Вы находитесь на странице: 1из 5

Masalah Kekerasan Akibat Penyalahgunaan NAPZA oleh: Fransisca Nelly Sinambela (0906510855)

Kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitar (Stuart & Sunden, 1995). Tindakan kekerasan ini lazim terjadi di masyarakat perkotaan pada zaman sekarang, yang terlihat dari orangtua yang semakin sering memukuli anaknya ataupun maraknya tawuran yang terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa masalah kekerasan merupakan hal yang penting dan harus ditanggulangi. Kekerasan dalam komunitas dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (Stanhope & Lancaster, 1996): 1. Faktor sosial dan komunitas, meliputi: pekerjaan, pendidikan, media, agama, populasi, dan fasilitas di komunitas. 2. Faktor sosiologi, meliputi: status ekonomi rendah, terlibat geng, terlibat NAPZA, memiliki senjata api, eksposure media terhadap kekerasan. 3. Faktor psikologi, meliputi: pemakaian NAPZA, harapan peran seksual yang kaku, tekanan dari teman, pengendalian diri yang buruk, stress individu yang tinggi, pekerjaan keras dan pengangguran. 4. Faktor keluarga, meliputi: riwayat pemakai NAPZA pada 3 generasi, isolasi sosial, ancaman verbal orangtua pada anak, stres keluarga yang tinggi, dan jumlah anak sebanyak dua orang atau lebih. Berdasarkan faktor-faktor risiko tersebut, NAPZA merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi timbulnya perilaku kekerasan. Masalah penyalahgunaan NAPZA ini semakin banyak dibicarakan, baik di kota besar maupun kota kecil di seluruh wilayah Republik Indonesia. NAPZA merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun sintetis yang dapat menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi hilang rasa atau nyeri dan perubahan kesadaran yang menimbulkan ketergantungna akan zat tersebut secara terus menerus. Contoh narkotika yang terkenal adalah seperti ganja, heroin, kokain, morfin, amfetamin, dan lain-lain.

Psikotropika adalah zat atau obat, baik sintesis maupun semisintesis yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat yang tergolong dalam psikotropika (Hawari, 2006) adalah stimulansia yang membuat pusat syaraf menjadi sangat aktif karena merangsang syaraf simpatis. Termasuk dalam golongan stimulan adalah amphetamine, ektasy (metamfetamin), dan fenfluramin. Amphetamine sering disebut dengan speed, shabu-shabu, whiz, dan sulph. Golongan stimulan lainnya adalah halusinogen yang dapat mengubah perasaan dan pikiran sehingga perasaan dapat terganggu. Sedative dan hipnotika seperti barbiturat dan benzodiazepine merupakan golongan stimulan yang dapat mengakibatkan rusaknya daya ingat dan kesadaran, ketergantungan secara fisik dan psikologis bila digunakan dalam waktu lama. Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, dan biologi dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan lingkungan hidup secara langsung dan tidak langsung yang mempunyai sifat karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi. Bahan-bahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang bukan termasuk ke dalam narkotika dan psikoropika, tetapi mempunyai pengaruh dan efek merusak fisik seseorang jika disalahgunakan (Wresniwiro, 2004). Adapun yang termasuk zat adiktif ini antara lain: minuman keras (minuman beralkohol) yang meliputi minuman keras golongan A (kadar ethanol 1% sampai 5%) seperti bir, green sand; minuman keras golongan B (kadar ethanol lebih dari 5% sampai 20%) seperti anggur malaga; dan minuman keras golongan C (kadar ethanol lebih dari 20% sampai 55%) seperti brandy, wine, whisky. Zat dalam alkohol dapat mengganggu aktivitas sehari-hari bila kadarnya dalam darah mencapai 0,5% dan hampir semua akan mengalami gangguan koordinasi bila kadarnya dalam darah 0,10%. Zat adiktif lainnya adalah nikotin, votaile, dan solvent/inhalasia. Penyalahgunaan NAPZA ini juga disebabkan oleh beberapa faktor yang meliputi: 1. Faktor internal. Yang termasuk ke dalam faktor internal adalah faktor kepribadian (konsep diri negatif, harga diri rendah, perkembangan emosi yang terhambat, depresi), intelegensia (pada umumnya berada pada taraf di bawah rata-rata), usia (mayoritas remaja), dorongan kenikmatan dan perasaan ingin tahu, serta pemecahan masalah (pengaruh narkoba yang dapat

menurunkan tingkat kesadaran dan membuatnya lupa pada permasalahan yang ada). 2. Faktor eksternal. a. Keluarga. Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab seseorang menjadi pengguna narkoba. Beberapa tipe keluarga yang berisiko tinggi anggota keluarganya terlibat penyalahgunaan narkoba, yaitu: Keluarga yang memiliki riwayat mengalami ketergantungan narkoba. Keluarga dengan manajemen yang kacau, terlihat dari pelaksanaan aturan yang tidak konsisten yang dijalankan oleh ayah dan ibu. Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya penyelesaian yang memuaskan semua pihak yang berkonflik. Keluarga dengan orangtua yang otoriter, dimana peran orang tua sangat dominan, dengan anak yang tidak diberi kesempatan untuk berdialog. Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut anggotanya mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang harus dicapai dalam banyak hal. Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan dengan alasan yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, serta sering berlebihan dalam menanggapi sesuatu. b. Faktor kelompok teman sebaya (peer group). c. Faktor kesempatan Penyalahgunaan NAPZA ini memiliki dampak negatif yang sangat luas, tidak hanya bagi diri si pemakai itu sendiri, tetapi juga bagi keluarga, pihak sekolah (pendidikan), serta bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Bagi diri sendiri, penyalahgunaan NAPZA dapat mengakibatkan terganggunya fungsi otak dan perkembangan moral pemakainya, intoksikasi (keracunan), overdosis (OD), yang dapat menyebabkan kematian karena terhentinya pernapasan dan perdarahan otak, kekambuhan, gangguan perilaku (mental sosial), gangguan kesehatan, menurunnya nilai-nilai, dan masalah ekonomi dan hukum.

Sedangkan penyalahgunaan NAPZA dalam keluarga dapat mengakibatkan suasana nyaman dan tentram dalam keluarga terganggu. Dimana orang tua akan merasa malu karena memilki anak pecandu, merasa bersalah, dan berusaha menutupi perbuatan anak mereka. Stres keluarga meningkat, merasa putus asa karena pengeluaran yang meningkat akibat pemakaian narkoba ataupun melihat anak yang harus berulangkali dirawat atau bahkan menjadi penghuni di rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan. Dalam dunia pendidikan, NAPZA akan merusak disiplin dan motivasi yang sangat tinggi untuk proses belajar. Penyalahgunaan NAPZA berhubungan dengan kejahatan dan perilaku asosial lain yang menganggu suasana tertib dan aman, rusaknya barang-barang sekolah dan meningkatnya perkelahian. Penyalahgunaan NAPZA mengakibatkan terciptanya hubungan pengedar narkoba dengan korbannya sehingga terbentuk pasar gelap perdagangan NAPZA yang sangat sulit diputuskan mata rantainya. Masyarakat yang rawan narkoba tidak memiliki daya tahan dan kesinambungan pembangunan terancam. Akibatnya negara mengalami kerugian karena masyarakatnya tidak produktif, kejahatan meningkat serta sarana dan prasarana yang harus disediakan untuk mengatasi masalah tersebut. Tenaga kesehatan sangat berperan penting dalam upaya menanggulangi penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA, khususnya dalam membantu masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan tentang perawatan dan pencegahan kembali penyalahgunaan NAPZA. Dengan penanggulangan masalah penyalahgunaan NAPZA ini diharapkan dapat mengurangi perilaku kekerasan di masyarakat. Penanggulangan masalah NAPZA dilakukan mulai dari pencegahan, pengobatan, sampai pemulihan (rehabilitasi). Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan informasi dan pendidikan yang efektif tentang NAPZA, deteksi dini perubahan perilaku, dan menghimbau masyarakat untuk dengan tegas menolak mencoba narkoba. Terapi pengobatan bagi klien NAPZA dapat dilakukan misalnya dengan detoksifikasi. Detoksisfikasi merupakan upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat. Terapi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: detoksifikasi tanpa substitusi (klien tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala putus zat tersebut) dan detoksifikasi dengan substitusi (pemberian substitusi adalah dengan cara penurunan dosis secara bertahap sampai

berhenti sama sekali atau dapat juga dengan memberikan obat yang menghilangkan gejala simptomatik. Penanggulangan yang ketiga yaitu dengan rehabilitasi. Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial, dan religi, agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya adalah pemulihan dan pengembangan pasien, baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2001). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyalahgunaan NAPZA memiliki pengaruh yang cukup besar dalam memicu munculnya masalah kekerasan. Hal ini diakibatkan oleh efek yang ditimbulkan zat-zat yang terkandung di dalam NAPZA tersebut yang mempengaruhi pusat saraf individu yang mengkonsumsinya. Perawat diharapkan dapat menanggulangi masalah penggunaan NAPZA di masyarakat, yang dapat dilakukan dengan pencegahan, pengobatan, dan rehablitasi. Penanggulangan masalah NAPZA dalam komunitas ini diharapkan dapat juga mengatasi masalah perilaku kekerasan di masyarakat.

Referensi Depkes. (2001). Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang pedoman penyelenggaraan sarana pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hawari, D. (2000). Penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA (narkotik, alkohol dan zat adiktif). Jakarta: Balai Penerbit FKUI Keliat, Budi Ana. (2011). Community violence. Maslim. (1996). Bahaya NAPZA dan penanggulangannya. Jakarta: Rajawali. Stuart, G.W., and Sundeen, S.J. (1995). Principles and practice of psychiatric nursing, fifth edition. St. Louis: Mosby Year Book Tucker, Jeanne. (2009). Community violence. Mental health nursing. Wresniwiro, M. (2004). Narkoba musuh bangsa. Jakarta: Yayasan Mtra Bintibmas.

Вам также может понравиться