Вы находитесь на странице: 1из 3

Maman S Mahayana Analisis struktural, pendekatan instrinsik, atau pendekatan objektif termasuk penelitian, telaah, atau pengkajian terhadap

karya sastra sendiri. Perbedaan istilah itu lebih disebabkan oleh perbedaan cara pandang peneliti menempatkan dan memberi pengertian terhadap karya sastra. Dalam analisis struktural misalnya, karya sastra dianggap sebagai sebuah struktur: ia hadir dan dibangun oleh sejumlah unsur yang berperan secara fungsional. Analisis struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masingmasing unsur tersebut sebagai kesatuan struktural. Pusat perhatian analisis struktural adalah hubungan fungsional antarunsur itu sebagai suatu keutuhan. Kesatuan unsur-unsur itu bukan cuma kumpulan atau tumpukan hal-hl tertentu yang berdiri sendiri, namun saling berkaitan, terikat, bergantung satu sama lain. Pendekatan instrinsik pun pada dasarnya sama dengan analisis struktural. Karya sastra dianggap di dalamnya mempunyai sejumlah elemen atau peralaatn yang saling berkaitan dan masing-masing mempunyai fungsinya sendiri. Pendekatan intrinsik mencoba menjelaskan fungsi dan keterkaitan elemen (unsur) atau peralatan itu tanpa menghubungkannya dengan faktor di luar itu, seperti biografi pengarang, latar belakang penciptaan, atau keadaan dan pengaruh karya sastra kepada pembacanya. Adapun pendekatan objektif menempatkan karya sastra yang akan diteliti atau dianalisis itu sebagai objeknya. Mengingat karya sastra yang menjadi objeknya mempunyai unsur-unsurnya yang satu dengan lainnya tidak dapat dilepaskan, maka unsur-unsur itulah yang hendak diuraikan dalam pendekatan objektif. Masalah subjektivitas peneliti, seperti perasaan suka atau tidak suka terhadap pengarangnya, temanya, atau gaya bahasanya, disisihkan. Lalu apa yang dimaksud unsur-unsur bahasa itu dan bagaimana melihat fungsinya masing-masing? Dalam puisi, larik, bait, diksi, atau majas, citraan, dan sarana retorika lain, dianggap sebagai unsur-unsur pembangunnya. Dalam drama, unsur-unsur itu, antara lain, dialog, latar, tokoh, alur, dan tema. Unsur novel, antara lain, tokoh, alur, latar, tema, sudut pandang, dan pencerita. Sebagai bahan apresiasi, berikut ini akan dibicarakan sebuah cerpen Gerson Poyk, Pak Begouwan (Horison, Desember 1993, hlm. 5660) berdasarkan analisis struktural. Betapapun analisisnya masih sangat sederhana, diharapkan dapat memberi gambaran lebih jelas, bagaimana mestinya analisis struktural dilakukan. *** Cerpen Pak Begouwan menampilkan tokoh Pak Begouwan, pensiunan ABRI yang tunadaksa; cacat kaki karena kecelakaan sehingga terpaksa hidup bergantung pada kursi roda bermesin listrik. Pembantunya yang banci, tiap malam pergi begadang bersama teman sejenisnya. Jadi, jika malam, Pak Begouwan tinggal sendiri da menghabiskan waktunya dengan menonton televisi. Dalam keadaan begitu, ia kedatangan tamu bernama Bambang Hertawan yang mengaku direktur perusahaan percetakan; mengaku juga masih sekerabat. Ternyata tamu itu tidak lebih dari seorang penipu. Beruntung, pembantu Pak Begouwan yang banci, memergoki si penipu saat kursi roda seharga 5.000 dolar hendak dijualnya. Berkat bantuan temannya sesama banci, tertangkaplah penipu itu. Namun, Pak Begouwan sendiri tidak mau melaporkannya kepada polisi. *** Dari ringkasan cerpen itu kita melihat keadaan fisik tokoh Pak Begouwan; pensiunan yang cacat kaki menyiratkan sosok manusia yang tercampakkan. Keadaan ini didukung oleh latar suasana dan latar fisik; kursi roda, lingkungan yang jauh dari keramaian kota, kesepian, acara televisi yang membosankan, tinggal sendiri, dan pembantunya yang banci pergi, maka lengkaplah kesepian dan ketakberdayaan Pak Begouwan. Dalam hal ini, gambaran latar yang demikian, mendukung keadaan fisik dan mental si tokoh. Soalnya akan berbeda dan menjadi tidak fungsional jika latar digambarkan sebaliknya: Pak Begouwan hidup bersama kedua anaknya, berada di lingkungan yang ramai, acara TV yang meanrik, pembantunya setiap saat berada di sisinya, atau hidup dengan berbagai kegiatan. Jadi, dengan latar yang mendukung ketidakberdayaan Pak Begouwan, kita (pembaca) digiring untuk prihatin pada nsib tokoh itu. Guna memperkuat ketakberdayaan tokoh itu, pengarang juga menampilkan tokoh lain: tetangga yang agresif. Saat tetangganya marah dan sengaja ngeledek dengan mengirim sekarung daun nangka ke halaman rumahnya,Pak Begouwan tak dapat berbuat apa kecuali diam. Diam karena tidak berdaya, tidak punya kemampuan untuk melawan! Sebelum kakinya cacat karena ditabrak motor polisi, ia pernah pula ditipu oleh

pembantu rumah tangganya. Terakhir, tamunya yang mengaku bernama Bambang Hartawan, melengkapi ketakberdayaan Pak Begouwan. Jadi, kehadiran tokoh-tokoh lain bagi Pak Begouwan, menempatkannya sebagai tokoh yang malang, bahkan cenderung menjadi tokoh yang sudah tidak berguna lagi. Kemudian, apakah ini semacam ironi bagi pensiunan ABRI? Gambaran Pak Begouwan yang diliputi ketakberdayaan, latar suasana yang sepisendirilatar sosial yang tidak dinamis, dan tampilnya tokoh-tokoh lain yang justru malah menambah derita tokoh pensiunan itu menunjukkan bahwa unsur-unsur itu hadir secara fungsional. Ada hubungan yang erat antar-unsurnya. Lalu bagaimana kaitannya dengan tema cerpen ini? Tema sebagai pokok persoalan dalam sebuah wacana (discourse) kehadirannya tidak terlepas dari motifmotif sebagai tema yang lebih kecil. Motif-motif itulah yang kemudian membangun sebuah tema cerita. Sementara tema sendiri sebagai salah satu unsur dalam struktur itu kedudukannya sama seperti unsur yang lain. Ia terkait erat dengan unsur lainnya. Lalu bersama unsur-unsur lain itulah, sebuah wacana dalam kesatuan struktur naratif dibangun. Dalam cerpen Pak Begouwan, kita dapat mencermati motif-motif yang melingkari tokoh Pak Begouwan. Kesepian, kesendirian, kemalangan, ketuaan, dan ketakberdayaan telah menyeret diri tokoh itu merasakan betul ketakberdayaannya. Dengan demikian, masalah itulah yang menjadi tema cerpen ini: ketakberdayaan Pak Begouwan sebagai purnawirawan tunadaksa. Perhatikan kutipan berikut ini: Pagi itu, dengan kaki yang sudah agak sehat walaupun masih terbungkus gips, Pak Begouwan diantar oleh pembantunya dengan mengendarai taksi ke tempat yang disebut pembantunya. Pak Begouwan terkejut melihat Drs. Bambang Hertawan Direktur P.T. Grafika Putra gadungan itu tidur di atas plastik bersama sahabat kentalnya, orang yang punya anak mahasiswa gadungan yang menipu adiknya di Bali. Keduanya menimbulkan kesan kelelahan kepercumaan, keterdamparan dua bongkah manusia tak berharga dibanding struktur raksasa jalan layang itu. Di luar di depan mata kepala manusia, jawaban diberikan oleh seekor kecoa yang melintasi wajah doktorandus di SD, karena seekor kucing mendekati ketiak doktorandus gadungan itu lalu menyemprotkan kencingnya keras-keras, tetapi tidak disadari oleh yang dikencingi. Dalam peristiwa tersebut, Pak Begouwan dihadapkan pada sosok manusia (Bambang Hartawan) dan temannyayang juga penipuyang diliputi kelelahan, kepercumaan, dan keterdamparan. Kesan itu menjadi sangat kuat dengan penggambaran latar struktur raksasa jalan layang. Lalu secara sinis, kepercumaan dua manusia itu disimpulkan kewat seekor kecoa yang melintasi wajah sarjana dan mahasiswa gadungan itu, serta seekor kucing yang mengencingi keduanya. Dalam hal ketakberdayaan Pak Begouwan dan ketidaknormalan para banci, ternyata masih lebih bermakna dibandingkan kedua penipu itu.

KONSEP SEMIOTIK DALAM KARYA SASTRA Dalam pandangan semiotik, Saussure memandang; bahasa merupakan suatu sistem tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Pengertian tanda memiliki sejarah yang panjang yang bermula dalam tulisan-tulisan Yunani Kuno. (Masinambow 2002: iii). Dengan demikian tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain pada batas-batas tertentu. Tanda inilah yang kemudian dikenal dengan semotik dan semiologi. Banyak disiplin yang menggunakan konsep ini diantaranya adalah; antropologi, arkeologi, arsitektur, filsafat, kesusastraan, dan linguistik. Hal ini berarti bahwa sebagai sistem teoritis yang mengkaji makna dapat ditampung berbagai perspektif makna yang berkembang dalam penelitian setiap disiplin. Dalam semiotik makna didefinisikan secara erat dengan tanda, namun hubungan antar makna dan tanda dikonseptualkan secara berbeda jika pendirian teoritis berbeda. Adapun semotik berkembang dengan masing-masing tokoh yang dimilikinya. Ferdinand de Saussure (18571913) adalah pengembang bidang ini di Eropa, dia memperkenalkannya dengan istilah semiologi. sedangkan Charles Sanders Peirce (1839-1914) yang mengembangkannya di Amerika dengan menggunakan istilah semiotik. Kedua tokoh inilah yang membawa pengaruh besar dalam memahami dan menganalisis sebuah disiplin dengan menggunakan pendekatan semiotik. Ada sedikit perbedaan yang dimunculkan dari kedua tokoh tersebut mengenai pendekatan mereka dengan menggunakan semiotic. Peirce lebih menekankan pada aspek logika karena dia adalah seorang ahli filsafat. Sedangkan Saussure lebih menekankan pada aspek bahasa karena sesuai dengan keahliannya di bidang linguistik. Seperti yang didituliskan dalam kumpulan makalah semiotik, Okke K. S. Zaimar menjelaskan bahwa karya sastra merupakan sistem tanda tingkat kedua karena menggunakan bahasa sebagai bahan dasarnya. Karena itulah menganalisis dengan pendekatan semiotik menggunakan teori-teori yang bersumber pada linguistik. (Okke. 2002: 124) Meskipun pada dasarnya teori bahasalah yang paling tepat dalam menganalisis sebuah karya sastra terutama puisi, menurutnya tidak menutup kemungkinan analisis ini menggunaan teori Peirce. Teori Peirce mengatakan bahwa sesuatu itu dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Sebuah tanda yang disebut dengan representamen--- haruslah mengacu pada atau mewakili sesuatu yang disebutnya sebagai objek yang dikenal dengan istilah referent. Jadi, jika sebuah tanda mengacu apa yang diwakilinya, hal itu dalah fungsi utama tanda tersebut. Misalnya, anggukan kepala sebagai tanda persetujuan, dan geleng kepala sebagai tanda ktidaksetujuan. Proses perwakilan ini disebut dengan semiosis. Adapun proses semiosis menuntut kehadiran bersama antara tanda, objek dan intepretant. Proses semiotik dapat terjadi secara terus-menerus sehingga sebuah intepretant menghasilkan tanda baru yang mewakili objek yang baru pula dan akan menghasilakan intepretant yang lain lagi. (Nurgiantoro.2002: 41) Selanjutnya Peirce menambahkan hubungan antara tanda dengan acuannya ke dalam tiga jenis tanda; (1) Icon, merupakan hubungan kemiripan. Misalnya foto. Lalu (2) Indeks, merupakan hubungan kedekatan eksistensi. Misalanya asap hitam tebal membumbung sebagai tanda adanya kebakaran. Dan yang terakhir adalah (3) Simbol, merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi. Warna hitam di negara kita disepakati sebagai warna yang melambangkan kedukaan dan hal yang mistis. Sedangkan putih adalah warna yang melambangkan kesucian dan ketulusan. Dan bahasalah yang kemudian menjadi alat penyebutannya. (Nurgiantoro.2002: 42) Dalam teks sastra ketiga jenis tanda tersebut di atas, kehadirannya kadang tidak dapat dipisahkan. Karena ketiga tanda itu sama pentingnya dalam teks yang memang menggunakan bahasa sebagai alat penyamapaiannya. Selanjutnya, dalam menganalisis sebuah karya sastra dalam hal ini puisi, Peirce penggunaan dua aspek. Diantaranya; aspek sintaksis dan aspek semantis. (Okke. 2002: 124). Ketiga aspek tersebut selanjutnya langsung dapat dipahami melalalui analisis puisi BDO karangan Sitok Srengenge.

Вам также может понравиться