raden Rangga tertawa pendek. Lalu katanya , Tetapi sebagaimana yang rahasia, maka yang aku katakan ini juga rahasia. Agung Sedayu-pun tidak boleh tahu, agar ia tidak melaporkannya kepada ayahanda, sehing

ga aku akan dimarahinya, nya, karena aku telah mencampuri persoalan ini. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Raden Rangga telah mengetahui ba nyak tentang persoalan yang dihadapi Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Namun dalam pada itu Raden Rangga-pun berkata, Pergilah kepada kakak sepupumu. La porkan apa yang terjadi sebelum ada perubahan, agar mereka mendapat gambaran dar i peristiwa yang sebenarnya. Mudah-mudahan mereka tidak akan menghukummu dan mel aporkan aku kepada ayahanda, karena jika hutan ini benar-benar terbakar, maka Ta nah Perdikan ini akan menderita untuk waktu yang lama. Glagah Putih-pun mengangguk sambil menjawab, akan menunggu di sini? Aku akan menunggu disini jawab Raden Rangga. Aku akan pergi. Tetapi apakah Raden

Demikianlah, maka Glagah Putih pun kemudian meninggalkan hutan itu dan dengan ce pat berlari ke padukuhan induk. Ia telah menelusuri jalan-jalan setapak dan pema tang agar lebih cepat mencapai rumahnya. Agung Sedayu terkejut ketika ia melihat Glagah Putih datang dengan wajah yang te gang dan nafas terengah-engah. Dengan sareh ia-pun bertanya, Ada apa Glagah Putih . Apakah ada sesuatu yang gawat telah terjadi. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha untuk menenangkan hatinya. K etika kakaknya kemudian menyuruhnya duduk, maka hatinya-pun menjadi agak tenang. Sementara itu Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga-pun telah hadir pula untuk mendengar kan keterangan Glagah Putih tentang usaha beberapa orang untuk membakar hutan. Membakar hutan? bertanya Agung Sedayu dengan nafas tinggi.

Ya. Membakar hutan jawab Glagah Putih yang kemudian menceriterakan segala yang ter jadi di hutan itu. Dengan nada rendah ia berkata, Aku telah membunuh kakang. Tida k kurang dari lima orang. Tetapi aku memang tidak mempunyai pilihan lain. Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Sementara itu Kiai Jayaraga berkata, l itu kau lakukan? Dimana ha

Di hutan tidak jauh dari lereng Bukit. Itulah yang membuat aku kebingungan. Jika lereng bukit itu dijamah api, maka akibatnya akan parah sekali bagi Tanah Perdik an ini untuk waktu yang lama. berkata Glagah Putih dengan suara yang mulai gagap. Kita pergi ke hutan itu. Kita akan melihat peristiwa itu terjadi. berkata Agung Se dayu. Kita pergi bersama-sama sahut Kiai Jayaraga.

Sekar Mirah-pun tidak mau ketinggalan. Sejenak kemudian mereka telah selesai ber benah diri. Dengan cepat mereka-pun menyiapkan kuda. Dengan berkuda, mereka akan segera sampai ke tempat tujuan. Sejenak kemudian ampat ekor kuda telah berpacu. Derap kakinya memang menimbulkan berbagai tanggapan atas mereka yang kebetulan terbangun dan mendengarnya. Terut ama mereka yang tinggal di sebelah-menyebelah jalan. Buku 204 KETIKA mereka keluar dari ujung lorong, maka Agung Sedayu mendahului para perond a, Kami akan mengajari kuda Glagah Putih menjelajahi daerah ini dimalam hari. Para peronda itu tertawa. Namun kemudia mereka menjadi bertanya-tanya juga. Sika

p Agung Sedayu dan Glagah Putih agak lain. Tampaknya mereka tergesa-gesa berkata salah seorang peronda. Mungkin. jawab seorang yang lain, tetapi berempat mereka merupakan kekuatan yang ti dak akan teratasi oleh siapapun juga. Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Meskipun demikian nampaknya kepergi Agung Seda yu berempat itu telah menarik perhatian. Demikian juga jika mereka melewati gard u-gardu yang lain. Rasa-rasanya mereka berempat memang agak tergesa-gesa. Seorang diantara para pengawal Tanah Perdikan itupun telah menyampaikannya kepad a perwira yang memimpin sepasukan prajurit Mataram di Tanah Perdikan Namun karen a keterangan itu tidak cukup lengkap, maka yang dilakukan oleh pasukan itupun ha nyalah sekedar mernpersiapkan diri. Jika diperlukan setiap saat, pasukan itu mam pu bergerak cepat. Dalam pada itu, Glagah Putih telah membawa ketjga orang yang bersamanya itu mema suki hutan yang pekat. Tetapi pengenalannya yang tajam telah membawanya melalui jalan yang benar. Namun kuda-kuda mereka tidak dapat berlari kencang sebagaimana mereka berpacu di jalan-jalan bulak yang cukup lebar. Untunglah bahwa mereka berempat memiliki kelebihan dari orang kebanyakan, sehing ga betapapun gelapnya, namun mereka masih mampu menembusnya dengan ketajaman pen glihatan mereka. Namun akhirnya Glagah Putih mampu menemukan tempat yang telah d itinggalkannya dalam keadaannya. Sementara itu, terdengar suara lirih bernada rendah, sepi ini. Selamat datang ditempat yang

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dan iapun telah menyahut, Selamat malam R aden. Tetapi Raden Rangga itu berkata pula, Malam telah lewat. Kita sudah memasuki dini hari. Sebentar lagi fajar akan menyingsing. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Jawabnya perlahan, mulai menjadi merah. Marilah, duduklah. on. Ya Raden. Agaknya langit sudah

berkata Raden Rangga yang ternyata duduk bersandar sebatang poh

Keempat orang itupun kemudian mendekatinya. Merekapun duduk pula di antara pepoh onan dalam gelapnya sisa malam menjelang pagi. Apakah Glagah Putih sudah menceriterakan semuanya? bertanya Raden Rangga.

Ya. jawab Agung Sedayu, ia sudah berceritera banyak tentang hutan yang mulai terbak ar dan pembunuhan yang telah dilakukannya. Aku mohon kalian menilai dengan wajar. berkata Raden Rangga, akupun dibayangi kecem asan jika ayahanda mengetahuinya. Aku sudah dianggap terlalu banyak membunuh. Pa da waktu-waktu lampau mungkin aku memang sering melakukannya, bahkan sekedar unt uk bermain-main tanpa menghiraukan nilai jiwa seseorang. Tetapi aku sudah banyak mendengar petunjuk Eyang Mandaraka, sehingga agaknya aku sudah mampu sedikit de mi sedikit menilai tingkah lakuku sendiri. Hanya mungkin kadang-kadang aku masih kambuh kehilangan nalar. Tetapi itu sudah jarang terjadi. Kali inipun aku sudah membuat pertimbangan-pertimbangan sebelumnya. Namun aku dan Glagah Putih memang tidak mempunyai pilihan lain.

Agung Sedayu menarik mafas dalam-dalam. Sementara itu Raden Rangga berkata selan jutnya, Kalian akan dapat melihat bekas-bekas dari peristiwa itu. Mayat kesepuluh orang itupun belum aku sentuh sama sekali Bahkan aku telah menungguinya disini, jika ada binatang buas yang mendekat. Agaknya memang terjadi demikian. Darah da n bau mayat telah mengundang dua ekor harimau mendekati tempat ini. Yang seekor dapat aku usir. Tetapi yang seekor agaknya sudah terlalu kelaparan sehingga hari mau itu justru menyerang aku. Karena itu kalian akan melihat bahwa diantara sepu luh mayat itu terdapat bangkai seekor harimau. Aku sekarang masih lebih mengharg ai mayat seseorang daripada nyawa seekor harimau. Baiklah Raden. berkata Agung Sedayu, kita akan melihat bekas-bekas dari peristiwa y ang telah terjadi itu. Aku nanti harus melaporkannya kepada Ki Gede. Namun jika kematian dua orang itu sudah membawa dendam dari lingkungannya, bagaimana dengan sepuluh orang. Apakah benar begitu? Apakah yang dilakukan oleh orang-orang ini hanya karena dend am atas kematian dua orang kawannya di Tanah Perdikan ini, meskipun seorang dian taranya tidak benar-benar mati? bertanya Raden Rangga. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Raden Rangga yang nakal itu mengetahui terlalu banyak tentang persoalan yang masih dirahasiakan itu. Karena itu maka Agung Sedayupun kemudian jawab, Raden. Agaknya Raden sudah menget ahui apa yang terjadi di Tanah Perdikan ini dalam hubungannya dengan peristiwa d i Mataram, yang menurut Raden telah Raden ketahui itu. Namun karena itu, maka ak u mohon agar Raden lebih banyak menyesuaikan diri dengan rencana-rencana ayahand a Raden. Dengan demikian maka semua rencana itu akan dapat berjalan rancak sebag aimana dikehendaki oleh ayahanda Raden sendiri Bukankah sudah beberapa kali Rade n menerima teguran dan bahkan hukuman dari ayahanda Raden? Raden Rangga mengangguk. Katanya, Aku mengerti. Aku tidak akan banyak berbuat dal am hal ini. Namun yang terjadi disini benar-benar diluar kehendakku. Seperti dil akukan oleh Glagah Putih, maka semuanya memang harus terjadi demikian, jika Tana h Perdikan Menoreh tidak ingin kehilangan hutannya di lereng-lereng bukit, sehin gga akibatnya akan sangat parah bagi Tanah ini untuk waktu yang lama. Agung Sedayu mengangguk kecil. Diluar sadarnya ia telah berpaling ke arah yang d itunjukkan oleh Glagah Putih sebagai tempat peristiwa yang diceriterakan itu ter jadi. Raden Ranggapun kemudian bangkit sambil berkata, Marilah. Kita akan mendekat. Merekapun kemudian beringsut mendekat. Sambil menuntun kudanya Glagah Putih berj alan didepan Agung Sedayu bersama Raden Rangga, sementara Sekar Mirah dan Kiai J ayaraga berada dibelakang. Sementara itu, langit memang sudah nenjadi merah. Cahaya fajar menjadi semakin t erang, sehingga orang-orang yang berada didalam hutan itu tidak lagi harus meray ap didalam kelamnya malam. Ketika kemudian matahari terbit, maka Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan Sekar Mira h melihat apa yang telah terjadi ditempat itu. Dedaunan dan ranting-ranting sert a kekayuan kering yang teronggok. Namun mereka sudah melihat bekas api yang mula i menjalar membakar sebatang pohon raksasa serta menjalar meluas dibawah pohon i tu Kiai Jayaraga yang berdiri disebelah Sekar Mirah itupun berdesis, Memang tidak ad a kesempatan untuk mempergunakan nalar sebaik-baiknya. Sekar Mirah berpaling kearah Kiai Jayaraga. Namun orang itu sedang mengamati bek as-bekas api yang menghitam dengan sungguh-sungguh. Namun Sekar Mirah itupun ter senyum dan berkata kepada diri sendiri, Kiai Jayaraga agaknya membela sikap murid

nya. Namun Sekar Mirah sendiri dapat menilai apa yang ter jadi, sementara ketika ia m emandang berkeliling, ia mulai melihat sosok-sosok tubuh yang membeku. Agung Sedayulah yang kemudian berkata, u. Agaknya telah terjadi perkelahian yang ser tetapi orang-oran

Kami berusaha mencegah mereka membakar hutan. jawab Raden Rangga, g itu bagaikan menjadi gila, sementara api mulai menjalar.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sejenak kemudian iapun telah melangkah mendekati orang-orang yang terbaring diam itu setelah mengikat kudanya pada sebatang poho n perdu. Demikian pula yang dilakukan oleh Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah. Bahkan Glagah Putih sendiri, karena Glagah Putih belum sempat mempernatikan mereka. Sepuluh orang. desis Agung Sedayu. Lalu, Dan seekor harimau.

Raden Rangga mengangguk. Baiklah Raden. berkata Agung Sedayu, aku harus melaporkannya kepada Ki Gede. Namun agaknya peristiwa ini justru harus disebar luaskan. Agung Sedayu. berkata Raden Rangga dengan sungguh-sungguh, apakah kau mau sedikit m elindungi namaku? Aku tidak tahu apakah ayahanda akan marah kepadaku atau tidak. Tetapi lebih baik hal ini tidak didengar oleh ayahanda. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Lalu katanya, Baiklah Raden. Aku akan mengambil a lih tanggung jawub Raden. Biarlah disebut aku dan Glagah Putih yang telah membun uh orang-orang ini. Tetapi kematian orang-orang ini akan sedikit mengurangi kemu ngkinan urungnya usaha-usaha yang dilakukan di Mataram. Jika demikian, apakah memang sudah seharusnya orang-orang ini ditumpas? aden Rangga. bertanya R

Sebenarnya tidak perlu Raden. jawab Agung Sedayu, seandainya kita menangkap merekap un akan dapat mempunyai akibat yang sama jika kita sebut mereka sudah terbunuh d an kita kuburkan dihutan ini. Sementara orang-orang yang tertangkap itu dengan d iam-diam disembunyikan di rumah Ki Gede sampai persoalan yang sebenarnya selesai . Kenapa harus berbelit-belit begitu? Bukankah dengan kematian mereka kita justru t elah terbebas dari segala macam tanggung jawab? bertanya Raden Rangga. Agung Sedayu tidak menjawab. Namun iapun mengerutkan keningnya. Raden Rangga men arik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba katanya dalam nada rendah, Maaf, aku sudah mula i kambuh lagi. Beruntunglah Raden menyadari langkah-langkah yang sudah Raden ambil. Sedayu. berkata Agung

Ada juga gunanya aku tinggal bersama eyang Mandaraka. berkata Raden Rangga. Namun kemudian katanya, Sudahlah. Sebenarnya aku hanya ingin melihat-lihat apa yang seb enarnya terjadi di Tanah Perdikan ini, sehingga sepasukan prajaurit Mataram haru s berada disini, meskipun aku tahu latar belakang dari pengiriman pasukan itu. N amun ternyata aku harus mengotori tanganku lagi dengan kematian beberapa orang. Tetapi Raden sudah mampu menilai apa yang terjadi. berkata Agung Sedayu.

Raden Rangga tersenyum. Katanya, Aku minta diri, justru sebelum peristiwa ini did

engar oleh Ki Gede Menoreh. Tetapi Agung Sedayu kemudian berkata, Tidak apa-apa Raden. Ki Gede harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi Ki Gedepun akan bersikap seperti kami dan mengi akan bahwa aku dan Glagah Putihlah yang bertanggung jawab atas kematian orang-or ang itu, sehingga Raden tidak akan mendapat hukuman dari ayahanda. Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, Terima kasih. Tetapi biarlah aku tidak terlalu lama dicari eyang Mandaraka karena aku tidak ada di r umah. Salamku buat Ki Gede. Agung Sedayu tidak dapat lagi mencegah Raden Rangga yang tergesa-gesa meninggalk an hutan itu. Langit yang sudah menjadi cerah telah mendorongnya untuk segera ke mbali ke Mataram. Karena itu, maka sejenak kemudian anak muda itupun telah hilang dibalik dedaunan dan pepohonan di hutan yang pekat itu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun sejenak kemudian iapun telah mulai mengamati keadaan. Sebenarnyalah bahwa keadaan memang sudah sangat gawat, sehingga Raden Rangga dan Glagah Putih tidak sempat membuat perhitungan-perhitungan lain kecuali membunuh lawan-lawannya yang ternyata tidak berusaha untuk melarikan diri. Orang-orang yang berada dihutan itu memang menjadi sangat kagum mendengar cerite ra Glagah Putih tentang kemampuan Raden Rangga yang mampu memadamkan api. Dari ta ngannya yang terbuka, seakan-akan memancar udara yang basah mengandung air, yang membuat api yang sudah mulai menjalar keatas dan melebar itu menjadi semakin su sut dan akhirnya padam. Namun keadaan Raden Rangga sendiri ternyata telah menjad i gawat. Untunglah keadaan tubuhnya sempat diatasi. berkata Glagah Putih. Bermacam-macam ilmu tersimpan didalam dirinya. desis Agung Sedayu, sehingga orang l ain tidak dapat mengertinya. Apalagi cara Raden Rangga menguasai ilmunya itu. Yang lain mengangguk-angguk. Memang anak muda itu adalah anak muda yang aneh. Sementara itu, Agung Sedayu agaknya telah selesai mengamati keadaan. Iapun kemud ian berkata kepada Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah, Aku akan menemui Ki Gede. Aku h arus melaporkan apa yang telah terjadi dan menyebar luaskan, sehingga jika kawan -kawan dari sepuluh orang ini mendengar peristiwanya, mereka menganggap bahwa ke matian mereka berarti bahwa rahasia mereka tidak didengar oleh orang-orang Tanah Perdikan. Apakah kami harus menunggu disini? bertanya Sekar Mirah. jawab Agung

Ya. Aku akan membawa beberapa orang untuk menguburkan mayat-mayat itu. Sedayu. Apakah aku harus ikut, kakang? bertanya Glagah Putih.

Tidak. Kau tinggal disini bersama Kiai Jayaraga dan mbokayumu. Mungkin kau diperl ukan disini. jawab Agung Sedayu. Glagah Putih hanya mengangguk saja, sementara itu Agung Sedayupun telah menuntun kudanya meninggakan tempat itu. Sejenak kemudian Agung Sedayu telah menghadap K i Gede Menoreh. Perjalanan Agung Sedayu yang nampak tergesa-gesa memang menarik perhatian. Seorang anak muda yang melihat Agung Sedayu menjelang dini hari berku da bersama tiga orang lainnya ketika ia berada digardu dan kemudian melihat lagi Agung Sedayu berkuda seorang diri, merasa heran. Tetapi anak muda itu tidak sem pat bertanya sesuatu. Kedatangan Agung Sedayu dengan tergesa-gesa dirumah Ki Gedepun memang agak menge jutkan. Karena itu, maka Ki Gede dengan berdebar-debar menerimanya di pendapa. H

ampir tidak sabar Ki Gede bertanya,

Ada apa?

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun mulai melaporkan apa yang terjadi sesuai dengan peristiwanya sendiri. Baru kemudian ia berkata, Tetapi Rad en Rangga minta, agar namanya tidak disebut-sebut dalam peristiwa itu, karena ji ka ayahandanya atau barangkali Ki Mandaraka mendengarnya, mungkin sekali ia akan menerima hukuman. Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun bergumam, Tetapi Raden Rangga suda h menyelamatkan Tanah Perdikan ini dari peristiwa yang dapat menimbulkan bencana . Ya, Ki Gede. Tetapi Raden Rangga minta dengan sangat. jawab Agung Sedayu. Baiklah. Seterusnya kita akan pergi ke tempat itu. as. berkata Ki Gede, aku akan berkem

Bersama beberapa orang Ki Gede, mayat itu harus dikuburkan. Ki Gede mengangguk-angguk. Lalu katanya. Baiklah. Aku akan memerintahkan beberapa orang untuk menyusul kita dengan membawa alat-alat yang diperlukan. Demikianlah, Ki Gede telah membenahi dirinya sesaat. Kemudian bersama beberapa a nak muda dan bebahu Tanah Perdikan, merekapun telah berkuda menuju ke tempat kej adian, sementara beberapa orang diperintahkannya untuk menyusul dengan ancar-anc ar sebagaimana disebutkan oleh Agung Sedayu. Peristiwa yang mendebarkan itupun segera tersebar di Tanah Perdikan Menorah. Nam un yang disebut-sebut kemudian adalah Agung Sedayu dan Glagah Putih. Aku melihat malam itu, menjelang dini, Agung Sedayu berkuda berempat dengan terge sa-gesa. Apakah saat itu orang-orang yang akan membakar hutan itu sudah terbunuh ? bertanya seorang anak muda kepada kawannya. Kita sama-sama digardu. jawab kawannya. O, ya, desis yang pertama. Tetapi aku tidak tahu, kapan peristiwa itu terjadi. Sebelum atau sesudahnya. ta kawannya itu. berka

Merekapun kemudian terdiam. Tidak seorangpun yang mengetahuinya. Apa yang sebena rnya terjadi. Namun mereka mendengar bahwa sepuluh orang sudah terbunuh ketika o rang-orang itu mencoba membakar hutan. Dalam pada itu, Ki Gede dan sekelompok orang-orang Tanah Perdikan itupun telah m emasuki hutan menuju ke tempat kejadian. Ketika mereka menjadi semakin dekat, ma ka merekapun segera turun dari kuda-kuda mereka dan menambatkannya pada pohon-po hon perdu yang bertebaran, sementara Ki Gede dengan jantung yang berdebaran meng ikuti Agung Sedayu mendekati tempat yang disebut oleh Agung Sedayu itu. Sekar Mirah dan Kiai Jayaragapun telah menyambut kedatangan Ki Gede, sementara G lagah Putih berdiri termangu-mangu beberapa puluh langkah disebelah pohon yang m ulai terbakar itu. Ki Gede menjadi tegang melihat bekas jilatan api yang telah mulai memanjat sebat ang pohon raksasa itu, serta bekasnya yang merayap melebar disekitar pohon itu. Bahkan dengan nada berat Ki Gede itupun berkata, Seandainya hutan itu terbakar, a ku tidak tahu, apa yang bakal terjadi dengan Tanah Perdikan Menoreh. Bencana. jawab seseorang bebahu yang menyertainya.

Ya.

jawab Ki Gede,

untunglah bahwa hal ini dapat diatasi.

Kita memang wajib bersukur. desis Agung Sedayu, ternyata bahwa Yang Maha Agung masi h selalu melindungi Tanah Perdikan Menoreh ini. Ya. Kita wajib mengucap sukur. Ki Gede mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, ma ka Ki Gedepun telah meiihat sosok-sosok tubuh yang terbaring diam. Iapun segera mengerti, bahwa orang-orang itulah yang telah berusaha untuk membakar hutan dan yang telah dicegah oleh Raden Rangga dan Glagah Putih. Sambil melihat-lihat keadaan ditempat itu, Ki Gede pun menunggu beberapa orang y ang sudah diperintahnya untuk menyusul sambil membawa peralatan untuk mengubur m ereka yang telah terbunuh ditempat itu. Namun dalam pada itu, tiga orang prajuri t dari pasukan Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh itupun telah datang pu la ketempat itu bersama beberapa orang yang sedang ditunggu-tunggu oleh Ki Gede. Ketiga orang perwira itupun melihat bekas-bekas peristiwa itu dengar hati yang b erdebar-debar. Merekapun dapat membayangkan apa yang bakal terjadi jika pembakar an hutan itu tidak dapat dicegah. Nampaknya mereka tidak sekedar bermain-main Ki Gede. t itu. Ya. jawab Ki Gede, berkata salah seorang prajuri

mereka agaknya memang bersungguh-sungguh.

Karena itu, sesudah mereka terbunuh semuanya disini, mungkin masih akan datang or ang-orang berikutnya yang membawa dendam berlipat ganda. jawab perwira itu. Ki Gede mengangguk-angguk. Namun bahwa semua orang yang terlibat itu terbunuh, m ereka tidak akan mendapat keterangan, apakah orang-orang itu benar-benar mendend am, atau seperti yang diperhitungkan, sekedar menarik perhatian. Setelah melihat peristiwa itu dengan seksama serta mempunyai gambaran yang lengk ap menilik tempat-tempat mayat yang berserakar itu, maka Ki Gedepun telah memeri ntahkan orang-orang yang datang kemudian dengar membawa alat-alat secukupnya itu untuk menguburkannya. Dalam pada itu, Ki Gede upun telah meninggalkan h dan Kiai Jayaraga pun urit Mataram yang telah yang sudah merasa cukup melihat dan mengamati keadaan it tempat itu bersama para bebahu. Agung Sedayu, Sekar Mira telah menyertainya pula. Demikian pula para perwira praj datang pula ketempat itu.

Hanya Glagah Putihlah yang tinggal menunggui orang-orang yang masih menyelesaika n pekerjaan mereka. Karena Agung Sedayu sudah mengisyaratkan, agar orang-orang i tu tidak ditinggalkan begitu saja. Jika kemungkinan masih ada kawan-kawan dari o rang-orang yang terbunuh itu berkeliaran, mereka akan sangat berbahaya bagi mere ka yang ditinggalkan. Namun ternyata bahwa tidak ada gangguan sama sekali terhadap orang-orang yang se dang menguburkan mayat-mayat itu. Bahkan ketika mereka kembali ke padukuhan, mer eka telah membawa tubuh harimau yang telah terbunuh oleh Raden Rangga, karena ku litnya akan merupakan barang yang berharga. Sementara itu, Agung Sedayu ternyata langsung menuju kerumah Ki Gede, sementara Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga kembali kerumah mereka. Masih ada beberapa hal yan g perlu dibicarakan dengan Ki Gede. Terutama mengenai kematian orang-orang itu. Apakah hal itu perlu segera dilaporkan kepada Panembahan Senapati atau tidak. Seb enarnya Panembahan Senapati perlu segera mengetahui pesoalan ini. berkata Ki Gede , mungkin Panembahan Senapati yang memiliki pengamatan yang tajam serta perhitung an yang mapan karena kecerdasan daya penalarannya, mempunyai pendapat tertentu.

Tetapi apakan harus dilakukan perjalanan dengan diam-diam. desis Agung Sedayu, buka nkah wajar jika kita melaporkan persoalan ini kepada Panembahan Senapati, apalag i Panembahan Senapati memang telah menempatkan pasukannya disini. Bahkan seandai nya masih ada kawan-kawan dari orang-orang yang terbunuh itu di Tanah Perdikan i ni, maka iapun tentu sudah akan memberi tahukan kepada kawan-kawannya yang lain, yang mungkin memang ada sangkut pautnya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Mataram. Ki Gede mangangguk-angguk. Namun kemudian katanya, Baiklah Agung Sedayu. Kita mem ang harus segera menghubungi Mataram. Bahkan kau akan dapat pergi dengan seorang diantara prajurit Mataram. Kami tidak tahu, sikap apakah yang akan diambil jika perjalanan kalian nanti diketahui oleh orang-orang yang masih diselubungi rahas ia itu. Namun menurut perhitungan kita, kedatanganmu di Mataram bersama perwira itu tidak akan berpengaruh atas rencana besar mereka. Bahkan mereka tentu mengha rap bahwa perhatian Panembahan Senapati akan lebih tertuju ke Tanah Perdikan ini . Ya Ki Gede. Tetapi entah pula sikap mereka, jika orang-orang yang terbunuh itu be nar-benar sekelompok orang yang mendendam karena kematian kawan-kawannya dan tid ak ada sangkut pautnya dengan rencana yang disusun dan dihadapkan kepada Mataram . Ki Gede Menoreh mengangguk kecil. Bahwa semua orang yang terlibat dalam pembakar an hutan itu telah terbunuh semuanya, maka mereka tidak dapat lagi menelusuri, a pakah yang sebenarnya sedang mereka lakukan. Namun dengan demikian, maka baik Ki Gede sendiri maupun Agung Sedayu berpendapat, bahwa mereka harus segera menghub ungi Mataram. Biarlah Kiai Jayaraga berada di Tanah Perdikan. berkata Ki Gede, jika benar terjadi sesuatu, maka Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah akan dapat mengatasinya bersama den gan Glagah Putih bersama para pengawal Tanah Perdikan ini. Agung Sedayu mengangguk kecil. Karena itu, maka katanya, Baiklah Ki Gede. Aku aka n segera berangkat. Sebaiknya Ki Gede memanggil Senapati Mataram yang berada di Tanah Perdikan ini dan minta agar ditunjuk salah seorang diantara mereka untuk p ergi bersamaku menghadap Panembahan Senapati. Sementara Ki Gede menghubungi para perwira prajurit Mataram yang ditempatkan di Tanah Perdikan, maka Agung Sedayu telah memerlukan kembali pulang sejenak untuk berkemas dan minta diri kepada Sekar Mirah. Sejenak kemudian, maka dua orang telah meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdik an Menoreh menuju ke Mataram. Kuda-kuda mereka berpacu diatas jalan-jalan berbat u. Meskipun tidak dengan kecepatan penuh, namun kuda-kuda itu berlari mendahului beberapa orang berkuda yang melintasi jalan itu pula. Diperjalanan Agung Sedayu dan seorang perwira dari Mataram itu melihat bahwa keh idupan di Tanah Perdikan itu memang agak terpengaruh oleh peristiwa yang baru te rjadi semalam. Pasar-pasar terasa susut, meskipun banyak juga orang yang tetap m empercayakan keselamatannya kepada para pengawal yang dirasanya cukup kuat. Tidak ada kekuatan yang dapat menembus pertahanan Tanah Perdikan ini. berkata seor ang pedagang yang tetap menjajakan dagangannya dipasar kepada kawannya yang ragu -ragu. Tetapi menurut pendengaranku, mereka sudah membakar hutan. jawab kawannya itu.

Siapa bilang jawab yang pertama, sepuluh orang telah dibunuh oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih. Mereka tidak sempat membakar hutan meskipun mereka sudah menimbun seonggok dedaunan dan kayu-kayu kering dibawah sebatang pohon raksasa. Jika poho

n raksasa itu terbakar, maka pohon-pohon sebelah menyebelahnyapun akan terbakar juga. Apalagi pohon-pohon perdu dan barang-barang yang lebih kecil, sebangsa bat ang ilalang. Kawannya mengangguk-angguk. Sementara orang yang pertama berkata selanjutnya, kar ena itu, aku percaya kepada para pengawal, kepada Agung Sedayu, isterinya dan Gl agah Putih serta orang tua yang tinggal bersama mereka itu. Selain mereka masih ada juga Ki Gede sendiri. Ya. Kau benar. jawab kawannya. Namun masih juga nampak keragu-raguannya. Katanya, etapi biarlah besok saja aku menjajakan seluruh daganganku, hari ini aku memang tidak bersedia. Yang pertama tertawa. Katanya, Kau memang penakut. T

Kawannya mengerutkan keningnya Namun iapun tersenyum sambil berkata, Bukan karena penakut. Tetapi anakku sepuluh orang. Jika terjadi sesuatu dengan aku bagaimana nasib anak-anakku itu. Orang yang pertama masih saja tertawa. Tetapi ia tidak menyahut lagi, karena iap un telah sibuk melayani para pernbeli. Justru karena jumlah penjual pasar itu su sut, pedagang itu tidak terlalu banyak mempunyai saingan, sehingga pembelipun me njadi lebih banyak. Dalam pada itu, perjalanan Agung Sedayu dan seorang perwira dari Mataram itupun semakin lama menjadi semakin jauh Mereka telah melewati padukuhan demi padukuhan menuju tempat penyeberangan di Kali Praga. Tidak ada hambatan sama sekali yang menghalangi perjalanan mereka. Anak-anak mud a yang bertemu di perjalananpun bertanya, apakah yang akan mereka lakukan? Agung Sedayu tidak menjawab dengan jelas, meskipun ia berkata juga, poran tentang peristiwa semalam ke Mataram. Memberikan la

Tetapi anak-anak itu pada umumnya tidak sempat bertanya lebih lanjut karena Agun g Sedayu tidak menghentikan kudanya. Beberapa saat kemudian. kedua orang itupun telah sampai di penyeberangan. Mereka tidak perlu menunggu terlalu iama. karena beberapa rakit hilir mudik membawa orang-orang yang menyeberang kesebelah Timur atau kesebelah Barat Kali Praga. Ketika mereka memasuki Mataram, maka mereka tidak meiihat pertanda apapun bahwa awan yang kelabu aadang roengambang diatas langit Kota Raja yang menjadi semakin ramai itu. Kegiatan kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Pasar-pasarpu n ramai dikunjungi orang. Di jaian-jalan raya nampak hilir mudik para pejalan ka ki, beberapa orang berkuda dan bahkan pedati-pedati. Tanpa mendapat kesulitan apapun, maka Agung Sedayu dan perwira prajurit dari pas ukan Mataram yang berada di Tanah Perdikan itu telah masuk ke istana. Namun tern yata bahwa yang diterima oleh Panembahan Senapati justru hanyalah Agung Sedayu s aja. Dengan singkat Agung Sedayu menceriterakan apa yang telah terjadi di Tanah Perdi kan. Namun sebagaimana yang dijanjikannya kepada Raden Rangga, ia sama sekali ti dak menyebut nama Raden Rangga dalam peristiwa itu. Sebenarnyalah, bagi Panembahan Senapati siapapun yang melakukannya, agaknya mema ng tidak penting. Tetapi peristiwa itu memang perlu mendapat perhatian. Namun Senapatipun juga memperhitungkan kemungkinan, bahwa yang melakukan pengaca uan di Tanah Perdikan itu benar-benar orang yang mendendam. Tetapi firasatnya me ngatakan kepadanya. bahwa kemungkinan yang terbesar adalah, bahwa yang terjadi i tu ada hubungannya langsung dengan kehadiran beberapa orang di dalam lingkungan istana Mataram. Karena itu, maka laporan yang diberikan oleh Agung Sedayu itu di

anggapnya sangat berarti baginya. Agung Sedayu. berkata Panembahan Senapati kemudian, kalian harus berusaha untuk men gatasi persoalan kalian sebaik-baiknya. Para prajurit Mataram di Tanah Perdikan itu dapat kalian manfaatkan benar-benar. Bukan sekedar permainan sebagaimana kit a lakukan. Namun jika keadaan menuntutnya, maka mereka dapat diberi beban yang s esuai dengan tugas keprajuritan mereka. Hamba Panembahan. berkata Agung Sedayu, kami akan berusaha sejauh dapat kami lakuka n. Namun sebenarnyalah yang terjadi di Tanah Perdikan itu masih tetap gelap bagi kami. Kita sama-sama dihadapkan kepada satu masalah yang masih harus dipecahkan. Itulah sebabnya kita berusaha menjebak mereka, agar kita mendapat sedikit keterangan t entang mereka. Meskipun mungkin orang-orang itu tidak akan memberikan banyak ket erangan atau bahkan keterangan yang menyesatkan. Tetapi dengan berbagai cara mun gkin pada suatu saat kita menemukan titik-titik terang dari kabut yang samar ini . berkata Panembahan Senapati. Agung Sedayu mengangguk hormat. Setelah menerima beberapa pesan, maka Agung Seda yupun kemudian mohon diri untuk kembali ke Tanah Perdikan. Kau tidak bermalam disini? bertanya Panembahan Senapati.

Terima kasih Panembahan. Hamba mohon diri. Mungkin ada tugas yang harus hamba lak ukan malam nanti di Tanah Perdikan. jawab Agung Sedayu. Panembahan Senapati tidak dapat menahannya. Iapun kemudian melepaskan Agung Seda yu kembali ke Tanah Perdikan. Sepeninggal Agung Sedayu, Panembahan Senapati telah memanggil Ki Mandaraka. Sete lah diuraikan segala sesuatunya, dengan nada dalam Panembahan berkata, Kita tidak dapat menemukan garis yang tegas dari peristiwa di Tanah Perdikan itu dalam hub ungannya dengan orang-orang yang memasuki istana ini paman. Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu yang telah menggelitik hati. Seakan-akan yang terjadi di Tanah Perdi kan itu merupakan pertanda, bahwa kitapun harus bersiaga sepenuhnya. Aku masih t etap merahasiakan kehadiran orang-orang itu selain terhadap para prajurit Pengaw al Khusus dan Pelayan Dalam. Mudah-mudahan segalanya cepat berlangsung sehingga kita tidak selalu dibayangi oleh ketegangan-ketegangan. Ki Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, Kadang-kadang firasat didalam diri kita merupakan petunjuk yang pantas kita perhatikan. Jika demikian, kita memang harus bersiap. Pembakaran hutan adalah puncak perbuatan kasar. Baiklah paman. Aku mohon kita benar-benar bersiap. berkata Panembahan Senapati, seb ab aku yakin bahwa peristiwa ini merupakan bagian dari lakon vang panjang yang t elah disusun oleh sekelompok orang yang tidak menyukai pemerintahanku. Jika kita berhasil mendapat sedikit keterangan, maka kita akan dapat merubah susunan lako n itu. Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, Peristiwa di Tanah Perdikan itu me rupakan isyarat. Kita memang harus berhati-hati. Para prajurit yang mendapat kep ercayaan Panembahan harus mendapat perintah-perinah baru untuk menyegarkan sikap mereka. Mungkin beberapa orang diantara mereka justru menjadi lengah karena sel ama ini tidak terjadi sesuatu. Baiklah paman. l itu. jawab Panembahan, aku akan berbicara dengan Panglima Pasukan Pengawa

Ketika Panembahan Senapati memangggil Panglima Pasukan Pengawal Khusus dan Pelay

an an un ir

Dalam, maka Agung Sedayu dan seorang perwira prajurit Mataram di Tanah Perdik Menoreh sudah keluar dari gerbang Kota Raja. Namun langkah kuda mereka terteg ketika mereka melihai seorang anak muda berdiri diatas tanggul parit di pingg jalan. Raden Rangga.

Agung Sedayu dan perwira itupun telah meloncat turun dari kuda mereka, sementara Raden Rangga tersenyum, sambil berkata, Ternyata Kau memerlukan seorang pengawal . Maksudku, aku memang memerlukan seorang kawan Raden. Bukan pengawal. edayu. jawab Agung s

Ya. Ya. Raden Rangga mengangguk-angguk. Dengan nada rendah iapun bertanya, Kau suda h melaporkannya kepada ayahanda Sudah. jawab Agung Sedayu.

Anak muda itu agaknya masih akan bertanya lagi. Tetapi karena ada seorang pengaw al yang hadir. maka Raden Rangga menjadi segan mengucapkannya. Namun agaknya Agung Sedayu dapat menangkapnya. Lalu katanya, Aku sudah melaporkan kepada ayahanda Raden, bahwa aku dan Glagah Putih dengan terpaksa membunuh sepu luh orang itu tanpa dapat menangkap seorang pun yang masih hidup untuk didengar keterangannya. Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namur iapun kemudian mengangguk-angguk. Baiklah. berkata Raden Rangga, salamku kepada Glagah Putih. Mudah-mudahan aku masih akan dapat bertemu lagi. Wajah Agung Sedayu menegang. Namun kemudian katanya, Apakah sebabnya Raden mengatakannya? Wajah Raden Rangga tiba-tiba menjadi muram. Katanya, ikku. Apa maksud Raden? bertanya Agung Sedayu. Dalam keadaan yang cukup lelah, aku telah tertidur sebentar. Semuanya nampak asin g didalam mimpi. Jalan itu nampak kembali terbentang dihadapanku. Panjang sekali . Dan perempuan dalam kereta yang mewah dalam pakaian yang gemerlapan dengan waj ah ibuku itu melambaikan tangannya dari atas ombak yang bertebaran diujung jalan yang sangat panjang itu. Raden Rangga tertunduk. Lalu katanya, sampaikan kepada G lagah Putih tentang mimpiku. Aku sudah banyak berceritera kepadanya. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun Raden Ranggapun kemudian berkata, mat jalan. Langit cerah dan udara terasa segar. Sela Jangan berkata begitu Raden. Yang ada padaku bukanlah mil

Agung Sedayu dan perwira itu tidak menjawab. Mereka kemudian melihat Raden Rangg a berkisar dan melangkah meninggalkan mereka. Anak yang aneh. berkata perwira itu.

Agung Sedayu memandang langkah anak muda itu. Semakin lama semakin jauh. Bahkan seakan-akan langkah itu tidak akan berhenti lagi. Agung Sedayu menarik nafas dal am-dalam ketika perwira itu kemudian berkata, Marilah. Kita tidak terlalu dirisau kan lagi oleh anak itu. Pada saat-saat terakhir ia sudah mulai tenang setelah ia tinggal bersama Ki Patih Mandaraka. Agung Sedayu mengangguk. Katanya, Ya. Memang sudah nampak ada perubahan padanya.

Keduanyapun kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Namun tanpa disadari, perjal anan mereka menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya Agung Sedayu ingin segera berbic ara dengan Glagah Putih tentang pesan Raden Rangga. Perwira yang pergi bersama Agung Sedayu itu hanya menyesuaikan dirinya saja. Kud anyapun berlari semakin cepat pula. Karena itu, maka keduanya seakan-akan telah berpacu menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi ketika mereka sudah menyeberan gi Kali Praga. Sehingga perwira itu kemudian bertanya, Apakah ada hadiahnya bagi kita yang lebih dahulu mencapai pedukuhan induk? O Agung Sedayu tersadar. Iapun mengurangi kecepatan kudanya. Namun perlahan-lahan diluar sadarnya, perjalanan mereka menjadi semakin cepat kembali. Ketika mereka sampai di padukuhan induk, dan setelah Agung Sedayu melaporkan per temuannya dengan Panembahan itu kepada Ki Gede, maka Agung Sedayupun segera mint a diri. Baiklah Agung Sedayu. berkata Ki Gede, tidak urung kau jugalah yang akan melaksanak an. Lakukanlah sebaik-baiknya agar ketenangan Tanah Perdikan ini tidak terlalu t erganggu. Baik Ki Gede. Aku akan melakukannya bersama para pengawal Tanah Perdikan dan para prajurit Mataram yang berada di Tanah Perdikan ini. berkata Agung Sedayu yang me nghadap Ki Gede seorang diri, sebagaimana pesan itu disampaikan oleh Panembahan Senapati. Sedangkan perwira yang menyertainya berada di pendapa menikmati hidang an yang telah disuguhkan. Ketika Agung Sedayu kemudian keluar dari rumah dalam, maka perwira itupun minta diri pula untuk kembali ke induk pasukannya. Untunglah, aku seorang prajurit. Kenapa? bertanya Agung Sedayu. berkata perwira itu.

Seandainya aku bukan seorang prajurit, aku tentu merasa tersinggung karena dalam perjalanan ini aku sama sekali tidak mengetahui persoalan yang kalian bicarakan. Baik di Tanah Perdikan ini maupun di Mataram, meskipun aku seorang perwira praj urit Mataram. Maaf. sahut Agung Sedayu, bukan maksudku. seperti aku katakan, aku adalah se

Aku mengerti. jawab prajurit itu sambil tertawa, orang prajurit.

Keduanyapun berpisah. Sementara Agung Sedayu dengan tergesa-gesa kembali pulang. Untunglah baginya, bahwa Glagah Putih sedang ada dirumah. Karena itu, maKa iapu n dapat langsung berceritera tentang Raden Rangga itu. Wajah Glagah Putih menjadi tegang. Ia sudah sering berbincang tentang hidup dan kehidupan Raden Rangga. Karena itu, ia memang merasa cemas mendengar pesan itu. Ada sesuatu yang menggelitiknya untuk pergi. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berkata, Aku akan pergi kakang. Kemana? udnya. Sekar Mirahlah yang bertanya pertama-tama meskipun ia sudah menangkap maks jawab Glagah Putih. bertanya Agung Sedayu menegaskan.

Aku akan menemuinya. Kau akan ke Mataram?

Ya.

jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, Baiklah Glagah Putih. Tetap i berhati-hatilah. Kemelut yang terjadi nampaknya cukup panas meskipun masih ter selubung. Kau merupakan orang yang tentu menjadi sasaran jika benar-benar ada tu ntutan pembalasan dendam karena kau sudah dua kali melakukan pembunuhan. Glagah Putih mengangguk. Sementara itu Kiai Jayaraga bertanya, Bukan maksudku mem perkecil pribadimu. Tetapi aku ingin bertanya, apakah kau akan pergi sendiri ata u bersama orang lain. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun ia menjawab, tuk dapat menerima kehadiran orang lain. Sulit bagi Raden Rangga un

Baiklah. berkata Kiai Jayaraga, kau memang sudah pantas untuk pergi sendiri, dan ka upun telah pernah melakukannya dan ternyata kau berhasil mengatasi kesulitan yan g terjadi di perjalanan. Namun kali ini kau harus mempersiapkan dirimu lebih bai k, justru karena persoalan yang timbul di Tanah Perdikan ini dan di Mataram. Kar ena itu, siapkan semua bekal, termasuk ikat pinggang yang pernah kau terima dari Mataram itu. Baiklah Kiai. jawab Glagah Putih, aku mohon restu.

Demikianlah. maka Glagah Putihpun telah mohon diri dan mohon restu kepada kakak sepupunya serta mbokayunya pula. Kemudian dengan kudanya yang tegap tegar pember ian Raden Rangga, Glagah Putihpun berpacu menuju Mataram. Ternyata kudanya benar-benar seekor kuda yang luar biasa. Kuda itu berpacu seper ti angin. Sehingga karena itu, maka kepergian Glagah Putih telah banyak menarik perhatian. Apalagi Glagah Putih tidak memperlambat kudanya jika ia berpapasan de ngan kawan-kawannya meskipun anak muda itu tetap mengangguk, tersenyum dan bahka n menyapa mereka. Sebagaimana Agung Sedayu, maka Glagah Putihpun tidak menemui hambatan apapun dip erjalanan, sehingga ia telah mencapai tepian Kali Praga. Iapun tidak perlu menun ggu terlalu lama. Sejenak kemudian, iapun telah berada diatas sebuah rakit yang akan membawanya menyeberang. Namun ternyata bahwa kudanya memang telah menarik perhatian orang-orang yang ber samanya dalam satu rakit. Seorang yang mengaku sebagai seorang saudagar ternak d an kuda, memperhatikan kuda Glagah Putih itu dengan saksama. Sambil tersenyum-se nyum ia berkata, Kuda yang sangat bagus anak muda. Berapa kau membelinya? Aku tidak membelinya, Ki Sanak. adiah. jawab Glagah Putih, pamanku memberikannya sebagai h

Hadiah apa? bertanya saudagar itu, apakah kau sudah melakukan sesuatu yang sangat b erat bagi pamanmu itu, sehingga kau mendapatkan hadiah yang sangat berharga ini? Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya membantu paman bekerja disawah. Mungkin ka rena aku bekerja dengan tekun maka aku telah mendapat hadiah itu ketika aku meni nggaikan rumah paman dan kembali kepada orang tuaku. jawab Glagah Putih. Kenapa kau tinggalkan pamanmu yang baik itu? bertanya saudagar itu.

Orang tuaku menjadi semakin tua dan tidak dapat lagi mengurusi sawah ladangnya. A ku telah dipanggil pulang, karena aku adalah satu-satunya anak laki-laki. jawab G lagah Putih asal saja. Tetapi saudagar itu masih juga bertanya, Apakah kau tidak mempunyai saudara perem

puan? Ya. jawab Glagah Putih, saudaraku ada tujuh. Semua perempuan. Tujuh orang. Jadi anaknya sem

O orang itu mengangguk-angguk. Narnun iapun bergumam, ua ada delapan.

Glagah Putih tidak menghiraukan lagi. Rakit yang ditumpanginya sudah semakin dek at dengan tepian di seberang. Dengan hati-hati agar tidak menarik perhatian, ia memperhatikan tukang-tukang satang itu. Untunglah bahwa mereka bukannya orang ya ng pernah membawanya menyeberang pada saat ia mengaku sebagai anak seorang sauda gar kaya. Sejenak kemudian, rakit itupun menepi. Setelah memberikan upah sewajarnya, karen a ia bukan anak saudagar kaya raya, maka Glagah Putihpun telah menuntun kudanya ditepian. Namun iapun harus berpaling dan berusaha membelakanginya ketika ia mel ihat seorang diantara tukang satang dari rakit yang lain adalah orang yang mirip dengan tukang satang yang pernah menyeberangkannya. Jika benar orang itu tukang satang yang pernah membawaku, mudah-mudahan ia tidak melihatku dan menyapa aku, atau justru sudah melupakannya. berkata Glagah Putih k epada diri sendiri. Namun Glagah Putih terkejut ketika saudagar yang bersamanya dalam rakit itu berj alan disebelahnya sambil berkata, Kau tidak ingin menjadikan kudamu modal untuk k erja daripada sekedar menjadi kebanggaan? Hanya orang-orang kaya sajalah yang pa ntas mempunyai seekor kuda sebagus kudamu itu. Glagah Putih memaksa bibirnya untuk tersenyum. Katanya, Maaf Ki Sanak. Kuda ini a dalah pemberian pamanku. Aku tidak akan berani menjualnya. Kau tukar dengan seekor kuda yang lebih kecil. Kau akan mempunyai sisa uang cukup untuk modal berdagang kecil-kecilan di padukuhanmu atau dipasar terdekat. berkat a saudagar itu. Tetapi sekali lagi Glagah Putih menjawab, Aku tidak berani melepaskannya dari tan ganku. Saudagar itu mengangguk-angguk. Namun iapun masih juga menepuk kuda itu sambil b erdesis, Kuda yang sangat bagus. Selamat anak muda. Kau telah memiliki tunggangan yang dapat kau jadikan kebanggaan. Glagah Putihpun kemudian minta diri untuk mendahului saudagar itu. Namun demikia n pengalamannya telah mendorongnya untuk tetap berhati-hati. Justru karena kuda itu, maka banyak peristiwa telah terjadi. Juga yang menyangkut persoalan yang te rjadi di Mataram. Justru karena kuda itu, maka ia sempat mendengar keterangan te ntang sesuatu yang akan terjadi atas Panembahan Senapati. Namun agaknya yang mengagumi kudanya itu benar-benar seorang penggemar kuda. Ter nyata tidak ada peristiwa yang mengikutinya ketika ia meninggalkan tepian menuju ke Mataram. Namun Glagah Putih tidak memacu kudanya cepat-cepat sebagaimana dil akukan di Tanah Perdikan Menoreh. Ia tidak mau menarik perhatian, apalagi para p rajurit Mataram yang bertugas. Bahkan menurut perhitungan Glagah Putih, Panembah an Senapati tentu telah menyebarkan para prajurit dalam tugas sandi, meskipun te rbatas pada kesatuan yang sangat dipercaya. Kuda Glagah Putih memang menarik perhatian. Rasa-rasanya tidak seimbang ditilik dari penunggangnya. Namun ternyata Glagah Putih tidak mengalami gangguan apapun sehingga ia mendekati istana Ki Patih Mandaraka dengan selamat.

Glagah Putih memang ragu-ragu. Namun akhirnya diberanikannya dirinya menghampiri pengawal di gerbang istana Ki Patih. Untung sekali Glagah Putih, bahwa pengawal itu pernah mengenalnya ketika ia datang ke Kepatihan sebelumnya. Karena itu, ma ka Glagah Putih itu tidak terlalu banyak mengalami kesulitan. Aku akan menyampaikannya kepada Raden Rangga, berkata pengawal itu, h-mudahan ia ada di biliknya. tunggulah, muda

Menurut penglihatanku, baru saja ia kembali. Tetapi kadang-kadang penglihatan kam i, para pengawal, keliru. Kami melihatnya kembali, tetapi ternyata Raden Rangga tidak ada, tetapi justru kami melihatnya pergi, ia berada didalam istana Kepatih an ini. jawab pengawal itu. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian menunggunya diseram bi regol bersama seorang pengawal yang lain, sementara seorang pengawal mencari Raden Rangga di biliknya. Beberapa saat Glagah Putih menunggu. Baru sejenak kemu dian pengawal itu datang kembali keregol. Ternyata Raden Rangga ada di dalam biliknya. berkata pengawal itu, rintahkan kepadaku, agar mempersilahkan kau masuk. Terima kasih. jawab Glagah Putih yang kemudian an menambatkan kudanya itu pada patok-patok yang Glagah Putih memang telah mengetahui letak bilik u untuk masuk. Sehingga karena itu, maka seorang a kepadanya, Siapakah yang kau cari? Raden Rangga. jawab Glagah Putih. Raden Rangga? Siapakah kau? bertanya pelayan itu. Raden telah meme

menuntun kudanya memasuki halaman d memang tersedia. Raden Rangga. Namun ia ragu-rag pelayan yang melihatnya bertany

Agaknya percakapan itu didengar oleh pengawal yang telah menyampaikan kedatangan Glagah Putih kepada Raden Rangga. Karena itu maka iapun telah mendekatinya samb il berkata, Bawa tamu ini kepada Raden Rangga. Aku telah menyampaikannya dan Rade n Rangga telah memerintahkannya untuk datang ke biliknya. O desis pelayan itu, aku tidak tahu. Kenapa kau tidak mengantarnya? jawab pengawal itu.

Kaulah yang harus mengantarnya.

Pelayan itu termangu-mangu. Namun iapun kemudian berkata, Marilah, ikut aku. Ternyata pelayan itu tidak membawanya melalui ruang dalam. Tetapi pelayan itu te lah membawa Glagah Putih memasuki seketheng sebelah kanan. Melalui longkangan da n serambi maka akhirnya Glagah Putih telah memasuki ruang samping menghadap kepi ntu bilik Raden Rangga. Itulah. Masuklah. berkata pelayan itu. Glagah Putih itupun kemudian melangkah mendekati pintu itu. Perlahan-lahan ia me ngetuk pintu yang tertutup itu. Siapa? terdengar suara dari dalam. jawab Glagah Putih.

Aku Raden, Glagah Putih. O. Marilah.

jawab yang di dalam.

Sejenak kemudian, pintu itupun telah terbuka. Raden Rangga berdiri sambil tersen yum. Dengan nada dalam ia mempersilahkan, Masuklah. Aku sudah menduga, bahwa kau akan datang.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun Raden Rangga mengulanginya, Jika pesan ku lewat Agung Sedayu sampai, kau tentu akan datang. Dan waktunyapun tidak jauh dari perhitunganku. Marilah. Glagah Putihpun kemudian telah melangkah masuk. Dengan ragu-ragu iapun duduk di sebuah amben. Setelah menutup pintu biliknya, maka Raden Ranggapun telah duduk p ula disebelahnya. Pesan Raden membuat aku berdebar-debar. berkata Glagah Putih. Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun wajahnyapun kemudian menunduk. Dengan nada dalam ia berkata Aku memang dalam keadaan gelisah Glagah Putih. Aku tidak ta hu apakah sebabnya. Sebenarnya aku tidak cemas apapun yang akan terjadi atasku. Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu yang belum selesai. Aku tidak tahu, apa yang aka n terjadi atasku nanti, besok atau dalam batasan waktu yang manapun. Namun semen tara itu bahaya benar-benar sedang mengancam ayahanda. Tetapi menurut pesan yang sampai kepadaku, agaknya Raden menjadi gelisah karena m impi yang Raden lihat di dalam tidur. Seakan-akan Raden sedang menuju ke tempat yang tidak terbatas, kereta diatas lautan dan perempuan dalam pakaian gemerlapan . sahut Glagah Putih. Ya. Jika aku boleh berterus terang, aku telah menterjemahkan isyarat dengan akhir perjalanan hidupku, karena ibuku, yang melahirkan aku telah mengajakku pergi ke tempat yang tidak dikenal. jawab Raden Rangga, tetapi itu tidak menggelisahkan. A ku siap menerima panggilan itu. Tetapi kenapa justru pada saat ayahanda sedang d ibayangi oleh kesulitan yang belum dapat dijajagi, seberapa besarnya. Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian katanya, Tetapi bukankah ayahanda Rad en seorang yang pilih tanding. Sementara itu Ki Patih Mandarakapun seorang yang jarang ada duanya. Seandainya ada seseorang yang berani memasuki istana ini dan langsung berhadapan dengan Panembahan Senapati, apakah orang itu tidak akan meng alami kesulitan karena tingkah lakunya sendiri, bagaikan sulung masuk kedalam ap i. Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, Aku tahu, ayahanda memiliki tingkat ilmu yang sangat tinggi. Bahkan mungkin sejajar dengan ilmu orang-orang terpilih dis eluruh Demak sekarang ini. Namun setiap orang memiliki kelemahannya masing-masin g. Tidak ada seorangpun yang mampu mengatasi segala-galanya di atas dunia ini. P ada suatu saat seseorang akan sampai pada satu batas kelemahannya dan hal itu ak an dapat saja terjadi atas ayahanda, karena ayahanda tidak lebih dari manusia bi asa. Glagah Putih mengangguk kecil. Tetapi katanya kemudian, Namun seandainya orang ya ng mengembara, maka ayahanda Raden sudah menyiapkan bekal secukupnya. Memang mun gkin yang tidak diharapkan dapat saja terjadi. Tetapi kita mempunyai kesempatan untuk membuat perhitungan. Kau benar Glagah Putih. jawab Raden Rangga, tetapi yang menentukan bukannya kita. K etentuan yang berada diluar jangkauan kita itulah yang aku cemaskan. Meskipun il muku dibandingkan dengan ilmu ayahanda tidak berarti apa-apa, namun rasa-rasanya betapa pahitnya jika aku harus pergi justru ayahanda berada didalam bahaya. Ini mungkin hadir di dalam hatiku sebagai ujud dari kesombonganku. Tetapi aku tidak dapat mengelak dari perasaan itu, sementara mimpi yang mengerikan itu membayang iku. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia bertanya dengan suara ragu, Raden, apakah ibunda Raden sudah tidak ada lagi? Pertanyaan itu mengejutkannya. Namun sambil mengerutkan keningnya Raden Rangga m enjawab, Ibuku masih ada. Tetapi tidak berada di istana ini. Ibu lebih senang tet ap berada di Pajang. Dan Raden sering juga mengunjunginya? bertanya Glagah Putih. Jarang sekali Glagah Putih. Aku jarang sekali mengunjungi ibunda. jawab Raden Rang ga. Nah, bukankah dengan demikian Raden tidak usah mencemaskan mimpi Raden. Hanya ora

ng-orang yang sudah tidak ada sajalah yang perlu dicemaskan jika ia hadir didala m mimpi dan mengajak kita pergi. Kau benar Glagah Putih. jawab Raden Rangga, tetapi itu bagi orang lain. Aku memang memiliki kelainan itu. Ibunda memang bukan seorang yang memiliki sesuatu. Baik i lmu maupun kebanggaan lain. Namun yang hadir didalam mimpiku sejak semula adalah seorang perempuan dalam ujud ibundaku yang memiliki segala-galanya. Ilmu, kemew ahan, keajaiban dan yang tidak terjangkau oleh nalar sekalipun. Dan perempuan it ulah, dalam ujud ibunda, memanggilku. Mungkin orang lain tidak dapat merasakanny a. Tetapi isyarat itu terasa olehku. Apakah Raden tidak pernah memikirkannya, bahwa dugaan Raden itu salah? bertanya Gl agah Putih. Memang mungkin aku keliru, karena aku bukan seorang yang mampu melihat peristiwa yang belum terjadi. Tetapi sentuhan itu mengatakan kepadaku dan tangkapanku yang pertama adalah, bahwa aku memang harus pergi. jawab Raden Rangga. Tetapi Raden tidak akan dapat menyebut waktu. jawab Glagah Putih, bukankah isyarat seperti itu sudah Raden rasakan beberapa waktu sebelumnya? Ya. Dan agaknya yang datang terakhir begitu meyakinkan. jawab Raden Rangga. Raden telah menganyam angan-angan itu didalam diri Raden, sehingga seakan-akan se galanya itu meyakinkan. berkata Glagah Putih. Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Tetapi ia menggelengkan kepalanya. Katanya, Duniaku memang agak lain dengan duniamu Glagah Putih. Glagah Putih tidak menjawab lagi. Agaknya ia akan sulit sekali untuk merubah tan ggapan Raden Rangga atas mimpi-mimpinya. Glagah Putihpun menyadari, bahwa mimpi bagi Raden Rangga dapat berakibat dan berarti lain dari mimpinya. Yang terjadi d alam mimpi agaknya dapat berbekas dalam kehidupan wajar Raden Rangga, sebagaiman a ia menerima ilmunya. Karena itu, mimpi baginya memang mempunyai arti tersendir i. Karena Glagah Putih tidak menjawab lagi, maka Raden Rangga itupun kemudian berka ta, Glagah Putih, aku minta kau tidak segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. S ebaiknya kau tinggal disini untuk beberapa hari. Tetapi aku tidak minta ijin untuk tinggal disini Raden. jawab Glagah Putih, apalagi Tanah Perdikan Menoreh kini sedang dibayangi oleh peristiwa-peristiwa yang seba gaimana Raden saksikan. Setiap kali kita akan pergi ke Tanah Perdikan. berkata Raden Rangga, tetapi kita ak an kembali lagi kemari. Sore hari kita dapat mengamati Tanah Perdikan itu. Jika tidak nampak sesuatu yang mencurigakan, maka kita segera kembali ke istana ayaha nda. Bukankah dengan demikian kita hanya akan membuang waktu saja Raden. Sekali lagi a ku berpendapat, bahwa ayahanda Raden memiliki semuanya yang diperlukan untuk mel akukan rencananya. Bukankah ayahanda Raden justru berusaha memancing orang itu m emasuki istana? Sementara itu, disekitar ayahanda Raden terdapat para pengawal t erpilih disamping Ki Patih Mandaraka yang mumpuni. sahut Glagah Putih. Bukankah di Tanah Perdikan juga ada Ki Gede, ada Agung Sedayu dan isterinya Sekar Mirah, ada gurumu dan ada sepasukan prajurit Mataram disana. berkata Raden Rangg a pula. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mempunyai alasan lagi un tuk menolak permintaan Raden Rangga agar ia tinggal untuk sementara di Mataram. Kenapa kau terdiam? desak Raden Rangga. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak akan dapat mempergunakan alasan , bahwa yang ditinggalkannya tentu akan menjadi gelisah, sebagaimana pernah diaj ukannya beberapa waktu yang lalu, ketika ia juga harus tinggal bahkan pergi bers ama Raden Rangga untuk merendam di sebuah belumbang. Karena itu, maka jawabnya kemudian, Baiklah Raden, aku akan tinggal. Tetapi tidak terlalu lama. Mungkin hanya semalam saja. jawab Glagah Putih. Raden Rangga tersenyum. Katanya, Baiklah. Tetapi kau harus tinggal. Jika tidak, m aka kudamu akan aku minta kembali. Glagah Putih tidak menjawab. Namun Raden Rangga itupun berkata, Baiklah, biarlah seorang pelayan membawa kudamu kebelakang. Biarlah aku sendiri membawanya Raden. jawab Glagah Putih. Akulah tuan rumah disini. desis Raden Rangga sambil berdiri untuk memanggil pelaya

n agar membawa kuda Glagah Putih kebelakang istana itu. Ketika Raden Rangga itu kembali, maka iapun berkata, Nanti aku akan memberimu sat u permainan yang tentu kau senangi, sebagaimana kau senang bermain macanan atau bengkat di halaman. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mengerti maksud Raden Rangga yang sebenarnya. Nah, kau mempunyai waktu sedikit untuk beristirahat. Sebentar lagi, langit akan m enjadi suram dan malam akan turun. Mungkin kau akan mandi agar tubuhmu menjadi s egar. Jika kau memerlukan ganti pakaian, kau dapat mempergunakan pakaianku. berka ta Raden Rangga kemudian. Glagah Putih tidak segera menyahut. Namun ketika Raden Rangga membuka pintu samp ing biliknya, maka nampak bahwa halaman samping itupun sudah menjadi buram. Seor ang yang membawa lampu minyak kemudian memasuki bilik itu dan menempatkannya dia tas sebuah ajug-ajug. Karena di dalam bilik dan ruang-ruang diistana itu sudah m enjadi gelap. Mandilah. berkata Raden Rangga, pakailah pakaianku. Terima kasih Raden. jawab Glagah Putih, pakaianku masih cukup bersih untuk aku perg unakan malam ini. Besok kau belum tentu dapat kembali. Aku mungkin masih akan menahanmu. berkata Rad en Rangga sambil tersenyum. Glagah Putih tidak menjawab. Namun iapun kemudian melangkah keluar menuju kepaki wan yang sudah diketahuinya letaknya. Setelah mandi dan berbenah diri, maka Glag ah Putihpun telah duduk kembali bersama Raden Rangga menghadapi hidangan bagi me reka berdua. Minumlah. berkata Raden Rangga, jangan risaukan Tanah Perdikan. Di Tanah Perdikan i tu terdapat orang-orang yang akan dapat menyelesaikan semua masalahnya. Glagah Putih mengangguk. Tetapi bagaimanapun juga, ia tidak dapat melepaskannya seluruhnya dari pikirannya. Glagah Putih. berkata Raden Rangga, malam nanti kau ikut aku melihat-lihat halaman istana. Beberapa malam aku kurang memperhatikannya, bahkan semalam aku justru be rada di Tanah Perdikan. Aku tidak tahu, kapan akan terjadi sesuatu di istana aya handa. Namun peristiwa di Tanah Perdikan itu seakan-akan telah memperingatkan ak u dan barangkali juga orang-orang lain yang mendapat kepercayaan dari ayahanda u ntuk bangkit kembali dan memperhatikan keadaan dengan lebih saksama, karena dala m beberapa hari terakhir, rasa-rasanya pengawasan lingkungan istana ayahanda itu memang menjadi hambar. Glagah Putih termangu-mangu. Dengan ragu ia menyahut, Raden. Apakah hal itu tidak akan sangat berbahaya? Raden Rangga tersenyum. Katanya, Sejak kapan kau takut akan bahaya? Raden. jawab Glagah Putih, bahaya ini agak berbeda dengan bahaya yang datang dari p ihak lain. Bahaya ini datangnya dari para petugas diistana ayahanda Raden sendir i. Jika para petugas itu melihat dan mengetahui kehadiran kita, apakah hal ini t idak akan dilaporkan kepada ayahanda Raden? Mungkin sekali memang dapat terjadi demikian. Tetapi aku tidak akan merasa tenang jika aku tidak melakukannya. berkata Raden Rangga kemudian, bukannya aku merasa d iriku lebih baik dari para pengawal, dari eyang Mandaraka dan dari ayahanda send iri, tetapi aku tidak dapat mengingkari gejolak perasaanku sendiri. Sekali lagi, mungkin itu merupakan pancaran dari kesombonganku, seolah-olah aku akan dapat m elindungi ayahanda. Tetapi biarlah kali ini aku menuruti perasaanku. Itulah yang sering Raden lakukan. Mengikuti perasaan Raden. Bukankah Raden sudah belajar mengekangnya? bertanya Glagah Putih. Wajah Raden Rangga menjadi tegang. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, Kau benar Glagah Putih. Tetapi kali ini aku tidak mampu menguasainya. Aku merasa wajib me lakukannya. Glagah Putih tidak dapat mengatasinya lagi. Ia tidak mampu pula menolak ajakan R aden Rangga untuk melihat-lihat keadaan istana dimalam hari. Sementara itu Raden Rangga berkata, Bersiap-siaplah. Kau akan melakukan satu peke rjaan seperti yang kau katakan, sangat berbahaya. Kau harus mampu menyerap bunyi yang mungkin kau pancarkan lewat pernafasanmu, mungkin sentuhan-sentuhan tubuhm u atau karena gerak yang lain.

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia berkata sesuatu Raden Rangg a mendahuluinya, Kau harus dapat melakukannya. Modal ilmumu sudah cukup. Jika kau mampu mengolah didalam dirimu maka kau akan menemukan laku yang dapat kau pergu nakan untuk melindungi dirimu dengan menyerap bunyi itu. Tentu saja bunyi lembut . Jika kau melanggar setumpuk mangkuk dan jatuh berserakan, siapapun tidak akan mampu menyerap bunyinya. Glagah Putih tersenyum juga mendengar kata-kata Raden Rangga. Meskipun ia belum mencobanya, tetapi iapun telah mengangguk mengiakan. Nah, bersiaplah. Kita akan pergi setelah mendekati tengah malam. Atau mungkin kau akan tidur lebih dahulu? bertanya Raden Rangga. Tentu tidak Raden. jawab Glagah Putih. Jika tidak, maka kita isi waktu kita dengan berjalan-jalan di Kota Raja ini. Aku tidak telaten menunggu sambil duduk dan berbicara tanpa ujung dan pangkal. Lebih baik kita berbicara di sepanjang jalan saja. berkata Raden Rangga. Sekali lagi Glagah Putih tidak dapat menolak. Tetapi sebenarnya iapun merasa leb ih baik berjalan-jalan daripada duduk sambil menunggu waktu yang merambat lamban sekali sampai mendekati tengah malam. Karena itulah, maka keduanyapun kemudian telah bersiap. Ternyata Raden Rangga ke mudian bertanya, Kau membawa ikat pinggangmu? Aku selalu memakainya Raden. jawab Glagah Putih. Bagus. jawab Raden Rangga, mungkin kita memerlukan. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa dengan demikian Raden Ra ngga memperhitungkan satu kemungkinan untuk melakukan tindak kekerasan. Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah meninggalkan istana Kepatihan. Seperti biasanya, jika Raden Rangga tidak ingin diketahui kepergiannya, ia telah melonca ti dinding diluar pengawasan para pengawal. Demikian pula yang dilakukannya saat itu bersama Glagah Putih. Raden Rangga tidak keluar halaman lewat regol, tetapi meloncati dinding samping dan turun ke jalan kecil disebelah istana Kepatihan i tu. Menyusuri jalan kecil, maka keduanyapun seakan-akan telah menghilang didalam gelapnya malam yang semakin dalam. Sejenak kemudian keduaya telah berada di jalan raya Kota Raja Mataram. Keduanya berjalan didalam kegelapan yang sepi. Rumah-rumah sudah tertutup dan halaman-hal aman rumahpun tidak lagi diramaikan oleh anak-anak yang bermain-main, karena lan git nampak gelap meskipun bintang berkeredipan dari ujung langit sampai keujung yang lain. Tetapi bulan sama sekali tidak akan nampak disepanjang malam. Satu dua masih ada orang yang duduk-duduk di depan regol sebuah rumah dan sekelo mpok anak-anak muda berada digardu didepan banjar sebuah padukuhan. Tetapi merek a sama sekali tidak tertarik kepada dua orang anak muda yang berjalan seenaknya menyusuri jalan raya. Kita masih mempunyai waktu banyak. berkata Raden Rangga, kita akan pergi ke istana menjelang tengah malam seperti sudah aku katakan. Jadi kita akan kemana? bertanya Glagah Putih. Kemana saja. jawab Raden Rangga, apakah kau masih letih karena perjalananmu dari Ta nah Perdikan? Tidak. jawab Glagah Putih, perjalanan yang pendek. Aku sama sekali tidak merasa let ih. Apalagi dengan kuda yang Raden berikan itu. Bagus. jawab Raden Rangga, jika demikian kita pergi saja kesungai. Kita isi waktu k ita dengan sebuah permainan. Permainan apa? bertanya Glagah Putih. Marilah. ajak Raden Rangga. Keduanyapun kemudian pergi ke sungai yang tidak terlalu besar, meskipun tebingny a cukup dalam. Ditempat yang sepi Raden Rangga berkata, Kita duduk disini. Kau me nghadap kepadaku pada jarak dua lengan. Apa yang akan kita lakukan? bertanya Glagah Putih. Bermain. jawab Raden Rangga, cepatlah, waktu kita hanya tinggal sedikit. Glagah Putihpun kemudian duduk dihadapan Raden Rangga. Keduanya menyilangkan kak inya pada jarak dua lengan. Julurkan kedua lenganmu. Buka telapak tanganmu. perintah Raden Rangga. Glagah Putih melakukan sebagaimana dikehendaki oleh Raden Rangga. Namun sementar a itu Raden Ranggapun telah berbuat serupa pula, sehingga keempat telapak tangan

yang terbuka itu, berpasangan hampir bersentuhan. Jangan sentuh telapak tanganku dengan telapak tanganmu. berkata Raden Rangga. Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia tidak segera mengetahui maksud Raden Rang ga. Beberapa saat mereka keduanya masih berada dalam keadaannya. Sejenak kumudian, m aka Raden Ranggapun berkata, Glagah Putih, seperti kau ketahui, bahwa beberapa or ang mampu bertempur dalam jarak tertentu dengan melontarkan serangan-serangan ta npa harus mendekat dan tanpa sentuhan wadag. Seorang mampu menyerang dengan soro t matanya, sementara orang lain melontarkan serangannya dengan lontaran dari tel apak tangannya yang terbuka seperti sikapmu sekarang ini. Nah, cobalah. Usahakan agar kau mampu melontarkan kekuatan ilmumu lewat telapak tanganmu yang terbuka itu. Glagah Putih menjadi heran. Dengan ragu-ragu ia bertanya, Bagaimana mungkin tibatiba saja aku dapat melakukan Raden. Aku tahu, untuk mencapai satu tataran kemam puan ilmu diperlukan laku. Juga kemampuan seperti yang Raden katakan. Bukan deng an tiba-tiba saja. Mungkin hal seperti itu dapat terjadi atas Raden. Tetapi tent u tidak padaku. Glagah Putih. berkata Raden Rangga, pada saat aku dalam kesulitan, setelah aku beru saha memadamkan api yang membakar hutan di Tanah Perdikan Menoreh, kau mampu men yalurkan kekuatan ilmumu sehingga darahku yang serasa membeku itu dapat mengalir lagi. Apakah sebelumnya kau pernah mempelajarinya? Serba sedikit aku pernah mendapatkan petunjuk untuk melakukannya. berkata Glagah P utih ragu-ragu. Baiklah. desis Raden Rangga kemudian, kau dapat melakukannya seperti yang kau lakuk an itu. Tetapi dengan hentakkan yang lebih kuat. Sementara itu, tanganku akan ak u pergunakan untuk menampung kekuatan ilmumu yang tentu masih terlalu lemah. Tet api jika kau berhasil, maka hal ini akan merupakan laku untuk membuka satu tatar an baru bagimu dalam olah kanuragan. Glagah Putih termangu-mangu. Memang jauh berbeda tuntunan yang diberikan oleh Ra den Rangga dengan apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga. Keduan ya memberikan petunjuk untuk mulai dengan satu laku yang tahap demi tahap mencap ai satu kekuatan yang dapat dibanggakan. Namun Raden Rangga melakukannya dengan cara lain. Tiba-tiba segalanya harus didorong dan diungkapkan dari kemampuan yan g ada didalam dirinya sendiri. Cobalah. berkata Raden Rangga, seandainya tidak berhasil, bukankah tidak ada ruginy a? Kita harus berani mencoba, apalagi tanpa menimbulkan akibat buruk sama sekali . Glagah Putih mengangguk kecil. Seperti yang dikatakan oleh Raden Rangga, ia haru s berani mencoba. Marilah. berkata Raden Rangga, lakukan sebagaimana kau menyalurkan kekuatan ilmumu untuk membantu mencairkan darahku yang membeku. Glagah Putihpun mengangguk kecil. Sejenak kemudian iapun telah memusatkan nalar budinya, sebagaimana dilakukan pada saat ia membantu Raden Rangga pada saat dala m kesulitan. Nah. berkata Raden Rangga kemudian, hentakkan alas ilmumu sebagaimana kau lakukan s etelah kau pusatkan kekuatan ilmumu itu dan kau salurkan pada lenganmu dan kemud ian pada telapak tanganmu yang terbuka itu. Aku akan menampungnya dengan telapak tanganku yang akan membantumu melepaskan seranganmu. Aku akan mempergunakan kem ampuan ilmuku untuk menarik lontaran ilmumu. Rasa-rasanya memang seperti satu permainan yang menarik sebagaimana permainan ma canan atau bengkat dihalaman saja. Glagah Putih tidak menjawab. Ia telah sampai kepuncak pemusatan nalar budinya. D engan kemampuan yang ada pada dirinya, maka iapun telah menyalurkan kekuatan ilm unya ke lengannya dan kemudian ke telapak tangannya. Namun bukan kekuatan ilmuny a yang tertinggi, karena bagaimanapun juga ia masih memikirkan kemungkinan yang dapat terjadi atas Raden Rangga. Sejenak kemudian terasa kekuatan ilmunya itu memang mengalir. Glagah Putih menah an nafasnya. Ia mulai ancang-ancang untuk menghentakkan ilmunya itu. Beberapa sa at ia merasakan kemampuan ilmunya telah berada di telapak tangannya. Seperti yan g dilakukan pada saat ia membantu mengatasi kebekuan darah Raden Rangga, maka Gl

agah Putihpun telah berusaha untuk melepaskan kekuatan ilmunya itu dengan satu h entakan yang kuat. Raden Rangga yang memperhatikan wajah Glagah Putihpun menangkap gerak di dalam d iri anak muda itu. Meskipun di malam hari, tetapi ketajaman penglihatan Raden Ra ngga itu mampu melihat saat hentakan wajah Glagah Putih. Pada saat yang demikian maka Raden Rangga telah membantu Glagah Putih, melepaska n segala hambatan yang terdapat didalam dirinya, dengan melepaskan segala kekuat an yang mungkin terdapat ditelapak tangannya. Dengan demikian maka yang terjadi adalah sebagaimana dike hendaki oleh Raden Rangga. Seakan-akan getaran yang bergejolak telah meloncat dari telapak tangan Glagah Pu tih kearah telapak tangan Raden Rangga yang jaraknya kurang dari sejengkal. Loncatan itu hanya terjadi dalam sekejap. Namun terasa sesuatu telah terhempas d ari tekanan didalam diri Glagah Putih. Lepasnya getaran dari telapak tangannya m eloncat ketelapak tangan Raden Rangga telah melepaskan keragu-raguannya pula bah wa ia mampu melakukannya. Ternyata bahwa Raden Rangga tersentak oleh loncatan getaran itu. Kekuatan Glagah Putih yang masih belum mapan dalam loncatan getaran ilmu yang diragukannya itu, lebih besar dari yang diperkirakan. Namun kekuatan Raden Rangga memang luar biasa. Getaran yang membentur telapak ta ngannya dan merambat kelengannya itu terhenti tanpa menyakiti dadanya. Meskipun demikian Raden Rangga itu kemudian berdesis Luar biasa. Ternyata kau me miliki kekuatan lebih besar dari yang aku duga. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia memang merasakan tubuhnya menjadi lel ah. Tetapi hanya untuk waktu yang pendek, karena setelah meletakkan kedua tangan nya dipangkuannya, maka rasa-rasanya kekuatan-nyapun telah pulih kembali. Bagus Glagah Putih berkata Raden Rangga lakukan sekali lagi. Perhatikan apa yang telah terjadi didalam dirimu dan pada saat-saat getaran itu meloncat dari telap ak tanganmu. Aku tahu, kau tidak mempergunakan segenap kekuatan ilmu yang tersimpan didalam dirimu. Itu tidak apa-apa. Jika kau mampu, melakukannya atas satu jenis ilmumu, maka kau akan dapat melakukannya pa da jenis ilmumu yang lain. Apalagi kau memiliki kemampuan yang kau sadap dari Ki ai Jayaraga, untuk menyadap kekuatan bumi, udara, api dan bahkan air. Bukankah d engan kemampuanmu melontarkan getaran ilmumu tanpa sentuhan wadag akan sangat be rarti? Apalagi jika pada saatnya nanti kau mendapat tuntunan dari Agung Sedayu u ntuk mempergunakan pandangan matamu. Maka kau akan mampu menjadikan dirimu seora ng yang pilih tanding. Meskipun menurut eyang Mandaraka, sebagaimana pernah dika takan, bahwa tidak ada seorangpun yang sempurna. Yang sempurna hanyalah Yang Sem purna itu saja. Yang menjadikan langit dan bumi serta segala isinya. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia memang memiliki kemampuan untuk menya dap dan mempergunakan kekuatan bumi, udara, air dan api sebagaimana diajarkan ol eh Kiai Jayaraga. Namun penggunaannya agak berbeda dari apa yang dilakukannya it u. Meskipun ia masih belum melihat langsung hubungan antara ilmu yang diperolehn ya dari Kiai Jayaraga dengan apa yang disebut sebagai permainan oleh Raden Rangg a itu, namun tiba-tiba saja tumbuh satu keyakinan didalam dirinya bahwa ia akan dapat memanfaatkannya, apabila Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga itu tidak berkeber atan. Marilah tiba-tiba saja Raden Rangga berdesis lakukan sekali lagi. Masih ada wakt u sedikit menjelang tengah malam. Glagah Putih tidak membantah. Iapun telah bersiap pula untuk melakukannya sekali lagi. Namun jarak antara dirinya dan Raden Rangga menjadi lebih jauh. Ternyata Glagah Putihpun telah berhasil pula. Bahkan ternyata kekuatannya terasa menjadi semakin besar, sehingga tubuh Raden Rangga itu terguncang karenanya. Na mun seperti yang pertama, getaran yang terloncat itu tidak menyakiti isi dadanya . Bagus berkata Raden Rangga kita pergunakan waktu yang sedikit ini untuk meyakink an kemampuanmu. Arahkan getaran kekuatanmu pada sebongkah padas yang lunak itu. Glagah Putihpun melakukannya seperti yang dikehendaki oleh Raden Rangga. Diarahk annya getaran kekuatannya kepada sebongkah batu padas yang lunak yang diletakkan nya diatas sebuah batu hitam di tepian itu. Glagah Putihpun kemudian telah memusatkan kekuatan didalam dirinya. Dipandanginy

a batu padas itu sambil menahan nafasnya. Kemudian disalurkan getaran kekuatan d idalam dirinya pada lengannya dan kemudian telapak tangannya. Dengan segenap kek uatan yang ada didalam dirinya, dihentakkannya ilmunya menghantam batu padas yan g oleh Raden Rangga memang dipilih batu padas yang lunak saja. Ketika getaran yang terlontar dari telapak tangan Glagah Putih itu membentur sas aran, maka Raden Rangga itupun telah bertepuk tangan. Katanya Luar biasa. Baru s aja kau mulai permainan ini. Ternyata kau dapat melakukannya dengan baik. Ternyata bahwa batu padas itu telah pecah meskipun tidak hancur berkeping-keping . Glagah Putih justru termangu-mangu. Ia memang melihat batu padas itu pecah. Baiklah Glagah Putih berkata Raden Rangga jangan kau renungkan sekarang. Anggap bahwa kau telah memecahkan satu batas dari dinding ilmumu, sehingga dengan demik ian kau telah membuka satu lagi pintu bagi pelepasan ilmumu itu. Meskipun demiki an, jika kau kembali ke Tanah Perdikan, kau harus minta ijin kepada kedua orang gurumu, apakah mereka setuju kau mempergunakan permainan itu untuk seterusnya, b ahkan mengembangkannya didalam dirimu sesuai dengan bekal yang telah kau miliki. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tubuhnya sudah tidak banyak lagi terpeng aruh oleh pelepasan ilmu nya itu. Karena itu, maka Glagah Putihpun merasa, bahwa ia akan mampu melakukannya dengan sungguh-sungguh jika ia kelak menekuninya. Bu kan sekedar bermain-main. Namun satu pertanyaan telah tumbuh didalam hatinya Apakah orang lain dapat menun tunnya seperti yang dilakukan oleh Raden Rangga itu. Dalam pada itu, maka Raden Ranggapun berkata Berbenahlah. Kita akan segera menin ggalkan tempat ini. Ingat-ingatlah apa yang telah kau lakukan dalam permain an i ni. Mungkin kau akan dapat mempergunakannya sebagai bekal dimasa datang dengan s eijin kedua gurumu. Glagah Putih mengangguk kecil. Namun iapun kemudian bertanya Ada yang kurang aku mengerti Raden. Bagaimana mungkin tataran ini dapat aku daki dengan ser ta mert a tanpa laku apapun juga. Raden Rangga tertawa. Katanya Jangan cemas, bahwa yang kau miliki itu sekedar pi njaman seperti yang aku miliki. Yang kau lakukan bukannya tanpa laku. Laku itu t elah kau jalani dan tidak harus setiap kali kau maju selangkah, kau jalani laku yang lain. Ancang-ancang itu telah ada didalam dirimu. Yang belum kau ketahui, bagaimana ka u lepaskan kakimu untuk meloncat. Bukankah itu tidak terjadi dengan serta merta? Kau sudah melakukan ancang-ancang sebagai laku. Dan kau hanya memberitahukan ke padamu bagaimana kau harus meloncat. Selebihnya segala sesuatunya telah kau laku kan sendiri. Glagah Putih mengangguk-angguk saja. Namun sebenarnyalah ia merasa bahwa yang di capainya itu adalah dari dirinya sendiri yang didorong oleh kamauan yang sangat kuat karena perasaannya yang digelitik oleh Raden Rangga. Meskipun nampaknya Raden Rangga memang hanya bermain-main saja, tetapi pengaraha nnya benar-benar telah menghasilkan satu langkah maju yang akan sangat berarti b agi Glagah Putih. Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah berbenah diri. Malam menjadi semakin la rut mendekati tengah malam. Malam yang gelap dan sama sekali tidak disentuh oleh sinar bulan diujung maupun dipangkalnya. Beberapa saat kemudian keduanya telah menyusuri jalan menuju keistana. Namun kem udian Raden Rangga itu berkata Kita mamasuki jalan kecil. Aku tidak tahu, apakah kehadiran kita diistana malam ini ada gunanya. Mungkin tidak ada apa-apa. Tetap i rasa-rasanya ada dorongan untuk melihat-lihat. Glagah Putih tidak menjawab. Ia hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu nada suara Raden Rangga menurun Glagah Putih. Aku akan merasa senang sekali jika ked ua gurumu tidak berkeberatan kau mempergunakan hasil permainanmu itu, justru mem bantu memperkembang-kannya. Mungkin aku tidak akan dapat memberimu permainan apa -apa lagi. Waktuku tidak mengijinkan. Raden Rangga telah menyebutnya lagi potong Glagah Putih sebaiknya Raden melupaka nnya. Ya. Aku akan melupakannya. Tetapi rasa-rasanya aku memang sudah tidak diperlukan

lagi. Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Katanya Sayang, aku tidak dapat m embantumu untuk menyerap ilmu kebal. Tetapi kakak sepupumu itu memilikinya. Aku kira ia akan membantumu. Namun kau sudah mempunyai perisai yang cukup untuk meli ndungi dirimu sendiri. Kau sudah mampu berdiri sekokoh batu karang yang berakar sampai kejan-tung bumi, kau mampu menggulung lawan-lawanmu dengan kekuatan bagai kan banjir bandang, dan kau dapat menyerang dengan kekuatan taufan dan prahara. Yang paling dahsyat adalah bahwa kau mampu menyadap kekuatan api yang panasnya m elampaui panasnya bara. Sementara itu, kau sudah mempunyai dasar-dasar kekuatan menyerap daya tarik bumi yang berlawanan dengan kekuatanmu menghunjamkan ilmumu sampai kedasar bumi, namun yang nilainya sebanding, yang dasar-dasarnya baru dil etakkan oleh Agung Sedayu, kau mempunyai ketajaman penglihatan dan pendengaran, penciuman dan juga firasat yang juga telah diletakkan dasarnya oleh kakak sepupu mu, namun masih belum di bentuk ujudnya dalam ilmu yang mandiri. Namun semuanya itu telah ada didalam dirimu sehingga kau mempunyai kekuatan, kemampuan dan alas ilmu yang luar biasa. Pada saatnya kau memang akan menjadi seorang yang mengagu mkan, sebagaimana kakak sepupumu itu. Darimana Raden tahu? bertanya Glagah Putih aku sendiri belum mengetahuinya. Kakak sepupumu sebagaimana gurumu mempergunakan pola mewariskan ilmunya setapak demi setapak. Memang dengan demikian kau akan memilikinya dengan lebih baik dan mantap. Aku sudah melihat ilmu itu didalam dirimu. Tetapi kakak sepupumu dan Kia i Jayaraga berpendapat, bahwa kau masih terlalu muda untuk menguasainya dalam so sok ilmu yang mandiri. Glagah Putih menggelengkan kepalanya diluar sadarnya. Raden Rangga memang menjad i semakin aneh baginya. Apalagi ketika kemudian Raden Rangga itu berkata Tetapi kau tidak lagi terlalu muda. Kau lebih tua dari aku dalam hitungan umur yang waj ar. Karena itu sudah waktunya kau memiliki ilmu kebal seutuhnya dan mandiri. Aji Sapta Pangrungu, Sapta Pandulu, Sapta Pangganda dan Sapta Panggraita, bahkan kemampuan meringankan tubuh dan ilmu-ilmu kakak sepupumu yang lain, termasuk ta war akan bisa yang sudah kau dapatkan. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu bahwa didalam diri Agung Sedayu memang tersimpan ilmu-ilmu yang dahsyat. Namun iapun sadar, bahwa Agung Sedayu t idak akan dengan serta merta menurunkan ilmunya itu kepadanya. Agung Sedayu mema ng terlalu hati-hati untuk melakukan satu pekerjaan. Apalagi pekerjaan yang penting. Namun Glagah Putih pun menyadari, bahwa Agung Sedayu tengah mempersiapkannya untuk mencapai satu ta taran yang tinggi. Glagah Putihpun mengetahui bahwa ia telah menguasai alas seba gaimana dimaksudkan oleh Agung Sedayu. Bahkan ilmu yang mengalir lewat jalur aya hnya dari pamannya, Ki Sadewa, telah dikuasainya tuntas, yang juga dituntun oleh Agung Sedayu meskipun Agung Sedayu sendiri menjadi besar melalui jalur yang lai n, karena ia menjadi murid orang bercambuk yang menyebut dirinya Kiai Gringsing, juga seorang yang ahli didalam ilmu obat-obatan. Glagah Putih terkejut ketika ia merasa Raden Rangga menggamitnya Kita sudah mend ekati lingkungan istana ayahanda. Glagah Putih mengangguk. Keduanya menjadi semakin berhati-hati. Bahkan kemudian Raden Rangga berkata Kita tidak akan melalui jalan atau lorong-lorong sempit lagi. Kita akan bergerak lew at halaman-halaman rumah. Glagah Putih tidak membantah. Ketika Raden Rangga menyelinap, maka Glagah Putihp un telah mengikutinya pula. Demikianlah dengan sangat berhati-hati keduanya merayap mendekati istana Panemba han Senapati. Ketika mereka mencapai jarak tertentu. Raden Rangga berkata perlah an-lahan Glagah Putih, sebelumnya aku pernah melihat bagaimana orang-orang itu m asuk. Karena itu aku mengetahui kira-kira dimana mereka akan memasuki lingkungan istana seandainya mereka akan datang. Mungkin hari ini, mungkin besok atau saat -saat lain. Apakah kita akan mengawasi tempat itu? bertanya Glagah Putih. Tetapi kita harus masuk kelingkungan istana melalui jalan lain. jawab Raden Rang ga aku tahu, bahwa dinding istana ini mendapat pengawasan yang sangat ketat oleh para prajurit Pengawa l Khusus. Karena itu, kita harus mampu menerobos celah-celah pengamatan mereka.

Bukankah itu sangat berbahaya Raden? bertanya Glagah Putih. Raden Rangga mengangguk. Namun katanya Memang sangat berbahaya. Tetapi kita tida k boleh mengelakkan diri dari kewajiban ini. Meskipun kewajiban yang kita bebank an dipundak kita atas kehendak kita sendiri. Glagah Putih termangu-mangu. Namun Raden Rangga tidak menghiraukannya lagi. Perh atiannya sepenuhnya ter tuju kearah istana Panembahan Senapati. Raden Rangga yang memang putera Panembahan Senapati itu mengenali segala sudut i stana itu dengan baik. Karena itu, maka iapun sama sekali tidak merasa canggung untuk mencari jalan, memasuki lingkungan istana itu. Namun Raden Rangga memang h arus berhati-hati. Dan itu disadarinya sepenuhnya. Ketika mereka semakin mendekati dinding lingkung an istana, maka ia memberi isyarat agar Glagah Putih tinggal ditempatnya untuk s esaat. Ia akan melihat apakah jalan yang akan dilaluinya cukup aman. Ternyata sejenak kemudian keduanya telah berhasil meloncati dinding dan bersembu nyi dibelakang gerumbul perdu yang rimbun. Kita bersembunyi disini. Jika menjelang dini kita tidak melihat seseorang masuk lingkungan ini, maka kita akan kembali. Sudah dua tiga Kali hal seperti itu aku lakukan sehingga aKu menjadi jemu dan memerlukan seorang kawan bisik Raden Rangg a. Glagah Putih mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab. Dalam pada itu, tengah malampun telah lewat. Lingkungan istana itu menjadi sepi. Beberapa orang prajurit memang masih nampak berjaga-jaga diregol dan di beberapa bagian yang penting. Du a orang diantaranya meronda berkeliling. Namun Raden Rangga berbisik pula Bukan mereka pengamat yang sebenarnya. Mereka a dalah petugas-petugas yang sehari-hari melakukan tugas seperti itu. Tetapi disek itar tempat ini ada beberapa petugas khusus. Tetapi mereka tidak melihat kita. Glagah Putih mengangguk kecil. Namun dalam pada itu, Raden Rangga itupun telah menggamit Glagah Putih sambil me nunjuk ke sudut istana dibalik sebatang pohon bunga. Seorang sedang menyelinap m asuk kedalam bayangannya, sementara yang lain bergeser dan kemudian menghilang d idalam gelap. Kau mempunyai ketajaman penglihatan melampaui orang kebanyakan desis Raden Rangg a kau sudah mempunyai dasar ilmu Sapta Pandulu meskipun belum mandiri. Karena it u kau tentu melihatnya. Agaknya mereka sedang berganti tugas berkata Raden Rangga di telinga Glagah Puti h untuk menjaga kejemuan. Para penjaga yang melakukan tugas sehari-hari itu tida k mengetahui mereka. Sekali lagi Glagah Putih mengangguk. Ia tidak mau berbicara, karena ia tidak dap at melakukannya sebagaima na dilakukan Raden Rangga. Suaranya dapat didengar ole h lawan bicaranya, tetapi tidak oleh orang lain. Perlahan sekali, tetapi jelas. Beberapa saat mereka menunggu. Rasa-rasanya sudah semalam suntuk. Meskipun Glaga h Putih tidak mengantuk, tetapi rasa-rasanya ia tidak telaten melakukannya. Nampaknya kehadiran kita sia-sia desis Raden Rangga tetapi jika demikian, kau ti dak akan pulang besok. Glagah Putih hanya mengerutkan keningnya saja. Ia masih juga belum menjawab Tetapi keduanya masih menunggu. Malam masih cukup panjang. Banyak hal yang masih mungkin terjadi. Apalagi dalam malam yang gelap tanpa bulan sejak matahari terb e nam sampai matahari terbit. Sebenarnyalah saat seperti itulah yang ditunggu oleh orang-orang yang memang ing in bertemu langsung dengan Panembahan Senapati. Malam gelap tanpa bulan sama sek ali. Orang-orang yang merasa mengemban satu tugas untuk menyingkirkan Panembahan Senapati yang berkuasa di Mataram. Pada lewat tengah malam, maka tiga orang telah berangkat dari persembunyiannya m enuju ke istana Panembahan Senapati. Ternyata mereka masih belum mendengar apa y ang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Karena sepuluh orang yang ditugaska n di Tanah Perdikan semuanya telah terbunuh, sehingga tidak seorangpun yang dapa t menyampaikan laporan tentang hal itu. Sementara itu petugas yang lain yang tidak langsung berada di Tanah Perdikan, me mang sudah mendengar usaha untuk membakar hutan. Merekapun menduga bahwa hal itu

dilakukan oleh kawan-kawan mereka. Tetapi semuanya belum jelas bagi mereka, seh ingga dua orang telah berusaha menghubungi sepuluh orang kawannya yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi usaha mereka tidak berhasil. Bahkan merekapun me ndengar berita bahwa sepuluh orang telah terbunuh oleh Agung Sedayu dan Glagah P utih. Tetapi justru karena sepuluh orang itu telah terbunuh, maka dua orang itu tidak lagi tergesa-gesa memberikan laporan. Ia menganggap bahwa dengan demikian semua jalur keterangan yang menyangkut persoalan mereka dengan Mataram tidak akan teru capkan. Karena itu, maka mereka justru ingin mendapat keterangan yang lebih leng kap tentang sepuluh orang yang terbunuh itu. Merekapun akhirnya yakin, bahwa yang sepuluh orang itu memang kawan-kawan mereka yang berusaha untuk membakar hutan, tetapi diketahui oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tidak seorangpun di Tanah Perdikan Menoreh yang menyebut-nyebut nama Raden Rangga sebagaimana dipesa nkan oleh Raden Rangga sendiri. Karena itulah maka peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan itu tidak mempengaru hi rencana para pemimpin kelompok itu untuk memasuki halaman istana dan bertemu langsung dengan Panembahan Senapati, dan menyelesaikan sampai kematian Panembaha n Senapati itu. Betapapun tinggi ilmu dan kemampuan Panembahan Senapati, tetapi orang yang siap menghadapinya memiliki pusaka yang luar biasa, yang akan dapat langsung mempenga ruhi lawannya sehingga ilmunya seakan-akan menjadi jauh susut, sehingga Panembah an Senapati itu tidak akan lagi memiliki ketangguhan dan tingkat ilmu sebagaiman a Panembahan Senapati. Malam yang gelap itu memang telah ditunggu oleh mereka. Karena itu, maka seperti yang mereka rencanakan, tiga orang telah menyusuri lorong-lorong sempit menuju ke lingkungan istana Panembahan Senapati, yang mereka ketahui tentu dijaga denga n ketat. Namun yang tidak mereka ketahui oleh para prajurit lari Pasukan Pengawa l khusus yang memang sudah menunggu kedatangan mereka. Panembahan Senapati sendiri ^elah bersiap-siap pula Jika orang yang diharapkan d atang itu pada saatnya datang, ia sendiri akan menerimanya. Ia ingin tahu benar, siapakah orang itu dan mereka bekerja untuk kepentingan siapa. Mungkin dendam y ang sudah lama terpendam, tetapi mungkin ada hubungannya dengan pemerintahannya. Mungkin ada pihak yang tidak menghendakinya berkuasa terus di Mataram atau mung kin salah satu daerah yang berada dalam lingkungan Mataram yang ingin memindahka n pusat pemerintahan. Panembahan Senapati memang tidak menutup kemungkinan itu terjadi, la sadar sepen uhnva, sebagai manusia ia mempunyai banyak kekurangan. Karena itu, maka ketidak puasan itu mungkin saja terjadi. Dan langkah-langkah yang diambil oleh orang-orang yang tidak puas itu dapat bermacam-macam. Mungkin seseorang beranggapan bahwa tanpa Panembahan Senapati, Mataram sama seka li tidak berarti berkata Panembahan Senapati itu kepada diri sendiri. Meskipun Panembahan Senapati itu merasa bahwa ia telah menunggu terlalu lama, na mun ia tidak menjadi lengah. Apalagi setelah ia mendapat laporan tentang peristi wa yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Maka seolah-olah ia telah tergugah ke mbali untuk lebih berhati-hati. Namun Panembahan Senapati tidak keluar dari biliknya. Ia menunggu orang itu data ng. Dan iapun telah memerintahkan kepada para prajuritdalam Pasukan Pengawal Khu sus dan Pelayan Dalam untuk mengamati saja mereka dan memberikan isyarat jika or ang itu benar-benar datang. Panembahan Senapati sendiri akan menemuinya. Dalam pada itu, ketiga orang yang mendatangi istana itu-pun telah menjadi semaki n dekat. Yang tertua diantara ketiga orang saudara seperguruan itupun berdesis B erhati-hatilah. Mataram adalah satu lingkungan yang sangat berbahaya bagi kita. Jika Panembahan Senapati telah aku selesaikan, maka kita akan dapat mengacaukan seluruh Mataram dengan pasukan yang ada meskipun tidak dalam benturan gelar. Nam un Mataram tentu akan menjadi ringkih dan pada saatnya Mataram akan digulung men jadi rata dengan tanah tanpa bekas. Maka bangkitlah satu kerajaan baru yang akan jauh lebih baik dan lebih berkuasa dari Mataram. Kerajaan yang akan melampaui k ejayaan Pajang, Demak bahan Majapahit sekalipun. Kedua saudara seperguruannya hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi keduanya tidak

mengerti bahwa dengan hapusnya Panembahan Senapati dari pimpinan pemerintahan, maka akan timbul satu kekuasaan yang akan lebih besar dari Mataram Demikianlah m ereka bertiga semakin lama menjadi semakin mendekati istana Menurut pengamatan m ereka, keadaan istana itu sama sekali tidak berubah. Tidak ada kesibukan yang me ningkat untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi diluar tugas me reka sehari-hari. Sehingga dengan demikian mereka menganggap bahwa Mataram benar-benar belum mencium rencana merek a untuk langsung memasuki istana dan bertemu dengan Panembahan Senapati. Namun dalam pada itu. Raden Rangga yang sudah menunggu terlalu lama, ternyata be nar-benar telah dicengkam oleh kejemuan. Karena itu, maka katanya kepada Glagah Putih perlahan-lahan Kita akan melihat keluar dinding istana. Aku sudah tidak te laten menunggu. Glagah Putih mengangguk saja. Ia memang tidak mempunyai sikap apapun selain meng ikuti saja langkah-langkah Raden Rangga yang gelisah. Mungkin kegelisahan itu tu mbuh dari dalam dirinya dan oleh bayangan-bayangan yang mekar dari mimpinya. Dengan sangat berhati-hati sebagaimana mereka masuk, maka merekapun telah keluar lagi. Tetapi demikian mereka bebas dari kemungkinan penglihatan para prajurit d ari Pasukan Pengawal Khusus maka Raden Rangga itupun berkata Kita akan menunggu di jalan yang mungkin dilaluinya jika mereka akan datang. Jika sampai dini hari kita belum melihatnya, maka kita akan perg, ke sungai itu lagi. Mandi dan barangkali tidur ditepian. Glagah Putih mengangguk kecil. Namun ia bertanya juga Dari mana Raden Rangga men getahui jalan yang akan dilewatinya? Aku tahu dimana mereka meloncat masuk jawab Raden Rangga karena itu, kitapun aka n dapat memperhitungkan, dari mana mereka akan datang. Glagah Putih masih saja mengangguk kecil Tetapi ia tidak bertanya lagi. Ketika mereka berada di halaman rumah dihadapan dinding yang lengang, Raden Rang ga berbisik Kau lihat pohon yang rimbun itu? Ya Raden jawab Glagah Putih. Pergunakan kemampuanmu melihat dengan tajam, alas dari ilmu Sapta Pandulu yang p ada saatnya akan kau warisi juga berkata Raden Rangga. Aku sudah melihatnya jawab Glagah Putih. Disana mereka akan meloncat masuk seperti pernah aku katakan padamu berkata Rade n Rangga selanjutnya menurut pendapatmu, untuk mencapai tempat itu, jalan manaka h yang akan dilewatinya? Glagah Putih mengerutkan keningnya. Katanya kemudian Ada banyak kemungkinan Rade n. Mungkin mereka akan mendekat melalui halaman disebelah. Mungkin menyusuri lor ong sempit di tengah padukuhan ini. Mungkin lewat lorong disepanjang dinding ist ana itu. Apakah mungkin mereka melewati lorong disepanjang dinding itu? bertanya Raden Ra ngga. Glagah Putih merenung sejenak Namun kemudian iapun menggeleng agaknya tidak Rade n Jalan itu terlalu terbuka. Nah jika demikian, kau tentu dapat memperhitungkan, jalan manakah yang mungkin a kan dilalui. berkata Raden Rangga kemudian Glagah Putih mengerti, bahwa Raden Ra nggapun berpendapat, orang yang akan memasuki istana itu agaknya akan melewati l orong di tengah-tengah padukuhan dissebelah istana itu. Lorong yang tidak terlal u besar , tetapi tidak terlalu terbuka sebagaimana lorong yang melekat dinding i stana dan melingkarinya itu. Apalagi mulut lorong yang tidak terbuka karena dili ndungi oleh pepohonan yang rimbun di halaman sebelah menyebelah itu hampir tepat dibawah pohon yang daunnya menggapai dinding istana dan merupakan tempat yang t elah dipilih oleh orang yang tidak dikenal itu untuk memasuki istana. Marilah berkata Raden Rangga tanpa menyebut arah Namun agaknya Glagah Putihpun t elah mengetahui maksudnya Keduanyapun kemudian mulai bergerak mendekati lorong yang dimaksudkan oleh Raden Rangga. Sambil merayap. Raden Rangga berkata Kesalahan para prajurit dari Penga wal Khusus itu adalah, bahwa mereka menunggu didalam istana. Mereka tidak meliha t keluar dan menyong song tamu-tamu itu. Agaknya ayahanda memang memerintahkan d emikian, agar orang itu dapat langsung sampai kebilik. Tetapi bukankah hal itu s angat berbahaya bagi ayahanda, karena kita belum tahu tingkat kemampuan orang it

u. Mungkin disisi ayahanda terdapat Kangjeng Kiai Pleret yang membuat ayahanda t enang. Tombak yang telah pernah menyayat lambung Arya Penangsang. Namun segala k emungkinan masih akan mungkin terjadi. Glagah Putih tidak menyahut. Namun ia menyadari, bahwa Raden Rangga benar-benar mencemaskan nasib ayahandanya, meskipun anak muda itu menyadari, bahwa ayahandan ya adalah orang yang pilih tanding. Sebenarnyalah, bahwa para prajurit dari Pasukan Pengawal Khusus itu telah mendap at perintah untuk mengawasi bagian dalam istana saja, terutama disekitar bilik p eraduan Panembahan Senapati dan beberapa bilik yang penting lainnya. Memang mung kin orang itu salah pilih. Namun Panembahan Senapati sengaja memberikan ciri bag i biliknya dengan memberikan bau ratus yang wangi lebih tajam dari bilik-bilik y ang lain. Kemudian membiarkan seseorang mampu mengintip lewat celah-celah din di ng dan atap. Tetapi Panembahan Senapatipun telah memerintahkan, jika para Pangawal Khusus ata u Pelayan Dalam benar-benar melihat seseorang mendekati biliknya, maka mereka ha rus memberikan isyarat dengan menarik tali yang memang sudah dipasang sebelumnya , menggerakkan tirai. Namun tirai itu akan menyentuh tubuh Panembahan Senapati s eandainya Panembahan Senapati itu sedang tertidur nyenyak, karena menurut perhit ungan, untuk mencapai langsung bilik Panemahan Senapati itu hanya dapat dicapai melalui atap. Beberapa saat lamanya Raden Rangga dan Glagah Putih menunggu. Sementara itu, mal ampun telah mendekati dini hari. Didalam istana, para prajurit yang menunggupun mulai ragu-ragu. Agaknya seperti malam-malam sebelumnya, mereka tidak melihat ap apun juga yang memasuki istana, sehingga karena itu, maka merekapun mulai disent uh oleh perasaan kantuk. Meskipun mereka masih tetap berusaha melakukan tugas me reka sebaik-baiknya,tetapi seperti malam sebelumnya, beberapa orang mulai menyan darkan tubuhnya ditempat mereka menunggu pada dinding atau pepohonan. Diluar dinding istana Raden Rangga dan Glagah Putihpun telah menjadi letih menun ggu. Apalagi Raden Rangga yang telah melakukannya beberapa kali dan menjumpai ke adaan serupa. Menunggu dan tidak ada apa-apa. Namun pada saat kejemuan itu memuncak. Raden Rangga telah mendengar suara lembut berdesir disepanjang jalan padukuhan itu. Karena itu, maka iapun telah menggami t Glagah Putih dan memberikan isyarat agar ia berhati-hati. Glagah Putih telah berusaha untuk tidak menimbulkan suara apapun. Bahkan pernafa sannyapun seakan-akan telah terhenti karenanya. Seperti yang pernah dikatakan ol eh Raden Rangga, maka ia harus berusaha untuk mampu menyerap bunyi yang terjadi dari sentuhan tubuhnya meskipun tidak mutlak. Sebenarnyalah, sejenak kemudian telah lewat dilorong itu tiga orang. Tiga orang yang menurut penilaian Raden Rangga dan Glagah Putih tentu orang-orang pilih tan ding. Ketika ketiga orang itu mendekati mulut lorong, maka yakinlah Raden Rangga, bahw a ketiga orang itu tentu akan memasuki halaman istana. Sejenak Raden Rangga dan Glagah Putih menunggu. Dari tempat mereka yang telah me reka persiapkan sebelumnya, mereka mampu mengamati orang-orang yang bergerak dib awah sebatang pohon yang rimbun, yang daunnya menggapai dinding halaman istana. Glagah Putih memang telah berusaha mempertajam penglihatannya. Dengan segenap ke mampuan dan pengetahuan yang ada didalam dirinya. Hampir diluar dugaannya sendir i, bahwa tiba-tiba saja seolah-olah pandangannya menjadi semakin bening, meskipu n masih tetap dalam kegelapan malam menjelang dini hari. Dalam kegelapan itu Glagah Putih mampu melihat jelas gerak ketiga orang yang ber siap untuk melakukan sesuatu dibawah pohon yang rimbun itu. Bukan malam yang ter asa menjadi terang. Malam tetap gelap. Apalagi dibawah pohon yang rimbun itu. Te tapi ia mampu melihat dengan jelas. Glagah Putih menjadi agak bimbang atas kemampuan sendiri. Namun tiba-tiba saja i a teringat, bahwa ia pernah berendam dibelumbang, yang menurut Raden Rangga, aki batnya akan dapat mempercepat perkembangan yang terjadi didalam dirinya, terutam a mengenai perkembangan ilmu. la memang belum pernah memusatkan diri dalam kemam puan pengamatan seperti yang dilakukan saat itu, sehingga ia belum pernah mencap ai satu batas tertinggi dari kemampuan penglihatannya. Pada saat ia berada didal am hutan, ia memang sudah berusaha mempertajam penglihatannya dan memang hal itu

terjadi. Tetapi ia tidak sempat memusatkan segenap kemampuannya khusus untuk me mpertajam penglihatannya seperti yang di lakukannya saat itu. Tetapi Glagah Putih tidak sempat memikirkannya lebih jauh. Ia melihat ketiga ora ng itu mulai bergerak. Dua orang dengan tangkasnya telah meloncat keatas dinding tepat dibawah rimbunnya dedaunan, sehingga keduanya seolah-olah telah hilang di telan bayangan yang gelap, justru tanpa menimbulkan bunyi apapun juga. Dedaunan vang rimbun itupun sama sekali tidak berguncang oleh sentuhan itu. Namun demikian, ketajaman penglihatan Glagah Putih masih tetap dapat menangkap b ayangan itu. Ia melihat dengan jelas dalam gelap yang pekat dibawah bayangan ded aunan dua orang itu Lelah menyelinap dan hilang masuk kedalam lingkungan dinding istana. Ketika Raden Rangga kemudian menggamitnya. Glagah Putih berpaling kearahnya samb il mengangguk kecil. Tinggal seorang diri berkata Raden Rangga perlahan-lahan. Ya desis Glagah Putih. Nasibnya ternyata jelek sekali bisik Raden Rangga pula. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Diluar sadarnya ia bertanya Kenapa Raden? Ia akan mati ditempat itu sahut Raden Rangga berbisik pula. Kenapa? desak Glagah Putih. Kita harus mengurangi bahaya yang mungkin dapat mencelakai ayahanda. Dua orang i tu agaknya akan memasuki bilik ayahanda dan langsung membuat perhitungan dengan caranya. Aku tidak tahu. Tetapi kitapun akan melihat, apa yang terjadi. Namun or ang itu harus diselesaikan dahulu. jawab Raden Rangga. Tetapi, apakah Raden Rangga sudah mendapat wewenang untuk melakukannya? bertanya Glagah Putih pula. Wewenang apa dan dari siapa? Jika kita melihat seorang pencuri, apakah kita haru s menunggu ijin dari pemilik rumah untuk menangkapnya? Raden Rangga ganti bertan ya. Tetapi keadaannya berbeda Raden jawab Glagah Putih mungkin ada persoalan lain ya ng menyangkut orang itu, sehingga ada cara lain untuk menindaknya. Mungkin bagi mereka yang masuk jawab Raden Rangga tetapi orang itu berada diluar dinding. Orang itu tentu tidak masuk hitungan. Justru karena itu akan dapat men umbuhkan bahaya yang tidak terduga. Glagah Putih masih mencoba berkata Jika demikian, marilah kita mencoba menangkap nya Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian Baiklah. Tetapi jika orang itu menjengkelkan, mungkin ia akan terbunuh juga. Bukankah Raden tidak akan membunuh lagi? bertanya Glagah Putih. Raden Rangga termangu-mangu. Namun kemudian katanya Tidak. Aku memang tidak akan membunuh lagi jika tidak diperlukan. Apakah Raden mengetahui batas antara diperlukan atau tidak diperlukan? beranya G lagah Putih pula. Raden Rangga menggeleng. Jawabnya dengan nada rendah sekali, sehingga hampir tid ak terdengar Aku memang tidak mengetahuinya. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dengan hati-hati ia berkata selanjutnya Nah, jika demikian, apakah tidak lebih baik jika Raden tidak melakukannya lagi t erhadap sasaran yang meragukan? Raden Rangga termenung sejenak. Namun kemudian katanya Aku tidak berniat untuk m embunuhnya. Aku akan menangkapnya. Tetapi jika ia mati, itu adalah salahnya send iri. Glagah Putih tidak dapat mencegahnya lagi. Tiba-tiba saja Raden Rangga sudah mel oncat keluar dari persembunyiannya. Orang yang tinggal seorang diri, yang sedang bergeser untuk menyelinap kehalaman disebelah lorong yang meling kari istana itupun terkejut. Ternyata kehadirannya telah diketahui oleh seseorang. Karena itu, maka iapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Raden Ranggapun mendekatinya. Tetapi Raden Rangga itu terkejut ketika ia melihat orang itu telah melepaskan seekor burung dan yang kemudian terbang menghilang k edalam gelap. Namun Raden Rangga sadar, bahwa sejenak kemudian telah terdengar suara burung be

nce yang seolah-olah ber putar-putar diatas istana itu. Hem desis Raden Rangga orang itu telah melepaskan isyarat kepada kedua orang kaw annya yang telah berhasil memasuki halaman. Sebenarnyalah suara burung bence itu telah mengejutkan kedua orang kawannya yang telah berada didalam halaman. Mereka menyadari, bahwa dengan demikian, maka kaw annya yang berada di luar istana memberikan isyarat, agaknya ada orang diluar is tana yang melihat kehadirannya. Cepat berbisik orang yang berniat bertemu dengan Panembahan Senapati biarlah ia menyelesaikan orang itu. Kaupun harus berhati-hati. Jika saudara kita gagal maka ada kemungkinan yang pahit yang terjadi pada tugas yang kita lakukan. Kita haru s mampu mencari jalan keluar. Tetapi sebaiknya aku segera memasuki bilik Panemba han Senapati. Jika aku sudah berada didalam bilik itu, aku tidak peduli apa yang terjadi diluar. Aku akan membunuhnya, meskipun kemudian seisi istana ini akan m engeroyokku . Tanpa Panembahan Senapati, aku tentu akan berhasil melepaskan diri . Kau harus mencari jalanmu sendiri, jika kau juga menemui kesulitan. Saudara seperguruannya itu mengangguk. Iapun memiliki kepercayaan kepada kemampu an sendiri, sehingga jika saudara seperguruan itu sudah mencapai bilik Panembaha n Senapati, maka ia akan dapat mengambil langkah-langkah sendiri. Isyarat itu telah mempercepat gerak kedua orang yang berada didalam lingkungan i stana. Mereka masih berharap bahwa saudaranya yang berada diluar dapat menyelesa ikan orang atau mungkin prajurit yang melihatnya. Bahkan keduanya yakin, bahwa s audara seperguruannya itu tidak akan membuka rahasia kehadiran mereka berdua jik a orang yang mengetahui kehadirannya itu, tidak melihat sendiri keduanya yang me masuki istana itu. Ketika keduanya sampai di sekat dinding halaman, maka yang tertua diantara merek a berkata Kau berada disini. Jika seseorang melihat kehadiranmu, kau harus membe ri isyarat juga sebagaimana kita sepakati agar aku tahu, apa yang harus aku laku kan. Saudara seperguruannya yang lebih muda itu mengangguk. Iapun segera menempatkan dirinya, sementara yang tertua diantara mereka telah meloncat didalam kege lapan menuju kearah yang sudah dikenalinya. Sejenak kemudian orang itupun telah berada disudut istana. Seperti yang direncan akan maka orang itupun segera meloncat keatas atap istana itu. Menurut dugaan kedua orang itu, tidak seorangpun melihat kehadiran mereka didala m istana itu. Karena itu, maka setelah saudara seperguruannya yang tertua itu su dah berada diatas atap istana, maka rasa-rasanya tugas-nyapun telah selesai. Ia yakin, bahwa saudaranya akan dapat mencapai tujuannya, bilik Panembahan Senapati . Sebenarnyalah orang itu memiliki ketajaman pengamatan. Ketika ia berada diatas a tap, maka penglihatannya yang melampaui ketajaman penglihatan wadag telah meliha t cahaya yang nampak pada atap istana itu, sehingga dengan demikian maka orang i tupun segera mengetahui bahwa dibawah cahaya yang dilihatnya dengan penglihatan batinnya itu, tentu bangsal Perbendaharaan Pusaka Mataram. Karena itu, maka ia harus menemukan bilik yang dipergunakan oleh Panembahan Sena pati. Pengamatan sebelumnya telah memberikan ancar-ancar kepadanya, dimana ia harus me ncarinya. Namun ternyata bahwa orang itu memiliki ketajaman penglihatan dan perhitungan. K etika ia melihat cahaya teja dari sebuah pusaka yang tidak berada di bangsal Per bendaharaan Pusaka, maka iapun berdesis Tentu di tempat itu Panembahan Senapati beradu. Cahaya itu tentu berasal dari teja Kangjeng Kiai Pleret. Dengan tangkas dan kemampuan ilmu yang sangat tinggi, maka orang itupun merayap diatas atap langsung menuju keatas bilik Panem bahan Senapati. Ternyata orang itu tidak perlu mencari. Ketika ia berusaha mencari lubang yang m ungkin untuk dapat melihat kedalam, maka orang itupun akhirnya menemukannya. Diantara dinding kayu dan atap memang terdapat celah-celah yang dapat dipergunakan nya untuk melihat. Panembahan Senapati sedang tidur berkata orang itu didalam hatinya aku tidak aka n memberinya kesempatan meraih pusakanya Kangjeng Kiai Pleret.

Dengan sangat hati-hati beralaskan ilmunya, termasuk diantaranya kemampuannya me nyerap bunyi yang timbul dari sentuhan dirinya, sebagaimana disebut oleh Raden R angga kepada Glagah Putih, orang itu berusaha untuk membuka atap bilik peraduan Panembahan Senapati. Pada saat yang demikian, Raden Rangga tengah berusaha untuk menangkap orang yang ditinggalkan diluar dinding istana itu. Namun orang itu yang merasa juga berilmu tinggi, tentu saja tidak membiarkan dir i menjadi orang tangkapan. Karena itu, orang itu justru berkata Salahmu bahwa ka u berusaha mencampuri persoalan kami dengan Panembahan Senapati. Tetapi karena k au sudah terlanjur melihat aku, maka kau memang harus mati. Dengan demikian maka aku tidak akan merasa terganggu lagi. Jika aku mencampuri persoalan kalian dengan Panembahan Senapati, itu bukan berar ti bahwa persoalan itu persoalan orang lain bagiku jawab Raden Rangga, dan iapun kemudian berkata apa adanya Aku berhak untuk mencampurinya. Anak ingusan berkata orang itu kau memang dititahkan dengan umur yang pendek. Ti dak ada kesempatan lagi bagimu untuk tetap hidup. Sekali lagi, salahmu atas sifa tmu yang selalu ingin tahu. He, apakah kau tuli bentak Raden Rangga aku berhak mencampuri persoalan ini. Aku adalah putera Panembahan Senapati. He orang itu terkejut. Namun kemudian ia berkata Aku tidak tahu, langkah apakah yang telah membawamu kemari. Nampaknya kau memang dengan sengaja melibatkan diri karena kau merasa bahwa kau adalah anak Panembahan Senapati. Jika demikian, Mat aram memang akan terhapus dari muka bumi. Panembahan Senapati akan mati, dan ana k laki-lakinya akan mati juga. Aku bukan anak laki-laki yang berhak untuk menggantikan kedudukannya. Aku merasa , bahwa ibuku bukan permaisuri sebagaimana sudah diketahui oleh orang-orang Mata ram. jawab Raden Rangga karena itu kematianku tidak berarti apa-apa bagi Mataram dan kelangsungan keturunan Panembahan Senapati yang akan memerintah. Namun adal ah menjadi kewajiban seorang anak untuk menunjukkan baktinya kepada orang tuanya . Dan aku akan melakukannya sekarang. Menangkapmu. Jika kau menolak dan melawan, mungkin kau akan mati. Dan itu bukan salahku. Orang itu menggeram. Namun ia tidak mau banyak kehilangan waktu. Jika anak itu b enar-benar anak Panembahan Senapati, maka agaknya ia tidak sendiri. Atau jika ia sendiri, mungkin akan segera datang pengawalnya untuk mencarinya. Tetapi anak ini memang gila. Ia memasuki arena tanpa mengetahui siapa lawannya d engan tidak membawa seorang pengawalpun. berkata orang itu didalam hatinya. Namu n kemudian katanya Aku tidak peduli. Aku harus membunuh nya. Sejenak kemudian orang itu sudah menyerang Raden Rangga. Ia benar-benar ingin me mbunuh anak muda itu, karena anak itu akan dapat menjadi sangat berbahaya baginy a. Namun yang diserangnya adalah Raden Rangga yang sudah bersiap sepenuhnya menghad api segala kemungkinan. Karena itu, maka serangan itupun sama sekali tidak menge nainya. Dengan demikian, maka pertempuranpun telah mulai menyala. Orang yang tidak diken al itu telah menyerang Raden Rangga dengan garangnya. Ia berpendapat, bahwa perk elahian tidak akan berlangsung lama. Anak muda itu tentu akan segera diselesaikannya mes kipun ia anak Senapati. Seberapa jauh anak seumurnya mampu menyerap ilmu dari se orang guru yang betapapun tuntas pengetahuan dan ilmu olah kanuragannya. Bahkan dua atau tidak orang guru sekalipun yang mengajarinya bersama-sama. Tetapi orang itu mulai menjadi gelisah ketika ternyata serangan-serangannya sama sekali tidak menyentuh sasaran. Anak muda itu mampu bergerak cepat sekali. Berl oncatan seperti burung sikatan menyambar bilalang. Menukik dalam sekejap dan kem udian melenting tinggi. Berputar dan menyambar dengan cepatnya mematuk mangsanya Dalam waktu yang pendek ternyata bahwa anggapan orang yang tidak dikenal itu ter hadap Raden Rangga keliru. Kerena itu, maka orang itupun mulai menyadari, bahwa anak Panembahan Senapati it u tentu bukan anak muda kebanyakan. Seusia anak muda itu maka ia tidak akan mamp u bertahan dua tiga kejap menghadapi ilmunya pada tataran itu. Namun ternyata ia berhadapan dengan anak muda yang lain.

Dengan demikian maka iapun harus menjadi lebih berhati-hati. Ia tidak bertahan p ada tataran itu atas ilmunya. Setapak demi setapak ditingkatkannya kemampuan ilm unya menuju kepuncaknya. Tetapi orang itu memang menjadi sangat heran. Meskipun ilmunya sudah meningkat s emakin tinggi, namun ia tidak segera mampu mengalahkan, apalagi membunuh anak mu da itu. Bahkan anak muda itupun telah meningkatkan ilmunya pula seimbang dengan tataran ilmu lawannya. Apakah anak Panembahan Senapati ini mempunyai ilmu iblis geram orang itu didalam hatinya. Karena itulah, maka orang itu tidak segera dapat menyelesaikan pertempuran itu. Bahkan orang itu akhirnya menganggap perlu untuk mengerahkan segenap kemampuan i lmunya. Pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin cepat. Keduanya mampu bergerak c epat dan tenaga merekapun menjadi sangat besar. Dilindungi oleh bayangan rimbunn ya dadaunan, maka keduanya bertempur dengan sengitnya. Namun Glagah Putih mampu mengikuti pertempuran itu dengan jelas. Sekali-sekali i a menahan nafasnya melihat kecepatan gerak keduanya. Sekali-sekali ia menggereta kkan giginya. Namun setiap kali Glagah Putih itupun menarik nafas dalam-dalam. R aden Rangga memang seorang anak muda yang sulit dicari bandingannya. Sementara itu, seorang yang lain, yang berada didalam dinding istana menganggap bahwa saudaranya yang tertua tentu sudah menemukan bilik Panembahan Senapati, ka rena tidak ada isyarat kegagalan apapun yang didengarnya. Karena itu, maka iapun telah beringsut surut. Dengan sangat berhati-hati ia berusaha untuk tanpa menim bulkan kemungkinan memancing perhatian siapapun juga, meninggalkan tempat itu. J ustru karena isyarat burung bence yang didengarnya, maka iapun telah meningkatka n kewaspadaannya. Orang itu bukannya tidak dapat berpikir sama sekali. Jika saudara seperguruannya di luar dapat diketahui oleh seseorang, maka iapun tentu dapat juga dilihat ole h seseorang. Karena itu, maka orang itupun telah berusaha untuk meninggalkan tem patnya. Tetapi ia berusaha untuk mengambil jalan lain. Itulah sebabnya, maka pad a satu saat ia telah terlepas dari pengawasan dua orang prajurit dari pasukan Pe ngawal Khusus. Tetapi sebagaimana perintah Panembahan Senapati, maka yang terpenting adalah jus tru orang yang akan mene muinya Karena itu, ketika para prajurit dari Pasukan Pe ngawal Khusus melihat seseorang mengambil arah yang benar menuju ke bilik Panemb ahan Senapati, maka perhati an mereka hampir seluruhnya tertuju kepada orang itu . Orang itu tidak boleh lolos dari lingkungan istana. Ia harus tertangkap dan da ri padanya akan dapat disadap keterangan tentang kelompoknya atau gerombolannya atau mungkin salah seorang Adipati yang tidak sesuai dengan pemerintahan Panemba han Senapati. Namun agaknya bahwa orang yang berada di halaman itu bagaikan lenyap dari pengli hatan kedua orang prajurit dari Pasukan Pengawal Khusus itu, telah membuat kedua nya kebingungan. Kita harus mencarinya desis yang seorang. Keduanya berusaha untuk beringsut agar mereka dapat melihat kearah yang berbeda dari halaman itu. Tietapi justru karena itulah, maka orang yang mereka awasi itu telah melihat ked uanya. Orang yang memasuki lingkungan istana itupun orang yang berilmu tinggi. Itulah s ebabnya, maka ia mampu menembus pengawasan kedua orang prajurit dari Pasukan Pen gawal Khusus itu. Dengan sangat berhati-hati melalui jalan lain, orang itu telah meninggalkan tempatnya. Ketika sudah melewati waktu yang ditentukan tanpa adanya satu isyarat apapun, ma ka orang itu telah memastikan bahwa saudaranya yang tertua yang membawa pusaka y ang paling dihormati di padepokannya telah berhasil menemukan dan bahkan mungkin memasuki bilik Panembahan Senapati. Karena itu, maka timbullah niatnya untuk meninggalkan lingkungan dan kembali mel ihat saudaranya yang ditinggalkannya diluar dinding dan yang telah memberikan is yarat kepadanya bahwa seseorang telah melihatnya. Dengan kemampuannya yang tinggi, maka orang itu berhasil lolos dari pengamatan k edua orang dari Pasukan Pengawal Khusus itu. Apalagi sebagian besar dari pengama

tan Pasukan Pengawal Khusus ditujukan kepada orang yang menuju ke bilik Panembah an Senapati itu dan bahkan kemudian telah mengepungnya. Karena orang yang menunggu itu dianggap kurang penting, maka akhirnya orang itu berhasil meloloskan diri. Karena ia telah melihat-lihat suasana istana itu, maka iapun telah berhasil menghindari para prajurit dalam tugas me reka sehari-hari. Apalag i para prajurit itu memang tidak mengetahui, bahwa ada beberapa orang yang telah menyusup kedalam lingkungan istana. Karena itu ketika dua orang Pengawal Khusus datang kepada prajurit yang berada d i regol, maka para prajurit diregol itupun telah melaporkan, bahwa malam itu kea daannya tenang dan tidak ada sesuatu kelainan dari malam-malam sebelumnya. Kedua Pengawal Khusus itupun tidak dapat bertanya lebih banyak. Mereka memang ti dak mengetahui, bahwa malam itu telah terjadi sesuatu yang menegangkan di bagian dalam istana. Kedua Pengawal Khusus itupun kemudian telah melaporkan kepada Senapati yang memi mpin pengamatan itu dalam keseluruhan. Wajah Senapati itu memang menjadi tegang. Bahkan Senapati itu telah menjadi marah. Cari orang itu sampai ketemu. Kalian harus bertanya kepada Pengawal Khusus yang mengamati jalan yang dilalui pada saat mereka memasuki lingkungan istana ini per intah Senapatinya. Tetapi dua orang Pengawal Khusus yang mengamati lorong di longkangan dalam di li ngkungan istana itu belum melihat seorangpun yang keluar setelah dua orang memas uki tempat itu. Jika demikian mereka kedua-duanya tentu masih ada didalam berkata salah seorang Pengawal Khusus yang kehilangan buruannya. Karena itulah, maka kemudian telah diperintahkan beberapa orang untuk melakukan pengintaian didalam ling kungan istana. Tetapi orang itu ternyata telah meloncat keluar. Tidak melalui jalan saat ia mas uk. Tetapi ia telah mengambil jalan lain. Ketika orang itu sudah berada diluar dinding istana. dengan tergesa-gesa ia telah mencari kawannya. Namun ia tidak menemukan kawannya itu ditempatnya. Sejenak orang itu termangu-mangu. Namun dengan teliti ia telah mengamati keadaan . Dedaunan dan dinding halaman disekitar tempat itu. Gerumbul-gerumbul dan jejak ditanah. Ternyata bahwa ia dapat menelusuri jalan yang benar, menuju ketempat y ang dicarinya. Akhirnya orang itu tertegun. Ia melihat pertempuran yang sengit disebuah kebun k osong yang luas yang sudah menjadi agak jauh dari dinding istana. Agaknya baik R aden Rangga maupun lawannya menghendaki perkelahian itu bergeser menjauh, sehing ga akhirnya keduanya telah terperosok kedalam halaman kosong yang luas yang ditu mbuhi oleh gerumbul-gerumbul liar, rumpun-rumpun bambu dan pepohonan yang tidak teratur. Orang yang telah menemukan kawannya itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudia n iapun mendekati arena dan berkata Bagus. Agaknya kau telah mendapat lawan yang berilmu mapan. Anak Panembahan Senapati berkata saudara seperguruannya. Pantas. Agaknya ia berilmu tinggi sahut yang baru datang. Namun dalam pada itu Raden Rangga menjawab Aku memang sedang menjajagi ilmu kawa nmu ini. Jika aku sudah yakin, baru aku akan membunuhnya. Aku tidak tergesa-gesa , apalagi setelah kami menjauhi dinding istana. Lawan Raden Rangga itu menggeram. Ia merasa terhina oleh jawaban itu. Karena itu , maka iapun telah menghentakkan ilmunya menyerang Raden Rangga. Raden Rangga meloncat menghindar Namun ternyata bahwa sekejap kemudian ialah yan g telah menyerang lawannya. Ternyata lawannyapun mampu bergerak cepat, dengan tangkas iapun telah menghindar . Dalam pada itu, orang yang baru keluar dari istana itupun kemudian berkata Waktu kita tidak banyak. Jika kau ingin membunuh anak itu, bunuhlah. Sebentar lagi fa jar akan menyingsing. Baiklah berkata orang itu aku akan membunuhnya sebelum fajar. Mudah-mudahan Pane

mbahan Senapati-pun terbunuh pula sebelum fajar. Aku yakin jawab yang lain. Sementara itu Raden Rangga menyahut He, siapakah yang menentukan akhir dari pert empuran ini? Aku atau kau? Menurut aku, kaulah yang akan terbunuh. Bukan aku. Per setan geram lawan Raden Rangga itu. Namun ketika ia meningkatkan kemampuannya, ternyata bahwa ia tidak segera mampu mengatasi kemampuan anak muda itu. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran it u masih belum nampak tanda-tanda akan berakhir. Dengan demikian maka orang yang baru datang itu menjadi gelisah. Jika para praju rit didalam istana menjadi ribut karena kematian Panembahan Senapati, serta saud aranya itu berusaha melepaskan diri dan meninggalkan istana, maka para prajurit itu tentu akan mencarinya keseluruh sudut kota. Jika perkelahian di halaman koso ng itu masih belum berakhir, maka justru merekalah yang akan terjebak oleh kegia tan para prajurit Mataram itu. Bahkan mungkin mereka berdua tidak akan dapat mel epaskan diri sebagaimana dilakukan oleh saudaranya yang tertua yang memegang pus aka tertinggi dari padepokannya. Karena itu, maka katanya Kenapa kau tidak segera melakukannya? Saudara seperguruannya itu mengumpat didalam hati. Bukan karena ia tidak segera melakukan. Tetapi ia tidak mampu berbuat sebagaimana dikehendaki. Ternyata bahwa lawannya yang masih muda itu memiliki ilmu yang tinggi. Bahkan ketika ia sudah sampai pada puncak kemampuannya, ternyata bahwa ia masih belum mampu mendesak lawannya. Anak yang masih sangat muda itu mampu mengimbangi tingkat ilmunya. Bahkan terasa beberapa kelebihan yang membuatnya menjadi gelis ah pula. Beberapa saat kemudian saudara seperguruannya yang menyaksikan pertempuran itu m enjadi tidak sabar lagi. Karena itu, maka katanya Baiklah. Jika kau tidak sampai hati membunuh anak Panembahan Senapati itu, biarlah aku yang melakukannya. Biarkan aku membunuhnya berkata orang yang sedang bertempur itu. Jika demikian cepat lakukan sahut saudara seperguannya. Jantung orang yang bertempur melawan Raden Rangga itu akan meledak oleh perasaan yang bercampur baur didalam dadanya. Ia memang merasa bahwa ilmu anak itu terla lu tinggi. Pengakuan itu membuatnya semakin gelisah. Sementara itu iapun menyada ri bahwa sebentar lagi fajar akan menyingsing. Namun untuk menyerahkan anak itu dibunuh bersama-sama, harga dirinya agaknya telah tersinggung. Namun dalam keadaan yang demikian, justru terdengar Raden Rangga tertawa. Katany a Jangan menjadi bingung. Karena itu menyerah sajalah. Kau akan tetap hi dup dan barangkali sekali-sekali dipukuli agar kau mengatakan siapakah kau sebenarnya. Persetan teriak orang itu sambil meloncat menyerang. Namun lawannya yang masih s angat muda itu mampu mengelak sambil berkata Uh, kau sangka seranganmu ini cukup berarti? Orang itu menjadi semakin marah. Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahw a ilmu lawannya itu memang sangat tinggi. Saudara seperguruannya yang tidak terlibat kedalam pertempuran itupun memang mel ihat, bahwa ilmu anak muda itu memang sangat tinggi. Karena itu, maka katanya Biarlah kita segera meny elesaikannya. Jika kau memang tidak sampai hati, biarlah aku yang melakukannya. Orang yang sedang bertempur itu tidak menolak lagi. Karena itu katanya Lakukanla h. Ia masih terlalu muda untuk dibunuh. Nah, sebaiknya kau serahkan kepadaku agar perkelahian ini tidak berkepanjangan, sementara langit akan segera menjadi merah. sahut saudara seperguruannya sambil bergerak selangkah maju. Namun tiba-tiba saja langkahnya tertegun ketika ia mendengar desir kaki melangka h mendekat. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya seseorang berdiri didalam bayan gan dedaunan. Siapa kau? bertanya orang itu. Aku bukan putera Panembahan Senapati. Tetapi aku seorang anak padesan yang kebetu lan mendapat kesempatan mengikuti putera Panembahan Senapati itu. jawabnya. Siapa namamu? bertanya orang itu. Hampir saja Glagah Putih menyebut namanya. Tetapi Raden Rangga telah mendahului Anak padesan tidak pernah punya nama. Siapa saja dapat dipergunakan untuk memang

gilnya. Anak setan geram orang yang bertanya itu lalu kau, mau apa? Glagah Putih termangu-mangu. Dipandanginya Raden Rangga yang masih bertempur itu , seakan-akan minta pertimbangannya. Ternyata Raden Ranggapun sempat memperhatik annya dan berkata Lakukanlah. Bukankah kau minta ijin untuk menghadapinya? Bukan karena aku tidak mampu membunuh mereka berdua. Tetapi sebaiknya kau ikut dalam permainan ini agar kau tidak menjadi kedinginan. Glagah Putih memang agak ragu-ragu. Tetapi justru karena kata-kata Raden Rangga itu, hatinya memang telah digelitik untuk melakuka nnya. Orang yang baru keluar dari lingkungan istana itu menjadi tegang. Ia sama sekali tidak menduga bahwa telah hadir seseorang yang lain yang akan ikut campur pula dalam persoalan itu. Seorang yang juga masih muda sekali. Dalam pada itu Glagah Putihpun telah maju selangkah sambil berkata Ki Sanak. Aku telah mendapat ijin. Karena itu, biarlah kau tidak usah mencampuri pertempur an antara putera Panembahan Senapati itu dengan kawanmu. Jika kau merasa kedingina n dan ingin berkelahi untuk menghangatkan tubuhmu, marilah, lawanlah aku. Anak setan geram orang itu kau kira kau ini siapa he? Kau kira kau akan mampu me lawan aku? Entahlah jawab Glagah Putih aku tidak tahu, apakah aku mampu atau tidak. Tetapi aku ingin mencobanya. Aku akan berkelahi. Orang itu benar-benar menjadi marah. Apalagi menurut perhitungannya, langitpun a kan menjadi merah oleh cahaya fajar. Karena itu, maka ia tidak mau membuang-buang waktu lagi. Iapun segera menyingsin gkan lengan baju dan berkata Baiklah. Jangan menyesal disaat Kematianmu tiba. Buku 205 TERNYATA Glagah Putih tidak sempat menjawab. Orang yang marah itupun telah melon cat dan menyerangnya. Ia benar-benar ingin segera membunuh Glagah Putih, agar ia pun dengan cepat membunuh putera Panembahan Senapati itu pula. Menurut perhitung annya maka anak itu tidak akan memiliki kemampuan setinggi anak Panembahan Senap ati yang tidak segera dapat dikalahkan oleh saudara seperguruannya. Glagah Putih mernang agak terkejut. Tetapi ia masih sempat menghindari serangan itu, meskipun hampir saja ia terjatuh. Orang yang menyerang itu memang menjadi semakin marah, bahwa ia tidak dapat lang sung melumpuhkan anak yang dengan sombong mencoba mengganggunya itu. Dengan cepat orang itu telah bersiap untuk menyerang. Tetapi ternyata bahwa Glag ah Putihpun telah bersiap pula. Justru ia menjadi semakin berhati-hati menghadap i lawannya itu. Karena itulah, maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit. Keti ka orang itu menyerang dengan segenap kemampuannya, agar semakin senang berkelahi jawab Glagah Putih. Siapa yang kau sebut itu? bertanya Raden Rangga. Anak itu jawab Glagah Putih. Bukan aku? bertanya Raden Rangga. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum pula. Katanya Raden sudah bukan anak-anak lagi. Glagah Putih tertawa. Sementara itu anak yang membawa kepis dan wuwu itu sudah s emakin jauh didepan. Sebenarnyalah bahwa ketika mereka sampai dirumah, mereka masih sempat berbaring barang sejenak. Namun, demikian mereka terlena, maka Sekar Mirahlah yang kemudia n terbangun dan pergi ke dapur untuk merebus air, sementara Agung Sedayu mulai m embersihkan halaman. Suara sapu lidi itupun telah membangunkan Glagah Putih dan Raden Rangga. Keduany apun kemudian bangkit dan keluar pula dari biliknya. Glagah Putih langsung pergi ke pakiwan untuk menimba air mengisi jambangan. Sementara Raden Rangga bertanya Lalu apa yang harus aku kerjakan? Raden akan berbuat sesuatu? bertanya Glagah Putih. Tentu jawab Raden Rangga. Kuda-kuda itu jawab Glagah Putih.

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Lalu iapun bertanya Apakah aku harus menyabi t rumput? Tidak Raden jawab Glagah Putih bukankah sudah ada orang yang menyabit rumput? Te tangga sebelah telah diupah oleh kakang Agung Sedayu untuk setiap hari menyediak an rumput bagi kuda-kuda kami. Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya Tetapi masih terlalu pagi untuk memandik an kuda. Barangkali maksudmu membersihkan kandangnya? Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum Itu tugasku d i setiap hari. Mumpung Raden ada disini barangkali sekali-sekali tugasku menjadi ringan. Jika kau tidak ada dirumah? bertanya Raden Rangga. Kakang Agung Sedayu yang melakukannya. jawab Glagah Putih. Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun ketika ia siap untuk beranjak dari tempatn ya. Glagah Putih berkata Raden sajalah yang mengisi jambangan. Akulah yang membe rsihkan kandang. Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Katanya Terima kasih. Aku agaknya memang akan mendapatkan kesulitan untuk membersihkan kandang kudamu. Apalagi jika term asuk kandang lembumu. Glagah Putih tertawa. Setelah menyerahkan timbanya kepada Raden Rangga, maka Gla gah Putihpun telah pergi ke kandang untuk membersihkannya. Demikianlah Raden Rangga telah berusaha untuk menyesuaikan diri dengan tugas-tug as Glagah Putih. Menjelang matahari naik, Glagah Putih telah mengajak Raden Rang ga untuk pergi ke padukuhan sebelah, ketempat Agung Sedayu bersama anak-anak mud a menyiapkan perluasan parit bagi lahan yang baru yang dihari sebelumnya ditungg ui oleh Agung Sedayu sendiri, sementara Agung Sedayu telah pergi menemui Ki Gede untuk memberikan laporan tentang tugas Raden Ra ngga dan Glagah Putih setelah peristiwa di Mataram itu terjadi. Ki Gede yang menerima laporan itu mengangguk-angguk. Dengan nada berat ia berkat a Satu tugas yang sangat berat bagi Raden Rangga dan Glagah Putih. Ya Ki Gede jawab Agung Sedayu namun agaknya Panembahan Senapati benar-benar ingi n menghukum puteranya yang sering ikut mencampuri persoalan Panembahan Senapati. Meskipun maksud anak itu baik, namun akibatnya kadang-kadang telah menyulitkan. Ki Gede mengangguk-angguk pula sambil bertanya Kapan mereka akan berangkat? Dalam dua tiga hari lagi jawab Agung Sedayu. Ki Gede merenung sejenak. Kemudian katanya Dengan demikian, bukankah berarti bahwa prajurit Mataram yang berada di Tanah Pe rdikan ini sudah tidak berarti lagi. Ya. Aku akan berpesan kepada Raden Rangga dan Glagah Putih jika mereka singgah k embali ke Mataram untuk menerima pesan-pesan terakhir sebelum mereka berang kat ke sebuah padepokan yang belum mereka kenal. Ki Gede mengangguk-angguk. Ternyata beberapa hal yang diatur dalam hubungan raha sia dengan Mataram itu justru berakhir dengan tugas yang berat bagi Raden Rangga dan Glagah Putih. Namun demikian Ki Gedepun bertaka Tetapi agaknya kematian tig a orang itu bukannya berarti bahwa tidak ada orang lagi disekitar Mataram. Tiga orang itu agaknya orang-orang terpenting memang. Namun dibelakang ketiga orang i tu masih terdapat banyak orang lagi. Ya Ki Gede jawab Agung Sedayu agaknya mereka masih ada disekitar Mataram. Tetapi tanpa prajurit Mataram itupun kita akan dapat menjaga diri seandainya orang-ora ng itu benar-benar memalingkan wajah mereka ke Tanah Perdikan ini. Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya Aku sependapat. Karena itu, kita harus mening katkan kewaspadaan jika nanti pasukan Mataram itu benar-benar akan ditarik. Agung Sedayupun kemudian mohon diri setelah Ki Gede memberikan beberapa pesan te ntang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Dalam pada itu, hari-hari yang pendek itupun telah dipergunakan oleh Glagah Puti h sebaik-baiknya. Dimalam berikutnya ia tidak lagi berada disanggar. Tetapi ia t elah mengadakan latihan-latihan ditempat terbuka meskipun tersembunyi ditempat y ang jarang dikunjungi orang. Raden Rangga malam itu ikut pula menyaksikan, apa yang telah dilakukan- oleh Gla

gah Putih dalam usaha meningkatkan ilmunya. Seperti malam sebelumnya Glagah Putih masih harus mengulang kemampuannya melepas kan ilmu dengan melontarkannya lewat telapak tangannya yang terbuka. Getaran-get aran yang memuat kekuatan didalam dirinya berloncatan menyambar sasaran. Namun ketika Raden Rangga melihat Glagah Putih melepaskan kemampuannya dan menge nai sasaran, tiba-tiba saja Raden Rangga telah bertepuk tangan. Luar biasa katanya kau mampu menyempurnakan ilmu itu sehingga benar-benar menjad i ilmu yang mapan. Tentu karena tuntutan kakakmu dan gurumu. Sambutan yang tiba-tiba itu membuat Glagah Putih, Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga berdebar-debar, sehingga. Agung Sedayupun kemudian berdesis Raden dapat memangg il seorang petani yang sedang menunggui air di-sawah. Maaf berkata Raden Rangga aku senang sekali melihat perkembangan ilmunya. Tetapi jika aku tidak memacunya dengan ujud yang barangkali terlalu kasar, maka padanya tentu masih be lum diberikan tuntutan tentang ilmu itu. Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi agaknya memang demikian, sehingga yang dilak ukan oleh Raden Rangga itu sekedar mempercepat perkembangan dan peningkatan ilmu Glagah Putih. Dalam pada itu, setelah Glagah Putih mampu menguasai lalu untuk melepaskan ilmun ya sebagaimana ia mengu asai anggauta tubuhnya dengan kehendak, maka Agung Se-da yupun mulai menuntun Glagah Putih untuk mengatur lontaran ilmunya. Karena itu, m aka Agung Sedayu seakan-akan telah membawa kembali Glagah Putih menelusuri ilmu yang diwarisinya berdasarkan jalur perguruan Ki Sadewa. Glagah Putih yang sudah mapan dengan melepaskan puncak ilmu itu dengan mengerahkannya pada sisi telapak tangannya, maka kini Glagah Putih memiliki kemampuan yang dapat menjadi kepanjan gan lontaran ilmunya itu. Ia tidak perlu menyentuh lawannya dengan tangannya jik a lawannya itu berada diluar jarak jangkau tangannya. Namun jika lawannya itu de ngan sengaja bertempur pada jarak yang terlalu pendek untuk menghindarkan diri d ari ser. ngan lawan, maka ia mampu mempergunakan sisi telapak tangannya sebagaim ana yang pernah dilakukannya. Meskipun Agung Sedayu tidak mempergunakan cara itu untuk melakukan serangan berj arak, namun karena ilmunya yang mapan, maka ia mampu memberikan petunjuk-petunju k bagi adik sepupunya, sehingga dalam waktu yang pendek itu, Glagah Putih telah mampu menguasainya dengan sebaik-baiknya. Raden Rangga menjadi ikut bergembira sekali melihat perkembangan Glagah Putih ya ng akan menjadi kawannya menempuh perjalanan yang rumit dan berat. Namun laku Glagah Putih masih belum selesai. Pada malam terakhir ia berada di Ta nah Perdikan sebelum berangkat ia masih harus berusaha mengetrapkan kemampuan ilmunya yang dipelajari nya dari Kiai Jayaraga. Dengan demikian maka Glagah Putih akan dapat melontarkan kekuatan yang sebagaimana diwarisinya dari Kiai Jayaraga, yang dapat disadapnya dari kekuatan api, air, udara dan bumi. Meskipun mula-mula Glagah Putih mengalami kesulitan, namun akhirnya ia mampu mem ilahkan warna dari ke kuatan itu dan bahkan kemudian kekuatan-kekuatan yang berb aur dalam satu lontaran. Sehingga dengan demikian ia telah memiliki bekal yang m irip dengan kekuatan yang dimiliki oleh Agung Sedayu meskipun masih harus selalu dikembangkannya. Namun kekuatan Agung Sedayu terlontar lewat sorot matanya dan sudah dalam tataran yang sangat tinggi. Dengan demikian, setelah tiga hari lewat, Glagah Putih telah mendapatkan bekal y ang cukup mapan bagi tugasnya yang berat. Meskipun untuk menyempurnakan ilmunya Glagah Putih harus bekerja keras, namun yang dicapainya adalah kemungkinan yang tertinggi dalam usahanya pada waktu yang sangat pendek itu. Karena itulah, maka Glagah Putihpun segera mempersiapkan diri untuk berangkat me lakukan tugas yang berat itu bersama Raden Rangga. Dihari terakhir, Glagah Putih telah mohon diri kepada Ki Gede disertai Raden Ran gga, Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga. Dengan berat hati Ki Gede telah melepaskann ya dengan beberapa pesan. Sementara itu pesan khususnya adalah, agar Mataram men arik prajurit-prajuritnya yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Dari rumah Ki Gede, Glagah Putih masih harus membenahi bekal yang akan dibawanya . Hanya beberapa helai pakaian dalam sebuah bungkusan kecil. Namun bekalnya yang

menjadi peneguh hatinya adalah ilmunya dan ikat pinggang yang dipergunakannya. Sebenarnyalah bahwa Sekar Mirahpun merasa berat melepaskan Glagah Putih yang mas ih terlalu muda itu pergi hanya berdua dengan seorang anak yang masih lebih muda daripadanya. Meskipun keduanya memiliki ilmu yang dapat dibanggakan, namun kemu daan mereka tentu akan sangat menentukan pada saat-saat mereka harus mengambil s atu keputusan. Sebanyak-banyaknya pengalaman di umur mereka, agaknya mereka masi h jauh dari perbendaharaan pengalaman yang cukup. Tetapi Sekar Mirah tidak dapat menahan mereka, karena perintah telah diberikan o leh Panembahan Senapati sendiri. Demikianlah, maka Raden Rangga dan Glagah Putihpun telah mohon diri untuk kembal i ke Mataram. Kemudian mereka akan melanjutkan perjalanan mereka untuk menemukan jalur yang hilang karena tiga orang bersama-sama telah terbunuh pada saat merek a memasuki istana di Mataram. Ketika mereka telah berada di halaman, maka Agung Sedayu masih sempat berpesan G lagah Putih, apabila Raden Rangga tidak berkeberatan, maka kau masih dapat singg ah barang satu dua hari di Jati Anom. Meskipun mungkin perjalananmu tidak kearah Timur, namun untuk tugas yang penting ini kau dapat singgah dan minta diri kepa da ayahmu. Tetapi barangkali ada baiknya kau singgah dan menghadap Kiai Gringsin g. Mungkin Kiai Gringsing dapat memberikan sedikit petunjuk tentang Padepokan ya ng sedang kau telusuri itu. Kiai Gringsing tiba-tiba saja Raden Ranggalah yang menyahut bagus. Kita akan sin ggah di Jati Anom. Justru kita sekarang akan pergi ke Jati Anom. Mumpung kita me mbawa kuda, sehingga perjalanan ini akan cepat kita selesaikan. Baru kemudian ki ta kembali ke Mataram dan melakukan perjalanan tanpa kuda. Mungkin kita harus pe rgi ke Timur, tetapi mungkin justru ke Barat atau ke Utara. Agaknya dari Kiai Gr ingsing kita dapat mengharap sesuatu. Glagah Putihpun mengangguk-angguk. Kesempatan untuk minta diri kepada ayahnya me mang diharapkannya. Bukan saja karena sudah lama ia tidak bertemu, tetapi ada ju ga kebanggaan bahwa ia mendapat tugas dari Panembahan Senapati meskipun merupaka n cambuk atas kesalahan yang telah dibuat oleh Raden Rangga dan menyangkut dirin ya pula. Sementara itu, Agung Sedayupun menjawab Baiklah Raden. Jika Raden masih mempunya i waktu , maka Raden dapat langsung pergi ke Jati Anom. Mudah-mudahan Kiai Gring sing ada dipadepokan kecilnya, atau setidak-tidaknya berada di Sangkal Putung. Demikianlah, dengan tiba-tiba kedua orang anak muda itu telah mengalihkan arah p erjalanannya. Mereka tidak langsung ke Mataram, tetapi mereka akan singgah ke Ja ti Anom, sehingga dengan demikian maka kedatangan mereka di Mataram akan tertund a sehari. Sejenak kemudian, maka kedua orang anak muda itupun telah meninggalkan Agung Sed ayu. Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah yang telah memberikan beberapa pesan dan pe t unjuk. Kuda mereka yang tegar telah berderap menyusuri jalan Padukuhan Induk Tan ah Perdikan Menoreh. Belum lagi mereka meninggalkan gerbang pedukuhan induk itu, Raden Rangga telah mulai menganggu Kau memang terlalu manja. Kenapa ? bertanya Glagah Putih. Kau lihat, seakan-akan tidak ada orang yang mem-pedulikan aku sama sekali jika a ku pergi kemanapun. jawab Raden Rangga tetapi pada saat kau meninggalkan rumah, maka seisi rumah berdiri diregol, memberikan pesan agar kau berhati-hati dan kem udian melambaikan tangan mereka jika kau berangkat. Sama sekali bukan kemanjaan jawab Glagah Putih hanya kebiasaan. Kakak sepupumu, mbokayumu dan gurumu nampak cemas. Seakan-akan mereka tidak samp ai hati melepaskanmu pergi bersama aku. Bukankah biasanya kau selalu pergi bersama kakak sep upumu, atau gurumu atau barangkali juga ayahmu. berkata Raden Rangga. Ah, Raden salah menilai. Itu sama sekali bukan kemanjaan. jawab Glagah Putih tet api karena mereka tahu, bahwa aku kurang memiliki bekal yang cukup untuk tugas i ni. Agaknya mereka memang merasa cemas. Raden Rangga tertawa Katanya Kau mulai merajuk. Glagah Putih menjadi tegang. Nam un kemudian iapun tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Keduanyapun kemudian mempercepat derap kuda mereka, ketika mereka memasuki jalan bulak. Beberapa orang sempat bertanya ketika mereka bertemu di jalan-jalan pedu

kuhan yang dilalui oleh kedua anak muda itu. Sambil tersenyum Glagah Putih selalu menjawab Kami sedang melihat-lihat. Namun keduanya ternyata telah menuju kepenye-berangan Kali Praga. Tetapi seperti yang mereka rencanakan, maka mereka akan langsung berpacu ke Jati Anom. Karena itu, maka mereka telah memilih jalan yang tidak melewati lingkunga n kota yang ramai. Tetapi mereka telah memilih jalan yang sepi, namun yang langs ung menuju ke Jati Anom. Ternyata perjalanan itu memberikan kegembiraan kepada kedua orang anak muda itu. Mereka seakan-akan telah menempuh satu tamasya yang segar. Terlebih-lebih bagi Raden Rangga. Namun ternyata Raden Rangga menarik kekang kudanya ketika ia melihat beberapa an ak muda sedang bermain binten, dikerumuni oleh anak-anak muda yang lain. Kita berhenti sebentar berkata Raden Rangga. Untuk apa ?bertanya Glagah Putih. Kita melihat binten. Agaknya memang sedang ada semacam pertandingan. jawab Raden Rangga. Glagah Putih mengangguk kecil. Dipandanginya anak-anak muda yang sedang berkerum un di sawah yang baru saja dipetik hasilnya. Agaknya semacam kegembiraan setelah panen mereka berhasil, menjelang Merti Desa yang meriah,anak-anak muda mengadak an permainan tersendiri. Aku akan melihat berkata Raden Rangga. Bukankah permainan yang demikian sudah sering kita lihat berkata Glagah Putih. Jarang sekali aku melihatnya jawab Raden Rangga. Tiba-tiba saja Raden Rangga telah meloncat turun dari kudanya. Dengan demikian m aka Glagah Putihpun terpaksa melakukannya juga. Namun dengan demikian justru ked uanyalah yang telah menarik perhatian anak-anak muda yang sedang berkerumun dala m permainan binten itu, sehingga permainan itu telah terhenti untuk beberapa saa t. Apalagi ketika anak-anak muda itu melihat dua ekor kuda yang tegar-tegar itu. Kenapa berhenti? berkata Raden Rangga. Apa yang berhenti? seorang anak muda yang nampaknya paling berpengaruh diantara mereka telah menyongsong Raden Rangga dan Glagah Putih. Bukankah kalian sedang bermain binten? bertanya Raden Rangga. Ya jawab anak muda itu. Nah, kami berhenti karena kami ingin melihat binten. berkata Raden Rangga kemudian. Anak muda itu mengangguk-angguk. Lalu katanya Siapa kalian? Kami anak-anak dari seberang Kali Praga jawab Raden Rangga. Tanah Perdikan Menoreh? bertanya anak muda itu. Ya. Nampaknya kalian mengenal da erah itu jawab Raden Rangga. Kami pernah mendengar nama Tanah Perdikan Menoreh. Menurut pendengaran kami, anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh memilik i banyak kelebihan. Bahkan menurut pendengaran kami para pengawalnya telah bersa ma-sama dengan prajurit Mataram dalam satu medan berkata anak muda itu. Ya jawab Raden Rangga kami kadang-kadang berada dalam satu pasukan dengan para p rajurit Mataram. Namun dalam pada itu Glagah Putih menyahut Namun agaknya ceritera tentang Tanah Perdikan itu sudah dibesar-besarkan. Tidak banyak yang pernah kami lakukan. Mung kin kami pernah membantu serba sedikit. Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya Mungkin kau berkata dengan jujur. Ya. Aku berkata sebenarnya jawab Glagah Putih. Raden Rangga mengerutkan keningny a. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Bahkan yang dikatakannya adalah Marilah. Kami ingin melihat perma inan kalian. Agaknya sangat menarik. Anak muda itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia bertanya Apakah kalian akan menunjukkan bahwa anak-anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh mampu melebihi kami? Tidak jawab Glagah Putih dengan serta merta kami hanya tertarik untuk melihatnya . Anak muda itu mengangguk-angguk. Sekali ia berpaling kearah kuda-kuda yang tegar

itu. Namun kemudian katanya Baiklah. Tetapi jangan mengganggu. Kami memang seda ng memilih orang terbaik diantara kami. Dalam perayaan Merti Desa nanti akan dip ertandingkan binten antara orang-orang terbaik dari padukuhan-padu-kuhan. Raden Rangga dan Glagah Putihpun telah mengikat kudanya pada sebatang pohon di p inggir jalan. Keduanyapun ikut pula turun ke sawah yang telah diambil hasilnya u ntuk melihat anak-anak muda yang bermain binten. Kita akan melanjutkan permainan kita berkata anak muda yang paling berpengaruh i tu. Dengan demikian, maka seorang anak muda telah maju ke tengah-tengah arena. Ia be rdiri tegak dengan kaki yang renggang. Seorang anak muda yang lain akan menghant am betisnya dengan kakinya. Seorang anak muda yang lain yang mengamati permainan itu agar tidak terjadi perm ainan yang menyimpang dari ketentuan. Sejenak kemudian kembali terdengar anak-anak muda itu bersorak. Mereka memilih s eorang diantara mereka yang paling tahan mengalami serangan pada betisnya. Lima kali berturut-turut. Ternyata Raden Rangga telah tenggelam dalam permainan itu. Ia telah ikut bersora k-sorak sebagaimana anak-anak muda yang lain. Bahkan ikut melonjak-lonjak pula j ika seorang anak muda yang kurang kuat telah terjatuh pada saat betisnya dihanta m oleh seorang kawannya. Beberapa saat permainan itu telah berlalu. Glagah Putih yang gelisah telah mengg amit Raden Rangga sambil berkata Marilah. Kita akan melanjutkan perjalanan. Tunggu sampai terpilih orang terbaik jawab Raden Rangga. Untuk apa? bertanya Glagah Putih. Tidak apa-apa jawab Raden Rangga. Beberapa saat permainan berlangsung. Akhirnya anak-anak muda itu telah menemukan orang yang mereka cari. Seorang yang tidak da pat dijatuhkan oleh serangan-serangan pada betisnya. Ia tetap berdiri tegak mesk ipun harus menahan rasa sakitnya. Akhirnya sorakpun meledak. Anak-anak muda itu seakan-akan telah menyatakan kesep akatannya untuk memilih anak muda yang tidak dapat dijatuhkan oleh kawan-kawanny a dengan serangan setiap kali lima kali berturutturut itu. Anak muda yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya itu telah menja di sangat bangga. Diangkatnya kedua tangannya untuk menyatakan tanggapannya atas sorak yang bagaikan mengguncang sawah tempat mereka bermain. Namun ketegangan mulai mencengkam ketika anak yang menang itu tiba-tiba berkata Kita akan melihat, apakah benar anak-anak Tanah Perdikan Menoreh mempunyai keleb ihan. Sorak yang gemuruh itupun mulai mereda. Semua orang kemudian berpaling kepada Ra den Rangga dan Glagah Putih. Namun dalam pada itu, Glagah Putih berkata Sudahlah. Kami akan meneruskan perjal anan. Kau pantas menjadi pemenang, karena ketahanan kakimu yang luar biasa. Anak -anak Tanah Perdikan Menoreh agaknya tidak ada yang sekuat kau. Tetapi ceritera- tentang Tanah Perdikan Menoreh membuat kami disini menjadi iri hati. Seakan-akan Tanah Perdikan Menoreh adalah daerah terbaik di Mataram. Sudah aku katakan. Itu berlebih-lebihan jawab Glagah Putih pula. Jangan pergi berkata anak muda yang menang itu kita bermain binten. Adalah diluar dugaan ketika Raden Rangga bertepuk tangan sambil berkata Bagus. J ika kalian tetap menantang, marilah Aku memilih anak yang lebih besar berkata anak muda yang menang itu sambil menun juk Glagah Putih. Siapapun diantara kami jawab Raden Rangga Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam . Namun Raden Rangga berkata Nah, kaulah yang dipilih untuk ikut bermain binten. Aku tidak pernah bermain binten jawab Glagah Putih. Sekarang kau akan mengalaminya jawab Raden Rangga. Glagah Putih termangu-mangu. Namun beberapa orang anak muda telah menarik tangan nya dan membawanya ketengah-tengah arena. Glagah Putih memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus melayani anak muda ya ng menang itu untuk bermain binten.

Kau akan bertahan lebih dahulu berkata anak muda pemenang itu aku akan menghanta m betismu dengan kaki sebanyak lima kali. Kawan-kawanku akan menjadi saksi, bera pa kali kau terjatuh. Kemudian akulah yang akan bertahan. Siapakah yang terjatuh lebih banyak, ialah yang kalah. Glagah Putih memang tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak. Namun setelah ia berada di arena rasa-rasanya tidak ada niatnya untuk membiarkan dirinya menjadi bahan tertawaan anak-anak muda itu. Kemudaannya telah memanasi dadanya, sehingga karena itu, maka Glagah Putihpun berniat untuk tidak jatuh oleh anak muda yang dianggap sebagai pemenang dalam permainan itu. Sejenak kemudian, maka Glagah Putihpun tidak diper-silahkan untuk berdiri dengan kaki renggang. Anak-anak muda yang mengerumuni arena itu mulai bersorak-sorak. Sementara itu, anak muda yang menang atas kawan-kawan-nya itu mulai mengambil an cang-ancang. Satu seorang anak muda yang lain mulai meng hitung dua, tiga. Pada hitungan ketiga, anak muda yang menang itu telah meloncat sambil mengayunka n kakinya menyerang betis Glagah Putih yang berdiri tegak. Satu ayunan kaki yang keras sekali didorong oleh kebanggaannya sebagai pemenang, serta keinginannya u ntuk menunjukkan kelebihannya kepada kawan-kawannya atas anak muda dari Tanah Pe rdikan Menoreh yang terkenal itu. Sesaat kemudian telah terjadi benturan yang sangat keras. Namun benturan kekuata n yang wajar, sehingga betapapun kuatnya, hantaman kaki anak muda yang memenangk an permainan diantara kawan-kawannya itu sama sekali tidak mampu menggoyahkan pe rtahanan Glagah Putih, meskipun Glagah Putih masih juga sekedar mempergunakan te naga wajarnya. Bahkan kaki anak muda yang telah membentur betis Glagah Putih itu bagaikan telah membentur sebatang tong gak kayu. Terdengar anak muda itu mengaduh tertahan. Kakinya tiba-tiba saja telah ditarikn ya sehingga iapun telah terputar setengah lingkaran. Kemudian tanpa dapat menaha n diri ia telah terduduk ditanah. Kedua belah tangannya telah memegangi tulang k akinya yang bagaikan menjadi retak. Beberapa orang kawannya memandanginya dengan tegang. Ketika ia terjatuh duduk di tanah, maka seorang kawannya berjongkok disebelahnya sambil bertanya Kenapa? Anak itu masih menyeringai sambil mengusap tulang kakinya yang terasa sakit seka li. Dengan suara bergetar ia berkata Apakah kaki anak-anak Tanah Perdikan Menore h terbuat dari batu? Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah ia tidak ingin menyakiti a nak muda itu. Tetapi ia memang tidak berbuat sesuatu dengan berlebihan. Ia masih bertahan dengan kekuatan wajarnya. Namun karena wadagnya telah mengalami latihan-latihan yang mapan, maka wadagnya iapun memiliki kelebihan dari wadag anak-anak muda kebanyakan. Karena tanpa wadh ag yang lebih baik dari orang kebanyakan, maka itu tidak akan mampu mendukung ke mampuan ilmu yang sangat tinggi, yang tersimpan didalam diri Glagah Putih. Anak-anak muda yang berkerumun itupun menjadi berdebar-debar. Mereka tidak mengi ra bahwa pada benturan yang pertama, kawannya yang dianggapnya anak muda terbaik dalam permainan itu te lah dapat dijatuhkan, justru pada saat anak muda itu sedang menyerang. Sejenak anak muda itu masih mengurut kakinya. Namun kemudian iapun telah berusah a untuk berdiri tegak dan melupakan perasaan sakitnya. Sambil menggeram ia berka ta Jangan berbangga karena kejadian ini. Aku memang mengambil langkah, sehingga kakiku hampir saja terkilir. Bersiaplah. Aku akan mengulangi seranganku. Seperti yang aku katakan, aku akan melakukannya lima kali. Masih ada ampat kesempatan u ntuk menjatuhkan-mu. Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi iapun telah bersiap pula. Berdiri tegak deng an kaki renggang. Sejenak kemudian anak muda yang kakinya baru saja kesakitan itupun telah bersiap pula. Meskipun hatinya telah menjadi ragu-ragu, namun ia tidak mau harga diriny a direndahkan oleh anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu. Karena itu, maka iapun telah bertekad untuk menjatuhkan anak muda itu. Beberapa saat anak muda yang menang itu telah mengambil ancang-ancang. Kemudian, seorang anak muda yang lain telah mulai menghitung Satu, dua, tiga.

Anak muda itu telah meloncat sambil mengayunkan kakinya sekuat tenaganya. Sebuah benturan yang keras telah terjadi. Namun ternyata telah terulang kembali kegaga lan yang dialami anak muda itu. Sekali lagi kakinya bagaikan membentur tonggak k ayu. Sekali lagi ia terputar dan bahkan terguling jatuh. Anak-anak muda yang lainpun bagaikan membeku ditempatnya. Tetapi dua orang yang menyadari keadaan segera berlari dan berjongkok disamping anak muda yang terbari ng kesakitan sambil mengurut kakinya yang bagaikan retak itu. Bagaimana? bertanya seorang diantaranya. Anak muda itu mengaduh tertahan. Namun ia memang tidak dapat lagi menyembunyikan tulang kakinya itu, maka dilihatnya kulitnya men jadi merah biru. Glagah Putih dan Raden Ranggapun berdiri termangu-mangu pula. Diperhatikannya an ak-anak muda yang masih membeku. Namun yang sejenak kemudian, merekapun telah be rgeser mengerumuni kawannya yang kesakitan. Raden telah membuat persoalan disini desis Glagah Putih. Kenapa? Bukankah tidak apa-apa? bertanya Raden Rangga. Anak-anak itu dapat menjadi marah berkata Glagah Putih pula mereka akan dapat me lakukan sesuatu diluar keinginan kita. Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya Mungkin. Tetapi asal kita tidak manangga pinya, aku kira tidak akan terjadi sesuatu. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab. Beberapa saat lamanya Raden Rangga dan Glagah Putih menunggu. Anak-anak muda itu masih mengerumuni kawannya yang sakit. Beberapa patah kata terdengar diantara m ereka. Namun tiba-tiba yang dicemaskan oleh Glagah Putih terjadi. Anak muda yang paling berpengaruh diantara mereka itupun telah menyibak kawan-kawannya. Dengan wajah tegang ia berdiri menghadap kearah Glagah Putih dan Raden Rangga. Dengan lantang ia berkata Jangan ber-bangga anak-anak muda dari daerah yang terbaik di Mataram . Mungkin kau dapat menyombongkan diri ditempat lain, tetapi tidak disini. Kau a kan menyesal dan kau akan menyadari bahwa Tanah Perdikan Menoreh bukan pusat kem enangan dan tidak tergoyahkan. Glagah Putih berdesis Nah, Raden lihat. Salahmu sahut Raden Rangga kenapa kau tidak mau menjatuhkan dirimu ketika kau di binte oleh anak itu? Memang ada keinginan untuk melakukannya jawab Glagah Putih tetapi aku tidak dapa t. Nah, apa yang harus kita lakukan? Sementara itu anak muda yang paling berpengaruh itu telah melangkah maju diikuti oleh kawan-kawannya Kalian harus mengakui kelebihan kami. Kalian tidak boleh pe rgi dengan kesan kemenangan dengan permainan kalian yang kasar itu. Glagah Putih termangu-mangu. Ia sama sekali tidak berniat untuk melawan. Jika te rjadi perkelahian maka tentu akan menimbulkan kesan bahwa orang-orang Tanah Perd ikan Menoreh yang merasa dirinya lebih baik dari yang lain, telah bertindak sewe nang-wenang. Namun tiba-tiba Raden Rangga berkata Kita lari saja. Kita tentu akan dapat menca pai kuda kita jauh lebih cepat dari anak-anak itu. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk. Sementara itu Glagah Putih telah melihat anak-anak muda itu saling berpencar. Apakah kita akan lari sekarang? bertanya Glagah Putih. Sebentar lagi. Kita harus menunjukkan bahwa kita memang berbeda dengan mereka be rkata Raden Rangga sambil tersenyum. Glagah Putih mengangguk. Memang kemudaannyapun ingin berbuat demikian. Lari tanp a melawan, tetapi meninggalkan kesan kelebihan pada anak-anak muda itu. Selangkah demi selangkah anak-anak muda yang berkumpul di sawah itu melangkah ma ju sambil memencar. Namun beberapa saat kemudian Raden Rangga dan Glagah Putihpu n telah bergeser mundur. Kalian tidak akan dapat lari berkata anak muda yang paling berpengaruh itu kalia n harus berkelahi. Kalah atau menang. Jika kalian menang, maka kami baru percaya bahwa Tanah Perdik an Menoreh memang merupakan lumbung dari orang-orang perkasa, termasuk anak-anak mudanya.

Glagah Putih dan Raden Rangga tidak menjawab. Sementara itu anak-anak muda yang menebar itu menjadi semakin dekat. Namun pada saat lingkaran anak-anak muda itu hampir mengepung Raden Rangga dan G lagah Putih, maka Raden Ranggapun berdesis Marilah. Raden Rangga dan Glagah Putih telah meloncat meninggalkan tempatnya. Mereka mela rikan diri menuju ke kuda mereka. Namun anak-anak muda itu tidak membiarkannya. Merekapun telah mengejar kedua anak Tanah Perdikan. Bahkan beberapa orang berter iak Jangan lari. Tidak ada gunanya. Sebenarnyalah anak-anak muda itu hampir menangkap Glagah Putih yang lari dibelak ang Raden Rangga. Namun tiba-tiba Raden Rangga berkata Sekarang. Glagah Putih tahu maksud Raden Rangga. Karena itu, maka iapun telah mengerahkan tenaga dalamnya untuk mendorong kakinya berlari secepat tatit yang meloncat diud ara. Anak-anak muda yang mengejar keduanyapun terkejut bukan buatan. Bahkan mereka ju stru tertegun diam. Seakan-akan mereka telah melihat sesuatu diluar jangkauan na larnya. Kedua orang anak muda yang mengaku dari Tanah Perdikan Menoreh itu bagaikan anak panah yang dilontarkan oleh busurnya. Tiba-tiba saja keduanya telah berada di p unggung kuda mereka yang tinggi tegar. Anak-anak itu tidak sempat melihat, bagai mana mereka melepas tali ikatan kuda itu pada batang-batang pohon dan apalagi ba gaimana keduanya naik kepunggung kuda mereka. Raden Rangga dan Glagah Putih yang sudah berada di-punggung kudanya memandang an ak-anak muda yang termangu-mangu itu. Mereka ternyata telah membuat anak-anak mu da itu kebingungan. Yang terjadi adalah demikian cepatnya. Nah, Ki Sanak berkata Raden Rangga kami minta maaf, bahwa kami tidak dapat melay ani permainan yang lebih kasar lagi. Lebih baik kami meneruskan perjalanan kami agar kami tidak dianggap berbuat salah. Mudah-mudahan kami sempat melihat pertan dingan binten yang akan dilakukan antara padukuhan dihari Merti Desa. He, kapan Merti Desa itu berlangsung ? tiba-tiba Glagah Putihpun bertanya. Anak-anak muda itu bagaikan membeku. Namun ketika Glagah Putih mengulangi, maka anak muda yang berdiri di paling depanpun menjawab Sepekan lagi. Mudah-mudahan kami sempat lewat padukuhan ini berkata Glagah Putih. Tidak disini jawab anak muda itu tetapi dipa-dukuhan sebelah Utara bulak panjang itu. Baik. Mudah-mudahan kami mempunyai kesempatan berkata Raden Rangga. Lalu katanya sambil melambaikan tangannya Sudahlah. Kami akan melanjutkan perjalanan kami. K alian tidak usah mengejar kami, sebab lari kuda kami seribu kali lebih cepat dar i langkah kaki kalian. Raden Ranggapun mulai menggerakkan kekang kudanya. Sementara Glagah Putihpun mel akukan hal yang sama. Perlahan-lahan kuda mereka mulai bergerak. Semakin lama se makin cepat, sementara anak-anak muda yang berada disawah yang baru saja dipetik hasilnya itu menyaksikan dengan jantung yang berdebaran. Anak-anak muda itu menjadi semakin berdebar-debar -ketika mereka melihat kedua a nak muda yang berkuda itu berhenti. Raden Rangga sempat meloncat turun. Apa yang akan Raden lakukan? bertanya Glagah Putih. Raden Rangga tidak menjawab. Tetapi iapun telah melangkah kesebuah tugu batu set inggi tubuh Raden Rangga sendiri, yang agaknya merupakan batas lingkungan paduku han. Diangkatnya tugu batu itu dan diletakkannya ditengah jalan. Untuk apa itu Raden lakukan? bertanya Glagah Putih. Raden Rangga hanya tertawa saja. Namun sejenak kemudian iapun telah meloncat nai k kepunggung kudanya dan melanjutkan perjalanan. Raden masih saja nakal desis Glagah Putih. Aku ingin memberi pekerjaan anak-anak itu. Biarlah mereka mengangkat kembali bat u itu ketempatnya semula. jawab Raden Rangga sambil tertawa. Glagah Putih hanya menarik nafas dalam-dalam. Sementara kuda merekapun berjalan semakin lama semakin jauh dari padukuhan itu. Sebenarnyalah sebagaimana dikatakan oleh Raden Rangga. Anak-anak muda padukuhan itu tidak sempat meneruskan permainan mereka. Mereka harus mengangkat kembali ba tu itu dan menempatkannya di tempatnya semula. Namun mereka tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Bagaimana mungkin anak muda dari Tanah Perdikan itu da

pat mengangkat batu itu dan memindahkannya ketengah jalan. Namun setelah kerja mereka selesai, merekapun sempat merenunginya. Anak-anak yan g paling berpengaruh diantara mereka itupun berkata Kita memang terlalu sombong. Kenapa? ~ bertanya kawannya. Ternyata berita tentang Tanah Perdikan Menoreh bukan sekedar ceritera ngaya wara . Kita sudah menyaksikan sendiri, dua orang diantara mereka. Mereka sempat menun jukkan kepada kita kelebihan yang sulit dijangkau oleh nalar kita, tanpa melayan i sikap sombong kita Coba bayangkan. Seandainya keduanya bersedia menerima tanta ngan kita, dan kita harus berkelahi melawan mereka, apakah yang akan terjadi ata s kita? bertanya anak muda itu. Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Anak muda yang menang dalam permainan binten i tupun berkata Aku belum pernah mengalaminya. Betisnya benar-benar seperti tongga k kayu yang sangat keras. Kakiku menjadi seakan-akan remuk. Dan kau lihat bagaimana mereka berlari ke kuda mereka? bertanya anak muda yang p aling berpengaruh kemudian bagaimana mungkin seorang diantara mereka, justru yan g kecil, mengangkat batu tugu itu ketengah jalan. Seorang diantara anak-anak muda itupun berkata Satu pengalaman buat kita. Jika a da saat lain kita bertemu dengan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, kita har us mengekang diri untuk tidak berlaku sombong. Anak-anak muda itu masih menganguk-angguk.Ternyata mereka telah mendapatkan satu ceritera yang menarik untuk mereka sampaikan kepada kawan-kawan mereka yang tid ak sempat menyaksikan tingkah laku anak-anak muda tanah Perdikan Menoreh itu. Memang timbul beberapa tanggapan. Ada yang tidak percaya, tetapi ada yang langsu ng mempercayainya. Anak-anak muda yang menyaksikan langsung itu dapat membuktika n, bahwa tugu batu itu telah berpindah dan anak-anak muda itulah yang beramai-ra mai mengembalikan ketempatnya semula. Anak-anak sering berceritera berlebihan berkata seorang laki-laki yang terhitung masihmuda juga -mereka senang berkhayal tentang orang-orang sakti dan ilmu yang diluar jangkauan nalar mereka. Tetapi banyak yang telah menyaksikannya jawab kawannya. Laki-laki muda itu tersenyum. Katanya Tetapi biarlah mereka besar bersama anganangan mereka. Mudah-mudahan akan berakibat baik bagi mereka, karena hal itu akan memacu untuk menempa dirinya. Kawannya tidak menjawab. Tetapi sebenarnyalah kawannya itu percaya tentang cerit era yang telah didengarnya dari anak-anak muda padukuhan itu. Sementara itu, anak-anak muda itupun diluar sadar benar-benar mengharap agar ked ua anak muda Tanah Perdikan itu kelak hadir didalam pertandingan yang akan diada kan antara beberapa pedukuhan. Mereka akan merasa bangga bahwa mereka mengenal d ua orang anak muda yang memiliki kelebihan dari anak-anak muda yang lain. Apalag i keduanya datang dari tempat yang memang sudah dikenal, Tanah Perdikan Menoreh. Dalam pada itu, Raden Rangga dan Glagah Putih telah berkuda semakin jauh dari pe dukuhan itu. Mereka menyusuri jalan-jalan bulak yang panjang dan sekali-sekali m emasuki padukuhan. Di sepanjang jalan kuda-kuda mereka memang sangat menarik per hatian, karena jarang sekali orang-orang disepanjang perjalanan itu menjumpai je nis kuda yang demikian. Ketika keduanya kemudian sampai dipenyeberangan Kali Opak, maka merekapun telah terhenti sejenak untuk memberi kesempatan kuda mereka minum, makan rerumputan se gara dan beristirahat. Sementara itu, air di lereng Gunung Merapi. Karena itu, m aka orang-orang yang menyeberang Kali Opak masih belum memerlukan rakit. Beberapa saat keduanya duduk dibawah sebatang pohon yan rindang sambil mengamati air sungai yang tidak begitu deras. Disebuah tikungan air mereka melihat seoran g yang sedang duduk sambil memegang kail. Panas matahari sama sekali tidak teras a ditubuhnya. Aneh juga orang mangail itu desis Raden Rangga. Kenapa ? bertanya Glagah Putih. Di Tanah Perdikan Menoreh, ketika aku ikut pembantu dirumahku ke sungai, seorang tengah mengail di-gelapnya malam tanpa menghiraukan dinginnya udara. Sementara itu, orang itu tidak merasakan betapa panas matahari menyentuhnya. Sebenarnya be rapa banyak ikan yang didapatnya dengan mengail itu ? bertanya Raden Rangga.

Memang ada orang yang mengail karena benar-benar ingin mendapatkan ikan. Tetapi ada juga orang yang mengail tanpa memikirkan apak ah ia akan mendapatkan ikan atau tidak. jawab Glagah Putih. Raden Rangga mengangguk kecil. Ia mengerti maksud Glagah Putih. Iapun tahu bahwa kadang-kadang mengail hanya merupakan laku untuk melatih diri dengan berbagai m acam tujuan. Karena itu Raden Rangga tidak bertanya lagi. Namun tiba-tiba saja ia melihat wal esan kail itu tiba-tiba melengkung. Dengan sigapnya orang yang mengail itu menga tur benang kailnya untuk menguasai ikan yang telah tersangkut dikailnya. Beberapa saat terjadi kesibukan. Namun akhirnya perlahan-lahan orang itu menguas ainya juga. Menilik tarikan pada walesan kailnya, ikan yang didapatnya tentu ikan yang besar berkata Glagah Putih. Ya sahut Raden Rangga beruntunglah orang itu jika ia termasuk orang yang mengail karena memang men-, cari ikan. Namun kedua anak muda itu terkejut ketika mereka tiba-tiba saja melihat seorang yang berdiri didekat kuda mereka tertambat sambil bertolak pinggang. Sementara i tu tiga orang lainnya berdiri beberapa langkah daripadanya. Menilik sikap dan pakaiannya, Glagah Putih mempunyai penilaian tersendiri. Denga n lirih ia berkata Seperti orang-orang yang kita temui di hutan itu. Sikapnya, p akaiannya dan kesan yang timbul pada mereka. Yang akan membakar hutan itu ? bertanya Raden Rangga. Ya. Apakah Raden tidak mempunyai kesan demikian ? Glagah Putihpun bertanya pula. Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya Ki Sanak. Apakah k alian tertarik kepada kuda kami itu? Ya sahut orang itu kuda kalian bagus sekali. Jarang ada orang yang memiliki kuda seperti itu. Ya. Kuda itu memang kuda yang baik sekali jawab Raden Rangga. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berbisik jangan tim bul persoalan. Waktu kita tidak terlalu banyak. Raden Rangga tersenyum. Namun kemudian ia berdesis Baiklah. Aku akan mengatakan kepadanya sehingga tidak akan ada persoalan lagi. Dalam pada itu orang yang berdiri didekat kedua ekor kuda tertambat itu berkata Kuda ini tentu mahal sekali harganya. Kami tidak membelinya jawab Raden Rangga kami menerimanya sebagai hadiah dari Pa nembahan Senapati. Raden desis Glagah Putih. Mereka akan diam jika mereka mendengar nama itu sahut Raden Rangga. Tetapi dugaan Raden Rangga itu salah. Ternyata orang itu menjadi tegang. Dipanda nginya Raden Rangga dan Glagah Putih dengan pandangan yang menusuk tajam. Kenapa kalian mendapat hadiah dari Panembahan Senapati? tiba-tiba saja orang itu bertanya. Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi bingung untuk menjawab pe rtanyaan itu. Namun kemudian iapun menjawab asal saja menjawab Kami adalah gamel yang memelihara semua kuda Panembahan Senapati. Agaknya kerja kami dianggap bai k, sehingga kamipun mendapat kuda yang terdapat di istana Panembahan Senapati it u. Orang itu mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian Baiklah. Apapun alasanny a. Jika kau termasuk orang-orang Panembahan Senapati, maka adalah kebetulan sekali. Sebenarnya aku hanya sekedar mengagumi kuda-kuda itu. Tetapi j ustru karena kalian adalah gamel yang memelihara kuda Panembahan Senapati, maka aku memang akan membuat perkara. Kuda-kuda itu aku minta. Raden Rangga mengerutkan keningnya. Sementara Glagah Putihpun menarik nafas dala m-dalam. Tetapi ia sadar, bahwa persoalan yang sedang dihadapi itu memang bukan sekedar persoalan kuda sebagaimana pernah dihadapinya. Namun untuk sesaat keduanya justru bagaikan membeku. Mereka hanya memandangi saj a orang yang berdiri di dekat kedua ekor kuda mereka yang tertambat. Nah, anak-anak manis berkata orang itu tinggalkan kuda kalian. Laporkan kepada Pa nembahan Senapati, bahwa beberapa orang yang kebetulan kalian jumpai di Kali Opa k telah merampas kuda kalian.

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Namun setapak ia maju sambil berkata Ki Sanak. Jangan begitu kasar. Kau tentu mengerti, bahwa jika kami kehilangan kudakuda itu, maka Panembahan Senapati tentu akan sangat marah kepada kami berdua. Apakah kau menganggap bahwa yang aku lakukan ini terlalu kasar ? bertanya orang itu jika demikian bertanyalah kepada Panembahan Senapati. Apakah selama ini ia t idak bertindak terlalu kasar terhadap orang-orang dari Bang Wetan dan Pesisiran ? Apa maksudmu ? bertanya Raden Rangga. Anak dungu. Kau memang tidak akan mengerti. Tetapi pergilah. Tinggalkan kuda-kud a ini, atau kalian akan mengalami nasib yang buruk? Aku dapat berbuat kasar mela mpaui kekasaranku sekarang ini. berkata orang itu. Jangan begitu minta Raden Rangga aku akan pergi. Tetapi kembalikan kuda kami. Aku memerlukan kudamu sebagai satu alasan untuk membuat perkara dengan Panembahan Senapati jawab orang itu. Kau aneh berkata Raden Rangga jika kau memang ingin membuat persoalan dengan Pan embahan Senapati, kenapa kau tidak pergi saja ke Mataram. Tantang Panembahan Sen apati untuk berperang tanding. Aku kira ia tidak akan menolak. Jangan ajari aku bentak orang itu pergi, atau aku akan membunuhmu. Aku tidak akan pergi dan aku tidak mau dibunuh jawab Raden Rangga. Anak setan geram orang itu baiklah. Agaknya perkara yang akan terjadi akan lebih panas jika aku mengambil kudamu dan membunuhmu berdua. Raden Rangga menjadi marah. Dengan nada keras ia berkata Kaulah yang pergi. Jang an membuat aku marah. Aku dan saudaraku tergesa-gesa. Kami tidak punya waktu unt uk bergurau dengan cara seperti ini. Orang itupun telah membentak pula Tutup mulutmu setan kecil. kau berani bersikap menantang begitu he? Kau kira aku siapa ? Raden Rangga ternyata semakin tidak senang melihat tingkah laku orang itu. Kemar ahannya agaknya tidak tertahankan lagi. Tiba-tiba saja ia sudah meraih sebutir b atu sebesar telur itik. Dengan serta merta ia telah melempar orang itu dengan ba tu itu. Ternyata akibatnya sangat mengejutkan. Batu itu tepat mengenai dada orang yang i ngin merampas kudanya. Yang terdengar adalah keluhan kesakitan. Kemudian ternyat a tubuh itu telah roboh bagaikan batang pisang yang ditebang. Raden desis Glagah Putih. Wajah Raden Rangga menegang. Dipandanginya tiga orang yang lain yang berdiri ter mangu-mangu menyaksikan kawannya yang roboh itu. Sementara itu, Raden Rangga dan Glagah Putihpun menjadi semakin gelisah. Nampakn ya orang yang dikenai batu oleh Raden Rangga itu menjadi parah. Apakah orang itu mati? desis Raden Rangga. Glagah Putih tidak menyahut. Namun sementara itu Raden Ranggapun berkata Marilah . Kita lanjutkan perjalanan. Keduanyapun kemudian bergegas pergike kuda mereka, sementara ketiga orang kawan dari orang yang dikenai batu oleh Raden Rangga itupun tiba-tiba menyadari keadaa n. Dengan serta merta mereka telah meloncat ke arah Raden Rangga dan Glagah Puti h. Tetapi langkah mereka terhenti, ketika tiba-tiba saja Raden Rangga telah menjulu rkan tangannya. Seleret sinar menyambar pasir tepian dihadapan ketiga orang yang mendekatinya itu. Tepian itupun seakan-akan telah meledak, sehingga ketiga oran g itupun justru telah berloncatan mundur. Kesempatan itu telah dipergunakan oleh Raden Rangga dan Glagah Putih untuk menga mbil kudanya dan sekaligus meloncat naik. Ketika kuda mereka mulai berpacu, Rade n Rangga sempat berkata Lihat kawanmu. Apakah ia hidup atau mati. Keduanyapun segera memacu kudanya. Namun Raden Rangga masih sempat melihat orang yang sedang mengail. Orang itu berdiri dengan tubuh gemetar. Kailnya telah terl epas dari tangannya. Sejenak kemudian kedua orang anak muda itu telah menjadi semakin jauh. Sementara ketiga orang yang termangu-mangu di tepian hanya dapat memandangi mereka sambil mengumpat. Tidak mungkin lagi untuk mengejar keduanya yang berada diatas punggu ng kuda yang tinggi tegar.

Dengan demikian maka yang dilakukan oleh ketiga orang itu kemudian adalah berjon gkok disamping kawan mereka yang terbaring diam. Namun ternyata bahwa mereka bertiga tidak mampu lagi berbuat sesuatu. Orang itu sudah terbunuh. Dari mulutnya mengalir darah merah y ang kehitam-hitaman. Kemarahan bagaikan meledak didada ketiga orang itu. Namun mereka tidak dapat ber buat apa-apa kecuali membawa kawannya itu meninggalkan tepian Kali Opak. Dalam pada itu, yang sedang berpacu meninggalkan Kali Opakpun menjadi semakin ja uh. Namun tiba-tiba saja Raden Rangga memperlambat kudanya sambil berdesis Apaka h orang itu mati ? Entahlah jawab Glagah Putih tetapi Raden tidak mengekang serba sedikit kekuatan tenaga Raden. Aku hanya melemparkannya begitu saja. Jika aku mendorongnya dengan kekuatanku, a palagi sepenuhnya dadanya tentu akan pecah dan batu itu akan tembus sahut Raden Rangga. *** Buku 206 GLAGAH Putin menarik nafas dalam-dalam ia percaya kepada kata-kata Raden Rangga itu. Namun iapun mengerti, bahwa Raden Rangga sebenarnya dapat mengurangi tenaga yang dipergunakan untuk melontarkan batu itu. Tetapi seperti biasanya, anak itu tidak sempat memperhitungkannya. Sementara itu, kuda Raden Rangga menjadi semakin lambat. Dengan dahi yang berker ut Raden Rangga berkata, Ternyata dugaanmu benar. Orang itu tentu termasuk kelomp ok orang-orang yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu. Agaknya memang demikian. desis Glagah Putin. Mereka tentu termasuk orang-orang yang terlibat didalam usaha menyingkirkan ayaha nda Panembahan Senapati. berkata Raden Rangga, jika kita dapat berbicara dengan me reka, maka mungkin mereka akan dapat menunjukkan tempat yang sedang kita cari. Mungkin Raden. jawab Glagah Putih, tetapi mungkin juga tidak jalur diantara orang-o rang terpenting dan orang-orang yang hanya melakukan perintah itu biasanya terpu tus ditengah oleh orang-orang khusus, sehingga orang-orang yang tinggal melakuka n perintah itu sama sekali tidak mengenal siapakah pemimpin mereka yang sebenarn ya. Tetapi kita dapat mencoba. Jika mereka juga berasal dan perguruan Nagaraga, maka setidak-tidaknya kita akan mendapatkan sedikit keterangan tentang perguruan itu, berkata Raden Rangga. Glagah Putih menjadi ragu-ragu. Sementara itu, Raden Ranggapun telah menarik kekang kudanya sehingga kudanyapun telah berputar. Marilah. ajak Raden Rangga. Glagah Putihpun telah memutar kudanya pula dan keduanyapun berpacu kembali ke Ka li Opak. Namun mereka sudah tidak menjumpai orang-orang itu berada di tempatnya. Yang ada tinggallah bekas-bekas jejak kaki mereka. Orang yang telah dikenai batu itupun telah dibawa pula oleh kawan-kawannya Sementara itu, orang yang mengail itupun t elah tidak ada ditempatnya pula. Tetapi kail dan ikan yang pernah didapatkannya ternyata tertinggal ditempat ia mengail. Kita terlambat menyadarinya. Raden Rangga mengangkat bahu. Glagah Putih mengangguk-angguk sambil menjawab, Ya. Agaknya kita memang harus men carinya. Raden Rangga mengangguk-angguk. Keduanyapun kemudian memutar kuda mereka sekali lagi dan meneruskan perjalanan mereka ke Jati Anom. Ternyata kuda-kuda itu memang kuda-kuda yang sangat baik. Namun keduanya tidak b erpacu sepenuhnya agar perjalanan mereka tidak menarik perhatian orang-orang yan g berpapasan. Meskipun ada juga orang-orang berkuda yang berjalan searah dan did ahului merasa tersinggung juga karena kuda kedua anak muda itu sangat baik dan t egar. Kita akan langsung menuju ke padepokan Kiai Gringsing saja. berkata Glagah Putih, b

aru kemudian kita dapat singgah dirumah ayah dan kakang Untara. Jika perlu kita dapat singgah pula di Sangkal Putung menengok kakang Swandaru. Raden Rangga mengangguk-angguk, Katanya, Kita singgah di Sangkal Putung jika ada waktu. Aku tidak begitu akrab mengenal Swandaru. Agaknya ia lain dari Agung Seda yu, meskipun gurunya seorang. Glagah Putih mengangguk-angguk. Iapun tidak begitu dekat dengan saudara sepergur uan kakak sepupunya itu. Ketika mereka memasuki Jati Anom, maka Glagah Putih telah memilih jalan yang lan gsung menuju kesebuah padepokan kecil. Padepokan yang dihuni oleh Kiai Gringsing . Mudah-mudahan Kiai Gringsing ada di padepokan. berkata Glagah Putih. Jika ia berada di Sangkal Putung, kita terpaksa pergi ke sana. desis Raden Rangga. Kedua anak muda itupun kemudian menyusuri jalan dimuka sebuah padepokan kecil. K etika mereka berhenti didepan regol yang terbuka, maka merekapun telah melihat s eorang penghuni padepokan itu. Seorang cantrik yang sedang menyiangi tanaman di halaman samping. Keduanyapun kemudian meloncat turun dari kudanya dan menuntun memasuki halaman. Kedatangan mereka telah mengejutkan cantrik yang sedang sibuk di halaman samping . Iapun segera berlari-lari menyongsong keduanya sambil berdesis, Selamat datang di padepokan kecil ini. Glagah Putih tersenyum. Ketika cantrik itu minta kendali kuda mereka, maka kedua nyapun telah menyerahkannya. Cantrik itu menuntun kudanya kebawah sebatang pohon yang rindang dan menambatkannya. Namun untuk sesaat ia sempat menepuk leher kud a itu sambil berkata, Kuda-kuda yang luar biasa. Kenapa? bertanya Glagah Putih. Jarang kita menemui kuda setegar kuda-kuda ini. jawab cantrik itu. Glagah Putih tersenyum. Namun kemudian iapun bertanya, Apakah Kiai Gringsing ada di padepokan? Ada. jawab cantrik itu, silahkan duduk. Kiai ada di pategalan dibelakang padepokan ini. Aku akan menyampaikan kehadiran kalian kepada Kiai Gringsing. Kedua anak muda itupun ketnudian naik kependapa padepokan dan duduk diatas tikar pandan yang putih. Ketika mereka sempat mengedarkan pandangan mereka, maka namp ak piataran depan dan halaman samping yang bersih dan terawat rapi. Agaknya Kiai Gringsing benar-benar berusaha untuk membatasi dirinya didalam padep okan ini. berkata Raden Rangga. Mungkin. Tetapi cantrik cantriknya cukup trampil untuk memelihara padepokan ini j ika Kiai Gringsing keluar. jawab Glagah Putih. Raden Rangga mengangguk angguk Agaknya Kiai Gringsing berhasil menuntun para can triknya untuk menjaga agar padepokan kecil itu tetap nampak besih dan segar. Namun tiba-tiba Raden Rangga itu bertanya, Tetapi apakah para cantrik juga mendap at tuntunan olah kanuragan dan ilmu kawijayan? Glagah Putih mengerutkan keningnya. Kemudian perlahan-lahan ia menggeleng. Jawab nya, Aku tidak tahu Raden. Raden Rangga mengangguk angguk Karena Giagah Putih tidak dapat menjawab pertanya annya, maka iapun kemudian telah menjawabnya sendiri, Barangkali sedikit sedikit saja. Tentu tidak akan seperti Agung Sedayu dan Swandaru. Glagah Putih mengerutkan keningnya, Namun iapun hanya mengangguk kecil saja. Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsingpun telah muncul dari samping pendapa. Deng an wajah yang lembut cerah ia menyambut kedatangan Raden Rangga dan Glagah Putih . Itulah sebabnya maka sehari-harian burung prenjak selalu berkicau di halaman sebe lah kanan, berkata Kiai Gringsing sambil tersenyum. Anak-anak muda itu mengangguk-angguk hormat. Dengan nada rendah Raden Rangga ber kata, Maaf Kiai. Kami datang tanpa memberitahukan lebih dahulu. Ah, seperti apa saja. sahut Kiai Gringsing, seolah-olah aku adalah orang yang sanga t penting yang harus membagi waktu sebaik-baiknya. Aku merasa gembira sekai Rade n dan Glagah Putih tiba-tiba saja muncul di padepokan yang sepi ini. Tetapi untu nglah bahwa kalian datang hari ini. Jika kalian datang kemarin aku tidak berada di padepokan. Kemarin Kiai pergi ke mana? bertanya Raden Rangga.

Tiga hari aku berada dl Sangkal Putung. Baru semalam aku kembali. jawab Kiai Gring sing yang kemudian duduk bersama mereka. Orang tua itupun kemudian menanyakan ke selamatan perjalanan kedua anak muda itu, serta orang-orang yang ditinggalkannya di Tanah Perdikan Menoreh. Kami memang baru saja datang dari Menoreh langsung kemari. Glagah Putih kemudian m enjelaskan, kami tidak singgah di Mataram. Baru dari Jati Anom kami akan ke Matar am. Apakah Raden Rangga juga dari Tanah Perdikan Menoreh? bertanya Kiai Gringsing. Ya Kiai. jawab Raden Rangga, Aku berada dl Tanah Perdikan selama tiga hari. O. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu katanya, sudah agak lama kalian tidak dat ang ke padepokan ini. Glagah Putihpun juga sudah beberapa lama tidak mengunjungi ayahnya dan kakaknya Untara. Ya Kiai. sahut Glagah Putih, itulah sebabnya sekarang aku memerlukan datang kemari. Jadi kalian hanya sekedar berkunjung saja? bertanya Kiai Gringsing. Glagah Putih dan Raden Rangga saling berpandangan sejenak. Namun yang sejenak it u telah memberikan kesan bagi Kiai Gringsing. Meskipun kedua anak muda itu belum mengatakan sesuatu, namun Kiai Gringsing telah mendahuluinya, Baiklah. Aku tahu, ada sesuatu yang akan kalian katakan. Tetapi sebaiknya kalian tidak tergesa-ges a. Kita mempunyai waktu yang panjang. Bukankah kalian tidak tergesa-gesa? Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, Kiai, kami memang mempunyai keperluan. Namun kami memang tidak tergesa-gesa, karena aku masih aka n mengunjungi ayah dan kakang Untara. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu katanya, Jika demikian kita tidak perlu me mbicarakan sekarang. Kalian tentu masih lelah dan ingin beristirahat. Glagah Putih dan Raden Rangga tersenyum. Sementara itu Raden Rangga berkata, Namp aknya memang segar sekali beristirahat di padepokan kecil ini Kiai. Rasa-rasanya kami ingin melihat-lihat barang sejenak. Sebentar Raden. jawab Kiai Gringsing, para cantrik baru mempersiapkan sekedar penaw ar haus bagi Raden. Sebenarnyalah, sejenak kemudian para cantrikpun telah menghidangkan minuman pana s serta beberapa potong makanan. Ketela yang direbus dengan santan dan garam, se rta jagung muda yang direbus pula. Setelah mereka menikmati hidangan itu, maka kedua anak muda itu sempat melihat-l ihat halaman dan kebun padepokan kecil itu serta berbicara dengan beberapa orang cantrik yang pada umumnya sudah mengenal Glagah Putih. Baru kemudian kedua anak muda itu minta diri untuk pergi ke Banyu Asri dan berkunjung ke rumah Untara. Kiai Gringsing mengantar keduanya sampai keregol sempat juga mengagumi kedua eko r kuda itu. Katanya, Rasa-rasanya ingin aku kembali menjadi anak muda jika aku be rkesempatan memiliki kuda yang tegar seperti itu. Glagah Putih dan Raden Rangga hanya tertawa saja. Sementara itu merekapun telah meninggalkan padepokan itu menuju ke Banyu Asri, kerumah keluarga Widura yang su dah tidak lagi menjadi seorang prajurit, karena iapun menjadi semakin tua dan ag aknya ia telah memutuskan untuk mendekatkan hidupnya kekedamaian. Kedatangan Glagah Putih dan Raden Rangga diterima dengan penuh kegembiraan. Baga imanapun juga Glagah Putih pernah menjadi anak yang sedikit manja dilingkungan k eluarganya. Karena itu kedatangannya benar-benar membuat suasana rumahnya menjad i cerah. Ayahnya sempat mempertanyakan keadaan Tanah Perdikan Menoreh yang sudah lama tidak dikunjunginya. Glagah Putihpun kemudian telah menceriterakan bukan hanya serba sedikit, tetapi cukup panjang dan luas tentang Tanah Perdikan Menoreh. Terutama tentang Agung Se dayu dan isterinya Sekar Mirah serta orang yang juga menjadi gurunya. Kiai Jayar aga serta tentang Ki Gede Menoreh sendiri. Bahkan Glagah Putih telah menceritera kan pula keadaan terakhir yang berkembang di Tanah Perdikan sehingga akhirnya ia dan Raden Rangga telah terseret kedalam peristiwa yang terjadi di Mataram. Untuk itu maka kami telah mendapat semacam hukuman. Kami berdua harus menelusur j alur yang terputus dari orang yang cirinya dikenal sebagai orang-orang perguruan Nagaraga. Namun sama sekali belum ada petunjuk tentang perguruan itu. Baru pada saat kami siap akan berangkat, maka kami harus singgah pula di Mataram, Ki Pati h Mandaraka akan memberikan sedikit petunjuk, karena yang diketahuinyapun hanya sedikit pula. berkata Glagah Putih.

Widura menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia mencela tingkah laku anaknya se hingga menimbulkan kemarahan Panembahan Senapati. Tetapi ketika ia menyadari keh adiran Raden Rangga, maka niatnya itupun telah diurungkannya. Meskipun demikian Widura itupun berkata, Satu pengalaman bagimu Glagah Putih. Amb illah arti dari peristiwa itu bagi perkembangan kepribadianmu kemudian. Glagah Putih menundukkan kepalanya. Sementara itu Raden Ranggapun mengangguk-ang guk tanpa menjawab sama sekali. Namun sekali-sekali ia sempat memandang Glagah P utih dengan sudut matanya. Sebenarnyalah Ki Widura merasa cemas akan tugas yang dibebankan oleh Panembahan Senapati kepada kedua anak-anak yang masih terlalu muda itu. Agaknya kemarahan P anembahan Senapati kepada puteranya sudah mencapai puncaknya. Berkali-kali Raden Rangga dianggap telah mencampuri persoalan ayahandanya. Berkali-kali pula ia te lah mendapat peringatan dan bahkan hukuman. Namun agaknya anak itu tidak pernah merasa jera. Dalam beberapa kesempatan Ki Widura mengunjungi Kiai Gringsing dipadepokannya, K iai Gringsing pernah berbicara tentang anak muda itu serta hubungannya yang akra b dengan Glagah Putih. Dan kini ternyata bahwa keduanya telah mendapat hukuman b ersama-sama. Tidak tanggung-tanggung, namun benar-benar satu hukuman yang berat. Ki Widura memang tidak dapat memberikan petunjuk apapun tentang perguruan Nagara ga. Meskipun ia memang pernah juga mendengar, tetapi sama sekali tidak memberika n arah apapun juga karena Ki Widura hanya terbatas pada sekedar mendengar namany a. Kiai Gringsing mungkin mengetahui serba sedikit tentang perguruan itu. berkata Ki Widura, apakah kau telah membicarakannya dengan orang tua itu? Glagah Putih menggeleng. Katanya, Kami belum menyampaikannya kepada Ki Gringsing. Kiai Gringsing menghendaki agar nanti malam saja kita berbicara. Ki Widura mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia bertanya, Malam nanti kau ak an berada dimana? Kami akan tidur dipadepokan ayah. jawab Glagah Putih. Kau tidak tidur disini? bertanya ayahnya pula. Kami akan berbicara tentang perguruan Nagaraga malam nanti. jawab Glagah Putih. Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah ia ingin anaknya berada dirum ah agak lama. Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih akan bermalam dipadepokan. Namun justru karena itu, maka Ki Widura berkata, Baiklah. Biarlah aku yang pergi ke padepokan. Mungkin aku akan dapat ikut mendengarkan pembicaraan kalian dengan Kiai Gringsing tentang perguruan Nagaraga itu. Namun kedua anak muda itu tidak diijinkannya meninggalkan Banyu Asri sebelum mer eka lebih dahulu makan bersama dirumah itu. Baru setelah keduanya mendapat hidan gan makan, maka keduanya telah minta diri untuk pergi ke Jati Anom, mengunjungi kakak sepupu Glagah Putih yang menjadi Senapati prajurit Mataram yang berkeduduk an di Jati Anom. Kedatangan keduanya di Jati Anom memang mengejutkan Untara. Apalagi ketika Glaga h Putih telah menceriterakan apa yang akan mereka lakukan. Jadi kalian harus melacak satu perguruan yang sudah tidak jelas lagi sekarang? ber tanya Untara. Ya jawab Glagah Putih. mudah-mudahan Kiai Gringsing dan Ki Patih Mandaraka dapat me mberikan petunjuk serba sedikit. Untara mengangguk-angguk. Namun kesan yang timbul di dalam hatinya sebagaimana t erjadi pada Ki Widura. Panembahan Senapati agaknya memang benar-benar marah kepa da Raden Rangga sehingga hukuman yang berat itu telah dijatuhkannya. Glagah Puti h yang terlibat dalam kesalahan itupun harus memikul hukuman pula bersamanya. Tetapi Untara tidak mengatakannya. Ia hanya memberikan pesan-pesan atas dasar pe ngalamannya sebagai prajurit. Menelusuri perguruan yang sudah tidak banyak terde ngar lagi akan dapat menjadi sangat berbahaya. Apalagi telah terbukti ada usaha dari perguruan itu untuk langsung menyingkirkan Panembahan Senapati. Jika kalian menemukan padepokan itu, maka masih menjadi pertanyaan, apa yang dapa t kalian lakukan terhadap isi dari perguruan itu. berkata Untara. Kami tidak harus berbuat apa-apa. jawab Glagah Putih, semuanya harus kita laporkan. Panembahan Senapati sendiri akan mengambil langkah-langkah yang perlu. Tetapi mungkin kita akan terbentur pada satu keadaan tanpa pilihan. sahut Raden Ra

ngga, jika orang-orang perguruan itu berani memasuki istana dan langsung bertemu dengan Panembahan Senapati, kenapa kita tidak melakukannya di perguruan itu? Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ditatapnya Raden Rangga untuk beberapa saat. Namun sebelum Glagah Putih mengatakan sesuatu Raden Rangga telah mendahuluinya, Sudahlah. Segala sesuatunya akan kita sesuaikan dengan keadaan. Mungkin kita mem ang tidak akan berbuat sesuatu, karena pesan ayahanda. Agaknya Raden mempunyai pikiran lain. desis Glagah Putih, apakah Raden berniat mela kukannya sebagaimana dilakukan oleh ketiga orang di Mataram itu? Ternyata mereka pun kurang memahami keadaan. Orang yang dengan berani berusaha bertemu langsung dengan Panembahan Senapati itupun akhirnya tidak mampu berbuat sesuatu. Jadi kau juga mempunyai perhitungan serupa atas kita seandainya kita memasuki per guruan itu? bertanya Raden Rangga. Bukan akhir dari peristiwanya, tetapi kita memang belum mempunyai gambaran sama s ekali tentang isi padepokan itu, sebagaimana ketiga orang Nagaraga yang memasuki istana Mataram. jawab Glagah Putih. Raden Rangga tersenyum. Katanya, Baiklah. Kita tidak usah membicarakannya. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Untarapun berkata, Kalian m emang harus berhati-hati. Sangat berhati-hati. Seandainya yang harus kalian laku kan bukan satu hukuman, maka kalian berdua dapat mengajak orang lain yang akan d apat membantu kalian. Misalnya Agung Sedayu dan Swandaru. Tetaps aku tidak tahu, apakah hal itu akan dibenarkan oleh Panembahan Senapati. Raden Ranggalah yang menjawab, Aku tidak berani melakukannya. Mungkin ayahanda ti dak membenarkan. Bahkan mungkin akan dapat menambah kemarahan ayahanda sehingga Agung Sedayu dan Swandaru akan terpercik oleh kesalahanku. Karena itu, biarlah a ku dan Glagah Putih sajalah yang berangkat menelusuri jejak orang-orang Nagaraga itu. Untara menarik nafas dalam-daiam. Ia menyadari, bahwa yang dikatakan oleh Raden Rangga itu benar. Karena itu, maka Untara tidak membicarakannya lagi. Namun yang kemudian dipesankan adalah, bahwa keduanya harus mampu menilai keadaan sebaik-b aiknya sehingga mereka tidak akan terjerumus sekedar karena dorongan perasaan. Kalian harus tetap mempergunakan nalar sebaik-baiknya menghadapi keadaan yang pal ing gawat. berkata Untara, jika kalian kehilangan penalaran dan sekedar terdorong oleh perasaan, maka kalian akan dengan mudah terjerumus kedalam kesulitan dan ba hkan mungkin kalian tidak akan mampu mengurai kesulitan itu. Kedua anak itu mengangguk-angguk. Mereka menyadari, bahwa Untara adalah seorang Senapati yang memiliki pengalaman yang sangat luas sehingga yang dikatakan itu t entu bukan sekedar omong kosong. Karena itu, maka kedua anak muda itu telah memp erhatikannya dengan bersungguh-sungguh, sehingga semua pesan itu akan menjadi be kal perjalanan mereka yang berbahaya itu. Ternyata Glagah Putih dan Raden Rangga tidak terlalu lama berada dirumah Untara. Mereka harus segera kembali ke padepokan untuk berbicara dengan Kiai Gringsing tentang persoalan yang sama sebagaimana mereka persoalkan dengan Untara dan Ki W idura. Kalian akan bermalam di padepokan Kiai Gringsing? bertanya Untara. Ya kakang. jawab Glagah Putih, Kiai Gringsing akan memberikan beberapa petunjuk. Mu dah-mudahan petunjuknya akan dapat memberikan jalan agar usaha kami dapat berhas il. Untara mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya pula, kapan kalian berang kat? Besok kami akan kembali ke Mataram, mohon diri kepada Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka yang juga akan memberikan bekal kepada kami. jawab Glagah Putih. Baiklah. berkata Untara sambil mengangguk-angguk kecil, jika besok kalian tidak sem pat singgah, ingat-ingat sajalah pesanku. Aku akan ikut berdoa semoga perjalanan kalian berhasil dengan selamat. Namun sadari sepenuhnya perjalanan kalian bukan sekedar perjalanan pengembara yang seakan-akan asal saja berjaian menyusuri bul ak dan padukuhan. Tetapi perjalanan kalian adalah perjalanan yang sangat berbaha ya. Benar-benar berbahaya. Terima kasih. sahut Raden Rangga, kami akan selaiu mengingat pesan itu.Kami sadari bahwa yang kami lakukan adalah laku dari satu hukuman yang dibebankan kepada kam i dari ayahanda Panembahan Senapati yang tidak dapat kami ingkari.

Semoga perjalanan kalian dilindungi oleh Yang Maha Kasih. berkata Untara bersunggu h-sungguh. Dermkianlah maka kedua anak muda itupun meninggalkan rumah Untara kembaii ke pad epokan kecil yang dihuni oleh Kiai Gringsing. Mereka ingin segera mendapat petun juk-petunjuk tentang perguruan yang disebut perguruan Nagaraga itu. Dengan kuda-kuda mereka yang tegar, mereka menuju ke padepokan menyusuri jalan-j alan Kademangan yang termasuk ramai, justru karena di Kademangan itu terdapat se pasukan prajurit Mataram. Sementara itu, jalan-jalanpun telah menjadi suram karena matahari telah terbenam . Lampu-lampu minyak telah mulai diyalakan di dalam rumah-rumah dan bahkan dibeb erapa pintu regolpun telah menyala pula oncor jarak atau dlupak kecil yang nyala nya terayun-ayun ditiup angin. Bahkan kadang kadang nyala itu telah mati sendiri apabila angin bertiup lebih keras lagi. Ketika kedua orang anak muda itu sumpai di padepokan kecil, mereka melihat seeko r kuda berada di halaman. Baru ketika mereka turun ke halaman, mereka melihat di pendapa Ki Widura justru sudah berada di padepokan itu. Ayah telah datang lebih dahulu. desis Glagah Putih. Raden Rangga tersenyum. Katanya, kau memang anak manja. Dimana-manakau telah dima njakannya. Kenapa aku manja? bertanya Glagah Putih. Raden Rangga tidak segera menjawab. Tetapi ia justru tertawa. Baru kemudian kata nya, Jika kau pergi bersama ayahmu dari Banyu Asri, kau tentu digandengnya agar t idak terperosok di jalan licin. Ah, Raden mengada-ada saja. desis Glagah Putih. Tetapi Raden Rangga tertawa lebih keras, sehingga justru terdengar dari pendapa, sehingga Ki Widura telah berpaling. Ki Widurapun kemudian melihat Glagah Putih dan Raden Rangga memasuki halaman. Se orang cantrik telah menerima kuda mereka dan membawanya kesamping. Sementara itu , Glagah Putih dan Raden Rangga pun telah pergi ke pendapa pula. Ayah sudah lama? bertanya Glagah Putih. Belum terlalu lama. jawab Ki Widura. Ayah belum bertemu dengan Kiai Gringsing? bertanya Glagah Putih pula. Sudah. jawab Widura, sudah agak lama aku berbincang dengan Kiai Gringsing. Lihat, d isini sudah ada dua buah mangkuk minuman dan beberapa potong makanan. Glagah Putihpun mengangguk-angguk. Berdua dengan Raden Rangga keduanya telah dud uk pula bersama Ki Widura sambil menunggu kehadiran Kiai Gringsing yang baru per gi ke dalam. Tetapi yang muncul lebih dahulu adalah hidangan buat Raden Rangga dan Glagah Put ih. Baru kemudian Kiai Gringsing keluar dari ruang dalam sambil tersenyum. Ayahmu datang lebih dahulu Glagah Putih. berkata Kiai Gringsing. Kami singgah di rumah kakang Untara. jawab Glagah Putih. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia sudah tahu bahwa keduanya singgah dirumah U ntara sebagaimana dikatakan oleh Ki Widura. Beberapa saat kemudian mereka telah berbicara tentang banyak hal. Tentang perkem bangan padepokan kecil itu. Tentang Kademangan Jati Anom yang semakin besar kare na Kademangan itu telah terpilih menjadi tempat kedudukan pasukan Mataram yang d ipimpin oleh Untara. Sementara itu Untara telah menyediakan rumahnya sendiri bag i kepentingan pasukannya, tanpa terpikir olehnya bahwa rumah itu termasuk warisa n yang harus dibaginya dengan Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu sendiri telah mel upakannya pula sebagaimana Untara tidak pernah menghiraukannya. Mereka juga sempat berbicara tentang Tanah Perdikan Menoreh, bahkan tentang Mata ram yang baru dibayangi oleh hadirnya satu kekuatan dari perguruan yang disebut perguruan Nagaraga. Dengan pijakan pembicaraan itu, mulailah Glagah Putih dan Raden Rangga membicara kan tugas mereka untuk menelusuri perguruan yang tidak lagi banyak dikenal. Mungkin Kiai dapat memberikan beberapa petunjuk tentang perguruan itu. berkata Gla gah Putih kemudian setelah ia menceriterakan apa yang pernah dialami dan tugas y ang diberikan kepada Raden Rangga dan kepadanya. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, Nagaraga adalah nama sebuah pe rguruan yang sudah lama tidak banyak menunjukkan kegiatannya. Karena itu, agak m

engherankan jika tiba-tiba satu kegiatan yang besar dan menentukan telah dilakuk an, bahkan menyangkut orang dalam jumlah yang besar. Ya Kiai. sahut Raden Rangga, perguruan itu tentu membawa orang yang cukup banyak. S epuluh orang telah mengacaukan Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu, yang terak hir masih kami jumpai beberapa orang lagi di pinggir Kali Opak. Sedangkan mereka yang berusaha untuk menyingkirkan ayahanda Panembahan Senapati adalah tiga oran g yang tentu memilik ilmu yang tinggi. Tanpa ilmu itu mereka tidak akan berani m engambil langkah yang sangat berbahaya itu secara langsung. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ternyata Kiai Gringsingpun mempunyai pendapat sebagaimana pendapat sebelumnya, bahwa perguruan yang demikian itu memang dapat menjadi perguruan yang berbahaya. Selama perguruan itu seakan-akan tenggelam, te rnyata bahwa perguruan itu justru telah. menempa diri dalam lingkungan tertutup, untuk pada sua tu saat melenting dengan kemampuan yang sangat tinggi. Tetapi tiga orang diantara mereka telah terbunuh. berkata Raden Rangga, Menurut pen dapatku, tentu orang, yang terpenting dari perguruan itulah yang telah datang ke Mataram dan berusaha untuk dengan langsung menyingkirkan ayahanda Panembahan Se napati. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, Aku sependapat denga Raden, Tetapi mas ih harus dipertanyakan, apakah orang yang datang kepada Panembahan Senapati itu adalah orang tertinggi dari padepokan itu. Orang itu tentu merasa dirinya mumpun i, Namun mungkin masih ada orang lain yang memiliki ilmu pada tataran yang sama atau bahkan diatasnya. Raden Rangga mengangguk-angguK. Sambil mengerutkan keningnya ia berdesis, Mungkin Kiai. Itulah. sebabnya kami ingin mendapat petunjuk, apakah yang sebaiknya kami lakukan. Dan kemana kami harus mengambil langkah pertama dalam tugas kami. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dipandanginya Widura sejenak namun kemudian ka tanya, Raden, menurut pengenalanku, perguruan Nagaraga adalah sebuah perguruan ya ng besar pada masanya. Pada dasarnya perguruan Nagaraga adalah perguruan yang me ngutamakan kemampuan olah kanuragan. Mereka tidak banyak mempelajari ilmu kajiwa n dan kesusasteraan. Raden Rangga dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Pengenalan mereka yang pertama atas perguruan itu telah membuat jantung mereka berdebar-debar. Jika yang dikata kan Kiai Gringsing itu benar, maka mereka tentu akan berhadapan dengan orang-ora ng yang memiliki ilmu yang tinggi, namun tidak beralaskan dengan penalaran yang mapan, sehingga tingkat ilmu mereka justru akan dapat menjadi sangat berbahaya. Sifat yang demikian itulah agaknya yang telah berani membawa mereka langsung unt uk bertemu dengan Panembahan Senapati. Sementara itu KiaiGringsingpun kemudian berkata, Menurut pengenalanku, perguruan Nagaraga mengenal ciri yang ada pada setiap murid dari perguruan itu, yaitu luki san seekor ular yang terdapat di bagian manapun dari tubuhnya atau pada pakaiann ya. Jadi tidak semuanya sama? bertanya Raden Rangga. Lukisan itu sama atau mirip. Seekor Naga yang sedang marah dengan taring yang pan jang, mata yang bagaikan memancarkan api dengan tanda kebesaran di kepalanya. Ta nda kebesaran itulah yang agaknya berbeda. Ada yang berupa mahkota, songkok atau sekedar jamang di atas telinganya yang tumbuh sebagaimana daun telinga kita. jaw ab Kiai Gringsing. Raden Rangga dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Raden Rangga berkata, Ya Kiai. Orang-orang yang terbunuh di Mataram itu mempergunakan ciri-ci ri Naga, sehingga baik Eyang Mandaraka maupun ayahanda Panembahan Senapati mendu ga bahwa mereka adalah orang-orang dari perguruan Nagaraga. Seandainya pada keti ga orang itu tidak terdapat ciri-ciri itu, maka tugasku akan menjadi semakin ber at karena tidak ada petunjuk tentang mereka sama sekali. Ciri pada orang-orang y ang terbunuh itu terdapat pada timang diikat pinggang mereka. Pada kamus yang me reka pakai terdapat timang yang bertatahkan seekor Naga yang nampaknya sangat ga rang. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, Ciri itu memang dekat sekali dengan ci ri perguruan Nagaraga. Karena itu, maka untuk langkah pertama, sebaiknya kalian memang melihat perguruan Nagaraga itu. Jika Ki Patih Mandaraka telah menyebutnya , maka aku kira orang-orang itu memang datang dari perguruan Nagaraga.

Tetapi arah manakah yang harus aku ambil untuk mendekati sasaran itu Kiai? bertany a Raden Rangga. Kalian harus pergi ke Timur. Memang mungkin padepokan Nagaraga sudah pindah ketem pat yang tidak aku ketahui. Tetapi menurut pengenalanku, padepokan Nagaraga ada dilereng Gunung Lawu di sisi Utara. Diantara ujung Kali Sawur dan Kali Lanang. D aerah itu sebenarnya masih merupakan daerah yang berhutan lebat. Tetapi agak keb awah sudah terdapat padukuhan-padukuhan kecil satu dua. Diatas padukuhan-padukuh an yang jarang itu terletak sebuah padepokan yang disebut padepokan Nagaraga. jaw ab Kiai Gringsing. Jadi kami harus mendaki lereng Gunung Lawu diantara kedua sungai itu? bertanya Rad en Rangga. Letak padepokan itu tidak terlalu tinggi disisi Utara. jawab Kiai Gringsing, aku se ndiri belum pernah memasuki padepokan itu pada waktu itu. Tetapi aku pernah lewa t tidak terlalu jauh dari padepokan itu. Namun itu sudah terjadi lama sekali dal am masa mudaku. Dan sekarang aku tidak tahu, apakah padepokan itu masih tetap be rada disitu. Apakah Kiai mengetahui, satu atau dua buah nama dari para penghuni padepokan itu pada waktu itu? bertanya Glagah Putih. Aku mengenal nama pemimpin dari perguruan itu. Namanya memang Nagaraga. Pada wakt u aku masih muda, pemimpin padepokan itu sudah setua aku sekarang agaknya. jawab Kiai Gringsing, namun orang lain dari penghuni padepokan itu aku tidak mengenal l angsung. Tetapi aku mengenal beberapa sebutan yang dipergunakan oleh mereka, Seo rang diantara mereka dipanggil sebagai Weling Putih. Seorang lagi yang terkenal pada waktu itu adalah Serat Gadung. Sedangkan seorang yang terkenal kekasarannya disebut Bandotan Abang. Kiai mengenal orang-orang itu satu demi satu? bertanya Glagah Putih pula. Aku hanya pernah melihat mereka, tetapi aku belum pernah berhubungan secara langs ung. Juga perguruanku tidak pernah secara langsung berhubungan dengan perguruan Nagaraga baik dalam arti persahabatan maupun sebaliknya. Jawab Kiai Gringsing. Glagah Putih mengangguk-angguk. Memang dapat dmengerti bahwa pengenalan Kiai Gri ngsingpun sangat terbatas. Agaknya Ki Patih Mandarakapun hanya dapat memberikan keterangan tidak lebih jelas dari Kiai Gringsing. Namun dalam pada itu Kiai Gringsing berkata selanjutnya, Yang harus diperhatikan Raden, bahwa padepokan itu menurut pengenalanku adalah sebuah padepokan yang san gat menghormati ular sebagai binatang penolong dan mungkin penyelamat mereka. Ka rena itu mereka telah mempergunakan ciri ular pada tubuh atau pakaian mereka, ya ng pernah aku lihat, seorang murid padepokan itu telah menggambari punggungnya d engan gambar seekor naga yang berwajah mengerikan. Marah, dendam dan memancarkan kebencian. Aku tidak tahu kenapa ungkapan kemarahan itulah yang nampak pada cir i yang mereka pergunakan. Padahal menurut pengenalanku, perguruan ini tidak bany ak melakukan perbuatan yang tercela. Sekali lagi pada waktu itu. Raden Rangga mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Gringsing melanjutkan, Tetapi Raden. Disamping semuanya itu, ada satu ceritera yang pernah aku dengar sentang perguruan itu. Dibelakang padepokan Nagaraga terdapat sebuah goa. Di dalam goa i tu terdapat seekor ular naga yang besar yang dianggap sebagai binatang yang sang at dihormati oleh seisi padepokan itu. Tetapi sekali lagi aku peringatkan, bahwa pengenalanku itu kira-kira sudah berlalu empatpuluh tahun bahkan lebih. Tidak m ustahil bahwa perubahanpun sudah banyak ter jadi. Apakah ular itu benar-benar ad a atau tidak, aku juga tidak tahu, karena aku memang belum pernah melihatnya. Te tapi goa yang dimaksud itu memang benar-benar ada dibelakang padepokan Nagaraga. Tiba-tiba saja jantung Raden Rangga berdebar semakin cepat. Ia tidak mengerti ap a yang telah bergejolak di dalam hatinya. Namun ketika Kiai Gringsing menyebut s eekor naga yang besar ada di goa dibelakang padepokan itu, Raden Rangga merasa s eolah-olah denyut jantungnya menjadi semakin cepat. Namun Raden Rangga berusaha untuk menguasai perasaannya. Dengan demikian maka ti dak seorangpun diantara mereka yang duduk melingkar itu melihat perubahan yang h anya sekejap itu. Sementara itu Glagah Putihlah yang telah bertanya, Apakah selama ini Kiai tidak p ernah mendengar atau bahkan berhubungan meskipun tidak langsung dengan perguruan Nagaraga itu?

Seperti yang aku katakana. berkata Kiai Gringsing, nama perguruan itu hampir hilang . Akupun tidak pernah mendengar dan berhubungan lagi. Banyak kemungkinan telah t erjadi. Antara lain, perguruan itu sengaja mengurung diri untuk pada suatu saat muncul dalam tataran yang jauh lebih tinggi. Glagah Putih dan Raden Rangga mengangguk-angguk. Mereka sudah mendapat gambaran serba sedikit tentang perguruan itu, meskipun gambaran yang diberikan oleh Kiai Gringsing itu terjadi sekitar empatpuluh tahun yang lalu. Memang banyak perubaha n dapat terjadi. Namun Kiai Gringsing telah dapat memberikan ancar-ancar kemana arah mereka harus pergi. Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing telah berkata selanjutnya, Karena itu anak-a nak muda, ada satu hal yang perlu kalian perhatikan. Daerah itu adalah daerah se kelompok orang yang berhubungan sangat erat dengan ular. Dengan demikian, maka d apat diperhitungkan bahwa kalian akan segera berhubungan dengan bisa dan racun. Karena itu, maaf Raden, aku ingin bertanya, apakah Raden memiliki penawar racun? Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian menyahut, Aku memilikiny a Kiai Gringsing. Meskipun mungkin tidak terlalu baik. Tetapi seperti ilmuku yan g lain, tiba-tiba saja aku menjadi tawar racun dan bisa setelah dimalam hari aku bermimpi menyadap dan kemudian minum getah dari pohon yang tidak aku kenal dida lam kehidupan sehari-hari. Bagaimana Raden tahu, bahwa Raden menjadi tawar racun? bertanya Kiai Gringsing. Aku mendapat pemberitahuan. Dan aku memang sudah mencobanya. Aku telah pernah men coba dengan goresan-goresan kecil dari jenis-jenis besi dan senjata yang beracun . Mula-mula yang racunnya lemah. Namun semakin lama semakin kuat. Akupun pernah digigit ular berbisa, namun ternyata bisanya tidak berpengaruh apa-apa atasku. ja wab Raden Rangga. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, Raden telah mempunyai penawar bisa pad a tubuh dan darah Raden. Karena itu, maka Raden tidak lagi cemas menghadapi jeni s-jenis ular yang mungkin banyak terdapat di padepokan Nagaraga. Yang kemudian h arus dipikirkan adalah Glagah Putih. Bagaimanakah kiranya jika Glagah Putih haru s menghadapi jenis-jenis ular yang mungkin terdapat dipadepokan itu. Apalagi see kor ular naga yang berada di dalam goa dibelakang padepokan itu. Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, Ia memerlukan perlindungan bagi tubuhnya . Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, Ia memang memerlukannya. Tetapi Glagah Putih sendiri kemudian berkata, Tetapi bukankah Kiai mempunyai seje nis obat penawar bisa yang dapat dibawa untuk mengobati atau menawarkan bisa apa bila diperlukan? Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, Ya. Aku memang memiliki sejenis obat y ang dapat untuk mengobati orang yang kena racun atau bisa. Tetapi dalam keadaan yang gawat, maka kau akan banyak kehilangan waktu untuk melakukannya. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, Ya. Mungkin aku tidak akan sempat melakukan jika aku berada diantara orang-orang padepokan itu. Apalagi jik a terjadi kekerasan sementara mereka mempergunakan senjata sejenis racun atau bi sa. Tetapi itu bukan merupakan hambatan apalagi harus mengurungkan perjalanan in i. Apapun yang akan terjadi, aku tidak akan berniat untuk menarik diri. Apalagi perjalanan ini adalah perjalanan yang harus aku lakukan. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, Baiklah Kau memang harus berangkat. Ka u tidak akan dapat ingkar dari tugas ini, yang harus kau lakukan bersama Raden R angga. Namun tidak ada salahnya jika kau memiliki bekal yang cukup untuk melakuk annya. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi baginya obat penawar racun dan bi sa itu sudah cukup. Memang mungkin ia tidak akan mempunyai waktu banyak. Jika de mikian yang harus terjadi apaboleh buat. Tetapi tentu ada usaha untuk menghindar kan diri dari sengatan bisa atau racun itu. Kiai Gringsingpun agaknya mengerti juga gejolak jiwa Glagah Putih, ia tidak akan mundur karena itu. Anak itu tentu akan melanjutkan perjalanannya menuju ke lere ng Gunung Lawu untuk mencari jejak orang-orang dari perguruan Nagaraga. Ki Widuralah yang menjadi sangat cemas. Ia menyadari betapa berbahayanya perjala nan anak laki-lakinya yang mendapat tugas untuk melacak orang-orang yang memperg unakan ciri perguruan Nagaraga itu.

Tetapi Ki Widura tidak dapat berbuat apa-apa. Iapun tidak dapat menganjurkan aga r anaknya mengurungkan niatnya. Jika demikian, maka mungkin anaknya akan mendapa t hukuman yang justru lebih berat lagi bersama Raden Rangga. Dalam keadaan yang demikian, maka tiba-tiba Kiai Gringsingpun berkata, Baiklah Gl agah Putih. Aku mengerti bahaya yang dapat mencengkammu diperjalanan. Karena itu , biarlah aku meminjamkan kepadamu benda yang dapat menawarkan racun. Berbeda de ngan Raden Rangga dan kakakmu Agung Sedayu yang memang memiliki kemampuan di dal am dirinya untuk menawarkan racun meskipun berasal dari sumber yang berbeda, mak a aku mempunyai sebuah cincin yang dapat kau pakai dan mempunyai pengaruh yang d apat menawarkan dari gigitan racun dan bisa. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sementara itu Kiai Gringsingpun tersenyum s ambil berkata, Kau dapat meminjamnya selama perjalananmu itu. Sejenak Glagah Putih terdiam la merasa gembira namus juga ragu-ragu. la belum ta hu seberapa jauh pengaruh cincin itu atas kemungkinan sengatan racun dan bisa. Namun dalam pada itu Raden Ranggapun tiba-tiba berkata, Kiai mempunyai cincin yan g dapat menawarkan racun dan bisa? Paman Adipati di Pati juga memilikinya. Sedan gkan Eyang Patih Mandaraka mempunyai sebuah benda semacam gelang yang dibuat dar i akar yang mempunyai kasiat yang sama. Kiai Gringsing mengangguk-anguk. Katanya, Memang ada beberapa jenis benda yang me mpunyai pengaruh demikian. Cincin yang aku katakan itu mengandung sebuah batu ak ik yang berwarna kebiru-biruan dan garis-garis putih di dalamnya. Ketika aku men erima batu akik itu dari seorang yang ikut mengasuhku dimasa mudaku, aku melihat bahwa cincin itu bukan hanya sebuah, tetapi sepasang. Yang satu juga berwarna k ebiru-biruan, tetapi garis-garis yang terdapat didalamnya berwania hitam. Kasiat nya justru kebalikan dari akik pada batu cincin yang akan aku pinjamkan kepada G lagah Putih. Sentuhan akik yang berwarna kebiru-biruan dan bergaris-garis, hitam itu justru mempunyai kekuatan seperti racun dan bisa. Jika seseorang dilukai de ngan cincin yang berbatu kebiru-biruan dan bergaris-garis hitam itu, maka ia aka n mengalami sebagaimana seseorang yang dikenai racun atau bisa. Luka yang timbul itu dapat juga berakibat seperti gigitan seekor ular yang sangat berbisa. O Raden Rangga mengangguk-angguk, apakah cincin itu juga ada pada Kiai Gringsing. Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Katanya, Tidak Raden. Oleh pemiliknya cin cin itu telah dilabuh. Ia tidak yakin bahwa cincin itu akan jatuh ketangan orang yang tidak akan menyalahgunakan. Karena itu, maka cincin itupun telah dilabuh d ilaut. Kiai Gringsing berhenti sejenak, namun kemudian suaranya merendah. Tetapi orang i tu telah mengalami satu goncangan perasaan. Mungkin ia dicengkam oleh keragu-rag uan yang sangat pada saat ia melepaskan cincinnya, sehingga hal itu dilakukannya dengan hati yang kurang ikhlas. Setelah ia melepaskan cincinnya kelaut, maka ia pun telah mengasingkan dirinya dan tidak lagi banyak bergaul. Bahkan akupun kemu dian jarang dapat menemuinya, sampai saatnya Tuhan memanggilnya. Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, Bagus Kiai. Dengan demikian satu lagi pe risai ada pada Glagah Putih. Namun bukankah Kiai mempunyai murid langsung? Kenap a cincin itu tidak Kiai berikan kepada murid-murid Kiai atau salah seorang dari padanya? Bukankah aku tidak memberikannya kepada Glagah Putih? bertanya Kiai Gringsing, dahu lu aku merasa bimbang untuk menyerahkan cincin ini kepada salah seorang muridku. Tetapi ketika Agung Sedayu kemudian telah mampu melindungi dirinya dari racun, maka aku tidak akan mengalami kesulitan lagi, meskipun sampai saat ini aku masih belum menyerahkannya. Justru karena itu, maka aku dapat meminjamkannya kepada G lagah Putih. Raden Rangga berpaling kepada Glagah Putih sambil berkata, Kau memang beruntung. Namun cincin itu bukan berarti kau menjadi tawar segala-galanya. Kau memang tawa r akan racun dan bisa. Tetapi tidak karena sebab lain. Karena itu, kau harus tet ap berhati-hati. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Menilik ujudnya Raden Rangga masih terlalu m uda. Tetapi kadang-kadang ia dapat bersikap sebagai seorang yang dewasa sepenuhn ya. Memberikan petunjuk dan nasehat meskipun jika kenakalannya kambuh, maka ia m emang tidak lebih dari seorang anak-anak. Namun sebenarnyalah Kiai Gringsing telah memberi Glagah Putih bekal yang berharg

a sekali meskipun hanya dapat dipinjamnya selama perjalanan. Sebuah cincin berma ta batu akik yang memiliki pengaruh yang dapat membebaskannya dari gigitan racun dan bisa. Dalam kesempatan itu, bukan saja Glagah Putih yang mengucapkan terima kasih, tet api Ki Widurapun berkata, Kami mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga Kiai . Cincin itu tentu akan sangat berarti bagi Glagah Putih. Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, Aku sendiri jarang sekali memakainya. Tetapi a ku membawanya kemana-mana. Kiai Gringsingpun kemudian telah mengambil cincin itu dari kantong ikat pinggang nya. Sambil menyerahkannya kepada Glagah Putih ia berkata, Cincin seperti ini dap at juga kau pakai untuk mengobati orang lain. Cincin ini dapat kau lekatkan pada luka bekas gigitan ular atau goresan benda-benda beracun. Tetapi jika kau memak ainya hal itu tidak perlu, karena seluruh tubuhmu akan terlindung dari racun dan bisa. Glagah Putih menerima cincin itu dan kemudian memakainya. Namun dalam pada itu R aden Rangga bertanya, Tetapi selama ini Kiai lebih banyak mempergunakan obat-obat an untuk menolong seseorang dari pada mempergunakan cincin ini. Itulah yang akan aku pesankan kepada Glagah Putih. jawab Kiai Gringsing, sebaiknya kalian membawa obat penawar bisa dan racun meskipun tidak terlalu banyak. Hanya jika keadaan memaksa kau dapat mempergunakan cincin itu untuk menolong orang lai n. Karena semakin banyak orang yang tahu bahwa cincin itu berharga maka semakin banyak orang yang menginginkannya. Itu pula sebabnya, aku lebih senang menolong orang lain dengan obat penawar racun dan bisa daripada mempergunakan cincin itu. Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya, Itulah agaknya maka cincin itu tida k pernah nampak di jari Kiai. Ya. jawab Kiai Gringsing, selain aku ingin menyimpannya, agaknya tidak pantas pula aku memakai cincin dijariku. Ki Widura tersenyum. Sementara itu Raden Ranggalah yang menyahut, Memang Kiai, da n yang pantas memakai adalah Glagah Putih. Kiai Gringsingpun tersenyum pula. Katanya kemudian, Memang agaknya cincin itu pan tas dipakainya untuk sementara. Untuk sementara itu sudah cukup. jawab Ki Widura, justru pada saat ia sangat membut uhkannya. Kiai Gringsingpun mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, Namun masih banyak h al yang harus kau perhatikan Glagah Putih. Glagah Putih memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Semua pesan tentu akan ber gunabaginya dan Raden Rangga, karena mereka akan memasuki daerah yang sama sekal i tidak mereka kenal. Glagah Putih. berkata Kiai Gringsing kemudian, meskipun kau telah membawa penawar r acun dan bisa, tetapi sejauh mungkin kau harus menghindarinya. Karena jika kau t ertusuk bisa atau racun, akan terjadi semacam pertarungan di dalam dirimu antara racun itu dengan penawarnya. Jika hal itu terlalu sering terjadi, agaknya akiba tnya akan kurang baik pada tubuhmu. Akibat-akibat lain akan dapat terjadi sehing ga akan dapat menyulitkan tubuhmu sendiri. Glagah Putih mengangguk-angguk. Kemudian katanya, Aku akan berusaha Kiai. Bagus. desis Kiai Gringsing. Lalu katanya kepada Raden Rangga, Raden. Karena kita m asih belum mengenal perguruan itu sebagaimana adanya sekarang, maka sebaiknya Ra den tidak tergesa-gesa. Sebaiknya Raden tidak menentukan lebih dahulu bahwa oran g-orang perguruan Nagaragalah yang bersalah, mungkin kita keliru. Mungkin orangorang yang mempergunakan ciri seekor ular itu bukan orang Nagaraga, karena ada p erguruan lain yang memiliki kepercayaan yang sama tentang ular, Atau mungkin mem ang salah seorang dari perguruan Nagaraga yang telah membangun sebuah perguruan sendiri dan perguruan itulah yang telah memusuhi Mataram dengan cara yang kasar itu. Dengan demikian Raden tidak akan terdorong untuk melakukan kesalahan lagi. Raden Rangga mengangguk-angguk pula. Jawabnya, Baiklah Kiai. Aku akan lebih berha ti-hati. Sudah berapa kali aku melakukan kesalahan, meskipun kadang-kadang yang aku lakukan itu terdorong oleh satu keinginan berbuat sesuatu yang baik. Nah. Jadikanlah hal itu pengalaman. berkata Kiai Gringsing, tidak semua yang Raden lakukan dengan maksud baik itu berakibat baik jika tidak diperhitungkan benar-be nar. Langkah-langkah yang sekedar didorong oleh perasaan tanpa penalaran, atau k

einginan yang tiba-tiba saja melonjak sebelum diperhitungkan masak-masak, akibat nya mungkin sebaliknya dari yang dimaksudkan. Ya Kiai. jawab Raden Rangga, aku sudah sering mengalami. Dalam keadaan seperti ini, rasa-rasanya aku memang akan memperhatikan semua pengalaman yang pernah terjadi atas diriku karena tingkah lakuku. Tetapi jika sudah terlanjur melangkah dan me nghadapi persoaian-persoaian, maka kadang-kadang semuanya itu hilang dari ingata n. Raden harus melatih diri menguasai keinginan dan kehendak. Kiai Gringsing. Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, Aku akan mencoba. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, Namun kemudian ia masih memberikan beb erapa pesan bagi kedua anak muda yang akan menempuh perjalanan itu. Pembicaraan itu berlangsung sampai lewat tengah malam. Baru kemudian Ki Widura minta diri. I apun telah memberikan pesan pula sebagai seorang ayah kepada anaknya. Nah, jika kalian berdua besok pergi, baik-baiklah di jalan. berkata Ki Widura, kali an harus menunjukkan sikap yang baik lahir dan batin. Ya ayah. jawab Glagah-Putih, kami mohon diri. Besok kami akan langsung menuju ke Ma taram minta diri kepada Panembahan Senopati dan Ki Patih Mandaraka. Ki Widura mengangguk kecil. Katanya dengan suara yang dalam, Aku tidak dapat memb eri kalian bekal apapun juga kecuali pesan dan doa. Semoga Tuhan selalu bersama kalian. Demikianlah malam itu, sepeninggal Ki Widura. Glagah Putih dan Raden Rangga masi h sempat beristirahat. Keduanya tidur disebuah bilik diatas sebuah pembaringan b ambu yang setiap kali berderit. Namun dengan demikian. Glagah Putih mengetahui b etapa Raden Rangga menjadi gelisah. Setiap kali Raden Rangga itu beringsut, kemu dian berbalik dan bahkan menelungkup. Dengan hati-hati Glagah Putih kemudian bertanya, Raden nampaknya gelisah sekali. Aku tidak dapat tidur. jawab Raden Rangga. Kenapa? bertanya Glagah Putih pula. Tidak apa-apa. jawab Raden Rangga. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Biasanya Raden Rangga mengatakan kepadanya k egelisahan di dalam hatinya. Namun Glagah Putih tidak mendesaknya. Ia tahu, bahw a pada saatnya Raden Rangga tentu akan mengatakan pula. Namun akhirnya Raden Rangga itupun tertidur pula. Demikian juga Glagah Putih. Pa da saat fajar menyingsing maka keduanyapun telah bersiap-siap. Setelah minum-min uman panas dan makan beberapa potong ketela rebus, maka keduanyapun telah minta diri untuk pergi ke Mataram. Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya Kiai. berkata Glagah Putih, Kia i telah memberikan banyak petunjuk bahkan aku telah mendapatkan perlindungan yan g sangat aku perlukan di perjalanan. Berhati-hatilah. Kiai Gringsing masih berpesan, perjalanan yang akan kalian tempuh adalah perjalanan yang panjang dan berbahaya. Kalian akan pergi ketempat yang be lum pernah kalian datangi. Kami akan berhati-hati Kiai. Raden Rangga mengangguk-angguk. Suaranya dalam nada r endah membayangkan kesungguhan hatinya. Hormatku kepada Panembahan Senopati dan Ki Patih Mandaraka. berkata Kiai Gringsing kemudian, sudah lama, sekali aku tidak datang menghadap. Kami akan menyampaikannya Kiai. jawab Raden Rangga. Apakah kalian akan singgah di Sangkal Putung? bertanya Kiai Gringsing. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Raden Ranggalah yang menjawa b, Lain kali saja Kiai. Kami ingin segera memulai dengan tugas kami ini. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Agaknya keduanya memang tidak terlalu penting untuk singgah, apalagi keduanya memang ingin segera melakukan sesuatu untuk mula i dengan tugas mereka yang mendebarkan itu. Baiklah. berkata Kiai Gringsing, lain kali kalian mempunyai waktu cukup banyak untu k pergi ke Sangkal Putung. Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia tersenyum sambil ber kata, Mudah-mudahan kesempatan itu masih ada juga padaku Kiai. Ah sahut Kiai Gringsing, kenapa Raden berkata seperti itu? Raden Rangga tertawa. Tetapi Glagah Putih menangkap kegelisahan yang tersirat di wajah Raden Rangga. Namun Glagah Putih tidak berkata sesuatu.

Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah minta diri sekali lagi. Kiai Gringsing masih sempat menepuk bahu kedua anak muda itu sebelum mereka meloncat kepunggung kuda mereka sambil berkata, Semoga Tuhan selalu menyertai kalian. Sejenak kemudian maka kedua ekor kuda yang tinggi tegar itu telah berderap menin ggalkan padepokan kecil itu, langsung menuju ke Mataram. Kita singgah di padukuhan yang sedang mengadakan adu binten dan garesan itu? berta nya Raden Rangga. Untuk apa? bertanya Glagah Putih, bukankah baru ampat hari lagi binten itu diseleng garakan? Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, Ya. Baru ampat hari lagi diselenggarakan Merti desa. Baiklah, besok saja jika kita berangkat kearah Timur dari Mataram, kita singgah lagi. Kita akan meninggalkan Mataram kira-kira ampat hari lagi. Apakah kita perlu singgah Raden? bertanya Glagah Putih. Untuk melihat Merti Desa. Terutama lomba binten itu. jawab Raden Rangga. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun bertanya, Raden, apa kah hal itu tidak sekedar menghambat perjalanan? Sementara itu kita menghadapi t ugas yang berat. Tetapi bukankah ayahanda tidak membatasi sejak kapan dan sampai kapan kita harus menyelesaikan tugas itu? jawab Raden Rangga. Glagah Putih tidak menjawab lagi. Namun ia berharap bahwa pada saatnya berangkat nanti Raden Rangga sudah lupa akan keinginannya itu. Sementara itu kuda merekapun berpacu diantara tanah pategalan, padang perdu dan hutan yang tidak terlalu lebat. Namun keduanya titdak mengalami hambatan apapun diperjalanan. Demikian pula ketika mereka berhenti dan beristirahat sejenak dipi nggir Kali Opak untuk mernberi kesempatan kuda mereka minum dan sejenak beristir ahat pula. Orang-orang itu tidak datang lagi. berkata Raden Rangga, sebenarnya kita memerlukan mereka. Glagah Putih hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi diluar sadarnya, Glagah Putih telah memandang berkeliling. Iapun sebenarnya juga mengharap agar orang-orang ya ng diduganya berasal dari sebuah kelompok yang sama dengan mereka yang akan memb akar hutan di Tanah Perdikan Menoreh itu dapat ditemui diperjalanan. Namun ternyata tidak seorangpun diantara orang-orang itu yang mereka jumpai. Den gan demikian maka perjalanan kedua orang anak muda itupun tidak terhambat sama s ekali. Pada saatnya mereka memasuki kota Mataram lewat pintu gerbang sebelah Tim ur. Para prajurit yang melihat Raden Rangga dan Glagah Putih memasuki pintu gerbang, mengangguk hormat. Namun demikian keduanya lewat, seorang diantara para prajuri t itu berdesis, Apalagi yang dilakukan anak muda itu? Kawannya menggeleng. Jawabnya, Entahlah. Tetapi pada saat-saat terakhir Raden Ran gga sudah tidak terlalu banyak membuat ayahandanya pening. Siapa bilang. sahut kawannya, baru-baru saja Raden Rangga membunuh orang yang seben arnya sangat diperlukan keterangannya oleh ayahandanya. Kawannya mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab. Sementara itu Raden Rangga dan Glagah Putih telah meyusuri jalan kota. Tetapi me reka tidak langsung menuju ke istana ayahandanya, tetapi mereka berdua telah men uju ke istana Kepatihan. Ternyata Ki Patih Mandaraka tidak sedang berada diistana Kepatihan. Tetapi Ki Pa tih sedang menghadap Panembahan Senapati. Kebetulan. berkata Raden Rangga, kita dapat tidur dahulu. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Katanya, Aku tidak terbiasa tidur di saat sep erti ini. Jika kau tidak ingin tidur, tidak apa-apa. Akulah yang merasa mengantuk dan ingin tidur sampai eyang Patih Mandaraka datang. jawab Raden Rangga, kita akan menghada p dan memberitahukan hasil perjalanan kita. Eyang tentu tidak tahu bahwa kita te lah singgah pula di Jati Anom dan bertemu dengan Kiai Gringsing, karena kita han ya minta ijin untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh pada waktu itu. Apakah tidak lebih baik jika kita menghadap ke istana saja? bertanya Glagah Putih, maksudku istana Panembahan Senapati. Aku mengantuk. Aku akan tidur saja. jawab Raden Rangga.

Glagah Putih tidak dapat memaksa. Namun ia tidak ingin tidur. Meskipun demikian ia ikut dengan Raden Rangga pergi ke biliknya. Namun Glagah Putih sama sekali tidak membaringkan dirinya sebagaimana dilakukan Raden Rangga. Bahkan Glagah Putih sempat memperhatikan keadaan bilik itu. Namun ternyata ia tidak menjumpai sesuatu yang ganjil yang dapat membuatnya berdebar-d ebar. Ternyata tidak seperti semalam di Jati Anom, demikian memejamkan matanya Raden R angga dapat langsung tidur, sementara Glagah Putih duduk diamben yang lain bersa ndar dinding. Untuk beberapa lama Glagah Putih sempat merenung sambil menunggui Raden Rangga y ang sedang tidur. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih itu menjadi berdebar-debar. Beberapa kali ia m enggosok matanya yang seakan-akan menjadi kabur. Tetapi yang dilihatnya tetap sa ja tidak berubah. Glagah Putih menjadi tegang. Dengan bimbang ia melihat dengan mata wadagnya Rade n Rangga itu telah berubah. Ia masih tetap mengenali orang yang tertidur itu Rad en Rangga. Tetapi ia melihat kelainan pada wajah Raden Rangga itu. Wajah itu buk an lagi menunjukkan wajah seorang anak yang masih sangat muda. Tetapi dalam tidu rnya Glagah Putih melihat seorang yang telah melampaui usia dewasanya. Seorang y ang justru nampak mulai turun keambang usia senjanya. Apa yang terjadi pada mataku. desis Glagah Putih didalam hatinya. Namun Glagah Putihpun kemudian telah memusatkan nalar budinya. la berusaha untuk tidak lagi melihat wajah itu dengan mata wadagnya saja. Tetapi pandangannya tel ah menyeruak menembus langsung menusuk kebalik ujud orang yang sedang tidur itu. Glagah Putihpun telah duduk sambil menyilangkan tangannya did adanya. Dengan dah i yang berkerut ia memusatkan segenap tanggapan indranya, nalar budinya dalam ke heningan yang tajam menukik kedalam kesejatian Raden Rangga itu. Pandangannya yang kabur itu semakin lama menjadi semakin jelas. Ia telah melihat garis-garis wajah itu dengan jelas. Bahkan seakan-akan ia dapat melihat setiap akar rambut yang tumbuh di wajah dan dikepala orang yang sedang tidur nyenyak it u. Namun meskipun tangkapan penglihatan batinnya atas wajah itu menjadi semakin jel as, tetapi wajah itu tidak berubah. Raden Rangga yang tidur itu tidak nampak seb agaimana Raden Rangga sehari-hari meskipun ia tetap mengenalinya bahwa orang itu adalah Raden Rangga. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun Glagah Putih justru terkejut ketika ia melihat Raden Rangga itu bergerak m enggeliat dan bahkan kemudian bangkit. Dengan heran Raden Rangga itu melihat sik ap Glagah Putih, sehingga iapun telah bertanya, Apa yang kau lakukan Glagah Putih ? Glagah Putih telah mengurai sikapnya. Sekali lagi ia mengusap matanya. Yang berb icara itu adalah Raden Rangga yang dikenalnya sehari-hari. Wajahnya masih kekana k-kanakan. Matanya menyorotkan gejolak perasaannya dengan lugu lugas. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak ingin menyembunyikan penglihata nnya itu atas Raden Rangga. Bahkan iapun kemudian telah berkata, Untuk kesekian k alinya Raden Rangga telah memaksa aku melakukan suatu yang belum pernah aku laku kan. Apa? bertanya Raden Rangga, bukankah aku tidak berbuat apa-apa. Aku hanya tidur nye nyak karena aku merasa letih Raden. berkata Glagah Putih, sebagaimana aku berhasil mengalirkan udara panas dari dalam diriku ke dalam tubub Raden di Tanah Perdikan, kemudian atas dorongan Rade n aku telah memaksa diriku pula menghayati ilmu yang ternyata amat berarti bagik u, karena dengan demikian aku telah mampu melontarkan serangan dari jarak terten tu, dan kini Raden telah memancing aku untuk melihat tidak dengan mata wadagku. Loncatan-loncatan ilmu ini telah memberikan arti tersendiri bagiku dan usahaku u ntuk meningkatkan ilmuku. Raden Rangga tersenyum. Katanya, Jadi kau telah terpancing untuk melakukan satu s ikap yang sebelumnya tidak kau kuasai dengan sadar, karena aku yakin kau telah m empunyai bekal yang cukup untuk melangkahi tirai yang membatasi kemampuanmu dan ketiadaan kemampuan. Ternyata kau berhasil mengoyak tirai itu sehingga kau berha sil memilikinya.

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Iapun kemudian telah menjelaskan keteranga nnya dari awal sampai akhir. Ia mengatakan apa yang telah dilihatnya dan apa yan g telah dilakukannya dengan serta merta. Raden Rangga mengangguk-angguk. Kemudian katanya, Aku merasa ikut berhasil dengan langkah-langkah majumu. Akupun tidak sengaja berbuat sesuatu untukmu. Tetapi ji ka itu terjadi atasmu, maka kau wajib bersukur dan berterima kasih. Ya Raden. jawab Glagah Putih, aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya at as kesempatan yang telah terjadi itu. Jangan kepadaku. jawab Raden Rangga, tetapi kau telah mendapat petunjuk dari Yang M aha Agung, sehingga kau dapat memilikinya. Namun justru karena itu, maka kau har us mempergunakannya sebaik-baiknya apa yang telah kau punyai itu. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Kini ia hampir tidak percaya bukan kepada ma tanya, tetapi kepada telinganya. Raden Rangga itu menasehatkan kepadanya, agar i a mempergunakan ilmu sebaik-baiknya, sementara dalam dunia kekanak-kanakannya Ra den Rangga sering melakukan sesuatu yang aneh-aneh. Tetapi Glagah Putih tidak menjawab. Ia sadar sepenuhnya siapakah yang sedang dih adapinya itu. Namun keduanya tidak sempat berbicara terlalu panjang. Tiba-tiba s eseorang telah mengetuk pintu biliknya. Siapa? bertanya Raden Rangga. Aku Raden. jawab orang yang mengetuk pintu itu, Ki Patih telah kembali. Ki Patih me merintahkan Raden untuk menghadap. Apakah Eyang tahu bahwa aku sudah pulang? bertanya Raden Rangga. Para pengawal telah memberitahukan kehadiran Raden berdua. jawab suara itu. Baiklah. berkata Raden Rangga, sebentar lagi kami akan menghadap. Kami akan membena hi pakaian kami lebih dahulu. Baiklah Raden. jawab orang itu, tetapi jangan terlalu lama. Raden Ranggapun kemudian bangkit dan membenahi pakaiannya yang kusut. Demikian j uga Glagah Putih, sementara orang yang memanggilnya telah pergi lebih dahulu unt uk memberitahukan kepada Ki Patih Mandaraka bahwa keduanya segera akan menghadap . Ketika keduanya sudah siap, maka Raden Ranggapun berkata, Marilah. Eyang Mandarak a tentu sudah menunggu. Marilah. sahut Glagah Putih. Keduanya segera meninggalkan bilik itu. Sambil berjalan Raden Rangga sempat berk ata, Glagah Putih. Dengan pengalaman itu, kau tentu sudah mampu membedakan antara ujud yang sebenarnya dan ujud semu yang dapat dibangunkan oleh satu jenis ilmu tertentu. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun teringat beberapa keter angan tentang ujud semu dari kemampuan satu jenis ilmu. Namun mereka tidak sempa t memperbincangkannya lagi. Keduanya pun telah menuju keruang dalam untuk mengha dap Ki Mandaraka. Ketika keduanya memasuki ruang dalam, maka mereka melihat Ki Patih telah duduk d iatas sebuah batu hitam beralaskan sehelai kulit harimau yang berwarna kuning ke coklatan. Kemarilah. Ki Patih Mandaraka itu mempersilahkan. Raden Rangga dan Glagah Putihpun kemudian mendekat. Mereka duduk diatas sehelai tikar pandan yang putih dihadapan Ki Patih Mandaraka. Kami sudah menunggu. berkata Ki Patih. Ampun eyang. jawab Raden Rangga, kami menunggu kesiapan Glagah Putih lahir dan bati n. Kakak sepupunya minta aku menunggu barang dua tiga hari di Tanah Perdikan Men oreh, kemudian kami berdua telah pergi ke Jati Anom untuk bertemu dengan Kiai Gr ingsing. Jadi kalian sudah bertemu dengan Kiai Gringsing? bertanya Ki Mandaraka. Ya eyang. Kami telah menemui Kiai Gringsing untuk mendapatkan beberapa petunjuk t entang padepokan dan perguruan Nagaraga. jawab Raden Rangga, namun apa yang diketa hui oleh Kiai Gringsing adalah keadaan padepokan itu kira-kira empatpuluh tahun yang lalu. Sesudah itu Kiai Gringsing tidak lagi mendengar nama dan kegiatan dar i perguruan itu. Namun Kiai Gringsing telah memberikan beberapa ciri yang sesuai dengan pengenalan kita disini atas orang-orang yang terbunuh itu. Ki Patih Mandarakapun mengangguk-angguk, sementara Raden Rangga telah memberikan

keterangan sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gringsing. Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, Kiai Gringsing telah mengatakan se muanya yang aku ketahui tentang padepokan itu. Keteranganku tidak lebih banyak d ari keterangannya. Bahkan Kiai Gringsing telah meminjamkan cincinnya kepada Glag ah Putih sehingga dengan demikian maka Glagah Putih telah membawa bekal perlindu ngan atas dirinya dari racun dan bisa. Karena itu maka kalian benar-benar telah siap untuk pergi. Ya eyang. jawab Raden Rangga, kami telah siap untuk pergi. Ki Patih mengangguk-angguk. Namun dengan nada rendah ia berkata, Tetapi kalian ha rus menyadari bahwa perjalanan kalian adalah perjalanan yang sangat berat. Seben anya aku tidak ingin mengatakan kepada kalian, tetapi jika hal ini terpaksa juga aku katakan, agar kalian tidak mendapat gambaran yang salah dari tugas yang kal ian pikul. Ki Patih itu berhenti sejenak, lalu, tugas ini sebenarnya terlalu berat bagi kalian. Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia berpaling kearah Glagah Putih yang kemudian menunduk. Kami menyadari eyang. berkata Raden Rangga kemudian, tetapi agaknya tugas ini sepad an dengan langkah yang telah kami lakukan dan dianggap salah oleh ayahanda. Namu n restu eyang kami harapkan agar kami dapat melakukan tugas ini dengan baik. Aku akan berdoa untuk kalian. jawab Ki Patih Mandaraka, namun aku tidak menganjurka n agar kalian segera berangkat. Jika aku tergesa-gesa memanggilmu, sebenarnya ka rena aku ingin sekedar mendapat kesan, bagaimana sikap dan tanggapanmu. Tetapi t ernyata bahwa kalian menghadapi tugas kalian dengan hati yang tegar. Karena itu, maka hatikupun menjadi tenang pula karenanya. Namun jika kalian berangkat denga n hati yang kecut dan ragu-ragu, maka agaknya sulit untuk melepaskan kalian dala m keadaan yang demikian. Padahal sesuai dengan perintah Panembahan Senapati, mak a kalian memang harus berangkat. Kami akan mengemban tugas ini dengan tanggung jawab. berkata Raden Rangga. Syukurlah. desis Ki Patih Mandaraka. Lalu katanya, Namun demikian barangkali aku da pat menambahkan sedikit pesan atas pengenalanku terhadap perguruan itu. Agaknya ular di dalam goa yang disebut oleh Kiai Gringsing itu memang merupakan tumpuan kekuatan mereka. Jika tumpuan kekuatan mereka itu, dapat dilumpuhkan maka orangorang perguruan itu akan merasa kehilangan sandaran. Tetapi aku ingin memperinga tkan kalian, bahwa melumpuhkan ular di dalam goa itu bukan pekerjaan yang mudah. Seperti dikatakan oleh Kiai Gringsing, jika empatpuluh tahun yang lalu ular itu dihormati karena ular itu merupakan ular yang jarang diketemukan, termasuk ujud nya yang besar, maka kalian dapat membayangkan seberapa besarnya ular itu sekara ng. Raden Rangga dan Glagah Putih saling berpandangan. Namun Raden Ranggalah yang ke mudian menjawab, Kami akan melakukan tugas kami sebaik-baiknya eyang. Namun Ki Mandaraka kemudian berkata, Tetapi aku ingin memperingatkan, bahwa kalia n tidak bertugas untuk menyelesaikan. Kalian hanya diperintah untuk mendapatkan keterangan tentang perguruan itu. Karena itu, kalian tidak usah memaksa diri unt uk mengambil langkah-lahgkah yang lebih berbahaya lagi, karena untuk mencari ket erangan itupun telah merupakan tugas yang sangat berat. Raden Rangga mengangguk hormat. Namun nampak di wajahnya gejola Balas On 18 September 2009 at 18:39 kuncung Said: Lanjutannya Raden Rangga mengangguk hormat. Namun nampak diwajahnya gejolak perasaan didalam hatinya. Ki Patih Mandaraka yang tanggap akan sikap Raden Rangga itupun kemudia n berkata Rangga. Jangan membuat kesalahan lagi dengan melakukan kerja yang tida k dibebankan kepadamu. Meskipun mungkin kau berhasil, namun ayahandamu tidak men ghendakinya. Ya eyang jawab Raden Rangga sambil membungkuk hormat sekali lagi. Namun dalam pada itu Ki Patih Mandaraka itupun berkata pula dengan nada rendah S atu hal yang wajib kalian ketahui disamping semuanya yang sudah diuraikan oleh K iai Gringsing, bahwa keris pusaka yang dibawa orang yang berusaha membunuh Panem bahan Senapati itu telah hilang. Hilang? bertanya Raden Rangga maksud eyang, diambil orang?

Aku kira bukan itu jawab Ki Patih Mandaraka keris itu telah aku simpan di rumah ini. Namun tiba-tiba saja keris itu sudah tidak ada lagi diwrangkanya. Raden Rangga mengangguk-angguk, sementara Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam . Mereka memang pernah mendengar tentang pusaka yang mampu bergeser dari tempatn ya, bahkan menempuh jarak yang sangat jauh. Dalam pada itu Ki Patih Mandarakapun berkata selanjutnya Nah anak-anak. Kalian s udah mendapat gambaran serba sedikit tentang tugas yang akan kalian jalani. Teta pi kalian tidak perlu tergesa-gesa. Kalian dapat menyiapkan diri sebaik-baiknya. Sementara itu kalian masih harus menghadap Panembahan Senapati untuk minta diri . Kami memang tidak akan segera berangkat eyang sahut Raden Rangga kami akan beran gkat ampat hari lagi setelah hari ini. Ampat hari lagi? bertanya Ki Mandaraka apakah kalian mempunyai alasan untuk meng ambil hari itu sebagai saat yang paling baik untuk menempuh perjalanan berat kal ian? Ya eyang jawab Raden Rangga ampat hari lagi akart berlangsung. Merti Desa disebu ah Kademangan diluar kota Mataram. Ditempat itu akan ada permainan adu binten da n garesan. Ki Patih Mandaraka mengerutkan keningnya, sementara Glagah Putih menarik nafas d alam-dalam. Dengan ragu Ki Patih bertanya Apa hubungannya dengan Merti Desa itu? Raden Rangga tersenyum. Katanya Tidak ada eyang. Tetapi aku ingin melihat binten dan garesan itu di Kademangan yang pernah kami lewati ketika kami menempuh perj alanan dari Tanah Perdikan langsung ke Jati Anom. Apa itu perlu sekali Raden? bertanya Glagah Putih sebaiknya kita melupakannya sa ja. He, jarang sekali sekarang kita jumpai permainan itu jawab Raden Rangga. Ki Mandarakapun kemudian menyahut Tetapi jagalah dirimu baik-baik. Sadari apakah yang terjadi dan apa yang akan kau lakukan. Jika kau ada diantara anak-anak muda yang bermain binten, maka kau bukan bagian dari mereka. Kau mengemban tugas yang jauh berlipat ganda dan bahkan tidak dapat diperbandingkan dengan apa yang mereka lakukan. Karena itu, kau harus mampu men empatkan diri. Kapan kau berlaku sebagai kanak-kanak dan kapan kau menyandang be ban sebagai seorang yang telah mendapat kepercayaan dari Panembahan Senapati apa pun alasannya. Raden Rangga mengangguk kecil sambil berdesis Aku mengerti eyang. Nah jika demikian, kalian dapat beristirahat. Kita tidak akan menghadap Panembah an Senapati sekarang. Aku baru saja menghadap. Agaknya Panembahan Senapati sedan g beristirahat. Besok pagi-pagi saja kita bersama-sama ke istana berkata Ki Pati h Mandaraka. Demikianlah mereka berduapun telah mohon diri dari hadapan Ki Mandaraka. Keduany a telah kembali ke dalam bilik Raden Rangga. Namun keduanya tidak terlalu lama duduk sambil berbincang, karena keduanyapun kemudian telah turun kehalaman untuk melihat-lihat kebun Kepatihan d an keduanyapun akhirnya telah berada di kandang kuda. Raden Rangga yang telah meningalkan kuda-kudanya untuk beberapa hari telah melih at kuda-kuda itu satu demi satu. Sambil menepuk lehernya, maka Raden Ranggapun m enyebut nama kudanya itu. Kuda-kuda itupun seakan-akan menyadari apa yang dilakukan oleh Raden Rangga. Nam paknya mereka merasa bangga bahwa mereka ternyata mendapat perhatian yang besar setelah beberapa hari mereka tidak melihat Raden Rangga datang kepada mereka. Kita akan meninggalkan kuda-kuda ini beberapa lama lagi berkata Raden Rangga ter masuk pula kudamu Glagah Putih mengangguk-angguk. Jawabnya Jika kudaku mendapat perawatan berlebih an, maka ia akan menjadi manja lagi sebagaimana ia datang di tanah Perdikan. Nam un kuda itu akhirnya mampu juga menyesuaikan diri dengan kehidupan di Tanah Perd ikan Menoreh. Tetapi kau harus memelihara kuda itu dengan baik berkata Raden Rangga. Aku telah berusaha jawab Glagah Putih. Raden Rangga mengangguk-angguk. Merekapun kemudian telah meninggalkan kandang ku

da itu dengan menelusuri kebun sambil kedinding belakang. Hari itu keduanya benar-benar sempat biristirahat. Dikeesokan harinya mereka aka n dibawa menghadap oleh Ki Patih Mandaraka untuk minta diri dan mohon restu kepa da Panembahan Senapati untuk melakukan tugas mereka yang .sangat berat itu. Demikianlah, ketika matahari mulai memanjat langit dihari berikutnya, maka kedua nyapun telah bersiap untuk mengikuti Ki Patih Mandaraka. Mereka akan menghadap u ntuk menerima pesan-pesan. Namun ternyata baik Raden Rangga maupun Glagah Putih menjadi berdebar-debar juga. Dalam pada itu, ketika Panembahan Senapati menerima permohonan menghadap Ki Pati h Mandaraka dan kedua anak muda yang telah diperintahkannya untuk menelusuri jej ak orang-orang yang akan membunuhnya, yang diduga ada hubungannya dengan perguru an yang disebut Nagaraga, maka Panembahan Senapati itupun dengan serta merta tel ah memper-silahkan mereka keruang dalam. Wajahnya nampak bersungguh-sungguh ketika ia kemudian melihat Ki Patih Mandaraka dan kedua anak muda itu telah menghadap. Sebenarnyalah Ki Patih Mandaraka dapat menebak apa yang sebenarnya bergejolak di dalam hati Panembahan Senapati. Apalagi dalam pembicaraan-pembicaraan sebelumnya terbayang dalam ucapan-ucapannya meskipun samar, bahwa Panembahan Senapati sebe narnya agak menyesal karena telah menjatuhkan perintah yang sangat berat kepada Raden Rangga. Pada saat itu Panembahan Senapati memang terdorong oleh kemarahan yang sedang bergejolak didalam hatinya. Namun sebagai seorang pemimpin tertinggi , maka ia tidak akan mungkin menarik kembali kata-kata yang sudah terucapkan. Sa bdanya yang telah terucap merupakan keputusan yang pasti dan tidak berubah. Karena itu, betapa berat hatinya untuk melepaskan kedua anak muda itu untuk bera ngkat ke tujuan yang belum dikenalnya meskipun Ki Patih Mandaraka dapat menunjuk kan arahnya. Karena itulah, ketika kemudian Ki Mandaraka menyampaikan permohonan diri bagi ke Kalian harus berh dua anak muda itu, Panembahan Senapati berkata kepada keduanya ati-hati. Kalian harus mendengarkan semua pesan Ki Patih Mandaraka. Tugas kalian adalah sekedar mencari keterangan. Jangan mengambil tindakan apa-apa jika tidak terpaksa untuk melindungi diri kalian. Kedua anak muda itu menyembah hampir bersamaan Hamba Panembahan. Tidak ada bekal yang dapat aku berikan kecuali doa dan restu berkata Panembahan Senapati itu pula setelah kalian meninggalkan istana in i dan keluar dari gerbang kota, maka segala sesuatu akan tergantung dari kalian berdua sendiri. Banyak pengalaman yang pernah kalian dapat dalam umur kalian yan g masih muda. Pergunakanlah pengalaman itu untuk menimbang langkah-langkah yang akan kalian ambil. Hamba ayahanda semBah Raden Rangga. Sebenarnyalah bahwa iapun merasakan ketulusa n hati ayahandanya itu. Ketika kemarahan telah mengendap. Panembahan Senapati ti dak dapat melihat lain, bahwa Raden Rangga adalah salah satu diantara anak-anakn ya yang menjadi tanggung jawabnya. Demikianlah maka Panembahan Senapati masih memberikan beberapa pesan tentang sik ap dari langkah-langkah yang harus mereka ambil. Berkali-kali Panembahan Senapat i memperingatkan, bahwa mereka tidak harus menyelesaikan persoalan. Tetapi merek a sekedar menelusuri jejak yang terputus itu. Sementara itu, sebelum kedua anak muda itu mohon diri, mereka masih sempat menya mpaikan pesan Ki Gede Menoreh, bahwa sebaik-nya pasukan Mataram yang ada di Tana h Perdikan Menoreh itu ditarik saja, Kami akan segera memenuhinya jawab Panembahan Senapati pasukan itu ditempatkan d i Tanah Perdikan Menoreh dalam hubungannya dengan kehadiran orang-orang yang ing in masuk ke istana itu. Pelaksanaannya akan diatur oleh Paman Mandaraka. Hamba Panembahan. Hamba akan segera menjalankannya sahut Ki Patih Mandaraka. Ketika kemudian Raden Rangga dan Glagah Putih mohon diri, maka ternyata Panembah an Senapati telah memberikan bekal perjalanan secukupnya. Kedua anak muda itu ti dak akan kekurangan bekal meskipun perjalanan mereka cukup panjang. Tetapi bekal itu adalah sekedar bekal perjalanan kewadagan. Aku tidak dapat memberikan bekal ilmu yang akan dapat bermanfaat bagi anak itu b erkata Panembahan Senapati didalam hatinya dalam waktu yang singkat, upaya apapun juga tentang peningk

atan ilmu tidak akan dapat melampaui ilmu yang secara khusus telah dimilikinya. . Namun ternyata Panembahan Senapati bertanya juga tentang Glagah Putih apakah kau telah memiliki perlindungan diri terhadap bisa dan racun? Karena menurut penden garanku padepokan itu akrab sekali hubungannya dengan berbagai jenis ular. Glagah Putihpun telah menceritakan pertemuannya dengan Kiai Gringsing sebelum ia menghadap Panembahan Senapati. Jadi kalian telah bertemu dengan Kiai Gringsing? bertanya Panembahan Senapati. Hamba Panembahan jawab Glagah Putih. Sokurlah. Ternyata Kiai Gringsing juga ikut berusaha untuk menjaga kesejahteraan mu. Mudah-mudahan dengan pesan-pesan yang kau dapat dari segala pihak, kau dapat melakukan tugas itu dengan sebaik-baiknya desis Panembahan Senapati dengan nada dalam. Namun kemudian katanya nah, sandarkan tugas yang akan kau lakukan itu ke pada perlindungan Yang Maha Esa. Mudah-mudahan kalian berhasil. Aku tidak menent ukan kapan kalian harus kembali membawa hasil usahamu. Dan karena itu, maka kali an dapat menentukan sendiri kapan kalian akan berangkat dan kapan kalian merasa bahwa tugas kalian sudah selesai. Kedua anak muda itu mengangguk hormat sambil menyembah. Sejenak kemudian, maka Ki Patih Mandarakalah yang mohon diri bersama kedua anak muda itu untuk meninggalkan paseban dalam. Pesan Panembahan Senapati memberikan kesan yang sangat dalam dihati Raden Rangga . Ia merasakan betapa ayahandanya melepaskannya dengan berat hati meskipun perin tah itu keluar juda dari ayahandanya. Dengan demikian maka terasa pada Raden Ran gga bahwa ayahandanya sama sekali tidak mengabaikannya. Tidak mengusirnya dengan semena-mena, mungkin hukuman itu jatuh atasnya. Terasa kehangatan memeluk hati anak muda itu. Namun dengan demikian ia justru me njadi semakin mantap untuk melakukan tugaS yang dibebankannya kepadanya itu. Demikianlah maka ketiga orang itupun telah meninggalkan istana Panembahan Senapa ti menuju ke istana Kepatihan. Disepanjang jalan Ki Patih Mandaraka sempat menye but, betapa Panembahan Senapati merasa menyesal atas perintah yang sudah diucapk an. Namun sebagaimana keputusan telah jatuh, maka Panembahan Senapati tidak dapa t mencabutnya kembali. Tiba-tiba saja Raden Rangga berkata Kami akan berusaha memancing orang-orang yan g pernah kami jumpai di Kali Opak atau dimanapun juga dapat kami temui. Menurut pengamatan kami, orang-orang itu adalah kawan-kawan dari orang-orang yang pernah berusaha membakar hutan di Tanah Per-dikan Menoreh. Tidak ada gunanya berkata Ki Patih Mandaraka seandainya kau dapat menangkap mere ka, maka kau tidak akan mendapat banyak petunjuk. Kami masih menahan orang yang kami duga terlibat. Namun diantara mereka yang melakukan tugas-tugas tertentu ti dak akan dapat mengatakan apapun tentang orang-orang terpenting. Bahkan orang-or ang Nagaraga itu telah mengupah kelompok-kelompok kecil untuk menjadi ujung lang kah-langkah mereka. Jika kita menangkap mereka, maka mereka hanya tahu apa yang harus mereka lakukan. Tetapi sia-sialah untuk menelusur lewat orang-orang sepert i itu. Namun seandainya kita berhasil menangkap orang-orang terpenting diantara mereka, sebagaimana yang memasuki istana, mungkin kita akan mendapat sedikit pet unjuk tentang perguruan mereka meskipun kitapun tahu, bahwa mereka akan berusaha untuk mempertahankan rahasia mereka sejauh-jauhnya. Karena itu, ayahandamu sang at kecewa ketika ia mendengar bahwa tiga orang itu telah terbunuh semuanya. Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Namun diluar sadarnya ia bergumam Kami h anya membunuh dua orang. Ya sahut Ki Mandaraka aku tahu maksudmu. Kalian berdua tidak sengaja membunuh mereka sebagaimana Panembahan Senapati agak nya juga tidak sengaja membunuh. Raden Rangga mengerutkan keningnya. Dengan gagap ia berkata Bukan, eyang. Bukan maksudku mengatakan demikian. Ki Mandaraka tersenyum sambil menjawab Sudahlah. Apapun yang terjadi Panembahan Senapati sudah mengambil keputusan. Raden Rangga mengangguk-angguk- Tetapi ia tidak menjawab. Demikianlah ketiga orang itupun kemudian telah berada kembali di Kepatihan. Tern yata Raden Rangga benar-benar ingin menunggu hari yang diketahuinya akan dilangs ungkan Merti Desa di sebuah padukuhan yang sebelumnya tidak dikenalnya. Sekedar

untuk melihat anak-anak muda itu bermain. Dalam kesempatan tersendiri, ketika Raden Rangga sedang tidak ada dibiliknya. Ki Mandaraka yang menengok bilik itu telah berkata kepada Glagah Putih Biar sajala h. Ia tidak pernah berkesempatan untuk bermain seperti itu. Glagah Putih mengangguk hormat sambil menjawab Semuanya memang terserah kepada R aden Rangga, Ki Patih. Namun ada baiknya sekali-sekali memperingatkan jika ia terdorong melakukan sesua tu yang dapat membahayakan orang lain. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Pada saat-saat tertentu Raden Rangga mem ang melakukan sesuatu yang seakan-akan tidak dipikirkannya masak-masak. Namun it u adalah bagian dari padanya, sebagaimana ia kadang-kadang memberinya beberapa p etunjuk dan nasehat. Dalam pada itu, sambil menunggu hari yang dikehendaki oleh Raden Rangga untuk be rangkat, kedua anak muda itu masih juga sempat mengadakan latihan-latihan khusus . Sekali-sekali mereka sempat mengadakan pemusatan nalar budi. Dalam samadi mere ka berusaha untuk menyiapkan diri agar pada saat mereka berangkat, mereka benar-benar sudah siap lahir dan batinnya. Demikianlah ketika hari itu tiba, Raden Rangga dan -Glagah Putih telah mohon dir i kepada Ki Patih Mandaraka. Mereka memilih waktu menjelang tengah malam untuk m eninggalkan Kepatihan. Dengan berjalan kaki mereka berharap bahwa pagi-pagi mere ka telah berada di sebuah padukuhan yang sedang mengadakan Merti Desa dengan per mainan yang telah menarik perhatian Raden Rangga. Pada kesempatan terakhir Ki Patih masih juga mengingat-, kan, bahwa mereka hanya berkewajiban untuk menelusuri jejak orang-orang itu. Mereka tidak perlu bertind ak lebih jauh, karena itu akan sangat berbahaya. Demikianlah, maka kedua anak muda itu meninggalkan Kepatihan dengan membawa beka l dan pesan-pesan serta doa dari orang-orang tua yang mereka tinggalkan. Baik di Mataram, di Tanah Perdikan Menoreh, maupun yang berada di Jati Anom. Dengan dem ikian maka mereka telah mendapat atas berpijak selama mereka berada dalam perjal anan. Prajurit yang bertugas diregol mengangguk hormat ketika mereka melihat kedua ana k muda itu keluar. Mereka tidak melihat keduanya membawa bekal yang terbungkus r api. Namun mereka melihat kedua anak muda itu membawa masing-masing kampil yang tidak terlalu besar terikat dilambung. Sementara itu, ternyata Raden Rangga tela h membawa sebuah tongkat yang terbuat dari sebatang pring gading yang berwarna k uning seperti gading. Ketika Glagah Putih bertanya tentang tongkat itu tanpa maksud apa-apa selain sek edar pertanyaan saja, maka jawab Raden Rangga sangat menarik meskipun Glagah Put Tongkat ini tiba-tiba saja sudah berada disangga ih tidak menyahut lagi. Katanya rku. Aku tidak tahu, kapan dan siapa yang menaruhnya. Atau mungkin t aku sendiri yang lupa membawanya dan meletakkan di sanggar. Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Raden Rangga itu menarik ujung tongkatnya menggore s tanah. Bekas ujung tongkatnya itu nampak bagaikan bercahaya kebiru-biruan sepe rti ribuan kunang-kunang yang melekat memanjang. Apa artinya itu Raden? bertanya Glagah Putih. Raden Rangga tidak menjawab. Ia ha nya tersenyum saja. Namun goresan berikutnya tidak lagi menunjukkan kelainan apapun juga. Tidak ada lagi cahaya kebiruan yang membekas dan bahkan Raden Ranggapun telah me ngangkat tongkat pring gadingnya dan memanggulnya. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari bahwa yang menimbulkan caha ya itu tentu bukan karena tongkatnya itu saja, tetapi juga karena kemampuan Rade n Rangga yang tersalur pada tongkatnya itu. Demikianlah keduanyapun kemudian telah sampai ke pintu gerbang kota. Para petuga s di pintu gerbang itupun tidak banyak bertanya kepada Raden Rangga dan kawannya , karena kebanyakan mereka sudah tahu bahwa anak muda itu datang dan pergi kapan saja ia kehendaki tanpa mengenal waktu. Karena itu meskipun saat itu Mataram se dang di liputi oleh sepinya tengah malam, namun para prajurit di pintu gerbang t idak mempersoalkannya. Demikianlah Raden Rangga dan Glagah Putih telah menempuh awal dari perjalanannya

yang panjang. Mereka menyusup kedalam gelapnya malam. Angin yang basah telah me mbuat keduanya merasa segar. Ketika Raden Rangga menengadahkan kepalanya, maka dilihatnya bintang yang bergay utan dilangit. Namun diujung Utara nampak awan yang kelabu menyelimuti puncak Gu nung Merapi. Kita tidak tergesa-gesa berkata Raden Rangga. Ya. Kita tidak tergesa-gesa jawab Glagah Putih. Karena itu, maka keduanyapun ber jalan dengan langkah-langkah ringan tanpa dibebani ketergesa-gesaan. Bahkan seka lisekali mereka berhenti memperhatikan tanaman yang subur disebelah menyebelah jal an. Semakin lama keduanya menjadi semakin jauh dari pintu gerbang Mataram . Mereka m emasuki daerah padukuhan yang dilindungi oleh tanah persawahan yang luas dan sub ur. Beberapa kali keduanya telah melintasi padukuhan yang sepi. Namun jika mereka sa mpai ke gardu yang berisi beberapa orang peronda, maka lebih baik keduanya menca ri jalan lain agar tidak terlalu banyak pertanyaan yang harus mereka jawab. Deng an kemampuan mereka, maka keduanya dapat saja melintasi halaman-halaman yang gel ap tanpa diketahui oleh para peronda. Semakin jauh mereka berjalan, maka malampun menjadi semakin dalam. Bintang-binta ng telah bergeser ke arah Barat. Sedangkan awan yang kelabu di sisi Utara seakan -akan telah berkembang. Raden Rangga yang mengamati awan itupun berkata Angin bertiup ke Utara. Agaknya masih belum akan hujan. Glagah Putihpun mengangkat wajahnya. Namun ia sependapat dengan Raden Rangga bah wa awan itu akan semakin terdesak. Tetapi jika awan itu menjadi semakin padat da n memanjat semakin tinggi, maka hujan justru akan jatuh. Tetapi di lereng Gunung Merapi. Namun tiba-tiba saja kedua orang anak muda itu telah dikejutkan oleh derap seseo rang yang berlari. Ketika dari antara pohon perdu ditikungan muncul seseorang, m aka Raden Rangga dan Glagah Putihpun telah berhenti. Tetapi orang itu terkejut pula melihat Raden Rangga! dan Glagah Putih yang tibatiba sudah ada dihadapaiinya. Sejenak orang itu kebingungan. Namun ia tidak dapat lari kembali kearah ia datan g. Apalagi sejenak kemudian telah terdengar teriakan-teriakan yang mendebarkan. Pencuri, pencuri terdengar suara teriak yang susul menyusul. Bahkan ada yang ber teriak perampok, perampok. Apakah betul ia pencuri desis Raden Rangga. Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ia harus bertindak cepat. Demikian orang itu berusaha meloncati parit, maka Glagah Putih justru tel ah mendahuluinya. Tenaga Glagah Putih bukan imbangan tenaga orang itu. karena itu, ketika Glagah P utih menangkap lengannya, maka orang itu sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Namun orang itu tiba-tiba saja telah merengek Lepaskan aku Aku bukan pencuri. Kenapa kau dikejar-kejar seperti itu jika kau bukan pencuri? bertanya Glagah Put ih. Agaknya terjadi salah paham. Tetapi aku tidak sempat menjelaskan. berkata orang itu aku sama sekali tidak mencuri dan apalagi merampok Tetapi aku memang ingin m elarikan diri dari rumah paman. Kenapa? bertanya Raden Rangga yang sudah berdiri disebelahnya. Tetapi Raden Rangga dan Glagah Putih tidak sempat mendengar jawaban orang itu. k arena tempat itu tiba-tiba saja sudah dikepung. Teriakan-teriakan terdengar sema kin keras dan kasar. Nah, itu orangnya terdengar suara lantang. Seorang bertubuh tinggi berdiri berto lak pinggang. Sementara itu beberapa orang lainpun telah dikerumun pula disekitar Raden Ranga, Glagah Putih dan orang yang telah mereka kejar itu. Ternyata mereka bertiga terdengar yang lain berteriak. Raden Rangga dan Glagah Putih terkejut mendengar tuduhan itu. Namun mereka masih

belum mengatakan apa-apa. Mereka tidak akan lari lagi geram orang bertubuh tinggi itu sekarang terserah ke pada kita, apa yang akan kita lakukan atas mereka. Kita selesaikan saja. teriak orang yang berdiri diantara kerumunan itu. Ya Kita selesaikan mereka - sahut yang lain. Karena agaknya orang-orang ku benar-benar akan bertindak kasar, maka Glagah Puti hpun telah berkata Ki Sanak. Apakah yang sebenarnya telah terjadi? Jangan berpura-pura geram orang bertubuh tinggi itu kalian harus bertanggung jaw ab atas perbuatan kalian, Tetapi berilah kesempatan kami menjelaskan berkata Glagah Putih kami berdua saja dalam perjalanan mendekati padukuhan itu. Orang-orang yang mengepung mereka itu saling- berpandangan. Namun orang bertubuh tinggi itu tiba-tiba menggeram Omong kosong. Kalian bertiga tentu sekelompok pe rampok. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian lapun berkata kepada oran g yang telah dikejar oleh orang-orang itu kau dapat mengatakan yang sebenarnya. Tetapi sebelum orang itu menjawab, orang bertubuh tinggi itu telah memotong Kali an dapat berbicara apa saja untuk membersihkan diri kalian. Tetapi kalian tidak dapat menge-labuhi kami. Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Sementara itu hampir diiuar sadarnya ia tel ah memandang berkeliling. Lebih dari sepuluh orang telah mengepungnya. Bahkan be berapa orang telah berdiri diantara tanaman di sawah. Dalam, pada itu Glagah Putihlah yang kemudian mengguncangkan tubuh orang yang ma sih saja dipegangi lengannya itu sambil bertanya Berbicaralah. Apakah kau memang pencuri? Tidak. Aku bukan pencuri jawab orang itu. Tunggu apa lagi tiba-tiba seorang bertubuh gemuk menyeruak diantara kawan-kawann ya kita selesaikan saja mereka, ~ Cepat teriak yang lain waktu kita tinggal sedikit. Sebentar lagi fajar akan meny ingsing. Ayo sahut yang lain lagi jika Ki Jagabaya mengetahui, maka kita kehilangan kesem patan karena orang-orang ini tentu akan dibawa oleh Ki Jagabaya. Kita tentu tida k lagi diperbolehkan untuk menyentuhnya. Tetapi Glagah Putih masih berusaha mencegah Jangan begitu Ki Sanak. Marilah kita pelajari dengan sungguh-sungguh, apakah benar orang ini bersalah. Jika perlu ki ta bawa orang ini menghadap Ki Jagabaya. Untuk menghilangkan kecurigaan kalian, kami berdua bersedia untuk ikut besama kalian. Jangan banyak bicara geram orang bertubuh tinggi yang kemudian berpaling kepada kawan-kawannya kita harus bertindak cepat. Mereka sadar, bahwa Ki Jagabaya akan dapat menyelamatkan mereka. Kita selesaikan saja agar kawan-kawan mereka menjadi jera teriak yang berada dit engah sawah. Glagah Putih melihat kemarahan yang tidak terkendali pada orang-orang yang menge pung itu. Sikap yang sangat berbahaya. Sementara itu belum pasti bahwa orang yan g mereka kejar itu bersalah dan pantas untuk mendapat hukuman. Karena itu. sekal i lagi Glagah Putih mengguncang orang itu Berbicaralah bahwa kau bukan pencuri. Atau barangkali kau memang mencuri? Aku tidak mencuri sahut orang itu dengan suara gemetar ketakutan. Kita selesaikah mereka bertiga geram orang yang ber tubuh gemuk kita tidak akan membiarkan mereka lepas dari tangan kita. Glagah Putih menjadi tegang. Sementara itu orang yang telah dikejar-kejar itupun berusaha untuk menjelaskan Aku tidak mencuri. Aku adalah kemanakan Ki Dungkruk. Omongkosong teriak yang bertubuh gemuk jika kau tamu dirumah Ki Dungkruk kau tid ak akan keluar dari regol halaman sambil mengendap-endap dan lari ketika disapa orang. Aku, aku tidak mau dibawa kembali kerumah itu jawab orang itu. Lalu Tetapi persoalannya adalah persoalan keluarga. Bohong teriak beberapa orang hampir berbareng. Beberapa orang lainnya agaknya ti dak sabar lagi. Seorang yang membawa sepotong-kayu membentak Tundukkan kepalamu agar aku mudah memukulmu. Mungkin dengan demikian aku tidak memukulmu dengan sep

enuh kekuatanku. Kita bicara dengan Ki Jagabaya Glagah Putih masih berusaha. Tetapi usahanya sia-sia. Orang-orang itu ternyata ingin menyelesaikan persoalan itu sendiri. Mereka ingin mendapat kepuasan dengan berlaku kasar terhadap orangorang yang mereka tuduh bersalah meskipun belum dapat dibuktikan. Namun dalam pada itu, Raden Rangga yang sejak semula nampaknya hanya memperhatik an saja apa yang terjadi itu, tiba-tiba saja telah tertawa. Orang-orang yang marah itu telah berpaling semuanya kepada anak muda itu. Bahkan kemudian disela-sela suara tertawanya ia berkata Kalian memang aneh. Kalian sea kan -akan telah kerasukan iblis dan begitu bernafsu untuk memukuli orang. Bahkan mungkin jika kalian terdorong oleh arus perasaan kalian tanpa kendali, maka kor ban tidak akan dapat dielakkan. Orang yang kalian pukuli akan mati. Dan ternyata orang itu tidak bersalah. Orang-orang yang mengepungnya itu termangu-mangu sejenak Namun yang bertubuh gem uk Jangan hiraukan. Kita selesaikan saja mereka daripada harus menyeretnya kepad a Ki Jagabaya. Glagah Putih merasa bahwa kesempatannya untuk berbicara telah benar-benar tertut up. Raden Ranggapun mulai mengerutkan keningnya. Jantungnya mulai berdegup semak in cepat Namun ia masih berkata He bukankah besok kalian akan Merti Desa? Kenapa malam in i kalian begitu bernafsu untuk membunuh? Persetan teriak yang gemuk jangan mengada-ada. Cepat kita selesaikan teriak yang lain. Orang-orang itu mulai bergerak mempersem pit kepungan mereka. Bahkan ada diantara mereka yang telah mengacu-acukan senjata yang mereka bawa. Orang yang masih dipegangi lengannya oleh Glagah Putih itu menjadi ketakutan. De ngan suara bergetar ia minta Jangan. Aku tidak bersalah apa-apa. Aku bukan pencu ri. Tetapi orang-orang itu tidak mendengarkannya lagi. Glagah Putihpun menjadi agak bingung. Langkah apa yang harus diambilnya menghadapi orang-orang yang marah itu . Dalam kebingungan itu, tiba-tiba saja Raden Rangga telah mengambil langkah. Tanp a berbicara lagi, maka iapun telah meloncat berlari meninggalkan Glagah Putih da n orang yang disebutnya pencuri itu. Ternyata Raden Rangga telah menarik perhatian. Apalagi Raden Rangga telah memben tur seorang diantara orang-orang yang mengepungnya sehingga orang itu jatuh terg uling. Namun dengan cepat orang itu berusaha untuk bangkit, Dengan marah orang itupun kemudian berteriak Tangkap orang itu. Sikap Raden Rangga telah menimbulkan kekisruhan sejenak. Namun orang-orang itupu n cepat menguasai diri. Mere-kapun dengan serta merta telah berlari mengejar Rad en Rangga. Meskipun demikian orang yang bertubuh tinggi itu sempat berteriak Jan gan tinggalkan kedua orang itu tanpa dijaga. Ketika orang-orang itu berlari meng ejar Raden Rangga maka tiga orang telah tinggal menjaga Glagah Putih dengan oran g yang disebut pencuri itu. Mereka sama sekali tidak menyadari, dengan siapa seb enarnya mereka berhadapan. Dalam pada itu, Raden Ranggapun telah berlari menyusuri jalan bulak, ia menyadar i bahwa beberapa orang telah mengejarnya. Namun Raden Rangga justru merasa bahwa rencananya berhasil. Beberapa saat Raden Rangga masih berlari-lari. Orang-orang yang mengejarnya itu melasa semakin lama menjadi semakin dekat. Mereka berharap bahwa mereka akan dap at segera menangkap anak muda yang mereka kejar itu. Tetapi Raden Rangga telah memperhitungkan dengan baik. Demikian mereka menjadi s emakin jauh, maka Raden Ranggapun mulai mempercepat larinya. Semakin lama semaki n cepat, sehingga jarak diantara merekapun menjadi semakin jauh lagi. Namun Raden Rangga tidak ingin meninggalkan orang-orang yang mengejarnya itu ter lalu jauh sehingga orang-orang yang mengejarnya melepaskannya karena mereka menj adi putus asa. Karena itu maka jika jaraknya sudah terlalu jauh Raden Rangga tel ah memperlambat lagi larinya sehingga orang-orang yang mengejarnya itu berpengha

rapan lagi untuk dapat menangkapnya, karena mereka menganggap orang yang dikejar nya itu menjadi lelah. Sementara orang-orang yang mengejar Raden Rangga itu menjadi semakin jauh, maka Glagah Putihpun mulai mencoba berbuat sesuatu. Dengan hati-hati ia mulai membuka pembicaraan Ki Sanak. Kenapa kalian mengejar o rang ini? Bukankah menurut pengakuannya ia bukan pencuri. Omong kosong jawab salah seorang dari mereka yang menunggu keduanya itu. sudahla h. Jangan banyak bicara. Kita menunggu kawan-kawan kembali. Kenapa menunggu? bertanya Glagah Putih aku kira tidak ada gunanya kita menunggu. Sebaiknya bawa saja kami menghadap Ki Jagabaya. Tetapi orang itu menggeram, katanya Buat apa kita menghadap Ki Jagabaya? Kita da pat menyelesaikannya sendiri. Kalian tidak berhak menyelesaikannya sendiri. Bahkan seandainya orang ini benarbenar mencuri, maka seharusnya kahan serahkan kepada Ki Jagabaya. Apalagi jika t idak jawab Glagah Putih. Persetan geram salah seorang dari mereka jika kau masih saja banyak bicara, maka aku akan membungkam mulutmu. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih ber bicara lagi Jangan begit u Ki Sanak. Semuanya ada pangerannya. Paugeran itulah yang harus kita anut agar kehidupan dapat berjalan dengan tertib. Jika kita masing-masing menentukan langk ah sendiri-sendiri, maka kehidupan akan semakin kacau. Tetapi ketiga orang yang menunggui kedua orang itu justru menjadi marah. Mereka bergerak hampir berbareng mendekati Glagah Putih dan orang yang dituduh mencuri itu. Namun sejenak mereka tertegun. Bahkan mereka menjadi gelisah. Seorang diantara m erekapun menggeram Setan. Tentu Ki Jagabaya yang datang itu. Glagah Putihpun mendengar beberapa orang datang. Sebenarnyalah sejenak kemudian beberapa orang muncul dari balik gerumbul ditikungan jalan bulak itu. Hem salah seorang diantara ketiga orang itu mengumpat kau berhasil menyelamatkan dirimu dengan kehadiran Ki Jagabaya. Tetapi seorang kawanmu itu tentu akan mati . Kalian tidak berhak membunuh sahut Glagah Putih jika kawanku itu mati, maka kali an akan dihukum oleh Ki Jagabaya. Pembicaraan itu terputus ketika seorang yang bertubuh tinggi tegap dan berdada b idang maju mendekat. Dalam kegelapan nampak wajahnya yang garang berwibawa. Apa yang terjadi? bertanya orang itu. Maaf Ki Jagabaya. Kami mendahului Ki Jagabaya. Kami telah menangkap pencuri jawa b salah seorang dari ketiga orang itu. Pencuri? bertanya Ki Jagabaya. Dimana orang itu dan kemana kawan-kawanmu? Salah seorang dari ketiga orang itu menjawab Dua o-rang ini. Yang seorang telah melarikan diri. Kawan-kawan kami sedang mengejar yang seorang itu. Kenapa kalian tidak melaporkan kepadaku? Seandainya Ki Dungkruk tidak memberitah ukan kepadaku, maka aku tidak tahu apa yang terjadi. Kalian juga tidak membunyik an isyarat apapun. Kenapa kalian tidak memukul kentongan? Ketiga orang itu tidak menjawab. Namun Glagah Putihlah yang menjawab Mereka seng aja ingin meninggalkan Ki Jagabaya. Omong kosong geram salah seorang dari mereka . Ya sambung Glagah Putih mereka mengharap agar Ki Jagabaya tidak mengetahui Karen a jika demikian maka mereka tidak sampai menjatuhkan hukuman menurut kehendak me reka sendiri. Ketiga orang itu menggeratakkan giginya. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-ap a. Rasa-rasanya mereka ingin menerkam dan meremas mulut Glagah Putih. Tetapi dih adapan Ki Jagabaya dan beberapa bebahu, mereka tidak berani melakukannya. Dalam pada itu, Ki Dungkruk yang mengikuti Ki Jagabaya itu berkata Inilah kemana kanku itu Ki Jagabaya. la bukan pencuri. Aku tidak tahu kenapa malam-malam ia be rkeliaran di luar halaman, sehingga menimbulkan salah paham. Ketika aku mendenga r teriakan-teriakan anak muda diluar, maka aku tidak melihat kemanakanku di ruma h dan pintupun tidak diselarak, sehingga aku sudah mengira bahwa tentu kemanakan ku Itulah yang telah disangka pencuri itu. Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Dipand

anginya ketiga orang yang semua menjaga Glagah Putih dan orang yang disangka pen curi itu. Lalu katanya Kita semuanya pergi kerumahku. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat me nolak jika Ki Jagabaya berkeras untuk membawanya. Meskipun demikian ia berkata K i Jagabaya. Aku adalah seorang pengembara yang tidak tahu menahu persoalan ini. Aku berdua dengan saudaraku berjalan di bulak ini ketika kami berdua bertemu den gan orang yang disebut pencuri ini. Seorang saudaraku itu demikian ketakutan seh ingga ia melarikan diri dan dikejar beberapa orang. Aku justru menjadi cemas, ba hwa saudaraku itu akan. mengalami nasib buruk. Sudah beberapa kali aku peringatkan berkata Jagabaya tidak seorangpun boleh mene ntukan hukum langsung seperti ini. Ya jawab Glagah Putih hampir saja kami dipukuli. Mereka memang sengaja meninggal kan Ki Jagabaya. Seandainya kami sudah mati disini, maka apakah akibatnya, semen tara kami tidak bersalah. Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Sementara ketiga orang yang tidak ikut mengejar R aden Rangga itu mengumpat didalam hati. - Namun sejenak kemudian Ki Jagabayapun telah memerintahkan beberapa orang yang dipimpin oleh seorang bebahu untuk mencari orang-orang yang mengejar seorang yan g diaku oleh Glagah Putih sebagai saudaranya. Ketemukan mereka dan cegah jika terjadi sesuatu atas anak muda itu berkata Ki Ja gabaya aku akan membawa orang-orang ini kerumah. Apakah aku diperkenankan ikut mencari saudaraku? bertanya Glagah Putih. Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya Pergilah. Glagah Putihpun mengangguk sambil berkata Terima kasih Ki Jagabaya. Namun Ki Jagabaya masih ingin meyakinkan kebenaran pengakuan Glagah Putih. Karen a itu, maka iapun bertanya kepada kemanakan Ki Dungkruk Apakah benar orang ini k au jumpai disini? Ya Ki Jagabaya. Ia justru yang telah menangkap aku. jawab kemanakan Ki Dungkruk itu. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ketika aku berpapasan dengan seseora ng yang berlari-lari dan dikejar oleh orang banyak sambil meneriakkan pencuri, m aka aku telah menangkapnya, namun kemudian aku justru dituduh oleh orang banyak itu sebagai kawannya yang bersama-sama ingin melakukan kejahatan. jawab Glagah P utih. Kita sudah tidak menghormati lagi paugeran berkata KI Jagabaya jika terjadi mala petaka, maka semuanya akan menyesal. lalu tiba-tiba saja Ki Jagabaya membentak kemanakan Ki Dungkruk kenapa kau berkeliaran malam-malam? Aku memang akan pergi dari rumah paman. Aku tidak mau dipaksa menyetujui persoal an warisan sepeninggal ibuku. Kakak perempuan paman itu. Aku akan mengadu kepada ayahku. jawab orang itu. Tetapi malam-malam begini dan kau tidak dikenal di padukuhan ini bentak Ki Jagab aya pula. Orang itu terdiam. Namun sementara itu Glagah Putih berkata Aku minta diri. Aku akan mencari saudaraku. Pergilah bersama beberapa orang-orangku jawab Ki Jagabaya. Glagah Putihpun kemudian bersama dengan beberapa orang telah meninggalkan tempat itu untuk mencari Raden Rangga yang lari di kejar oleh beberapa orang. Sebenarnyalah Glagah Putih tidak perlu mencemaskan Raden Rangga sebagaimana Rade n Rangga juga tidak merasa perlu untuk mencemaskan Glagah Putih. Tetapi mereka t idak dapat dengan semena-mena menunjukkan kelebihan mereka. Karena itu, Raden Rangga telah memilih cara yang aneh. Ia berlari tanpa berhenti . Kadang-kadang jaraknya menjadi jauh. Namun kadang-kadang menjadi dekat. Ternya ta Raden Rangga tidak berlari terlalu jauh. Ia hanya berputar-putar saja dijalan bulak. Ia berbelok disimpang tiga atau simpang ampat. Kemudian dipersimpangan b erikutnya ia justru mengambil jalan ke-arah jalan semula. Setelah beberapa lamanya mereka berkejaran, maka satu demi satu orang-orang yang mengejarnya itupun telah kehabisan nafas. Bahkan seorang diantara mereka telah dengan serta merta menjatuhkan dirinya dan berbaring dipinggir jalan dengan nafa s yang hampir terputus. Yang lain berdiri sambil bertolak pinggang menekan lambu ngnya yang rasa-rasanya menegang. Sedangkan yang lain merintih karena kakinya ti

ba-tiba menjadi kejang. Namun sebagian besar diantara mereka merasa bahwa nafas mereka menjadi hampir putus karenanya. Mereka telah mengerahkan segenap kekuatan yang ada untuk mengejar Raden Rangga y ang kadang-kadang hampir teraih tangan dari pengejarnya yang paling depan. Namun jarak itu kemudian menjadi panjang. Lalu mendekat lagi. Sehingga setiap orang t elah memaksa diri untuk berlari sekencang-kencangnya. Tetapi dengan demikian mak a nafas merekapun rasa-rasanya telah terputus di kerongkongan. Akhirnya, tidak seorangpun lagi yang dapat mengejar Raden Rangga. Dua orang terk uat diantara merekapun tidak lagi dapat berlari kencang. Mereka tertatih-tatih d ibelakang Raden Rangga yang maju perlahan-lahan sambil sekali-sekali berpaling k earah kedua orang itu. Namun akhirnya kedua-nyapun tidak dapat melanjutkannya. S ambil mengumpat keduanya menjatuhkan diri duduk diatas tanggul parit dipinggir j alan. Raden Rangga berdiri beberapa langkah dari keduanya. Beberapa saat ia memandangi kedua orang itu. Namun kemudian iapun bertanya Apakah permainan kita sudah sele sai? Persetan geram salah seorang dari kedua orang yang kelelahan itu. Kalian belum berhasil menangkap aku berkata Raden Rangga. Anak demit teriak orang yang betubuh agakgemuk yang sudah kehabisan nafas itu. S ambil terengah-engah ia berkata aku pilin lehermu sampai putus. Raden Rangga justru mendekat. Sambil tertawa ia berkata Tangkap aku, dan pilin l eherku. Orang bertubuh gemuk itu menjadi marah sekali. Tiba-tiba saja ia bangkit melonca t meraih Raden Rangga. Namun iapun justru jatuh terjerembab. Dengan susah payah orang itu berusaha bangkit. Kawannya yang juga kelelahan mema ng berusaha untuk menolongnya. Namun rasa-rasanya tubuhnya sendiri sudah tidak m ampu bergerak lagi. Raden Ranggapun kemudian berjongkok beberapa langkah dari keduanya. Dengan nada rendah iapun berkata Sudahlah. Beristirahat sajalah s ebelum nafas kalian terputus. Nanti jika keadaan kalian sudah baik, kita bermain -main lagi. Sementara fajar menyingsing. Anak setan geram orang bertubuh agak gemuk itu. Jangan marah. Bukankah besok kalian akan Merti Desa ? bertanya Raden Rangga. Tidak teriak orang bertubuh gemuk itu siapa bilang besok Merti Desa. Raden Rangga mengangguk-angguk. Agaknya padukuhan-padukuhan yang menyelenggaraka n pertandingan binten dan garesan itu tidak termasuk Kademangan yang sama dengan padukuhan tempat orang-orang ini tinggal, karena jaraknya memang masih agak jau h. Namun dalam pada itu, Raden Ranggapun berkata Baiklah. Meskipun besok kalian tid ak akan Merti Desa, tetapi bukankah sebaiknya kalian malam ini memburu orang yan g tidak bersalah. Tutup mulutmu. Aku ingin menyumbatnya dengan lumpur jika kau masih berbicara ter us. geram orang yang lain, yang bertubuh kecil. Raden Rangga tertawa. Katanya Jangan terlalu garang Tidak baik bagi kalian jika kalian cepat marah. Kalian akan menjadi cepat tua. Kedua orang tidak dapat menahan kemarahan yang bergejolak didalam dada mereka. T etapi keduanyapun tidak dapat berbuat apa-apa. Jika mereka berusaha untuk bangki t, maka keduanya akan terjatuh. Ki Sanak berkata Raden Rangga jika aku seorang pencuri atau perampok, aku sekara ng mempunyai banyak kesempatan untuk berbuat sesuatu atas kalian. Apalagi kalian telah mengejar aku dan bahkan akan menyakiti aku. Dalam keadaan seperti sekaran g ini, aku akan dapat membalas kalian meskipun rencana kalian itu belum sempat k alian lakukan. Persetan teriak orang yang bertubuh kecil tutup mulutmu atau aku akan benar-benar membunuhmu. Aku tahu, kau berteriak-teriak agar ada orang lain yang mendengarnya dan datang kemari. Namun berapapun banyaknya orang datang kemari, mereka tidak akan dapat m enangkap aku. jawab Raden Rangga di padukuhan aku telah dilatih untuk berlari ce pat. Dalam pertandingan lari diantara padu-kuhan-padukuhan dalam Merti Desa di p adukuhanku, aku selalu mewakili anak-anak muda sepadukuhanku.

Orang bertubuh kecil itu benar-benar marah. Digenggamnya tanah dan dilemparkanny a kepada Raden Rangga. Tetapi seakan-akan angin justru bertiup dengan tiba-tiba dari arah anak muda yan g berjongkok itu. Karena itu, maka debupun telah menghambur justru kearah wajah orang itu sendiri. Orang itu mengumpat ketika matanya merasa pedih karena debu yang masuk kedalamny a. Raden Rangga tertawa. Katanya Kenapa kau kotori wajahmu dengan debu? Orang itu mengumpat-umpat kasar. Digosok-gosoknya matanya yang pedih, sementara kawannya yang bertubuh gemuk hanya dapat menyaksikan dengan tubuh yang sangat le mah. Raden Ranggalah yang kemudian bangkit dan tiba-tiba saja ia memegangi tangan ora ng itu sambil berkata Marilah, aku tolong kau mencuci mukamu di parit dipinggir jalan ini. Orang itu tidak menolak. Ia dengan dipapah oleh Raden Rangga telah bergeser dan turun ke parit. Cucilah wajahmu berkata Raden Rangga sambil mempermainkan ujung tongkatnya di da lam air parit. Orang bertubuh kecil itupun kemudian duduk ditanggul parit. Kakinya berada didal am air, sementara itu, tangannyapun sibuk mencuci wajahnya yang penuh dengan deb u. Baru beberapa saat kemudian matanya menjadi bersih dan perasaan pedihpun telah b erkurang. Namun dalam pada itu, Raden Ranggapun telah mendengar beberapa orang datang mend ekat dari arah padukuhan. Karena itu, maka iapun telah naik ketanggul sambil mem perhatikan suasana. Sejenak kemudian iapun melihat dalam keremangan malam beberapa orang yang berjal an tergesa-gesa menyusuri jalan bulak itu. Sementara ketajaman penglihatannya ma mpu melihat bahwa diantara mereka terdapat Glagah Putih. Karena itu, Raden Rangga tidak berusaha untuk melarikan diri lagi. Ia justru men unggu apa yang akan terjadi kemudian. Glagah Putihpun telah melihat Raden Rangga pula. Karena itu, maka iapun berkata kepada orang-orang yang bersamanya Itulah saudaraku. Merekapun kemudian menuju ke tempat Raden Rangga berdiri. Seorang bebahu yang da tang bersama Glagah Putih itu bertanya Bagaimana dengan kau? Baik, Ki Sanak jawab Raden Rangga tidak ada kesulitan yang aku alami. Aku mempun yai kelebihan dari orang-orang yang mengejarku, karena aku adalah pelari yang ba ik. Bebahu itu-mengangguk-angguk. Disepanjang jalan yang dilaluinya ia sudah melihat beberapa orang yang kehabisan nafas. Ada yang duduk terengah-engah, ada yang be rbaring direrumputan dan ada yang duduk berselunjur kaki sambil bersandar pepoho nan. Sementara itu Raden Ranggapun bertanya Apakah Ki Sanak juga akan menangkapku? Tidak. jawab bebahu itu kami sudah mendapat keterangan bahwa kau tidak bersalah sebagaimana saudaramu ini. Tetapi aku minta kau bersedia pergi kerumah Ki Jagaba ya, justru untuk menjadi saksi, bahwa beberapa orang di padukuhan ini telah mela kukan pelanggaran atas paugeran yang telah dibuat. Ki Jagabaya tidak senang meli hat orang-orang padukuhan ini menjatuhkan hukuman sendiri dengan kasar. Ki Jagab aya memang memerintahkan orang-orang padukuhan ini bertindak. Tetapi tidak mengh ukum. Raden Rangga memandang Glagah Putih sejenak. Namun keduanyapun kemudian menyatak an kesediaan mereka untuk pergi ke rumah Ki Jagabaya, Dengan demikian maka merekapun segera meninggalkan tempat itu. Orang-orang yang masih kelelahan dipinggir jalan, diperintahkan untuk secepatnya pergi ke rumah K i Jagabaya. Jika kalian tidak datang, maka para pengawal padukuhan akan menjemput kalian ber kata bebahu itu. Sebenarnyalah mereka telah berkumpul dirumah Ki Jagabaya menjelang matahari terb it. Raden Rangga dan Glagah Putih tidak terlalu lama di padukuhan itu. Setelah m emberikan kesaksian mereka, maka keduanyapun telah meninggalkan padukuhan itu. S

ementara kemanakan Ki Dungkruk sempat mengucapkan terima kasih kepada keduanya. Tanpa kalian, mungkin keadaan akan berbeda berkata kemanakan Ki Dungkruk itu aku tidak tahu, apa yang terjadi atas diriku. Padahal aku benar-benar tidak bersala h. Lain kali berhati-hatilah pesan Glagah Putih. Demikianlah atas ijin Ki Jagabaya, keduanya meneruskan perjalanan menuju ke padukuhan yang sedang menyelenggarakan Merti Desa. Meskipun sebenarnya mereka dapat memilih jalan yang lebih dekat untuk menuju kearah Timu r, namun mereka memang ingin singgah di padukuhan itu untuk melihat Merti Desa. Dalam pada itu, ketika keduanya lewat didepan sebuah pasar yang ramai, maka mere kapun telah singgah disebuah kedai untuk membeli minuman panas dan makan pagi se telah mereka,berkejaran denga norang-orang padukuhan yang telah mereka lewati. Selagi mereka berada di warung itu, Glagah Putih sempat pula berkata Apakah tida k sebaiknya kita tidak usah singgah untuk melihat Merti Desa itu Raden? Raden Rangga tersenyum. Katanya Aku hanya ingin melihat. Bukankah dalam Merti De sa itu biasanya terdapat berbagai macam keramaian? Yang menarik adalah binten dan garesan yang akan diikuti oleh anak-anak muda dari beberapa padukuhan. Disamping itu tentu ada berbagai ma cam pertunjukan yang segar. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat mencegah keinginan Raden Rangga untuk menikmati satu suasana yang lain dari yang dilihatnya dan dialaminy a sehari-hari di istana Kepatihan. Karena itu, maka Glagah Putihpun tidak berusaha untuk mencegahnya lagi. Namun justru Raden Ranggalah yang kemudian bertanya Apakah kau mencemaskan aku b ahwa aku akan berbuat sesuatu yang tidak menguntungkan bagi perjalanan kita? Tidak Raden jawab Glagah Putih perlahan-lahan tetapi kadang-kadang satu keadaan celah terjadi diluar kehendak kita seperti yang terjadi semalam. Kita tiba-tiba saja dihadapkan kepada satu keadaan yang memaksa kita terlibat dalam satu perist iwa yang tidak kita harapkan. Raden Rangga tersenyum. Katanya Mudah-mudahan hal itu tidak terjadi. Kita hanya akan menonton saja. Kita akan berada diantara anak-anak muda yang sudah kita ken al sebelumnya, dan yang sudah mengenal kita. Bagaimana jika sikap mereka tidak seperti yang kita harapkan pula? bertanya Glag ah Putih. Ada satu modal pada kita yang tidak mereka miliki jawab Raden -Rangga lari cepat dan lama. Glagah Putih hanya mengangguk-angguk saja. Sementara iu Raden Ranggapun berkata Jangan cemas. Bukankah dalam Merti Desa akan banyak orang berkumpul? Beramai-ram ai dengan bermacam-macam permainan dan tontonan? Kita hanya dua orang saja diant ara mereka. Bukankah tidak akan menimbulkan persoalan jika kita sendiri mampu me nempatkan diri? Glagah Putih masih mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab lagi. Dalam pada itu keduanyapun telah menghabiskan dua mangkuk minuman panas dan dua mangkuk nasi. Beberapa potong makanan dari ketan dan ketela. Setelah membayar harga makanan dan minuman itu, maka keduanyapun telah meneruska n perjalanan. Keduanya masih sempat turun pula kesebuah sungai untuk mencuci muk a dan membenahi diri sebelum mereka memasuki padukuhan yang sedang mengadakan ke ramaian. Beberapa saat mereka berjalan. Mereka telah mendekati padukuhan yang pernah mere ka kunjungi pada saat-saat anak-anak muda mengadakan binten. Tetapi menurut anak -anak muda itu, binten yang akan diselenggarakan berada di padukuhan yang lain d isebelah bulak panjang. Kita akan melewati bulak panjang itu ke Utara berkata Raden Rangga binten dan ga resan itu diselenggarakan di padukuhan disebelah Utara bulak panjang itu. Glagah Putih tidak menyahut. Namun ia menjadi berdebar-debar ketika dilihatnya d ua orang anak muda keluar dari gerbang padukuhan itu. Dua orang anak muda dengan pakaian yang lebih baik dari yang mereka pakai sehari-hari. Apalagi ketika kedua anak muda itu tertegun setelah melihat mereka. Namun tiba-tiba saja seorang diantara mereka justru menjadi gembira melihat keha diran Raden Rangga dan Glagah Putih. Iapun kemudian menggamit kawannya sambil me

nunjuk kearah Raden Rangga dan Glagah Putih yang termangu-mangu. Kedua anak muda itupun telah berjalan tergesa-gesa mendekati mereka. Seorang yan g agaknya telah mengenalnya itupun kemudian menyapa He, bukankah kalian yang per nah datang kepadukuhan ini sepekan yang lalu? Ya jawab Raden Rangga yang juga mengenali anak muda itu kami benar-benar datang untuk menonton binten dan garesan. Tetapi tidak disini jawab anak muda itu tetapi dipadukuhan sebelah bulak panjang . Ya. Kalian memang pernah mengatakan. Dan kami memang akan menuju kesana jawab Ra den Rangga. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ternyata anak muda itu tidak lagi menden dam mereka berdua. Bahkan nampaknya ia menjadi ramah. Kalian tidak berkuda? bertanya anak muda itu. Tidak jawab Raden Rangga kami ingin menikmati keramaian di padukuhan ini tanpa d iganggu oleh kuda-kuda kami yang rakus dan selalu lapar. Bagus jawab anak muda itu kawan-kawan kami-pun belum berangkat pula. Marilah, ki ta akan berkumpul di banjar. Kita akan berangkat bersama-sama. Tetapi kenapa kalian justru keluar dari padukuhan? bertanya Raden Rangga. Aku akan menjemput seorang kawan yang juga akan pergi bersama kami. Agaknya ia t erlambat bangun karena semalam ia bertugas di gardu. Kawan-kawan yang lain sudah akan berangkat, tetapi anak itu belum nampak batang hidungnya. jawab anak muda itu. Raden Rangga memandang Glagah Putih sejenak. Lalu katanya r Marilah. Kita pergi b ersama-sama anak-anak muda dari padukuhan ini. Kitapun mengaku anak-anak dari pa dukuhan ini. Tetapi anak muda dari padukuhan itu tertawa. Katanya Anak-anak muda padukuhan-pa dukuhan se Kademangan ini telah saling mengenal. Dari padukuhan yang paling ujun g sampai ujung yang lain dari Kademangan Ngentak Amba ini, semua penghuninya tel ah saling mengenal pula, bukan hanya anak mudanya. O Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun ia masih menjawab Bagaimana jika aku men gaku tamu dari Kademangan lain, tetapi mempunyai keluarga di Kademangan ini? Memang mungkin. Tetapi kalian berdua tetap dianggap orang asing. jawab anak muda itu. Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya Baiklah. Tetapi bukankah keramaian ini t idak tertutup bagi orang-orang dari padukuhan atau Kademangan lain. Tidak. Tentu tidak. Anak-anak dari Kademangan lain banyak juga yang akan datang melihat keramaian jawab anak itu. Namun nada suaranya tiba-tiba menurun Juga ana k-anak dari Kademangan Dukuh Gede. Raden Rangga melihat sesuatu yang bergetar didada anak muda itu. Kenapa dengan anak-anak muda dari Dukuh Gede? bertanya Raden Rangga. Mereka suka berkelahi jawab anak muda itu mereka merasa terlalu kuat. Dalam bany ak kesempatan mereka sering membuat persoalan dengan sengaja. Dan anak-anak muda Ngentak Amba ini menjadi sasaran kenakalan mereka? bertanya R aden Rangga. Kami memang sering berkelahi dengan anak-anak muda dari Dukuh Gede. jawab anak m uda itu kami tidak pernah merasa dibawah tekanan mereka. Tetapi orang-orang tua kami, terutama para bebahu Kademangan kami mempunyai tabiat yang berbeda dengan bebahu Kademangan Dukuh Gede. Mereka senang melihat anak-anak mudanya berkelahi. Tetapi bebahu Kademangan ini sering menahan kami. Tetapi kalian juga suka berkelahi berkata Raden Rangga. Kenapa? bertanya anak muda itu. Ketika kami datang, kamipun telah kalian tantang berkelahi jawab Raden Rangga pu la. Anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa. Katanya Kalia n orang asing sama sekali bagi kami. Apalagi mendengar nama Tanah Perdikan Menor eh agaknya telah menggelitik kami untuk mengetahui tataran kemampuannya. Ternyat a bahwa nama Tanah Perdikan Menoreh bukan hanya sekedar nama. Tanah Perdikan Men oreh memiliki anak-anak muda .seperti kalian. Kenapa dengan kami? Tidak ada yang lebih dari kalian disini jawab Raden Rangga. Anak muda itu tertawa. Namun kemudian katanya Marilah. Kita jemput pemalas itu.

Kawan-kawan kita yang lain sudah tidak sabar lagi menunggu, sementara anak malas itu masih saja melingkar dipembaringan. Namun ketika mereka sudah siap untuk melangkah, tiba-tiba mereka melihat seorang anak muda berlari-lari menyusuri jalan dipinggir padukuhan itu. O desis anak muda yang akan menjemput kawannya itu itulah anak malas itu. Belum lagi anak muda yang berlari-lari itu mendekat, ia su-dahberteriak Aku terl ambat bangun. Semalam aku ronda digardu. Marilah sahut yang menjemput kawan-kawan sudah berada di banjar. Kita akan beran gkat bersama-sama. Anak muda yang berlari-lari itu justru tertegun. Sejenak ia memandangi Raden Ran gga dan Glagah Putih. Namun iapun kemudian tertawa sambil menyapa He, kalian ana k-anak Tanah Perdikan Menoreh itu bukan? Raden Rangga dan Glagah Putih hampir berbareng menjawab Ya. Bagus berkata anak muda itu pula kau akan melihat binten di padukuhan sebelah? Yang menjawab adalah Glagah Putih Kami ingin melihat keramaian di Kademangan ini . Kademangan Ngentak Am-ba. Namun Raden Rangga menambah Terutama binten dan barangkali garesan. Ya sahut anak muda yang berlari-lari itu bukan hanya binten dan garesan. Kami ju ga akan mengadu ketangkasan meloncati parit dan orang-orang tua akan mengadakan adu ketepatan membidik? Panahan ? bertanya Glagah Putih. Ya. Panahan dan bandil jawab anak muda itu. Namun katanya kemudian tetapi yang p aling menarik bagi kalian tentu adu ketahanan menyelam dalam air. Kau pernah mel ihat? Belum Raden Rangga memang menjadi gembira sekali. Katanya kepada Glagah Putih ti dak sia-sia kita singgah dipadukuhan ini. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak dapat mencegah keinginan Raden Rangga. Bahkan tiba-tiba saja iapun telah tertarik untuk melihat permainan itu. Tetapi bukan binten dan garesan. Ia ingin melihat adu ketahanan menyelam. Demikianlah, maka merekapun telah berjalan dengan cepat menuju ke banjar. Kedatangan Raden Rangga dan Glagah Putih pada umumnya disambut dengan gembira ol eh anak-anak muda. Tetapi orang-orang muda yang selapis diatas anak-anak muda it u tidak mengacuhkannya. Mereka tidak melihat apa yang telah dilakukan oleh Raden Rangga dan Glagah Putih. Namun merekapun tidak berbuat apa-apa. Sejenak kemudian, maka anak-anak muda itupun telah berangkat bersama-sama dari b anjar. Orang-orang muda yang telah berkeluargapun tidak ketinggalan. Bahkan ada juga orang-orang tua yang ingin menyaksikan panahan di pedukuhan diujung bulak i tu. Ternyata kelompok anak-anak muda memang selalu nampak ribut. Mereka berkelakar, bergurau dan bahkan ada juga yang berteriak-teriak disepanjang jalan bulak. Bebe rapa orang yang sudah lebih tua beberapa kali telah memperingatkan. Namun anak-a nak muda itu memang sulit untuk dikendalikan. Apalagi jika mereka sudah berkumpu l dalam jumlah yang cukup banyak. Ternyata dari padukuhan-padukuhan. lainpun, kelompok-kelompok anak muda tengah m enuju ke padukuhan disebelah Utara bulak panjang. Meskipun padukuhan itu bukan p adukuhan induk Kademangan Ngentak Amba, tetapi padukuhan itu mempunyai persyaratan yang diperlukan untuk mengadakan beberapa jenis perlombaan. Dipadukuhan itu pula terdapat sebuah belumbang yang cukup luas dengan air yang sangat jernih, mencua t dari dalam tanah dibawah sekelompok pohon-pohon raksasa yang tua. Bahkan air y ang melimpah dari belumbang itu dapat mengairi sebulak sawah disebelah padukuhan itu. Disebelah belumbang itu memang terdapat ara-ara yang cukup luas pula. Seda ngkan disebelah ara-ara itu terdapat pasar yang cukup besar. Lingkungan itulah yang akan dipergunakan untuk menyelenggarakan beberapa jenis p ermainan. Sementara itu mereka yang merasa haus dan lapar dapat singgah di pasar yang banyak mempunyai kedai,warung besar dan kecil. Penjual dawet, seme-lak dan wedang sere serta wedang jahe hangatpun banyak terdapat disekitar ara-ara itu. Sejak sore hari, di ara-ara itu sudah terpasang rontek dan umbul-umbul.Hiasan ja nur memenuhi sudut-sudut padukuhan. Dan belumbang yang akan dipergunakan untuk a

du ketahanan menyelam itupun telah dihiasi pula dengan berbagai macam janur dan dedaunan. Buku 207 KETIKA matahari mulai naik, tempat itu sudah banyak dikunjungi orang. Anak-anak kecil berlari-larian dengan gembira. Mereka berteriak-teriak sambil berkejaran. Semakin tinggi matahari, maka tempat itupun menjadi semakin ramai. Pasarpun menj adi bertambah ramai pula. Para penjual di pasar itu telah membawa barang daganga n berlipat dari biasanya. Apalagi mereka yang berjualan makanan dan minuman. Menjelang matahari sepenggalah, maka terdengar bende berbunyi. Satu pertanda bah wa keramaian di ara-ara serta di belumbang itu sudah akan dimulai. Orang-orang t ua dan para, bebahu yang mendapat kewajiban untuk menyelenggarakan keramaian itu sudah bersiap untuk mulai dengan pertarungan antara anak-anak muda yang akan me wakili padukuhan masing-masing. Ketika bende itu berbunyi, maka kelompok-kelompok anak muda yang semula masih te rsebar itupun segera berkumpul. Ara-ara itu menjadi sangat ramai karenanya. Mesk ipun anak-anak muda itu sudah saling mengenal, namun pada saatnya mereka akan me njadi pendukung jago mereka masing-masing. Raden Rangga dan Glagah Putin masih tetap berada diantara kelompok anak-anak mud a yang berangkat bersama mereka. Keduanyapun ternyata telah hanyut pula dalam ke gembiraan dilingkungan keramaian Merti Desa itu. Bahkan Raden Rangga sama sekali tidak merasa bahwa ia adalah tamu diantara anak-anak muda itu. Diantara mereka yang umurnya sebaya, bahkan banyak diantara mereka yang lebih tu a, maka Raden Rangga dan Glagah Putin nampak akrab bersama mereka. Tidak segera diketahui bahwa diantara anak-anak muda padukuhan yang bersama keduanya membawa tamu dari padukuhan lain, bahkan dari Tanah Perdikan Menoreh. Ketika adu ketangkasan dan ketrampilan sudah dimulai, maka ara-ara itu bagaikan meledak oleh sorak dan teriakan-terlakan anak-anak muda yang berusaha untuk meno mpang kawan-kawan mereka yang turun kearena. Mereka bahkan melonjak-lonjak dan m enyebut nama kawan mereka itu dengan teriakan nyaring. Dengan demikian maka ara-ara itu telah tenggelam dalam kegembiraan anak-anak mud a. Bahkan orang-orang yang berjualan di pasarpun banyak yang menitipkan dagangan nya kepada penjual di sebelah menyebelahnya dan berlari-lari melihat pertandinga n yang berlangsung dengan meriahnya. Jika penjual di sebelahnya juga pergi ke ar a-ara maka dagangan itu justru ditinggalkannya begitu saja. Dalam kegembiraan itu, tiba-tiba saja seorang anak muda telah menggamit Raden Ra ngga dan Glagah Putih sambil memperhatikan sekelompok anak-anak muda yang lain, I tulah anak-anak muda dari Dukuh Gede. Raden Rangga mengerutkan keningnya. Ia melihat sekelompok anak-anak muda itu. An ak-anak muda yang memang nampak agak lain dari kelompok-kelompok yang sedang asy ik menyaksikan pertandingan. Nampaknya anak-anak muda dari Dukuh Gede itu, meman g merasa diri mereka melebihi anak-anak muda yang lain. Namun Raden Rangga itu terkejut. Digamitnya Glagah Putih sambil berbisik, Kau lih at orang-orang yang berada dibelakang anak-anak muda Dukuh Gede? Glagah Putih mengangguk. Jawabnya, Ya. Agaknya orang-orang itulah yang lebih mena rik. Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berbisik pula, Kehadira n mereka memang perlu dicemaskan. Tentang anak-anak muda Dukuh Gede tidak akan t erlalu banyak menimbulkan persoalan. Mungkin mereka akan berkelahi. Tetapi setel ah itu tidak akan ada persoalan lain, karena anak-anak muda Kademangan ini jumla hnya tentu lebih banyak. Dan tingkah laku anak-anak Dukuh Gede itu sekedar kesom bongan anak-anak muda saja. Tetapi orang-orang itu mempunyai kepentingan yang la in. Glagah Putih masih mengangguk-angguk. Desisnya, kenapa mereka sampai juga ditempa t ini? Meraka telah kehilangan induknya. Mereka agaknya telah berkeliaran dan kehilangan pegangan. Mereka justru menjadi berbahaya karena mereka dapat berbuat apa saja untuk melepaskan dendam meraka. sahut Raden Rangga. Sementaraitu anak muda yang menggamitnya berbisik, Bagaimana menurut penilaianmu

tentang anak-anak Dukuh Gede itu? Raden Rangga terkejut oleh pertanyaan itu. Dengan serta merta ia menjawab, Tidak ada kelebihan diantara mereka. Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, Anak-anak Kademangan itu sudah siap men ghadapi mereka jika mereka berbuat tidak sepantasnya. Ki Jagabaya telah berusaha untuk mencegahnya. Sekelompok pengawal khusus telah dibentuk untuk mengamankan pertemuan yang meriah ini. Bahkan menurut pendengaranku, Ki Jagabaya sudah berhu bungan dengan bebahu Kademangan Dukuh Gede. Hasilnya aku tidak tahu. Mudah-mudahan mereka tidak mengganggu. desis Glagah Putih. Namun sebenarnyalah bahwa yang dicemaskannya adalah justru orang-orang yang seki las nampak berada di belakang anak-anak muda Dukuh Gede. Menurut pengamatan Raden Rangga dan Glagah Putih orang-orang itu tentu bukan ora ng-orang Kademangan Ngentak Amba atau Kademangan disekitarnya. Dalam pengamatan sepintas, mereka melihat beberapa orang yang memiliki persamaan ujud dan sikap d engan orang-orang yang pernah mereka temui di Tanah Perdikan Menoreh dan di Kali Opak. Bahkan hampir diluar sadarnya Raden Rangga berkata, Aku ingin mendapat satu diant ara mereka. Glagah Putih berdesah. Namun katanya, Kita tidak sebaiknya mengganggu keramaian i ni. Kita harus mencari kesempatan lain. Kita dapat mengikuti mereka. berkata Raden Rangga. Namun seperti yang sudah kita perhitungkan, mereka agaknya tidak akan dapat membe rikan penjelasan tentang persoalan yang lebih rumit daripada perintah membakar h utan. Ada sekat antara mereka dan pimpinan mereka. berkata Glagah Putih. Tetapi kita akan mencobanya. sahut Raden Rangga. Glagah Putih tidak membantah. Memang tidak ada salahnya untuk mencoba mendengark an keterangan orang-orang itu tentang perguruan Nagaraga. Tetapi keduanya tidak segera berbuat sesuatu. Mereka tidak ingin merusak suasana yang gembira. Beberap a jenis pertandingan telah diselenggarakan. Dalam pada itu, Raden Rangga dan Glagah Putih telah kembali tenggelam dalam kege mbiraan pula. Kemudian mereka telah menyekap perhatian mereka pada pertandingan binten dan garesan. Bahkan Raden Rangga telah ikut bertepuk tangan, berteriak da n melonjak-lonjak. Agaknya ia telah terlempar sepenuhnya kedalam dunia remajanya . Bersama-sama dengan anak-anak muda dari pedukuhan yang pernah dikunjunginya, Rad en Rangga dan Glagah Putih dengan gairah telah ikut mendorong seorang yang turun untuk mewakili padukuhannya. Raden Rangga ikut pula menyebut namanya sambil ber tepuk tangan. Kegembiraan pada kelompok itu melonjak dan teriakan kegembiraan ba gaikan menyentuh langit ketika ternyata kawan mereka itu telah menunjukkan kemam puannya dan memenangkan pertandingan. Ternyata anak-anak muda itu bermain dengan jujur. Mereka telah berbuat sebaik-ba iknya. Bahkan anak-anak muda dari padukuhan lainpun ikut menyambut kemenangan it u dengan sorak yang gemuruh pula. Sementara yang telah kalah tanpa membantah dan membuat persoalan apapun telah mengakui kekalahan sebagaimana diputuskan oleh o rang-orang tua dan bebahu yang menentukan. Demikian pula dalam pertandingan-pertandingan yang lain. Pertandingan menyelam t ernyata telah mendapat perhatian yang sangat besar. Berjejal-jejal anak-anak mud a bahkan orang-orang tua berdiri mengitari belumbang yang cukup luas itu. Bahkan anak-anak telah mulai memanjat naik pepohonan disekitar belumbang itu. Anak-anak muda yang akan mewakili pedukuhan masing-masingpun telah bersiap dan t urun kedalam air. Para pengamatpun telah siap pula, sementara seorang petugas telah siap untuk mem ukul bende, pertanda pertandingan dimulai. Beberapa saat anak-anak muda yang sudah berendam diair itu menunggu dengan tegan g. Mereka memandang tangan petugas yang siap memukul bende itu dengan tanpa berk edip. Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka tangan petugas itupun bergerak, dan men gumandanglah suara bende bergulung-gulung diatas belumbang itu. Dengan sigapnya anak muda yang berendam itupun telah menyelam. Mereka tidak ingi n dianggap batal karena dengan sengaja lambat membenamkan kepalanya ke dalam air

. Sorak yang gemuruh telah menggetarkan bukan saja disekitar belumbang itu. Tetapi serasa seluruh ara-ara itu telah bergetar. Sejenak orang-orang yang menyaksikan itu menunggu dengan tegang. Namun sorakpun telah menggemuruh lagi, ketika kepala-kepala itu mulai bermunculan. Sehingga akh irnya, meledaklah udara disekitar belumbang itu ketika orang terakhir telah meng angkat kepalanya muncul kepermukaan air dengan nafas terengah-engah. Raden Rangga ikut bersorak-sorak pula. Bahkan melonjak-lonjak dengan gembiranya, meskipun yang menang bukan anak dari padukuhan yang pernah dikunjunginya. Perlombaan yang terakhir diselenggarakan adalah perlombaan yang meriah. Mereka b eradu kekuatan dengan saling bertarik tambang. Tujuh orang anak muda akan mewaki li setiap padukuhan. Mereka akan diadu bertingkat, sehingga yang terakhir akan b erhadapan dua kelompok dari dua padukuhan. Ternyata permainan itu benar-benar telah menggembirakan anak-anak muda Kademanga n Ngentak Amba. Bahkan anak-anak muda dari Kademangan disekitarnya. Bahkan anakanak muda Dukuh Gede nampaknya sudah mendapat pesan dari bebahu padukuhan, sehin gga mereka tidak melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan persoalan. Kegembiraan itu memuncak, ketika pada saat terakhir berhadapan dua kelompok terk uat. Salah satu kelompok adalah kelompok dari padukuhan yang pernah dikunjungi R aden Rangga dan Glagah Putih. Ara-ara itu rasa-rasanya bagaikan meledak. Apalagi ketika salah satu kelompok mu lai berhasil menggeser lawannya, maju setapak demi setapak. Ketegangan tiba-tiba telah mencengkam ketika kaki kelompok yang tergeser maju it u mulai menginjak batas. Namun akhirnya, langit serasa runtuh oleh sorak yang ge muruh ketika kelompok yang tergeser itu benar-benar tidak mampu bertahan lagi. K aki mereka telah bukan saja menginjak, namun demikian kaki orang yang berdiri di paling depan itu melampaui garis itu meskipun baru setebal jari, maka bendepun t elah berbunyi. Pertandingan itu dianggap selesai. Padukuhan yang pernah dikunjun gi oleh Raden Rangga dan Glagah Putihlah yang memenangkan pertandingan yang menj adi puncak segala permainan di ara-ara itu. Kegembiraan memang telah membakar an ak-anak muda di ara-ara itu. Namun tiba-tiba keadaan segera berubah. Dalam kegembiraan itu tiba-tiba tiga ora ng telah maju ke arena. Tiga orang yang justru dianggap oleh Raden Rangga dan Gl agah Putih sebagai orang-orang yang memiliki persamaan dengan orang-orang yang p ernah ditemuinya di Tanah Perdikan Menoreh dan di Kali Opak. Anak-anak muda yang menyaksikan ketiga orang itu menjadi tegang. Merekapun telah terdiam dan bagaikan membeku memperhatikan seorang diantara ketiga orang itu be rjalan mengelilingi arena sambil menatap wajah-wajah yang tegang disekitarnya. Tiba-tiba orang itu berkata, Marilah. Kami bertiga akan memasuki pertandingan ini . Kami siap melawan tujuh orang terkuat yang memenangkan pertandingan ini. Tetap i dengan taruhan. Seluruh hadiah yang disediakan selama permainan ini akan menja di milik kami jika kami menang. Kambing, ayam dan bahkan beberapa jenis barang y ang ada dipanggungan itu semuanya akan menjadi milik kami. Tidak seorangpun yang menjawab. Beberapa orang saling berpandangan. Tidak seoran gpun diantara mereka yang merasa berhak mempertaruhkan hadiah yang disediakan di panggungan kecil di pinggir ara-ara itu, yang diperuntukkan bagi para pemenang pertandingan-pertandingan yang telah diselenggarakan. Namun tawaran itu agaknya memang sangat menarikperhatian. Rasa-rasanya tiga oran g itu telah menantang tanpa perhitungan. Bagaimana mungkin mereka bertiga akan d apat mengalahkan tujuh orang terkuat yang terdiridari anak-anak muda. Meskipun d emikian, jika hal itu terjadi, maka hadiah-hadiah itu akan jatuh ketangan mereka . Namun dalam pada itu, tiba-tiba seorang telah menyibak maju. Seorang yang sudah separo baya. Ki Demang. desis beberapa orang anak-anak muda. Tantanganmu menarik Ki Sanak. berkata Ki Demang. Siapa kau? bertanya salah seorang dari ketiga orang itu. Aku Demang Ngentak Amba. jawab orang itu. Orang itu mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata, Nah, agaknya orang inil ah yang paling berhak menentukan, apakah hadiah-hadiah yang sudah disediakan itu

dapat dipergunakan untuk bertaruh. Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, Ki Sanak. Kenapa kalian bertiga menantang tujuh orang anak muda yang telah memenangkan pertandin gan ini? Tidak apa-apa. jawab orang itu, kami hanya ingin menunjukkan bahwa yang menang dari pertandingan ini bagi kami tidak berarti apa-apa. Karena itu mereka jangan menj adi sombong karenanya. Mereka memang tidak menjadi sombong Ki Sanak. jawab Ki Demang, mereka hanya sekedar bergembira karena kemenangannya itu. Nah, sekarang aku akan membatasi kegembiraan yang berlebihan itu. Aku menjadi mua k melihat mereka bergembira dengan cara yang berlebihan. Karena itu, aku ingin m enunjukkan kepada mereka, bahwa mereka bukan apa-apa. Kami bertiga akan dapat me ngalahkan mereka bertuju meskipun mereka adalah yang terbaik di Kademangan ini, sehingga yang kalahpun akan dapat menilai diri mereka masing-masing. Jika yang m enang adalah kelinci, maka yang kalah tidak lebih dari tikus-tikus. berkata orang itu. Lalu, Selebihnya aku memerlukan hadiah-hadiah itu semuanya. Daripada aku se kedar mengambilnya saja, maka biarlah aku mempergunakan cara yang lebih baik. Ki Demang mengerutkan keningnya. Ki Jagabaya yang melihat dan mendengar pembicar aan itu telah berdiri disamping Ki Demang. Katanya, Permainan ini berlangsung den gan baik, jujur dan rancak. Kau jangan membuat persoalan disini Ki Sanak. Orang itu justru tersenyum. Dengan wajah yang terangkat ia bertanya, Siapa kau? Aku Jagabaya di Kademangan ini. jawab Ki Jagabaya. Orang yang menantang taruhan itu tertawa kecil. Katanya, Pantas sikapmu cukup gar ang. Tetapi baiklah. Aku akan merampas hadiah-hadiah itu dengan cara yang jujur. Aku tantang pemenang permainan terakhir inj untuk bertanding. Tujuh orang, seme ntara kami hanya bertiga. Ki Demangpun kemudian berpaling kepada anak-anak muda yang telah memenangkan per tandingan itu. Apakah kalian siap untuk bertanding melawan ketiga orang ini? Orang yang terkuat diantara ketujuh orang itupun dengan serta merta menyahut, Kam i akan menerima tantangan itu. Ketika ia berpaling kepada kawan-kawannya, maka kawan-kawannyapun menyahut hampi r berbareng. Kami terima tantangan itu. Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa jika tidak ada kelebihan ap apun juga, ketiga orang itu tidak akan mungkin berani menantang tujuh orang anak -anak muda yang terkuat. Apalagi dengan sikap yang sangat yakin itu. Namun karena ketujuh orang anak itu telah menerima tantangan mereka, maka Ki Dem angpun berkata, Baiklah. Aku tidak berkeberatan dengan taruhan ini. Ketiga orang itu tertawa. Seorang diantaranya berkata, Marilah. Kita akan segera mulai. Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, Ya. Kita akan segera mulai. Namun dalam pada itu, Raden Rangga dan Glagah Putihpun menjadi berdebar-debar. M ereka melihat bahwa ketiga orang itu memiliki banyak kelebihan dari orang kebany akan. Karena itu, maka mereka yakin, bahwa ketujuh orang itu tidak akan memenang kan pertandingan. Tiga orang itu tentu akan mengalahkan ketujuh orang yang semul a dianggap orang-orang terbaik itu. Dengan demikian maka mereka tentu akan meram pas dengan sah hadiah-hadiah yang sudah disediakan. Karena itu, maka Raden Ranggapun telah menggamit Glagah Putih, yang segera tangg ap maksud Raden Rangga itu. Dengan demikian maka keduanyapun telah bergeser maju mendekati ketujuh orang anak muda yang akan bertanding. Sebelum ketujuh orang i tu memasuki arena, Raden Rangga sempat menemui anak muda yang memimpin kawan-kaw annya dalam permainan itu, Beri kesempatan kami ikut. Hanya tujuh. Tidak lebih. desis anak muda itu. Kami akan menggantikan dua diantara kalian. berkata Raden Rangga hampir berbisik. Anak muda yang memimpin kawan-kawannya dalam permainan itupun termangu-mangu sej enak. Iapun menyadari, bahwa tiga orang itu tentu mempunyai kekuatan yang meyaki nkan sehingga ia berani menghadapi tujuh orang lawan. Sementara itu, anak muda i tupun tahu bahwa anak muda yang menyatakan untuk ikut itu mempunyai kekuatan yan g sangat besar, karena anak itu pernah memindahkan sebuah tugu batas yang terlet ak dipinggir jalan ketengah jalah. Karena itu, maka tiba-tiba iapun tersenyum. Katanya, Baiklah. Dua diantara kita a

kan diganti. Dua orang yang kemudian diminta untuk diganti itupun tidak merasa sakit hati, ka rena keduanya juga telah melihat apa yang pernah dilakukan oleh anak yang dikena lnya sebagai anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh itu. Karena itu, ketika Ki Demang kemudian memanggil mereka untuk maju ke arena, maka yang tampil adalah tujuh orang. Namun dua diantaranya bukannya dua orang yang i kut sebelumnya. Beberapa orang yang berada disekitar arena itu mengetahuinya. Mereka justru menj adi heran, bahwa dua orang diantara mereka justru diganti dengan anak-anak yang lebih muda dan melihat bentuk tubuhnya justru kurang meyakinkan. Tetapi mereka tidak sempat mempersoalkannya. Ketujuh anak muda itupun segera mem egang tambang disatu ujung sedang diujung lain tiga orang yang menantang mereka. Sambil tertawa seorang diantara ketiga orang itu berkata, Kalian akan melihat ke kuatan yang sebenarnya dari seseorang. Sementara itu ketiga orang itupun tidak menghiraukan, siapa saja dari ketujuh or ang anak muda yang berada diujung tambang yang lain. Bahkan seandainya jurnlah m ereka menjadi sepuluh, ketiga orang itu sama sekali tidak berkeberatan. Karena i tu, pergantian dua orang anak muda sama sekali tidak mereka persoalkan. Sejenak kemudian, maka Ki Demang dan dua orang bebahu bersama Ki Jagabaya telah bersiap untuk memimpin sendiri pertandingan itu. Namun sebelum pertandingan dimu lai, atas usul Raden Rangga, pemimpin dari ketujuh anak muda itupun bertanya, Ki Demang. Jika kami kalah, maka kami telah memberikan taruhan yang tidak sedikit. Tetapi bagaimana jika kami menang? Apakah taruhan yang dapat di berikan oleh ket iga orang itu? Dengan demikian maka pertandingan ini menjadi adil. Apalagi apabi la ketiga orang itu yakin akan menang. Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun bergumam, Kau benar. Agar pertan dingan ini adil, nah, sebaiknya ketiga orang itu juga menyebut apa yang mereka p ertaruhkan. Ketika Ki Demang berpaling kepada ketiga orang itu, sebelum ia bertanya salah se orang diantara ketiga orang itu berkata, Kami akan mempertaruhkan semua yang kami punya. Uang, pakaian dan bahkan diri kami. Nyawa kami. Bagus. berkata Ki Demang, dengan demikian maka pertaruhan ini baru adil. Bukan hany a satu pihak saja yang harus memberikan taruhan jika kalah. Tetapi kedua belah p ihak. Demikian, maka sejenak kemudian Ki Jagabayapun telah memberikan aba-aba agar ked ua belah pihak bersiap. Ketika ia memberikan isyarat dengan tangannya, maka pemu kul bendepun telah bersiap pula. Perlahan-lahan Ki Jagabaya mengangkat tangannya , sementara pemukul bendepun telah mengangkat pemukulnya pula. Ketika kemudian t angan Ki Jagabaya mengayun turun, bende itupun telah menggelepar pula sambil mel ontarkan gaung suaranya yang tinggi. Sorakpun telah meledak pula. Ketiga orang asing itu telah menghentakkan tambang ditangan mereka. Dengan serta merta, maka ketujuh orang anak muda itu telah ters eret beberapa langkah. Hampir saja kaki anak muda yang berdiri dipaling depan me nginjak garis batas. Untunglah bahwa merekapun kemudian telah terhenti. Untuk be berapa saat keadaan menjadi seimbang. Ketiga orang itu tidak dapat lagi menarik ketujuh orang lawannya untuk bergeser terus dan yang dipaling depan melewati gar is batas yang ditentukan. Para penontonnya menjadi tegang. Sorak yang gemuruh itu perlahan-lahan telah ter henti dengan sendirinya. Wajah-wajah nampak berkerut dan dahipun menjadi terlipa t karenanya. Ketiga orang itu telah menghentakkan kekuatan mereka. Mereka yakin akan dapat me narik dan bahkan melemparkan ketujuh orang anak muda itu sampai kebelumbang. Nam un rasa-rasanya tambang itu telah tersangkut pada batu karang yang berdiri kokoh kuat. Untuk beberapa saat kedua belah pihak nampak sama kuat meskipun anak-anak muda y ang herjumlah tujuh orang itu berada ditempat yang gawat. Kaki yang berada didep an telah hampir menyentuh garis batas. Sejengkal lagi mereka terseret kekuatan l awan, maka mereka tentu dinyatakan kalah. Namun keadaan ternyata tidak demikian. Perlahan-lahan ketujuh orang itu mampu me narik ketiga orang lawannya bergeser kedepan. Perlahan-lahan sekaii. Setapak dem

i setapak, sehingga akhirnya garis itu telah berada ditengah jarak antara kedua belah pihak. Setan manakah yang telah menganggu? geram salah seorang dari ketiga orang itu. Kenapa begini berat? bertanya yang lain. Tentu ada yang tidak jujur dalam permainan ini. berkata yang lain. Namun ketiga orang itu masih mencoba dengan kekuatan mereka. Dengan sepenuh tena ga ketiga orang itu berusaha menarik lawan-lawan mereka sehingga melampaui garis batas. Dengan demikian maka mereka bertiga akan berhak ambil semua hadiah yang telah disediakan. Untuk sesaat ketiga orang itu berhasil menarik ketujuh orang lawannya. Namun tid ak lebih dari senjari. Kemudian perlahan-lahan lagi ketiga orang itu telah terse ret oleh kekuatan tujuh orang anak muda Ngentak Amba itu, meskipun mereka tidak dipadukuhan induk. Namun keseimbangan segera pulih kembali. Kedua belah pihak ti dak lagi maju dan tidak mundur. Ketiga orang itu agaknya menjadi marah. Seorang diantara mereka berkata, Kita hen takkan saja agar mereka terlempar dari tambang. Bagus. Kita kendorkan sekejap, lalu kita tarik dengan hentakkan yang sangat kuat. Mereka tentu akan terlempar, bahkan mungkin ada yang sampai belumbang. Ketiga orang itupun segera mempersiapkan diri. Dengan isyarat, maka ketiga orang itu bersama-sama telah mengendorkan tambang itu. Namun kemudian dihentakkannya keras sekali. Ketujuh orang lawannya sama sekali tidak menduga bahwa hal yang demikian itu ter jadi, karena itu, mereka tidak dalam kesiagaan untuk menghadapi satu permainan y ang kasar di ara-ara dihadapan sekian banyak orang. Permainan maut yang sangat b erbahaya. Tambang itupun kemudian bagaikan disentakkan sehingga ketujuh orang anak muda it u tiba-tiba saja telah terlempar dari tambang yang mereka genggam erat-erat. Sat u kekuatan yang tidak mereka mengerti telah menghentak dan merenggut mereka dari pegangan mereka, sehingga kelima orang anak muda itu telah terlempar jatuh. Tig a orang diantara mereka ternyata tidak segera dapat bangkit. Seorang masih mampu berdiri tegak, sementara seorang lagi telah menjadi pingsan. Dan seorang lagi t idak segera mampu untuk bergerak meskipun ia tidak menjadi pingsan. Yang masih b erdiri tegak berpegangan tambang adalah Glagah Putih dan Raden Rangga yang menye lipkan tongkatnya di punggungnya. Orang-orangyangmenyaksikan keadaan itupun terkejut bukan buatan. Bahkan beberapa orang perempuan telah menjerit. Sementara beberapa orang berusaha menolong anak -anak muda yang terlempar itu. Ketiga orang itu tertawa. Tetapi ketika mereka sadar, masih ada dua orang yang t ertinggal pada tambang, mereka menggeram. Seorang diantara ketiga orang itu berk ata, Inilah agaknya kelinci yang menahan sehingga kita tidak segera berhasil meny eret anak-anak itu melampaui garis batas. Kita selesaikan sama sekali. berkata yang lain. Namun dalam pada itu, baik Glagah Putih maupun Raden Rangga justru menyadari, ba hwa ketiga lawannya itu memang memiliki kekuatan yang sangat besar. Karena itu, maka merekapun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kedua anak muda itu sama sekali tidak melepaskan tambang ditangannya. Bahkan Raden Ranggapun kemudian be rkata, Marilah. Kita seret mereka. Jika mereka marah, justru ada alasan bagi kita untuk berkelahi. Glagah Putih yang melihat cara orang-orang itu melemparkan kelima anak muda yang lain ternyata telah tersinggung juga. Karena itu, maka iapun sependapat dengan Raden Rangga sehingga dengan demikian maka iapun telah bersiap untuk menarik ket iga orang itu melampaui garis batas. Sejenak kemudian telah terjadi pertarungan kekuatan yang keras. Ketiga orang itu memang berusaha untuk melemparkan Raden Rangga dan Glagah Putih. Tetapi keduany a tidak berhasil. Bahkan keduanya merasa perlahan-lahan mereka justru telah ters eret oleh kekuatan kedua orang anak-anak muda itu. Keteganganpun kemudian telah memuncak. Sementara itu kelima orang yang terlempar itu telah dibawa menyingkir, sehingga dengan demikian perhatian para penontonpu n seluruhnya telah tertumpah kepada pertandingan itu. Pertandingan yang justru m elibatkan orang-orang dari luar Kademangan Ngentak Amba.

Ki Demang yang belum pernah melihat kedua anak muda yang mewakili anak-anak muda Ngentak Amba itu berusaha untuk mendapat keterangan. Sementara itu anak muda ya ng terlempar dari tambang, namun yang masih sempat bangkit dan berdiri tegak tel ah memberikan keterangan singkat kepada Ki Demang. Kedua anak itu datang dari Tanah Perdikan Menoreh. berkata anak muda itu. Tanah Perdikan Menoreh? Kenapa mereka berada disini? bertanya Ki Demang. Kami mengenal mereka. Kami telah mengetahui kelebihan mereka, karena mereka perna h berkunjung ke padukuhan kami. jawab anak muda itu. Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Nama Tanah Perdikan Menoreh memang memberik an arti tersendiri. Ketika Raden Rangga dan Glagah Putih berhasil menarik ketiga orang itu ke garis batas, maka meledaklah sorak para penonton. Mereka sudah melupakan peristiwa yan g baru saja terjadi, Namun mereka justru menjadi heran dan bangga. Jika ketiga o rang itu menantang tujuh orang anak muda, maka melawan dua orang saja diantara y ang tujuh itu, mereka tidak dapat bertahan. Sementara itu, dua kekuatan raksasa memang sedang beradu. Selangkah demi selangk ah ketiga orang im telah terseret mendekati garis batas. Raden Rangga dan Glagah Putih benar-benar akan menyeret mereka melampaui garis batas dan memaksa mereka mengakui kekalahan, sehingga dengan demikian. maka mereka tidak akan dapat menu ntut hadiah yang menjadi taruhan, Bahkan merekalah yang harus membayar taruhan y ang nilainya sangat tinggi bagi mereka. Ketiga orang yang semula merasa yakin akan memenangkan pertandingan itu menjadi sangat marah. Karena itu, maka merekapun telah mengerahkan kemampuan mereka untu k tetap bertahan. Ketika dua kekuatan itu bernar-benar telah beradu lewat tarikan tambang ternyata bahwa tambang itu tidak mampu menahannya. Selembar-selembar serat pada tambang itu mulai putus. Ketiga orang yang menyadari bahwa tambang itu akan putus, menjadi sedikit berpen gharapan. Mereka tidak akan menjadi sangat malu jika mereka sampai terseret mele wati garis batas. Karena itulah maka mereka menjadi semakin berusaha untuk menah an, agar tambang itu segera menjadi putus. Tetapi Glagah Putihpun melihat bahwa tambang itu akan putus. Karena itu, maka ia pun telah berbisik, Raden. Tambang akan putus. Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian telah menekan tambang i tu menjadi semakin keras. Sebuah kekuatan terasa menjalari tambang itu. Tiba-tiba saja tambang itu mengera s seperti sebatang besi yang panjang. Ketiga orang itu terkejut bukan buatan ketika terasa tambang itu berubah. Mereka tidak lagi merasa menggenggam tambang. Tetapi rasa-rasanya mereka telah menggen ggam sebatang besi yang panjang. Gila. geram salah seorang dari ketiga orang itu. Namun dengan demikian mereka meny adari, bahwa mereka bertanding memang bukan orang kebanyakan. Ketika dengan demikian mereka menyadari bahwa tambang itu tidak jadi putus karen a kekuatan ilmu lawan, maka ketiga orang itu menjadi semakin berdebar-debar. Sem entara itu, setapak demi setapak ketiga orang itu terseret mendekati garis batas . Meskipun ketiga orang itu mencoba untuk menekankan tumit mereka menghunjam bum i, namun mereka benar-benar tidak mampu untuk bertahan. Kita lepaskan saja mereka. bisik seorang diantara ketiga orang itu. Mereka akan terbanting jatuh. desis yang lain. Tidak peduli. Jika mereka marah, kita akan menyelesaikan mereka, meskipun kita sa dari, bahwa mereka tentu memiliki ilmu kanuragan pula. Kawan-kawannya akhirnya sependapat. Orang yang berdiri dipaling depan mulai meng hitung, Satu, dua, tiga. Ketiga orang itu serentak telah melepaskan genggamannya atas tambang yang seakan -akan telah berubah menjadi sepotong besi itu. Mereka memperhitungkan bahwa kedu a anak muda itu tentu akan terdorong kebelakang oleh kekuatannya sendiri dan jat uh terlentang. Namun perhitungan ketiga orang itu ternyata salah. Kedua anak muda itu sama seka li tidak terjatuh. Meskipun mereka memang sedikit terseret oleh kekuatan mereka surut. Namun mereka tetap berdiri tegak, karena sesaat sebelum ketiga orang itu

melepaskan genggamannya, Raden Rangga sempat melihat gejalanya. Ia sempat memper ingatkan Glagah Putih, Awas. Nampaknya mereka akan curang. Nampaknya mereka akan melepaskan tambang ini. desis Glagah Putih. Belum lagi Glagah Putih sempat berbicara lebih lanjut, ternyata ketiga orang itu benar-benar telah melepaskan pegangannya. Namun Raden Rangga dan Glagah Putih s udah bersiap-siap, sehingga mereka hanya terseret oleh kekuatannya sendiri beber apa langkah. Tetapi mereka masih tetap berdiri. Sementara tambang yang terlepas itupun telah terkulai ditanah sebagaimana seutas tambang. Ketiga orang yang gagal melemparkan kedua orang anak muda itu mengumpat. Sementa ra itu, keteganganpun telah mencengkam ara-ara yang semula riuh dengan kegembira an itu. Ternyata ketiga orang itu tidak puas dengan kegagalannya. Seorang dianta ra mereka maju selangkah sambil berteriak. Kalian curang. Raden Rangga dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Raden Rangga berkata dengan ragu, Siapa yang curang? Kalian. jawab orang itu. Raden Rangga tiba-tiba saja berpaling dan memandang berkeliling. Terakhir ia mem andang Ki Demang sambil bertanya, Apakah benar kami curang Ki. Demang? Lalu kepada orang-orang yang menonton pertandingan itu, He, apakah kami yang curang? Jawabnya bagaikan akan membelah langit. Gemuruh terdengar orang-orang yang menon ton itu berteriak, Tidak. Tidak. Nah, ada beratus saksi. desis Raden Rangga, kalianlah yang curang. Persetan. geram orang itu, kau telah berani mencoba menyombongkan dirimu dihadapank u. Kau kira, bahwa permainanmu yang kotor itu dapat menggetarkan hatiku? Permainanku yang mana? bertanya Raden Rangga. Aku bermain wajar. Kalianlah yang ber main curang. Agaknya kau lebih baik menuduh lebih dahuiu daripada kau harus nemp ertanggung jawabkan kekalahanmu? He, bukankah kita bertaruh. Kau ingat! Jika kau menang, kau ambil hadiah-hadiah yang ada dipanggung kecil itu. Tetapi jika kau kalah, kau pertarukan segala-galanya. Termasuk nyawamu. Tutup mulutmu. geram orang itu, tidak ada yang dapat mengikat kami dengan paugeran apapun juga. Bukan paugeran. Tetapi sebuah perjanjian diantara kita. Kalian dan kami. jawab Rad en Rangga. Tidak ada yang dapat memaksa kami untuk memenuhi janji kami. geram orang itu. Lalu katanya, Kami justru akan menuntut kalian yang telah bermain curang. Kalian tela h mempergunakan kekuatan iblis untuk menahan tarikan kami yang tentu tidak akan dapat diimbangi oleh kekuatan apapun juga, apalagi kekuatan anak-anak seperti ka lian. Tetapi apakah yang terjadi? bertanya Raden Rangga. Karena kalian mempergunakan kekuatan iblis. orang itu mulai membentak, karena itu, siapa yang bersekutu dengan iblis harus dihancurkan. Bagus. Aku sependapat. teriak Raden Rangga, jangan ingkar. Kalianlah yang telah ber sekutu dengan iblis. Kalianlah yang telah menyadap kekuatan hitam, sehingga kali an merasa mampu mengimbangi tujuh orang anak muda dari Kademangan ini. Kalianlah yang telah digerakkan oleh bayangan dunia kelam, karena kalian berusaha untuk m erampas barang-barang bukan milikmu. Untuk mensahkan usahamu merampas barang-bar ang dipanggung kecil itu, kalian telah menantang pertaruhan ini. Tetapi ternyata telah kalah. Diam. bentak orang itu, aku akan meremas mulutmu. Lalu sambil memandang berkeliling orang itu berkata lantang, Ayo, siapa yang ingin lebih dahuiu aku lumatkan. Majul ah bersama-sama dengan kedua orang anak muda itu. Namun Raden Ranggalah yang menyahut, Aku tantang kalian berkelahi. Kami berdua, k alian bertiga. Aku masih tetap berpihak pada taruhan yang pernah kita setujui. Persetan dengan taruhan itu. geram orang itu, aku akan membunuhmu. Aku tidak terika t lagi oleh janji apapun juga. Aku akan membunuh kalian berdua dan membawa semua yang ada dipanggung kecil itu seluruhnya. Siapa yang mencoba menentang kehendak ku, aku akan membunuhnya. Bagus. sahut Raden Rangga, kita akan berkelahi. Tidak ada yang akan campur tangan. Kita akan saling membunuh. Raden. desis Glagah Putih. Tetapi Raden Rangga tidak mendengar. Ia melangkah maju dan bersiap menghadapi se

gala kemungkinan. Glagah Putih tidak dapat berbuat lain. Namun ia masih mengharap Raden Rangga tid ak mempergunakan tongkatnya yang diselipkan pada ikat pinggangnya mencuat dipung gungnya. Ternyata ketiga orang itupun telah bersiap-siap pula. Dengan garang salah seoran g dari ketiga orang itu berkata, Aku akan mencincangmu. Gila. desis Glagah Putih. Ia menjadi gelisah karena lawannya menarik pedangnya. Bu kan karena gentar, tetapi itu dapat memancing Raden Rangga mempergunakan tongkat bambunya. Glagah Putih menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat Raden Rangga terta wa. Katanya, Kau mengajak bermain-main dengan senjata. Menyenangkan sekali. He, a pakah kau yakin bahwa senjatamu akan dapat menyelesaikan persoalan? Ketiga orang itu mengumpat dengan kasar. Ketiganya sudah menggenggam senjatanya. Sementara itu, Raden Rangga dan Glagah Putih tidak nampak membawa senjata apapu n. Dalam pada itu Ki Jagabaya yang merasa bertanggung jawab atas keamanan permainan itupun telah melangkah maju kedepan sambil berkata, Hentikan permainan gila ini. Kami ingin bergembira pada hari Merti Desa ini. Tetapi kalian bukan orang-orang Ngentak Amba telah membuat Kademangan kami menjadi kacau. Aku minta kalian semu anya meninggalkan Kademangan ini. Jika kalian akan berkelahi dan saling membunuh , lakukanlah diluar Kademangan Ngentak Amba. Kelima orang yang sudah siap bertempur itu termangu-mangu. Namun ketiga orang ya ng bersenjata pedang itu justru menggeram. Seorang diantara mereka berkata, Janga n ganggu permainan ini Ki Jagabaya. Jika kau ikut bermain-main, kau akan dapat m ati. Aku Jagabaya disini. bentak Ki Jagabaya, aku dapat mengerahkan anak-anak muda Ngent ak Amba untuk menangkap kalian. Aku dapat membunuh seisi Kademangan ini. geram salah seorang dari ketiga orang itu . Ki Jagabaya memang menjadi ragu-ragu. Namun Ki Demanglah yang kemudian melangkah maju sambil berdesis, Apapun yang terjadi, itu menjadi kewajiban kami. Persetan. geram ketiga orang itu hampir bersamaan. Namun dalam pada itu, Raden Ranggapun berkata, Maaf Ki Demang, Ki Jagabaya dan pa ra bebahu Kade-mangan Ngentak Amba, termasuk anak-anak mudanya. Aku minta ijin u ntuk melakukan permainan ini. Kami berlima akan meminjam tempat ini untuk berkel ahi tanpa melibatkan Kademangan ini, karena kami semua memang bukan orang kadema ngan ini. Kau orang mana? bertanya salah seorang dari ketiga orang itu. Kami dari Tanah Perdikan Menoreh. jawab Raden Rangga. Wajah orang itu menegang. Tanah Perdikan Menoreh adalah satu daerah yang mendeba rkan jantung. Beberapa kali orang-orang itu mendengar nama Tanah Perdikan Menore h disertai dengan ceritera yang dapat mengguncangkan dada. Namun kini mereka telah berhadapan. Tidak ada jalan untuk melangkah surut. Karen a itu, maka salah seorang dari ketiga orang itu justru berkata, Kebetulan sekali, bahwa kami dapat bertemu dengan orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh. Ternya ta yang kami dengar tentang Tanah Perdikan Menoreh bukannya sekedar ceritera nga ya-wara. Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh memang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tetapi sayang, bahwa kalian telah bertemu dengan kami. Kami akan mengakh iri kesombongan kalian dengan cara yang tidak tanggung-tanggung, karena kami aka n membunuh kalian berdua dan bahkan orang-orang Ngentak Amba yang tersangkut dal am persoalan kami dengan anak-anak Tanah Perdikan ini. Ki Demang memang menjadi ragu-ragu. Namun dalampada itu Raden Ranggapun berkata, Ki Demang. Sudahlah. Jangan hiraukan kami dan orang-orang gila ini. Kami akan me minjam ara-ara ini seperti yang sudah aku katakan. Kami akan bertempur. Jika ora ng-orang ini menghendaki bertempur sampai mati, maka akupun akan melakukannya. Bukan harus sampai mati. sahut Glagah Putih. Terserah kepada mereka. jawab Raden Rangga. Namun dalam pada itu, seorang diantara ketiga orang itu berkata, Nah, kawanmu sudah menjadi ketakutan. Ia memang menjadi ketakutan. Bukan karena gentar menghadapi kalian. Tetapi ia sud ah terlalu banyak membunuh dan bahkan pernah berjanji bahwa ia tidak ingin membu

nuh lagi. Karena itu, ia menjadi ketakutan bahwa ia akan melanggar janjinya. Tet api jika terpaksa apaboleh buat. Gila. geram ketiga orang itu hampir bersamaan. Seorang diantara mereka meloncat ma ju sambil mengacukan senjatanya. Sementara itu Raden Rangga berkata, Jangan ada yang ikut campur dalam perkelahian ini. Kami akan membuktikan bahwa kami berdua akan dapat membunuh mereka bertiga dan dengan demikian kami memenangkan taruhan ini. Anak setan. geram orang yang sudah meloncat maju itu. Pedangnya telah terjulur men garah kedada Raden Rangga. Namun Raden Rangga dengan tangkasnya mengelak. Pedang itu sama sekali tidak meny entuhnya. Bahkan sambil tertawa ia berkata, Marilah kita berkelahi dalam satu kel ompok. Kami berdua melawan kalian bertiga. Kami akan berkelahi berpasangan dan k alian akan bertempur bertiga bersama-sama. Orang-orang itu tidak menjawab. Namun mereka telah berpencar, sementara Glagah P utih dan Raden Rangga berdiri saling membelakangi. Marilah kita juga mempergunakan senjata. berkata Raden Rangga, agar kita tidak dian ggapnya terlalu sombong. Biarlah jika mereka terbunuh oleh senjata, namanya tida k terlalu cemar karena mereka telah dibunuh oleh anak-anak tanpa senjata, meskip un kita mampu melakukannya. Telinga ketiga orang itu bagaikan tersentuh api. Panas sekali. Karena itu, maka merekapun telah berloncatan menyerang. Sebenarnyalah Raden Rangga telah mempergunakan senjatanya, tongkat yang semula d iselipkan pada ikat pinggangnya mencuat dipunggungnya, sementara Glagah Putih ma u tidak mau telah melepas ikat pinggangnya dan mengikatkan kain panjangnya. Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin tegang. Kedua anak yang masih sangat muda itu telah melawan tiga orang yang garang hanya dengan ton gkat dan ikat pinggang. Demikianiah, maka telah terjadi pertempuran yang semakin lama menjadi semakin se ru. Kedua belah pihak bergerak semakin cepat. Namun seperti dikatakan oleh Raden Rangga, bahwa Raden Rangga bertempur berpasangan dengan Glagah Putih dengan ber adu punggung. Sementara itu ketiga lawannya bertempur sambil berputaran mengelil ingi kedua anak muda itu. Ara-ara itu memang menjadi gempar. Bukan lagi oleh pertandingan yang membuat ana k-anak muda menjadi gembira. Tetapi yang kemudian terjadi di ara-ara itu adalah satu perkelahian yang menegangkan, karena senjata-sen-jata ketiga orang yang dat ang untuk merampas hadiah-hadiah itu benar-benar akan dapat menebas dan memutusk an leher anak-anak muda itu, sementara anak-anak muda itu hanya bersenjata sebat ang tongkat bambu berwarna gading dan yang lain sehelai ikat pinggang kulit. Namun dalam pada itu, Raden Rangga sendiri justru merasa benar-benar bermain-mai n. Ia merasa mendapat kesempatan pula, karena sebelumnya ia hanya dapat menonton saja. Untuk beberapa saat Raden Rangga dan Glagah Putih memang tidak melepaskan ilmu-i lmunya. Mereka mempergunakan tenaga cadangannya untuk mendorong langkah-langkah mereka sehingga menjadi cepat dan kuat, sebagaimana ketiga orang lawan mereka. Pada tataran itu Raden Rangga dan Glagah Putih sama sekali tidak merasa mengalam i kesulitan. Karena itu, maka Raden Rangga justru menganggap yang terjadi itu ad alah kesempatan baginya setelah anak-anak muda Kademangan Ngentak Amba selesai. Namun ternyata bahwa pertempuran itu sama sekali tidak menimbulkan kegembiraan p ada mereka yang menyaksikannya, sebagaimana mereka menyaksikan pertandingan. Tet api pertempuran itu telah mencengkam jantung mereka yang mengitari arena itu. Se njata ketiga orang yang mengelilingi Raden Rangga dan Glagah Putih itu berputara n. Sekali-sekali mematuk dan yang lain menebas. Namun Raden Rangga dan Glagah Putih memang sudah membuat permainan yang sulit di mengerti oleh orang-orang Ngentak Amba. Pring Gading ditangan Raden Rangga dan i kat pinggang kulit ditangan Glagah Putih ternyata mampu mengimbangi ketiga ujung senjata dari ketiga orang yang mengitarinya. Untuk beberapa saat Raden Rangga dan Glagah Putih memang tidak berniat untuk men yelesaikan pertempuran itu. Setiap serangan mampu mereka elakkan. Jika keduanya harus menangkis serangan-serangan itu dengan senjatanya yang aneh, maka rasa-ras anya senjata lawan mereka itu bagaikan membentur senjata yang terbuat dari baja.

Ketika seorang diantara ketiga orang itu sempat meloncat mendekat, dengan segena p kekuatannya, ia telah mengayunkan pedangnya mengarah ke leher Raden Rangga. Na mun ternyata bahwa anak muda itu sempat menangkisnya dengan tongkat pring gading nya, Adalah diluar penalaran anak-anak muda Ngentak Amba yang menyaksikan pertem puran itu, bahwa benturan yang terjadi antara pedang yang terbuat dari besi baja itu telah berakibat diluar dugaan. Pedang itulah yang justru terpental dan bahk an terlepas dari tangan. Sementara itu, Raden Rangga tertawa berkepanj angan sam bil berkata, Hati-hati menggenggam pedang. He, kenapa pedangmu kau lemparkan? Apa kah kau menyerah? Persetan. geram orang yang kehilangan pedangnya. Namun sementara itu, kawannya tel ah berusaha menyerang Raden Rangga untuk mengalihkan perhatiannya, sementara ora ng yang kehilangan pedangnya itu dengan cepat meraihnya. Raden Rangga masih tertawa. Katanya, Jangan tergesa-gesa. Aku tidak berkeberatan kau mengambil senjatamu. Anak setan. geram orang itu. Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin tegang, Kedua anak yang masih sangat muda itu telah melawan tiga orang yang garang hanya dengan ton gkat dan ikat pinggang Namun suara tertawa Raden Rangga masih terdengar berkepanjangan meskipun tongkat nya sudah mulai berputar lagi. Ketika senjata yang lepas itu sudah di tangan lagi, maka pertempuranpun telah mu lai lagi sebagaimana sebelumnya. Berputaran, menusuk, menebas, mematuk dan ayuna n-ayunan yang melibat dari arah yang berbeda-beda. Namun dua orang anak muda itu sama sekali tidak merasa gentar. Semakin cepat law annya bergerak, maka Raden Ranggapun justru menjadi semakin gembira. Ia berlonca tan semakin lincah dan sekali-sekali justru berteriak memberi aba-aba. Tidak kep ada Glagah Putih, tetapi kepada lawan-lawannya. Lawannya benar-benar menjadi semakin panas. Darah mereka bagaikan mendidih oleh tingkah anak-anak muda itu. Karena itu, maka salah seorang diantara ketiga orang itupun berkata, Kita selesaikan dengan cara kita. Kita adalah orang-orang dari p erguruan yang dihormati. Raden Rangga tertarik kepada kata-kata itu. Tiba-tiba saja ia bertanya, Apakah ka lian dari perguruan Nagaraga? Orang-orang itu mengerutkan keningnya. Seorang diantara mereka menyahut sambil m enjulurkan pedangnya, Aku tidak tahu apa yang kalian katakan. Nagaraga. ulang Raden Rangga sambil menangkis serangan itu, apakah kau dari perguru an itu. Aku tidak kenal dengan perguruan Nagaraga. jawab orang itu. Jadi kalian dari perguruan apa? Kenapa kalian bekerja sama dengan orang-orang Nag araga mengacaukan Mataram yang sudah tenang. bentak Raden Rangga. Persetan. orang itupun berteriak, aku tidak tahu Nagaraga. Aku tidak tahu arah pemb icaraanmu. Aku bertanya, jika bukan dari Nagaraga, kalian dari perguruan mana? Raden Ranggapu n berteriak. Glagah Putih menjadi semakin berdebar-debar. Jika Raden Rangga mulai jengkel mak a akibatnya dapat menjadi gawat. Anak muda itu dapat berbuat sesuatu yang tidak terkendali. Dan akibatnya memang dapat dibayangkan. Namun Glagah Putih tidak sem pat berpikir terlalu panjang. Justru orang-orang itulah yang telah kehilangan ke sabaran. Dengan isyarat, maka ketiga orang itu mulai melakukan gerak yang aneh. Mereka be rlarian berputaran. sekali-sekali seorang diantara mereka meloncat menyerang. Pa da saat sasarannya sedang menangkis serangan itu, maka orang yang dibelakangnya telah menyerang pula. Namun ternyata cara itu tidak membuat Raden Rangga dan Glagah Putih menjadi bing ung. Mereka mampu menangkis setiap serangan dan sekali-sekali meloncat menghinda rinya tanpa keluar dari putaran. Bahkan sambil tertawa Raden Rangga berkata, He, apakah dimasa kecilmu kau tidak sempat bermain jamuran? Aku koyak mulutmu. geram seorang diantara mereka. Tetapi Raden Rangga masih tertawa, Kau tidak akan dapat melakukannya. Seandainya sudah, tentu sudah kau lakukan sejak tadi.

Persetan. orang itu menggeram. Tetapi Raden Rangga sama sekali tidak terpengaruh. Ia masih tetap bertempur deng an gembira, segembira anak-anak muda Ngentak Amba yang ikut dalam perlombaan-per lombaan, meskipun yang menonton justru menjadi sangat tegang. Namun dalam pada itu, putaran ketiga orang itu semakin lama menjadi semakin cepa t. Bahkan kemudian mereka seakan-akan telah hilang dan berubah menjadi kabut yan g berputar mengelilingi kedua orang anak muda yang mengaku dari Tanah Perdikan M enoreh itu. He. bentak Raden Rangga, jangan terlalu kasar. Kalian membuat aku pening. Namun yang terdengar adalah jawaban yang kasar, Itu pertanda bahwa kau sudah mend ekati hari akhirmu. Raden Rangga masih merasa terganggu. Karena itu katanya, Jangan membuat aku marah . Kita sedang bermain-main dengan baik. Sekarang kau pergunakan cara yang tidak aku senangi. Gila. salah seorang dari orang yang berputar disekitarnya itu berteriak, kau kira k ami sedang menyenangkan kau? Apapun yang kau lakukan, jika kau membuat aku tidak senang, aku juga akan berbuat kasar. geram Raden Rangga. Ketiga orang itu tidak menjawab. Tetapi putaran kabut itu seakan-akan menjadi se makin cepat dan rasa-rasanya mendorong kedua orang anak muda itu ikut berputar b ersama putaran itu. Raden Rangga dan Glagah Putih mencoba untuk bertahan. Perlahan-lahan Raden Rangg a berkata, mereka mulai dengan landasan ilmu mereka. Mereka tentu orang-orang dar i salah satu perguruan. Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia sependapat dengan Raden Rangga, sehingga iapun menjadi semakin berhati-hati menghadapi ketiga orang lawannya itu. Namun putaran itu memang membuat Raden Rangga dan Glagah Putih menjadi pening, a palagi sekali-sekali pedang terjulur kearah mereka dalam putaran yang cepat itu. Jika kedua anak muda itu tidak sempat menghindar atau menangkisnya, maka sentuh annya akan dapat mengoyak lambung. Namun tenaga ketiga orang itupun telah berubah pula. Benturan yang terjadi tidak mudah lagi untuk melemparkan pedang dari genggaman mereka, karena mereka memang sudah mulai mengetrapkan ilmu mereka yang agaknya cukup tinggi. Raden Ranggapun tidak lagi ingin melemparkan pedang salah seorang dari mereka. N amun iapun kemudian berbisik kepada Glagah Putih, Jangan biarkan kepala kita menj adi pusing dan kehilangan penalaran karenanya. Apakah kita akan memecahkan putaran ini? bertanya Glagah Putih. Ya. jawab Raden Rangga, kita pergunakan senjata kita, karena senjata kita bukan sek edar sebagaimana yang nampak pada ujudnya. Glagah Putih mengerti. Karena itu maka iapun segera mempersiapkan diri sebaik-ba iknya. Disalurkannya ilmunya pada ikat pinggangnya, sehingga jika dikehendakinya , maka ikat pinggangnya itu akan dapat menjadi sekeping senjata yang kekuatannya melampaui kepingan baja pilihan. Sedangkan tongkat pring gading Raden Ranggapun memiliki kemampuan melampaui wesi gligen. Demikianlah, maka tiba-tiba saja Raden Rangga berkata, Aku peringatkan sekali lag i. Jangan membuat aku pening. Kita bermain dengan baik. Jangan dengan cara kasar seperti ini. Jika kalian ingin menyerah, menyerahlan. geram salah seorang dari ketiga orang itu , kemudian berlututlah. Kau tidak akan mengalami pusing lagi yang akan dapat memb uat gila sama sekali. Tetapi biarkan kami memenggal kepalamu yang sombong itu. Raden Rangga memang merasa tersinggung. Karena itu, maka iapun telah memberi isy arat kepada Glagah Putih. Katanya, Sekarang. Glagah Putihpun tanggap akan isyarat itu. Dengan serta merta keduanya telah meng hentakkan senjata mereka. Bahkan dengan kekuatan yang sangat besar. Ternyata telah terjadi benturan yang dahsyat. Raden Rangga dan Glagah Putih deng an perhitungan yang mapan justru telah menyerang dua diantara ketiga orang yang sedang berputar itu, namun dengan memperhitungkan yang seorang lagi. Demikian ke ras dan besarnya kekuatan ilmu kedua anak muda itu yang mengalir pada senjata-se njatanya, maka dua orang diantara ketiga orang itu bagaikan terpelanting oleh be nturan yang terjadi. Kekuatannya sendiri yang besar, membentur kekuatan yang tid

ak terlampaui oleh kekuatan mereka, membuat mereka kehilangan keseimbangan. Ketika kedua orang itu terlempar melenting keluar dari putaran, maka yang seoran g telah berusaha untuk menyerang Glagah Putih. Tetapi Glagah Putih telah benar-b enar bersiap. Ia sempat meloncat memperbaiki kedudukannya, setelah melemparkan s eorang lawannya, kemudian dengan kekuatan yang sangat besar telah membentur sera ngan lawannya yang seorang. Ketika pedang lawannya yang seorang itu membentur ikat pinggang Glagah Putih, ma ka rasa-rasanya pedang itu bagaikan membentur dinding baja. Ternyata ikat pingga ng yang terbuat dari kulit itu seolah-olah telah berubah menjadi sekeping baja y ang kerasnya melampaui pedangnya yang dibuat dari baja pilihan. Tangan orang yang menyerang Glagah Putih itu tergetar. Perasaan pedih menggigit telapak tangannya. Namun dalam kekuatan ilmunya, maka pedang itu tidak terlempar sebagaimana pernah terjadi pada seorang kawannya yang telah terpelanting dari p utarannya dan jatuh terguling di tanah. Pada saat yang gawat bagi orang yang telah menyerang Glagah Putih itu, kedua ora ng kawannya telah bangkit dan berdiri tegak sambil mengumpat kasar. Terasa pungg ung mereka menjadi sakit dan kulitnya menjadi pedih oleh luka-luka yang tergores pada saat mereka jatuh di tanah. Namun hal itu justru membuat mereka menjadi se makin marah, sehingga dengan demikian maka mereka telah menghentakkan segala mac am ilmu yang ada pada mereka. Dengan demikian, maka sejenak kemudian ketiga orang itu telah bersiap kembali un tuk bertempur menghadapi dua orang anak muda yang mengaku berasal dari Tanah Per dikan Menoreh itu. Jangan berbelas kasihan lagi. geram orang yang tertua diantara mereka, kita bakar m ereka dengan ilmu tertinggi perguruan kita. Raden Rangga dan Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Ilmu apa lagi yang akan di trapkan oleh orang-orang itu. Apakah mereka mampu juga menyerap tenaga api dan m elontarkannya kepada lawan-lawannya sebagaimana dapat dilakukan oleh Glagah Puti h. Namun ternyata ketiga orang itu telah menyerang kembali dengan senjata mereka. L ebih cepat dan garang. Dalam pada itu, mereka yang menyaksikan pertempuran itupun menjadi semakin tegan g. Mereka telah menyibak semakin jauh, sehingga arena pertempuran itupun menjadi semakin luas. Ki Demang dan Ki Jagabaya menyaksikan pertempuran itu dengan tatapan mata yang h ampir tidak berkedip. Mereka menyaksikan benturan-benturan ilmu yang luar biasa, yang belum pernah disaksikannya sebelumnya. Apalagi kemudian, pada saat ketiga orang itu benar-benar telah sampai kepuncak kemampuannya. Setiap benturan telah memercikkan bunga api diudara. Raden Rangga dan Glagah Putihpun segera mengetahui apa yang telah dimaksud lawan nya. Api yang mereka sebut adalah benar-benar satu kekuatan ilmu yang dahsyat. P ada setiap benturan yang melontarkan bunga-bunga api, rasa-rasanya membuat senja ta kedua anak muda itu menjadi semakin panas. Seakan-akan memang ada panas yang mengalir dari kekuatan ilmu ketiga orang itu, menjalar lewat senjata mereka dan meloncat pada setiap benturan yang terjadi dan memanasi senjata lawan mereka. Namun ternyata Raden Rangga justru tertawa. Katanya, Ilmu kalian memang dahsyat K i Sanak. Tetapi tidak banyak berarti bagi kami. Senjata-senjata kami tidak terbu at dari logam. Karena itu, maka panas yang kau alirkan lewat benturan senjata, t idak banyak mempengaruhi tangan kami meskipun terasa juga, karena besarnya arus yang kau salurkan dengan dorongan kekuatan ilmumu. Tetapi ternyata hal itu tidak mempengaruhi kami sama sekali. Tongkatku adalah tongkat yang terbuat dari pring gading. Sementara ikat pinggang saudaraku itu terbuat dari kulit kerbau, eh, mu ngkin kulit buaya atau kulit ular. Bahkan mungkin kulit gajah. Kelakar Raden Rangga justru pada saat ketiga orang lawannya itu mengerahkan ilmu nya telah membuat mereka menjadi semakin marah. Namun mereka tidak dapat menging kari kenyataan, bahwa kedua orang anak muda itu memang memiliki kemampuan yang s angat tinggi. Dalam pada itu, meskipun seperti yang dikatakan oleh Raden Rangga bahwa senjatan ya dan senjata Glagah Putih tidak terbuat dari logam, namun dalam keadaan terten tu memiliki sifat seperti logam. Kerasnya yang bagaikan baja dan dalam benturan

yang terjadi, memercikkan bunga api, sehingga dengan demikian maka panas yang me ngalir dan meloncat pada benturan-benturan yang terjadi memang berpengaruh juga betapapun kecilnya. Namun lambat laun tongkat Raden Rangga dan ikat pinggang Gla gah Putihpun terasa mulai menjadi hangat. Serangan yang perlahan-lahan itu harus segera diakhiri. berkata Raden Rangga didal am hatinya. Sehingga karena itu, maka iapun kemudian telah berkata kepada Glagah Putih, Lawan kita telah sampai kepuncak ilmunya. Karena itu, marilah permainan i ni kita akhiri. Aku sudah mulai menjadi jemu. Ternyata mereka bukan lawan yang p antas untuk beradu dalam arena pertandingan serupa ini. Gila. teriak ketiga orang itu hampir berbareng. Yang tertua diantara merekapun kem udian berteriak, Bunuh sekarang juga. Ketiga orang itupun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka sampai kepuncak b atas. Serangan mereka menjadi semakin cepat, sehingga benturan-benturanpun menja di semakin sering terjadi. Karena itu, maka panas ilmu merekapun telah merambat semakin banyak pula ke senjata Raden Rangga dan Glagah Putih. Kedua anak muda itu memang sudah pernah mendengar tentang ilmu yang demikian. Il mu yang tersebar pada beberapa perguruan dan bukan menjadi ukuran bahwa pemilik ilmu itu adalah mereka yang menyadap ilmu dari lingkungan hitam. Namun akhirnya ternyata pula bahwa yang terpenting adalah orang yang memiliki ilmu itu. Mereka dapat mempergunakan ilmunya untuk tujuan yang putih atau yang hitam, meskipun me reka menggenggam ilmu yang sewarna kapas sekalipun. Demikianlah, maka Raden Rangga benar-benar telah menjadi jemu. Karena itu, maka iapun telah berusaha untuk mengimbangi ilmu lawannya yang melontarkan kekuatan p anas lewat benturan-benturan yang terjadi. Glagah Putihlah yang menjadi cemas melihat sikap Raden Rangga. Namun sebelum ia berkata sesuatu, Raden Rangga telah mendahului, Jangan halangi aku. Segala sesuat unya tergantung kepada mereka. Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Namun ia tidak dapat berbuat banyak ketika Raden Rangga kemudian mempercepat tata geraknya menyerang lawannya yang terdekat . Sehingga dengan demikian maka pasangan Raden Rangga dan Glagah Putih itupun ti dak lagi dapat dipertahankan. Raden Rangga telah terlepas dari kendali sehingga yang dilakukannya benar-benar mendebarkan jantung Glagah Putih. Melihat sikap yang sangat garang dari anak Tanah Perdikan Menoreh justru yang mu da itu, maka dua orang diantara ketiga orang lawan mereka itupun telah melawan R aden Rangga, sementara yang lain bertempur melawan Glagah Putin yang nampaknya m asih berusaha mengendalikan dirinya. Ternyata tongkat Raden Rangga adalah senjata yang luar biasa. Semakin sering sen jata itu membentur senjata lawannya, maka panas memang semakin banyak meloncat k e tongkat itu. Tetapi ternyata ditangan Raden Rangga, panas itu justru dapat dit ampung dan memancar kembali dari tongkat itu. Semakin banyak panas meloncat keda lam tongkat itu lewat benturan-benturan maka tongkat itu menjadi semakin membara . Bahkan kemudian tongkat itu menjadi bagaikan tongkat bara yang bukan saja berw arna merah, tetapi justru telah memancarkan panas kesekitarnya. Terima kasih. berkata Raden Rangga, aku tampung apimu. Tetapi aku menjadi muak kare nanya, dan karena itu aku ingin mengembalikannya kepadamu. Glagah Putih semakin berdebar-debar. Ia teringat bagaimana tongkat itu dapat men ggoreskan cahaya pada tanah disepanjang jalan yang mereka lewati. Sebenarnyalah bahwa Raden Rangga tidak lagi ingin bertempur lebih lama lagi. Sej enak kemudian maka tongkatnya yang bagaikan menyala itu semakin cepat berputar. Tangannya sama sekali tidak terpengaruh oleh panas yang memancar dari tongkat it u. Ilmu iblis manakah yang disadap oleh anak ini. geram salah seorang lawannya. Jantu ngnya benar-benar telah tergetar. Jika ia membanggakan ilmunya, ternyata bahwa l awannya mampu memanfaatkannya untuk membalas menyerangnya. Tetapi kedua orang itu memang tidak lagi mendapat kesempatan. Tongkat Raden Rang ga yang berputaran dan menyebarkan udara panas itu benar-benar telah menyulitkan kedua lawannya. Dalam keadaan yang sangat terdesak seorang diantara kedua orang itu berusaha untuk mengayunkan pedangnya kearah lambung Raden Rangga. Namun yan g terjadi adalah benturan yang keras. Pedang itu telah terdorong kesamping, sehi ngga lambungnya telah terbuka bagi serangan tongkat yang menyala itu. Namun kawa

nnya telah meloncat dan berusaha membantunya. Pedangnyalah yang terjulur lurus k earah dada Raden Rangga. Raden Rangga yang sudah tidak terkekang itu kemudian telah memutar tongkatnya me nyambut pedang yang terjulur itu. Putaran tongkat Raden Rangga bagaikan arus ang in pusaran yang dengan derasnya menghisap pedang lawannya, sehingga lawannya tid ak mampu lagi mehahannya. Ilmunya ternyata tidak lagi mampu menyalurkan arus panas kesenjata lawannya, kar ena justru senjata lawannya telah jauh lebih panas dari arus ilmunya itu. Karena itu, rasa-rasanya panas itu telah membentur kekuatan yang lebih besar dan tersa lur kembali ke tangannya. Karena itu, oleh panasnya kekuatan ilmunya dan kekuatan hisap putaran tongkat ya ng membara itu serta panas yang seakan-akan memancar dari tongkat itu pula, lawa nnya sama sekali tidak memiliki ketahanan untuk melawannya. Pedangnya telah terl epas dan orang itu berusaha untuk meloncat mundur menjauhi lawannya yang masih s angat muda namun memiliki ilmu yang luar biasa dan tidak dapat dijangkau oleh na lar budinya yang sebenarnya cukup banyak menyimpan pengalaman didalam hidupnya. Namun Raden Rangga tidak melepaskannya. Ia siap untuk meloncat memburunya. Tetap i lawannya yang seorang lagi tidak membiarkan kawannya dalam kesulitan. Dengan l oncatan panjang ia menebas kearah lambung. Raden Rangga bergeser setapak. Tongkatnya terayun bukan saja mengesampingkan ser angan itu. Demikian kerasnya sehingga pedang itu telah terlempar dari tangan ora ng itu. Namun malang baginya. Ialah yang justru pertama tama mengalami bencana. Tongkat Raden Rangga itu telah menyambarnya. Hanya segores kecil. Luka yang kemu dian tergores didada orang itupun tidak terlalu dalam. Namun serasa arus panas y ang tidak tertahankan telah membakar seisi tubuhnya. Orang itu tidak banyak merasakan apa yang terjadi atas dirinya. Dengan luka yang dangkal didadanya, ternyata ia tidak lagi dapat bertahan untuk tetap hidup. Sementara itu, kawannya tidak sempat menyingkir dari arena. Ketika ia bergeser m enjauh, Raden Rangga telah meloncat dengan ujung tongkat yang terjulur lurus. Or ang itu mencoba mengelak dengan bergeser kesamping. Namun ujung tongkat itu baga ikan melihat arah geraknya, karena ternyata ujung tongkat itupun telah berubah a rah. Sejenak kemudian ujung tongkat itu telah mematuk pundaknya. Ujungnya memang tela h melukai pundak itu. Tetapi tidak lebih dari ujung tombak yang tidak sempat men ghunjam sampai kedaging. Namun luka yang dangkal itu mempunyai akibat yang sama dengan luka pada kawannya yang telah terbunuh. Orang itupun terpental jatuh dan meninggal tanpa sempat mengaduh. Keduanya mati bukan karena racun. Tetapi didalam tubuh mereka telah menyala api yang membakar isi dada mereka, sehingga mereka tidak mampu lagi bertahan. Glagah Putih melihat kenyataan itu. Tetapi ia tidak sempat mencegahnya. Namun ia masih sempat mengekang diri, sehingga ia tidak membunuh lawannya. Namun untuk d apat menundukkan lawannya tanpa membunuhnya, Glagah Putih memang harus bekerja k eras. Sementara itu lawannya yang sudah berputus asa sama sekali tidak lagi memb uat perhitungan-perhitungan apapun juga. Lawan Glagah Putih itu menyerang dengan garangnya. Jika serangannya gagal, maka iapun dengan serta merta telah memburu lawannya. Tanpa menghiraukan, apakah senjata lawannya akan mengenainya. Justru dalam keadaan putus asa lawannya menjadi berbahaya sekali. Ia benar-benar telah kehilangan nalarnya. Apalagi ketika ternyata kedua orang kawannya tidak l agi dapat mempertahankan hidupnya. Glagah Putih dengan ikat pinggang kulitnya berusaha untuk menangkis dan menghind ari serangan-serangan lawannya. Ia memang menunggu saat lawannya kehilangan tena ganya karena kelelahan. Namun ternyata daya tahan lawannya itu cukup tinggi, seh ingga sampai saatnya Raden Rangga menyelesaikan kedua lawannya, orang itu masih tetap bertahan. Karena itulah maka Glagah Putih harus mengambil sikap. Ia tidak dapat membiarkan Raden Rangga untuk ikut campur. Jika demikian maka orang itupun tentu akan mati juga, sehingga mereka tidak akan mungkin mendapat keterangan betapapun kecilnya . Karena itu, justru setelah Raden Rangga menyelesaikan lawannya yang terakhir, Glagah Putih telah melibat lawannya seperti badai. Ikat pinggangnya berputaran d an kemudian mematuk seperti sekeping besi baja.

Betapa tinggi kemampuan lawannya, namun ia tidak mampu mengimbangi kecepatan ger ak Glagah Putih. Karena itu, maka ketika lambungnya terbuka tanpa lindungan peda ngnya karena justru pedang itu sedang terayun menyamping, ujung ikat pinggang ku lit Glagah Putih telah mengenainya. Dengan perhitungan yang cermat Glagah Putih berhasil melumpuhkannya, tetapi tidak membunuhnya. Luka dilambung itu telah membuat orang itu tidak berdaya. Iapun kemudian terpela nting jatuh di tanah. Namun ia masih tetap hidup. Raden Rangga yang melihat lawan Glagah Putih terbanting itupun melangkah mendeka tinya. Kemudian dengan nada geram ia bertanya, Kau biarkan orang ini hidup. Kita ingin berbicara dengan orang ini. jawab Glagah Putih. Raden Rangga mengangguk-angguk. Iapun kemudian berjongkok disampingnya. Sambil m emegang bajunya Raden Rangga bertanya, Kau datang dari perguruan mana he? Orang itu tidak menjawab. Ketika Raden Rangga mengguncang baju itu, orang itu ti dak juga menjawab. Anak setan. geram Raden Rangga, jawab. Apakah kau orang dari perguruan Nagaraga? Orang itu masih tetap diam. Sementara Raden Rangga menjadi semakin marah. Ia men gguncang baju orang itu semakin keras sambil berkata, kau sudah terluka. Jika kau tidak mau menjawab, maka kau akan dibiarkan mati tanpa perawatan. Tetapi jika k au mau menjawab, maka aku akan minta orang-orang padukuhan ini merawatmu dengan baik. Persetan. geram orang itu. O, manusia celaka. bentak Raden Rangga sambil mengguncang lebih keras. Glagah Putih memang menjadi cemas. Ditelinga Raden Rangga ia berbisik, Jangan bun uh orang itu. Kita memerlukannya. Tetapi ia tidak mau menjawab pertanyaanku. justru Raden Rangga yang menjawab perla han-lahan sebagaimana Glagah Putih. Tetapi ia justru hampir berteriak. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Raden Rangga masih bertany a lagi, he, kau dari mana? Siapakah gurumu dan dimana letak padepokanmu. Orang itu ternyata benar-benar orang yang telah berputus asa. Ia tidak lagi memi kirkan akibat yang dapat terjadi atas dirinya. Betapa sakit luka dilambungnya, s eakan-akan justru tidak terasa lagi. Karena itu ketika Raden Rangga mengguncangk an sekali lagi, orang itu justru meludahinya. Namun akibatnya ternyata pahit sekali bagi orang itu. Kemarahan Raden Rangga tid ak tertahankan lagi. Justru tangannya yang memegangi baju orang itu telah dihent akkannya. Glagah Putih hampir saja menyebut nama Raden Rangga. Untunglah ia sadar dan meng urungkannya Balas On 18 September 2009 at 18:44 kuncung Said: dilanjutin . Glagah Putih hampir saja menyebut nama Raden Rangga. Untunglah ia sadar dan meng urungkannya. Namun seperti yang diduganya, kepala orang yang terluka itu telah m embentur tanah. Orang itu memang tidak mengaduh. Tidak mengucapkan sepatah katapun. Bahkan mengg eliatpun tidak. Tetapi orang itu telah mati. Glagah Putih bergeser maju. Dengan nada dalam ia berdesis Orang itu telah mati. He? wajah Raden Rangga tiba-tiba menjadi pucat. Diluar sadarnya ia telah memanda ng dua sosok mayat yang terbaring beberapa langkah dari mereka. Terdengar suara Glagah Putih lirih Raden telah membunuh tiga orang hari ini. Kepala Raden Rangga tertunduk. Darahnya yang menggelegak perlahan-lahan telah tu run kembali kedasar jantung sejalan dengan bangkitnya kesadarannya atas apa yang baru saja terjadi. Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Desisnya Ya. Aku hari ini telah membunuh tiga orang. Wajah anak muda itu benar-benar berubah menjadi muram. Tiba-tiba saja ia berdesi s Bagaimana hal ini dapat terjadi? Glagah Putih tidak menyahut. Ia mengerti keadaan Raden Rangga itu. Karena itu, m aka iapun tidak berkata apa-apa. Namun yang gempar kemudian adalah orang-orang Ngentak Amba. Anak-anak muda dari Kademangan Dukuh

Gede yang biasanya membuat kisruh tiba-tiba merasa diri mereka terlalu kecil. Anak-anak muda Dukuh Gede yang ikut menyaksikan semua peristiwa yang terjadi itu justru menjadi gemetar. Biasanya, dalam kesempatan-kesempatan itu, merekalah ya ng membuat onar. Mereka sering mengganggu pertandingan-pertandingan yang sedang berlangsung, atau pada saat-saat hadiah dibagikan. Namun hari itu mereka telah mendapat pesan dari bebahu Dukuh Gede untuk tidak be rbuat seperti itu. Tetapi justru pada saat itu satu peristiwa yang menggetarkan jantung telah terjadi. Anak-anak Dukuh Gede dan Ngentak Amba benar-benar dicengkam oleh kengerian yang mencengkam jan-tung. Mereka telah menyaksikan pertempuran yang tidak dapat merek a bayangkan, bagaimana hal itu telah terjadi. Bahkan Ki Demang dan Ki Jagabaya yang bagi orang-orang Ngentak Amba merupakan or ang yang paling luas pengalamannya, namun ternyata bahwa merekapun tidak mengert i, apa yang sebenarnya telah terjadi. Sementara itu, Raden Rangga masih merenungi mayat-mayat yang terbaring diam itu. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia bergumam Agaknya kau benar Glagah Putih. Se baiknya kita tidak singgah disini. Namun Glagah Putih yang ingin meringankan perasaan bersalah dihati Raden Rangga itu berkata Tidak seluruhnya benar Raden. Ada juga gunanya kita singgah. Dengan demikian kita telah menolong anak-anak muda Ngentak Amba. Tanpa kehadiran kita, mereka akan kehilangan segala macam hadiah yang telah mereka sediakan. Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya mayat yang terbaring itu s atu demi satu. Dengan suara yang berat ia berkata lambat Aku telah membunuh lagi tiga orang. Sementara itu Glagah Putih berdesis Ki Demang datang kemari Raden. Raden Rangga memandang ke arah Ki Demang dan Ki Jagabaya yang mendekat. Namun ia pun kemudian telah menunduk lagi. Luar biasa anak-anak muda berkata Ki Demang kami tidak dapat mengatakan apa-apa. Yang terjadi adalah diluar kemampuan tangkapan nalar kami. Glagah Putih yang menjawab Kami mohon maaf Ki Demang. Ternyata kehadiran kami te lah merusak kegembiraan seisi Kademangan ini. Tidak anak muda. Kalian telah menyelamatkan barang-barang kami yang akan dirampa s oleh orang-orang itu. Sedangkan yang akan dirampas itu justru puncak dari kege mbiraan dalam pertemuan ini, yaitu hadiah-hadiah bagi para pemenang pertandingan yang telah diselenggarakan sampai saat ini. berkata Ki Demang kemudian tanpa ke hadiran kalian, maka semua hadiah di panggung kecil itu, serta beberapa ekor ter nak yang diikat dise-belahnya itu tentu sudah mereka bawa. Kami hanya sekedar melakukannya berkata Glagah Putih mudah-mudahan tidak justru berakibat buruk. Kami mengerti Ki Sanak. Tetapi kami mendapat kesempatan untuk bersiap-siap mengh adapi segala kemungkinan. Tetapi mudah-mudahan tidak akan terjadi sesuatu. jawab Ki Demang. Semua orang tahu, bahwa yang melakukannya bukan anak-anak muda Ngentak Amba. Yan g melakukannya adalah anak-anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh. Jika keluargan ya, saudara-saudaranya atau saudara-saudara seperguruan mereka menuntut, biarlah mereka menuntut Tanah Perdikan Menoreh berkata Glagah Putih. Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya Bukan maksud kami untuk membebani Tanah Per dikan Menoreh dengan persoalan-persoalan yang terjadi diluar Tanah Perdikan itu dan justru tidak bersangkut paut dengan kepentingan Tanah Perdikan itu. Tidak Ki Demang jawab Glagah Putih bagi kami, saling menolong merupakan kewajiba n. Nah, masih ada pekerjaan yang tersisa. Kami belum membagikan hadiah bagi para pe menang. berkata Ki Demang meskipun pertemuan ini tidak lagi diliputi suasana yan g baik karena peristiwa ini, tetapi hadiah itu harus dibagikan. Biarlah Ki Jagab aya membawa beberapa orang untuk menyingkirkan dahulu mayat-mayat itu sementara hadiah akan dibagikan. Glagah Putih mengangguk-angguk sambil berkata Silahkan Ki Demang. Sementara itu, kami rasa, bahwa kami tidak lagi mempunyai kepentingan disini. Jangan Ki Sanak cegah Ki Demang Ki Sanak berdua malam ini harus berada di Kadema ngan. Ada banyak persoalan yang dapat kami jadikan alasan. Selain kami ingin ber

gembira bersama Ki Sanak, kehadiran Ki Sanak berdua disini malam ini dapat membe rikan ketenangan dihati kami. Meskipun mungkin tidak akan terjadi sesuatu. Namun kami mohon Ki Sanak masih bersedia memberikan waktu Ki Sanak berdua malam ini. Jika Ki Sanak meninggalkan kami, maka semua keramaian yang sudah dipersiapkan ak an menjadi hambar, karena kami akan selalu berada dalam kecemasan. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kearah Raden Rangga, maka anak muda itupun sedang memandanginya. Bagaimana? bertanya Glagah Putih. Terserah kepadamu jawab Raden Rangga. Ternyata Glagah Putih tidak sampai hati meninggalkan Kademangan yang berada dala m ketakutan itu. Karena itu, maka katanya Baiklah Ki Demang. Kami akan tinggal. Tetapi hanya untuk malam ini. Demikianlah, maka acara terakhir dari keramaian di ara-ara itupun dilaksanakan d alam suasana yang tidak lagi meriah. Namun berjalan juga dengan baik sampai hadi ah yang terakhir diserahkan kepada yang berhak. Namun sebagian dari orang-orang yang berada di ara-ara itu telah meninggalkan tempat itu. Apalagi mereka yang mempunyai barang dipasar. Sehingga dengan demikian maka araara itupun rasa-rasanya sudah tidak ramai lagi. Sejenak kemudian maka semuanya sudah diselesaikan. Hadiah sudah terbagi dan anak -anak mudapun telah mulai mengalir meninggalkan ara-ara itu kembali ke padukuhan masing-masing. Anak-anak Dukuh Gede yang terheran-heran melihat peristiwa di ar a-ara itu tidak berani lagi berbuat sesuatu, apalagi para bebahu Kademangan mere kapun telah berpesan dengan sungguh-sungguh. Namun ternyata beberapa orang yang kagum melihat Raden Rangga dan Glagah Putih y ang menurut pendengaran mereka adalah anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, tel ah memberanikan diri untuk menemuinya. Maaf Ki Sanak berkata anak muda yang tertua di-antara anak-anak muda dari Dukuh Gede itu Kami sekedar ingin memperkenalkan diri apabila Ki Sanak tidak merasa te rganggu. Raden Rangga yang dibayangi oleh perasaan bersalah itu mencoba untuk tersenyum d an menyahut Terima kasih atas perhatian Ki Sanak. Tentu kami tidak akan merasa t erganggu. Semakin banyak saudara kami, maka kami akan merasa semakin tenang meny usuri jalan-jalan dalam perantauan. Kami persilahkan Ki Sanak berdua singgah di Dukuh Gede anak muda itu mempersilah kan. Terima kasih. Mungkin tidak saat-saat sekarang. Mungkin di hari-hari mendatang b erkata Raden Rangga. Namun tiba-tiba ia melanjutkan Apabila aku masih berkesempa tan. Anak-anak muda Dukuh Gede itu mengerutkan keningnya. Namun Glagah Putihlah yang kemudian menjadi sangat berdebar-debar. Mungkin Raden Rangga tidak sengaja mengu capkan kata-kata itu. Namun baginya isyarat seperti itu telah didengarnya beberapa kali. Anak-anak Dukuh Gede itu memang menjadi kecewa. Mereka ingin berkenalan lebih ak rab dengan anak-anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh yang memiliki kemampuan di luar jangkauan nalarnya. Namun agaknya anak-anak Tanah Perdikan Menoreh itu tida k sempat singgah ke Kademangan mereka. Namun dalam pada itu Raden Rangga berkata Kami nanti malam masih berada di Kadem angan ini. Jika kalian ingin menemui kami, kami akan berterimakasih. Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun seorang diantara mereka berkata Teri ma kasih. Kami akan berusaha. Tetapi jika nanti malam kami tidak dapat datang, k ami mohon pada kesempatan lain Ki Sanak berdua benar-benar singgah ke Kademangan kami. Raden Rangga mencoba tersenyum. Sambil mengangguk ia berkata Kamipun akan berusa ha. Demikianlah anak-anak Dukuh Gede itupun segera minta diri. Sementara itu Ki Jaga baya bersama beberapa orang telah menyingkirkan dan mengubur mayat dari tiga ora ng yang telah terbunuh oleh Raden Rangga. Sejenak kemudian maka Ki Demangpun telah mengajak Raden Rangga dan Glagah Putih untuk pergi ke Kademangan. Namun ternyata anak-anak dari padukuhan yang pernah d ikunjungi oleh Raden Rangga dan Glagah Putih masih menunggu. Ketika mereka melih

at Ki Demang mengajak kedua anak muda itu, maka anak-anak muda itupun dengan ser ta merta telah mendekati mereka. Yang tertua diantara mereka berkata Ki Demang. Kamilah yang telah membawa anak-anak muda itu kemari. Karena itu, maka biarlah m ereka bersama kami kembali ke padukuhan. Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun Raden Rangga tersenyum sambil berkata Ya Ki Demang. Kami datang pertama kali kepadukuhan mereka. Biarlah malam ini kami berada di padukuhan itu. Jika Ki Demang memerlukan kami, maka kami akan dengan s egera datang ke Kademangan. Beberapa saat Ki Demang terdiam. Namun kemudian katanya Baiklah anak-anak. Tetap i besok jika keduanya akan meninggalkan Kademangan ini, keduanya harus menemui a ku di Kademangan. Terima kasih sahut anak muda yang tertua itu besok kami akan mengantar mereka ke Kademangan. Beramai-ramai. Seperti menggiring seorang pencuri ayam sahut Raden Rangga. Ah, tentu tidak jawab anak muda itu kami akan mengiringkan kalian dengan penuh p enghormatan. Raden Rangga justru tertawa. Demikianlah, maka anak-anak muda itupun telah mengajak Raden Rangga dan Glagah P utih untuk kembali ke padukuhan mereka. Namun Raden Rangga dan Glagah Putih semp at bersetuju untuk menyebut Raden Rangga dengan nama yang lain. Tetapi Glagah Pu tih tidak keberatan namanya sendiri disebut, karena ia memang berasal dari Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun disiang harinya Kademangan itu telah digemparkan oleh pembunuhan yang m endebarkan, namun setelah ketiga mayat itu dikuburkan, menjelang malam, di paduk uhan-padukuhanpun ternyata telah mulai menjadi ramai lagi. Disetiap banjar paduk uhan nampak cahaya yang benderang. Orang-orang Kademangan itu telah mulai melupa kan peristiwa yang mendebarkan di ara-ara itu. Mereka mulai menikmati keramaian yang diselenggarakan disetiap padukuhan dengan cara dan gaya mereka masing-masing. Namun dalam pada itu, Ki Demang telah memperingatkan agar anak-anak muda tidak m enjadi lengah, hanyut oleh keramaian yang diselenggarakan di banjar . padukuhan masing-masing. Karena itu, bagaimanapun juga, beberapa orang anak muda mendapat tugas untuk mengadakan pengawasan dipadukuhan masing-masing. Bergi liran, sehingga setiap orang mendapat kesempatan untuk ikut serta dalam keramaia n di banjar, sementara pengawasan dan pengamatan di gerbang-gerbang padukuhan te tap dilakukan dengan cermat. Namun agaknya malam itu tidak ada gangguan apapun di Kademangan Ngentak Amba. Ba hkan anak Dukuh Gede yang akan datang menemui anak-anak Tanah Perdikan Menoreh i tupun tidak jadi datang, karena perhitungan yang bermacam-macam. Sementara itu, Raden Rangga dan Glagah Putih mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk menyaksikan apa saja yang terdapat di Ngentak Amba. Bersama beberapa orang anak muda Raden Rangga dan Glagah Putih memang melihat-lihat ke padukuhan-paduk uhan sebelah menye-belah. Namun akhirnya lewat tengah malam Raden Rangga dan Gla gah Putih berada di banjar dikerumuni oleh anak-anak muda padukuhan itu. Berbagai pertanyaan telah dilontarkan. Kadang-kadang belum sempat menjawab satu pertanyaan, yang lain telah mengajukan pertanyaan pula. Raden Rangga dan Glagah Putih berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sebaik-baiknya. Namun mereka tetap tidak dapat memberikan kepuasan jawaban apabi la anak-anak muda itu bertanya bagaimana mungkin keduanya memiliki ilmu yang tin ggi. Dimana kau berguru? bertanya seorang anak muda kepada Glagah Putih. Glagah Putih dengan canggung menjawab Di Tanah Perdikan Menoreh. Apakah di Tanah Perdikan itu terdapat seorang guru yang sakti? bertanya anak mud a yang lain. Glagah Putih menjadi agak bingung. Namun kemudian katanya Bukan seorang guru yan g sakti. Tetapi seseorang yang dapat memberikan petunjuk bagaimana kami harus menempa diri untuk men dapatkan kemampuan yang semakin meningkat. Kemudian sebagian besar terserah kepa

da kami sendiri. Semakin tinggi niat kami untuk berlatih, maka kemampuan kamipun menjadi semakin baik. Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Seorang di-antara m ereka telah bertanya pula Apakah semua anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu memiliki kemampuan seperti kalian? Glagah Putih tersenyum. Jawabnya Kemampuan kami bertingkat-tingkat. Ada yang kur ang tetapi ada juga yang lebih. Kalian termasuk pada tataran yang mana bertanya anak muda yang lain tataran tera tas, terbawah atau yang mana? Aku berada ditengah jawab Glagah Putih. Anak-anak muda Kademangan Ngentak Amba i tu menggeleng-geleng. Menurut gambaran mereka, rata-rata anak Tanah Perdikan Menore h memiliki kemampuan se-tataran. Namun tiba-tiba seorang anak muda yang duduk dibe-lakang bertanya keras He, apak ah kalian berdua mau mengajari kami serba sedikit? Raden Rangga tertawa. Katanya Bukan kami tidak bersedia. Tetapi untuk itu diperl ukan laku, kesungguhan dan waktu. Kami sanggup menjalaninya sahut anak muda itu. Tetapi kamilah yang tidak mempunyai waktu jawab Raden Rangga kami harus segera m eninggalkan Kademangan ini. Besok pagi kami telah melanjutkan perjalanan. Tinggal disini barang sepekan minta anak muda yang lain. Untuk mempelajari olah kanuragan pada tataran pertama, kalian memerlukan waktu s etahun? Bukan sepekan. He anak-anak muda itu terkejut. Seorang diantara mereka bertanya Tataran pertama setahun. Lalu tataran kedua berapa tahun? Dua tahun jawab Raden Rangga dan tataran-tataran berikutnya diperlukan waktu mas ing-masing tiga tahun. Lalu ada berapa tataran yang harus kami capai agar kami dapat mencapai kemampuan seperti kalian? bertanya seorang anak muda. Raden Rangga tertawa. Sambil berpaling kepada Glagah Putih ia bertanya Berapa ta hun kau pelajari olah kanuragan atau sampai tataran berapakah kau sekarang? Glagah Putih menjadi bingung. Namun sambil tertawa Raden Ranggalah yang menjawab Ia tidak lagi dapat mengingat berapa tahun ia mempelajari olah kanuragan. Dan i apun tidak ingat lagi, ia sudah berada ditataran yang mana. Apakah itu rahasia? seorang yang lain bertanya. Raden Rangga masih tertawa. Seme ntara beberapa orang anak muda hampir berbareng berdesis Tentu rahasia, ya? Sambil masih saja tertawa Raden Rangga menyahut Jika kami tidak merahasiakannya dan kalian akhirnya mampu pula berbuat seperti kami, maka kalian tidak akan mera sa heran lagi melihat kami. Tetapi sekarang, kami berdua tentu masih merupakan o rang aneh bagi kalian. Nah, kami berusaha untuk mempertahankan keanehan itu. Set idak-tidaknya kami mendapat kesempatan untuk ikut serta dalam keramaian seperti ini. Jika kami bukan orang-orang aneh bagi kalian, maka kami tidak akan mendapat kesempatan seperti ini. Anak-anak muda itupun tertawa. Namun beberapa diantara mereka masih saja berdesi s Tentu dirahasiakannya. Raden Rangga dan Glagah Putih tidak menyahut lagi. Mereka hanya ikut tertawa saja bersama anak-anak muda itu. Sudahlah berkata Glagah Putih kemudian bukankah kita dapat berbuat lain disisa m alam ini? Bermain bas-basan atau macanan atau mul-mulan. Ayo jawab seorang anak muda mungkin aku akan dapat mengalahkanmu. Setidak-tidakn ya dalam permainan bas-basan. Glagah Putih dan Raden Ranggapun kemudian telah terlibat dalam permainan. Mereka menjadi diam dan perhatian mereka seluruhnya tertuju kepada permainan itu. Semakin malam, suasana keramaianpun menjadi semakin surut. Tetapi orang-orang tu a diserambi samping berniat untuk berjaga-jaga semalam suntuk sebagai rasa sukur , bahwa panenan mereka berhasil baik. Sementara anak-anak muda masih juga berger ombol-gerombol dengan permainan mereka masing-masing. Sementara itu, anak-anak muda yang mendapat tugas diakhir malam itu, menarik naf as lega, ketika mereka mendengar ayam berkokok menjelang fajar. Jika fajar kemudian menyingsing, maka tugas mereka akan berakhir. Mereka akan me

ndapat kesempatan untuk beristirahat, sementara itu seisi Kademanganpun akan ter bangun pula, sehingga tugas pengawasan di gardu-gardu tidak lagi. merasa sepi. Meskipun sebagian para pengawal dan anak-anak muda . telah berjaga-jaga dan berm ain dengan berbagai permainan semalam suntuk di banjar, namun kehidupan di Kadem angan itu akan segera berlangsung. Raden Rangga dan Glagan Putihpun kemudian menyadari pula bahwa hari menjadi pagi . Meskipun mereka semalam suntuk tidak tidur sama sekali, namun mereka tetap pad a rencana mereka bahwa pada pagi itu mereka akan meneruskan perjalanan. Kalian tentu letih berkata seorang anak muda tidur sajalah dahulu di bagian belakang banjar ini. Nanti, atau besok pagi-pagi sajalah berangkat. Tetapi Raden Rangga tersenyum sambil menjawab Maaf, aku sudah siap untuk berangk at. Aku harus segera sampai ketujuan. Kalian akan pergi ke mana? bertanya anak muda Ngentak Amba. Pertanyaan itu agak sulit untuk dijawab. Namun Raden Ranggapun kemudian berkata Kami mendapat tugas untuk pergi jauh sekali. Kemana? bertanya yang lain. Kami harus menemukan sebuah patok kayu cendana di jalan-jalan di Kademangan Ngen tak Amba itu. Namun demikian anak-anak muda padukuhan itu tidak berselut emas yang menunjukkan tepat dimana matahari terbit dipagi hari jawab Raden Rangga. Ah kau desis anak muda itu. Namun beberapa orang kawannya justru tertawa. Raden Rangga dan Glagah Putihpun tertawa pula. Sementara itu seorang anak muda y ang lain berkata kau seberangi lautan dan padang serta menembus hutan-hutan yang lebat untuk menemukan tempat matahari terbit itu. Tolong, jika kau temukan temp at itu, lihat dengan baik, apakah bulan juga muncul dari bawah patok kayu cendan a itu? Suara tertawapun meledak. Namun dalam pada itu akhirnya Raden Rangga berkata Kam i berdua akan membenahi diri dan kemudian pergi ke Kademangan untuk mohon diri k epada Ki Demang. O, kami berjanji untuk mengantarkan kalian berkata seorang diantara anak-anak mu da itu. Ah, sebenarnya tidak perlu. Kami berdua akan datang menghadap dan kemudian mohon diri, karena kami memang harus meneruskan perjalanan sahut Raden Rangga. Sebenarnyalah bahwa Raden Rangga dan Glagah Putih tidak merasa perlu diantar ole h anak-anak muda padukuhan itu untuk menghadap Ki Demang. Iring-iringan itu akan dapat menarik perhatian, bukan saja bagi orang-orang Kademangan itu sendiri, te tapi juga orang-orang lain yang kebetulan lewat melepaskan keduanya berjalan tan pa mereka. Meskipun tidak semua anak-anak muda yang berada dibanjar itu akan men gantar, tetapi dua orang diantara mereka akan mewakili anak-anak muda itu mengan tar Raden Rangga dan Glagah Putih sampai ke Kademangan. Baiklah berkata Raden Rangga kami mengucapkan terima kasih atas perhatian kalian terhadap kami berdua. Demikianlah, ketika matahari terbit. Raden Rangga minta diri kepada anak-anak mu da padukuhan itu, bahkan beberapa orang tua yang masih berada di banjar. Keduany a akan meninggalkan Kademangan Ngentak Amba menuju kearah Timur. Ketika mereka sampai di Kademangan, ternyata Ki Demang yang sempat tertidur seje nak, baru saja terbangun. Anak-anak muda itupun kemudian dipersiiahkan duduk dip endapa, sementara Ki Demang sempat mencuci mukanya. Namun ia singgah pula di dap ur dan minta anak-anak muda di pendapa itu diberi hidangan yang baik. Mereka adalah tamu yang terhormat bagi kita berkata *Ki Demang kepada isterinya. Apakah mereka bukan anak-anak Kademangan ini sendiri? bertanya Nyi Demang. Dua diantaranya. Tetapi dua yang lain adalah anak-anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh jawab Ki Demang. O, jadi anak-anak muda itulah yang Ki Demang ceriterakan semalam? sahut Nyi Dema ng. Ya. Itulah anak yang aku ceriterakan. Mereka masih terlalu muda. Namun mereka me miliki ilmu yang nggegirisi, tanpa anak-anak muda Tanah Perdikan itu, maka permainan kita kemarin di ar

a-ara akan berakhir dengan kekecewaan. Meskipun keramaian di ara-ara itu kemarin juga terganggu, namun hadiah-hadiah yang disediakan akhirnya dapat dibagikan ju ga. Baik Ki Demang berkata Nyai Demang nasipun sudah masak. Sebentar lagi, kami akan menghidangkannya. Lauk masih cukup banyak meskipun sisa keramaian semalam. Jaga agar tidak mengecewakan berkata Ki Demang. Ki Demangpun kemudian keluar pula kependapa setelah membenahi pakaiannya. Wajahn ya nampak cerah sebagaimana anak-anak muda di Kademangan itu. Dalam pada itu, Raden Rangga dan Glagah Putih hanya sekedar singgah untuk mohon diri. Ki Demang memang berusaha untuk menahan mereka barang sepekan. Tetapi Rade n Rangga dan Glagah Putih dengan menyesal tidak dapat memenuhinya. Meskipun demikian keduanya sempat makan dan minum secukupnya dirumah Ki Demang. Baru kemudian kedua anak muda yang mengaku dari Tanah Perdikan Menoreh itu mohon diri untuk melanjutkan perjalanan mereka yang tidak dapat mereka katakan kepada anak-anak muda Kademangan itu. Baiklah anak-anak muda berkata Ki Demang kemudian selamat jalan. Berhati-hatilah diperjalanan. yang jauh itu. Raden Rangga dan Glagah Putih mengangguk kecil. Namun Raden Rangga kemudian menj awab Perjalanan kami memang jauh Ki Demang. Tetapi perjalanan kami lebih condong dapat disebut perjalanan yang aman dan tidak berbahaya. Kami hanya ingin mendap at sebuah pengalaman perjalanan saja. Meskipun demikian kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya dapat terjadi. Apa yang terjadi di Kademangan ini adalah satu con toh kecil. Mungkin kalian tidak menghendaki terjadi perkelahian dengan orang-ora ng yang tidak dikenal itu. Tetapi hal itu akhirnya telah terjadi. Dan yang terja di di ara-ara kemarin juga dalam rangka perjalanan yang kau katakan aman dan tid ak berbahaya ini berkata Ki Demang. Raden Rangga dan Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Dengan nada rendah Glagah Putih kemudian berkata Kami mohon doa restu Ki Demang. Mudah-mudahan kalian selamat dan tercapai apa yang kalian inginkan jawab Ki Dema ng. Demikianlah akhirnya kedua anak muda itu telah meninggalkan Kademangan. Mereka m ulai menempuh perjalanan kearah Timur. Perjalanan yang memang panjang. Disepanjang jalan yang menghubungkan padukuhan dengan padukuhan, Raden Rangga se mpat mempermainkan tongkatnya. Tongkat itu nampaknya memang tidak lebih dari sep otong pring gading. Karena itu, maka tongkat itu sama sekali tidak menarik perha tian. Jika Raden Rangga jemu bermain-main dengan tongkatnya, maka tongkat itupun disel ipkannya pada pinggangnya diarah punggung. Namun tiba-tiba Raden Rangga berkata Aku mengantuk. Bukankah semalam suntuk kita tidak tidur? Glagah Putih mengerutkan keningnya. Bagi dirinya, meskipun semalam suntuk tidak tertidur sama sekali, namun hal itu memang sudah dikehendaki, ia sama sekali tid ak merasa mengantuk. Latihan-latihan yang berat dalam olah kanuragan mampu menga tasi perasaan kantuk yang hanya karena semalam suntuk tidak tidur. Meskipun ada juga keterbatasan kemampuan wadagnya, namun Glagah Putih dapat mengatasi perasaa n itu. Bagi Glagah Putih, Raden Rangga tentu mampu juga mengatasinya. Jika ia be rkata mengantuk tentu ia memang tidak berusaha untuk mengatasi perasaan kantuknya. Tetapi Glagah Putih tidak segera menjawab. Ia ingin menunggu, apa lagi yang akan dilakukan oleh Raden Rangga itu. He, kau belum menjawab berkata Raden Rangga bukankah semalam suntuk kita tidak tidur? Ya, semalam suntuk kita tidak tidur jawab Glagah Putih. Dan aku mengantuk karenanya. Apakah kau tidak mengantuk seperti aku? bertanya Ra den Rangga. Maksud Raden, apakah kita akan berhenti untuk beristirahat? bertanya Glagah Puti h menurut hematku, Raden tentu dapat mengatasi perasaan itu jika Raden memang in gin melakukannya. Raden Rangga tertawa. Kemudian katanya Buat apa kita memaksa diri untuk menahan

perasaan kantuk, sementara kita masih belum tergesa-gesa. Jika demikian kenapa kita tidak tidur saja di banjar? Tempatnya baik dan tidak a kan diganggu oleh apapun juga jawab Glagah Putih. Raden Rangga masih tertawa. Katanya nampaknya kau sangat tergesa-gesa. He, bukan kah kita tidak dibatasi waktu? Kita tidak dibatasi waktu. Tetapi mungkin keadaan akan berkembang lebih cepat da ri perjalanan kita, sehingga kita tidak akan menemukan sesuatu lagi diperjalanan ini dan kembali dengan tangan hampa. Peristiwa di Mataram itu mungkin akan dapa t memaksa orang-orang Nagaraga mengambil sikap lain berkata Glagah Putih. Baiklah sahut Raden Rangga yang masih tertawa Kita akan berjalan terus. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab lagi. Namun dalam pada itu, Raden Ranggalah yang berkata Jika kita menempuh jalan ini, maka kita akan lewat dekat Kademangan Jati Anom. Ya. Tetapi kita dapat mengambil jalan lain. Kita akan dapat mengambil arah selat an dan kita melalui jalan yang lewat dekat Kademangan Sangkal Putung jawab Glaga h Putih. Apakah kita akan melalui Sangkal Putung atau Jati Anom? bertanya Raden Rangga. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya Terserahlah, Raden m emilih yang mana? Kita lewat Jati Anom. Agaknya lebih menarik daripada kita lewat Sangkal Putung. Jika kita lewat Sangkal Putung, maka agaknya kau merasa kurang enak pula jika ti dak singgah barang sekejap dirumah Swandaru Geni berkata Raden Rangga bukankah S wandaru itu saudara seperguruan Agung Sedayu? Ya Raden. Akupun sependapat jawab Glagah Putih. Kau aneh. Kau sudah menyerahkan pilihan kepadaku. Sependapat atau tidak, kau har us menerima pilihanku berkata Raden Rangga. Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi justru berkata Jika pada suatu saat Raden me rasa tiba-tiba menjadi kantuk, kita lebih baik singgah di padepokan Kiai Gringsi ng daripada singgah di Sangkal Putung. Raden Rangga tertawa lagi. Tetapi ia tidak menjawab. Dengan demikian kedua orang anak muda itu telah menempuh perjalanan sebagaimana pernah mereka lakukan. Mereka tidak mengambil jalan arah kesetetan, karena merek a memilih melewati Jati Anom daripada Sangkal Putung. Kedua anak muda itu berjalan seenaknya saja. Mereka tidak nampak tergesa-gesa sa ma sekali. Bahkan jika mereka melewati pasar dipinggir jalan, Raden Rangga sempa t mengajak Glagah Putih untuk berjalan melalui bagian dalam pasar itu. Bahkan Raden Rangga sering membeli makanan yang dapat mereka makan sambil berjal an. Kacang yang direbus dan diwarung yang lain membeli rempeyek kedele. Bahkan d itemuinya makanan yang disenanginya, rempeyek wader. Kedua anak muda itu sama sekali tidak merasa cemas akan kehabisan uang. Keduanya membawa bekal uang yang cukup. Bahkan Raden Rangga mendapat bekal terlalu banya k. Dengan demikian maka perjalanan merekapun menjadi sangat lambat. Jika Raden Rang ga haus, maka ia duduk di-muka penjual dawet bukan saja sekedar untuk minum. Nam un kadang-kadang ia berbicara panjang lebar tentang diri penjual dawet itu. Glagah Putih yang merasa kurang telaten berjalan demikian lambannya kadang-kadan g harus mendorong, agar Raden Rangga berjalan terus. Namun setiap kali sambil te rsenyum Raden Rangga berkata Beri aku kesempatan untuk melihat lebih banyak. Per jalanan ini sangat menarik bagiku. Mungkin aku tidak akan sempat menem- puh perj alanan seperti ini lagi. Ah, apa lagi yang Raden katakan? potong Glagah Putih. Raden Rangga justru tertawa. Katanya karena itu, biarlah kita berjalan lambat. A ku masih belum bertemu dengan penjual badek legen. Aku senang sekali minum badek legen kelapa. Tetapi aku kurang senang badek legen aren. Glagah Putih tidak dapat memaksa. Ia mengikuti saja cara Raden Rangga menempuh p erjalanan. Demikian lambannya mereka berjalan, maka menjelang matahari turun kepunggung buk

it mereka baru mendekati kali Opak. Aku letih sekali berkata Raden Rangga. Dan sebelum Glagah Putih berkata sesuatu Raden Rangga sudah mendahului Aku memang mampu mengatasi perasaan letih dan kantuk. Itu jika aku mau. Sekarang ternyata aku malas melakukannya. Aku ingin tidur. Jika kau juga tuk, kita dapat tidur bersama-sama. Wajah Glagah Putih menegang. Namun Raden Rangga berkata Tidak akan ada orang yan g mengganggu kita. Kita akan mencari tempat yang tersembunyi. Bahkan binatang bu aspun segan menerkam kita, karena daging kita tentu akan terasa pahit. Glagah Putih tidak segera menyahut. Namun sambil tertawa Raden Rangga berkata Ki ta mencari tempat yang baik. Keduanyapun kemudian menyusuri Kali Opak beberapa puluh langkah. Akhirnya mereka menemukan batu-batu besar yang berserakan. Tempat yang baik berkata Raden Rangga aku akan tidur diatas batu. Glagah Putih tidak menyahut. Ia hanya memandang saja ketika Raden Rangga melonca t keatas sebuah batu dan berbaring diatasnya. Batu itu masih terasa hangat, sehi ngga karena itu Raden Rangga berkata Nyaman sekali. Batunya terasa hangat, semen tara badanku merasa letih sekali.Glagah Putihpun kemudian duduk diatas sebuah batu. Dengan nada datar ia berkata Silahkan Raden tidur. Tetapi kita akan bergantian. Raden Rangga tidak menyambut. Namun iapun segera memejamkan matanya sementara ma tahari menjadi semakin rendah. Ternyata sejenak kemudian Raden Rangga itu sudah tertidur. Glagah Putih yang dud uk diatas sebongkah batu yang besar pula disebelah Raden Rangga sama sekali tida k berbaring. Ia duduk saja sambil mengawasi langit menjadi kuning, kemudian keme rah-merahan menjelang senja. Dilangit burung berterbangan dalam kelompok-kelompok pulang kesarangnya. Saling berpapasan atau terbang searah. Udara memang terasa segar sekali. Glagah Putihpun mulai disentuh oleh perasaan k antuk pula. Tetapi ia memang tidak ingin tidur. Bahkan Glagah Putihpun kemudian duduk bersila dia tas batu yang besar itu, justru membelakangi arah matahari ter benam. Langit memang menjadi semakin suram sehingga akhirnya malampun perlahan-lahan tu run menyelubungi te-pian kali Opak itu. Dalam keheningan malam, Glagah Putih mencoba mengheningkan budinya pula. Ia menc oba menerawang jalan yang akan dilaluinya. Rasa-rasanya memang panjang sekali da n ia sama sekali tidak melihat ujung dari perjalanannya. Namun dalam pada itu Glagah Putih terkejut. Langit yang menghitam itu penuh diga yuti oleh bintang yang gemerlapan. Bukan saja diatas ia duduk, tetapi seluruh la ngit nampak cerah dalam kegelapan. Namun terasa sesuatu berubah pada kali Opak itu. Perlahan-lahan ia melihat air m ulai naik. Bahkan semakin lama menjadi semakin tinggi dan warnanyapun berubah pu la. Air itu tidak lagi berkilat-kilat disentuh sinar bintang. Tetapi air itu mul ai menjadi keruh. Hampir tidak percaya kepada penglihatannya. Glagah Putih berdesis Banjir. Namun ia masih menunggu beberapa saat. Tetapi ketika air menjadi semakin tinggi, maka iapun berniat untuk membangunkan Raden Rangga yang tertidur nyenyak. Betap apun tinggi ilmu anak muda itu, tetapi jika banjir itu menyeretnya disaat ia tid ur, mungkin keadaannya akan berbeda. Tetapi selagi Glagah Putih siap untuk meloncat, ia melihat Raden Rangga telah te rbangun. Raden desis Glagah Putih untung Raden segera terbangun. Air Kali Opak ternyata n aik. Tetapi Raden Rangga seakan-akan tidak mendengarnya. Diamatinya air yang semakin lama menjadi semakin besar itu. Raden panggil Glagah Putih cepat, kita menepi. Air itu sudah naik ke tepian. Raden Rangga masih tetap terdiam. Bahkan berpa-lingpun tidak. Glagah Putih menjadi heran dan bahkan bingung. Ia melihat Raden Rangga itu justr u mengamati banjir itu sejenak, kemudian mengangkat wajahnya dan memandang ke sa tu arah. Glagah Putih menjadi heran melihat sikap Raden Rangga. Karena itu, maka .Glagah

Putihpun telah memanggil lagi hampir berteriak meskipun jarak diantara mereka ti dak terlalu jauh Raden. Banjir itu semakin besar. Glagah Putih melihat Raden Rangga itu berpaling. Kemudian bersiap untuk meloncat . Glagah Putih sendiri tidak menunggu lebih lama lagi. Ketika ia melihat Raden Ran gga mulai bergerak mengambil ancang-ancang, maka Glagah Putihpun telah meloncat pula kebatu disebelahnya. Demikian berturut-turut beberapa kali, sehingga akhirn ya Glagah Putih itupun telah meloncat ketanggul. Dengan tangkas Glagah Pulih mem anjat ketika ia merasa air telah memanjat tanggul pula. Bahkan terasa arusnya me njadi sangat deras. Meskipun Glagah Putih telah mengerahkan tenaga cadangannya, namun ternyata air itu tetap mengejarnya sampai akhirnya Glagah Putih telah bera da diatas tanggul. Demikian Glagah Putih berdiri tegak diatas tanggul itupun segera berpaling keseb elah menyebelahnya. Ia yakin bahwa Raden Ranggapun tentu telah berhasil berdiri diatas tebing pula. Namun betapa terkejutnya Glagah Putih ketika ia tidak melihat Raden Rangga berdi ri diatas tebing. Apalagi ketika ia memandang kearah tempat Raden Rangga semula berdiri. Glagah Putih masih melihat Raden Rangga berdiri diatas batu itu meskipun air tel ah melibatnya hampir sampai kedadanya. Raden teriak Glagah Putih. Raden Rangga seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan Glagah Putih menjadi heran k etika ia melihat Raden Rangga seakan-akan sedang berbicara kepada seseorang. Mes kipun Raden Rangga tidak berteriak-teriak, namun Glagah Putih seakan-akan menden gar suara Raden Rangga Aku tidak berkeberatan. Tetapi bukankah kalian mengetahui nya, bahwa aku sedang mengemban tugas ayahanda. Glagah Putih tidak mendengar jawaban apapun juga. Tetapi sejenak kemudian Raden Rangga berkata Jika ayahanda memerintahkan, aku akan pergi bersama kalian. Tetap i kalianlah yang bertanggung jawab kepada ayahanda. Raden Rangga menunggu sejenak. Lalu Terima kasih atas kerinduan itu. Akupun meny adari jika waktuku telah tiba. Tetapi tunggu sampai aku selesai. Baru aku akan p ulang. Bagiku sama saja. Bersama ayahanda atau bersama ibunda. Tetapi siapakah i bundaku. Yang nampak dimata atau yang terbersit didalam hati. Suara Raden Rangga terputus sejenak. Lalu Jadi yang nampak dan yang tersimpan it u tidak ada bedanya? Tentu ada. Aku tidak tahu apa yang dimaksud itu. Setelah terputus sejenak Raden Ranggapun berkata Aku akan pulang jika tugas ini selesai. Pulang kemana saja. Kepada ayahanda atau kepada ibunda. Sekarang tingga lkan aku dalam tugas ini. Lautan tidak dapat menjemputku sekarang. Kecuali ayaha nda hadir sekarang dan memberikan perintah itu kepadaku. Karena ayahandalah peng uasa tunggal di bumi Mataram ini. Glagah Putih bagaikan membeku ditempatnya. Yang kemudian dilihat adalah bahwa ai r itupun perlahan-lahan menjadi surut, sehingga akhirnya airpun telah pulih kembali seperti sediakala. Glagah Putih benar-benar menjadi heran atas penglihatannya. Namun beberapa saat ia menunggu. Ia tidak dengan serta merta turun ke sungai dan kembali ketem-patny a. Tetapi yang membuat jantungnya berdebaran adalah bahwa Raden Rangga itu telah be rbaring lagi diatas batu sebagaimana ia tidur. Setelah beberapa saat ia menunggu, akhirnya Glagah Putih itu dengan hati-hati me nuruni tebing. Ia sadar, bahwa ia telah melihat sesuatu tidak dengan mata wadagn ya, karena yang dilihatnya itu ternyata bukan sebagaimana dikenal oleh penglihat an wadagnya. Perlahan-lahan Glagah Putih mendekati Raden Rangga. Suatu hal yang menarik adala h, bahwa ternyata bebatuan itu sama sekali tidak menjadi basah. Ketika ia tiba-t iba saja berjongkok dan meraba pasir tepian diluar arus air, ternyata pasir itu kering. Hem Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam sesuatu telah terjadi dengan Raden Ra ngga. Karena itu, maka Glagah Putihpun kemudian telah membangunkan Raden Rangga yang t ernyata telah tertidur lagi.

Raden desis Glagah Putih. Perlahan-lahan Raden Rangga mulai menggeliat. Kemudian iapun terbangun sambil me nguap. Nyenyak sekali aku tidur desis Raden Rangga sambil bangkit dan duduk diatas batu besar itu. Raden tidur cukup lama berkata Glagah Putih. Apakah kau akan ganti tidur dan menghendaki aku duduk berjaga-jaga? bertanya Rad en Rangga. Tidak Raden jawab Glagah Putih aku tidak mengantuk. Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia berdesis Rasa-rasanya lama sekali aku tertidur. Ternyata aku telah bermimpi dahsyat sekali. Bermimpi? bertanya Glagah Putih. Ya, bermimpi jawab Raden Rangga. Raden bermimpi apa? bertanya Glagah Putih. Sungai ini tiba-tiba saja menjadi banjir. jawab Raden Rangga. Jantung Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Dengan nada dalam ia bertanya Dan R aden hanyut? Tidak. Aku tetap berdiri diatas batu ini jawab Raden Rangga. Ada apa dimimpi Raden itu selain banjir? bertanya Glagah Putih. Aku dijemput oleh utusan ibunda - jawab Raden Rangga ibunda menjadi sangat rindu kepadaku. Aku dipanggilnya pulang. Tetapi didalam mimpi aku teringat perintah ay ahanda, sehingga aku mohon waktu kepada ibunda itu. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia mampu melihat sebagian dari mimpi Raden Rangga. Tetapi ia tidak dapat melihat yang disebut utusan ibunda Rad en Rangga itu. Dengan demikian maka Raden Rangga merupakan orang yang semakin aneh baginya. Bag aimana mungkin ia dapat melihat mimpi seseorang sebagaimana hal itu benar-benar terjadi. Tetapi menilik pasir dan bebatuan yang tetap kering, maka yang dilihatn ya itu bukan yang sebenarnya terjadi. Glagah Putih menjadi semakin sulit mengerti tentang hubungannya dengan Raden Ran gga. Ia banyak terlibat pada diri Raden Rangga. Bukan hanya dalam hubungan kewad agan. Namun bahkan ia terlibat didalam mimpinya. Aku tidak mengerti berkata Glagah Putih didalam hatinya. Namun dalam pada itu, Glagah Putih itupun bertanya Raden. Menurut Raden, sungai ini menjadi banjir di-dalam mimpi. Sementara itu, utusan ibunda telah datang. Ba gaimana hubungan antara banjir dan utusan ibunda itu? Apakah utusan ibunda justr u tidak hanyut didalam banjir?Utusan ibunda naik seekor kuda yang tegar justru di-ujung banjir. Namun kemudian kuda itu berhenti diatas air yang semakin deras dibawah kaki-kakinya yang kokoh dan kuat jawab Raden Rangga. O Glagah Putih menjadi semakin bingung, sehingga Raden Rangga justru bertanya Ka u kenapa? Nampaknya kau justru seperti orang kebingungan. Kenapa kau terlalu ter pengaruh oleh mimpiku? Raden berkata Glagah Putih Raden bagiku adalah orang yang aneh. Bagaimana mungki n aku dapat terlibat didalam mimpi Raden. Seakan-akan aku telah ikut mengalaminy a. Jika Raden hanya melihat dan mengalaminya didalam mimpi, maka rasa-rasanya ak u justru mengalaminya sesungguhnya. Aku telah berlari-lari menepi dan naik keata s tanggul pada saat aku melihat Raden siap untuk meloncat dari batu ke batu. Nam un ternyata Raden tidak menepi. Raden Rangga mengangguk-angguk. Sebenarnya iapun merasa heran, bahwa seseorang d apat terlibat didalam peristiwa mimpi orang lain. Satu peristiwa yang menarik berkata Raden Rangga meskipun sulit dimengerti, namu n hal itu telah terjadi. Sayang, kau tidak melihat utusan ibunda yang gagah dala m pakaian yang asing diatas seekor kuda yang tinggi tegar. Sayang sekali desis Glagah Putih. Namun yang kau alami cukup aneh. Banjir itu tentu tidak sesungguhnya terjadi ber kata Raden Rangga jika benar, aku tentu sudah hanyut. Pasir dan bebatuannya tidak basah selain yang tersentuh air seperti sekarang ini . sahut Glagah Putih tetapi yang aku lihat adalah mimpi sebagaimana Raden cerite rakan.

Baiklah berkata Raden Rangga biarlah hal ini merupakan teka-teki. Kita akan menc ari jawabnya jika mungkin. Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian duduk pula tepekur diatas seb uah batu. Direnunginya air Kali Opak yang gemericik dibawah kakinya. Aku merasa bahwa aku justru tidak tertidur sama sekali berkata Glagah Putih. Ketika ia kemudian menengadahkan wajahnya kela-ngit, dilihatnya langit bersih. T idak selembar mendungpun yang nampak mengalir didorong angin malam. Juga dile-re ng Gunung Merapi nampak langit tak berawan sama sekali. Tidurlah berkata Raden Rangga biarlah aku yang berjaga-jaga meskipun banjir yang sesungguhnya tidak akan datang. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian Apakah Raden tida k akan tidur lagi? Jika aku merasa mengantuk maka biarlah aku membangunkanmu berkata Raden Rangga k emudian. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berbaring puladiatas s ebuah batu|yang besar. Batu itu mulai terasa dingin karena embun yang mulai turu n. Tetapi Glagah Putih tidak segera dapat tertidur. Ia masih memikirkan peristiwa y ang dialaminya justru didalam mimpi Raden Rangga. Namun akhirnya Glagah Putih berusaha melepaskan semua gerak didalam hati dan pik irannya. Ia ingin beristirahat barang sejenak diatas batu di Kali Opak itu. Glagah Putih memang tertidur. Tetapi tidak terlalu lama. Kemudian ia terbangun, maka dilihatnya Raden Rangga masih duduk ditempatnya dengan sikap sebagaimana saat ia tertidur. Kau hanya tidur sebentar sekali desis Raden Rangga ketika ia melihat Glagah Puti h terbangun. Sudah cukup sahut Glagah Putih agaknya aku tidak dapat tidur terlalu lama. Raden Rangga hanya mengangguk saja. Namun kedua-nyapun kemudian terdiam ketika m ereka melihat seseorang yang menyusuri sungai itu sambil sekali-sekali menebarka n jalanya. Ia mencari ikan semalam suntuk dengan cara itu berkata Raden Rangga. Tetapi orang-orang yang mencari ikan dengan cara itu, kadang-kadang dapat menang kap ikan sekepis penuh jawab Glagah Putih. Tentu jawab Glagah Putih pliridan hanya sekedar untuk membuat kesibukan. Tetapi orang-orang yang menjala ikan semalam suntuk disepanjang sungai, adalah bagian d ari usaha untuk menambah penghasilannya. Biasanya mereka adalah petani berkata G lagah Putih. Raden Rangga mengangguk-angguk. Orang yang menjala ikan itu akhirnya mendekat ju ga, dan melemparkan jalanya beberapa langkah saja dari kedua anak muda itu. Sejenak kemudian, maka jala itu telah ditariknya. Ketika jala itu kemudian dibaw a menepi dan dikibaskannya sejengkal demi sejengkal, maka beberapa ekor ikan wad er pari telah tertangkap didalamnya. Demikianlah dilakukan oleh orang itu beberapa kali. Ditempat yang agak dalam dan tidak terdapat banyak bebatuan, maka orang itu telah mendapatkan ikan cukup ban yak. Namun kemudian orang itupun meneruskan kerjanya, menyusuri Kali Opak. Demikian orang itu hilang dibalik bebatuan yang besar maka Raden Rangga itupun berkata Ia bekerja keras untuk keluarganya. Jika ia seo rang yang berusaha untuk memperdalam olah kanuragan, maka laku yang dijalaninya cukup tinggi. Tetapi ia terpancang pada usahanya untuk mendapatkan sesuap nasi b esok pagi. Glagah Putih mengangguk-angguk. Orang-orang seperti itu biasanya menyusuri sunga i semalam suntuk antara tiga ampat hari sekali. Dari matahari terbenam sampai ma tahari terbit. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Raden Rangga berkata Marilah. Kita menerusk an perjalanan. Sekarang? bertanya Glagah Putih. Ya. Justru kita tidak akan kepanasan jawab Raden Rangga. Glagah Putihpun mengangguk-angguk. Iapun segera membenahi dirinya. Mencuci wajah nya dengan air Kali Opak yang bening dan dingin. Kemudian bersama Raden Rangga m

eneruskan perjalanan disisa malam itu. Seperti sebelumnya keduanya sama sekali tidak nampak tergesa-gesa. Raden Rangga berjalan sambil mempermainkan tongkatnya, sementara Glagah Putih melangkah satusatu sambil memperhatikan keadaan disekitarnya. Keduanya justru berjalan memanjat kaki lereng Merapi. Semakin lama semakin tingg i. Baru kemudian mereka berbelok dilambung menuju kearah Timur. Ketika matahari terbit, keduanya sampai kesebuah padukuhan yang banyak dikenal o leh orang-orang disekitarnya; karena sebatang pohon yang besar dan disebut pohon Mancawarna. Orang-orang dipadukuhan itu dan disekitarnya percaya bahwa pohon ya ng besar, sebesar pohon beringin itu mempunyai beberapa jenis bunga. Barang siap a yang dapat melihat kuntum bunga melati pada pohon yang besar itu, maka orang i tu akan mendapatkan sesuatu yang berharga atau satu diantara keinginan-keinginan nya yang besar akan terpenuhi. Sementara itu, pasar yang cukup besar terdapat dise-belah pohon yang besar itu.Beberapa buah kedai terdapat didalamnya, sehingga Raden Ranggapun kemudian berk ata Kau lihat nasi yang masih mengepul itu. Ya Raden jawab Glagah Putih. Apakah kau tidak lapar? bertanya Raden Rangga pula. Glagah Putih tersenyum. Namun kemudian iapun mengangguk. Katanya Aku memang suda h lapar Raden. Keduanyapun kemudian memasuki sebuah kedai di-antara beberapa buah kedai yang be rjajar dipinggir pasar itu. Disebelah lain berjajar pula beberapa pandai besi ya ng mengerjakan beberapa jenis alat-alat pertanian. Agaknya dimana-mana memang ada orang-orang yang merasa dirinya lebih besar dari orang lain. Ternyata juga di-pasar itupun terdapat orang-orang yang demikian. Se orang yang agak gemuk merupakan orang yang paling ditakuti di pasar itu. Ia dapa t berbuat apa saja sekehendaknya. Bahkan ia sering makan di kedai-kedai itu tanp a mau membayar. Untungnya orang itu mau berpikir juga, sehingga hal itu dilakuka nnya bergantian. Tidak hanya pada sebuah saja diantara kedai-kedai yang ada. Sek ali ia berada diujung kanan, kemudian lain kali diujung kiri, atau disebelahnya atau ditengah. Dengan demikian maka para penjual di kedai itu tidak merasa terla lu banyak dirugikan. Ketika Raden Rangga dan Glagah Putih sedang makan nasi hangat, mereka terkejut d engan kehadiran orang yang agak gemuk, berjambang dan berkumis lebat, menyelipka n golok besar dipinggangnya. Demikian orang itu masuk, maka pemilik kedai itu sudah nampak gugup dan ketakuta n. Apalagi ketika orang itu dengan nada keras memesan beberapa jenis makanan dan semangkuk wedang sere dengan gula kelapa. Dengan tergesa-gesa maka pemilik kedai itu segera menyajikan apa yang telah dimi ntanya. Kau punya tuak legen aren? bertanya orang yang agak gemuk itu. O, maaf Ki Dumi, kami tidak mempunyainya jawab pemilik kedai itu dengan nada ket akutan. Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya Baiklah. Biarlah aku bel i di kedai lain. He, karena ini salahmu, maka beri aku uang. Pemilik kedai itu sama sekali tidak membantah. Justru setelah orang itu selesai makan dan minum, maka ia telah menerima beberapa keping uang dari pemilik kedai itu. Demikian orang itu pergi, maka Raden Ranggapun telah bertanya Ki Sanak. Apakah k au tidak menderita rugi mengalami perlakuan yang demikian. Tidak Ki Sanak. Dan ini tidak terjadi setiap hari. Mungkin lima enam hari sekali . Bahkan kadang-kadang lebih. jawab pemilik kedai itu. Raden Rangga hanya mengangguk-angguk saja. Bahkan Glagah Putih menjadi cemas buk an karena orang itu. Tetapi sulit untuk mencegah jika tiba-tiba saja Raden Rangg a berniat sesuatu. Tetapi agaknya Raden Ranggapun bergumam Jika kau tidak merasa dirugikan, biarlah hal ini terjadi dalam keadaan tenang dan damai. Pemilik warung itu mengangguk-angguk. Namun ia merasa heran bahwa ada seseorang yang berani menanyakan tentang orang yang gemuk dan membawa golok dipinggangnya

itu. Tetapi Raden Rangga dan Glagah Putih memang tidak berbuat apa-apa. Mereka masih tetap duduk ditempat mereka sambil makan dan sekali-sekali meneguk minuman panas yang menyegarkan. Setelah selesai makan dan minum, maka keduanyapun minta diri sambil membayar har ga makanan dan minuman mereka. Tetapi ketika keduanya keluar dari kedai itu, keduanya terkejut. Beberapa orang telah berlari-lari sementara ada yang memperhatikan kes atu arah dari kejauhan. Apa yang telah terjadi? bertanya Glagah Putih kepada pemilik warung. Pemilik warung itupun kemudian keluar dari warungnya. Namun kemudian iapun menar ik nafas sambil berdesis Satu kebetulan yang dapat membuat pasar ini menjadi kis ruh. Kenapa? bertanya Glagah Putih pula. Ki Dumi telah bertemu dengan Ki Santop. Dua orang musuh bebuyutan. Biasanya kedu anya saling menghindar. Namun agaknya keduanya telah memasuki warung yang sama u ntuk mencari legen aren. jawab pemilik warung itu. Biasanya mereka selalu berselisih? bertanya Glagah Putih pula. Ya. Bahkan kadang-kadang berkelahi jawab pemilik kedai itu namun daerah ini sebe narnya adalah daerah Ki Dumi. Orang gemuk yang tadi masuk kewarung ini. Ki Santo p biasanya berada di pasar Prambanan. Mungkin ada sesuatu hal yang membawanya ke mari, sehingga keduanya bertemu. Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, beberapa orang memang suda h menyingkir. Menjauhi kedua orang yang nampaknya memang sedang bertengkar itu. Semakin lama semakin keras. Marilah, kita lihat apa yang dipertengkarkan ajak Raden Rangga. Jangan anak muda cegah pemilik warung itu jika mereka marah, kadang-kadang merek a kehilangan kendali diri. Daripada kalian mengalami kesulitan, jangan mendekat. Lihat, orang-orang tuapun telah bergeser menjauh. Tetapi Raden Rangga justru tertawa. Katanya Aku ingin tahu apa yang mereka perso alkan. Pemilik kedai itu tidak dapat mencegahnya lagi. Raden Rangga telah mengajak Glagah Putih justru mendekati dua orang yang sedang berten gkar itu, sehingga mereka mendengar apa yang dipertengkarkan. Aku tidak peduli ini daerahmu berkata Ki Santop kau sudah menghina kemanakanku k emarin. Bahkan kau sebut-sebut namaku. Aku tidak mau menerima penghinaan seperti itu. Keponakanmu memang gila geram Ki Dumi ia kira bahwa ia dapat berbuat apa saja ka rena ia kemanakan Santop, termasuk berbuat gila dilingkungan kuasaku. Omong kosong jawab Santop ia tidak berbuat apa-apa. Kaulah yang terlalu besar ke pala. Kau anggap dunia ini sudah menjadi milikmu. Persetan geram Dumi sekarang kau mau apa? Aku memang telah memukuli kemanakanmu yang mencoba mencuri di pasar ini beberapa hari yang lalu. Ia tidak mencuri, dungu bentak Santop ia mengambil benda yang dibutuhkan sebagai mana kau mengambilnya. Itu tidak mungkin Dumi hampir berteriak jika aku dapat mengambil apa saja yang a ku butuhkan, justru aku melindungi mereka, seisi pasar ini, dari tangan-tangan p anjang seperti kemanakanmu itu. *** Jilid 208 ANAK iblis. geram Santop, sekarang aku datang untuk membuat perhitungan. Bagus-bagus. Kita akan mencoba sekali lagi kemampuan kita. Tetapi kali ini sampai tuntas, Siapa yang dapat disebut paling baik diantara kita berdua, berkata Ki Du mi, jika selama ini kita masih menganggap bahwa kita memiliki tingkat ilmu yang s ama, maka kita harus membuat kesan lain. Siapa yang kalah diantara kita hari ini , akan tunduk kepada yang menang untuk seterusnya. Kau tidak usah sesorah. bentak Santop, aku akan memilin lehermu sampai patah. Bagus. Bagus. sahut Dumi sambil menarik golok serta sarungnya dan meletakkan di at as sebuah batu.

Sementara itu, Santoppun telah melepas ikat pinggangnya yang digantungi parangny a yang besar dan meletakkannya pula disebuah dingklik didepan sebuah kedai. Namun dalam pada itu, keduanya terkejut ketika tiba-tiba saja mereka mendengar s eseorang bertepuk tangan sambil berkata, Bagus. Ternyata kalian berdua cukup jant an. Dengan serta merta Glagah Putih menggamit Raden Rangga yang berdiri dengan wajah berseri-seri. Ternyata Raden Rangga terkejut juga. Bahkan tiba-tiba saja ia ber geser dibelakang Glagah Putih. Agaknya Raden Rangga itu menyesal, karena ia berb isik, Aku tidak sengaja. Kedua orang itu memandang Glagah Putih dan Raden Rangga yang berdiri dibelakangn ya dengan tatapan mata yang garang. Bahkan Ki Santop itupun kemudian berkata lan tang, He, anak setan. Pergi dari situ. Atau kalian akan aku lemparkan ke lumpur d i sawah itu. Glagah Putih bergeser mundur. Namun Raden Rangga ada dibelakangnya sambil berdes is, Kita akan melihat mereka berkelahi. Dari kejauhan saja. Kita akan berada diantara orang-orang yang berkerumun itu. At au Raden memang mencari perkara? bertanya Glagah Putih. Raden Rangga kemudian bergeser mundur pula dan berada diantara orang-orang yang berkerumun pada lingkaran yang agak besar. Kalian menjadi saksi. teriak Dumi kepada orang-orang yang menonton itu, siapakah ya ng terbaik diantara kami berdua. Tidak ada seorangpun yang menjawab. Semua orang justru menjadi tegang. Namun dia ntara mereka tiba-tiba terdengar suara, Ya. Kami akan menjadi saksi. Semua orang berpaling kearah suara itu. Sekali lagi Raden Rangga bersembunyi dib elakang Glagah Putih yang nampak agak lebih besar daripadanya, karena umurnya me mang lebih tua. Dua orang yang siap berkelahi itupun berpaling pula kearah Raden Rangga. Tetapi keduanya ternyata tidak menghiraukannya. Sejenak kemudian, maka kedua orang yang akan berkelahi itupun telah mempersiapka n diri. Keduanya bergeser beberapa langkah. Kemudian, Santoplah yang ternyata le bih dahulu meloncat menyerang Dumi. Namun Dumipun telah siap. Karena itu, maka i apun segera bergeser menyamping sehingga serangan Santop itu sama sekali tidak m enyentuh sasaran. Tetapi Santop tidak berhenti. Ia segera berputar dengan kaki terangkat mendatar. Dengan tumitnya ia telah berusaha mengenai lambung Dumi. Namun Dumi melihat ser angan itu. Karena itu, maka iapun telah bergeser lagi dan bahkan dengan tanganny a ia sempat menangkis serangan itu kesamping, sehingga sekali lagi serangan Sant op itu tidak mengenai sasaran. Yang kemudian menyerang adalah justru Dumi. Ia tidak mau selalu diburu saja oleh Santop dengan serangan-serangan. Karena itu, demikian Santop tergeser, maka Dum ilah yang dengan loncatan panjang menjulurkan tangannya kearah dada lawannya. Santop terkejut melihat serangan yang tiba-tiba. Karena itu, maka cepat ia menar ik satu kakinya surut, kemudian sambil merendah ia memukul serangan itu kesampin g. Dengan demikian maka lambung Dumipun justru terbuka. Dengan serta merta Santo p telah melepaskan serangan dengan kakinya yang terjulur menyamping ke arah lamb ung lawannya. Dumi tidak membiarkan lambungnya dihantam oleh serangan kaki Santop. Karena itu, maka dengan cepat dan sigap iapun telah meloncat mundur. Berputar setengah ling karan bertumpu pada tumit, dan justru meloncat kembali dengan setengah kaki mend atar. Santop terkejut. Ia tidak sempat menghindar. Karena itu, maka iapun telah merend ah, melindungi dadanya dengan tangannya yang bersilang didadanya. Kaki Dumi ternyata telah menghantam tangan Santop yang melindungi dadanya. Denga n demikian maka benturan yang keras telah terjadi. Namun agaknya Dumi dalam kead aan yang lebih mapan, sehingga karena itu, maka Santoppun telah terdorong dengan kekuatan yang besar, meskipun tidak langsung menghantam dadanya. Santop terdorong surut. Bahkan keseimbangannya telah terganggu, sehingga Santop telah terdorong dan jatuh berguling. Tetapi ia cepat melenting berdiri sebelum D umi sempat mengambil sikap, karena Dumipun telahh terdorong pula surut selangkah .

Sejenak kemudian keduanya telah kembali berhadapan dalam kesiagaan tertinggi. Sa ntop dan Dumi telah sampai pada tingkat tertinggi ilmu mereka yang disegani oleh orang-orang disekitarnya. Dalam perkelahian yang kemudian terjadi, maka orang-o rang yang menyaksikannya menjadi semakin kagum kepada keduanya. Mereka saling me nyerang dan saling menghindar. Dorong mendorong. Desak mendesak dengan kekuatan sepenuhnya. Beberapa orang tidak dapat menahan diri untuk memuji keduanya. Namun yang lain d engan nada kecut merasa semakin takut kepada kedua orang yang ternyata memiliki ilmu yang bagi mereka sangat nggegirisi itu. Namun dalam pada itu, hampir diluar sadarnya, Raden Rangga berteriak, Ayo. Lakuka n dengan lebih baik. Atau yang kalian miliki memang hanya itu? Ternyata suara Raden Rangga itu didengar kedua orang yang sedang berkelahi itu. Agaknya keduanya memang merasa tersinggung karenanya, sehingga diluar persetujua n mereka berdua, maka Santop dan Durm itu telah berloncatan saling menjauh. Mulut siapa yang berbicara itu? bertanya Santop dengan nada marah. Tidak ada seorangpun yang menjawab. Raden Ranggapun tidak. Bahkan ia telah menyu sup diantara orang-orang yang mengilingi arena dari jarak yang agak jauh itu. Ayo, siapa yang telah menghina kami. teriak Dumi, salah seorang diantara kalian har us mengaku. Jika tidak, maka kami akan menghancurkan kepala kalian sernuanya. Cepat. sambung Santop pula. Bahkan ia telah melangkah mendekat kearah suara itu. L alu katanya, Jika tidak ada yang mengaku, maka kalian harus dapat menunjukkan sia pakah yang telah berteriak itu. Jika kalian tidak mau menunjuk, maka kalian semu a kami anggap bersalah. Orang-orang itu menjadi semakin tegang. Apalagi ketika Santop dan Dumi bersama-s ama melangkah mendekat kearah Raden Rangga. Cepat. teriak Dumi. Orang-orang itu terkejut. Suara Dumi bagaikan gelegar guruh di atas kepala merek a. Namun tidak seorangpun yang mengaku. Dalam pada itu, orang-orang yang mengetahui bahwa Raden Rangga yang berteriak me njadi marah pula kepada anak itu. Ialah yang membuat kedua orang yang sedang ber kelahi itu mengancam dan barangkali keduanya tidak hanya sekedar mengancam. Kare na itu, orang yang berdiri dibelakang Raden Rangga telah berdesis, Nah, salahmu. Kau harus bertanggung jawab. Raden Rangga berpaling. Katanya, Tidak. Aku tidak apa-apa. Kau tadi yang berteriak dan membuat keduanya marah. orang dibelakangnya itu menega skan. Bukan aku. jawab Raden Rangga. Kau. Aku sendiri melihat dan mendengar. orang itu mulai membentak. Glagah Putih benar-benar menjadi gelisah. Apalagi ketika beberapa orang yang lai npun telah mendesak Raden Rangga pula karena mereka takut menjadi sasaran kemara han kedua orang yang ditakuti itu. Persoalannya jadi bergeser. desis seorang yang berkepala botak tanpa ikat kepala, k arena itu kau harus mengaku, atau kami akan mendorongmu ke arena bahkan ikut mem ukulmu. Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namim kemudian katanya, Baiklah. Aku akan me ngaku. Tetapi sebelum Raden Rangga melangkah maju Glagah Putihlah yang lebih dahulu mel angkah keluar kerumunan orang-orang yang melingkari arena perkelahian itu sambil berdesis, Biar aku saja yang keluar. Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun ia mengerti maksud Glagah Putih sehing ga ia tidak berusaha mencegahnya. Ketika Glagah Putih kemudian maju mendekat, maka kedua orang itupun tertegun. Sa ntop dengan serta merta berkata, Kau lagi anak iblis. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun telah berubah sikap . Dengan lantang ia berkata, Ya. Akulah yang mengharapkan pertarungan kalian menj adi lebih mantap. Apa maksudmu he? bentak Dumi. Kalian tidak berkelahi dengan sungguh-sungguh. Apakah kalian hanya sekedar bermai n-main untuk memberikan sedikit hiburan kepada orang-orang yang berada di pasar ini? bertanya Glagah Putih.

Anak gila. geram Dumi, apakah kau sadari yang kau katakan. Kenapa tidak. jawab Glagah Putih, aku sadar sepenuhnya. Aku tahu apa yang terjadi d an aku menjadi kecewa karenanya. Atau seperti yang aku katakan, kemampuan kalian memang hanya sekian. Orang-orang yang mengerumuni arena dari jarak jauh itu, sempat juga mendengar ka ta-kata Glagah Putih. Mereka benar-benar menjadi heran. Namun orang-orang itu me rasa belum pernah melihat anak yang lancang mulut itu, sehingga mereka mengira b ahwa anak itu tidak mengenal dengan baik orang yang bernama Santop dan Dumi itu, sehingga agaknya anak itu menyangka, bahwa keduanya dapat dibawa berkelakar. Dengan demikian orang-orang yang berada di arena itu menjadi semakin cemas. Mere ka menjadi jengkel kepada Glagah Putih tetapi merasa cemas juga, bahwa anak itu mengalami nasib yang buruk. Seorang diantara mereka bergumam ditelinga Raden Rangga, Apakah saudaramu itu gil a he? Tidak, kenapa? bertanya Raden Rangga. Apakah ia sadar akan apa yang dilakukannya sebagaimana ditanyakan oleh Ki Dumi? be rtanya orang itu pula. Tentu, kenapa tidak? sahut Raden Rangga. Orang-orang yang mendengar jawaban Raden Rangga itu mengumpat. Seorang diantara mereka menggeram, Terserah saja jika anak iblis itu akan mengalami nasib buruk. M ereka terlalu dungu untuk mengatahui keadaan yang sebenarnya. Mereka menganggap bahwa mereka sedang berkelakar dengan kakeknya saja. Raden Rangga tersenyum mendengar umpatan itu. Tetapi ia sama sekali tidak menjaw ab. Dalam pada itu, Ki Santop dan Ki Dumi menjadi sangat marah mendengar jawaban Gla gah Putih. Namun terhadap anak yang masih sangat muda itu, keduanya masih berusa ha menahan diri, meskipun dengan demikian tubuh mereka justru menjadi gemetar. Anak setan. Aku minta kau pergi dari tempat ini. Aku masih berusaha menahan diri meskipun melihat tampangmu rasa-rasanya aku ingin meremas mulutmu. geram Ki Dumi. Tetapi jawab Glagah Putih memang sangat menyakitkan hati keduanya. Katanya, Maaf Ki Sanak. Sudah aku katakan, bahwa aku ingin melihat kalian berkelahi lebih baik . Karena itu aku tidak akan pergi. Ki Santop dan Ki Dumi tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba saja keduanya tel ah meloncat untuk menangkap Glagah Putih. Glagah Putih tidak menghindar. Dihiarkannva dirinya diseret oleh kedua orang itu ketengah arena. Pemilik warung yang melihat hal itu menjadi sandal berdebar-debar. Katanya kepad a diri sendiri, Aku sudah melarangnya. Tetapi anak itu memang keras kepala. Demikian Glagah Putih sampai ketengah arena, maka iapun telah dilepaskan. Dengan nada tinggi Ki Santop berkata, Berjongkok. Minta maaf kepada kami berdua. Atau k au akan menjadi cacad seumur hidupmu?. Kau tentu belum mengenai siapa Santop. Dan siapa Dumi. sambung Ki Dumi. Glagah Putih yang berdiri diantara kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, Ki Sanak. Kenapa aku harus minta maaf. Bukankah aku hanya ing in melihat sesuatu yang lebih menarik? apakah itu salah? Ki Santoplah yang sudah tidak dapat menahan diri. Tiba-tiba tangannya melayang m enghantam pipi Glagah Putih sambil membentak, Aku koyak mulutmu. Glagah Putih sudah menyangka, karena itu, maka iapun telah berusaha untuk mening katkan daya tahannya, sehingga pukulan Ki Santop itu tidak terlalu menyakitkan p ipinya. Namun demikian Glagah Putih itu berkata, Kenapa kau sakiti aku? Ki Santop mulai memperhatikan anak itu. Ia telah memukulnya. Ia menyangka, bahwa tiga giginya akan rontok. Tetapi anak itu seakan-akan tidak merasakan sesuatu. Ki Dumipun ternyata memperhatikannya juga, sehingga iapun menjadi heran karenany a. Glagah Putih yang melihat sikap ragu pada kedua orang itu telah bertanya, Ada apa ? Persetan. geram Ki Santop, kau sudah terlalu banyak menghina aku. Jangan menyesal b ahwa kami berdua akan memukulimu sampai tulang-tulangmu patah. Ki Sanak. berkata Glagah Putih, sudahlah. Aku kira tidak akan ada gunanya kalian me

mukuli aku. Yang penting bahwa kalian menyadari, bahwa kalian tidak dapat bertin dak atas dasar kesenangan dan kepentingan kalian sendiri. Ketika aku melihat sal ah seorang dari kalian mengambil makanan, minuman dan bahkan uang di kedai itu, aku merasa sangat kecewa. Berapa keuntungan penjual makanan itu? Seharusnya oran g-orang yang memiliki kelebihan seperti kalian, justru melindungi orang-orang ya ng ada didalam pasar ini. Bukan malahan melakukan pemerasan seperti itu. Apalagi kemudian kalian berkelahi disini menakut-nakuti seisi pasar karena sebab-sebab yang tidak jelas. Tutup mulutmu anak setan. bentak Ki Dumi, kau mau mengajari aku he? Kau itu apaku? Kakekku? Anak yang masih ingusan seperti kau ini seharusnya tidak berbuat aneh-a neh yang dapat menyeret lidahmu sendiri. Aku tidak berbuat aneh-aneh. Aku berkata sebenarnya. Bahkan aku memperingatkan ka lian berdua, sejak saat ini kalian berdua tidak boleh memeras orang-orang yang b erada di pasar ini, atau pasar yang manapun juga. Aku anjurkan kalian berdua mem bicarakan dengan baik-baik, imbalan yang akan kalian peroleh ditempat kalian mas ing-masing jika kalian bersedia menjadi pelindung mereka. Dengan demikian maka k alian akan merasa saling memerlukan dengan orang-orang yang berada dipasar ini. Tutup mulutmu. bentak Dumi. Yang kemudian mengayunkan tangannya bukan Santop, teta pi Dumi mengarah ke mulut Glagah Putih. Glagah Putih memang tidak mengelak. Tetapi ditingkatkannya daya tahan tubuhnya d engan lambaran tenaga cadangannya. Karena itu ketika tangan Dumi yang terayun te lah membentur batu. Karena itu, maka iapun telah menyeringai menahan sakit. Dengan demikian, maka kedua orang itu telah benar-benar kehilangan kesabaran. Na mun keduanya lidak terlalu dungu untuk tidak mengetahui bahwa anak itu teutu mem iliki kelebihan. Menurut pengamatan mereka kedua anak muda itu bukannya orang gi la. Karena ilu, maka penalarannya yang utuh itu tentu dialasi pula dengan perhit ungan tentang tingkah laku mereka. Karena itu, maka baik Santop maupun Dumi telah bersama-sama menyerang Glagah Put ih. Namun Glagah Putih yang memang telah bersiap, sama sekali tidak mnngalami ke sulitan. Santop dan Dumi memang termasuk orang-orang yang paling ditakuti, namun olah satu lingkungan yang memang jauh dari kisruhnya dunia olah kanuragan. Karena itu, sebenarnyalah dibandingkan dengan Glagah Putih baik Ki Santop maupun Ki Dumi bukanlah orang yang harus diperhitungkan. Meskipun mereka akan bertempu r berpasangan, namun Glagah Putih tidak akan mengalami kesulitan apapun juga. Namun Glagah Putih tidak akan membuat mereka menjadi kehilangan harga diri dihad apan orang-orang yang berkerumun disekitar arena itu. Karena itulah, maka ia tel ah maju ke arena tanpa membiarkan Raden Rangga melakukannya. Jika Raden Rangga i ngin bermain-main dengan caranya, maka kadang-kadang ia lupa memperhatikan kepen tingan orang lain. Dengan demikian maka Glagah Putih tidak dengan serta merta mengalahkan kedua ora ng itu. Tetapi dibawanya kedua orang itu untuk bertempur, sebagaimana ia pernah mendengar Agung Sedayu menceriterakan cara-cara yang sering dipakainya untuk mem buat seseorang jera tanpa merampas harga dirinya dalam keseluruhan. Karena itu, maka perkelahian antara Glagah Putih dan kedua orang itupun nampakny a merupakan pertempuran vang sangat seru. Kedua belah pihak saling mendesak dan saling menghindar, Ki Santop dan Ki Dumi yang marah kadang-kadang telah menyeran g dengan garangnya sehingga Glagah Putih nampak terdesak mundur. Namun kemudian Glagah Putihlah yang mendesak kedua lawannya. Orang-orang yang berkerumun disekitar arena itu memang menjadi sangat heran. Bag aimana mungkin anak yang masih sangat muda itu mampu berkelahi melawan Ki Santop dan Ki Dumi bersama-sama. Padahal menurut pengenalan mereka, Ki Santop dan Ki D umi adalah orang-orang yang tidak terkalahkan oleh siapapun juga didalam lingkun gan kehidupan mereka. Apalagi anak-anak yang masih sangat muda itu. Namun mereka melihat satu kenyataan, bahwa anak muda itu memang mampu mengimbangi dua orang yang sangat mereka takuti di lingkungan mereka. Sementara itu, Ki Santop dan Ki Dumi bertempur melawan Glagah Putih dengan menge rahkan segenap kemampuan mereka. Keduanya memang merasa sangat malu, bahwa merek a berdua tidak segera dapat mengalahkan lawannya yang masih sangat muda itu. Bah kan mereka merasa bahwa mereka masih belum mampu mengenai tubuh lawan mereka. Namun betapa mereka mengerahkan tenaga dan kemampuan, mereka tidak dapat berbuat

banyak. Lawan mereka dengan tangkas selalu berhasil menghindarkan diri dari ser angan mereka berdua. Tetapi keduanya terkejut ketika satu kenyataan lagi telah t erjadi. Justru serangan anak muda itulah yang berhasil mengenainya. Menyentuh tu buhnya bahkan tidak hanya sekali atau karena kebetulan. Ki Santop dan Ki Dumi mengumpat didalam hati. Namun mereka harus menghadapinya. Anak yang masih terlalu muda, tetapi mampu bergerak secepat burung sikatan menya mbar bilalang. Glagah Putih memang telah sempat mengenai kedua lawannya. Tetapi ia tidak ingin menjatuhkan lawan-lawannya dengan sentuhan tangannya. Jika ia menyentuh lawannya , Glagah Putih sekedar memacu lawannya agar bertempur semakin cepat. Dengan demi kian, diharapkan agar lawannya itu menjadi semakin cepat kehabisan tenaga. Sebenarnyalah bahwa Ki Santop dan Ki Dumi telah mengerahkan segenap kemampuannya . Sentuhan-sentuhan tangan Glagah Putih memang memaksa untuk lebih banyak menger ahkan tenaga. Ketika Glagah Putih kemudian sempat menyentuh kening Ki Dumi dengan ujung jariny a, maka iapun berdesis, Kenapa kau tidak menangkisnya? Persetan. geram Ki Dumi yang meloncat menerkam Glagah Putih. Tetapi Glagah Putih meloncat kesamping. Demikian serangan Ki Dumi kehilangan sas aran, maka justru tangan kiri Glagah Putih terayun ketengkuknya sambil berkata, J ika aku memukul tengkukmu dengan sisi telapak tanganku ini dan apalagi dengan ke kuatan yang besar, maka kau akan jatuh terjerembab. Wajahmu akan penuh dengan de bu dan barangkali gigimu terantuk batu dan patah tiga buah sekaligus. Anak Setan. geram Ki Dumi. Namun yang meloncat menyerang adalah justru Ki Santop. Kakinya terjulur menyampi ng, tepat kearah punggung Glagah Putih. Namun Glagah Putih yang dapat menangkap gerak Ki Santop, sempat menghindari serangan itu. Dengan tangannya ia justru men gangkat kaki yang terjulur itu begitu tiba-tiba. Ki Santop terkejut. Demikian kakinya terangkat, maka ia tidak lagi dapat menjaga keseimbangannya, sehingga iapun telah jatuh terduduk. Ki Santop itu mengumpat k asar. Dengan tangkasnya ia meloncat berdiri. Namun dalam pada itu, orang-orang yang mengerumuni arena itu menjadi semakin her an. Meskipun sebagian besar dari mereka tidak mengetahui apa yang terjadi, namun mereka dapat juga melihat, bahwa dalam perkelahian itu. Ki Santop dan Ki Dumi b ersama-sama tidak segera dapat mengalahkan lawannya yang masih sangat muria itu. Bahkan beberapa kali keduanya telah terdesak, dan malahan mereka justru terjatu h dan tertatih-tatih kehilangan keseimbangan. Siapakah sebenarnya anak-anak muda itu? pertanyaan itu mulai mengganggu orang- ora ng yang berada disekitar arena itu, bahkan beberapa orang menjadi ragu, bahwa an ak-anak muda itu mempunyai niat buruk kepada seisi pasar itu. Dalam pada itu, Raden Rangga menjadi gembira melihat permainan Glagah Putih. Iap un menyadari bahwa Glagah Putih memang tidak bersungguh-sungguh. Sebenarnya Glag ah Putih akan dapat menghentikah perlawanan kedua orang lawannya itu kapan saja ia mau. Namun agaknya Glagah Putih memang menjaga agar kedua orang itu tidak keh ilangan harga dirinya dan justru mendendamnya. Karena keduanya tidak akan mampu membalas saikit hatinya kepada Glagah Putih, maka orang-orang yang tidak berdaya ituiah yang akan dapat menjadi sasaran dendam mereka. Sementara Glagah Putih masih berkelahi maka Raden Rangga itupun telah bergeser m emasuki arena. Semakin lama semakin dekat. Bahkan kemudian ia hanya berdiri bebe rapa langkah saja dari mereka yang sedang berkelahi. Orang-orang yang menyaksikan itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka tidaK ta hu, apakah anak yang lebih muda itu juga memiliki kemampuan seperti anak muda ya ng lebih besar, yang sedang berkelahi melawan dua orang yang dianggap memiliki i lmu yang sangat tinggi oleh orang-orang disekitarnya. Anak ituiah yang sebenarnya tadi berteriak mengejek Ki Santop dan Ki Dumi. Tetapi anak muda yang lebih besar ituiah yang mengakunya. berkata seorang diantara mere ka yang berada diseputar arena itu. Nah , tiba-tiba Ki Santop tertawa berkepanjangan, sekarang kau tidak dapat berlaku sombong lagi dihadapan kami. Glagah Putih termangu-mangu. Sementara itu Ki Dumipun telah melangkah mengambil jarak.

Ya. berkata yang lain, agaknya anak itu memang nakal sekali. Sekarang ia menonton p erkelahian itu sampai melekat dihidungnya. Jika terjadi salah langkah, maka itu adalah salahnya sendiri. Ternyata Raden Rangga justru telah berjongkok sambil menonton perkelahian antara Glagah Putih dengan kedua orang lawannya. Bahkan sekali-sekali Raden Rangga itu telah bertepuk tangan. Sikapnya memang sangat menjengkelkan. Orang-orang yang berada dilingkaran sekita r arena itu bertambah cemas melihat anak muda yang berjongkok didekat medan perk elahian. Apalagi anak itu seakan-akan sama sekali tidak menghiraukan bahaya yang mungkin dapat menimpanya. Sikap Raden Rangga itu tidak lepas dari perhatian Ki Santop dan Ki Dumi yang sel alu merasa terdesak. Apalagi ketika sentuhan-sentuhan tangan Glagah Putih semaki n sering mengenai mereka. Bahkan kadang-kadang mulai terasa sakit. Karena itu, tiba-tiba saja timbul niat yang licik dihati Ki Santop. Pada saat an ak itu sama sekali tidak menghiraukan kemungkinan yang dapat terjadi atas diriny a, maka iapun berniat untuk menangkapnya dan menjadikannya perisai untuk memaksa kan kehendaknya. Karena itu, pada saat yang dianggapnya baik, selagi Ki Dumi meloncat menjauh, se mentara itu Glagah Putih memburunya, maka Ki Santoppun telah meloncat dengan kec epatan yang sangat tinggi. Tiba-tiba saja ia telah menangkap tangan Raden Rangga dan memilinnya kebelakang. Raden Rangga tidak melawan. Dibiarkannya tangannya terpilin. Sementara beberapa orang justru berdesis menahan jantung yang bergejolak. Anak itu. gumam pemilik warung. Nah. tiba-tiba Ki Santop tertawa berkepanjangan, sekarang kau tidak dapat berlaku s ombong lagi dihadapan kami. Glagah Putih termangu-mangu. Sementara itu Ki Dumipun telah melangkah mengambil jarak. Pertempuran kemudian terhenti. Ki Dumi yang berdiri beberapa langkah dari Ki San top berkata, Bagus. Ternyata kau mampu menangkap tikus kecil itu. Sekarang anak i ni tidak dapat berbuat lain kecuali harus tunduk kepada perintah kita. Ya. berkata Ki Santop, kita dapat berbuat apa saja. Jika anak itu mencoba melawan, maka tangan anak ini akan aku patahkan. Glagah Putih masih saja termangu-mangu. Ia tidak mengerti niat Raden Rangga. Nam un yang pasti, bahwa Glagah Putih sama sekali tidak mencemaskan nasibnya. Nah. berkata Ki Santop kemudian, kau harus menuruti segala perintahku. Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi di pandanginya wajah Ki Santop dengan tajamn ya. Kemari. bentak Ki Santop tiba-tiba. Glagah Putih masih tetap tidak menyahut. Tetapi ia tidak beranjak sama sekali da ri tempatnya. Cepat kemari. bentak Ki Santop semakin keras, kau harus berjongkok, mencium kakiku dan kau harus minta maaf atas segala kesalahanmu. Glagah Putih masih tetap berdiri mematung. Sementara itu Ki Santop telah menekan tangan Kaden Rangga sambil berkata lantang . Cepat, atau tangan anak ini aku putuskan. Yang terdengar adalah Raden Rangga berteriak, Jangan. Tetapi sungguh diluar dugaan bahwa Glagah Putih justru bertanya kepada anak muda yang tangannya terpilin itu, Apa yang jangan. Raden Rangga mengerutkan dahinya. Tetapi akhirnya ia tertawa tertahan sambil ber desis, Anak setan. Cepat berjongkok. Ki Santop hampir berteriak. Karena Glagah Putih masih berdiri tegak, maka Ki Dumipun mendekatinya. Dengan ka sar ia telah mendorong Glagah Putih untuk mendekat dan kemudian berjongkok untuK mencium kaki Ki Santop. Tetapi ternyata Glagah Putih,tidak melakukannya. la memang terdorong maju selang kah. Tetapi ia telah berdiri lagi tegak seperti patung. Ki Santop menjadi jengkel. Karena itu, maka sekaii lagi ia menekan tangan Raden Rangga keras-keras. Dan sekali lagi terdengar Raden Rangja itu berteriak, Jangan. Aku tidak peduli. geram Ki Santop, jika kawanmu atau saudaramu itu tidak mau berjon

gkok dan mencium kakiku, maka tanganmu akan aku patahkan. Lalu, apakah aku tidak akan memakai tangan lagi? bertanya Raden Rangga. Anak iblis. teriak Ki Santop sambil menekan tangan itu lebih keras lagi. Aku tidak peduii bahwa tanganmu akan benar-benar patah. Namun Raden Rangga itu berteriak lagi. Jangan. Ki Santop tidak menghiraukannya. Ia ingin menekan tangan itu semakin keras. Teta pi sesuatu terasa didalam dadanya. Teriakan anak muda yang tangannya itu dipiiin nya rasa-rasanva telah bergetar menusuk kedalam dadanya. Sementara itu, terasa s eakan-akan getaran yang asing merambat dari tangan anak yang dipilianya itu meny usup kedalam darahnya dan mengalir pula kejantungnya. Dengan demikian jantung or ang itupun terasa menjadi sangat pedih. Tetapi Ki Santop tidak segera mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Karena ana k muda yang berkelahi melawannya itu tidak juga mau berjongkok dihadapannya dan mencium kakinya, maka iapun telah berusaha untuk memaksanya dengan menyakiti ana k yang tangannya telah dipilinnya itu. Namun setiap kali ia menekan tangan itu, maka pedih didadanya terasa semakin menusuk. Gila. katanya didalam hati, apa yang telah terjadi? KiDumi yang kemudian sekali lagi mendorong Glagah Putih, memang menjadi heran me lihat sikap Ki Santop yang wajahnya tiba-tiba menjadi sangat tegang. Jangan menunggu kami marah. geram Ki Dumi, cepat berjongkoklah. Ketika orang itu dengan keras dan kasar mendorong Glagah Putih sekali lagi, maka Glagah Putih memang telah berjongkok dihadapan Raden Rangga yang tangannya terp ilin. Namun adalah diluar dugaan Ki Dumi bahwa justru Ki Santop telah melepaskan tanga n Raden Rangga sambil meloncat surut. Dengan kasar ia mengumpat. Kenapa? Ki Dumi menjadi heran. Ki Santop memegangi tangannya yang dipergunakannya untuk memilin tangan Raden Ra ngga. Tetapi pada tangan itu tidak terasa sesuatu. Bahkan dadanyapun tidak lagi merasa tertusuk oleh perasaan pedih dan sakit. Aneh. desisnya. Sementara itu Glagah Putihpun telah bangkit pula dan berdiri tegak memandangi Ki Santop yang termangu-mangu. Ki Dumipun tegak memandangi Ki Santop yang termangu -mangu. Ki Dumipun nampaknya menjadi bingung dan kurang tanggap, apakah sebenarn ya yang telah terjadi. Apa yang aneh? bertanya Glagah Putih. Ki Santop tidak segera menjawab. Diamatinya kedua anak muda itu dengan jantung y ang berdebar-debar. Namun didalam hatinya telah tumbuh satu keyakinan, bahwa ked ua orang anak muda itu tentu bukan orang kebanyakan Karena itu, maka iapun kemud ian melangkah mendekat sambil menarik nafas dalam-dalam. Nada suaranyapun telah berubah ketika kemudian iapun bertanya, Siapakan sebenarnya kalian anak muda? Raden Rangga memandang orang itu sejenak. Namun kemudian katanya, Kami bukan siap a-siapa Ki. SanaK. Kami adatah pengembara yang menjelajahi bumi ini. Ki Dumi menjadi termangu-mangu. Apalagi orang-orang yang berada disekitar arena itu. Mereka tidak tabu apa yang terjadi. Namun mereka melihat bahwa Ki Santop ti dak lagi nampak terlalu garang. Ki Dumipun kemudian melangkah mendekat. Dengan nada ragu ia bertanya, Apa yang se benarnya terjadi. Kita harus melihat kenyataan. berkata Ki Santop, aku yakin bahwa kedua anak muda in i memilik kelebihan dan bahkan mungkin keduanya adalah orang-orang yang terpilih dalam satu perjalanan untuk tugas-tugas tertentu. Kenapa kau dapat mengambii kesimpulan begitu? bertanya Ki Dumi. Apakah tidak terasa oleh kita. berkata K Santop, apakah yang kita dapatkan selama k ita bertempur untuk waktu yang sebenarnya sudah terlalu panjang. Aku yakin bahwa kita tidak akan dapat memenangkan pertempuran ini. Bahkan aku berpendapat, sean dainya anak-anak muda ini mau bertindak lebih kasar kita sudah dikalahkannya. Ki Dumi termangu-mangu, sementara itu Ki Santop menjelaskan. Tangan yang aku pilin itulah yang menjelaskan segala-galanya. Jika semula kita ma sih bertahan bertempur berdua, akhirnya tangan yang terpilin itu memastikar aku, bahwa sebaiknya aku mengakui kenyataan ini. Ki Dumi menarik nafas. Sebenarnya iapun telah menduga, bahwa anak-anak muda itu

bukan anak-anak muda kebanyakan sebagaimana mereka sangka semula. Namun dengan d emikian maka Ki Dumi pun bertanya, Jika demikian apakah yang sebenarnya kalian ke hendaki. Tidak ada. jawab Raden Rangga, aku hanya tidak senang melihat kalian berkelahi. Pad ahal kalian dapat bekerja bersama untuk justru mengamankan pasar ini atau pasar yang lain. Tetapi kalian malahan berkelahi. Apakah yang kalian dapatkan dari per kelahian ini? Dumi berbuat kasar atas kemanakanku. jawb Ki Santop. Bukankah itu persoaian yang dapat terjadi pada anak-anak yang berkelahi karena be rebut kemiri yang tidak mapan milik siapa? berkata Raden Rangga. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Raden Rangga mulai bebicara dan bersikap lai n. Dalam pada itu Ki t?antop dan Ki Dami mengangguK-angguk. Sementara Raden Ranggap un berkata, Nan, bukankah banyak persoalan yang dapat kalian pecahkan jika kalian bekerja bersama? Mungkin pasar ini di ganggu oleh orang-orang yang sering menco pet milik orang lain, atau gangguan-gangguan lain yang dapat kalian atasi bersam a. Ki Santop menarik nafas dalam-dalam. Katanya, Daerah ini semula aman Ki Sanak. It ulah sebabnya maka kami tidak mempunyai persoalan apapun juga dengan orang lain, sehingga kami telah membuat persoaian sendiri. Kenapa semula? bertanya Raden Rangga. Ki Santop termangu-mangu. Namun iapun kemudian mengatakan, memang akhir-akhir ini telah terjadi satu gangguan yang mencemaskan kami. Gangguan apa? Jika demikian kenapa justru kalian tidak bersama-sama menghadapi ga ngguan itu, malahan kalian berselisih tentang sesuatu yang kurang pantas? bertany a Raden Rangga. Gangguan itu hanya seperti air yang mengaiir lewat dan kemudian kering kembali. ja wab Ki Santop. Apa yang terjadi? bertanya Raden Rangga. Untuk beberapa hari ada empat orang yang tinggal di pasar Prembun. berkata Ki Sant op, mereka merampok dan mengambil uang orang-orang yang berada dipasar. Ketika ak u mencoba mengatasi mereka, ternyata aku telah menjadi tertawaan mereka. Karena itu, maka akhirnya aku tidak dapat berbuat apa-apa. Orang itu sekarang dimana? bertanya Raden Rangga. Kami disini tidak mengetahuinya. Tetapi beberapa orang melihat empat orang itu pe rgi ke arah timur. jawab Ki Santop. Sepeninggal orang-orang itu kalian ingin rnenunjukkan kelebihan kalian kembali se telah kalian dikalahkan oleh keempat orang itu agar kalian tetap disegani didaer ah ini? bertanya Raden Rangga. Ki Santop hanya menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak menjawab. Namun ampat orang itu telah menarik perhatian. Ketika Raden Rangga minta keteran gan lebih banyak lagi, maka ternyata bahwa empat orang itu tentu sebagian dari o rang-orang yang telah berada di Mataram, namun kehilangan pimpinan mereka, sehin gga mereka seperti semut yang diguncang sarangnya. Mereka pergi ke arah timur. desis Raden Rangga, tentu satu usaha untuk melaporkan k eadaan mereka di Mataram. Apakah kalian mengenai mereka? bertanya Ki Dumi. Tetapi Raden Rangga menggeleng. Katanya, Aku hanya mendengar beberapa ceritera te ntang orang-orang seperti itu. Nah, itulah yang dapat kami beritahukar. Kami berkelahi karena kami masih ingin m enunjukkan bahwa Kami adalah orang-orang yang harus ditakuti. Namun ternyata bah wa kami tidak mampu berbuat sesuatu dihadapan kalian, namun ada sedikit keraguan pada kami, bukankah kalian tidak termasuk orang-orang sebagaimana keempat orang itu? bertanya Ki Santop kemudian. Apalagi ujud dan sikap kami mendekati orang-orang yang kau katakan itu? bertanya R aden Rangga. Tidak, sama sekali tidak. jawab Ki Santop. Nan, jika demikian maka kalian dapat menilai kami berdua. jawab Raden Rangga, tetap i apakah kalian dapat memberikan petunjuk, kemana keempat orang itu pergi? Kami mendapat keterangan dari orang yang melihatnya, bahwa empat orang itu telah

meninggalkan daerah ini lewat padukuhan Patran dan kernudian melalui Sawit. Raden Rangga mengangguk-angguk. Meskipun ia belum tahu pasti letak kedua padukuh an itu namun Raden Rangga yakin bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang itu a dalah justru menuju ke Timur, yang mungkin akan dapat memberikan paling tidak pe tunjuk arah. Karena itu, maka Raden Ranggapun telah minta kepada Ki Santop dan K i Dumi untuk memberikan ancer-ancer padukuhan yang dilalui oleh orang-orang yang ternyata telah melakukan perampasan di jalan-jalan yang dilewatinya. Terima kasih. berkata Raden Rangga yang kemudian berpaling kepada Glagah Putih, kit a akan mengikuti perjalanan mereka. Untuk apa? bertanya Ki Santop. Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun dengan nada rendah ia kemudian berkata , Bukankah tidak pantas jika orang-orang itu merampas disepanjang perjalanan mere ka? Ki Santop dan Ki Dumi mengangguk-angguk. Semen tara itu Raden Ranggapun berkata, Sudahlah. Kami minta diri. Sebenarnya kami sekedar singgah untuk makan. Namun ka mi telah terlibat dalam persoalan kalian. Sokurlah jika kalian dapat mencari jal an pemecahan yang baik dari persoalan kalian. Sokurlah jika kalian dapat mencari jalan pemecahan yang baik dari persoalan yang kalian hadapi. Ki Santop dan Ki Dumi tidak menjawab. Tetapi keduanya mengangguk-angguk kecil. Namun ketika Raden Rangga dan Glagah Putih mulai beringsut, Ki Santop berkata, Te rima kasih anak-anak muda. Kalian telah memberikan peringatan dengan cara yang c ukup keras namun mampu menyentuh perasaan kami. Kekalahan kami dari kalian, sama sekali tidak menimbulkan dendam. Berbeda dengan kekalahanku dari keempat orangorang yang telah pergi ke arah Timur itu. Jika aku mampu, rasa-rasanya aku ingin membunuh mereka. Lupakan mereka. berkata Raden Rangga, seandainya ada lagi orang-orang seperti itu d a tang, jangan kau lawan. Atau jika kalian memang ingin mengusir mereka, maka se mua orang padukuhan harus ikut serta. Namun kalian harus memperhitungkan korban yang mungkin jatuh. Untuk membunuh empat orang diantara orang-orang seperti yang kau katakan itu diperlukan kekuatan yang cukup besar. Bahkan korban yang jatuhp un tidak akan kurang dari sepuluh orang. Bahkan mungkin akan dapat berlipat dua. Ki Santop dan Ki Dumi mengangguk-angguk pula. Sementara itu Raden Rangga berkata , Hati-hatilah. Sementara itu, kami akan berjalan menyusuri jejak mereka. Tetapi, kapan mereka meninggalkan tempat ini. Sudah tiga atau ampat hari yang lalu. jawab Ki Santop. Raden Rangga mengerutkan keningnya. Mungkin orang-orang itu telah meninggalkan M ataram lebih dahulu dari orang-orang yang terbunuh di keramaian Merti Desa itu. Demikianlah, maka Raden Rangga dan Glagah Putih telah meninggalkan pasar itu. Me reka berusaha untuk menelusuri jalan yang melewati padukuhan Patran dan kemudian Sawit. Jika mungkin kita akan mengikuti perjalanan mereka. berkata Raden Rangga, memang su lit dan mung-kin kita akan kehilangan jejak. Tetapi mudah-mudahan orang-orang it u sempat menarik perhatian orang banyak disepanjang perjalanannya, sehingga memb erikan kemungkinan kepada kita untuk mengikutinya. Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, Bukan mustahil. Tetapi kemungkinan lain dapat terjadi. Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun keduanya berniat untuk mencobanya. Seperti yang diberitahukan oleh Ki Santop dan Ki Dumi, maka merekapun telah mele wati beberapa bulak pendek dan padukuhan Patran. Akhirnya mereka memasuki lingku ngan padukuhan Sawit. Memang sulit bagi Raden Rangga dan Glagah Putih untuk mendapat keterangan tentan g empat orang yang pernah melewati padukuhan itu. Jalan yang paling mudah ditemp uhnya adalah berbicara dengan orang-orang padukuhan itu. Namun seharusnyalah bahwa pembicaraan itu tidak justru menarik perhatian mereka. Karena itu, maka Raden Rangga dan Glagah Putihpun ketika melewati sebuah warung singgah pula sejenak meskipun sebenarnya mereka masih kenyang. Namun Raden Rang ga berkata, Aku merasa sangat haus. Glagah Putih hanya tersenyum saja. Hampir saja ia menjawab, bahwa biasanya merek a dapat minum dari air belik di tepian. Sebenarnyalah, bahwa ketika mereka berada didalam kedai, mereka sempat memancing

pembicaraan tentang empat orang yang pernah melewati padukuhan itu. Mereka singgah di warung ini pula. berkata pemilik warung itu. O, mereka berhenti untuk makan dan minum? bertanya Raden Rangga. Ya, meskipun agaknya mereka tidak begitu berselera. jawab pemiliknya. Jadi, untuk apa mereka singgah? Apakah mereka sekedar ingin beristirahat, atau ba rangkali haus atau kepentingan yang lain? bertanya Raden Rangga pula. Mereka memerlukan uang. jawab pemilik warung itu, semua uangku yang ada pada waktu itu telah diambilnya tanpa tersisa sekepingpun. Raden Rangga dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba mereka melihat pemilik warung itu menjadi tegang sambil bertanya, Tetapi siapakah kalian ini? Aku bukan kawan mereka. jawab Raden Rangga, aku mendengar tentang empat orang itu d i padukuhan di dekat pohon Mancawarna itu. Ternyata keempat orang itu telah meme ras beberapa orang yang sedang berada di pasar. Pasar Mancawarna? bertanya seseorang. Tidak. Glagah Putihlah yang menyahut, tetapi di pasar Prembun. Pemilik warung itu mengangguk-angguk. Namun iapun masih juga bertanya, Apakah kal ian berkepentingan dengan keempat orang itu? Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Glagah Putih menjawab, Ting kah mereka tidak menyenangkan. Tetapi apa yang dapat kalian perbuat terhadap mereka? bertanya pemilik warung itu. Setidak-tidaknya aku dapat melaporkannya. jawab Glagah Putih pula. Lapor kepada siapa? Bebahu padukuhan? Atau bebahu Kademangan? Mereka bertindak ce pat dan kasar. Bahkan mungkin Ki Demang dan Ki Jagabaya tidak akan dapat mengata si mereka berempat. Nah, kenapa di Prembun mereka tidak ditangkap? desak pemilik warung itu. Glagah Putih mengangguk-angguk. Jawabnya, Ya. Tidak seorangpun yang mampu menangk apnya di Prembun. Kalau begitu, yang kau lakukan adalah sia-sia saja. berkata pemilik warung itu. Glagah Putih tidak menyahut. Menurut jalan pikiran pemilik warung itu, yang akan dilakukan memang sia-sia. Dan Glagah Putih tidak membantah. Demikianlah, maka sejenak kemudian kedua orang anak muda itu telah minta diri se telah membayar harga minuman yang telah mereka teguk dan sepotong kecil makanan yang telah mereka makan. Namun dipintu mereka masih mendengar pemilik warung itu berkata, Anak-anak muda. Jika kalian tidak berkepentingan langsung, jangan hiraukan orang-orang itu. Mere ka adalah orang-orang yang berbahaya. Baiklah. Terima kasih atas peringatan ini. jawab Glagah Putih. Pemilik warung itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, Anak-anak muda itu agaknya memang senang bertualang. Tetapi ia akan membentur batu jika ia men gikuti keempat orang yang pergi kearah Timur itu. Namun agaknya Raden Rangga dan Glagah Putih tidak menghentikan usahanya. Mereka menjadi semakin yakin bahwa jalan yang mereka tempuh adalah jalan yang pernah di lalui keempat orang itu. Namun untuk seterusnya keduanya tidak tahu kemana keemp at orang itu pergi. Pemilik warung itupun tentu tidak tahu pula, sementara itu p emilik warung itu tidak akan memberitahukan pula seandainya ia mengetahuinya. Me skipun maksudnya baik sebagaimana pemilik warung di padukuhan yang pernah dilalu inya didekat pohon Mancawarna itu. Adalah kebetulan bahwa Raden Rangga dan Glagah Putih kemudian duduk disamping or ang itu dan berbicara tentang empat orang yang diikutinya itu, maka orang itupun mengangguk-angguk sambil menjawab, Seisi padukuhan ini menjadi ketakutan ketika berita tentang empat orang itu tersebar. Tetapi empat orang itu hanya merampas u ang di kedai itu saja dan pergi meninggaikan padukuhan ini. Mereka pergi kearah mana Ki Sanak? bertanya Raden Rangga. Mereka pergi ke padukuhan sebelah. Padukuhan diseberang hutan panjang itu. jawab p etani itu. Terima kasih. berkata Raden Rangga yang kemudian bersama Glagah Putih meninggaikan orang itu termangu-mangu. Ternyata disetiap padukuhan keempat orang itu telah melakukan perampasan. Namun dengan demikian telah mempermudah usaha Raden Rangga dan Glagah Putih untuk mene lusuri jalannya. Namun Raden Rangga dan Glagah Putihpun kemudian menjadi berdeba

r-debar. Ternyata jalan yang ditempuh oleh orang itu menuju ke Jati Anom. Mereka pergi ke Jati Anom. berkata Raden Rangga sambil mengerutkan keningnya, agakn ya mereka masuk kedaerah yang berbahaya, Seharusnya hal itu mereka sadari. Mungkin mereka tidak berbuat apa-apa di Jati Anom, berkata Glagah Putih. Mungkin. Raden Rangga mengangguk-angguk. Jadi bagaimana dengan kita? Apakah kita akan pergi ke Jati Anom pula? bertanya Gla gah Putih. Kita mengikuti jalan yang ditempuh orang-orang itu. berkata Raden Rangga. Sebenarnyalah, jalan yang ditelusuri oleh keempat orang itu ternyata menuju ke J ati Anom. Tetapi jarak yang bermalam dibeberapa padukuhan untuk melakukan peramp asan terhadap orang-orang yang dianggapnya kaya. Kita akan dapat menyusul mereka. berkata Raden Rangga. Mudah-mudahan. jawab Glagah Putih, tetapi jika kita kemudian hanya membunuh mereka, maka keempat orang itu tidak ada gunanya bagi kita. Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil menyah ut, Baiklah. Kita tidak akan membunuh mereka jika kita bertemu dengan mereka. Di dua padukuhan yang baru saja kita lewati orang-orang itu telah bermalam. Dengan demikian maka jarak kita menjadi sangat pendek. Didepan kita adalah jalan menurun. Kita akan sampai ke Bodeh dan kemudian melewat i hutan kecil itu, kita akan sampai ke daerah Kedung Aren, padukuhan disebelah B anyu Asri. berkata Glagah Putih. Ya. Kau tentu mulai mengenali padukuhan-padukuhan yang akan kita lewati. berkata R aden Rangga meskipun aku juga mengenalnya, tetapi aku tidak tahu nama-namanya. Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia memang mengenali jalan yang terbentang dihada pan mereka. Bahkan beberapa jalur jalan yang lain yang menuju ke Jati Anompun te lah dikenalinya pula. Demikianlah, maka mereka berjalan terus. Perjalanan yang ditempuh, oleh orang ya ng diikutinya selama tiga atau ampat hari, dapat mereka capai dalam waktu yang t idak terlalu lama, sehingga hari itu juga mereka berharap untuk dapat menyusul k eempat orang itu. Namun ketika mereka sampai disebuah padukuhan, kedua anak muda itu berdebar-deba r. Ternyata keempat orang itu tidak mengambil jalan lurus ke Jati Anom, tetapi m ereka telah membelok ke kanan. Mereka ternyata telah menghindari Jati Anom. berkata Glagah Putih. Ya. jawab Raden Rangga, betapa bodohnya mereka, mereka tentu pernah mendengar tenta ng kekuatan Mataram, yang ada di Jati Anom. Karena itu, maka mereka telah menghi ndarinya. Kita juga menghindarinya? bertanya Glagah Putih. Kita mengikuti saja kemana orang-orang itu pergi. jawab Raden Rangga. Sebenarnyalah dari seorang petani mereka mendapat petunjuk bahwa keempat orang y ang telah melakukan perampasan itu telah dilihat oleh dua orang petani yang seda ng berada disawah menuju ke arah Selatan, sehingga dengan demikian mereka tidak menuju ke Jati Anom meskipun jaraknya dengan Jati Anom sudah cukup dekat. Demikianlah maka Raden Rangga dan Glagah Putihpun telah mengikuti arah perjalana n keempat orang itu. Mereka memang tidak pergi ke Jati Anom. Namun ternyata jala n yang mereka lalui telah melingkar dan turun di Macanan. Menurut beberapa petunjuk maka ternyata keempat orang itu telah menuju ke Sangka l Putung. Dengan demikian maka Raden Rangga dan Glagah Putih itupun telah menuju ke Sangkal Putung pula. Mungkin keempat orang itu akan menghindari Kademangan S angkal Putung pula. Mungkin keempat orang itu akan menghindari Kademangan Sangkal Putung itu sendiri. Tetapi mereka akan melalui Kademangan tetangganya. berkata Glagah Putih. Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun kemungkinan yang lain masih dapat terjadi. Ternyata bahwa perjalanan Raden Rangga dan Glagah Putihpun merupakan perjalanan yang lambat. Ketika mereka memasuki Sangkal Putung maka langitpun telah mulai me njadi gelap. Sulit untuk mencari warung yang masih terbuka. berkata Glagah Putih. Kita akan pergi ke sebuah banjar padukuhan. Jangan dipadukuhan induk. berkata Rade n Rangga, kita mohon untuk dapat bermalam di padukuhan itu sambil mencari keteran gan tentang empat orang yang mungkin masih berada di Sangkal Putung pula.

Glagah Putih merasa ragu. Katanya, Jika empat orang itu berada di Sangkal Putung pula, maka mungkin akan timbul kecurigaan terhadap kita jika keempat orang itu b erbuat sesuatu. Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, Aku setuju. Jadi kita akan bermalam dil uar padukuhan? Dipinggir hutan misalnya atau dimana saja, asal di dalam lingkung an Kademangan Sangkal Putung? Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian katanya, Kita akan berada di lingkung an Kademangan Sangkal Putung meskipun kita tidak tahu disebelah mana orang-orang itu bermalam atau mungkin justru telah meninggalkan Sangkal Putung. Tetapi agaknya mereka belum berbuat sesuatu disini. berkata Raden Rangga, tidak seo rangpun yang tanggap tentang kehadiran empat orang itu. Kita sudah berbicara den gan lebih dari seorang dipadukuhan sebelah yang termasuk lingkungan Sangkal Putu ng pula. Sedangkan di padukuhan sebelumnya, menjelang kita masuk Kademangan ini, hampir setiap orang telah membicarakannya karena empat orang itu telah melakuka n satu perbuatan yang menarik perhatian. Merampok dan merampas. Justru dalam kea daan tenang seperti ini, merampok dan merampas merupakan pekerjaan yang dengan c epat menjadi bahan pembicaraan. Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun iapun sadar, jika orang-orang itu tidak be rbuat sesuatu di Sangkal Putung dan apalagi untuk seterusnya, maka ia dan Raden Rangga akan kehilangan jejak, sehingga mereka berdua benar-benar harus menelusur i jalan yang belum pernah mereka kenal. Demikianlah, maka malam itu Glagah Putih dan Raden Rangga memang berada di Sangk al Putung. Tetapi mereka tidak berada di banjar padukuhan itu, namun mereka bera da disebuah hutan kecil yang menjorok memasuki lingkungan Kademangan Sangkal Put ung. Namun ketika malam menjadi semakin malam, keduanya telah meninggaikan hutan itu dan berjalan menyusuri pategalan mendekati padukuhan yang berada disebelah paduk uhan induk Kademangan. Tidak ada yang menarik. Semuanya nampak hitam dan sepi. N amun dari kejauhan mereka melihat cahaya obor di mulut lorong padukuhan, terpanc ang di atas regol. Untuk beberapa saat keduanya duduk di ujung pategalan, di atas rerumputan sambil memandangi padukuhan yang agaknya telah tertidur nyenyak itu. Sebenarnyalah bahwa saat itu empat orang yang diikuti oleh Raden Rangga dan Glag ah Putih masih berada di Sangkal Putung. Mereka telah meninggaikan sebuah paduku han yang ramai setelah berhasil merampas benda-benda berharga dari sebuah rumah dipadukuhan itu, Padukuhan yang juga disinggahi oleh Raden Rangga dan Glagah Put ih justru setelah lewat padukuhan diujung Kademangan Pakuwon, dan menjelang mere ka turun ke Macanan. Bahkan di padukuhan itu keempat orang itu telah bermalam. D isiang hari keempat orang itu menunggu dipinggir hutan. Baru menjelang malam mer eka memasuki Sangkal Putung. Hampir bersamaan waktunya dengan Raden Rangga dan G lagah Putih. Namun dari jurusan yang berbeda. Ternyata keempat orang itu begitu mengenal keadaan Kademangan Sangkal Putung. Me reka menganggap bahwa Sangkal Putung tidak berbeda dengan Kademangan-kademangan lain yang pernah mereka lalui. Setelah mereka menghindari Jati Anom, yang mereka dengar memiliki kekuatan yang tinggi karena sepasukan prajurit berada di Kademangan itu, apalagi dipimpin oleh seorang Senapati yang namanya banyak dikenal, Untara, maka mereka berusaha untu k menguras padukuhan-padukuhan yang mereka lewati, termasuk Sangkal Putung. Namun agaknya keempat orang itu telah terbentur para pengawal Kademangan Sangkal Putung. Berbeda dengan anak-anak muda padukuhan yang lain, yang hampir tidak be rani berbuat sesuatu, namun anak-anak muda Sangkal Putung tidak demikian. Ketika keempat orang itu memasuki halaman rumah seorang yang diduganya cukup ber ada, maka dua orang peronda telah melihat mereka. Dengan berani kedua orang anak muda itu telah menegur keempat orang itu, apakah maksud mereka memasuki halaman rumah seseorang dimalam hari. Apakah kalian masih sanak kadang pemilik rumah itu? bertanya salah seorang diantar a kedua anak muda itu. Keempat orang itu termangu-mangu sejenak. Namun sikap mereka memang mencurigakan . Karena itulah, maka kedua orang anak muda menjadi berhati-hati menghadapi mere ka.

Siapakah kalian berdua. bertanya salah seorang diantara keempat orang itu. Kami pengawal Kademangan ini. jawab salah seorang dari keduanya, dan siapakah kalia n? Sejenak keempat orang itu tercenung. Namun kemudian seorang diantaranya berkata, Kami adalah saudara sepupu pemilik rumah ini. Kami berasal dari tempat yang jauh . Ada keperluan penting yang ingin kami sampaikan kepadanya. Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun seorang diantara mereka bertanya, Jik a kalian memang saudara sepupunya, siapakah nama pemilik rumah ini. Orang yang menyebut sepupunya itu memang menjadi agak bingung. Tetapi kemudian m enyebut, Namanya Gangsal. Ia adalah anak kelima dari saudara-saudaranya. Itu nama kecilnya. Aku tidak tahu namanya setelah ia berkeluarga. Kedua anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang diantaranya b erkata, Aku kira namanya bukan Gangsal. Atau barangkali aku yang kurang tahu. Ya.Kau memang kurang tahu. jawab orang yang dicurigai itu. Anak muda itu mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya, Tetapi kenapa kalian da tang pada saat begini? Kami berjalan sepanjang hari. Kami memang mempunyai keperluan yang sangat penting . jawab orang itu. Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, Baiklah. Jika memang kalian termasuk sa nak kadangnya, silahkan. Kedua anak muda itupun kemudian beranjak untuk meninggaikan mereka. Sementara se orang diantara anak muda itu tidak begitu mengerti maksud kawannya. Namun karena kawannya mengajaknya pergi, maka keduanyapun telah melangkah meninggaikan keemp at orang itu. Namun tiba-tiba orang tertua dari keempat orang itu berkata, Mereka cukup berbaha ya Apakah kita akan menyelesaikan mereka? bertanya salah seorang yang lainnya. Orang tertua itu mengangguk. Sementara itu, seorang kawannya telah menghentikan kedua pengawal itu, Ki Sanak, berhentilah. Kedua pengawal itu memang berhenti. Namun seorang berdesis kepada kawannya, Cepat , capai kentongan di regol itu jika perlu. Namun kawannya itu tidak perlu mengulangi. Ketika kedua anak muda itu melihat se orang diantara keempat Orang itu mencabut senjatanya, maka anak muda yang seoran g dengan serta merta telah berlari keregol halaman. Dengan cepat digapainya kent ongan kecil yang tergantung diregol dan dengan sekuat tenaga kentongan itu dipuk ulnya dengan nada titir. Keempat orang itu terkejut. Mereka tidak mengira, bahwa hal itu akan dilakukan. Karena itu, maka keempat orang itupun telah menjadi sangat marah. Namun yang tertua diantara mereka berkata, Anak-anak gila. Kita tidak usah berkeb eratan jika kawan-kawannya datang. Kita akan membunuh. Berapapun sampai yang lai n-lain melarikan diri. Kawan-kawannya menarik nafas dalam-dalam. Seorang diantara mereka berkata, Sudah lama senjataku tidak minum darah. Agaknya sudah datang waktunya aku memberinya m inum lagi. Keempat orang itu ternyata tidak menjadi bingung mendengar suara kentongan denga n nada titir. Suara kentongan kecil yang tidak begitu keras. Namun ternyata bahw a suara kentongan itu, sementara yang lain tetap berada digardu untuk menjaga se gala kemungkinan. Namun yang tinggal digardu itupun membunyikan kentongan pula d engan nada yang sama. Ketika keempat orang yang berlari kearah suara kentongan itu sampai ketujuan, ya ng ditemuinya dua orang kawannya yang dengan susah payah bertahan menghadapi dua orang dari antara empat orang yang memasuki halaman itu. Jika keempat orang kaw an-kawannya dari gardu itu tidak segera datang, maka kedua orang itu sudah tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi. Bahkan seorang diantara mereka pada bentur an pertama telah terluka. Pundaknya telah terkoyak mereka mencucurkan darah yang hangat. Sementara yang seorang lagi benar-benar telah terdesak dan sulit untuk dapat melepaskan diri. Kentongan kecil yang berhasil memanggil keempat orang dari gardu itu telah tergo lek ditanah, sementara pengawal yang membunyikannya telah terluka dipundaknya. Keempat orang itupun segera terjun kearena. Namun dua orang kawan dari mereka ya

ng berkelahi itupun tidak membiarkan kawan-kawannya harus bertempur melawan enam orang. Karena itu, maka keduanyapun segera telah turun pula kearena. Sebenarnyalah meskipun berenam melawan ampat orang yang garang itu mereka telah terdesak. Namun keenam orang itu adalah pengawal Kademangan Sangkal Putung yang pernah mengalami pertempuran yang keras, sehingga karena itu, maka merekapun tel ah bertahan tanpa gentar. Tetapi adalah satu kenyataan, bahwa keempat orang yang mereka curigai itu memili ki ilmu yang tinggi, sehingga karena itu, maka keenam orang itu benar-benar tela h terdesak. Seorang lagi diantara mereka telah terluka pula dilengan. Bahkan seo rang lagi lambungnya telah tersentuh senjata pula. Namun dalam pada itu, pemilik rumah yang mendengar hiruk pikuk di halaman itupun telah terbangun pula. Ketika ia mengintip dari sela-sela pintu, dilihatnya dala m keremangan malam, perkelahian telah terjadi di halaman. Tanpa berpikir lagi, m aka orang itupun telah mengambil kentongan dilongkangan dan membunyikannya pula. Orang-orang yang berada digardu menjadi cemas. Kentongan yang semula telah berhe nti, ternyata terdengar lagi dalam nada yang sama. Karena itu, ketika sekelompok anak-anak muda yang mendengar suara kentongan digardu telah berdatangan, dengan serta merta telah menyusul kesuara kentongan ditempat pertempuran itu terjadi. Beberapa anak muda telah memasuki halaman. Sementara itu orang tertua diantara k eempat orang itu berkata, Marilah. Semakin banyak kalian datang, semakin banyak k orban yang akan jatuh. Siapakah yang ingin cepat mati, tampillah didepan. Tetapi siapa yang ingin selamat tinggalkan tempat ini. Para pengawal Kademangan Sangkal Putung memang berbeda dengan anak-anak muda di padukuhan lain yang pernah dilalui oleh keempat orang itu. Meskipun beberapa ora ng telah terluka, tetapi anak-anak muda itu sama sekali tidak menjadi gentar dan apalagi melarikan diri. Anak-anak setan. geram orang tertua diantara keempat orang itu. Namun anak-anak Sangkal Putung itu bertempur terus dengan gigihnya. Meskipun demikian keempat orang itu ternyata memiliki kemampuan yang sangat ting gi bagi para pengawal. Beberapa orang yang telah terlempar dari arena, harus dip apah menepi. Sementara yang lain mengalir memasuki halaman. Namun seperti yang d ikatakan oleh keempat orang itu, hanya korban akan berjatuhan. Tetapi karena anak-anak muda Sangkal Putung mempunyai pengalaman bertempur, sehi ngga karena itu, maka korbanpun pada umumnya masih dapat diselamatkan jiwanya. K awan-kawannya yang lain dengan cepat mengambil alih lawan mereka yang terluka da n bahkan yang lain lagi telah melindunginya dan menyelamatkannya. Meskipun yang datang ternyata semakin banyak, tetapi sulit bagi anak-anak muda S angkal Putung yang mempunyai pengalaman bertempur itu untuk mengalahkan keempat lawan mereka yang tangguh itu. Bahkan satu demi satu, para pengawal itu telah te rluka. Sementara itu, Raden Rangga dan Glagah Putih yang mendengar suara kentongan itu, menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah Raden Rangga berkata, Mereka masih berada di Kademangan ini. Sebaiknya kita mendekati padukuhan itu. berkata Glagah Putih, ternyata bukan di pad ukuhan ini mereka bermalam. Tetapi masih dilingkungan Kademangan Sangkal Putung. Kedua anak itupun kemudian bergeser lewat jalan sempit diantara pategalan dan sa wah menuju ke padukuhan yang memberikan isyarat pertama-tama, karena kemudian is yarat kentongan itu telah menjalar ke padukuhan-padukuhan yang lain, bahkan dipa dukuhan induk. Hanya dengan isyarat sandi pada nada pukulan sajalah, orang-orang padukuhan di Kademangan Sangkal Putung yang tidak mendengar sumber suara kenton gan, dapat mengenali dari manakah asalnya isyarat itu. Namun Raden Rangga dan Glagah Putih telah mendengar arah suara kentongan yang pe rtama didengarnya, sehingga merekapun telah mendengar arah, kemana mereka harus pergi. Untuk beberapa saat Raden Rangga dan Glagah Putih menunggu diluar padukuhan. Mer eka ingin menjajagi apakah yang sebaiknya mereka lakukan. Namun tiba-tiba keduanya menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat tiga ekor kuda berpacu memasuki padukuhan itu. Dalam keremangan malam Glagah Putih dan Raden Rangga dengan pandangan matanya ya ng tajam sempat mengenali orang yang berkuda dipaling depan.

Kakang Swandaru. desis Glagah Putih. Raden Ranggapun mengangguk-angguk. Katanya, Agaknya memang Swandaru. Sebaiknya kita memasuki padukuhan itu. berkata Glagah Putih. Lewat regol? bertanya Raden Rangga. Tidak. jawab Glagah Putih, kita masuk dengan diam-diam. Kita melihat apa yang terja di. Raden Rangga mengangguk-angguk. Dalam kegelisahan, keduanya bergeser mendekati p adukuhan. Justru karena perhatian para pengawal tertuju kepada peristiwa yang se dang terjadi di padukuhan itu, maka tidak seorangpun yang sempat melihat kehadir an Raden Rangga dan Glagah Putih. Kita cari dimana keempat orang itu berada. Tentu telah terjadi pertempuran melawa n para pengawal Tanah Perdikan. Bahkan dengan Swandaru. berkata Glagah Putih. Dengan diam-diam kedua orang itupun telah menyusup diantara halaman rumah yang l uput dari perhatian para pengawal. Menilik gerak anak-anak muda yang berlari-lar i di jalan padukuhan, Raden Rangga dan Glagah Putih mendapat petunjuk arah keman a ia harus pergi. Sebenarnyalah, beberapa puluh langkah kemudian, maka mereka telah melihat sebuah halaman yang penuh dengan anak-anak muda. Bahkan dari atas dinding halaman sebe lah yang terlindung dedaunan yang agak rimbun kedua orang anak muda itu dapat me lihat apa yang terjadi di halaman itu. Beberapa orang yang mengerumuni keempat orang itu terpaksa setiap kali berloncat an surut. Bahkan mereka sempat melihat dua orang anak muda yang terlempar keluar dari arena karena dua orang diantara keempat orang itu berhasil melukai dua ora ng lawan mereka. Sementara itu, keempat orang itu justru menjadi semakin garang, sehingga anak-an ak muda dari Sangkal Putung itupun menjadi semakin berhati-hati untuk mendekat. Pada saat yang demikian, halaman itu sudah digetarkan oleh suara cambuk yang mel engking tinggi. Rasa-rasanya udara sepadukuhan itu telah ikut tergetar pula kare nanya. Suara cambuk itu memang mengejutkan. Swandaru yang telah meloncat turun d ari kudanya itupun telah menyibak anak-anak muda yang sedang mengepung keempat o rang itu. Dalam pada itu Glagah Putih yang mendapat kesempatan melihat lebih banyak berdes is, Kakang Swandaru ternyata datang bersama mbokayu Pandan Wangi. Raden Rangga mengangguk-angguk. Ternyata seorang dari penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Minggir. terdengar suara Swandaru lantang. Anak-anak muda Sangkal Putungpun telah bergeser menepi. Keempat orang yang dikep ung itupun ternyata terkejut juga mendengar suara cambuk Swandaru. Sejenak kemud ian dua orang telah muncul diantara anak-anak muda pengawal Kademangan yang berg eser menepi itu. Seorang laki-laki yang menjinjing cambuk ditangannya dan seoran g perempuan yang membawa sepasang pedang di kedua lambungnya. Keempat orang itu menjadi tegang. Sikap kedua orang itu memang berbeda dari sikap para pengawal. Karena itu, orang tertua diantara keempat orang itu bertanya, Siapa kau he? Swandaru. jawab Swandaru pendek, ini isteriku. Untuk apa kau datang kemari? bertanya orang tertua itu pula. Aku anak Demang Sangkal Putung. Nah, kau tentu tahu, untuk apa aku dan isteriku s erta Ki Jagabaya datang ketempat ini. jawab Swandaru. Karena itu, menyerahlah. Ulu rkan tanganmu untuk diikat. Gila. geram orang itu, kau lihat, berapa banyak korban yang telah jatuh. Jika kau, anak Demang Sangkal Putung ingin melengkapi korban, marilah. Majulah. Swandaru yang marah itu membentak. Jangan banyak bicara. Menyerah atau aku hancur kan kalian berempat. Tetapi ampat orang itu adalah orang yang kasar. Karena itu, maka seorang diantar anya telah mengumpat dan berkata, Tundukkan kepalamu. Aku akan memotongnya sepert i memotong kepala seekor ayam. Swandaru tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Namun ia masih berusaha untuk me ngetahui keadaan keempat orang itu. Karena itu, maka meskipun suaranya menjadi g emetar oleh kemarahan, ia masih juga bertanya, Siapakah sebenarnya kalian berempa t, dan untuk apa kalian datang di Kademangan ini pada saat seperti ini. Kami ingin menguras kekayaan yang ada di Kademangan ini. Adalah kebetulan jika ka

u, anak Demang Sangkal Putung dan Ki Jagabaya ada disini. Jika kami segera dapat menyelesaikan kalian, maka kami akan dapat mengambil isi Kademangan ini, apa sa ja yang kami sukai. jawab orang tertua diantara keempat orang itu. Namun suaranya terputus ketika mereka mendengar ledakan cambuk Swandaru yang ras a-rasanya telah mengoyakkan daun telinga. Keempat orang itu semakin heran ketika mereka melihat kedua orang suami isteri i tu mulai melangkah berpencar. Raden Rangga dan Glagah Putih telah mencari tempat yang lebih baik agar mereka d apat melihat semua peristiwa yang terjadi di halaman itu. Mereka tidak merasa ce mas bahwa mereka akan menarik perhatian, karena seluruh perhatian tertuju kepada peristiwa di halaman yang luas dari sebuah rumah yang dianggap milik seorang ya ng kecukupan itu. Apa yang akan kau lakukan? orang tertua dari keempat orang itu bertanya. Gila. bentak Swandaru, kau masih bertanya. Maksudku, perempuan ini. sahut orang itu. Jawab Pandan Wangi. Swandaru hampir berteriak. Pandan Wangi memandang orang tertua diantara keempat orang itu. Dengan nada rend ah Pandan Wangi berkata, Aku adalah isteri anak Ki Demang Sangkal Putung. Aku har us dapat berbuat sebagaimana dilakukan oleh suamiku dan tugasnya. Persetan. geram orang tertua itu, Kademangan ini tidak mempunyai lagi laki-laki yan g pantas untuk menghadapi kami. Tetapi jangan menyesal jika wajahmu yang cantik itu tergores ujung senjata. Pandan Wangi tidak menjawab lagi. Namun sepasang pedangnya telah berada disepasa ng tangannya. Bagus. geram salah seorang dari keempat orang itu, serahkan perempuan ini kepadaku. Aku akan menangkapnya hidup-hidup dan membawanya dalam perjalanan. Sementara it u, bunuh saja suaminya yang sombong itu. Karena seandainya ia tetap hidup, iapun tentu akan membunuh diri karena kehilangan isterinya yang cantik ini. Swandaru menjadi semakin marah. Sekali lagi cambuknya menggelepar dan ledakannya telah menggetarkan udara padukuhan itu. Glagah Putih menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat Raden Rangga terse nyum sambil berkata, Tontonan yang menarik sekali. Kekuatan Swandaru itu melampau i kekuatan seekor banteng. He, kau pernah mendengar ceritera tentang eyang Sulta n Hadiwijaya ketika masih muda? Dengan tangannya anak yang disebut Jaka Tingkir atau Mas Karebet itu telah menangkap seekor Kerbau liar yang besar sekali apalag i dalam keadaan mabuk? Ya jawab Glagah Putih tetapi bukan sesuatu yang aneh bagi Raden. Bukankah Raden juga mampu melakukannya jika Raden ingin? Ah desis Raden Rangga. Kaupun dapat melakukannya. Sebenarnya yang dilakukan oleh Jaka Tingkir itupun bukan puncak dari kemampuannya. Ia telah melakukan pekerjaa n lain yang lebih menarik. Berkelahi dan menundukkan ampat puluh ekor buaya dan membunuh Dadungawuk dengan sadak kinang. Semuanya itu dilakukan justru sebelum i a membunuh Kerbau Hutan yang liar itu dengan tangannya. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Agaknya yang akan terjadi di halaman itu sangat menarik perhatian Raden Rangga. Sebenarnyalah keempat orang itu telah be rsiap menghadapi suami isteri anak Ki Demang Sangkal Putung itu. Para pengawal y ang semula gagal menangkap keempat orang itu telah diperintahkan untuk minggir. Kepung tempat ini, agar mereka tidak dapat melarikan diri berkata Swandaru. Kau sombong sekali geram orang tertua diantara keempat orang itu seandainya kau perintahkan para pengawal itu untuk bertempur, maka kalian tidak akan dapat mena han gerak ujung senjata kami. Dan tiba-tiba saja kau berdua akan menghadapi kami berempat. Bukankah ini satu langkah bunuh diri. Sudah aku katakan sahut seorang diantara keempat orang itu aku akan membawa perempuan ini disepanjang perjalanan. Kita akan membunuh suaminya. Swandaru tidak menunggu lebih lama lagi. Ia mulai menggetarkan cambuknya, bukan sekedar untuk mengejutkan lawan-lawannya. Tetapi ia benar-benar mulai menyerang. Kedua orang yang terdekat dengan Swandaru itu agaknya cukup tangkas. Merekapun t elah memperhitungkan serangan yang demikian, sehingga karena itu, maka mereka ma sih sempat meloncat menghindarkan diri. Sementara itu, dua orang yang lain telah bergeser mengambil jarak, karena mereka harus menghadapi Pandan Wangi yang memb

awa pedang rangkap. Namun salah seorang dari kedua orang yang menghadapi Pandan Wangi itu masih semp at berkata Kau jangan memaksa diri untuk membuat pengewan-ewan disini anak manis . Pandan Wangi tidak menjawab. Sementara itu orang itupun telah berkata selanjutny a Bagaimana mungkin kau akan bertempur melawan kami berdua, sedangkan para pengaw al itu telah mengalami nasib yang buruk. Berapa orang yang telah terluka dan bah kan mungkin terbunuh. Sekarang kau datang untuk menghadapi kami berdua. Bukankah itu aneh? Seorang diantara kami akan dapat menghadapi kau dan suamimu. Pandan Wangi masih tetap berdiam diri. Namun ujung pedangnya mulai bergetar. Ked ua orang lawannya itupun telah mempersiapkan diri. Merekapun memperhitungkan, ba hwa tentu terdapat sesuatu pada perempuan itu. Jika ia tidak mempunyai bekal yan g cukup, maka ia tentu tidak akan berani dengan serta merta menghadapi dua orang lawan sekaligus yang telah ternyata mampu mengatasi para pengawal yang mengepun g mereka. Ketika pedang Pandan Wangi terjulur, maka seorang diantara mereka bergeser kesam ping. Namun senjatanya dengan cepat memukul pedang Pandan Wangi. Ia bermaksud me njatuhkan pedang itu pada sentuhan yang pertama. Namun pedang Pandan Wangi denga n cepat menggeliat, sehingga senjata lawannya tidak menyentuh pedang itu sama se kali. Lawannya itu mengerutkan keningnya. Karena kedua lawannya itu juga orang b erilmu, maka melihat gerak pedang Pandan Wangi, maka orang itu harus memperhitun gkan banyak kemungkinan. Sebenarnyalah setelah mereka benar-benar bertempur, maka rasa-rasanya keringat d ingin mulai membasahi punggung. Mula-mula hanya seorang sajalah yang berusaha melayani getar pedang Pandan Wangi. Orang yang telah berkata akan menangkapnya h idup hidup dan membawanya sepanjang perjalanan. Sementara itu kawannya hanya aka n menyorakinya dan melindunginya jika ada diantara para pengawal yang dengan tib a-tiba menyerbu kearena. Namun ternyata bahwa pada langkah-langkah permulaan ora ng itu sudah mulai terdesak. Anak setan geram orang itu apakah buKan sekedar kebetulan? Tetapi bukan sekedar kebetulan. Pandan Wangi memang dengan sengaja menunjukkan, bahwa seorang diantara mereka tidak akan mampu melawannya sepenginang. Dengan de mikian, maka kawannyapun segera melibatkan dirinya pula, sehingga dengan demikia n Pandan Wangi benar-benar telah bertempur melawan dua orang. Dalam pada itu, Pandan Wangi memang ingin menja-jagi kedua lawannya, apakah kele bihan mereka sehingga beberapa orang pengawal telah terluka ketika mereka dalam jumlah yang berlipat ganda bertempur melawan keempat orang itu. Ketika Pandan Wa ngi berusaha mendesak terus, maka akhirnya iapun menemukan kelebihan lawannya itu. Kecepatan gerak dan arah gerak mereka yang sulit diperhitungkan. U ntuk beberapa saat, Pandan Wangi memang harus berusaha dengan mengungkapkan tena ga cadangannya, agar ia dapat mengimbangi kecakapan gerak lawan-lawan nya Ketika kedua lawannya meningkatkan kemampuan mereka, maka Pandan Wangipun melakukannya pula. Dalam pada itu, Raden Rangga yang menyaksikan perkelahian itu telah mengg amit Glagah Putih Agaknya keempat orang itu memang memiliki kelebihan dari orang-orang yang telah t erbunuh di keramaian Merti Desa itu. Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya Aku sependapat Agaknya orang-orang ini t ermasuk tataran yang lebih tinggi. Keduanya menjadi semakin tertarik melihat kecepatan gerak kedua lawan Pandan Wan gi itu. Mereka berloncatan berurutan, namun kadang-kadang mereka telah berloncat an silang menyilang. Untunglah bahwa Pandan Wangi memiliki pengalaman yang luas dan bekal yang cukup. Karena itu, maka ia masih dapat mengimbangi kecepatan gera k lawannya yang meningkat semakin tinggi itu. Bukan main geram salah seorang dari kedua lawannya itu perempuan ini ternyata me mang beralasan jika ia berani turun kemedan dan menghadapi kita berdua. Tetapi sebentar lagi aku akan menangkapnya hidup-hidup desis yang lain. Dengan d emikian maka kedua orang lawan Pandan Wangi itu memang telah meningkatkan kemamp uan mereka. Ketika keduanya bergerak semakin cepat dan dengan loncatan-loncatan panjang yang saling menyilang, maka Pandan Wangi memang agak terdesak karenanya. Membingungkan berkata Pandan Wangi didalam hatinya keduanya mampu melepaskan kes

an yang lain dari gerak mereka yang sesungguhnya. Sebenarnyalah, ketika kedua orang itu meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi, m aka Pandan Wangi memang mulai terpengaruh. Keduanya seakan-akan memiliki kemampu an untuk mengganggu pemusatan pikiran Pandan Wangi dan memberikan kesan gerak ya ng lain dari yang mereka lakukan. Dengan demikian kadang-kadang Pandan Wangi tel ah kehilangan arah sehingga serangannya menjadi tidak mapan. Sementara itu seran gan lawannya kadang-kadang datang dari arah yang tidak diduganya. Pandan Wangi b erusaha mengatasinya dengan meningkatkan kecepatan geraknya. Landasan tenaga cad angannyapun telah ditingkatkan, sehingga perempuan itu menjadi semakin kuat dan mampu bergerak semakin cepat. Tetapi kedua lawannya tidak membiarkan Perempuan itu mampu bertahan lebih lama l agi. Keduanyapun benar-benar telah sampai pada satu niat untuk melumpuhkannya, m eskipun tidak membunuhnya. Karena itu, maka keduanyapun telah bergerak semakin c epat. Keduanya berloncatan dalam susunan yang semakin rumit. Sehingga dengan dem ikian maka Pandan Wangi pun harus meningkatkan pula kecepatan geraknya. Sementara itu, Swandaru ternyata menghadapi lawan yang memiliki ilmu yang sama. Berbeda dengan kedua lawan Pandan Wangi yang meningkatkan ilmunya tahap demi tah ap, karena mereka menganggap bahwa Pandan Wangi tidak memiliki kemampuan yang da pat mengimbangi kemampuan mereka sampai kepuncak, serta ada usaha dari salah seo rang diantara kedua lawannya untuk menangkapnya hidup-hidup, maka lawan Swandaru dengan serta merta telah sampai kepuncak ilmu mereka. Mereka memang ingin denga n cepat menyelesaikan Swandaru dan mengusir anak-anak muda yang mengepung mereka , sementara mereka masih sempat mengambil kekayaan di Kademangan Sangkal Putung. Bahkan tanpa anak Ki Demang itu, menurut orang-orang itu, Sangkal Putung tidak akan mempunyai kekuatan apapun juga. Sebenarnyalah kadang-kadang Swandaru memang agak kebingungan. Namun iapun telah berlindung dibalik senjatanya. Diputarnya cambuknya mengelilingi tubuhnya, sehin gga seakan-akan sebuah perisai yang kuat, dan rapat melingkari dirinya. Namun kedua orang lawannya tidak kehilangan akal. Seorang diantara mereka telah berusaha untuk memotong putaran ujung cambuk itu dengan sentuhan. Namun ternyata bahwa kekuatan Swandaru jauh melampaui dugaan kedua orang lawannya. Hampir saja senjata lawannya itu justru hanyut dalam putaran ujung cambuk Swandaru. Meskipun demikian, kedua lawannya masih mampu mempergunakan ilmunya untuk mengacaukan pertahanan Swandaru. Kedua orang itu memang mampu menimbulkan kesan yang lain dari gerak mereka sesungguhnya, sehingga pada suatu saat, salah seoran g diantara keduanya mampu memancing Swandaru untuk bergerak menyamping. Sementar a itu. kawannya yang menurut penglihatan Swandaru akan meloncat memburunya, just ru tidak melakukannya. Kawannyalah yang menyerang Swandaru dari sisi. Untunglah pengalaman dan kemampuan Swandaru masih mampu menggerakkan tubuhnya bergeser sel angkah, sehingga serangan itu tidak mengenainya. Bahkan yang terdengar kemudian adalah ledakan cambuk Swandaru mengejar orang yang telah menyerangnya itu. Tetap i dengan tangkas orang itu telah melenting menjauh, sehingga ujung cambuk Swanda ru tidak menggapainya. Dengan demikian maka Swandarupun menjadi semakin marah. lapun telah mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya. Cambuknya adalah lambang keperkasaannya sehin gga dengan demikian, maka dengan mengungkapkan tenaga cadangan yang sangat besar yang berada didalam dirinya. Swandaru telah menghentakkan cambuknya. Udara yang bergetar telah menggetarkan setiap jantung. Ujung cambuknya telah melukai tanah yang menjadi arena pertempuran itu. Debupun telah berhamburan dan kerikil -kerikil tajam telah memercik kesegala ar ah. Swandaru benar-benar telah sampai kepuncak kemampuannya. Karena lawannya sempat menghindarinya, maka iapun telah melecutkan cambuknya mendatar. Tetapi lawannya sempat melenting surut, sementara yang lain justru telah melonca t mendekat sambil mengayunkan senjatanya kearah lehernya. Swandaru terkejut. Kedua orang lawannya itu seolah-olah telah digerakkan oleh satu kehendak sehingga tat a gerak keduanya benar-benar dapat saling mengisi. Dengan tangkas pula Swandaru menghindar. Ia meloncat surut. Namun ia masih juga merendah. Sementara itu cambuknya telah terayun sendai pancing menyerang lawanny

a yang sedang menebaskan senjatanya itu. Tetapi orang itupun bergerak dengan cep at. Ia telah meloncat surut pula, sehingga ujung cambuk Swandaru tidak menggapai nya. Sementara itu, lawannya yang lain-pun telah meloncat pula menyerang. Susul menyusul, semakin lama semakin cepat. Bahkan seperti juga terjadi pada Pandan Wangi, maka untuk beberapa saat kemudian Swandaru kadang-kad ang masih juga sempat di kisruhkan oleh kemampuan lawan-lawannya mengacaukan pem usatan perhatiannya karena keduanya berloncatan silang menyilang dan bergerak be rputaran. Seperti yang pernah dilakukan, dalam keadaan demikian Swandaru berusaha memutar juntai cambuknya mengelilingi tubuhnya, sementara ia sempat memperbaiki keadaann ya. Dengan demikian maka pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin cepat. Kedua lawannya masih berusaha untuk menumbuhkan kebingungan. Namun ternyata Swan daru justru menjadi semakin mapan. Tetapi kemarahan Swandaru itu memuncak, ketik a tiba-tiba saja seorang diantara lawannya yang bergerak saling menyilang itu se mpat menyentuh tubuhnya dengan ujung senjatanya. Sebuah goresan kecil telah menyilang dipundaknya, mengkoyak bajunya. Karena itulah, maka ujung cambuk Swandaru selanjut-nyapun menjadi bertambah gara ng. Ternyata ketika Swandaru benar-benar sampai dipuncak kemampuannya, kedua law annyapun menjadi sulit untuk mengimbanginya. Cambuk yang meledak-ledak memekakka n telinga itu telah meniupkan angin yang menerpa kulit kedua lawannya. Meskipun ujung cambuk Swandaru itu, belum sempat mengenai salah seoran g dari kedua lawannya itu. namun keduanya seakan-akan dapat membayangkan, apa ya ng terjadi jika ujung cambuk itu menyentuhnya. Apalagi ketika terasa luka dipundak Swandaru itu menjadi pedih, karena keringatn ya yang semakin banyak mengalir. Maka kemarahannya bagaikan api yang disiram den gan minyak Karena itulah, maka cambuknyapun berputar semakin cepat. Kadang-kadan g berubah arah, menyambar mendatar. Namun kemudian mematuk dan terayun sendai pa ncing. Ternyata kedua lawannya tidak mampu mengimbangi kesempatan dan kekuatan S wandaru. Ketika keduanya berusaha untuk menembus pertahanan Swandaru dengan kema mpuan mereka mengacaukan pemusatan perhatian lawan, ternyata Swandaru sudah menj adi lebih mapan. Justru pada saat mereka menyerang, ujung cambuk Swandaru telah menyentuh salah seorang diantara keduanya. Orang itu telah meloncat beberapa langkah. Terasa ujung cambuk Swandaru itu tela h mengkoyak kulitnya, bukan saja segores kecil seperti yang terdapat dipundak Swan daru. Ternyata kulit lengan orang itu telah menganga. Darah-pun telah mengucur d ari luka itu. Bahkan rasa-rasanya tulang lengannya pun telah patah pula. Karena lawannya meloncat menjauh, maka yang lain-pun telah melakukannya pula. Keduanya sengaja mengambil jarak untuk memperbaiki keadaan. Namun Swandaru tidak memberi mereka kesempatan. Dengan serta merta iapun telah memburu pula justru lawannya yang telah terluka. Sekali lagi orang itu meloncat menjauh. Ketika Swandaru siap memburu lagi, maka serangan dari lawannya yang lai npun telah datang pula. Karena itu, maka Swandaru harus merubah sasarannya. Dengan serta merta, tanpa banyak pertimbangan lagi, Swandaru sama sekali tidak b erusaha menghindar. Tetapi dengan sepenuh kekuatannya Swandaru justru sudah memb entur serangan itu dengan serangan pula. Lawannyalah yang terkejut karena sikap Swandaru itu. Namun ternyata bahwa dengan cepat ia telah mengambil sikap pula. Justru karena ia sadar, bahwa kekuatan Swa ndaru ternyata sangat besar, maka ia tidak membiarkan ujung cambuk itu membelit pedangnya. Karena itu, maka iapun dengan cepat menarik serangannya. Sek ali ia berputar, kemudian sambil merendah ia bergeser lagi menjauh ketika cambuk Swandaru mengejarnya dengan ayunan menebas leher. Pertempuranpun semakin menjadi cepat. Lawannya yang telah terkoyak lengannyapun masih berusaha untuk dapat mengimbangi kekuatan dan kecepatan gerak Swandaru. Na mun darah yang mengalir dari lukanya yang jauh lebih besar dari luka dipundak Sw andaru membuatnya semakin lama semakin lemah. Dalam pada itu, Pandan Wangipun ma sih bertempur dengan sengitnya. Sekali-sekali perhatiannya masih dikisruhkan ole h tata gerak lawannya. Bahkan kadang-kadang Pandan Wangi harus mengambil jarak u ntuk memantapkan sikapnya menghadapi kedua lawannya itu. Sementara itu lawannya benar-benar tidak memberinya kesempatan lagi. Keduanya be

rgerak dengan cepat dan membingungkan. Bahkan kadang-kadang terasa sambaran angi n yang menyentuh kakinya, sehingga debar jantungnya terasa menjadi semakin cepat . Dalam keadaan yang demikian. Pandan Wangi tidak mempunyai jalan lain. Ia tidak s ekedar mempercayakan diri kepada kekuatan dan kecepatan geraknya berlandaskan te naga cadangannya. Namun ia mulai mempertimbangkan untuk mengetrapkan ilmunya. Ilmu yang akan mampu mengimbangi tata gerak lawannya yang membingungkan itu. Untuk beberapa saat, Pandan Wangi masih mencoba bertahan. Namun akhirnya, iapun mulai dengan kekuatan ilmunya yang telah diterapkannya. Namun kedua lawannya tidak segera mengetahui, Apa yang telah terjadi pada Pandan Wangi itu. Ketika mereka berusaha meningkatkan kemampuan mereka dan bermaksud m embuat Pandan Wangi menjadi semakin bingung, maka justru merekalah yang telah di kejutkan oleh satu kenyataan yang tidak mereka duga sebelumnya. Ketika Pandan Wa ngi menghindari serangan yang cepat dari salah seorang diantara kedua orang lawa nnya, maka lawannya yang lain tidak membiarkannya. Dengan loncatan yang menyilang, lawannya itu telah memancing perhatian Pandan Wangi. Namun yang kemud ian benar-benar menyerang adalah lawannya yang lain. Namun Pandan Wangi tidak mau menjadi sasaran serangan yang tidak henti-hentinya. Ketika lawannya itu benar-benar menyerang, Pandan Wangi menghindar tetapi ia la ngsung menyerang lawannya yang seorang. Tetapi lawannya tidak terkejut oleh sera ngannya yang justru terasa lamban. Dengan tangkasnya lawannva telah menangkis se rangan Pandan Wangi. Namun alangkah terkejut orang itu kemudian. Ujung pedang Pandan Wangi masih berjarak sejengkal dari tubuhnya, ketika ia berh asil menangkis serangan itu menurut penglihatannya. Namun ternyata bahwa terasa sebuah goresan celah mengoyak kulitnya. Giia geram orang itu apa yang sebenarnya terjadi. Pandan Wangi tidak terpancang pada lawannya yang seorang. Sebelum lawannya itu m enyadari apa yang terjadi, Pandan Wangi telah meloncat menyerang lawannya yang l ain. Dengan tangkas lawannya menghindari serangan itu. Menurut perhitungannya ia tida k akan terlambat. Namun Pandan Wangi tidak melepaskannya. Ia telah memburu dan d engan menjulurkan pedangnya lurus kedepan ia menyerang lambung. Sekali lagi oran g itu berusaha menghindar. Dengan tangkas ia melenting surut. Namun seperti kawa nnya, iapun telah mengumpat. Ternyata ujung pedang Pandan Wangi sempat menggapai nya tanpa disadarinya. Ia merasa bahwa masih ada jarak antara ujung pedang Pandan Wangi dengan kulitnya. Namun ternyata bahwa lambungnya telah terlu ka oleh senjata perempuan itu. Kedua orang itu menjadi bingung sesaat. Mereka tidak mengerti bagaimana hal itu terjadi. Namun merekapun menyadari bahwa mereka tidak boleh terpancang kepada keadaan itu. Karena itu seorang diantara lawannya tiba-tiba saja telah berteriak Perempuan ti dak tahu diri. Kau kira kami memang tidak mampu membunuhmu. Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia justru telah meloncat menyerang dengan ga rangnya. Ketika hal yang membingungkan itu terjadi sekali lagi, dan pedang Panda n Wangi sempat menggores lengan, maka lawannya segera mengetahui, bahwa perempua n itu ternyata memiliki satu jenis ilmu yang menggetarkan jantung. Perempuan iblis geram orang yang terluka dilengan dan dilambung itu kau kira den gan ilmu iblismu itu kau akan dapat mengalahkan kami? Pandan Wangi sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia telah menyerang dengan garang nya. Ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, justru pada saat lawannya sedang di dera oleh kecemasan. Sebenarnyalah kedua lawannya kedua lawannya benar-benar menjadi gelisah. Bukan Pandan Wangi yang menjadi bingung. Tetapi mer eka berdualah yang kadang-kadang harus meloncat jauh-jauh untuk mengambil jarak, agar mereka dapat memperbaiki kedudukan mereka menghadapi perempuan yang berilm u tinggi itu. Sementara itu, cambuk Swandarupun meledak semakin cepat. Rasa-rasanya suara leda kannyapun menjadi semakin keras. Ujung cambuknya menggapai-gapai kemanapun arah lawannya bergeser. Bahkan kedua lawannya itu telah berhasil dilukainya dengan uj ung cambuk Swandaru. Kulitnya telah terkoyak dan lukapun telah menganga. Kedua o rang lawannya memang bagaikan menjadi gila. Rasa-rasanya luka ditubuh mereka itu telah menggelapkan nalar budi mereka. Bahkan keduanya seakan-akan telah menjadi

putus asa. Apalagi ketika mereka melihat, dihalaman itu penuh dengan anak-anak muda Kademangan Sangkal Putung. Karena itu, maka kedua orang lawan Swandaru itu memang tidak melihat kemungkinan untuk menyingkir dari pertempuran. Namun mereka sama sekali tidak bermimpi untu k menjadi tawanan orang Kademangan Sangkal Putung. Jika demikian, maka orang-ora ng dari padukuhan sebelah menyebelah yang pernah dirampoknya dan mendegar bahwa mereka tertangkap tentu akan ikut memperlakukan mereka dengan sangat buruk. Dengan demikian maka tidak ada yang dapat mereka lakukan kecuali bertempur denga n sisa kekuatan yang masih ada sampai saatnya darahnya menjadi kering. Karena itu, maka kedua orang lawan Swandaru itu sudah tidak bertempur lagi denga n wajar. Mereka dengan putus ada telah berusaha membenturkan dirinya pada kekuat an Swandaru yang seakan-akan tidak terbatas lagi. Raden Rangga dan Glagah Putih memang menjadi berdebar debar. Dalam keremangan ma lam, maka penglihatan mereka yang tajam mampu menangkap yang telah terjadi. Glagah Putih berkata Raden Rangga nampaknya pertempuran akan cepat berakhir. Tetapi nampaknya Swandaru tidak dapat mengendalikan dirinya berkata Glagah Putih kemudian. Dapat dimengerti jawab Raden Rangga. Tetapi kita sebenarnya memerlukan orangorang itu berkata Glagah Putih kemudian. Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya Tetapi apa yang dapat kita lakukan? Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sementara itu pertempuran pun agaknya sudah sampai pada tataran terakhir. Ketika cambuk Swandaru meledak lagi beberapa kali , maka lawannya benar-benar sudah tidak berdaya. Tetapi Swandaru adalah seorang yang garang. Meskipun lawannya sudah terdesak sampai kesudut, namun ia tidak mam pu melihat keadaan lawannya itu seutuhnya. Apalagi lawannya masih juga berusaha menggerakkan senjata mereka, dan apalagi luka segores kecil di kulit Swandaru te rasa menjadi semakin pedih karena dibasahi oleh keringat yang mengalir. Karena itu, maka yang terjadi kemudian sama sekali tidak diharapkan oleh Raden R angga dan Glagah Putih. Kemarahan Swandaru memang tidak terbendung lagi. Cambukn ya yang meledak sama sekali tidak dapat dihindarkannya atau ditangkis lagi. Begitu dahsyatnya sehingga terasa dada lawannya itu bagaikan ter belah. Keduanya benar-benar tidak mampu bertahan lagi. Ledakan cambuk yang terakhir tel ah merobohkan lawannya yang terakhir pula. Swandaru yang kemudian berdiri tegak, memandangi kedua lawannya yang terbaring diam. Dalam keremangan malam ia masih melihat salah seorang diantaranya menggeliat. Namun kemudian diam. Dalam pada it u, pada saat-saat Swandaru meledakkan cambuknya yang terakhir, Raden Rangga tela h bergeser dari tempatnya sambil berdesis Aku harus mencegahnya. Tetapi Glagah Putih menggeleng sambil berkata Tidak ada gunanya Raden. Aku mengen al kakang Swandaru sebagaimana diceriterakan oleh kakang Agung Sedayu. Aku dapat mencegahnya berkata Raden Rangga apakah kau tidak yakin. Aku yakin Raden jawab Glagah Putih tetapi persoalannya akan bergeser. Apalagi ka kang Swandaru adalah saudara seperguruan kakang Agung Sedayu. Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu mereka berdua telah berpal ing kearah Pandan Wangi. Namun merekapun tidak dapat banyak berharap. Pedang Pan dan Wangipun telah melukai kedua lawannya. Namun agaknya kedua lawannya masih be rusaha untuk bertempur terus. Seperti lawan Swandaru, keduanya menjadi berputus asa. Tidak ada jalan untuk lari, dan mereka tidak akan bersedia untuk menjadi ta wanan anak-anak Sangkal Putung. Luka yang silang menyilang ditubuh mereka telah membuat mereka berdua bagaikan gila. Namun setiap serangan, justru telah dihenti kan oleh ujung pedang Pandan Wangi, sehingga lawan-lawannya itu terdorong surut. Akhirnya kedua orang lawannya itu tidak mampu lagi berbuat sesuatu. Pada saat-sa at terakhir keduanya telah terhuyung-huyung kehilangan segenap tenaga karena dar ah mereka bagaikan terkuras habis dari tubuhnya. Pandan Wangi memang tidak membu runya. Ia sadar sepenuhnya, bahwa lawannya sudah tidak berdaya. Ketika Pandan Wangi bergeser mendekati kedua orang lawannya yang terbaring, Swan darupun telah mendekatinya pula sambil bertanya Bagaimana dengan kau? Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya Aku telah melumpuhkan mereka.

Swandaru mengangguk-angguk. Namun ketika ia kemudian berjongkok disebelah orangorang yang terbaring itu, maka iapun berkata Lukanya terlalu banyak. Biarlah dicoba untuk menolongnya berkata Pandan Wangi. Tidak ada gunanya jawab Swandaru namun biarlah anak-anak memanggil Ki Oneng. Namun seperti yang dikatakan oleh Swandaru, maka lawan Pandan Wangi itupun tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Darah memang terlalu banyak mengalir Ketik a anak-anak muda yang memanggil Ki Oneng datang bersama orang tua itu, ternyata Ki Oneng hanya dapat menggelengkan kepalanya saja Raden Rangga dan Glagah Putih hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Glagah Putih selalu menahan jika Raden Ra ngga siap meloncat memasuki kerumunan anak-anak muda Sangkal Putung Dan kakang Swandaru masih panas berkata Glagah Putih akan mudah terjadi salah pa ham. Jadi bagaimana dengan kita? Dengan susah payah kita mengikuti jejaknya. Akhirnya kita temui mereka ter bunuh disini. berkata Raden Rangga. Apaboleh buat. Yang terjadi adalah diluar kekuasaan kita berdua untuk mencegahny a berkata Glagah Putih. Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Ia melihat masih ada usaha untuk menoiong j iwa dua orang yang bertempur melawan Pandan Wangi. Namun ternyata bahwa kedua or ang itupun tidak dapat tertolong lagi. Darah mereka terlalu banyak mengalir seme ntara keduanya seakan-akan memang berusaha untuk membunuh diri, tanpa mau menghe ntikan perlawanan sampai tarikan nafas mereka yang terakhir. Dalam pada itu, anak-anak muda Sangkal Putung telah menjadi ribut. Jumlah mereka semakin lama menjadi semakin banyak. Anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan la in di Kademangan itu, yang mendengar isyarat, telah berkumpul meskipun disetiap padukuhan masih tersisa mereka yang bertugas meronda. Beberapa diantara mereka m asih belum jelas apa yang terjadi. Namun merekapun kemudian mengetahui, bahwa am pat orang telah terbunuh diarena. Dua orang oleh Swandaru dan dua orang lainnya oleh Pandan Wangi. Sementara itu Raden Ranggapun bertanya kepada Glagah Putih bagaimana dengan kita? Apakah kita akan tetap bersembunyi disini atau kita akan menemui Swandaru? Glagah Putih termangu-mangu sejenak, Namun kemudian katanya Apakah ada gunanya k ita menemuinya? Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun berkata Bukankah Swanda ru saudara seperguruan Agung Sedayu? Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya Jika kita singgah , maka itu hanya sekedar kita lakukan sebagaimana kita mengadakan kunjungan bias a tanpa ada hubungannya dengan keempat orang yang telah terbunuh itu. Apa salahnya jika kita sekedar berceritera tentang usaha kita mengikuti mereka. berkata Raden Rangga tanpa maksud menyalahkan apa yang telah terjadi. Glagah Putih termangu-mangu. Jika Raden Rangga benar dapat bersikap demikian, ma ka memang tidak ada salahnya mereka singgah di Sangkal Putung. Untuk beberapa sa at kedunya masih menunggu. Swandaru dan Pandan Wangi yang berada diantara anak-anak muda itu nampak memberikan beberapa petunjuk. Sebentar lagi anak-anak muda itu akan meninggalkan halaman itu berkata Glagah Pu tih mungkin satu dua diantara mereka akan melihat kita disini setelah mereka tidak l agi terikat perhatiannya kepada peristiwa yang terjadi di halaman itu. Kita lebih baik turun berkata Raden Rangga jika mereka melihat kita, kita tidak a kan dicurigai sebagaimana jika kita berada disini. Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi sebagaimana yang dikatakan oleh Raden Rangga , maka keduanyapun telah turun dihalaman sebelah dan dengan hati-hati keduanya t elah keluar dari regol halaman. Untuk beberapa saat, memang tidak ada orang yang memperhatikan keduanya karena kesibukan anak-anak muda itu sendiri. Namun kemudian tiba-tiba saja seorang anak muda dengan tidak sengaja melihat mer eka berdiri termangu-mangu. Anak muda itu mulai tertarik kepada keduanya. Karena itu tiba-tiba saja anak muda itu menggamit kawannya sam bil berkata He, siapakah mereka? Agaknya aku belum pernah mengenalnya. Kawannyapun mulai memperhatikan kedua anak muda itu. Namun kemudian iapun berdes is Ya. Aku belum mengenalnya. Mungkin ada hubungannya dengan keempat orang yang terbunuh itu.

Karena itu, maka tiba-tiba saja kedua orang anak muda itu telah mencabut senjata mereka. Sementara itu, kawan-kawannya yang melihat keduanya segera memperhatika n arah perhatian mereka pula, sehingga merekapun telah melihat Raden Rangga dan Glagah Putih yang berdiri termangu-mangu. Beberapa orang telah mendekatinya dengan senjata tertunduk. Namun Raden Rangga dan Glagah Putih sama sekali tidak berbuat sesuatu. Yang mereka lakukan adalah justr u bergeser kebawah cahaya oncor minyak yang berada dipintu gerbang halaman itu. Siapa kau? terdengar seorang diantara anak-anak muda itu bertanya. Glagah Putih - jawab Glagah Putih dari Jati Anom. Kenapa kau berada disini dimalam-malam seperti ini? bertanya anak muda Sangkal P utung itu. Justru pada saat di Kademangan ini terjadi sesuatu. Satu kebetulan yang tidak menguntungkan bagi kami berkata Glagah Putih. Tetapi k emudian katanya Namun sebenarnyalah bahwa kami ingin bertemu dengan kakang Swand aru yang aku lihat ada dihalaman sebelah. Siapa kau dan untuk apa kau ingin bertemu dengan Swandaru? bertanya seorang anak muda yang lain. Sudah aku katakan, bahwa aku adalah Glagah Putih dari Jati Anom jawab Glagah Put ih aku ingin bertemu kakang Swandaru sekedar singgah karena aku sudah lama tidak menemuinya. Sekedar singgah dan dimalam seperti ini? bertanya anak muda itu. Kami memang sedang dalam perjalanan jawab Glagah Putih. Namun beberapa orang anak muda yang mengerumuninya memang menaruh curiga kepada keduanya, justru baru saja terjadi sesuatu yang telah menggemparkan Kade mangan itu. Namun dalam pada itu, tiba-tiba seorang anak muda menyibak kawan-kaw annya sambil menyebut namanya Glagah Putih Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum. Ternyata seo rang anak muda yang dikenalnya telah datang kepadanya. Dengan nada tinggi ia ber tanya Kenapa kau berada disini di malam hari seperti ini? Kami sedang dalam perjalanan berkata Glagah Putih sebenarnyalah kami ingin singg ah dirumah kakang Swandaru. Namun ternyata disini baru terjadi sesuatu yang tida k menguntungkan kehadiran kami. Anak muda yang telah mengenalnya itu kemudian berkata Tetapi baiklah. Aku akan m engatakannya kepada Swandaru. Jangan pergi. Glagah Putih dan Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu anak-anak muda yang lainpun tidak lagi mengacukan senjata mereka meskipun mereka masih ju ga mengamatinya dengan sikap yang hati-hati. Ketika anak muda itu kemudian menyi bak kawan-kawannya dan menemui Swandaru sambil mengatakan bahwa Glagah Putih ada di tempat itu, Swandaru itupun bertanya lantang Ada apa a nak itu kemari? Katanya ia hanya singgah saja. Ia sedang dalam perjalanan bersama seorang kawann ya jawab anak muda itu. Aku sedang sibuk jawab Swandaru. Anak muda yang menyampaikan kehadiran Glagah Putih itu mengerutkan keningnya. Namun dalam pada itu, Pandan Wangilah ya ng menyahut Bukankah Glagah Putih itu sepupu kakang Agung Sedayu. Ya. jawab Swandaru tetapi aku tidak berkepentingan dengan anak itu. Tetapi jika ia ingin singgah bukankah tidak ada salahnya berkata Pandan Wangi. Tetapi aku sedang sibuk sekali sekarang ini berkata Swandaru pula. Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Diperhatikannya kesibukan anak-anak muda disekitarnya. Mereka memang sedang dicengkam oleh ketegangan. Tetapi Pandan Wan gi tidak dapat membiarkan begitu saja kehadiran adik sepupu Agung Sedayu itu. Ka rena itu, maka iapun berkata Baiklah kakang. Biarlah aku saja yang menerima mere ka. Swandaru tidak berkeberatan. Katanya Nanti jika aku sudah selesai, aku akan kemb ali. Tetapi aku tidak tahu, kapan aku selesai itu. Pandan Wangi mengangguk. Ialah yang kemudian meninggalkan tempatnya menemui Glag ah Putih. Glagah Putih mengangguk hormat ketika ia melihat Pandan Wangi menghamp irinya. Sementara itu Pandan Wangipun terkejut ketika ia melihat anak muda yang datang bersama Glagah Putih. Aku datang bersama Raden Rangga, mbokayu berkata Glagah Putih. Pandan Wangilah yang kemudian mengangguk hormat. Dengan nada rendah ia berkata Ma

afkan kami Raden. Kami sedang disibukkan oleh peristiwa yang tidak kami inginkan terjadi di Kademangan ini. Kami melihatnya berkata Raden Rangga silahkan jika kalian masih terlalu sibuk. Ka mi hanya sekedar singgah. berkata Raden Rangga. Marilah, kami ingin mempersilahkan Raden dan Glagah Putih untuk singgah barang s ejenak di Kademangan Pandan Wangi mempersilahkan. Tetapi Raden Rangga menggeleng. Katanya Terima kasih. Kami sedang dalan perjalana n. Dimana kakang Swandaru? Kakang Swandaru sedang sibuk dengan anakanak muda itu jawab Pandan Wangi. Sampaikan salam kami berkata Raden Rangga sebenarnya kami memang sedang mengikut i ampat orang yang terbunuh itu untuk mendapat satu petunjuk. Tetapi ternyata me reka telah terbunuh disini, sehingga kami telah kehilangan tuntunan perjalanan k ami. O Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia berkata Maafkan kami Raden. Kami tidak mengetahuinya. Ya. Tidak apa-apa. Kalian memang tidak mengetahuinya. sahut Raden Rangga tergesa -gesa. Lalu katanya Baiklah. Aku dan Glagah Putih minta diri. Kami hanya ingin m enunjukkan diri karena kami sudah berada di Kademangan ini. Sekarang kami akan m eneruskan perjalanan kami. Jadi Raden tidak singgah di Kademangan? bertanya Pandan Wangi. Terima kasih jawab Raden Rangga silahkan menyelesaikan tugas kalian. Kami minta diri. Maaf mbokayu berkata Glagah Putih lain kali saja kami akan singgah. Demikianlah Glagah Putih dan Raden Rangga ternyata hanya sekedar menunjukkan dir inya. Ketika mereka kemudian keluar dari padukuhan itu Raden Rangga berkata. Sebenarnya aku juga ingin singgah. Tetapi agaknya Swandaru terlalu sibuk, sehingga tidak s empat menemui kita. Karena itu, maka lebih baik kita tidak mengganggu nya. Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa agaknya Raden Rangga kurang sena ng menghadapi sikap Swandaru yang tidak mau menemuinya betapapun sibuknya. Karen a itu, maka lebih baik baginya untuk pergi saja daripada terjadi salah paham. Ba hkan Raden Rangga mencoba mengerti, bahwa Swandaru memang sedang sibuk. Sementar a itu Pandan Wangi telah kembali kepada Swandaru, sehingga Swandaru justru berta nya Begitu cepat? Mereka tidak singgah. Mereka hanya sekedar menampakkan diri karena mereka telah berada di Sangkal Putung jawab Pandan Wangi. Mereka siapa? bertanya Swandaru pula. Glagah Putih dengan Raden Rangga jawab Pandan Wangi. Raden Rangga ulang Swandaru. Ya. Raden Rangga putera Panembahan Senapati itu jawab Pandan Wangi. Swandaru menjadi berdebar-debar. Dengan ragu ia bertanya Jadi mereka sudah pergi ? Ya jawab Pandan Wangi mereka telah meneruskan perjalanan mereka. Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya Aku tidak tahu bahwa yang datang adal ah putera Panembahan Senapati. Tetapi sudahlah. Anak itu sudah terlanjur pergi. Agaknya keduanya memang sedang bertualang. Pandan Wangi juga mengatakan, bahwa anak-anak muda itu sedang mengikuti keempat orang yang terbunuh itu. Tetapi mereka dapat mengerti berkata Pandan Wangi. Swandaru mengangguk-angguk. N amun kemudian sekali lagi ia berkata Biar sajalah anak itu melakukan petualangan . Kita pernah mendengar apa saja yang pernah dilakukan oleh Raden Rangga. Mudahmudahan ia tidak melakukan yang aneh-aneh itu di Sangkal Putung, karena aku tentu akan mencegahnya, meksipun ia adalah anak Panembahan Senapati. Ah desah Pandan Wangi. Aku berkata sebenarnya desis Swandaru anak itu harus dicegah agar tidak semakin m enjadi-jadi, sementara ayahandanya tentu akan berterima kasih jika kita membantu nya sedikit memberi pelajaran kepada anak itu agar ia tidak semakin nakal. Justr u karena ia merasa tidak ada orang lain yang mampu mencegah segala tingkah lakun ya. Tentu bukan begitu sahut Pandan Wangi agaknya ia dapat mengerti dan nampaknya tid

ak senakal ceritera yang pernah kita dengar. Karena ia merasa berhadapan dengan kita jawab Swandaru sementara itu agaknya Glag ah Putih sudah dijangkiti oleh penyakitnya pula, karena ia merasa sepupu Agung S edayu. Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Ia mencoba mengingat sikap anak-anak muda i tu, Baru kemudian ia berkata Tidak kakang. Menurut penilaianku mereka bersikap w ajar. Agaknya bukan karena mereka berada dihadapan saudara seperguruan kakak sep upunya, tetapi menurut penilaianku, mereka tidak berbuat atau bersikap tidak seharusnya, sebagaimana sikap mereka sewajarnya. Swandaru mengangguk-angguk. Jawabnya Mudah mudahan. Tetapi ceritera tentang kena kalan Raden Rangga sudah banyak didengar oleh orang-orang Mataram. Pandan Wangi tidak membantah lagi. Apalagi Swandarupun kemudian telah melangkah pergi, turun dalam kesibukan bersama anak-anak muda Kademangan Sangkal Pulung. Namun mereka tidak terlalu lama berada ditempat itu. Sejenak kemudian merekapun telah meninggalkan halaman rumah itu dan kembali ke kademangan setelah meninggal kan pesan kepada pemimpin pengawal padukuhan itu. Sejenak kemudian tiga ekor kud a telah berderap meninggalkan padukuhan itu. Swandaru, Pandan Wangi dan Ki Jagabaya. Dalam pada itu, Raden Rangga dan Glagah Putih berjalan me nyusuri bulak panjang. Tanpa mereka sadari, mereka telah menempuh jalan menuju k e padukuhan induk. Karena itu, maka ketika Swandaru, Pandan Wangi dan Ki Jagabay a berpacu menuju ke padukuhan induk, mereka telah menempuh jalan itu pula. Raden Rangga terhenti ketika ia mendengar derap kaki kuda. Dengan kening yang be rkerut ia berkata Itu tentu mereka. Swandaru, isterinya dan seorang lagi yang da tang bersama mereka. Bagaimana jika kita diminta singgah? bertanya Glagah Putih. Tidak usah. Kita bersembunyi saja, agar mereka tidak melihat kita dan kita tidak usah menjawab sapa mereka jawab Raden Rangga. Keduanyapun kemudian telah bergeser menepi dan turun kepematang. Keduanya telah berlindung dibalik lanjaran batang kacang panjang yang subur dan berdaun rimbun. Sejenak kemudian maka tiga ekor kuda melintas dengan cepat. Karena ketiganya ti dak memperhatikannya, maka merekapun tidak melihat Raden Rangga dan Glagah Putih berjongkok dipematang. Demikian tiga ekor kuda lewat, maka Raden Rangga-pun berdiri sambil menggeliat. Namun ditangannya tergenggam tiga buah kac ang panjang yang masih muda. Sejak kecil aku gemar kacang panjang seperti ini berkata Raden Rangga. Dan sekarang Raden sudah besar sahut Glagah Putih yang berdiri pula sambil mengibaskan pakaiannya. Katanya pula Pakaianku menjadi basah oleh embun yang melekat pada daun lembayung ini. Keduanyapun kemudian telah naik ke jalan pula. Sejenak kemudian keduanya telah m elanjutkan perjalanan mereka. Raden Rangga sempat pula mengunyah kacang panjang yang dipetiknya dari batangnya yang subur segar. Agaknya Swandaru itu mempunyai sifat yang berbeda dengan Agung Sedayu berkata Ra den Rangga. Mungkin desis Glagah Putih tetapi akupun tidak terlalu banyak mengenal kakang Sw andaru itu. Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya He, apa yang menarik di Kademangan ini? Maksud Raden? bertanya Glagah Putih. Apakah disini ada sesuatu yang pantas untuk dijadikan permainan? bertanya Raden Rangga pula. Ah, Raden akan mulai lagi? sahut Glagah Putih. Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun iapun tertawa. Sudahlah Raden berkata Glagah Putih pekerjaan kita sudah cukup rumit. Jangan menambah kerumitan tugas ini dengan hal-hal yang tidak ada artinya. Raden Rangga menjawab sambil tertawa Aku sebenarnya ingin bermain-main dengan Sw andaru barang sejenak. Ia sama sekali tidak menghargai kedatangan kita disini. Bukan tidak menghargai jawab Glagah Putih kakang Swandaru memang sedang sibuk seb agaimana kita lihat. Ia bertanggung jawab atas peristiwa yang baru saja terjadi.

Raden Rangga mengangguk-angguk, Dengan nada tinggi ia berkata Baiklah. Aku tidak akan berbuat apa-apa di Kademangan yang besar ini. Namun Raden Rangga itu telah menarik tongkat pring gadingnya yang terselip dipun ggungnya. Kemudian digoreskannya tongkat itu pada sepotong pohon turi yang tumbu h dipinggir jalan, berjajar panjang hampir sepanjang bulak. Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Ia melihat semacam sinar yang meloncat dari ujung tongkat yang menggores batang pohon turi itu. Sementara itu Raden Rangga melakukannya beberapa kali, sehingga lebih dari duapu luh batang pohon turi telah disentuhnya. Baru kemudian dia menyelipkan lagi tong katnya dipunggungnya. Apa yang Raden lakukan? bertanya Glagah Putih. Raden Rangga tidak menjawab. Namu n Glagah Putihlah yang kemudian berhenti. Kenapa kau berhenti? bertanya Raden Rangga. Aku ingin melihat akibat sentuhan tongkat Raden itu. jawab Glagah Putih. Sudahlah. Tidak apa-apa jawab Raden Rangga. Aku akan menunggu sampai aku melihat akibatnya meskipun sampai pagi sekalipun. jawab Glagah Putih pula. Aku akan pergi berkat Raden Rangga. Silahkan. Aku tinggal disini jawab Glagah Putih. Raden Rangga mengumpat pendek. Namun iapun terpaksa ikut menunggu pula. Sebenarn yalah akibat sentuhan tongkat Raden Rangga itupun segera terlihat. Daun pohon tu ri yang batangnya tergores tongkat Raden Rangga itu menjadi layu saat itu pula. Jantung Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Justru karena ia melihat dalam kere mangan malam pohon-pohon turi itu menjadi layu, maka iapun telah melangkah mende kat. Glagah Putih telah mengamati batang-batang pohon turi yang tergores oleh uj ung tongkat Raden Rangga. Bekas sentuhan tongkat Raden Rangga itu telah memberik an bekas yang mendebarkan. Batang pohon turi itu bagaikan telah terbakar. Bukan hanya pada bekas sen tuhan, tetapi beberapa depa dari permukaan tanah memanjat k eatas. Raden berkata Glagah Putih Raden telah meninggalkan bekas yang kurang mapan di K ademangan ini. Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Katanya Maaf Glagah Putih. Kadang-kadang aku memang tidak mampu mengendalikan diri. Bahkan kadang-kadang aku sulit untuk mengetahui gejolak perasaanku sendiri, sehingga aku merasa asing dengan diriku sendiri. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Pengakuan Raden Rangga itu membuatnya raguragu untuk mempersalahkannya lebih jauh lagi. Bahkan justru karena itu ia berkat a Sudahlah. Mudah-mudahan untuk selanjutnya Raden sempat mempertimbangkan tingka h laku Raden. Niatku sudah tumbuh sejak aku mulai melakukan hal-hal yang dianggap kurang wajar jawab Raden Rangga tetapi aku tidak mampu mengetrapkannya dalam tingkah lakuku. Sesuatu kadang-kadang melonjak didalam hati tanpa terkuasai. Dan aku menjadi san gat prihatin karenanya. Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Ia sudah lama bergaul dengan Raden Rangga. Karena itu, maka seharusnya ia sudah mengetahuinya bahwa hal seperti itu memang ter jadi didalam diri anak muda itu. Sebagaimana dikatakannya, bahwa ia kadangkadang merasa asing dengan dirinya sendiri. Ketika Glagah Putih kemudian melihat Raden Rangga itu menunduk dan mengesankan p enyesalan yang sangat dalam, maka iapun berkata Sudahlah Raden. Kita tinggalkan Kademangan ini. Apakah menurut pendapatmu, sebaiknya aku singgah di Kademangan dan mohon maaf kep ada Ki Demang dan Swandaru? bertanya Raden Rangga. Tidak perlu Raden jawab Glagah Putih yang mencemaskan kemungkinan bahwa justru ak an terjadi salah paham. Baiklah berkata Raden Rangga kita pergi keluar dari Kademangan ini. Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu keduanyapun telah melanjutkan perjalanan keluar dari Kademangan Sangkal Putung. Bahkan terdapat kesan pada Raden Rangga, bahwa i a merasa sangat tergesa-gesa, seakan-akan ia menjadi ketakutan, bahwa kesalahann ya sempat dilihat orang. Glagah Putih mencoba memperhatikan sikap Raden Rangga. Memang sudah terjadi bebe

rap perubahan. Tetapi ledakan-ledakan perasaan masih terjadi didalam dirinya yan g pribadinya kadang-kadang berloncatan dari yang satu ke yang asing itu. Malam i tu, ternyata banyak juga anak-anak muda yang ternyata kemudian lewat di jalan ya ng dipinggirnya ditumbuhi pohon turi berjajar hampir disepanjang bulak. Pohon turi yang dimusim berbunga memberikan bunganya bagi orang-orang dipadukuhan sebelah m enyebelah. Karena banyak orang yang menyukai bunga turi yang dibumbui dengan sej enis sambal kacang tanah. Tetapi anak-anak muda yang hilir mudik dalam kesibukan mereka itu sama sekali ti dak menghiraukan apa yang telah terjadi dengan pohon-pohon turi itu. Namun dipagi ha ri berikutnya, maka beberapa orang mulai melihat keanehan itu. Lebih dari duapul uh batang pohon turi menjadi layu. Batangnya bagaikan terbakar dipangkalnya hing ga beberapa depa. Kulit batangnya menjadi hangus, sementara itu daunnyapun menja di layu. Beberapa orang mulai mengerumuni pohon turi itu. Semakin lama semakin banyak, se hingga akhirnya dua orang pengawal telah pergi kepadukuhan induk, memberikan lap oran tentang keanehan yang terjadi pada beberapa batang pohon turi itu. Apalagi yang terjadi geram Swandaru keempat mayat itu masih belum dikuburkan. Sekarang ada lagi keanehan tentang pohon pohon turi itu. Apakah kalian tidak dap at mencari pemecahan untuk pohon turi itu, sehingga aku pula yang harus pergi ke sana? Satu keanehan telah terjadi sahut salah seorang dari kedua pengawal itu satu hal yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Pandan Wangilah yang kemudian berkata Marilah kakang. Sebaiknya kita melihatnya. Mungkin memang tidak berarti. Tetapi mungkin teka-teki itu perlu jawaban. Swandaru yang masih merasa letih itupun kemudian telah mempersiapkan diri. Kemud ian bersama Pandan Wangi keduanya telah berkuda menuju ketempat yang ditunjuk ol eh para pengawal itu. Disebelah padukuhan yang semalam diributkan oleh empat ora ng perampok yang telah terbunuh itu. Orang-orang yang menyaksikan keanehan itupu n telah menyibak ketika mereka melihat Swandaru dan Pandan Wangi meloncat turun dari kuda mereka. Ketika keduanya kemudian mendekati pohonpohon turi itu, merekapun ternyata juga menjadi heran. Dengan nada rendah Pandan Wangi berdesis Aneh. Tentu bukan karena disambar petir. Tentu tidak jawab Swandaru jika pohon-pohon ini disambar petir, tentu bagian ujungnyalah yang menjadi parah. Bukan pokok batangnya. Bahkan tidak akan mungkin sekaligus sekian banyak pohon menjadi layu. Untuk beberapa saat mereka berteka-teki. Namun tiba-tiba seperti meledak Swandar u berkata Raden Rangga. Tentu pokal anak itu. Semua wajah menjadi tegang. Pandan Wangipun menjadi tegang. Sementara itu, Swand arupun berkata Aku akan menyusulnya. Ia harus bertanggung jawab atas permainanny a yang ugal-ugalan ini. Pandan Wangi terkejut mendengar ungkapan kemarahan Swandaru itu. Karena itu, mak a dengan tergesa-gesa berkata Jangan kakang. Sudah aku katakan, bahwa anak itu tidak boleh membuat kekisruhan di Kademangan i ni. Aku tidak mau dipermainkan oleh anak-anak ingusan seperti itu. Aku akan meny usul Raden Rangga, menyeretnya kemari agar ia mempertanggung jawabkan perbuatann ya ini. geram Swandaru. Raden Rangga bersama-sama dengan Glagah Putih kakang. Glagah Putih adalah sepupu kakang Agung Sedayu dan tinggal bersama kakang Agung Sedayu pula berkata Pandan Wangi. Maksudmu, jika anak itu menyampaikannya kepada kakang Agung Sedayu, maka kakang Agung Sedayu akan dapat menjadi marah? Begitu? bertanya Swandaru. Lalu katanya A ku tidak peduli. Agung Sedayu harus tahu, bahwa adik sepupunya itu tidak mempuny ai unggah-ungguh. Ia harus tahu bahwa adiknya memang harus mendapat sedikit peri ngatan sebagaimana juga Raden Rangga. Namun jika kakang Agung Sedayu menjadi salah paham dan melakukan langkah-langkah yang tidak sepantasnya, apa boleh buat. Justru aku, yang menjadi saudara mudanya seperguruan perlu memb erikan sedikit peringatan pula kepadanya. Meskipun aku dalam perguruan lebih mud

a, tetapi aku sanggup untuk melakukannya. Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya Kakang. Dari pada persoalan akan berlarut-larut, maka aku kira kita harus lebih sabar menghadapi anak-anak nakal itu. Jika kakang Agung Sedayu marah, mungkin kita masih mempunyai cara untuk me redakannya. Apalagi menurut perhitunganku, kakang Agung Sedayu tidak akan marah karenanya. Ia akan dapat mengerti dan bahkan mungkin ia akan berterimakasih. Tet api bagaimana dengan Panembahan Senapati? Kita tidak tahu pasti, apakah Panembah an Senapati tidak marah jika kita mengambil langkah-langkah untuk sedikit member inya peringatan? Tetapi anak itu harus diberi peringatan. Pada satu saat ia harus menghadapi satu kenyataan bahwa tidak dapat berbuat sesuka hatinya. berkata Swandaru. Aku sependapat kakang. Tetapi kita harus tahu akibat yang mungkin timbul. Jika P anembahan Senapati tidak berkenan dihatinya, maka persoalannya akan menjadi berk epanjangan. berkata Pandan Wangi selain itu, jika kakang menyusul, kakang akan m enyusul kemana? Tidak seorangpun dapat menunjukkan arah kepergian anak-anak itu. berkata Pandan Wangi pula. Swandaru mengerutkan keningnya. Kata-kata Pandan Wangi yang terakhir memang memberikan persoalan kepadanya, kemana ia harus menyusul. Karena itu, maka Swand aru itupun menggeram. Namun iapun kemudian berkata Kau benar Pandan Wangi. Mungk in sehari ini aku belum dapat menemukan mereka. Karena itu, maka urungkan saja niatmu itu kakang berkata Pandan Wangi pula. Swandaru mengangguk-anguk. Meskipun demikian ia masih bergumam Jika aku mengurungkan niatku, bukan karena aku tidak ingin memberikan peringatan kepada k edua anak-anak ugal-ugalan itu. Tetapi karena aku tidak mempunyai waktu untuk me ncarinya. Pandan Wangi menarik nafas. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Namun, justru karena itu, maka Swandaru ternyata mempunyai waktu untuk memperhatikan beberapa pohon turi yang batangnya bagaikan terbakar itu. Bersama Pandan Wangi ia melihat batan g-batang yang hangus dari pangkal batangnya sampai beberapa depa memanjat keatas . Pohon-pohon itu tentu tidak disambar petir dan seseorang tentu tidak membakarn ya dengan menimbun seonggok kayu di pangkal batangnya dan menyalakannya. Jika de mikian maka pekerjaan itu tentu tidak akan selesai dikerjakan semalam suntuk. Da n apipun akan dapat dilihat oleh anak-anak muda yang lewat di tempat itu atau dari pedukuhan sebelah menyebelah bulak. Swandaru dan pandan Wangi memang merasa heran melihat bekas yang mendebarkan itu . Namun dengan demikian terbayang oleh mereka kemampuan anak-anak muda yang sema lam singgah di Kademangan. Mereka kecewa bahwa kakang Swandaru tidak bersedia menerima mereka berkata Panda n Wangi didalam hatinya. Meskipun ia tidak pasti, tetapi ia menduga, bahwa hal i tu merupakan salah satu sebab mengapa keduanya telah meninggalkan kesan yang men debarkan itu. Swandarupun merasakan pula hal seperti itu. Tetapi bagi Swandaru k edua anak muda itulah yang harus menunggunya, karena ia baru dalam kesibukan. *** NAMUN bagaimanapun juga Swandaru harus memperhatikah kemungkinan yang dapat dila kukan oleh kedua anak itu. Meskipun demikian katanya didalam hati, Mungkin mereka memiliki permainan untuk membuat pangeram-eram. Tetapi kemampuan Glagah Putih t idak akan lebih dari kemampuan Agung Sedayu yang menuntunnya dalam oleh kanuraga n. Sementara itu Agung Sedayu masih harus banyak belajar untuk mencapai tataran yang memadai. Sifatnya yang malas dan cepat puas itulah yang menghambat perkemba ngan ilmunya. Kitab yang oleh guru diperkenankan untuk dipergunakan bergantian i tupun kadang-kadang tidak diambilnya pada saat-saat yang sudah menjadi haknya. J ika kakang Agung Sedayu tidak mau merubah cara-cara yang dipergukan untuk mengem bangkan ilmunya, maka ia akan ketinggalan dari anak-anak yang tumbuh kemudian. Untuk beberapa saat Swandaru masih memperhatikan bekas sentuhan tongkat Raden Ra ngga itu. Tetapi baik Swandaru, maupun Pandan Wangi, apalagi anak-anak muda Sang kal Putung, tidak dapat menebak apa yang telah terjadi. Namun bahwa duapuluh bat ang pohon lebih telah menjadi kering dan mati merupakan satu kenyataan yang mend ebarkan. Marilah. berkata Swandaru kemudian kepada Pandan Wangi, kita kembali ke Kademangan.

Kita akan mencari jawab atas teka-teki ini. Jika periu kita akan berbicara deng an Guru tentang peristiwa ini. Pandan Wangi mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya, Apakah kakang akan menemui Kiai Gringsing dan minta petunjuk tentang batang-batang turi ini? Tidak. Aku tidak akan mencari petunjuk kepada siapapun tentang batang-batang turi itu. Kita akan membicahkan sendiri. jawab Swandaru. Lalu apakah yang akan kita bicarakan dengan Kiai Gringsing? bertanya Pandan Wangi. Aku akan berbicara tentang Glagah Putih. berkata Swandaru, apakah yang sebaiknya ki ta lakukan atas anak itu. Apakah kita akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh dan b erbicara dengan kakang Agung Sedayu, atau kita malahan akan menghadap Panembahan Senapati dan memberitahukan tingkah laku puteranya di Kademangan Sangkal Putung . Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi baginya, lebih baik Swandaru berb icara dengan Kiai Gringsing daripada ia langsung bertindak. Pandan Wangi yakin, bahwa Kiai Gringsing akan dapat mengendalikan suaminya untuk memilih, langkah ma nakah yang paling baik dilakukan. Sejenak kemudian maka keduanyapun telah meninggalkan tempat itu tanpa dapat meme cahkan teka-teki tentang pohon-pohon turi itu. Mereka tidak dapat membayangkan, apakah yang sudah dilakukan oleh anak-anak muda itu, sehingga batang-batang turi itu menjadi bagaikan terbakar. Sepeninggal Swandaru dan Pandan Wangi, masih banyak anak-anak muda yang berkerum un. Mereka sebenarnya menunggu penjelasan Swandaru, apakah yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi agaknya Swandaru sendiri belum dapat memecahkan teka-teki itu. Di Kademangan, Swandaru telah mengulangi keinginannya untuk berbicara dengan Kia i Gringsing. Dan agaknya Swandaru bersungguh-sungguh dengan rencananya itu. Kita pegi ke Jati Anom sebentar. berkata Swandaru. Pandan Wangipun menyadari, bahwa Jati Anom bukanlah jarak yang panjang. Karena i tu maka mereka akan dapat menyisihkan waktu beberapa saat dan berpacu. ke Jati A nom. Untuk apa sebenarnya kalian pergi ke Jati Anom? bertanya Ki Demang ketika mereka m inta diri. Tidak apa-apa ayah. jawa Swandaru, kami hanya ingin mendapat petunjuk apa yang seba iknya harus kami lakukan atas tingkah laku Glagah Putih dan Raden Rangga yang te lah meninggalkan bekas dengan sangat tidak mapan. Apalagi bagi Glagah Putih, kar ena aku adalah saudara seperguruan kakak sepupunya. Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mencegah anaknya. Seperti P andan Wangi ia berpikir, lebih baik Swandaru berbicara dengan Kiai Gringsing dar ipada ia dengan tergesa-gesa telah mengambil tindakan sendiri. Namun sebelum berangkat Swandaru telah memberikan beberapa pesan kepada para pem impin pengawal Kademangan agar mereka berhati-hati. Peristiwa yang terjadi semal am mungkin masih akan mempunyai ekor. Tetapi aku tidak lama. Aku akan segera kembali setelah aku berbicara dengan guru di Jati Anom. berkata Swandaru kepada para pemimpin pengawal. Kemudian kepada Ki Demang ia berkata, Jika semua persiapan sudah selesai, biarlah mayat orang-orang yang terbunuh itu dikuburkan tanpa menunggu aku, tetapi seperti yang aku katakan , Kademangan ini harus berjaga-jaga. Mungkin kawan-kawannya akan menuntut balas. Kenapa kau justru pergi? bertanya Ki Demang. Hanya sebentar. jawab Swandaru. Begitu aku datang di Jati Anom, aku langsung kembal i. Sebelum matahari turun, aku sudah berada di Kademangan ini kembali. Baiklah. Kau harus benar-benar cepat kembali. berkata Ki Demang. Tetapi menurut perhitunganku, kawan-kawannya tidak akan berani memasuki Kademanga n ini lagi. berkata Swandaru. Mudah-mudahan. sahut Ki Demang. Demikianlah, Swandaru dan Pandan Wangi dengan diam-diam tanpa pengawal telah men inggalkan Sangkai Putung. Namun dalam keadaan yang gawat, keduanya telah bersiap dengan kelengkapan yang memadai. Pedang rangkap Pandan Wangi berada dilambungny a sebelah menyebelah, sementara Swandaru telah membelitkan cambuknya dilambung. Dua ekor kuda telah berpacu menuju ke Jati Anom. Rasa-rasanya mereka tidak lebih lambat dari angin yang bertiup menggerakkan batang-batang padi di sawah yang ba sah digenangi air sampai kebibir pematang.

Ternyata mereka memang tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama. Beberapa saat kemudian mereka telah menyusuri tepi hutan buruan yang tidak terlalu lebat. Kemu dian berbelok dan melintasi daerah yang subur lagi, memasuki daerah Macanan. Dal am waktu yang pendek mereka telah melintasi Dukuh Pakuwon dan beberapa saat kemu dian mereka telah memasuki Kademangan Jati anom. Tetapi mereka tidak menuju ke padukuhan induk. Mereka menuju kesebuah padepokan kecil yang agak terpencil. Padepokan Kiai Gringsing. Ketika mereka sampai ke reg ol padepokan, keduanyapun telah meloncat turun. Keduanyapun telah menuntun kuda mereka memasuki halaman padepokan yang bersih terawat. Seorang cantrik yang melihat kedatangan mereka, dengan tergesa-gesa telah menyon gsongnya. Cantrik itu telah minta kuda-kuda mereka untuk diikat dipatok yang ter sedia dan mempersilahkan keduanya naik kependapa. Silahkah naik. berkata cantrik itu, aku akan menyampaikannya kepada Kiai Gringsing. Terima kasih. jawa Pandan Wangi. Kedua orang suami isteri dari Sangkai Putung itupun kemudian naik kependapa. Bar u saja mereka duduk, maka Kiai Gringsingpun telah keluar dari ruang dalam. Sambi l tersenyum ia menyapa, Selamat datang di padepokan kecil ini. Swandaru dan Pandan Wangi mengangguk dalam-dalam. Dengan nada datar Swandaru ber kata, Kami berdua telah datang untuk menghadap guru. Mohon maaf, jika kami telah mengganggu. Kiai Gringsing tertawa. Katanya, Aku tidak pernah merasa terganggu dengan kedatan gan kalian. Justru aku merasa bahwa padepokan ini menjadi lebih hidup dan segar. Kiai Gringsing yang kemudian duduk pula bersama Swandaru dan Pandan Wangi telah menanyakan juga keselamatan keluarga di Sangkai Putung. Baru kemudian Kiai Gring sing bertanya, Apakah kalian berdua datang untuk sekedar menengok keselamatanku d an para cantrik dipadepokan ini atau kalian memang mempunyai keperluan yang khus us? Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, Guru. Kami datang untuk menengok gur u dan padepokan ini, yang sudah agak lama tidak aku lihat. Tetapi kecuali itu, k ami juga mempunyai kepentingan yang lain yang akan kami sampaikan kepada guru. Baiklah. berkata Kiai Gringsing, jika kalian tidak tergesa-gesa biarlah nanti saja kalian menyampaikan Kepentingan kalian. Kalian dapat beristirahat dan melihat-li hat padepokan yang sudah lama tidak kau lihat ini. Maaf guru. berkata Swandaru, aku tidak akan lama disini. Di Sangkai Putung semalam telah terjadi satu keributan sehingga aku tidak boleh terlalu lama meninggalkann ya. O. Kiai Gringsing mengangguk-angguk, jika demikian, baiklah. Tetapi biarlah kalian menunggu minuman panas yang sudah dibuat oleh para cantrik. Swandaru tidak menolak, Mereka berdua tidak dapat segera menyampaikan persoalan mereka. Bahkan Kiai Gringsing telah berbicara tentang sawah yang ada disekitar p adepokan, yang digarap para cantrik dan menghasilkan padi yang baik. Sementara p ategalanpun memberikan beberapa jenis palawija dan buah-buahan. Namun ketika mereka sudah minum minuman panas dan sekedar makan makanan yang dih idangkan para cantrik, Swandaru itupun berkata, Guru. Kami mohon untuk diijinkan menyampaikan persoalan yang kami bawa kemari. Persoalan yang kami anggap penting sehingga karena itu, maka kami telah meninggalkan Kademangan yang justru sedang dalam kesibukan. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, Baiklah Swandaru. Katakanlah. Swandaru pun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi di Kademangan Sangka l Putung. Empat orang terbunuh meskipun tidak ada kesengajaan untuk membunuh. Na mun karena mereka memiliki ilmu yang tinggi, maka Swandaru dan Pandan Wangi tida k mempunyai pilihan lain atas mereka itu. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, Membunuh seharus nya di lakukan jika memang tidak ada pilihan lain. Selama masih ada, pilihan lai n, maka membunuh bukannya cara yang terbaik untuk memecahkan persoalan. Kami mengerti guru. jawab Swandaru, yang kami hadapi memang sulit untuk menghindari pembunuhan itu, jika kami sendiri justru tidak mau terbunuh. Kiai Gringsing berdesis, Ya Swandaru. Itu termasuk tidak ada pilihan lain bagimu. Ya guru. jawab Swandaru, kami melakukannya setelah usaha kami menundukkan mereka ti

dak berhasil. Kiai Gringsing mengangguk-angguk pula, sementara itu Swandaru telah menceriterak an pula kehadiran Glagah Putih dan Raden Rangga di Kademangan Sangkal Putung. O Kiai Gringsing mengangguk-angguk, jadi anak-anak itu singgah di Sangkal Putung? Ya guru. jawab Swandaru, itulah yang paling penting yang ingin kami tanyakan kepada guru. Tentang kedua orang anak itu? bertanya Kiai Gringsing. Ya, guru. Kami ingin bertanya pendapat guru tentang anak-anak itu. Apakah yang se baiknya aku lakukan. Raden Rangga adalah putera Panembahan Senopati, sedangkan G lagah Putih adalah sepupu saudara seperguruanku, Agung Sedayu. sahut Swandaru. Jadi bagaimana dengan mereka? bertanya Kiai Gringsing pula. Guru. berkata Swandaru, aku tidak senang bahwa mereka berdua telah melakukan tindak an yang menyinggung perasaan kami, para pengawal Sangkal Putung. Mereka menunjuk kan satu perbuatan yang sangat sombong. Seakan-akan tidak ada orang lain yang ma mpu berbuat sebagaimana mereka lakukan. Ah. Kiai Gringsing berdesah, bukankah mereka hanya anak-anak saja? Anak-anak yang m emang masih belum mempunyai pertimbangan yang baik atas tingkah laku mereka? Justru mereka masih anak-anak. jawab Swandaru, mereka harus mendapat peringatan. Na h, yang ingin kami tanyakan kepada guru, bagaimana aku memberikan peringatan kep ada mereka. Apakah kami harus pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, melaporkan kepada kakang Agung Sedayu bahwa sepupunya telah melakukan tindakan yang tidak terpuji ? Demikian pula menghadap Panembahan Senopati, atau kami harus bertindak sendiri atas anak-anak itu. Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, Mereka adalah anak -anak Swandaru. Agaknya persoalannya jangan menjadi besar sehingga menyangkut sa nak kadangnya. Jika demikian, guru cenderung agar aku langsung sedikit memberi pelajaran kepada anak-anak itu. berkata Swandaru. Kiai Gringsing menyahut dengan hati-hati, Jangan tergesa-gesa Swandaru. Tetapi ap akah sebenarnya yang telah dilakukan oleh anak-anak itu? Swandaru termangu-mangu. Namun iapun kemudian melaporkan apa yang telah dilakuka n oleh Glagah Putih dan Raden Rangga. Kiai Gringsing mendengarkan keterangan yang dikatakan oleh Swandaru tentang lebi h dari dua puluh batang pohon turi yang pangkalnya telah terbakar. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, Tentu Raden Rangga ya ng melakukan. Bukan Glagah Putih. Glagah Putih masih belum memiliki ilmu sampai setinggi itu. Tetapi mereka berdua. jawab Swandaru, siapapun yang melakukannya, namun Glagah Puti h aku anggap terlibat dalam permainan ini. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, Swandaru. Raden Rangga memang seorang anak yang sangat dipengaruhi oleh lonjakan-lonjakan perasaannya. Tetapi ia menyesali perbuatannya Swandaru. Bagaimana Kiai tahu, bahwa anak itu menyesali perbuatannya? bertanya Swandaru. Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, Baiklah aku berter us terang. Anak-anak itu ada disini sekarang. Ada disini? bertanya Swandaru. Ya. Mereka ada disini. Sebenarnya mereka tidak ingin singgah di padepokan ini, ka rena mereka sedang dalam perjalanan ke Timur. Beberapa saat yang lalu, mereka pe rnah juga datang untuk minta beberapa petunjuk tentang perjalanan mereka. Dan me rekapun telah minta diri serta mengatakan bahwa mereka tidak akan singgah. Tetap i karena peristiwa yang dilakukan oleh Raden Rangga di Sangkai Putung itu, maka mereka ternyata singgah pula ke padepokan ini. Sebenarnya mereka telah merasa be rsalah. Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan nada rendah ia berkata, Hanya me ngaku bersalah saja? Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sementara Pandan Wangi menyela, Itu sudah c ukup kakang. Jika mereka sudah merasa bersalah, maka itu berarti bahwa mereka ti dak akan melakukannya lagi di Sangkai Putung. Bagiku, orang yang bersalah, meskipun ia sudah merasa bersalah harus dihukum. berk ata Swandaru.

Aku kira itu tidak perlu kakang. berkata Pandan Wangi, karena yang mereka lakukan b ukan kejahatan. Tetapi sekedar kenakalan anak-anak. Tetapi akibat dari perbuatannya, seluruh Kademangan menjadi gelisah. berkata Swand aru. Baiklah Swandaru. berkata Kiai Gringsing, biarlah anak anak itu menemuimu dan minta maaf kepadamu. Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun Pandan Wangi lah yang menjawab, Baiklah Ki ai. Jika anak-anak itu bersedia minta maaf kepada kakang Swandaru, maka aku kira persoalannya telah selesai. Swandaru yang tidak sempat menjawab hanya berdesis saja. Tetapi ia tidak menyang kal pernyataan Pandan Wangi. Aku akan memanggil mereka. berkata Kiai Gringsing kemudian sambil beringsut dari t empat duduknya. Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing telah kembali bersama Raden Rangga dan Gla gah Putih. Kedua anak muda yang berjalan di belakang Kiai Gringsing dari ruang d alam itu, menundukkan kepala mereka, sementara Swandaru memandang mereka dengan tajamnya. Dipunggung Raden Rangga nampak mencuat tongkat pring gadingnya yang di selipkan pada ikat pinggangnya diarah punggung. Kedua anak muda itupun kemudian duduk disebelah Kiai Gringsing. Keduanya masih m enundukkan kepalanya. Mereka nampaknya benar-benar telah merasa bersalah. Pandan Wangi yang memandangi kedua anak muda itu justru tersenyum. Keduanya masi h terlalu muda. Lebih-lebih Raden Rangga. Sehingga kenakalan mereka bukannya ses uatu yang berlebihan. Namun bahwa mereka telah melakukan satu hal yang sulit dit ebak, itulah yang sangat menarik perhatian. Kiai Gringsinglah yang kemudian berkata, Nah, inilah anak-anak itu. Mereka terpak sa singgah lagi ke padepokan ini karena perasaan bersalah yang menekan jantung m ereka. Seandainya kalian tidak datang ke padepokan pagi ini, kedua anak ini suda h berpesan kepadaku untuk menyampaikan permintaan maafnya kepada kalian berdua. Lalu Kiai Gringsingpun berkata kepada Raden Rangga, Raden, adalah kebetulan bahwa Swandaru suami isteri datang ke padepokan ini. Karena itu, sebaiknya Raden send irilah yang mengatakan kepada keduanya permintaan maaf itu. Raden Rangga menjadi gelisah. Namun kemudian katanya dengan suara sendat, Kakang Swandaru. Glagah Putihjah yang dengan serta merta berpaling kepadanya. Raden Rangga jarang sekali mempergunakan sebutan untuk memanggil nama seseorang, kecuali orang-oran g tua atau orang-orang yang sangat dihormatinya. Karena itu, Glagah Putihpun mer asa tenang bahwa agaknya dengan demikian Raden Rangga benar-benar akan minta maa f. Dalam pada itu Raden Ranggapun meneruskannya, Aku minta maaf kepadamu. Agaknya pe rmainanku tidak berkenan dihatimu. Aku berjanji untuk tidak akan berbuat lagi di Kademangan Sangkai Putung. Wajah Swandaru menegang. Tetapi ia berkata dengan nada berat, Bagaimana dengan ka u Glagah Putih? Glagah Putih beringsut setapak. Meskipun ia tidak berbuat apa-apa, namun iapun b erkata, Aku juga minta maaf kakang. Akupun tidak akan mengganggu lagi ketenangan Kademangan Sangkai Putung. Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi suaranya masih dalam nada berat, Sebenarnyalah kesalahan kalian tidak cukup hanya dengan sekedar permintaan maaf saja. Kesalah an harus dihukum. Tetapi mengingat bahwa Raden Rangga adalah putera Panembahan S enapati dan Glagah Putih adalah sepupu saudara seperguruanku, maka aku dapat mem berikan maaf kepada kalian, tetapi kalian harus menjelaskan kepda orang-orang Sa ngkai Putung, apa yang telah kalian lakukan itu, sehingga orang-orang Sangkai Pu tung tidak selalu merasa gelisah karena perbuatan kalian itu. Raden Rangga mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan u ntuk menjelaskan apa yang sudah terjadi. Karena itu maka diluar sadarnya Raden R angga berpaling kearah Kiai Gringsing yang menarik nafas dalam-dalam. Namun Kiai Gringsing tanggap akan maksud Raden Rangga. Ia memerlukan bantuan unt uk menjawab. Karena itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata, Swandaru. Permi ntaanmu agak sulit dilakukan oleh Raden Rangga. Bagaimana ia dapat menjelaskan a pa yang sudah dilakukan. Mungkin Raden Rangga dapat mengatakan bahwa ia telah me

lakukannya tanpa maksud apa-apa. Tetapi sudah tentu tidak untuk melakukannya dih adapan orang-orang Sangkai Putung sekedar untuk menentramkan hati mereka. Jika u ntuk menenangkan hati orang-orang Sangkal Putung Raden Rangga harus melakukannya lagi untuk membuktikan bahwa hal itu tidak perlu menggelisahkan mereka, maka Ra den Rangga justru harus menyombongkan dirinya dihadapan banyak orang. Tetapi Guru. berkata Swandaru, dengan melihat langsung, maka orang-orang Sangkal Pu tung tidak akan selalu terheran-heran, bahkan ketakutan bahwa hal yang tidak waj ar telah terjadi. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, Aku tidak sepen dapat dengan kau Swandaru. Kau sajalah yang mengatakan kepada orang-orang Sangka l Putung, bahwa Raden Rangga telah melakukannya tanpa maksud apa-apa dan bahwa R aden Rangga dan Glagah Putih sudah minta maaf kepadamu. Kaupun tidak perlu menem ui Agung Sedayu untuk melaporkan tingkah laku saudara sepupunya. Apalagi untuk m enghadap Panembahan Senapati menyampaikan kenakalan puteranya yang sudah mengaku i kesalahan dan minta maaf kepadamu. Glagah Putih menjadi tegang pula. Jika Swandaru memaksa Raden Rangga untuk datan g lagi ke Sangkal Putung, maka yang dilakukannya mungkin akan berbeda. Sikap Rad en Ranggapun mungkin akan berubah pula. Namun ternyata bahwa bukan saja Glagah Putih yang menjadi berdebar-debar, tetapi juga Pandan Wangi. Ia kenal kekerasan hati suaminya, sehingga mungkin memang ak an dapat timbul salah paham. Seandainya tidak dengan Panembahan Senapati mungkin dengan Agung Sedayu. Tetapi ternyata bahwa pengaruh Kiai Gringsing atas muridnya cukup besar, sehingg a ternyata bahwa Swandaru tidak memaksakan niatnya untuk membawa Raden Rangga ke Sangkal Putung. Bagaimanapun juga Kiai Gringsing adalah gurunya. Baiklah Guru. berkata Swandaru kemudian, jika Guru memang menghendaki demikian, mak a akupun tidak akan berkeberatan. Aku akan menyampaikannya kepada orang-orang Sa ngkal Putung, bahwa kedua anak-anak itu sudah minta maaf. Sementara yang dilakuk annya itu bukan sejenis ilmu sihir atau ilmu hitam yang lain meskipun aku tidak tahu, apa yang dapat aku katakan tentang bekas-bekas yang terdapat di batang poh on turi itu. Kiai Gringsing termangu-mangu. Swandarupun tentu menemui kesulitan untuk dapat m engatakan apa yang telah terjadi dengan pohon-pohon turi itu. Tetapi memang lebi h baik bahwa Raden Rangga tidak perlu datang, menjelaskan dan menunjukkan bahwa yang terjadi itu bukan apa-apa. Sementara itu, Swandarupun berkata, Nah, jika demikian aku akan segera kembali ke Sangkal Putung. Meskipun aku ingin berbuat lebih banyak dari yang Guru maksudka n, tetapi karena Guru tidak menyetujuinya, maka akupun akan mengurungkannya. Nam un demikian kedua anak muda itu benar-benar harus menjadi jera. Mereka tidak bol eh berbuat sekehendak hatinya dimanapun, bukan hanya di Sangkal Putung. Aku yaki n bahwa Panembahan Senapatipun tidak senang mendengar laporan tentang tingkah la ku Raden Rangga, karena hal itu akan dapat menggoncangkan wibawa Panembahan Sena pati. Juga tingkah laku Glagah Putihpun tidak akan menyenangkan kakang Agung Sed ayu. Jika aku menyampaikan persoalan ini kepada kakang Agung Sedayu, dan kakang Agung Sedayu menjadi salah paham, maka kakang Agung Sedayu tentu sudah keblingar . Aku mengerti Swandaru. potong Kiai Gringsing, kau benar. Akulah yang akan memberita hukannya bukan saja kepada Agung Sedayu yang mengasuhnya, tetapi juga kepada Ki Widura. Glagah Putih memang harus mendapat peringatan. Demikian pula Raden Rangg a. Meskipun barangkali aku tidak akan berani menyampaikannya kepada Panembahan S enapati, namun aku akan dapat menyampaikannya kepada Ki Juru Martani yang bergel ar Ki Patih Mandaraka. Swandaru mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, Baiklah Guru. Segala se suatunya kami serahkan kepada Guru. Tentang kedua orang anak itu? bertanya Kiai Gringsing. Ya guru. Kami ingin bertanya pendapat guru tentang anak-anak itu. Apakah yang sebaiknya aku lakukan. Raden R angga adalah putera Panembahan Senapati . Pandan Wangi yang tegang menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa terlepas dari beba n perasaan yang berat karena sikap suaminya. Namun ketika Swandaru tidak lagi be

rsikap keras, maka rasa-rasanya ketegangan itupun mulai menjadi lunak. Namun dalam pada itu, selagi keadaan mereda, tiba-tiba saja wajah Swandarulah ya ng menjadi tegang. Bahkan kemudian dengan nada keras ia berkata, Raden. Aku sudah terlalu banyak mengalah. Sekarang agaknya Raden memang ingin menunjukkan bahwa Raden memiliki ilmu yang tidak terlawan. Namun jika memang demikian, Raden sehar usnya mendapat sedikit pelajaran langsung di lapangan. Tidak hanya sekedar dilap orkan kepada Ki Patih Mandaraka atau Panembahan Senapati sekalipun. Raden Rangga terkejut. Bahkan semua orang menjadi terkejut karenanya. Sehingga h ampir diluar sadarnya Raden Rangga bertanya, Aku kenapa? Semua orang memandang Raden Rangga. Tetapi anak muda itupun terheran-heran melih at sikap Swandaru yang memandanginya dengan sorot mata yang menyala. Sebaiknya Raden mengatakan terus terang, apakah Raden memang mencoba Swandaru Gen i? bertanya Swandaru. Ketegangan yang sudah mereda itu tiba-tiba telah memanjat naik. Bahkan suasana b enar-benar menjadi panas ketika Swandaru beringsut maju sambil menuding Raden Ra ngga, Raden jangan mencoba menakut-nakuti aku. Jika aku surut dari tuntutanku buk an karena aku takut kepada Raden. Tetapi karena aku menghormati giiruku. Raden Rangga masih nampak kebingungan. Demikian pula Glagah Putih dan bahkan jug a Kiai Gringsing. Sementara itu Pandan Wangi yang terkejut dengan serta merta be rgeser pula mendekati suaminya. Memegang lambungnya sambil berkata lembut, Kakang . Tenanglah sedikit. Apa yang terjadi? Lihat. geram Swandaru sambil menunjuk ompak disebelah tempat duduk Raden Rangga. Semua orang memandang kearah jari telunjuk Swandaru. Kiai Gringsingpun menjadi b erdebar-debar karenanya. Namun melihat wajah Raden Rangga, Kiai Gringsing yakin, bahwa ia telah melakukannya dengan tidak sengaja. Glagah Putihpun kemudian melihatnya pula. Semula ia sama sekali tidak memperhati kan apa yang telah dilakukan Raden Rangga, sehingga iapun berdesis, Raden telah m elakukannya. Raden Rangga sendiri ternyata terkejut melihat akibat permainannya. Namun dengan gagap ia berkata Tetapi, tetapi aku tidak sengaja. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya sekedar ingin mengendorkan ketegangan didalam dadaku. Tetapi dengan cara itu, Raden nampaknya ingin mengatakan bahwa Raden memang memil iki kemampuan tidak terlawan, sehingga apa yang Raden lakukan di Sangkal Putung itu telah Raden lengkapi dengan permainan Raden itu. Sudahlah. berkata Kiai Gringsing, nampaknya Raden Rangga benar-benar tidak sengaja. Ia memang sedang berusaha untuk mengatasi gejolak didalam dirinya, sehingga tan pa disengaja ia telah melakukannya. Glagah Putih yang berdebar-debar itupun melihat beberapa lubang sebesar jari Rad en Rangga sedalam kerat jari-jari telunjuknya. Agaknya untuk mengatasi keteganga n didalam dirinya Raden Rangga telah menusuk ompak pendapa Padepokan Kiai Grings ing dengan jari-jarinya beberapa kali, sehingga sedalam satu kerat jari telunjuk nya itu. Namun yang mendebarkan adalah, karena ompak yang menjadi alas tiang pen dapa padepokan itu dibuat dari batu yang dibentuk secara khusus. Agaknya pada saat-saat Raden Rangga tepekur disebelah tiang pendapa itu, tangann ya telah bermain-main sekedar untuk mengimbangi perasaannya yang tertahan, tanpa maksud tertentu. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa yang dilakukannya itu akan dapat mengundang persoalan baru. Wajah Swandaru masih menegang. Dengan suara tertahan ia berkata, Aku belum pernah merasa ditantang dengan cara seperti ini. Aku merasa bahwa seharusnya aku melay aninya dan menunjukkan kepada Raden Rangga, bahwa permainannya itu dapat menjeba knya. Untunglah jika ia berhadapan dengan orang-orang yang hanya sekedar ingin m emberinya sedikit pelajaran agar ia menjadi jera, tetapi mungkin ia akan bertemu dengan orang-orang yang benar-benar merasa tersinggung dan merasa direndahkan. Wajah Raden Rangga menjadi semburat merah. Glagah Putih yang kemudian mendahului nya berkata, Kakang Swandaru Aku yakin, bahwa Raden Rangga tidak bermaksud apa-ap a. Seperti yang dikatakan oleh Raden Rangga sendiri serta Kiai Gringsing, bahwa Raden Rangga sekedar ingin mengurangi ketegangan didalam dirinya. Sudahlah kakang. berkata Pandan Wangi, jangan terlalu cepat dibakar oleh perasaanmu yang melonjak-lonjak itu. Mereka adalah anak-anak yang belum mampu membuat pert imbangan-pertimbangan yang jauh. Mereka adalah anak-anak yang masih dipengaruhi

oleh gejolak perasaan mereka sesaat. Dan sebaiknya kita tidak menjadikan diri ki ta anak-anak pula. Aku ingin memberi mereka peringatan. Justru sikap seorang dewasa terhadap anak-an ak. sahut Swandaru. Kita serahkan saja semuanya kepada Kiai Gringsing. berkata Pandan Wangi, biarlah Ki ai Gringsing memperlakukan mereka sebagaimana baiknya. Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, Baiklah jika aku haru s mengalah lagi. Aku masih dapat berpikir bening justru karena aku berada dihada pan guruku. Akupun masih menghargai sangat tinggi orang-orang yang akan tersentu h karena peristiwa ini. Karena itu, selagi aku sempat menahan diri, biarlah aku mohon diri Guru. Baiklah Swandaru. berkata Kiai Gringsing, baik-baiklah dijalan. Untuk selanjutnya b erusahalah untuk menjelaskan persoalannya kepada orang-orang Sangkal Putung. Mer eka tidak perlu gelisah, karena sebenarnyalah tidak terjadi apa-apa. Pandan Wangipun rasa-rasanya menjadi tergesa-gesa. Karena itu maka iapun telah m ohon diri pula, Kami mohon doa restu, Kiai. Kita akan bersama-sama berdoa. berkata Kiai Gringsing, semoga hati kita selalu jern ih karenanya. Demikianlah, maka sejenak kemudian Swandaru dan Pandan Wangi telah turun kehalam an. Glagah Putihpun telah ikut menuruni tangga pula bersama Raden Rangga. Namun Glagah Putih yang berdebar-debar itu mendengar nafas Raden Rangga yang tertahantahan oleh gejolak perasaannya. Sementara itu Kiai Gringsing telah mengikuti Swandaru dan Pandan Wangi melintasi halaman. Ternyata Pandan Wangi sempat melambaikan tangannya kepada Glagah Putih dan Raden Rangga sambil berkata, Marilah, lain kali singgah barang sejenak. Terima kasih mbokayu. jawab Glagah Putih sambil mengangguk. Meskipun agak dipaksakan, Raden Ranggapun telah mengangguk pula dengan hormatnya . Sejenak kemudian Swandaru dan Pandan Wangi itupun telah meloncat kepunggung kuda nya. Setelah sekali lagi mereka mohon diri sambil mengangguk hormat, maka kedua ekor kuda itupun telah berderap meninggalkan regol halaman padepokan kecil. Namun demikian derap kuda itu menjauh, maka tiba-tiba saja Raden Rangga telah me loncat ke halaman samping. Kedua tangannyapun tiba-tiba telah terayun kearah seg erumbul pohon perdu dalam tatanan hiasan halaman padepokan itu. Glagah Putih terkejut. Tetapi itu sudah terjadi. Gerumbul perdu itu bagaikan mel edak dan sekejap kemudian tinggal asap tipis mengepul ditiup angin dan debu kasa r yang berhamburan. Raden. Glagah Putih hampir berteriak, apa yang Raden lakukan? Kiai Gringsing yang masih berada diregolpun terkejut. Ketika ia berpaling, ia me lihat apa yang terjadi. Namun kemudian dengan nada rendah ia menyahut kata-kata Glagah Putih, Biarlah Glagah Putih. Aku dapat mengerti. Ketegangan di dada Raden Rangga telah demikian menyesakkannya, sehingga ia memang perlu berbuat sesuatu. Ternyata pertimbangan nalar Raden Rangga masih tetap jernih, sehingga ia telah m emilih sasaran yang tidak berbahaya. Raden Rangga berdiri tegak sambil menundukkan kepalanya. Terdengar suaranya rend ah, Maaf Kiai. Tidak apa-apa Raden. Aku mengerti. Gerumbul perdu itu akan dapat diganti dengan t anaman baru. Dalam waktu dekat, segalanya akan pulih kembali. sahut Kiai Gringsin g. Aku tidak dapat menahan perasaan yang bergejolak didalam dadaku Kiai. Jika tidak ada Kiai disini, mungkin aku tidak dapat mengekang diri lagi. Kiai adalah orang yang aku hormati sebagaimana aku menghormati eyang Mandaraka, karena dari eyang Mandaraka aku banyak mendengar tentang Kiai. Bahkan ayahandapun menaruh hormat y ang tinggi terhadap Kiai. desis Raden Rangga. Sudahlah. Marilah kita duduk kembali. Kita dapat berbicara dengan tenang dan tida k mencari kesalahan. Memang kita tidak boleh ingkar, bahwa benturan sifat dan wa tak dalam pergaulan itu akan dapat terjadi. Yang tidak menarik perhatian bagi se seorang mungkin merupukun persoalan yang dianggap penting bagi orang lain. Yang wajar terjadi dianggap telah menyinggung perasaan. Itulah sebabnya kita harus me ngembangkan tenggang rasa diantara sesama, sehingga akan dapat mengurangi kemung

kinan-kemungkinan sesama, buruk yang dapat terjadi dalam sentuhan sifat dan wata k seseorang. berkata Kiai Gringsing kemudian. Raden Rangga tidak menyahut. Namun kemudian merekapun telah dibawa naik kependap a dan kembali duduk bersama-sama. Masih ada minuman dan makanan. berkata Kiai Gringsing. Sementara itu Glagah Putih masih sempat memperhatikan ompak batu yang menjadi al as tiang dipendapa itu yang berlubang lubang sedalam kerat jari. Bukan main. berkata Glagah Putih didalam hatinya. Sementara itu, Swandaru dan Pandan Wangi telah berpacu meninggalkan padepokan Ki ai Gringsing di Jati Anom. Meskipun mereka tidak dalam kecepatan sepenuhnya, nam un kuda mereka berlari cepat melintasi jalan-jalan bulak. Namun jika mereka mema suki padukuhan-padukuhan, maka mereka terpaksa mengurangi kecepatan laju kuda me reka. Dalam pada itu, Swandaru sempat juga berkata, Anak itu ternyata memang sombong se kali. Jika tidak ada Guru, maka aku benar-benar ingin menghajarnya agar ia menja di jera. Aku yakin, bahwa Panembahan Senapati tidak akan marah atau jika ia mara h, maka ia bukan seorang pemimpin yang baik, yang membiarkan anaknya berbuat ses uka hatinya, hanya karena ia anak seorang pemimpin. Aku kira Panembahan Senapati memang tidak menghendaki anaknya berbuat seperti itu kakang. berkata Pandan Wangi. Tetapi jika tidak ada orang yang berani mencegahnya, ia akan terus menerus melaku kannya. berkata Swandaru. Namun lepas dari usaha untuk mencegahnya, anak itu memang memiliki sesuatu yang s ulit dimengerti. berkata Pandan Wangi, kita memang akan menemui kesulitan, bagaima na kita akan menjelaskan, bahwa sekitar duapuluh batang pohon turi telah terbaka r tanpa mempergunakan api. Mungkin itu memang satu pengeram-eram. Tetapi belum tentu dalam benturan ilmu yan g sebenarnya ia akan mampu bertahan sepenginang. jawab Swandaru. Memang mungkin. jawab Pandan Wangi, tetapi bagi orang kebanyakan memang sulit dimen gerti, bagaimana ia dapat melubangi batu ompak itu dengan jari-jarinya. Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab, Itulah yang dapat dil akukannya. Mungkin ia sudah merambah kedalam lingkungan ilmu sihir atau bahkan i lmu hitam yang sekedar mampu membuat pengeram-eram. Namun jika benar-benar dihad api dengan sikap dan pribadi yang utuh, maka ilmu seperti itu tidak akan berarti apa-apa. Dihadapan orang yang berkepribadian kuat, ilmu sihir tidak akan dapat berlangsung dalam pengetrapannya. Pandan Wangi tidak menjawab lagi. Namun sebenarnyalah ia memang mengagumi kemamp uan Raden Rangga. Yang dilakukan adalah sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Meskipun Pandan Wangi sendiri memiliki kelebihan dalam olah kanuraga n. Pandan Wangi memiliki dasar ilmu yang mampu membingungkan lawannya dengan kem ampuannya melepaskan kekuatan kewadagan mendahului ujud kewadagannya itu sendiri . Namun Pandan Wangipun memiliki kemampuan dasar untuk menyentuh sasaran dari ja rak tertentu. Bahkan dalam perkembangannya. Pandan Wangi mampu menyerang lawanny a pada jarak tertentu meskipun masih harus dikembangkannya lebih lanjut. Namun demikian ia tetap tidak dapat memecahkan teka-teki tentang pohon-pohon tur i itu. Ia hanya dapat menduga, bahwa Raden Rangga mampu menghancurkan sasaran se bagaimana dapat dilakukan oleh orang-orang tua yang mereka kagumi. Tetapi dengan demikian, maka sebenarnyalah bahwa Swandarupun harus menilai kemam puan anak yang masih terlalu muda itu, meskipun agaknya Swandaru condong mengang gap bahwa yang dilakukan oleh Raden Rangga itu sekedar pengeram-eram, namun yang tidak memiliki kekuatan dalam beruntun ilmu yang sebenarnya. Memang agak berbeda dengan penilaian Pandan Wangi. Pandan Wangi yang sudah meram bah ke dalam kekuatan yang bukan saja berlandasan kepada kemampuan wadag serta t enaga cadangan betapapun besarnya di dalam diri, namun sudah mulai berhubungan d engan getaran yang ada dilingkungan geraknya, maka ia lebih dapat mendekati keny ataan kekuatan yang dipergunakan oleh Raden Rangga. Tetapi Pandan Wangi tidak in gin berbantah dengan suaminya, sehingga karena itu, maka iapun kemudian hanya be rdiam diri saja. Namun dalam pada itu, kuda mereka masih berpacu terus. Mereka melintasi bulak-bu lak panjang dan pendek, menerobos padukuhan-padukuhan dan menyusuri tepi-tepi hu

tan rindang. Ketika kemudian mereka memasuki Kademangan Sangkal Putung, maka sua sana di Kademangan itu agaknya telah hampir pulih kembali, meskipun masih nampak agak sepi. Ketika mereka melewati sebuah pasar di sebuah padukuhan, maka nampak pasar itu memang agak lengang. Sementara itu, Swandaru dan Pandan Wangi sengaja melewati jalan yang dipinggirny a terdapat batang pohon turi yang terbakar pada pangkalnya itu. Ternyata disekit ar pohon-pohon turi itu masih terdapat beberapa orang yang memperhatikannya. Bah kan ketika mereka melihat Swandaru lewat, mereka seakan-akan bertanya, apakah ya ng telah terjadi. Swandaru yang jantungnya sudah berdetak wajar, tiba-tiba telah menjadi semakin c epat lagi. Kepada Pandan Wangi ia berdesis, Anak itu harus dibawa kemari. Ialah y ang harus menjelaskan apa yang telah terjadi. Permainan sihirnya itupun harus di katakannya kepada orang-orang itu. Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata, Kakang, seb aiknya orang-orang itu diminta untuk meninggalkan pohon turi yang menjadi layu d an kering itu. Tidak ada apa-apa yang terjadi. Memang mungkin satu hal yang ganj il. Tetapi tidak untuk direnungi dan dipikirkan. Swandaru menggeretakkan giginya. Namun iapun kemudian mendekat sambil bicara kep ada orang-orang yang berkerumun itu, Aku sudah berhasil menyusul orang yang melak ukan permainan sihir ini. Orang itu sudah minta maaf kepadaku. Ia sudah berjanji untuk tidak mengulangi lagi permainan yang kotor ini. Orang itu memang mengira bahwa tidak ada orang yang berani menghalangi tingkah-lakunya. Namun ternyata ba hwa orang itu tidak lebih dari seorang pembual yang hanya sekedar berbekal kemam puan sihir itu saja tanpa kemampuan untuk menyambung ilmu kanuragan. Orang-orang Sangkal Putung itu mengangguk-angguk. Mereka memang tidak bertanya s esuatu. Mereka memang percaya bahwa Swandaru telah berhasil menemukan orang itu dan memaksanya untuk minta maaf, karena orang-orang Sangkal Putung yakin akan ke mampuan Swandaru. Namun demikian mereka tetap merasa heran tentang apa yang tela h terjadi atas batang pohon-pohon turi yang jumlahnya lebih dari duapuluh batang pohon itu. Dalam pada itu, selagi orang-orang Sangkai Putung itu masih termangu-mangu, maka Swandarupun berkata, Sudahlah. Tinggalkan tempat ini. Tidak ada yang perlu menda pat perhatian berlebih-lebihan. Besok pohon-pohon turi yang layu dan kering itu akan ditebang dan diganti dengan pohon yang baru. Dengan demikian maka orang-orang Sangkai Putung itupun kemudian telah meninggalk an tempat itu. Swandaru dan Pandan Wangi masih berada di tempat itu beberapa saa t lamanya. Baru kemudian merekapun telah meninggalkan tempat itu pula, langsung menuju ke pedukuhan induk. Dirumahnya Swandaru telah menerima dua orang pemimpin pengawal Kademangan yang memberikan laporan tentang penguburan orang-orang yang semalam terbunuh di Kademangan itu. Semuanya berjalan lancar. Tidak ada gangguan apapun juga. berkata salah seorang di antara kedua pemimpin pengawal itu. Syukurlah. berkata Swandaru yang kemudian juga menceriterakan bahwa ia telah berha sil menemui orang yang melakukan permainan ugal-ugalan pada batang pohon turi it u dan memaksanya untuk minta maaf. Sampaikan kepada para pengawal. berkata Swandaru, mereka tidak usah gelisah. Demiki an pula orang-orang lain. Yang melakukan itu sama sekali tidak ada hubungannya d engan keempat orang yang terbunuh itu. Bahkan seandainya ada, maka orang itupun agaknya tidak akan mampu melakukan apapun lagi sekarang sebagaimana yang ampat o rang itu. Para pengawal itu mengangguk-angguk. Sebagaimana orang lain, maka merekapun perc aya sepenuhnya kepada Swandaru yang memang merupakan orang terbaik di Sangkai Pu tung, terutama dalam olah kanuragan serta kemampuannya mengatur pemerintahan. Ba hkan Ki Demang yang mempunyai pengalaman yang jauh lebih banyak dari Swandaru da lam pemerintahan di Sangkai Putung, nampaknya harus lebih banyak menyerahkan pim pinan kepada Swandaru. Karena itu, maka bagi para pengawal, Swandaru merupakan orang yang menjadi punca k pimpinan mereka. Sehingga apa yang dikatakan oleh Swandaru, bagi para pengawal merupakan kepastian dan kebenaran yang mereka percaya sepenuhnya. Demikianlah, maka Swandarupun telah memerintahkan agar kedua pengawal itu segera

menyampaikan kepada para pemimpin yang lain, sebagaimana dikatakannya. Dalam pada itu, Raden Rangga dan Glagah Putih masih tetap berada di padepokan Ki ai Gringsing di Jati Anom. Dalam kesempatan itu Kiai Gringsing telah memberikan pesan-pesan lebih banyak kepada kedua anak muda itu, justru karena telah timbul persoalan dengan Swandaru. Raden harus mampu melihat tugas Raden yang besar dan berat itu berkata Kiai Gring sing, sehingga karena itu, jangan timbul persoalan-persoalan yang dapat menghamb at tugas Raden yang sebenarnya dapat dihindari. Karena jika Raden gagal menjalan kan tugas sebelum Raden mulai dengan tugas itu yang sebenarnya, maka kegagalan R aden itu adalah kegagalan yang sia-sia. Berbeda dengan kegagalan yang terjadi ju stru dalam tugas itu sendiri. Meskipun gagal, namun Raden dan Glagah Putih adala h seorang utusan seorang Raja yang setia. Bahkan seorang pahlawan. Raden Rangga dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada datar Raden Rangga berkata, Aku mengerti Kiai. Aku akan mencoba untuk menghindari persoalan-persoala n yang tidak penting disepanjang jalan. Sebaiknya memang demikian Raden. berkata Kiai Gringsing, apalagi jalan ke Timur itu memerlukan kesiapan jiwani yang tinggi. Banyak padepokan-padepokan dengan para penghuninya yang berilmu tinggi, numun tidak jelas sikap dan pendirian mereka. B ukan saja dalam menilai hidup sehari-hari, tetapi juga tentang sikap mereka terh adap Mataram. Mataram sebagai pusat pemerintahan yang masih baru memang harus me ngatasi persoalan-persoalan yang timbul. Meskipun sebuah padepokan itu merupakan titik-titik kecil bagi pemerintahan Mataram, tetapi jika yang kecil-kecil itu b anyak jumlahnya, maka hal ini tentu harus mendapat perhatian yang cukup besar. Raden Rangga mengangguk-angguk pula. Sambil berpaling kearah Glagah Putih ia ber kata, Glagah Putih akan sering mengekang tingkah lakuku yang kadang-kadang meleda k-ledak. Glagah Putih banyak mengetahui tentang diriku dan bahkan yang tidak aku ketahui sendiri telah diketahuinya. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dengan nada datar ia bertanya, Apa maksud R aden? Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, Glagah Putih nampakn ya berhasil mengenali diriku sedalam-dalamnya sebagaimana sering dikatakannya ke padaku. Kiai Gringsing memandang Glagah Putih sejenak. Namun iapun kemudian berdesis, Syu kurlah jika masih ada yang dapat Raden percaya untuk sedikit mengekang tingkah l aku Raden. Namun Radenpun setiap saat harus selalu ingat, bahwa orang itu memang mampu melakukannya. Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam, sementara itu Kiai Gringsing masih sempa t memberikan beberapa pesan yang lain. Namun dalam pada itu, pembicaraan mereka yang bergeser, tiba-tiba telah .menyinggung peristiwa yang terjadi di Kali Opak pada perjalanan Raden Rangga dan Glagah Putih menuju ke Timur. Kiai berkata Glagah Putih, hal ini sebenarnya ingin kami tanyakan kelak jika kami telah kembali dari tugas kami. Tetapi karena kami sekarang akhirnya singgah jug a di padepokan ini, maka sebelum kami berangkat, kami ingin menyampaikannya kepa da Kiai. Tentang apa? bertanya Kiai Gringsing. Glagah Putihlah yang kemudian menceriterakan apa yang pernah terjadi di Kali Opak, bahwa Glagah Putih justru telah terlibat di dalam peristiwa yang hanya terjadi didalam mimpi Raden Rangga. Kiai Gringsing mendengarkan ceritera Raden Rangga itu dengan seksama. Semakin la ma ia menjadi semakin tertarik pada ceritera itu. Dengan mengangguk-angguk kecil , Kiai Gringsing kemudian berkata setelah Glagah Putih selesai menceriterakan p eristiwa itu. Memang aneh Glagah Putih. Peristiwa itu terjadi didalam mimpi Raden Rangga. Tetap i sebagian dari mimpi itu justru merasa kau alami. Biasanya mimpi itu adalah per soalan pribadi yang tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa yang terjadi atas orang lain pada mimpi itu. Yang pernah terjadi adalah, mimpi yang menjadi isyar at dari peristiwa yang akan terjadi. Itupun merupakan teka-teki yang tidak selal u dapat ditebak. Karena sebenarnyalah tidak semua mimpi dapat dicari maknanya. Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya pula, namun yang terjadi atas kalia n ternyata terlalu asing. Mimpi itu dialami oleh Raden Rangga dalam tidurnya, se hingga tidak terjadi sesuatu diluar diri Raden Rangga. Namun Glagah Putih itu ju

stru merasa mengalami sesuatu sebagaimana peristiwa yang terjadi didalam mimpi R aden Rangga meskipun tidak lengkap. Ya Kiai. sahut Glagah Putih, itulah yang telah terjadi. Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, Tentu tidak seoran gpun yang tahu dengan pasti Glagah Putih. Bahkan Ki Waskitapun akan ragu-ragu me ngurainya. Ki Waskita yang memiliki pengetahuan menangkap isyarat bagi masa depa n dan kemudian mencari arti itupun tidak selalu dapat dilakukan dengan tepat. De mikian juga agaknya tentang peristiwa ini seandainya kalian dapat bertemu dengan Ki Waskita. Namun demikian derap kuda itu menjauh, maka tiba-tiba saja Raden Rangga telah me loncat kehalaman samping. Kedua tangannya terayun kearah gerumbul pohon perdu da lam tatanan hiasan halaman padepokan itu. Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun katanya, Mungkin pada suatu saat, kami ingi n bertemu dengan Ki Waskita. Namun sementara ini barangkali Kiai dapat memberika n setidak-tidaknya pendapat Kiai tentang hal ini. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, Satu pendapat belum tentu mengandung k ebenaran. Karena itu, pendapatkupun belum tentu mengandung kebenaran. Karena itu , pendapatkupun belum tentu mengandung kebenaran itu. Meskipun demikian, barangk ali aku dapat menduga apa yang telah terjadi dengan kalian berdua. Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam, sementara Glagah Putih telah beringsut m endekat. Mereka ingin mendengar pendapat Kiai Gringsing tentang mimpi Raden Rang ga yang aneh, yang justru terasa dialami oleh Glagah Putih sebagai satu peristiw a, meskipun ternyata tidak terjadi apa-apa. Untuk sesaat Kiai Gringsing masih berdiamdiri. Agaknya ia sedang merenungi peris tiwa yang telah dialami Glagah Putih itu. Baru kemudian katanya, Glagah Putih. Ak u tidak ingin mencari arti dari mimpi Raden Rangga itu sendiri. Mungkin Raden Ra ngga sudah menceriterakan persoalan yang berhubungan dengan mimpinya itu. Namun yang ingin aku katakan adalah dugaanku tentang hubunganmu dengan Raden Rangga. J ustru karena kau merasa mengalami peristiwa yang terjadi hanya didalam mimpi Rad en Rangga saja. Glagah Putih dan Raden Rangga menundukkan kepalanya. Sementara itu Kiai Gringsin g berkata selanjutnya, Anak-anak muda. Menurut rabaanku, maka ternyata setelah be rgaul sekian lama, berlatih bersama, meresapi ilmu bersama dan bahkan mengalami pengalaman bersama, maka pribadi kalian telah berbaut. Tanpa kalian sadari, maka kalian seakan-akan telah menyatu. Apa yang terjadi dan dialami oleh yang satu, maka yang lainpun akan ikut merasa mengalaminya meskipun tidak wantah. Bahkan pe ristiwa dalam mimpipun telah terbagi. Getaran pribadi Raden Rangga yang telah me nggetarkan pribadi Glagah Putih telah melukiskan peristiwa didalam mimpi itu. Mu dahnya pribadi Glagah Putih dan Raden Rangga mirip dengan dua lempeng prunggu ya ng sama tebalnya, sama mampatnya, sehingga jika yang satu bergetar maka yang lai npun akan ikut bergetar pula dengan sendirinya, meskipun tidak menimbulkan bunyi yang sama kerasnya, tetapi sama nadanya. Tetapi tidak semua peristiwa kita alami bersama Kiai. Kadang-kadang aku tidak men gerti, apa yang dikehendaki oleh Raden Rangga dan sebaliknya. Bahkan mimpi-mimpi yang lainpun tidak kita alami bersama. berkata Glagah Putih. Sudah tentu Glagah Putih. jawab Kiai Gringsing, dua lempeng prunggu itupun tidak se lalu bergetar jika yang lain digetarkan. Hanya nada-nada yang tajam dan cukup ke ras sajalah yang mampu menggetarkan yang lain. Demikian pula kalian. Hanya yang terpenting sajalah yang dapat kalian alami bersama. Hal itu juga terpengaruh kar ena kalian merambah kedalam perluasan ilmu yang sama meskipun kalian mempunyai l andasan yang berbeda. Pengaruh getar itu akan semakin terasa apabila masing-masi ng melakukan dengan sengaja. Glagah Putih dan Raden Rangga mengangguk-angguk. Mereka tidak dapat mengerti sel uruhnya apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, tetapi mereka mampu mengerti apa yang dimaksudkan. Sehingga dengan demikian serba sedikit merekapun mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Kalau aku boleh berterusterang. berkata Kiai Gringsing, hal ini akan sangat mengunt ungkan Glagah Putih. Sekali lagi aku katakan, bahwa dugaanku tidak harus benar. K iai Gringsing itupun berhenti sejenak. Sementara itu Raden Rangga bertanya, Kenapa menguntungkan Glagah Putih Kiai.

Apa yang bergetar pada pribadi Raden bergetar pula pada pribadi Glagah Putih. Yan g tidak disengaja itupun telah terjadi. Yang disengajapun akan dapat terjadi pul a. Semakin keras sumbernya bergetar maka yang lainpun akan bergetar semakin kera s pula meskipun tidak akan dapat menyamai sumbernya. Apa yang didapat oleh pribadi yang lain jika pribadi itu telah ikut pula bergetar ? bertanya Glagah Putih. Satu pengalaman. jawab Kiai Gringsing, pengalaman adalah suatu yang mahal harganya. Glagah Putih mengangguk-angguk. Demikian pula dengan Raden Rangga. Mereka menger ti, bahwa dengan demikian mereka akan dapat membagi pengalaman jiwani mereka dal am keadaan tertentu. Namun seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, tentu tid ak seluruhnya yang disebut itu tepat sebagaimana terjadi atas kedua pribadi anak -anak muda itu. Bahkan, dengan nada rendah Glagah Putih bertanya, Kiai, apakah dengan demikian be rarti bahwa pribadi yang satu adalah sekedar bayangan dari pribadi yang lain? Tidak. jawab Kiai Gringsing, masing-masing pribadi berdiri sendiri-sendiri. Namun t ernyata bahwa pribadi yang berdiri sendiri-sendiri itu memiliki kemungkinan untu k saling mempengaruhi bila satu diantaranya bergetar. Yang manapun. Apalagi apab ila dengan sengaja mempersiapkan diri untuk menerima pengaruh itu, maka getarnya pun akan menjadi lebih jelas dan lebih keras. Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Raden Rangga berkata, Ak u dapat menangkapnya Kiai, meskipun ada berapa hal yang masih agak kabur. Baiklah Raden. Nanti pada saatnya, Raden dan Glagah Putih akan memahaminya. berkat a Kiai Gringsing selanjutnya, bahkan jika ada yang sisip dari kebenaran, kalian b erdua akan dapat mencari bagaimana seharusnya. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, Kiai, petunjuk Kiai aka n menjadi bekal kami. Kami akan mencari makna dari peristiwa itu berlandaskan ke pada keterangan Kiai. Jika ada yang sisip, kami akan berusaha untuk mencari seba gaimana Kiai katakan. Kami mohon doa restu Kiai agar kami pada saatnya dapat men emukannya. Berdoalah anak-anak muda. Seharusnya kalian mohon petunjuk kepada Yang Maha Agung . Dari Sumber itulah kalian akan dapat melihat dengan hati yang terang dan benin g. berkata Kiai Gringsing. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Kiai Gringsingpun berkata, Dengan petunjuknya pula kalian akan memberikan arti dari kurnia yang telah kalia n terima itu serta yang masih akan dilimpahkan kepada kalian. Ya Kiai. berkata Raden Rangga dengan suara yang dalam, kami memang harus selalu mem andang kepada-Nya. Dan kamipun sadar, bahwa kami tidak akan mampu mengerti semua kehendak-Nya. Nah, anak-anak muda. Yang bakal datang adalah tugas yang akan kalian masuki. Berh ati-hatilah kalian dalam tugas yang berat itu. berkata Kiai Gringsing kemudian. Namun demikian Kiai Gringsing telah minta kedua anak muda itu untuk bermalam lag i di padepokannya. Baru di hari berikutnya, pagi-pagi benar keduanya telah siap meninggalkan padepokan Kiai Gringsing, melanjutkan perjalanan mereka yang masih panjang. Diregol padepokan itu Raden Ranggapun telah berdesis, Kiai. Aku telah memperhatik an semuanya yang ada dipadepokan ini. Semuanya memberikan arti. Baik kegunaannya , hasilnya yang dapat dipetik atau memberikan keasrian. Aku sekali lagi mohon ma af, bahwa aku telah merusakkan taman karena gejolak perasaanku yang tidak terken dali. Dalam waktu singkat, semuanya akan pulih kembali. berkata Kiai Gringsing. Namun aku tidak tahu, apakah aku masih sempat untuk menyaksikan lagi. berkata Rade n Rangga. Ah, jangan berkata begitu Raden. potong Glagah Putih, jika kita kembali nanti dari tugas kita, kita akan singgah dipadepokan ini. Raden Rangga memandang Glah Putih sambil tersenyum. Meskipun ia tidak mengatakan sesuatu, tetapi Glagah Putih merasa bahwa Raden Rangga mengerti kecemasan yang sebenarnya juga ada didalam hati Glagah Putih, karena semua isyarat yang pernah diterima Raden Rangga pernah dikatakannya kepada Glagah Putih. Namun Glagah Putih masih berkata pula, Kita akan melakukan perjalanan sambil berd oa.

Kita memang dapat berusaha Glagah Putih. berkata Raden Rangga, tetapi segalanya ter gantung kepada Yang Maha Agung itu pula. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi terdengar ia bergumam, Memang kehe ndak-Nyalah yang berlaku. Kiai Gringsing mengangguk-angguk kecil. Katanya, Ternyata kalian benar-benar tela h bersiap lahir dan batin. Berangkatlah. Apa yang terjadi memang akan terjadi. H adapi semuanya dengan wajah tengadah, karena kalian memang sedang mengemban tuga s. Raden Rangga memandang Kiai Gringsing dengan tatapan mata yang tajam, seolah-ola h ingin melihat isi jantungnya. Sementara itu Kiai Gringsing berkata kepadanya, S elamat jalan anak-anak muda. Kedua anak muda itu mengangguk hormat. Merekapun kemudian meninggalkan padepokan itu dengan darah yang terasa menjadi semakin hangat. Beberapa saat kemudian, ke tika mereka melintasi sawah yang digarap oleh para cantrik padepokan, mereka sem pat minta diri pula kepada beberapa orang cantrik yang sedang bekarja di sawah. Ternyata bahwa para cantrik itu telah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan mer eka. Namun kerja itu nampak pada hasil yang mereka peroleh. Sawah mereka nampak subur dan tanamannyapun tumbuh dengan segarnya. Bahkan di pategalan pohon buah-b uahan memberikan buahnya yang lebat. Sementara tanaman palawijapun member hasil yang bahkan terlalu banyak. Demikianlah, maka akhirnya anak-anak muda itupun telah keluar dari Jati Anom. Ta npa singgah dirumah Untara dan di Banyu Asri lagi, anak-anak itu telah menuju ke Timur mengemban tugas dari Panembahan Senapati. Tugas yang akan membutuhkan wak tu yang cukup lama. Tetapi Raden Rangga memang tidak tergesa-gesa. Sambil berjalandibulak panjang, R aden Rangga itu berkata, Kita mempunyai banyak kesempatan selama perjalanan. Kesempatan apa Raden? bertanya Glagah Putih. Bertukar pengalaman. sahut Raden Rangga, benar atau tidak benar yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, maka aku memang merasa bahwa apa yang aku miliki akan dapat men jadi satu pengalaman bagimu. Aku pada saatnya tidak akan memerlukannya lagi. Raden. potong Glagah Putih, Raden masih akan memerlukannya. Raden Rangga mengerutkan keningnya. Katanya, Ya. Aku masih akan memerlukannya. Te tapi jika yang aku miliki itu aku tuangkan kepadamu, maka hasilnya tidak seperti cairan didalam mangkuk yang akan menjadi kering. Berapapun banyaknya aku tuangk an, namun mangkuk itu sendiri tidak akan dapat menjadi kering. Glagah Putih mengangguk, sementara Raden Rangga berkata, Mungkin itulah maksud Ki ai Gringsing, bahwa pengalaman kita dapat berbagi. Sumber bunyi itu tidak akan b erkurang nyaringnya, jika ada lempeng perunggu yang lain yang ikut tergetar kare nanya. Aku mengerti maksudnya. berkata Glagah Putih. Raden Rangga mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak langsung menanggapinya. Demikianlah mereka berjalan menyusuri jalan-jalan persawahan. Sekali-sekali Rade n Rangga mempermainkan tongkatnya. Namun kemudian menyelipkannya dipunggungnya, apabila ia ingin berjalan sambil melenggang. Beberapa padukuhan telah mereka lewati, Sementara itu tidak ada hambatanapapun y ang mereka jumpai. Namun demikian Raden Rangga itupun berkata, Glagah Putih. Sepe rti dikatakan Kiai Gringsing kita akan melalui jalur jalan yang mungkin sangat b erbahaya. Banyak padepokan yang tidak mengakui kuasa Mataram dan bahkan jalur in i agaknya merupakan jalur jalan kembali dari orang-orang yang telah gagal untuk menyingkirkan Panembahan Senapati dan mengacaukan Mataram dari pusat pemerintaha nnya. Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, Dengan demikian kit a memang harus sangat berhati-hati. Kita akan berusaha sejauh mungkin menghindar i persoalan-persoalan dengan mereka, agar perjalanan kita tidak justru terlalu l ama terhambat. Apalagi jika kita justru mengalami kegagalan sebelum kita melakuk an tugas pokok kita. Raden Rangga mengangguk-angguk, sementara Glagah Putih berkata, Seperti orang-ora ng yang menginginkan kudaku pemberian Raden itu. Ternyata mereka telah terjerat kedalam persoalan yang justru bukan tugas mereka dan bahkan merugikan tugas itu sendiri.

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya jalan yang terbentang diha dapannya. Jalan yang panjang sekali. Namun tiba-tiba saja ia berkata, Glagah Puti h. Kita memang tidak akan mencari persoalan. Tetapi jika persoalan itu datang da n mendesak kita pada suatu keadaan yang tidak mungkin dihindari, maka kita tidak mempunyai pilihan lain. Selain itu, tiba-tiba saja timbul satu keinginan padaku untuk menempuh laku disaat-saat terakhir ini dengan Tapa Ngrame. Apa maksud Raden? bertanya Glagah Putih. Kesempatanku tinggal sedikit Glagah Putih. Untuk memberikan warna terakhir dari k ehadiranku yang tidak panjang ini, maka aku akan menempuh laku seperti yang aku katakan. Tapa Ngrame adalah salah satu jenis dari beberapa macam laku bertapayan g paling baik bagiku. Jika kita bertapa ditempat terasing, maka yang terjadi itu adalah persoalan kita yang sangat pribadi. Kita sendiri, tanpa melibatkan orang lain. Tetapi Tapa Ngrame, lain. Tapa Ngrame adalah satu laku untuk menyatakan c inta kita kepada sesama. Dalam laku itu, maka seseorang harus bersedia memberika n pertolongan apapun juga kepada orang lain yang memerlukannya. Dengan demikian laku yang kita tempuh tidak mengasingkan kita dari kehidupan. Tetapi justru memb erikan bentuk pada hubungan kita dengan sesama. Karena sebenarnyalah ilmu yang k ita miliki harus kita amalkan. Jika kita memilikinya tetapi hanya kita simpan sa ja didalam diri kita, maka ilmu itu tidak banyak berarti bagi sesama. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, Aku tidak menolak Raden. Tetapi kita harus tetap dalam garis besar dari perjalanan kita. Yaitu me ngemban tugas Panembahan Senapati. Raden Rangga seakan-akan tidak mendengar jawaban Glagah Putih. Bahkan ia berkata selanjutnya, Jika kita tidak berbuat sesuatu, maka semisal sebatang pohon, maka kita adalah sebatang pohon yang tumbuh subur. Tetapi yang ada hanyalah daunnya s aja yang rimbun. Tetapi pohon yang rimbun itu tidak berbuah sama sekali. Glagah Putih tidak menjawab. Ia dapat mengerti maksud Raden Rangga yang merasa d irinya sudah mendekati batas akhir dari hidupnya. Isyarat yang setiap kali datan g itu seakan-akan meyakinkan anak yang masih sangat muda itu, bahwa umurnya mema ng tidak akan panjang lagi. Dengan demikian maka untuk beberapa saat lamanya keduanya saling berdiam diri. M ereka berjalan menyusuri jalan-jalan yang menghubungkan antara padukuhan dengan padukuhan. Namun kadang-kadang merekapun telah melintas dipinggir hutan yang tid ak terlalu lebat. Namun jalan itu bukannya jalan yang sepi. Beberapa orang melintas di jalan itu p ula, karena hutan itu tidak lagi banyak dihuni oleh binatang buas. Hanya dibagia n yang paling dalam dari hutan itu, masih merupakan hutan lebat yang pepat oleh tumbuh-tumbuhan liar dan binatang-binatang buas yang garang. Meskipun lambat, keduanya, melangkah terus kearah Timur. Disepanjang jalan merek a melihat kesibukan para petani disawah. Mereka melihat orang-orang yang bekerja keras dibawah sinar matahari yang semakin panas. Keringat mulai membasahi selur uh tubuh mereka, sehingga mereka yang sibuk mencangkul disawah, punggungnya menj adi berkilau seperti cermin. Raden Rangga yang tiba-tiba saja mengangguk-angguk berkata, Mereka telah memeras keringat. Namun meskipun aku berniat untuk membantu orang-orang yang memerlukan bantuanku, namun aku tidak akan mampu membantu mereka, karena yang mereka lakuka n adalah kerja sehari-hari yang seakan-akan tanpa batas, dan dilakukan hampir se tiap orang di padukuhan itu. Glagah Putih mengangguk-angguk. Jika Raden Rangga berniat membantunya, maka ia t idak akan pernah sempat meninggalkan padukuhan itu dan melakukan tugas yang dibe bankan kepada mereka berdua, karena pekerjaan itu akan berlanjut dan tidak akan terputus. Yang satu disambung dengan yang lain. Dari kotak sawah yang satu kekot ak sawah yang lain pula. Demikianlah mereka keduanya berjalan terus. Namun kemudian Raden Rangga itu berk ata, Glagah Putih. Meskipun kita sudah bersepakat untuk tidak mengabaikan tugas k ita, maka aku berniat untuk mengisi waktu diperjalanan kita dengan memanfaatkan kemungkinan seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing. Maksud Raden? bertanya Glagah Putih. Kita mempunyai banyak kesempatan Glagah Putih. Selama perjalanan, kita jangan ten ggelam dalam tugas ini tanpa berbuat sesuatu bagi diri kita sendiri. berkata Rade

n Rangga, kita dapat membagi pengalaman. Seperti yang aku katakan, aku akan menua ngkan ilmu yang ada padaku. Cobalah menangkap pengalaman itu, dan kaupun akan me milikinya dan mudah-mudahan bermanfaat bagimu. Glagah Putih mengangguk kecil. Katanya, Asal semuanya itu tidak akan mengganggu p erjalanan kita, maka aku tidak berkeberatan Raden, meskipun yang Raden katakan i tu akan banyak memberikan keuntungan kepadaku. Tentu tidak. Hanya pada waktu beristirahat atau dimalam hari. Sementara itu, sepe rti juga aku katakan, yang aku tuangkan itu tidak akan dapat mengering karena su mbernya memang ada didalam diriku. Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia mengerti sepenuhnya maksud Raden Rangga. Bukan hanya untuk menuangkan ilmunya kepadanya, tetapi sebenarnyalah bahwa dibal ik niatnya itu tersembunyi sikap pasrahnya, bahwa ia memang akan segera pergi. N amun ia tidak ingin membawa semua miliknya itu sehingga ia ingin mewariskan kepa danya. Tetapi Glagah Putih tidak akan mengecewakannya. Ia akan menerima apapun yang aka n diberikannya, meskipun Glagah Putih berharap bahwa isyarat yang selama ini dit erima oleh Raden Rangga itu mempunyai makna lain daripada kepergiannya itu. Sebenarnyalah apa yang dikatakan oleh Raden Rangga itu. Jika malam turun dan ked uanya telah menemukan tempat untuk beristirahat yang pada umumnya ditempat yang terpencil, maka Raden Rangga telah mengajak Glagah Putih untuk berlatih. Mereka telah bertempur seakan-akan bersungguh-sungguh Bahkan sekali-sekali Glagah Putih benar-benar kesakitan oleh sentuhan tangan Raden Rangga yang serasa membakar ku litnya. Namun Glagah Putihpun telah memiliki daya tahan yang sangat besar, sehin gga kemampuannya itu telah mengatasi perasaan sakit ditubuhnya. Dengan latihan-l atihan itu Glagah Putih telah meningkatkan kemampuan tata geraknya. Meningkatkan kecepatannya bergerak serta pengetrapan tenaga cadangannya yang tinggi. Dengan demikian maka Glagah Putih telah sampai kepada tingkat kekuatan yang jara ng ada bandingnya. Tenaga cadangannya menjadi bagaikan berlipat, serta dukungan kekuatan. Wadagnyapun benar-benar mengagumkan. Namun jika dimalam hari Glagah Pu tih telah melakukan latihan yang sangat berat, maka kadang-kadang dipagi harinya , ia agak terlambat siap, sehingga perjalanan merekapun mulai mereka lakukan ket ika matahari sudah naik. Tetapi Raden Rangga tidak berkeberatan. Bahkan kadang-kadang ia tertawa melihat Glagah Putih berjalan dengan kaki yang agak terasa sangat berat sebelah karena l atihan yang sangat berat dimalam harinya. Namun latihan-latihan itu bukannya sia-sia. Kemampuan Glagah Putih memang mening kat semakin tinggi. Kemampuannya menguasai dan mempergunakan tenaga cadangannya benar-benar telah mapan, sehingga Glagah Putihpun telah memiliki kekuatan yang s angat besar meskipun belum sebesar Raden Rangga. Tetapi apa yang dapat dilakukan oleh Glagah Putih sulit untuk dapat dilakukan orang lain. Bukan saja yang seumu r sebayanya. Hanya orang-orang tertentu sajalah yang akan dapat mengimbanginya m empergunakan tenaga cadangan sebagaimana dapat dilakukan. Ketika tenaga cadangan Glagah Putih telah menjadi semakin mapan, Raden Rangga te lah mempergunakan cara yang untuk menyalurkan kemampuannya. Dengart jujur Raden Rangga melakukannya, karena anak muda itu mempunyai kepercayaan yang utuh kepada Glagah Putih yang selama mereka berhubungan, telah banyak dikenalnya sifat dan sikap lahir batinnya. Dimalam hari, ditempat yang tersembunyi, Raden Rangga dan Glagah Putih telah dud uk berhadapan. Keduanya melekatkan telapak tangan masing-masing yang satu dengan yang lain. Dengan kemampuan yang ada didalam diri mereka, maka mereka telah ber usaha untuk menyalurkan pengalaman Raden Rangga dalam penjelajahan ilmu kepada G lagah Putih. Getaran dalam diri Raden Rangga memang seolah-olah menjalar kedalam diri Glagah Putih, yang menurut pengertian Kiai Gringsing, getaran dalam diri Raden Rangga t elah menyebabkan getaran pula didalam diri Glagah Putih dengan nada yang sama. J ika Glagah Putih mampu menyadap getaran itu sebagai satu pengalaman didalam diri nya, maka ia akan mampu memanfaatkannya. Demikianlah, maka usaha yang hanya dapat dilakukan dengan sangat lamban itu sedi kit demi sedikit berarti juga kepada Glagah Putih. Beberapa kali hal itu diulang i, sehingga keduanya menjadi sangat letih.

Sementara itu, Glagah Putihpun telah mampu memilahkan kemampuannya yang mendasar didalam dirinya serta kemampuan yang disadapnya dari Raden Rangga dengan cara b erbeda sebagaimana dilakukannya dibawah bimbingan kedua orang gurunya. Namun dalam pada itu Raden Ranggapun berkata Glagah Putih. Yang kau dapatkan dar i padaku memang berbeda dengan yang kau dapatkan dari kedua gurumu. Yang mampu m enyusup dan menggetarkan pengalamanmu tidak lebih dari bahan mentah yang masih h arus kau olah dan kau matangkan didalam dirimu. Sementara yang kau terima dari k edua gurumu adalah ilmu yang sudah masak yang meskipun masih perlu kau kembangka n didalam dirimu, namun kau sudah siap mempergunakannya pada tahap-tahap tertent u. Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia sadar, bahwa ia harus berhati-hati meng etrapkan ilmu yang diterimanya dari Raden Rangga, sebagaimana perftah diperingatkan oleh kedua gurunya. Ia tidak boleh dengan serta merta mempergunaka nnya. Sehingga karena itu, maka Glagah Putih memerlukan waktu-waktu tertentu untuk mencoba dan menguji apakah il mu yang diterimanya itu dapat luluh dengan ilmu yang sudah ada didalam dirinya. Ternyata Glagah Putih memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. Ia mampu mengetra pkan cara yang pernah dipergunakan oleh kedua gurunya untuk menilai ilmu yang pe rnah diterimanya dari Raden Rangga pada waktu itu dalam hubungan dengan ilmu yan g telah ada didalam dirinya. Juga cara kedua gurunya itu saling menyesuaikan ilm u yang mereka berikan kepada Glagah Putih. Dengan demikian maka disepanjang jalan, ilmu Glagah Putihpun menjadi semakin men ingkat, meskipun tidak melonjak. Namun betapapun tipisnya lembaran-lembaran yang disusun, akhirnya nampak juga tingkat-tingkat yang dicapai oleh Glagah Putih se lama dalam perjalanan yang ditempuhnya. Ketika keduanya berada ditebing sebuah sungai yang curam, maka dengan sengaja ke duanya menelusurinya sampai ketempat yang tersembunyi. Ketika malam turun, maka Glagah Putih telah mencoba mempergunakan ilmunya yang dapat dipancarkannya denga n menghentakkan keduabelah tangannya sambil membuka telapak tangannya kearah sas aran. Ternyata hasilnya mengagumkan. Meskipun tidak terlalu jauh melonjak, namun kekua tan yang terpancar dari dirinya itu benar-benar telah menunjukkan bahwa Glagah P utih adalah seorang anak luar biasa. Raden Rangga yang menyaksikan hasil dari jerih payahmereka berdua itupun terseny um. Kemajuan yang dicapai oleh Glagah Putih memberinya kepuasan. Dengan demikian maka kawannya memasuki daerah yang gawat adalah seorang yang berilmu tinggi. Namun kepuasan yang lain dari Raden Rangga adalah bahwa ilmunya tidak akan terba wa tanpa bekas jika saat itu benar-benar akan tiba. Seseorang akan tetap mengena ngnya, karena didalam diri orang itu tersimpan ilmu yang disadap daripadanya. Or ang itu adalah Glagah Putih. Demikianlah, dalam perjalanan berikutnya, kemampuan dan ilmu Glagah Putihpun men jadi semakin bertambah tambah. Sementara itu Raden Rangga benar-benar telah mela kukan apa yang dikatakannya. Ia telah berusaha menolong orang-orang yang memerlu kan pertolongan. Bukan saja karena persoalan-persoalan yang besar, tetapi juga d alam persoalan-persoalan yang kecil. Raden Rangga telah berlari-lari mengejar seekor lembu yang terlepas ketika seora ng petani yang sudah agak tua menuntunnya untuk dipekerjakan disawah. Orang tua itu dengan nafas terengah-engah berusaha untuk menangkap lembunya. Tetapi lembu itu justru semakin lama menjadi semakin jauh. Dengan kemampuannya yang melampaui orang kebanyakan Raden Rangga berhasil menang kap lembu itu dan menyerahkannya kepada petani tua itu. Terima kasih anak muda berkata petani tua itu. Raden Rangga tertawa sambil menyahut Hati-hatilah kakek. Lembu jantan ini mampu berlari lebih cepat dari kemampuan berlari kakek, sehingga tanpa bantuan orang l ain kakek akan mengalami kesulitan. Ya, ya ngger. Terima kasih jawab kakek itu yang kemudian mempersilahkan Raden Ra ngga singgah. Terima kasih kakek. Kami akan meneruskan perjalanan kami yang masih panjang. jaw

ab Raden Rangga. Orang tua itu memandang kedua anak muda itu dengan kagum. Namun keduanya tidak b ersedia untuk singgah. Demikianlah, maka yang dilakukan oleh Raden Rangga bahkan kadang-kadang terasa aneh. Dengan tangkas ia membawa kelenting naik tebin g yang agak curam ketika ia melihat seorang perempuan tua memanjat tebing itu sa mbil membawa kelenting dilambungnya. Namun Raden Rangga ternyata sempat juga men olong seorang anak muda yang justru sebaya dengan dirinya dari kegarangan seekor harimau yang disangkanya sesat dan keluar dari hutan. Ketika Raden Rangga berjalan bersama Glagah Putih menjelang senja, tiba-tiba saj a ia mendengar seseorang berteriak minta tolong. Tanpa menunggu lagi maka keduan ya telah meloncat kearah suara itu. Ternyata seorang anak muda berdiri dengan tubuh gemetar, sementara seekor harimau berjalan selangkah demi selangkah mendekatiny a. Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Katanya kepada Glagah Putih Kau tenangka n anak itu. Aku akan menyelesaikan harimau itu. Glagah Putihpun kemudian melangk ah mendekati anak muda yang ketakutan itu, sementara Raden Rangga selangkah demi selangkah mendekati harimau yang agaknya merasa heran melihat kedatangan dua or ang lagi mendekatinya. Jangan takut berkata Glagah Putih harimau itu akan segera diselesaikan. Anak muda itu masih gemetar. Tetapi bagaimana mungkin anak muda sebayanya itu ak an dapat menyelesaikan seekor harimau yang garang. Meskipun demikian kehadiran k edua orang itu membuat anak muda itu menjadi sedikit tenang. Apalagi melihat sik ap Glagah Putih dan Raden Rangga yang nampaknya menganggap harimau itu tidak leb ih dari seekor kambing. Kenapa kau berada disini? bertanya Glagah Putih kepada anak muda itu. Ketakutan yang sangat yang mencengkam jantungnya, membuat anak muda itu tidak se gera dapat menjawab pertanyaan Glagah Putih. Namun Glagah Putih tidak, memaksanya berbicara. Dengan lembut ia berkata Marilah, duduklah disini. Anak muda itu tidak mengerti, apa yang harus dilakukannya. Sementara seekor hari mau dengan garang mengancam seseorang, apakah mereka akan dapat duduk dengan tenang. Bahkan kadang kadang terbersit niatnya untuk melarikan diri. Namu n masih juga timbul keragu-raguannya. Jika orang lain yang sebaya dengan dirinya datang untuk menolongnya, apakah ia akan melarikan diri begitu saja? Kecemasan nampak membayang diwajahnya ketika ia melihat harimau itu mulai mengal ihkan perhatiannya kepada Raden Rangga. Bahkan kemudian harimau itu telah mengikutinya ketika Raden Rangga bergeser kepadang perdu. Jangan cemaskan anak itu berkata Glagah Putih ia akan menyelesaikan harimau itu atau mengusirnya masuk kedalam hutan. Anak muda itu masih belum berkata sepatah katapun. Mulutnya masih saja bagaikan tersumbat oleh ketakutan yang mencengkam jantungnya. Namun melihat sikap Glagah Putih yang seakan-akan tidak menghiraukan sekali kawannya yang berhadapan dengan harimau yang mulai menggeram itu, maka anak muda itupun menjadi semakin tenang pula. Ia akan berbuat sebaik-baiknya untuk melindungi dirinya sendiri berkata Glagah P utih. Namun kemudian ia bertanya pula kenapa kau berada disini! Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ingin menghirup udara seban yak-banyaknya untuk mengendapkan kegelisahannya. Namun ia masih belum menjawab. Sementara itu,RadenRangga masih berhadapan dengan harimau yang mulai menggeram. Namun ia sama sekali tidak nampak gelisah apalagi gentar. Anak muda yang ketakut an itu ketika melihat harimau itu mulai merunduk tiba-tiba saja berdesah. Wajahnya nampak semakin tegang. Matanya bagaikan tak berkedip dan kemudian denga n gagap ia berkata Harimau itu. Tetapi Glagah Putih masih tetap tenang. Ditepuknya bahu anak muda itu sambil ber kata Jangan gelisah. Tenang sajalah. Harimau itu akan menjadi jinak seperti seek or kucing. Bagaimana mungkin desis anak muda itu. Sementara itu ia melihat harimau itu sama sekali tidak menjadi jinak. Dalam keremangan senja ia melihat harimau itu

merunduk sambil mengaum. Tetapi Glagah Putih justru berkata Kita menonton satu permainan yang menarik. An ak muda itu tidak tahu apa yang sebenarnya dilihat dan didengar dari mulut Glaga h Putih. Satu penglihatan yang mengerikan namun didengarnya nada yang tenang dan sama sekali tidak mengandung kegelisahan, sehingga dengan demikian, apa yang di tangkap oleh matanya berlawanan dengan apa yang didengarnya oleh telinganya. Namun dalam pada itu, Raden Rangga telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Dengan serta merta ia telah menarik tongkat yang terselip dipunggungnya. Demikia n harimau itu meloncat menerkamnya, maka Raden Rangga telah melenting menghindar . Kemudian diayunkannya tongkatnya dan dipukulnya harimau itu pada punggungnya. Terdengar harimau itu mengaum keras sekali. Kemudian meloncat dan jatuh bergulin g-guling. Seolah-olah harimau itu menjadi kesakitan yang parah, Sejenak kemudian harimau itu berhasil bangkit. Namun nampaknya menjadi ragu-ragu. Perlahan-lahan harimau itu berjalan mengintari Raden Rangga. Tetapi harimau itu tidak lagi nam pak terlalu garang. Nah, kau lihat berkata Glagah Putih harimau itu mulai menjadi jinak. Sementara it u Raden Ranggalah yang melangkah mendekat. Tongkatnya terjulur lurus kedepan. Se mentara itu harimau itupun kemudian berhenti sambil menggeram. Tibatiba saja har imau itu meloncat pendek menerkam Raden Rangga yang semakin dekat. Sekali lagi R aden Rangga meloncat. Dan sekali lagi Raden Rangga mengayunkan tongkatnya mengen ai tengkuk harimau itu. Anak muda yang berada disisi Glagah Putih terkejut. Harimau itu melonjak sambil meraung kesakitan. Kemudian jatuh berguling-guling. Baru sesaat kemudian harimau itupun berhasil bangkit meskipun terhuyung-huyung, namun dengan ketakutan harim au itu berlari masuk ke-dalam hutan. Anak itu terkenal sebagai seorang pembunuh harimau desis Glagah Putih tetapi aku yakin, bahwa ia tidak lagi ingin membunuh. Anak muda yang ketakutan itu masih gemetar. Tetapi ia melihat anak muda yang mem bawa tongkat itu kemudian melangkah mendekatinya. Nah, kau percaya bahwa harimau itu akan menjadi jinak seperti kucing? bertanya Gl agah Putih. Anak muda itu tidak menjawab. Sementara itu Raden Ranggapun melangkah semakin de kat. Sambil tersenyum ia berkata kepada Glagah Putih Aku berhasil menahan diri untuk tidak membunuhnya. Aku sudah mengira berkata Glagah Putih Raden sudah mampu berbuat demikian. Raden Rangga tertawa. Namun kemudian iapun bertanya kepada anak muda itu Kenapa k au berada disini menjelang senja. Anak itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya Bukan niatku sendiri. Lalu siapa yang membawamu kemari? bertanya Raden Rangga. Aku kemari bersama paman untuk mencari daun turi ungu jawab anak itu. Untuk apa? bertanya Glagah Putih. Untuk obat. Ayahku sedang sakit keras jawab anak muda itu. Siapa ayahmu? bertanya Raden Rangga. Demang Sempulur. Kelompok padukuhan disebelah Timur dari hutan ini. berkata anak muda itu. Lalu dimana pamanmu sekarang? Raden Rangga menjadi cemas ternyata hutan ini masi h dihuni binatang buas. Paman pergi bersama dua orang pengawal Kademangan. jawab anak muda itu. Kenapa kau tinggal sendiri disini? bertanya Glagah Putih kemudian. Paman minta aku tinggal disini. Sangat berbahaya untuk memasuki hutan itu jawab anak muda itu. Tetapi ternyata disinipun cukup berbahaya. Hampir saja kau diterkam harimau itu berkata Glagah Putih Ya. Dan akupun mencemaskan nasib paman dan kedua pengawal itu. Aku sudah terlalu lama menunggu disini. Sejak matahari mulai turun sehingga menjelang senja. Bahk an kini langit menjadi semakin suram berkata anak muda itu. Apakah kita akan mencarinya? bertanya Raden Rangga. Kemana? bertanya anak itu. Kedalam hutan jawab Raden Rangga. Anak muda itu termangu-mangu. Ia sudah melihat bagaimana anak muda itu berhasil

mengusir seekor harimau. Iapun menduga bahwa yang seorang lagi akan mampu pula berbuat demikian. Tetapi ia kemudian menjawab Aku takut. Hari sudah menjadi mala m. Tidak apa-apa. Sebentar saja. Jika kita tidak menemukannya maka kita akan segera kembali. berkata Raden Rangga. Wajah anak muda itu menjadi pucat. Namun sambil mengayunkan tongkatnya Raden Ran gga berkata Tongkatku adalah tongkat penjinak binatang buas dan sekaligus binata ng apa saja, termasuk binatang melata. Anak muda itu masih saja ragu-ragu. Harimau baginya adalah seekor binatang yang menakutkan. Nyawanya memang sudah berada di ujung rambut. Namun anak-anak muda y ang sebayanya itu nampaknya menganggap harimau dan binatang-binatang buas itu se bagai mainan saja. Mereka sama sekali tidak menjadi takut dan bahkan ketika mala m sudah turun, anak-anak muda itu masih akan memasuki hutan tanpa rasa takut. Sebelum anak itu menjawab, Glagah Putih berkata Aku akan pergi bersamanya. Jika kau ingin berada disini, silahkan. Tidak. Jangan tinggalkan aku minta anak muda itu. Lalu bagaimana? bertanya Glagah Putih. Aku ikut bersama kalian berkata anak muda itu. Demikianlah, maka mereka bertigapun kemudian memasuki hutan yang sebenarnya tida k terlalu lebat. Namun meskipun demikian mereka harus menyibak gerumbul-gerumbul liar dan bahkan kadang-kadang berduri. Anak muda yang ketakutan itu tidak mau m elepaskan pegangannya pada lengan Glagah Putih. Bahkan semakin lama terasa tanga nnya itu menjadi semakin gemetar. Aku takut desisnya. Glagah Putih tidak menyahut. Namun kemudian langkahnya justru tertegun ketika Ra den Rangga memberinya isyarat untuk berhenti. Keduanya kemudian sempat mengamati gerumbul-gerumbul perdu di sekitarnya. Meskipun malam gelap, namun ketajaman penglihatan kedua anak muda itu sempat melihat sesuatu yang kurang waj ar. Mereka menemukan ranting gerumbul-gerumbul perdu itu berpatahan. Seakan-akan baru saja ditembus oleh beberapa orang yang berjalan berjajar. Memang agak aneh berkata Raden Rangga. Beberapa orang telah lewat melalui tempat ini berkata Glagah Putih. Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia bertanya kepada anak muda yan g hampir saja diterkam harimau itu Dengan siapa pamanmu memasuki hutan ini? Bertiga dengan pengawal Kademangan berkata anak muda itu. Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun menilik bekas yang mereka ketemukan, tentu tidak hanya tiga orang saja yang telah lewat tempat itu. Karena itu, maka Raden Rangga berkata Apakah pamanmu mempunyai musuh atau orangorang yang mendendamnya? Sepengetahuanku tidak jawab anak muda itu. Namun bekas yang nampak tentu bukan b ekas perkelahian antara ketiga orang itu melawan seekor harimau. Karena itu, mak a merekapun telah tertarik untuk memasuki hutan itu lebih dalam. Namun ternyata anak muda itu menjadi semakin ketakutan. Kita kembali saja ajaknya didalam hutan gelap sekali. Aku tidak melihat sesuatu. Raden Rangga dan Glagah Putih akhirnya menjadi kasihan juga terhadap anak muda i tu. Dengan penglihatan wajarnya, maka hutan itu tentu terasa sangat gelap. Apala gi untuk melihat bekas beberapa orang yang lewat pada ranting-ranting perdu yang patah. Sedangkan untuk melihat Glagah Putih yang dipeganginya saja rasa-rasanya anak muda itu tidak mampu lagi. Demikianlah maka mereka bertigapun kemudian telah keluar lagi dari hutan yang di anggap terlalu pepat oleh anak muda itu. Demikian mereka menguak gerumbul terakh ir dan keluar dari hutan itu, maka rasa-rasanya anak muda itu mampu bernafas lag i. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka nampak bintang berhamburan dilangit ya ng tanpa batas. Namun dalam pada itu, maka mereka bertiga terkejut ketika mereka mendengar suarabeberapaorang yang datang ketempat itu. Dengan serta merta Glaga h Putih telah menarik anak muda itu surut dan kembali memasuki gerumbul perdu di pinggir hutan itu. Sst desis Glagah Putih diamlah. Aku mendengar suara beberapa orang datang. Sebenarnyalah suara orang-orang itupun menjadi semakin jelas. Beberapa orang mun

cul dari kegelapan malam mendekati hutan itu. Seorang diantara merekapun kemudia n memandang berkeliling sambil berkata Anak itu tentu sudah diterkam harimau. Ki ta berhasil menggiring harimau itu sehingga harimau itu menemukan anak itu. Tidak seorangpun yang menjawab. Sementara orang itu berkata Baiklah. Kita akan pulang . Kita akan melaporkan bahwa kita tidak menemukan anak itu lagi. Ingat, yang per gi bersamaku hanya dua diantara kalian semua. Besok kita akan mencari anak itu m asuk kedalam hutan. Mudah-mudahan kita menemukan bangkainya dikoyak-koyak harima u liar itu, sehingga tidak menimbulkan kesan yang lain kecuali kecelakaan. Wajah Raden Rangga dan Glagah Putih menjadi tegang. Sementara Glagah Putih berbi sik Siapakah orang-orang itu. Paman desis anak itu. Tetapi suaranya agak terlalu keras diucapkan, sehingga ter nyata yang disebutnya paman itu mendengarnya. Aku mendengar suara seseorang berkata orang itu. Glagah Putih dan Raden Rangga saling berpandangan Terdengar Raden Rangga berdesi s Tajam juga telinga orang itu. Glagah Putih tidak menjawab. Namun orang yang dating itulah yang berteriak He, s iapa kalian? Harimau jawab Raden Rangga. Jawaban itu membuat jantung orang itu berdebar semak in cepat. Dengan serta merta ia melangkah mendekat sambil berteriak Keluar kalian dari per sembunyian itu. Raden Rangga dan Glagah Putih tidak menunggu lebih lama. Merekapun kemudian meng ajak anak muda itu untuk keluar dari persembunyian mereka. Orang-orang itu menja di tegang. Lebih-lebih orang yang disebut paman oleh anak muda itu. Anak Demang Sempulur. Kau desis pamannya. Anak muda itu menggeretakkan giginya. Dengan suara bergetar ia berkata Jadi seng aja paman meninggalkan aku untuk dimakan harimau? Bahkan pamanlah yang telah men ggiring harimau itu kemari? Pamannya.termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya Baiklah aku berterus te rang. Kau tentu sudah mendengar pembicaraanku dengan orang-orangku. orang itu be rhenti sejenak, lalu aku memang sudah menyiapkan perangkap bagimu. Aku sudah men yiapkan seekor harimau yang akan menerkammu. Tetapi ternyata kau selamat, sehing ga kau masih tetap hidup. Tetapi kami akan menyelesaikan kalian semuanya disini. Tiga orang sekaligus. Tetapi kenapa kau akan membinasakan kemanakanmu sendiri? bertanya Raden Rangga. Siapa kau? bertanya orang itu. Kami berdua adalah kawan-kawan kemanakanmu. Kebetulan kami menemukan kemanakanmu itu sendiri disini menunggumu yang sedang mencari obat buat ayahnya, Ki Demang Sempulur, jawab Raden Rangga. Persetan geram orang itu kenapa harimau itu tidak menerkam kalian bertiga. Kau belum menjawab pertanyaanku berkata Raden Rangga. Orang itu menggeram. Namun kemudian katanya Baiklah. Aku akan berterus terang, a gar kalian tidak mati dengan kecewa. ia berhenti sejenak, lalu sebagaimana kau k etahui, aku adalah saudara muda ayahmu. Sekarang ayahmu sakit keras. Tidak ada o bat yang dapat menyembuhkannya lagi. Jika ayahmu mati, maka kau adalah satu-satu nya ahli warisnya. Tetapi jika kau tidak ada, maka akulah waris satusatunya ayah mu itu, karena aku adalah satu-satunya saudaranya. Gila teriak anak muda itu jadi paman ingin membunuh aku karena warisan itu? Ya. Jangan mengeluh atas nasibmu yang buruk. Kau akan mati dan kedua orang kawan mu itupun akan mati, agar mereka tidak dapat membuka rahasia ini kepada siapa-pu n juga. berkata orang itu. Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba ia mulai merengek Jangan b unuh aku paman. Ambil apa saja yang paman kehendaki. Aku bukan orang dungu. Jika kau bertiga belum mati, maka setiap saat rahasiaku d apat terbongkar berkata orang itu. Sekali lagi Raden Rangga meloncat. Dan sekali lagi Raden Rangga mengayunkan tong katnya mengenai tengkuk harimau itu. Anak muda yang ada disisi Glagah Putih terk ejut. Harimau melonjak sambil meraung kesakitan. Anak muda itu menjadi semakin k

etakutan. Ia merasa terlepas dari mulut harimau, namun kini ia akan berhadapan d engan pamannya dan para pengikutnya yang siap untuk membunuhnya. Namun dalam pada itu, Raden Rangga telah menyela Bagaimana kalau Ki Demang itu ke mudian sembuh dan kembali memegang pimpinan? Kakang Demang tidak akan dapat sembuh. Ia akan mati sebagaimana kalian bertiga. Bedanya, kakang Demang akan mati dipembaringan, sedangkan kalian akan mati disin i, dipinggir hutan. Tetapi kami tidak diterkam harimau jawab Raden Rangga. Bukan soal yang sulit. Bangkai kalian akan kami lemparkan ketengah hutan. Dua ti ga hari lagi, maka yang akan kami ketemukan adalan bangkai yang telah disayat ol eh binatang buas. Tetapi adik Demang Sempulur itu terkejut. Anak muda yang mengaku kawan kemanakan nya itu justru tertawa. Katanya Jangan main-main Ki Sanak. Nyawa kami tidak selun ak nyawa cacing. Bahkan cacingpun menggeliat jika terinjak kaki. Apalagi kami. Persetan geram adik Demang Sempulur itu kaulah yang paling banyak berbicara. Kau lah yang akan mati lebih dahulu. Kemudian kawanmu itu dan yang terakhir adalah kemanakanku yang sangat aku kasihi. Namun ternyata aku tidak mempunyai pilihan l ain. Jangan bunuh aku paman minta anak itu. Tetapi yang menjawab adalah Glagah Putih Bukan kau yang akan dibunuh? Ya. Paman mengatakan demikian jawab anak muda itu. Tidak ada yang akan dibunuh disini. Tidak ada yang akan mati malam ini berkata G lagah Putih. Tetapi ternyata Raden Ranggalah yang menyahut Tergantung kepada keadaan. Ah, jangan begitu desis Glagah Putih bukankah kita tidak mempunyai persoalan den gan mereka. Dan bukankah yang kita lakukan ini sekedar laku ngrame? Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun adik Demang Sempulur itu membentak Ka lian mengigau sepert orang gila. Sekarang, kalian tidak mempunyai pilihan lain k ecuali mati. Namun aku masih mempunyai belas kasihan kepada kalian, bahwa kami a kan mempergunakan cara yang paling baik untuk melakukannya. Tusukan langsung kej antung adalah cara yang paling terhormat yang dapat aku lakukan Sekarang. Setuju jawab Raden Rangga. Apa maksudmu? bertanya adik Demang Sempulur itu. Aku akan menikam dadamu diarah jantung. Kau akan mati, dan semua persoalan, akan selesai. Ki Demang itupun akan sembuh karena kaulah yang memperberat sakitnya d engan sejenis racun yajng lunak berkata Raden Rangga kemudian dengan demikian mak a Ki Demang akan mati perlahan-lahan. Sementara kau membunuh anaknya yang akan m enggantikannya. He, bukankah itu laku biadab yang pantas dihukum mati. Ya Glagah Putih menyahut kalau semua itu sudah terjadi. Bagiku nilainya tidak berbeda. Tetapi didalam hatinya telah tumbuh keinginan unt uk melakukannya. Jika mereka mampu, maka mereka tentu akan melaksanakan rencana biadab itu. Setan geram orang itu kalian mengigau tentang apa he? Raden Rangga memandang orang itu dengan tajamnya. Meskipun malam gelap, tetapi s emuanya nampak jelas dimata anak muda itu. Adik Demang Sempulur itu kemudian memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk bersiap. Baginya, anak-anak muda itu memang harus dibinasakan. Jika seorang saj a diantara mereka hidup, maka segala rahasianya akan terbuka. Anak muda, anak Demang Sempulur itu menjadi semakin ketakutan. Apalagi ketika pa mannya membentak Jangan banyak tingkah anak-anak. Jika kalian membuat kami marah , maka sikap kami akan menjadi semakin kasar. Paman minta anak Ki Demang Sempulur jangan bunuh kami paman. Kami tidak akan mem buka rahasia paman apapun yang telah paman lakukan. Persetan geram orang itu semuanya sudah terlambat. Kenapa kau tidak melarikan di ri saja sebelum aku datang. Aku tidak tahu apa yang akan paman lakukan jawab anak Demang Sempulur itu. Jangan merengek lagi. Berdoa sajalah agar kematianmu berlangsung dengan baik dan mendapat jalan terang. berkata pamannya. Anak muda itu benar-benar ketakutan. Sementara Glagah Putih berkata kepada anak

itu Jangan seperti kerbau membiarkan hidungnya dilubangi, sementara tanduknya panjang dan kuat. Betapa lemahnya kita, tetapi kita mempunyai tenaga untuk menye lamatkan diri kita sendiri. Tetapi aku takut anak muda itu hampir menangis. Baik. Berusahalah berlindung dibelakang kami berdua berkata Glagah Putih mudah-mu dahan kau selamat. Anak muda itu tidak menyahut, sementara pamannya berteriak Sekarang. Jangan menunggu lebih lama lagi. Tusuk dadanya diarah jantung. Kemudian kita seret mayatnya ketengah hutan. Raden Rangga dan Glagah Putihpun kemudian harus segera mempersiapkan diri. Beber apa orang yang ingin membunuh mereka itupun telah berpencar dan mengepung ketiga anak muda itu dari segela penjuru. Bahkan mereka-pun telah menggenggam pe dang ditangan masing-masing. Dalam keadaan yang tegang itu Raden Rangga masih se mpat menghitung orang-orang yang mengepungnya itu. Tujuh orang ditambah dengan seorang. Semuanya ada delapan katanya. Sikap Raden R angga dan Glagah Putih itu memang sangat mengherankan bagi kedelapan orang yang mengepung mereka. Nampaknya kedua orang anak muda itu sama sekali tidak, takut menghadapi|delapan orang bersenjata pedang. Namun untuk melindungi anak Demang Sempulur ituGlagah Putih dan Raden Rangga tid ak memencar dan menghadapi lawan masing-masing. Tetapi mereka telah berdiri dan menghadap kearah yang berlawanan, sementara anak Demang Sempulur itu ada diantar a mereka. Sesuaikan dirimu jika lehermu tidak mau mereka putuskan berkata Raden Rangga. Anak muda itu menjadi gemetar. Tetapi melihat sikap Glagah Putih dan Raden Rangg a tiba-tiba saja ia telah terpengaruh. Kedua anak muda yang sebayanya itu sama s ekali tidak gentar melihat ancaman maut. Mereka bahkan berusaha untuk melindungi diri mereka. Karena itu, maka betapapun lemahnya, namun pengaruh sikap kedua anak muda yang m enolongnya itu membuat Anak Demang Sempulur itu berusaha untuk menyelamatkan dir inya. Sejenak kemudian maka tujuh orang pengikut adik Demang Sempulur itu telah mulai bergerak. Perlahan-lahan kepungan itu menjadi semakin sempit. Delapan ujung peda ng teracu kearah ketiga orang anak muda yang ada didalam kepungan. Raden Rangga yang berdiri saling membelakangi dengan Glagah Putih sebelah menyeb elah anak Demang Sempulur itupun kemudian berkata Glagah Putih, berilah kesempat an mereka bermain-main. Biarlah mereka menunjukkan kemampuan mereka agar mereka menjadi sedikit berbangga dengan diri mereka. Aku setuju Raden jawab Glagah Putih kemudian mereka akan kita bawa menghadap Ki D emang itu sendiri. Hanya Ki Demang sajalah yang berhak mengadili mereka. Bukankah Ki Demang sedang sakit? bertanya Raden Rangga. Tetapi tentu ada bebahu yang lain yang dapat melakukan tugasnya jawab Glagah Puti h. Tiba-tiba Raden Rangga tertawa. Katanya Kau takut aku membunuh lagi? Glagah Putih tidak menjawab. Namun orang-orang yang mengepung semakin rapat itu benar-benar bingung mendengar percakapan itu. Agaknya kedua orang anak muda itu sama: sekali tidak menghiraukan ujung-ujung pedang yang teracu kepada mereka. Tetapi dalam pada itu Raden Rangga berkata Kita bermain-main dengan senjata. Itu akan lebih aman bagi mereka. Tanpa senjata maka kita akan menjadi sangat berbah aya. Jika kita terdesak, maka kita akan dapat melakukan sesuatu yang dapat menyu litkan mereka. Bahkan mungkin diluar sadar, membunuh mereka. He, apakah kalian orang-orang gila geram adik Demang Sempulur itu tetapi siapapu n kalian, maka kalian akan mati. Raden Rangga dan Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi mereka ternyata telah memeg ang senjata masing-masing. Raden Rangga telah menggenggam tongkatnya sementara Glagah Putih telah mengurai ikat pinggangnya. Dengan senjata mereka itulah, maka Raden Rangga dan Glagah Put ih telah bertempur melawan delapan orang. Namun ternyata bahwa delapan orang itu tidak memiliki bekal cukup untuk bertempur melawan mereka yang memiliki kemampu an dalam dan kanuragan. Karena itu, maka mereka bukan orang-orang yang berbahaya bagi Raden Rangga dan Glagah Putih. Tetapi justru sebaliknya bagi anak Demang S

empulur yang ketakutan itu. Karena itulah maka Raden Rangga dan Glagah Putih harus berusaha untuk melindungi nya. Apalagi anak muda itu sendiri agaknya tidak mampu berbuat sesuatu bagi diri nya sendiri. Ketika pertempuran menjadi semakin seru, anak itu menjadi gemetar d an bahkan seolah-olah telah kehilangan kemampuan untuk menguasai dirinya sendiri . Berusahalah menyesuaikan dirinya teriak Glagah Putih. Tetapi anak itu justru semakin menjadi bingung. Namun dalam pada itu, delapan or ang yang berusaha untuk membunuh anak-anak muda itu menjadi heran. Apapun yang m ereka lakukan, ternyata anak-anak muda yang mengaku kawan anak Ki Demang Sempulu r itu mampu menangkisnya. Bukan hanya sepasang pedang, tetapi delapan ujung peda ng. Apakah kalian anak iblis yang menunggu hutan ini? geram salah seorang diantara l awan-lawannya. Raden Rangga tertawa. Tongkatnya berputar-putar disekitar dirinya, dan sekali-se kali menyambar pedang yang teracu kearah anak Demang Sempulur yang ketakutan itu . Namun kadang-kadang ikat pinggang Glagah Putihlah yang menangkis pedang yang men ebas kearah leher anak Ki Demang itu. Kedelapan orang itu benar-benar tidak tahu, apa yang sebenarnya dihadapinya. Mer eka tidak dapat mengerti, bagaimana dua orang anak muda mampu melawan mereka, de lapan orang yang dianggap orang-orang terkuat di Kade-mangannya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh. Raden Rangga, maka kedua anak muda itu meman g ingin bermain-main. Mereka tidak ingin segera mengalahkan lawan-lawan mereka. Namun masalahnya adala h anak Ki Demang yang Semakin lama menjadi semakin lemah karena ketakutan yang m encengkam dirinya. ' Biarkan anak itu menjadi pingsan berkata Raden Rangga mudah-mudahan justru tida k mengganggu perlawanan kita. Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ketakutan yang sangat telah membuat anak itu terduduk gemetar, meskipun tidak pingsan. Namun dengan demikian, maka anak muda itu tidak bergeser lagi kemana-mana yang justru dapat menyulitkan Raden Rangga dan Glagah Putih. Nah, duduklah dengan tenang berkata Glagah Putih yang berloncatan menangkis ujun g pedang yang menyambarnya dan sekali-sekali berusaha menyambar anak Ki Demang i tu. Demikianlah pertempuran semakin lama menjadi semakin cepat. Bagi kedelapan orang itu, maka pertempuran-pun terasa menjadi semakin sengit. Mereka berusaha untuk mempercepat tata gerak mereka. Berganti-ganti mereka menyerang dari segala penju ru. Namun serangan mereka tidak pernah mengenai sasaran yang manapun juga di-ant ara ketiga anak muda itu. Tetapi Raden Rangga dan Glagah Putih tidak mengambil langkah-langkah untuk seger a mengalahkan mereka. Keduanya seakan-akan sekedar bertahan dan melindungi anak Demang Sempulur itu. Kemarahan adik Ki Demang itupun semakin menjadi-jadi. Diker ahkannya segenap kemampuannya. Namun kedelapan orang itu sama sekali tidak dapat menembus perisai putaran senjata Raden Rangga dan Glagah Putih. Buku 209 Anak setan geram adik Ki Demang darimana kalian mendapatkan ilmu sehingga kalian dapat bertahan sekian lama? Raden Ranggalah yang menyahut Kaulah anak setan yang sudah sampai hati berusaha membunuh kemenakan sendiri, kakak sendiri dan orang-orang lain yang dianggapnya akan membuka rahasiamu. Jika bukan orang berhati setan, maka kau tentu tidak akan membuat rencana yang begitu gila. Persetan geram adik Ki Demang mengigaulah. Sebentar lagi kau akan mati. Raden Rangga tertawa. Katanya Jangan main-main dengan nyawa. Urungkan niatmu mem bunuh, agar tidak mendorongku untuk membunuh pula.

Anak iblis adik- Ki Demang itupun kemudian menyerang dengan garangnya. Namun ser angan-serangannya kandas ditongkat pring gading Raden Rangga. Keheranan yang sangat memang mencengkam jantungnya. Ketika adik Ki Demang itu mengayunkan pedangnya sepenuh tenaga, maka pedangnya t elah membentur pring gading ditangan anak yang justru masih sangat muda itu. Nam un pedangnyalah yang mental seakan-akan telah menghantam sekeping baja pilihan. Tongkat itu tentu tongkat tukang sihir berkata adik Ki Demang itu didalam hatiny a. Namun ia melihat bahwa pedang seorang pengikutnya yang tajam berkilat-kilat tern yata tidak mampu menebas putus ikat pinggang anak muda yang lain yang tentu terb uat dari kulit, karena lentur. Bukan dari kepingan baja. Demikianlah pertempuran berjalan terus. Kedelapan orang itu sekali-sekali telah berputar untuk menyesuaikan diri dan berusaha untuk mencoba lawan yang lain. Nam un usaha mereka tidak pernah berhasil. Dalam pada itu, ketika keringat semakin terperas dari tubuh mereka, maka mulaila h tenaga kedelapan orang itu menjadi susut. Meskipun perlahan-lahan, tetapi mula i terasa. Sementara kedua- orang anak muda yang mempergunakan senjata aneh itu m asih tetap segar dan seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh oleh serangan-ser angan kedelapan orang lawannya. Menyadari hal itu, maka adik Ki Demangpun berteriak nyaring Cepat, binasakan mer eka. Tidak seorangpun yang membantah. Semuanya memang berniat demikian. Tetapi t ernyata kemampuan mereka sangat terbatas dibandingkan dengan kedua orang anak mu da yang mengaku kawan dari anak Ki Demang Sempulur itu. Dengan demikian, maka apapun yang mereka lakukan, maka orang-orang itu sama seka li tidak mampu menyentuh tubuh kedua anak muda yang bersenjata tongkat dan ikat pinggang itu. Bahkan merekapun tidak berhasil melukai dan apalagi membunuh anak Demang Sempulur itu. Betapapun mereka berusaha, tetapi kedua anak muda itu mampu melawannya, bahkan s eperti laku anak-anak muda yang sedang bermain-main. Seorang diantara mereka men gayunkan tongkatnya seperti mengayunkan lidi, namun setiap benturan membuat senj ata lawannya hampir terpental. Sementara ikat pinggang yang seorang lagi berputa ran seolah-olah menyelubungi dirinya dan anak Ki Demang yang ketakutan. Dalam pada itu, kedelapan orang itu semakin lama menjadi semakin letih. Mereka t elah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan mereka. Namun lawan mereka seakanakan bukan orang sewajarnya. Dalam pada itu, Raden Rariggapun berkata Marilah. Kerahkan segenap kemampuanmu. Bukankah kalian akan membunuh kami agar rahasia kalian tidak terbongkar? Anak setan geram adik Ki Demang. Dihentakkannya senjatanya. Namun ia tidak berdaya untuk melaksanakan rencananya. Dalam pada itu, tenaga mereka benar-benar telah terkuras habis. Karena tidak ada harapan lagi untuk memenangkan perkelahian itu, maka adik Ki Demang itu telah mengambil langkah yang dengan cepat dapat dilakuk an. Kami harus melarikan diri berkata adik Ki Demang didalam hatinya entahlah langka h apa yang harus diambil kemudian, karena dengan kegagalan ini rahasia kami tent u akan terbongkar. Sejenak adik Ki Demang itu mengamati keadaan. Tidak ada pilihan lain kecuali mel arikan diri meskipun ia tidak tahu langkah apakah yang harus diambilnya selanjut nya karena rahasia itu tentu akan segera didengar oleh Ki Demang. Dengan memperh atikan keadaan, maka adik Ki Demang itu telah berusaha untuk bergeser. Ia justru membiarkan orangorangnya untuk bertempur terus, agar ia berhasil melarikan diri lebih dahulu. Baru kemudian orang-orang itulah yang tentu juga akan melarikan d iri sehingga kedua orang anak muda itu tidak akan dapat mengejar dah menangkap m ereka seluruhnya, terutama ia sendiri. Namun agaknya Raden Rangga dan bahkan Glagah Putih mengetahui niatnya untuk mela rikan diri. Karena itu, maka keduanya justru Itelah mengawasinya dengan sungguhsungguh karena orang itulah sumber dari peristiwa yang mendebarkan itu. Balikan hampir merenggut nyawa anak Ki Demang Sempulur.

Sebenarnyalah, adik Ki Demang yang putus asa itupun tiba-tiba saja telah melonca t berlari meninggalkan arena. Tanpa menghiraukan apapun juga dan tanpa berpaling , ia berlari menuju ke pinggir hutan dan selanjutnya ingin melenyapkan diri keda lam hutan itu. Namun orang itu terkejut bukan kepalang. Tiba-tiba saja segerumbu l pohon perdu dipinggir hutan itu bagaikan meledak, tepat dihadapannya sehingga orang itu terkejut bukan buatan. Bahkan terpental jsurut dan jatuh terlentang. Terdengar suara tertawa mengumandang. Bersamaan dengan itu beberapa orang pengik ut adik Ki Demang itupun terlempar jatuh. Mereka benar-benar sudah tidak berdaya lagi. Bahkan untuk melarikan diri sekalipun. Yang tersisa tidak mampu lagi untu k berbuat sesuatu, selain terduduk sambil terengah-engah. Tiba-tiba saja segala persendian mereka bagaikan telah terlepas yang satu dengan yang lain. Awasi anak itu Tetapi berkata Raden Rangga aku akan mengurusi orang itu.

Glagah Putih termangu-mangu.

Raden Rangga tertawa. Katanya Jangan takut. Aku adalah pemburu harimau, bukan pe mburu kelinci. Karena itu, maka aku tidak akan membunuh kelinci. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Raden Ranggapun telah berj alan mendekati adik Ki Demang yang dengan susah payah berusaha untuk bangun. Sep erti mimpi ia melihat gerumbul yang menyala sejenak. Namun kemudian hanya asapny a sajalah yang nampak mengepul dan hilang ditiup angin, sementara gerumbul itu t elah hangus menjadi abu. Bagaimana? bertanya Raden Rangga kepada orang itu. Orang itu benar-benar tidak t ahu lagi apa yang harus dilakukan. Ia tidak berhasil melarikan diri, sehingga de ngan demikian maka ia tentu akan dibawa menghadap Ki Demang dengan segala rahasi anya. Namun adik Ki Demang itupun diliputi oleh seribu pertanyaan tentang dua or ang anak muda yahg mengaku kawan kemenakannya itu. Apalagi ketika tiba-tiba saja sebuah gerumbul perdu dipinggir hutan itu bagaikan meledak dan melemparkannya j atuh. Marilah Ki Sanak rdirilah. Raden Rangga telah berusaha menolong orang itu untuk bangkit be

Orang itu berdiri tertatih-tatih. adik Ki Demang itu telah dibawa mendekati anak muda yang gemetar karena ketakutan itu. Itulah kemanakanmu berkata Raden Rangga. Glagah Putihlah yang kemudian menarik a nak muda itu untuk bangkit. Katanya Berdirilah seperti seorang lakilaki. Kau ama n sekarang. Itulah pamanmu. Anak muda itupun berusaha untuk dapat berdiri tegak. Namun jantungnya terasa mas ih berdegup tidak teratur, sedangkan kakinya masih terasa gemetar. Raden Rangga dan Glagah Putih yang kemudian mengatur orang-orang yang tidak dapa t mengelak itu. Delapan orang digiring oleh kedua anak muda yang mengaku kawan d ari anak Ki Demang itu menuju ke Kademangan Sempulur. Untunglah bahwa mereka berjalan dimalam hari, sehingga di padukuhan-padukuhan ya ng mereka lewati, tidak terlalu banyak orang yang melihatnya. Selain orang yang sedang meronda di gardu-gardu, hanya orang yang kebetulan keluar dari rumah mere ka sajalah yang melihat iring-iringan kecil itu. Namun demikian, meskipun yang melihat langsung hanya beberapa orang, tetapi beri ta tentang adik Ki Demang dan tujuh orang pengikutnya telah digiring oleh dua or ang pemuda bersama anak Ki Demang Sempulur menuju ke Kademangan itu, dengan cepa t telah menjalar dari pintu kepintu rumah. Bahkan kadang-kadang seseorang telah

mengetuk pintu rumah tetangganya untuk mengatakan tentang berita yang didengarny a itu. Apalagi mereka yang melihat langsung. Apa yang telah terjadi? bertanya seseorang.

Entahlah jawab yang lain ketika salah seorang peronda mencoba bertanya, adik Ki Demang itu sama sekali tidak menjawab. Sedang anak Ki Demang itupun tidak member ikan keterangan apapun juga. Dengan demikian maka orang-orang di Kademangan Sempulur itu mulai menjadi gelisa h. Malam yang semula sepi itupun menjadi bagaikan terbangun. Anak-anak muda tela h berkumpul digardu-gardu untuk berbicara tentang adik Ki Demang. Demikianlah maka adik Ki Demang dan tujuh orang pengikutnya itupun telah dibawa ke Kademangan. Iring-iringan itu memang sangat mengejutkan. Para peronda telah m endapat pesan dari Raden Rangga agar mereka memanggil Ki Jagabaya atau para beba hu lain, kepercayaan Ki Demang. Apa yang telah terjadi? bertanya para peronda itu. setelah Ki Jagabaya datang, maka aku akan mence

Nanti sajalah jawab Raden Rangga riterakan persoalannya.

Para peronda itupun menjadi heran, sebagaimana orang-orang lain yang melihat per istiwa itu. Seolah-olah delapan orang yang bertubuh besar dan kekar telah dikuas ai oleh anak-anak muda. Mungkin karena seorang diantara mereka adalah anak Ki Demang, sehingga mereka me njadi takut melawan berkata seorang diantara para peronda itu. Tetapi sikapnya lain sekali sahut yang lain Nampaknya yang menguasai mereka just ru bukan anak Ki Demang itu. Tetapi kedua anak muda yang lain, Kademangan Sempulur benar-benar dicengkam oleh satu teki-teki yang mendebarkan. Sementara itu, Ki Jagabaya yang dibangunkan jumlahnya, dengan tergesa-gesa telah pergi ke Kademangan. Sementara beberapa orang bebahu yang lainpun telah berdata ngan pula. Beberapa saat kemudian, di Kademangan telah menjadi ramai. Bukan saja para bebahu dan peronda yang sibuk, tetapi beberapa orang penghuni padukuhan in duk Kademangan Sempulur yang terbangun telah pergi pula ke Kademangan. Mereka in gin tahu apa yang.telah terjadi sementara Ki Demang sendiri sedang sakit keras. Ketika Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu telah duduk di pendapa, sementara o rang-orang di padukuhan induk itu berkumpul di halaman, maka Raden Ranggapun seg era menyampaikan persoalan yang baru saja terjadi kepada Ki Jagabaya. Ki Jagabaya dan para bebahu Kademangan itu terkejut bukan buatan, Selama ini mer eka menganggap bahwa adik Ki Demang itu adalah seorang yang sangat baik. Yang be kerja keras untuk kesembuhan Ki Demang. Hampir siang dan malam adik Ki Demang it u menunggui kakaknya yang sedang sakit. Karena itu, maka dengan ragu-ragu Ki Jagabaya bertanya dengan ragu-ragu ang dikatakannya benar? Apakah y

Adik Ki Demang itu tidak dapat membantah lagi. Dua anak muda yang mempunyai ilmu diluar jangkauan nalarnya itu masih tetap menunggui mereka, sementara itu saksi utama, anak Ki Demang itu ada pula diantara mereka. Sambil menundukkan kepalany a adik Ki Demang itupun mengangguk kecil. Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata Sungguh dilu ar dugaan. Aku tidak mengerti, bagaimana kita semuanya harus mengatasi persoalan

ini. Selama ini kita menganggap bahwa adik Ki Demang itu adalah seorang yang ba ik hati, yang telah mengorbankan waktu, uang dan segala-galanya bagi kesembuhan kakaknya. Tetapi yang terjadi sebenarnya justru sebaliknya. Orang-orang yang berada di pendapa itu menjadi gelisah. Bahkan orang-orang yang berkerumun dihalaman-pun menjadi gelisah pula. Sebagian besar dari mereka menjad i sangat marah terhadap sikap adik Ki Demang itu. Bahkan anak-anak muda yang tidak dapat menahan diri telah berteriak g itu kepada kami. Ya sahut yang lain kami akan menghakimi mereka Berikan oran

Tetapi Ki Jagabaya kemudian berkata Kita tidak dapat bertindak sendiri. Bagaiman apun juga kita harus menghubungi Ki Demang. Meskipun Ki Demang sedang sakit, nam un keputusannya kita perlukan. Apalagi yang melakukan kesalahan adalah adiknya s endiri yang ditujukan kepada Ki Demang itu pula. Meskipun anak-anak muda itu tidak puas, tetapi mereka memang tidak dapat memaksa Ki Jagabaya menyerahkan adik Ki Demang itu kepada mereka. Apalagi mereka yang b erada di halaman masih belum pasti, apa yang sebenarnya terjadi dan siapakah ked ua orang anak muda itu, yang bersama anak Ki Demang telah menggiring adik Ki Dem ang ke Kademangan. Karena itu, maka Ki Jagabayapun telah minta kepada para bebahu yang lain untuk m engawasi adik Ki Demang itu serta orang-orang Kademangan yang marah. Ia sendiri akan berusaha untuk menemui Ki Demang yang sedang sakit. Namun ternyata Ki Jagabaya telah minta agar anak Ki Demang itu menyertainya untu k memberikan penjelasan-penjelasan tentang peristiwa yang menimpa dirinya. Anak Ki Demang itu memandang Raden Rangga dan Glagah Putih berganti-ganti, seakan-aka n minta pertimbangannya, apakah ia akan ikut menemui ayahnya atau tidak. Hampir berbareng Raden Rangga dan Glagah Putih mengangguk kecil, sehingga anak m uda itupun kemudian bersama Ki Jagabaya menghadap ayahnya yang sedang sakit. Dal am pada itu, Ki Demang terbaring di dalam biliknya ditunggui oleh Nyi Demang dan beberapa orang lain. Meskipun ingatan Ki Demang masih utuh dan masih cukup cera h, namun tubuhnya nampaknya menjadi sangat lemah. Seakan-akan untuk bangkit dan dudukpun rasa-rasanya sudah tidak sanggup lagi. Ha nya dalam keadaan yang terpaksa dan penting sekali sajalah Ki Demang bangkit dan duduk dibibir ambennya dijagai oleh Nyi Demang atau orang lain.Orang yang terbi asa menunggui Ki Demang selain Nyi Demang adalah adiknya. Adiknya itulah yang be rbuat segala-segalanya. Tanpa mengenal lelah, adiknya telah berusaha untuk mencari kesembuhan dari Ki De mang. Siang malam, jika ia mendengar seorang yang memiliki kemampuan pengobatan, maka ia telah pergi menemuinya. Namun ternyata sesuatu telah terjadi dengan adi k Ki Demang itu, Ki Jagabaya yang datang bersama anak Ki Demang ke bilik itu tel ah menarik perhatian dari orang-orang yang menungguinya. Namun dengan berat hati Ki Jagabaya minta agar orang-orang lain keluar dari bilik itu. i Ia dan anak Ki Demang itu akan memberikan laporan khusus kepada Ki Demang tentang keadaannya. Apakah aku tidak boleh mendengarkannya? bertanya Nyi Demang. Nanti saja Nyi Demang Baiklah Nyi. Biarlah

Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya akan mendapat pemberitahuan yang khusus tentang hal ini. Nyi Demang memang menjadi heran. Namun Ki Demangpun berkata. Ki Jagabaya meyampaikan persoalannya lebih dahulu.

Nyi Demang tidak membantah: Iapun kemudian meninggalkan Ki Demang yang terbaring di biliknya. Sepeninggal orang-orang yang menungguinya, maka Ki Jagabayapun tel ah mendekati Ki Demang sambil berkata Ki Demang. Kami minta maaf, bahwa justru d alam keadaan seperti ini kami akan menyampaikan persoalan yang cukup berat. Teta pi kami berharap bahwa untuk selanjutnya persoalannya menjadi jelas bagi Ki Dema ng dapat mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya. Ki Demang yang sakit itu mengerutkan keningnya. Dengan wajah yang berkerut ia me ndengarkan keterangan Ki Jagabaya. Namun ketika ia akan bangkit dan duduk, Ki Ja gabaya mencegahnya. Silahkan berbaring saja Ki Demang. Kesehatan Ki Demang memang sedang terganggu. berkata Ki Jagabaya. Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya ng ingin kau katakan? Apakah sebenarnya ya

Satu hal yang tidak terduga sama sekali telah terjadi pada putera Ki Demang. Put era Ki Demang ini sudah bukan anak-anak lagi. Ia akan dapat berceritera tentang dirinya dan tentang sesuatu yang bersangkut paut dengan kesehatan Ki Demang. Ki Demang memandangi anak laki-lakinya. Kemudian dengan nada lemah ia berkata takanlah, apa yang telah terjadi. Ka

Anak Ki Demang itu memang menjadi ragu-ragu. Tetapi Ki Jagabaya berkata Sebaiknya Ki Demang segera mengetahui segala-galanya. Memang mungkin mengejutkan. Namun k emudian segalanya tentu akan menjadi lebih baik. Kau membuat aku berdebar-debar Ki Jagabaya berkata Ki Demang.

Mungkin memang mendebarkan Ki Demang. Tetapi aku minta Ki Demang dapat mempertim bangkan dengan sebaik-baiknya Dan Ki Demang justru harus merasa beruntung, bahwa hal itu dapat segera diketahui sekarang. Jika terlambat sepekan saja, maka sega lanya tentu akan lain jadinya. Dan kita semuanya hanya akan dapat menyesal Atau tidak tahu sama sekali tentang apa yang sebenarnya terjadi. Baiklah Ki Jagabaya berkata Ki Demang aku menyadari, bahwa untuk mendengarkannya ceritera anakku, maka aku harus mempersiapkan batinku sebaik-baiknya. Ki Jagabaya mengangguk kecil. Lalu katanya Nah, ceriterakanlah tentang peristiwa yang kau alami. Jangan ada yang terlampui sehingga semuanya akan menjadi jelas. Anak Ki Demang itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian mulai berceriter a tentang dirinya. Dari permulaan sampai dengan saat ia menghadap ayahnya itu. T idak ada persoalan yang terlampui meskipun segalanya diceriterakannya dengan sin gkat. Ki Demang memang terkejut. Namun sebelumnya ia sudah menyiapkan diri untuk mende ngar ceritera yang mengejutkan, sehingga karena itu, maka Ki Demang masih mampu mengatur perasaannya yang bergejolak. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia bertanya kepada anaknya setelah ia selesai b erceritera Apakah kau sudah mengalami semua itu atau kau baru menduga akan terja di peristiwa seperti itu? Aku sudah mengalaminya ayah. Dua orang anak muda yang menolongku itu sekarang ad a disini. Mereka memiliki kemampuan dan ilmu yang tidak dapat disebut dan digamb arkan dengan kata-kata. Apakah aku dapat bertemu dengan mereka? berkata Ki Demang.

Tentu ayah. Mereka berada di pendapa. jawab anaknya Ki Demang menarik nafas dala m-dalam. Namun kesehatannya memang terasa semakin menurun pada hari-hari terakhi r. Ternyata bahwa obat yang selalu diminumnya, bukannya dapat menyembuhkannya, t etapi justru membuat sakitnya bertambah parah. Dalam pada itu maka anaknyapun berkata Apakah kedua anak muda itu diperkenankan masuk kemari ayah. Anak-anak muda itu akan dapat memberikan beberapa keterangan yang barangkali ayah perlukan. Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Ki Jagabaya sejenak. Kemudian iapun bertanya dengan nada rendah Apakah anak-anak itu baik jika mereka masuk k edalam bilik ini? Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya Aku kira ada juga bai knya anak-anak itu dapat langsung berbicara dengan Ki Demang. Baiklah berkata Ki Demang bawalah mereka kemari.

Sebelum Ki Jagabaya bangkit dan melangkah ,keluar anak Ki Demang sudah lebih dah ulu menghambur keluar untuk memanggil Raden Rangga dan Glagah Putih. Namun Ki Ja gabayapun kemudian menyusulnya. Ia harus mengawasi adik Ki Demang itu agar tidak berusaha untuk melarikan diri karena banyak persoalan yang harus diselesaikan d engannya. Sementara itu, maka anak Ki Demang telah mengajak Raden Rangga dan Glagah Putih untuk menemui ayahnya. Karena kedua anak muda itu ragu-ragu, maka Ki Jagabaya ya ng kemudian keluar dari bilik Ki Demang telah mengangguk sambil berkata Masuklah . Ki Demang ingin berbicara dengan kalian. Raden Rangga dan Glagah Putihpun kemudian mengikuti anak Ki Demang itu masuk ked alam biliknya. Kedua anak muda itu melihat bahwa Ki Demang memang nampak sangat lemah. Perlahan-lahan adiknya memang telah berusaha membunuhnya dengan obat-obat yang diberikannya, yang sama sekali bukan untuk menyembuhkannya. Anak-anak muda berkata Ki Demang dengan suara lemah aku telah mendengar ceritera tentang anakku. Anakku juga telah berceritera siapakah sebenarnya yang telah mem buat diriku menjadi sakit-sakitan seperti ini. Namun agaknya segalanya sudah ter lambat. Aku sudah menjadi terlalu lemah dan barangkali aku benar-benar akan mati . Raden Rangga menggeleng. Katanya Tidak Ki Demang. Meskipun tidak dengan serta me rta, namun aku berharap bahwa ada obat yang dapat menyembuhkan Ki Demang. Keadaanku sudah sangat lemah berkata Ki Demang.

Tetapi menurut pendapatku, belum terlambat. Barangkali Ki Demang dapat mencoba m enyembuhkan sakit Ki Demang melalui beberapa jenis obat. Namun yang utama, Ki De mang harus menawarkan racun yang sudah ada didalam tubuh Ki Demang. Racun itu ad alah racun yang lemah. Tetapi cukup berbahaya. Perlahan-lahan racun itu merusakk an jaringan tubuh Ki Demang, sehingga tubuh Ki Demang menjadi sangat parah seper ti sekarang ini. berkata Raden Rangga. Tetapi rasa-rasanya sulit bagiku untuk mendapatkan penyembuhan. Rasa-rasanya tid ak ada lagi obat yang dapat menolongku berkata Ki Demang. Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Menurut pendapatnya, jika racun didalam tubuh Ki Demang jtu sudah tawar, maka penyembuhan berikutnya tidak akan terlalu sulit. Sekedar untuk memulihkan kekuatannya dan memperbaiki jaringan tubuhnya ya ng rusak. Karena itu, maka Raden Ranggapun telah mengambil obat penawar racun ya

ng dibawanya. Katanya Ki Demang, aku mempunyai obat penawar racun. Mudah-mudahan akan dapat menolong Ki Demang menawarkan racun didalam tubuh Ki Demang. Selanjutnya, akan dapat diusahakan pengobatan sewajarnya atas keadaan tu buh Ki Demang yang lemah itu. Ki Demang mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya Aku sudah tidak berharap untuk dapat sembuh. Karena itu, maka apapun yang sebaiknya aku lakukan akan aku lakukan. Jika benar-benar aku dapat sembuh, itu adalah karena satu keajaiban. Berdoalah kepada Yang Maha Tinggi berkata Raden Rangga jika hal itu dapat disebu t keajaiban, maka keajaiban itu .datangnya dari Yang Maha Agung pula. Ki Demang mengangguk kecil. Kepada anak Ki Demang itu Raden Rangga minta disedia kan air bersih semangkuk kecil untuk mencairkan obatnya yang berupa serbuk. Kemu dian obat itu telah diberikan kepada Ki Demang untuk diminum. Tidak terasa akibat apapun juga pada tubuh Ki Demang. Namun Raden Rangga berkata Mudah-mudahan racun didalam tubuh Ki Demang menjadi tawar dan tidak lagi merusa k perlahan-lahan. Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya Kalian telah menolong anakku. Kemud ian berusaha menolong aku. Demikian besar kebaikan hatimu bagi keluargaku. Raden Rangga tersenyum. Katanya Itu adalah kewajiban setiap orang untuk menolong sesama. Nah, tunggu sampai esok. Mudah-mudahan terjadi perubahan didalam diri K i Demang. Sementara itu, Ki Demang dapat minum obat yang lain untuk memulihkan k esehatan Ki Demang. Barangkali di Kademangan ini ada juga orang yang mampu; memb antu Ki Demang dengan obat-obatan itu. Sementara itu, Ki Jagabaya yang menganggap anak-anak muda itu terlalu lama berad a didalam bilik Ki Demang, telah menyusul pula dan menyerahkan pengawasan atas a dik Ki Demang kepada bebahu yang lain. Namun, demikian ia memasuki bilik itu, Ki Demang sedang bertanya rnya anak-anak muda ini? Siapakah sebena

Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Tetapi kepada Ki Demang ia tidak ingin berb ohong. Karena itu, maka iapun berpesan kepada Ki Demang, Ki Jagabaya dan anak Ki Demang Jangan sebarkan kepada orang lain, siapa aku, untuk kepentingan tugasku. ia berhenti sejenak, lalu Aku adalah Rangga dari Mataram. Buku 210 KI DEMANG mengerutkan keningnya, sementara Ki Jagabaya dan anak Ki Demang itu te rmangu-mangu. Dengan nada datar Ki Demang itupun bertanya, Anak muda, menurut pen gertianku, Rangga adalah satu kedudukan atau pangkat. Apakah pengertianku itu be nar? Tidak Ki Demang. Glagah Putihlah yang menyahut. Yang disebut adalah sebuah nama. Na manya memang Rangga. Utuhnya Raden Rangga, putera Panembahan Senopati di Mataram . Putera Panembahan Senopati? Ki Demang terkejut. Ia berusaha untuk bangkit. Tetapi Raden Rangga menahannya sambil berkata, Sudahlah Ki Demang. Berbaring saja lah. Siapapun aku, sebaiknya Ki Demang jangan memaksa diri untuk bangkit dan dud uk. Ki Demang masih terlalu lemah. Ampun Raden. berkata Ki Demang justru dengan nafas terengah-engah, kami sama sekali tidak tahu, bahwa tamu kami sekarang ini adalah putera Panembahan Senopati dr M ataram. Sudahlah. berkata Raden Rangga, sudah aku katakan siapapun aku, Ki Demang jangan me nghiraukan. Yang penting, seperti sudah aku katakan, Ki Demang jangan mengatakan kepada orang lain. Kami sedang mengemban satu tugas. Jika banyak orang yang men

genal kami maka hal itu akan dapat mengganggu tugas kami. Tentu Raden. berkata Ki Demang, kami tidak akan mengatakan kepada siapapun. Ki Jaga bayapun tidak akan mengatakan kepada orang lain. Demikian pula anakku itu. Nah Ki Demang. berkata Raden Rangga, Yang penting Ki Demang memulihkan kekuatan Ki Demang setelah obat itu menghentikan dan menawarkan racun yang ada didalam tubuh Ki Demang. Dengan demikian maka Ki Demang akan dapat kembali memegang pimpinan pemerintahan. Terserah kepada Ki Demang, keputusan apakah yang akan Ki Demang ja tuhkan kepada adik Ki Demang yang telah berkhianat itu. Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-sebesarnya Raden. berkata Ki Demang, tet api bagaimana jika aku menyerahkan persoalan adikku itu kepada Raden. Aku kira l ebih baik orang lain mengambil keputusan daripada aku sendiri. Raden Rangga menggeleng. Katanya, Aku tidak mempunyai wewenang untuk itu. Jika ak u melakukannya dan ayahanda Panembahan Senopati mengetahuinya, maka aku akan men dapat hukuman pula. O. Ki Demang menarik nafas dalam-dalam, jadi, apakah aku harus mengadili adikku sen diri? Ya. Itu adalah kewajiban Ki Demang. berkata Raden Rangga, adalah kebetulan saja bah wa yang melakukan kesalahan itu adalah adik Ki Demang sendiri. Baiklah Raden. berkata Ki Demang, seandainya Yang Maha Agung memperkenankan aku sem buh kembali, aku akan mengadilinya. Tetapi sudah tentu aku mohon Raden menjadi s aksi. Raden Rangga tersenyum. Katanya, aku minta maaf Ki Demang, bahwa aku tidak akan d apat tinggal terlalu lama di Kademangan ini. Kami akan memohon Raden tinggal disini bersama anak muda yang seorang itu. berkata Ki Demang. Anak muda ini adalah Glagah Putih Ki Demang. la adalah adik sepupu Agung Sedayu d ari Jati Anom, namun yang sekarang berada di Tanah Perdikan Menoreh. jawab Raden Rangga, la akan pergi bersamaku, melakukan tugas yang berat. Jati Anom. desis Ki Demang, tempat itu tidak terlalu jauh. Aku pernah pergi ke Jati Anom. Ya. Kami berdua akan mengemban satu tugas, sehingga dengan demikian, maka kami be rdua tidak akan dapat terlalu lama tinggal di Kademangan ini. Mungkin kami dapat tinggal sehari. Akupun ingin melihat akibat dari obat yang telah Ki Demang minu m. Tetapi tidak lebih dari itu. berkata Raden Rangga. Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, Kami mohon Raden dapat berada ditempat ini tidak hanya untuk sehari. Raden Rangga tersenyum. Katanya, Sudahlah. Sebaiknya Ki Demang beristirahat. Unt uk selanjutnya Ki Demang dapat minum obat untuk menyembuhkan sakit Ki Demang dan memulihkan keseha tan. Ki Demang. Yang penting racun itu sudah tidak bekerja lagi didalam tubuh Ki Demang. Ki Demang mengangguk. Namun terdengar ia berdesis, Raden telah melakukan satu lan gkah yang sangat penting artinya bagi keluarga kami dan Kademangan kami, Karena itu, maka kami mohon, jika tugas Raden sudah selesai, hendaknya Raden dan angger Glagah Putih sudi singgah lagi di Kademangan ini. Raden Rangga mengangguk. Namun tiba-tiba wajahnya menjadi muram. Hanya sekilas. Iapun kemudian berusaha untuk dengan segera menekan perasaannya. Raden Rangga te lah memaksakan sebuah senyum bergerak dibibirnya. Tentu Ki Demang. berkata Raden Rangga, Aku akan singgah kelak jika tugasku sudah se lesai. Terima kasih Raden. Semoga tugas Raden cepat Raden selesaikan berdua. Raden Rangga kemudian menepuk lengan Ki Demang sambil berkata, Sudahlah Ki Demang . Beristirahatlah. Aku akan berada di pendapa. Malam besok aku masih akan bermal am di Kademangan ini. Karena itu, maka besok sehari aku akan berada disini. Ki Demang mengangguk kecil. Katanya, Silahkan Raden juga berisirahat, Lalu Ki Dema ngpun berkata kepada Ki Jagabaya. Sebelum aku dapat berbuat banyak, terserah kepa damu Ki Jagabaya. Tetapi jaga agar adikku itu tidak dapat melepaskan diri dengan alasan apapun. Baik Ki Demang. Aku akan menjaganya bersama para bebahu dan anak-anak muda Kadema ngan ini. jawab Ki Jagabaya.

Ki Jagabaya. berkata Ki Demang pula, persilahkan tamu-tamu kita ini beristirahat. Aku akan membersihkan gandok ayah. berkata anak Ki Demang. Sebelum Ki Demang menjawab, maka anak Ki Demang itu sudah berlari ke gandok. Tet api ternyata ia tidak melakukan sendiri. Ia hanya berteriak-teriak saja memanggi l pembantu Kademangan itu yang terkejut karenanya. Sambil mengusap matanya ia ke luar dari biliknya dan pergi ke gandok sambil bergeremang. Anak itu terlalu manja. Demikian ia sampai ke gandok, maka anak Ki Demang itupun telah meneriakkan perin tah-perintah. He, jangan tidur saja. berkata anak Ki Demang itu lantang, kau tahu kalau ada tamu he? Semua orang se Kademangan datang kemari, kau tidur saja mendekur. Siapa yang datang kemari? bertanya pembantunya itu. Lihat itu dihalaman. berkata anak Ki Demang. Pembantunya sama sekali tidak berniat untuk melihat ke halaman. Semen tara itu, anak Ki Demangpun telah memerintahkan membersihkan bilik gandok itu. Dalam pada itu, maka Ki Jagabayapun telah mempersilahkan kedua anak muda itu unt uk sementara duduk dipendapa karena bilik bagi mereka digandok baru dibersihkan. Rumah Ki Demang cukup besar. berkata Ki Jagabaya, sedangkan keluarganya tidak terla lu banyak sehingga ada bilik-bilik yang kosong. Namun agaknya bilik-bilik yang k osong itupun jarang dibersihkan sebagaimana bilik yang selalu dipergunakan. Raden Rangga dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Merekapun kemudian telah duduk kembali di pendapa sambil menunggu tempat yang disediakan bagi mereka. Sementara itu, Nyi Demanglah yang telah berada kembali di bilik Ki Demang untuk menunggui nya. Dalam pada itu, Ki Jagabayapun kemudian telah sibuk dengan para tawanannya. Para pengawal yang terdiri dari anak-anak muda telah mendapat tugas untuk membawa pa ra tawanan itu ke banjar dan diawasi langsung oleh dua orang bebahu, pembantu Ki Jagabaya. Jangan sampai lepas. berkata Ki Jagabaya, taruhannya adalah leher kalian. Demikianlah, maka disisa malam itu, Raden Rangga dan Glagah Putih telah tidur di gandok. Anak Ki Demang yang sebaya dengan Raden Rangga itu ternyata ingin pula tidur bersama mereka. Kekagumannya kepada kedua anak muda yang mengembara itu me mbuatnya selalu ingin dekat dengan mereka. Memang ada banyak hal yang ditanyakan. Sesuai dengan umurnya maka pertanyaan ber kisar pada kemampuan kedua pengembara itu. Bagaimana mereka dapat mengalahkan se ekor harimau dan mengusirnya kedalam hutan dan bagaimana mereka mampu melawan de lapan orang sekaligus. Glagah Putih yang lebih banyak mendengarkan percakapan itu tiba-tiba hampir dilu ar sadarnya telah memperbandingkan dua orang anak muda yang sebaya. Glagah Putih memperhatikan landasan berpikir mereka, ungkapan perasaan mereka dan perhatian mereka terhadap sasaran pengamatan mereka. Memang jauh berbeda. Namun kadang-kadang tataran perhatian mereka bertemu, tetap i hanya pada titik silang yang kemudian berpisah lagi, sebagaimana dua buah gari s yang saling berpotongan. Namun pada pembicaraan berikutnya, jarak antara kedua nya menjadi semakin jauh dan bahkan keduanya sama sekali tidak mempunyai arah si nggungan sama sekali. Namun dalam pada itu akhirnya mereka bertigapun sempat ber istirahat dan tidur barang sejenak. Ketika fajar menyingsing, maka mereka telah terbangun. Adalah kebiasaan Glagah P utih untuk segera pergi kesumur untuk menimba air. Aku mandi dahulu. berkata Raden Rangga, nanti, kau ganti mandi dan aku yang mengisi jambangan. Glagah Putih mengangguk. Ialah yang lebih dahulu Raden Rangga mandi. Ketika kemudian seisi rumah itu telah terbangun, maka kedua anak muda itu pergi menengok Ki Demang didalam biliknya. Ternyata bahwa sudah mulai terasa perubahan didalam dirinya. Racun yang sudah tidak bekerja lagi itu tidak lagi merambat, m erusakkan jaringan-jaringan tubuh Ki Demang. Apalagi ketika Ki Demang kemudia te lah mendapat sejenis obat yang dapat memulihkan kekuatannya dari seorang yang me miliki pengetahuan obat-obatan. Namun semula orang itu tidak berani memberikan obatnya, karena sebelumnya ia per nah mengobati Ki Demang tanpa membawa hasil. Bahkan semakin lama menjadi semakin

parah. Racun itu sudah tidak bekerja lagi. berkata Ki Demang, karena itu aku berharap obat mu akan berarti bagi kesehatanku. Sebenarnyalah, obat yang diminumnya itu memberikan kesegaran pada tubuh Ki Deman g yang masih sangat lemah. Tetapi Raden Rangga yakin, bahwa meskipun agak lambat , namun Ki Demang tentu akan dapat pulih kembali. Sebenarnya kami hanya ingin melihat akibat obat yang telah diberikan kepada Ki De mang berkata Raden Rangga, agaknya kita sudah yakin bahwa keadaan Ki Demang akan b erangsur baik. Karena itu, tugasku di Kademangan ini agaknya sudah selesai. Tetapi kau berjanji untuk tinggal di Kademangan ini sampai besok. berkata anak Ki Demang. Raden Rangga tersenyum. Ketika ia berpaling kearah Glagah Putih maka Glagah Puti h itupun berkata, Terserah kepada Raden. Tetapi pekerjaan kita sudah selesai disi ni. Belum. potong anak Ki Demang, masih ada satu tugas yang harus kalian lakukan. Menep ati janji. Raden Rangga tertawa. Namun kemudian iapun menjawab, baiklah. Tetapi dengan satu permintaan. Apa? bertanya anak Ki Demang. Siang nanti kita membuat rujak cengkir dan babal. jawab Raden Rangga. Jangan takut jawab anak itu, disini ada berpuluh batang pohon kelapa dan berpuluh batang pohon nangka. Dengan demikian maka Raden Rangga dan Glagah Putih telah menunda keberangkatan m ereka. Sehari itu mereka sempat mengamati perkembangan kesehatan Ki Demang yang nampaknya menjadi semakin baik betapa lambatnya. Setelah racun didalam tubuhnya yang bekerja perlahan-lahan telah menjadi tawar, maka obat lain yang diberikan t elah mampu bekerja untuk meningkatkan kesehatannya. Ternyata dalam waktu singkat, perubahan kecil telah mulai nampak. Tubuh Ki Deman g tidak lagi merasa nyeri di semua sendi-sendinya. Tanda-tanda perbaikan mulai n ampak, sehingga Nyi Demang yang dalam saat-saat terakhir selalu dicengkam oleh k ecemasan mulai berpengharapan, bahwa suaminya akan dapat sembuh lagi meskipun ti dak dengan serta merta. Karena itu, maka kedua anak muda yang telah menolong anaknya dan kemudian member i obat kepada Ki Demang itu, baginya adalah tamu-tamu yang sangat terhormat. Dalam pada itu, Ki Jagabaya sibuk mengawasi adik Ki Demang yang sedang ditahan. Tidak seorangpun yang menduga, bahwa adik Ki Demang itu telah sampai hati mengor bankan kakak kandungnya untuk mendapatkan kedudukan tertinggi di Kademangan Semp ulur. Yang masih belum diberi tahu tentang rencana adik Ki Demang itu adalah ibu kandu ng Ki Demang sendiri. Ki Demang memang berpesan, agar ibunya yang sudah tua jang an mendengarnya. Tetapi ternyata bahwa karena setiap orang di Kademangan Sempulu r telah membicarakannya, maka akhirnya ibu Ki Demang itupun mendengar juga meski pun tidak jelas, bahwa anaknya yang muda telah ditangkap. Hatinya yang lemah oleh umurnya yang tua, benar-benar telah terguncang. Dipanggi lnya pembantunya, seorang perempuan yang juga sudah mendekati umurnya, meskipun masih agak lebih muda. Apa yang telah terjadi? bertanya ibu Ki Demang itu, menurut pendengaranku, Piyah te lah mengatakan kepada Semi bahwa anakku yang muda telah ditangkap atas perintah anakku yang tua. Demikian kata orang Nyai. jawab pembantunya yang juga sudah tua itu, tetapi aku tid ak tahu, apa sebabnya. Betapa sakitnya hati orang tua ini Tumi. Anakku hanya dua orang. Tetapi mereka ti dak dapat hidup rukun sampai dihari tuanya. berkata perempuan tua itu. Tetapi tentu ada sebabnya. berkata pembantunya, seorang perempuan lugu yang bernam a Tumi. Perempuan tua, ibu Ki Demang itu kemudian berkata, tolong, bawa aku kepada anakku yang tua. Ki Demang masih sakit Nyai. berkata pembantunya itu, tentu masih belum dapat diajak berbicara tentang hal yang rumit-rumit seperti itu. Sebaiknya Nyai menunggu sam pai keadaan menjadi jelas. Kecuali jika Nyai sekedar menengok atau bahkan membes

arkan hatinya. Tetapi aku tidak dapat menunggu sampai pertengkaran itu menjadi-jadi. Demang itu agaknya merasa dirinya berkuasa, sehingga ia berbuat sewenang-wenang terhadap ad iknya yang seharusnya dilindunginya. Ada orang yang mengatakan, bahwa adik Ki Demang itulah yang bersalah. berkata Tumi . Karena itu, aku harus mendapat kejelasan. berkata perempuan tua itu. Tumi menjadi ragu-ragu untuk melakukan perintah perempuan itu. Ia tahu bahwa Ki Demang sedang sakit. Tetepi perempuan tua itu telah memaksanya. Karena itu, maka katanya, Nyai, coba biarlah aku menghubungi Nyi Demang, apakah K i Demang yang sakit agak parah itu dapat menerima Nyai untuk membicarakan masala h itu. Aku ibunya. jawab perempuan itu, sakit atau tidak sakit aku berhak untuk datang kep adanya. Kemarin aku juga menengoknya. Ia dapat menjadi Demang karena ayahnya seo rang Demang. Sepeninggal ayahnya, maka ia mendapatkan kedudukan itu, karena ia a dalah anakku yang tua. Tetapi jika adiknya tidak menjadi Demang maka ia tidak bo leh berbuat sewenang-wenang seperti itu. Tumi tidak dapat berbuat lain. Karena itu, maka iapun telah mengantarkan perempu an tua itu menemui Demang Sempulur yang sedang sakit. Rumah ibu Ki Demang itu hanya berbatasan dinding saja dengan Kademangan. Semula ia juga berada di Kademangan. Tetapi ia ingin melupakan kematian suaminya, Ki De mang yang lama. Karena itu, maka ia telah memotong halaman rumah Kademangan itu dan membangun rumah sendiri untuk mendapatkan suasana yang baru. Kedatangan ibu Ki Demang dengan niat khusus itu memang mengejutkan. Anak Ki Dema ng berusaha untuk menjelaskan kepada neneknya bahwa ayahnya masih sangat lemah. Katanya, Kecuali jika nenek sekedar menengoknya. Ayahmu memang maunya selalu menang. berkata neneknya. Aku akan minta penjelasan kep ada ayahmu, apa yang sebenarnya telah terjadi. Nek. berkata anak Ki Demang itu, besok atau lusa barangkali ayah sudah dapat menjel askan kepada nenek. Kau anak nakal. desis neneknya, ayahmu itu adalah anakku. Anak Ki Demang itu tidak dapat menahan neneknya, sementara itu ia tidak berani m engatakan apa yang telah terjadi dengan ayah dan pamannya, karena ayahnya memang melarang untuk mengatakan hal itu. Tetapi diluar dugaan, ternyata neneknya tela h mendengar peristiwa itu, tetapi hanya sebagian. Ketika Nyi Demang menyatakan kesediaannya untuk menjelaskan persoalannya, peremp uan tua itu mendorongnya kesamping, Aku akan berbicara dengan anakku. Memang tidak ada yang dapat mencegahnya, sehingga akhirnya perempuan tua itu tel ah berdiri disisi pembaringan Ki Demang. Untunglah bahwa keadaan Ki Demang sudah membaik meskipun baru setapak kecil, sementara racunpun telah menjadi tawar. Ki Demang yang tidak menyadari persoalan yang dibawa oleh ibunya tersenyum mener ima kedatangannya. Dengan suara lemah Ki Demang mempersilahkan, Silahkan duduk ib u. Ibu Ki Demang termangu-mangu sejenak. Ketika ia sudah berdiri dihadapan anaknya yang sedang sakit, maka tumbuh perubahan didalam hatinya. Ia tidak lagi ingin me nyumpah dan mengutuk anaknya yang tua. Meskipun sejak kecil anaknya yang muda ya ng seakan-akan lebih dekat dihatinya, namun wajah Ki Demang yang pucat, suaranya yang lemah, dapat sedikit mengendapkan perasaannya. Karena itu, maka ibunya itu pun segera duduk di sebelahnya. Sementara itu Nyi Demang berdiri dengan bayangan wajah yang sangat cemas. Diluar pintu anak Ki Demang telah mengajak Raden Rangga dan Glagah Putih mengikuti neneknya yang mara h. Namun mereka menarik nafas dalam-dalam melihat perubahan sikap ibu Ki Demang itu. Ki Demang sendiri tidak segera bertanya sesuatu. Ia mengira ibunya seperti harihari yang lewat, sekedar menengoknya. Menanyakan kesehatannya, kemudian kembali kerumahnya disebelah. Namun ia memang melihat wajah ibunya agak berbeda dengan k emarin. Demange. berkata ibunya itu, aku mempunyai sedikit persoalan yang ingin aku tanyaka n kepadamu.

O Ki Demang mulai berdebar-debar. Ia mengira bahwa ibunya tentu sudah mendengar te ntang adiknya yang ditangkap itu meskipun ia sudah berpesan agar tidak seorangpu n yang memberitahukan kepadanya. Tetapi agaknya mulut memang sulit untuk dipagar i. Namun Ki Demang masih berpura-pura tidak mengetahuinya. Karena itu maka iapun bertanya, Apa yang ibu maksudkan? Jangan berpura-pura. berkata ibunya, menurut ceritera banyak orang, kau sudah menan gkap adikmu sendiri. Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi karena sebelumnya ia memang sudah me nduga, maka ia tidak menjadi sangat terkejut mendengar pertanyaan itu. Bahkan ia pun kemudian menjawab, Aku terpaksa melakukannya ibu. Namun kemudian dibetulkannya , Tentu bukan aku yang melakukannya, karena aku sedang sakit. Tetapi tentu atas perintahrnu. berkata ibunya pula. Bukan ibu. Atas persoalan yang dilakukannya, maka Ki Jagabaya menganggap perlu un tuk menahannya. Memang atas persetujuanku. jawab Ki Demang. Jadi, apakah kau merasa masih kurang, bahwa kaulah yang telah mewarisi pangkat, d erajad dan sebagian dari peninggalan ayahmu meskipun aku, isteri ayahmu dan seka ligus ibumu masih hidup? Ibu. berkata Ki Demang dengan nada yang berat, aku mengerti maksud ibu. Ibu tentu m enganggap bahwa aku telah berbuat sewenang-wenang terhadap adikku sendiri dan ka rena ibu menyinggung peninggalan ayah, seakan-akan aku ingin mendapat lebih bany ak lagi dari yang aku dapatkan sekarang. Aku tidak asal saja menuduhmu. Kau telah sampai hati menangkap adikmu sendiri. ber kata ibunya selanjutnya, tentu saja kau dapat meminjam tangan Ki Jagabaya atau pa ra pengawal Kademangan. Kau dapat memberikan tuduhan apa saja kepada adikmu sesu ka hatimu. Ki Demang yang sedang sakit itu menarik nafas dalam dalam. Sementara itu Nyi Dem ang mencoba untuk sedikit menurunkan kemarahan mertuanya, Ibu, kakak Demang masih sangat lemah. Aku tidak apa-apa. Aku hanya bertanya saja kepadanya, apa maksudnya menangkap adi knya sendiri. jawab ibunya. Ibu. berkata Ki Demang kemudian, sebaiknya ibu menghubungi Ki Jagabaya. Jagabaya itu tentu sudah kau pesan. jawab ibunya, ia adalah Jagabaya yang baik sebe lumnya. Sejak ia diangkat menggantikan ayahnya oleh ayahmu dahulu, ia sudah menu njukkan kelebihannya dari ayahnya. Tetapi sekarang ternyata ia telah dapat kau p ergunakan untuk kepentinganmu pribadi, bukan kepentingan Kademangan ini. Ki Demang menarik nafas dalam-dalam beberapa kali untuk menahan perasaannya yang bergolak.Ia menghormati ibunya sebagai mana seseorang menghormati ibunya. Namun dalam keadaan sakit, ia tidak banyak kesempatan untuk berbicara panjang. Dadany a yang sudah terasa lapang itu menjadi sesak pula. Dalam pada itu, anak Ki Demang yang tidak tahan melihat keadaan ayahnya berkata, Nenek, jika ayah berkenan, aku dapat menjelaskan persoalannya. Apa tahumu. bentak neneknya. Ayahnyalah yang menyahut, Ibu, sebenarnya aku memerintahkan semua orang untuk tid ak menyampaikan persoalan ini kepada ibu, agar ibu tidak terkejut karenanya. Tet api ternyata aku telah memilih langkah yang salah. Seharusnya sejak semula aku h arus lansung memberitahukan kepada ibu agar ibu tidak mendengar justru dari oran g lain yang dapat menyesatkan. Siapapun yang mengatakan kepadaku, tetapi satu kenyataan bahwa adikmu sudah kau t angkap. berkata ibunya. Ketika Nyi Demang menyatakan kesediaannya untuk menjelaskan persoalannya, peremp uan tua itu mendorongnya kesamping. Aku akan berbicara dengan anakku. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Raden Rangga yang tidak sabarlah yang justr u menjawab, Aku yang menangkapnya nek. Ibu Ki Demang itu berpaling. Dipandanginya seorang anak muda yang berdiri dimuka pintu disebelah cucunya. Anak muda yang belum dikenalnya. Kau siapa? bertanya ibu Ki Demang itu. Raden Rangga tiba-tiba saja menjadi ragu-ragu. Tetapi ia sudah terlanjur mengata kannya. Karena itu, maka jawabnya kemudian, Aku adalah sahabat cucu nenek ini. Apa hubunganmu dengan kedua anakku dalam persengketaan ini? bertanya ibu Ki Demang pula.

Nek. berkata Raden Rangga kemudian, bukankah cucu nenek hanya seorang? Tidak. jawab nenek itu. anak Demange inilah yang hanya satu. Raden Rangga mengangguk-angguk. Dengan demikian maka ia mengetahui bahwa anak ad ik Ki Demang yang telah ditangkap itu agaknya lebih dari seorang. Sebenarnyalah ibu Ki Demang itupun kemudian meneruskan, Anak adik Ki Demang ini a da tiga. Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sudah terlanjur melibatkan dir inya karena ia merasa kasihan kepada Ki Demang. Karena itu maka katanya, Baiklah Nek. Jika nenek ingin penjelasan, biarlah aku menjelaskan, kenapa anak nenek yan g muda itu telah ditangkap. Siapa kau dan apa urusanmu dengan anak-anakku? bertanya ibu Ki Demang itu. Ki Demang yang sakit itu dengan suara lemah menyahut, Ibu. Sebenarnya kami tidak ingin memberitahukan persoalannya kepada ibu. Aku tahu, anak ibu yang bungsu itu terlalu manja. Jika ibu mengetahui persoalannya yang sebenarnya, maka ibu tentu akan terkejut. Ada dua kemungkinan dapat terjadi. Ibu tidak percaya, atau ibu a kan menjadi sangat kecewa terhadap si bungsu itu. Ibunya mengerutkan keningnya. Dipandanginya anaknya yang masih nampak sangat lem ah itu. Kemudian diedarkannya pandangan matanya kearah Nyi Demang, anak Ki Deman g dan dua orang anak muda yang mengaku kawan-kawan cucunya itu. Apa yang telah terjadi sebenarnya? bertanya ibu Ki Demang itu. Raden Rangga masih juga ragu-ragu. Namun Ki Demang itupun kemudian berkata kepad a anaknya, Ceriterakan kepada nenekmu. Ternyata usahaku untuk tidak memberitahuka n kepada nenekmu, akibatnya justru sebaliknya. Nenekmu mendengar dari orang lain , tetapi tidak lengkap sehingga timbul prasangka yang bukan-bukan. Anak Ki Demang itu menjadi ragu-ragu. Tetapi ia sudah remaja bahkan mendekati de wasa, sehingga karena itu, ia sudah dapat membuat pertimbangan-pertimbangan, seh ingga karena itu, maka iapun setuju dengan ayahnya. Neneknya harus mendengar lan gsung dari orang yang berkepentingan agar tidak mendapat kesan yang salah. Jika nenek tidak percaya itu persoalan lain. berkata anak Ki Demang itu didalam ha tinya. Nek. berkata anak Ki Demang itu kemudian sambil mendekat. Namun hatinya menjadi be rdebar-debar juga melihat kerut didahi neneknya. Sementara itu Nyi Demang menjad i tegang. Tetapi ia tidak berani mencampurinya. Demikianlah maka anak Ki Demang itupun kemudian telah menceriterakan apa yang te lah dialaminya. Sejak awal sampai akhir. Juga tentang sakit ayahnya yang semakin lams semakin parah. Perlahan-lahan namun pasti penyakit itu akan membunuh Ki De mang jika ia tidak segera mendapat pertolongan dari anak-anak muda itu. Ibu Ki Demang itu mendengarkan dengan saksama. Setiap kata yang diucapkan oleh c ucunya itu membuat denyut jantungnya serasa menjadi semakin cepat. Ketika cucuny a selesai berceritera tentang peristiwa yang dialaminya itu, maka neneknya menya hut, namun kata-katanya tidak lagi mantap, sehingga terdengar ragu-ragu, Kau berb ohong. Tidak nek. jawab cucunya, kedua orang kawanku ini menjadi saksi. Merekalah yang men olongku dari terkaman harimau itu dan merekalah yang telah mencegah paman membun uhku. Kau katakan bahwa orang yang akan membunuhmu bersama pamanmu itu berjumlah delapa n orang. Sudah tentu delapan orang dewasa seperti pamanmu. bertanya neneknya. Ya nek, memang delapan orang. jawab cucunya. Jadi bagaimana? Delapan orang itu dapat dikalahkan oleh dua orang kawan-kawanmu y ang masih ingusan itu? bertanya neneknya. Anak Ki Demang itu berpaling kearah Raden Rangga dan Glagah Putih. Memang sulit dipercaya bahwa kedua orang anak muda itu mampu mengalahkan pamannya dengan tuju h orang kawannya. Tetapi itu memang sudah terjadi. Karena itu, maka anak itupun berkata, Itulah kelebihan kedua orang kawanku ini. S ebenarnyalah mereka mampu mengalahkan paman bersama tujuh orang kawannya. Jika n enek tidak percaya, marilah kita ajak kedua orang anak muda itu menemui paman. J ika paman ingkar, biarlah paman dan tujuh orang itu diadu dihalaman disaksikan o leh nenek. Tetapi jika kemudian terjadi kematian, maka neneklah yang bertanggung jawab. Kenapa aku? bertanya neneknya, jika keduanya memang pernah memenangkan perkelahian

melawan delapan orang itu, kenapa mereka akan mati? Bukan kawan-kawanku itu yang akan mati. Tetupi lawan mereka. Termasuk paman. berka ta anak Ki Demang itu. Ibu Ki Demang itu mulai ragu-ragu. Namun kemudian Ki Demang itu berkata, Ibu, jik a ibu tidak percaya, silahkan ibu menemui anak ibu yang bungsu. Ajak kedua anak muda itu, agar ia tidak dapat berbohong. Perempuan tua itu agaknya ragu-ragu. Agaknya ia benar-benar ingin membuktikan. K arena itu, maka katanya, Bawa aku kepada si Bungsu. Aku ingin membuktikan apakah kalian tidak membohongi aku dengan fitnah yang kotor. Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun berdesis. Untunglah bahwa kedua anak muda itu masih tinggal disini untuk sehari ini, sehingga dengan demikian m aka mereka akan dapat membantu menjernihkan dugaan ibuku terdahapku. Demikianlah maka anak Ki Demang itupun kemudian telah mengantar neneknya ketempa t pamannya ditahan bersama Raden Rangga dan Glagah Putih. Tanpa kedua anak muda itu, maka adik Ki Demang itu akan dapat ingkar. Dan ibunya tentu lebih percaya k epada anaknya yang muda daripada Ki Demang, meskipun Ki Demang dalam keadaan yan g sangat lemah karena sakit. Sepeninggal anaknya, maka Nyi Demangpun telah berjongkok disisi suaminya berbari ng sambil menangis. Dadanya benar-benar dicengkam oleh kategangan yang sangat. I a mengenal sifat dan watak mertuanya yang keras. Agaknya disaat mertua laki-laki nya masih hidup, maka kedudukannya sebagai Nyi Demang telah menempanya. Namun de mikian ia sendiri agaknya tidak akan menjadi sekeras mertua perempuannya itu. Sudahlah Nyai. berkata Ki Demang, segalanya akan selesai dengan baik. Memang kita b eruntung sekali karena kehadiran kedua orang anak muda itu. Kecuali mereka telah menyelamatkan anak kita, memberikan obat kepadaku dan sekarang mereka akan memb antu menjernihkan kekalutan didalam keluarga kita. Nyi Demang itu mengangguk kecil sambil mengusap matanya. Demikianlah maka ibu Ki Demang itu telah diantar oleh cucunya menemui anaknya ya ng bungsu. Raden Rangga dari Glagah Putih dengan sengaja tidak ikut mereka masuk ke dalam biliknya. Katanya, Kami menunggu diluar. Jika perlu saja, panggil aku. Tetapi penjelasanmu sangat diperlukan. berkata anak Ki Demang. Biarlah nenekmu yakin akan sifat-sifat anaknya yang bungsu itu jika ia melihat se ndiri kecurangannya. berkata Raden Rangga. Anak Ki Demang itu tidak tahu maksud Raden Rangga. Namun iapun kemudian mengikut i neneknya memasuki sebuah bilik untuk menemui anaknya yang bungsu, sementara Ra den Rangga dan Glagah Putih berada diluar pintu. Sebenarnya perempuan itu memang lebih dekat dengan anaknya yang bungsu daripada dengan Ki Demang. Namun demikian, ternyata bahwa pertanyaanpun diberikan dengan nada keras kepada anaknya yang bungsu itu, He, kenapa kau berada disini? Aku tidak tahu. jawab adik Ki Demang itu, aku tidak mengira bahwa kakang Demang aka n menangkap aku. Menurut kakangmu, kaulah yang bersalah. Anak inilah yang telah menceriterakannya kepadaku. berkata ibu Ki Demang itu. O, ceritera apa saja yang sudah dikatakannya? bertanya adik Ki Demang itu. Ibunya mengerutkan keningnya. Katanya, Kau telah berusaha membunuhnya dan sekalig us membunuh anaknya ini. O adik Ki Demang mengangguk-angguk, jadi itukah tuduhannya sehingga aku telah ditah an disini? Jadi, kau melakukannya atau tidak? desak ibunya. Aku belum gila, ibu. jawab adik Ki Demang itu, selama ini aku telah berusaha dengan susah payah merawat dan mengusahakan pengobatan baginya. Agaknya kakang Demang telah berkhayal, seolah-olah aku telah berusaha membunuhnya dan membunuh anaknya . Hal itu tentu terjadi karena kecemasan Ki Demang sendiri. Ia sendiri menderita sakit, sementara itu anaknya hanya seorang dan agaknya belum dewasa penuh. Kaka ng Demang takut sekali kehilangan kedudukannya, sehingga bayangan itu telah terg urat diangan-angannya. Atau kakang Demang memang dengan sengaja ingin menghancur kan keluargaku. Jadi kau tidak melakukannya? bertanya ibunya. Tidak. jawab adik Ki Demang, sudah aku kata, aku belum gila. Kakang Demanglah yang sudah gila. Karena itu, maka bayangan kegilaannya didalam sakitnya itulah yang t

elah mengejarnya. Aku adalah korban dari kejaran bayangan kegilaannya itu. Tetapi anak inilah yang mengatakannya kepadaku, bahwa kau telah berusaha untuk me mbunuhnya dan membunuh ayahnya. berkata ibu Ki Demang itu. Adik Ki Demang itu mengerutkan keningnya. Kemudian dengan tajamnya dipandanginya kemenakannya sambil berkata, Jadi kau yang selama ini sangat aku manjakan itu ju ga telah membantu ayahmu memfitnah aku? Paman. Aku mengatakan yang sebenarnya terjadi atas diriku dan ayahku sebagaimana paman katakan sendiri dipinggir hutan itu. jawab anak Ki Demang. Aku tidak mengira, bahwa kau telah ikut dengan ayahmu dalam usahanya menyingkirka n aku. Sebenarnya apa salahku sehingga kakang Demang sangat membenciku. berkata a dik Ki Demang. Nah. berkata ibu Ki Demang, aku memang sudah mengira bahwa kakangmu telah menjadi g ila didalam sakitnya. Untunglah aku telah mendengar berita tentang hal ini, sehi ngga aku dapat mengusutnya. Dengan demikian maka aku harus segera bertindak agar kegilaan ini segera dihentikan. Tidak nek. anak Ki Demang itu hampir berteriak, paman telah melakukannya. Tenanglah anak manis. berkata pamannya. Ibu sebaiknya bawa aku bertemu dengan kakan g Demang. Siapakah diantara kami yang dapat memberikan penjelasan yang meyakinka n kepada ibu. Dengan demikian akan diketahui siapakah diantara kita yang bersala h. Aku sependapat. berkata ibunya, aku akan memerintahkan para pengawal untuk membawam u kepada Demange. Nek minta cucunya, dengarkan aku. Paman sangat berbahaya. Kau tidak tahu apa-apa. Kau masih terlalu muda untuk ikut berbicara dalam hal ini . Namun tiba-tiba ibu Ki Demang itu bertanya, dimana kedua kawan-kawanmu yang ikut dalam komplotan fitnah ini? Ia ada diiuar. jawab anak Ki Demang. Namun bersamaan dengan itu, maka pintupun tel ah terbuka. Dua orang anak muda telah melangkah memasuki bilik itu. Selamat bertemu kembali Ki Sanak. desis Raden Rangga. Tiba-tiba saja wajah adik Ki Demang itu menjadi pucat. Dipandanginya Raden Rangg a dan Glagah Putih itu dengan tanpa berkedip. Mereka juga pemfitnah. Mereka berdua. suara adik Ki Demang itu menjadi gagap. Ternyata kau tidak lupa kepada kami, Ki Sanak. suara Raden Rangga bernada berat. Adik Ki Demang itu memandang kedua anak mudu itu dengan sorot mata yang bagaikan menyala. Namun kemudian hampir berteriak ia berkata, Pergi kau anak-anak gila. Ibu Ki Demang itu termangu-mangu sejenak. Namun Raden Rangga yang tersenyum itu melangkah mendekat. Katanya, Tenanglah. Kami tidak akan berbuat apa-apa. Kami han ya ingin menjelaskan persoalan yang telah terjadi agar ibumu mendapat gambaran y ang benar dari peristiwa yang sebenarnya. Wajah adik Ki Demang itu menjadi semakin pucat. Sementara itu ibunya bertanya de ngan ragu, Kau kenal kedua anak muda itu? Mereka adalah anak-anak jahat yang ikut berusaha untuk membunuhku. berkata adik Ki Demang itu. Tenanglah. berkata Raden Rangga kemudian, kenapa kau akan dibunuh? Tidak ada orang yang akan membunuhmu. Ki Demang hanya menangkapmu. Jika Ki Demang ingin membunuh mu, maka kau tentu sudah mati dipinggir hutan itu? Nah, apakah aku harus membukt ikan, bahwa aku mampu melakukannya seandainya aku memang ingin membunuhmu? Tubuh adik Ki Demang itu menjadi gemetar. Sementara ibu Ki Demang yang melihat s ikap anak muda itu tiba-tiba berteriak, Keluar kau. Jika kau tidak mau keluar, ak u perintahkan para pengawal menangkapmu. Menurut tuduhan adik Ki Demang ini, kami berdua tidak hanya cukup diperintahkan u ntuk keluar denga ancaman akan ditangkap. Tetapi jika benar tuduhan adik Ki Dema ng ini, kami memang harus ditangkap. Tetapi tidak ada orang yang dapat menangkap kami di Kademangan ini. Sementara itu Ki Jagabaya berpihak kepada Ki Demang. Ba hkan semua bebahu Kademangan ini, karena mereka mengetahui kenyataan yang terjad i. berkata Raden Rangga. Anak gila. geram ibu Ki Demang itu, kau berani menentang aku? Aku adalah isteri Ki Demang yang dahulu. Sedangkan anakku sekarang menjadi demang disini. Tetapi Nyai justru berusaha untuk menyudutkan Ki Demang yang sedang sakit itu. ber

kata Raden Rangga, maaf Nyai. Aku tidak akan menyakiti hati seorang perempuan tua . Tetapi aku ingin Nyai juga dapat melihat kenyataan. Namun yang lebih jahat dar i segala-galanya yang telah dilakukan oleh anak Nyai yang bungsu itu adalah bahw a ia sampai hati menyesatkan pandangan ibunya untuk membunuh kakak dan kemenakan nya. Ibu Ki Demang itu menjadi sangat tegang. Namun ternyata bahwa kata-kata Raden Ra ngga itu memang menyentuh hati adik Ki Demang. Ketika ia melihat ibunya menjadi sangat bingung dan bahkan bagaikan kehilangan keseimbangan nalar, tiba-tiba saja si Bungsu yang manja itu terbuka hatinya. Dengan lemahnya adik Ki Demang itupun kemudian berjongkok dihadapan ibunya sambi l berkata, Ampun ibu. Aku memang bersalah. Ibunya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil mengusap kepala anaknya yan g bungsu itu ia bertanya dengan suara sendat, Jadi benar apa yang dikatakan oleh kemanakanmu itu bahwa kau memang berusaha untuk menyingkirkan kakakmu dan sekali gus membunuh anak itu? Adik Ki Demang itu tidak dapat menahan gejolak perasaannya. Perasaannya bersalah tiba-tiba telah mendera hatinya, sehingga orang yang bertubuh tegap kekar itu t iba-tiba telah menangis sambil memeluk kaki ibunya. Ia benar ibu. Aku memang tela h merencanakannya. Untunglah bahwa aku tidak berhasil melakukan rencana itu, seh ingga tanganku masih belum dikotori dengan darah saudaraku sendiri. Perempuan tua itu termangu-mangu sejenak. Dengan nada datar ia bergumam, Ya Tuhan . Aku serahkan segalanya ditanganmu. Perempuan itu sekali lagi mengusap kepala anaknya yang bungsu sambil berkata, Aku harus minta maaf kepada kakangmu. Aku sudah menyangkanya melakukan kesalahan. A ku mengira hatinya dibakar oleh kedengkian. Aku mohon ampun ibu. Jangan jatuhkan kutuk atasku. Biarlah aku menjalani hukuman apapun yang akan dijatuhkan oleh kakang Demang. tangis adik Ki Demang itu. Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Ketabahan seorang ibu membayang dimatanya yang tidak basah, betapapun jantungnya berdegup. Ketabahan seorang isteri Demang yan g ditempa oleh keadaan sejak masa mudanya. Sejanak ia berdiri mematung. Namun ke mudian katanya kepada cucunya, Bawa aku kepada ayahmu. Anak Ki Demang itupun kemudian menggandengnya, namun terasa ditangan anak muda i tu, neneknya gemetar. Sudahlah. berkata perempuan tua itu kepada anaknya yang bungsu. Lalu, Hadapi persoa lanmu sebagaimana seorang laki-laki. Kau adalah anak Demang Sempulur almarhum. J angan menjadi cengeng. Adik Ki Demang itu berusaha untuk mengatur perasaannya. Sambil mengangguk ia ber kata terbata-bata, Aku akan berusaha ibu. Berdirilah dengan tegak. Tatap mataku yang tidak basah. berkata perempuan itu. Adik Ki Demang itu mengangguk. Demikianlah maka perempuan tua itupun kemudian berjalan meninggalkan tempat itu dibimbing oleh cucunya, kembali ke Kademangan. Sementara Raden Rangga dan Glagah Putih mengikutinya beberapa langkah dibelakang mereka. Meskipun perempuan tua itu mengerti apa yang telah terjadi, tetapi ia masih teta p tidak mengacuhkan kedua anak muda yang mengaku kawan dari cucunya itu. Raden R angga dan Glagah Putih merasakan juga sikap ibu Ki Demang itu terhadap mereka. N amun keduanya agaknya tidak merasa tersinggung karenanya. Dengan demikian maka Raden Rangga dan Glagah Putih itu sama sekali tidak ingin b erbuat sesuatu karena sikap ibu Ki Demang itu. Mereka mengerti, kekecewaan yang sangat telah membuat ibu Ki Demang itu kehilangan pengamatan atas sikapnya sendi ri. Mereka tidak sempat mengenali kedua anak muda itu dengan cermat bahkan kedua nyalah yang telah ikut membantu menentukan kegagalan rencana anaknya yang bungsu untuk melakukan pembunuhan. Pada saatnya ia akan menyadari kekeliruannya. berkata Raden Rangga. Tetapi perempuan itu sangat tabah. berkata Glagah Putih. Ia memang tidak menangis. sahut Raden Rangga, tetapi aku yakin bahwa hatinya hancur sebagaimana hati seorang ibu yang melihat anaknya yang hanya dua itu bertengkar . Bahkan dengan sungguh-sungguh. Tidak bertengkar. jawab Glagah Putih, tetapi kejahatan yang dilakukan oleh sepihak. Raden Rangga mengerutkan keningnya. Tetapi ia menjawab, Itu adalah sebabnya. Teta

pi kemudian mereka bertengkar juga, karena Ki Demang kemudian setuju menahan adi knya. Glagah Putih tersenyum. Sambil mengangguk ia berkata, Raden benar. Raden Ranggapun kemudian tersenyum juga. Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Demikianlah, ketika ibu Ki Demang itu sampai kebilik Ki Demang yang sedang sakit , dua orang perempuan sedang menungguinya. Isterinya dan isteri orang bebahu Kad emangan. Ketika mereka melihat ibu Ki Demang itu datang, maka isteri bebahu yang ikut menunggui Ki Demang itupun segera keluar. Nyi Demang telah menjadi gemetar. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Sementara it u Ki Demang masih sangat lemah dan tidak dapat berbuat banyak. Namun Nyi Demang masih juga bersyukur bahwa keadaan Ki Demang sudah berangsur baik. Ibu Ki Demang itu ketika memasuki bilik itu, matanya masih tetap kering. Ia mena tap Nyi Demang dan Ki Demang berganti-ganti. Kemudian perlahan-lahan perempuan t ua itu mendekati pembaringan Ki Demang. Sejenak perempuan tua itu termangu-mangu, sementara cucunya berdiri tegak dibela kangnya, sedangkan Raden Rangga dan Glagah Putih masih juga berada dipintu. Perempuan tua itu tiba-tiba saja telah meraba tangan Ki Demang. Perlahan-lahan i a berdesis, Maafkan aku Demange. Kau tidak bersalah. Ternyata aku salah menilai s ikapmu selama ini. Ki Demang masih akan menjawab. Tetapi tidak sempat, karena perempuan tua itu tib a-tiba terhuyung-huyung. Untunglah cucunya cepat menangkapnya. Demikian pula Nyi Demang. Ibu. desis Ki Demang yang hampir saja meloncat bangkit. Tetapi Raden Rangga cepat pula mencegahnya. Jangan bangkit. berkata Raden Rangga, K i Demang masih dalam keadaan sakit. Ki Demang menjadi terengah-engah. Sementara itu Glagah Putih telah, membantu men ahan ibu Ki Demang yang ternyata menjadi pingsan. Tubuh yang berkeriput karena u murnya itupun kemudian telah diangkat dan dibawa ke bilik sebelah. Beberapa oran g kemudian menjadi sibuk. Berbagai usaha telah dilakukan oleh Nyi Demang, sehing ga akhirnya perlahan-lahan perempuan tua itu telah membuka matanya. Aku berada dimana? suaranya sangat lemah. Di Kademangan ibu jawab Nyi Demang. Perempuan tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengumpulkan ingatannya, sehingga akhirnya ia menyadari seluruhnya apa yang telah terjadi. Ternyata usah anya untuk menahan gejolak hatinya sehingga matanya tidak menitikkan air mata, t elah berakibat sangat berat bagi perasaannya. Pada saat tekanan itu sampai kepun cak, maka ia telah menjadi pingsan. Nyai. berkata Glagah Putih yang datang pula kebilik itu, Nyai sebaiknya membesarkan hati Nyai. Beruntunglah bahwa segala sesuatunya belum terjadi. Anak Nyai keduaduanya masih selamat. Cucu Nyai itupun kini masih ada disamping Nyai. Karena itu anggap saja semuanya sebagai satu rnimpi yang buruk didalam tidur Nyai. Setelah Nyai bangun, maka tidak ada apapun yang telah terjadi. Perempun tua itu memandangi wajah Glagah Putih sejenak. Namun akhirnya iapun ber kata dengan suara lunak, Terima kasih anak muda. Bukankah kau dan kawanmu yang se orang itulah yang telah menyelamatkan keluarga ini dari kehancuran? Ya. jawab cucu perempuan itu, kedua orang kawanku inilah yang telah menolong bukan hanya aku saja. Tetapi seluruh keluarga kita. Perempuan tua itu mengangguk-angguk. Sementara itu Nyi Demang telah menyiapkan m inuman hangat bagi mertuanya. Ketika ia singgah dibilik suaminya, Ki Demang masi h ditunggui oleh Raden Rangga. Bagaimana dengan ibu? bertanya Ki Demang. Ibu sudah sadar sepenuhnya. jawab Nyi Demang, nampaknya tidak ada akibat yang sungg uh-sungguh. Agaknya ibu hanya penahan gejolak perasaannya saja sehingga ia menja di pingsan. Ki Demang mengangguk kecil. Namun kemudian ia berdesis, Sokurlah. Dalam pada itu, maka perempuan tua itupun kemudian berusaha untuk bangkit. Dimin umnya air hangat yang disiapkan oleh menantunya. Ketika tubuhnya terasa menjadi segar, maka mulail ah air matanya mengambang dipepuluk matanya. Namun air mata i tu tidak mengalir sebagaimana seseorang yang sedang menangis. Dalam pada itu, ketika semuanya sudah menjadi jernih, maka Raden Rangga dan Glag

ah Putihpun telah meninggalkan ruangan itu. Ternyata anak Ki Demang mengikutinya ketika keduanya kembali ke bilik yang disediakan bagi mereka. Syukurlah bahwa Raden masih berada disini bersama Glagah Putih. berkata anak Ki De mang itu, segala salah faham dapat diatasinya. Raden Rangga mengangguk-langguk. Katanya, Mudah-mudahan Ki Demang dapat mengambil , keputusan yang bijaksana. Yang bersalah itu adalah adiknya sendiri. Anak Ki Demang itu mengangguk-angguk. Namun agaknya kami sudah tidak banyak diperlukan lagi disini. Menurut pengamatan kami, Ki Demang akan sembuh meskipun perlahan-lahan. Sementara itu persoalan bar u yang timbul karena sikap nenekmu agaknya sudah dapat di atasi pula. Karena itu , maka sudah waktunya kami meninggalkan tempat ini. berkata Raden Rangga. Jangan tergesa-gesa. minta anak Ki Demang, ternyata banyak kemungkinan dapat terjad i. Tetapi pamanmu sudah menyadari kesalahannya. berkata Raden Rangga, itu adalah permu laan dari penyelesaian yang nampaknya akan lancar dan tidak berakibat buruk bagi Kademangan ini. Anak muda itu mengangguk kecil. Namun ia masih berkata, Baiklah. Tetapi aku berha rap bahwa kalian tidak berangkat sekarang. Tetapi biarlah besok jika nenek sudah tidak lagi diguncang oleh perasaannya. Dengan demikian maka pertolongan kalian akan tuntas. Raden Rangga dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Raden Rangga berkata, tidak ada yang dicemaskan. Besok kami terpaksa minta diri. Anak Ki Demang itu tidak dapat menahannya lagi. Besok pagi-pagi sekali kedua ana k muda itu akan meninggalkan Kademangan Sempulur. Namun menjelang senja, Raden Rangga dan Glagah Putih memang masih berada di bili k Ki Demang. Kemudian mereka menyempatkan diri untuk menengok ibu Ki Demang yang ternyata juga masih saja berbaring di sebuah bilik dirumah Ki Demang. Goncangan perasaannya telah membuatnya merasa dirinya lemah sehingga ia harus berbaring s aja di pembaringan. Dari bilik pembaringan ibu Ki Demang, Raden Rangga dan Glagah Putih telah dibawa oleh anak Ki Demang itu untuk melihat-lihat padukuhan induk Kademangan Sempulur menjelang senja. Mereka berjalan menyusuri jalan padukuhan sampai keregol yang menghadap kearah matahari terbenam. Ketiganya tertegun ketika mereka melihat mat ahari yang merah perlahan-lahan mulai tenggelam sehingga langitpun menjadi buram karenanya. Namun perhatian Raden Rangga dan Glagah Putih segera beralih kepada dua orang ya ng berjalan mendekati regol itu. Beberapa langkah dihadapan mereka bertiga, kedu a orang itu berhenti. Sejenak keduanya nampak ragu-ragu. Namun kemudian seorang diantara mereka bertanya, Anak-anak muda, apakah yang kalian lakukan disini? Apak ah kalian sedang bertugas berjaga-jaga atau tugas yang lain? Anak Ki Demang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, Aku tid ak tahu maksud Ki Sanak berdua. Kenapa kalian bertiga ada disini? berkata orang itu menegaskan. Kami adalah penghuni padukuhan ini. jawab anak Ki Demang, apa yang aneh jika kami b erada disini? Kedua orang itu mengangguk-angguk. Namun seorang diantara mereka kemudian berkat a, Apakah anak-anak muda di padukuhan ini memang sedang berjaga-jaga? Setiap hari mereka berjaga-jaga. jawab anak Ki Demang, di malam hari mereka berada di gardu-gardu. Tetapi sudah tentu tidak disaat-saat senja seperti ini. Biasanya mereka turun ron da setelah waktunya Sepi uwong. berkata seorang diantara kedua orang itu. Ya. Memang mereka belum turun ke gardu saat ini. : jawab anak Ki Demang. Lalu kenapa kalian berada disini? Bukankah bukan saatnya untuk berdiri dan merenu ngi sawah kalian disaat seperti ini. berkata orang itu, biasanya disaat seperti in i anak-anak muda justru berada dirumah. Memasukkan ternak ke kandang atau barang kali menyiapkan lampu minyak atau kerja yang lain. Tetapi kalian bertiga nampakn ya tidak mempunyai kerja lain kecuali merenungi langit. berkata orang itu pula. Anak Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, Kerjaku sudah selesai. Kami be rtiga memang ingin melihat matahari terbenam senja ini. Tetapi bukan itu yang se benarnya penting. Kami akan pergi ke sawah. Sawah kami mendapat giliran air senj

a ini. Memang masuk akal. jawab orang itu, tetapi baiklah, sebelum kalian pergi kesawah, a ku ingin bertanya serba sedikit tentang keadaan Kademanganmu ini. Menurut ketera ngan yang lain yang aku dengar, terjadi perselisihan antara Ki Demang dengan adi knya, sehingga adiknya sekarang ditahan. O anak Ki Demang itu mengangguk-angguk, aku tidak tahu pasti. Tetapi aku juga menge tahui bahwa hal itu memang terjadi. Nampaknya sebab penahanan itu tidak masuk akal. berkata orang itu, dimana adik Ki Demang itu di tahan. Kami ingin bertemu dan berbicara dengan adik Ki Demang untu k meyakinkan, apakah ia bersalah atau tidak. Anak Ki Demang itu mengerutkan keningnya, Katanya, Apakah kalian akan mencampuri persoalan itu? Persoalan itu adalah persoalan Ki Demang dengan adiknya. Orang-or ang Kademangan inipun tidak dibenarkannya untuk ikut mencampurinya. Aku hanya ingin meyakinkan diri, apakah hal itu benar. Aku sama sekali tidak akan mencampuri persoalannya. jawab orang itu. Anak Ki Demang itu menjadi ragu-ragu. Justru karena itu ia tidak segera menjawab . Raden Rangga dan Glagah Putihpun menjadi termangu-mangu. Tetapi mereka tidak s egera mencampuri pembicaraan itu. Agaknya anak Ki Demang yang masih muda itupun telah mampu mempertimbangkan banyak persoalan. Dalam pada itu, karena anak Ki Demang itu tidak segera menjawab, maka salah seor ang diantara kedua orang itu mendesak, Tunjukkan saja dimana adik Ki Demang itu d itahan. Cukup. Kau tidak usah berbuat apa-apa. Namun anak Ki Demang itu menjawab, Aku tidak tahu. Yang aku tahu, adik Ki Demang itu dibawa oleh Ki Jagabaya. Itupun aku tidak melihat sendiri. Aku hanya mendeng ar dari kawan-kawanku yang kebetulan melihatnya. Kau jangan berbelit-belit begitu anak muda. Kau tinggal di Padukuhan Induk Kadema ngan ini. Kau tentu tahu, dimana adik Ki Demang itu disimpan. desak orang itu. Memang ada beberapa tempat yang mungkin dipergunakan. berkata anak Ki Demang, tetap i aku tidak tahu pasti. Sebutkan. desis orang itu. Mungkin di Banjar. Mungkin dirumah Ki Jagabaya atau mungkin dirumah adik Ki Deman g itu sendiri. jawab anak Ki Demang. Kedua orang itu termangu-mangu. Namun kemudian mereka berbincang sejenak. Tetapi seorang diantara mereka kemudian berkata, Aku tidak percaya jika anak muda di Pa dukuhan Induk itu tidak tahu dimana adik Ki Demang itu di simpan. Mereka memang merahasiakannya. tiba-tiba saja Raden Rangga menyahut, Ki Demang mesk ipun sedang sakit, ternyata mampu memperhitungkan, bahwa kemungkinan yang tidak diduga akan dapat terjadi. Kemungkinan apa? bertanya salah seorang diantara kedua orang itu. Kemungkinan bahwa adik Ki Demang itu tidak berdiri sendiri. jawab Raden Rangga, kem ungkinan campur tangan orang luar yang ingin mendapat keuntungan dari perselisih an antara Ki Demang dan adiknya itu. Wajah orang itu menegang. Sesama mereka justru saling berpandangan. Namun mereka masih belum menunjukkan sikap yang kasar. Anak muda. berkata orang itu kemudian, dugan Ki Demang itu memang mungkin terjadi. Jika. kalian memberi kesempatan kepadaku untuk menemuinya, maka kalian akan dapa t mengetahuinya, apakah kecurigaan Ki Demang itu benar atau tidak. Ki Sanak. berkata Raden Rangga kemudian, seandainya kami dapat menunjukkan tempat i tu, maka apakah para penjaga akan memberimu kesempatan? Kami akan menjelaskan maksud kedatangan kami. berkata salah seorang diantara merek a. Yang kemudian tidak diketahui maksudnya oleh anak Ki Demang justru Raden Rangga itu berkata, Baiklah. Jika kau berjanji tidak akan membuat keributan, kami bersed ia mengantarkan kalian. Anak Ki Demang memandang Raden Rangga dengan sorot mata keheranan. Namun Glagah Putih telah menggamitnya sehingga anak Ki Demang itu tidak bertanya sesuatu. Bagus. berkata kedua orang itu hampir bersamaan. Kemudian seorang diantara mereka berkata, marilah. Mumpung belum terlalu malam. Kemudian kau masih sempat pergi ke sawah dan membuka pematang untuk menampung air. Raden Ranggalah yang berjalan dipaling depan. Kemudian baru kedua orang itu. Dib

elakang mereka Glagah Putih berjalan bersama anak Ki Demang. Apa maksud Raden Rangga itu? bertanya anak Ki Demang. Percayakan. Ia memiliki ketajaman penalaran yang luar biasa. bisik Glagah Putih. Anak Ki Demang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia yakin bahwa Raden Rangga itu tentu mempunyai maksud baik bagi Kademangan itu. Apalagi ketika Glagah Puti h kemudian berbisik pula, Raden Rangga sudah mengatakan, bahwa ada kemungkinan ad ik Ki Demang itu mempunyai hubungan dengan orang luar yang mendukung tingkahnya, namun sudah tentu bermaksud mencari keuntungan karena peristiwa itu. Anak Ki Demang yang ternyata cukup cerdas itu mengangguk-angguk. Ia mengerti mak sud Raden Rangga membawa orang itu kepada pamannya. Sejenak kemudian, maka merek a telah memasuki halaman tempat adik Ki Demang itu ditahan. Beberapa orang penja ga segera berdiri menyongsong mereka. Namun kemudian anak Ki Demanglah yang mend ahului mereka sambil berdesis, Akulah yang membawa mereka. Siapakah mereka? bertanya pemimpin pengawal yang bertugas. Aku tidak tahu. Kau dapat bertanya sendiri. Tetapi jika mereka bermaksud mengunju ngi paman, berilah kesempatan. berkata anak Ki Demang itu perlahan-lahan, tetapi j angan terlalu mudah. Aku tidak tahu maksudmu. desis pemimpin pengawal itu. Anak Ki Demang itu termangu-mangu. Namun Raden Rangga dan Glagah Putih ternyata berhenti pada jarak yang tidak terlalu dekat bersama kedua orang itu. Karena itu anak Ki Demang itu sempat menjelaskan, Kalian harus berpura-pura mencegah mereka menemui paman. Namun setelah mereka lama memberikan penjelasan, barulah kalian memberikan kesempatan itu atas tanggung jawabku. Pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, Baiklah. Demikianlah, maka kedua orang itu telah dibawa kepada pemimpin pengawal itu, sem entara anak Ki Demang berkata, Aku sudah mengatakan kepada pemimpin pengawal itu tentang maksudmu. Tetapi terserah kepada mereka, apakah mereka mengijinkan atau tidak. Kami akan berbicara langsung dengan para pengawal itu. berkata salah seorang dari mereka. Raden Rangga memberi isyarat kepada anak Ki Demang, agar membiarkan kedua orang itu untuk berbicara. Namun mereka harus tetap mengawasinya dari jarak yang tidak terlalu dekat. Namun demikian pemimpin pengawal itupun menjadi berdebar-debar. Bagaimanapun jug a sikap kedua orang itu dan tanggapan anak Ki Demang telah menimbulkan persoalan didalam hatinya. Tetapi ketika ia melihat beberapa pengawal ada di halaman dan apalagi anak Ki Demang dan kedua orang kawannya yang dianggap memiliki kelebihan itu, hatinya menjadi tenang. Silahkan Ki Sanak. berkata pemimpin pengawal itu. Kedua orang itupun kemudian duduk dihadapan pemimpin pengawal itu. Sejenak merek a masih sempat memperhatikan halaman rumah itu dan melihat beberapa orang pengaw al yang mengawasi tempat itu dengan ketat. Dengan demikian maka kedua itu mendap at kesan, bahwa adik Ki Demang itu merupakan tawanan yang penting sekali. Apakah maksud Ki Sanak berdua datang kemari? bertanya pemimpin pengawal itu kemudi an. Dengan singkat salah seorang dari kedua orang itu berkata, Aku ingin bertemu deng an adik Ki Demang Sempulur. Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, Adik Ki Demang adalah seorang tawanan. Tidak ada orang yang diperkenankan menemuinya. Kecuali jika ia mendapat ijin Ki Demang sendiri. Ki Sanak. berkata orang itu, aku mempunyai kepentingan yang barangkali juga akan me mberikan manfaat kepada Kademangan ini. Aku akan dapat mengorek keterangan adik Ki Demang itu, apakah yang telah terjadi sesungguhnya dan siapa saja yang berdir i di belakangnya. Terima kasih Ki Sanak. berkata pemimpin pengawal itu, nampaknya segala sesuatunya t elah dianggap jelas. Ki Demang sudah mendapat gambaran pasti apakah yang telah t erjadi. Apa yang sebenarnya terjadi? bertanya orang itu. Tentu tidak semua orang mengetahuinya termasuk aku. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi sebenarnya karena aku tidak lebih dari seorang pengawal biasa. jawab pem

impin pengawal itu. Nah, dengarlah. Ki Demang itupun belum mengetahui apa yang sebenarnya telah terja di. Karena itu beri kesempatan aku menemuinya. Nanti aku akan melaporkan hasil p embicaraanku dengan adik Ki Demang itu. berkata orang itu. Ki Sanak aneh. berkata pengawal itu pula, Ki Sanak orang asing disini. Bagaimana mu ngkin Ki Sanak dapat menyadap persoalan didalam diri adik Ki Demang itu, sementa ra Ki Sanak menganggap bahwa Ki Demang sendiri tidak dapat melakukannya. Sebaiknya beri kami kesempatan, agar kami tidak mempergunakan kekerasan. berkata o rang itu, dengar. Aku adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Aku dapat berb uat apa saja atas Kademangan ini. Meskipun kami hanya dua orang, tetapi kami mem iliki kelebihan yang sangat jauh dari para pengawal, sehingga jika kalian mencob a menghalangi niatku, maka kalian akan kami hancurkan. Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Tetapi anak Ki Demang itu berpesan, agar k edua orang itu jangan dipermudah untuk dapat bertemu dengan adik Ki Demang meski pun akhirnya harus diijinkan. Karena itu maka iapun berkata, Ki Sanak. Seperti kalian lihat, dihalaman ini sela in aku ada beberapa orang pengawal. Kalian hanya berdua. Apakah kalian akan mamp u memaksakan kehendak kalian kepada kami? Kedua orang itu tiba-tiba tertawa tiba-tiba saja tertawa. Seorang diantara merek a berkata, Kau sangat menggelikan Ki Sanak. Jangankan hanya mereka yang ada di te mpat ini. Pengawal seluruh Kademanganpun tidak akan dapat mengalahkan kami. Tentu mustahil. berkata pemimpin pengawal, betapapun tinggi ilmu kalian, jika lawan berjumlah tidak terbilang, maka kalian tentu tidak akan mampu keluar hidup-hidu p dari Kademangan ini. Mungkin kau benar Ki Sanak. Tetapi kau tidak membayangkan bahwa korban yang akan jatuh jumlahnya tidak terbilang pula? Mungkin lebih dari separo orang Kademangan ini akan mati bersama kami. Atau justru kami sempat melarikan diri meninggalkan Kademangan ini dengan mayat yang terbujur lintang dijalan-jalan, dihalaman dan dikebun-kebun. jawab orang itu, atau Ki Sanak memang menghendaki demikian? Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja ia merasakan sesuatu yang aneh. Udara menjadi hangat. Sementara itu kedua orang itu memandanginya den gan sorot mata yang aneh. Nah, kau sadar, bahwa kau dan orang-orangmu tidak dapat mencegah aku? bertanya sal ah seorang dari keduanya, kami dapat meningkatkan panas udara itu sampai batas me mbakar kulitmu. Pemimpin pengawal itu menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja seorang diantara kedu a orang itu telah menyentuh tangannya dengan ujung jarinya. Pemimpin pengawal it u terkejut sehingga ia bergeser surut. Apa yang kau rasakan? bertanya orang itu. Pemimpin pengawal itu menjadi gemetar. Ia benar-benar merasa ketakutan. Seandain ya anak Ki Demang tidak berpesan apapun, maka ia memang merasa tidak akan dapat mencegah orang itu. Ternyata kulitnya yang tersentuh ujung jari orang itu menjad i bagaikan tersentuh api. Panas sekali, dan bahkan juga meninggalkan luka bakar sebesar ujung jari. Apa katamu? bertanya orang itu. Pemimpin pengawal itu meraba tangannya yang luka. Kemudian dengan suaara terbata -bata ia berkata, Sebenarnya aku tidak dapat memberikan kesempatan itu. Tetapi te rserah kepadamu jika kau memaksa dengan caramu ini. Kedua orang itu tersenyum. Seorang diantara mereka kemudian berkata, Nah, sebaikn ya kau tunjukkan. Dimanakah bilik yang dipergunakan untuk menahan adik Ki Demang itu? Pemimpin pengawal itupun kemudian telah membawa kedua orang itu kesebuah bilik y ang tertutup rapat dan kuat. Sebuah lubang yang mengalirkan udara kedalam bilik itu dipagari dengan balok-balok kayu sebesar lengan, sehingga tidak mungkin bagi adik Ki Demang itu untuk menerobos keluar. Orang itu ada didalam. berkata pengawal itu. Terima kasih. sahut salah seorang dari keduanya. Masuklah. Tetapi maaf, aku harus menyelarak pintu selama kalian berada didalam Ji ka kalian telah selesai, panggil aku. Aku ada disini untuk membuka selarak pintu itu lagi. berkata pemimpin pengawal itu.

O, silahkan. jawab salah seorang dari keduanya, selarak itu tidak akan dapat menaha nku didalam. Seandainya aku ingin keluar meskipun selarak itu masih ada, aku tid ak akan mengalami kesulitan apapun juga. Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Demikianlah ketika selarak pintu itu dibuka, maka kedua orang itupun telah memas uki bilik tahanan adik Ki Demang itu. Dalam pada itu, Raden Rangga, Glagah Putih dan anak Ki Demangpun telah mendekati pemimpin pengawal yang termangu-mangu itu. Sekali-sekali diamatinya luka bakar ditangannya oleh sentuhan jari-jari salah seorang dari kedua orang yang menemui adik Ki Demang itu. Kenapa tanganmu? bertanya anak Ki Demang. Pemimpin pengawal itu masih gemetar. Dengan suara rendah hampir berbisik ia berk ata, Kedua orang itu memiliki ilmu yang luar biasa. Seandainya kau tidak memberik an pesan agar aku membiarkan mereka menemui adik Ki Demang, maka aku tidak akan mampu menolak niatnya. Jadi, kenapa tanganmu itu? bertanya anak Ki Demang itu. Sentuhan ujung jarinya telah membakar kulitku. jawab pemimpin pengawal itu, bukanka h itu berarti bahwa orang itu tidak akan terkalahkan jika terjadi benturan keker asan dengan isi Kademangan ini. Celakanya jika kedua orang itu berusaha untuk me mbantu adik Ki Demang. Apa yang dapat kita lakukan atas mereka? Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata, Lihat bekas luka bakar itu. Pemimpin pengawal itu menunjukkan tangannya yang terluka sambil berkata, Luka ini terjadi hanya karena sentuhan jarinya. Ternyata jari-jari orang itu panasnya me lampui bara api. Sungguh satu peristiwa yang hampir tidak dapat dipercaya. Raden Rangga tersenyum Katanya, Bukan satu keajaiban. Satu peristiwa yang biasa s aja. Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Dengan nada heran ia berkata, Jangan mengabaikan kemampuan mereka. Kau lihat sendiri, apa yang terjadi pada kulitku ini. Aku mengerti. jawab Raden Rangga, tetapi itu bukan satu hal yang berlebihan. Banyak orang yang dapat berbuat seperti itu. Ah, aku tidak yakin. jawab pemimpin pengawal itu. Namun Raden Rangga tertawa. Katanya, Lihat sekali lagi lukamu itu. Pemimpin pengawal itu sekali lagi mengulurkan tangannya yang terluka. Namun deng an serta merta ia menarik tangannya. Bahkan iapun telah bergeser selangkah mundu r. Hampir saja ia mengumpat. Untunglah bahwa ia mampu menahan bibirnya. Ternyata Raden Rangga telah menyentuh pula tangan orang itu disebelah luka bakar nya. Ujung jari Raden Ranggapun telah melukai orang itu pula. Justru lebih dalam dan lebih parah. Apa yang kau lakukan? pemimpin pengawal itu mengeluh. Raden Rangga tertawa. Katanya, Aku hanya ingin menunjukkan kepadamu, bahwa kemamp uan itu adalah kemampuan yang wajar. Banyak orang yang mampu melakukannya. Sauda raku inipun mampu pula melakukan hal seperti itu. Apakah kau ingin ia mencoba pu la ditanganmu? Tidak. Tidak. jawab pemimpin pengawal itu. Raden Rangga masih tertawa. Namun katanya kemudian, Jangan takut. Aku mempunyai o batnya. Obat apa? bertanya pemimpin pengawal itu. Untuk mengobati luka bakar atau luka-luka baru lainnya. jawab Raden Rangga sambil mengambil sebuah bumbung kecil dari kampil kecil yang tergantung pada ikat pingg angnya. Ia mempunyai beberapa bumbung kecil di kampil itu yang berisi beberapa j enis obat. Raden Rangga telah menyentuh obat itu dengan jari-jarinya. Kemudian diusapkannya pada kedua luka bakar ditangan pemimpin pengawal itu. Meskipun luka tidak sembu h dengan serta merta, tetapi luka itu sudah tidak terasa pedih. Besok luka itu sudah akan kering. berkata Raden Rangga, jangan sampai tersentuh air sampai besok pagi. Pemimpin pengawal itu menjadi keheran-heranan. Ternyata anak-anak muda yang dise but kawan anak Ki Demang itupun mampu melakukannya. Bahkan ia mempunyai obat yan

g dapat dipergunakannya untuk menyembuhkan bekas luka bakar itu. Sementara itu, Raden Rangga yang diikuti oleh Glagah Putih itupun bergeser dari tempatnya sambil berdesis, Sudahlah. Tinggallah kalian disini. Kami akan mengetah ui apa yang dilakukan oleh kedua orang itu. Anak Ki Demangpun kemudian tinggal bersama pemimpin pengawal itu sementara Raden Rangga dan Gla-gah Putih telah mendekat. Dengan sangat berhati-hati keduanya me ndekati bilik tempat adik Ki Demang itu ditahan. Raden Rangga telah memberikan i syarat kepada Glagah Putih untuk berusaha menyerap bunyi yang terjadi karena sen tuhan tubuhnya, sehingga orang yang berada didalam tidak mengetahui bahwa dua or ang telah mendekati dan berusaha mendengarkan percakapan mereka. Dari tempatnya Raden Rangga dan Glagah Putih sempat mendengar pembicaraan kedua orang itu dengan adik Ki Demang meskipun mereka berusaha untuk berbicara perlaha n-lahan. Ternyata bahwa kedua orang itu telah menawarkan sesuatu kepada adik Ki Demang. Y ang kemudian didengar oleh Raden Rangga dan Glagah Putih adalah suara adik Ki De mang, Ki Sanak. Aku telah menyadari kesalahan yang telah aku lakukan. Aku telah b ersumpah dihadapan ibuku untuk tidak lagi mengeraskan hatiku dalam kesalahanku. Jangan bodoh Ki Sanak. berkata salah seorang dari kedua orang itu, kau memiliki hak yang sama dengan kakakmu. Kenapa tidak kau teruskan usahamu hanya karena kau ga gal membunuh kemanakanmu itu. Mula-mula memang begitu. Tetapi kemudian segala-galanya telah aku lepaskan. jawab adik Ki Demang, aku telah melihat, betapa rendahnya martabat seorang yang berkhia nat kepada saudara tuanya sendiri. Kepada kampung halaman dan sanak kadang. Kau menjadi cengeng. berkata salah seorang dari keduanya, jika kau tahu rencana bes ar yang sedang aku susun, maka kau tentu akan bersedia bekerja sama dengan kami. Rencana apa? bertanya adik Ki Demang. Kami sedang merintis jalan dari Timur menuju ke Mataram. jawab orang itu. Jalan apa? - bertanya adik Ki Demang itu pula. Kelak kau akan mengetahuinya. jawab orang itu untuk itu kami memerlukan tempat-t empat tertentu yang dapat mendukung gerakan kami. Kami tidak akan mengganggu dae rah ini apalagi mengisap hasilnya. Tetapi kami memerlukan tempat untuk meletakkan lumbung-lumbung persediaan makanan dan peralatan dalam g aris perjalanan dari Timur menuju ke Mataram. Aku tidak mengerti jawab adik Ki Demang. Kelak semuanya akan jelas jika kau bersedia untuk meneruskan rencanamu. Kami aka n membantumu, merebut kedudukan kakakmu. Tidak ada orang yang akan dapat mencega h aku disini. Dengan dukungan kami, maka jalan yang akan kau tempuh akan menjadi licin. berkata orang itu. Bagaimana mungkin jawab adik Ki Demang aku sekarang ada didalam kurungan. Kedua orang itu tertawa hampir bersamaan. Salah seorang diantara mereka berkata Apa artinya ini buat kami. Selarak itu tidak ada artinya, sementara ruji-ruji pa da lubang udara itupun tidak akan berarti apa-apa. Adik Ki Demang itu menjadi berdebar-debar. Hampir diluar sadarnya ia bertanya Apa kah maksudmu? Apakah kau dapat mematahkan rujiruji itu atau selarak pintu? Dengan satu jari aku dapat mematahkan setiap uji-ruji pada lubang udara itu. Kau tidak usah heran. Bagi kami dan kawan-kawan kami hal itu bukannya satu keajaiba n. jawab seorang dari kedua orang itu. Adik Ki Demang itu menjadi gelisah. Namun kemudian jawabnya terima kasih atas ke sediaan Ki Sanak. Tetapi sayang sekali, bahwa telah terjadi gejolak didalam jiwa ku. Aku merasa bahwa langkahku telah tersesat. Aku telah melangkah surut dan dih adapan ibuku seperti yang sudah aku katakan, aku berjanji untuk tidak melanjutka n niatku yang terkutuk ini. Kau bodoh bentak salah seorang dari kedua orang itu kau akan mendapatkan kesempa tan terbaik yang tidak akan terulang kembali. Tetapi adik Ki Demang itu menjawab Maaf Ki Sanak. Aku tidak akan mungkin menjila t kembali ludah yang telah terpercik bibirku, apalagi dihadapan ibuku. Apakah kau tidak membayangkan hukuman apakah yang mungkin akan diterapkan atasmu ? Kau dianggap sebagai pengkhianat dan pantas untuk dihukum mati. berkata orang itu nah, daripada kau dihukum mati, maka lebih baik bagimu untuk menyusun masa d epan yang jauh lebih baik bagimu dan bagi Kademangan ini.

Tetapi adik Ki Demang itu menggeleng. Katanya Maaf Ki Sanak. Aku memilih menerima hukuman itu sebagai penebus kesalahan-kesalahan yang pernah aku lakukan. Jangan keras kepala berkata salah seorang dari kedua orang itu sebenarnya kau me mang tidak mempunyai pilihan. Jika kami mula-mula datang dengan sikap yang manis , bukan berarti bahwa kami tidak dapat berbuat lebih keras lagi. Seharusnya kau berminat mendengar kesempatan yang kami berikan. Tetapi kau telah melakukan satu kebodohan sehingga kau telah menolaknya. Tetapi itu bukan berarti bahwa kami ak an membiarkan kesempatan ini lewat. Mau tidak mau kau harus menerima tawaranku. Mem berontak dan merebut kedudukan kakakmu dengan bantuan kami. Tidak ada kekuatan y ang dapat mencegah kami berdua, apalagi jika beberapa orang kawanku telah datang . Jangan memaksa Ki Sanak berkata adik Ki Demang. justru pada saat kesadaranku tum buh. Bukan kesadaran. Tetapi kelemahan dan kerapuhan tekad, geram salah seorang diant ara mereka. Tetapi adik Ki Demang itu menggeleng. Katanya Aku sudah berketetapan hati untuk t idak melakukannya lagi. Kau tidak dapat menolak geram salah seorang dari kedua orang itu karena akibatnya akan membuatmu tidak sempat menyesal. Adik Ki Demang itu menjadi tegang. Namun iapun dapat menerka, bahwa kedua orang itu tentu orang berilmu tinggi. Tetapi ia sendiri sudah bertekad untuk tidak lag i menjerumuskan dirinya kedalam laku khianat terhadap saudara tuanya. Karena itu, maka iapun kemudian justru bertanya Apakah sebenarnya yang kalian ke hendaki dengan Kademangan ini ? Jika kalian memang, memiliki kemampuan yang ting gi, maka kalian akan dapat memaksa kakang Demang langsung tanpa memperalat aku. Itu tidak menguntungkan berkata salah seorang dari kedua orang itu kami adalah o rang asing disini. Sementara kau adalah orang Kademangan ini sejak lahir. Karena itu, menurut pendapatku, bagaimanapun juga kau lebih mudah diterima oleh orangorang Kademangan ini daripada aku. Mereka yang menentang kehadiranmu sebagai Dem ang akan segera menarik diri jika mereka melihat kami dan beberapa orang kawan k ami yang akan segera datang mendukung kedudukanmu. Tetapi adik Ki Demang itu menggeleng Jangan kau paksa aku. Aku sedang mencari ja lan kembali kepada ibuku yang berduka karena tingkah lakuku. Ingat Ki Sanak berkata salah seorang diantara keduanya aku dapat membunuhmu disi ni sekarang tanpa ada orang lain yang dapat menolongmu. Para pengawalmu tidak ak an berani berbuat sesuatu atas kami berdua yang mampu membakarmu didalam bilik i ni tanpa beringsut dari tempat dudukku ini. Sementara itu kau tidak akan dapat l ari membuka pintu berkata adik Ki Demang. Terlambat geram salah seorang dari kedua orang itu jika mereka membuka pintu yan g mereka dapati adalah mayatmu dan pengawal yang akan memasuki bilik ini-pun aka n menjadi mayat pula dimuka pintu. Adik Ki Demang itu menjadi tegang. Tetapi ia benar-benar sudah tidak mau lagi me nyakiti hati ibunya yang tua, mengkhianati kakaknya apalagi membunuh kemenakanny a. Tekadnya yang mantap itu telah membuatnya tidak lagi merasa takut apapun yang ak an terjadi. Bahkan kemudian katanya Ki Sanak. Jika kalian ingin membunuh kami, l akukanlah. Aku akan mati sebagai seorang penghuni Kademangan ini yang tidak lagi mau berkhianat. Itu akan memperingan penderitaan batinku. Gila kedua orang itu hampir bersamaan telah mengumpat. Seorang diantara mereka meneruskan Kau menantang kematian he? Kau kira aku tidak dapat benar-benar melak ukannya? Adik Ki Demang itu menundukkan kepalanya. Ketika kedua orang itu kemudian berges er disebelah menyebelahnya, maka ia sama sekali tidak bergerak. Katakan sekali lagi, apakah kau bersedia atau tidak? desak salah seorang dari ke duanya. Namun jawab adik Ki Demang itupun mantap Tidak. Aku tidak akan mengulangi pengkhianatanku. Jika demikian aku tidak mempunyai pilihan lain. berkata salah seorang dari kedua

orang itu daripada kau kelak mengganggu rencanaku, maka lebih baik jika kau tidak melihat apa yang akan kami lakukan. Apa maksudmu? bertanya adik Ki Demang. Kau menolak kerja sama. Tetapi karena kau sudah terlanjur mengetahuinya, maka mu lutmu harus dibungkam untuk selamanya. Yang akan didapati tinggallah didalam bil ik ini. berkata orang yang marah itu para pengawal diluar tidak akan mampu berbu at apapun juga atas kami berdua, sehingga kami akan dengan leluasa meninggalkan tempat ini. Wajah adik Ki Demang itu memang nampak memucat. Tetapi ia sudah bertekad bulat u ntuk tidak lagi berkhianat. Jika ia terlibat dalam kesulitan itu adalah akibat t ingkahnya sendiri. Hukuman itu datang juga akhirnya meskipun tidak dari kakang D emang berkata adik Ki Demang itu didalam hatinya Tetapi biarlah aku menanggungny a. Barangkali itu memang lebih baik dari pada kakang Demang harus mengotori tangannya. Ternyata bahwa adik Ki Demang itu sudah pasrah. Ia sama sekali tidak berbuat ses uatu ketika kedua orang itu bergeser maju. Namun agaknya kedua orang itu masih i ngin memaksakan kehendaknya. Seorang diantaranya telah menyentuh tubuh adik Ki D emang dengan ujung jarinya sebagaimana dilakukannya atas pengawal diiuar bilik i tu. Adik Ki Demang mengaduh tertahan. Sementara itu kedua orang itu tertawa. Seorang diantaranya berkata Aku dapat mel ubangi seluruh tubuhmu dengan luka bakar seperti itu. Jika aku menyentuh, tubuhm u dengan telapak tanganku, maka luka yang membekas ditubuhmu adalah bekas telapak tanganku itu. Kau akan mati dalam keadaan yang mengerikan. Tetapi adik Ki Demang ternyata memang bukan seorang pengecut menghadapi sikapnya terakhir. Karena itu, maka iapun kemudian justru menggeram Lakukan apa yang kau lakukan. Jangan membuat aku semakin muak terhadap tingkah laku kalian. Suara adik Ki Demang itu terputus. Seorang diantara kedua orang itu telah memuku l pipinya justru ketika tangannya sedang membara. Sehingga karena itu, maka pipi adik Ki Demang itupun bagaikan terkelupas kulitnya, sehingga betapa perasaan ny eri telah menyengatnya. Aku akan membunuhmu perlahan-lahan iblis geram orang itu. Adik Ki Demang yang kesakitan itu menggeretakkan giginya untuk tetap bertahan. N amun ia memang tidak merubah pendiriannya. Apapun yang akan terjadi sudah ti dak lagi menjadi persoalan lagi baginya. Justru karena itu, maka sikapnyapun menunj ukkan sikap seorang laki-laki yang tidak gentar menghadapi ancaman yang bagaimanapun juga, bahkan maut sekalipun. Justru dengan dada tengadah adik Ki De mang itu menatap kedua orang itu berganti-ganti tanpa perasaan gentar. Bahkan ad ik Ki Demang itu sempat menggeram Kalian jangan mencoba menjadikan kampung halam an ini menjadi salah satu alas pemberontakan terhadap Mataram. Jika aku berkhianat, adalah persoalan kecil yang terjadi di Kademangan ini. tetapi ak u dan isi Kademangan ini akan tetap setia kepada Panembahan Senapati. Orang itu tertawa. Katanya Mataram yang goncang itu sebentar lagi akan runtuh. A pa yang kita dapatkan dari Mataram sekarang ini? Sudahlah, bersiaplah untuk mati . Adik Ki Demang itu tidak menjawab lagi. Ia sudah benar-benar bersiap untuk mati. Ia sudah pasrah apapun yang akan dilakukan oleh kedua orang itu atas dirinya. Adik Ki Demang itu sama sekali tidak berniat untuk melawan. Ia sadar, bahwa hal itu tidak akan ada gunanya. Bahkan hanya akan menambah kesulitan pada saat-saat terakhirnya. Namun dalam pada itu, yang tidak diduga itupun telah terjadi. Tiba-tiba pintu bi lik itu berderak ketika selaraknya terjatuh. Sejenak kemudian maka pintu itupun telah terbuka. Dua orang anak muda telah berdiri dimuka pintu. Orang-orang yang ada di dalam bilik itu memandangi Raden Rangga dan Glagah Putih dengan tatapan m ata yang aneh. Adik Ki Demang itupun menjadi curiga melihat kehadiran kedua oran g anak muda yang, telah menangkapnya itu. Tetapi kedua orang yang ada didalam biliknya itupun menjadi curiga pula melihat sikap keduanya. Raden Rangga yang berdiri di depan memandang kedua orang itu bergantiganti. Kemudian tiba-tiba saja ia bertanya Kenapa pipimu itu Ki Sanak? Adik Ki Demang itu termangu-mangu. Namun hampir tidak sadar ia berkata Tangan or

ang inilah yang telah mengelupas kulitku. Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya Luar biasa. Ternyata kalian memiliki kema mpuan yang sangat tinggi. Namun sayang, menilik pembicaraan kalian, maka kalian bukan orang yang baik. Jika adik Ki Demang itu sekedar ingin menguasai sebuah Ka demangan, maka kalian telah bersiap-siap untuk memberontak terhadap Mataram. Siapa kau anak-anak yang tidak tahu diri? bertanya salah seorang diantara kedua orang itu. Kami adalah kawan-kawan bermain anak Ki Demang jawab Raden Rangga karena itu, mak a kami merasa keheranan mendengar semua pembicaraanmu. Seolah-olah apapun yang k au lakukan tidak akan dapat dicegah. Seandainya adik Ki Demang itu. berkuasa, ap akah kau kira ia mau berkhianat terhadap Mataram? Anak Iblis geram salah seorang diantara keduanya sambil melangkah mendekat apa ka u sadari tingkah lakumu itu he? Tentu jawab Raden Rangga aku ingin memperingatkanmu, agar kau tidak berbuat sewenang-wenang disini? Kau kira kau mempunyai hak untuk membunuh meskipun adik Ki Demang itu bersalah? Aku tidak ingin mendengar pendapatmu bentak orang itu. Namun Raden Ranggapun telah membentak pula Aku tidak peduli. Ingin atau tidak in gin dengar penda patku. Pergi dari tempat ini. Jangan ganggu ketenangan Kademang an Sempulur yang baru saja digoncang oleh pertentangan antara Ki Demang dan adik nya yang nampaknya sudah dapat diselesaikan. Adik Ki Demang sudah menyadari kesa lahannya. Karena itu jangan mengganggu lagi. Kau memang harus dibungkam geram orang itu jika tidak mulutmu akan menyebarluask an peristiwa ini melampaui adik Ki Demang itu sendiri. Tentu, aku akan menyampaikan berita ini ke Mataram secara langsung jawab Raden R angga. Seperti dilakukan atas adik Ki Demang, maka orang itu mengayunkan tangannya untu k menampar mulut Raden Rangga. Tetapi Raden Rangga telah bersiap menghadapinya. Ia tidak mau dilukai seperti adik Ki Demang itu. Karena itu, maka iapun telah meni ngkatkan daya tahannya dan telah mempersiapkan kemampuannya sebagaimana dapat di lakukan oleh orang itu. Karena itu, ketika tangan orang itu terayun, maka Raden Rangga telah menangkisnya. Dua kekuatan ilmu yang mirip, telah berbenturan . Keduanya memiliki pancaran panas yang dapat membakar. Namun satu hal yang berbeda. Raden Rangga tahu pasti akan kakuatan lawannya, sem entara itu, orang yang menamparnya tidak mengetahui bahwa Raden Rangga juga memi liki kekuatan sebagaimana dimilikinya. Karena itu, ketika terjadi benturan, maka orang itu berteriak mengumpat dengan k asar. Ternyata sentuhan dengan tubuh Raden Rangga itu rasa-rasanya telah membaka r kulitnya. Meskipun daya tahannya yang jauh melampaui daya tahan adik Ki Demang telah melindungi kulitnya sehingga tidak terkelupas, namun kulitnya itupun tela h membekas kemerah-merahan, sementara panas yang terpancar dari tubuh Raden Rang ga telah menggigitnya. Raden Ranggapun telah disengat oleh panasnya kekuatan orang itu. Tetapi ia telah mempersiapkan diri jauh lebih baik dari orang itu, sehingga ia sama sekali tida k terkejut karenanya. Kulitnya memang juga menjadi kemerahmerahan. Namun ia masi h sempat tersenyum sambil berkata Nah, kau lihat, bahwa kau bukan satu-satunya o rang yang memiliki kemampuan seperti itu, sehingga kau tidak akan dapat dengan semena-mena membunuh disini. Setan alas geram orang itu kalian anak-anak ingusan merasa diri kalian mampu men ghadapi kami berdua. Kami akan mempersilahkan kalian pergi dan tidak kembali lagi ke Kademangan Sempu lur berkata Raden Rangga. Persetan sahut orang itu ternyata kaulah yang harus dibunuh lebih dahulu. Baru a dikKi Demang ini. Tetapi Raden Rangga justru tersenyum. Katanya Halaman ini cukup luas untuk menent ukan, sapakah diantara kita yang lebih baik. Orang itu menggeretakkan giginya. Kemudian iapun berpaling kepada kawannya sambi

l berkata Kita menghadapi persoalan yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Mari lah, kita selesaikan anak-anak ini lebih dahulu. Kawannya menjadi tegang. Dengan suara garang ia berkata Darimana anak-anak itu m ampu memiliki ilmu yang pantas kita perhitungkan. Itulah yang perlu kita ketahui nanti berkata orang yang pertama. Nah berkata Raden Rangga apakah kita akan turun kehalaman? Persetan geram orang itu. Raden Rangga dan Glagah Putihpun melangkah surut. Sementara itu kedua orang itup un telah bergerak pula, mengikuti Raden Rangga dan Glagah Putih turun kehalaman. Dengan isyarat Raden Rangga minta agar pintu itu digelarak kembali, agar adik Ki Demang tidak ikut keluar dari ruangan itu. Bagaimanapun juga, ia adalah seorang tawanan yang tidak boleh berbuat sesuka hatinya. Anak Ki Demanglah yang kemudian telah menutup dan menyelarak pintu bilik pamanny a. Sementara itu, Raden Rangga dan Glagah Putih telah berada dihalaman sebagaima na kedua orang yang telah mendatangi adik Ki Demang itu. Dengan nada geram seora ng diantara kedua orang itu bertanya Apakah kalian memang ingin membunuh diri? Raden Rangga tertawa. Katanya, Kau sudah tahu, bahwa kami memiliki kemampuan seba gaimana kau miliki. Bahkan kau bangga-banggakan. Hanya pada permukaannya saja. Tetapi kau tidak akan mampu mengimbangi kemampuan penggunaan ilmu itu dalam benturan kekerasan. Kau kira, jika kau sudah memiliki bekal ilmu yang sama, maka kau tentu akan mampu mengimbangi kami dalam pertempur an yang sebenarnya? bertanya salah seorang dari keduanya. Itulah yang akan kita coba sekarang. Siapakah diantara kita yang memiliki kemata ngan dalam perkembangan ilmu yang dasarnya kita miliki bersama. berkata Raden Ra ngga. Anak ingusan yang sombong geram orang itu. Agaknya umur bukan satu-satunya penentu jawab Raden Rangga siapa tahu kau telah menyia-nyiakan tahun-tahun dalam perjalanan hidupmu. Persetan potong orang itu bersiaplah. Raden Rangga berpaling kearah Glagah Putih sambil berkata Marilah kita bersiap. Kedua orang itu akan mencoba menunjukkan kemampuannya. Glagah Putih mengangguk kecil. Namun iapun kemudian bertanya Tetapi siapakah seb enarnya mereka? Mereka tidak akan mengatakannya jawab Raden Rangga. Belum tentu desis Glagah Putih mereka sudah menyebut serba sedikit tentang kepen tingan mereka. Mereka sedang menyiapkan garis perjalanan dari Timur Ke Mataram. Hanya itu jawab Raden Rangga pula. Namun kemudian katanya Tetapi baiklah. Aku ak an mencoba bertanya. Gila salah seorang dari kedua orang itu membentak kau kira kami sedang bermain-m ain dengan tugas kami? Bukan begitu Ki Sanak berkata Raden Rangga sebab sepengetahuan kami justru ada or ang-orang yang sedang dalam perjalanan dari Mataram ke Timur. Kini Ki Sanak just ru berjalan dari dan ke arah yang sebaliknya. Aku tidak peduli jawab orang itu yang penting bagi kami; kalian berdua harus mat i. Adik Ki Demang itupun harus mati pula. Kemudian para pengawal yang ingin memb antu kalian dan adik Ki Demang itupun harus mati pula. Kalian memang aneh berkata Glagah Putih kalian yang ingin mencari dukungan untuk satu gerakan tertentu, seharusnya bersikap baik dan bersahabat. Tetapi yang kau inginkan tidak ada lain kecuali membunuh. Apakah hal itu menguntungkan? Menguntungkan atau tidak menguntungkan, aku tidak peduli. Tetapi aku ingin menun jukkan, siapa yang menentang niat kami; akan kami sapu bersih dari garis perjala nan kami. Jika demikian, maka kalian tidak akan pernah sampai ke Mataram. Kekuatan kalian agar hancur diperjalanan karena perlawanan wilayah yang akan kalian lalui. berka ta Glagah Putih. Tutup mulutmu lah untuk mati. bentak orang itu aku tidak memerlukan pendapatmu. Sekarang bersiap

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang berkeliling, ternyat a di halaman itu telah banyak berkumpul para pengawal yang bersenjata, bahkan an ak-anak muda. Namun tiba-tiba kedua orang itu telah bergeser mengambil jarak. Seorang diantara mereka berkata Marilah, siapakah yang akan ikut serta. Semakin banyak orang yan g melibatkan diri, maka semakin banyak pula orang yang akan mati. Sementara itu kalian tidak akan mampu menghalangi kami kemanapun kami akan pergi. Mungkin kau dapat melakukannya ditempat lain berkata Raden Rangga Kademangan Sempulur ini. Omong kosong geram orang itu marilah, kita akan melihat. tetapi tidak di

Raden Rangga dan Glagah Putihpun kemudian telah bersiap. Sementara itu, anak Ki Demang dan pemimpin pengawal yang bertugas itu berdiri termangu-mangu. Ditangann ya terdapat dua buah luka bakar. Namun sudah tidak terasa sakit lagi karena obat yang diberikan oleh Raden Rangga, meskipun luka itu masih ada. Namun dalam pada itu, bagaimanapun juga Raden Rangga dan Glagah Putih harus bena r-benar mempersiapkan diri. Kedua orang itu agaknya memang petugas-petugas pilih an yang memiliki ilmu yang tinggi. Tidak sebagaimana orang-orang yang pernah mer eka jumpai sebelumnya justru kearah yang berlawanan. Persoalan yang terjadi itupun segera diketahui pula oleh Ki Jagabaya. Bahkan Ki Demang yang sakitpun telah mendengarnya pula. Namun beberapa orang telah menaseh atkan agar Ki Demang tidak bangkit dahulu dari pembaringannya. Ki Jagabaya yang datang dengan tergesa-gesa kepada Ki Demang itupun berkata Aku akan melihat apa y ang terjadi Ki Demang. Sebaiknya Ki Demang tetap saja berbaring, agar keadaan Ki Demang yang sudah berangsur baik itu tidak menjadi buruk kembali. Tetapi nampaknya persoalannya cukup gawat berkata Ki Demang.

Hanya jika persoalannya tidak teratasi aku akan memberikan laporan berkata Ki Ja gabaya. Demikianlah Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu telah pergi ketempat p eristiwa yang menegangkan itu ter jadi. Ketika mereka memasuki halaman, maka ked ua belah pihak sudah bersiap untuk bertempur. Ki Jagabaya menjadi termangu-mangu. Namun seorang pengawal tiba-tiba telah datan g kepadanya sambil berkata Anak Ki Demang itu ingin menemui Ki Jagabaya. Ki Jagab aya itu tergesa-gesa datang kepada anak Ki Demang yang termangu-mangu didepan bi lik tahanan adik Ki Demang. Ada apa? bertanya Ki Jagabaya. desis anak Ki Demang apakah Ki Jagabaya

Paman ingin menyaksikan pertempuran itu tidak berkeberatan?

Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah beberapa bebahu yang datang bersamanya untuk mendapat pertimbangan. Namun agaknya mereka tidak berpen dapat apapun juga. Karena itu, maka Ki Jagabayapun telah mengambil keputusan sen diri. Karena di tempat itu banyak terdapat pengawal dan bebahu Kademangan, maka agaknya adik Ki Demang itu tidak akan dapat berbuat banyak. Dengan demikian maka Ki Jagabaya itupun berkata Baiklah. Mungkin ia ingin menyak sikan sesuatu yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Anak Ki Demang yang telah bertemu dengan pamannya telah melihat luka-luka diwaja h pamannya itu. Kemudian anak Ki Demang itupun telah mendengar serba sedikit ten tang kedua orang yang telah berhadapan dengan dua orang anak muda yang telah men yelamatkan jiwanya itu.

Jadi kedua orang itu termasuk orang-orang berilmu tinggi?

bertanya Ki Jagabaya.

Tetapi kedua anak muda itu pun memiliki ilmu yang sama pula jawab anak Ki Demang yang mengetahui bahwa jari-jari Raden Rangga dapat membuat luka dikulit pemimpi n pengawal itu. Atas persetujuan Ki Jagabaya maka adik Ki Demang itupun telah di ijinkan keluar dari biliknya. Disisi Ki Jagabaya dan diapit oleh beberapa orang bebahu dan pengawal, adik Ki D emang itu menyaksikan apa yang terjadi di halaman. Dihalaman, Raden Rangga dan G lagah Putihpun telah bergeser saling mengambil jarak sebagaimana dilakukan oleh kedua orang pendatang itu. Masing-masing menghadapi seorang lawan. Untuk beberap a saat lamanya, kedua belah pihak nampaknya masih berusaha untuk menduga kemampu an apakah yang tersimpan di masing-masing pihak. Kedua orang pendatang yang ingin memaksa adik Ki Demang itu mengikuti perintahny a, merasa bahwa kedua anak muda itu memang memiliki kemampuan ditilik dari sikap nya. Meskipun mereka masih terlalu muda, namun tanpa bekal yang cukup mereka tid ak akan berani berbuat seperti itu. Apalagi seorang diantara mereka yang telah bersentuhan ilmu dengan Raden Rangga. Maka iapun yakin, bahwa anak-anak muda itu memang memiliki kemampuan. Tetapi dal am usia mereka, seberapa jauh ilmu yang akan dapat dijangkaunya. Meskipun mungki n mereka memiliki dasar dari ilmu yang sama, tetapi jarak pengamalan yang jauh b erbeda akan mempunyai akibat yang berbeda pula. Demikianlah, maka kedua orang yang marah itupun kemudian telah mulai memancing pertempuran. Keduanya mulai menyerang meskipun mereka masih berusaha untuk menjajagi seberapa jauh kematangan ilmu mereka. Raden Rangga dan Glagah Putihpun masih belum bersungguh-sungguh pula. Mereka menyadari, bahwa lawan-lawan mereka baru dalam tataran penjajagan, sehingga keduanyapun masih belum mengerahkan kemampuan mereka yang sebenarnya. Namun dengan demikian pertempuran antara kedua orang pendatang itu melawan Raden Rangga dan Glagah Putih itupun su dah dimulai. Tetapi dalam pada itu Glagah Putih sempat berbisik, Raden Rangga tersenyum. Katanya ika terpaksa. Kita memerlukan mereka.

Jangan takut aku akan membunuh mereka. Kecuali j

Keduanya tidak sempat berbicara lebih panjang. Keduanya harus segera mengambil j arak kembali, karena kawan-lawan mereka bergerak semakin cepat. Tetapi kedua ora ng pendatang itu mulai dibayangi oleh keheranan melihat tata gerak kedua anak mu da itu. Nampaknya merekapun masih belum bersungguh-sungguh. Bahkan keduanya namp aknya masih saja bermain-main. Namun satu hal yang selalu mendapat perhatian Rad en Rangga dan Glagah Putih, meskipun kedua orang itu masih sedang menjajagi kema mpuan mereka, namun mereka telah menempatkan kekuatan yang mereka sadap dari pan asnya api di tangan mereka, sebagaimana tangan mereka telah menyentuh tubuh adik Ki Demang. Karena itu, maka kedua anak itu berusaha untuk tidak tersentuh oleh serangan ked ua orang lawannya. Namun lawannya yang mengetahui bahwa anak-anak itu juga memil iki ilmu yang sama, telah menghindari juga serangan mereka. Disaksikan oleh oran g-orang padukuhan itu dan bahkan para bebahu Kademangan, maka pertempuran itu se makin lama menjadi semakin cepat dan keras. Kedua orang pendatang itu ternyata telah meningkatkan ilmu mereka, demikian mere ka sadar sepenuhnya bahwa kedua orang anak muda itu memang memiliki kemampuan da n ilmu yang tinggi. Namun ternyata yang mereka hadapi telah mengejutkan mereka. Ketika mereka merasa sudah sampai pada satu tataran yang dapat menentukan, terny ata kedua anak muda itu masih saja melawan mereka dengan garangnya.

Anak iblis geram salah seorang dari kedua orang itu ternyata kami tidak dapat la gi menahan diri untuk tidak melumatkan tubuhmu. Jika kami ingin membunuh, sama seka li tidak terbersit dihati kami untuk meninggalkan tubuh kalian yang hangus dan t idak dapat dikenali lagi. Kami sebenarnya ingin melihat kalian mati dengan kewaj aran seorang yang mati di pertempuran. Namun ternyata bahwa kalian harus diperla kukan lain. Raden Rangga dan Glagah Putih mengerti, apa yang akan dilakukan oleh kedua orang itu. Dengan demikian yang dicemaskannya justru orang-orang yang berada disekita r arena pertempuran itu. Kedua orang itu akan dapat sengaja atau tidak, memancar kan segala jenis ilmunya mengenai mereka. Jika Raden Rangga sendiri dan Glagah P utih masih mempunyai kemungkinan untuk menghindari serangan itu, maka serangan-s erangan kedua orang itu akan dapat menaburkan maut justru kepada orang disekitar nya. Karena itu, maka Raden Ranggapun kemudian telah berkata Baiklah Ki Sanak. Kita a kan bertempur dalam puncak ilmu kita masing-masing. Tetapi kita harus sepakat, b ahwa kita akan bertempur sebagai laki-laki. Kita tidak akan berbuat licik dengan menjebak orang-orang yang tidak terlibat kedalam bencana. Aku tidak peduli geram salah seorang dari kedua orang itu jika ilmuku akan membu nuh semua orang di halaman ini, itu adalah karena kebodohan mereka. Terserahlah apa yang kalian lakukan jika kalian memang sudah berhasil mengalahka n kami berdua. Tetapi sebelum itu, kita akan bertempur dengan baik, sebagaimana seorang laki-laki bertempur. berkata Raden Rangga. Persetan geram lawannya.

Sementara itu Glagah Putihpun berkata kepada orang-orang yang berada disekitar a rena itu Minggirlah. Pertempuran ini akan dapat menjadi keras dan liar. Orang-orang yang berdiri diseputar arena memang menjadi heran, bahwa arena yang menurut mereka sudah cukup luas itu, masih harus diperlukan lagi. Sementara itu, mereka masih belum melihat seorangpun diantara mereka mempergunakan senjata. Me skipun demikian, orang-orang yang menyaksikan pertempuran, terutama para pengawa l dan anak-anak muda itupun telah bergeser surut. Mereka memang melihat pertempu ran itu menjadi semakin garang. Sebagaimana diduga oleh Raden Rangga dan Glagah Putih, maka kedua orang itupun t elah mengerahkan kemampuannya. Mereka tidak menarik senjata mereka, tetapi agakn ya mereka akan langsung mempergunakan ilmu mereka. Raden Rangga dan Glagah Putih pun tidak mempergunakan senjata mereka pula. Ikat pinggang Glagah Putih masih te tap melilit dilambungnya. Sementara tongkat Raden Rangga masih terselip diarah p unggungnya. Namun memang jarang sekali yang menduga, bahwa tongkat pring gading yang tidak b esar itu adalah senjata Raden Rangga yang jarang ada bandingnya. Sejenak kemudia n maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah mening katkan kemampuan ilmu mereka yang nggegirisi. Ternyata bahwa kedua orang pendata ng itu memang memiliki sebagaimana dikatakan kepada pimpinan pengawal dan adik K i Demang. Ketika mereka sudah terlalu lama tidak dapat menundukkan kedua orang a nak muda itu, maka merekapun telah merambah kepuncak ilmu mereka. Ternyata bahwa kedua orang itu memang memiliki kemampuan untuk memancarkan panas , bukan saja dengan sentuhan tangannya, tetapi udara disekitarnyapun rasa-rasany a menjadi bagaikan membakar. Karena kedua orang itu merasa tidak terlalu mudah untuk dapat menyentuh sasarannya dengan tangannya karena kecepatan gerak k

edua orang anak muda itu, maka keduanya telah melontarkan udara panas untuk memp erlambat kedudukan lawannya, sehingga jika mereka sudah kehilangan sebagian besa r dari kemampuan pengamatan diri maka serangan-serangan berikutnya akan dengan m udah dapat dilakukan. Anak-anak muda itu menurut perhitungan mereka tidak akan mampu bertahan lebih la ma dalam udara yang panas. Demikianlah, maka udara di halaman itupun semakin lam a terasa menjadi semakin panas. Bukan saja sekedar menghangatkan tubuh, tetapi r asa-rasanya memang bagaikan terpanggang diatas api. Keringat mengalir dari tubuh Raden Rangga dan Glagah Putih bagaikan terperas. Me skipun keduanya telah mengetrapkan daya tahan mereka pada tataran tertinggi, nam un udara panas itu masih tetap berpengaruh atas mereka, meskipun tidak separah s ebagaimana disangka kedua orang lawannya. Dalam keadaan yang demikian, maka kedua orang itupun telah mempercepat seranganserangan mereka. Tetapi ternyata bahwa kedua anak muda itu masih selalu mampu me nghindar. Jika sekali-sekali terjadi benturan, maka kemampuan ilmu kedua anak mu da itupun telah membuat kulit mereka menjadi merah bagaikan tersentuh air yang s edang mendidih. Namun bagaimanapun juga. udara panas itu memang tidak menyenangkan bagi Raden Ra ngga dan Glagah Putih, Karena itulah, maka merekapun telah meningkatkan kemampua n mereka pula. Mula-mula Raden Rangga dan Glagah Putih masih belum melepaskan il munya yang lebih berarti daripada kemampuan mereka bertempur dengan cepat. Semen tara itu Raden Rangga telah memanasi telapak tangannya sebagaimana dilakukan ole h lawannya. Raden Rangga dan Glagah Putih berusaha untuk dengan kecepatan geraknya menekan l awannya agar mereka tidak sempat membangunkan ilmunya memanasi udara disekitar m ereka. Tetapi ternyata usaha keduanya tidak berhasil. Meskipun mereka mampu berg erak cepat dengan serangan-serangan yang beruntun, namun udara yang menjadi pana s itu memang terasa sangat mengganggu. Raden Rangga yang kemudian mulai menjadi marah, telah bersiap-siap untuk melepas kan ilmunya yang akan dapat mematahkan usaha lawannya. Tetapi cara yang ditempuh nya menurut Glagah Putih akan sangat berbahaya. Bahkan mungkin akan dapat mengec am jiwa lawannya. Karena itu, maka justeru Glagah Putihlah yang mulai dengan men gurai senjatanya. Tanpa menunggu, apa yang akan dilakukan oleh Raden Rangga, mak a Glagah Putih telah membuka ikat pinggangnya. Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar sadarnya ia berkata Kau ki ra dengan senjata itu kita tidak akan dapat membunuh? Glagah Putih tertegun sejenak. Namun iapun kemudian menarik nafas dalam-dalam. I a sadar, bahwa senjata Raden Rangga merupakan senjata yang tidak dapat diraba de ngan penalarannya, sehingga memiliki kemampuan yang seakan-akan sulit dicari bat asannya. Namun ternyata bahwa Raden Rangga masih belum mempergunakan senjatanya, la masih bertempur dengan tangannya. Namun tata geraknyalah yang telah berubah. Raden Ra ngga itu seakan-akan telah bergerak berputaran dengan kecepatan yang sulit diiku ti dengan kemampuan yang ada pada lawannya. Karena itulah, maka lawannya justru telah berusaha melindungi diri dengan selubu ng kekuatan panas yang memancar dari dalam dirinya. Ia berharap bahwa lawannya tida k akan mampu mendekatinya, apalagi menyentuhnya. Sebenarnyalah lawan Raden Rangg a memang memiliki ilmu yang tinggi. Agaknya kedua orang itu adalah orang-orang t erpercaya yang harus merintis jalan dari Timur menuju ke Mataram.

Karena itu. maka ia termasuk orang pada tataran tinggi dalam kepemimpinan kelomp oknya. Namun sekali-kali Raden Rangga masih mampu juga mengenai tubuh lawannya d engan tangannya yang bagaikan membara. Meskipun daya tahan lawannya cukup besar, dan iapun memiliki ilmu yang serupa, namun lawan Raden Rangga itu harus mengelu h juga menghadapi kecepatan gerak lawannya yang masih sangat muda. Tetapi dengan meningkatkan kemampuan ilmunya sampai kepuncak; maka ia telah membatasi gerak Raden Rangga. Pancaran panas benar-benar telah membakar udara disekitarnya. Sehingga dengan demikian. Raden Rangga telah mengalami kesul itan untuk dapat mendekati lawannya. Keringat yang terperas dari tubuhnya telah membuatnya bagaikan sedang mandi dan berendam didalam telaga yang berair mendidi h. Sementara itu, Glagah Putih telah bertempur dengan senjatanya. Dengan meningkatk an kecepatan geraknya, ia telah menyerang lawannya dengan garangnya. Ikat pingga ngnya berputaran bagaikan segumpal awan yang putih ke coklat-coklatan warna asap . Namun Glagah Putihpun akhirnya mengalami kesulitan untuk mendekati lawannya kare na lindungan udara panas disekitarnya. Betapa Glagah Putih meningkat kan daya ta han tubuhnya sampai kepuncak, namun ternyata bahwa panas itu telah membuat Glaga h Putih sulit untuk tetap bertahan. Karena itu, maka perlahan-lahan ia justru te lah terdesak. Lawannya yang merasa bahwa Glagah Putih itu tidak tahan menghadapi kek uatan panasnya berusaha untuk mempergunakan kecepatan geraknya, menyerang dengan garangnya pula. Dengan demikian ia berharap bahwa anak muda yang kepanasan itu kehilangan pemusatan kemampuannya dan tidak lagi mampu mengatasinya. Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih telah mengalami kesulitan jika ia hanya sekedar mempergunakan ikat pinggangnya saja, karena serangan-serangannya tidak dapat men jangkau tubuh lawannya jika ia tidak mau dicengkam oleh panasnya udara. Untuk be berapa saat, Glagah Putih masih bergeser menjauh. Sementara itu orang-orang yang menyaksikan pertempuran itupun telah bergeser semakin jauh pula. Bagi merek a kemampuan kedua orang pendatang itu benar-benar menakjubkan. Bahkan meskipun mer eka telah semakin menjauh, namun merekapun ikut merasa, betapa panas udara telah membakar halaman itu. Ketika Raden Rangga melihat Glagah Putih bergeser surut, maka iapun telah berkat a lantang. Nah, apa kata mu? Apakah kau masih akan mempergunakan senjatamu itu un tuk melawan ilmu yang luar biasa itu? Memang sulit sahut Glagah Putih.

Nah, bukankah bukan salah kita jika kita melawan ilmu mereka dengan ilmu yang sep adan pula? bertanya Raden Rangga. Glagah Putih mulai berdebar-debar. Tetapi rasa-rasanya memang tidak ada cara lai n untuk melawannya. Terutama bagi dirinya. Karena itu, maka iapun telah menjawab Apa boleh buat. Tetapi aku akan berbuat sebaik-baiknya. Jangan terlalu sombong. Lawanmu adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tin ggi berkata Raden Rangga. Glagah Putih tidak menjawab. Namun dalam pada itu, pembicaraan itu dianggap seba gai satu keluhan oleh lawannya. Bahkan kecemasan bahwa kemampuannya dianggap ole h lawannya yang masih muda itu sulit untuk diimbangi. Karena itu, maka orang itu pun telah mendesak Glagah Putih semakin berat. Puncak kekuatan ilmunya memang se akan-akan telah mengelupas kulit Glagah Putih yang harus berloncatan mengambil j arak.

Namun akhirnya seperti yang dikatakan oleh Raden Rangga, Glagah Putih tidak dapa t melawan orang itu dengan ikat pinggangnya karena selubung panas yang menyelimu tinya. Karena itu, maka Glagah Putih harus mengambil cara lain. Namun Glagah Put ih masih berusaha untuk mengekang dirinya. Ia masih mencari jalan untuk menundukkan lawannya tanpa membunuhnya, karena menurut Glagah Putih, orang itu akan sangat berarti bagi mereka. Pengakuan orang itu dihadapan adik Ki Demang memberikan harapan kepada Glagah Putih untuk membawanya bersama Raden Ra ngga ke perguruan Nagaraga. Itulah sebabnya, maka Glagah Putih telah memilih cara yang paling lunak untuk me lawan kekuatan ilmu lawannya. Kemampuannya menyadap kekuatan diseputar dirinya, telah mendorongnya untuk mempergunakan kekuatan angin, yang diterapkan dalam kem ampuan lontaran ilmu sebagaimana diajarkan oleh Raden Rangga. Karena itu, maka k etika Glagah Putih itu menjadi semakin terdesak, maka iapun telah siap untuk mempergunakan kemampuannya. Justeru itu ia telah berusaha mengambil jarak, agar kulitnya tidak terbakar. Kemudian Glagah Putih telah mengenakan kembali ika t pinggangnya. Ia harus menyerang lawannya pada jarak tertentu untuk menghindarkan diri dari panas udara disekitar lawannya. Ketika lawannya siap memburunya, maka Glagah Putih telah mengangkat tangannya de ngan telapak tangan menghadap kearah lawannya. Namun ternyata bahwa Glagah Putih tidak mempergunakan kekuatan apinya yang akan dapat menyembur dan membuat lawan nya menjadi hangus, sebagaimana lawannya bermain-main dengan kekuatan panasnya a pi, tetapi Glagah Putih telah mempergunakan kekuatan yang disadapkan dari kekuat an udara. Ketika tangan Glagah Putih yang terbuka itu dihentak-kannya, maka dari telapak t angan itu bagaikan berhembus angin prahara yang maha dahsyat. Hanya sekilas, men yambar lawannya yang justru sedang meloncat memburunya. Kekuatan prahara dari ta ngan Glagah Putih itu telah menerpa lawannya dan melemparkannya beberapa langkah surut. Dadanya yang bagaikan dihantam oleh segumpal batu padas, membuat dadanya menjadi sesak. Lawan Glagah Putih itu terbanting ditanah. Beberapa kali ia terguling. Namun dengan serta merta, orang itupun telah berusaha untuk bangki t dan berdiri tegak. Namun ternyata bahwa keseimbangannya tidak lagi utuh. Beberapa saat ia terhuyung -huyung. Namun kemudian iapun telah tegak kembali dengan susah payah. Glagah Put ih meloncat maju. Tetapi ia terhenti ketika ia melihat lawannya meloncat bangkit . Namun demikian Glagah Putih telah bersiap untuk menyerang lagi apabila diperluka n. Bahkan dalam keadaan yang paling gawat Glagah Putih yang memiliki kemampuan m enyadap kekuatan yang ada didalam lingkungannya sebagainya diajarkan Oleh Kiai Jagaraga akan mampu menyerang lawannya bukan saja dengan kekuatan gera k udara, tetapi ia mampu mempergunakan kekuatan panasnya api tujuh kali panasnya bara. Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun ketajaman penglihatannya melihat tang an lawannya yang kemudian mampu berdiri tegak itu bergerak cepat. Sejenak kemudi an telah menyambar sebuah pisau kecil kearah tubuh Glagah Putih, demikian cepatn ya. Namun Glagah Putih mampu bergerak secepat sambaran pisau kecil itu sehingga ia m ampu menghindarinya. Tetapi agaknya lawannya yang tidak lagi mampu mendesak Glag ah Putih dengan kemampuan ilmu panasnya itu, telah mempergunakan pisau-pisau kec il untuk menyerang lawannya dari jarak yang lebih jauh. Lawan Glagah Putih itu t idak ingin memberi kesempatan. Demikian Glagah Putih meloncat, maka pisau beriku tnya sudah menyusulnya, sehingga Glagah Putih harus meloncat lagi menghindar. Ba hkan sebelum kakinya menjejak tanah pisau berikutnya telah menyambarnya pula, se hingga Glagah Putih harus menggeliat diudara menghindarinya.

Lawannya yang melihat kesulitan pada anak muda itu telah bergeser mendekat. Dua pisau kecil telah menyambar bersamaan, sehingga Glagah Putih akan mengalami kesu litan untuk menghindarinya. Namun ternyata Glagah Putih justru telah menjatuhkan dirinya dan berguling sekal i ditanah. Bersamaan dengan itu, sambil berbaring Glagah Putih telah menggerakka n tangannya. Kekuatan yang dahsyat telah meloncat dari telapak tangannya yang te rbuka. Angin prahara yang tidak terbendung telah meluncur kearah lawannya yang j ustru sedang mengayunkan pisau kecilnya kearah tubuh Glagah Putih yang terbaring . Namun kekuatan angin yang berhembus dari telapak tangan Glagah Putih telah membe ntur pisau itu sehingga pisau kecil itu terlempar kearah yang berlawanan. Bukan saja pisau kecil itu, tetapi kekuatan raksasa telah mendera tubuh lawan Glagah P utih. Namun justru karena Glagah Putih berbaring ditanah, maka kekuatan praharan ya telah mengangkat lawannya, melemparkannya dan membantingnya jatuh lebih parah dari serangan yang pertama. Orang itu memang berusaha juga untuk segera bangkit Tetapi tubuhnya bagaikan tid ak berdaya lagi. Tulang-tulangnya seakan-akan berpatahan. Sehingga karena itu, m aka iapun kemudian telah terjatuh lagi pada lututnya. Tangannya mencoba menompan g tubuhnya yang terasa sangat lemah. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia kemudian bangkit, maka ia tela h mengibaskan pakaiannya yang menjadi kotor. Sementara itu, Raden Ranggapun tela h melawan kekuatan ilmu yang mampu melancarkan panas itu dengan kekuatan yang di kekangnya pula. Ia tidak dengan serta merta menghancurkan lawannya seperti yang sering dilakukannya. Tetapi ia telah berusaha untuk menjinakkannya. Karena itu, maka yang dilakukan oleh Raden Rangga adalah mengganggu pemusatan ilmu lawannya. Ia memang menyerang lawannya dari jarak jangkau kekuatan panasnya. Ia tidak men ghantam lawannya dengan kekuatan badai seperti yang dilakukan oleh Glagah Putih. Tetapi ia seakan-akan sekedar menggelitik lawannya dengan serangan-serangannya dari luar jangkauan panas lawannya. Sentuhan-sentuhan serangan Raden Rangga memang menyakitinya. Tetapi tidak melemp arkan dan membantingnya jatuh. Rasa sakit itu menyengat dilengannya, kemudian pu ndaknya, lambungnya dan bagian-bagian tubuhnya yang lain. Dengan kemampuan kecep atan geraknya ia berusaha untuk menghindari serangan anak muda itu. Namun ternyata bahwa Raden Rangga memiliki kemampuan bergerak lebih cepat, dan perhitungan yang tepat kemana lawannya akan menghindar. Meskipun satu dua serangannya gagal, namun beberapa kali ia dapat mengenai lawannya dengan hanya s ebagian kecil dari kekuatan ilmunya itu. Gila geram lawannya. Dengan kemarahan yang memuncak, maka seperti lawan Glagah P utih orang itu telah mempergunakan senjatanya pula. Dengan kecepatan yang tinggi , ia telah menarik pisau-pisau kecil dan melontarkannya kearah Raden Rangga. Tetapi Raden Rangga yang sudah terlanjur bersikap seperti seorang yang sedang be rmain-main itu telah menarik tongkat pring gadingnya yang terselip dipunggung. D engan tongkat itu ia menangkis serangan-serangan lawannya dengan pisau-pisau kec ilnya. Lawannya mengumpat kasar. Kemarahan yang memuncak telah membuatnya mata g elap. Dengan tidak mempergunakan nalar yang jernih, ia menyerang sejadi-jadinya. Tidak hanya satu dua. Tetapi ia telah melontarkan pisau itu bagaikan semburan air. Te tapi tongkat Raden Rangga berputar dengan cepat, sehingga yang nampak bagaikan s egumpal awan yang berwarna kuning menyelubunginya. Beberapa buah pisau telah membentur tongkatnya dan terlempar jauh dari tubuh Rad en Rangga. Bahkan Raden Rangga itu sempat berteriak kepada orang-orang yang meli hat perkelahian itu dari jarak yang agak jauh, Hati-hatilah. Pisau itu meloncat k emana-mana.

Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu terkejut. Mereka bergeser lagi menj auh. Namun sebagian diantara mereka menyaksikan pertempuran itu dengan jantung y ang berdebaran. Mereka seakan-akan menyaksikan satu peristiwa yang tidak dapat d imengertinya. Apa yang terjadi itu bagaikan gejolak angan-angan anak-anak muda, yang mendambakan kemampuan yang tidak masuk akal. Tetapi anak-anak muda yang telah menyelamatkan anak Ki Demang itu benar-benar mampu berbuat demikian. Mereka telah melakukan sesuatu diiuar nalar orang-orang Kademangan Sempulur. Ki Jagabaya yang dianggap memiliki pengalaman yang luas dis amping Ki Demang sendiri, menyaksikan semua peristiwa itu dengan jantung yang berdebaran. Apa yang disaksikan itu belum pernah terjangkau, oleh pengalama nnya. Dalam pada itu, adik Ki Demang yang hampir saja menjadi korban kegarangan dua or ang pendatang itupun berdiri membeku menyaksikan pertempuran yang terjadi di hal aman. Ternyata bahwa apa yang dimilikinya, sama sekali tidak berarti dibandingka n dengan keempat orang yang bertempur dihalaman itu. Apalagi ketika ia menyaksik an bagaimana Glagah Putih telah melepaskan kekuatan yang bagaikan prahara dari telapak tangannya. Selain sasaran yang terlempar dan terbanting jauh, maka dedau nannya seakan-akan ikut terguncang hanya karena sentuhan udara yang tergetar ole h serangan yang langsung mengenai sasarannya itu. Sementara itu dengan jantung yang berdebar-debar pula ia melihat Raden Rangga ya ng memang nampak sedang bermain-main. Bahkan sekali-sekali terdengar ia tertawa. Kemarahan lawannya tidak terkirakan lagi. Ia memang merasa sedang dipermainkan oleh anak ingusan itu. Namun segala usahanya memang tidak berhasil. Pisau-pisaun ya tidak mampu menyentuh tubuh anak muda itu, karena perlindungan senjatanya yan g berputaran disekitar tubuhnya, bagaikan segumpal awan yang menjadi perisai yan g tidak tertembus. Agaknya ia lebih senang mengalami perlakuan seperti kawannya yang sama sekali ti dak mampu lagi melawan. Bahkan untuk bangkit berdiripun ia sudah tidak dapat mel akukannya lagi. Kemarahan yang tidak tertahankan lagi itu ternyata telah membuat nya menjadi berputus asa. Ia dengan membabi buta telah menyerang lawannya. Ketika pisau-pisaunya sudah habis dilontarkannya, maka iapun telah ber usaha memburu lawannya dan bertempur pada jarak dekat. Raden Rangga masih menyerangnya dengan lontaran kekuatannya yang kecil saja meng enai tubuh orang itu. Tetapi orang itu sama sekali tidak menghiraukannya lagi pe rasaan sakit yang menyengat-nyengat. Dengan putus asa ia memburu Raden Rangga, j ustru seperti laku seseorang yang sama sekali tidak memiliki kemampuan olah kanu ragan. Raden Rangga memang terkejut. Ia berusaha menahan lawannya dengan serangan-seran gan pada tubuhnya sebagaimana dilakukan sebelumnya. Tetapi seperti seekor badak yang mengamuk orang itu maju terus memburu Raden Rangga yang terpaksa bergeser s urut. Orang ini menjadi gila desis Raden Rangga. Sebenarnyalah bahwa lawan Raden Rangg a itu memang sudah tidak dapat mempergunakan nalarnya lagi. Itulah sebabnya, mak a yang dilakukan tidak lagi dalam batas kendali. Raden Rangga yang tidak gentar menghadapi lawan yang betapapun garangnya, mengha dapi orang yang putus asa ini menjadi berdebar-debar juga. Rasa-rasanya seperti menghadapi ketidak wajaran, sehingga Raden Rangga tidak dapat mempergunakan ilmu nya sebagaimana seharusnya. Betapapun anehnya sifat anak muda itu, tetapi Raden Rangga tidak sampai hati untuk menghancurkan orang yang justru sudah menjadi put us asa itu. Tetapi seperti seorang perempuan menghadapi seekor cacing, terasa jantung Raden Rangga bagaikan meremang. Tetapi Raden Rangga tidak dapat membiarkan orang itu memburunya dengan membabi buta. Serangan-serangannya yang menyakiti tu

buh orang itu tidak berhasil menghentikannya. Karena itu, oleh kegelisahannya, m aka Raden Rangga telah berusaha untuk mempergunakan cara yang lain. Ia telah mel uncurkan serangannya, tidak langsung mengenai orang itu, tetapi ia telah mengang kat tangannya dengan telapak tangan terbuka. Dari telapak tangannya bagaikan meloncat sinar yang menyambar. Tidak langsung mengenai tubuh orang itu. Bukan saja sebagaimana dipesankan Glagah Putih bahwa orang itu masih diperlukan , namun juga justru karena orang itu telah menjadi berputus-asa. Sinar yang melo ncat dari telapak tangan Raden Rangga itu telah menyambar tanah, selangkah dihad apan orang yang sedang bagaikan menjadi mabuk dan kehilangan akal itu. Orang itu memang terkejut. Langkahnya terhenti. Bahkan ia telah bergeser surut. Namun sejenak kemudian, ketika tanah yang bagaikan meledak dihadapan kakinya itu sudah tidak berasap lagi, iapun telah meloncat memburu anak muda itu pula. Rade n Rangga memang kebingungan menghadapi orang itu. Setiap kali ia menghentikan la ngkahnya dengan ledakan-ledakan ditanah karena sinar yang bagaikan menyambar dar i tepalak tangan Raden Rangga. Bahkan dalam keadaan yang tergesa-gesa, kadang-ka dang ledakan itu telah memancarkan pasir dan debu yang mengenai orang itu, sehingga perasaan sakit ditubuhnya semakin bertambah-tambah. Namun ternyata kegilaan orang itu semakin menjadi-jadi. Bahkan kemudian mencapai puncaknya, justru diluar dugaan. Orang yang sudah berputus asa itu ternyata masi h sempat juga menyadari, bahwa ia tidak akan dapat berbuat apapun juga terhadap anak muda itu. Karena itu, dalam keputus-asaannya, orang itu telah merubah sasar an serangannya. Ia tidak lagi memburu kea rah Raden Rangga. Namun ketika diluar sadarnya ia melihat adik Ki Demang dibawah cahaya obor di dekat seke-theng, maka orang itu telah meloncat justru kearah adik Ki Demang itu. Sementara itu, orang yang bagaikan gila itu sudah menjadi semakin dekat, Bahkan orang itu telah melepaskan puncak kemampuan yang masih tersisa sehingga udara di sekitarnya telah menjadi bagaikan uap yang mendidih. Seorang yang tidak memiliki daya tahan yang memadai, maka orang itu akan segera menjadi hangus dan tidak ak an mungkin tertolong lagi. Karena itu, jika orang yang menjadi gila karena keput us-asaan itu berhasil menyusup diantara orang-orang Sempulur, maka sekelompok or ang disekitarnya akan terbunuh pada saat itu juga. Raden Rangga dan Glagah Putih memang menjadi bingung. Bahkan Raden Rangga merasa bersalah, bahwa ia telah dengan sengaja mempermainkan orang itu, sehingga akiba tnya menjadi sangat parah. Sementara itu lawan Gla gah Putih sudah tidak berdaya lagi dan tidak mampu berbuat sesuatu. Dalam keadaan yang tidak lagi memberi kes empatan untuk berpikir panjang, maka Raden Rangga dan Glagah Putih telah mengamb il sikap yang sama meskipun keduanya tidak sempat membicarakannya. Semua orang terkejut karenanya. Raden Rangga dan Glagah Putihpun terkejut pula. Dalam pada itu, adik Ki Demang, Ki Jagabaya dan orang yang ada disebelah menyebe lahnya, hatinya tergetar luar biasa. Mereka menyadari, bahwa orang itu adalah or ang yang memiliki kemampuan ilmu yang sangat tinggi. Karena itu, maka tidak akan ada orang yang akan mampu mencegahnya jika orang itu berhasil mencapai adik Ki Demang dan orang-orang yang ada disekitarnya. Tetapi yang terjadi itu demikian cepatnya. Tidak seorangpun yang sempat menentuk an sikap untuk mengatasinya. Tidak seorang pula yang sempat beranjak dari tempat nya. Kedua orang anak muda itu telah berdiri tegak sambil menghentakkan tangannya ter julur dengan tangan terbuka. Dua leret sinar meloncat dari dua arah. Keduanya dengan tepat telah menyambar orang yang sedang berlari menuju arah adik Ki Deman g dan sekelompok orang-orang yang berdiri disekitarnya didekat seketheng. Yang t erjadi ternyata berakibat dahsyat sekali. Raden Rangga dan Glagah Putih sama sek ali tidak bermaksud melakukannya. Serangan yang menyambar dari seorang diantaran ya sudah berakibat parah. Apalagi dua kekuatan yang dengan tergesa-gesa dihentak kan diluar batas kendali.

Orang yang sedang berlari itu tiba-tiba saja bagaikan telah terlempar ke udara. Terdengar jeritan mengerikan. Namun kemudian diam membeku ketika tubuh itu terja tuh ditanah. Akibat kekuatan ilmu Raden Rangga dan Glagah Putih memang dahsyat s ekali. Ketika tubuh itu terbaring diam ditanah, maka barulah orang-orang itu dap at melihat dibawah keremangan cahaya obor di seketheng. Raden Rangga menundukkan kepalanya dalamdalam, sementara Glagah Putih justru tel ah memutar tubuhnya membelakanginya. Penyesalan yang dalam telah menghunjam keda lam jantung, mereka berdua. Namun yang terjadi itu benar-benar diluar kemampuan pengendalian diri karena yang terjadi itu demikian tiba-tiba. Buku 211 SEORANG diantara kedua orang yang datang ke Kademangan Sempulur itu ternyata tel ah terhunuh. Ketika Raden Rangga kemudian mendekati Glagah Putih, maka ia pun be rkata, Bukan aku sendirilah yang telah membunuh. Glagah Putih mengangguk. Katanya, Aku tidak mempunyai kesempatan untuk membuat pe rtimbangan-pertimbangan. Keduanyapun kemudian harus menerima peristiwa yang terjadi itu sebagai sasuatu k eharusan. Namun dalam pada itu, seorang diantara kedua orang itu masih hidup. Ag aknya orang itu akan dapat menjadi sumber keterangar tentang rencana mereka dan yang barangkali ada hubungannya dengan tugas mereka menelusuri perguruan Nagarag a. Dalam pada itu, kegemparan telah terjadi di halaman itu. Pertempuran itu benar-b enar merupakan satu peristiwa yang tidak dapat terjangkau oleh nalar mereka. Apa lagi orang-orang kebanyakan di padukuhan itu. Ki Jagabaya dan adik Ki Demang ser ta beberapa bebahupun benar-benar menjadi bingung. Sementara itu, Raden Rangga dan Glagah Putih telah mendekati orang yang telah ti dak berdaya, yang telah dihempaskan oleh kekuatan Glagah Putih. Sambil menolong orang itu tegak, Raden Rangga berkata, Marilah. Kita masuk kedala m sebelum orang-orang padukuhan ini menjadi marah dan tidak terkendali. Kau yang dalam keadaan tidak berdaya akan dapat menjadi sasaran tanpa dapat berbuat apap un juga. Kau juga tidak akan mampu memasang kekuatan ilmu yang dapat kau sadap d ari kekuatan api, karena tidak ada sisa kekuatanmu sama sekali. Orang itu tidak dapat mengelak lagi. lapun kemudian melangkah dengan pertolongan Raden Rangga dan bahkan Glagah Putih. Mereka membawa orang itu mendekati Ki Jag abaya dan adik Ki Demang yang masih berdiri termangu-mangu. Baru ketika mereka m elihat Raden Rangga dan Glagah Putih mendekat, mereka seakan-akan tersadar dari mimpi. Ki Jagabaya. berkata Raden Rangga, aku mohon Ki Jagabaya memerintahkan beberapa ora ng untuk mengurus mayat itu. Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar sadarnya ia berkata, Dahsyat sekali. Aku tidak mengerti, apa yang telah terjadi. Adalah diluar kehendak kami jika orang itu terbunuh disini. berkata Raden Rangga, s ebenarnya kami memerlukan keduanya. Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Namun kemudian sambil memandang adik Ki Demang ia berkata, Tetapi bagaimana dengan adik Ki Demang ini? Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian mencari anak Ki Demang yang ada diantara para bebahu. Iapun seakan-akan telah dicengkam oleh suasana y ang tidak dapat dimengertinya. Kawani pamanmu. berkata Raden Rangga. Anak Ki Demang itu mendekat. Namun agaknya ia masih dibayangi oleh peristiwa yan g telah terjadi. Karena itu, menjadi ragu-ragu. Karena itu, maka Raden Ranggapun kemudian berkata, Marilah, bersama kami berdua. Anak Ki Demang itupun kemudian melangkah mendekat. Bersama pamannya dan Raden Ra ngga serta Glagah Putih, merekapun telah masuk kedalam bilik yang semula dipergu nakan untuk menahan adik Ki Demang, sambil mengajak orang yang telah dilumpuhkan itu. Luar biasa. desis adik Ki Demang, semula kedua orang itu bagiku sudah merupakan kek uatan iblis yang tidak aku mengerti. Tangannya membuat kulitku luka. Bahkan pipi

ku bagaikan terbakar. Namun kemudian aku melihat yang terjadi dihalaman itu bena r-benar satu peristiwa yang tidak dapat dijangkau oleh nalar. Sudahlah. berkata Raden Rangga, aku berharap Ki Jagabaya dapat segera menyelenggara kan mayat itu. Adik Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Ketika kemudian ia memandang orang yan g semula baginya bagaikan memiliki kekuatan iblis itu, dilihatnya orang itu menu nduk. Tubuhnya nampak lemah sekali. Tenaganya bagaikan terkuras habis. Dalam pada itu, Raden Ranggapun telah memberikan obat kepada adik Ki Demang bagi lukanya ditangan dan dipipi. Meskipun tidak sembuh seketika, namun perasaan sak it dan pedih bagaikan telah tidak terasa lagi. Mudah-mudahan persoalan yang terjadi di Kademangan ini segera dapat diselesaikan dengan baik. ber-kata Raden Rangga, dengan demikian tidak akan ada kemungkihan cam pur tangan orang lain seperti yang terjadi ini. Adik Ki Demang menundukkan kepalanya. Dengan nada rendah ia berkata, Semua adalah karena kesalahanku. Sudahlah. Kau sudah menebus kesalahanmu dengan penyesalan yang dalam. Kau menolak campur tangan kedua orang ini yang memberikan kemungkinan yang mendekati keingi nanmu. Mudah-mudahan untuk seterusnya semuanya akan berlangsung wajar di Kademan gan ini. berkata Raden Rangga. Adik Ki Demang itu tidak berkata sepatah kata pun lagi. Sementara itu, pintu bil ik itupun tetap terbuka, sehingga mereka yang ada didaiam sempat melihat keluar. Dihalaman Ki Jagabaya dengan beberapa orang telah sibuk mengurus mayat orang yan g tidak diketahui dengan pasti asal-usulnya itu, namun yang hampir saja membuat Kademangan Sempulur menjadi ajang kegiatannya justru memberontak melawan Mataram . Meskipuh demikian, esok pagi mayat itu baru akan dibawa kekubur. Dalam pada itu, segala yang terjadi telah didengar oleh Ki Demang pula. Ki Deman g yang sakit itu menjadi semakin berterima kasih kepada dua orang anak muda yang kebetulan berada di Kademangannya justru pada saat Kademangannya diguncang oleh prahara yang dahsyat. Ketika seorang bebahu datang kepadanya dan memberi tahukan apa yang telah terjad i, Ki Demang, seorang yang telah ditempa oleh tugas-tugasnya yang berat, yang ti dak pernah terguncang hatinya oleh kesulitan-kesulitan, tiba-tiba saja pelupuk m atanya terasa mulai menjadi hangat. Kedua orang anak muda itu memberikan kesan yang khusus kepadanya. Meskipun ia ti dak melihat apa yang dilakukan, tetapi ia dapat membayangkan, betapa kedua orang anak muda itu telah melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh anak-anak muda yang lain sebayanya. Bahkan orang-orang dewasapun tidak akan dapat melakuk annya selain beberapa orang yang khusus yang memiliki limu yang tinggi. Tiba-tiba Ki Demang itu telah teringat akan anak laki-lakinya. Anak itu tidak ad a ubahnya sebagaimana anak-anak yang lain. Ia tidak memiliki kelebihan apapun ju ga yang dapat dibanggnkan. Meskipun anaknya bukan termasuk anak yang bodoh dan p enakut, tetapi tidak lebih dari kewajaran anak-anak muda. Sayang, aku tidak dapat bangkit dari pembaringan. berkata Ki Demang itu kepada beb ahu yang datang memberitahukan kepadanya, sebenarnya aku ingin melihat, apa yang telah terjadi. Semuanya telah lewat Ki Demang, berkata bebahu itu, kita tinggal membenahi bekas da ri pertempuran yang telah mengguncangkan halaman itu. Lakukan sebaik-baiknya. berkata Ki Demang, tetap ia kuminta kedua orang anak itu da ting kepadaku, bersama anak laki-laki ku itu. Bebahu itu mengangguk-angguk. Katanya, Baiklah. Aku akan memberitahukan kepada me reka, agar mereka singgah. Aku akan berusaha untuk minta agar mereka berbuat sesuatu untuk anak laki-lakiku itu. berkata Ki Demang. Bebahu itupun kemudian kembali ketempat peristiwa yang menggemparkan itu terjadi . Ditemuinya kedua anak muda yang telah menyelamatkan Kademangan itu masih berad a didalam bilik adik Ki Demang bersama dengan anak Ki Demang itu. Sementara diha laman orang-orang padukuhan itu masih berkumpul dan membicarakan apa yang telah terjadi. Namun langit telah menjadi semburat merah. Ketika bebahu itu menyampaikan pesan Ki Demang, maka Raden Ranggapun menjawab, Kami memang akan menemui Ki Demang. Kam

i akan mohon diri meninggalkan tempat ini. Mudah-mudahan tidak akan terjadi lagi sesuatu yang dapat mengguncangkan Kademangan ini. Namun Glagah Putih mengerutkan keningnya. Diluar sadarnya, dipandanginya orang y ang telah dikalahkannya, bahkan dilumpuhkannya itu. Namun nampaknya perlahan-lahan keadaannya berangsur menjadi baik. Meskipun demik iaii, masih dipertanyakan apakah ia akan dapat meninggalkan padukuhan itu dan me ngikuti perjalanan Raden Rangga dan Glagah Putih. Raden Rangga mengikuti pandangan mata Glagah Putih. Iapun ternyata tanggap atas perasaan Glagah Putih itu. Karena itu, maka iapun telah menarik nafas dalam-dala m. Sementara itu, anak Ki Demanglah yang kemudian berkata, Mariiah. Ikut aku menemui ayah. Ayah yang sedang sakit itu tentu ingin mendengar langsung dari kalian apa kah yang telah kalian lakukan. Raden Rangga dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Baru kemudian Raden R angga berkata, Mariiah. Kita menghadap Ki Demang. Apapun yang akan kita lakukan. Ketika Raden Rangga dan Glagah Putih kemudian bersiap-siap untuk meninggalkan ru angan itu, maka adik Ki Demang itupun berdesis, Kalian telah menyelamatkan nyawak u dalam kehidupan kekal, karena kalian telah mencegah aku membunuh kemanakanku d an kakang Demang. Mudah-mudahan kakang Demang dapat diselamatkan dari racunku ya ng terkutuk itu. Sudahlah. berkata Raden Rangga, penyesalanmu akan menolongmu. Kita semua berharap b ahwa segalanya akan menjadi baik. Yang terjadi ini merupakan satu pengalaman yan g sangat pahit, yang harus selalu kau ingat. Dari pengalaman yang sangat pahit i ni, Kademangan Sempulur akan dapat mengambil manfaatnya. Adik Ki Demang itu mengangguk-angguk. Katanya, Aku kira seisi Kademangan ini berh arap agar kalian tidak segera meninggalkan Kademangan ini. Senang sekali jika dapat kami lakukan. jawab Raden Rangga, tetapi sayang bahwa kami harus segera melanjutkan perjalanan. Adik Ki Demang itu mengangguk-angguk. Namun dengan nada dalam ia berkata, Silahka n. Kakang Demang memerlukan kalian. Kedua anak muda itupun kemudian meninggalkan bilik itu bersama anak Ki Demang. N amun mereka telah membawa serta orang yang telah ditundukkan oleh Glagah Putin. Dihalaman Raden Rangga berkata kepada Ki Jagabaya, Kami akan menghadap Ki Demang sekaligus mohon diri. Ki Demang akan menahan kalian. berkata Ki Jagabaya. Kemudian katanya, Orang itupun masih sangat lemah. Apakah orang itu akan kalian bawa bersama kalian atau kalian serahkan kepada siapa? Jika orang itu ditinggalkan di Kademangan ini, tidak ada tempat untuk menahannya disini, tidak ada orang yang dapat mencegahnya jika ia ingin berbuat sesuatu. Kami akan membawanya. jawab Raden Rangga. Jika masih ada kesempatan, sebaiknya kalian tinggal. Tetapi jika tidak lagi mungk in, apaboleh buat. ber-kata Ki Jagabaya. Raden Rangga dan Glagah Putihpun kemudian telah pergi ke Kademangan bersama anak Ki Demang serta seorang tawanannya. Tawanan yang telah dilumpuhkannya. Namun ya ng perlahan-lahan kekuatannya bagaikan telah tumbuh kembali meskipun orang itu b erusaha untuk tidak diketahui oleh orang lain. Namun ketika mereka berjalan dari rumah yang telah menjadi ajang pertempuran itu kerumah Ki Demang, maka baik Raden Rangga maupun Glagah Putih telah tertarik pe rhatiannya, justru karena orang yang telah dilumpuhkan itu nampaknya telah mampu berjalan wajar. Karena itu keduanya mulai memperhatikan orang itu. Jika orang i tu menemukan kekuatan dan kemampuannya kembali, maka setiap saat ia akan dapat b erbuat sesuatu yang dapat mencelakai orang lain. Karena itulah, maka Glagah Putih untuk selanjutnya telah berjalan disamping oran g itu. Dengan nada dalam Glagah Putih berdesis, Kau tahu apa yang terjadi atas ka wanmu. Karena itu, kau jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakai dirimu. Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata anak muda itu memiliki ketajaman p englihatan. Meskipun orang itu tidak menunjukkannya, tetapi agaknya kedua anak m uda itu dapat mengetahui, bahwa perlahan-lahan kekuatannya mulai tumbuh kembali. Karena itu, maka iapun menjadi semakin yakin, bahwa kedua anak muda itu memang a nak-anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Karena itu, maka ia tidak l

agi memikirkan kemungkinan untuk melepaskan diri dengan kekerasan, karena ia tid ak akan mampu mengatasi ilmu anak-anak muda itu. Demikianlah, maka keduanyapun kemudian telah memasuki halaman rumah Ki Demang. S ementara itu, anak Ki Demanglah yang lebih dahulu masuk untuk memberitahukan kep ada ayahnya, bahwa kedua orang anak muda itu telah datang. Sementara itu, langitpun mulai menjadi terang. Kehidupan di Kademangan Sempulurp un seakan-akan tidak mulai bangun kembali. Mereka yang tinggal di padukuhan-padu kuhan yang jauh dari peristiwa yang menegangkan itu mulai mencari berita, apakah yang telah terjadi semalam di salah satu padukuhan di Kademangan Sempulur. Pada saat yang demikian, Raden Rangga dan Glagah Putih telah diajak oleh anak Ki Demang memasuki bilik dimana Ki Demang terbaring. Namun Raden Rangga memang agak kebingungan dengan tawanannya. Jika ia membawanya masuk kedalam bilik Ki Demang, maka orang itu akan dapat melakukan sesuatu yang mengejutkan. Mungkin ia memilih untuk mati bersama-sama dengan Ki Demang yang s edang sakit itu. Karena itu, maka Raden Ranggapun kemudian memutuskan untuk meni nggalkan orang itu berada diserambi. Kau tinggal disini? berkata Raden Rangga. Orang itu termangu-mangu. Ia tidak yakin akan pendengarannya, bahwa ia akan diti nggalkan di serambi tanpa pengawal, karena nampaknya kedua orang anak muda itu a kan bersama-sama menghadap Ki Demang. Namun seandainya ada sepuluh pengawal seka lipun, pada saat kekuatan dan kemampuannya pulih kembali, maka para pengawal itu tidak akan berarti apa-apa lagi baginya. Namun Raden Rangga ternyata tidak melakukan kesalahan seperti itu. Ketika orang itu sudah duduk diserambi, maka iapun telah duduk pula disampingnya. Dengan suar a rendah ia berkata, Kau duduk saja disini Ki Sanak. Kami akan menghadap Ki Deman g. Namun sementara itu kekuatan dan kemampuanmu akan tumbuh kembali. Meskipun be lum akan pulih sepenuhnya, namun jika kau meninggalkan tempat ini, tidak akan ad a orang yang dapat mengekangmu. Orang itu tidak menjawab. Meskipun sebenarnya ia tidak mengelak bahwa kemungkina n yang demikian akan dapat terjadi. Namun orang itu terkejut sekali ketika Raden Rangga tiba-tiba saja telah meraba punggungnya sambil berkata, Tunggulah kami di sini Ki Sanak. Orang itu merasakan satu sentuhan pada jalur uratnya disebelah tulang punggungny a, terasa sentuhan itu seakan-akan menjalar keseluruh tubuhnya, sehingga dengan demikian, maka perkembangan didaiam dirinya telah terhenti. Kekuatan dan kemampu annya yang perlahan-lahan tumbuh didaiam dirinya telah terhenti pula, sehingga d engan demikian, maka ia tidak akan mungkin mencapai tataran kemampuannya kembali . Anak iblis. orang itu menggeram didalam hatinya, tetapi ia tidak dapat mengingkari satu kenyataan, bahwa anak muda yang duduk disampingnya itu benar-benar anak mu da yang luar biasa. Demikianlah, maka Raden Rangga dan Glagah Putihpun kemudian telah masuk kedalam bilik Ki Demang yang sakit. Sementara itu, anak Ki Demangpun telah memberitahuka n kepada para pengawal diregol mengamati orang yang sedang duduk diserambi. Awasi saja. berkata anak Ki Demang, jika orang itu tidak berbuat apa-apa, biarkan s aja. Para pengawal di regol mengangguk-angguk. Mereka memang melihat nampaknya orang itu masih sangat letih. Namun para pengawal itu tidak tahu, kenapa orang itu dud uk saja ditempatnya dengan sikap seorang yang nampak sangat letih. Ki Demang yang menerima kedua orang anak muda itu dengan susah payah berusaha un tuk bangkit. Tetapi Raden Rangga telah menahannya sambil berkata, Berbaring sajal ah Ki Demang. Maaf Raden. berkata Ki Demang yang telah mengetahui siapakah anak muda itu, tetapi keadaanku sudah berangsur baik. Meskipun demikian, Ki Demang sebaiknya tetap beristirahat. Hanya jika penting sek ali Ki Demang boleh duduk. berkata Raden Rangga. Aku mohon maaf, bahwa aku telah memohon anak muda berdua singgah lagi. Aku sudah mendengar laporan semuanya yang telah terjadi sehingga dengan demikian, aku ingi n mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Raden dan angger Glagah P utih. berkata Ki Demang.

Bukan apa-apa. berkata Raden Rangga, sudah aku katakan, adalah menjadi kewajiban ki ta untuk saling menolong. Satu hal yang telah menyentuh perasaanku, Raden. Aku juga mempunyai anak yang kir a-kira sebaya dengan Raden. Tetapi dalam keadaan yang jauh sekali berbeda dengan keadaan Raden. berkata Ki Demang. Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya ia berpaling kearah anak Ki Demang yang duduk sambil menundukkan kepalanya. Namun Raden Ranggapun kemudi an berkata, Anak Ki Demang termasuk anak muda yang tumbuh secara wajar. Bahkan me nurut penilaianku, anak Ki Demang termasuk anak yang cerdas, yang pada saatnya a kan dapat menggantikan kedudukan Ki Demang dengan baik. Tetapi apa yang aku lihat, meskipun tidak secara langsung. Raden Rangga berdua me miliki kemampuan yang tidak ada bandingnya. berkata Ki Demang. Ki Demang. berkata Raden Rangga, jika seseorang sudah berada pada tataran kewajaran nya, maka orang itu merupakan seorang yang cukup pantas. Apalagi jika ia berada meskipun hanya selapis tipis diatas kewajaran. Maka orang itu adalah seorang yan g baik. Jangan menginginkan yang berlebihan. Aku tidak bermaksud menyombongkan d iri, tetapi jika terjadi sesuatu seperti aku dan Glagah Putih itu adalah kurnia yang tidak dapat digapai oleh setiap orang. Yang Maha Agung, telah menentukan ap a yang akan diberikan-Nya kepada hamba-Nya seorang-seorang. Meskipun setiap oran g wenang berusaha, namun akhirnya kehendak Yang Maha Agung jualah yang berlaku. Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, Raden benar. A ku telah terdorong kedalam satu keinginan yang berlebihan. Sifat tamak seseorang itu semakin tampak didalam diriku. Tetapi itu adalah hal yang sangat wajar Ki Demang. Seseorang tentu menginginkan h al yang paling baik bagi anaknya. jawab Raden Rangga. Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun sementara itu Glagah Putihpun mengang guk-angguk. Ia melihat Raden Rangga saat itu pada satu sisi yang matang dalam us ianya yang muda. Namun dalam pada itu, Ki Demangpun kemudian berkata, Meskipun demikian Raden, jik a pada saatnya Raden akan meninggalkan Kademangan ini, hendaknya Raden dapat mem berikan sedikit tuntunan kepada anakku itu. Apapun juga, karena aku sadar, bahwa jika anakku harus berguru, mungkin dalam waktu duapuluh tahun tidak akan mampu mencapai tataran sebagaimana Raden capai sekarang. Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Glagah Putih sejenak. Namu n kemudian iapun berkata untuk sedikit memberikan ketegasan kepada Ki Demang, Bai klah Ki Demang. Mungkin aku dapat memberikan sedikit petunjuk. Tetapi sudah tent u artinya tidak akan cukup banyak, karena waktuku hanya sedikit sekali. Hari ini kami akan mohon diri. Sudah tentu tidak hari ini Raden. berkata Ki Demang, secepatnya besok. Semalam Rade n tentu tidak tidur barang sekejappun. Bukankah dengan demikian Raden perlu beri stirahat? Raden Rangga tersenyum. Katanya, Kami adalah pengembara Ki Demang. Kami sudah ter biasa tidur dan makan tidak teratur. Jangan cemaskan kami. Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, Tetapi bagi siapapun ju ga, bukankah wajar untuk sekedar beristirahat? Bukankah bagaimanapun juga ada ba tas-batas kemampuan jasmaniah bagi seseorang. Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun mengangguk hormat. Kata nya, Benar Ki Demang. Memang demikian. Betapapun tinggi ilmu seseorang, tetapi te ntu ada batas kemampuan wadagnya. Bahkan juga kemampuan ilmunya. Nah berkata Ki Demang, jika demikian, tentu lebih baik bagi Raden untuk beristiraha t. Raden Rangga berpaling kearah Glagah Putih. Sementara itu Glagah Putihlah yang m enjawab, Baiklah Ki Demang. Kami akan beristirahat hari ini. Mungkin juga sedikit berbincang dengan anak Ki Demang itu. Terima kasih. Kebaikan hati kalian tidak terkirakan. Bukan saja buat aku, keluarg aku, tetapi bagi seluruh Kademangan ini. berkata Ki Demang. Suaranya bagaikan ter sangkut di kerongkongan. Raden Rangga dan Glagah Putih tidak menyahut. Namun Ki Demanglah yang kemudian b erkata lagi kepada anaknya, Bawalah keduanya beristirahat. Bukankah kau sudah men yediakan tempat?

Sudah ayah, sejak kemarin. jawab anak Ki Demang. Dengan demikian, maka anak Ki Demang itupun telah mengajak Raden Rangga dan Glag ah Putih untuk beristirahat lagi. Seharusnya mereka sudah siap untuk minta diri dan melanjutkan perjaianan, karena perjalanan mereka telah tertunda beberapa kal i. Tetapi keduanya tidak sampai hati mengecewakan lagi Ki Demang yang sedang sak it, karena ia ingin meskipun hanya sedikit, Raden Rangga dan Glagah Putih dapat memberikan tuntunan kepada anak laki-lakinya. Diluar bilik Ki Demang, Raden Rangga melihat tawanannya masih tetap duduk ditemp atnya. Karena itu, maka iapun kemudian mendekatinya sambil berkata, Marilah. Kita akan beristirahat barang sejenak, karena mungkin kita merasa sangat letih. Raden Rangga telah menarik lengan orang itu agar berdiri. Namun ia tidak membeba skan uratnya yang tidak disentuh dengan ujung jari dengan kemampuan ilmunya. Kar ena itu, maka orang itu tidak dapat melangkah dan berjalan dengan wajar, sehingg a nampaknya ia memang seorang yang sangat letih. Orang itu mengumpat didaiam hati. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat sesuatu. Ilmu anak muda itu benar-benar telah menguasainya sehingga tidak mungkin baginya untuk mengatasinya. Demikianlah, maka mereka berempatpun kemudian telah pergi k e gandok yang memang sudah disediakan. Namun mereka kini membawa seorang tawanan bersama mereka, Karena itu, maka merek apun harus menyesuaikan diri. Anak Ki Demang itupun kemudian mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat. N amun katanya, Atau barangkali kalian akan mandi dahulu? Ya. jawab Raden Rangga, aku akan ke pakiwan. Anak Ki Demang menjadi berdebar-debar pula ketika kemudian ia dirninta untuk men unggui tawanannya. Jika tawanan itu berusaha melarikan diri, maka ia akan mengal ami kesulitan. Tetapi Raden Rangga yang melihat kecemasan itupun berkata, Jangan cemas tentang orang itu. la termasuk orang yang baik. Ia tidak akan berbuat apaapa. Bahkan karena ia merasa sangat lelah, maka ia akan berbaring saja di amben itu. Anak Ki Demang tidak menjawab. Tetapi ia justru menjadi terrnangu-mangu. Namun dalam pada itu, Raden Ranggapun mendekati tawanannya sambil berdesis, Berba ringlah. Kesempatan untuk beristirahat bagimu. Orang itu tidak menjawab. Namun kemudian iapun telah membaringkan dirinya dibant u oleh Raden Rangga. Meskipun orang itu masih juga mengumpat didalam hati, tetapi berbaring memang le bih baik baginya. Ia dapat melepaskan segala macam ketegangan uratnya yang seaka n-akan tidak dalam keadaan wajar. Bahkan seakan-akan tidak lagi mampu untuk meng gerakkan anggauta badannya. Demikianlah maka Raden Rangga dan Glagah Putihpun kemudian telah meninggalkan or ang itu untuk pergi ke pakiwan. Namun kemudian, ketika keduanya telah mandi, ter nyata keduanya sama sekali tidak ingin berbaring dipembaringan. Rasa-rasanya tub uh mereka telah menjadi segar, sehingga dengan demikian maka Raden Rangga itupun kemudian berkata, Aku sudah cukup beristirahat. Mariliah, kita bermain-main. Wak tuku hanya hari ini. Karena itu, kita pergunakan waktu ini sebaik-baiknya. Anak Ki Demang yang juga tidak tidur itupun termangu-mangu. Ialah yang sebenarny a merasa sangat letih dan ingin beristirahat barang sejenak. Namun ia menahan di ri karena melihat kedua anak muda yang tidak hanya sekedar menyaksikan dengan te gang peristiwa-peristiwa yang sebelumnya belum pernah dibayangkan itu, tetapi ju stru terlibat didalamnya nampaknya sama sekali tidak menjadi letih. Karena itu, maka anak Ki Demang itu tidak menolak. Meskipun demikian, ia ingin j uga menjadi segar seperti Raden Rangga dan Glagah Putih. Katanya, Jika demikian, biarlah akupun mandi dahulu. Sebaiknya kau tidak mandi penuh. berkata Raden Rangga, kau sangat letih dan semalam an kau tidak tidur. Karena itu, sebaiknya kau basahi saja tubuhmu agar menjadi s egar. Anak itu mengangguk-angguk. Ayahnya juga pernah berpesan kepadanya seperti dikat akan oleh Raden Rangga itu. Sebenarnyalah, setelah membasahi tubuhnya, anak Ki D emang itu merasa dirinya menjadi segar kembali. Karena itu, maka iapun tidak men olak ketika Raden Rangga dan Glagah Putih mengajaknya ketempat yang tidak banyak dikunjungi orang, Sementara itu, Raden Rangga telah menitipkan tawanannya kepad

a para pengawal di Kademangan. Orang itu akan tidur nyenyak. berkata Raden Rangga, ia tidak akan bangun sampai aku datang kembali. Demikianlah, maka Raden Rangga dan, Glagah Putih telah pergi bersama anak Ki Dem ang itu ketepi sebuah padang perdu yang jarang disentuh kaki manusia. Mereka bah kan telah turun ketepian sebuah sungai yang agak luas berpasir dan berbatu-batu. Sejenak kemudian, maka mereka bertigapun telah duduk diatas batu-batu besar yang berserakan. Kami tentu tidak akan dapat memberikan tuntunan apapun kepadamu kecuali pesan-pes an yang hanya dapat kau lakukan sendiri. berkata Raden Rangga. Anak Ki Demang itu mengangguk. Katanya, Apapun yang pantas dan sebaiknya aku laku kan, aku akan melakukannya. Bukan sekedar untuk menyenangkan ayahku, tetapi aku memang merasa memerlukannya. Raden Rangga itu tiba-tiba saja berkata kepada Glagah Putih, Glagah Putih, apa sa ja yang kau lakukan pada saat-saat kau mulai dengan berlatih olah kanuragan. Mun gkin tataran-tataran yang pernah kau lalui berbeda dengan tataran-tataran yang a ku tempuh. Agaknya jalanmulah yang lebih wajar dari jalan yang aku lalui. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia memang telah meniti jalah setapak dem i setapak. Bukan loncatan-loncatan sebagaimana pernah ditempuh oleh Raden Rangga . Tetapi ia memerlukan waktu yang panjang untuk melakukannya. Namun ia menyadari, bahwa yang diperlukan oleh anak Ki Demang itupun sekedar pet unjuk apa yang sebaiknya dilakukannya. Ia sadar bahwa ia tidak akan dengan serta merta memiliki sesuatu yang tidak akan mungkin dijangkaunya. Karena itu, maka yang dilakukan Glagah Putihpun hanyalah sekedar memberikan jala n, apa yang harus dilakukan oleh anak Ki Demang agar mampu membentuk dirinya sen diri sehingga ia memiliki kelebihan walaupun terbatas. Demikianlah maka Glagah Putih telah mempergunakan kesempatan yang ada untuk menu ntun sejauh dapat dijangkau. Seperti yang pernah di lakukannya dahulu, maka ia m enasehatkan agar anak Ki Demang itu mulai dengaii berlari-larian ditepian. Kemud ian ia harus berlari-lari berloncatan dari atas batu kebatu yang lain. Mula-mula didaerah yang kering, namun kemudian diatas batu-batu yang basah. Glagah Putih tidak minta anak Ki Demang itu melakukannya. Tetapi ia telah member ikan apa yang harus dilakukannya. Untuk meyakinkannya, maka Glagah Putih telah m enunjukkan kemampuan bermain-main diatas batu betapapun licinnya. Anak Ki Demang itu hanya dapat memandanginya dengan heran. Namun Glagah Putih memberitahukan b agaimana caranya untuk mulai dengan latihan-latihan seperti itu. Hanya sekedar cara untuk meningkatkan ketrampilan kaki. berkata Glagah Putih yang kemudian memberikan beberapa petunjuk yang lain. Sebagaimana ia meningkatkan ket rampilan kaki, maka anak Ki Demang itu juga dituntun oleh Glagah Putih untuk mem perkuat jari-jari tangannya dengan mempergunakan pasir. Lebih sering lebih baik kau lakukan. berkata Glagah Putih, bahkan lebih baik diteri knya matahari jika pasir tepian menjadi pans? Anak Ki Demang mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata, Namun semuanya itu adalah sekedar dasar yang bahkan dapat disebut pelengkap dari latihan-latiha n yang sebenarnya, yang hanya dapat dilakukan dengan tuntutan seorang guru. Seorang guru? bertanya anak Ki Demang. Ya. Kau harus mendapat tuntutan seorang yang memiiiki ilmu yang pantas sehingga k au tidak justru tidak salah langkah. berkata Glagah Putih. Apakah kau mengenal seorang guru yang dapat mengajari aku dalam ilmu kanuragan it u? bertanya anak Ki Demang. Glagah Putih tersenyum. Katanya, Besok, jika aku pulang dari bertugas, aku akan m enunjukkan kepadamu. Sementara itu kau sudah mempunyai ketrampilan dasar untuk m emasuki latihan-latihan yang sebenarnya. Anak Ki Demang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia menyadari, bahwa jalan yang haru s diialui memang cukup panjang. Nah. kau dapat melakukannya. Semakin bersungguh-sungguh maka hasilnya akan semaki n baik. Tetapi kau tidak dapat memaksa dirimu untuk melakukannya berlebih-lebiha n. berkata Glagah Putih. Anak Ki Demang itu mengangguk-angguk. Namun ia tidak dapat mengharap terlalu ban yak dari latihan-latihan mula yang dilakukannya.

Namun dalam pada itu, selagi Glagah Putih sibuk memberikan beberapa petunjuk kep ada anak Ki Demang, Raden Rangga telah terkejut oleh getaran di dalam dirinya. S eakan-akan ia merasakan goncangan yang keras didadanya. Memang jarang terjadi pada seorang lain, bahwa Raden Rangga cepat tanggap pada i syarat itu, sebagaimana mampu ditangkap dan diurai oleh Ki Waskita. Karena itu, maka tiba-tiba saja Raden Rangga berkata, Kita kembali keKademangan. Raden Rangga tidak menunggu Glagah Putih menyahut. Tiba-tiba saja ia telah melon cat dan berlari mendahului Glagah Putih dan anak Ki Demang. Ada apa? bertanya anak Ki Demang. Glagah Putih yang telah mengenal Raden Rangga itu pun segera menyahut, Kita kemba li. Cepat. Tentu sesuatu telah terjadi. Keduanyapun segera meloncat berlari pula. Namun rasa-rasanya anak Ki Demang itu berlari terlalu lamban. Tetapi Glagah Putih tidak dapat meninggalkannya seorang diri, karena jika terjadi sesuatu atas dirinya, maka ialah yang harus bertanggun g jawab. Dalam pada itu, Raden Rangga yang berlari nekencang angin, telah memperlambatnya ketika ia mendekati padukuhan. Namun karena itu, maka Glagah Putih dan anak Ki Demang itu mampu menyusulnya. Ada apa? anak Ki Demang itu bertanya pula. Raden Rangga tidak menjawab, sehingga karena itu, maka Glagah Putihpun telah men ggamitnya. Demikianlah, ketiga orang anak muda itu telah berjalan dengan cepat menuju ke pa dukuhan induk. Bahkan jika mereka berada dibulak, ketiganya telah berlari-lari k ecil. Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam ketika ia sampai diregol padukuhan induk. Ternyata ia tidak melihat sesuatu yang dapat mendebarkan jantungnya. Orang-oran g yang sedang berjalan, nampaknya berjalan saja dengan wajar. Yang berada dikebu n, masih juga bekerja sebagaimana dilakukan sehari-hari. Betapapun perasaan ingin tahu mendesak, namun Glagag Putih masih menahan diri. D iikutinya saja Raden Rangga yang berjalan semakin lambat dan bahkan kemudian ia berjalan wajar sebagaimana seseorang berjalan. Baru ketika Raden Rangga nampak tenang, Glagah Putih bertanya, Ada apa sebenarnya Raden? Satu isyarat yang ternyata kurang aku kenal artinya. jawab Raden Rangga, agaknya ak u salah mengurai isyarat itu. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu mereka telah sampai di reg ol Ki Demang. Raden Rangga menjadi semakin tenang. Ternyata para penjaga diregol tidak menunjukkan sikap yang lain dari sikap mereka sehari-hari. Biasa saja. Ka rena agaknya memang tidak ada sesuatu yang terjadi. Diregol Raden Rangga masih sempat juga bertanya, Bukankah tidak terjadi sesuatu d isini? Apa maksud Ki Sanak? bertanya pengawal itu. RadenRangga justru tersenyum. Jawabnya, Tidak. Tidak apa-apa? Pengawal itu mengerutkan keningnya. Sementara itu Raden Rangga berjalan langsung ke gandok tempat yang disediakan baginya dan Glagah Putih beristirahat. Perlahan-lahan Raden Rangga membuka pintu yang tertutup meskipun tidak terlalu r apat. Namun ketika ia melangkah masuk, jantungnya serasa berhenti berdetak. Tawa nannya ternyata tidak ada di tempatnya. Ruangan itu sudah kosong sama sekali, ba hkan pintunyapun telah ditutup meskipun tidak terlalu rapat. Raden Rangga yang kehilangan tawanannya itu., menggeram. Ketika ia berpaling dil ihatnya Glagah Putih dan anak Ki Demang telah berada didepan pintu pula, sehingg a kemudian ia berdesis, Kita telah kehilangan. Glagah Putihpun menjadi tegang. Iapun telah melangkah masuk disusul oleh anak Ki Demang itu. Merekapun telah terkejut pula. Tawanan itu sudah tidak ada. Bagaimana hal ini dapat terjadi Raden. bertanya Glagah Putih. Mustahil. berdesis Raden Rangga, orang itu tidak akan mungkin dapat membebaskan dir inya sendiri. Jadi menurut Raden, tentu ada orang lain yang melakukannya? bertanya Glagah Putih. Raden Rangga ragu-ragu. Namun iapun kemudian telah mengangguk, katanya, Ya. Agakn ya ada orang lain yang telah mencampuri persoalan kita.

Glagah Putih menjadi tegang. Ketika ia memperhatikan bilik itu, tidak ada sesuat u yang menarik perhatian atau pantas dicurigai. Aku akan menanyakannya kepada para pengawal. berkata anak Ki Demang. Jangan. cegah Raden Rangga, tidak ada yang mengetahui. Jika mereka akan mengetahui, tentu mereka telah menjadi sibuk. Sementara itu, Ki Demangpun jangan diberi tah u lebih dahulu. Kita akan menemui Ki Jagabaya. berkata Raden Rangga, pagi ini Ki Jagabaya tentu sed ang sibuk dengan orang yang terbunuh itu. Mudah-mudahan Ki Jagabaya telah selesa i. Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia merasa bahwa Ki Jagabaya akan dapat me mbantu mengatasi persoalan menurut Glagah Putih cukup gawat. Orang yang mampu me mbebaskan orang itu dari keadaannya, tentu orang yang juga berilmu tinggi. Bahka n mungkin lebih tinggi dari orang yang terbelenggu karena sentuhan jari Raden Ra ngga dipunggungnya itu. Raden Rangga seakan-akan mengetahui keragu-raguan itu. Sehingga karena itu ia be rkata, Kita memerlukan Ki Jagabaya. Ia harus mengetahui apa yang terjadi. Dengan demikian ia akan dapat mengatur pengamatan diseluruh Kademangan. Sekedar pengama tan meskipun mungkin orang yang telah kita tawan serta yang melepaskannya tidak ada di Kademangan ini lagi, tetapi seluruh Kademangan ini harus bersiap-siap, na mun tanpa menggelisahkan penduduknya. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata kepada anak Ki Demang, Kita harus menanggapi peristiwa ini dengan sangat berhati-hati. Kita ternyata menghadapi satu kekuatan yang tidak dapat kita anggap ringan. Anak Ki Demang itu termangu-mangu. la tidak tahu apa yang harus diiakukannya. Na mun Glagah Putihpun kemudian berusaha untuk mengurangi kegelisahan anak muda itu , katanya, Tetapi agaknya orang itu telah meninggalkan Kademangan ini. Mungkin sekali. sahut Raden Rangga, orang itu datang untuk mengambil orangnya yang masih hidup. Lalu pergi untuk menghindari kemungkinan buruk yang dapat terjadi a tas mereka. Memang satu kemungkinan. sahut anak Ki Demang yang ternyata cepat berpikir pula, te tapi kemungkinan lain adalah justru dendam yang membara. Seorang diantara dua or ang itu telah terbunuh disini. Nah, bukankah wajar jika mereka menginginkan memb alas kematian itu. Mungkin orang itu bukan seorang laki-laki yang baik meskipun ia berilmu tinggi. Jika orang itu seorang yang tidak berperadaban, maka orang it u akan dapat melepaskan dendamnya kepada siapa saja di Kademangan ini. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, Memang mungkin. Karena itu, kita akan mempersiapkan segala sesuatu untuk mengatasi apabila hal itu terjadi. Itulah sebabnya kita pergi kepada Ki Jagabaya. berkata Raden Rangga. Demikianlah, maka merekapun telah meninggalkan halaman rumah Ki Demang itu tanpa memberikan kesan kegelisahan. Mereka juga tidak mengatakan bahwa tawanannya tel ah pergi tanpa diketahui. Bahkan Raden Ranggapun telah menutup pintu biliknya ra pat-rapat. Namun, demikian mereka berada di jalan, maka mereka telah berjalan dengan terges a-gesa. Mereka memperhitungkan bahwa Ki Jagabaya masih berada dirumah yang semal am menjadi ajang pertempuran itu, karena ia baru saja menyelesaikan mayat orang yang terbunuh itu. Ternyata perhitungan mereka benar. Ki Jagabaya memang masih berada ditempat itu. Namun ia sudah bersiap-siap untuk meninggalkan setelah berpesan tentang pengawa san terhadap adik Ki Demang kepada para pengawal. Ketika Ki Jagabaya itu melihat Raden Rangga dan Glagah Putih diikuti oleh anak K i Demang datang dengan tergesa-gesa, maka iapun menjadi berdebar-debar pula. Tetapi kemudian Raden Rangga itu berkata, Kita perlu berbicara barang sejenak. Apa ada sesuatu yang penting? bertanya Ki Jagabaya. Kita berbicara di pendapa saja Ki Jagabaya, tanpa orang lain. sahut Raden Rangga. Ki Jagabaya itu mengerutkan keningnya, ia merasa kegelisahan membayang di wajah anak-anak muda itu betapapun mereka menyembunyikannya. Namun mereka tidak berbicara di tempat yang tersembunyi. Justru mereka berada di pendapa yang terbuka, maka pembicaraan diantara mereka tidak banyak menarik per hatian. Dalam pada itu, maka Raden Ranggapun telah mengatakan apa yang terjadi di Kadema

ngan kepada Ki Jagabaya itu. Ki Jagabaya menjadi tegang. Sebagai seorang yang bertanggung jawab tentang keten angan dan ketenteraman di Kademangan Sempulur maka Ki Jagabaya melihat satu kemu ngkinan yang suram pada Kademangannya. Sebagaimana dikatakan oleh anak-anak muda yang memiliki kelebihan itu, maka orang yang telah membebaskan tawanan mereka t entu orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tetapi Ki Jagabaya tidak perlu gelisah. berkata Raden Rangga, kami berdua akan memb antu mencari orang itu dari luar Kademangan ini. Jika mereka tidak kami ketemuka n, itu berarti bahwa mereka telah meninggalkan Kademangan Sempulur, karena menur ut perhitunganku, orang yang kita tawan itu memerlukan perawatan khusus bagi pem ulihan kekuatannya. Karena itu, agaknya orang yang mengambilnya itu akan membawa nya untuk menyembuhkannya. Meskipun demikian, maka pada suatu saat mereka kembali lagi ke Kademangan ini. ber kata Ki Jagabaya. Dendamnya tidak ditujukan kepada kalian. Tetapi kepada kami. Karena itu, maka seb aiknya orang-orang di padukuhanan ini kelak mengetahui, siapakah aku, karena den gan demikian, maka orang-orang yang mendendam itu tahu pasti, dengan siapa merek a berhadapan. berkata Raden Rangga kemudian. Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Sementara itu Raden Ranggapun kemudian berpesan, agar Ki Jagabaya dengan sengaja menyebarkan keterangan bahwa kedua anak muda yan g berada di Kademangan itu adalah Raden Rangga, putera Panembahan Senapati dan G lagah Putih, adik sepupu Agung Sedayu dariTanah Perdikan Menoreh. Sebenarnya aku tidak ingin diketahui siapa aku sebenarnya. berkata Raden Rangga, te tapi demi kepentingan Kademangan ini apaboleh buat. Tanpa mengenali aku, memang mungkin dendam orang itu akan tertuju, kepada Kademangan ini. Meskipun demikian, Raden Rangga dan Glagah Putih minta kepada Ki Jagabaya bahwa hal itu supaya disebarkan setelah kedua anak muda itu meninggalkan Kademangan. Sebaiknya Raden berdua tinggal lebih lama lagi di Kademangan ini. berkata Ki Jagab aya, mungkin keduanya masih bersembunyi disekitar Kademangan ini. Kami akan mencarinya. berkata Raden Rangga dan Glagah Putih, mungkin kami memang ti dak akan terlalu jauh dari Kademangan ini. Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud kedua anak muda itu. Karena it u, maka ia tidak menahannya lebih jauh. Semakin cepat mereka pergi dan semakin c epat keterangan tentang keduanya tersebar, maka agaknya lebih aman bagi Kademang an Sempulur, karena orang-orang itu akan tahu pasti, dengan siapa mereka berhada pan. Demikianlah, maka Raden Rangga dan Glagah Putih telah kembali ke Kademangan. Mes kipun perasaan mereka merasa berat, namun mereka merasa wajib untuk memberitahuk an kepada Ki Demang apa yang terjadi. Hal itu akan lebih baik daripada jika Ki D emang baru akan mengerti kemudian jika persoalan yang lebih gawat terjadi. Ki Demang memang menjadi tegang. Tetapi ia tidak dapat menyalahkan siapapun juga . Kedua anak muda yang sedang berusaha memberikan beberapa petunjuk kepada anak laki-lakinya itu sama sekali tidak menduga, hahwa hal itu akan terjadi. Ki Demang. berkata Raden Rangga, aku harus mempercepat kepergianku dari tempat ini. Aku sudah berpesan kepada Ki Jagabaya agar diumumkan kepada semua orang siapaka h aku sebenarnya sehingga dengan demikian hal itu tentu didengar oleh orang yang telah mengambil tawananku itu. Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, Baiklah Raden. Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih. Raden telah dengan sengaja memancing perhatian orang-orang itu ag ar mereka tidak memusuhi kami, tetapi mereka akan menghadapkan diri kepada Raden atau bahkan langsung dengan Mataram. Merekapun tentu akan menjadi ragu-ragu unt uk menjadikan Kademangan ini alas perjuangan mereka, karena tempat ini pernah di huni oleh putera Panembahan Senapati di Mataram, sehingga bagi mereka, kehadiran Raden tentu dihubungkan dengan kepentingan mereka atas Kademangan ini. Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, Mudah-mudahan Ki Demang. Namun kami tida k akan melepaskan begitu saja hubungan kami dengan Kademangan ini. Setiap kali a da kesempatan, kami akan melihat Kademangan ini. Mudah-mudahan tidak ada persoal an yang akan dapat membuat Kademangan ini mengalami kesulitan. Ki Demang mengangguk kecil. Tetapi ia memang tidak dapat lagi menahan kedua anak muda itu. Karena itu, maka mereka hanya dapat mengucapkan selamal lalan.

Kami akan selalu berdoa bagi keselamatan Raden dan angger Glagah Putih. berkata Ki Demang. Terima kasih. jawab Raden Rangga dan Glagah Putih hampir berbareng. Kemudian Raden Ranggapun berkata pula, Mudah-mudahan ibu Ki Demangpun akan selalu sehat. Akupun berharap agar adik Ki Demang itu cepat sembuh luka-luka bakar dip ipinya. Demikianlah, maka Raden Rangga dan Glagah Putih segera meninggalkan Kademangan S empulur. Namun keduanya tidak ingin meninggalkan Kademangan ini terlalu jauh. Me reka sebenarnya masih akan berada di sekitar Kademangan itu untuk beberapa saat. Namun sepeninggal Raden Rangga dan Glagah Putih, maka telah tersebar berita, bah wa kedua anak muda itu yang seorang adalah Putera Panembahan Senapati di Mataram sedang yang seorang lagi adalah adik sepupu Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Me noreh. Berita itu telah diterima dengan perasaan kagum oleh orang-orang Kademangan Semp ulur. Mereka merasa kecewa bahwa mereka mengetahui hal itu setelah kedua orang a nak muda itu meninggalkan Kademangan. Kita tidak sempat memperhatikan kedua anak muda itu secara khusus, terutama puter a Panembahan Senapati. berkata anak-anak muda Kademangan Sempulur. Yang merasa paling kehilangan adalah anak Ki Demang. Ia baru saja merasa mendapa t kawan yang akrab dan sekaligus kawan yang akan banyak memberikan petunjuk kepa danya. Namun dalam waktu yang pendek kawan-kawan yang akrab itu harus pergi deng an tergesa-gesa. Namun ia sudah mendapat beberapa petunjuk permulaan sebagai persiapan untuk memp elajari olah kanuragan. Meskipun petunjuk itu sekedar persiapan, tetapi anak Ki Demang itu berniat untuk melakukannya. Sebelum ia memasuki latihan-latihan yang sebenarnya, maka ia merasa wajib mempersiapkan tubuhnya untuk melakukan langkah pertama menuju ke arah penuntutan ilmu itu sendiri. Karena itulah, maka anak Ki Demang itu dihari-hari berikutnya telah pergi ke sun gai, ditempat yang tidak banyak dikunjungi orang, Ia berusaha untuk meningkatkan ketrampilan kaki dan tangannya, bahkan berusaha untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanannya. Hampir setiap hari ia telah memerlukan waktu untuk berloncatan da ri atas batu kebatu yang lain disungai yang sepi serta memperkuat kemampuan jari -jari tangannya dengan bermain-main pada pasir tepian. Dihari-hari pertama, beberapa kali anak Ki Demang itu tergelincir dan jatuh keda lam air. Tetapi ia tidak menjadi jera. Ia mengulangi dan mengulanginya lagi. Bah kan sehari kadang-kadang lebih dari sekali. Sementara itu, Raden Rangga dan Glagah Putih telah berada diluar Kademangan Semp ulur. Namun sebenarnyalah keduanya masih belum meninggalkan Kademangan itu. Mere ka masih mengamati Kademangan itu dari kemungkinan-kemungkinan buruk. Meskipun m ereka sudah meninggalkan kesan, bahwa semua tanggung jawab terletak pada Raden R angga dan Glagah Putih, namun mereka masih juga menganggap bahwa kemungkinan lai n masih akan dapat terjadi. Jika orang-orang yang mendendam itu tidak bersifat j antan, maka mereka akan dapat berbuat terlalu buruk. Namun untuk beberapa saat, di Kademangan Sempulur tidak terjadi sesuatu. Bahkan beberapa orang telah hampir melupakan yang pernah terjadi. Tetapi Ki Jagabaya ma sih tetap menempatkan adik Ki Demang disebuah ruang tahanan karena Ki Demang yan g masih sakit belum dapat memberikan keputusan apapun juga. Tetapi adik Ki Deman g itu sama sekali tidak mengeluh. Ia sudah menerima keadaannya dengan ikhlas. Namun dalam pada itu, luka bakar dipipinya sudah menjadi kering meskipun masih n ampak bekasnya dengan jelas. Demikian juga luka pada tangannya dan pada tangan p engawal yang disentuh oleh jari Raden Rangga dan orang yang masih tetap belum di kenal dengan pasti itu. Ki Demang sendiri memang sudah berangsur baik sehingga ia sudah dapat bangkit da ri pembaringannya. Berjalan-jalan dihalaman dan melakukan pembicaraan-pembicaraa n pendek dengan Ki Jagabaya serta para bebahu yang lain. Tetapi Ki Demang masih belum dapat melakukan tugasnya sepenuhnya. Karena itu, iapun masih belum dapat mengambil langkah-langkah untuk menyelesaika n persoalan adik kandungnya. Namun Ki Demang sudah mendengar apa yang dilakukan oleh adiknya. Ki Demangpun mengerti bahwa adiknya sudah benar-benar menyesali se suatu tingkah lakunya.

Tetapi sebenarnyalah bahwa Kademangan Sempulur masih belum terlepas sepenuhnya d ari perhatian orang yang tidak dikenal itu. Orang-orang yang tidak dikenal itu a khirnya memang mendengar bahwa tanggung jawab atas kematian seorang diantara mer eka terletak pada putera Panembahan Senapati di Mataram serta seorang kawannya y ang disebut bernama Glagah Putih dari Tanah Perdikan Menoreh. Apakah kita akan membiarkan saja hal itu terjadi? bertanya salah seorang diantara mereka. Orang yang pernah menjadi tawanan Raden Rangga itu berkata. Anak-anak muda itu me mang memiliki ilmu yang luar biasa. Bagimu, mereka memang tidak akan terkalahkan. berkata seorang yang sudah melampui setengah abad, yang rambutnya sudah mulai berwarna rangkap. Jadi apa yang harus kita lakukan? bertanya orang yang pernah menjadi tawanan Raden Rangga itu. Aku kira tidak ada gunanya kita melepaskan dendam pada orang orang p adukuhan ini. Mereka adalah kambing-kambing yang tidak berdaya. Sementara itu se rigala yang sebenarnya telah meninggalkan Kademangan ini. Orang yang berambut mulai bercampur putih itu mengangguk-angguk. Katanya, Sasaran kita memang Mataram. Jika kita menyentuh Kademangan ini, sebenarnyalah tidak le bih dari sekedar usaha membuat landasan-landasan untuk meloncat ke Mataram. Tetapi apakah kita masih akan dapat menemukan kedua anak muda itu? bertanya orang yang pernah menjadi tawanan itu. Ada dua kemungkinan. berkata yang lain, anak-anak itu pergi ke Mataram atau pergi k e Tanah Perdikan Menoreh. Sebab menurut ceritera dari banyak orang di Kademangan ini, bahkan di warung-warung dan di pasar-pasar, yang seorang memang bernama Ra den Rangga putera Panembahan Senapati dan yang seorang bernama Glagah Putih, sau dara sepupu Agung Sedayu. Panembahan Senapati kita semuanya sudah mengetahuinya. Sulit bagi kita untuk dapat melakukan langkah-langkah langsung atasnya. Kegagal an yang pahit itu menjadi pengalaman bagi kita. Tetapi mungkin kita dapat berbua t sesuatu atas Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh. Kita dapat minta kepada nya untuk berbuat sesuatu atas saudara sepupunya itu, karena ia telah membunuh s eorang diantara kita dan membuat seorang lagi tidak berdaya. Untunglah bahwa kit a sempat membebaskannya. Orang-orang yang sedang berbincang itu mengangguk-angguk. Yang dilakukan oleh an ak muda itu memang satu penghinaan. Persoalannya tidak lagi dalam hubungan merek a dengan Mataram. Tetapi sebagai satu kelompok yang besar dan kuat, yang mempuny ai hubungan dengan beberapa orang Adipati di Bang Wetan dalam persoalan mereka d engan Mataram, telah dihinakan oleh anak-anak muda. Seorang diantara mereka adal ah kebetulan, memang Putera Panembahan Senapati yang menjadi sasaran gerakan mer eka. Sedangkan yang lain hanyalah seorang dari Tanah Perdikan Menoreh. Mereka memang harus memperhitungkan dengan cermat untuk dapat membalas sakit hat i atas putera Panembahan Senapati yang memiliki kekuatan yang besar pula. Namun mereka tentu tidak akan banyak menemui kesulitan jika mereka mengarahkan dendam mereka kepada anak muda yang satu lagi. Kita dapat datang ke Tanah Perdikan Menoreh, yang aku tahu letaknya, diseberang K ali Praga. berkata seorang diantara mereka. Kali Praga atau Opak? bertanya yang lain. Kali Praga. Di seberang Kali Opak adalah Bogem. Kemudian Candisari sebelum kita m emasuki Cupu Watu, Sarageni dan kemudian memaduki Tambak Baya yang terkenal itu. jawab orang yang mengaku telah mengetahui Tanah Perdikan Menoreh. Kita akan mendekati Mataram. desis yang lain. Ya. Karena itu, Tanah Perdikan Menoreh terletak disebelah Barat Kali Praga, bukan Kali Opak. jawab kawannya itu. Justru setelah kita melampaui jalan ke Mataram. Ki ta tidak berbelok kekiri, tetapi kita berjalan terus, meskipun kita akan dapat j uga pergi ke Tanah Perdikan Menoreh lewat Mataram. Kau mengenal daerah itu dengan baik. berkata seorang kawannya. Aku adalah seorang pengembara meskipun sudah lama sekali. jawab orang yang telah m engenal Tanah Perdikan Menoreh itu. Demikianlah, maka orang-orang itupun kemudian memutuskan untuk pergi ke Tanah Pe rdikan Menoreh. Nama yang disebut-sebut adalah Agung Sedayu, kakak sepupu Glagah Putih. Agung Sedayu harus dapat menyerahkan Glagah Putih kepada mereka, atau Ag ung Sedayulah yang akan dijadikan ganti. Jika Glagah Putih tidak mau menyerahkan

diri. Dalam pada itu, empat orang telah siap untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, di tambah dengan seorang lagi. Seorang yang menjadi kebanggaan mereka berempat. Ora ng itu adalah guru mereka, yang mereka sebut dengan Ki Ajar Laksana. Menurut kee mpat orang itu, tidak akan ada orang yang mampu mengalahkan Ki Ajar Laksana itu di Tanah Perdikan Menoreh. Persoalan ini menyimpang dari rencana. berkata Ki Ajar Laksana. Ya guru. jawab orang yang pernah menjadi tawanan Raden Rangga, tetapi bukankah para Adipati itu juga belum akan bergerak. Sementara usaha orang-orang Nagaraga untu k menempuh jalan pintas telah gagal. Mereka tidak berhasil membunuh Panembahan S enapati dengan caranya. Agaknya orang-orang Nagaraga ingin mendapat pujian dari para Adipati, atau untuk mendapatkan kedudukan yang paling tinggi diantara merek a. Bukankah dengan demikian kita masih mempunyai waktu untuk menegakkan harga di ri kita dengan melepaskan dendam kematian saudara kita? Aku kira waktu yang kita perlukan tidak terlalu lama. Kita akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Kita te mui Agung Sedayu. Mudah-mudahan Glagah Putih itu sudah ada dirumah. Jika belum m aka Agung Sedayu akan kita jadikan tanggungan dan memberi kesempatan Glagah Puti h untuk menyerahkan diri barang satu dua pekan. Ki Ajar Laksana nampaknya memang tidak berkeberatan. Ia memang merasa tersinggun g karena kematian seorang muridnya. Namun iapun kemudian berkata, Tetapi kalian j angan menganggap persoalan ini terlalu mudah. Kalian tahu, bahwa anak muda yang bernama Glagah Putih itu memiliki ilmu yang tinggi. Itu tentu tidak akan datang begitu saja padanya. Karena itu, mungkin ia telah berguru kepada seseorang yang juga berada di Tanah Perdikan Menoreh, sehingga tidak mustahil bahwa kita akan b erbadapan dengan satu perguruan. Mudah-mudahan. berkata seorang muridnya, kita akan menunjukkan kepada perguruan itu , bahwa perguruan kita memiliki kelebihan daripada perguruan Glagah Putih yang s ombong. Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, Baiklah. Kita akan pergi ke Tana h Perdikan Menoreh. Demikianlah, seperti yang mereka setujui, maka orang-orang itupun telah meningga lkan Kademangan Sempulur. Seperti pada saat mereka berada disekitar dan didalam Kademangan itu tanpa diketahui oleh orang-orang Kademangan itu, maka kepergian m erekapun sama sekali tidak menarik perhatian. Dalam pada itu, Raden Rangga dan Glagah Putihpun kemudian menganggap bahwa terny ata tidak timbul akibat yang parah bagi Kademangan Sempulur karena kematian oran g yang tidak dikenal itu. Dengan demikian, maka setelah menunggu beberapa hari s ehingga keduanya yakin benar bahwa Sempulur tidak akan mengalami bencana, maka m erekapun telah sepakat untuk melanjutkan perjalanan mereka. Tetapi seperti yang harus mereka lakukan, bahwa mereka sama sekali tidak kembali ke Mataram atau ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi keduanya telah melanjutkan pe rjalanan mereka ke Timur untuk menelusuri gerak orang-orang dari perguruan Nagar aga. Namun satu hal yang tidak diketahui bahwa orang-orang yang berada di Kademangan Sempulur dan seorang diantaranya terbunuh itu, bukan orang Nagaraga, atau orangorang yang berhubungan langsung dengan perguruan Nagaraga. Dengan demikian, maka dua kelompok orang yang merasa saling berkepentingan telah menempuh perjalanan yang justru bertolak belakang. Mereka tidak akan dapat bert emu, bahkan justru jarak diantara mereka akan menjadi semakin jauh. Demikianlah maka Raden Rangga dan Glagah Putih telah melanjutkan perjalanan dala m tugas mereka menuju ke Timur. Mereka merasa bahwa tugas pokok mereka itu harus dapat mereka selesaikan, meskipun Raden Rangga tetap pada pendiriannya untuk me lakukan Tapa Ngrame. Memberikan pertolongan kepada siapapun yang memerlukan pert olongannya. Namun kedua anak muda itu sadar sepenuhnya bahwa jalan yang mereka tempuh memang panjang dan penuh dengan bahaya yang mengancam. Tetapi mereka sudah bertekad bu lat. Tugas yang dibebankan oleh Panembahan Senapati itu harus mereka lakukan, be tapapun rumit dan beratnya, karena petunjuk-petunjuk tentang sasaran yang mereka tuju ternyata sangat sedikit. Namun disepanjang perjalanan, Raden Rangga sempat memberikan tuntunan kepada Gla

gah Putih tentang olah kanuragan. Dengan caranya yang khusus Raden Rangga mampu meningkatkan kemampuan Glagah Putih, bahkan kadang-kadang Raden Rangga telah men unjukkan sesuatu yang baru, yang sebelumnya tidak dikenali oleh Glagah Putih. Dengan demikian pengenalan Glagah Putih terhadap olah kanuragan dan ilmu jaya ka wijayan menjadi semakin luas. Berlandaskan dengan kemampuan yang memang sudah ad a didalam dirinya, maka Glagah Putih mampu mengembangkan pengenalannya itu sehin gga menjadikan dirinya semakin matang. Aku tidak kehilangan apapun juga dengan memberikan pengetahuan dan pengenalan itu kepadamu. berkata Raden Rangga, tetapi sebaliknya, jika tidak ada orang lain yang mengenalinya, maka jika saatnya aku kembali, maka semuanya itu akan lenyap bers ama tubuhku yang hancur didalam pelukan bumi. Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menyahut Raden Rangga sudah mendahului, Jangan cegah aku berbicara tentang hari-hari yang pasti bakal datang itu. Perjalanan ke Timur ini rasa-rasanya sebagai jalan pulang kepada asalku. Aku bukannya mencegah Raden Rangga berangan-angan tentang sesuatu yang kurang kit a kenali. jawab Glagah Putih, tetapi kadang-kadang terasa jantung ini berdegup sem akin keras. Aku sadari, jika memang hal itu harus terjadi, tidak ada seorangpun yang mampu mencegahnya, bahkan menundanya meskipun hanya sesisir bawang. Tetapi juga tidak ada seorangpun yang dekat dengan dirinya sampai pada batas yang tidak dapat dihindari itu. Raden Rangga tersenyum. Katanya, Glagah Putih. Semakin dewasa seseorang, maka ia akan menjadi semakin mapan mempergunakan nalarnya dalam keseimbangannya dengan p erasaannya. Karena itu, maka hidupnya akan menjadi mapan karena keseimbangan jiw anya itu menghadapi persoalan apapun juga. Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Raden Ranggapun meneruskan, Namun segal a sesuatu memang harus dikembalikan kepada Sumber dari kehidupan ini. Glagah Putih tidak menjawab. Namun ia merasa seakan-akan sedang berbicara dengan gurunya atau orang yang sebaya dengan gurunya. Ketika ia berpaling dan dilihatn ya sekilas anak yang masih terlalu muda berjalan disampingnya, maka ia memang me rasakan kejanggalan itu. Namun Glagah Putih sudah mengenal Raden Rangga dengan b aik. Seorang yang mempunyai sisi kehidupan rangkap. Demikianlah sambil berjalan menuju ke Timur, Glagah Putih sempat menempa diri. B ahkan kadang-kadang mereka harus berhenti sehari penuh di dalam hutan jika Raden Rangga didera oleh keinginannya untuk memberitahukan dan menunjukkan sesuatu ke pada Glagah Putih. Sementara Raden Rangga dan Glagah Putih menyusuri jalan ke arah Timur, maka Ki A jar Laksana justru menuju ke Barat. Perjalanan Ajar Laksana dan murid-muridnya j ustru lebih cepat dari perjalanan Raden Rangga dan Glagah Putih yang kadang-kada ng bahkan berhenti. Namun Ki Ajar Laksana juga tidak dengan serta merta menuju ke Tanah Perdikan Men oreh. Mereka telah melihat-lihat pula padukuhan dan bulak-bulak. Bahkan daerah y ang miring di kaki Gunung Merapi. Dalam perjalanan itu sekaligus mereka mengamat i kemungkinan untuk mendapatkan landasan menuju ke Mataram. Orang-orang itu sudah tahu bahwa di Jati Anom terdapat sepasukan prajurit yang k uat. Itulah sebabnya maka kelima orang itu justru ingin berjalan melalui Jati An om. Mungkin mereka akan mendapat sedikit keterangan tentang pasukan Mataram itu. Ki Ajar Laksana telah memerintahkan tiga orang diantara mereka berjalan agak did epan beberapa puluh langkah, agar mereka tidak nampak berjalan dalam kelompok ya ng besar yang dapat menarik perhatian orang lain. Ketika Ki Ajar Laksana lewat didepan sebuah padepokan kecil ditempat yang terpis ah dari Kademangan Jati Anom, ia telah tertarik kepada seorang tua yang berjalan sendiri menuju padepokan. Karena itu, maka ketika mereka berpapasan Ki Ajar sem pat bertanya, Ki Sanak. Kau akan pergi ke mana diterik panasnya matahari seperti ini? Aku justru dari sawah Ki Sanak. jawab orang tua itu, siapakah Ki Sanak dan Ki Sanak akan pergi ke mana? Orang yang disebut Ki Ajar Laksana itu termangu-mangu. Tetapi ia masih bertanya, Dimana rumahmu? Dipadukuhan sebelah. jawab orang itu sambil menunjuk sebuah padukuhan, yang justru terletak di belakang padepokan kecil itu berantara sebuah bulak meskipun tidak

terlalu panjang. O. Ki Ajar menangguk-angguk. Namun ia bertanya pula, Siapakah yang tinggal di padep okan itu? Aku kira kau juga tinggal di padepokan itu. Aku memang akan pergi ke padepokan. jawab orang tua itu, tetapi untuk mengembalikan cangkul ini. Aku telah dipinjami oleh seorang cantrik dari padepokan itu di saw ah tadi ketika cangkulku sendiri patah. Ki Ajar Laksana mengangguk-angguk. Namun ia tidak bertanya lebih jauh lagi. Namu n justru orang tua itulah yang bertanya, Siapakah Ki Sanak berdua? Agaknya Ki San ak bukan orang Jati Anom. Ki Ajar mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, Aku bukan siapa-siapa. Tet api pada saat-saat pengembaraanku, aku belum melihat padepokan ini ada disini. Orang tua yang membawa cangkul itu masih juga berTanya, Ki Sanak akan pergi keman a? Ki Ajar Laksana memandang orang itu sekilas. Namun kemudian jawabnya, Sekedar mel ihat-lihat lingkungan yang pernah aku lihat dahulu. Ternyata sudah banyak terjad i perubahan. Tetapi dibagian lain apa yang nampak masih seperti dahulu pernah ak u lihat. Orang tua itu mengangguk-angguk. Namun mereka tidak meneruskan pembicaraan karen a Ki Ajar Laksana itu meneruskan perjalanannya. Sejanak orang tua itu memperhati kan kedua orang ang berjalan menjauh. Ia tidak melihat tiga orang yang telah ber jalan lebih dahulu. Orang tua itu terkejut ketika seorang cantrik menyapanya, Kau lihat apa kek? O orang tua itu menarik nafas. Katanya kemudian, Aku akan mengembalikan cangkul ini . Kau perhatikan orang lewat itu? bertanya cantrik itu. Ya. jawab orang tua yang akan mengembalikan cangkul itu, tetapi orang tua itu juga memperhatikan padepokan ini. Katanya, ia belum pernah melihat sebelumnya. Apakah kau perkenalkan Kiai Gringsing kepada orang itu? bertanya cantrik itu. O, aku tidak menyebut nama siapapun. Apakah itu baik jika aku menyebut nama Kiai Gringsing? bertanya orang tua itu. Bukan begitu. Mungkin orang itu sudah pernah saling mengenal. Tetapi jika tidak, memang tidak ada salahnya. jawab cantrik itu. Orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, Aku akan mengembalikan cangk ul ini. Pakai saja dahulu kek. Bukankah cangkulmu patah. Besok jika kau sudah memiliki ya ng baru, kau kembalikan cangkul itu kemari. Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, Terima kasih. Jika demikian, biarlah ca ngkul ini aku bawa pulang. Silahkan. berkata cantrik itu. Demikianlah maka orang tua itupun meninggalkan regol padepokan itu sambil menjin jing cangkul yang tidak jadi dikembalikan ke padepokan. Sementara itu cantrik ya ng menyapanya itupun telah memasuki regol. Namun langkahnya tertegun ketika ia melihat Kiai Gringsing berdiri dibelakang re gol. Ketika Kiai Gringsing melihat cantrik itu agak gugup, maka Kiai Gringsing i tupun berkata, Aku mendengar percakapan itu. Tidak ada yang menarik bagiku. O cantrik itupun kemudian melintasi halaman dan pergi ke belakang bangunan induk padepokan kecil itu. Ketika cantrik itu meninggalkannya, Kiai Gringsing justru pergi keregol. Ketika ia melangkah keluar, maka orang yang berhenti dan berbicara dengan orang tua yan g akan mengembalikan cangkul itu sudah menjadi terlalu jauh untuk dapat dikenal ujudnya. Namun Kiai Gringsing tidak banyak memperhatikannya lagi meskipun memang ada kein ginan untuk mengetahui serba sedikit tentang orang itu yang tentu pernah berada atau mengembara sampai ke Jati Anom. Namun hal itu sudah lama dilakukannya. Tetapi ketika kemudian Kiai Gringsing masuk kembali ke halaman padepokannya, tib a-tiba saja ia teringat kepada Raden Rangga dan Glagah Putih yang sedang pergi k e Timur, sementara menurut dugaan Kiai Gringsing orang itu justru datang dari ar ah Timur. Tiba-tiba terbersit satu pertanyaan, Apakah ada hubungan antara kepergian Raden R angga dan Glagah Putih dengan orang itu.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya kepada diri sendiri, Jalan dide pan padepokan itu adalah jalan yang dilalui oleh banyak orang. Termasuk orang ya ng berbicara dengan orang tua itu. Kiai Gringsingpun kemudian berusaha untuk melupakannya. Ia tidak mau melihat hub ungan antara orang itu dengan Raden Rangga dan Glagah Putih hanya karena keresah an dihatinya sendiri. Namun ia justru berkata kepada diri sendiri, Seandainya aku mempunyai kemampuan m engurai arti dari satu isyarat didaiam diri ini, mungkin aku dapat melihat apa y ang mungkin terjadi pada getar isyarat ini. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia ingin melupakannya saja. Karena itu , maka iapun telah pergi ke kebun dan melihat-lihat ikan yang berenang dikolam y ang berair jernih. Tetapi terasa getaran perasaannya itu masih saja membelitnya. Bahkan muncul pula tiba-tiba satu keinginan untuk melihat keluarga Glagah Putih yang ditinggalkan. Bukan di BanyU Asri, tetapi di Tanah Perdikan Menoreh. Sudah lama aku tidak pergi ke Menoreh. berkata Kiai Gringsing, Agung Sedayupun suda h agak lama tidak datang ke padepokan ini. Seharusnya ia sudah waktunya untuk be rgantian membawa kitab yang masih saja ada pada Swandaru. Namun Kiai Gringsingpun mengerti, bahwa jika Agung Sedayu mengambil kitab tentan g ilmu yang sebagian telah dikuasainya, sebenarnya tidak banyak artinya, karena Agung Sedayu memiliki kurnia kemampuan mengingat sangat tajam atas apa yang perr ah menjadi perhatiannya, meskipun untuk hal lain ia masih juga dihinggapi sifat kebanyakan orang, lupa. Tetapi Agung Sedayu ingat semua pengertian yang tergores didalam kitab itu. berkat a Kiai Gringsing didalam hatinya. Yang kemudian tergetar dihatinya adalah kerinduan seorang guru kepada muridnya y ang sudah agak lama tidak dilihatnya. Bagaimanapun juga Kiai Gringsing ingin men yisihkan untuk sementara perasaan rindunya kepada kaluarga di Tanah Perdikan Men oreh, namun rasa-rasanya keinginan itu justru semakin mendesak. Namun tiba-tiba saja ia berdesis, Apa salahnya jika aku berjalan-jalan ke Tanah P erdikan Menoreh barang satu atau dua pekan? Padepokan ini tidak akan mengalami k esulitan apapun jika aku tinggalkan untuk sementara. Anak-anak sudah dapat mengu rus sawah dan pategalan. Sementara itu tidak ada persoalan dengan siapapun juga yang sedang berlangsung. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Keinginan itu begitu mendesaknya, sehi ngga ia berkata kepada diri sendiri, Inilah sifat orang-orang yang menjadi semaki n tua. Keinginannya kadang-kadang muncul tanpa alasan dan sulit untuk dicegah. Karena itu maka Kiai Gringsingpun kemudian justru kembali kebangunan induk padep okan kecilnya. Dipanggilnya cantrik yang tertua diantara kawan-kawannya. Besok aku akan pergi. berkata Kiai Gringsing. Kemana Kiai? bertanya cantrik itu. Aku akan pergi ke Sangkal Putung, dan terus ke Tanah Perdikan Menoreh. jawab Kia i Gringsing. Cantrik itu mengangguk-angguk. Tetapi terlontar pula pertanyaan Apakah Kiai akan pergi seorang diri? Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya Ya. Bukankah aku terbiasa mengembara seorang diri? Tetapi pada saat Kiai masih muda jawab cantrik itu. Kiai Gringsing tertawa. Tetapi ia tidak mengelak. Juga teradap perasaan sendiri. Ia memang sudah menjadi semakin tua. Namun justru karena itu, maka ia ingin seg era menemui murid-muridnya. Ia ingin sedikit memacu agar murid-muridnya menguasa i ilmunya sebanyak-banyak sebelum saatnya ia harus dipanggil kembali. Karena Kia i Gringsing sadar, bahwa tidak ada seorangpun yang luput dari perjalanan kembali ke Sumbernya. Demikianlah, maka Kiai Gringsing itu telah mempersiapkan dirinya. Memang tidak banyak yang akan dibawanya sebagaimana masa-masa sebelumnya jika i a pergi. Sebungkus kecil ganti pakaian yang hanya sepengadeg. Seperti yang dikatakannya, maka dipagi hari berikutnya, Kiai Gringsing sudah siap untuk berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi seperti yang dikatakannya, maka ia akan singgah lebih d ahulu ke Sangkal Putung. Seekor kuda telah disiapkan oleh cantrik yang tertua di Padepokan itu.

Bahkan ketika Kiai Gringsing siap untuk berangkat cantrik itu masih juga bertany a Apakah tidak ada seorangpun yang Kiai perintahkan untuk ikut? Kiai Gringsing menggeleng sambil tersenyum Sudahlah. Aku titip saja padepokan in i. Jaga baik-baik dan pelihara semua tanaman dengan sungguh-sungguh. Juga tanama n yang ada disawah dan dipategalan. Cantrik itu mengangguk-angguk. Katanya Baiklah Kiai. Kami akan melakukannya deng an baik. Tetapi bahwa Kiai pergi seorang diri agaknya akan merasa sepi di jalan. Juga jika Kiai memerlukan sesuatu, tidak ada yang dapat membantu Kiai. Kiai Gringsing memandang Cantrik itu dengan tatapan mata seorang tua. Katanya Te rima kasih. Tetapi perjalanan kali ini adalah perjalanan yang pendek, sehingga a gaknya aku tidak akan mengalami kesulitan apapun di perjalanan. Perjalanan dari Sangkal Putung ke Tanah Perdikan adalah perjalanan yang dekat, melalui jalan yang sudah menjadi ramai. Demikianlah maka Kiai Gringsing pun kemudian telah meninggalkan padepokannya. Se orang diri diatas punggung kuda. Beberapa orang cantrik yang melihatnya ternyata telah disentuh oleh perasaan yang aneh. Mereka melihat seorang tua yang pergi s eorang diri diatas punggung kuda. Namun mereka telah menenangkan hati mereka sendiri tetapi orang tua itu adalah Ki ai Gringsing. Sebenarnya bahwa Kiai Gringsing telah meninggalkan padepokan itu. Kudanya tidak berlari terlalu cepat. Perjalanannya memang tidak terlalu berat, karena jalan ke Sangkal Putung dan ke Tanah Perdikan Menoreh telah merupakan jalan yang ramai d an semakin baik. Seandainya Kiai Gringsing tidak ingin singgah di Sangkal Putung , maka ia dapat menempuh jalan yang lebih pendek. Melalui jalan yang melingkari lambung Merapi itu akan dapat menempuh jalan pintas. Dan ternyata jalan itu pula lah yang dilalui oleh Ki Ajar Laksana yang menuju pula ke Tanah Perdikan Menoreh. Dalam pada itu, selagi sekelompok orang menuju ke Tanah Perdikan Menoreh, serta Kiai Gringsing yang akan singgah lebih dahulu ke Sangkal Putung untuk selanjutny a juga menuju ke Tanah Perdikan Menoreh, Raden Rangga dan Glagah Putih telah men eruskan perjalanannya ke Timur. Mereka berusaha untuk sampai ke daerah yang akan dapat menjadi pencatatan mendek ati sasaran. Perguruan Nagaraga yang tidak begitu dikenalnya. Namun pada saat ke duanya menjadi semakin jauh dari Mataram, justru sekelompok orang telah mencari Glagah Putih ke Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu, Kiai Gringsingpun telah melintasi jala n-jalan bulak menuju ke Sangkal Putung. Tidak ada kesulitan di perjalanan. Karena itu, m aka jalan menuju ke Sangkal Putung itu ditempuhnya dalam waktu yang tidak terlal u lama. Apalagi hari masih pagi. Udara terasa segar, sementara ujung batang jagu ng di sawah masih basah digayuti titik-titik embun. Ternyata jalan menuju Sangkal Putung sudah menjadi demikian ramai. Tetapi Kiai G ringsing telah memilih jalan yang justru agak sepi, menelusuri tepi hutan. Namun ternyata banyak juga orang yang memilih jalan itu. Meskipun jalan itu berada di pinggir hutan yang masih dihuni binatang buas, namun agaknya binatang-binatang b uas lebih senang memburu mangsanya jauh kebagian yang lebih dalam lagi. Karena i tu maka jarang sekali terjadi, seekor harimau nampak oleh orang-orang yang lewat , meskipun jalan sepi. Tetapi biasanya orang yang lewatpun jarang sekali yang se orang diri. Ketika Kiai Gringsing sampai di Sangkal Putung, kebetulan Swandaru tidak ada dir umah. Ki Demang dan Pandang Wangilah yang menyambutnya dan mempersilahkannya nai k kependapa, sementara Pandan Wangi telah memerintahkan seorang pengawal untuk m enyusulnya. Kakang Swandaru sedang berada di padukuhan sebelah berkata Pandan Wangi padukuhan itu sedang merencanakan memperluas jaringan parit yang membelah bulak panjang y ang kadang-kadang memang mengalami kekurangan air. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya Jika memang sedang sibuk, aku kira Swa ndaru tidak perlu dijemput. Kakang hanya menunggui saja berkata Pandan Wangi. Kiai Gringsing mengangguk. Katanya Sebenarnyalah aku hanya singgah sebentar.

Kiai akan pergi kemana? bertanya Ki Demang. Aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh jawab Kiai Gringsing. Apakah ada keperluan yang penting Kiai? bertanya Ki Demang pula. Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya sambil tersenyum Tidak Ki Demang. Tidak ada a pa-apa. Hanya tiba-tiba saja aku j ingin menengok Agung Sedayu. Atau barangkali lebih tepat, aku sudah terlalu lama terkungkung dipadepokanku. Sementara itu keb iasaanku mengembara masih juga mempengaruhi perasaanku. Itulah agaknya salah sat u sebab bahwa aku untuk satu dua pekan ingin keluar dari padepokan. Ki Demang mengangguk-angguk. Sementara itu Pandan Wangi bertanya Apakah maksud K iai, Kiai akan membawa kakang Swandaru untuk menyertai Kiai? Aku hanya akan menawarkannya berkata Kiai Gringsing tetapi jika Swandaru sedang sibuk, maka tidak ada salahnya jika aku pergi sendiri. Pandan Wangi mengerutkan keningnya, sementara itu Kiai Gringsing berkata sambil tersenyum Agaknya perasaanmu tidak ubahnya dengan beberapa orang cantrik di pade pokan. Agaknya mereka tidak sampai hati melepaskan seorang tua untuk menempuh pe rjalanan seorang diri. Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya Maaf Kiai. Agaknya Kiai benar. A ku memang merasa demikian jika aku hanya sekedar melihat ujud kewadagan Kiai, me skipun aku harus mempercayai penalaranku, bahwa orang tua itu adalah Kiai Grings ing. Kiai Gringsing tertawa. Katanya Bukan apa-apa. Tetapi aku memang sudah berpengal aman menempuh pengembaraan yang panjang, apalagi! hanya keTanah Perdikan Menoreh yang sudah aku jalani berpuluh bahkan beratus kali. Pandan Wangi mengangguk-angguk. Iapun menyadari, bahwa Kiai Gringsing adalah ora ng yang lain dari orang kebanyakan. Dalam pada itu, maka sejenak kemudian Swandarupun telah datang pula. Iapun berge gas naik kependapa. Demikian ia duduk, iapun langsung bertanya Apakah ada perint ah guru untukku? Kiai Gringsing tersenyum sambil menggeleng Tidak Swandaru. Tidak ada apa-apa. O Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian sokurlah. Aku kira ada se suatu yang penting yang harus aku lakukan. Kiai Gringsing masih menggeleng. Namun iapun kemudian menyatakan niatnya untuk p ergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Aku hanya ingin singgah dan menanyakan kepadamu, apakah kau juga ingin pergi ke Tanah Perdikan berkata Kiai Gringsing. Swandaru mengerutkan keningnya. Ia memang berpikir sejenak. Namun kemudian katan ya Sebenarnya aku ingin mengantar guru. Tetapi aku sedang mempersiapkan satu kerj a besar dipadukuhan sebelah yang kadang-kadang mengalami kekeringan, Tetapi bukankah tugas itu untuk sepekan dua pecan dapat dilakukan oleh anak-anak ? Pandan Wangi menyela. Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun katanya Jika perencanaannya sudah selesai , justru aku dapat meninggalkannya. Kini kami justru sedang menyusun perencanaan nya. Pandan Wangi agaknya masih ingin mengatakan sesuatu. Namun Kiai Gringsing mendah uluinya Baiklah. Jika kau sibuk Swandaru, aku akan pergi sendiri, Perjalanan ke Tanah Perdikan bukan perjalanan yang berat. Jika aku singgah, bukan semata-mata ingin mencari kawan diperjalanan. Tetapi barangkali ada pesan Pandan Wangi untuk ayahnya. Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba ia berkata kepada Swanda ru Kakang. Aku sudah agak lama tidak datang ke tanah Perdikan. Sebenarnyalah bahw a aku memang rindu kepada ayah. Apakah kakang mengijinkan jika aku menyertai Kia i Gringsing untuk pergi barang sepekan?. Swandaru mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Katanya J ika kau ingin, baiklah. Ada juga baiknya bagi guru yang sudah semakin tua untuk menemaninya diperjalanan. Meskipun hanya sekedar kawan berbincang. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun nampaknya Swandaru memang tidak berk eberatan. Sementara itu Ki Demangpun berkata Tetapi bukankah Kiai tidak akan ter lalu lama di Tanah Perdikan? Tidak Ki Demang jawab Kiai Gringsing mungkin hanya sepekan. Paling lama dua peka n. Hanya sekedar melepas kerinduan.

Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya Guru, apakah kakang Ag ung Sedayu sudah jemu mempelajari ilmu yang guru wariskan kepada kami berdua. Kiai Gringsing justru termangu-mangu. Ia tidak segera mengetahui maksud Swandaru . Namun kemudian Swandaru berkata Tetapi sebenarnya bagiku kebetulan sekali, kar ena kitab guru untuk waktu yang jauh lebih panjang ada padaku. Dengan demikian a ku mendapat kesempatan untuk mempelajarinya lebih banyak dari kakang Agung Seday u. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya Mungkin bukan karena jemu. Agung Seda yu mempunyai kebiasaan yang aku kenal. Jika ia sedang menekuni sesuatu, maka ia baru akan selesai jika ia menganggap bahwa yang dilakukan itu sudah cukup. Demik ian pula dengan ilmu yang diwarisinya dari kitab itu. Ia tentu sedang menekuni s alah satu diantaranya. Ia baru akan datang meminjamnya lagi jika ia merasa bahwa yang satu itu sudah cukup di pahami. Swandaru mengangguk-angguk. Katanya Ada juga baiknya sifat kakang Agung Sedayu. Tetapi nampaknya ia tidak begitu bergairah. Meskipun ia menekuni salah satu bab diantara berjenis ilmu itu, bukankah kadang-kadang ia masih juga memerlukan tunt unan. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya Ya. Agaknya ia memang masih memerlukan nya. Memang sebaiknya jika ia menekuni ilmu itu dengan menghadapi tuntunannya. Jika demikian, apakah guru akan membawa kitab itu? Tetapi pada saatnya aku akan mengambilnya atau sokurlah jika kakang Agung Sedayu sempat menengok. Kiai sambil membawa kitab itu. Sebenarnya akupun sedang mempelajari satu hal yang ingin aku sempurnakan. Tetapi aku tidak mau disangka ingin menyimpan kitab itu tanpa memb eri kesempatan kepada kakang Agung Sedayu mengalami kelambatan, akulah yang dian ggap bersalah dan menghambatnya berkata Swandaru. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa sebenarnya Swandaru menging inkan kitab itu untuk seterusnya ada padanya. Tetapi ia ingin menunjukkan bahwa ia adalah seorang saudara seperguruan yang baik, yang tidak mementingkan diri se ndiri. Namun Kiai Gringsing tidak menolak. Katanya Baiklah. Biarlah aku membawan ya dan meninggalkan kitab itu di Tanah Perdikan untuk beberapa bulan. Jika demikian Kiai berkata Pandan Wangi sebaiknya Kiai berangkat besok. Dengan d emikian aku mendapat kesempatan untuk dengan tidak tergesa-gesa membenahi diri d an barangkali selembar dua lembar pakaian. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya Baiklah. Aku tahu, biasanya seo rang perempuan lebih lama memerlukan waktu untuk bersiap-siap jika akan bepergia n, meskipun perempuan itu Pandan Wangi. Pandan Wangi tertawa. Katanya Jika perlu, aku dapat pergi sekarang juga. Tetapi bukankah Kiai tidak tergesa-gesa? Ya, Aku tidak tergesa-gesa jawab Kiai Gringsing. Dengan demikian Kiai Gringsing telah bermalam semalam di Sangkal Putung. Sementa ra itu Pandan Wangi telah membenahi bukan saja dirinya sendiri, tetapi juga memb erikan beberapa pesan kepada pembantunya di Kademangan, bagaimana ia harus melay ani Swandaru. Kesenangannya jika ia makan dan kebiasaannya untuk minum justru ja ngan terlalu panas. Meskipun pembantunya itu juga sudah melakukannya untuk waktu yang cukup lama, tetapi Pandan Wangi tidak mau Swandaru dikecewakannya. Dalam pada itu, Swandaru dapat memanfaatkan kehadiran gurunya yang hanya semalam . Swandaru mempersilahkan Kiai Gringsing untuk berada disanggarnya. Swandaru ing in mendapat tuntunan dari perkembangan ilmunya yang menggetarkan. Kemampuan Swan daru untuk membangkitkan tenaga dalam ternyata sulit dicari bandingnya. Kekuatan nya bagaikan mekar berlipat ganda. Meskipun tanpa disadarinya sepenuhnya, ternyata Swandaru j uga telah memanfaatkan kekuatan getar disekitar dirinya yang dihisapnya dan dibe ntuknya dengan kemampuan ilmunya menjadi tenaga pendorong pada tenaga cadanganny a, sehingga kekuatannya melampaui kekuatan yang dapat dicapai oleh kebanyakan or ang. Ujung cambuk Swandaru benar-benar mampu membelah dan menghancurkan batu hit am. Apalagi kulit daging seseorang. Kiai Gringsing yang menyaksikannya mengangguk-angguk. Katanya Dahyat sekali Swan daru. Kau tekuni ilmumu yang mampu mengungkat kekuatan yang jarang ada bandingny a. Tetapi kau dapat mencobanya tidak mempergunakan cambukmu, tetapi dengan tanga nmu. Namun tentu saja tidak dengan serta merta. Aku yakin, bahwa kekuatan wadagm

u melampaui kekuatan wadag orang kebanyakan. Tetapi kau dapat membentuk wadagmu, untuk kepentingan itu. Kau bentuk sisi telapak tanganmu yang akan mampu kau per gunakan sebagaimana ujung cambukmu. Sebab bagaimanapun juga lekatnya cambuk itu padamu, ada kalanya cambuk itu terpisah juga daripadamu. Swandaru mengangguk-angguk. Katanya Aku mengerti guru. Aku akan mencobanya. Muda h-mudahan aku berhasil. Usaha itu dapat kau lakukan bersamaan dengan usaha untuk meningkatkan daya tahan tubuhmu. Meskipun kau tidak sampai pada tingkat kekebalan, namun kau tidak akan cepat menjadi goyah karena benturan-benturan yang keras dengan orang-orang beri lmu tinggi. Agaknya ilmu kini semakin mekar, dan orang berilmupun menjadi semaki n banyak. Namun sayang bahwa perkembangan ilmu itu tidak dibarengi dengan perkembangan peradaban , sehingga justru yang terjadi adalah sebaliknya dari pemanfaatan ilmu itu bagi kemanusiaan. Swandaru mengangguk-angguk. Katanya Aku mengerti guru. Aku akan meningkatkan kem ampuanku dan mencoba untuk membentuk unsur-unsur kewadaganku sebagaimana guru katakan. Mudah-mudahan kau berhasil. Sementara itu kaupun harus melihat gejala perkembang an ilmu Pandan Wangi. Ia mulai dengan kekuatan yang barangkali mempunyai ungkapa n yang berbeda dengan kau berkata Kiai Gringsing. Swandaru mengangguk kecil. Ia memang melihat perkembangan ilmu Pandan Wangi yang berbeda dengan cara dan sifat dari perkembangan ilmunya. Namun dalam pada itu i a menjawab Dasar dari ilmu kami memang berbeda. Sifat Pandan Wangi sebagai seora ng perempuan dan aku sebagai laki-laki menurut kodratnya memang berbeda. Karena itu, perkembangan ilmu kami juga berbeda. Aku memang melihat usaha Pandan Wangi untuk mengimbangi kekurangannya pada kekuatan khususnya mengenai bentuk dan kemampuan wadagnya dengan dukungan kekuatan lewat getaran yang dilontarkan dari wadagnya m eniti kekuatan yang ada disekitarnya, menggapai sasaran. Kiai Grinsing mengangguk-angguk. Ternyata Swandaru telah mengamati ilmu Pandan W angi meskipun hanya dari segi ujudnya saja. Namun itu sudah merupakan satu hal y ang baik. Apalagi apabila keduanya dapat berlatih bersama untuk dapat saling mem perngaruhi dan saling menyadap. Namun untuk melakukannya diperlukan pertimbangan , pengamatan dan usaha yang hati-hati. Jika hal itu dilakukan dengan serta merta tanpa memperhitungkan imbangan dari ilmu keduanya, maka akibatnya akan dapat terjadi tidak sebagaimana diharapkan. Demikianlah, malam itu Swandaru mendapat beberapa petunjuk dari gurunya. Perkemb angan ilmunya yang memang pesat akan menjadi semakin mapan. Lewat tengah malam, Swandaru mempersilahkan gurunya untuk beristirahat.' Besok gurunya masih akan me nempuh perjalanan yang meskipun tidak terlalu jauh. Sementara itu, didalam sangg ar dan latihan-latihan yang pendek itu, Swandaru seakan-akan memang merasakan, b ahwa bagaimanpun juga unsur wadag ikut menentukan. Betapa tinggi ilmu seseorang, namun jika datang saatnya kemampuan wadagnya menjadi susut, maka ilmunyapun akan menjadi susut pula. Dipagi hari berikutnya, sebelum matahari terbit Pandan Wangi telah bersiap. Demi kian pula dengan Kiai Gringsing. Keduanya akan menempuh perjalanan sebelum panas matahari mulai menyengat. Ki Demang dan Swandaru mengantar keduanya sampai kegerbang Kademangan. Kemudian setelah sekali lagi mereka minta diri, maka keduanyapun meninggalkan Kademangan Sangkal Putung menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Karena hari masih remang-remang , maka belum banyak orang yang keluar dari halaman rumah mereka, sehingga tidak banyak pula orang yang melihat kepergian Pandan Wangi bersama Kiai Gringsing men uju ke Tanah Perdikan Menoreh itu. Dalam pada itu, keduanya setuju untuk menempuh perjalanan tanpa melalui Mataram, sehingga mereka tidak akan perlu berhenti apabila mereka bertemu dengan orangor ang yang kebetulan pernah mereka kenal. Sebenarnyalah perjalanan menuju ke Tanah Per dikan Menoreh bukan perjalanan yang jauh. Apalagi mereka sudah terbiasa hilir mudik. K

arena itu, maka Kiai Gringsing dan Pandan Wangipun tidak merasakan bahwa mereka sedang dalam perjalanan yang melelahkan. Keduanya ternyata tidak mengalami gangguan diperalanan. Meskipun demikian jika m ereka berpapasan dengan orang-orang berkuda lainnya, orang-orang itu sempat juga berpaling kearah Pandan Wangi. Agaknya seorang perempuan yang berkuda dengan pa kaian sebagaimana dikenakan oleh Pandan Wangi memang belum banyak dilakukan oran g. Meskipun demikian, tidak ada juga yang menyampanya.Orang-orang yang berpapasan i tu hanya memandanginya sekilas. Memang ada yang tertarik bukan saja melihat paka ian Pandan Wangi, tetapi juga sebagai seorang perempuan yang cantik. Dua orang a nak muda yang berkuda justru telah berhenti. Mereka memandang Pandan Wangi denga n hamper tidak berkedip. Bahkan seorang diantara-nya tiba-tiba saja telah bersiu l panjang. Pandan Wangi memang berpaling sekilas. Tetapi iapun kemudian tidak menghiraukan lagi ketika dilihatnya dua orang anak muda yang berhenti dipinggir jalan. Namun anak muda itupun telah meneruskan perjalanan mereka kearah yang berlawanan meski pun keduanya masih juga membicarakan seorang perempuan cantik yang berkuda dengan mengenakan pakaia n yang tidak banyak dipakai. Perempuan itu mengenakan pakaian laki-laki berkata salah seorang. Tetapi perempuan yang aneh-aneh begitu biasanya berbahaya berkata kawannya. "Tetapi aku ingin mengetahui, siapakah perempuan itu", berkata saudagar itu. "Cucuku!" jawab Kiai Gringsing, "perempuan ini adalah cucuku'" "Ya cucumu". Tetapi apakah perempuan ini punya keluarga yang lain yang ..,....", Ia hanya dikawani oleh seorang laki-laki tua -* desis anak muda yang pertama. Yang kita lihat memang demikian, tetapi siapa tahu, bahwa ada orang lain yang si ap untuk menjebak kita jika mendekatinya sahut kawannya. Yang lain mengangguk-angguk. Namun terasa tengkuk mereka meremang. Mereka memang pernah mendengar, . bahwa kadang-kadang seorang perempuan dengan sengaja telah menarik perhatian orang. Namun jika orang yang tertarik kepadanya, berusaha untu k mengganggunya, maka tiba-tiba saja beberapa orang laki-laki kasar dan bersenja ta telah mengepung dan kemudian menuntut sesuatu yang tidak masuk akal. Sementara itu, Pandan Wangi dan Kiai Gringsing telah menjadi semakin mendekati K ali Praga. Mereka telah melintasi jalan yang berbelok We Mataram ketika matahari sudah memanjat semakin tinggi dilangit. Namun mereka justru mengambil jalan kea rah yang lain, yang langsung menuju ke penyeberangan Kali Praga. Ketika matahari berada dipuncak, maka mereka telah menyusuri jalan yang langsung sampai ketempat penyeberangan. Sejenak Kiai Gringsing memandang kedepan. Diliha tnya Kali Praga mengalir dengan arusnya yang tenang, namun nampak betapa besar t enaga air yang terkandung di dalamnya. Kita sudah sampai ke Kali Praga berkata Kiai Gringsing. Pandan Wangi mengangguk-angguk. Perjalanan mereka termasuk perjalanan yang lamba t. Namun justru karena itu. rasa-rasanya Pandan Wangi telah mendapatkan kesegara n baru. Untuk waktu yang agak lama ia tidak melihat keluar batas dari Kademangan nya. Karena itu maka perjalanannya itupun memberikan suasana yang berbeda dari s uasana yang dihadapinya sehari-hari. Meskipun Pandan Wangi merasa kecewa juga, bahwa ia tidak dapat pergi bersama sua minya yang sedang sibuk, namun ia akan dapat bertemu dengan keluarganya di Tanah Perdikan. Bukankah aku tidak akan lama pergi? berkata Pandan Wangi didalam hatinya. Sejenak kemudian mereka sudah berada ditepian. Sebuah rakit baru saja berangkat dari tepian Timur menyeberang ke Barat. Karena itu, maka mereka harus menunggu r akit berikutnya. Rakit yang beberapa saat menunggu sampai mendapat penumpang yan g cukup untuk dibawa menyeberang. Kiai Gringsing dan Pandan Wangipun kemudian telah naik kesebuah rak it, meskipun rakit itu tidak akan segera berangkat. Satu dua orang yang lain ber turut-turut telah naik pula. Namun mereka masih harus dengan sabar menunggu. Dalam pada itu, seorang yang berpakaian lebih baik dari orang-orang lain nampakn ya tidak senang melihat dua ekor kuda di atas rakit. Karena itu, kepada tukang s

atang yang masih menunggu itupun bertanya He, siapakah yang membawa kuda itu? Tukang satang itupun termangu-mangu. Namun diluar sadarnya ia memandang kearah K iai Gringsing dan Pandan Wangi yang telah duduk disebeiah kuda mereka itu. O, agaknya kalian berdua? desis orang itu. Lalu katanya Aku adalah saudagar emas berlian yang setiap kali melintasi kali Praga untuk per gi ke Mataram. Aku tidak senang naik rakit bersama-sama dengan dua ekor kuda. Kiai Gringsing dan Pandan Wangi sama sekali tidak menjawab. Mereka justru memand ang tukang satang yang bertanggung-jawab atas para penumpang. Tetapi sebelum tukang satang itu menjawab, saudagar itupun telah berkata Sebaikn ya kalian tidak naik rakit bersamaku. Meskipun seorang diantara kalian berdua ad alah seorang perempuan yang cantik, yang mula-mula aku kira seorang laki-laki me nilik pakaian yang kau pakai itu. Ki Sudagar berkata tukang satang mereka telah naik lebih dahulu dari Ki Sudagar. Dan bukankah hal seperti ini merupakan hal yang wajar saja. Bukankah rakit-raki t yang lain juga sering membawa kuda, bahkan bukan kuda tunggangan sekalipun. Ya jawab Ki Sudagar tetapi aku ingin tidak naik rakit bersama dua ekor kuda. Kal au pemiliknya, boleh saja naik rakit bersamaku. Tetapi kudanya tidak. Tukang satang itu menjadi bingung. Sementara Ki Sudagar itu dengan wajah tengada h berkata Jika kau merasa dirugikan, maka biarlah aku mengganti berupa upahmu me mbawa dua ekor kuda. Tukang satang itu memandang Kiai Gringsing, Pandan Wangi da n Sudagar itu berganti-ganti. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan . Ia tidak dapat mengusir kedua orang yang membawa dua ekor kuda itu. Namun iapu n merasa cemas melihat sikap saudagar yang agaknya keras kepala itu. Namun adalah diluar dugaan, bahwa Kiai Gringsing tiba-tiba telah bangkit dan ber kata kepada tukang satang. Baiklah Ki Sanak. Jika kuda kami mengganggu, kami aka n turun saja. Kami akan ikut rakit yang berikutnya. O tukang satang itu justru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya terima kasih atas sikap Ki Sanak. Bukan maksudku mengusir Ki Sanak. Tetapi sikap Ki Sanak telah meringankan bebanku. Kiai Gringsingpun kemudianbangkit bersama! Pandan Wangi yang menjadi cemberut. P andan Wangi agaknya mempunyai pendirian yang berbeda. Tetapi ia tidak berani men entang maksud Kiai Gringsing, Sehingga karena itu, ketika Kiai Gringsing menuntu n kudanya turun dan meloncat ketepian, Pandan Wangipun berbuat serupa. Tetapi ke tika keduanya sudah ditepian saudagar itu meloncat turun pula sambil berkata He, anak manis. Biarlah kakekmu saja yang mem bawa kedua ekor kuda itu dengan rakit berikutnya. Kau dapat bersamaku ikut dalam rakit itu. Aku akan membayar semua upah kalian termasuk kuda kalian, di rakit ini dan di rakit berikutnya. Wajah Pandan Wangi menjadi tegang. Namun ia berusaha menguasai dirinya, sementara Kiai Gringsinglah yang menjawab. Maaf Ki Sanak. Cucuku ini memang seorang pemalu dan barangkali penakut. Biarlah ia berada dirakit bersamaku. Silahkan Ki Sudagar menyeberang lebih dahulu. Jangan bodoh berkata saudagar itu aku akan membayar upah bagi kalian. Atau baran gkali kau ingin lebih dari itu? Saudagar itu maju selangkah mendekati Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi bergeser surut dan bahkan kemudian sambil menuntun kudanya Pandan Wangi berada dibelakang Kiai Gringsing. He, kakek. Katakan kepada cucumu. Jika ia ingin sesuatu, aku adalah saudagar ema s dan permata berkata saudagar itu. Ah desis Kiai Gringsing Ki Sudagar telah membuka rahasia sendiri. Apakah Ki Suda gar tidak takut terdengar oleh barangkali orang-orang jahat. Bukankah dengan dem ikian mereka akan dapat merampok Ki Sudagar? Tetapi saudagar itu tertawa. Katanya Aku tidak gentar seandainya aku bertemu den gan lima orang perampok yang paling garang sekalipun. Seorang yang telah berani menyebut dirinya saudagar emas, intan dan permata, adalah orang yang telah beran i menghadapi akibat dari sebutan itu. Jika tidak, lebih baik berdagang sambil be rsembunyi-sembunyi.

Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun ketika ia berpaling kearah Pandan Wangi dil ihatnya wajah Pandan Wangi menjadi merah. Sementara itu Ki Sudagar itu berkata p ula Kau tidak saja menarik karena wajahmu. Tetapi juga pakaianmu. Menilik pakaian mu kau tentu bukan perempuan sebagaimana perempuan kebanyakan. Namun justru kare na itu, aku ingin mengenalmu lebih banyak. Mungkin kau muri sebuah perguruan, at au mungkin kau hanya sekedar ingin dianggap aneh. Sudahlah Ki Sanak berkata Kiai Gringsing rakit itu sudah hampir penuh. Silahkan Ki Sanak naik. Nanti aku akan naik rakit berikutnya, karena Ki Sanak tidak mau b erakit bersama kuda-kuda kami. Tetapi aku ingin mengetahui, siapakah perempuan itu. berkata saudagar itu. Cucuku jawab Kiai Gringsing perempuan ini adalah cucuku. Ya, cucumu. Tetapi apakah perempuan ini punya keluarga yang lain yang barangkali dapat memberikan satu cirri kepadaku? bertanya saudagar itu. Ki Sudagar berkata Kiai Gringsing Ki Sudagar tentu sudah menjelajahi daerah yang luas. Apakah Ki Sudagar pernah sampai ke Sangkal Putung? Sangkal Putung? ulang saudagar itu hampir setiap hari aku lewati Sangkal Putung. Aku sudah menjelajahi Kudus, Demak, Pati dan daerah pesisir Utara. Juga daerah M adiun, Panaraga dan daerah Timur yang lain. Barangkah Ki Sanak mengenal satu dua orang terpenting di Sangkal Putung? bertany a Kiai Gringsing pula. Siapa? bertanya Ki Sudagar dengan kerut di dahi. Perempuan ini. cucuku, adalah istri anak Demang Sangkal Putung jawab Kiai Grings ing. Swandaru? bertanya Ki Sudagar dengan wajah yang tegang. Ya. Perempuan ini adalah isterinya jawab Kiai Gringsing. O tiba-tiba sikap orang itu berubah aku sudah pernah sedikit mengenal Swandaru. Namanya yang sudah sering aku dengar. Aku memang sudah pernah bertemu satu kali. Tetapi aku tidak terlalu akrab. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya Sementara itu, siapakah nam a Ki Sudagar. O, aku kira tidak perlu jawab saudagar itu. Namun kemudian baiklah, jika kau tid ak mau berakit bersamaku, aku akan mendahului. Salamku buat Swandaru Geni dari S angkal Putung itu. Ki Sudagar tidak menunggu jawaban Kiai Gringsing. Iapun dengan cepat meloncat ke atas rakit dan berkata kepada tukang satang berangkat sekarang. Masih dapat memuat beberapa orang lagi Ki Sudagar jawab tukang satang. Aku akan memberi upah lipat jawab Ki Sudagar itu. Tukang satang itu menjadi bing ung. Tetapi karena saudagar itu bersedia membayar lipat, maka meskipun rakitnya masih dapat memuat dua tiga orang lagi, tetapi rakit itupun segera saja meningga lkan tepian setelah tali penambatnya dilepas. Beberapa orang tukang satang mendorong rakit itu dengan sat angnya, sehingga rakit itu segera bergeser ketengah, mengikuti arah yang condong menyilang arus air Kali Praga. Ki Sudagar yang berdebar-debar itu menarik nafas dalamd-alam.Kepada dirinya send iri ia berkata Jika perempuan itu isteri Swandaru, tentu perempuan itulah yang d isebut Pandan Wangi. Tiba-tiba saja ia mengingat-ingat, apakah perempuan itu membawa pedang rangkap s ebagaimana sering dikatakan orang tentang isteri Swandaru menantu Ki Demang Sang kal Putung itu. Terasa bulu tengkuk Ki Sudagar itu meremang. Perempuan itu tidak nam pak membawa sepasang pedang. Tetapi mungkin disembunyikan dibalik kain panjangny a yang .dikenakannya sebagaimana seorang laki-laki mengenakan kain panjang dengan celana komprang didalamnya. Untunglah perempuan itu belum berbuat sesuatu. Menurut pendengarannya sebagai se orang saudagar yang sering menjelajahi berbagai tempat, maka Pandan Wangi adalah seorang perempuan yang memiliki kemampuan yang jarang ada bandingnya. Bahkan la

ki-laki yang berilmu tinggipun mampu ditundukkannya. Sementara itu rakit yang di tumpangi oleh Ki Sudagar itupun menjadi semakin jauh ketengah. Sementara itu Kia i Gringsing dan Pandan Wangi masih menungggu rakit berikutnya yang akan membawan ya menyeberang. Kenapa dengan orang itu tiba-tiba saja Pandan Wangi bertanya kepada Kiai Gringsi ng. Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya Entahlah. Tetapi orang itu tentu pernah mend engar nama suamimu, sehingga ia terpengaruh juga oleh nama Swandaru. ' Pandan Wangi mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak menyadari, bahwa Ki Sudagar itu selain menjadi silau oleh nama Swandaru, iapun menjadi berdebar-debar karena menurut pengertiannya, perempuan yang dihadapinya itu adalah Pandan Wangi. Demi kianlah, maka Kiai Gringsing dan Pandan Wangi-pun telah berada dirakit berikutny a. Bersama beberapa orang yang lain, maka merekapun telah menyeberangi Kali Prag a menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Ketika mereka sampai diseberang, maka mereka sudah tidak melihat lagi Ki Sudagar yang menolak naik rakit bersama dengan dua ekor kuda milik Kiai Gringsing dan P andan Wangi. Agaknya Ki Sudagar itu telah meninggalkan tepian dengan tergesa-gesa. Meskipun i a mengatakan, bahwa ia tidak gentar menghadapi lima orang perampok yang garang, tetapi mendengar nama Swandaru, orang itu menjadi pucat. Tetapi ternyata yang telah mendengar Kiai Gringsing menyebut anak Demang Sangkal Putung bukan hanya Ki Sudagar itu saja. Seorang yang berdiri meskipun agak jauh daripadanya, mendengar nama itu dan melihat sikap Sudagar setelah mendengar nam a itu disebut. Siapakah Swandaru itu bertanya orang itu kepada seorang yang berdiri disebelahny a. Aku belum mengenalnya Ki Ajar jawab orang yang berdiri disebelahnya itu tetapi m enurut orang tua itu, Swandaru adalah anak Ki Demang Sangkal Putung. Orang yang menyebut dirinya sebagai saudagar itu tiba-tiba menjadi ketakutan ber kata orang itu. Kita akan dapat bertanya kepada Ki Sudagar serba sedikit tentang kedua orang yan g agaknya juga akan pergi ke Tanah Perdikan itu. Meniliknya pakaiannya, perempua n yang disebut isteri Swandaru itu tentu juga seorang yang memiliki sesuatu berk ata orang itu. Sebenarnyalah mereka telah naik pula ke rakit yang ditumpangi oleh Ki Sudagar se mentara tiga orang lainnya telah ikut bersama rakit yang ditumpangi oleh Kiai Gr ingsing dan Pandan Wangi. Mereka telah berjanji untuk bertemu lagi diatas tanggu l rendah ditepian Kali Praga itu. Dalam pada itu, ketika Ki Sudagar turun dari r akit dan berjalan dengan tergesa-gesa menjauhi Kali Praga, maka dua orang telah mengikutinya. Mereka tidak segera menyapanya. Tetapi mereka menunggu sampai jara k yang cukup dari Kali Praga. Sambil berjalan disisinya, Ki Ajar itupun telah menyapanya Selamat bertemu Ki Su dagar. Sudagar itu terkejut. Ketika ia berpaling dilihatnya orang yang belum pernah dik enalnya. Karena itu, Ki Sudagar itupun menarik nafas dalam-dalam. Orang itu buka n orang tua yang berkuda bersama cucunya, Pandan Wangi, Apakah aku boleh memperkenalkan diri berkata Ki Ajar. Siapa kau? bertanya Ki Sudagar. Sikapnya justru menunjukkan sikapnya sehari-hari. Pandangannya agak tengadah dan hampir tanpa mengacuhkan orang yang berjalan dis ebelahnya. Ki Sanak berkata Ki Ajar sebenarnya aku hanya ingin mendapat keterangan sedikit saja. Siapakah Swandaru itu dan kenapa Ki Sudagar tiba-tiba menjadi ketakutan. Persetan geram Ki Sudagar tidak ada orang yang aku takuti dimuka bumi ini. Tetapi setelah Ki Sudagar mendengar nama Swandaru, Ki Sudagar dengan serta merta telah meninggalkan orang tua dan cucu perempuan itu. Apakah itu bukan berarti b ahwa nama Swandaru itu benar-benar telah mencengkam hati Ki Sanak? Wajah Ki Sudagar itu menjadi merah. Bahkan ia telah berhenti sambil bertolak pin ggang Apa maumu sebenarnya? Jangan marah Ki Sanak berkata Ki Ajar aku hanya ingin mengetahui serba sedikit t

entang Swandaru. Itu saja. Aku tidak akan mengganggu Ki Sanak. Sudagar itu memandang Ki Ajar dengan tajamnya. Namun Ki Ajar itu berkata Jika ki ta terlalu banyak berbincang disini, sebentar lagi orang tua dan cucu perempuann ya itu tentu akan segera lewat. Karena itu, marilah kita berbicara sambil berjal an. Bahkan kita dapat berbelok lewat jalan kecil. Setelah aku mendengar serba se dikit tentang Swandaru, aku tidak akan mengganggu Ki Sanak lagi. Ki Sudagar itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba ia berkata Marilah kita b erjalan terus. Merekapun kemudian meneruskan langkah mereka. Sementara itu Ki Sudagarpun berkat a Yang aku ketahui tentang Swandaru adalah, bahwa ia adalah anak Demang Sangkal P utung. Ia memiliki ilmu yang sangat tinggi. Bukan Swandaru saja, tetapi juga ist erinya itu. Namanya Pandan Wangi. Menurut pendengaranku, ia adalah anak perempua n Ki Gede Menoreh, Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Ki Ajar itu mengangguk-angguk. Namun iapun telah bertanya lagi Apakah Ki Sanak m engenal Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh? Aku pernah mendengar namanya. Seperti Swandaru, aku tidak banyak mengenalnya sec ara pribadi. jawab Ki Sudagar. Siapakah Agung Sedayu yang tinggal di Tanah Perdikan Menoreh itu? bertanya Ki Aj ar. Menurut pendengaranku, ia adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi pula. Ia memiliki kelebihan dari kebanyakan orang. Dan kata orang, Agung Sedayu dan Swan daru itu adalah saudara seperguruan berkata Ki Sudagar. Ki Ajar menangguk-angguk. Katanya kemudian Apakah ada hal-hal yang lain yang Ki Sanak ketahui, justru yang menarik perhatian? Ki Sudagar menggeleng. Katanya Aku tidak tahu banyak. Tetapi nama itu banyak dik enal disini. Apakah kau mempunyai persoalan dengan mereka? Maksudku Swandaru ata u Agung Sedayu? Ki Ajar menarik nafas. Katanya Tidak. Aku hanya ingin mendengar tentang mereka. Tinggallah di Tanah Perdikan ini untuk beberapa hari. Berbicara tentang Agung Sed ayu di pasar-pasar atau di warung-warung. Meskipun keterangannya juga hanya terb atas seperti yang aku katakan, tetapi semua orang disini mengenalnya, karena Agu ng Sedayu merupakan orang yang dianut oleh anak-anak muda di Tanah Perdikan ini. Ia tidak saja dikagumi karena ilmunya. Tetapi Agung Sedayu telah berbuat banyak disini. Bendungan, parit, jalan-jalan dan tekad anak-anak muda untuk berbuat se suatu bagi tanah kelahirannya. Luar biasa desis Ki Ajar pantas Ki Sanak cemas mendengar nama Swandaru, saudara seperguruan Agung Sedayu. Wajah Ki Sudagar itu menjadi merah. Tetapi Ki Ajar itu justru tersenyum. Katanya Jika kau menghindari nama Swandaru dan isterinya, maka biarlah aku memberitahuk an kepadamu, bahwa aku memang mempunyai persoalan dengan saudara seperguruannya yang bernama Agung Sedayu itu. Ki Sudagar menjadi tegang. Namun Ki Ajar berkata Jangan, cemaskan aku. Aku akan d apat menghancurkan nya seperti menghancurkan buah rantai. Kau jangan bermimpi berkata Ki Sudagar menurut pendengaranku, Agung Sedayu mempu nyai kemampuan yang tidak terbatas. Tidak ada orang yang memiliki kemampuan tidak terbatas berkata Ki Ajar karena it u aku akan mencoba apakah nama yang besar itu sesuai dengan kenyataannya. Kau jangan membunuh diri berkata Ki Sudagar. Tetapi Ki Ajar itu tersenyum pula. Katanya Apakah kau meragukan kemampuanku? Ki Sudagar termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata Kita baru saja b erkenalan. Bagaimana mungkin aku dapat mengetahui, apakah kau akan mampu mengimb angi kemampuan Agung Sedayu, sementara itu kemampuan Agung Sedayu yang sebenarny apun belum pernah aku lihat. Ki Ajar justru tertawa. Katanya Kau jujur Ki Sudagar. Karena itu, aku ingin menu njukkan kepadamu, bahwa aku akan dapat mengatasinya betapapun tinggi ilmu Agung Sedayu. Ki Sudagar termangu-mangu. Tetapi ia tidak dapat menolak ketika Ki Ajar itu memb awanya berbelok kejalan sempit, menuju ke hutan perdu. Untuk apa kau bawa aku kemari? bertanya Ki Sudagar.

Aku hanya ingin menunjukkan kepadamu, bahwa aku memiliki sesuatu yang dapat aku pergunakan sebagai bekal untuk menghancurkan Agung Sedayu. Ki Sudagar itu bagaikan dicengkam oleh kuasa yang tidak dapat ditolaknya. Ia men urut saja ketika Ki Sudagar itu membawanya semakin ketengah diantara gerumbul-ge rumbul perdu. Sejenak kemudian. Ki Ajarpun berhenti. Ki Sudagar dan seorang muri d Ki Ajar itupun berhenti pula. Ki Ajarpun kemudian berkata kepada muridnya Tunjukkan kekuatanmu, agar orang ini yakin, bahwa kita akan berhasil. Siapakah orang itu? bertanya Ki Sudagar. Muridku. Itupun bukan Putut yang tertua diantara saudara-saudara seperguruannya. jawab Ki Ajar. Ki Sudagar termangu-mangu. Namun jantungnya menjadi berdebaran ketika ia melihat orang itu mendekati sebongkah batu padas. Kemudian dengan kekuatannya yang luar biasa orang itu berhasil mengangkat batu padas itu. Sejenak batu itu terayun diatas kepalanya, n amun sesaat kemudian batu itu terlempar dari tangannya menghantam batu padas yan g lain. Ki Sudagar itu rasa-rasanya bagaikan membeku. Ia melihat batu padas yang dilontarkan dan yang dikenainya itu sama-sama hancur, pecah berserakkan. Ki Aijar tersenyum melihat wajah Ki Sudagar yang pucat. Dengan nada rendah orang itu berkata Ki Sudagar, bagaimana sekiranya batu itu menimpa kepalamu. Atau kat akan kepala. Agung Sedayu. Kau tahu, yang melakukan itu adalah muridku. Belum ak u sendiri. Ki Sudagar itu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat sesuatu yang luar biasa. Me skipun sebagai seorang pedagang yang berkeliling ia sudah melihat banyak sekali peristiwa dan mengalami banyak sekali kejadian, namun orang yang akan mencari Ag ung Sedayu itu agaknya memang orang yang berilmu tinggi. Ternyata muridnya mampu melakukan sesuatu yang mendebarkan. Meskipun demikian, orang itu berkata didalam hatinya " Aku menjadi gemetar melih at permainan ini. Tetapi aku kira Agung Sedayu bersikap lain. Tetapi orang itu t idak mengatakannya. Ia tidak ingin terlibat, langsung atau tidak langsung. Nah, sudahlah Ki Sanak berkata Ki Ajar silahkan melanjutkan perjalanan. Aku tida k akan mengganggumu. Demikianlah, maka Ki Ajar membiarkan Ki Sudagar melangkah kembali meninggalkan h utan perdu untuk kembali memasuki jalan yang semula dilaluinya. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti. Dan bahkan iapun telah berlindung dibalik semak-semak ketik a ia melihat Pandan Wangi dan laki-laki tua yang mengaku kakeknya itu lewat. Lebih baik berada dibelakangnya berkata Ki Sudagar dengan berkuda, mereka akan be rjalan lebih cepat. Sebenarnyalah, sejenak kemudian Kiai Gringsing dan Pandan Wangi itu telah mening galkan Ki Sudagar semakin jauh. Namun Ki Sudagar itu menarik nafas dalam-dalam, ketika tiba-tiba saja dibelakang nya ia mendengar suara Kau sempat juga bersembunyi Ki Sudagar. Ki Sudagar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian tersenyum. Katanya A ku tidak ingin terlibat dalam persoalan dengan orang-orang itu. Bukankah mereka hanya lewat? bertanya Ki Ajar. Ah Ki Sudagar tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian meninggalkan tempat itu deng an tergesa-gesa. Ki Ajar memandanginya sambil tersenyum. Namun ia tidak berkata apapun juga tenta ng Ki Sudagar itu. Namun demikian, Ki Ajar itu telah mengajak muridnya untuk ber istirahat saja di hutan perdu itu. Mereka masih harus menemui kawan-kawannya yan g lain justru ditanggul Kali Praga. Mereka akan terlalu lama menunggu desis murid Ki Ajar. Merekapun perlu beristirahat berkata Ki Ajar atau barangkali kau saja pergi ke t anggul. Bawa mereka kemari. Muridnya mengangguk-angguk. Iapun kemudian meninggalkan gurunya untuk menjemput saudara-saudara seperguruannya, sehingga kemudian, mereka telah berkumpul berist irahat disebuah hutan perdu yang jarang dilalui orang. Sementara itu, Ki Sudagar telah berjalan semakin jauh dari tempat itu, apalagi Kiai Gringsing dan Pandan

Wangi yang berkuda. Mereka telah melewati jalan-jalan bulak di Tanah Perdikan Me noreh Menuju ke padukuhan induk. Jika mereka memasuki padukuhan, kehadiran merek a justru telah mengejutkan. Seperti bermimpi orang-orang Tanah Perdikan tiba-tib a saja telah melihat Pandan Wangi dan Kiai Gringsing lewat dijalan padukuhan. De ngan serta merta mereka telah menyapa sambil mengangguk hormat. Kiai Gringsing dan Pandan Wangipun telah menangguk pula sambil tersenyum Sekalisekali mereka menjawab sapa orang-orang yang berpapasan di jalan. Bahkan kadangkadang Pandan Wangi dan Kiai Gringsing harus berhenti barang sejenak, jika merek a melihat sekelompok orang yang keheran-heranan melihat keduanya tiba-tiba sudah ada dihadapan mereka. Dengan demikian, maka perjalanan mereka menjadi lambat. N amun demikian, akhirnya mereka telah memasuki padukuhan induk pula. Aku antar kau langsung kerumah Ki Gede berkata Kiai Gringsing baru kemudian aku p ergi kerumah Agung Sedayu. Pandan Wangi mengangguk-angguk. Katanya Terima kasih Kiai. Atau barangkali Kiai akan bermalam saja dirumah ayah. Kiai Gringsing tersenyum. Katanya Terima, kasih. Tetapi agaknya lebih baik bagik u bermalam dirumah Agung Sedayu saja. ' Pandan Wangipun tersenyum pula. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu, karena merek a telah menghampiri regol halaman rumah Ki Gede. Kedatangan Pandan Wangi dan Kia i Gringsing tanpa Swandaru memang mengejutkan. Ki Gede dengan serta merta telah menyambutnya. Yang pertama-tama diper tanyakannya adalah Swandaru. Kenapa kau pergi sendiri? Dimana suamimu? bertanya Ki Gede dengan nada mendesak. Tetapi Pandan Wangi tersenyum. Katanya Kakang Swandaru sedang sibuk. Ayah, aku m emang datang bersama Kiai Gringsing. Tetapi atas ijin kakang Swandaru. Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya Marilah, silahkan masuk. Pandang Wangi dan Kiai Gringsing telah dipersilahkan masuk. Setelah menyerahkan kuda-kuda mereka, maka mereka langsung naik ke ruang dalam. Sejenak kemudian mer eka telah duduk sambil berbincang. Sekali-sekali terdengar mereka tertawa. Ki Ge de telah menyatakan kecemasan yang mencengkam. Namun ternyata bahwa ia harus ter tawa menerima kedatangan anak perempuannya tanpa suaminya, karena diantara merek a tidak terjadi sesuatu. Semula aku menjadi cemas. Barangkali telah terjadi sesuatu dengan Swandaru, sehi ngga kau harus datang sendiri untuk memberitahukan hal itu kepadaku sehingga kau telah diantar oleh Kiai Gringsing. berkata Ki Gede sambil tertawa. Pandan Wangipun tertawa pula. Katanya kemudian Kiai Gringsing yang mula-mula bern iat pergi ke Tanah Perdikan. Akulah yang kemudian menyatakan diri untuk mengikut inya. Karena kakang Swandaru sedang sibuk, maka kakang Swandaru tidak berkeberat an jika aku pergi bersama Kiai Gringsing, karena aku memang sudah agak lama tida k melihat kampung halaman ini. Dengan demikian maka pertemuan itupun menjadi cerah dan tidak dibayangi oleh per asaan cemas tentang persoalan yang menyangkut anak perempuannya yang datang send iri tanpa suaminya. Kiai Gringsing untuk beberapa saat berada di rumah Ki Gede. Namun kemudian, setelah dihidangkan minuman dan makanan, maka Kiai Gringsingpun minta diri untuk pergi kerumah Agung Sedayu. Kenapa tergesa-gesa? bertanya Ki Gede. Sudah agak lama aku tidak bertemu dengan anak itu jawab Kiai Gringsing rasa-rasan ya ingin juga segera menemuinya. Ki Gede dan Pandan Wangipun kemudian tidak menahannya lagi. Mereka telah mengant ar Kiai Gringsing sampai keregol halaman, dan kemudian melepaskan Kiai Gringsing berkuda ke rumah Agung Sedayu. Seperti Ki Gede,. Agung Sedayu yang kebetulan sedang berada dirumahnyapun telah terkejut pula. Namun setelah Kiai Gringsing duduk diruang dalam bersama Sekar Mi rah dan Ki Jagaraga pula, maka ternyata bahwa tidak ada persoalan penting yang m ereka hadapi. Aku hanya tiba-tiba saja ingin melihat apa yang telah agak lama tidak aku lihat disini berkata Kiai Gringsing. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya Terima kasih guru, bahwa guru telah meme rlukan datang untuk melihat keadaan kami disini. Agaknya kami disini baik-baik s aja, selain sedikit kegelisahan karena kepergian Glagah Putih.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian menceriterakan serba sedi kit tentang dorongan yang telah membawanya ke Tanah Perdikan. Sebenarnya tidak a da hubungan langsung dengan Tanah Perdikan ini. Tetapi tiba-tiba saja aku ingin datang kemari berkata Kiai Gringsing. Tetapi Agung Sedayu menyahut. Kadang-kadang sesuatu telah terjadi didalam diri ki ta. Tetapi kita tidak tahu bagaimana kita harus mengurainya. Kau benar berkata Kiai Gringsing aku memang sedang memikirkan Glagah Putih pula. Entahlah, apakah ada hubungannya atau tidak. Bagaimanapun juga kita berdoa bagi Glagah Putih berkata Agung Sedayu. Kiai Gringsing mengangguk-angguk mengiakannya. Sejenak mereka terdiam. Mereka ju stru membayangkan perjalanan Glagah Putih kearah Timur untuk melakukan tugas yan g dibebankan oleh Panembahan Senapati kepada puteranya Raden Rangga. Namun agakn ya karena saat terjadinya peristiwa yang dianggap bersalah itu Raden Rangga bers ama dengan Glagah Putih, maka Glagah Putihpun telah ikut pula menanggung beban t ugas sebagai hukumannya. Tetapi ternyata bahwa Panembahan Senapati telah memperlunak hukumannya. Keduanya mendapat waktu tanpa batas, sehingga keduanya tidak terikat pada satu keharusan untuk menyelesaikan tugas itu pada jangka waktu tertentu. Glagah Putih sendiri pada saat itu telah berjalan semakin jauh. Tetapi seperti yang dilakukan Raden R angga sebelumnya, mereka terlalu sering berhenti di padukuhanpadukuhan. Kadang-kadang keduanya telah melakukan kerja orang-orang padukuhan itu, ditempat mereka singgah. Namun kadang-kadang keduanya telah membuat orang-orang padukuha n menjadi terheran-heran atas kemampuan mereka. Sekelompok penyamun yang kebetul an menjumpai anak-anak muda itu benar-benar telah dibuat jera. Pemimpinnya telah kehilangan kemungkinan untuk dapat melakukan kejahatan lagi, karena dalam perte mpuran dengan Raden Rangga tubuhnya telah menjadi cacat. Dengan demikian maka perjalanan kedua anak muda itu memang bagaikan siput yang m erangkak lamban sekali. Namun seperti yang telah dikatakan, Raden Rangga telah m emasuki keadaan Tapa Ngrame. Sehingga mau tidak mau Glagah Putih harus ikut mela kukannya juga, menyatakan atau tidak menyatakan dirinya memasuki keadaan itu. Kita anggap saja pe Sementara itu di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Jagaraga berkata rjalanan itu sebagai ujian mereka. Setelah kita memberi bekal secukupnya kepada Glagah Putih serta bekal yang telah dimiliki sendiri oleh Raden Rangga, maka kit a lepas keduanya mengenali dunia ini dengan segala macam isi dan warnanya. Ya Kiai Gringsing mengangguk-angguk semoga mereka berhasil. Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu berkata Ki Jagaraga kita harus selalu b erdoa bagi keduanya. Demikianlah, maka pembicaraan merekapun kemudian telah berg eser dari Glagah Putih dan Raden Rangga kepada keadaan mereka sehari-hari. Keada an Tanah Perdikan Menoreh dan usaha Agung Sedayu untuk meningkatkan kesejahteraa n hidup Tanah Perdikan itu sendiri. Namun akhirnya mereka berbicara pula tentang Sangkal Putung yang telah menjadi semakin baik dibawah tuntunan Swandaru meskip un dengan cara yang agak lebih keras dari yang ditempuh oleh Agung Sedayu, tetap i manfaat kerja mereka yang didorong oleh sikap-sikap Swandaru yang lebih keras dari Agung Sedayu itu nampak berhasil, sehingga orang-orang Kademangan Sangkal P utung tidak menyesalinya. Bahkan mereka telah didorong oleh kerja yang lebih ker as untuk mendapatkan hasil yang lebih baik lagi. Tetapi pembicaraan itupun kemudian sampai juga pada usaha Swandaru dan Pandan Wa ngi meningkatkan ilmu mereka. Bagaimanapun juga, bagi seorang pemimpin seperti S wandaru, ilmu akan menjadi modal yang sangat berharga. Dengan pembicaraan yang b ergeser kesana kemari, maka mereka telah sampai pada waktu untuk makan. Kemudian setelah makan, Kiai Gringsing telah mendapatkan waktu khusus berbicara dengan Agung Sedayu tentang kitab yang dibawanya. O Agung Sedayu mengangguk-angguk terima kasih guru. Kemudian kitab itu akan aku kembahkan kepada Swandaru. Baiklah. Tetapi kau tidak perlu tergesa-gesa. Pergunakan waktu yang menjadi hakm u. Agaknya Swandaru menilaimu keliru. Ia menganggap bahwa kau tidak tertarik lag i pada isi kitab itu dan puas dengan apa yang telah kau miliki sekarang.

Baik guru jawab Agung Sedayu namun agaknya dugaan Swandaru itu ada juga benarnya . Aku memang menjadi malas untuk meningkatkan ilmu. Kehadiran guru besar artinya bagiku, karena guru telah memperbaharui tekadku untuk meningkatkan ilmuku yang terhenti. Tetapi kau telah berada ditataran yang lebih tinggi dari yang diduga oleh Swanda ru berkata Kiai Gringsing meskipun demikian, aku ingin melihat, tingkat-tingkat i lmu yang sudah kau miliki sekarang. Kita akan dapat pergi ke Sanggar Kiai berkata Agung Sedayu disanggar guru akan d apat melihat dan barangkah memberikan arah yang lebih baik bagiku. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya Besok malam kita akan melihat. Tidak a da salahnya jika Ki Jagaraga dan Sekar Mirah ikut pula bersama-sama dengan kita. Sebenarnyalah hari itu Kiai Gringsing benar-benar beristirahat di Tanah Perdikan Menoreh. Sebelum senja, Kiai Gringsing sempat melihat-lihat jalan padukuhan yan g semakin sepi. Kemudian dimalam hari, setelah makan malam dan berbicara serba s edikit tentang bermacam-macam persoalan, maka mereka cepat pergi ke pembaringan. Namun pembantu rumah itulah yang kemudian pergi ke sungai untuk melihat pliridan nya. Setiap hari ia mengeluh, karena ia harus melakukannya sendiri. Kadang-kadan g ia berniat untuk membiarkan saja pliridannya terbuka. Tetapi rasa-rasanya saya ng juga bahwa ikannya tidak terjaring kedalam wuwu. Untunglah bahwa kadang-kadang ia turun ke sungai bersamaan dengan kawannya yang juga membuka pliridan tidak terlalu jauh dari pliridannya, sehingga kadang-kadan g mereka dapat bersama-sama menunggui pliridannya dini hari menjelang dibuka. Tetapi sementara itu, ternyata bahwa rumah Agung Sedayu telah diamati oleh dua o rang yang lewat pada malam hari dijalan padukuhan tidak melalui regol yang ditun ggui oleh para peronda dari padukuhan itu. Bagi kedua orang itu, sama sekali tid ak ada kesulitan untuk memasuki padukuhan induk dengan meloncati dinding padukuh an. Ternyata seperti yang/dikatakan oleh Ki Sudagar, maka tidak ada kesulitan apapun untuk mengetahui keadaan Agung Sedayu menurut gelar kewadagannya. Semua orang T anah Perdikan mengetahui siapakah Agung Sedayu. Apa pula yang sudah dilakukan ba gi Tanah Perdikan itu. Ki Ajar Laksanapun telah mendengar pula siapakah isteri Agung Sedayu, seorang pe rempuan yang memiliki ilmu yang tinggi, sebagaimana anak perempuan Kepala Tanah Perdikan itu, yang kemudian kawin dengan anak Ki Demang Sangkal Putung. Kepada muridnya Ki Ajar itu berkata Tentu perempuan yang lewat menyeberangi Kali Praga bersama kakeknya itu. Muridnya mengangguk- Katanya Ternyata di Tanah Perdikan ini terdapat beberapa or ang yang berilmu tinggi. Ya jawab Ki Ajar tetapi kita belum tahu, seberapa tataran ketinggian ilmu itu. Kita dapat menduganya Ki Ajar jawab muridnya saudara sepupu Agung Sedayu itu mampu membunuh seorang diantara kita. Jilid 212 IA bersama dengan Raden Rangga pada waktu itu, putera Panembahan Senapati jawab Ki Ajar. Tetapi keduanya masih sangat muda berkata muridnya karena itu, aku kira setidaktidaknya kemampuan Agung Sedayu setingkat atau bahkan lebih tinggi dari saudara sepupunya yang masih muda itu. Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya Memang mungkin sekali. Tetapi bagaimanapun ju ga kemampuan mereka adalah kemampuan b nak-anak. Mereka masih aku anggap pada tatar an muridku. Apakah kau gentar seandainya tiba-tiba saja kau berhadapan dengan Agung Sedayu, saudara sepupu dari anak muda yang pernah membunuh saudara seperguruanmu? Tentu tidak guru jawab orang itu saudaraku yang terbunuh itu adalah terhitung sa udara

muda bagiku. Aku yakin, bahwa seandainya pada waktu itu, bukan dua orang saudara mudaku yang masih belum banyak berpengalaman itu yang hadir dipadukuhan itu, maka" kedu a orang anak ingusan itu tentu sudah binasa. Nah, bukankah dengan demikian dugaanmu dan dugaanku tidak berbeda, bahwa Agung Sedayu itu bukan orang yang harus ditakuti. Demikian pula dengan isterinya dan a nak perempuan Ki Gede itu. Bahkan mungkin Ki Gede sendiri berkata Ki Ajar. Muridnya itu mengangguk-angguk. Tetapi ia sependapat dengan gurunya. Malam itu, Ki Ajar dan seorang muridnya telah melihat-lihat rumah Agung Sedayu. Mereka memang masih belum akan berbuat sesuatu. Mereka hanya sekedar ingin melihat dan sedikit mengamati sikap para pengawal dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Apakah mereka siap untuk melakukan langkah yang cepat atau tidak. Tetapi Ki Ajar Laksana tidak banyak memperhitungkan para pengawai. Ia ingin meny elesaikan persoalannya diluar keikut sertaan para pengawal. Kecuali jika ternyata Agung Sedayu itu pengecut. berkata Ki Ajar. Demikianlah, malam itu Ki Ajar telah melihat-lihat rumah Agung Sedayu tanpa meli hat isinya. Dirumah itu tinggal Agung Sedayu, isterinya Sekar Mirah, Ki Jagaraga dan seorang tamu, Kiai Gringsing. Namun Ki Ajar itu terkejut ketika ia melihat sesosok tubuh memasuki regol halama n. Dengan serta merta bersama muridnya ia berlindung pada sebatang pohon perdu yang menjad i salah sar i hian tanaman hias di halaman rumah Agung Sedayu. Serumpun pohon ceplok piring ya ng rimbun. Ternyata yang memasuki halaman adalah anak yang masih remaja. Dipundaknya disand ang cangkul dan dijin-jingnya kepis berisi ikan. Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Agaknya anak itu baru saja turun ke sungai un tuk mencari ikan, Meskipun demikian, Ki Ajar dan muridnya terpaksa menunggu anak itu masuk l ewat pintu belakang. Sejenak kemudian rumah itu menjadi sepi kembali. Agaknya para penghuni yang lain tidak terbangun oleh suara derik pintu yang dibuka oleh anak itu. Demikianlah maka Ki Ajar itupun telah meninggalkan rumah Agung Sedayu dan kembal i ketempat persembunyian mereka. Kepada murid-muridnya Ki Ajar memberitahukan, bah wa ia sudah melihat rumah Agung Sedayu. Mudah-mudahan yang dilihatnya itu benar. Bukan sasaran yang salah. Lalu apakah yang akan kita lakukan? bertanya seorang muridnya Besok aku akan menemuinya dan menanyakan kepadanya apakah Glagah Putih ada dirumah berkata Ki Ajar. Jika belum? bertanya muridnya yang lain. Jika belum atau ada kesengajaan untuk menyembunyikan, maka kita dapat mengambil langkah-langkah yang kita anggap perlu. Jika perlu kita ambil Agung Sedayu. Sebe lum anak yang bersama Glagah Putih itu menyerahkan dirinya kepada kita, maka Agung Sedayu tida k akan kita

lepaskan. Dan kita akan memelihara Agung Sedayu itu sampai kapan? Jika benar ia berilmu ti nggi, maka untuk menjaganya diperlukan orang-orang tertentu agar orang itu tidak melar ikan diri berkata seorang muridnya. Tentu dengan batas waktu tertentu berkata Ki Ajar jika dalam batas waktu tertent u anak yang bersama Glagah Putih itu tidak datang, maka kita akar. benar-benar membunuh Agung Sedayu sebagai ganti kematian seorang keluarga kita. Bahkan kita masih akan teta p memburu anak yang bersama Glagah Putih, bahkan jika ada kesempatan, anak Panembahan Sena pati itupun akan kita selesaikan pula. Murid-muridnya mengangguk-angguk. Mereka terlalu yakin akan kemampuan gurunya, sehingga dengan demikian maka mereka sama sekali tidak menjadi ragu-ragu untuk b ertindak. Mereka merasa sekelompok murid dan bahkan bersama gurunya, dari sebuah perguruan yang besar dan berpengaruh sehingga mereka benar-benar merasa terhina bahwa seorang di antara mereka telah terbunuh. Dihari berikutnya, setelah berbenah diri, maka Ki Ajar bersama seorang muridnya telah dengan tanpa ragu-ragu pula pergi kerumah Agung Sedayu. Sebagai seorang guru dari sebua h perguruan yang besar maka ia tidak ingin merunduk seperti seekor kucing yang ingin menangk ap tikus. Ki Ajar akan datang dengan mengetuk pintu dan me-suk ke rumah Agung Sedayu dengan d ada tengadah. Demikianlah, ketika matahari bara saja. naik, selagi Agung Sedayu berkemas untuk , pergi ke rumah KI Gede Menoreh untuk merencanakan perbaikan ujung sebuah jalan padukuhan, dua. orang telah memasuki regol halaman rumahnya. Agung Sedayu yang merasa belum mengenai orang itu, telah menyongsongnya sambil mempersilahkannya masuk. Kami ingin bertemu dengan Agung Sedayu berkata Ki Ajar Laksana. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun menjawab Akulah Agung Sedaya, Marilah, silahkan naik ke pendapa. Orang itu mengeratkan keningnya. Agung Sedayu memang masih muda. Tetapi ia tidak nampak garang. Bahkan sikapnya wajar dan tidak lebih dari sikap orang-orang Tana h Perdikan yang lain. Tetapi setiap orang di Tanah Perdikan itu, orang-orang di pasar dan warung-warun g terlalu mengaguminya karena ilmunya yang tinggi, sikapnya, yang ramah dan kemampuannya b ekerja yang sangat besar bagi Tanah Perdikan itu, tanpa, pamrih pribadi. Karena ternyat a hidupnyapuri sederhana. Ia tidak menjadi kaya karenanya dan tidak memiliki sesuatu yang berle bihan. Sejenak kemudian, maka kedua orang Itu telah duduk di pendapa rumah Agung Sedaya yang tidak besar. Dengan ragu-ragu Agung Sedayu bertanya Siapakah Ki Sanak sebenarnya . Dan apakah barangkali ada. persoalan yang penting sehingga Ki Sanak telah mencari ak u di

padukuhan ini? Agung Sedayu berkata Ki Ajar aku adalah seorang yang tinggal di sebuah padepokan . Aku memimpin sebuah perguruan yang besar yang dapat aku kerahkan setiap saat jika ak u kehendaki. Bahkan pengikutku bukan saja murid-muridku dari perguranku, tetapi beberapa oran g Kademangan di sekitar padepokanku ternyata mempunyai sikap dan pendirian yang sa ma dengan aku, atau katakan, mereka telah menjadi pengikutku. Agung Sedayu mengeratkan keningnya. Ia merasa bahwa sesuatu agaknya telah terjad i. Orang itu mulai membicarakannya dengan pengantar yang mendebarkan jantung. Namun Agung Sedayu tidak memotongnya dibiarkannya orang itu berkata selanjutnya. Nah, setelah kau mendapat sedikit gambaran tentang aku, dan latar belakang kehidupank u, maka aku akan berbicara tentang keperluanku datang kemari. orang itu berhenti sejenak, la lu Agung Sedayu, benarkah bahwa Glagah Putih itu saudara sepupumu? Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya Ada apa dengan Glagah Putih Ki Sanak . Anak itu memang saudara sepupuku. Bagus berkata Ki Ajar sebenarnya "aku berkepentingan dengan Glagah Putih, tidak dengan kau. Tetapi karena yang kami ketahui tentang Glagah Putih terlalu sedikit, yaitu bahwa Glagah Putih adalah saudara sepupu Agung Sedayu, maka aku datang untuk menemuimu. Agung Sedyu mengangguk-angguk. Namun ia sudah merasa bahwa telah terjadi persoal an yang gawat antara Glagah Putih dengan orang-orang dari perguruan yang te lah dat ang kepadanya itu. Ki Sanak berkata Agung Sedayu kemudian persoalan apakah yang telah timbul antara kalian dengan Glagah Putih.? . Baiklah aku langsung pada persoalannya. Glagah Putih telah membunuh salah seor ang diantara murid-muridku. Memang bukan muridku yang cukup baik. Muridku yang baru mulai meningkatkan ilmunya pada tataran yang lebih tinggi. Karena itu, kami datang unt uk membuat perhitungan dengan Glagah Putih. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Glagah Putih telah menem puh perjalanan bersama Raden Rangga, sehingga kemungkinan-kemungkinan yang bermacamm acam dapat mereka lakukan. Bahkan agaknya Glagah Putih dan sudah barang tentu bersama sama Raden Rangga telah terlibat kedalam satu pertengkaran sehingga mereka telah memb unuh lagi. Agung Sedayu berkata orang itu karena Agung Sedayu tidak segera menjawab Kau jan gan menyembunyikan anak itu agar kau tidak kami libatkan kedalam kesalahannya. Pangg il Glagah Putih dan biarlah kami membuat perhitungan dengan anak itu. Ki Sanak berkata Agung Sedayu Glagah Putih sekarang tidak ada di rumah. Sebagaim ana kau katakan, peristiwa itu terjadi di satu tempat, dan barangkah Ki Sanak nanti

dapat memberitahukan kepadaku, dimana. Sampai sekarang anak itu masih belum kembali. Jangan berbohong berkata Ki Ajar aku vang menyusulnya sudah sampai di sini. Pada hal aku ben gkat lewat beberapa hari setelah peristiwa itu terjadi. Apalagi aku mene mpuh perjalanan dengan tidak tergesa-gesa. Nah, jangan mencoba melindungi anak itu. Anak itu ten tu sudah kembali dan menceriterakan apa yang dilakukan. Kemudian anak itu bersembunyi. Ag ung Sedayu, ceriterakan kepada kami dimana anak itu bersembunyi atau kau sendirilah yang jme manggilnya dan menyerahkannya kepadaku. Ki Sanak, Anak itu belum kembali. Akupun belum mendengar peristiwa sebagaimana k au ceriterakan itu. Karena itu, bagaimana mungkin aku melindunginya. Jika benar sep upuku itu bersalah, maka aku tentu akan membiarkannya menerima hukuman yang pantas baginya jawab Agung Sedayu. Tetapi orang itu agaknya tidak memepercayainya. Dipandanginya Agung Sedayu denga n tajamnya. Kemudian dengan suara yang dalam orang itu berkata Aku memang sudah me ngira Agung Sedayu. Kau tentu akan melindungi saudara sepupumu. Tetapi ketahuilah, bah wa kami menuntut hutang sepupumu itu terbayar. Karena sepupumu tidak ada, maka kaulah ya ng wajib membayarnya. Atau kau dapat menunjukkan siapa ayah Glagah Putih dan dimana rumah nya. Jika kau ingin melepaskan tanggung jawabmu dan melemparkannya kepada ayahnya, maka ak u akan datang kepada ayahnya. Mengambil anak itu atau ayahnya jika ia melindungi anakny a, sebagaimana sikapku kepadamu. Atau kau mungkin akan membebankan tanggung jawab k epada siapapun juga, jika kau sendiri tidak berani menanggungkannya. Agung Sedayu menarik nafas. Katanya Jangan begitu Ki Sanak. Sebaiknya kita berbi cara dengan baik. Kita ingin memecahkan suatu persoalan. Karena itu, kita harus menel usuri persoalan itu dengan cermat. Ki Ajar tersenyum. Katanya Agung Sedayu. Aku tidak terbiasa bersikap dengan lema h lembut dan dengan berbagai macam basa basi. Aku adalah seorang yang lebih senang berbic ara langsung kepada persoalannya. Karena itu, sebaiknya katakan dimana Glagah Putih. Di rumah ayahnya, di rumah pamannya atau bersembunyi di goa-goa di lereng perbukitan atau bersembunyi di Mataram, bersama Raden Rangga. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya Baiklah. Jika kau in gin langsung pada persoalannya. Sekali lagi aku beritahukan, bahwa sejak anak itu pe rgi, Glagah Putih belum pernah kembali Aku-pun tidak tahu seandainya ia memang berada di Mat aram bersama Raden Rangga. Nah, barangkali jawabanku cukup jelas. . Bagus Ki Ajar itu mengangguk-angguk jika demikian maka aku akan menempuh cara ya ng

kedua. Mengambil kau sebagai gantinya untuk waktu tertentu. Jika dalam dua pekan Glagah Putih belum menyerahkan dirinya kepadaku, maka kau akan mengalami nasib yang buruk. Ka u akan menjadi pengganti seorang diantara keluarga kami yang terbunuh itu. Karena kami telah berjanji di dalam diri kami, bahwa darah yang menitik harus ditebus dengan darah pula. Kau terlalu cepat mengambil kesimpulan Ki Sanak berkata Agung Sedayu kau belum menyelidiki siapa yang bersalah dalam hal ini. Bagaimanakah jika sepupuku itu ha nya sekedar mempertahankan dirinya? Apakah dalam hal ini kau juga berpegang pada janji didal am dirimu, bahwa darah yang menitik harus ditebus dengan darah. Seberapa kesalahan seseorang, tetapi apakah sepupumu berhak mengadilinya dan membunuh muridku? bertanya Ki Ajar. Bukan mengadili. Tetapi sekedar membela diri, karena muridmulah yang menimbulkan pertengkaran dan kemudian perkelahian diantara mereka berkata Agung Sedayu. Aku tidak peduli pada sebabnya. Tetapi aku melihat pada kenyataan yang terjadi. Glagah Putih sudah membunuh muridku. Kami, seperguruan akan menuntut balas. Ki Sanak berkata Agung Sedayu kemudian jika muridmu itu terbunuh, apakah itu buk an salah muridmu sendiri. Itu berarti bahwa muridmu kalah dari sepupuku itu. Jika i a memiliki kemampuan untuk mempertahankan hidupnya, maka muridmu itu tentu tidak akan mati. Karena itu, untuk apa sebenarnya Ki Sanak membela kematian murid Ki Sanak itu. Seharusn ya Ki Sanak berterima kasih kepada sepupuku, karena sepupuku sudah ikut menyaring murid-muri d Ki Sanak. Hem orang itu menggeram ternyata kata-katamu membuat telingaku merah. Tetapi aku dapat mengambil kesimpulan, bahwa ternyata kau tidak gentar melihat kehadiran ka mi. Aku tidak merasa perlu untuk saling menakuti berkata Agung Sedayu. Sebenarnya ak u masih mengharap bahwa persoalannya akan dapat diselesaikan dengan baik. Baiklah Agung Sedayu berkata Ki Ajar aku memberimu waktu dalam sepekan. Aku akan kembali lagi kemari dan minta anak itu kau serahkan kepadaku. Jika tidak, maka k au akan aku bawa. Sementara itu siapapun diantara keluargamu harus memberitahukan hal itu ke pada sepupumu. Aku hanya akan memberi waktu kepadanya untuk dua pekan. Jika dalam dua pekan anak itu tidak datang, maka kau akan bernasib buruk. Kau akan mati tanpa arti ap apun di padepokanku kelak. Agung Sedyu menarik nafas dalam-dalam . Namun kemudian katanya Aku tidak dapat mengatakannya, apakah dalam waktu sepekan ini anak itu kembali atau tidak. . Semuanya tergantung kepadanya jawab Ki Ajar aku sudah mengatakan apa yang mungkin terjadi atasmu. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun sebelum ia menjawab Ki Ajar itu berka ta Aku minta diri. Aku akan datang lagi sepekan lagi. Selama ini aku akan berkeliar an di sekitar Tanah Perdikan ini. Namun ingat. Kau tidak perlu mencoba mengerahkan anak-anak m uda dan para pengawal untuk melindungimu. Cara itu tidak akan menolongmu. Bahkan mungkin hanya

akan menambah korban saja. Seandainya para pengawal untuk melindungimu, sampai k apan hal itu akan dilakukan dan apakah setiap kau bergeser dari rumahmu, sepasukan pengaw ai akan selalu mengikutimu, meskipun sebenarnya sepasukan pengawal itupun tidak berarti apa-apa bagi kami. Agung Sedayu memandang orang itu dengan tajamnya. Namun kemudian ia menjawab Pintuku selalu terbuka Ki Sanak. Sepekan lagi atau bahkan besuk pagi. Regol Itu t idak pernah diselarak siang dan malam. Ternyata kau adalah seorang yang sangat sombong. Mungkin karena kau belum mengen ali aku. Aku adalah Ki Ajar Laksana dari perguruan Watu Gulung geram orang itu Jika kau mengenal seorang saja dari orang-orang berilmu tinggi yang sudah berusia lewat p ertengahan, kau akan mendengar daripadanya, siapakah Ki Ajar Laksana itu. Agung Sedayu tidak menjawab. Dipandanginya saja kedua orang tamunya yang turun d ari pendapa dan melintasi halaman. Namun Agung Sedayupun kemudian turun pula dari pe ndapa ketika ia melihat seorang yang memasuki regol dan berpapasan dengan kedua orang yang meninggalkan halaman itu. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun kemudian kedua orang itu melangkah ter us dan keluar dari halaman. Orang yang baru masuk itu mendekati Agung Sedayu sambil bertanya Siapakah mereka ? Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya Orang itu mengaku bern ama Ki Ajar Laksana dari perguruan Watu Gulung. Ki Jayaraga yang baru datang itu mengerutkan keningnya. Dengan nada ragu ia berk ata Ki Ajar Laksana? Apakah benar orang itu Ki Ajar Laksana? Menurut pengakuannya, orang itu memang Ki Ajar Laksana sahut Agung Sedayu. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan kerut dikening dipandanginya pintu regol y ang terbuka itu. Tetapi kedua orang yang meninggalkan halaman itu sudah tidak nampak lagi. Aku pernah mendengar namanya berkata Ki Jaya-raga - tetapi baru kali ini aku meli hat orangnya. Ternyata bayanganku tentang Ki Ajar Laksana agak berbeda dengan ujudny a jika benar orang itu Ki Ajar Laksana. Ia memang mengaku Ki Ajar Laksana dari perguruan Watu Gulung jawab Agung Sedayu. Kenapa orang itu datang kemari? bertanya Ki Jayaraga. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun berpaling ketika ia mendenga r pintu pringgitan terbuka. Ia melihat Sekar Mirah dan Kiai Gringsing keluar dan langsun g mendekatinya. Kami mendengar pembicarakan kalian berkata Sekar Mirah. O Agung Sedayu tersenyum. Katanya kemudian apakah itu satu kebiasaan baru untuk mendengarkan orang berbincang? Ah, kau desis Sekar Mirah Aku bersungguh-sungguh. Aku mula-mula tidak sengaja mendengarkan. Karena ada tamu di pendapa maka aku ingin melihat, apakah aku suda h mengenalnya atau belum. Mungkin aku harus menyediakan minuman atau tidak. Dari s

ela-sela pintu yang tidak tertutup rapat, aku memang melihat dua orang yang belum aku ken al sama sekali. Namun rasa-rasanya pembicaraan yang tidak begitu ramah telah terjadi. Karena itu , aku justru telah mendengarkannya. Bahkan aku telah mengajak Kiai Gringsing untuk ikut mende ngarkan pula. Apakah Kiai pernah mengenal perguruan Watu Gulung? bertanya Ki Jayaraga. Aku pernah mendengarnya jawab Kiai Gringsing tetapi aku belum pernah secara lang sung berhubungan. Menurut penilaianku, perguruan Watu Gulung termasuk perguruan yang menyusul kemudian. Bukan satu perguruan yang termasuk perguruan yang tua. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya Aku sependapat. Tentu seorang yang pernah berguru pada perguruan yang lebih tua dan kemudian mendirikan perguruan sendiri. Menurut pendengaranku perguruan Watu Gulung adalah perguruan yang besar menurut pengakuan Ki Ajar Laksana berkata Sekar Mirah. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya Tetapi apakah keperluannya datang kemari? Tentu bukannya sekedar menengok yang bernama Agung S edayu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya Marilah, kita ber bicara didalam. Keempat orang itu kemudian masuk keruang dalam. Agung Sedayupun kemudian menceriterakan semua pembicaraannya dengan tamunya yang mengaku bernama Ki Ajar Laksana. Ki Jayaraga yang mendengarkan dengan sungguh-sungguh mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata jadi masalahnya adalah seorang guru yang merasa kehilangan muridnya. Ya berkata Agung Sedayu. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya Sebenarnya aneh jika Ki Ajar Laksana send iri yang menangani persoalannya. Tetapi ia adalah gurunya. Guru dari orang yang telah terbunuh oleh Glagah Putih dan Raden Rangga berkata Agung Sedayu. Baiklah berkata Ki Jayaraga jika anak-anak berkelahi dan orang tuanya ikut campu r, maka biarlah yang tua menghadapi yang tua. Jika Ki Ajar Laksana merasa dirinya guru o rang yang terbunuh itu, maka akupun merasa bahwa Glagah Putih adalah muridku meskipun bara ngkali hubungan antara guru dan murid di perguruan Watu Gulung berbeda dengan hubungan guru dan murid diper-guruan yang tidak punya nama lagi. Atau aku harus membuat nama dalam saat yang tiba-tiba ini. Ki Jayaraga berkata Agung Sedayu yang dicari disini bukan guru Glagah Putih, tet api aku, sepupunya dan bernama Agung Sedayu. Aku mempunyai waktu sepekan untuk menemukan Glagah Putih. Jika tidak, maka aku akan diambilnya dan menjadi semacam taruhan. Jika dua pekan kemudian Glagah Putih tidak menyerah, maka aku akan dibunuhnya. Ki Jayaraga tersenyum. Katanya Seperti membunuh seekor jengkerik saja. Agaknya o rang yang bernama Ki Ajar Laksana itu belum mengenali nama-nama yang sudah banyak did engar di Mataram. Agaknya orang itu tidak pernah memperhatikan pergolakan yang timbul sej

ak berdirinya Pajang sampai saat Mataram bangkit. Sehingga orang itu tidak mengenali nama-nama yang banyak disebut orang seperti Kiai Gringsing misalnya. Ah sahut Kiai Gringsing nama yang tidak punya arti apa-apa bagi Mataram. Apa yan g sudah aku lakukan? Ki Jagaraga tertawa. Yang lainpun tertawa juga. Bahkan Kiai Gringsingpun terseny um pula sambil berkata selanjutnya Agaknya namaku hanya dikenal di Jati Anom, karena par a cantrikku memelihara itik cukup banyak. Apa hubungannya nama Kiai dengan itik? bertanya Ki Jagaraga heran. Orang mengenalku sebagai Kiai Gringsing telur itik jawab Kiai Gringsing tertawa. Yang lain tertawa semakin keras, sehingga pembantu dirumah Agung Sedayu itu menjengukkan kepalanya ke-dalam bilik itu. Katanya : "Tidak usah Ki Gede. Persoalannya akan aku batasi, antara aku dan oran g-orang itu. Jika hal ini melihatkan para pengawal maka korbannya tentu akan jadi terlalu ban yak". Namun dalam pada itu, ketika suara tertawa itu mereda, Sekar Mirahlah yang berka ta Tetapi agaknya persoalan yang kita hadapi bukan sekedar persoalan telur itik. Orang-ora ng itu bersungguh-sungguh untuk mengambil kakang Agung Sedayu jika sepekan ini Glagah P utih tidak datang. Mudah-mudahan anak itu tidak datang dalam waktu dekat desis Agung Sedayu mungkin orang-orang itu telah berusaha untuk menjebaknya dijalan masuk Tanah Perdikan in i. Ya. Bagaimanapun juga Glagah Putih masih terlalu muda. Apalagi orang-orang dari perguruan Watu Gulung itu tentu tidak hanya berdua berkata Ki Jagaraga. Tetapi kehadiran orang itu harus dilaporkan kepada Ki Gede berkata Agung Sedayu kemudian bagaimanapun juga Ki Gede adalah Kepala Tanah Perdikan ini. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya Ya. Ki Gede memang harus tahu, bahwa d i Tanah Perdikan ini telah berkeliaran beberapa orang dari perguruan Watu Gulung u ntuk mencari Glagah Putih. Demikianlah Agung Sedayupun segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ki Gede. Ba hkan kemudian ia tidak akan pergi sendiri, ia akan pergi bersama Sekar Mirah, karena dirumah Ki Gedeada Pandan Wangi. Agaknya banyak hal yang akan dapat mereka percakapkan sete lah untuk waktu yang agak lama mereka tidak bertemu. Sejenak kemudian Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah berkuda menuju kerumah Ki Ge de. Meskipun jaraknya terlalu dekat untuk naik kuda, tetapi mereka berdua kemudian b erniat untuk mengelilingi Tanah Perdikan. memberikan pesan-pesan kepada anak-anak muda, khusu snya para pemimpin pengawal. Ketika mereka memasuki rumah Ki Gede, maka Sekar Mirahpun dengan tergesa-gesa te lah turun dari kudanya, menambatkannya dan berlari menghambur ke ruang dalam lewat b utulan untuk langsung menemui Pandan Wangi.

Di pendapa Agung Sedayu telah berbicara dengan Ki Gede. Agung Sedayu langsung melaporkan kehadiran orang-orang dari perguruan Watu Gulung yang mencari Glagah Putih di Tanah Perdikan karena dalam perjalanannya ke Timur, Glagah Putih telah dituduh m embunuh seorang murid dari perguruan Watu Gulung. Jadi, apakah sebaiknya kita mengerahkan para pengawal untuk mencari orang-orang itu diseluruh Tanah Perdikan? Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya Tidak usah Ki Gede. Persoalannya akan ak u batasi, antara aku dan orang-orang itu. Jika hal ini melibatkan para pengawal, m aka korbannya tentu akan menjadi terlalu banyak. Orang-orang yang mendendam itu tentu tidak ak an ragu-ragu untuk membunuh. Lalu, bagaimana menurut angger Agung Sedayu? bertanya Ki Gede. Biarlah orang-orang itu menemui aku dalam waktu yang sudah ditentukan jawab Agun g Sedayu jika kemudian aku akan menemui para pemimpin pengawal, aku justru hanya m inta agar mereka mengawasi keadaan. Mereka tidak perlu bertindak langsung, karena orang-or ang yang datang itu berilmu tinggi. Meskipun dengan jumlah pengawal yang banyak sekali me reka mungkin akan dapat ditundukkan, tetapi korbannyapun menjadi tidak terhitung jumlahnya. S etiap mereka melihat sesuatu yang mencurigakan, maka biarlah mereka dengan segera menghubungi aku atau jika keadaan mendesak, mereka dapat memanggil aku dengan isyarat. Ki Gede mengangguk-angguk . Katanya Tanah Perdikan ini sudah mulai nampak berkembang. Namun agaknya masih harus ada persoalan yang menghambat. Besar atau kecil. Kali ini persoalan yang terjadi jauh dari Tanah Perdikan ini telah memasuki Tana h Perdikan ini pula. Mudah-mudahan tidak" terlalu rumit Ki Gede berkata Agung Sedayu namun kita tidak boleh lengah. Nampaknya orang-orang Watu Gulung itu memang meyakinkan. Baiklah aku serahkan semuanya kepadamu. Namun jika kau memerlukan sesuatu, katak an saja agar kita bersama-sama dapat mengatasinya. berkata Ki Gede. Dengan demikian maka persoalan orang-orang Watu Gulung itu telah diserahkan sepe nuhnya kepada Agung Sedayu. Agaknya Agung Sedayu memang tidak ingin menyeret orang lain kedalam persoalan yang menyangkut saudara sepupunya yang juga muridnya itu. Tetapi agakn ya Ki Jagaraga tidak akan melepaskan dirinya dari sikap seorang guru. Apalagi ia tahu, bahwa persoalan yang sebenarnya terjadi antara Glagah Putih dengan murid orang yang me nyebut dirinya Ki Ajar Laksana itu. Dengan demikian, jika gurunya ikut melibatkan diri, iapun merasa berhak pula untuk ikut campur. Dalam pada itu, Sekar Mirah dan Pandan Wangipun telah keluar pula kependapa. Unt uk beberapa saat mereka masih berbicara hilir mudik. Namun kemudian Agung Sedayu da n Sekar

Mirahpun telah minta diri. Berhati-hatilah ?? desis Pandan Wangi. Sekar Mirah tersenyum. Sementara itu Agung Sedayu bertanya Apakah kau juga menceriterakannya kepada Pandan Wangi? Sekar Mirah mengangguk. Katanya tetapi aku minta agar ia tidak usah memikirkanny a. Ia sekarang tamu disini. Pandan Wangi tersenyum. Tetapi tidak menjawab. Sementara itu Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun sekali lagi minta diri. Mereka kem udian turun dari pendapa diiringi oleh Ki Gede dan Pandan Wangi, Sejenak kemudian Sekar Mira h dan Agung Sedayupun telah menuntun kuda mereka keluar dari regol. Baru di luar regol kudan ya meloncat naik. Kau menjadi semakin tangkas berkata Pandan Wangi. Ah, kau desis Sekar Mirah. Namun tiba-tiba saja nampak seleret kegelisahan di-wajah Pandan Wangi. Meskipun ia berusaha untuk segera menghapus dari wajahnya, namun Sekar Mirah sempat melihatn ya pula. Bahkan hampir berbisik ia bertanya ketika Pandan Wangi justru mendekat Ada apa? Apakah kita masih akan selalu seperti ini? desis Pandan Wangi. Kenapa? bertanya Sekar Mirah. Bukankah kodrat kita untuk menjadi seorang ibu? suara Pandan Wangi melemah. Sekar Mirahpun ternyata tersentuh juga. Namun ia tidak menjawab. Ditepuknya bahu Pandan Wangi tanpa kata sepatahpun. Ketika ia berpaling, Agung Sedayu telah siap pula meskipun ia masih berbicara de ngan Ki Gede. Namun kemudian keduanya telah mengangguk dalam-dalam, sementara tangan mer eka mulai menggerakkan kendali. Sejenak kemudian, maka merekapun mulai berlari. Sekar Mirah masih melambaikan ta ngannya kepada Pandan Wangi, sehingga akhirnya mereka menjadi semakin jauh. Demikianlah, Sekar Mirah dan Agung Sedayu tidak segera kembali kerumah mereka. T etapi mereka memang akan menyusuri jalan-jalan padukuhan di Tanah Perdikan Menoreh. Me reka ingin melihat, apakah dengan hadirnya orang-orang Watu Gulung telah terjadi pengaruh a tas orangorang Tanah Perdikan dan cara kehidupannya. Namun ternyata tidak terjadi perubahan apapun juga. Orang-orang yang bekerja dib awah masih juga bekerja. Anak-anak mudanya nampak dengan tekun mengerjakan sawah mere ka masing-masing. Sementara itu air mengalir di parit-parit yang menusuk sampai keb agian dalam bulak-bulak yang luas. Bahkan ketika mereka melewati sebuah pasar, meskipun sudah lengang, namun masih nampak bahwa pasar itu tidak mengalami perubahan pula. Orang-orang yang masih menunggui dagangannya yang tersisa duduk dengan tenang, b ahkan sambil mengantuk. Kita belum melihat perubahan apapun juga berkata Sekar Mirah agaknya orang-orang itu memang tidak ingin menimbulkan keributan. Mudah-mudahan merekapun membatasi diri, sehingga persoalannya benar-benar persoa lan

antara mereka dengan kita

berkata Agung Sedayu.

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga Agung Sedayu yang menja di sasaran itu adalah suaminya. Sehingga dengan demikian, maka tusukan ujung duri d ikulit Agung Sedayu akan terasa juga dikulitnya. Ternyata bahwa Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah mengelilingi Tanah Perdikan it u dari ujung sampai ke-ujung. Perjalanan keliling yang jarang mereka lakukan. Biasanya mereka melihatlihat sebagian saja dari Tanah Perdikan itu. Pada kesempatan lain mereka melihat bagia n yang lain pula. Namun dalam pada itu. Agung Sedayu dan Sekar Mirah memang menjadi ragu-ragu. Apa kah yang harus mereka lakukan untuk memberikan pesan kepada Glagah Putih jika ia kem bali. Apakah ia harus berpesan kepada semua pengawal atau kepada orang-orang tertentu saja. Ternyata keduanya kemudian, memutuskan, bahwa mereka akan memanggil para pemimpi n pengawal dari padu-kuhan-padukuhan yang tersebar di seluruh Tanah Perdikan. Teta pi tidak bersama-sama. Mereka diharap menemui Agung Sedayu pada saat yang berbeda ditempa t yang berbeda pula. Dengan demikian maka pertemuan Agung Sedayu dengan para pemimpin pengawal itu ti dak menarik perhatian orang-orang dari perguruan Watu Gulung yang berkeliaran di Tan ah Perdikan Menoreh. Dengan demikian maka orang-orang itu tidak tertarik untuk melakukan tin dakan-tindakan yang aneh-aneh. Ketika Sekar Mirah dan Agung Sedayu kemudian kembali kerumah maka mereka telah menceriterakan keadaan Tanah Perdikan kepada Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Mer eka tidak melihat sesuatu yang pantas dicemaskan, karena agaknya orang-orang itu memang ti dak akan membuat persoalan dengan Tanah Perdikan Menoreh Baiklah berkata Ki Jayaraga jika demikian maka persoalannya akan terbatas antara guru dan orang yang terbunuh itu dengan guru Glagah Putih. Tetapi seperti yang aku katakan, akulah yang dicari oleh orang itu - jawab Agung Sedayu. Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Jika orang itu sudah menyebut sebuah nama , maka agaknya ia tidak akan dapat berbuat banyak. Namun agaknya Ki Jayaraga itu mendug a bahwa orang yang datang ke Tanah Perdikan ini tentu bukan hanya dua orang. Jika mereka datang dengan beberapa orang, maka kau tentu tidak akan sendiri pula Agung Sedayu berkata Ki Jayaraga. Agung Sedayu mengangguk-angguak. Ia memang tidak boleh sendiri. Ia tidak tahu, a pa orangorang Watu Gulung itu benar-benar jujur. Demikianlah, sejak hari itu. Agung Sedayu telah menerima pemimpin kelompok penga awal dari padukuhan-padukuhan. Namun mereka datang sendiri-sendiri dan menemui Agung Seday u

ditempat yang berbeda. Ada yang dirumahnya, ada yang dirumah Ki Gede dan bahkan ada yang ditemui oleh Agung Sedayu di banjar padukuhan masing-masing. Dengan hati-hati Agung Set ayu menyampaikan pesan kepada para pemimpin pengawal, agar mereka mengamati keadaan dengan cermat. Jika mereka melihat Glagah Putih, kapan dan dimanapun supaya memberitahukan, agar anak itu segera menemui Agung Sedayu. Agar para pemimpin kelompok itu tidak mereka-reka persoalan yang mereka hadapi, maka Agung Sedayu berkata Ada orang yang mengancamnya. Tetapi kalian tidak perlu memberitahukan kepada orang lain. Persoalannya tidak terlalu gawat, sehingga kai lan jangan justru membuat Tanah Perdikan ini gelisah. Para pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti maksud Agung Seday u. Itulah sebabnya maka Agung Sedayu tidak memanggil mereka bersama-sama. Tetapi di temuinya para pemimpin pengawal dari padukuhan-padukuhan itu secara terpisah. Namun ternyata dihari-hari berikutnya, tidak seorang-pun yang melihat Glagah Put ih memasuki Tanah Perdikan. Hari demi hari, sehingga mendekati waktu yang ditentukan oleh or ang-orang Watu Gulung itu. Sepekan. Bagaimanapun juga Sekar Mirah tidak dapat menghindarkan diri dari ketegangan. Ia mengerti, bahwa suaminya memiliki kemampuan yang tinggi . Namun bagaimanapun juga kemampua n seseorang itu tentu terbatas. Tetapi agaknya Agung Sedayu sendiri tidak begitu menghiraukannya. Ia justru tela h memanfaatkan kehadiran gurunya di Tanah Perdikan Menoreh. Disetiap malam Agung S edayu dan Kiai Gringsing, bahkan kadang-kadang juga Ki Jagaraga dan Sekar Mirah, berad a di sanggar. Kiai Gringsing yang sudah agak lama tidak bertemu dengan muridnya memang merasa kagum melihat perkembangan ilmu Agung Sedayu. Agung Sedayu sudah mulai menambah pada i lmu yang dipelajari dari kitab yang pernah dibacanya, dengan penguasaan ilmu untuk m empercepat getaran udara -serta menghisap dan seakan-akan memampatkan endapan kekuatan diud ara, sehingga terbentuklah ujud yang mirip dengan kabut tipis. Semakin kuat ilmu itu ditrapkan, maka kabut itupun menjadi semakin tebal. Sesuai dengan kepentingan mengetrapkan ilmu itu, maka kabut itu dapat melingkar atau menutup alu lingkungan sehingga menjadi gelap atau berheinluiH lewat dengan membawa kekuatan yang dipancarkan dengan ilmu yang sejalan sehingga kabut itu dapat mengandung kekuatan. Bahkan dapat membakar, namun daput pula membekukan sa saran. Kiai Gringsing memang merasa heran. Tanpa tuntutan langsung, Agung Sedayu mampu menguasai ilmu itu. Bahkan dengan bekal kemampuan yang ada padanya, maka kabut i tu akan dapat menggulung bukan saja hanya sebuah sasaran. Bahkan Agung Sedayupun telah mempelajari beberapa jenis ilmu yang lain. Ia senga ja

melampaui tuntunan ilmu yang mirip dengan ilmu yang telah dikuasainya. Ia tidak berminat untuk menguasai kemampuan ilmu Tameng Wa-ja, meskipun ia akan dapat melakukannya, kare na ilmu itu memiliki kekuatan mirip dengan ilmu kebal yang telah dikuasainya. Agung Seda yu juga tidak mempelajari ilmu Rog-rog Asem yang memiliki lontaran pukulan susul-menyusul hent akmenghentak dengan kekuatan yang sangat besar, karena Agung Sedayu telah memiliki kemampuan yang meskipun ujudnya agak berbeda, namun tidak kalah dari ilmu itu. D engan telapak tangannya Agung Sedayu mampu menghancurkan sasaran yang betapapun kokohn ya. Sementara itu dengan sorot matanya Agung Sedayu merupakan seorang yang disegani oleh lawan-lawannya yang pernah menghadapinya. Bahkan sebagian besar dari mereka yang tidak mau mengakui kenyataan itu, harus menebus dengan nyawanya. Di samping sebuah sen jatanya yang jarang ada bandingnya. Dialiri getaran kekuatan ;'rau-nya, maka cambuk dita ngan Agung Sedayu benar snar merupakan senjata yang mengerikan. Disamping semuanya itu. Agu ng Sedayu adalah seorang yang kebal bisa. Bukan karena benda-benda yang memiliki ke kuatan untuk menghisap iatau menawarkan bisa, tetapi kemampuannya melawan bisa itu ada didalam dirinya. Pada saat-saat ia masih lebih muda, ia bergaul dengan Panembahan Senapati yang m asih disebut Mas NgabehiLoring Pasar atau Raden Sutawijaya. Iapun banyak mendapat tun tunan dari Pangeran Benawa yang memiliki ilmu tak terhitung. Sementara itu, Agung Sedayu pernah mempelajari dan mengingat isi Kitab yang dimi liki Ki Waskita dan gurunya sendiri, Kiai Gringsing, sehingga karena itu, maka Agung Sed ayu bagi Kiai Gringsing telah memiliki ilmu lebih lengkap dari yang diduganya. Sementara itu, ilmunya ternyata masih berkembang terus sampai pada saat terakahir, Agung Sedayu telah mempelajar i ilmu sebagaimana pernah ditrapkan oleh Kiai Gringsing sendiri, seakan-akan dapat meng uasai kabut. Selain ilmu yang berhubungan dengan kemampuan untuk membela diri, maka Agung Sed ayu telah memiliki pula kemampuan pengamatan yang sangat tajam, pendengaran, pencium an dan penggraita dengan ilmu Sapta Pan-dulu, Sapta Pangrungu, Sapta Pangganda dan Sapt a Pangrasa. Bahkan Aji Pameling. Dalam waktu yang pendek Kiai Gringsing sempat mengenali serba sedikit ilmu-ilmu yang dimiliki Agung Sedayu. Ia memang ingin melihat kembali, seolah-olah ia ingin men genang satu masa yang pernah ditinggalkannya. Selagi ia masih muda semuda Agung Sedayu itu. Tetapi Kiai Gringsing telah menjadi semakin tua. Betapa tinggi ilmunya, namun ia tidak akan dapat mempertahankan wadagnya dalam keadaan yang tetap sebagaimana masa mudanya. Karena itu, dengan melihat kemampuan Agung Sedayu, Kiai Gringsing seakan-akan te lah

mengenang dirinya kembali. Banyak hal yang dapat menyentuh kenangannya yang ada pada Agung Sedayu, tetapi tidak dilihatnya pada 'Swandaru yang lebih mengkhususnya di ri pada pilihannya tanpa melihat kemungkinan lain yang dapat dikembangkannya. Namun bagaimanapun juga, Kiai Gringsing selalu mengingatkan kepada Agung Sedayu, bahwa tidak ada ilmu yang tidak ada tandingnya. Yang nampak lemah bagi sesuatu jenis i lmu, ternyata tidak terkalahkan oleh ilmu yang lain, sementara ilmu itu lebih kuat dari ilmu y ang pertama. Putaran kekuatan seperti itulah yang memungkinkan, bahwa kadang-kadang yang tida k nalar telah terjadi. Yang seharusnya menang telah dikalahkan dan menurut perhitungan seseora ng harus kalah, ternyata justru menang. Dengan pengertian itu, maka seseorang tidak akan menjadi tekebur karenanya. Bahk an akan selalu ingat kepada Kuasa dari Yang Maha Agung. Dengan demikian, penilaian Kiai Gringsing atas kemampuan muridnya sekilas telah memberikan kebanggaan diliatinya. Ia memang berharap bahwa Agung Sedayu akan dap at melanjutkan bahkan justru mengembangkan ilmu yang dimilikinya, sehingga tidak le nyap bersama tubuhnya didalam kuburnya. Namun ada satu hal yang kemudian dikatakannya kepada Agung Sedayu Agung Sedayu. Kau adalah muridku. Adalah tidak lengkap jika kau tidak mengenal ilmu obat-obatan de ngan baik. Karena itu, besok aku akan mengajarimu membuat dan meramu obat-obatan. Kemudian menelusuri urat-urat nadi, simpul-simpul syaraf dan otot serta jalur-jalur jalan darah. Meskipun demikian terserah kepadamu, apakah kau bersedia untuk melakukannya atau tidak. Tentu guru jawab Agung Sedayu menarik sekali. Sebab dengan demikian aku akan mam pu menolong sesama. Sementara waktuku memang tinggal besok sehari. Kenapa? bertanya Kiai Gringsing. Besok adalah hari kelima. Orang Watu Gulung itu hanya memberi waktu kepadaku sel ama sepekan Ternyata dalam sepekan ini Glagah Putih belum pulang. Karena itu, maka a ku harus menghadapi orang Watu Gulung itu berkata Agung Sedayu. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya Baiklah. Tetapi kau harus berh ati-hati. Nampaknya orang Watu Gulung itu memang berilmu tinggi. Ia yakin akan dirinya dan karena itu kau tidak boleh lengah menghadapinya. Aku akan berhati-hati, guru jawab Agung Sedayu. Kau sudah mempunyai berjenis ilmu yang dapat kau pergunakan. Bahkan kau mampu memberikan kesan kepada lawanmu jika kau terlibat dalam perkelahian, bahwa kau t idak hanya satu berkata Kiai Gringsing kemudian meskipun demikian, tidak ada ilmu yang semp urna. Karena itu, aku mempunyai pertimbangan, kau jangan pergi sendiri. Agung Sedayu mengangguk. Katanya Agaknya Ki Jayaraga akan ikut bersamaku menemui orang-orang itu. Ia merasa guru Glagah Putih, sehingga karena itu, maka Ki Ajar dari Watu Gulung itu seharusnya mencarinya, guru Glagah Putih. Tetapi kaupun gurunya. Karena itu, kau dan Ki Jayaraga akan dapat menemui orang-

orang itu. Bahkan jika kau tidak berkeberatan, akupun akan ikut pula. Ah, guru adalah tamuku disini. Guru agaknya ingin beristirahat di Tanah Perdikan ini. Karena itu, maka sebaiknya guru tidak usah ikut bersama kami. jawab Agung Sedayu. Tetapi ingat. Aku adalah gurumu berkata Kiai Gringsing aku ingin melihat kau dal am benturan ilmu yang sebenarnya. Bukan maksudku menganggap persoalan yang kau hada pi itu sekedar sebagai tontonan. Tfktapi apa salahnya aku menunggui muridku yang mungki n kan dijebak oleh seseorang. Agung Sedayu tidak dapat mencegahnya. Namun kemudian katanya Sebaikanya segala sesuatunya akan kita lihat perkembangannya. Kiai Gringsing tersenyum. Namun kemudian katanya Baiklah. Kita akan mulai dengan ilmu obat-obatan. Waktunya tinggal sedikit. Kelak jika aku pulang, akupun akan mengaj ari Swandaru. Namun nampaknya ia tidak tertarik. Aku pernah menyinggungnya. Tetapi tanggapanny a kurang serta merta. Dengan demikian, maka Kiai Gringsingpun telah mulai dengan ilmunya yang khusus. Waktu yang tinggal bagi Agung Sedayu hanya sisa hari itu dan esok hari. Dihari berikut nya, mungkin orang Watu Galung itu akan datang lagi kepadanya, bahkan untuk mengambilnya. Ternyata bahwa Agung Sedayu memang seorang yang trampil. Kecuali ia memang sudah sering memperhatikan cara-cara gurunya mengobati, didorong oleh minat yang sanga t besar, maka ia dengan cepat dapat menangkap petunjuk gurunya. Dengan demikian maka Agun g Sedayu-pun kemudian memiliki kemampuan untuk mengobati jika terjadi ketidak waja ran pada urat-urat nadi, syaraf dan jalur-jalur jalan darah. Sedang dihari berikutnya, Agung Sedayu telah mempelajari berbagai jenis dedaunan . Baik yang dapat diragakan karena jenis daun itu didapatkan di Tanah Perdikan Menoreh, maupun yang tidak, yang hanya dapat dikenali ciri-cirinya. Hari terakhir yang diberikan oleh orang-orang Watu Gulung telah dipergunakan ole h Agung Sedayu sebaik-baiknya. Selain tentang reramuan, juga meningkatkan pengenalannya atas susunan syaraf seseorang beserta simpul-simpulnya. Namun dalam pada itu, ketika malam dihari terakhir itu turun, Sekar Mirah tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya lagi. Pada saat makan malam, Sekar Mirah telah men yatakan kegelisahannya itu kepada suaminya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya Besok aku akan menemuinya. Apaka h sebenarnya yang dikehendakinya dari aku. Apakah benar seperti yang dikatakannya, nyawaku? Atau sebenarnya ia mempunyai tuntutan lain yang belum disebutnya. Tebusan misaln ya. Jika persoalannya murwat dan wajar, maka aku tidak akan berkeberatan untuk memenuhiny a. Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Kegelisahannya tidak bersumber dari peras aan

gentar. Tetapi sekedar kecemasan jika orang-orang itu ternyata sangat licik dan tidak berpegang pada harga diri. Karena itu, maka katanya Kakang, aku agaknya juga menduga, bahwa orang itu tentu tidak sendiri berada di Tanah Perdikan ini. Akupun menduga demikian. Selain dua orang yang datang itu, agaknya ia masih memp unyai beberapa orang kawan lagi. Tetapi kita masih harus menunggu sampai esok. Apakah yang sebenarnya dikehendaki berkata Agung Sedayu. Kakang berkata Sekar Mirah jika besok kakang pergi, maka akupun juga akan pergi menemuinya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya biarlah aku menyelesaikan persoa lan ini bersama Ki Jayaraga. Memang ada baiknya kakang mengajak Ki Jayaraga. Tetapi akupun harus ikut pula. m inta Sekar Mirah. Agung Sedayu termangu-mangua sejenak. Agaknya ia memang tidak dapat menolak permintaan Sekar Mirah, sebagaimana ia tidak dapat menolak permintaan Ki Jayarag a dan Kiai Gringsing. Namun Agung Sedayupun menjawab Baiklah kita akan memperhatikan keadaan Sekar Mirah. Dalam pada itu, Ki Jayaraga dan Kiai Gringsingpun telah berketetapan untuk ikut pula. Mereka akan melihat, apa yang akan terjadi seandainya Agung Sedayu dibawa oleh orang-or ang dari perguruan Watu Gulung itu. Malam itu, rasa-rasanya terlalu lama bagi seisi rumah Agung Sedayu. Mereka merek a-reka, apa saja yang akan dilakukan oleh orang-orang Watu Gulung itu. Apakah mereka aka n dengan paksa membawa Agung Sedayu dari rumah itu, atau sekedar mengancam serta memeras, atau cara-cara lain yang akan ditempuh. Namun ketika malam menjadi semakin malam, maka merekapun akhirnya sempat tidur j uga untuk beberapa lama. Pagi-pagi benar, seperti biasa, isi rumah itu telah bangun. Pembantu rumah Agung Sedayu itu sudah membersihkan ikan hasil tangkapannya di plataran sumur. Sementara itu Seka r Mirah yang melihatnya ketika ia mengambil air untuk mencuci beras bertanya Apakah kau masih belum jemu makan ikan air seperti itu. Wader yang kecil-kecil, sejemput udang, seekor dua e kor lele dan kutuk dan sekali dua kali kau dapatkan beberapa ekor bader. Bukankah bukan hanya aku saja yang makan? Jika ada Glagah Putih, maka Glagah Put ihlah yang gemar sekali ikan lele. Tetapi jika Glagah Putih tidak ada, ikan ini berman faat pula untuk memberi makan kucing jawab anak itu. O, jadi kau samakan Glagah Putih dengan kucing? bertanya Sekar Mirah. Tidak. Bukan maksudku. Tetapi karena ikan itu terlalu banyak bagi aku sendiri, m aka aku sering memberikannya untuk makan kucing berkata anak itu. Sekar Mirah tidak bertanya lagi. Iapun kemudian sibuk menyiapkan makan pagi lebi h awal dari

biasanya. Siapa tahu, semuanya akan terjadi di pagi-pagi st kali berkata Sekar Mirah. Seperti yang diminta Sekar Mirah, maka merekapun kemudian telah bersiap-siap unt uk makan pagi. Demikian matahari terbit, maka segalanya sudah tersedia diruang dalam. Agaknya yang lainpun telah menyesuaikan diri pula. Mereka telah mandi pagi-pagi dan ketika Sekar Mirah siap dengan makan pagin a, merekpr>"n telah siap membenahi diri. Namun dalam pada itu, mereka terkejut ketika mereka mendengar derap kaki kuda me masuki halaman. Ketika Sekar Mirah melihat dari celah-celah daun pintu yang dibukanya s edikit, maka iapun justru dengan tergesa-gesa menyongsongnya. Siapa desis Agung Sedayu. Entahlah sahut Ki Jayaraga. Agung Sedayupun dengan tergesa-gesa keluar pula. Ternyata yang datang berkuda ad alah seorang perempuan dengan pedang rangkap di lambungnya. Pandan Wangi Agung Sedayu berdesis. Bukankah hari ini hari yang dijanjikan desis Pandan Wangi. Hari yang dijanjikan apa? bertanya Agung Sedayu. Orang-orang Watu Gulung itu jawab Pandan Wangi. O Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Biarkan aku berada di sini untuk melihat perkembangan dari peristiwa itu. Aku su dah minta diri kepada ayah. Ayah tidak berkeberatan. berkata Pandan Wangi. iTetapi kau tamu sekarang di Tanah Perdikan ini berkata Sekar Mirah. Namun bagaimanapun juga aku adalah anak Ki Gede jawab Pandan Wangi tekanannya tidak pada hakku sebagai anak Ki Gede, tetapi justru pada kewajibanku sebagai an ak Ki Gede. Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Jika demikian, maka tidak ada yang dapat mencegah. Namun Agung Sedayu masih juga bertanya Apa kata Swandaru jika kulitmu tergores s enjata lawan. Ayah bertanggung jawab sahut Pandan Wangi. Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam . Sementara itu Agung Sedayupun kemudian memper-silahkan masuk keruang dalam. Bahk an untuk ikut makan pagi pula bersama mereka. Aku sudah makan berkata Pandan Wangi. Makan saja seadanya, atau barangkali sekedar mengotori mangkuk sahut Sekar Mirah . Pandan Wangi tidak menolak, iapun kemudian ikut pula makan bersama Ki Jayaraga d an KiaTGringsing serta Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Bagaimanapun juga masih nampak kegelisahan Sekar Mirah. Ia makan dengan agak ter gesagesa. Meskipun ia berusaha untuk nampak tetap tenang, tetapi orang-orang yang ada dise kitarnya menangkap getar kegelisahan itu. Namun mereka dapat mengerti, kenapa justru Sekar Mirah lebih gelisah dari Agung Sedayu sendiri. Demikian mereka selesai makan, maka mereka telah benar-benar berbenah diri, lahi r dan batin, karena menurut Agung Sedayu, agaknya orang Watu Gulung itu tidak bermain-main. Tetapi kita tidak perlu terlalu gelisah berkata Agung Sedayu setelah Sekar Mirah selesai

membenahi mangkuk-mangkuk kotor dibantu oleh Pandan Wangi dan membawanya ke dapu r. Aku ingin seperti itu sahut Sekar Mirah tetapi ternyata tidak dapat. Sudahlah berkata Pandan Wangi kita tidak sendiri. Jika perlu, seisi Tanah Perdik an ini dapat digerakkan Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Memang kata-kata itu agak menyejukkan hat inya. Tetapi apakah orang-orang Watu Gulung itu tidak licik. Ternyata perhitungan Agung Sedayu benar. Orang Watu Gulung itu datang pada hari yang disebutnya. Setelah sepekan. Dan orang itupun datang ketika matahari baru saja m ulai memanjat langit. Bagaimanapun juga Agung Sedayupun menjadi berdebar-debar menerima dua orang tamu nya. Dan orang sebagaimana pernah datang kerumah itu sebelumnya. Dengan sikap wajar Agung Sedayu menerima kedua tamunya itu dipendapa. Agung Sedayu berkata Ki Ajar Laksana setelah duduk berhadapan dengan Agung Seday u diatas sehelai tikar pandan bagaimana dengan saudara sepupumu itu he? Maksudmu? bertanya Agung Sedayu. - Jangan berpura-pura desis orang itu bukanlah persoalannya sudah pernah aku kata kan sebelumnya? Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang-orang Watu Gulung adalah o rang yang lebih suka langsung berbicara pada persoalannya. Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian menjawab Ki Sanak. Sampai hari ini Gla gah Putih ternyata masib belum kembali. Wajah orang itu menjadi tegang. Katanya Kau memang benar-benar tidak tahu diri. Seharusnya kau menghormati orang-orang Watu Gulung. Ki Sanak. Apa yang dapat aku lakukan jika anak itu memang benar-benar belum kemb ali, selain mengatakan bahwa anak itu belum datang? sahut Agung Sedayu karena itu, te rserah kepadamu, apa yang akan kau lakukan. Baik jawab Ki Ajar Laksana kau memang termasuk orang yang berani. Tetapi apakah kau pernah bertanya-tanya tentang perguruan Watu Gulung kepada orang-orang yang lebi h tua? Sudah jawab Agung Sedayu. Siapa? bertanya Ki Ajar Laksana. Orang tua. Kau tidak perlu mengetahuinya jawab Agung Sedayu pula. Apa katanya tentang Perguruan Watu Gulung? bertanya Ki Ajar itu kemudian. Menurut orang tua itu, Watu Gulung termasuk perguruan yang masih muda. Yang lahi r jauh setelah masa perguruannya sendiri surut. jawab Agung Sedayu karena itu, maka perg uruan Watu Gulung belum memiliki ciri yang banyak dikenal orang. Gila geram Ki Ajar Laksana siapakah yang mengatakannya? Orang itu tentu orang du ngu yang tidak mengenal dunia olah kanuragan. Entahlah berkata Agung Sedayu tetapi demikianlah katanya. Dan karena aku memang belum mengenal sama sekali tentang perguruan Watu Gulung, makf aku tidak dapat m engatakan apa-apa. Orang itu menggeram. Namun kemudian katanya Baiklah. Aku tidak akan mempersoalka

n kedunguan seseorang. Tetapi sekarang aku menuntut tanggung jawabmu atas saudara sepupunya yang bernama Glagah Putih itu. Jika ia tidak aku ketemukan, maka aku m enuntut gantinya. Kau akan aku bawa serta. Kau mendapat kesempatan menunggu sepekan lagi . Jika kau bernasib buruk karena anak itu tidak datang menyerahkan diri, maka kau jangan me nyesal. Kau akan membawa aku dari Tanah Perdikan ini? bertanya Agung Sedayu. Ya. Aku akan membawamu sekarang geram orang itu aku tidak mau kehilangan waktu barang seharipun. Jika sepekan lewat, maka pada hari yang keenam kau sudah, akan mati. Ki Sanak berkata Agung Sedayu sebaiknya kita. berbicara sebagaimana dua orang ya ng memiliki kedudukan yang sama. Kau tidak boleh bersikap seperti seorang budak yan g sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat apapun juga. Kedudukan kita memang tidak sama berkata Ki Ajar Laksana kau yang berhutang dan akulah tempat kau berhutang itu. Aku akan berhak menentukan sikap apapun juga at asmu, jika pada saatnya kau tidak dapat membayar hutang itu. Merampas tanggungan dari hutan g itu, atau cara-cara yang lain. Baiklah aku katakan terus-terang kepadamu Ki Sanak aku tidak mau kau perlakukan seperti itu. Setan geram Ki Ajar jadi kau berniat untuk melawan. Sudah tentu aku akan membela diri berkata Agung Sedayu. Sudah kau pertimbangkan, jika kau menggerakkan pengawal, korban akan tidak terhi tung jumlahnya berkata Ki Ajar. Aku tidak akan membawa siapa-siapa dalam persoalan kita. Persoalan ini adalah pe rsoalan antara kau dan aku. Kau merasa kehilangan muridmu dan Glagah Putih adalah sepupu ku jawab Agung Sedayu. Wajah Ki Ajar menjadi tegang. Namun iapun telah menduga, bahwa Agung Sedayu tida k akan menyerahkan lehernya begitu saja. Bahkan Ki Ajarpun telah menduga, bahwa Agung S edayu dengan sengaja telah menyembunyikan Glagah Putih. Karena itu, maka Ki Ajar itupun berkata Baiklah Agung Sedayu. Aku hargai kejanta nanmu. Tetapi aku masih harus membu tikan, apakah kau sekedar berbicara seperti seorang laki-laki atau kau memang akan bersikap sebagaimana1 Seorang laki-laki atau kau memang akan ber sikap sebagaimana seorang laki-laki. Jadi apa maksudmu? bertanya Agung Sedayu. Dengan kuasa ilmuku, aku dapat membawamu sekarang. Kau tidak akan mempunyai kemampuan untuk melawan dan apalagi menghindar. berkata orang itu tetapi aku mem ang ingin tahu tingkat kejantananmu. Karena itu, aku tidak akan membawamu sekarang. Tetapi jika kau memang seorang laki-laki datanglah ketempat kami menunggu. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya Dimana kau menunggu? Diujung Selatan dari Tanah Perdikan ini. Di hutan pandan di tepi rawa-rawa panta i. jawab Ki Ajar untuk menjaga martabatku, maka aku memberitahukan kepadamu, bahwa aku tidak

hanya berdua. Tetapi aku berlima. Jika kau benar-benar ingin bersikap sebagai laki-lak i, kau tentu akan datang. Kita dapat membuat perhitungan tanpa orang lain, atau kau mempunyai empa t orang kawan lainnya, atau sepasukan pengawal yang menurut perhitunganmu akan dapat men angkap kami. Tetapi jangan salahkan kami jika mayat para pengawal itu akan segera terap ung dirawarawa di antara akar pohon pandan. Baik Ki Ajar berkata Agung Sedayu aku juga akan datang. Jika kau berlima, maka a kupun akan datang berlima. Kau tidak perlu berpegang pada jumlah yang sama. Kau dapat membawa orang jauh le bih banyak dari lima. jawab Ki Ajar. Baiklah. Aku akan mempertimbangkannya berkata Agung Sedayu. Ki Ajar itupun kemudian minta diri dan meninggalkan rumah Agung Sedayu dengan ke pala tengadah. Di halaman ia masih berkata Datanglah hari ini. Ada dua kemungkinan da pat kau tempuh. Jika kau menyerah, kau masih mempunyai kesempatan hidup untuk sepekan. B ahkan mungkin kau akan tetap hidup jika Glagah Putih datang menyerahkan diri. Tetapi j ika kau berusaha melawan, maka kau akan mati hari ini. Namun bagiku lebih cepat memang l ebih baik. Agung Sedayu tidak menjawab. Dipandanginya orang itu dengan tajamnya. Agung Sedayu memang tidak mempergunakan ilmunya lewat sorot matanya untuk mengganggu Ki Ajar. Tetapi melihat pandangan Agung Sedayu, sesuatu terasa terget ar diliatinya. Ia melihat mata itu tidak sebagaimana mata kebanyakan orang. Tetapi Ki Ajar tida k dapat mengatakan, apakah sebabnya, maka mata itu telah menggetarkan hatinya. Karena itu, ketika Ki Ajar telah keluar dari regol rumah Agung Sedayu, iapun tel ah berkata kepada muridnya yang menyertainya itu Agaknya orang yang bernama Agung Sedayu it u memang seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Menilik bahwa saudara sepupunya y ang masih sangat muda itu telah mampu membunuh seorang diantara saudara seperguruanmu. Murid Ki Ajar itu mengangguk-angguk. Tetapi katanya Tetapi saudaraku yang terbun uh itu adalah orang yang dapat kita anggap baru diantara kita. Jika guru mengijin-kan, maka biarlah aku membuat perhitungan dengan Agung Sedayu itu. Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya Orang itu berbahaya bagimu. Ak u sendiri akan membunuhnya. Muridnya tidak menyahut. Jika gurunya berkata demikian, maka gurunya itu tentu s udah memperhitungkan beberapa hal yang dapat ditangkapnya pada Agung Sedayu. Sementara itu, dirumahnya Agung Agung Sedayu telah berkata dengan Kiai Gringsing , Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan Pandan Wangi. Diluar sadarnya, Pandan Wangi telah berkata Kita juga berlima sekarang. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirah berkata pula Kami akan iku t bersamamu apapun yang akan terjadi. Jika orang-orang yang ada di hutan pandan it

u lebih dari lima orang, maka kita akan menilainya, apakah kita memerluan para pengawal atau tidak. Jika lebih dari lima orang, maka persoalannya akan menjadi lain. berkata Ki Jaya raga kita akan mempunyai banyak peluang. Apalagi jika mereka sebenarnya terdiri dari sekel ompok orang dalam jumlah yang cukup banyak. Maka kita akan dapat memberi isyarat kepada para pengawal. Kita akan melihatnya berkata Agung Sedayu tetapi menilik sikapnya yang sombong, maka mereka tentu benar-benar hanya lima orang. Kecuali jika aku terkelabuhi oleh sik apnya itu. Dengan demikian, maka Agung Sedayu tidak dapat mencegah Kiai Gringsing dan Panda n Wangi yang ingin ikut bersama mereka. Bahkan dengan nada mendesak Pandan Wangi b erkata Bukankah mereka minta kita datang berlima? Adalah kebetulan bahwa kita berlima di sini, Jika masih ada tempat, maka aku akan mengajak ayah pula. Jangan sahut Agung Sedayu dengan serta merta Jangan lihatkan Ki Gede secara langsung. Apalagi kebetulan kita memang sudah berlima. Pandan Wangi mengangguk kecil. Namun kemudian katanya Kapan kita akan berangkat. Kita akan segera berangkat. Tetapi karena kita akan berkuda, maka kita akan menu nggu orang-orang itu sampai di hutan pandan. jawab Agung Sedayu. Jika demikian, aku mempunyai kesempatan untuk minta diri kepada ayah berkata Pan dan Wangi. Agung Sedayu dan Sekar Mirah tidak berkeberatan. Karena itu maka Pandan Wangipun telah pergi beberapa saat. Jarak antara rumah Agung Sedayu dan rumah Ki Gede memang ti dak terlalu jauh. Namun dalam pada itu, agaknya Ki Gede merasa cemas juga melepaskan anak perempua nnya begitu saja. Karena itu, maka iapun telah memerintahkan seorang pemimpin pengawa l untuk mengikuti Pandan Wangi bertemu dengan Agung Sedayu. Mungkin ada pesan atau perintah Agung Sedayu berkata Ki Gede. Pemimpin pengawal itupun kemudian mengikuti Pandan Wangi dan bertemu dengan Agun g Sedayu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia tidak ingin melibatkan par a pengawal. Tetapi karena Ki Gede sudah memerintahkannya, maka iapun kemudian tela h memberikan beberapa pesan. Kau tidak usah membuat orang lain gelisah berkata Agung Sedayu siapkan saja mere ka yang bertugas. Jika aku memberikan isyarat dengan panah sendaren, maka sekelompo k pengawal berkuda harus pergi ke Alas Pandan dipinggir rawa-rawa pantai, Panah itu tidak akan sampai ke padukuhan induk ini betapa kuatnya busur yarig melontarkannya berkata pemimpin pengawal itu. Siapkan satu dua orang pengawal di padukuhan Gumolong. Panah sendaren akan menca pai padukuhan itu. Kemudian dari padukuhan itu akan dilanjutkan isyarat ke padukuhan

induk. Mungkin harus disambung lagi di padukuhan Patran berkata Agung Sedayu. Namun ber kali-kali Agung Sedayu berpesan, agar hal ini tidak membuat Tanah Perdikan menjadi gelisah . Aku ingin membatasi persoalannya berkata Agung Sedayu. Baiklah berkata pengawal itu aku akan dengan hati-hati memberitahukan hal ini ke pada beberapa orang pengawal. Terutama yang bertugas saja. Terima kasih berkata Agung Sedayu aku berharap bahwa orang yang mempunyai kepentingan dengan kami adalah seorang yang bertanggung jawab dan tidak licik, s ehingga aku tidak perlu membuat orang lain terlibat kedalamnya. Tetapi seandainya demikian, bukankah itu sudah menjadi kewajiban seorang pengawa l? desis pengawal itu. Terima kasih. Mudah-mudahan kami dapat mengatasi sendiri berkata Agung Sedayu kemudian. Demikianlah, maka pengawal itupun telah minta diri. Namun sementara itu Agung Se dayupun berkata Kami juga sudah siap untuk berangkat. Demikianlah, ketika pengawal itu meninggalkan rumah Agung Sedayu dan keempat ora ng yang lainpun telah bersiap. Sejenak kemudian merekapun telah berada dipung-gung kuda. Mungkin aku agak lama berkata Agung Sedayu kepada pembantunya. Pembantunya tidak menjawab. Namun di wajahnya nampak kecemasan hatinya. Anak itu melihat orang-orang berkuda itu membawa senjata. Sekar Mirah membawa tongkat baj a putihnya, sementara Pandan Wangi membawa sepasang pedang dilafribungnya sebelah-menyebelah . Meskipun ia tidak melihat, tetapi anak itu yakin bahwa dibawah baju Agung Sedayu tersembunyi cambuknya. Bahkan busur dan panah sendaren dibelakang pelana kuda. Namun Agung Sedayu yang dapat membaca kecemasannya itu berkata Jangan cemas. Kam i akan kembali. Anak itu mengangguk kecil. Sejenak kemudian, maka lima ekor kuda telah berderap menyusuri jalan padukuhan. Orangorang yang berpapasan memang menjadi heran melihat kelima orang itu berkuda bersama-sa ma. Namun setiap kali Sekar Mirah menjawab setiap pertanyaan Pandan Wangi ingin meli hat perubahan-perubahan yang terjadi di Tanah Perdikannya. Orang-orang yang mendapat jawaban itu mengangguk-angguk, karena jawaban itu masu k diakalnya. Demikianlah, maka kelima orang itu langsung menuju ke bagian Selatan Tanah Perdi kan. Mereka meninggalkan padukuhan terakhir, melintasi pategalan dan kemudian memasuk i hutan perdu. Sejenak kemudian mereka telah berada di hutan pandan yang terletak ditepi rawa-rawa pantai yang pepat oleh tumbuh-tumbuhan air, pandan yang berduri tajam, semak-sem ak dan batang ilalang. Kita akan menunggu disini berkata Agung Sedayu kita tidak akan memasuki daerah y ang berawa-rawa itu. Pandan Wangi mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata Jarang sekali aku s ampai

kedaerah ini meskipun sejak kecil aku hidup di Tanah Perdikan Menoreh. Sekar Mirahpun memandang berkeliling. Ia sudah pernah melihat daerah itu. Tetapi rasarasanya berdebar-debar juga menghadapi hamparan hutan Pandan yang luas. Kelima orang itupun kemudian telah meloncat turun dari kuda mereka. Didaerah yan g cukup lapang, mereka telah mengikat kuda-kuda mereka pada batang pohon perdu. Sejenak mereka menunggu. Namun Agung Sedayupun menjadi ragu. Hutan Pandan itu memang luas, sehingga mungkin orang-orang itu tidak tahu, bahwa lima orang telah datang untuk menemui mereka. Karena itu, maka Agung Sedayupun telah membuat api dengan batu titikan. Dikumpul kannya rerumputan kering dan kemudian dinyatakannya sehingga gumpal-gumpal asap telah n aik keudara. Mudah-mudahan mereka melihatnya berkata Agung Sedayu kepada Ki Jayaraga. Atau barangkali mereka justru sudah meninggalkan hutan ini sahut Ki Jayaraga. Aku kira belum. Nampaknya mereka bersungguh-sungguh. Orang yang menyebut dirinya Ki Ajar Laksana itu begitu yakin akan kemampuan dirinya, sehingga apa yang dikataka nnya rasarasanya memang harus berlaku desis Agung Sedayu. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa ia memang ingin bertemu denga n orang yang bernama Ki Ajar Laksana itu. Ia ingin membuat perhitungan sebagaimana dikehendaki oleh Ki Ajar. Namun agaknya Agung Sedayu merasa bahwa dirinyalah yang sedang dic ari oleh orang-orang itu, karena orang-orang itu langsung telah menyebut namanya. Untuk beberapa saat mereka memperhatikan api yang semakin redup. Namun Agung Sed ayu justru telah menimbuninya dengan rerumputan kering dan basah, sehingga dengan de mikian, maka asappun menjadi semakin nampak membubung meskipun tidak terlalu tebal, kare na api itu memang tidak begitu besar. Agung Sedayupun sadar, bahwa meskipun disekitarnya hanyalah terdapat hutan panda n dan bahkan rawa-rawa, tetapi ia harus memadamkan apinya-nanti agar tidak terjadi keb akaran hutan. Namun ternyata yang diharapkan oleh Agung Sedayu itupun terjadi. Tidak begitu ja uh dari api yang melontarkan asap itu, Ki Ajar memang sedang menunggu. Ia belum terlalu lama sampai ditempat persembunyiannya itu ketika ia mulai melihat asap. Asap apa itu? bertanya Ki Ajar kepada murid-muridnya. Entahlah jawab salah seorang muridnya apakah aku harus melihatnya? , Lihatlah. Tetapi berhati-hatilah berkata Ki Ajar. Dua diantara muridnyapun segera menyusup diantara pohon-pohon pandan menuju kete mpat asap itu. Dengan sangat berhati-hati mereka berusaha untuk mendekat. Dari balik daun pandan yang rimbun mereka melihat lima orang berjalan hilir mudi k ditempat yang agak lapang. Sementara itu lima ekor kuda tertambat di batang pohon perdu. Gila geram salah seorang diantara murid Ki Ajar mereka benar-benar datang dalam jumlah yang ditentukan. Alangkah sombongnya mereka desis yang lain.

Namun kedua orang itu terkejut bukan kepalang ketika tiba-tiba saja mereka mende ngar salah seorang diantara kelima orang itu berkata sambil menghadap kearah keduanya berse mbunyi Selamat datang Ki Sanak. Jika kau termasuk dua orang murid Ki Ajar, maka sampaik an salamku kepadanya, bahwa aku adalah Agung Sedayu yang ditunggunya. Sayang aku tidak dapa t menemukan tempat Ki Ajar itu dengan tepat. Tetapi aku ingin mempersilahkan Ki Aj ar itu datang ditempat yang agak lapang ini. Setan geram seorang diantara kedua orang murid Ki ajar itu bagaimana mungkin Agu ng Sedayu itu melihat kedatangan kita. Sungguh satu kemampuan yang tidak masuk akal . Apalagi ia tahu dimana kita bersembunyi desis yang lain berbisik. Kedua orang itu sama sekali tidak menjawab. Kedua-nyapun segera bergeser surut, menghilang diantara pohon-pohon pandan yang tumbuh menjadi besar. Dengan tergesa-gesa kedua orang itu melaporkan kepada guru mereka, bahwa yang me mbuat asap itu ternyata adalah Agung Sedayu. Bagaimana kau tahu? bertanya Ki Ajar. Seorang diantara mereka ternyata melihat kehadiran kami. Padahal menurut perhitu ngan kami, hal itu tidak akan mungkin. Dengan lantang orang itu berpesan agar aku sam paikan kepada Ki Ajar salamnya dan memberitahukan bahwa mereka berlima telah menunggu. Orang i tu telah menyebut namanya, Agung Sedayu. Persetan geram Ki Ajar. Namun ternyata bahwa Agung Sedayu telah berhasil menusuk kan pengaruh kesombongannya kepada muridnya. Karena itu, maka Ki Ajar itupun berkata Dan kau mulai menjadi gentar melihat per mainan itu? Namun dengan serta merta, muridnya itu menjawab Tidak guru. Aku sama sekali tida k menjadi gentar melihat kehadiran mereka berlima. Bagaimana jika kau aku tunjuk untuk melawan orang yang bernama Agung Sedayu. Orang yang melihat kelima orang ditempat yang agak lapang itu menjadi ragu-ragu. Bukan karena kekecilan hatinya, tetapi ia membuat perhitungan berdasarkan pada nalarny a. Namun yang tertua diantara keempat muridnya itu berkata Guru. Aku adalah yang te rtua diantara saudara-saudara seperguruanku.Mungkin akumemilikimasa penempaan yang pa ling lama. Karena itu, jika guru berkenan, beri kesempatan aku menyelesaikan Agung Se dayu. Bukankah menurut guru, aku sudah mewarisi semua ilmu dari perguruan kita. Meskip un mungkin aku belum dapat mengembangkannya, tetapi aku sudah mempunyai bekal yang cukup un tuk melakukannya. Gurunya mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun berkata sambil tersenyum Kit a belum mengetahui, siapakah orang terbaik diantara kelima orang itu. Tetapi agar aku yakin, bahwa dendam kita dapat kita lepaskan, maka aku berharap bahwa aku akan dapat membunuh Agung

Sedayu. Tetapi jika ada orang lain yang lebih besar kemampuannya dari Agung Seda yu, maka biarlah kau melawan Agung Sedayu itu. Aku yakin bahwa kaupun akan dapat membinas akannya. Agaknya disini tidak ada orang lain yang perlu diperhitungkan lagi. Jika ada dua orang saja diantara isi Tanah Perdikan ini, maka Tanah Perdikan ini benar-benar Tanah Perdi kan yang sangat besar. Muridnya mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Ajar-pun segera memerintahkan murid muridnya untuk bersiap. Namun kemudian katanya Tetapi jangan terlalu yakin, bahwa yang datang itu hanya lima orang. Siapa tahu, bahwa sekelompok pengawal telah bersiap . Pada saatnya mereka akan datang menyergap kita. Kita akan menaburkan kematian berkata muridnya yang tertua tetapi bukan salah ki ta. Ya. Sudah tentu bukan salah kita jawab Ki Ajar aku sudah memperingatkan Agung Se dayu akan kemungkinan itu. Para murid Ki Ajar itu mengangguk-angguk. Mereka memang terlalu yakin akan kemam puan mereka dan terutama guru mereka. Namun demikian ternyata Ki Ajar itu masih memberikan peringatan kepada murid-mur idnya Namun bagaimanapun juga, kalian harus menyadari, bahwa pada satu saat, kita akan sampai pada satu batas yang tidak teratasi. Jika jumlah para pengawal itu terlalu banya k tanpa menghiraukan kematian yang terjadi, maka mungkin kita harus mengalah, menyingkir dari arena. Nah, hutan pandan ini memberikan banyak kesempatan. Kita tidak akan menyingkir dari medan berkata salah seorang murid Ki Ajar sepert i tadi guru katakan, kematian mereka bukan salah kita. Ki Ajar mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tidak menjawab lagi. Bahkan iapun berkata Kita pergi sekarang. Demikianlah maka kelima orang itupun segera pergi menuju kearah asap yang mengep ul. Bagaimanapun juga, maka Ki Ajar harus menilai, betapa Agung Sedayu tanpa mengena l gentar telah menyatakan kehadirannya. Justru dengan membuat api untuk melontarkan asap ke udara. Jarak diantara mereka memang tidak jauh. Karena itu, maka pada waktu dekat, Ki A jar Laksana bersama murid-muridnya telah mendekati daerah yang cukup lapang diantara hutan p andan itu. Kelima orang yang menunggu itupun segera melihat kehadiran mereka. Karena itu, m aka merekapun segera bergeser menghadap kearah kelima orang yang baru datang itu. Namun demikian Ki Ajar Laksana muncul di tempat yang cukup lapang itu, ia menger utkan keningnya. Ia melihat Pandan Wangi dan orang tua yang berkuda bersamanya beberap a hari yang lalu. Karena itu hampir diluar sadarnya Ki Ajar itu berdesis Kita bertemu lagi K i Sanak. Dalam keadaan yang gawat dihadapan khususnya Ki Ajar Laksana, maka Kiai Gringsin g akan dapat melindungi Pandan Wangi, sementara Agung Sedayu akan dapat melindungi Seka

r Mirah. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya Siapakah yang kau maksud? Tentu buka n aku, karena kau baru saja datang kerumahku. Memang bukan jawab Ki Ajar tetapi perempuan itu serta orang tua yang menyertainy a. Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Dengan ragu ia bertanya Dimana kita pernah bertemu? Kita bersama-sama menyeberangi Kali Praga beberapa hari yang lalu berkata Ki Aja r Laksana. Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya Maaf Ki Sanak. Aku tidak melihat , atau barangkali tidak memperhatikan bahwa kita menyeberang bersama-sama. Ternyata kita bertemu disini dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Kenapa kita harus berhadapan sebagai lawan? bertanya Ki' Ajar. Aku tidak tahu maksudmu. Aku tidak tahu pula, kenapa kau merasa berkeberatan. Ak u adalah penghuni Tanah Perdikan ini. Karena itu wajar jika aku berusaha untuk ikut campu r dalam persoalan-persoalan yang tumbuh di Tanah Perdikan ini. Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya Beruntunglah Agung Sedayu karena kedatanganmu . Jika kau tidak datang ke Tanah Perdikan ini, maka Agung Sedayu tidak akan mempun yai kawan genap lima untuk menghadapi persoalannya dengan aku. Tentu tidak jawab Pandan Wangi kau justru harus menyadari bahwa dalam hal ini be lum terlibat Ki Gede. Jika Ki Gede>Menbreh turun sendiri, maka akibatnya akan semaki n pahit buat kalian. Ki Ajar mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian bertanya Seberapa kemampuan Ki Gede dalam ilmu kanuragan. Ia memang seorang pemimpin disini. Tetapi aku tidak y akin bahwa ia memiliki kemampuan yang dapat dise-jajarkan dengan murid-muridku. Namun Ki Ajar itu menjadi tegang sejenak, ketika Pandan Wangi mengatakan Ki Gede adalah guruku. Kau akan dapat menilai kemampuannya dengan menilai kemampuanku. Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Katanya Ternyata Tanah Perdikan ini benar-ben ar satu lingkungan yang besar diluar dugaanku. Ia berhenti sejenak, namun kemudian tib^tiba ia bertanya Kenapa Ki Gede itu sendiri tidak datang kemari? Ia berhak melindungi or ang-orangnya yang terancam bahaya. Aku mewakilinya. Aku adalah anak Ki Gede, jawab Pandan Wangi jika aku tidak kebe tulan datang ke Tanah Perdikan ini, nasib kalian akan bertambah buruk, Karena Ki Gede sendiri akan turun ke medan. Persetan geram Ki Ajar ternyata Tanah Perdikan ini penuh dengan orang-orang somb ong yang tidak tahu diri. Baiklah anak manis. Jika kulitmu tergores ujung senjata, a palagi di wajahmu, maka bukannya salahku. Ki Ajar itu berhenti pula. Ia pun beralih memandang Sekar Mirah. Katanya Tetapi aku melihat disini ada dua orang perempuan. Siapakah yang seorang

? Isteriku jawab Agung Sedayu. Adik suamiku desis Pandan Wangi pula. Wajah Ki Ajar benar-benar menjadi tegang. Ia pernah mendengar ceritera dari seor ang pedagang yang bersama-sama menyeberang Kali Praga beberapa hari yang lalu, bersa maan pula dengan Pandan Wangi dan Kiai Gringsing. Pedagang yang menjadi pucat mendengar te ntang perempuan yang bernama Pandan Wangi itu dan apalagi tentang suaminya, kakak dari perempuan yang seorang lagi. Namun yang lebih mengejutkan lagi ketika Ki Ajar tiba-tiba saja tanpa di sengaja melihat tongkat baja putih yang berada di tangan Sekar Mirah itu. Siapakah namamu dan darimana kau mendapat tongkat itu? bertanya Ki Ajar Laksana kepada Sekar Mirah. Namaku Sekar Mirah jawabnya tongkat ini pemberian guruku. Siapakah nama gurumu? bertanya Ki Ajar. Sekar Mirah mendapat kesan sesuatu pada wajah Ki Ajar Laksana tentang tongkatnya . Karena itu, maka Sekar Mirahpun kemudian berkata Guruku adalah Ki Sumangkar. Tetapi ciri tongkatmu adalah ciri Macan Kepatihan Jipang berkata Ki Ajar Laksana . Sekar Mirah memandangnya dengan tajamnya. Lalu katanya Jalur perguruanku sama de ngan jalur perguruan Macan Kepatihan. Tetapi jalur perjuanganku berbeda. Sikap guruku pun berbeda dengan sikap Macan Kepatihan. Ki Ajar Laksana mengerutkan keningnya. Dengan nada datar iapun berkata Memang lu ar biasa. Disini berkumpul orang-oang yang mempunyai jalur perguruan yang dapat dib anggakan. Aku kagum pada murid-murid yang mempunyai jalur perguruan yang sama dengan Macan Kepatihan. Tongkat itu adalah ciri kebesarannya. Tetapi tidak semua murid dari s atu perguruan memiliki perkembangan ilmu yang sama. Sekar Mirah menggeretakkan giginya. Hampir diluar sadarnya ia berkata Baiklah. K ita akan menguji, apakah tongkat ini mampu bergerak secepat tongkat seperti ini ditangan Macan Kepatihan yang terbunuh di Sangkal Putung itu. Ki Ajar Laksana menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudin katanya Baiklah. Aku su dah menangkap maksud kedatangan Agung Sedayu. Pada pokoknya Agung Sedayu menolak menyerahkan Glagah Putih sehingga ia datang bersama ampat orang sebagaimana yang aku isyaratkan. Jika demikian, maka kita benar-benar akan menguji, siapakah yang mem ang berhak untuk keluar dari tempat ini. Karena kau datang beritma Agung Sedayu dan kita ju ga berlima, maka kita tidak akan memilih lawan. .Yang ada disini akan bertempur dalam kelomp ok masingmasing. Masing-masing lima orang. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya Apakah hal itu tidak dapat dirub ah lagi? Sebenarnya aku ingin menawarkan satu penyelesaian yang khusus. Kita menunggu sam pai Glagah Putih pulang. Baru kita akan tahu, siapakah yang sebenarnya bersalah dian

tara muridmu dan Glagah Putih. Jika saudara sepupuku memang salah, aku rela ia mendapat hukum an yang setimpal. Tetapi jika kesalahan terletak pada muridmu, maka persoalannya dapat d ianggap selesai. Kau tidak perlu menunggu Potong murid Ki Ajar yang pernah tertawan aku sendiri m enjadi saksi, bahwa Glagah Putih telah membunuh saudara seperguruanku. Dengan licik ber sama dengan anak muda yang disebut bernama Raden Rangga, mereka telah menjebak dan ke mudian membunuh saudaraku itu. Jika kau menjadi saksi, kenapa kau tidak berbuat sesuatu pada Waktu itu? bertany a Agung Sedayu. Persetan geram murid Ki Ajar itu yang penting sekarang serahkan Glagah Putih itu . Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya Sudah beberapa kali aku katakan, Glagah Putih tidak ada di Tanah Perdikan ini. Glagah Putih memang belum kembali. Mungkin ia masih diperjalanan atau justru meneruskan perantauannya untuk mendapatkan pengal aman hidup menjelang masa-masa dewasanya. Tetapi pengalaman yang dihayatinya adalah pengalaman yang buruk sahut Ki Ajar. Aku tidak yakin jawab Agung Sedyu. Sudahlah berkata Ki Ajar jika kau tetap pada. pendirianmu, maka kita akan mulai. Lima orang akan melawan lima orang. Itu sudah adil. Namun apakah kalian akan mengikut sertakan orang tua itu. Sebenarnya aku menjadi kasihan melihat wajahnya yang muram dan me melas. Kiai Gringsing tersenyum. Namun kemudian katanya Ada juga gunanya wajah yang memelas. Setidak-tidaknya kalian tidak akan melakuka n kekerasan terhadap aku, orang tua yang barangkali harus dibelas kasihani. Tetapi Ki Ajar Laksana menjawab Sayang, bahwa jika kau sudah berada di arena, ma ka kau akan tahu apakah yang mungkin terjadi. Wajahmu yang tua dan memelas tidak akan menolongmu. Apa boleh buat gumam Kiai Gringsing seolah-olah kepada dirinya sendiri. Dalam pada itu, maka Ki Ajar Laksanapun telah memberikan isyarat kepada murid-mu ridnya. Dengan nada datar ia berkata Kita sudah cukup lama berbincang. Kita sudah mSngam bil kesimpulan bahwa Agung Sedayu tidak mau mendengarkan perintahku. Ia memilih mela wan dengan jumlah orang yang sama. Maka segala akibat yang terjadi adalah tanggung j awabnya. Kematian yang timbul, adalah akibat dari kesombongannya. Bahkan mungkin kelicika n Agung Sedayu yang tidak berani mempertanggung jawabkan tingkah laku sepupunya. Namun i a telah berpura-pura menjadi pahlawan dengan tidak mau menyerahkan anak itu kepada kami. Karena itulah maka ia telah menyeret orang-orang yang seharusnya tidak bersangkut paut dengan peristiwa ini kedalam maut. Ceritamu sudah cukup panjang desis Sekar Mirah sekarang kalian mau apa? Ki Ajar mengerutkan keningnya. Katanya Baiklah. Kita akan segera mulai. Tetapi m

asih seorang diantara kalian yang belum menyatakan sikapnya. Apa katamu tentang Agung Sedayu? Ki Jayaraga mengerutan keningnya. Ia sadar, bahwa orang itu agaknya telah bertan ya kepadanya. Karena itu, maka katanya Aku tidak ingin berbicara apapun. Aku ingin berkelahi. Itu saja. Wajah Ki Ajar menjadi tegang. Namun kalimat yang pendek yang diucapkan dengan ka ta-kata yang utuh dan jelas itu, menunjukkan bahwa orang itupun memiliki sesuatu yang ti dak mudah dijajagi. Karena itu, maka Ki Ajar itupun segera bergeser sambil berkata Marilah. Kita aka n segera mulai. Agung Sedayu segera mempersiapkan diri. Demikian pula Sekar Mirah dan Pandan wan gi. Sementara itu Kiai Gringsing menggamit Ki Jayaraga sambil berdesis Apakah kau ak an bersungguh-sungguh? Kita lihat keadaan berkata Ki Jayaraga aku belum tahu, dengan siapa aku akan berhadapan. Kiai Gringsing tersenyum. Namun iapun berdesis Aku termasuk orang yang dibelas k asihani. Ki Jayaraga mengerutkan keningnya. Katanya Kau pandai berpura-pura, sehingga ora ngorang itu merasa belas kasihan melihat wajahmu yang sudah berkeriput itu. Tetapi Kiai Gringsing tidak sempat tertawa. Tiba-tiba saja kelima orang lawannya sudah mundur. Agaknya mereka benar-benar ingin bertempur dalam kelompok, sehingga mere ka tidak akan menentukan lawan mereka seorang-seorang. Karena kelima orang lawan mereka seakan-akan telah mengepung mereka, maka Agung Sedayu dan empat orang lainnya telah bersiap beradu punggung. Namun tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata Tunggu. Untuk apa desis Ki Ajar Laksana. Jantung Ki Ajar tiba-tiba saja bagaikan semakin cepat berdenyut. Ternyata Agung Sedayu telah mendekati perapian dan memadamkannya. Dengan kakinya Agung Sedayu menginjak api yang memang sudah hampir padam itu. Jika kita semuanya mati, maka ada kemungkinan api akan menjalar lagi membakar rerumputan kering. Jika kemudian hutan pandan ini terbakar, maka tentu akan meni mbulkan keributan. Daun pandan kering itu akan mudah dijilat api jawab Agung Sedayu. Setan kau geram Ki Ajar kau telah menghina kami. Semua orang akan menjadi gemeta r dalam kepungan kami. Kenapa kau masih sempat berkelakar seperti itu. Aku tidak berkelakar jawab Agung Sedayu tetapi aku benar-benar mencemaskan api i tu. Nah, sekarang aku sudah selesai. Jika kau akan mulai, mulailah. Apapun yang akan kau lakukan, kami akan melayaninya. Ki Ajar menggeram. Ia benar-benar sudah siap menghadapi Agurg Sedayu dan keempat yang lain. Namun, bagaimanapun juga, Agung Sedayu masih juga mempergunakan perhitunga n. Karena itulah, maka ialah yang langsung berada dihadapan Ki Ajar Laksana. Kemudian dise

belah kirinya adalah Kiai Gringsing. Sedang disebelah kanannya adalah Sekar Mirah. Baru kemudi an Ki Jayaraga dan Pandan Wangi yang berada disisi sebelah kiri Kiai Gringsing. Dalam keadaan yang gawat dihadapan khususnya Ki Ajar Laksana, maka Kiai Gringsin g akan dapat melindungi-Pandan Wangi, sementara Agung Sedayu akan dapat melindungi Seka r Mirah. Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Ajar Laksana itu mulai bergerak. Lingkaran itu ternyata berputar kekiri. Untuk beberapa saat putaran itu hanya perlahan-lahan saja. Namu n agaknya mereka sedang mencoba memusatkan segenap kemampuan mereka untuk menghancurkan kelima orang yang berada didalam lingkaran. Satu cara yang menarik desis Agung Sedayu. Ternyata inilah perguruan Watu Gulung itu geram Ki Jayaraga yang membelakangi Ag ung Sedayu. Ya Kiai Gringsing yang menjawab meskipun mungkin perkembangannya masih belum pernah kita lihat. Ki Jayaraga tidak menjawab. Ternyata kelima orang yang mengepung mereka itu tela h menarik senjata mereka masing-masing. Semua dari kelima orang itu ternyata bersenjata se pasang potongan baja sepanjang satu jengkal lebih sedikit yang satu sama lain dihubungk an dengan rantai hampir sedepa panjangnya. Dengan demikian, maka Agung Sedayupun telah mengurai senjatanya pula, sebuah cam buk yang membelit di lambungnya. Sekar Mirah dan Pandan Wangipun dengan cepat telah menggenggam senjata mereka masing-masing. Sekar Mirah telah memegang tongkat baj a putihnya pada ujung dan hampir dipangkalnya. Sementara itu Pandan Wangi dikedua belah tangannya teiah menggenggam pedang yang bersilang didadanya. Kami membawa apa? bertanya Ki Jayaraga apakah Kiai juga akan mempergunakan cambuk? Aku ragu-ragu berkata Kiai Gringsing. Jadi? desis Ki Jayaraga. Entahlah nanti sahut Kiai Gringsing. Lalu He, bukankah kau mempunyai pedang leng kung itu? Aku tidak membawanya jawab Ki Jayaraga. Pegang apa saja untuk membatasi agar kau tidak menjadi buas disini berkata Kiai Gringsing. Ki Jayaraga termangu-mangu. Namun kemudian iapun telah membuka ikat kepalanya. Kau telah mempermainkan ikat kepalamu sebagaimana dilakukan oleh Ki Waskita. Tet api pasangannya adalah ikat pinggangnya. berkata Kiai Gringsing sambil memperhatikan lawannya yang masih saja berputar perlahan-lahan. Agaknya, mereka belum mulai menyerang. Namun mereka mulai mempermainkan senjata mereka. Glagah Putih juga bersenjata ikat pinggang yang diterimanya di Mataram berkata K i Jayaraga. Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun ia belum membawa senjata apapun. Dalam pada itu, terdengar Ki Ajar Laksana berkata Kami simpan pedang kami. Hanya untuk

melawan orang-orang berarti sajalah kami pergunakan pedang kami. Agung Sedayu sempat menjawab jangan sembunyikan kecemasan dihatimu melihat senjat asenjata kami. Orang-orang yang berputaran itu mengumpat. Bagi mereka, Agung Sedayu adalah oran g yang sangat sombong. Namun sejenak kemudian, mereka telah mempercepat putaran mereka. Senjata merekap un telah berputar dita-ngan mereka. Kakek tua berkata Ki Ajar kenapa kau tidak bersenjata? Jika kau memang tidak sia p ikut dalam permainan ini, keluarlah dari lingkaran. Kau akan dimaafkan, justru karena kulitmu sudah berkerut. Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya Terima kasih Ki S anak. Karena aku adalah bagian dari anak cucuku ini, maka biarlah aku berada disini. Apakah kau memerlukan senjata? bertanya Ki Ajar Laksana yang sudah berputar samp ai diarah lain. Namun suaranya bagaikan bergema dari segala arah. Kiai Gringsing termangu-mangu. Memang kurang wajar jika ia tidak bersenjata. Kar ena itu, maka iapun telah mengurai senjatanya pula, seperti senjata Agung Sedayu, sebuah cambuk yang berjuntai panjang. Ki Ajar Laksana tergetar melihat senjata Kiai Gringsing. Hampir diluar sadarnya ia berdesis Apakah kau. yang disebut orang bercambuk itu? Entahlah jawab Kiai Gringsing tetapi inilah senjataku Kenapa senjatamu sama dengan senjata Agung Sedayu? bertanya Ki Ajar Laksana. Apa salahnya. Jika aku bersenjata pedang, kenapa senjataku sama dengan senjatamu selain tongkat baja berantai itu? jawab Kiai Gringsing. Gila. Apakah kau guru Agung Sedayu? suara Ki Ajar meninggi. Agung Sedayulah yang menjawab Ya. Orang tua yang kau anggap memelas dan kau mint a keluar dari lingkaran jamuran ini adalah guruku. Anak setan geram Ki Ajar Laksana. Nah, segalanya belum terlanjur. Apakah kita dapat mengurungkan permainan jamuran ini? bertanya Agung Sedayu mungkin kita mempunyai cara lain yang bukan kekerasan untu k menyelesaikan persoalan ini? Persetan geram Ki Ajar Laksana jangan memperkecil arti perguruan kami. Pada saat nya nanti kalian akan menyesal meskipun terlambat. Kesombongan kalian harus kalian t ebus dengan cara kematian yang pahit. Jadi, kita akan meneruskan permainan ini? Kami udah memberitahukan siapa kami. Seharusnya kalian dapat menilai, seberapa tinggi kemampuan kalian dibandingkan d engan kami berkata Agung Sedayu. Ki Ajar Laksana menggeram. Putaran itupun menjadi semakin cepat. Tongkat-tongkat baja pendek yang ada ditangan mereka itupun berputar semakin cepat. Agung Sedayu tidak berbicara lagi. Menilik sikap lawannya, mereka sudah siap unt uk menyerang dengan cara mereka. Sebenarnyalah, maka satu dua diantara kelima orang itu mulai mengayunkan tongkat

-tongkat baja mereka. Mereka memutar salah satu dari potongan baja itu diatas .kepala. Ke mudian putaran itu berkisar pada bidang yang berubah. Dengan cepat potongan baja itu mematuk la wan. Tetapi kelima orang yang ditengah-tengah putaran itu sudah bersiap. Sasaran sera ngan mereka yang pertama adalah Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu hanya menggeliat saja, sehingga potongan baja itu tidak menge nalinya.. Ternyata murid Ki Ajar yang lain telah mengayunkan senjatanya pula. Justru memat uk dengan derasnya mengarah Sekar Mirah. Berbeda dengan Agung Sedayu, maka Sekar Mirah yang memiliki kecepatan gerak itu, tiba-tiba saja telah memukul tongkat baja pendek yang terikat pada ujung rantai itu. Pukul an Sekar Mirah yang dilandasi dengan kekuatan cadangannya itu benar-benar mengejutkan lawannya. Tongkat baja pendek yang terikat dengan rantai dikedua ujung itu telah terpental dengan keras. Benarbenar mengejutkan. Bahkan terasa tangan murid Ki Ajar yang telah mencoba menyerang Sek ar Mirah itu menjadi sakit. Anak iblis geram orang itu. Ia telah mengalami satu hal yang tidak diduganya seb elumnya, bahwa Sekar Mirah itu memiliki kekuatan yang demikian besar. Apalagi ketika orang itu menyadari, bahwa agaknya Sekar Mirah masih belum memper gunakan segenap kekuatannya, apalagi ilmu yang dimilikinya. Dengan demikian maka orang itu memang harus berhati-hati. Agaknya kelima orang i tu memang memiliki landasan ilmu yang sangat tinggi. Dalam pada itu, sambil berputar semakin cepat, maka seorang diantara murid Ki Aj ar itu telah menyerang pula. Dengan sengaja ia telah menyerang Ki Jayaraga yang hanya bersenj ata ikat kepala. Ia ingin melihat, bagaimana Ki Jayaraga itu mempergunakan ikat kepalanya untuk menangkis serangannya. Dengan cepat dan kekuatan yang besar, tongkat baja pendek diujung rantai itu tid ak berputar dan terayun kearahnya. Tetapi seperti yang telah menyerang Sekar Mirah, maka orang itupun terkejut. Ki Jayaraga telah merentangkan ikat kepalanya, sehingga ayunan tongkat pendek itu telah memu kul rentangan ikat kepala itu. Namun yang terjadi benar-benar diluar dugaan. Demikian tongkat itu mengenai ikat kepala itu, maka Ki Jayaraga telah mengendorkannya. Namun sejenak kemudian kedua ujung ikat kepala itu telah dihentakkannya dengan kekuatan yang tinggi. Potongan baja yang tergantung pada ujung rantai itu bagaikan dilemparkannya. Dem ikian kerasnya, sehingga orang yang memeganginya telah tergeser hampir selangkah, sehi ngga untuk sesaat, lingkaran itu berguncang. Gila geram orang itu. Namun sesaat kemudian lingkaran itupun telah segera pulih kembali.

Namun demikian orang-orang yang berputaran itu semakin yakin bahwa orang-orang y ang ada di dalam lingkaran itu adalah orang-orang yang memang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, maka Ki Ajar Laksana sendirilah yang kemudian ingin menyerang salah seorang dari kelima orang itu. Persoalan yang utama adalah persoalannya dengan Agung Sed ayu. Karena itu, maka ia ingin menjajagi kemampuan Agung Sedayu. Ketika ambil berputar Ki Ajar selalu memandangi Agung Sedayu, maka Agung Sedayup un menyadari, bahwa Ki Ajar akan langsung menyerangnya, meskipun ia tidak menjadi l engah, bahwa mungkin orang lain yang akan melakukannya. Beberapa saat kemudian, maka putaran itupun menjadi semakin cepat. Serangan demi seranganpun meluncur dari tangan orang-orang yang berlari berputaran itu. Semaki n sering. Namun sasarannya bukannya Agung Sedayu, tetapi terutama kedua orang perempuan ya ng ada didalam lingkaran itu. Sekar Mirah dan Pandan Wangi justru menjadi marah. Mereka menyadari, bahwa orang -orang dalam lingkaran itu menganggap bahwa mereka berdua adalah orang yang paling lema h diantara ke lima orang itu. Namun keduanya memang menyadari, bahwa dibandingkan dengan Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga, mereka memang orang-orang yang paling lemah. Tetapi i tu bukan berarti bahwa mereka berada dibawah tingkat kemampuan orang yang berlari-lari it u. Tetapi untuk beberapa saat keduanya tidak berbuat sesuatu kecuali menangkis sera nganserangan. Sementara itu, kelima orang yang berlari-lari berkeliling itu masih saja berputa ran. Semakin lama justru semakin cepat. Ternyata bahwa putaran itu memang mempengaruhi lawannya. Rasa-rasanya kepala mer eka memang menjadi pening. Apalagi mereka masih harus menangkis setiap serangan yang datang kepada mereka. Ternyata Sekar Mirahlah yang tidak telaten. Ketika ia sempat memandang sekilas K i Jayaraga dan Agung Sedayu yang ada di sebelah menyebelahnya, nampaknya mereka tidak akan berbuat sesuatu. Sebenarnyalah Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga telah memperhitungkan , jika mereka mampu bertahan, maka tenaga orang-orang itulah yang lebih dahulu akan sus ut. Tetapi mereka yang ada di tengah itu harus bertahan untuk tidak menjadi pening dan kehi langan pengamatan, karena semakin cepat orang-orang itu berputar, maka gelombang serang an merekapun akan menjadi semakin cepat pula. Tetapi Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga yakin, bahwa mereka, termasu k Sekar Mirah dan Pandan Wangi akan mampu menangkis setiap serangan sehingga akhirnya ke lima orang itu akan berhenti dengan sendirinya, atau mereka akan menjadi kelelahan se belum

pertempuran yang sebenarnya terjadi. Namun agaknya Sekar Mirah tidak senang diperlakukan demikian, sebagaimana Pandan Wangi. Karena itu, maka mereka mempunyai rencana untuk berbuat sesuatu. Ketika putaran menjadi semakin cepat, maka tiba-tiba saja sebuah serangan yang c epat terjulur kearah Sekar Mirah. Sebuah diantara tongkat baja itu mematuk langsung kedadanya. Namun Sekar Mirah yang melihat serangan itu tiba-tiba saja telah mengelak. Ia tidak me nangkis dengan tongkat baja putihnya. Tetapi karena orang yang mengayun tongkat pendek pada ujung rantai itu berputar, maka tongkat pendek itupun menyambarnya dalam putaran itu. Tetapi Sekar Mirah telah memperhitungkannya. Dengan cepat ia merendah, sehingga tongkat itu terbang diatas kepalanya. Namun pada saat yang demikian ia telah meloncat sa mbil berjongkok, demikian cepatnya. Tongkatnya telah terjulur lurus mengarah ke lambu ng orang yang sedang berputar itu. Orang itu terkejut. Ia meloncat mundur, sehingga sekali lagi putaran itu bergunc ang. Namun ujung tongkat Sekar Mirah tidak mengenainya. Tetapi pada saat yang demikian, orang yang berputar di belakang sasaran Sekar Mi rah itulah yang menjadi berbahaya baginya. Orang itulah yang kemudian memutar tongkat pende knya pada rantainya dan terayun mengarah ke kepala Sekar Mirah. Sekar Mirah menyadari serangan itu. Dengan cepat ia justru berguling surut, sehi ngga tongkat itu tidak mengenainya. Tetapi orang berikutnyalah yang siap untuk menyerangnya. Tetapi orang itu tidak sempat melakukannya. Pandan Wangi yang melihat Sekar Mira h mulai bertindak, iapun telah meloncat menyerang orang yang siap untuk meluncurkan tong kat pendeknya. Kedua pedangnya berputar cepat seperti baling-baling justru melibat o rang yang siap menyerang Sekar Mirah. Orang itu memang terkejut. Dengan cepat ia bergeser sambil memutar tongkat bajan ya diatas kepalanya untuk melindungi dirinya. Ketika orang berikutnya siap menyerang Pandan Wangi, Sekar Mirah sudah berhasil memperbaiki dirinya dan meloncat menempati kedudukan Pandan Wangi yang ditinggal kannya. Orang-orang yang melingkar itu memang benar-benar terguncang. Lingkaran itu tiba -tiba telah melebar, cukup jauh dari kelima orang yang ada di tengah-tengah lingkaran itu. Jangan tergesa-gesa terdengar suara Agung Sedayu. Aku tidak telaten. Jika kalian ikut serta, maka lingkaran itu tentu sudah pecah, geram Sekar Mirah. Agung Sedayu. menarik nafas panjang. Ia mengenal watak Sekar Mirah. Memang ada s edikit singgungan dengan watak kakaknya.Swandaru yang keras. Namun bukan saja Sekar Mir ah. Pandan Wangi yang biasanya lebih luruhpun ternyata tidak tahan lagi menahan kete gangan diliatinya. Putaran itu memang membuat jantung merasa berdesir lebih cepat. Sema kin cepat mereka berputar, maka rasa-rasanya jantungpun menjadi semakin tegang.

Kiai Gringsing dan Ki Jayaragapun menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka telah si ap, seandainya Sekar Mirah dan Pandan Wangi mengalami kesulitan. Dalam pada itu, orang-orang yang berlari berputaran itu memang terkejut mengalam i serangan Sekar Mirah dari Pandan Wangi yang saling mengisi. Baru dua orang diantara kelim a orang lawannya yang bergerak. Justru dua orang perempuan. Namun lingkaran itu benar-be nar telah terguncang dan bahkan hampir pecah. Hanya karena mereka cepat bergeser sehingga lingkaran itu menjadi mekar beberapa langkah sajalah, maka lingkaran itu masih tetap mengi si kelima orang yang ada di dalam, meskipun jaraknya menjadi semakin jauh. Namun putaran itu kembali menyempit. Semakin lama semakin sempit dan semakin cep at. Kakang berkata Sekar Mirah tingkah laku mereka sangat menjemukan. Aku menjadi pen ing karena putaran itu. Jika terlalu lama kita membiarkan mereka berputaran, maka mu ngkin aku akan muntah-muntah karenanya. Itu adalah salah satu senjata yang mereka trapkan berkata Agung Sedayu mereka me mang menghendaki kita menjadi pening. Tetapi kita mempunyai daya tahan yang cukup unt uk mengatasinya. Apalagi hanya oleh sekelompok orang yang berlari-larian itu. Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Sementara Pandan Wangi yang telah kembali ke tempatnya berkata Apa salahnya jika kita menghentikan permainan yang memuakkan itu. Tidak ada kesulitan apa-apa jika kita memang menghendaki jawab Agung Sedayu teta pi kita ingin membuktikan bahwa yang mereka lakukan itu tidak berarti apa-apa bagi kita. Yang mereka kehendaki adalah agar kita menjadi pening dan kehilangan kemampuan untuk bertempur selanjutnya. Sementara itu, kita tidak akan mampu keluar dari lingkaran karena s eranganserangan mereka yang datang beruntun bagi salah seorang diantara kita yang akan menerobos keluar. Ternyata Sekar Mirah dan Pandan Wangi dapat mengerti. Karena itu maka Sekar Mira hpun berkata Mudah-mudahan aku dapat mengatasi rasa muakku, sehingga aku tidak menjad i pingsan. Yang tertawa adalah Ki Jayaraga. Katanya Begiti mudahnya kita menjadi pingsan. Sekar Mirah tidak menyahut. Sementara itu putaran kelima orang itupun telah meny empit kembali. Sepanjang jangkauan senjata mereka. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu berdesis Kita mencoba untuk bertahan. Kecuali jika kalian pada satu saat benar-benar tidak tahan lagi. Sekar Mirah dan Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi mereka memang ingin mencoba bertahan. Demikianlah, permainan jamuran itupun telah berulang kembali. Kelima orang itu t elah berlari berkeliling. Sekali-sekali mereka melontarkan serangan dengan senjata mereka. Na mun serangan itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang sengaja membiarkan putaran itu berlangsung, te

lah meningkatkan daya tahan mereka. Sebenarnya ketika mereka sengaja mengatur ketaha nan diri, maka apa yang terjadi itu tidak terlalu banyak berpengaruh atas diri mereka. Mer eka tidak lagi merasa pening, meskipun masih ada ketegangan di jantung mereka. Tetapi bukan kar ena kecemasan, tetapi sebaliknya karena mereka harus menahan diri untuk tidak berbua t sesuatu. Kelima orang itu berlari semakin cepat. Serangan merekapun menjadi semakin cepat pula. Namun serangan-serangan mereka sama sekali tidak mengusik kelima orang yang ada di dalam putaran itu. Bahkan setiap serangan itu mengarah kepada Sekar Mirah dan Pandan Wangi, keduany a telah membentur serangan itu dengan kekuatan yang sangat besar, sehingga justru jari-j ari mereka yang melontarkan serangan itulah yang menjadi sakit. Demikianlah permainan itu berlangsung beberapa lama. Tetapi kelima orang yang be rputar itu tidak berhasil mengenai lawannya sama sekali. Mereka selalu menangkis setiap ser angan atau menghindarinya. Sasaran serangan itu terutama memang ditujukan kepada Sekar Mira h dan Pandan Wangi, karena mereka menganggap bahwa kedua orang perempuan itulah yang p aling lemah diantara mereka. Meskipun demikian serangan-serangan mereka itupun tidak m enyentuh sasaran sama sekali. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Serangan itu justru telah memperlemah kedudukan mereka sendiri. Ki Ajar yang memimpin serangan itu menjadi marah. Usahanya untuk membuat lawanla wannya kehilangan keseimbangan sama sekali tidak berhasil. Karena itu, maka iapun telah berniat untuk meningkatkan serangannya. Sasaran utamanya adalah Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Jika semula ia selalu memperhatikan Agung Sedayu, maka iapun merasa bahwa serangannya atas Agung Sedayu akan memerlukan pemusatan nalar budi yang mapan, s ehingga karena itu, maka agaknya ia akan lebih dahulu menyerang orang-orang yang justru dianggapnya paling lemah. Karena itu, maka Ki Ajar sendirilah yang, telah memutar tongkat baja pendeknya y ang terkait.pada ujung rantai itu. Demikian cepatnya, sehingga putaran itu menimbulk an suara berdesing. Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang mendengar desing putaran senjata Ki Ajar itu m enjadi berdebar-debar. Justru karena mereka merasa ilmunya berada pada tataran yang paling rendah, maka mereka telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Sebenarnyalah, beberapa putaran kemudian, tongkat baja pendek Ki Ajar itu telah meluncur mematuk dada Sekar Mirah. Demikian derasnya. Namun Sekar Mirah yang sudah bersiaga melihat serangan itu. Karena itu, maka iap un telah

bergeser kesamping, sementara itu dengan tongkat bajanya ia telah memukul tongka t pendek Ki Ajar yang tidak mengenai sasaran. Ternyata benturan yang terjadi merupakan benturan yang mengejutkan kedua belah p ihak. Hampir saja tongkat baja putih Sekar Mirah terlepas. Sementara itu, tangan Ki Aj arpun tergetar. Tenaga Sekar Mirah jauh melampaui kekuatan yang diperhitungkannya. Ki Ajar itu mengumpat. Ternyata Sekar Mirah mampu mempertahankan tongkat baja pu tihnya. Bahkan kekuatan benturannya telah menggetarkan tangannya. Agung Sedayupun merasakan kedahsyatan benturan itu. Iapun melihat kesulitan pada tangan Sekar Mirah yang menjadi sakit dan pedih pada telapak tangannya, sehingga karena itu, maka beberapa kali ia menggosok-gosokkan tangannya bergantian pada bajunya. Agung Sedayulah yang kemudian berbisik ditelinganya Kekuatan orang itu luar bias a. Jika ia menghentakkan ilmunya, jangan terkejut bila aku mencampurinya. Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Namun Agung Sedayu cepat berkata Jangan meras a tersinggung dalam keadaan seperti ini. Jika kau mempunyai kesempatan, maka murid -muridnya itu tidak akan terlalu sulit bagimu untuk menundukkannya. Tetapi bukan Ki Ajar i tu sendiri. Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Agung Sedayu. Sementar a itu iapun merasa betapa besar kekuatan Ki Ajar itu. Agung Sedayupun ternyata telah menggamit Kiai Gringsing pula. Agaknya Kiai Gring singpun segera tanggap ketika Agung Sedayu berkata Guru, Pandan Wangi perlu perlindungan jika serangan itu datang langsung dari Ki Ajar itu sendiri. Kiai Gringsing mengangguk kecil. Sementara itu, putaran itu masih berlangsung te rus. Semakin cepat pula. Sementara serangan-serangan datang beruntun. Tetapi bukan dari Ki Aj ar sendiri. Karena itu, maka baik Sekar Mirah maupun Pandan Wangi sama sekali tidak mengalam i kesulitan. Apalagi Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Kiai Gringsing. Dalam pada itu, Kiai Jayaraga yang melihat benturan antara tongkat pendek Ki Aja r dengan tongkat baja Sekar Mirah, maka iapun mengerti, betapa besar tenaga Ki Ajar. Itup un tentu belum dengan kekuatan puncaknya. Karena itu, maka iapun telah mempersiapkan dirinya. Dengan senjata yang kurang m emadai untuk melawan tongkat pendek Ki Ajar, maka ia tidak boleh melawan kekerasan deng an kekerasan. Ia harus lebih banyak menghindar atau menyerap kekerasan serangan law annya dengan perlawanan yang lunak. Dalam pada itu, Ki Ajar yang menjadi marah kepada Sekar Mirah tetap bersiap-siap untuk mengulangi serangannya. Ia berniat untuk merampas senjata itu dari tangan peremp uan itu. Jika ia berhasil membelit tongkat baja putih itu dalam putarannya, maka ia yakin, bah wa tongkat itu akan terlepas dari tangan perempuan itu dan jatuh ke-tangannya. Karena itu, maka iapun telah memberikan isyarat untuk mempersempit lingkaran. De

ngan ancang-ancang yang cukup, maka Ki Ajarpun telah memutar tongkat baja pendeknya. Sementara itu ia telah menjulurkan rantai tongkatnya itu, sehingga tangannya berpegangan p ada tongkat pendek diujung yang lain. Ki Ajar berharap untuk dapat membelit tongkat baja putih Sekar Mirah. Ia harus b ergeser dari putaran selangkah untuk dapat menggapai tongkat Sekar Mirah dengan rantai yang b erkait pada tongkat-tongkat pendeknya. Namun ketajaman penglihatan Agung Sedayu telah mengisyaratkannya kepadanya renca na Ki Ajar itu. Karena itu, maka Agung Sedayupun telah bersiap siap pula. Bahkan bukan saja Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan Ki Jayaragapun telah menunggu pula, apa yang akan dil akukan oleh Ki Ajar. Sebenarnyalah, dalam putaran berikutnya, tongkat Ki Ajar yang berputar diatas ke palanya itu tiba-tiba berubah arah. Dengan cepat tongkat itu telah menggeser bidang putarann ya sehingga tiba-tiba saja tongkat itu telah menyambar Sekar Mirah. Sekar Mirah memang berusaha menangkis serangan itu, karena ia tidak menyadari re ncana lawannya. Ia hanya meningkatkan kekuatan cadangannya agar dalam benturan yang te rjadi, tongkatnya tidak terlepas dari tangannya. Namun ketika benturan itu terjadi, Sekar Mirah terkejut. Rantai yang terikat pad a tongkat baja pendek Ki Ajar itu tiba-tiba telah membelit tongkatnya. Demikian cepat dan kuatn ya sehingga tongkat itu tiba-tiba saja telah terlepas dari tangannya. Sekar Mirah memekik kecil. Jantungnya bagaikan meledak karenanya. Tongkat itu ad alah tongkat pemberian gurunya. Namun yang terjadi kemudian telah mengejutkan pula. Tiba-tiba terdengar ledakan yang menggetarkan jantung. Belum lagi Ki Ajar menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba s aja tongkat dibelitan rantainya itu lolos bagaikan terhisap oleh kekuatan yang sangat besar. Tongkat itu bagaikan terbang. Namun kemudian tongkat itu telah tertangkap oleh tangan Agung Sedayu. Ki Ajar yang kemudian menyadari apa yang terjadi mengumpat habis-habisan. Sement ara itu, putaran itu justru telah terganggu karenanya; Ki Ajar sendiri hampir terhenti sama sekali. Namun kemudian putaran itupun telah bergerak kembali. Tetapi tidak terlalu cepat. Sementara itu Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Agung Sedayu yang berdiri Bukan salahmu. Kekuatan disampingnya telah memberikan tongkat itu sambil berkata orang itu memang luar biasa. Hati-hatilah. Mungkin ia akan melakukannya lagi. Usahakan unt uk mengelakkan saja serangannya. Tetapi agaknya aku sependapat untuk menghentikan s aja permainan ini. Memang menjemukan kakang. Sementara itu mereka akan dapat memilih sasaran yang

mereka anggap paling lemah. berkata Sekar Mirah lirih. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya kepada Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga Kita hentikan mereka. Ki Jayaraga tertawa pendek. Katanya kau juga sudah jemu? Sebenarnya aku sudah je mu sejak tadi. Tetapi aku tahu maksudmu. Kau berharap agar mereka menjadi letih den gan sendirinya. Namun agaknya untuk itu diperlukan waktu yang lama, sementara mereka mendapat kesempatan lebih banyak untuk menyerang. Sedangkan putaran itu memang dapat memb uat kita semakin lama semakin pening. Mereka sendiri tidak menjadi pening, karena mereka melakukan latihan bertahun-tahun untuk itu. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Gringsing berkata Kita akan menyerang khusus orang terkuat diantara mereka. Guru dan sekaligus orang yang pa ling mendendam karena kematian muridnya itu. Dengan demikian, maka ketiga orang yang berada ditengah-tengah lingkaran itupun segera bersiap. Apalagi ketika mereka melihat Ki Ajar nampaknya telah mulai meningkatka n kekuatannya pula. Agaknya ia akan berusaha lagi untuk merebut tongkat Sekar Mirah yang telah kembali kepada perempuan itu. Agung Sedayulah yang kemudian memberikan isyarat kepada Ki Jayaraga dan Kiai Gri ngsing. Mereka bertigalah yang kemudian bergeser selangkah maju. Sementara itu Kiai Grin gsing berbisik kepada Pandan Wangi beradalah didalam bersama Sekar Mirah. Pandan Wangi berpaling kearah Sekar Mirah. Agaknya Agung Sedayupun telah minta a gar Sekar Mirah berada didalam. Maksudnya didalam lingkaran yang dibuat oleh Agung S edayu, Ki Jayaraga dan Kiai Gringsing. Ki Ajar mengerutkan keningnya melihat perubahan tatanan dari kelima orang yang m enjadi sasaran mereka itu. Dengan geram ia berkata Ternyata perempuan yang hadir dimeda n ini tidak lebih dari perempuan kebanyakan. Ternyata mereka hanya berani menyombongkan diri di-bawah perlindungan orang lain. Aku kira mereka benar-benar seorang yang berilmu tinggi . Hati Sekar Mirah dan Pandan Wangi memang terbakar. Namun Agung Sedayulah yang te lah menjawab Satu pernyataan yang menarik sekali dari seorang guru sebuah perguruan yang besar. Ki Ajar menggeram. Namun tiba-tiba saja demikian ia meluncur dihadapan Agung Sed ayu, tongkat pendeknya yang terkait pada ujung rantai itu meluncur dengan cepat nya m engarah ke dahi Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu sama sekali tidak terkejut karenanya. Dengan gerak yang tidak kalah cepatnya ia merendah, sehingga tongkat itu meluncur diatas ubun-ubunnya. Namun seperti yang sudah disepakati bersama Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga, maka mereka benar-benar ingin memecah putaran yang ternyata memang menjemukan itu.

Karena itu, maka sejenak kemudian, cambuk Agung Sedayupun telah meledak menyamba r salah seorang diantara murid Ki Ajar yang berlari berputaran disekitarnya. Tetapi Agung Sedayu belum bersungguh-sungguh. Itulah sebabnya, maka demikian ora ng itu bergeser keluar dari lingkaran selangkah, maka serangan itu tidak mengenainya. N amun pada saat itu, orang yang berlari dibelakangnya telah mengayunkan tongkat pendek diuj ung rantainya menyerang lambung Agung Sedayu. Agung Sedayu bergeser surut. Tetapi sekali lagi cambuknya bergetar. Orang itupun berusaha menghindar pula seperti yang telah dilakukan oleh kawannya, Kemudian meloncat ke mbali kedalam lingkaran dan .berputar dengan kecepatan yang semakin tinggi. Namun ternyata orang dibelakangnya tidak dapat menyerang Agung Sedayu sebagaiman a dilakukan oleh saudaranya yang berada didepannya. Tiba-tiba saja Ki Jayaraga tel ah menggerakkan ikat kepalanya pula. Ia memutar ikat kepalanya dan kemudian menghen takkannya dengan satu sudut dari ikat kepalanya itu . Memang luar biasa. Hentakan ikat kepala itu telah menimbulkan bunyi yang menggeb u. Meskipun tidak mengenai orang yang sedang bergerak didepannya, namun rasa-rasany a angin yang kencang telah bertiup, menampar wajahnya, sehingga untuk sejenak orang itu harus memejamkan matanya. Dalam pada itu, orang yang dibelakangnya tidak sempat menyerang pula, karena cam buk Kiai Gringsingpun telah bergetar pula. Bahkan satu serangan mendatar tidak terlalu ke ras telah dilakukan, sehingga dua orang yang berlari didepannya harus merunduk merendah. Ternyata orang-orang yang berputaran melingkar itu tidak lagi mendapat banyak ke sempatan untuk menyerang. Sementara itu, Ki Ajar berusaha untuk menekan ketiga orang lawa nnya. Ia sendiri ingin menjajagi kemampuan ikat kepala Ki Jayaraga. Sehingga karena itu, maka dengan kekuatannya yang sangat besar, Ki. Ajar telah mengayunkan tongkatnya menghantam kearah leher Ki Jayaraga. Namun Ki Jayaraga tidak membenturnya dengan kekerasan. Seperti yang telah dilaku kan, namun dengan lambaran kekuatan yang berlipat, ia merentangkan ikat kepalanya. Ke tika sentuhan terjadi, ia mengendorkan ikat kepalanya. Seperti yang telah dilakukan p ula ia menghentakkannya, namun dengan kemampuan yang jauh lebih tinggi. Sekali lagi Ki Ajar terkejut. Ternyata orang yang bersenjata ikat kepala itupun orang yang berilmu tinggi. Dengan demikian maka Ki Ajar itupun berkesimpulan bahwa kelima orang yang ada di dalam putaran itu memang orang-orang yang pantas disegani. Itulah sebabnya, maka Ki Aj ar itu telah merubah niatnya untuk bertempur dalam kelompok. Sementara itu, Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Kiai Gringsing yang sudah jemu atas

putaran yang membuat mereka pening itupun tiba-tiba saja telah bergerak hampir bersamaan . Cambuk Kiai Gringsing meledak keras sekali, disusul suara ledakan cambuk Agung Sedayu. Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga berdesis Kita bersungguh-sungguh atau tidak? Kenapa? bertanya Agung Sedayu. Jika suara cambuk kalian memekakkan telinga, maka bagiku kalian hanya sekedar ma in-main seperti penunggang kuda kepang saja: desis Ki Jayaraga, Agung Sedayu tersenyum. Namun iapun berdesis Bagi murid-murid orang yang menyebu t dirinya Ki Ajar itu, agaknya sudah cukup. Pada saatnya kita akan berbuat lebih b aik jika perlu. Ki Jayaraga tidak menjawab. Sementara itu, ia melihat putaran itu mekar selangka h, namun Agung Sedayu telah meloncat maju sambil memutar cambuknya. Serentak orang-orang yang berputar itu bersiap menyambutnya. Tetapi bukan hanya Agung Sedayu saja yang bergerak. Kiai Gringsingpun telah meledakkan cambuknya sekali l agi. Lebih keras sehingga orang-orang yang berlari melingkar itu terkejut. Dengan demikian perhatian mereka telah terpecah. Mereka tidak saja memperhatikan cambuk Agung Sedayu, teta pi juga cambuk Kiai Gringsing. Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga bergumam Telingaku tidak tahan mendengarnya. S elaput telingaku dapat pecah karenanya. Kiai Gringsing hanya tertawa saja. Sementara itu, Ki Jayaraga telah memutar ikat kepalanya dan menyerang pula orang-orang yang berlari-lari itu. Orang-orang yang berlari-lari itupun telah bersiap pula untuk menyerang. Semua o rang diantara mereka telah memutar senjata mereka. Tiba-tiba sajk mereka telah berloncatan sam bil mengayunkan tongkat-tongkat pendek mereka yang terkait diujung rantai. Tetapi mereka sama sekali tidak menyentuh sasaran. Bahkan tiba-tiba saja salah s eorang diantara mereka mengeluh tertahan. Ujung cambuk Kiai Gringsing ternyata telah me nyentuh kaki salah seorang diantara mereka. Sentuhan itu tidak terlalu keras, tetapi orang itu seperti terkait kakinya justr u pada saat ia berlari kencang. Karena itu, maka orang itupun tidak mampu lagi mempertahankan keseimban gannya, sehingga ia jatuh terguling ditanah. Untunglah bahwa ia tidak terlempar kearah p ohon-pohon pandan yang berduri tajam. Namun dengan sigap ia telah meloncat bangkit dan kembali memasuki putaran yang k encang itu. Tetapi ternyata untuk kedua kalinya ia telah terlempar dari putaran. Bukan ujung cambuk Kiai Gringsing yang telah mengait kakinya, tetapi ujung cambuk Agung Sedayu. Beberapa orang yang berikut tidak mampu membangun serangan beruntun, karena just ru orang-orang yang ada didalam putaran itu telah menyerang mereka dengan cepat. Ki Ajar sendiri menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja rasa-rasanya putaran itu bu kan saja putaran kelima orang yang nampak itu menjadi semakin kencang. Tetapi pada putara

n itu terasa angin mulai berhembus. Semakin lama semakin keras, sehingga akhirnya telah menja di angin pusaran yang kuat. Inilah yang sebenarnya ditunggu. Jika lingkaran itu tidak mau pecah tentu sesuat u akan dilepaskan oleh Ki Ajar untuk melindungi putarannya. Agaknya semula Ki Ajar mema ng menjajagi kemampuan olah kanuragan orang-orang yang ada didalam putaran itu. Namun kemudia n Ki Ajar ternyata merasa perlu untuk mulai dengan ilmunya. Ia ingin mempercepat usahanya untuk menekan kelima orang yang ternyata memiliki kemampuan kanuragan yang tinggi. Ternyata bahwa angin pusaran itu telah memutar dan mengamburkan pula rerumputan dan daun-daun pandan kering yang berserakan di tanah., Begitu cepatnya angin pusaran itu, sehingga terasa menampar wajah orang-orang yang ada didalam lingkaran itu. Bahkan ketika angin pusaran berhembus semakin keras,, rasa-rasanya mereka berada didalam arus angin yang mem buat mereka sulit untuk bernafas. Apalagi debupun telah ikut berhamburan pula sehingg a lingkungan didalam putaran itu terasa menjadi, bagaikan berkabut oleh debu dan sampah lainn ya. Dalam saat-saat seperti itu maka serangan tongkat pendek dari orang-orang yang b erlari-lari itupun menjadi semakin cepat pula. Datang beruntun susul menyusul. Tetapi serangan itu tidak pernah menyentuh sasaran. Apalagi menggapai Sekar Mira h dan Pandan Wangi yang ada di bagian yang lebih dalam dari Agung Sedayu, Kiai Gringsi ng dan Ki Jayaraga. Untuk beberapa saat, Sekar Mirah dan Pandan Wangi memang mengalami kesulitan unt uk bernafas. Namun ternyata Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tidak memb iarkan hal itu terjadi lebih lama. Wajah-wajah mereka dan pakaian mereka tidak ingin dikotori d engan debu dan sampah kering lebih banyak lagi. Karena itu, maka sejenak kemudian, Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga hampir bersamaan telah menghentakkan senjata mereka masing-masing. Tidak terdengar leda kan yang memekakkan telinga. Cambuk Agung Sedayu dan Kiai Gringsing hanya melontarkan bun yi yang tidak terlalu keras, bahkan terdengar agak lunak. Demikian pula ikat kepala Ki J ayaraga. Hentakkan ilmu yang dilontarkan lewat getaran ujung cambuk dan ikat pinggang itu ternyata akibatnya dahsyat sekali. Angin pusaran yang berputar semakin keras oleh kekuata n ilmu Ki Ajar dibantu oleh murid-muridnya yang telah mengangkat debu dan sampah kering dan mem buat nafas menjadi sesak itu, diikuti oleh serangan beruntun tanpa henti-hentinya, tiba-tib a bagaikan dihembus oleh angin prahara yang dahsyat sekali. Hentakkan angin prahara yang ti ba-tiba itu, telah menyapu angin pusaran yang berputaran disekitar kelima orang yang dikitari oleh Ki Ajar dan

murid-muridnya. Beberapa saat mereka masih menyaksikan putaran angin pusaran itu hanyut oleh ang in prahara sampai beberapa puluh tonggak. Namun kemudian angin pusaran itu telah pe cah berserakkan. Debu dan dedaunan kering yang diangkatnya, telah berhamburan dan ha nyut pula dibawa oleh prahara yang kencang. Ki Ajar memang terkejut sekali. Bersama murid-muridnya ia menyadari, bahwa ketig a orang yang ada didalam lingkaran putarannya memang orang-orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Karena itu, maka kemudian Ki Ajar itu merasa bahwa putaran yang dilakukan itu ti dak akan ada gunanya sama sekali selain menguras tenaga mereka tanpa arti. Dengan demikian maka Ki Ajar itupun telah memberikan isyarat agar putaran itu di hentikan saja. Murid-muridnyapun sependapat. Kemampuan ilmu yang mereka lontarkan dalam p utaran itu tidak memberikan arti apapun juga. Sejenak kemudian, maka kelima orang yang telah menghentikan putaran mereka itu, berdiri tegak masih dalam lingkaran, seakan-akan mengepung kelima orang yang ada didalam lingkaran itu Bukan main geram Ki Ajar. Agung Sedayulah yang bergeser setapak menghadap kearah Ki Ajar itu. Jawabnya Sat u permainan yang mengasikkan. Kalian telah mengotori pakaian kami. Baru pagi tadi aku berganti baju. Sekarang kau kotori bajuku ini. Persetan geram Ki Ajar jangan mengigau seperti orang gila. Nyawamu sedang teranc am. Cobalah bersikap sungguh-sungguh. Agung Sedayu justru tertawa. Katanya Jangan membuat diri sendiri menjadi begitu tegang. Kita sudah menjajagi kemampuan kita masing-masing. Nah, apa katamu sekarang? Kau sombong sekali. Dengan sedikit ilmu yang kau miliki, kau sudah berani menanta ng Ki Ajar Laksana. geram Ki Ajar baiklah. Jangan menyesal jika kau mengalami kesulitan. Aku sudah siap, apapun yang ingin kau lakukan. sahut Agung Sedayu. Ki Ajar menjadi semakin marah. Dengan suara lantang ia berkata aku tantang kau b erperang tanding Agung Sedayu. Kemudian biarlah murid-muridku menyelesaikan kawan-kawanmu dan kedua perempuan itu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang menyadari, bahwa kemungkinan i tu akan terjadi, dan bahkan kemudian memang sudah terjadi. Ki Ajar menantangnya ber perang tanding. Namun bagaimanapun juga Sekar Mirah memang menjadi berdebar-debar. Dengan suara lirih ia berpesan Hati-hatilah kakang. Agung Sedayu tersenyum. Betapapun gelisahnya Sekar Mirah., namun ia tidak akan m ungkin dapat mencegahnya, jika ia tidak ingin mengorbankan harga diri suaminya sebagai, seorang lakilaki

yang berilmu tinggi. Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Ki Ajar itu mendesaknya Jika kau takut Agung Sedayu, siapakah diantara kalian yang akan mewakilinya? Gurunya atau siapa ? Jangan salah sangka sahut Agung Sedayu dengan serta merta ketika Ki Jayaraga ber geser dari tempatnya, Bukankah aku segan melayanimu dengan alasan apapun juga. Tetapi aku memang sedang berpikir, apakah murid-muridmu akan kau korbankan begitu saja? Ata u barangkali ada sesuatu yang luar biasa mungkin akan dapat terjadi? Persetan geram Ki Ajar muridku bukan kanak-kanak lagi di dunia olah kanuragan. B ahkan ilmunya adalah seluruh ilmuku. Jika demikian, celakalah kalian desis Agung Sedayu Glagah Putih adalah anak-anak disini. Ternyata yang anak-anak itu telah mampu membunuh muridmu. Gila Ki Ajar hampir berteriak anak itu membunuh muridku dengan curang dan licik bersama anak-anak yang lain yang bernama Raden Rangga. Tetapi aku kira, ke-licikannya it u adalah keturunan dari kakek nenekmu, dan itu tentu akan menurun kepadamu pula, karena k au adalah sepupunya. Buku 213 AGUNG SEDAYU tertawa. Katanya Kau memang anehaneh saja. Tetapi baiklah. Apapun katamu. Aku terima tantanganmu, dan biarlah murid-muridmu mengenali siapakah isteriku, siapakah Pandan Wangi dan siapakah kedua orang tua itu. Majulah. Aku sudah jemu dengan segala macam bualenmu itu Ki Ajar hampir berteriak. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, Ia masih memegang cambuknya, sementara itu, lawannyapun masih menggenggam senjatanya yang aneh itu. Namun Agung Sedayu sempat berpesan Mungkin kalianpun harus bertempur, jika murid-murid Ki Ajar itu benarbenar berani bertindak atas kalian. Persetan seorang murid Ki Ajar menggeram jika aku diijinkan, aku ingin membunuh dengan tanganku Agung Sedayu. O, begitu. Kenapa gurumu tidak mengijinkan? Mungkin gurumu menyadari, bahwa kau masih terlalu kanak-kanak dalam dunia kanuragan seperti ini. jawab Agung Sedayu. Setan alas orang itu mengumpat. Tetapi Agung Sedayu justru tertawa saja. Ki Ajarlah yang kemudian berkata dengan nada keras Jangan biarkan kata-kata orang yang sudah mendekati masa sekaratnya itu. Aku akan membunuhnya. Tugas kalian adalah membunuh kedua orang perempuan dan kedua orang tua itu. Jika kalian belum berhasil setelah aku menyelesaikan Agung Sedayu, aku akan menyelesaikan mereka pula. Sudah menjadi nasibnya, bahwa mereka bersedia diajak oleh Agung Sedayu datang ketempat ini. Tidak seorangpun yang menjawab diantara keempat orang yang datang bersama Agung Sedayu. Mereka menunggu apa

yang akan dilakukan oleh murid-murid Ki Ajar itu. Sementara itu Agung Sedayupun telah memisahkan dirinya, la telah bersiap memasuki perang tanding karena hal itulah yang dikehendaki oleh Ki Ajar yang kehilangan muridnya karena terbunuh oleh Glagah Putih itu. Sejenak kemudian keduanya telah bersiap. Ki Ajar itu masih juga menggeram Ternyata orang yang bernama Agung Sedayu itu adalah seorang yang kesombongannya sampai menyentuh langit. Tetapi semuanya itu akan berakhir hari ini. Agung Sedayu tersenyum. Katanya Maaf Ki Sanak. Aku bukan bermaksud menyombongkan diri. Tetapi jika kami berhadapan sebap * ' ran, bukankah biasanya kami memang harus membesarkan hati kami sendiri dan berusaha merendahkan lawan? Jika tidak demikian, mungkin aku benarbenar mengalami kecemasan menghadapi Ki Ajar sekarang ini. Persetan bentak Ki Ajar ini adalah puncak dari kesombonganmu itu. Agung Sedayu tidak menjawab lagi, karena ia melihat Ki Ajar itu sudah memutar tongkat baja pendeknya yang terkait pada ujung rantai itu. Orang-orang lain yang ada ditempat terbuka itu sejenak memandangi keduanya dengan jantung berdebar-debar. ' Terlebih lagi Sekar Mirah. Meskipun la tahu, bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu yang tinggi, namun mereka semuanya masih belum mengerti, sampai tingkat yang manakah lawannya yang menyebut dirinya Ki Ajar itu. . Sejenak kemudian, keduanya telah bersiap. Agung Sedayupun telah menggerakkan ujung cambuknya pula. Ki Ajar yang marah itu benar-benar tidak membuang waktu lagi. lapun kemudian mulai menyerang Agung Sedayu, dengan tongkat-tongkatnya dikedua ujung rantai itu. Demikian cepatnya ia mampu mempergunakan senjatanya itu, sehingga tiba-tiba saja ia mulai mendesak Agung Sedayu. Kedua tongkat itu bergantian berputar dan menyambar. Sekali senjata itu berada di tangan kanan. Kemudian beralih ke tangan kiri. Ujung-ujungnya bergantian berputar dan menyambar dengan garangnya. Sekali-sekali tongkat pendek itu mematuk dengan cepatnya. Namun dengan serta merta, tongkat itu telah berputar dan menyambar mendatar. Agung Sedayu memang menghindari serangan itu sambil berloncatan surut. Namun Ki Ajar itu telah memburunya. Ia tidak mau memberi kesempatan sama sekali kepada Agung Sedayu. Sekar Mirah yang gelisah menjadi semakin gelisah. Pandan Wangipun menjadi berdebar-debar juga melihat kemampuan Ki Ajar mempermainkan senjatanya. Namun Ki Jayaraga dan Kyai Gringsing masih belum melihat sesuatu yang menggelisahkan. Mereka baru melihat Ki Ajar Itu menunjukkan kemampuannya bermain-main dengan senjatanya. Tetapi sama sekali tidak membahayakan bagi Agung Sedayu. Meskipun Agung Sedayu nampaknya terdesak, tetapi bagi kedua orang tua itu, mereka melihat sekedar keseganan Agung Sedayu melayani permainan lawannya pada tataran muda itu. Sebenarnyalah, permainan Ki Ajar semakin lama menjadi semakin sulit untuk dimengerti. Tongkat baja itu menjadi lebih sering meluncur mematuk dengan kekuatan yang tinggi,

sehingga dengan demikian, maka Agung Se-dayupun menjadi lebih sering, berloncatan menghindar. Namun akhirnya Agung Sedayupun menjadi jemu untuk selalu bergeser menghindar. Ujung cambuknya yang mulai bergetar itu tiba-tiba saja meledak keras sekali, sehingga rasarasanya benar-benar memecahkan selaput telinga. Ki Ajar memang terkejut, sehingga ia justru bergeser setapak surut. Namun Agung Sedayuiah yang kemudian mempermainkan cambuknya. Bahkan, sambil berkata Nah, sekarang lihat, akulah yang akan ganti bermain-main. Persetan geram lawannya. Agung Sedayu tidak menghiraukannya lagi. Cambuknyalah yang kemudian berputaran diatas kepalanya. Namun tiba-tiba telah meledak lagi, melengking keras sekali. Namun ujung cambuk itu seolah-olah dapat bergerak seperti kepala seekor ular Mematuk dan kemudian menyambar cepat sekali. Ki Ajarlah yang bergeser setapak surut. Tetapi tiba-tiba iapun telah meloncat maju dengan menghentakkan tongkat pendeknya. Demikian cepatnya mematuk kearah dada Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu cepat menghindar. Sambil berputar, ia telah mengayunkan cambuknya pula menyambar kaki lawannya. Tetapi lawannya sempat melenting tinggi. Sementara tongkat pendeknya terayun menyambar kearah kepala Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu sempat merendah. Ketika tongkat pendek itu berdesingan diatas kepalanya, maka cambuknya sekali lagi meledak, Bihentakkannya cambuk sendai pancing. Hampir saja ujung cambuk itu mengenai lambung Ki Ajar, tetapi dengan tangkasnya Ki Ajar sempat mengelak. Dengan demikian maka pertempuran itu menjadi semakin sengit dan cepat. Namun Kiai Gringsing dan Ki Jaya-raga niusih belum banyak menaruh perhatian. Keduanya masih be*main-main saja beradu ketrampilan. Namun belum beradu ilmu. Namun dalam pada itu, maka keempat murid Ki Ajar-pun mulai bergerak. Seperti yang dikatakan oleh Ki Ajar, mereka harus membinasakan keempat orang yang datang bersama Agung Sedayu itu. Karena itu, maka merekapun segera menempatkan diri masing-masing menghadapi seorang lawan. Yang tertua diantara merekalah yang kemudian mengatur orang-orangnya. Ia sendiri siap menghadapi Kiai Gringsing yang dikatakan guru Agung Sedayu. Namun orang ini nampaknya seperti orang yang sudah hampir pikun. Kemudian yang lebih muda daripadanya harus menghadapi Ki Jayaraga, sedang dua orang yang lebih muda lagi akan menghadapi Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Sekar Mirah dan Pandan Wangipun telah bergeser pula untuk mendapatkan tempat yang lebih lapang tanpa mengganggu Agung Sedayu yang sedang bertempur melawan Ki Ajar. Sementara itu, Ki Jayaraga dan Kiai Gringsing seakan-akan tidak menghiraukan lagi kedua orang yang siap menerkamnya dengan senjatanya itu. Mereka masih saja memperhatikan pertempuran antara Agung Sedayu dan Ki Ajar. Kakek tua geram murid tertua Ki Ajar marilah, aku ingin

mempercepat masa kematianmu. Tunggu Ki Sanak jawab Kiai Gringsing bagaimana jika kita melihat saja dahulu pertempuran antara Agung Sedayu dan Gurumu itu? Persetan geram murid Ki Ajar yang tertua melawan atau tidak melawan, maka kau akan aku bunuh, Silahkan jawab Kiai Gringsing aku tidak akan mempersoalkannya. Tetapi aku hanya ingin memberikan kesempatan kepadamu untuk melihat, kapan gurumu itu mati. Setan geram orang itu bersiaplah. Aku akan mulai. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi orang itu agaknya benar-benar akan mulai. Karena itu, maka iapun harus bergeser menepi. Sementara itu orang yang berhadapan dengan Ki Jayaragapun tidak kalah kerasnya dari murid tertua Ki Ajar itu. Ia tidak memberi kesempatan kepada Ki Jayaraga untuk berbicara serba sedikit. Tiba-tiba saja senjatanya telah berputar dan langsung menyerang. Karena itu, mau tidak mau Ki Jayaraga harus melayaninya. Selain orang-orang tua itu, maka Sekar Mirah dan Pandan Wangipun telah mulai bertempur pula. Lawan-lawan mereka juga tidak mau menunda waktu lebih lama lagi. Mereka sama sekali tidak tertarik untuk melihat gurunya bertempur, karena mereka sendiri telah mendapat tugas daripadanya untuk membunuh orang-orang lain yang ada di arena itu. Murid-murid Ki Ajar itu memang merasa dirinya memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Tetapi ketika mereka berputar mengitari kelima orang lawan mereka itu mereka telah melihat, betapa kedua orang perempuan itu mampu bergerak cepat, sehingga hampir saja putaran itu terganggu. Karena itu, maka kedua orang murid Ki Ajar itu memang bersikap berhati-hati menghadapi kedua perempuan yang garang itu. Sekar Mirah yang memang sudah tidak sabar lagi, telah memutar tongkat baja putihnya. Ketika tongkat pendek lawannya mulai mematuk, maka dengan tangkasnya Sekar Mirah telah memukul tongkat itu dengan kerasnya. Namun Sekar Mirah harus tetap mengingat, bahwa jika rantai senjata lawannya itu membelit tongkatnya, maka belitan itu akan dapat membahayakan tongkatnya itu. Sementara itu Pandan Wangi yang bersenjata rangkap telah memutar senjatanya pula. Sekali-sekali kedua pedangnya itu bersilang di dadanya. Namun kemudian sebuah terjulur lurus, sementara yang lain terangkat tinggi-tinggi. Namun kemudian pedang yang terangkat itulah yang justru menyambar lawannya bersamaan dengan saat-saat Pandan Wangi bergeser maju selangkah. Tetapi iapun menyadari, seperti yang telah terjadi atas Sekar Mirah. Pedangnya, apalagi pergelangan tangannya jangan sampai terjerat oleh belitan senjata lawannya. Meskipun murid-murid Ki Ajar itu tentu belum memiliki ketrampilan dan kekuatan sebagaimana gurunya, namun mereka tetap merupakan orang-orang yang berbahaya. Namun setelah pertempuran itu terjadi beberapa saat, ternyata murid-murid Ki Ajar itu bukannya orang-orang yang harus ditakuti. Sekar Mirah dan Pandan Wangi mulai dapat menyusun perlawanan untuk mengimbangi kemampuan kedua orang lawannya yang pada mulanya menghentakhentak itu.

Dalam pada itu, dengan malas Kiai Gringsing melayani lawannya. Meskipun demikian Kiai Gringsing tetap berhatihati. Bagaimanapun juga, ia pantang untuk meremehkan lawan yang diketahui bagaimanapun lemahnya, karena setiap orang agaknya memang mempunyai kelemahannya sendiri'. Demikian pula Ki Jayaraga. Lawan Ki Jayaraga ternyata adalah seorang yang sangat garang. Sejak semula ia telah bertempur dengan keras dan kasar. Namun demikian, sulit baginya untuk dapat menguasai Ki Jayaraga. Sementara itu, Ki Ajar yang bertempur melawan Agung Sedayu telah mempercepat geraknya. Ia telah menunjukkan satu permainan dengan senjata dengan sangat mengagumkan sekali. Namun demikian, ternyata Agung Sedayupun telah mengimbanginya. Ia menggerakkan juntai cambuknya dengan tangkasnya. Sekali-sekali terdengar ujung cambuk itu meledak keras sekali, sehingga seakan-akan daun-daun pandan di seluruh hutan bahkan sampai kerawa-rawa pantai itu tergetar: Namun akhirnya Ki Ajar menyadari, bahwa ketrampilannya bermain senjata tidak mampu mendesak Agung Sedayu. Karena itu, maka iapun harus mulai dengan satu sikap yang lain. Ki Ajar harus mulai menunjukkan, bahwa ia memang seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Ia yang berada disebuah perguruan yang disegani, bahkan menjadi orang yang paling besar di perguruan itu. Karena itu, maka ia harus mampu menguasai lawannya, apalagi disaksikan oleh murid-muridnya. Jika ia gagal mengalahkan Agung Sedayu, maka ia tidak akan dapat berkata banyak kepada murid-muridnya lagi, bahwa ia adalah orang terbesar dari semua perguruan. Bahkan perguruan Nagaraga sekalipun. Sehingga dengan kebesarannya itu, maka ia adalah orang pertama yang diperlukan oleh para Adipati yang tidak dapat menerima kehadiran Mataram untuk menggantikan Pajang dengan alasan apapun juga. Dengan demikian, maka Ki Ajar itupun mulai dengan pengetrapan ilmunya. Ki Ajar merasa bahwa ia tidak perlu melepaskan ilmu puncaknya untuk mengalahkan orang yang masih terhitung muda yang bernama Agung Sedayu itu. Karena itu, maka Ki Ajarpun kemudian berusaha memaksa Agung Sedayu untuk tunduk pada kehendaknya. Ternyata bahwa Ki Ajar adalah orang yang dekat dengan tenaga angin sebagaimana pernah dilakukan bersama keempat muridnya. Untuk menghancurkan Agung Sedayu, maka iapun telah menyadap kekuatan udara dan mempergunakannya menurut kehendaknya. Ketika senjatanya itu berputar, maka rasa-rasanya anginpun telah berputar pula. Ayunan senjata itu seolah-olah telah menghembuskan kekuatan angin menampar tubuh Agung Sedayu. Bukan sekedar tamparan angin, tetapi rasarasanya angin itu mengandung kekuatan yang dapat mencengkamnya, membuat tusukan-tusukan kecil seolah-olah ujung-ujung duri yang menyengat kulitnya. Meskipun tidak membuat tubuhnya terganggu apalagi ter-luka, tetapi tusukantusukan itu benar-benar mengganggunya. Permainan macam apa ini? bertanya Agung Sedayu didalam hatinya satu jenis ilmu yang jika dikembangkan akan menjadi sangat berbahaya. Namun Agung Sedayu telah mempersiapkan diri menghadapi pengembangan dari ilmu itu. Jika tusukantusukan

pada kulitnya itu menjadi semakin tajam, maka angin itu tentu akan menjadi alat yang sangat dahsyat untuk dapat membunuh lawannya, karena tubuhnya akan hancur dilubangi oleh tusukan-tusukan yang menghunjam semakin dalam. Meskipun tusukan itu tidak memberikan pertanda dalam ujud kewadagan, tetapi seseorang benar-benar akan merasa dirinya terluka arang keranjang. Demikianlah, serangan Ki Ajar itu telah benar-benar melibat seluruh tubuh Agung Sedayu. Bahkan tongkat pendek diujung rantai itu selain melontarkan hembusan angin yang mengerikan itu, masih juga mematuk dan menyambar langsung kearah tubuh lawannya. Namun kecepatan gerak Agung Sedayu masih selalu mampu menghindari serangan-serangan langsung dari lawannya dengan senjatanya itu. Dalam pada itu, Sekar Mirah yang bertempur dengan salah seorang murid Ki Ajar itu telah meningkat semakin cepat. Tongat baja putih di tangan Sekar Mirah ternyata merupakan senjata yang telah mampu menggetarkan jantung lawannya. Sekar Mirah hampir tidak pernah berusaha untuk menangkisnya. Namun Sekar Mirah tidak mau senjatanya terbelit sekali lagi oleh rantai lawannya, meskipun Sekar Mirah yakin bahwa terhadap murid Ki Ajar itu ia masih akan mampu mempertahankan tongkatnya. Getaran-getaran pada setiap benturan memang terasa mengganggu bagi lawannya. Semakin lama semakin terasa, bahwa tongkat baja putih Sekar Mirah merupakan senjata yang luar biasa. Ayunan yang keras dari tongkat pendek murid Ki Ajar itu, sama sekali tidak mampu menggoncang genggaman tangan Sekar Mirah. Sekar Mirah yang memiliki kecepatan gerak yang tinggi, ternyata sekali-sekali berhasil membingungkan lawannya. Namun karena senjata lawannya yang cukup panjang itu setiap kali diputar mengitari tubuhnya, maka lawannya itu mempunyai kesempatan untuk memperbaiki kedudukannya. Sementara itu, Pandan Wangipun setiap kali berhasil mengacaukan pertahanan lawannya. Sepasang pedangnya bergetar dengan cepat. Setiap kali Pandan Wangi mampu menyusup diantara putaran senjata lawannya dengan ujung pedangnya yang terjulur lurus kedepan. Dengan demikian, maka lawan Pandan Wangi yang semula tidak menyangka bahwa perempuan itu benar-benar memiliki ilmu yang tinggi, menjadi semakin berdebar-debar. Semula lawan Pandan Wangi itu mengira, bahwa Pandan Wangi disegani karena ia adalah suami Swandaru Geni, anak Demang Sangkal Putung, sebagaimana dikatakan oleh seorang saudagar di pinggir Kali Praga itu. Bahkan semakin lama pedang rangkap Pandan Wangi itu rasa-rasanya bergerak semakin cepat melingkar-lingkar, namun setiap kali menyusup disela-sela putaran tongkat pendek yang terkait diujung rantai itu. Murid Ki Ajar yang lain ternyata tidak terlalu banyak dapat berbuat. Namun agaknya Kiai Gringsing dan kemudian juga Ki Jayaraga, tidak tergesa-gesa mengakhiri pertempuran. Bahkan Kiai Gringsing masih juga memberi kesempatan kepada lawannya untuk merasa mampu memberikan perlawanan. Namun kedua orang murid Ki Ajar itu setiap kali menjadi bingung, apa yang harus dilakukannya untuk menguasai

orang-orang yang dianggapnya sudah mulai mery.di pikun itu. Ternyata bahwa cambuk di tangan Kiai Gringsing itu benarbenar senjata yang sangat sulit untuk ditembus. Meskipun lawannya juga mempergunakan senjata lentur. Bahkan ujung cambuk Kiai Gringsing itu terasa mulai menyentuh kulit lawannya, meskipun Kiai Gringsing masih belum melukainya. Murid Ki Ajar yang tertua, adalah murid Ki Ajar yang telah memiliki sebagian besar kemampuan Ki Ajar. Itulah sebabnya, maka ia merasa bahwa ia akan mampu menyelesaikan lawannya yang telah menjadi rapuh. Sejenak kemudian, maka orang itupun telah mengetrapkan ilmunya pula, sama seperti yang ditrapkan oleh Ki Ajar untuk melawan Agung Sedayu. Kiai Gringsing yang mulai merasa sentuhan-sentuhan sejenis ilmu yang gawat itu. Ilmu itu sebagaimana terjadi pada Agung Sedayu, memang tidak membuat tubuhnya terganggu dan terluka. Tetapi perasaannyalah yang terganggu. Ketika lawannya semakin meningkatkan ilmunya itu, maka Kiai Gringsing mulai tersinggung. Tusukan-tusukan itu rasarasanya menjadi semakin tajam. Karena itulah, maka Kiai Gringsing mulai menghentikan permainan lawannya itu dengan tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk memusatkan nalar budinya pada ilmunya. Kiai Gringsing telah meningkatkan kecepatan gerak cambuknya, sehingga lawannya tidak mampu lagi mengelak atau menangkisnya. Meskipun ujung-ujung ilmu yang dilontarkan lewat angin pusaran itu, masih saja terasa menusuknya. Murid tertua Ki Ajar itu tidak sempat mengembangkan ilmunya. Ujung cambuk Kiai Gringsing benar-benar mulai menyentuhnya. Bukan saja sekedar meraba kulitnya seperti sebelumnya, tetapi ujung cambuk itu tiba-tiba telah melukainya. Ketika murid tertua Ki Ajar itu terkejut, maka yang terjadi kemudian benar-benar diluar nalarnya, bahwa orang tua itu masih mampu bergerak cepat sekali. Ketika murid tertua Ki Ajar itu masih dikejutkan oleh darah yang benar-benar mengalir dari lukanya, maka tiba-tiba saja ujung cambuk Kiai Gringsing telah bergetar dan memungut senjata lawannya. Demikian senjata itu terlepas dari tangannya, maka lawannya itupun terkejut bukan buatan. Untuk sesaat itu menjadi kebingungan. Namun dengan cepat ia berusaha menguasai dirinya. Yang mula-mula dilakukannya adalah meloncat mengambil jarak dari lawannya. Kiai Gringsing yang berhasil merampas senjata lawannya itupun bergeser mendekat pula. Namun kemudian ia terpaksa memperhatikan lawannya yang menilik sikapnya tengah mempersiapkan serangan yang lebih keras. Sebenarnyalah, murid Ki Ajar yang kehilangan senjatanya itu telah bersiap sepenuhnya sampai pada puncak ilmunya. Kesempatan yang sedikit itu telah dipergunakan untuk mempertajam ilmunya yang sudah ditrapkan, sehingga terasa tusukan-tusukan pada kulit Kiai Gringsing menjadi semakin tajam dan dalam. Sementara itu, maka iapun telah mempergunakan senjatanya yang lain untuk mengacaukan ketahanan tubuh orang tua itu.

Dalam pada itu, selagi Kiai Gringsing meningkatkan daya tahan tubuhnya untuk mengatasi perasaannya karena pengaruh ilmu lawannya yang menyerangnya itu, maka beberapa pisau kecil telah menyambarnya. Tetapi Kiai Gringsing tidak banyak mengalami kesulitan. Dengan ujung cambuknya ia telah menghalau seranganserangan itu. Bahkan kemudian katanya Ki Sanak. Sebaiknya kita beristarahat dahulu. Aku ingin melihat apa yang terjadi dengan Agung Sedayu yang bertempur melawan gurumu itu. Persetan geram lawannya. Bagaimanapun juga ia merasa sebagai seorang yang berilmu tinggi. Dengan tangkasnya ia telah mencabut pisau kecil berikutnya dan melemparkannya kearah Kiai Gringsing, beruntun seperti yang telah dilakukannya. Kedua tangannya, kiri dan kanan ternyata memiliki ketangkasan yang sama untuk melontarkan pisaupisaunya. Namun seperti yang terdahulu, maka pisau-pisau itu telah disapu oleh ujung cambuk Kiai Gringsing. Tetapi orang itu tidak mau menyerah. Iapun justru sampai kepada puncak ilmunya, Diacukannya kedua belah tangannya untuk melontarkan angin prahara yang lebih besar lagi dengan ketajaman ilmu yang lebih tinggi, sehingga kulit lawannya akan terasa bagaikan luka tusukan disetiap lembar rambutnya. Namun Kiai Gringsing yang melihat sikap lawannya itu, tiba-tiba telah menghentakkan cambuknya sendai pancing. Cambuk itu tidak meledak terlalu keras. Namun ternyata akibatnya sangat menentukan. Getaran ilmu Kiai Gringsing yang menggelepar dari ujung cambuk itu telah membentur kekuatan ilmu lawannya. Benturan yang dahsyat, namun yang tidak seimbang. Meskipun Kiai Gringsing tidak mengerahkan segenap kemampuannya, namun ternyata bahwa kekuatan ilmunya itu telah melanda murid tertua Ki Ajar. Demikian dahsyatnya, mendorong kembali ilmu yang dilepaskannya, sehingga rasarasanya sebuah kekuatan raksasa telah menghentakkan seluruh isi dadanya. Murid tertua Ki Ajar itu terkejut. Namun ia tidak sempat berbuat banyak. Tiba-tiba saja dadanya serasa menjadi sesak. Beberapa langkah ia terdorong surut. Namun kemudian keseimbangannya pun. segera terganggu. Dengan susah payah ia berusaha untuk tetap berdiri. Meskipun ia berhasil, tetapi nalarnya telah menjadi terengah-engah. Rasa-rasanya seluruh kekuatannya bagaikan terlepas dari dalam dirinya. Nah, bagaimana Ki Sanak? bertanya Kiai Gringsing apakah kau setuju untuk beristirahat sebentar? Orang itu tidak dapat menjawab. Tetapi tubuhnya benarbenar telah menjadi lemah. Untuk beberapa saat ia masih bertahan berdiri tegak. Namun tubuhnya yang lemah itu menjadi gemetar. Akhirnya betapapun juga ia memaksa diri untuk bertahan, akhirnya orang itupun telah jatuh terkulai di tanah. Murid tertua Ki Ajar adalah orang pertama yang kehilangan kesempatan untuk melakukan perlawanan lebih lanjut. Namun ternyata Kiai Gringsing tidak datang mendekat, kemudian melecutkan cambuknya mematahkan tulang belakangnya. Tetapi setelah melihat lawannya itu terjatuh. Kiai Gringsing justru berkata Nah, beristirahatlah. Kau akan sempat berusaha untuk memperbaiki keadaanmu. Jika kau sudah sempat lagi bangkit, maka kita akan meneruskan pertempuran

ini. Lawannya tidak menjawab. Ia memang tidak dapat berbuat apapun juga dalam keadaannya. Tubuhnya benar-benar menjadi sangat lemah. Dadanya serasa tersumbat, sehingga pernafasannya menjadi tersendat-sendat. Sendi-sendinya seolah-olah telah terlepas yang satu dengan yang lain. Meskipun demikian ternyata orang itu masih juga menggeram Kenapa tidak kau bunuh aku sekarang he? Kau sedang tidak berdaya. Aku tidak akan membunuh seseorang dalam keadaan seperti itu. Kau sombong sekali. Jika kau tidak membunuhku sekarang, maka akulah yang akan membunuhmu, suara orang itupun telah bergetar. Bukan saja karena tubuhnya yang bergetar, tetapi juga karena kemarahan yang menghentakhentak di dadanya. Kiai Gringsing tidak menghiraukannya. Iapun kemudian meninggalkan lawannya yang terbaring diam ditanah, di dekat akar-akar pohon pandan yang mencekam, sementara itu sebatang pohon pandan tumbuh menjulang lebih tinggi dari batang-batang yang lain. Dalam pada itu, ternyata Ki Jayaragapun telah menjadi jemu pula. Ia pun ingin melihat apa yang terjadi atas Agung Sedayu dengan jelas. Karena itu, maka iapun telah membuat lawannya tidak berdaya. Namun tidak seperti Kiai Gringsing, Ki Jayaraga menjadi agak marah ketika lawannya mengetrapkan ilmunya yang masih sangat dasar itu. Karena itu, Ki Jayaraga berkata Jangan aneh-aneh Ki Sanak. Beristirahatlah saja lebih dahulu. Saudara muda seperguruan lawan Kiai Gringsing itu sama sekali tidak mampu melawan ketika ikat kepala Ki Jayaraga itu menyentuh tubuhnya. Tiba-tiba saja tubuhnya serasa menjadi lumpuh, meskipun ia tidak mengalami luka sama sekali. Tetapi tubuhnya serasa telah kehabisan darah dan menjadi kehilangan tenaganya dan kemampuannya. Ki Jayaraga kemudian melangkah pula mendekati Kiai Gringsing. Namun keduanya justru lebih tertarik kepada pertempuran yang seru antara Sekar Mirah dan lawannya, serta Pandan Wangi melawan murid Ki Ajar yang lain itu. Namun bagaimanapun juga Sekar Mirah mampu menunjukkan kekuatannya. Ia mampu menggetarkan tangan lawannya setiap kali terjadi benturan. Sementara itu ketrampilan dan kecepatan geraknya benar-benar mempengaruhi pertempuran yang terjadi itu, sehingga lawannya yang merupakan murid yang belum cukup kuat landasan ilmunya itu menjadi bingung, la masih belum mampu melepaskan kekuatan angin yang menusuk kedalam lubanglubang kulit sebagaimana saudara-saudaranya yang lain meskipun ia sudah memiliki ilmu dasar. Namun agaknya murid-murid Ki Ajar yang muda-muda ini, meskipun bukan muda umurnya, lebih menekuni kekuatan ilmu yang lain. ? Dalam keadaan yang terdesak, maka lawan Sekar Mirah yang ternyata juga lawan Pandan Wangi, lebih merasa akrab untuk menyadap tenaga panasnya api. Karena itu, maka dari dalam tubuhnya, rasa-rasanya telah memancar panas keudara di sekelilingnya. Sekar Mirah yang menyadari kekuatan ilmu lawannya itu, telah mempertajam tekanannya. Ia menyerang seperti sikatan

menyambar bilalang di rerumputan. Cepat dan menentukan. Di sela-sela putaran senjata lawannya, Sekar Mirah berhasil menyusupkan ujung tongkat baja Putihnya, sehingga sebelum lawannya sempat mengembangkan ilmunya, maka terasa ujung tongkat baja putih itu menyentuh tubuhnya. Lawan Sekar Mirah itu menggeram. Karena itu, maka iapun menghentakkan ilmunya sampai kepuncak. Terasa udara yang panas telah membakar dirinya. Sekar Mirah memang berusaha untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya. Sementara itu, dengan tangkasnya kakinya berloncatan. Untuk waktu yang cukup lama ia meningkatkan kemampuannya selama ia berada di Tanah Perdikan. Bahkan ia termasuk salah seorang yang mendapat tugas untuk menempa Pasukan Khusus yang dibentuk di Tanah Perdikan Menoreh oleh Mataram. Karena itu Sekar Mirah telah mempergunakan kemampuannya itu untuk menekan lawannya. Kecepatan geraknya memang kadang-kadang membingungkan. Dengan demikian maka pemusatan nalar budi lawannya kadangkadang terganggu sehingga ilmu yang dilontarkannya tidak sepenuhnya memancar dari dalam dirinya. Bahkan kadangkadang dalam keadaan yang sangat sulit karena Sekar Mirah menekannya tanpa memberinya kesempatan, udara yang panas itu telah menurun lagi. Namun kadang-kadang terasa panas itu menerpa wajah Sekar Mirah. Keringatnya mengalir membasahi seluruh tubuhnya. Namun dalam tingkat ilmunya yang tinggi, meskipun pada batas kemampuan kewadagannya, ia mampu bertahan terhadap lawannya. Sementara itu, Pandan Wangipun mengalami keadaan yang serupa. Pedang rangkapnya berputaran dengan cepatnya. Ketika tubuhnya mulai disentuh panasnya udara, maka iapun dengan cepat berusaha untuk menguasai arena pertempuran itu, agar lawannya tidak mampu memusatkan nalar budinya sebagaimana dilakukan Sekar Mirah. Dengan demikian pertempuran antara kedua perempuan itu melawan kedua murid Ki Ajar menjadi semakin sengit. Sekar Mirah dan Pandan Wangi berusaha menguasai ilmu lawannya dengan ketangkasan mereka bermain senjata mereka masingmasing. Dalam pada itu, ternyata ada sesuatu yang dimiliki oleh Pandan Wangi untuk mendesak lawannya. Memang arah peningkatan ilmunya agak berbeda dengan jalur yang ditempuh oleh Swandaru. Pandan Wangi hampir diluar sadarnya, telah memasuki satu tataran ilmu yang sudah jarang adanya. Dengan petunjuk-petunjuk Kiai Gringsing, maka Pandan Wangi sudah berhasil mengembangkannya meskipun baru pada tataran pertama. Dalam pemusatan kemampuannya, maka Pandan Wangi mempunyai kelebihan dalam bermain senjata. Ketajaman senjatanya yang rangkap itu rasa-rasanya dapat mencapai sasaran mendahului ujud wadagnya. Dengan demikian, dalam keadaan yang sulit itu, maka Pandan Wangi telah mengungkapkan kemampuannya. Untuk menahan lontaran kekuatan ilmu lawannya, maka Pandan Wangi telah menyerang lawannya dengan kemampuan ilmunya. Murid Ki Ajar itu ternyata menjadi bingung menghadapi

serangan-serangan Pandan Wangi. Ketika tiba-tiba saja kulitnya tergores ujung pedang, maka iapun segera meloncat surut. Menurut pengamatannya, pedang itu baru saja terjulur di tangan Pandan Wangi, Dengan cepat ia sudah berusaha menangkis tetapi adalah diluar pengertiannya, bahwa ia telah terlambat. Namun Pandan Wangi tidak melepaskannya. Ia tidak mau lawannya mendapat kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya melontarkan udara panas itu dari dalam dirinya berlandaskan ilmunya. Namun ternyata bahwa lawannya memang memiliki ilmu yang tinggi pula. Dengan tangkasnya lawannya mempermainkan senjatanya. Bukan saja senjatanya itu berputaran dengan desing yang mengganggu telinga, tetapi udara panas itu benar-benar telah menghambat gerak Pandan Wangi. Tetapi lawannya yang belum mengenal ilmu Pandan Wangi itu, memang merasa sangat terganggu pula dengan sengatan ujung pedang Pandan Wangi yang berkali-kali mulai menyentuh kulit. Kadang-kadang melukainya, namun kadang kadang hanya tergores pada kulitnya. Dengan demikian, maka sebelum ia berhasil melumpuhkan lawannya dengan udara panas yang memancar dari dalam dirinya itu, maka tubuhnya telah terluka di beberapa tempat, meskipun tidak melumpuhkannya. Sementara itu Sekar Mirahpun telah mengungkapkan segenap kekuatan tenaga cadangannya. Berkali-kali lawannya harus bergeser menjauh karena tongkat baja putih Sekar Mirah memburunya, sementara tangannya sendiri merasa pedih karena benturan senjata yang terjadi. Namun menurut penglihatan Kiai Gringsing dan Jayaraga, kedua perempuan itu pada saatnya akan mengalami kesulitan menghadapi lawannya itu. Meskipun Pandan Wangi sudah dapat melukai lawannya dan bahkan mendesaknya dengan kemampuan ilmunya, bahkan tidak hanya satu dua, tetapi beberapa gores karena kelambatan lawannya, sementara itu Sekar Mirah beberapa kali hampir saja melontarkan senjata lawannya dari tangannya, namun panas yang mencengkam mereka, pada satu ketika tidak akan dapat mereka atasi lagi. Tubuh mereka akan menjadi lemah dan kehilangan tenaga. Dengan demikian maka kecepatan gerak merekapun akan segera terhambat. Karena itu, maka kedua orang tua itu tidak dapat tinggal diam. Betapapun juga, kedua murid Ki Ajar itu adalah orangorang yang sangat berbahaya. Karena itu pula agaknya Glagah Putih dan Raden Rangga telah terlanjur membunuh seorang diantara mereka. Apalagi tugas yang berat dari Panembahan Senapati. Untuk beberapa saat kedua orang itu memperhatikan pertempuran antara keduanya. Lalu tiba-tiba Ki Jayaraga .berbisik Apakah kita akan berbuat sesuatu? Jika tidak, maka aku tidak yakin bahwa kedua perempuan itu akan mampu mengatasinya sebagaimana Raden Rangga dan Glagah Putih. Jadi bagaimana? bertanya Ki Jayaraga. Kita hambat gerak mereka berkata Kiai Gringsing mereka akan berhenti bertempur, Jika keduanya tahu, maka kita akan dimakinya ber kata Ki Jayaraga aku tahu serba sedikit watak Sekar Mirah.

Tetapi jika kita berdiam diri, maka akibatnya mungkin akan parah baginya. berkata Kiai Gringsing. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya Apa yang harus kita lakukan? Sedikit curang bagi perang tanding berkata Kiai Gringsing tetapi kita tujukan kepada kedua belah pihak. Aku tidak tahu apakah mereka mempunyai daya tahan untuk mengatasinya. Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia bertanya Apakah yang akan kita lakukan? Tetapi bukanlah mereka tidak sedang berperang tanding? Kiai Gringsing itupun kemudian mengambil sebuah bumbung kecil. Katanya Aku adalah seorang yang sedikit memahami tentang obat-obatan dan sebangsanya. Karena itu, aku mempunyai serbuk ini. Serbuk yang terbuat sebagian dari biji kecubung yang aku lunakkan dengan berbagai reramuan. Ki Jagaraga mengangguk-angguk. Katanya Baiklah Kiai, dengan demikian kita akan dengan leluasa melihat Agung Sedayu yang bertempur. Nampaknya keduanya telah meningkat sampai pada tataran yang lebih tinggi dari ilmu mereka. Ki Ajar memang bukan orang yang dapat dianggap tidak berarti. Baiklah, aku akan menghembuskan kabut tipis ke-arah kedua lingkaran orang yang bertempur itu. berkata Kiai Gringsing. Ki Jayaraga mengerutkan keningnya. Namun iapun mengangguk-angguk sambil berdesis Jadi ampat orang akan menjadi pingsan? Ya, tetapi tidak berbahaya. Serbuk kecubung di-dalam reramuan ini hanya sedikit sekali. Mereka mungkin akan pingsan. Berbeda dengan mabuk. jawab Kiai Gringsing. Tetapi kau ikut mengawasi. Siapakah yang mempunyai daya tahan yang lebih besar diantara mereka atas serbukku ini, atau bahkan berhasil mengatasinya. Jika yang berhasil mengatasi itu adalah lawan-lawan Sekar Mirah dan Pandan Wangi, maka biarlah kau menyingkirkan mereka surut dari arena dengan caramu. Ki Jayaraga mengangguk. Namun ia bertanya Jika Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang memiliki daya tahan lebih tinggi, apakah mereka dibiarkan mencelakai lawan-lawan mereka? Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya Jangan. Kita akan menangkap mereka hidup-hidup. Kiai Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun telah bergeser lebih dekat. Sementara itu, tiba-tiba saja telah berhembus kabut, justru dari arah rawa-rawa. Tipis sekali. Kabut itu kemudian seolaholah menyelimuti hutan pandan itu. Namun kemudian kabut itu bagaikan terhembus angin dan lenyap. Yang sedikit tersisa adalah justru dimedan pertempuran antara Sekar Mirah dan Pandan Wangi menghadapi lawan masing-masing. Tiba-tiba saja keempat orang itu menjadi pening. Pandangan mata mereka memang menjadi kabur. Rasarasanya kemampuan nalar dan perasaan mereka menjadi kurang wajar. Lawan Sekar Mirah, maupun lawan Pandan Wangi yang menyadari kecepatan gerak lawannya telah berusaha mengambil jarak. Sebenarnya mereka berharap, bahwa pada

saat-saat mendatang dalam pertempuran itu, kemampuan ilmunya yang memancarkan panas dapat segera mempengaruhi lawannya. Namun keadaan mereka telah mendorong mereka untuk mengambil jarak. Sekar Mirah dan Pandan Wangi melihat lawan-lawan mereka telah bergeser surut. Namun keduanya tidak segera mengejar lawan mereka. Bahkan mereka sempat menghubungkan keadaannya dengan kabut tipis yang mulamula datang dari rawa-rawa. Apakah kabut itu mengandung racun yang menguap dari rawa-rawa itu? pertanyaan itu timbul bersamaan dari keempat orang yang telah terhenti bertempur itu. Meskipun kabut itu kemudian hilang, tetapi perasaan pening dan mual tidak hilang bersama dengan kabut itu. Bahkan rasa-rasanya kesadaran merekalah yang menjadi semakin kabur. Ternyata daya tahan mereka setingkat desis Kiai Gringsing didalam hatinya. Sebenarnyalah, keampat orang itu tidak menjadi mutlak pingsan. Tetapi mereka benar-benar tidak lagi memiliki kesadaran yang utuh, sehingga mereka perlahan-lahan telah terduduk, dan bahkan kemudian terbaring. Mereka berempat mulai melayang dalam dunia ketidak sadaran. Yang terjadi kemudian bagaikan mimpi, namun kadang-kadang terdengar juga ditelinga mereka cambuk Agung Sedayu yang meledak. Nah, sudahlah berkata Kiai Gringsing kemudian kepada Ki Jayaraga kita akan melihat apa yang terjadi atas Agung Sedayu. Kedua orang tua itupun kemudian telah beringsut mendekati arena pertempuran antara Agung Sedayu dan Ki Ajar Laksana. Keduanya memang telah merambah ketata-ran ilmu yang lebih tinggi. Namun dalam pada itu, Agung Sedayupun masih sempat juga bertanya Kenapa dengan Sekar Mirah guru? Tidak apa-apa jawab Kiai Gringsing biarlah mereka tertidur dan bermimpi sejenak. Kabut yang timbul dari rawarawa dibawah hutan pandan itu agaknya telah membius mereka. Kabut yang mungkin dibauri oleh sejenis racun yang lemah. Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Ia harus menghadapi lawannya yang semakin garang. Ketika lawannya meningkatkan tekanannya kepada Agung Sedayu, maka terasa hembusan angin yang melibat Agung Sedayu menjadi semakin dingin. Sementara itu, tusukan yang tajam pada setiap lubang kulitnyapun menjadi semakin menghunjam dan pedih, Rasa-rasanya ujung-ujung duri itu semakin dalam menukik kedalam kulit dagingnya, sedangkan tongkat pendek yang sepasang dan dihubungkan dengan rantai ditangan Ki Ajar itu masih saja berdesing menyambarnyambar. Sekali ditangan kanan, sekali ditangan kiri, bergantian kedua tongkat pendek itu menyilang dan mematuk, berayun dan menebas dengan kuatnya. Namun sementara itu cambuk Agung Sedayupun masih juga menyambar-nyambar. Jika mula-mula cambuk itu meledak dengan kerasnya seolah-olah mengoyak selaput telinga, kemudian suaranya menjadi semakin susut menurut pendengaran telinga wadag. Mula-mula lawan Agung Sedayu menganggap bahwa susutnya suara ledakan itu karena Agung Sedayu menjadi

semakin terhimpit oleh ilmu Ki Ajar. Perasaan pedih dan sakit yang menyengat kulit dagingnya. Tetapi kemudian Ki Ajar yang juga berilmu tinggi itu mulai menyadari, bahwa semakin susut suara ledakan cambuk Agung Sedayu, maka kemampuan ilmu yang tergetar dari ujung cambuk itu justru menjadi semakin kuat. Itulah sebabnya, maka agaknya Glagah Putih sudah dengan sengaja menyebut nama sepupunya berkata Ki Ajar itu di dalam hatinya. Sementara itu, Agung Sedayu yang merasakan tusukan kekuatan ilmu lawannya menjadi semakin pedih di kulit dagingnya, maka untuk mencegah kemungkinan yang paling buruk terjadi atas dirinya, maka iapun telah mulai melindungi tubuhnya dengan ilmu kebalnya. Ternyata bahwa pengetrapan ilmu kebal itu tidak diduga sebelumnya oleh lawannya. Ia sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinan bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu yang jarang itu. Karena itu, maka untuk beberapa saat pertempuran masih saja berlangsung tanpa ada perkembangan lebih jauh. Namun lambat laun lawannya mulai melihat kelainan pada Agung Sedayu. Ia nampaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh ilmunya yang jarang ada duanya itu. Tusukan-tusukan pada lubang-lubang kulitnya serta udara yang dingin membeku itu nampaknya tidak mampu melemahkan perlawanan Agung Sedayu. Ternyata bahwa ujung cambuknya masih tetap bergetar dengan lontaran ilmu yang menghentak-hentak dadanya, meskipun suaranya tidak lagi memekakkan telinga. Kesadaran itulah yang memaksa Ki Ajar untuk meningkatkan ilmunya. Tusukan-tusukan itu menjadi semakin tajam dan dalam, Namun tidak berpengaruh lagi pada Agung Sedayu. Ia tidak merasakan sakit dan pedih oleh tusukantusukan itu karena ilmu kebalnya. Namun demikian, Agung Sedayu masih juga selalu menghindari serangan tongkat pendek Ki Ajar. Serangan itu demikian kerasnya, sehingga Agung Sedayu masih harus meyakinkan, apakah tongkattongkat pendek itu tidak menembus ilmu kebalnya. Namun ketika ia berhasil membentur serangan itu dengan ujung cambuknya, maka Agung Sedayu pun yakin, bahwa kekuatan yang terlontar pada senjata Ki Ajar itupun tidak akan menembus ilmu kebalnya, sehingga seandainya tongkat itu mengenai kulitnya, maka kulitnya tidak akan terluka karenanya. Demikianlah pertempuran itu berlangsung, beberapa saat, Agung Sedayu memang tidak akan dapat dilukai lawannya, tetapi serangan-serangan Agung Sedayu pun sulit untuk dapat mengenai sasaran. Lawannya dengan tangkas selalu menghindari setiap serangan ujung cambuk itu, meskipun kadang-kadang dadanyalah yang tertekan. Ki Ajar memang menjadi semakin curiga terhadap lawannya. Nampaknya serangan-serangannya sama sekali tidak menggetarkan seujung rambutpun bagi Agung Sedayu Luar biasa geram Ki Ajar itu setan ini memang berilmu tinggi Ki Ajarpun kemudian telah meningkatkan ilmunya pula. Ia tidak lagi menghiraukan murid-muridnya yang tidak berdaya. Namun agaknya Agung Sedayulah yang

memperingatkannya Ki Ajar. Kau lihat nasib murid-muridmu? Kau datang untuk menuntut balas atas kematian seorang muridmu. Tetapi disini kau akan dapat kehilangan keempat muridmu itu sekaligus. Meskipun kini mereka belum mati, tetapi jika kami menghendaki, mereka akan mati disini. Persetan geram Ki Ajar aku akan membunuh kalian satu persatu. Atau barangkali kalian akan bertempur bersamasama melawanku? Jika demikian akan menjadi lebih baik, karena tugasku akan cepat selesai. Jangan bermimpi berkata Agung Sedayu kau harus melihat kenyataan tentang murid-muridmu itu. Aku tidak peduli geram Ki Ajar tetapi aku datang untuk membuat perhitungan dengan Agung Sedayu. Kecuali jika Agung Sedayu menjadi ketakutan. Bagaimana kau dapat berkata seperti itu. Kita sudah bertempur sahut Agung Sedayu sambil menghindari serangan Ki Ajar. Bagus berkata Ki Ajar dengan nada berat kita selesaikan persoalan diantara kita. Baru aku akan melayani persoalan orang-orang lain disini. Agung Sedayu termangu-mangu. Satu tantangan berperang tanding. Jika semula Ki Ajar bertempur dalam kelompoknya bersama murid-muridnya, maka kini sikapnya semakin tegas. Ia ingin menyelesaikan persoalan muridmuridnya. Kemarahan didalam dadanya tentu bukan hanya karena seorang muridnya yang terbunuh. Tetapi keadaan murid-muridnya yang lain itupun telah membakar jantungnya pula. * Namun dengan demikian maka Agung Sedayupun harus mempersiapkan dirinya sepenuhnya. Tentu bukan hanya sekedar udara dingin dan ujung-ujung yang tajam menusuk lubang-lubang kulitnya. Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Ki Ajar itupun meloncat menyerang sardbil berteriak Kau menjadi ketakutan. Baiklah, jika kau tidak berani menghadapi aku dalam perang tanding, majulah bersama-sama. Ki Ajar akhirnya Agung Sedayu yang menghindar itu menjawab sekali lagi aku masih ingin menawarkan apakah kita bisa menyelesaikan persoalan kita dengan cara lain setelah kau melihat kenyataan tentang murid-muridmu? Persetan bentak Ki Ajar sambil memutar senjatanya. Sekali senjata itu menyambar dahi Agung Sedayu terpaksa meloncat surut. Meskipun ia telah mengetrapkan ilmu kebalnya, namun ia masih belum dengan semata-mata menunjukkan kepada lawannya. Baiklah berkata Agung Sedayu jika kau memang tidak melihat jalan lain. Aku terima tantanganmu. Bagus teriak Ki Ajar kita akan menyelesaikannya dengan tuntas. Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya Apakah artinya tantangan itu. Mereka sudah bertempur sejak semula. Hanya untuk menegaskan, agar kita tidak ikut menangkapnya berkata Kiai Gringsing Pengertian tantangannya itu lebih banyak ditujukan kepada kita. Tidak kepada Agung Sedayu. Ki Jayaraga mengangguk kecil. Namun iapun kemudian berkata meskipun demikian, agaknya kita akan menyaksikan pertempuran yang luar biasa sengitnya. Bagaimana dengan Sekar Mirah dan Pandan Wangi?

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Di pandanginya Ki Jayaraga dengan pertanyaan yang memancar di sorot matanya. Kiai K berkata Ki Jayaraga Aku kira kita dapat memberi kesernpatan kepada Pandan Wangi dan Sekar Mirah untuk menyaksikan pertempuran itu. Maksudmu? bertanya Kiai Gringsing. Bukankah Kiai memiliki jenis obat pemunah racun yang lemah itu, sehingga keduanya menjadi sadar sepenuhnya? bertanya Ki Jayaraga. Maksud Ki Jayaraga, agar keduanya dapat menyaksikan bagaimana Agung Sedayu bertempur ? bertanya Kiai Gringsing. Ya jawab Ki Jayaraga. Ada dua kemungkinan. Jika Agung Sedayu mampu mengatasi lawan-lawannya, mereka akan menjadi berbangga. Tetapi jika Agung Sedayu kemudian terdesak, maka mereka akan mengalami ketegangan-ketegangan yang sangat. desis Kiai Gringsing. Biarlah mereka melihat kenyataan yang terjadi, Apapun ujud kenyataan itu. berkata Ki Jayaraga. Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba ia teringat sikap Swandaru terhadap Agung Sedayu. Agaknya Swandaru mempunyai penilaian yang keliru terhadap tataran ilmu Agung Sedayu, sehingga Swandaru menganggap bahwa Agung Sedayu itu telah ketinggalan daripadanya. Bahkan Swandaru menyesalkan sikap Agung Sedayu yang dianggapnya terlalu malas untuk berusaha meningkatkan ilmunya. Karena itu, maka Kiai Gringsingpun mengangguk-angguk. Ia sependapat untuk menyadarkan Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Jika Pandan Wangi sempat melihat kelebihan Agung Sedayu, maka ia akan dapat berceritera kepada Swandaru. Meskipun Swandaru tidak mudah untuk mempercayainya, tetapi setidak-tidaknya ada penilaian lain terhadap kakak seperguruannya itu selain dari pada kemalasan dan kelemahannya saja. Sementara Agung Sedayu dan Ki Ajar bertempur semakin sengit, maka Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga telah mendekati Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang terbaring. Dengan kemampuannya sebagai seorang yang memahami tentang obat-obatan, maka Kiai Gringsing telah berusaha untuk membuat kedua orang itu sadar. Kiai Gringsing telah memunahkan racun yang lemah yang menyusup kedalam diri kedua orang itu. Namun Kiai Gringsing membiarkan kedua murid Ki Ajar itu tetap terbaring ditempatnya. Ketika Sekar Mirah dan Pandan Wangi menjadi sadar sepenuhnya, maka mereka mulai bertanya tentang diri mereka. Apa yang terjadi? desis Pandan Wangi. Kita masih dalam keadaan yang gawat jawab Kiai Gringsing marilah. Nanti kita akan berbicara panjang tentang diri kita masing-masing. Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun kemudian telah bangkit. Tubuh mereka memang terasa lemah. Marilah berkata Kiai Gringsing Agung Sedayu masih terlibat dalam perang tanding. Sekar Mirah menjadi tegang. Namun iapun segera melihat.

Agung Sedayu yang bertempur melawan Ki Ajar. Tunggu desis Kiai Gringsing ketika Sekar Mirah hampir saja meloncat kita pergi bersama-sama. Sekar Mirah tertegun. Ia tidak sabar lagi menunggu. Ia ingin segera melihat, apa yang telah terjadi dengan suaminya. Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka berempat telah melangkah mendekati arena. Agung Sedayu dan Ki Ajar masih bertempur dengan sengitnya. Sementara itu Ki Ajar telah meningkatkan ilmunya pula ketika ia menyadari, bahwa agaknya Agung Sedayu memiliki perisai yang kuat untuk melindungi dirinya, Agung Sedayu sendiri menjadi berdebar-debar. Lawannya telah mempergunakan ilmunya yang lain. Ki Ajar tidak lagi menusuk-nusuk lubang kulitnya dengan tajamnya udara yang dingin. Tetapi justru sebaliknya. Ki Ajar telah berusaha untuk membakar Agung Sedayu dengan panasnya api yang memancar dari ilmunya. Tongkat pendek yang sepasang ditangan Ki Ajar yang dihubungkan dengan rantai itu telah berubah warnanya menjadi merah membara. Namun ditangan Ki Ajar bara itu sama sekali tidak terasa panas dan apalagi melukai kulitnya. Agung Sedayu terkejut ketika ujung cambuknya telah menyentuh tongkat pendek yang membara itu. Tercium oleh penciumannya yang tajam bau kulit yang tersentuh api. Sebenarnyalah ujung cambuk Agung Sedayu telah digigit oleh panasnya bara api tongkat lawannya. Meskipun juntai cambuk itu tidak terbakar, tetapi yang sedikit, hangus itu telah membaurkan bau yang tajam. Kiai Gringsing, yang disebut orang bercambuk itupun terkejut. Jarang sekali terjadi, panas api mampu menghanguskan juntai cambuknya dan murid-muridnya meskipun hanya seujung rambut. Untuk sesaat Agung Sedayu telah meloncat surut untuk mengambil jarak. Ia sempat mengamati juntai cambuknya yang ternyata memang menjadi agak hitam-hitaman sedikit pada ujungnya. Meskipun hanya setebal ijuk, tetapi dengan demikian Agung Sedayu menyadari, bahwa kekuatan ilmu lawannya itu memang luar biasa. Janget yang telah diolah dan diberi reramuan, sebelum dibuat juntai cambuknya itu, ternyata masih juga dapat dilukai meskipun hanya segores tipis. Kenapa kau Agung Sedayu? bertanya Ki Ajar menyesal! Atau ketakutan? Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya Luar biasa. Aku harus mengakui betapa tajamnya ilmu apimu itu, sehingga ujung cambukku menjadi bergaris hitam. Ki Ajar itu memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Selangkah ia maju sambil memutar senjatanya yang merah membara. Dengan suara lantang ia berkata Sekarang ujung cambukmu terluka hanya setebal rambut. Tetapi dalam puncak ilmuku, maka ujung cambukmu itu akan terbakar dan terputus lebih dari separo. Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Namun jawabnya Mungkin jika aku tidak menggerakkannya sama sekali. Tetapi ketahuilah Ki Ajar. Aku sudah belajar cukup lama untuk mempermainkan juntai cambukku itu, sehingga aku akan dapat menghindarkan ujung cambukku dari panas apimu.

Persetan orang itupun telah meloncat menyerang. Senjatanya berputar cepat. Namun kemudian tongkat pendek diujung rantai itupun telah mematuk cepat sekali. Agung Sedayu meloncat menghindar. Ternyata bahwa iapun mampu bergerak secepat Ki Ajar, sehingga ujung tongkat pendeknya yang merah membara itu tidak menyentuhnya. Meskipun Agung Sedayu telah mengenakan ilmu kebalnya, namun ia merasa masih lebih baik menghindari sentuhan dengan panasnya bara api pada tongkat pendek lawannya. Demikianlah maka pertempuran itupun telah dilanjutkan. Agung Sedayu semakin berhati-hati. Ia tidak lagi membiarkan ujung cambuknya menyentuh senjata Ki Ajar. Namun ternyata bahwa Agung Sedyu memang menguasai senjata. Betapa sulitnya gerak dari ujung cambuk itu. Ki Ajar sama sekali tidak berhasil untuk melibatnya dan dengan demikian membakar ujung cambuk itu dengan panas apinya. Bahkan dengan putaran yang cepat, kemudian hentakan sendai pancing serta ayunan mendatar, membuat lawannya menjadi semakin sibuk. Dengan demikian maka kedua orang itu telah bekerja keras untuk mengatasi kecepatan gerak masing-masing. Namun ternyata bahwa keduanya memang memiliki kemampuan yang mengagumkan. Agung Sedayu yang mempunyai senjata yang berjuntai panjang itu ternyata memiliki kesempatan lebih banyak dari lawannya. Dalam pertarungan kecepatan gerak dan kemampuan mempermainkan senjatanya, ternyata Agung Sedayu mempunyai keuntungan dengan juntai cambuknya itu. Itulah agaknya dalam loncatan-loncatan panjang yang mendebarkan, Agung Sedayu telah berhasil menyentuh lawannya dengan ujung cambuknya. Ujung cambuk yang tidak meledak sekeras ledakan ledakan sebelumnya itu justru telah melontarkan kekuatan yang luar biasa besarnya. Itulah sebabnya, sentuhan kecil dari ujung cambuk Agung Sedayu itu telah mengoyak lengan Ki Ajar yang garang itu. Tidak terlalu dalam. Namun lukapun telah menganga dan darahpun mulai menitik dari luka itu. Wajah Ki Ajar menjadi merah padam. Semerah bara ditangannya. Dengan serta merta ia meloncat mengambil jarak sambil mengumpat kasar. Kau lukai lenganku he? geram Ki Ajar. Agung Sedayu tidak memburunya. Ia berdiri beberapa langkah di hadapan Ki Ajar. Namun yang terjadi sangat mendebarkan jantung Agung Sedayu, bahkan juga Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga, apalagi Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Ki Ajar itu telah menjilat ibu jari tangannya. Kemudian dengan ibu jaringa itu ia telah mengusap luka yang tidak begitu dalam di lengannya. Dengan serta merta luka itu telah menjadi pampat kembali. Darahpun tidak keluar dari lukanya itu. Bukan main desis Agung Sedayu benar-benar seorang yang berilmu tinggi. Ki Ajar agaknya melihat keheranan yang memancar diwajah Agung Sedayu. Tiba-tiba saja iapun telah tertawa berkepanjangan. Disela-sela derai tertawanya ia berkata Kenapa kau menjadi heran Agung Sedayu. Kau baru melihat sebagian kecil dari ilmuku. Marilah, kita akan mempermainkan

ilmu kita masing-masing. Apa yang sebenarnya kau miliki bagiku tidak lebih dari permainan yang menggelikan. Tetapi biarlah kau mendapat kesempatan untuk mengagumi jenisjenis ilmuku sebelum kau benar-benar mati. Kau tidak akan dapat melukai aku, karena setiap luka akan dapat aku sembuhkan. Agung Sedayu mulai benar-benar tersinggung. Karena itu, maka iapun bertekad untuk menunjukkan kemampuan pula, agar lawannya menyadari dengan tataran ilmu yang mana ia berhadapan. Dengan demikian maka Agung Sedayupun telah meningkatkan ilmu kebalnya. Ia benar-benar ingin menunjukkan kepada lawannya, sebagaimana lawannya mampu menunjukkan satu cara yang luar biasa untuk menyembuhkan lukanya. Namun seperti biasanya, jika Agung Sedayu mencapai puncak ilmu kebalnya, maka bukan saja kemampuan ilmu kebalnya menjadi bagaikan berlapis-lapis. Tetapi dari tubuhnya yang dilindungi ilmu kebal itupun telah memancar panas pula, sebagaimana dilakukan oleh lawannya. Dengan demikian, maka agaknya telah berbenturan pancaran panas dari keduabelah pihak, sehingga keduanya merasakan sentuhan dari lontaran ilmu itu. Namun semakin tinggi tingkat ilmu kebal Agung Sedayu yang ditrapkan maka panasnya udara yang dilontarkan lawannya itu menjadi tidak terasa lagi olehnya. Sebaliknya maka dari dalam dirinya, telah memancar udara panas yang semakin meningkat. Tetapi panas yang memancar itu, memang tidak setajam ilmu yang dilontarkan oleh lawannya. Pertempuranpun telah berkembang semakin sengit. Senjata Ki Ajar semakin cepat menyambar-nyambar. Namun Agung Sedayu meman|g sudah bertekad untuk menunjukkan kepada lawannya, bahwa ia mampu mengimbangi kelebihan lawannya meskipun dengan cara yang berbeda. Ketika lawannya kemudian menyerang Agung Sedayu dengan tongkat pendeknya yang membara itu, Agung Sedayu memang dengan sengaja tidak mengelak. Tetapi ia justru menangkis serangan itu. Tidak dengan cambuknya, tetapi dengan tangannya. Ternyata bahwa ilmu kebal Agung Sedayu yang ditrapkan dalam tataran tertinggi itu mampu menjadi perisai terhadap kedahsyatan ilmu lawannya. Tangan Agung Sedayu yang menangkis serangan itu sama sekali tidak terluka. Baik oleh kekuatan ayunan tongkat pendek itu, maupun oleh panasnya bara apinya. Ki Ajar terkejut melihat kemampuan Agung Sedayu itu. Meskipun Agung Sedayu tidak menunjukkan kemampuannya memampatkan luka dengan seketika seperti yang dilakukan oleh Ki Ajar, namun ternyata Agung Sedayu benar-benar memiliki ilmu kebal seperti yang diduganya. Anak iblis geram Ki Ajar dari mana kau pelajari ilmu kebal itu he? Kau tidak usah heran Ki Ajar, sebagaimana aku tidak perlu heran melihat kau mampu menempatkan luka dengan jari-jari yang kau basahi dengan ludahmu jawab Agung Sedayu. Persetan geram Ki Ajar jangan sangka, bahwa aku

tidak akan mampu menembus ilmu kebalmu itu dengan ilmuku berkata Ki Ajar. Agung Sedayu tidak menjawab. Namun serangan Ki Ajarpun menjadi semakin kuat dan keras. Ia berusaha untuk dapat memecahkan perisai ilmu kebal Agung Sedayu. Namun ketika kemudian serangannya itu mengenai pundak Agung Sedayu, maka Agung Sedayu sama sekali tidak terluka karenanya. Betapa geramnya Ki Ajar. Namun ia tidak menyerah. Menurut pengertiannya, maka ilmu kebal bukan ilmu yang tidak dapat ditembus. Itulah sebabnya, maka Ki Ajar itupun telah berusaha untuk dapat menembusnya. Ternyata Ki Ajar masih mampu meningkatkan ilmu apinya. Tongkat pendeknya itu tidak saja sekedar membara. Tetapi kemudian dengan lontaran ilmu yang menghentak, sekalisekali dari ujung tongkat itu seakan-akan telah meluncur bulatan api yang dahsyat sekali. Agung Sedayu yang masih belum pasti dengan tingkat kedahsyatan lontaran ilmu itu, tidak mau menjadi korban karena kelengahannya. Itulah sebabnya maka Agung Sedayu tidak membiarkan bulatan-bulatan api itu menyentuh tubuhnya. Namun ketika Agung Sedayu meloncat menghindar, maka Kenapa kau harus terdengar Ki Ajar itu tertawa. Katanya menghindari seranganku Agung Sedayu? Apakah kau sudah tidak yakin akan kemampuan ilmu kebalmu he? Tetapi Agung Sedayu tidak menjawab. Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba saja Agung Sedayu telah meloncat maju sambil menghentakkan cambuknya sedal pancing. Ki Ajar yang sedang tertawa itu terkejut. Dengan serta merta ia meloncat menghindar. Namun Agung Sedayu tidak melepaskannya. Iapun meloncat memburunya. Sekali lagi cambuknya terayun mendatar. Ki Ajar mencoba menangkis serangan itu dengan senjatanya. Ia justru ingin membelit ujung juntai cambuk itu dan membakarnya. Tetapi Agung Sedayu bergerak lebih cepat. Dengan tangkas ditariknya ujung juntai cambuknya. Namun kemudian cambuk itu justru berputar mendahului senjata Ki Ajar menebas mendatar. Ki Ajar memang meloncat surut. Tetapi ujung juntai cambuk Agung Sedayu ternyata masih menggapainya. Meskipun hanya sentuhan kecil, namun kegarangan ujung cambuk Agung Sedayu itu sempat melukai pundak Ki Ajar. Sekali lagi Ki Ajar meloncat surut. Namun Agung Sedayu tidak membiarkannya. Iapun meloncat memburunya sehingga Ki Ajar harus meloncat lagi selangkah surut. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat menyerangnya, karena tongkat pendek yang membara itu tiba-tiba telah berputar dengan cepatnya, melindungi tubuh Ki Ajar, sehingga seakanakan sebuah lingkaran bara yang besar telah menyelubunginya. Agung Sedayu harus membuat perhitungan untuk membenturkan ujung cambuknya, karena Agung Sedayu tidak mau ujung cambuknya itu tergores lagi oleh panasnya api ilmu Ki Ajar itu. Sambil melindungi dirinya dengan lingkaran bara itu, maka Ki Ajar berusaha untuk memampatkan lukanya yang menganga di pundaknya. Seperti yang telah dilakukan, maka luka itupun dengan

segera telah menjadi pampat kembali. Jangan heran Agung Sedayu berkata Ki Ajar satu kenyataan yang belum pernah kau perhitungkan. Agung Sedayu tidak menjawab. Namun ia harus berbuat sesuatu untuk melawan ilmu Ki Ajar itu. Demikianlah sejenak kemudian maka Ki Ajar itulah yang telah menyerang Agung Sedayu. Dari tongkatnya itu meluncur bulatan-bulatan api yang memburu Agung Sedayu yang berusaha menghindar. Namun demikian cepatnya, sehingga sebuah diantara bulatan api itu telah mengenainya. Agung Sedayu memang harus mengatasi perasaan sakit yang menyengat. Tetapi ternyata ilmu kebalnya cukup kuat untuk melindungi kulitnya sehingga tidak terbakar. Tetapi Agung Sedayu harus menahan perasaan sakit itu. Karena itu maka pada lawannya telah timbul kesan, bahwa serangan itu sama sekali tidak mampu menembus perisai ilmu kebal Agung Sedayu. Jangan menyesali kemampuanmu yang tidak berarti ini Ki Ajar berkata Agung Sedayu. Lawannya menggeram. Terpersit kecemasan disorot matanya, karena ternyata bahwa ilmunya sama sekali tidak mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu. Namun sebaliknya Agung Sedayupun harus menjadi semakin berhati-hati. Ternyata bahwa kemampuan ilmu Ki Ajar itu benar-benar luar biasa. Meskipun tidak dapat melukainya, namun ia mulai merasa sakit. Jika serangan itu datang bergulung-gulung tanpa henti, dan mengenainya semakin deras, maka ia akan merasakan kesakitan itu sehingga pada satu saat, akan sampai pada satu batas Agung Sedayu tidak mampu lagi menyembunyikan perasaan sakit yang tidak teratasi lagi. Dalam pada itu, Ki Ajar itupun kemudian menggeram Kau jangan terlalu sombong Agung Sedayu. Ilmuku masih belum sampai ke puncak. Aku masih mampu meningkatkannya lagi sehingga akhirnya akan memecahkan ilmu kebalmu. Agung Sedayu tersenyum. Katanya Aku memang merasa sekali-sekali kita perlu menyombongkan diri untuk mengguncangkan ketahanan batin lawan kita. Tetapi hal seperti itu hanya terjadi pada anak-anak yang sedang mempelajari serba sedikit olah kanuragan. Tetapi yang sudah memasuki dunia kekerasan seperti kita, maka hal itu tidak penting Ki Ajar. Yang penting adalah, apa yang dapat kita lakukan. Ki Ajar menggeretakkan giginya. Namun kemudian tongkatnya telah berputar lagi. Dua bulatan api meluncur ke arah Agung Sedayu, menyambar kening. Namun Agung Sedayu sempat menghindarinya. Lebih baik aku tidak disentuh sama sekali oleh apimu, meskipun apimu itu tidak mampu menembus ilmu kebalku berkata Agung Sedayu. Ki Ajar menjadi semakin marah. Dengan garangnya ia meloncat mendekati Agung Sedayu. Dalam putaran tongkatnya itu, terdengar desing yang telah mengguncang jantung, seperti suara sendaren di punggung burung merpati yang terbang rendah. Setiap orang yang mendengar desing itu merasakan betapa besar tenaga Ki Ajar itu. Tentu bukan tenaga wajarnya, sehingga merekapun membayangkan bahwa benturan yang

terjadi dengan kekuatan ilmu kebal Agung Sedayu tentu akan menimbulkan getaran yang dahsyat. Bahkan mereka mulai menjadi cemas, apakah kekuatan itu tidak mengguncangkan kekuatan ketahanan ilmu kebal Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu masih mampu menghindari serangan-serangan dengan kecepatan geraknya. Iapun harus memperhitungkan kemungkinan bahwa kekuatan yang besar sekali dari kemampuan ilmu Ki Ajar itu akan mampu menembus ilmu kebalnya sebagaimana bulatan bulatan apinya. Tetapi ternyata bahwa serangan Ki Ajar bukan saja terjadi dari putaran tongkatnya. Bulatan-bulatan api itupun tiha-tiba saja telah menghambur deras sekali. Seperti yang diperhitungkan oleh Agung Sedayu, maka bulatan-bulatan api itu menyerangnya beruntun semakin lama semakin deras sehingga Agung Sedayu harus berloncatan menghindarinya. Ki Ajar yang berilmu tinggi itu memang memperhitungkan bahwa ilmu kebal Agung Sedayu tidak sepenuhnya mampu menahan serangannya, sehingga Agung Sedayu masih harus berloncatan menghindar. Jika ilmu kebalnya itu sepenuhnya mampu menahan serangannya, maka Agung Sedayu tidak akan bersusah payah menghindarinya. Jika Namun Ki Ajar itu masih juga berkata di dalam hati bukan orang ini, maka ia tentu sudah menjadi lumat oleh kekuatan ilmuku. Sebenarnyalah jika sekali-sekali bulatan-bulatan api itu mengenai tubuh Agung Sedayu, memang terasa panasnya menyengat meskipun tidak menghanguskan kulitnya. Tetapi perasaan sakit yang menyentuhnya beruntun itu memang terasa mulai mengganggunya. Agung Sedayu yang masih menahan diri itupun mulai dirayapi oleh kemarahan di dalam hatinya. Sekali-sekali terasa kulitnya bagaikan disentuh ujung jari yang membara. Dengan demikian maka Agung Sedayu itupun mulai mempertimbangkan untuk membalas serangan-serangan itu dengan serangan dari jarak jauh pula. Untuk beberapa saat Agung Sedayu masih berusaha untuk menghindar. Tetapi bulatan-bulatan api itu selalu mengejar kemana ia meloncat. Sentuhan-sentuhan yang terasa panas meskipun tidak membakar kulitnya itupun menjadi sering mengenainya. Karena itu, maka tiba-tiba saja Agung Sedayu itupun telah berdiri tegak menghadap kearah Ki Ajar. Ia tidak menghindar lagi ketika bulatan-bulatan api menyergapnya. Agung Sedayu menggeretakkan giginya. Ia berusaha mengatasi perasaan sakit yang menembus ilmu kebalnya itu. Namun sejenak kemudian, maka meluncurlah ilmunya yang dahsyat. Tiba-tiba saja dari kedua matanya bagaikan memancar sinar yang menyambar lawannya. Ki Ajar terkejut bukan buatan. Ketajaman pengamatan ilmunya yang tinggi menangkap serangan yang meluncur dari mata Agung Sedayu itu, sehingga tiba-tiba saja iapun telah meloncat terguling ditanah. Namun dengan serta merta iapun telah melenting berdiri sambil memandangi wajah Agung Sedayu, agar ia tidak ditusuk serangan lawannya tanpa sesadarnya. Beberapa kali Ki Ajar berloncatan. Sementara itu, iapun telah menyerang Agung Sedayu tanpa henti-hentinya sambil

berusaha menghindari serangan sorot mata Agung Sedayu itu. Agung Sedayu ternyata tidak dapat bertahan terlalu lama. Ia pun merasa perlu sesekali menghindari serangan itu. Demikianlah pertempuran itu telah merambah ke ilmu yang lebih tinggi, sehingga dengan demikian maka di arena itu seakan-akan telah berterbangan loncatan-loncatan ilmu yang melontarkan nafas kematian. Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga menjadi tegang. Apalagi Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Melihat kemampuan Ki Ajar yang sangat tinggi, maka bagaimanapun juga Sekar Mirah memang menjadi cemas. Meskipun ia yakin akan kemampuan Agung Sedayu, tetapi kegelisahan telah mencengkam jantungnya. Lontaran-lontaran ilmu dari kedua belah pihak benar-benar membuatnya menjadi sangat tegang. Pandang Wangi telah memperhatikan pertempuran itu dengan hampir tidak berkedip. Ia bukannya kanak-kanak dalam ilmu kanuragan. Bahkan ia telah memiliki kemampuan yang mendebarkan. Pandan Wangi mampu menyentuh sasaran dengan senjata atau tangannya mendahului ujud wadagnya. Namun melihat pertempuran antara Agung Sedayu dan Ki Ajar itu, jantungnya terasa berdenyut semakin cepat. Setiap kali ia mendengar dari suaminya bahwa Agung Sedayu terlalu malas untuk meningkatkan ilmunya. Meskipun ia pernah menyaksikan sendiri sebelumnya kemampuan Agung Sedayu, namun kini ia menjadi semakin yakin bahwa penilaian suaminya itu jauh dari keadaan yang sebenarnya. Memang berbeda dengan Swandaru yang lebih percaya kepada pengembangan kekuatan wadagnya daripada getaran di dalam dirinya dalam hubungannya dengan alam di sekitarnya serta pemanfaatan kekuatan itu, maka Agung Sedayu telah bertempur bersamaan dengan seluruh kekuatan didalam dan disekitar dirinya. Kemampuannya menyerap kekuatan dan mengungkapkannya berlandaskan pada ilmunya telah membuatnya benar-benar seorang yang luar biasa. Kakang Swandaru harus melihat kemampuan kakang Agung Sedayu berkata PandanWangi didalam hatinya ternyata ia bukan pemalas seperti yang dikatakan oleh kakang Swandaru. Dengan tegang Pandan Wangi mengikuti setiap gerak Agung Sedayu. Jauh lebih banyak yang dapat dilakukannya daripada yang dilakukan oleh Swandaru. Sementara itu pertempuran antara kedua orang itu menjadi semakin sengit. Serangan-serangan yang dilontarkan lewat sorot mata Agung Sedayu memang membuat lawannya menjadi sulit. Meskipun setiap kali ia masih mampu menghamburkan bulatan-bulatan api yang panasnya mampu menembus perisai ilmu kebal Agung Sedayu meskipun tidak sampai melukai kulitnya, namun serangan Agung Sedayu meluncur lebih sering dan lebih dahsyat. Apalagi Ki Ajar sama sekali tidak mampu melindungi dirinya dengan ilmu kebal, atau Tameng Waja atau lembu sekilan atau ilmu yang serupa. Karena itu, maka Ki Ajar harus mengatasinya dengan ilmunya yang lain. Ia tidak dapat selalu berloncatan, berguling, melenting dan gerak-gerak keras yang lain untuk menghindari serangan yang dilontarkan lewat sorot mata Agung Sedayu. Demikianlah, maka sejenak kemudian, orang-orang yang menyaksikan pertempuran itupun menjadi terkejut karenanya.

Pada saat serangan Agung Sedyu memburunya, kemana Ki Ajar menghindar, maka tiba-tiba saja Ki Ajar itu telah lenyap dari pandangan mata mereka. Sejenak Agung Sedayu tertegun. Sekejap ia memang menjadi kebingungan. Namun kematangannya telah mengekangnya dan membuatnya lebih tenang menghadapi keadaan. Apakah Ki Ajar memiliki Aji Penglimunan desis Agung Sedayu jika demikian, maka aku harus lebih berhati-hati. Namun sesaat kemudian, ternyata mereka melihat Ki Ajar itu tiba-tiba telah berdiri tegak ditempat yang lain. Demikian ia hadir, maka serangannya pun telah meluncur susul menyusul menyergap Agung Sedayu. Bulatan-bulatan api yang panasnya melampaui panasnya bara ditangan Ki Ajar itu sendiri. Agung Sedayulah yang kemudian harus berloncatan surut. Ia harus berusaha untuk menghindari bulatan-bulatan itu sebanyak dapat ia lakukan, Ketika satu dua dari bulatanbulatan api itu menyentuhnya, maka terasa panas itu menggigit kulitnya. Namun dengan cepat Agung Sedyu menguasai dirinya. Sejenak kemudian maka serangan-serangannya pun telah meluncur membalas serangan-serangan Ki Ajar. Ternyata bahwa Serangan-serangan Agung Sedayu lebih cepat dari serangan serangan lawannya, sehingga beberapa saat kemudian, sekali lagi Ki Ajar itu mulai terdesak. Tetapi yang mengejutkan itu terjadi lagi. Sekali lagi Ki Ajar itu telah hilang dari tatapan mata wadag, sehingga Agung Sedayu kehilangan sasarannya. Yang telah terjadi itupun teruang kembali. Demikian Ki Ajar itu muncul, maka serangannyapun datang beruntun sehingga Agung Sedayu harus berloncatan menghindarinya, sampai saatnya ia mendapat kesempatan untuk membalas. Demikianlah terjadi berulang kali, Setiap kali Ki Ajar itu hilang. Namun kemudian muncul lagi dengan tiba-tiba sambil menyerang tanpa henti-hentinya. Ketika hal itu terjadi berulang kali, maka Agung Sedayu akhirnya dapat mengambil kesimpulan, bahwa Ki Ajar bukan mempergunakan ilmu panglimunan. Ia tidak mampu melenyapkan diri untuk waktu yang lama. Tetapi ia hanya dapat melenyapkan diri untuk waktu yang pendek, setelah Ki Ajar itu meloncat berpindah tempat. Meskipun demikian, Agung Sedayu itu telah mengalami banyak kesulitan. Ki Ajar muncul ditempat yang justru tidak diduganya. Semakin lama menjadi semakin dekat. Sementara itu tongkatnya kadang-kadang terdengar berdesing keras, sebelum bulatan-bulatan api itu menyerangnya susulmenyusul. Agung Sedayu meningkatkan pula perlawanannya. Tapi setiap kali ia kehilangan lawannya dan muncul di tempat yang lebih dekat. Dengan gerak naluriah, Agung Sedayu meloncat menjauhi arah gerak lawannya. Tetapi ia tidak berhasil, karena lawannya telah memotong arahnya tanpa dapat diperhitungkannya. Karena itu, maka lawannya itupun menjadi semakin dekat. Desing senjatanya semakin tajam menusuk telinga. Agung Sedayu menjadi semakin kesulitan untuk menghindari serangan-serangan lawannya. Setiap kali maka bulatan-bulatan api itu telah menyentuh tubuhnya. Semakin

lama semakin sering. Betapa ia berusaha menghindari namun bulatan-bulatan api itu terus saja memburunya. Karena itu, maka perasaan sakit yang mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu itu semakin sering menggigit kulitnya. Karena itu maka Agung Sedayu telah meningkatkan ilmu kebalnya sampai ke puncak. Meskipun demikian ternyata kemampuan Ki Ajar itu masih saja dapat menembusnya. Bulatan-bulatan api yang tidak sempat dihindari itu masih saja menyengat kulitnya. Tetapi ternyata bahwa Ki Ajar tidak dapat menggapainya terlalu dekat. Bukan saja karena Agung Sedayu telah memutar cambuknya di sekeliling tubuhnya, namun udara di sekitarnya menjadi semakin panas karena peningkatan ilmu kebalnya, justru telah mencapai puncak. Meskipun demikian, kemampuan Ki Ajar itu setiap kali sempat membuat Agung Sedayu bingung mencari arah. Ia sama sekali tidak dapat memperhitungkan, kemana Ki Ajar itu akan meloncat kemudian menyerangnya. Bahkan sekali-sekali Agung Sedayu benar-benar tidak tahu, dimana lawannya berada, namun tiba-tiba saja serangannya telah mengenainya. Ketika beberapa kali serangan yang demikian terjadi, maka Agung Sedayu telah mengambil keputusan untuk mengimbanginya dengan ilmu yang lain. Ia tidak saja menyerang lawannya dengan sorot matanya, justru karena lawannya mampu menyembunyikan arah geraknya, tetapi Agung Sedayu harus dapat mengimbangi tata gerak lawannya. Karena itu, untuk beberapa saat Agung Sedayu itu justru berdiri tegak sambil memeluk cambuknya. Ia tidak menghiraukan perasaan sakit yang menyerangnya susul menyusul. Namun tiba-tiba lawannyalah yang menjadi heran melihat Agung Sedayu yang agak mengabur. Namun tiba-tiba dari dalam dirinya telah muncul ujud yang sama sebagaimana Agung Sedayu sendiri. Dan ujud itu telah bergeser satu ke sebelah kiri dan satu ke sebelah kanan. Setan geram Ki Ajar entah ilmu apa yang dimiliki oleh Agung Sedayu. Tetapi ilmu ini mirip dengan ilmu yang sudah jarang ada. Kadang kawah adi ari-ari. Namun Ki Ajar itu berusaha untuk tetap mengenali Agung Sedayu yang sebenarnya. Ke sasaran itulah seranganserangannya ditujukan. Tetapi ketika ujud itu tidak tinggal diam. Ketiganya kemudian telah bertempur bersama-sama. Ketiganya bergeser dan bergerak saling membaur, sehingga akhirnya, Ki Ajar itu tidak dapat lagi membedakan, yang manakah Agung Sedayu yang mula-mula dihadapi, dan yang. manakah yang muncul sebagai rangkapnya sebagaimana dihadirkan oleh ilmunya. Ki Ajar yang berilmu tinggi itu berpendapat, bahwa jika ia mampu mengenali Agung Sedayu yang sebenarnya, maka ia akan dapat memusatkan serangannya kepada orang itu, sehingga ia tidak akan dipengaruhi oleh ujud ujud rangkapannya. Tetapi ketiga ujud itu tiba-tiba saja telah berlarian dan berloncatan, sehingga akhirnya Ki Ajar menjadi bingung. Itulah sebabnya, maka seolah-olah ia harus melawan tiga orang bersama-sama, tanpa sempat mengenali lagi, yang manakah ujud Agung Sedayu yang sebenarnya.

Ketiga Ujud itu telah menyerangnya bergantian. Ki Ajar memang sempat menghilang. Tetapi demikian ia muncul, maka didekatnya telah berdiri seorang diantara ketiga orang ujud itu. Demikian ia muncul, maka seranganpun menyerangnya dengan cambuknya. Namun yang lain telah menyerangnya dengan sorot matanya. Benar-benar iblis berkata Ki Ajar didalam hatinya dari mana orang ini menyadap ilmu yang gila ini. Tanda-tandanya mirip sekali dengan ilmu kakang kawan adi ari-ari. Ketiga ujud itu seakan-akan mampu berdiri sendiri-sendiri dan bergerak menurut kehendak masing-masing. Tetapi Ki Ajar tidak dapat merenungi keadaan lawannya itu lebih lama lagi. Ia harus bekerja lebih berat untuk mengimbangi gerak ketiga ujud yang membingungkan itu. Demikianlah, pertempuran itu menjadi semakin rumit bagi mereka yang tidak memahami apa yang terjadi. Pandan Wangi benar-benar terpukau oleh peristiwa itu. Bahkan Sekar Mirahpun telah dicengkam pula oleh ketegangan yang semakin menekan. Sementara itu Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga menggamati pertempuran itu dengan saksama. Ilmu yang dikuasai Agung Sedayu itu memang termasuk ilmu yang sudah jarang sekali ditemukan. Namun Agung Sedayu ternyata masih mampu menguasainya dengan baik. Meskipun demikian, kecermatan Ki Ajar menyerang ketiga ujud itu, masih juga mampu sekali-sekali mengenai tubuh Agung Sedayu yang sebenarnya. Meskipun sangat jarang. Tetapi hentakkan-hentakkan ilmu itu memang telah menyakitinya. Pada saat-saat terakhir, Agung Sedayu tidak lagi membiarkan dirinya semakin kesakitan. Karena itulah, maka iapun kemudian benar-benar sampai kepuncak ilmunya. Dengan cambuknya yang menghentak-hentak meskipun tidak meledak mengoyak selaput telinga, namun sentuhannya mampu melukai tubuh lawannya. Meskipun sekali dua kali luka itu segera dapat dipampatkan, tetapi serangan yang diluncurkan lewat sorot matanya, dan sekali-sekali menyentuhnya, betapapun tinggi daya tahan dan ilmunya, namun Ki Ajar sulit untuk dapat bertahan. Dengan demikian, maka perlawanan Ki Ajar itupun semakin lama menjadi semakin terdesak. Setiap kali ia telah meloncat justru berusaha mengambil jarak. Tetapi setiap kali ketiga ujud Agung Sedayu itu selalu memburunya dari arah yang berbeda. Meskipun sekali dua kali ia sempat membuat, ketiga ujud itu mencari-cari arah, namun kemampuan Agung Sedayu itu benar-benar sangat membingungkannya. Tetapi Ki Ajar itu masih belum menyerah. Tiba-tiba saja Ki Ajar itu telah meloncat-loncat, sekali nampak, kemudian menghilang, menuju ketempat yang sejauh-jauhnya dapat dicapainya. Ketika ia kemudian berdiri diantara dua batang pohon pandan raksasa, di pinggir rawa-rawa, maka iapun telah berdiri tegak menghadap kearah lawan-lawannya. Ki Ajar itu pun kemudian telah menggenggam kedua tongkat pendeknya yang terkait pada ujung rantainya dan mengarahkan kedua ujung tongkat itu kepada lawanlawannya. . Bulatan-bulatan api itu meluncar dengan cepatnya susul menyusul, seakan-akan tanpa jarak. Dengan cermat Ki Ajar mengarahkan bulatan-buatan api dari kedua ujung tongkatnya

itu ke sasaran yang yang terdiri dari ketiga ujud Agung Sedayu itu. Ternyata cara yang ditempuh oleh Ki Ajar itu berhasil. Ketiga ujud itu harus berloncatan melenting, berguling dan berloncatan menghindari serangan itu. Sebenarnya1 Agung Sedayu juga merasakan, betapa bulatan-bulatan api itu benar-benar menyentuh dan menggigit kulitnya. Semakin lama terasa menjadi semakin sakit. Susul menyusul. Itulah sebabnya, maka tiba-tiba saja satu diantara ketiga ujud itu telah berdiri tegak dengan tangan bersilang di dada sambil memeluk cambuknya, seperti saat-saat tubuh itu akan tumbuh menjadi tiga. Namun Agung Sedayu kini benar-benar telah berusaha mempergunakan ilmu puncaknya. Ia tidak lagi ingin bertempur terlalu lama. Karena itu, maka iapun telah memusatkan ilmunya tanpa menghiraukan serangan lawannya. Ia masih membiarkan kedua ujudnya yang bergerak dengan sendirinya untuk mengurangi arah serangan Ki Ajar terhadap dirinya dan wadagnya yang sebenarnya. Dengan demikian, maka pancaran sorot matanya itu seakan-akan tubuh Ki Ajar yang memiliki ilmu yang sangat tinggi itu. Namun Ki Ajarpun kemudian menyadari, karena ketajaman penglihatannya atas lawannya, bahwa orang yang berdiri tegak dengan tangan bersilang itulah lawannya yang sangat berbahaya. Karena itu, maka Ki Ajar telah memusatkan serangannya lewat kedua ujung tongkatnya kearah ujud yang satu itu. Demikianlah, dua lontaran ilmu yang sudah benar-benar sampai kepuncak saling menyerang. Sorot mata Agung Sedayu telah menusuk langsung ke dada Ki Ajar, sementara itu bulatan-bulatan api yang tidak kalah garangnya telah membakartubuh Agung Sedayu. Namun ternyata bahwa Agung Sedayu memiliki kelebihan dari lawan-lawannya. Betapapun kulitnya merasa sakit, namun kulitnya itu sama sekali tidak terluka karenanya. Bahkan ilmu kebalnya telah mampu menahan dan melemahkan rasa sakit itu, sehingga untuk beberapa saat masih mampu diatasi oleh Agung Sedayu. Namun demikian, kemarahan yang semakin mencengkam jantungnya oleh serangan-serangan Ki Ajar itu, telah membuat Agung Sedayu benar-benar menghentakkan ilmunya sampai kepuncak. Ki Ajar yang tidak menghindari serangan Agung Sedayu itu merasakan, betapa kedahsyatan ilmu lawannya itu menusuk ke dalam dadanya. Isi dadanya itupun rasa-rasanya bagaikan diremas. Jantungnya tidak lagi mampu berdenyut sebagaimana seharusnya, sementara paru-parunya tidak lagi dapat menampung nafasnya yang memburu. Ki Ajar masih berusaha untuk mengerahkan ilmunya pula. Bulatan-bulatan api itu memang memancar semakin deras. Tetapi hanya untuk sesaat. Sesaat kemudian, maka tatapan matanyapun menjadi semakin meremang. Pandangannya mulai kabur, sehingga ia tidak lagi dapat melihat ujud Agung Sedayu dengan jelas, apalagi kedua ujudnya yang lain yang memang semakin lama menjadi semakin kabur. Perlahanlahan

kedua ujud itu semakin mendekat kearah Agung Sedayu dan akhirnya telah lenyap menyatu. Pada saat yang bersamaan, serangan Ki Ajar pada gelombang yang terakhir itu telah melanda tubuh Agung Sedayu yang masih berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya yang memeluk cambuknya. Demikian dahsyatnya hentakkan terakhir yang susul menyusul itu, sehingga Agung Sedayu yang memiliki ilmu kebal itu harus menyeringai menahan kesakitan yang sangat. Bahkan akhirnya perasaan sakit itu telah benar-benar mempengaruhi ketahanan tubuh Agung Sedayu sehingga telah mampu mengganggu keseimbangannya. Agung Sedayu memang menjadi goyah. Perasaan sakit itu hampir tidak dapat diatasinya, sehingga karena itu, maka tubuhnya mulai terbongkok, sementara lututnya mulai merendah. Namun pada saat-saat Agung Sedayu mengalami kesulitan, Ki Ajar tidak lagi mampu bertahan. Isi dadanya bagaikan telah dilumatkan oleh sorot mata Agung Sedayu yang memancarkan ilmunya yang luar biasa itu. Karena itu, maka Ki Ajarpun telah terguncang pula. Tubuhnya terdorong selangkah surut. Namun kemudian iapun telah kehilangan keseimbangannya, sehingga tubuh itupun terjatuh diantara pohon pandan raksasa dipinggir rawa-rawa itu. Sejenak arena itu menjadi hening. Dalam keadaan yang sulit, Agung Sedayu masih dapat bertahan untuk tetap berdiri. Namun dalam pada itu. Sekar Mirah agaknya tidak lagi dapat menahan diri. Iapun telah berlari kearah Agung Sedayu berdiri. Dengan serta mertaSekar Mirah lalu memeluknya Bagaimana keadaanmu kakang? sambil bertanya sendat Agung Sedayu yang dalam keadaan lemah itu menjawab Aku tidak apa-apa Mirah. Sekar Mirahpun kemudian membantu Agung Sedayu berjalan tertatih-tatih ketepi. Dengan hati-hati Sekar Mirah membantu Agung Sedayu duduk dibawah sebatang pohon pandan yang besar, sehingga akar-akarnya merupakan tempat bersandar yang kuat. Pandan Wangi menarik nafas sambil memalingkan wajahnya. Iapun telah dicengkam oleh kecemasan yang sangat. Namun rasa-rasanya semuanya telah lewat. Ketika Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga mendekati tubuh Ki Ajar yang terbaring, maka Pandan Wangipun telah mengikutinya pula. Ketika mereka semakin dekat, maka Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga pun telah melangkah semakin cepat. Bahkan berlari-lari. Ternyata sebagian tubuh Ki Ajar telah terendam di air rawa-rawa. Dengan tergesa-gesa keduanya telah mengangkat tubuh itu dan membaringkannya di tempat yang kering. Namun Kiai Gringsing itu menarik nafas dalam-dalam. Kemarahan Agung Sedayu ternyata telah menimbulkan akibat yang gawat. Ki Ajar benar-benar dalam keadaan yang sangat parah. Bahkan menurut penglihatan Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga, maka agaknya tidak ada harapan lagi bagi Ki Ajar untuk disembuhkan. Pada saat Kiai Gringsing mengambil obat didalam sebuah bumbung kecil di kantong ikat pinggangnya, maka segalanya telah terlambat. Ki Ajar yang pingsan itu telah

menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi, selain menyilangkan tangannya di dadanya. Untuk sementara, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga hanya dapat menyisihkan tubuh itu menepi, dibawah sebatang pohon pandan yang besar. Merekapun kemudian meninggalkan tubuh itu, dan mendekati tubuh-tubuh lain yang terbaring. Dengan kemampuan pengobatan Kiai Gringsing, maka orang-orang itupun segera menyadari keadaan mereka. Namun rasa-rasanya tubuh mereka menjadi sangat lemah sehingga mereka tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan orang-orang yang berilmu tinggi itu. Kepada mereka Kiai Gringsing pun kemudian berkata Lihatlah. Siapakah yang terbaring itu. Keempat orang yang lemah itu telah memaksa diri untuk melangkah mendekati tubuh yang diam itu. Ketika mereka bersama-sama berjongkok di sampingnya, maka darah mereka serasa berhenti berdenyut. Murid yang tertua dari Ki Ajar itu telah meraba tubuh yang membeku itu. Dengan nada berat ia berdesis Guru telah meninggal. Saudara-saudaranya merasa darahnya melonjak. Tetapi mereka harus mengakui kenyataan yang terjadi atas diri mereka masing-masing. Tubuh mereka yang lemah dan lawan yang yang terlalu kuat. Apa yang dapat kita lakukan? tiba-tiba seorang diantara keempat murid Ki Ajar itu berdesis. Yang tertua diantara keempat orang murid Ki Ajar itu berdesis Kita tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Aku tidak mengira bahwa guru pada akhirnya akan mengalami nasib yang demikian pahitnya. Padahal guru adalah orang yang tidak mungkin terkalahkan. Agaknya Agung Sedayu memang orang yang memiliki ilmu yang tidak ada duanya desis salah seorang diantara murid Ki Ajar itu. Diluar sadar maka mereka serentak berpaling kearah Agung Sedayu yang berada di ujung lain dari tempat yang lapang diantara hutan pandan itu. Murid tertua itu berdesis Agaknya Agung Sedayu juga mengalami kesulitan. Tetapi ia masih mampu bertahan desis salah seorang saudara seperguruannya. Yang lain mengangguk-angguk. Sementara itu, seorang diantara mereka berkata Apakah kita dapat mengambil sikap? Yang tertua diantara murid Ki Ajar itu termangu-mangu. Diluar sadarnya ia memandang berkeliling. Memandang kearah rawa-rawa yang ditumbuhi oleh pohon-pohon pandan. Kita tidak tahu, apakah rawa-rawa itu dalam atau tidak desis yang tertua kita juga tidak tahu, apakah diantara akarakar pandan itu bersembunyi ular air atau tidak. Keempat orang murid Ki Ajar itu menjadi tegang. Namun mereka tidak dapat membicarakan lebih jauh. Beberapa saat kemudian Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga telah mendekati mereka. Ki Sanak berkata Kiai Gringsing marilah. Bawa tubuh Ki Ajar itu ketempat yang lebih baik. Kita harus membawanya ke

banjar dan menyelenggarakannya sebaik-baiknya. Keempat orang murid Ki Ajar itu menjadi tegang. Mereka benar-benar telah kehilangan kesempatan untuk mencari jalan keluar dari tangan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang ternyata menyimpan orang-orang berilmu tinggi. Dengan demikian maka yang dapat mereka lakukan hanyalah melakukan perintah Kiai Gringsing, membawa tubuh gurunya kedekat Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Beberapa langkah disebelah Pandan Wangi berdiri tegak memandangi keempat orang yang membawa tubuh gurunya itu dengan saksama. Namun Pandan Wangi telah menyarungkan sepasang pedangnya. Keempat orang itupun kemudian melihat keadaan Agung Sedayu yang mendebarkan. Ketika Agung Sedayu kemudian berdiri dengan berat, maka nampaklah bahwa pakaiannya telah terkoyak-koyak oleh api Ki Ajar. Namun tubuhnya masih tetap utuh karena ia masih mampu melindungi dirinya dengan ilmu kebalnya, meskipun ia tidak dapat menahan rasa sakit yang sempat menyusup menembusnya. Kiai Gringsingpun kemudian mendekati Agung Sedayu yang sudah berdiri. Namun kemudian iapun menyadari akan keadaan Agung Sedayu. Pakaiannya sudah tidak berujud lagi, sehingga dengan demikian, maka sulit bagi Agung Sedayu untuk kembali dalam keadaan seperti itu. Karena itu, maka Kiai Gringsing itupun kemudian bertanya kepada Agung Sedayu Bagaimana dengan kau dan keadaanmu itu? Badanku sudah terasa membaik guru. Tetapi pakaianku ini desisnya. Sebelum Kiai Gringsing berkata lebih lanjut, maka Ki Jayaragalah yang menyahut Biarlah aku pergi ke padukuhan terdekat. Mungkin aku akan mendapatkan pakaian untuk Agung Sedayu. Jika orang-orang padukuhan itu bertanya? desis Kiai Gringsing. Biarlah aku mengatakan bahwa Agung Sedayu telah terjebur dirawa-rawa. Kudanya tergelincir masuk kedalam air lumpur, sehingga ia memerlukan berganti pakaian jawab Ki Jayaraga. Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun kemudian dipandanginya Agung Sedayu yang masih dibantu oleh Sekar Mirah Baiklah. Silahkan. Ki Jayaragapun segera mengambil kudanya. Sejenak kemudian terdengar kaki kuda itu berderap. Sementara itu, Kiai Gringsing merasa perlu untuk berbicara dengan keempat orang murid Ki Ajar itu. Agaknya mereka dicengkam oleh kebingungan dan ketidak pastian. Karena itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata Ki Sanak. Kami akan membawa Ki Sanak untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Ki Sanak harus menghadap Ki Gede dan mempertanggung jawabkan langkah laku Ki Sanak selama Ki Sanak berada di Tanah Perdikan ini. Sementara itu, kami beri kalian kesempatan untuk menguburkan gurumu. Teserah kepada pilihan kalian. Apakah kalian akan menguburnya disini. Sudah tentu agak jauh dari rawa-rawa itu, agar tubuhnya tidak terendam air. Atau kita akan membawanya ke padukuhan induk Tanah Perdikan dan menguburkannya disana.

Keempat orang itu saling berpandangan sejenak. Yang tertua diantara merekapun bertanya Jika kami membawa ke padukuhan induk, apakah tidak akan ada persoalan yang timbul dengan kehadiran kami diantara orang-orang Tanah Perdikan. Kamilah yang membawa kalian ke padukuhan induk. Dengan demikian maka kamilah yang akan mempertanggungjawabkannya jawab Kiai Gringsing. Keempat orang itu masih nampak ragu-ragu. Namun kemudian yang tertua diantara mereka bertanya Jika kami bawa tubuh guru ke padukuhan induk, dimana kami harus menguburkannya? Tentu dikuburan jawab Kiai Gringsing mungkin ditempat itu, kuburan akan mudah dikenali. Agak berbeda jika kalian menguburkannya disini. Keempat murid Ki Ajar itu mengangguk-angguk. Agaknya mereka memang tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, maka yang tertua itupun kemudian berkata Baiklah Kiai, kami akan membawanya kepadukuhan induk. Namun keempat Orang itupun menyadari, bahwa mereka tentu akan menjadi tawanan orang-orang Tanah Perdikan. Bahkan mungkin mereka masih harus menjawab berbagai macam pertanyaan yang kemudian diajukan oleh para pemimpin Tanah Perdikan itu kepada mereka. Bahkan mungkin dapat terjadi salah paham, sehingga mereka akan diperas untuk menjawab pertanyaan yang tidak mereka ketahui. Tetapi akibat itu memang harus ditanggungkannya. Demikian, maka ketika Kiai Gringsing memerintahkan orang-orang itu mempersiapkan tubuh guru mereka, Agung Sedayu masih sempat membuat sebuah belik kecil dengan menggali pasir tidak jauh dari rawa-rawa. Meskipun airnya yang timbul dari celah-celah pasir itu tidak terlalu jernih, tetapi agaknya lebih bersih dari air rawa-rawa itu. Dengan air itu Agung Sedayu telah mencuci wajahnya. Terasa segarnya air itu merambat sampai ketulang sungsumnya. Namun sejenak kemudian telah terdengar derap kaki kuda. Ketika mereka berpaling mereka melihat Ki Jayaraga menyusup diantara batang-batang pandan, memasuki daerah yang lapang itu. Ini berkata Ki Jayaraga yang sudah turun dari kudanya. Diberikannya selembar kain panjang dan sebuah baju lurik ketan ireng. Aku tidak tahu, apakah baju itu cukup kau pakai atau tidak desis Ki Jayaraga. Terima kasih Sekar Mirahlah yang menyahut sambil menerima pakaian itu. Agung Sedayupun kemudian mengenakan kain panjang itu untuk merangkapi kainnya. Sementara itu, iapun telah melepaskan bajunya yang koyak dan mengenakan baju yang dipinjam oleh Ki Jayaraga itu. Agak terlalu longgar desis Sekar Mirah. Lalu iapun bertanya kepada Ki Jayaraga baju siapa? Derma, penjual nasi dipadukuhan sebelah jawab Ki Jayaraga. Pantas sahut Sekar Mirah Derma yang gemuk itu. Demikianlah, maka segalanya telah siap. Para murid Ki Ajar itu telah menyiapkan tubuh gurunya yang terbunuh

dipeperangan itu melawan Agung Sedayu. Sementara yang lainpun, termasuk Agung Sedayu telah bersiap pula. Kami juga akan bersama Kiai jawab Agung Sedayu. Kau perlu segera beristirahat sahut Kiai Gringsing. Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian iapun bertanya Lalu apa kata Guru jika orang-orang padukuhan yang guru lewati itu bertanya? Kiai Gringsing memandang Ki Jayaraga sejenak. Namun Ki Jayaragalah yang menjawab Biarlah aku yang memberikan keterangan. Aku akan mengatakan bahwa telah terjadi kecelakaan. Kami akan melaporkannya kepada Ki Gede. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah menduga bahwa Ki Jayaraga tentu akan berkata sebagaimana adanya. Tetapi karena Ki Jayaraga sudah banyak dikenal oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, maka agaknya tidak akan ada kesulitan baginya meskipun ia berkata sebenarnya. Demikianlah, maka atas desakan Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga, maka Agung Sedayupun telah mendahului dipunggung kudanya bersama Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Tetapi karena keadaan tubuh Agung Sedayu yang masih lemah dan nyeri dibeberapa bagian, maka mereka bertiga tidak berpacu terlalu cepat. Kuda mereka berlari kecil menyusuri jalan bulak dan padukuhan. Sementara itu Agung Sedayu mengenakan kain rangkap dan baju agak kebesaran. Tetapi perjalanannya tidak banyak menarik perhatian. Apalagi bersamanya adalah Sekar Mirah, isteri Agung Sedayu dan Pandan Wangi, satu-satunya anak perempuan Ki Gede Menoreh. Sekali-sekali mereka memang harus berhenti menjawab beberapa pertanyaan. Namun Agung Sedayu selalu berusaha menyembunyikan perasaan sakit dan pedihnya. Apalagi ketika angin yang sejuk telah mengusap tubuhnya, maka rasarasanya perlahan-lahan perasaan pedih itupun semakin susut. Dalam pada itu. Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga berjalan dibelakang keempat orang yang membawa tubuh gurunya. Sebenarnyalah bahwa banyak orang yang bertanya tentang tubuh itu. Namun seperti yang diduga oleh Agung Sedayu, maka Ki Jayaraga tidak bersama untuk berbohong. Satu pertarungan maut jawab Ki Jayaraga orang ini menantang Agung Sedayu berperang tanding. Adalah nasibnya yang buruk. Akhirnya orang itu terbunuh. Bagaimana dengan Agung Sedayu? bertanya seseorang. Ia sudah kembali lebih dahulu bersama isterinya dan Pandan Wangi jawab Ki Jayaraga. Ya. Aku tadi melihat Agung Sedayu lewat sahut seseorang. Demikianlah, setiap pertanyaan selalu mendapat jawaban yang sama. Ki Jayaraga tidak mau mempersulit diri dengan menyusun jawaban-jawaban yang harus dika-rangkannya. Dengan demikian maka berita tentang perang tanding itu cepat menjalar di, Tanah Perdikan Menoreh. Setiap orang dan apalagi setiap anak mudapun telah membicarakannya. Bahkan para pemimpin kelompok pengawal Tanah Perdikan tidak datang kerumah Agung Sedayu untuk mendapat keterangan yang jelas tentang tubuh itu. Namun ketika anak-anak muda itu datang kerumah Agung Sedayu, maka Agung Sedayu itupun memberitahukan kepada

mereka, bahwa tubuh itu telah dibawa ke rumah Ki Gede. Tubuhku terasa sangat letih oleh perang tanding itu berkata Agung Sedayu Ki Ajar memiliki ilmu yang sangat tinggi, yang hampir saja melumatkan tubuhku. Itulah, karena kecemasanku tentang diriku sendiri, aku telah membunuhnya diluar kesadaranku. Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti bahwa Agung Sedayu memerlukan beristirahat. Karena itulah, maka merekapun tidak terlalu lama berada dirumahnya. Anak-anak muda itu langsung menuju kerumah Ki Gede untuk mendapat sekedar keterangan tentang orang yang terbunuh itu. Ki Jayaragalah yang kemudian menjelaskan kepada mereka, apa yang terjadi dengan Agung Sedayu, dan apa yang terjadi dengan orang itu. Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi seorang diantara mereka berdesis Kenapa Agung Sedayu tidak memberi isyarat kepada kami. Kawannya tiba-tiba saja membentaknya Buat apa memberi isyarat kepada kita. Jika demikian maka tentu akan jatuh korban diantara kita. Tetapi jika orang itu diselesaikannya sendiri, maka tidak akan ada korban yang jatuh. Tetapi Agung Sedayu sendiri terluka desis yang pertama. Bukankah lukanya tidak berbahaya? Ia mempunyai ilmu kebal yang dapat melindungi kulitnya dari luka. Mungkin perasaan sakit dapat menyusup ilmu kebalnya. Tetapi kulitnya tetap tidak terluka sama sekali jawab kawannya. Anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengatakan apapun lagi. Dengan peristiwa itu, maka kekaguman anak-anak Menoreh kepada Agung Sedayu menjadi semakin bertambahtambah. Mereka menganggap bahwa Agung Sedayu termasuk salah seorang diantara mereka yang sulit untuk dikalahkan, meskipun Agung Sedayu termasuk seorang yang masih muda. Dalam pada itu, dirumahnya Agung Sedayu memang berusaha untuk beristirahat sebaik-baiknya. Dengan cairan obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing, tubuh Agung Sedayu yang dibasahi oleh Sekar Mirah terasa menjadi baik. Sementara itu Pandan Wangi yang ikut berada di rumah itu, telah membantu Sekar Mirah dengan merebus air. Aku akan membuat minuman panas berkata Pandan Wangi mudah-mudahan tubuh Agurig Sedayu menjadi semakin baik. Sebenarnyalah ketika ia kemudian meneguk minuman hangat, memang terasa tubuhnya menjadi semakin tegar. Maka keringat kemudian mengalir, maka perasaan pedih dan nyeri itu bagaikan telah hanyut karenanya. Sementara itu, atas perintah Ki Gede, maka beberapa orang pengawai Tanah Perdikan telah membantu keempat murid Ki Ajar itu untuk menguburkan gurunya. Ternyata Ki Gede telah mengijinkan mayat itu dikubur agak terpisah, agar mudah dikenali, meskipun masih tetap berada didalam batas pekuburan. Sebuah batu yang agak besar telah dijadikan pertanda pada kuburan itu. Kemudian ditanaminya sebatang pohon semboja dibawah kuburan itu.

Hari itu, Agung Sedayu benar-benar beristirahat untuk memulihkan keadaannya. Sementara itu keempat orang murid Ki Ajar telah disimpan disebuah ruangan khusus di rumah Ki Gede. Namun dengan demikian, maka harus ada orang-orang khusus yang mengawasi mereka, karena mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Namun orang-orang yang berilmu tinggi itu tidak dapat berbuat apa-apa dihadapan para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Mereka menyadari bahwa Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga adalah orang-orang yang memiliki kemampuan hampir tanpa tanding. Mereka sama sekali tidak tahu apa yang terjadi atas diri mereka pada saat mereka harus bertempur melawan orang tua itu. Dua orang murid Ki Ajar sama sekali tidak mengerti, bagaimana caranya kedua orang tua itu melumpuhkan mereka. Selagi orang-orang itu menjadi tawanan di Tanah Perdikan, maka Ki Jayaraga terpaksa berada di rumah Ki Gede. Bersama Pandan Wangi orang tua itu mendapat tugas untuk mengamati para tawanan disamping sekelompok pengawal terpilih. Tetapi agaknya keempat orang itu sama sekali tidak berniat untuk berbuat sesuatu. Namun demikian Ki Gede selalumemperingatkan kepada para pengawal yang bertugas Jangan lengah. Mungkin mereka sengaja memberikan kesan bahwa mereka sudah tidak berniat untuk berbuat apa-apa. Baru jika kalian lengah, maka mereka berusaha untuk lepas dari tangan kalian. Karena itulah, maka para pengawalpun selalu mengamati keempat tawanan mereka dengan hati-hati. Apalagi mereka menyadari, bahwa keempat orang itu akan dengan mudah dapat menghancurkan dinding. Bahkan dinding yang sekuat apapun. Setiap kelompok pengawal, selalu menempatkan orangorangnya dibeberapa sisi dari bilik tahanan yang khusus itu. Tetapi nampaknya keempat orang itu memang tidak akan melarikan diri. Untuk menekan setiap rencana yang dapat mengacaukan para pengawal, maka setiap kali Ki Jayaraga atau Kiai Gringsing atau Agung Sedayu sendiri yang telah menjadi pulih kembali, menjenguk mereka berganti-ganti. Dengan demikian maka keempat orang itu merasa bahwa mereka selalu diawasi oleh orang-orang berilmu tinggi itu. Dalam pada itu, Agung Sedayu, Kiai Gringsing,. Ki Jayaraga dan Ki Gede telah membicarakan, apakah yang akan mereka lakukan terhadap keempat orang itu. Kita akan mengalami kesulitan jika mereka tetap kita simpan disini. Kita tidak mempunyai tempat yang memadai yang dinding-dindingnya diperbuat dengan batang-batang besi apalagi baja. Atau setidaknya batu berkata Ki Gede. Baiklah berkata Kiai Gringsing jika demikian maka sebaiknya orang-orang itu kita bawa ke Mataram. Kita akan menyerahkan keempat orang itu sekaligus memberikan laporan tentang perjalanan Raden Rangga dan Glagah Putih. Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Katanya Jika demikian aku sependapat Kiai. Mungkin Mataram memiliki tempat yang lebih baik dan memiliki Senapati yang berilmu tinggi, sehingga keempat orang itu bagi Mataram tidak menjadi masalah lagi. Tetapi untuk membawanya ke Mataram

diperlukan orang yang dapat dipercaya sepenuhnya. Karena akan dapat terjadi kemungkinan yang tidak dikehendaki diperjalanan. Biarlah aku bawa bersama saat aku kembali ke Jati Anom Ki Gede. Pandan Wangipun telah terlalu lama meninggalkan suaminya. Melampaui waktu yang sudah dijanjikan berkata Kiai Gringsing. - Tetapi Swandaru tidak akan berkeberatan, karena Pandan Wanefi berada dirumahnya sendiri jawab Ki Gede. Tetapi Swandaru dapat saja menjadi gelisah, karena ia dapat menduga, bahwa ada kemungkinan terjadi sesuatu diperjalanan sehingga Ki Gede menganggap bahwa Pandan Wangi telah berada di Sangkal Putung, sementara itu ternyata ia masih belum sampai berkata Kiai Gringsing. Ki Gede mengangguk-angguk, la memang tidak akan dapat menahan Pandan Wangi lebih lama lagi. Tetapi ia masih juga bertanya tentang keempat orang itu Kiai, apakah Kiai akan membawa keempat orang itu hanya berdua dengan Pandan Wangi? Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun kemudian katanya Aku akan minta Ki Jayaraga dan Agung Sedayu bersama kami ke Mataram, menghadap Panembahan Senapati. Atau jika Panembahan kebetulan tidak ada di istana, atau sedang sibuk, kami dapat menemui Ki Juru Martani yang bergelar Ki Patih Mandaraka. Agung Sedayu dan Ki Jayaraga sama sekali tidak berkeberatan. Mereka memang juga merasa berkewajiban untuk datang menghadap. Apalagi Agung Sedayu. Karena itu, maka mereka memutuskan bahwa dalam waktu dekat, keempat orang itu akan dibawa ke Mataram. Namun sebelumnya mungkin kita akan dapat berbincang dengan mereka berkata Kiai Gringsing. Lalu Mungkin orang-orang yang menyebut dirinya berasal dari Watu Gulung itu mengenali padepokan yang disebut Nagaraga. Ki Gede sependapat. Memang mungkin mereka akan dapat diajak berbicara serba sedikit tentang perguruan Nagaraga, karena mereka juga berasal dari Timur sebagaimana orangorang Nagaraga yang pernah berusaha untuk mencari penyelesaian dengan jalan pintas. Membunuh Panembahan Senapati. Karena itu, maka merekapun telah menentukan waktu yang paling baik untuk berbicara dengan keempat orang itu, sementara Pandan Wangi dan Kiai Gringsing telah mempersiapkan pula perjalanan kembali ke Sangkal Putung. Akhirnya, waktu itu tiba. Kiai Gringsing dan Pandan Wangi telah menentukan, bahwa mereka akan kembali ke Sangkal Putung dikeesokan harinya. Disaat matahari terbit. Akan bersama mereka Agung Sedayu dan Ki Jayaraga. Namun mereka hanya akan sampai ke Mataram untuk menyerahkan keempat orang yang mereka tangkap itu. Tetapi karena mereka akan berjalan bersama Pandan Wangi, serta agar tidak seorang diri dirumah, maka Sekar Mirah dalam perjalanan itu akan ikut pula. Namun sebelum dikeesokan harinya keempat orang itu akan dibawa ke Mataram, maka malam itu keempat orang itu akan diajak berbicara oleh Ki Gede dengan beberapa orang lainnya yang ikut memimpin Tanah Perdikan Menoreh itu. Ketika keempat orang itu dipanggil menghadap, maka keempat orang itu memang menjadi berdebar-debar. Mereka

tidak tahu apakah maksud Ki Gede memanggil mereka. Meskipun mereka sudah mengira bahwa agaknya Ki Gede akan berusaha untuk mengetahui sejauh-jauhnya tentang diri mereka berempat. Sejenak kemudian maka mereka berempat sudah berada di pringgitan. Dengan jantung yang berdebaran mereka melihat disebelah Ki Gede itu duduk beberapa orang yang memang mereka segani. Diantara mereka nampak Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Agung Sedayu yang telah membunuh guru mereka, kemudian Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Marilah Ki Sanak dengan ramah Ki Gede mempersilahkan. Satu sikap yang membuat keempat orang itu semakin berdebar-debar, karena mereka mengenali orang yang menilik sikapnya terlalu ramah, namun tiba-tiba segera berubah menjadi seekor singa, apabila orang itu sudah mengajukan pertanyaan dan tidak terjawab sebagaimana keinginannya. Ki Sanak berkata Ki Gede seterusnya ketahuilah, bahwa kami telah memutuskan, bahwa besok akan kami antarkan ke Mataram. Kalian akan kami titipkan dan bahkan kami serahkan kepada Panembahan Senapati, karena kami tidak mempunyai tempat yang memadai bagi Ki Sanak berempat. Keempat orang itu terkejut. Yang tertua dengan serta merta telah bertanya Pertimbangkan apakah yang telah mendorong Ki Gede untuk melakukan hal itu? Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya Ada berbagai pertimbangan. Persoalan yang terjadi itu mula-mula bersumber pada perselisihan antara kalian dengan dua orang anak muda. Seorang diantaranya adalah Glagah Putih, sepupu dan memang anak itu berada dibawah tanggung jawab Agung Sedayu. Sedang anak muda yang lain adalah Raden Rangga, putera Panembahan Senapati. Sedangkan pertimbangan yang lain adalah, seperti yang sudah aku katakan, disini kami tidak mempunyai tempat yang memadai. Ki Gede, tempat yang Ki Gede berikan kepada kami sudah cukup memadai. Tetapi kami mengerti, mungkin Ki Gede mencemaskan bahwa kami akan melarikan diri berkata yang tertua diantara mereka. Lalu Ki Gede, kami berjanji bahwa kami tidak akan berbuat apa-apa sampai Ki Gede mengambil keputusan, hukuman apakah yang akan Ki Gede jatuhkan kepada kami. Kami sudah berjanji untuk melakukan semua hukuman dengan ikhlas, bahkan hukuman mati sekalipun, karena kami memang merasa bersalah Kamipun merasa heran, bahwa kami tidak dibunuh pada saat-saat pertempuran itu terjadi di hutan pandan. Dengan demikian kami merasa, bahwa kami memang jatuh ke-tangan orangorang yang memiliki kematangan jiwa. Karena itu, maka kami mohon agar kami tetap berada disini sambil menunggu hukuman yang akan dijatuhkan kepada kami. Tidak Ki Sanak berkata Ki Gede kami tidak akan menjatuhkan hukuman apapun. Semuanya terserah kepada Mataram. Tetapi agaknya Matarampun tidak akan menjatuhkan hukuman yang semena-mena. Keempat orang itu memang menjadi semakin berdebardebar. Tetapi Ki Gede berkata selanjutnya tetapi yakinkanlah diri kalian, bahwa Panembahan Senapati akan bertindak adil.

Apalagi kalian tidak menciderai puteranya yang bernama Raden Rangga itu. Murid-murid Ki Ajar itu hanya dapat menundukkan kepalanya. Mereka agaknya memang tidak akan dapat mengusulkan sikap apapun yang pantas diperlakukan atas mereka sendiri. Namun dalam pada itu, Ki Gedepun kemudian berkata Tetapi Ki Sanak. Sebelum kami besok mengantar kalian ke Mataram, kami ingin sedikit mendapat beberapa penjelasan tentang sesuatu yang mungkin Ki Sanak ketahui. Murid-murid Ki Ajar itu menarik nafas dalam-dalam. Itulah yang mereka cemaskan. Pertanyaan-pertanyaan tentu mengandung kemungkinan-kemungkinan yang dapat menyulitkan kedudukan mereka diantara orang-orang yang berilmu tinggi itu. Ki Sanak berkata Ki Gede pula aku mohon kalian dapat memberikan penjelasan kepada kami. Sebenarnyalah ada yang ingin kami ketahui tentang daerah sebelah Timur yang agak buram itu untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas. Keempat orang itu justru menarik nafas dalam-dalam. Namun mereka memang merasa bahwa mereka tidak akan dapat ingkar dari persoalan itu. Memang terbersit juga perasaan kecewa dan menyesal, bahwa mereka telah menelusuri kematian seorang saudara seperguruannya, sehingga akhirnya mereka justru terjebak dalam persoalan yang rumit itu. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Dan mereka berempat sudah berada di dalam tahanan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Segala macam ilmu mereka yang dianggap sudah cukup memadai itu, ternyata tidak banyak berarti di Tanah Perdikan Menoreh, yang dianggapnya semula tidak lebih dari padukuhan-padukuhan dan padesan pada umumnya meskipun dalam kedudukan Tanah Perdikan. Namun ternyata di Tanah Perdikan itu terdapat orang-orang aneh yang tidak pernah dibayangkannya sebelumnya. Ki Sanak suara Ki Gede tetap lunak. Namun terasa menggetarkan jantung keempat orang itu. Ki Gede yang tidak turun ke medan itu tentu juga orang yang pilih tanding Pandan Wangi adalah muridnya, sekaligus satu-satunya anaknya, Yang ingin kami tanyakan, kegiatan apakah yang sedang kalian lakukan selama ini. Apapula yang telah terjadi sehingga Glagah Putih dan Raden Rangga telah membunuh seorang diantara kalian. Murid Ki Ajar yang terlibat langsung dalam pertentangan dengan Raden Rangga dan Glagah Putih itu menjadi semakin berdebar-debar. Namun agaknya saudaranya yang tertualah yang menjawab Ki Gede. Persoalan itu timbul di sebuah padukuhan. Agaknya memang tanpa sebab, Raden Rangga dan Glagah Putih adalah anak-anak muda, sementara saudara seperguruan kami adalah mereka yang masih pada tataran tengahan yang nampaknya masih selalu ingin menunjukkan kelebihannya. Itulah agaknya yang telah mendorong mereka berbenturan. Sehingga akhirnya seorang diantara saudara kami itu terbunuh. Ki Gede termangu-mangu. Sementara itu, salah seorang murid Ki Ajar yang terlibat langsung itu masih saja berdebardebar. Tetapi tentu saja tidak akan dapat mengatakan, bahwa

kedatangan kedua orang murid di padukuhan itu dan kemudian seharusnya di beberapa padukuhan lain adalah dalam rangka mempersiapkan jalur jalan dan persediaan yang harus dikumpulkan menjelang perjalanan pasukan dari Timur. Termasuk daerah subur yang mempunyai persediaan makanan, Karena diperhitungkan bahwa untuk menjatuhkan Mataram sudah tentu tidak akan dapat dilakukan dalam satu dua hari atau satu dua pekan. Sehingga diperlukan bahan makan yang cukup banyak bagi prajurit yang tidak terhitung jumlahnya. Itulah yang terjadi? suara Ki Gede terasa semakin berat menekan perasaan mereka. Keempat orang itu memang menjadi semakin gelisah. Memang Ki Gede nampaknya tidak berbuat kasar. Tetapi rasa-rasanya sesuatu memang dapat terjadi atas mereka. Namun akhirnya Ki Gede itulah yang bertanya lagi Ki Sanak. Menurut pengamatanku, kalian sudah bukan anakanak lagi sebagaimana Raden Rangga dan Glagah Putih. Namun dalam pada itu, akupun yakin bahwa bukan Glagah Putih dan Raden Rangga yang mendahului membuat persoalan, karena aku kenal betul dengan mereka. Nah, coba sebutkan, apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa Ki Ajar, guru kalian telah memaksa diri untuk membela muridnya itu. Yang tertua diantara keempat murid Ki Ajar itu mencoba untuk menjawab Ki Gede. Jika kami ikut campur dalam pertikaian ini, adalah semata-mata karena harga diri dari perguruan kami yang kemudian kami sadari, agak berlebihan. Namun bagaimanapun juga kami menyessi, namun semuanya itu memang tidak akan ada artinya lagi. Ki Gede mengangguk-angguk. Tetapi keempat orang itu menyadari bahwa jawaban itu sama sekali tidak memberikan kepuasan kepada pemimpin Tanah Perdikan Menoreh Itu. Sementara itu Kiai Gringsingpun telah bertanya Ki Sanak. Bagaimana hubungan antara peristiwa yang terjadi itu dengan rencana kalian? Apakah benar kalian hanya ingin bertemu dengan Glagah Putih dan menyelesaikan persoalan yang terjadi itu dengan Glagah Putih saja? Jika kami dapat bertemu dengan Glagah Putih, maka persoalan kami memang akan terbatas jawab murid tertua Ki Ajar. Tetapi kalian tahu, bawa Ki Ajar, guru kalian, telah ikut campur. Mungkin karena harga diri atau dengan alasan apapun. Apakah dengan demikian kalian tidak memperhitungkan, meskipun seandainya kalian dapat bertemu dengan Glagah Putih, bahwa gurunya pun akan ikut campur bertanya Kiai Gringsing Itu sudah kami perhitungkan jawab murid Ki Ajar itu tetapi kami memang salah hitung. Kami mengira bahwa kami cukup kuat untuk menghadapi siapapun juga. Termasuk guru Glagah Putih. Kami tidak mengira sama sekali, bahwa orang yang disebut Agung Sedayu itu mampu mengalahkan guru. Baiklah Ki Sanak berkata Agung Sedayu kemudian kami tidak akan terlalu banyak mendesak tentang diri kalian, perguruan kalian atau persoalan kalian. Tetapi kami minta kalian bersedia sedikit berbicara tentang sebuah perguruan lain. Bukan Watu Gulung. Keempat orang itu menjadi berdebar-debar. Apalagi mereka menyadari bahwa mereka akan dibawa ke Mataram. Persoalan yang sama tentu akan dipersoalkan lagi.

Dalam pada itu, Agung Sedayu berkata selanjutnya Ki Sanak. Sebenarnya yang ingin kami ketahui adalah perguruan Nagaraga. Kami dapat menghubungkan langkah yang kalian ambil dengan langkah yang diambil oleh orang-orang dari perguruan Nagaraga. Karena itu, kami ingin penjelasan kalian, apakah kalian memang mempunyai hubungan dengan perguruan itu atau tidak. Atau malahan kalian merupakan bagian dari perguruan itu. Watu Gulung sekedar kau sebut tanpa arti sama sekali? Keempat orang itu terkejut. Sejenak mereka saling berpandangan. Ketika murid tertua Ki Ajar itu memandang wajah Agung Sedayu, nampaknya wajah itu bersungguhsungguh. Ketika mereka memandang wajah-wajah yang lain, maka wajah-wajah itupun nampak bersungguh-sungguh pula. Dengan dana berat murid tertua Ki Ajar itu bertanya Apa persoalan antara Tanah Perdikan ini dengan Perguruan Nagaraga? Apapun jawab Agung Sedayu tetapi apakah benar kalian memang orang-orang Nagaraga? Murid tertua itu menggeleng sambil menjawab Bukan. Kami bukan orang Nagaraga. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang itu memang tidak mengenakan ciri orang-orang Nagaraga. Mereka tidak memakai ikat pinggang sebagaimana dipakai oleh orang-orang Nagaraga yang terbunuh oleh Raden Rangga dan Glagah Putih pada saat mereka berusaha mengakhiri nyawa Panembahan Senapati. Meskipun demikian, Agung Sedayu tidak dapat memastikan bahwa mereka bukan orang-orang Nagaraga, Setiap orang dapat saja melepaskan ciri-ciri pada dirinya jika mereka sampai pada satu saat untuk keselamatan dirinya atau sengaja mengadakan penyamaran. Ki Sanak berkata Agung Sedayu jika kalian bukan orang Nagaraga, maka tolong, katakan kepada kami sesuatu mengenai perguruan itu. Jika kalian berkata dengan jujur, maka kami tidak akan menelusuri perguruan kalian sendiri. Keempat murid Watu Gulung itu nampak menjadi bimbang. Namun kemudian yang tertua, yang mewakili gurunya itu berkata Kami justru sedang bersaing dengan perguruan Nagaraga. Bersaing tentang apa? desak Agung Sedayu. Murid Ki Ajar itu terdiam. Baru disadarinya bahwa ia akan dapat terperosok kedalam kesulitan jika ia menyebut persaingannya dengan perguruan Nagaraga. Persaingan dalam pengertian yang kurang baik bagi Mataram. Karena kedua perguruan itu sedang berebut pengaruh di daerah Timur yang kemelut. Karena itu, maka dengan serta merta murid tertua Ki Ajar itu menjawab Kami memang bersaing dalam pengembangan ilmu. Hubungan kami dengan perguruan Nagaraga agak kurang baik. Sewaktu-waktu persoalan diantara kami akan dapat meledak. Itulah sebabnya kami harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya suaranya tiba-tiba merendah tetapi semuanya sudah berlalu. Kini kami tidak akan dapat berbuat sesuatu lagi terhadap perguruan Nagaraga. Kini guru sudah tidak ada lagi. Apakah ada semacam dendam diantara kalian? tiba-tiba saja Ki Jayaraga bertanya.

Semacam itu. Tetapi sebenarnyalah kami hanya ingin disebut yang terbaik mula-mula. Tetapi kemudian perkembangannya menjadi semakin keras, sehingga mengarah kepada permusuhan. jawab murid tertua Ki Ajar itu. Bagus tiba-tiba saja Agung Sedayu beringsut apakah dalam hubungan yang serasi atau justru kalian bermusuhan,namun satu hal yang kami perlukan, bahwa kalian mengetahui letak perguruan itu. Murid tertua Ki Ajar itu termangu-mangu. Ia sadar bahwa pertanyaan kemudian adalah dimana letak perguruan Nagaraga itu. Untuk beberapa saat murid Ki Ajar itu berpikir. Apakah ia akan mengatakannya atau tidak. Meskipun ia tidak tahu persoalan apa yang telah timbul antara perguruan Nagaraga dengan Tanah Perdikan Menoreh, namun kesannya bahwa antara perguruan Nagaraga dan Tanah Perdikan Menoreh telah terjadi sesuatu yang merentangkan jarak antara keduanya. Tiba-tiba saja murid Ki Ajar itu berkata didalam hatinya Apakah justru Glageb Putih dan Raden Rangga itu sedang dalam perjalanan menuju ke perguruan Nagaraga? Sejenak murid Ki Ajar itu termangu-mangu. Namun kemudian ia merasakan menurut firasatnya, bahwa Tanah Perdikan menoreh menaruh dendam terhadap perguruan Nagaraga. Watu Gulung sudah tidak mempunyai kekuatan dengan terbunuhnya guru berkata murid tertua itu didalam hatinya jika ada orang lain yang membantu memperkecil arti perguruan Nagaraga, maka bersama-sama tidak berarti bagi Bang Wetan. Kenapa kau diam saja? desak Agung Sedayu. Baiklah berkata murid tertua itu bagaimanapun juga, kami memang tidak akan dapat ingkar, bahwa kami mengetahui letak dan perkembangan perguruan Nagaraga itu. Apa yang dapat kalian katakan tentang perguruan itu? bertanya Agung Sedayu pula. Perguruan itu tidak banyak berarti diluar padepokannya. Tetapi didalam padepokannya, Nagaraga merupakan satu perguruan yang pilih tanding. jawab murid tertua itu. Kenapa begitu? bertanya Agung Sedayu. Ada semacam sumber kekuatan yang memancar dari pusat perguruannya itu jawab murid Ki Ajar Kekuatan itu memang dapat memberi bekal setiap murid dari perguruan Nagaraga. Tetapi semakin lama bekal itu semakin pudar, sehingga karena itu maka setiap kali setiap murid dari perguruan Nagaraga harus memperbaharui kekuatannya itu. Apakah sumber kekuatan itu? bertanya Agung Sedayu. Seekor ular naga jawab murid tertua Ki Ajar itu. Ular Naga? Patung atau ujud yang lain? bertanya Agung Sedayu pula. Murid Ki Ajar itu termangu-mangu. Namun katanya Aku tidak tahu pasti, apakah benar Ular Naga itu menjadi sumber kekuatan atau sekedar menurut perasaan orang-orang Nagaraga saja. Para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh itu termangumangu. Namun kemudian Agung Sedayupun bertanya sekali lagi Tetapi kau belum mengatakan tentang Naga itu. Seekor

naga sebenarnya ular yang besar atau patung atau ujud yang lain yang disebutnya naga. Murid tertua Ki Ajar itu menjawab Ular, Sebenarnya ular yang besar. Yang menurut kata orang, ular itu memakai sumping diatas telinganya dan semacam mahkota di kepalanya. Lidahnya yang panjang bercabang satu seperti api yang memancar jika lidah itu terjulur. Dari matanya bagaikan memancar sinar maut yang membunuh lawan-lawan para penghuni padepokan yang dibuat oleh perguruan Nagaraga itu, tetapi memancarkan sinar kehidupan bagi murid-murid perguruan Nagaraga. Seorang murid dari perguruan ini akan bertapa di depan goa yang menjadi sarang dari ular itu untuk mendapatkan bekal kekuatan apabila hendak bertugas keluar. Kekuatan yang akan dapat melipatkan kekuatan dan kemampuan mereka yang sebenarnya. Namun hanya berlaku untuk waktu tertentu. Keterangan itu telah membuat Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan orang-orang lain yang mendengar keterangan itu menjadi tegang. Dengan nada tinggi Agung Sedayu bertanya Jadi, di padepokan orang-orang Nagaraga itu terdapat seekor ular yang besar? Ya. Ular yang dianggap sebagai Dewa oleh orang-orang dari perguruan Nagaraga jawab murid Ki Ajar itu. Dewa? Jadi masih saja ada orang yang menyembah ular sebagai Dewa? desis Ki Gede. Itulah yang dilakukan oleh orang-orang Nagaraga sejauh kami ketahui jawab orang itu. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya Baiklah Ki Sanak. Tetapi kami ingin mengetahui di manakah letak padepokan dari perguruan Nagaraga ini? Apakah di lereng Gunung Lawu atau dimana? Dahulu jawab murid Ki Ajar tetapi pada dasarnya mereka mengikuti ular yang di Dewakan itu kemana ular itu pergi. Pada satu ketika ular itu turun dari lereng Gunung Lawu. Menyusuri Kali Lanang, sehingga membuat penghuni padukuhan disebelah-menyebelah Kali Lanang menjadi gempar. Namun kemudian ular yang besar itu telah naik tebing dan memisahkan diri dengan arus Kali Lanang menuju ke sebuah padang perdu. Kemudian seperti memang sudah diketahui dengan pasti sebelumnya, ular itu masuk kedalam goa yang cukup luas, meskipun tidak begitu dalam. Goa itu terletak diarah Utara padukuhan Ngrambe. Namun masih disekat oleh sebuah hutan yang tidak begitu luas tetapi cukup lebat dan pepat. Karena itu, maka untuk menuju ke goa itu dari Ngrambe harus ditempuh jalan melingkar, lewat tanggul Kali Lanang. Yang mendengarkan cerita itu mengangguk-angguk. Dengan nada datar Ki Gede bertanya Apakah kau sudah pernah melihat tempat itu? Belum pernah terlalu dekat. Tetapi aku telah mengetahui arah padepokan itu. Bagi orang-orang disekitarnya padepokan itu bukan merupakan tempat yang dirahasiakan. Tetapi goa itu kemudian berada di dalam padepokan, dilingkari oleh barakbarak yang memang tidak terlalu banyak dan berjarak agak jauh, sehingga padepokan itu merupakan padepokan yang luas. Di sekitar goa itu terdapat kebun dan pategalan. Kemudian di dalam padepokan itu juga terdapat peternakan. Pada saat-saat tertentu, seekor kambing telah dikorbankan

untuk memberi makan kepada ular yang besar yang berada di goa itu. Jadi padepokan itu dibuat setelah ular itu berada di dalam goa? bertanya Agung Sedayu. Ya jawab murid Ki Ajar itu jika pada satu saat ular itu berpindah lagi, maka perguruan Nagaraga pun akan berpindah, bahkan seandainya menyeberangi bengawan sekalipun. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada Ki Gede Ki Gede. Aku kira beberapa hal yang kita perlukan sudah kita tanyakan. Kita tidak tahu apakah ia memberikan keterangan dengan jujur. Namun kita akan dapat membuktikan apakah keterangannya benar atau tidak berkata Agung Sedayu. Ki Gede mengangguk-angguk. Kemudian katanya Aku kira bagi kita disini sudah cukup. Mungkin masih ada beberapa pertanyaan yang akan diajukan oleh Panembahan Senapati di Mataram besok. Ketika Agung Sedayu memandang sekilas wajah-wajah para murid Ki Ajar itu, nampak kecemasan membayang. Namun mereka berusaha untuk menyembunyikan perasaannya, meskipun Agung Sedayu kemudian berkata Panembahan Senapati tidak akan berbuat apa-apa, asal kalian menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan jujur. Murid tertua Ki Ajar itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Gedepun berkata Baiklah Kalian dapat beristirahat. Besok kalian akan berangkat. Demikianlah, maka setelah keempat murid itu dikembalikan ke tempat tahanannya, maka Ki Gedepun masih juga bericara beberapa saat. Agaknya keterangan murid Ki Ajar itu memang membuat orang orang di Tanah Perdikan itu gelisah. Karena membayangkan bahwa Glagah Putih dan Raden Rangga telah melingkar-lingkar di daerah yang luas dan belum pernah dikenalnya. Jika mereka pada satu saat menemukan perguruan Nagaraga, maka mereka akan terjebak kedalam satu perguruan yang kuat. Pesan Panembahan Senapati, mereka hanya diperintahkan untuk mengenali dan mengetahui serba sedikit tentang perguruan itu. Mereka tidak mendapat perintah untuk bertindak atas padepokan itu berkata Agung Sedayu tetapi mengingat sifat dan watak Raden Rangga, maka persoalannya mungkin akan berkembang. Atau bahkan menentukan. Jadi bagaimana pendapatmu? bertanya Kiai Gringsing. Guru apakah kita membiarkan saja semuanya itu akan terjadi? bertanya Agung Sedayu

Вам также может понравиться