Вы находитесь на странице: 1из 1

kreatipreneur

Wong ndeso rezeki kota. Klausa ini bukan milik Tukul Arwana semata. Siapa tak kenal Restoran Ayam Bakar Mas Mono yang tak asing bagi kulinering (pencinta kuliner). Brand unik, laris manis nan maknyuss ini lahir berkat perpaduan semangat terus maju, kerja keras, dan tak lupa beribadah pada Allah SWT yang dijalankan Agus Pramono atau Mas Mono. Itulah kunci utama pemuda asal Madiun, Jawa Timur ini menjadi orang sukses di belantara kota Jakar ta. Meski awalnya hanya bermimpi, pria kelahiran 28 Agustus 1974 ini tak ingin berpangku tangan saat menapak tangga sukses. Mas Mono membuka tabir pintu suksesnya hanya kepada wartawan Republika, Damanhuri Zuhri dan Ichsan Emerald Alamsyah. Berikut ulasannya.

REPUBLIKA KAMIS, 20 OKTOBER 2011

15

PRAYOGI REPUBLIKA

embuka pembicaraan, Mas Mono mengaku hanya berpendidikan S3 alias SD, SMP, dan SMA di keluarganya. He he. Jauh sebelum sukses menjadi pengusaha terkenal Ayam Bakar Mas Mono, belasan profesi dia jalani. Ia pernah mencecap sebagai sales makanan kecil, karyawan toko baju, office boy, hingga hampir saja menjadi penjual obat kuat. Saya sering kepepet, tapi kalau nggak kepepet ya nggak bakal maju, tutur pria yang hobi melawak saat ditemui Republika di kedai Ayam Bakar Mas Mono Jalan Tebet Raya nomor 57, Jakarta Selatan (Jaksel), Selasa (8/10). Benar, Mas Mono adalah salah satu pemegang jurus The Power of Kepepet di jagat bisnis. Pada 1994, jagoan kita ini harus mendapatkan pekerjaan selepas lulus SMA. Ia pun berhijrah ke Ibu kota. Di megapolitan ini, Mas Mono tinggal dengan kakak pertamanya, yang bekerja menjadi office boy. Mas Mono anak kelima dari enam bersaudara. Karena tidak ingin membebani sang kakak, Mas Mono memilih bekerja serabutan asal mengenyangkan perut. Tawaran menjadi sales makanan kecil diterima. Bahasa lain, ya pengantar kacang kemasan. Saya datang dari satu agen ke agen lain, kisahnya mengawali karier di Jakarta. Hingga kemudian ia beralih menjadi penjaga toko baju. Tak puas, Mas Mono hampir menjadi penjual obat kuat. Jalan hidupnya pun beralih menjadi lebih baik ketika diterima di sebuah perusahaan di Pasar Minggu. Jabatannya: office boy alias pesuruh kantor. He he Selama menjadi office boy, jagoan kita ini mengaku cukup menikmati pekerjaan itu. Selain bisa menghidupi diri sendiri, dia bisa makan gratis karena disediakan makan siang. Namun, gaji yang tak seberapa membuat Mas Mono sulit pulang kampung ke Madiun. Tak ayal, saat libur mudik Lebaran, Mas Mono memilih tinggal di Jakarta karena kepepet tak punya uang. Yang bikin terenyuh, ketika sang ayahanda tercinta sakit hingga bertemu Sang Khalik, Mas Mono tak sempat melihat kali terakhir wajah ayahandanya. Lika-liku hidup kala itu menjadi tamparan keras baginya. Baginya, hidup tak cukup hanya menjadi pesuruh kantor. Hingga ia memutuskan berwirausaha menjadi penjual gorengan sekitar tahun 2001. Menariknya, Mas Mono mengaku tak tahu cara menggoreng bahkan menyalahkan kompor. Apalagi, hanya sekadar mendorong gerobak. Jangan dikira mudah. Mendorong gerobak, ternyata memerlukan teknik tertentu supaya tidak jatuh.

AGUS PRAMONO PEMILIK AYAM BAKAR MAS MONO

Meraih Sukses Kuliner dari Pesuruh Kantor


Begini ceritanya. Mas Mono mengaku merasa kualat kepada bapaknya. Dia pernah merasa malu dengan pekerjaan sang bapak yang hanya menjadi penjual gulali di desa tetangga. Rasa malu makin mengental ketika kawan-kawan saat kecil sering kali bertanya, Bapakmu kerja jadi pedagang asongan ya? Dan pertanyaanpertanyaan lain yang bernada ledekan. Hal itu melecut diri Mas Mono dan ia berpikir bahwa berwirausaha juga berarti memerdekakan diri dan bisa mengatur dirinya sendiri tanpa ada perintah dari orang lain. Saat menjadi penjual gorengan pada 2001, ia harus bangun pagi dan baru pulang sore. Pendapatannya tak menentu, kadang Rp 15 ribu atau Rp 20 ribu per hari. Kalau tak laku, saya sembunyikan di kolong, saya malu, ujarnya. Mas Mono masih diuji. Di saat menikmati keasyikan berjualan gorengan untuk menyambung hidup, dia dihadapkan kondisi dilematis ketika ibunya datang ke Jakarta. Ibunya sempat kaget melihat Mas Mono yang tadinya sebagai pekerja kantoran beralih menjadi pedagang gorengan di pinggir jalan. Apalagi, baju yang dikenakan Mas Mono cukup kumal. Baru datang dari Madiun, hari itu juga ibu saya kembali ke Madiun, ungkapnya. Merasa ditampar dengan sikap ibunya, Mas Mono ingin beralih barang dagangan. Terpikir olehnya berjualan ayam bakar. Mas Mono lantas mengeluarkan modal Rp 500 ribu untuk membeli gerobak, peralatan masa, dan ayam lima ekor. Babak berjualan ayam bakar dimulai. Kala itu, ia mengaku ikut-ikutan menjual ayam bakar Kalasan karena di sekitarnya bisnis kuliner menu ayam memang sedang booming, mulai dari ayam bakar hingga ayam kremes. Lokasi pertama gerobak ayam bakar di Jalan Prof Dr Soepomo, di depan Universitas Sahid (Usahid), Tebet, Jaksel. Dimulai dari pagi hingga sekitar pukul 14.00 WIB. Karena arealnya kecil, Mas Mono harus bergantian dengan pedagang lain, seperti penjual pecel lele, seafood, atau dagangan lain. Kalau sore, jadi jual nasi goreng atau ayam juga, paparnya. Lambat laun, usaha ayam gorengnya mulai laku diserbu pembeli. Pelanggan Mas Mono biasanya mahasiswa Sahid atau pekerja kantoran sekitar. Ketika usahanya mulai maju, pedagang lain pun melirik usaha sama, ayam bakar. Mulailah beberapa langkah dari tempatnya berdagang, pedagang lain menjual ayam bakar. Total di sekitarnya ada empat pedagang penjual ayam bakar dengan harga yang lebih murah, selisih seribu rupiah dari yang dijual Mas Mono, seharga Rp 5.000 per ayam. Mas Mono tetap yakin, ayam bakar miliknya tetap laku. Ketika pedagang ayam bakar di sampingnya sudah tutup karena rugi, dagangan Mas Mono tetap masih diminati pembeli. Rumus dia, rasa tak bisa dibohongi, makanan enak pasti dicari pembeli, walau harganya di atas yang lain. Yang penting berpikir positif, katanya. Ujian lain, saat musim hujan, ayam bakar yang laku hanya lima potong. Di kesempatan lain, ayam jualannya jatuh ke pasir saat mendorong gerobak ke tempat mangkal. Ketika kasus flu burung merebak, usahanya sempat kena imbasnya. Namun, Mas Mono pantang menyerah. Hingga 2004, ia bisa punya enam pegawai dan dalam sehari ayamnya terjual 80 ekor. Mungkin sudah takdir, saat bisnis sedang berkembang, petugas Trantib mulai sering menggusur gerobaknya. Gerobaknya kembali digusur karena ada pembangunan SPBU di depan Usahid. Hikmah dari penggusuran, dia merasa usahanya semakin sukses dan maju. Di saat sedang mencari tempat jualan, seorang pelanggan, Ibu Haji Bachir menyediakan tempat di Jalan Tebet Raya Nomor 57, saat itu tempatnya kecil dan sepi. Perpindahan tempat ini bisa disebut titik awal majunya usaha Ayam Bakar Mas Mono. Saat itu, ia pun mulai berpikir brand apa yang melekat pada ayamnya. Disebut Ayam Bakar Kalasan Depan Sahid, terlalu panjang. Nama Ayam Bakar Agus juga kurang enak disebut. Ia pun kemudian memilih brand Ayam Bakar Mas Mono, hingga melekat sampai kini. Lambangnya diganti menjadi gambar pria botak berperut tambun berlatar belakang putih, khas citra dirinya walau ia berkulit sawo matang legam. Uniknya, gambar itu dibuat salah satu pelanggannya. Ia mengaku, memang tetap menjaga hubungan emosi dengan pelanggannya, mulai dari artis hingga tukang ngamen. Salah satu pelanggannya, Harry Pantja, membantu Mas Mono menyediakan makanan katering di Trans Corp sebanyak 500 kotak. Pelanggan lain yang rajin adalah para pengamen. Agar dekat dengan pelanggan, Mas Mono rajin memajang foto-foto dari saat memulai berwirausaha tahun 2001. Restorannya juga dipenuhi foto-foto para artis terkenal dan disertai tanda tangan dengan tulisan agak sama, Ayam bakar mas mono uenak tenan. Sejumlah artis itu, seperti Ferry Salim, Indra Bekti, Cut Tari, Indy Barens, Aming, Uya Kuya, Ello, dan masih banyak lagi. Mantan presiden Megawati Soekarno Putri pernah memesan katering miliknya. Warna restoran khas hijau dan oranye bikin nyaman pelanggan. Karyawannya juga dianjurkan rajin melempar senyum dan sapa hangat kepada pelanggan. Ketika tren bisnis sistem franchise atau waralaba meledak di 2010, Mas Mono ikut melebarkan bisnisnya, dengan mendirikan PT Panen Raya. Kini, jumlah usahanya mencapai 18 cabang dengan kantor pusat tetap di Tebet Raya. Jumlah karyawan sekitar 500 orang. Untuk tetap menjaga rasa, para koki dan karyawan dilatih terlebih dahulu melalui program training profesional. Omzet semula Rp 150 ribu-200 ribu per hari, kini omzet sudah mencapai rata-rata Rp 5 juta per hari. Salah satu rahasianya, dia menerapkan filosofi Cina, Biar Untung Sedikit Asal Lancar.
ed: zaky al hamzah

Tanya Jawab
dengan Andri Fajri
Bila Anda ingin bertanya lebih jauh dan langsung dengan Andri Fajria silakan kirim pertanyaan ke e-mail beliau: andrifaj@yahoo.com

Mengawali Ternak Kambing


Assalamualaikum wr wb Bung Andri, ingin bertanya sedikit. Dulu saya pernah bekerja di sebuah lembaga zakat. Atasan saya dan beberapa rekan kerja ada yang berinvestasi di penggemukan kambing, khususnya untuk momen Idul Adha. Sekilas memang terlihat prospektif dan menguntungkan. Yang ingin saya tanyakan, risiko apa sajakah yang perlu dipertimbangkan untuk memulai usaha penggemukan ternak ini? Lalu, apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam memilih mitra peternak yang kita percaya untuk merawat ternak kita? Adakah tips bagi masyarakat awam yang baru memulai berinvestasi di dalam usaha penggemukan kambing ini? Sekian pertanyaan saya. Semoga responsnya dapat memberikan pencerahan. Salam sukses, Ardian Perdana Putra

Waalaikumussalam wr wb Terima kasih atas pertanyaannya. Penggemukan kambing untuk momentum Idul Adha memang sangat prospektif, karena periodenya singkat (tiga sampai enam bulan) dan kita mendapat dua keuntungan: kenaikan berat kambing yang kita pelihara plus kenaikan harga kambing di pasaran (karena permintaan tinggi saat Idul Adha mudah kita ketahui apabila menggunakan harga per kg sebagai patokan). Akan tetapi, untuk masyarakat yang tinggal di perkotaan, masalah pakan dan izin lingkungan menjadi kendala. Maka, langkah kompromistisnya adalah bekerja sama dengan masyarakat pedesaan untuk memelihara kambing tersebut. Jadi, orang kota sebagai investor dan orang desa sebagai pelaksana. Dan, memang sistem ini yang selama ini berjalan baik. Faktor pertama yang harus diperhatikan tentu saja kejujuran sang pelaksana. Sebaik apa pun kambing yang kita titipkan

dan sistem pemeliharaan yang kita buat menjadi tidak berguna bila orangnya tidak jujur. Berikutnya adalah faktor alam (ketersediaan pakan ternak) dan kompetensi teknis pemeliharaan serta transportasi dari tempat penjualan. Untuk hal ini, bisa kita lihat, misalnya, apakah masyarakat di daerah tersebut biasa memelihara ternak. Perhatikan juga jenisnya, apakah sesuai dengan rencana kita atau tidak? Setiap jenis punya pasarnya. Untuk Idul Adha, di daerah Jakarta yang paling diminati adalah kambing jawa dan di Jawa Barat adalah jenis domba. Jangan pelihara domba ekor gemuk/qibas/kambing gembel atau kambing kacang karena kurang diminati para pekurban. Mulai saja dari jumlah yang sedikit untuk meminimalisasi risiko. Bila terbukti bagus, bisa dikembangkan skala usahanya dengan melibatkan lebih banyak orang. Selamat berinvestasi, semoga sukses.

Andri memanfaatkan media berbasis internet dalam membantu mempromosikan bisnisnya? 5. Sejauh mana efektivitas berpromosi di media berbasis internet ini? Djadja Subagdja Untuk Kang Djadja: 1. Seperti usaha lain, ada untung ada rugi, ada peluang ada risiko. Cuma, kita kan diajarkan supaya nggak cerita-cerita masalah keluarga kepada tetangga sebelah. Orang lain lebih senang mendengar cerita kita yang optimistis. 2. Risiko-risiko seperti mitra yang tidak jujur, komitmen pembayaran meleset, kambing mati, dan kendala transportasi. 3. Di bangku sekolah, semua pertanyaan bersifat teori ada jawabannya dan bisa dihafal atau dianalisis. Bisnis itu seperti kita belajar naik sepeda atau berenang... harus praktik. Ketika ada kendaraan lain di depan berhenti mendadak, kita punya pilihan: ngerem mendadak juga, banting ke kanan/kiri, atau nabrak aja. Setiap pilihan ada konsekuensinya. Jadi, jawaban pertanyaan Kang Djadja bergantung situasinya. 4. Nah, ini kelemahan saya.. baru rencana mau pakai media internet untuk bisnis. 5. Ada beberapa teman yang bantu saya, mereka berjualan susu kambing dan akikah lewat internet. Lumayan, sih, tapi belum optimal karena biasanya mereka berjualan banyak barang lewat internet, nggak fokus....

Salam Sobat Republika Muda Siapa yang tak pernah merasakan makanan Kebab? Makanan khas Timur Tengah ini menjelajah di berbagai penjuru dunia dengan cita rasa unik. Di Indonesia, makanan ini diperkenalkan secara massal dengan cita rasa khas lokal oleh Hendy Setiono. Wajah dan penampilannya khas anak muda, sederhana, dan suka tersenyum lebar. Siapa pun pasti sempat terkecoh bila pria kelahiran Surabaya 30 Maret 1983 ini adalah bos dari perusahaan beromzet lebih dari Rp 1 miliar per bulan. Prestasi usahanya, Kebab Turki Baba Rafi, sudah diakui di dalam negeri maupun mancanegara dengan 700 outlet selama berkembang delapan tahun. Outlet-nya sudah masuk Malaysia dan kini ke Thailand. Pertanyaan bisa dikirim melalui email ke kreatipreneur@rol.republika.co.id dengan subyek Tanya-Jawab Hendy Setiono, beserta data diri sampai hari Senin (24/10/2011) pukul 11.30 WIB. Jawaban akan diterbitkan pada Kamis (27/10/2011). Salam Wirausaha Selamat beraktivitas !!

Risiko Utama
1. Kelihatannya lempeng-lempeng saja Bung Andri ini dalam membesarkan bisnis kambingnya. Namun, apakah benar demikian? 2. Kesulitan-kesulitan atau kendalakendala apakah yang pernah muncul? 3. Bagaimana Bung Andri mengatasi semua ini? 4. Kemudian, ingin tahu juga, apakah Bung

kreatipreneur

@kreatipreneur

Вам также может понравиться