Вы находитесь на странице: 1из 2

I.

Pendahuluan
Dunia pemerintahan mengenal konsep birokrasi yang dimaknai sebagai proses dan sistem yang diciptakan secara rasional untuk menjamin mekanisme dan sistem kerja yang teratur, pasti dan mudah dikendalikan. Birokrasi adalah tipe organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif dengan cara mengkoordinasi secara sistematis teratur pekerjaan dari banyak anggota organisasi. (Kumorotomo, 1994:62). Dalam perjalanannya, sistem birokrasi di Indonesia mengalami banyak tantangan serta penyelewengan-penyelewengan dalam kekuasaan, salah satunya adalah korupsi. Korupsi diibaratkan sebagai racun teramat halus yang telah menyeruak dan memenuhi nadi kultur birokrasi di Indonesia. Menurut pemakaian umum, istilah korupsi pejabat, kita menyebut korup apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi. Terkadang perbuatan menawarkan pemberian seperti itu atau hadiah lain yang menggoda juga tercakup dalam konsep itu. Pemerasan yakni permintaan pemberian-pemberian atau hadiah seperti itu dalam pelaksanaan tugastugas publik, juga bisa dipandang sebagai korupsi. Sesungguhnya, istilah itu terkadang juga dikenakan pada pejabat-pejabat yang menggunakan dana publik yang mereka urus bagi keuntungan mereka sendiri; dengan kata lain, mereka yang bersalah melakukan penggelapan di atas harga yang harus dibayar oleh publik (Wertheim, 1965:105). Kebiasaan berperilaku koruptif yang terus berlangsung di sistem birokrasi serta di kalangan masyarakat Indonesia salah satunya disebabkan kurangnya pemahaman mereka terhadap pengertian korupsi. Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar oleh masyarakat umum. Adapun kebiasaan seperti memberi hadiah kepada pejabat/pegawai negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah pelayanan. Kebiasaan tersebut

dipandang lumrah dilakukan sebagai bagian dari tradisi kultur birokrasi di Indonesia.

II. Kultur dan Etika Birokrasi di Indonesia


Menurut Van Peursen, kultur atau kebudayaan merupakan endapan dari kegiatan dan karya manusia. (Peursen, 1988:9). Pada intinya, kebudayaan merupakan aktivitas manusia sebagai masyarakat dalam mengubah atau membangun dunia sekelilingnya. Karena aktivitas masyarakat manusia itu berlangsung secara terus-menerus, maka seperti yang dikatakan Van Peursen, Kini kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis yang juga terkait dengan proses perkembangan partisipasi segenap anggota masyarakat. (Peursen, 1988:11) Sementara menurut Wahyudi Kumorotomo, Etika berasal dari bahasa Yunani: ethos, yang artinya kebiasaan atau watak. (Kumorotomo, 1992:5). Maka, dapat disimpulkan bahwa etika merupakan karakter dari individu atau kelompok individu tertentu. Kemudian, apakah yang dimaksud dengan kultur dan etika birokrasi? Kultur birokrasi ialah karakter kolektif masyarakat dalam menghayati dan memperlakukan birokrasi, jadi tidak terbatas pada perilaku apartur birokrasi. Sementara etika birokrasi ialah karakter individu atau kelompok individu, dalam hal ini apartur birokrasi secara individual atau kolektif, dalam memahami dan memperlakukan kewenangan dan tugasnya sebagai apartur birokrasi. (Said, 2009:189) Karena keduanya merupakan karakter, maka sesungguhnya tidak ada yang bisa disebut sebagai tak berbudaya atau tak memiliki etika. Pernyataan semacam itu sesungguhnya telah melupakan bahwa konsep kebudayaan atau etika itu tidak harus bersifat positif. Kedua konsep tersebut lebih cenderung bersifat netral, karena tiap individu atau kelompok individu bisa saja memiliki kebudayaan yang buruk, seperti budaya korupsi, dan memiliki etika yang buruk, seperti halnya etos kerja yang rendah. Seperti pada peringatan Hari Air Sedunia yang diadakan di alun-alun kabupaten Pacitan, Jawa Timur, Rabu 12 April 2006 silam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan kegeramannya

terhadap kebiasaan para pejabat dan instansinya yang sering melakukan pemborosan. Akibatnya, pembiayaan yang meliputi kerja tidak produktif aparat hingga Rp 7 triliun per bulannya dibebankan kepada negara. Sebuah kultur dan etika yang memboroskan keuangan negara hingga Rp 7 triliun per bulannya. Kultur dan etika macam apakah yang bisa sedemikian boros tersebut? Kinerja yang rendah dari birokrasi, bahkan melenceng dari tujuan awal birokrasi, akan menyebabkan terjadinya penyelewengan terhadap hakikat dari organisasi birokrasi. Para birokrat yang diberi amanat untuk menjalankan dan mengelola organisasi birokrasi malah menyelewengkan kewenangan dan jabatannya dalam organisasi demi kepentingan pribadi atau kelompok. Hal inilah yang sering disebut sebagai korupsi.

ialah: dalam budaya macam apakah manusiamanusia dengan karakter semacam itu tumbuh subur? Jawabannya ialah : dalam budaya kekeluargaan yang salah kaprah. Sekarang, dalam negara-negara yang sedang berkembang, korupsi birokrasi juga dipandang merajalela, atau sekedar berlangsung berupa pemberian-pemberian tradisional pada mereka yang menduduki jabatan atau memegang kekuasaan tertentu.1 Wahydi Kumorotomo pernah mencontohkan: Seorang pejabat seandainya tidak mau mengindahkan permintaan bantuan keluarga atau kawan dekatnya untuk menolong memberi pekerjaan, fasilitas dan sebagainya, akan dianggap sebagai orang angkuh yang bagaikan kacang lupa akan kulitnya ketika ia telah menjadi penguasa. Sebaliknya, mereka yang suka membantu dalam segala bentuk dianggap sebagai seorang keluarga yang baik, berbudi luhur, suka menolong, ingat asal-mula, dan sebagainya." (Kumorotomo, 1992:204). Pandangan-pandangan lama tersebut semakin memperparah masalah korupsi dalam birokrasi di Indonesia, dan sebagai konsekuensinya, orangorang yang jujur dan berpotensi akan tersisih, dan pemerintah penuh dengan orang-orang yang tidak memiliki integritas dengan komitmen kerakyatan yang rendah. (Kumorotomo, 1992:204). Jadi, dengan kebudayaannya, mayarakat bukan saja menolerir, namun malah menjadi sumber nilai yang melandasi perilaku korupsi tersebut.

III. Budaya Indonesia

Korupsi

dalam

Birokrasi

Pada umumnya diakui bahwa korupi adalah problem yang berusia tua dan semua masyarakat manusia, kecuali yang sangat primitif, dengan derajat yang berbeda-beda, dijangkiti oleh korupsi. (Alatas, 1986:15). Korupsi dalam pembahasan ini memiliki arti yang lebih luas dibandingkan sekedar penggelapan uang atau barang. Jika kita kembali ke etimologi kata korupsi yang menurut Wahyudi Kumorotomo, berasal dari kata latin corrumpere, corruptio atau corruptus. Arti harfiah dari kata ini adalah penyimpangan dari kesucian (profanity), tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran, atau kecurangan. (Kumorotomo, 1992:172) maka, korupsi birokrasi memiliki arti yang lebih dalam sebagai praktekpraktek penyimpangan arah dan kinerja birokrasi sehingga birokrasi tidak berfungsi semestinya sebagai pengabdi cita-cita dan tujuan bangsa serta negara. Secara empiris, korupsi memiliki banyak bentuk seperti penyalahgunaan keuangan negara, manipulasi anggaran, dan sebagainya. Para koruptor merupakan orang yang memandang dan memahami birokrasi sebagai milik pribadi nya dan karena itu birokrasi berhak diperlakukan seperti milik pribadi nya yang lain, dapat digunakan sesuai dengan kehendak hatinya. Pada topik ini, persoalan yang menarik untuk ditelusuri

Вам также может понравиться