Вы находитесь на странице: 1из 10

Standar Etika APA (American Psychiatric Association) Kode etik psikologi pertama diterbitkan pada tahun 1953 (APA,

1953) sesuai dengan data lapangan yang mereka dapatkan. Para psikolog yang tergabung dalam komite APA memasukkan banyak peristiwa klinis yang melibatkan dilemma etik yang muncul dalam konteks profesionalitas. Dengan menganalisis hal tersebut, komite merumuskan suatu kode etik yang menyeluruh yang dirangkum dalam sebuah rangkaian pedoman umum. Versi tersebut digunakan selama 3 tahun, kemudian diamandemen dan diadaptasi secara formal (1963). Kemudian masih mengalami beberapa revisi pada tahun 1960 1980. Pedoman etika saat ini yang berjudul Dasar Dasar dan Kode Etik Perilaku Psikolog diresmikan pada 1 Desembar 1992 setelah mengalami 6 tahun revisi dan berbagai perdebatan. Dokumen tersebut terdiri dari pembukaan, enam pedoman umum dan banyak standar etika untuk hal hal yang lebih spesifik. Standar tersebut yang memberikan aturan aturan yang mengikat bagi tata cara perilaku profesional psikolog. Standar tersebut digunakan pada anggota APA dan dapat dipergunakan oleh organisasi lain, seperti badan badan psikologi dan pengadilan, untuk menghakimi atau memberikan sanksi kepada psikolog baik ia tergabung dalam APA atau tidak. Standar tersebut disusun dengan urutan sebagai berikut : 1. Standar Umum Mengatur larangan larangan atau diskriminasi, pelecehan seksual atau lainnya dalam penyalahgunaan produk yang tercakup di dalamnya, juga mengatur mengenai kompetensi, tata cara penyampaian berkas, fee, dan hubungan keuangan. 1. Evaluasi Assessmen dan intervensi, mengatur berkenaan alat tes. 1. Periklanan dan Pernyataan Publik Lainnya Standar yang mengatur tata cara psikolog dalam mengapalikasikan layanan dan surat surat ijazah profesional mereka tercakup dalam kategori ini. 1. Terapi Aturan mengenai pengaturan perilaku dan terminasi terapi dijelaskan pada bagian ini. 1. Privasi dan Kepercayaan Aturan aturan tersebut meliputi kewajiban dari para psikolog untuk melindungi hak klien dalam hal privasi dan kepercayaan. 1. Pengajaran, Pelatihan, Pengawasan, Riset, dan Publikasi

Bagian ini mencakup beberapa standar etik yang mengatur tata cara psikolog dalam mengajar dan mengawasi siswa serta melakukan riset atau penelitian psikologi. 1. Aktifitas Forensik Ketika melakukan evaluasi forensik atau pelayanan lainnya, psikolog harus mengikuti aturan khusus tentang pelayanan tersebut. 1. Memutuskan Masalah Etika Bagian terakhir ini mencakup standar mengenai bagaimana cara psikolog dalam memutuskan masalah masalah etika atau komplain. 1. Buku Kasus (Casebook) dan Standar Etika APA Pada tahun 1967, APA menerbitkan buku kasus dan standar etika psikolog yang pertama. Buku ini ditujukan sebagai panduan dalam mengaplikasikan prinsip prinsip etika APA dan standar situasi yang dihadapi oleh psikolog dalam aktifitas profesionalnya sehari hari. 10. Mengenai Pelanggaran Etika Perilaku yang tidak sesuai dengan etika dapat menyebabkan psikolog kehilangan lisensinya atas badan psikologi di negara mana mereka melakukan praktek. Kebanyakan pelanggaran meliputi : 1. Intimasi seksual antara terapis dan klien 2. Pelanggaran hukum negara atau federal (misalnya, memasang tariff yang menipu) 3. Melanggar kepercayaan Berdasarkan poling yang dilakukan, ada 3 area yang dianggap paling bermasalah secara etika, yaitu : - Kepercayaan (18% peristiwa yang bermasalah melibatkan masalah kepercayaan) - Hubungan ganda atau berkonflik dengan klien (17% peristiwa melibatkan kesulitan dalam menetapkan batasan yang tepat di sekitar wilayah hubungan profesional) - Masalah dalam menagih pembayaran untuk pelayanan dan konflik dengan nasabah asuransi (14% peristiwa memfokuskan pada kesulitan menagih pembayaran atau menyediakan perlakuan yang memadai di bawah batasan ketentuan asuransi) 11. Standar Etika Lainnya Karena meningkatnya kepedulian public, aturan baru pemerintah serta perlakuan pada hewan di lab. APA perlu menambah etika standarnya dengan detail mengenai

aturan aturan yang mencakup riset riset yang dilakukan oleh psikolog dengan hewan yang disebut aturan untuk tata cara etika dalam perawatan dan penggunaan hewan (APA, 1992). Para psikolog klinis juga bertanggung jawab unutk mengetahui satandar lainnya yang mengatur riset mereka dan tata cara pemberian layanan mereka. 12. Kebebasan Profesional Psikolog klinis harus berkonsultasi dan berkolaborasi dengan profesional lainnya dalam banyak aspek berkaitan dengan praktek klinis. Hubungan professional antar psikolog akan lebih menguntungkan dan lebih memiliki karakteristik untuk hasil yang baik. Guru yang memiliki murid yang nakal yang terkait dengan masalah emosional, disarankan agar keluarganya berkonsultasi kepada psikolog. Psikolog yang mempunyai klien bermasalah dengan hukum sebaiknya mendorong klien untuk menyewa pengacara. Psikolog mempunyai perbedaan pendapat yang mendasar dengan dokter, khususnya psikiatri. Psikolog klinis terlibat dalam praktek psikoterapis sebagai psikolog, kemudian psikolog klinis dan psikiatris berdebat mengenai kebebasan psikolog klinis untuk praktek secara terpisah dari psikiatri di rumah sakit. 13. Kebebasan Praktek Psikoterapis Ketika psikolog mulai membuka praktek untuk psikoterapi, psikolog tetap harus diawasi oleh psikiater. Karena psikiater merupakan seorang ahli terhadap fungsi dari keseluruhan individu dengan berbagai tipe perilaku abnormal merupakan hal yang penting untuk membedakan aspek mental dan fisik dari penyakit dan treatment. Ironisnya, psikolog sendiri cenderung untuk membuka praktek sendiri. Tahun 1949 APA tidak menyetujui praktek psikoterapi oleh psikolog yang tidak bekerja sama dengan psikiater (Goldenberg, 1973). Asosiasi Medis Amerika (AMA, 1954) mengeluarkan kebijakan bahwa psikoterapi merupakan prosedur medis yang hanya dapat dilakukan oleh seorang yang sudah terlatih ilmu medis. Namun hal tersebut tidak berhasil, sehingga akhir tahun 1950, psikolog sudah mengurangi dominasi psikiater terhadap psikoterapi dan sekarang psikolog menyediakan perawatan kesehatan mental (McGuire, 1939). Hubungan antara psikolog dan psikiatri berkembang sekitar tahun 1970 dan awal tahun 1980 psikiatri menerima psikolog sebagai psofesional. Tahun 1990 hubungan antara psikolog dan psikiatri menjadi renggang, hal ini dikarenakan adanya tekanan ekonomi. DIAGNOSA 1. Definisi Diagnosis dilakukan dalam rangka menentukan jenis gangguan. Kita seharusnya setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa untuk dapat menyelesaikan suatu masalah diperlukan adanya suatu diagnosis. Sehingga apabila kita mendapat suatu

informasi tidak langsung diterima secara mentah, tapi kita telusuri mengapa bisa terjadi hal tersebut. Misalnya saja mengapa seseorang mengalami stress, mengapa seorang ibu membunuh anak kandungnya sendiri, dll. Jadi untuk menyelesaikan masalah kita harus tahu penyebabnya. Langkah pertama yang harus diambil adalah dengan segera mengetahui sifat dan penyebab masalah tersebut. Diagnosa adalah : 1. Penggambaran kondisi klien berdasarkan assessment. 2. Merupakan dasar ilmiah dan formal dalam membuat klasifikasi / penggolongan perilaku abnormal. 1. Menentukan jenis gangguan. Diagnosis merupakan hal yang sangat penting dalam intervensi kesehatan mental. Diagnosis biasanya digunakan dalam studi sistematis dari seorang pasien, antara lain dengan wawancara, test, dan observasi. Apapun teknik dan bentuk terapi yang digunakan, diagnosis tetap ada dan klinisi tetap perlu membuat keputusan tentang pasiennya. Klinisi harus bisa memutuskan apa dan bagaimana cara mengatasi masalahnya, apa yang akan dilakukan. Ada beberapa keputusan yang harus dibuat sejalan dengan perkembangan psikoterapi, seperti, apakah pasien sudah mengungkapkan seluruh masalahnya atau belum. Klinisi pun harus bisa membuat batasan yang jelas. 1. Klasifikasi Diagnosa Tujuan klasifikasi (Kapplan & Saddock, 1994) : 1. Komunikasi Berguna untuk memberikan informasi tentang deskripsi gangguan pada psikiater atau orang lain. 1. Kontrol / Kendali Sebagai suatu pencegahan tentang suatu gejala untuk menghindari bahaya lebih lanjut (preventif) serta merupakan acuan dalam mengubah terapi. 1. Pemahaman Untuk mengetahui penyebab, proses, dinamika, dan kondisi yang bertahan. Pada tahun 1934, WHO menyusun Diagnostic Statistical Manual for Mental Disorder (DSM I), karena masih ada kekurangan, DSM I diubah menjadi DSM II yang berlaku hingga 1968. Depkes RI memakai DSM II yang sudah diadaptasi untuk Indonesia, dimana kategori utama gangguan jiwa adalah sebagai berikut : 1. Retardasi mental 2. Sindroma otak

3. Psikosis yang berhubungan dengan kondisi fisik 1. Neurosis 2. Gangguan kepribadian 3. Gangguan psikofisiologis 4. Gejala gejala khusus 5. Gangguan situasional sementara 6. Gangguan tingkah laku anak dan remaja 7. Tidak ada kelainan psikiatrik tetapi bermasalah dan perlu dibantu Kini telah ada klasifikasi gangguan jiwa baru yang diberi nama Diagnostic Statistical Manual for Mental Disorders atau DSM III & DSM IV yang dibuat oleh American Psychiatric Association (APA). Berbeda dengan DSM I & DSM II, maka pada DSM III & DSM IV dasar klasifikasi gangguan jiwa diperluas. Semula DSM hanya memperhatikan satu dimensi symptom klinis yang dinyatakan dalam aksis I. Sementara DSM III & DSM III-R mengalami kemajuan penting, yakni : 1. Tingkah laku abnormal dikonseptualisasikan dalam istilah disorder atau gangguan (bukan penyakit). Gangguan mental merupakan istilah tidak berfungsinya tingkah laku secara psikologis maupun biologis. 2. Menggunakan pendekatan deskriptif yaitu dengan memberikan definisi gangguan pada umumnya terbatas pada ciri ciri klinis (gejala tingkah laku) dari gangguan akan menceritakan bagaimana seseorang bertingkah laku. DSM III-R tidak memberikan keterangan tentang sebab (etiologi) tentang timbulnya suatu gangguan dan tidak memberikan indikasi untuk terapi yang sebaiknya dilakukan. 3. Gejala bagi tiap kategori diagnosa didaftar dan dijelaskan. Beberapa gejala yang harus dikemukakan sebelum diagnosa dibuat juga dijabarkan. 4. Pengenalan system Diagnosa Multiaksial sebagai suatu cara memberikan deskripsi gangguan mental yang lebih luas. DSM III-R memberikan gambaran yang sistematis dari masing masing gangguan yaitu : 1. Kriteria diagnosa (ciri ciri pokok / essential features) Kriteria diagnosa mengandung gambaran dari seperangkat ciri ciri yang penting, yang diperlukan untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan. Skema umum untuk formulasi diagnosa sebagai berikut :

1. Gambaran kondisi yang harus ada dan karakteristik gangguan 1. Paling tidak jumlah gejala yang pasti dari daftar yang diberikan harus ada secara bersama sama 2. Jangka waktu (munculnya gejala, misal 1 minggu, 2 minggu, atau paling tidak 6 bulan) 3. Mengeluarkan gangguan lainnya yang dapat menghasilkan beberapa gejala yang sama 4. Mengeluarkan semua penyebab organis (contohnya, kelompok gejala yang ditemukan dan mengarah ke diagnosa dari gangguan kecemasan, tetapi disebabkan oleh penggunaan obat bius yaitu penyebab organis. Lalu diagnosa gangguan kecemasan tidak diberikan) 5. Ciri yang diasosiasikan seperti usia pada permulaan timbul, perkembangan, kerusakan, komplikasi, faktor predisposisi, prevalensi, ratio jenis kelamin, pola keluarga, dan diagnosa differensial. Dalam klasifikasi diagnostic DSM IV terdapat 5 aksis gangguan, yaitu : AXIS I : Sindrom klinis / gangguan mental 1. Gangguan gangguan yang biasanya didiagnosis pada masa bayi, anak atau remaja. Termasuk dalam aksis retardasi mental, gangguan belajar, gangguan keterampilan motorik, gangguan komunikasi, gangguan perhatian dan perilaku, gangguan makan pada bayi dan anak anak. 2. Delirium, dementia, amnesia, dan gangguan kognitif lainnya. 1. Gangguan mental yang menyangkut kondisi medis umum yang tidak dapat diklasifikasikan pada jenis lain, seperti gangguan katatonik yang berhubungan dengan kondisi medis umum, perubahan kepribadian yang berhubungan dengan kondisi medis umum, dan gangguan mental NOS (No Observed Specific) yang berhubungan dengan kondisi medis umum. 2. Gangguan yang berhubungan dengan obat dan napza, termasuk gangguan penggunaan alkohol, gangguan yang dipicu oleh alkohol, gangguan yang pengguna amfetamin, gangguan yang dipicu oleh penggunaan cannabis, gangguan yang dipicu oleh anxiolitic, hipnotoc, dan sedatif. 3. Skizofrenia dan gangguan lainnya, termasuk skizofrenia, gangguan delasional, gangguan psikotik singkat, dan gangguan psikotik yang berhubungan dengan kondisi medis umum.

4. Gangguan suasana hati (Code current state of major depressive), gangguan depresif, gangguan hipolar, dan gangguan susanan hati yang berhubungan dengan kondisi medis umum. 5. Gangguan kecemasan seperti gangguan panic, post traumatic, stress disorder, generalized anxiety disorder, dan obsessive compulsive disorder. 6. Gangguan somatoform seperti gangguan somatisasi, gangguan konversi, dan gangguan dismorfik badan. 7. Gangguan disasosiatif seperti, amnesia disasosiatif, dan gangguan depersonalisasi. 10. Gangguan identitas gender dan seksual, antara lain disfungsi seksual, parafilas, dan gangguan identitas gender. 11. Gangguan makan, seperti anorexia nervosa dan bulimia nervosa. 12. Gangguan tidur, seperti gangguan tidur primer, gangguan tidur yang berhubungan dengan gangguan mental lainnya. 13. Gangguan pengendalian impuls yang tidak termasuk golongan lain, seperti kleptomania, piromania, dan tuntutan berjudi yang tidak terkendali. 14. Gangguan penyesuaian diri, seperti gangguan penyesuaian diri dengan kecemasan atau suasana hati depresi. AXIS II : Developmental and Personality Disorder (Gangguan Perkembangan dan Kepribadian) : 1. Gangguan kepribadian, seperti gangguan kepribadian paranoid, gangguan kepribadian schizoid, gangguan kepribadian skizotipal, gangguan kepribadian antisosial, gangguan kepribadian histerionik, gangguan kepribadian dependen, dan gangguan kepribadian obsesif kompulsif. 2. Kondisi lain yang bisa jadi berfokus pada perhatian klinis, seperti gangguan gerakan yang dipengaruhi oleh medikasi, masalah relasional, masalah relasi yang berhubungan dengan penyalahgunaan dan penyisihan. 3. Kode tambahan, seperti gangguan mental yang tidak spesifik, gangguan yang tidak termasuk dalam aksis I dan aksis II. AXIS III : Psysical Disorder and Conditions (Gangguan dan Kondisi Fisik) Gangguan kecemasan yang disertai dengan adanya kelainan jantung. AXIS IV : Severity of Psycho-social Stressor (Kekerasan Stressor Psikososial)

1. Masalah dengan keluarga 2. Masalah yang berkaitan dengan lingkungan sosial 3. Masalah pendidikan 4. Masalah pekerjaan 5. Masalah perumahan 6. Masalah ekonomi 7. Masalah akses ke pelayanan kesehatan 8. Masalah yang berkaitan dengan interaksi dengan hukum dan kriminal 9. Masalah psikososial dan lingkungan lainnya. AXIS V : Penilaian Global Terhadap Fungsi Psikologis, Sosial, dan Pekerjaan Sekarang dan Tahun Sebelumnya (Global Assessment of Functioning / GAF Scale) 100 91 : Gejala tidak ada, berfungsi maksimal, tidak ada masalah yang tidak terselesaikan 90 81 : Gejala minimal, berfungsi baik, cukup puas, tidak lebih dari masalah harian yang biasa 80 71 : Gejala sementara dan dapat diatasi 70 61 : Beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam fungsi secara umum masih baik 60 51 : Gejala sedang (moderat), disabilitas sedang 50 41 : Gejala berat (serius), disabilitas berat 40 31 : Beberapa disabilitas berhubungan dengan realitas dan komunikasi, disabilitas berat dalam beberapa fungsi 30 21 : Disabilitas berat dalam berkomunikasi dan daya nilai, tidak mampu befungsi hampir semua bidang 20 11 : Bahaya melukai diri dan orang lain, disabilitas sangat berat dalam komunikasi dan mengurus diri 10 1 : Seperti di atas persistens dan lebih serius

1. Langkah Langkah Membuat Diagnosa

Hal hal yang perlu diperhatikan : 1. Tidak ada cara yang sama atau baku yang ditetapkan untuk semua orang 2. Penentuan dalam melakukan pendekatan diagnostik yang tepat untuk klien adalah umpan balik yang ditunjukan klien saat interview Ada lima langkah yang logis dalam membuat diagnosa : 1. Petunjuk diagnostik 1. Bina raport 2. Buatlah semua daftar kemungkinan diagnostik 3. Klasifikasi semua data assessment dengan menentukan gangguan sesuai dengan petunjuk yang ada 1. Kriteria diagnostik 1. Tentukan durasi dari gejala / sindrom psikiatrik yang menonjol 2. Buatlah penilaian kadar keparahan gejala / sindrom dengan melihat akibat yang ditimbulkan pada klien 3. Uji hipotesa diagnostik yang telah dibuat : uji ulang, merujuk dari psikiater atau dokter 4. Check up dengan masalah gangguan kepribadian dan psikososial serta lingkungan 5. Gunakan pertanyaan diagnostik spesifik untuk mengidentifikasi tanda tanda penting 1. Riwayat psikotik Mengambil bukti bukti pendukung, antara lain riwayat premorbid, dasar gangguan, dan riwayat keluarga. 1. Diagnostik multiaksial 2. Organisasikan impresi yang sudah ditentukan dalam DSM / PPDGJ Aksis I II : diagnosa saat ini : masalah medis, psikososial dan lingkungan terkait serta penilaian

- Aksis III IV umum

1. Simpulkan faktor faktor biologis, psikologis, dan sosial yang mempengaruhi diagnosa klien dan etiologi gangguan

1. Prognosa 2. Perhatikan bagaimana cara klien mengahadapi kesepakatan treatment dan bagaimana respon sikapnya terhadap gangguan dan kesungguhan dalam treatment 1. Perhatikan sifat sifat yang mendasari gangguan PROGNOSA 1. Definisi Prognosa adalah tahap yang dilalui setelah melakukan diagnosa. Tujuan dari prognosa adalah untuk mengkomunikasikan prediksi dari kondisi klien di masa datang. 1. Fungsi 2. Menentukan rencana terapi selanjutnya 3. Sabagai bahan pertimbangan perawatan dan rehabilitasi 1. Pertimbangan Dalam Membuat Prognosa Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat prognosa, yaitu : 1. Sifat atau ciri ciri gangguan yang dialami klien 2. Fungsi apa yang paling tinggi tingkat aktivitasnya dan yang masih bisa berfungsi dengan baik 1. Lamanya sakit 2. Waktu menculnya gajala 3. Kekambuhan 3. Masalah umum, jika terjadi pada usia awal. Biasanya pronosisnya lebih buruk, terutama untuk perkembangan selanjutnya 1. Dukungan sosial yang mungkin akan diterima klien dari lingkungan 2. Bentuk treatment yang efektif serta treatment yang pernah gagal dilakukan.

Вам также может понравиться