Вы находитесь на странице: 1из 20

V.

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Fermentasi berasal dari bahasa Latin yaitu ferfere yang artinya mendidih yakni

gambaran dari penampakan dari sari buah anggur yang sedang difermentasi. Louis Pasteur (Ilmuwan Prancis) mengatakan bahwa fermentasi adalah penguraian gula menjadi alcohol dan CO2 yang ditimbulkan oleh aktivitas mikroorganisme (khamir) dan berlangsung tanpa suplai udara/oksigen (Tjahjadi, 2008). Fermentasi merupakan proses yang relatif murah yang pada hakekatnya telah lama dilakukan oleh nenek moyang kita secara tradisional dengan produk-produknya yang sudah biasa dimakan orang sampai sekarang seperti tape, oncom, kecap, yoghurt, dan lain lain ( Murtini, 1997 ). Dalam arti umum menurut Tarigan (1988) fermentasi dapat didefinisikan sebagai proses metabolisme dimana akan terjadi perubahan-perubahan kimia dalam suubstrat organik, kegiatan atau aktivitas mikroba yang membusukkan bahan-bahan yang difermentasi. Perubahan kimia tadi tergantung pada macam bahan, macam mikroba, pH, suhu, adanya aerasi atau usaha lain yang berbeda dengan faktor-faktor diatas, misalnya

penambahanpenambahan bahan tertentu untuk menggiatkan fermentasi. Fermentasi adalah suatu proses pemecahan karbohidrat dan asam-asam amino secara anaerobik oleh mikroorganisme. Contoh mikroorganisme itu adalah bakteri, khamir dan kapang. Untuk hidup, semua mikroorganisme membutuhkan energi yang didapat dari hasil metabolisme bahan pangan. Bahan baku energi yang paling banyak digunakan di antara mikroorganisme adalah glukosa (Tjahjadi, 2011). Pengawetan makanan secara fermentasi dapat mengendalikan pertumbuhan

mikroorganisme pembusuk dan menumbuhkan mikroorganisme yang berguna secara selektif. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menciptakan kondisi yang cocok bagi pertumbuhan mikroorganisme tersebut, caranya ialah dengan mengatur kondisi lingkungan seperti suhu, oksigen dan pH (Tjahjadi, 2011). Dengan adanya oksigen, beberapa mikroorganisme tipe metabolisme aerobik mencerna glukosa dan menghasilkan air, karbondioksida serta sejumlah besar energi ATP yang digunakan untuk tumbuh. Akan tetapi, beberapa mikroorganisme dapat mencerna bahan bakunya tanpa ada oksigen, dan sebagai hasilnya bahan baku ini hanya sebagian yang dapat dipecah. Hasil metabolismenya pun hanya sejumlah kecil energi, karbondioksida, air dan produk akhir metabolik organik lain (Tjahjadi, 2011).

Fermentasi berarti disimilasi anaerobik senyawa-senyawa organik yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme atau ekstrak dari sel-sel tersebut. Disimilasi yaitu proses pengubahan senyawa didalam sel seperti glikogen dan ATP menjadi senyawa yang tingkat energinya lebih rendah sedemikian rupa sehingga energi dibebaskan dalam proses ini. Disimilasi berlangsung di dalam sel dan produk- produknya dikeluarkan ke media sekitarnya. Disimilasi terutama menghasilkan senyawa organik, senyawa anorganik dan beberapa unsur, contohnya karbohidrat, glikosida, alkohol, asam keto, hidrokarbon, asam amino dan amina, sejumlah garam Fe, Mn, dan As, unsur karbon, belerang dan lain-lain (Gumbiro, 1987). Menurut Dwijoseputro (1990), perkataan fermentasi sering disalin dengan perkataan peragian. Hal ini sebenarnya tidak tepat. Kata-kata ragi untuk tempe, ragi untuk tape, ragi untuk roti, ragi untuk oncom, ragi untuk membuat minuman keras itu menurut sistematika di dalam dunia tumbuhtumbuhan banyaklah yang berbeda. Secara fisiologi, ragi-ragi tersebut mempunyai persamaan yaitu menghasilkan fermen atau enzim yang dapat mengubah substrat menjadi bahan lain dengan mendapatkan keuntungan berupa energi. Adapun substrat yang mereka ubah itu berbeda-beda. Orang membatasi pengertian fermentasi hanya pada alkoholisasi dan laktasi. Berdasarkan sumber mikroorganisme yang digunakan, fermentasi pangan dibedakan atas fermentasi spontan dan fermentasi tidak spontan. Fermentasi spontan yaitu tanpa penambahan starter / inokulum, sedangakan fermentasi tidak spontan yaitu dengan penambahan starter / inokulum. (Tjahjadi, 2008) Pada praktikum kali ini dilakukan proses fermentasi spontan dan fermentasi tidak spontan. Fermentasi spontan dilakukan pada pembuatan sauerkraut.

5.1

Fermentasi Spontan Praktikum yang pertama kali dilakukan adalah fermentasi spontan. Fermentasi

spontan adalah proses fermentasi tanpa ditambahkan mikroorgganisme sebagai starter/ inokulum atau ragi. Hasil pengamatan dari fermentasi spontan dapat dilihat pada tabel 1 hingga tabel 2 dibawah ini.

Tabel 1. Pembuatan Sauerkraut (Kubis Asin) Dengan Penambahan Merica


Hari keBerat (gram) Sebelum 122 Garam (gram) 3,675 Suhu ruang 2530C Sesudah iris 2 hari 4 hari 6 hari Layu + Layu + Layu ++ Asin Asin Asin 108 Lama fermentasi 2 minggu Keras ++ Berair pH Tekstur Cita rasa Agak pahit Asin Putih kehijauan Putih kehijauan Pucat + Pucat + Pucat ++ Warna

8 hari

Layu ++

Asin

Pucat ++

12 hari

Layu ++

Asin

Pucat ++

14 hari

Layu ++

Asin

Pucat ++

Sumber : dokumentasi pribadi (2011)

Tabel 2. Pembuatan Sauerkraut (Kubis Asin) Tanpa Penambahan Merica Hari keBerat (gram) Sebelum 122 Garam (gram) 1,6 Suhu ruang 2530C Sesudah iris 2 hari 4 hari 6 hari 8 hari 12 hari 14 hari Layu + Layu + Layu ++ Layu ++ Layu ++ Layu ++ Asin Asin Asin Asin Asin Asin 46 Lama fermentasi 2 minggu Keras ++ Berair pH Tekstur Cita rasa Agak pahit Asin Putih kehijauan Putih kehijauan Pucat + Pucat + Pucat ++ Pucat ++ Pucat ++ Pucat ++ Warna

Sumber : dokumentasi pribadi (2011)

Salah

satu

sifat

sayuran

adalah

cepat

layu

dan

busuk

akibat

kurang

cermatnyapenanganan lepas panen. Untuk memperpanjang masa simpannya dapat dilakukan dengan berbagai pengolahan, misalnya acar, sauerkraut, sayuran asin, kerupuk, dan lain-lain. (Margono, Suryati, Hartinah. 1993). Oleh karena itu sayuran merupakan salah satu bahan pangan yang bersifat perishable. Sayuran ini diolah dengan cara peragian dan menggunakan garam sebagi zat pengawetnya. Tujuan pengolahan ini selain mengawetkan sayuran juga dapat meningkatkan rasa sayuran itu. (Tjahjadi dan Marta, 2008) Kol atau kubis merupakan sayuran yang paling umum diolah menjadi sauerkraut, karena jenis sayuran ini banyak ditanam di Indonesia. Selain kubis, sayuran lain yang dapat diolah menjadi sauerkraut antara lain : sawi, kangkung, genjer, dan lain-lain. (Margono, Suryati, Hartinah. 1993) Sauerkraut adalah kubis asam yang dibuat dengan cara fermentasi dengan bantuan bakteri Leuconoctoc mesenteroides yang memulai fermentasi yang kemudian dilanjutkan oleh jenis lain yang lebih tahan terhadap asam, yaitu Lactobacillus bravis, Lactobacillus plantarum dan Pediococcus cerevisiae. Dapat dilihat pada tabel di atas karakteristik dari kubis yang akan digunakan sebagai bahan dasar pembuatan sauerkraut masih belum terdapat perubahan baik pada warna tekstur dan aroma. Pada praktikum kali ini dilakukan dua perlakuan berbeda terhadap kubis yang dijadikan sauerkraut, yaitu perlakuan dengan pemeberian merica dan tanpa pemberian merica. Kubis yang digunakan untuk membuat sauerkraut dengan pemberian merica adalah sebanyak 122 g. Kemudian kubis diiris-iris tipis sehingga beratnya menjadi kemudian setelah diiris beratnya menjadi 108 g, maka garam yang digunakan seberat 3,675 g . Sedangkan berat kubis iris tanpa diberi merica adalah 46 g dengan berat garam yang digunakan 1,6 g. Pembuatan sauerkraut diawali dengan penyiapan bahan baku. Bahan baku yang digunakan adalah kubis. Kubis disortasi dengan cara membuang bagian daun terluar dan bagian-bagian yang kurang baik. Kemudian dibersihkan dengan cara dicuci. Pengecilan ukuran dilakukan dengan pengirisan sehingga ketebalan kubis 1-2mm. Setelah penyiapan bahan, kubis dimasukkan ke dalam baskom dan diberi garam dan diaduk hingga merata. Setelah itu dimasukkan ke dalam toples. Segera setelah penambahan garam, cairan diserap ke luar dari irisan-irisan kubis. Larutan garam mulai terbentuk yang dapat menutupi lapisan-lapisan kubis. Garam yang dijadikan larutan jumlahnya harus sesuai. Jumlah garam yang kurang dapat menyebabkan pelunakan jaringan dan kurangnya flavor

khas yang timbul. Sedangkan kelebihan jumlah garam menyebabkan warna menjadi gelap dan memungkinkan pertumbuhan khamir. Setelah pemasukan larutan garam, kubis dipadatkan dan diberi merica. Selain sebagai antimikroorganisme, merica juga dapat memberi cita-rasa. Setelah dilapisi plastik, kubis diberi pemberat agar kubis terendam. Jika kubis tidak terendam selama fermentasi, khamir dan kapang akan tumbuh pada permukaan dan akan menimbulkan flavor yang tidak diinginkan. Flavor ini dapat masuk ke dalam seluruh seurkraut menghasilakan produk yang lunak dan berwarna gelap. Tahap selanjutnya kubis tersebut akan dikenai perlakuan fermentasi selama 2 minggu. Lalu kubis ini akan difermentasi oleh bakteri yang memang terkandung secara alami di dalam sayuran. Kondisi lingkungan, jumlah dan jenis mikroorganisme, kebersihan, konsentrasi dan distribusi garam, suhu dan penutupan akan sangat menentukan berlangsungnya proses fermentasi. Menurut Buckle, dkk ( 1987) faktor-faktor lingkungan yang penting dalam fermentasi sayuran adalah : 1. Terciptanya keadaan anaerobik 2. Penggunaan garam yang sesuai yang berfungsi untuk menyerap keluar cairan dan zat gizi dari sayur 3. Pengaturan suhu yang sesuai untuk fermentasi 4. Tersedianya bakteri asam laktat yang sesuai

Penyimpanan terhadap sauerkraut ini dilakukan ditempat yang gelap dan anaerob agar proses fermentasi berlangsung sempurna. Konsentrasi garam dan suhu fermentasi merupakan dua faktor yang terpenting yang berpengaruh pada pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme. Di samping itu, konsentrasi garam dan suhu fermentasi juga mempengaruhi jumlah mikroorganisme maksimal dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai jumlah maksimal tersebut saat konsentrasi garam meningkat, jumlah mikroorganisme yang terbentuk rendah dan waktu yang dibutuhkan menjadi lama. (Buckle, dkk, 1987) Penggaraman meliputi dua tujuan utama yaitu menyebabkan suatu ketidakseimbangan osmotik yang mengakibatkan pelepasan air dan nutrisi dari kubis. Cairan yang keluar adalah suatu medium pertumbuhan sempurna untuk jasad renik yang melibatkan fermentasi sehingga kaya akan gula dan faktor pertumbuhan. Tujuan yang kedua yaitu penggunaan garam dalam

konsentrasi tertentu dapat menghalangi pertumbuhan dari banyak organisme pembusuk dan patogen. (Margono, dkk, 1993). Penggaraman dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk tetapi dengan kadar garam yang tinggi. Pada kadar garam yang rendah penggaraman justru membantu pertumbuhan mikroorganisme pengganggu dan tidak membunuhnya. Dalam konsentrasi rendah (1-3%) garam akan membantu pertumbuhan bakteri. Garam mempunyai tekanan osmotik yang dapat digunakan untuk memproses sayuran sehingga rasanya menjadi enak. Lebih lanjut, garam dapat mematikan bakteri pembusuk. Setelah garam berpenetrasi ke dalam sayuran, sayuran menjadi dehidrasi dan garam yang berada pada luar sayuran dapat meningkatkan tekanan osmotik dan meningkatkan kelembaban. Tekanan osmosis dari garam ini menghambat aktivitas bakteri pembusuk yang ditandai dengan penurunan enzim (Margono, dkk, 1993). Garam berpengaruh cukup besar bila ditambahkan pada jaringan tumbuh-tumbuhan yang masih segar. Pertama-tama garam berperan sebagai penghambat selektif pada mikroorganisme pencemar tertentu. Mikroorganisme pembusuk atau proteolitik dan juga pembentuk spora, adalah yang paling mudah terpengaruh walau dengan kadar garam yang rendah sekalipun. Leuconostoc dan Lactobacillus dapat tumbuh cepat dengan adanya garam dan terbentuknya asam untuk menghambat organisme yang tidak dikehendaki. Berdasarkan data yang dapat dilihat dalam tabel diatas terjadi perubahan warna, tekstur, aroma, maupun kadar air dari kubis. Warna dari kubis menjadi putih kekekuningan, dan teksturnya menjadi lebih lunak. Tekstur yang lunak ini diakibatkan aktivitas enzim yang terdapat dalam kubis, sebenarnya garam bersama dengan asam yang dihasilkan oleh fermentasi menghambat pertumbuhan dari organisme yang tidak diinginkan dan menunda pelunakan jaringan kubis. Namun, seiring dengan berjalannya waktu fermentasi pelunakan pada jaringan kubis tidak dapat dihindari. Aroma asam yang dihasilkan setelah penyimpanan selama dua hari disebabkan adanya aktivitas mikrobial yang memulai proses awal fermentasi Leuconostoc mesenteroides yang kemudian dilanjutkan oleh jenis-jenis yang lebih tahan terhadap asam yaitu Lactobacillus brevis, L.plantarum dan Pediococcus cerevisiae yang memfermentasi gula-gula yang terdapat dalam jaringan sayuran menjadi asam, terutama asam laktat. Kadar asam yang dihasilkan berkisar antara 0,8-1,5% (dinyatakan sebagai asam laktat). Menurut Pradani dan Hariastuti (2009), Leuconostoc mesenteroides adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang terdapat secara berpasangan atau rantai pendek. Bakteri ini berperan dalam perusakan lendir larutan gula dengan produksi pertumbuhan dekstran berlendir. Sedangkan Lactobacillus plantarum merupakan bakteri yang paling tahan terhadap

asam dan pH rendah sehingga merupakan mikroba akhir yang dapat tumbuh. Bakteri ini juga penghasil asam laktat terbanyak. (Fardiaz, 1992). Reaksi Fermentasi : C6H12O6 2CH3CHOCOOH+22,5 kkal

Kadar air yang bertambah dalam wadah fermentasi disebabkan oleh adanya garam. Garam menyebabkan air dan zat gizi yang terdapat dalam sayuran tertarik keluar melalui proses osmosis. Zat-zat gizi tersebut berfungsi melengkapi substrat untuk pertumbuhan bakteri asam laktat yang telah terdapat di permukaan daun-daun kubis. (Buckle, 1987) Fermentasi sauerkraut ini dilanjutkan selama 2 minggu. Karakteristik dari kubis yang difermentasi selama 2 minggu memperlihatkan bahwa tekstur dari kubis tersebut semakin bertambah lunak, warnanya memucat, aromanya semakin menyengat asam dan gelembung yang dihasilkan pun semakin bertambah. Reaksi yang terjadi pada fermentasi di hari ke 14 ini sama halnya dengan yang terjadi pada hari sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat aktivitas mikroba yang bekerja memfermentasi kubis menjadi sauerkraut. Berdasarkan kedua perlakuan yang berbeda, yaitu dengan dan tanpa pemberian merica dalam pembuatan sauerkraut, maka diperoleh data yang menunjukkan bahwa pemberian merica dapat menghasilkan sauerkraut yang lebih awet daripada sauerkraut yang tidak diberi merica karena mengandung zat antimikroba. Zat antimikroba adalah senyawa yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Zat antimikroba dapat bersifat membunuh mikroorganisme (microbicidal) atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme (microbiostatic). dalam industri pangan zat antimikroba digunakan dalam teknik pengawetan makanan. Hal ini dikarenakan makanan dan minuman mengalami kerusakan karena aktivitas mikroorganisme. aktivitas mikroorganisme ini selain menyebabkan kerusakan juga dapat menghasilkan toksin yang mengakibatkan keracunan (Mikahnamkul, 2010). Dalam perkembangannya, didunia pangan zat anti mikroba sat ini banyak beredar secara luas hal ini bertujuan sebagai bahan pengawet pada produk pangan. Tetapi sayangnya zat anti mikroba yang beredar sekarang cenderung bersifat sintetik yang jika digunakan secara terus menerus dapat menimbulkan gangguan bagi kesehatan. Sehingga perlu dilakukan suatu pengembangan zat antimikroba alami yang aman bagi kesehatan (Mikahnamkul, 2010). Rempah-rempah merupakan bahan tambahan yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia dan banyak digunakan sebagai bumbu dalam makanan tradisional. Rempah-rempah adalah tanaman atau bagian tanaman yang dapat dimanfaatkan dalam bentuk segar maupun dalam bentuk kering. Sebagian besar rempah-rempah mempunyai daya guna ganda yaitu

untuk meningkatkan aroma dan cita rasa produk yang dihasilkan serta digunakan untuk bahan dasar ramuan obat-obat tradisional. Rempah-rempah yang digunakan dalam kegiatan pengolahan makanan sehari-hari dengan konsentrasi biasa tidak dapat mengawetkan makanan tetapi pada konsentrasi tersebut rempah-rempah dapat membantu bahan-bahan lain yang dapat mencegah pertumbuhan mikroba pada makanan. Efek penghambatan pertumbuhan mikroba oleh suatu jenis rempah-rempah bersifat khas. Setiap jenis senyawa antimikroba mempunyai kemampuan penghambatan yang khas untuk satu jenis mikroba tertentu (Frazier dan Westhoff, 1988). Beberapa jenis rempah-rempah yang diketahui memiliki aktivitas antimikroba yang cukup kuat adalah bawang merah (Johnson dan Vaughn, 1969), Bawang putih (Thomas, 1984), cabe merah (Dewanti, 1984), jahe (Jenie et al, 1992), kunyit (Suwanto, 1983) dan Lengkuas dan merica (Rahayu, 1999) Merica mempunyai kemampuan menghambat terhadap jamur dan bakteri. Antimikroba yang berperan pada merica yaitu jenis capsaisin. Capsaisin merupakan komponen aktif dominan yang berperan terhadap aktivitas antimikroba merica. Merica juga terbukti efektif dapat melawan penyakit kolera. Dosis atau konsentrasi yang diperlukan untuk menghambat mikroorganisme yaitu sebesar 125g/ml (Mikahnamkul, 2010).

5.2

Fermentasi Tidak Spontan

5.2.1 Pembuatan Tempe Menu makanan di Indonesia, tempe memegang peranan sebagai sumber protein nabati. Tempe adalah sumber protein yang penting dalam menu makanan Indonesia dan sesungguhnya merupakan produk kedelai yang difermentasi. Pembuatan tempe diawali dengan penyiapan bahan baku. Bahan baku yang disiapkan adalah kedelai, kedelai dicuci kemudian direbus selama 30 menit dan didiamkan selama semalam pada suhu kira-kira 25C. Kemudian kulit dikupas, kedelai yang dihasilkan dicuci. Setelah pencucian, kedelai dikukus selama 30 menit. Inokulum yang digunakan adalah spora Rhyzopus oligosporus dan Rhizopus oryzae yang diperoleh dari laru sebanyak 1gram. 1 kilogram kedelai atau tepung laru sebanyak 10 gram.kilogram kedelai. Setelah itu, laru dicampurkan secara merata pada kedelai. Pada saat pencampuran, kondisi lingkungan harus bersih karena jika kurang bersih akan mengakibatkan kegagalan dalam fermentasi.

Fermentasi kedelai terjadi 20-24 jam. Setelah fermentasi, kedelai-kedelai akan tertutupi miselia putih dari kapang. Produk ini sudah dapat dimakan, akan tetapi biasanya dimasak kembali misalnya dengan cara digoreng. Pada praktikum kali ini, kedelai yang akan difermentasi disimpan pada dua tempat yang berbeda. Ada yang disimpan di plastik, ada pula yang disimpan di daun pisang. Berikut merupakan hasil pengamatan dalam pembuatan tempe : Tabel 3. Pembuatan Tempe Kelompok 2 A1 (Tempe Daun) Kenampakan Warna Aroma Sebelum Kuning+ Khas Kukus Kuning ++ kedelai, Lebih menyengat Keras + 79g Utuh, bulat Kunig-coklat Khas kedelai, Sesudah 2-3 hari Kuning-putih Khas tempe Keras + Bulat utuh Putih merata Kuning-putih Khas tempe Keras + 85 g Bulat utuh Putih merata kedelai kedelai

agak bau gosong Kekerasan Berat awal Berat kupas Berat kukus Keadaan biji Bentuk kapang 4A1 (Tempe Plastik) Kekerasan Berat awal Berat kupas Berat kukus Keadaan biji Bentuk kapang Sumber : dokumentasi pribadi (2011) Warna Aroma Keras ++ 100 g 84g

agak bau gosong Keras ++ 100 g

Kedelai yang akan dibuat tempe masih memiliki karakteristik yang belum berubah. Warna kedelai yang telah dibungkus oleh plastik maupun daun pisang masih berwarna kuning khas kacang kedelai, aroma yang dihasilkan pun masih khas kacang kedelai dan tidak terlalu tajam, tekstur dari kacang kedelai tersebut lunak.

Berdasarkan tabel di atas, keadaan tempe setelah dua hari aromanya telah berubah, selain itu teksturnya pun berubah menjadi berserabut putih. Warna lebih putih pada tempe yang dibungkus daun pisang disebabkan pertumbuhan kapang yang lebih baik pada kondisi tersebut. Perubahan warna tersebut disebabkan Kapang yang tumbuh pada kedelai menghidrolisis senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana yang mudah dicerna oleh manusia. Tempe kaya akan serat pangan, kalsium, vitamin B dan zat besi. Berbagai macam kandungan dalam tempe mempunyai nilai obat, seperti antibiotika untuk menyembuhkan infeksi dan antioksidan pencegah penyakit degeneratif. Degradasi komponen-komponen kedelai pada fermentasi membuat tempe memiliki rasa dan aroma khas. (Hidayat, 2007) Kandungan protein di dalam tempe berbeda dengan kandungan protein dalam kacang kedele (sumber bahan bakunya), terutama dalam proses penyerapan nya oleh tubuh. Hal ini terjadi karena pada tempe telah melalui proses fermentasi (oleh jamur Rhizopus oligosporus) sehingga protein yang terkandung di dalamnya telah mengalami proses degradasi oleh jamur hingga memudahkan penyerapan nya di dalam tubuh. Kedelai menjadi lebih mudah dicerna sebagai hasil aktivitas lipase dan protease dari Rhizopus. (Hidayat, 2007) Spesies-spesies Rhizopus yang cocok untuk pembuatan tempe adalah : 1. R. oligosporus: Aktivitas protease & lipase paling kuat Aktivitas amilase paling lemah Baik untuk tempe dari serealia atau campuran kedelai -serealia

2. R. oryzae Aktivitas amilase paling kuat Tidak baik untuk tempe serealia Aktivitas protease di bawah R. oligospporus Digunakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur

Selama fermentasi, asam amino bebas akan mengalami peningkatan. Kandungan serat kasar dan vitamin akan meningkat pula selama fermentasi kecuali vitamin B1 atau yang lebih dikenal dengan thiamin karena pada prinsipnya thiamin berperan sebagai koenzim dalam reaksi-reaksi yang menghasilkan energy dari karbohidrat dan memindahkan bentuk senyawa kaya energy atau ATP.(Winarno, 1991). Selain itu selama proses fermentasi, asam palmitat dan asam linoleat sedikit mengalami penurunan, sedangkan kenaikan terjadi pada asam oleat

dan linolenat (asam linolenat tidak terdapat pada kedelai). Asam lemak tidak jenuh mempunyai efek penurunan terhadap kandungan kolesterol serum, sehingga dapat menetralkan efek negatif kolesterol di dalam tubuh. Menurut Sorenson dan Hesseltine (1986), Rhizopus sp tumbuh baik pada kisaran pH 3,4-6. Pada penelitian semakin lama waktu fermentasi, pH tempe semakin meningkat sampai pH 8,4, sehinggajamur semakin menurun karena pH tinggi kurang sesuai untuk pertumbuhan jamur. Secara umum jamur juga membutuhkan air untuk pertumbuhannya, tetapi kebutuhan air jamur lebih sedikit dibandingkan dengan bakteri. Selain pH dan kadar air yang kurang sesuai untuk pertumbuhan jamur, jumlah nutrien dalam bahan, juga dibutuhkan oleh jamur. Rhizopus oligosporus menghasilkan enzim-enzim protease. Perombakan senyawa kompleks protein menjadi senyawa-senyawa lebih sederhana adalah penting dalam fermentasi tempe, dan merupakan salah satu faktor utama penentu kualitas tempe, yaitu sebagai sumber protein nabati yang memiliki nilai cerna amat tinggi. Kandungan protein yang dinyatakan sebagai kadar total nitrogen memang tidak berubah selama fermentasi. Perubahan terjadi atas kadar protein terlarut dan kadar asam amino bebas. (Hidayat, 2007) Berdasarkan suatu penelitian, pada tahap fermentasi tempe ditemukan adanya bakteri Micrococcus sp. Bakteri Micrococcus sp. adalah bakteri berbentuk kokus, gram positif, berpasangan tetrad atau kelompok kecil, aerob dan tidak berspora, bisa tumbuh baik pada medium nutrien agar pada suhu 30C dibawah kondisi aerob. Bakteri ini menghasilkan senyawa isoflavon (sebagai antioksidan). Adanya bakteri Micrococcus sp. pada proses fermentasi tempe tidak terlepas dari tahapan pembuatan tempe, yang meliputi penyortiran, pencucian biji kedelai diruang preparasi, pengupasan kulit, perebusan kedelai, perendaman kedelai, penirisan, peragian, pembungkusan, dan pemeraman. Selain itu faktor lingkungan juga mempengaruhi pertumbuhan bakteri antara lain, waktu, suhu, air, pH, suplai makanan dan ketersediaan oksigen. (Hidayat, 2007) Pada proses fermentasi kedelai menjadi tempe terjadi aktivitas enzim amilolitik, lipolitik dan proteolitik, yang diproduksi oleh kapang Rhizopus sp. Pada proses pembuatan tempe, sedikitnya terdapat empat spesies rhizopus yang dapat digunakan. Rhizopus oligosporus merupakan genus utama, kemudian Rhizopus oryzae merupakan genus lainnya yang digunakan pada pembuatan tempe Indonesia. Pada penelitian ini dipelajari aktivitas enzim-enzim a-amilase, lipase dan protease pada proses fermentasi kedelai menjadi tempe menggunakan biakan murni rhizopus oligosporus. Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa aktivitas enzim dipengaruhi oleh jenis inokulum dan waktu fermentasi. Juga terdapat

interaksi antara waktu fermentasi dan jenis inokulum terhadap aktivitas enzim-enzim aminolitik, lipolitik, proteolitik (Hidayat, 2007). Tempe mebmiliki daya tahan simpan yang relative singkat, yaitu1-2 hari. Oleh karena itu setelah disimpan selama 5 hari tempe yang dibuat menjadi berbau busuk dan keadaan kapang yang menyelubunginya menjadi kehitaman.

5.2.2 Pembuatan Tape Aneka bahan pangan yang mengandung karbohidrat dapat diolah menjadi makanan khas yang disebut tape. Bahan pangan yang umumnya dibuat tape adalah ubi kayu (singkong), beras ketan putih maupun beras ketan hitam serta sorgum (Rukmana dan Yuniarsih, 2001). Tape adalah produk yang dihasilkan dari proses fermentasi dimana terjadi suatu perombakan bahan bahan yang tidak sederhana. Zat pati yang ada dalam singkong diubah menjadi bentuk yang sederhana yaitu gula engan bantuan suatu organisme yang disebut ragi atau khamir ( Suriasih, 2001 ). Tape mempunyai tekstur yang lunak, rasa yang asam manis dan sedikit mengandung alkohol. Selama fermentasi, tape mengalami perubahan-perubahan biokimia akibat aktivitas mikroorganisme. Pada dasarnya semua bahan pangan yang kaya akan karbohidrat dapat diolah menjadi tape. Berdasarkan bahan bakunya, dikenal berbagai jenis tape yaitu tape ketan, tape singkong, tape beras, tape sorgum, tape pisang, tape ubi jalar dan tape sukun, akan tetapi dewasa ini yang paling populer adalah tape singkong dan tape ketan (Buckle , 1987). Pembuatan tape ketan diawali dengan penyiapan bahan baku yaitu beras ketan. Sebelum pencucian, beras ketan dibersihkan dari kerikil atau kotoran lain yang mungkin ada pada beras. Setelah dicuci, beras direndam selama 45 menit. Kemudian, beras dikukus selama 10 menit dan diaroni dengan air. Setelah itu, beras ketan didinginkan dan ditaburi dengan ragi tape 1%. Beras ketan diaduk hingga bercampur merata dengan ragi, setelah itu dimasukkan ke dalam toples. Menurut Tarigan (1998), tape merupakan salah satu jenis makanan dari hasil fermentasi bahan baku yang diberi ragi sebagai sumber mikrobanya. Tape sebagai hasil fermentasi menghasilkan alkohol dan gula. Tape yang dibuat pada praktikum kali ini adalah tape ketan. Hasil pengamatan dari peragian dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini :

Tabel 4. Hasil Pengamatan Pembuatan Tape Kelompok 1A Kenampakan Warna Sebelum Putih Kukus Putih keruh Sesudah 1 minggu Putih kekuningan Aroma Khas ketan Kekerasan Cita rasa Alkohol Rasa manis Cukup asam 3A Warna Aroma Putih gading Khas ketan Putih cerah Keras +++ tawar beras Khas harum Khas tape

beras ketan Lengket ++ tawar Keras lengket + Manis Ada Ada Ada Putik kecoklatan

beras Khas beras matang

harum Khas tape ketan

Kekerasan

Keras +++

Keras ++

Lunak, hancur

mudah

Cita rasa Alkohol Rasa manis Cukup asam 5A Warna Aroma

Tawar Putih susu Khas ketan

Tawar Putih kecoklatan beras Khas

Manis Ada Ada Ada coklat

harum Khas tape wangi

beras ketan Lengket ++ Tawar Keras lengket + Manis Ada Ada Ada

Kekerasan Cita rasa Alkohol Rasa manis Cukup asam Sumber : dokumentasi pribadi (2011)

Keras +++ tawar -

Tape dapat dibuat dari beberapa bahan antara lain singkong dan beras ketan. Tape yang dibuat dengan bahan dasar singkong dikenal sebagai peuyeum di daerah Pasundan. Namun, tape yang dibuat pada praktikum hari ini adalah tape ketan. Proses pembuatan tape merupakan proses fermentasi dengan bantuan Saccharomyces cerivisiae. Saccharomyces cerivisiae dapat mengubah karbohidrat (fruktosa dan glukosa) menjadi alkohol dan karbondioksida. Selain Saccharomyces cerivisiae, dalam proses pembuatan tape ini terlibat pula mikrorganisme lainnya, yaitu Mucor chlamidosporus dan Endomycopsis fibuligera. Kedua mikroorganisme ini turut membantu dalam mengubah pati menjadi gula sederhana (glukosa). Beras ketan yang telah disimpan setelah dikukus masih beraroma khas beras ketan dan rasanya pun masih tawar. Namun setelah 1 minggu tape memiliki aroma khas tape, dengan cita rasa manis. Sayangnya hasil fermentasi ini tidak dicoba oleh kelompok kami (2) sehingga tidak diketahui apakah beras ketan benar-benar menjadi tape ketan yang layak makan atau tidak. Akan tetapi berdasarkan data pengamatan di atas, tampaknya tape yang dihasilkan layak dimakan. Dapat dilihat pada tabel 4, bahwa ketan yang akan dijadikan bahan baku tape memiliki warna putih, aroma yang tidak kuat, dan teksturnya masih keras. Ketan yang akan dibuat tape ini selanjutnya dimasak. Setelah itu diberi ragi yang berfungsi sebagai inokulum atau starter yang nantinya akan memfermentasi ketan menjadi tape. Di dalam ragi ini terdapat mikroorganisme yang dapat mengubah karbohidrat (pati) menjadi gula

sederhana (glukosa) yang selanjutnya diubah lagi menjadi alkohol. Mikroorganisme yang digunakan di dalam ragi umumnya terdiri atas berbagai bakteri dan fungi (khamir dan kapang), yaitu Rhizopus, Aspergillus, Mucor, Amylomyces, Endomycopsis, Saccharomyces, Hansenula anomala,, Lactobacillus, Acetobacter, dan sebagainya. (Rochintaniawati, 2010). Kondisi saat fermentasi terjadi harus terlepas dari oksigen, sehingga saat ketan difermentasi wadah ditutupi oleh plastik sehingga kondisi didalam wadah tersebut anaerobik. aroma pada ketan berubah menjadi masam dan menyengat, lalu teksturnya pun menjadi lebih lunak dan lengket, dan cita-rasa yang dihasilkannya berupa alkohol. Rasa manis dari tape dipengaruhi oleh kadar gula dari tape itu sendiri. Dalam proses fermentasi itu pati akan diubah menjadi gula oleh kapang jenis Chlamydomucor dan oleh ragi Saccharomyces

cerevisiae gula diubah menjadi alkohol. Sedangkan rasa asam pada tape dapat timbul karena perlakuan-perlakuan yang kurang teliti, seperti penambahan ragi yang berlebihan dan penutupan yang kurang rapat pada saat fermentasi. Selain itu rasa asam pada tape dapat terjadi bila fermentasi berlangsung lebih lanjut (Anonima, 1982).

Proses fermentasi pada hari pertama akan ditandai oleh tumbuh kapang dan khamir bermiselia terutama organisme yang mampu merombak pati menjadi gula. sehingga pada hari pertama tape akan berasa manis namun masih keras dan tedapat miselia semu keputih-putihan di permukaan bahan. Pada penyimpanan 1 minggu, dengan adanya gula maka khamir akan tumbuh dan menghasilkan alkohol karena oksigen telah berkurang. Pada hari ketiga alkohol ini akan dioksidasi oleh bakteri lainnya menjadi asam organik terutama asam asetat.(Hidayat, 2007). Peragian glukosa menjadi etanol dan karbon dioksida terjadi melalui alur fruktosa difosfat. Transformasi piruvat menjadi etanol mencakup dua tahap. Tahap pertama piruvat di dekarboksilasi menjadi asetal dehide oleh piruvat dekarboksilat. Reaksi fermentasi : Glukosa 2 piruvat 2 Etanol 2 Asetaldehida Reaksi tersebut biasa disingkat menjadi : C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2 + 2 ATP (Energi yang dilepaskan:118 kJ per mol) Peragian glukosa oleh ragi merupakan peristiwa anaerob sedangkan ragi sendiri adalah organisme aerob. Pada kondisi anaerob fermentasi oleh ragi amat intensif namun ragi sendiri hampir tidak bertumbuh ( Schlegel, 1994 ).

VI.

KESIMPULAN

Fermentasi adalah proses pemecahan karbohidrat dan asam-asam amino secara anaerobik oleh mikroorganisme (bakteri, kapang, dan khamir) Pengawetan dengan fermentasi ada 2, yaitu fermentasi spontan dan tak spontan Fermentasi spontan tidak ditambahkan mikroorganisme sebagai starter/inokulum atau ragi. Contohnya dalam pembuatan sauerkraut. Fermentasi tak spontan, yaitu fermentasi yang ditambahkan mikroorganisme sebagai starter/inokulum atau ragi. Contohnya dalam pembuatan temped an tape. Pada proses fermentasi spontan, garam akan menarik air dan zat-zat gizi dari jaringan sayuran karena terjadinya proses osmosis Tujuan fermentasi adalah salah satu metode pengawetan pangan serta penganekaragaman jenis produk pangan.

DAFTAR PUSTAKA Anonima.

1982.

Tape

Ketan.

Available

at

http://www.warintek.ristek.go.id/pangan_kesehatan/pangan/ipb/Tape%20ketan.pdf. [Diakses pada tanggal 15 Mei 2011, pukul 19.05 WIB] Buckle, K.A., R.A Edwards, G.H. Fleet,dan M.Woottoon. 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah : Hari Purnomo dan Adiono. Penerbit Universitas Indonesia (UI- Press), Jakarta. Dwijoseputro. 1990. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan. Malang Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. 1992. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Gumbiro, Said. 1987. Bio Industri Penerapan Teknologi Fermentasi. Jakarta : Mediyatama Sarana Perkasa Roberts, Haris dan Endel, Karmas. 1989. Evaluasi Gizi Pada Pengolahan Pangan. ITB. Bandung Hidayat, N. 2007. Fermentasi Tape. Available at

http://ptp2007.wordpress.com/2010/10/15/fermentasi-tape/. [Diakses pada tanggal 15 Mei 2011, pukul 19.09 WIB] Margono, T., Suryati, D., Hartinah, S. 1993. Buku Panduan Teknologi Pangan, Pusat Informasi Wanita dalam Pembangunan PDII-LIPI bekerjasama dengan Swiss Development Cooperation. Murtini, J.T. dan Ernik Yuliana. 1997. Pengaruh Penambahan Starter Bakteri asam Laktat Pada Pembuatan Bekasam Ikan Sepat Terhadap Mutu DayaAwetnya. Vol. 1. No.1. Pradani, A. Hariastuti, E.M. 2009. Pemanfaatan Fraksi Cair Isolat Pati Ketela Pohon Sebagai Media Fermentasi Pengganti Air Tajin Pada Pembuatan Sayur Asin. Available at http://eprints.undip.ac.id/13065/1/lap._penelitian.pdf. [Diakses pada tanggal 15 Mei 2011, pukul 20.41 WIB) Rochintaniawati, D. 2010. Pembuatan Ragi Tape. Available (Diakses at pada

http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._BIOLOGI/. tanggal 15 Mei 2011, pukul 22.52 WIB)

Schlegel, Hans dan Schmid, Karin. 1994. Mikrobiologi Umum. UGM Press. Yogyakarta

Tarigan, Jeneng. 1988. Pengantar Mikrobiologi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Perguruan Tinggi. Jakarta Winarno, F.G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Winiati. 2000. Aktivitas Antimikroba Bumbu Masakan Tradisional Hasil Olahan Industri Terhadap Bakteri Patogen dan Perusak. Bandung: IPB

JAWABAN PERTANYAAN Fermentasi Spontan 1. Apa sebabnya pada pembuatan sayur asin tidak ditambahkan inokulum/ragi? Karena inokulum (mikroorganisme) sudah ada. Baik itu pada bahan baku atau pada lingkungan, sehingga tak perlu ditambah inokulum. 2. Mengapa selama fermentasi selaput/busa di permukaan harus dibuang? Karena akan mempengaruhi fermentasi. Mikroorganisme tersebut menggunakan asam yang dihasilkan dalam proses fermentasi untuk keperluannya sendiri dan akan mengakibatkan mikroorganisme pembusuk tumbuh.

Fermentasi Tidak Spontan 1. Apa yang dimaksud dengan starter? Starter adalah suatu bahan yang di dalamnya terdapat mikroorganisme yang digunakan untuk pembuatan tempe dan tape serta pembuatan produk fermentasi pangan. 2. Mengapa dalam pembuatan tempe kapang Rhizopus oryzae dan Rhizopus oligosporus sebaiknya digunakan keduanya? Agar tidak mengalami pembusukkan dan tempe yang dihasilkan sesuai dengan yang dikehendaki serta menghasilkan nilai gizi yang tinggi dan mengandung senyawa anti mikroorganisme (antibiotik) tertentu. Serta agar lebih cepat dalam proses fermentasi karena kapang tempe tersebut merupakan mikroorganisme aktif.

Вам также может понравиться