Вы находитесь на странице: 1из 8

Artikel 1 Psikolog Pencetus Terapi Tanpa Busana Rabu, 9 Maret 2011, 16:43 WIB Petti Lubis

VIVAnews - Berbeda dari terapis psikologi yang lain, Sarah White punya metode unik untuk mengorek permasalahan yang dihadapi pasiennya. Wanita cantik 24 tahun itu tidak malu melepaskan helai demi helai busananya selama sesi terapi. Ia melakukannya agar para pasien yang mayoritas pria merasa nyaman. Psikolog cantik ini percaya cara tersebut membuatnya lebih mudah mengupas semua informasi tanpa disadari pasien. Metode ini juga membantu pria lebih fokus, lebih dapat melihat ke dalam dirinya, serta lebih terbuka.

Sejauh ini, Sarah telah menangani 30 pasien yang terdiri dari mahasiswa dengan masalah seksual, pria dewasa dengan masalah rumah tangga, hingga wanita yang menyukai perbincangan tanpa menggunakan busana. Lihat Sarah dalam bidikan kamera Walau mendapatkan banyak pasien, bisnisnya menuai banyak kritik. Selain tidak memiliki sertifikat, Sarah dinilai melanggar kode etik American Psychoanalytic Association. Artikel 2 KASUS PENYIMPANGAN KODE ETIK PSIKOLOGI PASAL 10

Pasal 10 INTERPRETASI HASIL PEMERIKSAAN Interpretasi hasil pemeriksaan psikologik tentang klien atau pemakai jasa psikologi hanya boleh dilakukan oleh Psikolog berdasarkan kompetensi dan kewenangan. Dalam Prakteknya, seorang psikolog melakukan tes seleksi (Psikotes) untuk calon karyawan di sebuah perusahaan, namun karena seorang peserta tes merupakan kerabat dekat sang psikolog, maka calon karyawan itu meminta pada sang psikolog untuk memberikan hasil yang maksimal pada Psikotes tersebut, karena Psikolog tersebut merasa tidak enak

dengan kerabat dekatnya itu, akhirnya ia memberikan hasil sesuai dengan pesanan si kerabat tadi sehingga kerabat dekatnya itu dapat diterima pada perusahaan tersebut.

Dari contoh kasus di atas telah terjadi penyimpangan data tes diagnostik, yaitu telah terjadi manipulasi data dengan cara merubah sebagian atau seluruhnya data hasil pengetesan, sehingga hasil akhir harus cocok dengan permintaan klien/ penerima jasa.

Dengan kata lain bahwa pelaksanaan tes hanya formalitas belaka karena hasil akhir sudah dipesan/ dibuat sesuai kehendak/ kebutuhan klien. Sehingga melanggar pasal 10, karena seharusnya intepretasi ditentukan oleh psikolog yang kompeten dan berwenang bukan berdasar pesanan pihak tertentu.

Dalam penanganan kasus pelanggaran Kode Etik Psikologi Indonesia, Majelis Psikologi merupakan badan yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan mengenai bentuk sanksi yang akan dijatuhkan terhadap kasus pelanggaran tersebut. Dalam kaitan ini Majelis Psikologi mengacu pada pedoman yang memuat ketentuan mengenai terapan ilmu dan profesi psikologi, bentuk pelanggaran yang dilakukan, dan bentuk sanksi yang bisa dijatuhkan terhadap anggota atau pihak yang melakukan pelanggaran. Apabila dalam pelaksanaan tugasnya selaku Ilmuwan Psikologi dan atau Psikolog ternyata terjadi tindakan yang dianggap melanggar hukum, maka penyelesaian masalahnya diproses menurut hukum yang berlaku, sebagai ungkapan tanggung jawab dalam terapan psikologi.

Artikel 3 Tes Calon Anggota KPU, Sarlito & Rekan Patut Digugat Umi Kalsum - detikNews Selasa, 07/08/2007 11:34 WIb Jakarta - Keterlibatan Sarlito & Rekan dalam tes tertulis calon anggota KPU dianggap menyalahi etika. Dari sisi kepatutan, lembaga ini patut digugat. Sebab psikolog Sarlito Wirawan yang notabene pemilik lembaga itu juga menjadi bagian dari panitia seleksi (pansel) calon anggota KPU. "Jelas adaconflict of interest, harusnya pansel yang posisinya sebagai regulator, tidak boleh menjadi bagian dari pelaksana. Kalau begini bisa kacau," tegas

pengamat politik dan kebijakan publik, Prof Andrinov Chaniago, kepadadetikcom, Selasa (7/8/2007). Harusnya dalam menunjuk lembaga yang terlibat tes tertulis, imbuh Andrinov, pansel calon anggota KPU merujuk pada Keppres No 80/2003 tentang pengadaan barang dan jasa. Dalam Keppres yang direvisi pada tahun 2005 itu disebutkan untuk pengadaan barang atau jasa dengan nilai di atas Rp 50 juta, harus ditenderkan sehingga ada kompetisi. "Tidak boleh penunjukan langsung. Kalau alasannya mepet, tentu ada syarat-syarat yang berlaku," katanya. Pansel KPU beranggapan penunjukan Sarlito & Rekan tidak melanggar pasal 13 ayat 2 UU No 22/2007 tentang KPU bahwa tim seleksi dapat dibantu oleh atau berkoordinasi dengan lembaga yang memiliki kompetensi pada bidang yang diperlukan. Dan, Sarlito & Rekan dianggap kompeten untuk menyelenggarakan tes tertulis bagi para calon. Soal ini, menurut Andrinov, pansel harusnya mensinkronkan UU yang menjadi acuannya itu dengan Keppres No 80/2003. Sehingga bisa dilihat kriteria dan syarat-syarat yang berlaku dalam pengadaan barang dan jasa, tidak semata-mata UU No 22/2007. "Saya tidak tahu apakah dari sisi hukum ini bisa diperkarakan atau tidak. Dasar hukumnya harus dicari. Tapi dari sisi etika jelas melanggar kepatutan, karena dia bagian dari panitia," tutur Andrinov. Seharusnya, tegas dia, regulator tidak bisa mengambil alih tugas pelaksana. "Jadi dari sisi kepatutan, ini patut digugat karena logika pembuat kebijakan tidak tepat," tandasnya. (umi/nrl)

Artikel 4 Selasa, 05 April 2011 Banyak Praktik Psikologi Tak Punya Izin Jakarta-Belakangan ini bermunculan individu yang mengaku sebagai psikolog dan melakukan praktik psikologi namun tidak memiliki izin praktik sah. Padahal apabila nasihat atau diagnosis psikolog tersebut keliru, akan berakibat sangat serius pada pasiennya. Dapat terjadi hal kontra produktif, yakni menurunnya tingkat stabilitas emosional pasien dalam suatu program konseling. Malapraktik yang disebabkan oleh psikolog berbeda dengan dokter. Kalau dokter hanya penyalahgunaan obat yang berakibat di tubuh pasien, tetapi malapraktik psikolog bisa berkepanjangan karena menyangkut jiwa dan mental seseorang, tegas Ketua Umum Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah DKI Jakarta Raya (Himpsi Jaya) Lukman Sarosa Sriamin, dalam diskusi mengenai sosialisasi profesi psikolog, Selasa (16/9). Dampak malapraktik itu di samping merugikan pengguna jasa psikologi, juga akan

mencoreng profesi psikolog, lanjut Lukman. Hal ini dapat dihindari dengan menyusun peraturan sebagai payung hukumnya, sehingga tidak ada celah bagi pihak-pihak yang berusaha merugikan profesi psikolog maupun pengguna jasa psikolog. Dengan demikian, Rancangan Undang-Undang (RUU) Malapraktik psikolog tidak hanya akan melindungi pengguna jasa praktik psikolog, juga dapat melindungi para psikolog. Untuk itu, diperlukan inisiatif dari pemerintah untuk menyusun RUU tersebut. Kami terbentur dana untuk menyusun UU mengenai kode etik psikolog, dan saat ini belum ada kekuatan hukum yang tetap yang melindungi konsumen psikolog maupun psikolog, tegasnya. Lukman juga mengungkapkan adanya pihak yang mengaku psikolog walaupun hanya lulusan sarjana psikologi. Lulusan sarjana psikologi padahal belum tentu menjadi seorang psikolog. Dunia pendidikan psikologi menetapkan bahwa sarjana psikologi tidak dapat melakukan praktik psikologi. Seorang drs/dra atau magister profesi baru dapat melakukan praktik psikologi jika telah memiliki izin praktik. Oleh karena itu, sosialisasi diperlukan untuk memperkenalkan kepada masyarakat luas tentang organisasi profesi psikologi serta perbedaan antara psikolog dan bukan psikolog. Saat ini, Himpsi Jaya mempunyai 3.587 anggota terdaftar dan 1.825 di antaranya telah memiliki izin praktik yang sah dan berlaku di seluruh Indonesia. Namun diakui, sampai saat ini masyarakat masih jarang menggunakan jasa psikolog. (cr-4) Copyright Sinar Harapan 2008

Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita...7/kesra03.html Artikel 5 HIMPSI: Hati-Hati Banyak Psikolog Gadungan Eko Wahyu Sentosa - Okezone Selasa, 16 September 2008 18:42 wib JAKARTA - Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) memperingatkan masyarakat agar selektif dalam memilih jasa psikolog. Peringatan ini dikeluarkan karena akhir-akhir ini marak bermunculan psikolog gadungan yang membuka praktik.

"Psikolog yang membuka praktik harus memiliki izin praktik, jika tidak ada maka bisa disebut psikolog gadungan," ujar Ketua HIMPSI DKI Jakarta, Lukman Sarosa Sriamin dalam

acara Diskusi Sosialisasi Profesi Psikolog di Balai Kartini, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (16/9/2008).

Lukman menandaskan, para psikolog gadungan tidak memiliki kualifikasi dalam memberikan pertimbangan kepada para konsumennya. Akibatnya, saran yang diberikan seringkali tidak tepat sasaran.

"Misalnya, seorang psikolog menilai seorang calon siswa tidak tepat mendalami bidang tertentu. Padahal jika keputusan ini salah, akibatnya bisa fatal," terangnya.

Hal serupa juga sering dialami perusahaan yang menyewa jasa psikolog dalam proses penerimaan karyawan. Jika psikolog tidak memiliki kemampuan mumpuni, maka perusahaan akan dirugikan karena harus kehilangan calon karyawan yang potensial.

"Atau sebaliknya, calon karyawan yang kemampuannya pas-pasan malah diterima," ujarnya.

Karena itu, Lukman menyarankan, agar para psikolog yang belum memiliki izin, sebaiknya segera mengurusnya. "Syaratnya mudah, punya ijazah S2, pernah magang minimal enam bulan, dan beberapa syarat lain," ungkapnya.

Kehadiran surat izin praktik, sambung dia, secara substansial akan memberikan perlindungan kepada para psikolog dan konsumennya. (ful) Artikel 6 Calon Psikolog Harus Paham Soal Assesment Riani Dwi Lestari Selasa, 22 November 2011 13:00 wib SEMARANG - Calon psikolog harus mengetahui betapa pentingnya assesment atau penilaian psikologi. Assesment ini merupakan bagian penting dalam berbagai bidang di ilmu psikologi. Pemahaman mengenai hal tersebut tidak hanya terbatas untuk kepentingan diagnosis klinis saja, namun telah meluas di berbagai bidang seperti pendidikan, perkembangan, dan industri.

Dengan begitu, penguasaan terhadap berbagai metode dan instrumen untuk kepentingan assesment tampaknya menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Hal tersebut diungkapkan oleh Narasumber seminar nasional yang digelar Universitas Negeri Semarang (Unnes) Fidelis E Waruwu, siang ini. Acara yang diselenggarakan mahasiswa Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) tersebut mengusung tema Competencies for Psychological Assessment. Fidelis menjelaskan, penilaian psikologi merupakan alat atau instrumen untuk mengukur kemampuan individu, dan mengevaluasi perilaku dengan menggunakan standar dan teknik tertentu yang dilakukan oleh asesor atau tenaga ahli terlatih. "Seorang asesor psikologi harus memiliki kompetensi knowledge, attitude, dan skill," ujar Fidelis seperti dilansir situs Unnes, Selasa (22/11/2011). Dikatakan, asesor harus menguasai pengetahuan akan teori-teori instrumen psikologis yang digunakannya. Selain itu juga mampu menganalisis permasalahan dan menentukan alat tes yang sesuai.

"Tidak lupa juga mengenai attitude atau karakteristik pribadi, baik dalam pelayanan dan sikap. Sedangkan pada kompetensi skill, seorang asesor harus terampil dalam menggunakan alat-alat psikologis yang sesuai dengan standar tes, sehingga memberi hasil yang tepat sesuai dengan kegunaannya," jelasnya. Penilaian psikologi, menurut pakar assessment Universitas Tarumanegara itu, berguna untuk mengukur kemampuan daya ingat, perhatian atau fokus, kecepatan berpikir, fleksibilitas, dan kemampuan memecahkan masalah. Sementara itu, Ketua Panitia Liftiah berharap, melaui seminar tahunan tersebut, mahasiswa mendapat wawasan dan bekal pengetahuan dalam bidang penilaian psikologi. (rni)(rhs) Artikel 7 Pelanggaran Kode Etik Psikolog Harez Posma, seorang psikolog (konsultan) yang berkedudukan di fakultas psikologi tidak seharusnya melakukan pelanggaran berupa manipulasi data psikologi dan melakukan pencemaran nama baik. Harez Posma melanggar Pasal 31, mengenai peryataan melalui media, dia tidak seharusnya mengumumkan sesuatu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan ke publik yaitu sejumlah individu (lebih dari satu orang) mengalami gangguan jiwa akibat ikut dekon-kompatiologi Vincent Liong. Secara terang-terangan Harez Posma mengakuinya dan mempublikasikan di salah satu mailing list, tanpa rasa bersalah. Pada akhirnya terjadi perdebatan saling menjelekkan antara Harez Posma dan Vincent Liong. Pasal 11(1/2),

menerangkan mengenai masalah dan konflik personal tidak seharusnya merugikan pihak lain, psikolog harus menahan diri, bila hal tersebut terjadi segera melakukan konsultasi professional.

Selain itu juga melanggar Pasal 2, Prinsip B/3, mengenai tipuan atau distorsi fakta yang direncanakan dengan sengaja memberikan fakta-fakta yang tidak benar yang seharusnya tidak dilakukan psikolog. Pasal 2 Prinsip C/3, mengenai menjunjung tinggi kode etik, peran dan kewajiban professional, mengambil tanggung jawab secara tepat atas tindakan mereka, berupaya untuk mengelola berbagai konflik kepentingan yang dapat mengarah pada eksploitasi dan dampak buruk.

Dalam memberikan pernyataan dan keterangan atau penjelasan ilmiah kepada masyarakat umum melalui berbagai jalur baik lisan maupun tertulis, Ilmuan Psikologi dan psikolog harus bersikap bijaksana, jujur, teliti, hati-hati, lebih mendasarkan kepada kepentingan umum daripada kepada kepentingan pribadi atau golongan. Psikolog seharusnya memperhatikan kewenangan sesuai ketentuan yang berlaku untuk menghindari kekeliruan penafsiran serta menyesatkan masyarakat pengguna jasa psikolog. Pernyataan dapat dikategorikan sebagai penipuan berkenaan dengan jasa/praktek psikologi, kegiatan professional, atau ilmiah. Apabila psikolog mengetahui bahwa pernyataanya termasuk penipuan atau pemalsuan terhadap karya mereka atau orang lain, psikolog harus membetulkan pernyataan tersebut.

Harez Posma tidak seharusnya mengumumkan sesuatu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan ke publik yaitu sejumlah individu (lebih dari satu orang) mengalami gangguan jiwa akibat ikut dekon-kompatiologi Vincent Liong. Pasal 2 prinsip E/2,3, mengenai meminimalkan serta menghindari akibat atau dampak buruk apabila terjadi konflik, karena keputusan dan tindakan-tindakan ilmiah dari psikolog dan atau ilmuan psikologi dapat mempengaruhi kehidupan pihak lain. Dalam hal ini seharusnya psikolog menghargai, menghormati kompetensi dan kewenangan rekan dari profesi lain (Pasal 19).

Kasus ini terutama melanggar Pasal 4/3c, karena dengan memanipulasi data berarti telah bertindak tidak jujur dan tidak objektif serta mengesampingkan norma-norma keahlian. Dalam melaksanakan kegiatannya, Ilmuan Psikologi dan Psikolog mengutamakan

kompetensi, obyektivitas, kejujuran, menjunjung tinggi integritas dan norma-norma keahlian serta menyadari konsekuensi tindakannya. DAFTAR PUSTAKA

Sinulingga, Risnawaty. 2008. Pendidikan Agama Kristen. Medan: Pustaka Bangsa Press @vivanews 326K followers meg's Blog Umi Kalsum detikNews Selasa, 07/08/2007 11:34 WIB http://www.sinarharapan.co.id/berita...7/kesra03.html http://news.okezone.com/read/2008/09/16/1/146597/himpsi-hati-hati-banyak-psikologgadungan http://kampus.okezone.com/read/2011/11/22/373/532595/calon-psikolog-harus-paham-soalassesment http://catatan Calla. Pelanggaran Kode Etik Psikologi.html

Вам также может понравиться