Вы находитесь на странице: 1из 3

BFO

Aug 13, '07 12:16 AM

BFO sebagai Kekuatan Ketiga dalam Kemerdekaan Indonesia JAKARTAKesimpulan selama ini bahwa kemerdekaan Indonesia diraih lewat perjuangan militer keliru. Peran diplomasi ternyata memegang kunci dalam meraih kemerdekaan itu. Dan banyak yang tak menduga, kalau mulusnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan itu karena peran Bijeenkomst Federaale Overleg/BFO atau musyawarah istimewa kaum federal dan strategi konseptor negara federal, Ide Anak Agung Gde Agung. Selain itu, banyak teori yang menyatakan bahwa penyelesaian konflik Republik Indonesia dan Pemerintah Kolonial Belanda karena intervensi pihak Amerika Serikat (AS) dan PBB tidak seluruhnya benar. Intervensi itu memang memaksa Belanda berunding. Tapi dengan adanya BFO dan sikap tegas Ide Anak Agung Gde Agung, Republik Indonesia dalam konteks wilayah yang luas tidak hanya Yogyakartamemiliki keabsahan untuk berunding. Setelah itu, banyak pejabat dan petinggi Belanda yang mengundurkan diri seperti Wakil Tinggi Pemerintah Belanda di Jakarta, Beel. Semua informasi baru terkait sejarah diplomasi dan kemerdekaan Indonesia ini terungkap dalam buku baru karya sejarawan dari Universitas Indonesia Prof. Leirissa RZ berjudul Kekuatan Ketiga Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia yang diluncurkan Kamis (3/5) ini di Departemen Luar Negeri, Jalan Pejambon, Jakarta. Bagaimana sesungguhnya peran BFO sebagai kekuatan ketiga itu, sejarawan Leirissa bercerita panjang kepada SH di kediamannya yang asri, kompleks perumahan dosen UI Jalan Daksinapati Barat Nomor 6, Rawamangun, Jakarta Timur. Dengan penemuan data dan teori baru ini, Leirissa menyatakan sejarah harus ditulis secara benar dan apa adanya. Jangan lagi sejarah dimanfaatkan untuk kepentingan politik seperti di masa lalu. Kalau hitam, ya ditulis hitam. Jika putih, juga harus ditulis putih, ujar ahli sejarah Maluku yang sudah lebih 30 tahun mengabdi sebagai pengajar sejarah di Fakultas Ilmu Budaya UI ini. Penemuan data baru terkait peran BFO sebagai kekuatan ketiga dan strategi Ide Anak Agung Gde Agung yang akhirnya mengantarkan Republik Indonesia memperoleh kemerdekaan penuh ini, bukanlah dengan cara mudah. Leirissa melakukan riset mendalam baik di arsip dalam negeri maupun ke Belanda. Dia mendapatkan banyak data yang selama ini belum terungkap atau dipublikasikan dalam buku, antara

lain berbagai dokumen milik pemerintah Belanda, baik rahasia maupun tidak, arsip-arsip BFO, catatan harian Prof Dr W Schermerchorn, Ketua Delegasi Belanda yang merundingkan persetujuan Linggarjati, dan sejumlah buku yang mengandung sumber primer tentang BFO. Saya akan melanjutkan penelitian ini jika ada yang mau membiayai atau menjadi sponsor. Penelitian itu mahal lho, tapi saya sangat senang karena ternyata pendapat banyak ahli tentang BFO selama ini salah dan saya bisa membuktikan kesalahan itu demi untuk kebenaran sejarah kita, katanya. Menurut Leirissa, konsep BFO yang diimplementasikan Van Mook berbeda dengan yang digagas Anak Agung. Konsep Ide Anak Agung ini adalah bagaimana federalisme harus menyertakan Republik Indonesia, sedangkan Van Mook tak ingin RI ada. Lewat BFO itulah, Anak Agung akhirnya berhasil mengkonsolidasikan kekuatan nasional dan menjadikannya sebuah wadah diplomasi untuk menunjang perjuangan elite Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan secara penuh. Perjuangan BFO yang dilandasi arahan dan strategi Anak Agung ini juga akhirnya memaksa Van Mook, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (penguasa Nusantara) mundur. Dengan demikian, lenyaplah musuh-musuh utama RI dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia.**

Inter-Indonesia
19 Juli 1949. Hari ini, 58 tahun silam, digelar Konferensi Inter-Indonesia di Yoyakarta. Konferensi yang merupakan tindak lanjut dari Perjanjian Roem-Royen ini dihadiri delegasi pemerintah Republik Indonesia dan delegasi dari Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO). BFO yang didirikan di Bandung pada 29 Mei 1948 merupakan lembaga permusyawaratan dari negara-negara federal yang memisahkan dari RI. Perdana Menteri negara Pasundan, Mr. Adil Poeradiredja, dan Perdana Menteri Negara Indonesia Timur, Gde Agung, memainkan peran penting dalam pembentukan BFO. BFO yang dibentuk di Bandung tentu saja tak bisa dilepaskan dari strategi van Mook mendirikan negara boneka di wilayah Indonesia yang dimulai sejak 1946. Beberapa negara federal yang tergabung dalam BFO masih menyisakan jejak-jejak van Mook. Tetapi tidak berarti BFO sepenuhnya dikendalikan oleh van Mook atau Belanda. Bahkan dalam beberapa hal, BFO dan van Mook berseberangan sudut pandang. BFO yang lahir di Bandung bergerak dalam kerangka negara Indonesia yang merdeka, berdaulat dan berbentuk negara federal. BFO ingin agar badan federasi inilah yang kelak juga menaungi RI di bawah payung Republik Indonesia Serikat.

Ini berbeda titik pijak dengan van Mook yang jusrtu berharap BFO bisa menjadi pintu masuk untuk meniadakan pemerintah Indonesia, persisnya Republik Indonesia. Kegagalan mengendalikan sepenuhnya BFO inilah yang menjadi salah satu penyebab mundurnya van Mook sebagai orang yang ditunjuk oleh pemerintah Belanda guna mengusahakan kembalinya tatanan kolonial. Alasan itu menjadi penyebab Wakil Tinggi Pemerintah Belanda di Jakarta, Beel, juga mengundurkan diri dari jabatannya. BFO ikut pula memainkan peran penting dalam membebaskan para petinggi RI yang ditangkap Belanda pada Agresi Militer II. Para pemimpin BFO mengambil sikap yang tak diduga oleh Belanda tersebut menyusul Agresi Militer II yang diangap melecehkan kedaulatan sebuah bangsa di tanah airnya. Agresi Militer II tak cuma melahirkan simpati dunia internasional, melainkan juga simpati negara-negara federal yang sebelumnya memisahkan dari RI. Selain membahas aspek-aspek mendasar hingga teknis perencanaan membangun dan membentuk RIS, Konferensi Intern-Indonesia juga digunakan sebagai konsolidasi internal menjelang digelarnya Konferensi Meja Bundar yang dimulai pada 23 Agustus 1949. Bagi pemerintah RI sendiri, kesediaan menggelar Konferensi Inter-Indonesia bukan semata karena ketiadaan pilihan lain yang lebih baik, melainkan juga karena pemerintah RI menganggap BFO tidak lagi sama persis dengan BFO yang direncanakan van Mook. Soekarno menyebut konferensi ini sebagai trace baru bagi arah perjuangan Indonesia. Konferensi yang berlangsung hingga 22 Juli itu banyak didominasi perbincangan mengenai konsep dan teknis pembentukan RIS, terutama mengenai susunan kenegaraaan berikut hak dan kewajiban antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Salah satu keputusan yang penting lainnya yang diambil adalah sikap BFO yang menyokong tuntutan Republik Indonesia agar Belanda dan dunia internasional mengakui kedaulatan Indonesia. Untuk itulah BFO dan pemerintah RI pada Konferensi Intern-Indonesia itu ikut merumuskan bentuk kerja sama antara RIS dengan pemerintah kerajaan Belanda. Konsensus yang dibangun melalui Konferensi Intern-Indonesia ini menjadi modal berharga bagi pemerintah RI, terutama delegasi Indonesia yan dtunjuk untuk berunding dengan Belanda pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Keberadaan BFO dan sikap tegas Gde Agung untuk menolak intervensi Belanda membuat pemerintah Indonesia memiliki legitimasi yang makin kuat untuk berunding dengan Belanda di KMB. Ketika KMB telah selesai, yang menghasilkan pengakuan kedaulatan bagi Indonesia dan konsensus mengenai RIS, wakil-wakil BFO dan pemerintah Indonesia kembali bertemu di Pejambon, Jakarta Pusat, pada 14 Desember 1949. Dari pertemuan inilah disepakati UUD RIS berikut struktur negara federal di lingkungan RIS.

Вам также может понравиться