Вы находитесь на странице: 1из 20

PENDAHULUAN A.

Hubungan Etika dan Ilmu Pada jaman Yunani dulu, Aristoteles manyatakan bahwa ilmu tak mengabdi Pihak lain, melainkan ilmu digulati hanya untuk ilmu itu sendiri. Sejak abad 17 ilmu giat dikembangkan bukan sekedar tujuan bagi dirinya sendiri melainkan suatu sarana untuk mencapai sesuatu. Dengan demikian secara implisit sesungguhnya pengembangan ilmu tidak lepas dari etika dan bahkan politik. Nilai ilmu terletak pada penerapannya, karena ilmu mengabdi pada masyarakat. Karena salah satu ciri ilmu adalah kebenaran, bahkan kebenaran itu merupakan inti etika ilmu, maka menurut pandangan faham pragmatis kebenaran tersebut ditentukan oleh derajat penerapan praktis dari ilmu (Daldjoeni N., 1997). Untuk menjawab apakah karena kebenaran itu lalu ilmu bukan tujuan bagi dirinya sendiri, sehingga perlu diperhatikan etika sebagai efek tambahan dari ilmu setelah diterapkan dalam masyarakat ?. Dalam kaitan ini Martin Heidegger dalam Daldjoeni, 1996, mendekatinya dari hubungan antara logos dan ethos. Logos menurutnya bukan sekedar akal, tetapi artinya macam-macam dari berbicara sampai membaca, kemudian diluaskan menjadi memperhatikan, menyimak, mengumpulkan makna, menyimpan dalam batin dan berhenti untuk menyadari. Dalam tataran inilah aka logos bertemu dengan etos, maka jelas bahwa ilmu lengket dengan etika. Tingkat kelengketan antara ilmu dan etika ini didasarkan kepada anggapan bahwa karena ilmu bukan tujuan, melainkan sarana. Sebagai sarana, maka ilmu mau tidak mau harus berimpit dengan etika bagi pelayanan sesama manusia dan bahkan tanggung jawab secara agama. Beberapa contoh yang menunjukkan berimpitnya ilmu dan etika antara lain diperbolehkan atau tidaknya cloning pada manusia atau ketika Copernicus (1473-1543) mengemukakan teorinya tentang gerak planit-planit di ruang angkasa yang ketika itu ditentang oleh masyarakatnya dan masih banyak contoh lain. Jadi

jelas bahwa ilmu lengket dengan etika atau dengan keberadaan manusia itu sendiri. Karenanya etika akan menentukan corak perkembangan ilmu karena ilmu didudukkan sebagai sarana. Sedang sifat ilmu yang netral maka ilmu tidak menentukan etika. Dengan demikian batas perkembangan ilmu sangat dipengaruhi oleh etika yang berlaku. B. Ajaran Kant mengenai Etika Di dalam Grundlegun,, Kant berkata bahwa filsafat Yunani bisa dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: fisika, etika, dan logika. Logika bersifat formal dan a priori sebab tidak membutuhkan pengalaman-pengalaman empiris. Logika sibuk dengan bentuk pemahaman dan rasio itu sendiri, dengan hukum-hukum pemikiran universal terlepas dari pelbagai diferensiasi yang ada dalam objek pemikiran itu. Fisika sibuk dengan hukum-hukum alam, sedangkan etika berurusan dengan hukum-hukum tindakan moral. Semua hukum-hukum ini merupakan a priori (unsur-unsur non-empiris). Akan tetapi berbeda dengan logika, fisika dan etika memiliki baik unsur-unsur a priori maupun unsur-unsur empiris, sebab hukum-hukum fisika berlaku atas alam sebagai objek pengalaman, sedangkan hokum-hukum etika berlaku atas kehendak manusia yang dipengaruhi juga oleh pelbagai kecenderungan dan nafsu yang bisa diketahui dalam pengalaman. Kant menyebut fisika a priori-empiris dengan nama ilmu alam (Naturlehre), dan etika a priori-empiris ini dengan nama ilmu kesusilaan (Sittenlehre). Fisika dalam arti luas merupakan filsafat alam. Dalam arti ini, fisika berjalan menurut prinsip-prinsip yang lebuh dari sekedar generalisasigeneralisasi pelbagai data empiris. Di dalam fisika sebagai filsafat alam, ada usaha perumusan dan pembenaran atas prinsip-prinsipnya ini dengan nama Metafisika alam (Metaphysik der Natur). Dari pengalaman atas apa yang dilakukan manusia, kita tidak bisa mengetahui prinsip apa yang mendasari ia bertindak begini atau begitu. Indraindra kita hanya mampu menangkap apa yang kelihatan dan dirasakan saja, sedangkan prinsip-prinsip yang mendasari tindakan seseorang, seperti

kewajiban atau hukum moral, tetap tersembunyi dari pengamatan. Oleh karena itu apabila ada prinsip-prinsip moral yang menjadi dasar bagi tindakan manusia, maka pengetahuan mengenai prinsip-prinsip itu tentunya bersifat a priori, yakni pengetahuan yang tidak mendasarkan dirinya atas pengalaman empiris. Menurut Kant, filsafat moral atau etika yang murni adalah etika yang justru bersifat a priori itu. Etika macam ini menyibukkan diri hanya dengan pelbagai macam perumusan dan pembenaran atas pelbagai prinsip moral dengan pelbagai macam istilah seperti wajib, kewajiban, baik atau buruk, benar dan salah,, sehingga a piori macam ini disebut Kant sebagai Metafisika kesusilaan (Metaphysik der Sitten). Akan tetapi, seperti dikatakan Kant sebelumnya, etika selain bersifat a priori juga bersifat empiris atau a posteriori yang menurut Kant disebut sebagai antropologi praktis (Praktische Anthropologie).

PEMBAHASAN

A.

Moralitas dan Legalitas Dalam Metafisika Kesusilaan (1797), Kant membuat distingsi antara

Legalitas dan Moralitas. Legalitas (Legalitat/Gezetsmassigkeit) dipahami Kant sebagai kesesuaian atau ketidaksesuaian semata-mata suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriyah belaka. Kesesuaian atau ketidaksesuaian ini pada dirinya sendiri belum bernilai moral, sebab dorongan batin(Triebfeder) sama sekali tidak diperhatikan. Nilai moral baru diperoleh dalam Moralitas(Moralitat/Sittlichkeit) adalah kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniyah kita yakni apa yang kita pandang sebagai kewajiban kita. Moralitas akan tercapai jika kita menaati hukum lahiriyah bukan lantaran hal itu membawa akibat yang menguntungkan kita atau takut pada kuasa sang pemberi hukum, melainkan kita sendiri menyadari bahwa hidup itu merupakan kewajiban kita. Selanjutnya Moralitas sendiri masih dibedakan oleh Kant menjadi Moralitas Heterenom dan Moralitas Otonom. Moraltas Heterenom adalah sikap dimana kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak si pelaku sendiri, misalnya karena mau mencapai tujuan yang diinginkannya ataupun karena perasaan takut pada penguasa yang memberi kewajiban itu. Sikap macam ini menurut Kant, menghancurkan nilai moral. Tidak ada yang lebih mengerikan daripada tindakan seseorang yang harus takluk kepada kehendak pihak lain, demikian pendapat Kant. B. Etika moral-pembinaan tindakan sosial Perkembangan minat terhadap etika tumbuh pesat dewasa ini. Berbagai buku tentang Etika Terapan membanjiri ruang lingkup kebudayaan; jurnal baru bermunculan untuk mengkaji masalah-masalah aktual yang dihadapi oleh para pemimpin, dokter, hakim, dan para aktivis pelestarian lingkungan.

Berbagai pendapat dituangkan pada konferensi-konferensi yang seringkali diadakan mengenai Etika Profesi. Beraneka ragam kode etik telah ditulis, diperdebatkan, dan direvisi bagi para pembuat Undang-Undang, insinyur, pegawai perusahaan, polisi, dan perawat. Para ahli ilmu-ilmu sosial semakin menyadari berbagai aspek normatif pekerjaan mereka dan mencoba memutuskan bagaimana seharusnya mereka membentuk disiplin ilmu ekonomi, ilmu politik, dan sosiologi. Berbagai wadah etis telah ada dan akan selalu ada bersama kita. Masalah etis tidak akan begitu saja lenyap, sekalipun masalah ini tidak banyak dibahas dan sekalipun ilmu filsafat, yaitu induk dari etika filsafat atau filsafat moral, tidak banyak memberikan saran mengenai cara menangani masalahmasalah etis. Pada tahun-tahun belakangan ini, semakin banyak para filsuf yang menaruh minat pada etika terapan, yaitu etika yang menangani masalah-masalah moral seperti yang ada, bukannya menangani teori moral yang abstrak sematamata. Sejumlah filsuf telah menggambarkan dan sebagian lagi mengkarikaturkan diri mereka sebagai orang yang memiliki kearifan dan pemahaman yang unggul dan sedang menentukan perlu tidaknya mengkaruniai dunia ini dengan kearifan dan pemahaman mereka itu. Gambaran semacam ini kurang tepat, walaupun motif si filsuf adalah kemurahan hati atau semacam kewajiban yang bijaksana (Sagesse Oblige). C. Etika sebagai cabang filsafat Hidup kita seakan-akan terentang dalam suatu jaringan norma yang berupa ketentuan, kewajiban larangan dan lain sebagainya. Jaringan itu seolaholah membelenggu kita, mencegah kita dari bertindak sesuai dengan segala keinginan kita, mengikat kita untuk melakukan sesuatu yang sebetulnya kita benci. Maka timbullah pertanyaan: Dengan hak apa orang mengharapkan kita tunduk terhadap norma itu? Bagaimana kita dapat menilai norma itu?. Etika merupakan penyelidikan filsafat tentang bidang moral, yaitu mengenai kewajiban manusia serta tentang yang baik dan yang buruk. Etika

didefinisikan sebagai filsafat tentang bidang moral. Sifat dasar etika adalah sifat kritis dimana etika bertugas untuk mempersoalkan norma yang dianggap berlaku. Diselidikinya apakah dasar suatu norma itu dan apakah dasar itu membenarkan ketaatan yang dituntut oleh norma itu terhadap norma yang de facto berlaku, etika mengajukan pertanyaan dalam legitimasinya. Etika (Etimologik), berasal dari kata yunani Ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Identik dengan perkataan moral yang berasal dari kata latin Mos yang dalam bentuk jamaknya yaitu Mores yang berarti juga adat atau cara hidup. Dari beragamnya pengertian tersebut, etika diklasifikasikan menjadi 3 jenis definisi: a) Yang menekankan pada aspek hitorik b) Yang menekankan secara deskriptif c) Yang menekankan pada sifat dasar etika sebagai ilmu yang normatif dan bercorak kefilsafatan. Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia. Jenis kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan masalah baik buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Definisi demikian tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat sosiologik. Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruk terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup memberikan informasi, menganjurkan dan merefleksikan. Atas dasar jenis definisi yang terakhir inilah etika digolongkan sebagai pembicaraan yang bersifat informatif, direkif dan reflektif. Objek etika (Menurut Franz Von Magnis, 1979:15-16) adalah pernyataan moral. Apabila diperhatikan segala macam moral, pada dasarnya

hanya ada dua macam: pernyataan tentang tindakan manusia dan pernyataan tentang manusia sendiri atau tentang unsur-unsur kepribadian manusia seperti motif-motif, maksud, dan watak. Ada himpunan pernyataan ketiga yang tidak bersifat moral, tetapi penting dalam rangka pernyataan tentang tindakan. Skemanya adalah sebagai berikut:
Pandangan Moral Etika Pernyataan Moral Persoalan Moral

1.

Pernyataan tentang tindakan manusia 2. Pernyataan tentang manusia sendiri 3. moral Penjelasan: 1. Dalam beberapa pernyataan kita mengatakan bahwa suatu tindakan tertentu sesuai atau tidak sesuai dengan norma-norma moral dan oleh karena itu adalah betul, salah, dan atau wajib. Contoh: Engkau harus mengembalikan uang itu, Mencuri itu salah, Perintah yang buruk tidak boleh ditaati, disebut: Pernyataan Kewajiban. 2. Orang, kelompok orang, dan unsur-unsur kepribadian (motif, watak, maksud, dan sebagainya) kita nilai sebagai baik, buruk, jahat, mengagumkan, suci, memalukan, bertanggungjawab, pantas ditegur, disebut: Pernyataan Kewajiban Moral. 3. Himpunan pernyataan ketiga yang harus diperhatikan adalah penilaian bukan moral. Pernyataan bukan

Contoh: Mangga itu enak, Anak ini sehat, Mobil ini baik, Kertas ini jelek dan sebagainya. Inti etika adalah analisa pernyataan kewajiban. Penilaian bukan moral disinggung sejauh diperlukan dalam rangka pembicaraan perrnyataan kewajiban. Dari bidang nilai-nilai moral dibicarakan kebebasan dan tanggung jawab (Magnis, 1979: 16). D. 1. Norma dalam Etika Ada fakta fundamental tentang hidup susila. Tiap-tiap penilaian menyandarkan suatu ukuran (devos), manusia dalam bertingkah laku tergantung pada norma. Norma mewajibkan manusia secara mutlak, tetapi norma juga tidak memaksa orang. Manusia dapat bebas, manusia dapat menaati norma dan dapat pula bersikap masa bodoh. Norma susila dapat berfungsi mewajibkan, karena ia bebas dari kesenangan manusia yang semau-maunya. Manusia tidak menguasai norma, tetapi norma yang menguasai manusia. Norma mempunyai sifat sebagai perintah kamu harus dan kamu jangan, tanpa menghiraukan kehendak atau keinginan yang bersangkutan. 2. Ada 2 macam Norma dalam berlakunya: 1) Bersyarat (Hipotetis), yaitu apabila manusia hendak mencapai tujuan tertentu. Yang termasuk jenis ini seperti: aturan perkuliahan, yang berlaku bagi orang yang mengikuti kegiatan kuliah; ingin lulus dan jadi sarjana. Bagi orang yang melihat kelulusan dan kesarjanaan itu lebih rendah dari hal-hal lain, maka aturan tadi tidak perlu dihiraukan. Norma bersyarat itu didasarkan atas pengalaman. Kita bisa menyusun suatu aturan untuk mencapai tujuan tertentu, karena dari pengalaman itu kita bisa mengambil kesimpulan bahwa pengalaman itulah yang bias membawa secara cepat dan tepat ke arah tujuan.

2) Tidak bersyarat (Kategoris) Perintah jangan membunuh, jangan merampas hak orang lain, tidak dimaksudkan sebagai aturan yang bersyarat, melainkan mutlak, tak bersyarat, absolut. Disini tidak dikatakan bahwa kita jangan membunuh apabila kita ingin mencapai suatu tujuan tertentu. Ini artinya berlaku untuk segala keadaan, tidak bergantung pada tujuan tertentu. Sifatnya yang tidak bersyarat itu jelas terasa dalam perkataan wajib, suatu istilah khas etika yang oleh Driiarkara dikatakan sebagai iktan yang membebaskan. Kita terikat untuk melakukan kewajiban, tetapi kalau kita kerjakan justru kita akan merasa ringan, karena sesudah itu merasa tidak mempunyai beban apapun. E. Etika melalui Bahasa Tubuh Bahasa verbal dan bahasa tubuh sama-sama penting dalam pergaulan. Oleh karena itu, menjadi keharusan bagi semua orang untuk mengetahui bahasa tubuh yang baik dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sri Suroso, Pakar etika dan kecantikan. SEJAK kecil kita semua diajarkan untuk selalu bersikap ramah serta manis dan bertutur sapa dengan sopan. Karena memang. Semua itu merupakan modal utama orang berkomunikasi dengan baik sehingga dapat di terima dalam pergaulan. Seiring perkembangan zaman, bahasa verbal saja tidak cukup. Orang bisa menjadi pribadi yang memikat jika mampu berkomunikasi menggunakan bahasa verbal dan nonverbal dengan baik. Yang dimaksud bahasa nonverbal di sini adalah body language (bahasa tubuh). Sebagaimana para psikolog mengatakan, mata adalah jendela hati karena tidak pernah berbohong. Mata bisa mengungkapkan perasaan si pemiliknya, baik itu bahagia, cinta, atau benci. Bahasa tubuh terdiri dari gerakgerik mata dan tubuh. Setiap saat diam-diam tubuh kita mengirim dan menangkap pesan secara jujur. Karena itulah komunikasi bahasa tubuh lebih dipercaya daripada bahasa lisan.

Pakar etika dan kecantikan Sumsel, yang sudah punya nama hingga ke tingkat nasional, Sri Suroso beberapa waktu lalu mengatakan, Bahasa verbal dan bahasa tubuh sama-sama penting dalam pergaulan. Oleh karena itu, menjadi keharusan bagi semua orang untuk mengetahui bahasa tubuh yang baik dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menunjang penampilan, setiap orang perlu mempelajari bahasa tubuh yang baik dan benar. Karena ini dapat membawa kita menuju kesuksesan dalam pergaulan dan karier. Bukankah semua lingkungan menyukai pribadipribadi yang memikat. Psikolog William James membagi empat jenis bahasa tubuh yang secara umum menyiratkan pikiran dan perasaan orang; 1. Bahasa Tubuh Terbuka (Forward Looking), yaitu posisi tubuh dan wajah menghadap lawan bicara. Ini menyiratkan kesiapan memberi perhatian dan kehangatan, sekaligus mencerminkan respon positif terhadap lawan bicara. 2. Bahasa Tubuh Tertutup, yaitu sikap tubuh tertarik ke belakang tetapi tidak memunggungi lawan bicara. Misalnya menoleh ke arah lain ketika lawan tengah berbicara. Sikap ini mencerminkan rasa malu dan bosan. Bagi lawan bicara, sikap ini seringkali diartikan sebagai sikap dingin. 3. Bahasa Tubuh Ekspansif, sikap tubuh tampak dalam postur siaga, misalnya berdiri tegak dengan dagu sedikit mendongak. Sikap ini mencerminkan rasa bangga dan arogansi. Umumnya sikap ini dimiliki orang yang rasa percaya dirinya cukup tinggi. Sayangnya, orang-orang seperti ini kurang bisa menghargai lawan bicara. 4. Bahasa Tubuh Tegang, terlihat dari postur tubuh yang mengkerut, seolah-olah ditarik ke dalam. Misalnya wajah menunduk, tangan dilipat, dan mata tidak berani menatap. Sikap ini mencerminkan rasa kecewa, sedih, atau frustasi. Keempat bahasa tubuh dasar itu mencakup empat motivasi dan mood dasar sebagai mahluk yang butuh komunikasi. Dengan memahami bahasa

10

tubuh, kita dapat memperbaiki komunikasi dan pemahaman terhadap orang lain. Kita harus mengetahui apa saja bahasa tubuh yang dianggap positif dan negatif. F. 1. Etika Profesi Etika Profesi Wartawan Profesi wartawan (dunia pers umumnya), sejak era reformasi bergulir pertengahan tahun 1998, tampak semakin diminati dan bahkan tidak sedikit generasi muda berupaya melamar untuk bekerja di berbagai media massa meskipun terkadang alpa bahwa dunia jurnalistik juga perlu keterampilan dan etika. Seiring dengan meningkatnya minat bergabung di media terutama menjadi wartawan itu, kini terdapat puluhan ribu orang bekerja di dunia pers. Organisasi wartawan yang dulunya hanya ada PWI, kini tercatat puluhan dan organisasi menyepakati rambu-rambu sebagai pedoman wartawan. Terkait dengan perkembangan dan kemajuan, terutama bidang penerbitan, dunia pers Indonesia sekarang bagaikan sebuah universitas megah di tengah metropolitan. Tidak sedikit mahasiswa (wartawan) dari berbagai latar pendidikan menimba ilmu pengetahuan dengan modal dasar kemauan dan keberanian. Hanya berani? Belum cukup. Wawasan dan keterampilan menulis serta etika merupakan aspek yang harus menjadi "sahabat akrab" wartawan. Masalah etika, dalam bahasa agama Islam disebut akhlak, merupakan salah satu persoalan yang seyogianya dikedepankan dalam berbagai kegiatan termasuk pekerja di dunia pers. Alex Sobur dalam bukunya "Etika Pers Profesionalisme Dengan Nurani" menyebutkan etika adalah ilmu yang membicarakan masalah baik dan buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Etika sekurang-kurangnya mengandung dua pengertian, yakni ilmu dan pedoman bagi baik buruknya perilaku. Pada dasarnya, etika merupakan cabang filsafat yang mengenakan refleksi dan metode tugas dalam upaya menggali nilai-nilai moral atau menerjemahkan pelbagai nilai itu ke dalam norma-norma dan kemudian menerapkannya pada situasi kehidupan kongkret. Sebagai ilmu, etika

11

mencari kebenaran sedangkan filsafat berupaya mencari keterangan (dan kebenaran) yang sedalam-dalamnya. Sebagai tugas, etika mencari ukuran tentang baik-buruknya tingkah laku manusia. Etika dalam bahasa agama (Islam) dikenal dengan akhlak yang menjadi landasan diutus Muhammad SAW sebagai Rasul terakhir. Etika yang termasuk dalam kelompok filsafat praktis, merupakan bentuk pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran serta pandangan-pandangan moral. Etika berkaitan erat dengan pelbagai masalah nilai karena etika membicarakan masalah-masalah predikat nilai "susila" dan "asusila", baik dan buruk. Karena etika membicarakan masalah baikburuk tingkah laku manusia, maka ilmu ini diperlukan dalam berbagai profesi yang digeluti manusia, termasuk profesi wartawan. Etika profesi adalah keseluruhan tuntutan moral yang terkena pada pelaksanaan suatu profesi. Ada etika bisnis, etika sosial, etika keluarga dan etika dalam pergaulan. Etika profesi memperhatikan masalah ideal dan praktek-praktek yang berkembang karena adanya tanggung jawab serta hak-hak istimewa yang melekat pada profesi tersebut, yang merupakan ekspresi dari usaha menjelaskan keadaan yang belum jelas dan masih samar-samar serta merupakan penerapan nilai-nilai yang umum dalam bidang khusus. Dilihat dari pekerjaannya, bidang jurnalistik juga masuk dalam kategori profesi karena ia memerlukan pendidikan khusus yang tidak semua orang memilikinya. Profesi wartawan dilandasi kreativitas dan pemikiran energik dalam mendapatkan informasi untuk dijadikan berita konsumsi masyarakat pembaca. Profesi sebagai bidang pekerjaan memerlukan keahlian penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek profesi, metode intelektual yang merupakan semacam jembatan antara teori dan penerapannya dalam praktek, pemilikan kemampuan untuk menerapkan dalam praktek teknik intelektual tersebut pada urusan praktis termasuk menyelesaikannya.

12

Karena itu, setiap profesi memerlukan keahlian khusus dan orang yang menggulitinya profesional. Suatu pekerjaan dapat disebut profesional manakala pekerjaan tersebut ditekuni, dicintai dan dinikmati tanpa mengabaikan etika yang merupakan refleksi perilaku manusia beragama. Soal menikmati, terkait erat dengan nurani kemanusiaan Setiap individu yang ingin bekerja di suatu bidang tentu dilandasi motivasi tinggi (kemauan) dan kecintaan terhadap pekerjaan tersebut. Perasaan menikmati pekerjaan baru akan tumbuh - seharusnya dipacu untuk tumbuh - setelah beberapa bekerja tanpa ada "perintah" menyelesaikan kewajiban dalam setiap tugasnya. Tidak terkecuali pekerja di bidang jurnalistik, profesi lainnya juga semestinya menikmati pekerjaan yang digelutinya agar kreativitas dan inovasi tidak terhenti. Menikmati suatu pekerjaan yang ditekuni juga dapat terhindar dari rasa jenuh, karena perasaan jenuh itu sendiri sering menghampiri para pekerja. Menikmati suatu profesi, dalam hal ini profesi wartawan dinilai penting dalam rangka meningkatkan keterampilan dan profesionalisme. Perasaan profesional memiliki kepedulian dan terpanggil untuk bekerja. Komitmen ini dilandasi tanggung jawab dalam memberi pelayanan yang benar kepada masyarakat pembaca. Wartawan profesional memahami bahwa dia memiliki otonomi, profesional dalam membuat keputusan (layak-tidaknya sebuah berita disiarkan), profesional mengatur diri dan ia mengontrol perilakunya sendiri. Mereka tahu bahwa berbagai hal terkait dengan pekerjaannya untuk kepentingan masyarakat. Sebaliknya, jika ada wartawan yang bekerja untuk kepentingan kelompok masyarakat tertentu berarti ia menyimpang profesi sesungguhnya. Pelaku profesi belum dapat disebut menjalani kehidupan profesional manakala tujuan pribadi atau kelompok lebih diutamakan ketimbangkan tujuan sosial kemasyarakatan.

13

Oleh karena itu, semua pekerjaan yang dipilih dan menjadi profesinya harus dilakukan berdasarkan hati nurani sejalan dengan tujuan kode etik profesi itu sendiri. Wartawan profesional lebih mengarahkan daya pikirnya ke bidang pekerjaan secara profesional. Franz Magnis Suseno mengatakan, profesi memiliki tiga ciri moral yakni harus menjadi orang yang tidak diselewengkan dari tekadnya, memiliki moral yang kuat, harus menyadari bahwa mempertahankan tuntutan etika profesi merupakan kewajiban yang berat dan memiliki cukup idealisme. Dunia jurnalistik di era reformasi mengalami kemajuan pesat yang ditandai dengan bermunculan media cetak dan elektronik seperti jamur di musim hujan. Seiring dengan itu, jumlah pekerja di bidang ini juga bertambah dan seolah siapa pun orangnya dapat mengantongi kartu pers meskipun tidak memiliki keterampilan menulis. Akibatnya, masyarakat keliru menafsirkan profesi wartawan yang sesungguhnya. Kekeliruan itu sendiri bermula dari salah penafsiran kalangan profesi seperti kesalahan menafsirkan reformasi - bebas berbuat/menulis apa saja - tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan akibat perbuatan/penulisan tersebut. Khususnya profesi wartawan, sebetulnya sudah ada batas-batas yang telah ditentukan jauh sebelum bidang jurnalistik ini berkembang seperti disitir dalam Al-Qur`an surat Al-Hujurat ayat 11 Allah mengingatkan manusia untuk menjauhi prasangka dan menggunjing serta mencari-cari kesalahan orang lain. Seleksi terhadap berbagai informasi yang diterima dan akan disajikan dalam bentuk berita harus dilakukan dengan niat menghindari terjadinya perpecahan. Dikaitkan dengan era reformasi yang keliru ditafsirkan, agaknya tanggung jawab pekerja di bidang jurnalistik menjadi tidak ringan. Ada beberapa prinsip universal yang sesungguhnya dapat menjadi rambu-rambu bagi wartawan profesional. Pertama, wartawan harus melaporkan kebenaran berdasarkan fakta dan sumber berita, kedua

14

memeriksa keakrutan informasi sebelum disiarkan dan ketiga memperoleh informasi harus secara jujur. Kebebasan pers dikaitkan dengan profesi wartawan di era reformasi, sesungguhnya merupakan kebebasan yang bertanggung jawab berdasarkan hati nurani. Berbagai informasi yang disuguhkan kepada masyarakat sesuai kebebasan yang dimiliki wartawan harus sejalan dengan kode etik jurnalistik. Jadi, bukan bebas tanpa batas seperti menulis berita tentang pertanian dengan sumber seorang pakar politik. Ini keliru besar karena menyalahi kode etik jurnalistik. Setiap informasi yang dijadikan berita harus berdasarkan sumber berkompeten, sehingga tidak keliru memberi penfasiran reformasi. 2. Etika Profesi Arsitek Organisasi profesi arsitektur yang paling relevan dan kontekstual dengan problematika ini adalah Ikatan Arsitek Indonesia Daerah Bali (IAI Bali) dan Ikatan Kekerabatan Arsitek Bali (Ikrar Bali). Isu pemberdayaan, eksistensi dan profesionalisme arsitek (Bali) sudah lama bergulir pada kedua organisassi ini. Apalagi sejak diberlakukannya Undang-undang Bangunan tahun 2002. Pokok permasalahan bagi arsitek Bali adalah kurang eksisnya profesi arsitek dan lemahnya bargaining position arsitek dalam berprofesi. Hingar bingarnya kepariwisataan dengan masuknya modal asing dan banyaknya pembangunan hotel resor berbintang dan pembangunan berskala besar lainnya tidak menjadikan arsitek lokal berperanan menentukan, tetapi malah termarginalkan hanya sebagai arsitek aksesori. IAI Bali sebagai organisasi profesi yang punya peranan pemberdayaan arsitek lokal, dan kompetensi menentukan panduan disain arsitektur yang konstekstual dengan Bali, tidak terlihat jelas kontribusinya. Justru arsitek asing dan nonlokal yang menggusur peranan arsitek lokal.

15

Arsitek asing dan nonlokal yang mendominasi desain arsitektur menghasilkan karya yang nampak modern di satu sisi, tetapi di sisi lain dikhawatirkan kurang memahami muatan-muatan atmosfer filsofis kultur, sosiologis dan atmosfer taksu dari lingkungan binaan (arsitektur) lokal yang sangat bercitra harmonis. Problem mendasar bagi arsitek lokal saat ini ialah lemahnya arsitek dalam mengambil sikap dan menentukan prinsip. Adalah keharusan seorang arsitek untuk mentatati peraturan daerah yang ada dan etika keberpihakan pada arsitektur lokal. Namun bila ditekan dan didikte oleh klien, sanggupkah sang arsitek bertahan pada idealisme profesinya dengan risiko kehilangan job atau pekerjaan? Fakta fenomena ini sering terjadi. Sudah seharusnya ini tidak menjadi problem dilematis bagi sang arsitek jika sistem yang mengatur keprofesian arsitek dan pembangunan arsitektur berjalan baik, berikut Perda yang lugas dan penegakan hukumnya yang konsisten. Pada kondisi saat ini, sistem tersebut belum berjalan baik. Di sinilah peran oranisasi profesi arsitek aktif menciptakan sistem yang kondusif. Sudah sekian lama IAI Bali hingga beberapa kali periode kepengurusan seperti tak berdaya mengatasi problema eksistensial seperti ini. Namun IAI Bali pada kepengurusan kini bekerjasama dengan Ikrar Bali terus menggiatkan registrasi bagi anggotanya guna mendapatkan sertifikasi dari IAI pusat. Dengan sertifikasi IAI ini, diharapkan profesionalitas arsitek secara formal dan legal mendapat pengakuan (legitimasi). IAI Bali berkepentingan agar sebanyak-banyaknya arsitek di Bali bersertifikat IAI, karena sudah menjadi paradigma internasional bahwa sertifikasi adalah "rule of thumb" di dunia professional, tidak ada keahlian tanpa sertifikasi. Program registrasi untuk kemudian ditingkatkan mendapatkan sertifikat IAI, memang sebagai langkah mendasar dan sebagai pondasi IAI Bali menata keanggotaan dan organisasinya. Semua ini bertujuan menuju konsolidasi agar punya kapabilitas dan kesiapan dalam mengatasi semua probematika kearsitekturan di Bali yang cukup kompleks. Termasuk dalam menghadang dominasi arsitek asing di Bali untuk dikembalikan pada

16

kompetensi dan porsi yang proposional dan sesuai dengan standar hukum yang diharapkan ikut menunjang. Langkah IAI Bali perlu dilanjutkan bekerjasama dengan Pemda Bali, agar Pemda mengeluarkan lisensi bagi arsitek bersertifikat IAI untuk bisa berpraktik sebagai arsitek yang kompeten dan legal. Hal ini agar secepatnya dapat diimplimentasikan pada proses permohonan IMB, bahwa hanya arsitek bersertifikat yang bisa diberi IMB. Langkah ini perlu agar desain arsitektur yang dihasilkan berkualitas. Akan halnya panduan standarisasi desain arsitektur Bali dalam perizinan mendirikan bangunan (IMB), IAI Bali dan Ikrar Bali dapat berperan serta di dalam -- semacam -- komite desain (design comitee) sebagai mitra Pemda (PU) seperti yang sudah menjadi agenda di organisasi tersebut. Pertengahan Juni hingga pertengahan Juli lalu, IAI Bali bekerjasama dengan Ikrar Bali menyelenggarakan pameran arsitektur bersama yang ditunjang dengan kegiatan diskusi dan seminar arsitektur, terkait event Pesta Kesenian Bali (PKB) di Taman Budaya Denpasar. Kegiatan ini punya arti dan manfaat penting bagi pengembangan arsitektur Bali sesuai dengan tema pameran mereka, "Dua Matra Harmoni Arsitektur Bali". Kegiatan ini patut diapresiasi positif. Karena, dengan aktifnya diskursus dan eksibisi karya arsitektur, wacana arsitektur Bali tentu lebih sering mengemuka dengan opini dan kritik yang akan memantapkan perkembangan arsitektur Bali. Semua usaha ini jelas punya relevansi dengan sehatnya perkembangan kearsitekturan di Bali yang muaranya pada kuatnya eksistensi arsitek dan arsitekturnya. Arsitek menempati posisi sentral sebagai agen atau penentu perkembangan arsitektur, arsiteklah yang paling bertanggungjawab terhadap arah perkembangan dan eksistensi arsitektur. Pengertian arsitek tidak harus formal (alumnus sekolah arsitektur) karena arsitektur dapat saja dihadirkan oleh mereka yang bukan arsitek formal.

17

Dalam dinamika arsitektur di Bali seiring dengan masuknya modal asing dalam investasi di bidang pariwisata dan pembangunan properti, mereka datang dengan membawa arsitek asing dan arsitek nonlokal. Arsitek ini beredar dan terlibat aktif perancangan arsitektur di Bali. Kehadiran mereka tidak bisa dipungkiri banyak membawa nuansa dan warna baru terhadap desain arsitekturnya, di antaranya menghadirkan nuansa modern dan mensinkretik karyanya dengan muatan arsitektur lokal dengan gaya arsitektur universal -- seperti art deco, kubisme, art neveau, mediteran, hingga minimalis -- menjadikan arsitekturnya bernuansa Bali tetapi modern, atau arsitektur dengan tampilan modern tetapi bercitra Bali. Sisi positifnya adalah karya mereka menghadirkan sesuatu yang baru, memberi pengajaran dan ajakan kepada komunitas arsitek lokal untuk berani keluar dari belenggu dan pakem (kaidah) arsitektur yang konservatif, konvensional dan mengekang penjelajahan desain. Tetapi sisi negatifnya juga ada dan menggejala. Di antara mereka, ada yang datang dengan membawa gaya arsitektur modern dan universal yang berlebihan dan menafikan rupa arsitektur lokal. Tengok beberapa bangunan ruko di jalan sunset road (utara patung Dewa Ruci), Kuta. Mereka mengolah ruang tanpa memperhatikan aspek kultur dan kosmologi Bali, mengolah lahan dan lansekap sangat eksploitatif sehingga potensial menciptakan disharmoni dengan lingkungannya. Tengok eksploitasi lansekap jurang di sungai Ayung dan di beberapa jurang lain di Ubud. Arsitek lokal pun ada yang terkena eforia westernisasi sebagai simbol modernitas. Mereka sebenarnya bukan merancang arsitektur tetapi hanya merancang bangunan karena karyanya menjadikan disharmoni, rupa bangunan tanpa ekspresi lokal, ruang menjadi individual hilang komunalitas dan kebersamaan rasa ruang. Tengok aliran subak yang terputus oleh bangunan villa, jalan lingkungan menuju pura di desa-desa menjadi terputus atau aksesnya menjadi sulit hanya untuk keangkuhan bangunan villa, pantai menjadi privat sehingga terbatasnya akses dan ruang

18

untuk ritual melasti. Arsitek yang rancangannya mengakibatkan disharmoni seperti ini wajib dikecam dan diberi sanksi oleh komunitasnya. Sebenarnya, banyak arsitek yang memahami etika, keberpihakan dan aspek hukum. Namun, karena dijepit oleh tekanan ekonomi ditunjang oleh sistem yang tidak kondusif untuk beridealisasi, akhirnya banyak yang tunduk demi survive kondisi ekonominya. Problem belum stabilnya kondisi ekonomi para arsitek di Bali menjadikan kode etik profesi arsitek sebagai standar norma yang sepertinya hanya di awang-awang dan tidak acceptable untuk dihayati agar menjadi arsitek yang berdedikasi dan berintegritas. Ini adalah realitas soal integritas mayoritas arsitek di Bali. Bila sang arsitek bekerja dengan penuh dedikasi dan integritas, malahan seringkali sulit mendapatkan proyek atau pekerjaan. Ini dikarenakan realitas pasar yang sering memihak pada arsitek yang "karena tekanan ekonomi" bekerja saling menyerobot proyek, dengan standar fee yang lebih rendah bahkan sangat rendah daripada yang mestinya berlaku. Fenomena ini, sekali lagi, memang saling kait termasuk dengan organisasi profesi (IAI), bagaimana agar kendala ekonomi yang menjadi problem mendasar bagi arsitek teratasi. Bagaimanapun, sepanjang masalah kelemahan ekonomi belum teratasi, arsitek akan terkendala untuk menegakkan prinsip, tegas mengambil sikap, dan menjadi profesional. Bila arsitek Bali dalam kondisi "sakit" seperti ini, apa yang bisa diharapkan dalam pembentukan jati diri arsitekturnya?

19

20

Вам также может понравиться